SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN (STUDI KOMPERATIF …repository.uinjambi.ac.id/2468/1/SPM 160023...

90
SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN (STUDI KOMPERATIF MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFI’IYAH) Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Dalam Ilmu Syariah Pada Fakultas Syariah Oleh: ABU ZAR BIN ADIN NIM: SPM 160023 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN J A M B I 1440 H / 2018 M

Transcript of SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN (STUDI KOMPERATIF …repository.uinjambi.ac.id/2468/1/SPM 160023...

  • SHALAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN

    (STUDI KOMPERATIF MENURUT

    HANAFIYAH DAN SYAFI’IYAH)

    Skripsi

    Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)

    Dalam Ilmu Syariah

    Pada Fakultas Syariah

    Oleh:

    ABU ZAR BIN ADIN

    NIM: SPM 160023

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

    FAKULTAS SYARIAH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

    J A M B I

    1440 H / 2018 M

  • i

    MOTTO

    بسم ميحرلا نمحرلا هللا

    ْمِس َوََل لِْلَقَمِر َواْسُجُدوا لِِلَِّ ْمُس َواْلَقَمُر ََل َتْسُجُدوا لِلشَّ ْوُل َوالنََّهاُر َوالشَّ َوِمْن آَياتِِه اللَّ

    اُه َتْعُبُدونَ الَِّذي َخَلَقُهنَّ إِن ُكنُتْم إِيَّ

    ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.

    Janganlah kalian sujud (menyembah) matahari maupun bulan, tapi bersujudlah

    kepada Allah yang menciptakannya, jika memang kalian beribadah hanya kepada-

    Nya.”1

    1 Al-Quran Tajwid Warna dan Terjemahan Humairah (Kajang, Selangor: Humairah

    Bookstore Enterprise, 2012) Fushshilat(41): 37

  • iii

    PERSEMBAHAN

    Kupersembahkan skripsi ini

    Untuk orang-orang yang kucintai

    Ibunda Dan Ayahanda Tercinta

    Ayahanda Adin bin Haji Ismail dan ibunda Khatijah binti Rabi yang telah mendidik dan

    mengasuh ananda dari kecil hingga dewasa dengan penuh kasih sayang, agar kelak ananda

    menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa,

    dan dapat meraih

    cita-cita.

    Kekanda Di Sayangi

    Untuk kakanda (Muhammad Indera Putera Zubair bin Adin) yang banyak memberi motivasi

    Abang-abang dan Adik-adik (Muhamad Zaqwan, Abu Darda, Dayang Ayuni, Marwan, Furqan,

    Farhan, Zakiyah dan Putera), yang memberi sokongan serta terima kasih di atas segala perhatian

    dan dorongan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita merupakan

    rahmat dan anugerah dari-Nya, serta

    menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya.

    Dosen Pebimbing

    Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu

    ibu Dr Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI dan ibu Dra. Ramlah M.Pd.I karena banyak ilmu yang

    dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya erti daya dan upaya untuk menghadapi

    cabaran hidup.

  • iv

    Murabbi dan Ustaz

    Tidak lupa saya ucapkan ribuan dan jutaan terima kasih kepada Murabbi yang mendidik rohani

    saya iaitu Al-Arifubillah Syeikh Lokeman Hazli bin Azali An-Naqsyabandiyah wa Ghazaliyah

    wa Syahzuliyah, Ustaz Kaharuddin bin Nordin, Ustaz Nurjulan bin Norsaman dan seluruh

    ikhwan Tareqat Al-Ghazaliyah diatas segala doa dan harapan.

    Teman-Teman Seperjuangan

    Serta tak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat sejatiku Ahmad

    Ridha, Fateh, Muaz, Syahmi, Rafiq, Bulqini, Afiq, Zulfadli, Hisyam, Azam, Luqman, geng

    Rumah Katang serta teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan Pelajar-

    pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman-teman dari Indonesia maupun teman-

    teman yang berada

    di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat dan dorongan di kala

    suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik

    dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidupku.

    Terima kasih atas segalanya.

  • ii

    ABSTRAK

    Skripsi yang berjudul Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif

    Menurut Hanafiyah Dan Syafi’yah). Skripsi ini adalah untuk mengungkap

    persoalan tentang bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut

    Hanafiah & Syafi’iyah dan apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari

    dan bulan menurut Hanafiah dan Syafi’iyah. Pendekatan penelitian yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualiltatif dengan

    menggunakan metode diskriptif. Instrumen pengumpulan data adalah melalui

    studi dokumentasi atau studi literatur. Jenis penelitian yang digunakan dalam

    kajian ini yaitu library research (kajian pustaka) supaya penulis dapat meneliti

    dan membahas kajian ini secara rinci dan membahas permasalahan ini dengan

    lebih mendalam. Dengan menggunkakan data primer yaitu daripada kitab-kitab

    seperti al-Umm, al-Mabsuth, manakala data sekunder yang merupakan data

    pelengkap atau pendukung yang diperoleh melalui buku-buku, jurnal dan juga

    artikel-artikel. Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi’iyah telah berijtihad

    berdasarkan ijtihad qiyasi yaitu mengqiyaskan shalat Gerhana kepada shalat sunat

    yang lain seperti shalat sunah idul fitri, idul adha dan shalat sunah istiqah. mereka

    mengambil hukum berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah. Ulama

    Hanafi mengatakan wajib menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Abu

    Hurairah ra. Manakala Ulama Syafi`I mengatakan sunnah muakkadah

    menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra.

  • v

    KATA PENGANTAR

    ِحْينِ ْحَمِن الرَّ بِْسِن ّللّاِ الرَّ

    السَّالَُم َعلَْيُكْن َوَرْحَمةُ هللاِ َوبََرَكاتُهُ

    Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

    segala rahmat dan karunia-Nya. Shalawat dan Salam turut dilimpahkan kepada junjungan

    besar Nabi Muhammad SAW yang sangat dicintai. Alhamdulillah dalam usaha

    menyelesaikan skripsi ini penulis senantiasa diberi nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga

    penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Shalat Gerhana Matahari dan

    Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”.

    Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu

    syariah dalam bagian ilmu perbandingan mazhab tentang fatwa hukum. Juga memenuhi

    sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan

    Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha

    Saifuddin Jambi, Indonesia.

    Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima hambatan

    dan halangan baik dalam masa pengumpulan data maupun penyusunannya. Situasi yang

    mencabar dari awal hingga ke akhir menambahkan lagi daya usaha untuk menyelesaikan

    skipsi ini agar selari dengan penjadualan. Dan berkat kesabaran dan sokongan dari berbagai

    pihak, maka skripsi ini dapat juga diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.

    Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima kasih kepada

    semua pihak yang turut membantu sama ada secara langsung maupun secara tidak langsung

    menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

    1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.

    2. Bapak Dr. AA. Miftah, Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.

    3. Bapak. Hermanto Harun, Lc, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu

    Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,

  • vi

    Perancangan dan Keuangan dan Ibu Dr. Yulianti, S,Ag.M.HI, Wakil Dekan

    Kemahasiswaan dan kerjasama di lingkungan Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.

    4. AlHusni S.Ag.,M.HI selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab (PM) Fakultas

    Syari’ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    5. Ibu Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI, selaku Pembimbing I dan Ibu Dra. Ramlah M.Pd.I,

    M. Sy selaku pembimbing II skripsi ini yang telah banyak memberi kemasukan,

    tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    6. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten dosen serta

    seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu dalam memudahkan

    proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.

    Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan jauh dari

    kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan maklumat maupun

    dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini. Oleh karenanya diharapkan

    kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi pemikiran, tanggapan dan masukan berupa

    saran, nasihat dan kritik demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan dicatatkan

    sebagai amal jariyah di sisi Allah SWT dan mendapatkan ganjaran yang selayaknya kelak.

    Jambi, Oktober 2018

    Penulis,

    ABU ZAR BIN ADIN

    SPM 160023

  • vii

    DAFTAR ISI SEMENTARA

    HALAMAN JUDUL

    PERNYATAAN KE ASLIAN

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    PENGESAHAN PANATIA UJIAN

    MOTTO……………………………………………………………………………… i

    ABSTRAK…………………………………………………………………………... ii

    PERSEMBAHAN………………………………………………………………….. iii

    KATA PENGHANTAR………………………………………………................... v

    DAFTAR ISI……………………………………………………………………… viii

    TRANSLITERASI…………………………………………………………………. x

    DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………. xi

    BAB I: PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah 1

    B. Rumusan Masalah 6

    C. Batasan Masalah 6

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 6

    E. Kerangka Teori 7

    F. Tinjauan Pustaka 9

    G. Metode Penetilian 11

    H. Sistematika Penulisan 13

    BAB II: BIOGRAFI HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH

    A. Biografi Imam Abu Hanifah 15

    1. Pendidikan Imam Abu Hanifah 15

  • viii

    2. Murid-murid Imam Abu Hanifah 16

    3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya 17

    4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi 19

    5. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah 20

    B. Biografi Imam As-Syafi’I 29

    1. Riwayat Hidup Imam Syafi`I 29

    2. Latar Belakang Sosial dan Politik 33

    3. Guru-guru Imam Syafi`I 35

    4. Dasar-dasar Mazhab Syafi`I 36

    5. Karya-karya Imam Syafi`I 37

    BAB III: PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan

    menurut Hanafiah & Syafi’iyah? 41

    1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari 41

    2) Tata Cara Shalat Gerhana Bulan 51

    B. Hukum Melaksanakan Shalat Gerhana Matahari

    dan Bulan Menurut Hanafiah dan Syafi’iyah? 55

    1. Gerhana Matahari (Kusuf) 55

    2. Gerhana Bulan (Khusuf) 55

    C. Dimanakah Letaknya Persamaan dan

    Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah 60

    BAB IV: PENUTUP

    A. Kesimpulan 66

  • ix

    B. Saran-saran 67

    C. Kata Penutup 68

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

    CURRICULUM VITAE .............................................................................

    LAMPIRAN .................................................................................................

  • x

    TRANSLITERASI

    n ن gh غ sy ش kh خ a ا

    w و f ف sh ص d د b ب

    تtذdz ضdhقqهh

    ’ ء kك thطr رtsث

    yي lلzhظ zزjج

    حhسs mم ’ ع

    â = a panjang î = u panjang

    û = u panjang

    au =او

    ay= اَى

  • xi

    DAFTAR SINGKATAN

    UIN STS : Univarsitas Negeri Sultan Thaha Saifuddin.

    SWT : Subhanahuwata ‘ala.

    SAW / ملسو هيلع هللا ىلص : Sallallahu ‘alaihiwasallam.

    ra. : Radiallahu ‘an.

    No. : Nomor.

    Q.S : Al-Quran Dan Sunnah.

    cet. : Cetakan.

    hlm : Halaman.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda

    angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Istilah ini

    umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di

    antara Bumi dan Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan

    penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Namun, gerhana juga terjadi

    pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya

    pada planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.

    Di dalam agama Islam, umat Muslim yang mengetahui atau melihat

    terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka selayaknya segera melakukan

    shalat kusuf (salat gerhana). Gerhana matahari terjadi 2-5 kali dalam setahun.

    Biasanya, gerhana matahari terjadi sekitar dua minggu sebelum atau sesudah

    gerhana bulan.1 jumlah gerhana Bulan dalam satu tahun bisa berkisar antara 0

    sampai 3 kali terjadi2

    Matahari dan bulan merupakan dua makhluk Allah Subhanahu wa ta‟ala

    yang sangat akrab dalam pandangan. Peredaran dan silih bergantinya yang sangat

    teratur merupakan ketetapan aturan Penguasa Jagad Semesta ini. Allah Subhanahu

    wa ta‟ala berfirman:

    1 Yuliana Ratnasari, “Gerhana Bulan Usai Muncul Gerhana Matahari”. Akses 16 July

    2018 2 Riza Miftah Muharram. “Derhana Bulan Total” akses 16 Juli 2018

    https://id.wikipedia.org/wiki/Astronomihttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Benda_angkasa&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Benda_angkasa&action=edit&redlink=1https://id.wikipedia.org/wiki/Bayanganhttps://id.wikipedia.org/wiki/Gerhana_Mataharihttps://id.wikipedia.org/wiki/Bulanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Bumihttps://id.wikipedia.org/wiki/Mataharihttps://id.wikipedia.org/wiki/Gerhana_bulanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Planethttps://id.wikipedia.org/wiki/Satelithttps://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Salat_kusuf&action=edit&redlink=1

  • 2

    ۡهس ر و ٱلشَّ ه ٥ِبح ۡسب اٖن ٱلۡق Artinya: “Matahari dan bulan beredar dengan peraturan dan hitungan yang

    tertentu.”3

    Maka semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan

    menunjukkan akan keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan pencipta-Nya.

    Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta‟ala membantah fenomena penyembahan

    terhadap matahari dan bulan. Yang sangat disayangkan ternyata keyakinan kufur

    tersebut banyak dianut oleh ”bangsa-bangsa besar” di dunia sejak berabad-abad

    lalu, seperti di sebagian bangsa Cina, Jepang, Yunani, dan masih banyak lagi.4

    Allah Subhanahu wa ta‟ala berfirman:

    وۡ نح ح و حه َٰت اي ۡ ء ار و ل ٱّلَّ َّه ۡهس و ٱنل ر و ٱلشَّ ه رح و ٱۡلق ه حۡلق لَل ۡهسح و حلشَّ ْ ل وا د حيِۤهَّلِل ْۤاوُدُجۡسٱَل ت ۡسج ٱَّلَّ

    ون ۡعب د َّاه ت حي نت ۡم إ حن ك وَّ إ ه ل ق ٣٧خ

    Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam dan siang, serta

    matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan

    janganlah pula sujud kepada bulan dan sebaliknya hendaklah kamu

    sujud kepada Allah yang menciptakannya, kalau betulah kamu hanya

    beribadat kepada Allah.”5

    Masyarakat Indonesia sendiri, umumnya masyarakat tradisional dulu, lebih

    banyak mendasarkan gerhana pada tahayul-tahayul dan mitos-mitos yang

    diwariskan dari mulut ke mulut. Khayalan dan mitos tersebut diantaranya ialah

    yang menyatakan bahwa gerhana terjadi karena matahari ditelan oleh raksasa

    yang bernama “Kala” atau “Kalarahu”. Raksasa ini dibayangkan mempunyai

    kepala yang besar dan mulut yang lebar. Ia mempunyai leher tetapi tidak

    3 Ar-Rahman (27): 5

    4 Ahmad Baiquni. “Gerhana Dalam Tinjauan Syariat Islam”, akses 15 Juli 2018

    5 Fussilat (41): 37

  • 3

    mempunyai badan. Oleh sebab itu, masyarakat yang memiliki kepercayaan seperti

    ini, berusaha melakukan perbuatan-perbuatan mengusir raksasa tersebut. Mereka

    akan menabuh semua alat yang dapat menimbulkan bunyi, misalnya memukul

    kentongan, lesung, lumping dan sebagainya. Mereka beranggapan, apabila raksasa

    mendengar bunyi-bunyian yang ribut tersebut akan lari dan memuntahkan kembali

    matahari dari mulutnya sehingga matahari bersinar kembali seperti sediakala6

    Islam hadir menyikapi pandangan masyarakat tentang banyak hal. Di

    antaranya pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana matahari dan

    bulan. Dalam konteks itu, Islam menepis mitos dan pandangan primitif abad ke-7

    tentang gerhana, sekaligus menekankan dimensi religius, spiritual, dan sosial pada

    gerhana itu sendiri sebagai misi kenabian Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat

    Arab pra-Islam memandang gerhana sebagai sesuatu yang menakutkan. Gerhana

    adalah pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi, baik dari kematian maupun

    kelahiran.

    Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif

    sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

    Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi

    Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya

    gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena

    kepergian putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad

    S.A.W bersabda:

    6 Soetjipto, “Islam dan Ilmu Pengetahuan tentang Gerhana”, (Yogyakarta: 1983). Cit,

    hlm 6-7.

    http://medan.tribunnews.com/tag/islamhttp://medan.tribunnews.com/tag/islamhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammad

  • 4

    نَّ َُِما آٓيَتَاِن ِمْن آََٓيِت هللِا تََعاََل فَ إ ْمَس َوإمْقََمَر ََل يَْكِسَفاِن ِمَمْوِت َإَحٍد َوََل ِمَحَياِتِو َومَِكَّنَّ َذإ َرَآيُْتُموُُهَا إمشَّ

    ِا

    ُّوإ فَُقوُموإ َوَصو

    Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau

    hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran

    Allah ta’ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan

    gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”7

    Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan

    shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.

    Dengan pernyataan dan anjuran Nabi S.A.W tersebut, Islam jelas menepis segi

    mitis dan primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.8

    Ada dua istilah dalam penamaan gerhana, Kusuf dan Khusuf. Keduanya

    adalah sinonim. Jika kedua nama tersebut disebutkan secara bersamaan, maka

    makna kusuf untuk gerhana matahari dan khusuf untuk gerhana bulan. Dua

    penyebutan dengan nama yang berbeda seperti ini lebih masyhur di kalangan

    fuqoha. Namun kadangkala ada penyebutan kusufaini dan khusufaini yang

    keduanya bermakna dua gerhana, yaitu matahari dan bulan. Pada dua kejadian

    alam ini, gerhana matahari dan bulan, ada shalat yang disyariatkan oleh

    Rasulullah S.A.W.

    Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau

    menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan

    selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.9

    7 Bhukari, Shahih Bhukari Pdf, “Bab Shalat Saat Terjadi Gerhana Matahari,” hlm. 432.

    No.983. 8 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga

    Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018 9 Ash-Shan’ani, “Subulus Salam Syarh Bulughil Maram min Jam‟I Adillatil Ahkam”:

    ll/135

    http://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/islam

  • 5

    Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah

    mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi

    shalat wajib hanya yang lima waktu saja.10

    Imam An Nawawi rahimahullah

    berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana

    hukumnya sunnah.”11

    Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama

    bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”12

    نٌَّة ُمَؤكََّدٌة ِِبَْلِْْجَاعِ مَِكْن قَاَل َماِِلٌ َوَآبُو َحِنَيَفَة يَُصّّلِ ِمُخُسوِف إمْقََمرِ َوَصََلُة ُكُسوِف ْمِس َوإمْقََمِر س ُ إمشَّ

    فَُرإَدى َويَُصّّلِ َرْكَعتَْْيِ َكَسائِِر إمنََّوإِفلِ

    Artinya: “Menurut kesepakatan para Ulama (ijma’) hukum shalat gerhana

    matahari dan gerhana bulan adalah sunnah mu’akkadah. Akan tetapi

    menurut Abu Hanifah shalat gerhana bulan dilakukan sendiri-sendiri

    dua rakaat seperti shalat sunah lainnya,”13

    Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dan salah satu hadits Nabi

    S.A.W. Allah ta’ala berfirman,

    ِ ْمِس َوََل ِنوْقََمِر َوإْْسُُدوإ لِِلَّ ْمُس َوإمْقََمُر ََل تَْسُجُدوإ ِنوشَّ َاُر َوإمشَّ َّْيُل َوإهَّنَّ ْن ُكْنُُتْ َوِمْن آََٓيِتِو إنوِي َخوَقَهُنَّ إ ِ إَّلَّ

    ُه تَْعُبُدونَ َيَِّ إ

    Artinya: “Sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, matahari, dan

    bulan. Jangan kalian bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada

    bulan, tetapi bersujudlah kalian kepada Allah yang menciptakan semua

    itu, jika kamu hanya menyembah-Nya,”14

    Dari permasalahan yang timbul diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan

    membahas hal ini ke dalam satu karya ilmiah yang berjudul “Shalat Gerhana

    10

    Ibid, Subulus Salam. 11

    Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451 12

    Ibnu Hajar al-Asqolani, “Fath Al Baari Syarah al-Bhukari”, : ll/527 13

    Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba’ah Al-Istiqamah, 2002), hlm. 327.

    14 Fushilat (41): 37

  • 6

    Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan

    Syafi’iyah)”.

    B. Rumusan Permasalahan

    Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi

    permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana tatacara shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiah &

    Syafi’iyah?

    2. Apakah hukum melaksanakan shalat gerhana matahari dan bulan menurut

    Hanafiah dan Syafi’iyah?

    3. Persamaan dan Perbedaan Hanafiyah dan Syafi’iyah

    C. Batasan Masalah

    Untuk memudahkan pembahasan serta tidak menyalahi sistematika penulisan

    karya ilmiah sehingga membawa hasil yang diharapkan, maka penulis membatasi

    masalah yang akan dibahaskan dalam skripsi ini, sehingga tidak terkeluar dari

    topik yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan (Studi Komperatif Menurut

    Hanafiyah dan Syafi’iyah)” saja.

    D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah sebagai

    berikut :

  • 7

    a. Ingin mengetahui tatacara pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan

    menurut Hanafiah & Syafi’iyah.

    b. Ingin mengetahui bagaimana kehujahan dalil-dalil yang digunakan Hanafiah

    & Syafi’iyah terhadap hukum shalat gerhana matahari dan bulan.

    2. Kegunaan Penelitian

    Apabila tujuan tersebut sudah dicapai, maka jelas ada manfaat yang dapat

    di ambil antara lain:

    a. Sebagai melengkapi pensyaratan dalam menyelesaikan studi dan untuk

    memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Syari’ah dalam

    jurusan Perbandingan Mazhab, UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    b. Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan umat Islam terhadap

    permasalahan-permasalahan terutamanya tentang hukum melaksanakan shalat

    gerhana matahari dan bulan menurut perbandingan mazhab antara Hanafiah

    & Syafi’iyah tentang hujah dalil yang digunakan

    c. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, penelitian dan

    masyarakat seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah

    secara baik.

    d. Untuk menambah wawasan penulisan dalam penulisan karya ilmiah ini atau

    tulisan-tulisan lainya.

    E. Kerangka Teori

    Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf

    sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu (الكسوف) dan juga kusuf (الخسوف)

  • 8

    sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan

    sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Namun masyhur juga

    di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf

    untuk gerhana matahari15

    Hukum shalat gerhana terdapat keterangan dari Abu Hanifah, beliau

    menghukuminya wajib dan menjadikan batasan berdoa dan shalatnya dengan

    selesainya gerhana atau tersingkapnya kembali cahaya matahari dan bulan.16

    Jumhur ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah

    mu’akkadah (sangat-sangat ditekankan). Mereka beralasan dengan membatasi

    shalat wajib hanya yang lima waktu saja.17

    Imam An Nawawi rahimahullah

    berkata, “para ulama bersepakat dalam kontek ijma’ bahwa shalat gerhana

    hukumnya sunnah.”18

    Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “jumhar ulama

    bersepakat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah mu’akkadah.”19

    Mazhab Hanafiah adalah pemikiran hukum mazhab yang diasaskan oleh

    pengasasnya yang bernama al-Imam al-A’zham Abu Hanifah, an Nu’man bin

    Tsabit bin Zuwatha al-Kufi. Dia adalah keturunan orang-orang Persia yang

    merdeka (bukan keturunan hamba sahaya). Dilahirkan pada tahun 80 hijrah dan

    meninggal pada tahun 150 hijrah (semoga Allah swt merahmatinya). Dia hidup

    dizaman pemerintahan besar, yaitu pemerintahan Bani Umayyah dan Bani

    Abbasiyyah. Dia adalah generasi atba‟ at-tabi‟in. Ada pendapat mengatakan

    15

    Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu 16

    Subulus Salam: ll/135 17

    Subulus Salam: ll/135 18

    Syarh An Nawawi „Ala Shahih Muslim: Vl/451 19

    Fath Al Baari: ll/527

  • 9

    beliau termasuk didalam golongan tabi‟in. Dia pernah bertemu dengan sahabat

    Anas bin Malik r.a dan meriwayatkan hadis darinya yaitu hadits yang artinya,

    “Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim.”

    Mazhab Syafi’iyah adalah aliran hukum mazhab yang diasaskan oleh Al-

    Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al-Quraisyi al-Hasyimi al-Muththalibi

    ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i (rahimahullah). Silsilah nasabnya bertemu

    dengan datuk Rasulullah S.A.W yaitu Abdu Manaf. Dia dilahirkan di Ghazzah

    Palestina pada tahun 150 hijrah, yaitu pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.

    Dan beliau wafat di Mesir pada tahun 204 hijrah.

    Imam Asy-Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak. Beliau adalah imam di

    bidang fiqh, hadits dan usul. Metode beliau mengabungkan dasar ilmu fiqih ulama

    Hijjaz dengan ulama Iraq.

    F. Tinjauan Pustaka

    Setelah penulis mengadakan tinjauan pustaka sesungguhnya telah ada yang

    membahaskan permasalahan yang berkaitan dengan tentang Hukum Shalat

    Gerhana Matahari (Kusuf Syams) dalam kaedah ini diperlukan adalah untuk

    menentukan pemilihan tajuk yang bersesuaian dengan penyelidikan. Hal ini

    bertujuan untuk memastikan tidak ada pertindihan sama ada dari segi tajuk dan

    kajian yang dijalankan.

    Sesungguhnya telah ada yang membahas permasalahan yang berkaitan seperti

    dalam skripsi yang dituis oleh Iswahyudi. Jurusan Perbandingan Mazhab pada

    tahun 2016 dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang yang berjudul

    “Hukum Shalat Gerhana Matahari (Kusuf Syams) Menurut Mazhab Hanafiyah dan

  • 10

    Syafi’iyah Analisis Studi Shalat Gerhana Matahari Dimasjid Taqwa Desa Muara

    Tawi, KEC. Jarai KAB. Lahat Sumsel” Di dalam skripsi tersebut Iswahyudi

    meneliti tentang bagaimana metode instibat hukum yang digunakan oleh Mazhab

    Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam menentukan Bagaimana keadaan dan pendapat

    dari jamaah dan tokoh ulama tentang shalat gerhana matahari (kusuf syams) didesa

    Muara Tawi dan bagaimana kesimpulan pendapat hukum shalat gerhana matahari

    (kusuf syams).

    Selain itu, penulis juga membuat tinjauan perpustakaan juga bagi

    mendapatkan maklumat terperinci mengenai perbedaan pandangan mazhab

    khususnya tentang hukum solat gerhana. Kajian ini juga boleh memberikan

    kefahaman yang lengkap mengenai perbandingan dan cara untuk mengenal pasti

    najis tersebut menurut pandangan mazhab. Maklumat yang diperolehi menjadi

    hujah yang penting kepada hasil kajian secara keseluruhannya. Oleh kerana itu,

    faktor-faktor penting yang harus disentuh dalam kajian ini dapat dikenal pasti.

    Sejauh informasi penulis peroleh, telah ada buku yang membahaskan

    permasalahan solat gerhana seperti didalam kitab-kitab karangan mazhab

    Hanafiah dan juga mazhab Syafi’iyah. Namun pembahasan terhadap masalah-

    masalah dalil yang khusus digunakan, apalagi dengan menggunakan metode

    perbandingan antara dua imam mazhab. Oleh kerana itu, penulis akan

    membahasakan secara mendetail tentang hal ini.

    Kesimpulannya, kesemua tinjauan pustaka yang digunakan penulis tidak

    secara khusus mengkaji tentang judul yaitu “Shalat Gerhana Matahari dan Bulan

  • 11

    (Studi Komperatif Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”. Namun skripsi-skripsi

    yang digunakan adalah sebagai rujukan bagi mengumpul semua data upaya

    analisis penulis terhadap skripsi ini dapat dicapai.

    G. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

    kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penelitian

    kepustakaan adalah sebuah penelitian yang dilakukan untuk literatur-literatur

    pustaka saja. Bagi memenuhi keperluan tersebut, penulis menggunakan buku-

    buku rujukan yang asli atau data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang

    dibahas.

    2. Jenis Dan Sumber Data

    A. Sumber Data

    i. Data Primer

    Data pokok yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis shahih seperti Shahih

    al-Bukhari dan Shahih Muslim. Adapun buku-buku yang digunakan sebagai data

    primer pada penulisan ini antara lain adalah kitab al-Umm karya Imam al-

    Syafi’e, Al-fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah. Begitu juga kitab Qalyubi wa

    „Umairah karangan yeikh Syihabuddin dan beberapa kitab karangan murid Imam

    Hanafi.

    ii. Data Sekunder

    Data penunjang, dalam penulisan skripsi ini, yakni data yang diambil dari

    sumber-sumber yang ada relevensinya dengan pembahasan ini.

  • 12

    B. Jenis Penelitian

    i. Penelitian Pustaka (Library Search)

    Kaedah penelitian ini penting dalam mengumpulkan data dan informasi bagi

    penelitian ini terhadap semua bab serta menjadi pendoman kepada penulis untuk

    mengetahui dengan lebih rinci tentang apa yang bakal dikaji dalam penelitian ini.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Tenik yang penulis gunakan dalam pengumpulan data di sini, yaitu dengan

    mengunakan cara kualitatif dan deskritif, Artinya penulis mengadakan

    penyalinan dan pengutipan dari berbagai sumber data primier maupun data

    skunder sesuai dengan masalah yang sedang dibahas

    4. Teknik Analisis Data

    a. Analisis Historis

    Analisi data historis di mana telah dikumpulkan, maka data tersebut dianalisis

    melalui analisa historis yang berkaitan tentang sejarah dalil-dalil yang digunakan.

    Untuk melihat sejarah perlunya melihat kepada dalil-dalil yang besumberkan al-

    Quran dan al-Hadith.

    b. Analisis Isi

    Analisis Isi merupakan analisis yang paling umum digunakan dalam tiap

    penelitian dengan langkah pokok pembacaan terhadap dalil-dalil dalam

    penelitian. Karya-karya yang dibaca tengtang Shalat Gerhana Matahari dan

    Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah) untuk mengetahui

    pengertian, sejarah dan bentuk pemikiran.

    c. Analisis Komperatif

  • 13

    Merupakan analisis secara perbandingan mengenai hukum-hukum dan syarat-

    syarat serta dalil-dalil yang digunakanya. Maka dibandingkan antara Hanafiyah

    dan Syafi’iyah.Berdasarkan dua hukum yang ada, dapat menarik kesimpulan

    terhadap masalah-masalah yang dibahas.

    H. Sistematika Penulisan

    Penyusunan skripsi ini terbagi kepada lima bab yang mana setiap bab terdiri

    dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan

    tertentu tetapi tetap saling terkait antara satu sub dengan sub bab yang lainnya.

    Adapun sistematika perbahasannya sebagai berikut:

    Bab pertama, adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah,

    Rumusan Masalah, batasan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Tinjauan

    pustaka, Metode Penelitian dan Sistenatika Penulisan

    Bab kedua membahaskan mengenai gambaran umum latar belakang serta

    biografi Imam Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bab ketika ini terdiri dari sub

    bab sebagai berikut: Riwayat-riwayat Hidup Imam Mazhab Hanafiyah dan

    Mazhab Syafi’iyah serta Dasar-dasar Mazhab Hanafiyah dan Syafi’iyah.

    Bab ketiga pula membahas mengenai gambaran umum sejarah gerhana

    matahari dan bulan, hokum shalat gerhana matahari dan bulan dan juga cara

    pelaksanaan shalat gerhana matahari dan bulan menurut Hanafiyah dan

    Syafi’iyah.

    Bab keempat membahaskan mengenai hasil penelitian yang mengandung sub

    bab seperti bagaimana metode istinbat hukum dalil yang digunakannya dan

  • 14

    bagaimana implementasi permasalahan tentang “Shalat Gerhana Matahari dan

    Bulan (Studi Komperative Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah)”

    Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat kesimpulan dari seluruh

    pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting sehubungan dengan

    penelitian ini serta untuk eksisnya nilai-nilai hukum Islam yang universal dalam

    kehidupan masyarakat.

  • 15

    BAB II

    BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI`I

    A. Biografi Imam Abu Hanifah

    Imam Hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah(699 Masihi).

    Nama kecilnya ialah Nu`man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah beliau

    keturunan dari bangsa Parsi (Kabul-Afghanistan) tetapi sebelum beliau dilahirkan

    ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah karena sudah

    berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari itu beliau

    mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi ada

    riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah, karena

    beliau rajin melakukan ibadah kepada Allah dan bersungguh-sungguh

    mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanif” dalam

    Bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang benar.

    Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Baghdad.1

    1. Pendidikan Imam Abu Hanifah

    Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan, terutama

    yang ada hubungan dengan agama Islam. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama

    tabi`in seperti Ata` bin Abi Rabah dan Imam Nafi` Maula Ibnu Umar. Beliau juga

    belajar ilmu hadis dan fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru

    yang paling berpengaruh pada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman

    1 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta :

    PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 19

  • 16

    (wafat 120 H). Adapun para ulama yang pernah beliau ambil dan hisap ilmu

    pengetahuannya pada waktu itu ada kira-kira 200 ulama. Dan di antara orang yang

    pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah adalah Imam Ahmad al-Baqir, Imam

    Ady bin Sabit, Imam Abdur Ramhan bin Harmaz, Imam Amr bin Dinar, Imam

    Mansur bin Mu`tamir, Imam Syu`ban bin Hajjaj, Imam Ahsim bin Abin Najwad,

    Imam Salamah bin Khail, Imam Qatadah, Imam Rabi`ah bin Abi Abdur Rahman

    dan lain-lain. Imam Abu Hanifah juga terkenal sebagai imam ahli ra`yi dan qiyas

    dan mengerti tentang hadits-hadits yang telah diterima riwayatnya pada masa itu.2

    2. Murid-murid Imam Abu Hanifah

    Beberapa anak-anak murid Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah:

    a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113

    Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau mengumpulkan

    hadits-hadits dari Nabi S.A.W yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah

    Asy-Syaibany, Ata` bin As-Saib dan lain-lain. Imam Abu Yusuf termasuk

    golongan ulama ahli hadits yang terkemuka, beliau wafat pada tahun 183

    Hijriyah.

    b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad As-Syaibani, lahir di Iraq pada tahun

    132 Hijriyah. Beliau seorang alim ahli fiqh dan furu`. Wafat pada tahun 189

    Hijriyah di kota Rayi.

    2 Ibid., hlm. 23

  • 17

    c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriyah. Beliau

    amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra`yi, beliau juga menjadi

    seorang ahli qiyas dan ra`yi yang meninggal pada tahun 158 Hijriyah.

    d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu Hanifah

    Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta wafat pada tahun

    204 Hijriyah.

    Empat orang ulama itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah, yang

    akhirnya yang menyiarkan dan mengembangkan aliran dan hasil ijtihad beliau

    yang utama, serta mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan soal-soal

    ilmu fiqh atau soal-soal yang berkaitan dengan agama. Bahkan Imam Abu Yusuf

    dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu mendapat gelaran “As-Sahabain”

    yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang paling rapat.3

    3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya

    Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam dan

    pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmu kalam

    beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan Fiqh al-Akbar. Tetapi

    dalam bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa

    Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh sewaktu hidupnya.4

    Adapun kitab-kitab hasil karya murid-murid Imam Abu Hanifah dalam

    bidang ilmu fiqh adalah:

    3 Ibid., hlm. 37

    4 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,

    (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 340

  • 18

    a. Kitab al-Kharaj oleh Imam Abu Yusuf.

    b. Zahir ar-Riwayah oleh Imam Muhammad bin Hasan as-Syaibani. Kitab ini

    terdiri dari 6 jilid, yaitu al-Mabsut, al-Jami`, al-Kabir, al-Jami` as-Sagir, as-

    Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan az-Ziyadat.

    c. An-Nawadir oleh Imam as-Syaibani. Terdiri dari empat judul yang terpisah

    yaitu : al-Haruniyyah, al-Kaisaniyyah, al-Jurjaniyyah, dan ar-Radiyah.

    d. Al-Kafi oleh Abi al-Fadhl Muhammad bin Muhammad bin Ahmaf al-Maruzi.

    Kitab ini merupakan gabungan dari enam judul bagian buku Zahir ar-Riayah,

    kitab al-Kafi disyarah oleh Imam as-Sarakhsi.

    e. Al-Mabsut adalah syarah dari al-Kafi yang disusun oleh Imam as-Sarakhsi.

    f. Tuhfah al-Fuqaha` oleh Alauddin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad as-

    Samarqandi.

    g. Badai` as-Sana`i oleh Alauddin Abi Bakr bin Mas`ud bin Ahmad al-Kasani

    al-Hanafi.

    h. Al-Hidayah qa Syarhuha fath al-Qadir oleh Ali bin Abu Bakr al-Marginani.

    i. Duraral Hukkan fi Gurar al-Ahkam oleh Muhammad bin Faramuz.

    j. Tanqir al-Absar wa Jami` al-Bihar oleh Muhammad bin Abdullah bin

    Ahmad al-Khatib at-Tamartasyi.

    k. Ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Absar oleh Alauddin Muhammad bin

    Ali al-Husni.

    l. Hasyiyah Radd al-Mukhtar `ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-

    Absar oleh Ibnu Abidin.5

    5 Ibid., Jilid II, hlm. 346

  • 19

    4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi

    Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh dan ahli hadis. Guru yang

    paling berpengaruh dalam dirinya adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Setelah

    gurunya wafat, Imam Abu Hanifah tampil melakukan ijtihad secara mandiri dan

    menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar secara halaqah yang mengambil

    tempat di Masjid Kufah. Karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman

    ilmunya dalam bidang fiqh, beliau dijuluki oleh murid-muridnya sebagai al-Imam

    al-A`zam (Imam Agung). Lewat halaqoh pengajiannya itulah Imam Abu Hanifah

    mengemukakan fatwa fiqh dan lewat ijtihad mandirinya kemudian berdiri dan

    berkembang mazhab Hanafi.6

    Mazhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam Abu

    Hanifah berdasarkan Al-Quran dan as-Sunnah. Dalam pembentukannya, mazhab

    ini banyak menggunakan ra`yu (rasio). Karena itu, mazhab ini terkenal sebagai

    mazhab aliran ra`yu. Tetapi dalam kasus tertentu, mereka dapat mendahulukan

    qiyas apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ahad.7

    Sedangkan dasar-dasar mazhab Hanafi adalah :

    a. Kitab Allah (al-Quranul Karim)

    b. Sunnah Rasulullah SAW dan ashar-ashar yang shahih serta telah masyur

    (tersiar) di antara para ulama yang ahli.

    c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.

    6 Ibid., Jilid I, hlm, 12

    7 Ibid., Jilid II, hlm. 511

  • 20

    d. Qiyas

    e. Istihsan

    f. Adat yang telah berlaku dalam masyarakat umat Islam.8

    5. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi

    Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-Qur'an

    sebagai landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua. Beliau juga

    berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu hukum tidak

    ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad. Illat ayat-ayat

    hukum dan hadis, terutama dalam bidang mu‟amalah, menurut pandangannya

    perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode ijtihad dapat

    difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah banyak berperan

    dalam membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu Hanifah dan membuat

    mazhabnya lebih dinamis, realistis dan rasional.9

    Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :

    a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah

    b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak

    seseorang baik pria maupun wanita.10

    6. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah

    8 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, (Jakarta :

    PT.Bulan Bintang, 1986), hlm. 79 9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,

    (Jakarta : 10

    Ibid, Jilid II, hlm. 513

  • 21

    Dalam memecahkan suatu masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan

    beberapa metode dalam beristimbath, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber

    pokok, sunnah Rasulullah S.A.W. dan asar-asar yang sahih dan tersiar di kalangan

    orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang dikehendaki atau

    meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila urusan itu sampai

    kepada Ibrahim, asy-Sya‟bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa‟id bin Musayyab, maka

    beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga menggunakan ijma’, qiyas,

    istihsan dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini :

    1. Al-Kitab (al-Qur'an)

    Al-Qur'an adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad

    S.A.W. Yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan sumber hukum

    tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan al-Qur'an. Menurut al-Bazdawi,

    Abu Hanifah menetapkan al-Qur'an adalah lafal dan maknanya. Sedang menurut

    as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam pandangan Abu Hanifah hanyalah makna, bukan

    lafal dan makna.11

    2. As-Sunnah

    As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah yang masih mujmal dan

    merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. Yang disampaikan

    oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang tidak mengambilnya, maka dia

    11

    Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 146

  • 22

    tidak percaya terhadap penyampaian risalah Nabi S.A.W dari Tuhannya. Ulama

    Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan al-Qur'an yang

    qath’i dalalahnya dinamakan fardu, sesuatu yang ditetapkan oleh as-Sunnah yang

    Zanny dalalahnya, dinamakan wajib. Demikian pula yang dilarang, tiap-tiap yang

    dilarang oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah

    dinamakan makruh tahrim.12

    Ulama hadis dan ulama ushul membagi hadis kepada :

    a. Mutawatir

    Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung oleh orang

    banyak yang tidak mungkin sepakat berdusta.13

    Hadits mutawatir memberi

    pengertian yakin. Jumhur ulama menetapkan bahwa Abu Hanifah berhujjah

    dengan hadits mutawatir.

    b. Masyhur

    Hadits masyhur ada yang memasukkannya ke dalam bagian hadits ahad.

    Hadis masyhur tidak memfaedahkan selain dari zhanni tetapi dapat diamalkan.

    Sebagian yang lain menetapkan bahwa hadits masyhur adalah memberi faedah

    dan tidak memberi faedah yakin.

    c. Ahad

    12

    Ibid., hlm. 154 13

    Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1670.

  • 23

    Hadis Ahad menurut asy-Syafi‟i dan ulama semasanya adalah yang tidak

    terdapat padanya syarat-syarat mutawatir atau masyhur. Jumhur fuqaha menerima

    hadis ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang dijadikan hujjah dalam

    bidang amali, tidak dalam bidang ilmu atau i‟tiqadi. Abu Hanifah mengamalkan

    hadits ahad, meninggalkan pendapat yang berlawanan dengan hadits ahad itu.

    Sedang syarat-syarat Abu Hanifah menerima hadis ahad adalah perawinya yang

    afqah atau mendahulukan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang afqah atas

    hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak afqah.14

    Sedangkan menurut

    mazhab Hanafi, hadits ahad dapat dijadikan landasan hukum apabila memenuhi

    syarat-syarat sebagai berikut :

    1) Hadis ahad tersebut tidak menyalahi makna lahiriyah ayat al-Qur'an.

    2) Hadis ahad itu tidak menyalahi hadits masyhur menyangkut masalah yang

    sama.

    3) Hadis ahad itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum

    syari‟at Islam apabila periwayatan hadits itu bukan seorang faqih.

    4) Hadis ahad tersebut tidak menyangkut kepentingan orang banyak.

    5) Hadis ahad itu bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat yang

    meriwayatkannya.15

    Abu Hanifah dalam menanggapi hadis ahad, ada yang diterima apabila tidak

    berlawanan dengan qiyas, jika berlawanan dengan qiyas yang illatnya mustambat

    14

    Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 155.

    15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,

    (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 1671.

  • 24

    dari sesuatu asal yang zanni atau istimbathnya zanni walaupun dari asal yang

    qath’i atau diistimbathkan dari asal yang qath’i, tetapi penerapannya kepada furu’

    adalah zanni, maka didahulukanlah hadis ahad atas qiyas.

    Adapun jika hadis ahad ditentang oleh asal yang umum qath’i,

    penerapannya qath’i pula, maka Abu Hanifah melemahkan hadis, tidak

    menerimanya dan menetapkan hukum berdasarkan pada kaidah yang umum itu.

    d. Mursal

    Hadis mursal ialah hadis yang tidak disebut nama sahabi oleh tabi‟i yang

    meriwayatkannya, seperti dikatakan oleh seorang tabi’in, “Bersabdalah Nabi …. ”

    Sesungguhnya Imam Abu Hanifah menerima hadis mursal sebagai hujjah, karena

    tabi’in kepercayaan yang diterima hadisnya oleh Imam Abu Hanifah, menegaskan

    kepadanya bahwa mereka tidak menyebutkan nama sahabi yang memberi hadis

    kepada mereka apabila yang memberi itu empat orang sahabat. Jadi, Imam Abu

    Hanifah menerima as-Sunnah yang diriwayatkan oleh orang kepercayaan dan

    meletakkan hadits-hadits ahad sesudah al-Qur'an. Apabila hadits-hadits ahad

    berlawanan dengan kaidah umum, yang telah diijma’i oleh para ulama, Imam Abu

    Hanifah menolak hadits-hadits itu dengan dasar tidak membenarkan bahwa Nabi

    S.A.W. Ada mengatakannya.16

    3. Aqwalus-sahabah (fatwa sahabi)

    16

    Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 158.

  • 25

    Abu Hanifah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam

    mengikutinya. Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka

    beliau mengumpulkan salah satunya. Jika tidak ada pendapat sahabat pada suatu

    masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat para tabi’in. tetapi pada

    dasarnya Abu Hanifah mendahulukan fatwa sahabat daripada qiyas.17

    4. Al-Ijma’

    Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Ijma’ merupakan

    kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu hukum

    dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada perselisihan

    dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah mengingkarinya

    setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan tidak mungkin ada

    kesepakatan fuqaha setelah masa sahabat.18

    Imam Abu Hanifah menurut penegasan ulama Hanafiyah menetapkan

    bahwa ijma’ menjadi hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.

    Juga menetapkan bahwa tidak boleh mengadakan hukum baru terhadap sesuatu

    urusan yang diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.

    Mengadakan fatwa baru dipandang menyalahi ijma’. Dalam kitab al-Manakib

    diterangkan bahwa Abu Hanifah mengambil hukum yang diijtma’i oleh

    mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama-ulama Kufah.19

    17

    Ibid., hlm. 161 18

    Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi, Beirut, tt., hlm. 163

    19 Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 162.

  • 26

    5. Qiyas

    Abu Hanifah apabila tidak menemukan nas dalam kitabullah dan sunnatur

    Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabi, maka beliau berijtihad untuk

    mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila tidak baik

    memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan masyarakat. Jika tidak

    baik dipakai qiyas, beliau menggunakan istihsan. Qiyas yang dipakai Abu

    Hanifah ialah yang dita’rifkan dengan : “Menerangkan hukum sesuatu urusan

    yang dinaskan hukumnya dengan suatu urusan lain yang diketahui hukumnya

    dengan al-Qur'an atau as-Sunnah atau al-Ijma’ karena bersekutunya dengan

    hukum itu tentang illat hukum.”20

    Pada dasarnya Abu Hanifah banyak memakai

    qiyas, karena ia memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum

    terjadi dan hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengistimbathkann

    illat yang menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud

    yang menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadis. Abu hanifah tidak

    mencukupkannya dengan tafsir dahiri, beliau melihat lebih jauh kepada maksud

    dan isyarat-isyarat perkataan. Abu Hanifah mengistimbathkan aneka macam illat

    hukum lalu menta‟rifkan cabang-cabang hukum bagi perbuatan-perbuatan yang

    tidak diperoleh nas, illat itulah yang dipandang dasar untuk menetapkan hukum

    bagi hal-hal yang tidak diperoleh nas. Jika hadits sesuai dengan hukum yang telah

    ditarik dengan jalan mempelajari illat, bertambah kukuhlah kepercayaannya, dan

    jika hadits itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan, Abu Hanifah mengambil

    hadis meninggalkan qiyas. Kadang-kadang hukum yang diistimbathkan dengan

    20

    Ibid., hlm. 166

  • 27

    illat sesuai dengan hadits. Hal ini bukanlah berarti mendahulukan qiyas atas hadis.

    Apabila qiyas tidak dapat dilakukan karena berlawanan dengan hadits, maka Abu

    Hanifah pun meninggalkan qiyas, mengambil istihsan. Pokok pegangan dalam

    menggunakan qiyas ialah bahwa hukum syara‟ ditetapkan untuk kemaslahatan

    manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum

    syara‟ yang berpautan dengan ibadah tidak dapat akal menyelami illatnya. Maka

    dari itu Abu Hanifah membagi nas dalam dua bagian, yaitu:

    a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas illatnya. Pada nas-nas ini tidak

    dilakukan qiyas, karena tidak dibahas illatnya walaupun diyakini ibadah-

    ibadah itu disyari'‟tkan Allah untuk kemaslahatan manusia.

    b. Nas-nas yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illat itu.

    Nas-nas ini adalah nas-nas yang mu’allal, dipelajari illatnya dan maksudnya,

    sebabnya dan gayahnya dan padanya berlaku qiyas. Ulama Hanafiyah

    mensyaratkan pada qiyas adalah hukum asal, bukan hukum yang dikhususkan

    untuk suatu hukum saja, dan nas bukanlah yang dipalingkan dari qiyas, yakni

    qiyas yang menyalahi illat yang umum yang ditetapkan syara‟ sendiri. Abu

    Hanifah berpegang pada umum illat kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf

    masyarakat, maka Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan mengambil istihsan.

    Lantaran Abu Hanifah menggunakan illat, maka ia terkenal sebagai imam

    yang memegang ra’yu, bukan imam yang memegang asar dan terkenallah

    keahliannya dalam bidang qiyas, walaupun ia juga seorang imam sunni.21

    6. Istihsan

    21

    Ibid., hlm. 171

  • 28

    Istihsan secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya sesuatu.

    Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama mazhab

    Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas (analogi) atau kaidah umum

    tidak diterapkan pada suatu kasus. Macam-macam istihsan menurut ulama

    mazhab Hanafi, yaitu :

    a. Al-Istihsan bi an-nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)

    b. Al-Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma‟)

    c. Al-Istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)

    d. Al-Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)

    e. Al-Istihsan bil al-‘urf (istihsan berdasar adat kebiasaan yang berlaku umum).

    f. Al-Istihsan bi ad-daruriyah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).22

    g. ‘Urf

    ‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak terdapat di

    dalamnya nas dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat sahabat, maka dari itu ‘urf

    dapat dijadikan hujjah. ‘Urf dibagi dua :

    i. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas.

    ii. „Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas.

    Dari dua ‘urf yang dapat dijadikan hujjah adalah ‘urf sahih.23

    22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1,

    (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997), hlm. 771.

    23 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi,

    Beirut, tt., hlm. 163.

  • 29

    Imam Abu Hanifah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas

    atau istihsan. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah-masalah

    yang tidak ada nashnya, mereka mentakhishkan nas-nas yang umum jika

    menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil ’urf. Begitu

    pula mereka mengambil ‘urf khas dikala tidak ada dalil yang menyalahinya.24

    B. Biografi Imam Syafi`i

    Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-„Abbas ibn

    Utsman ibn Syafi‟ ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abdal-

    Muthalib ibn Abd Manaf.25

    Lahir di Ghazzah, Syam (masuk wilayah Palestina)

    pada tahun 150 H/767 M. Kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah, yang tidak

    lain merupakan tanah para leluhurnya. Syafi‟i kecil tumbuh berkembang di kota

    itu sebagai seorang yatim dalam pangkuan ibunya. Semasa hidupnya, ibu Imam

    Syafi‟i adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang

    yang berbudi luhur.26

    Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam

    umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh tahun sudah hafal

    kitab al-Muwattha' karya Imam Malik. Kemudian ia memusatkan perhatian

    menghafal hadis. Imam Syafi‟i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para

    gurunnya, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab

    24

    Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 182.

    25 Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60

    Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 355. 26

    Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:Almahira, 2010), hlm.6

  • 30

    untuk menghindari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab

    pada saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh

    tahun.27

    Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari

    pengaruh ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke

    Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang

    fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di Badiyah itu, mempelajari

    syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam bidang syair yang digubah

    golongan Huzail itu, amat indah susunan bahasanya. Di sana pula ia belajar

    memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i

    menghafal al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan

    diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah

    dan penduduk-penduduk kota.28

    Imam Syafi'i belajar pada ulama Makkah, baik pada ulama fiqih, maupun

    ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan

    yang tinggi dalam bidang itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji,

    menganjurkan supaya Imam Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah

    memperoleh kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu. Karena

    ilmu baginya adalah ibarat lautan yang tidak bertepi.29

    27

    Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 286

    28 Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60

    Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 357-360. 29

    Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 28. Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis

  • 31

    Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu

    Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan

    mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam Syafi'i ingin

    pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu

    menghafal al-Muwattha' karya Imam Malik yang telah berkembang pada masa

    itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan membawa

    sebuah surat dari gubernur Makkah. Mulai ketika itu ia memusatkan perhatian

    untuk mendalami fiqih di samping mempelajari al-Muwattha’. Imam Syafi'i

    mengadakan mudārasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan

    Imam Malik. Di waktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah

    mencapai usia dewasa dan matang.30

    Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi'i adalah

    tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah atau metode istinbath (ushul

    fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya dalam berijtihad terikat dengan

    kaidah-kaidahnya, namun belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah

    buku sebagai satu disiplin ilmu yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum

    Islam. Dalam kondisi demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun

    sebuah buku ushul fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari

    Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS,

    2009), hlm. 287. 30 Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT Putaka

    Rizki Putra, 1997), hlm. 480-481

  • 32

    seorang ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar

    Imam Syafi'i menyusun metodologi istinbath.31

    Imam Syafi‟i di samping menguasai dalam bidang al-Kitab, ilmu balaghah,

    ilmu fikih, ilmu berdebat juga terkenal sebagai muhaddits. Orang-orang

    memberikan gelar padanya “Nāhir al-Hadīts. Imam Sufyan ibn „Uyainah bila

    didatangi seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar

    meminta fatwa kepada Imam Syafi‟i, ujarnya “salu hadza al-ghulama”

    (bertanyalah kepada pemuda itu).32

    Dialah yang meletakkan dasar-dasar periwayatan. Dia juga yang berani

    secara terang-terangan berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah,

    yaitu bahwasannya ketika ada sanad yang shahih dan muttashil kepada Nabi ملسو هيلع هللا ىلص,

    maka wajib beramal dengannya tanpa ada keterkaitan dan keterikatan dengan

    amal ahli Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Malik ataupun

    syarat-syarat Imam Abu Hanifah.

    Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk

    mengambil ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah,

    bermunādharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.

    Pada tahun 198 H, beliau pergi lagi ke Baghdad hanya sebulan lamanya, dan

    akhirnya pada tahun 199 H, beliau pergi ke Mesir dan memilih kota terakhir untuk

    tempat tinggalnya untuk mengajarkan Sunnah dan al-Kitab kepada khalayak

    31

    Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 29.

    32 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm.

    233.

  • 33

    ramai. Jika kumpulan fatwa beliau ketika di Baghdad disebut dengan qaul qadīm,

    maka kumpulan fatwa beliau selama di Mesir dinamakan dengan qaul jadīd.33

    Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “semua masalah kami tidak pernah

    terselesaikan oleh pengikut Abu Hanifah, sampai kami akhirnya kami bertemu

    dengan Imam Syafi‟i. sungguh, dia orang yang paling paham tentang Kitabullah

    dan as-Sunnah.” Maksud dari kata-kata itu ialah bahwa para ahli hadis dan para

    ahli fiqih seakan menjadi murid Imam Syafi‟i, sebab keagungan madzhabnya,

    kefasihan penjelasannya, kekuatan hujjahnya, dan keseganan yang ditunjukkan

    baik oleh mereka yang sependapat maupun orang yang berbeda dengan

    pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Imam Syafi‟i bagai

    mentari bagi dunia, dan kekuatan bagi manusia. Lihatlah, apakah ada sesorang

    yang mampu menggantikan posisinya.”34

    1. Latar Belakang Sosial Dan Politik

    Imam Syafi'i lahir pada masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh kehidupannya

    berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah wilayah-wilayah

    negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang berada di

    puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang luas dan

    kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam

    keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu

    pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat

    33

    Ibid, hlm. 232 34

    Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz, (Jakarta:Almahira, 2010), hlm.10

  • 34

    Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga

    sedang semarak. Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka kami akan

    memberikan gambaran singkat tentang tentang kondisi pemikiran dan sosial

    kemasyarakatan pada masa itu.35

    Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur-

    unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath.

    Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat peradaban

    Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis

    bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan

    ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka

    sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang

    dalam.36

    Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul

    aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul

    fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh interaksi sosial

    antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing ras mempunyai

    kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar

    masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat.

    Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.37

    35 Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu arāuhu wa

    Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Utsman, “Imam al-Syafi'i Biografi

    danPemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, (Jakarta: PT Lentera Basritama,

    2005),hlm. 84. 36

    Ibid., hlm. 84 37

    Ibid., hlm. 85

  • 35

    Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap permasalahan

    yang terjadi, baik permasalahan itu masuk dalam kategori permasalahan ringan

    ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas

    cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian

    (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan

    dapat memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang

    mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-

    masalah furu' yang berbeda.38

    2. Guru-guru Imam Syafi‟i

    Imam Syafi‟i menerima ilmu fiqih dan hadis dari banyak guru yang masing-

    masing mempunyai manhaj serta tinggal di tempat yang saling berjauhan antara

    satu dan lainnya. Imam Syafi‟i menerima ilmu dari ulama Makkah, ulama

    Madinah, ulama Irak dan ulama Yaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya

    antara lain: Sufyan Ibnu Uyainah, Muslim Ibn Khalid Az-Zamzi, Said Ibn Salim

    al-Kaddah, Dawud Ibn abd-Rahman al-Atthar, dan Abdul Hamid Ibn Abdul Aziz

    Ibn Abi Dawud.39

    Ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Malik Ibn Anas, Ibrahim Ibn

    Saad al-Anshari Abdul Aziz Ibn Muhammad ad-Darawardi, Ibrahim Ibn Abi

    38 Ibid., hlm. 86 39 Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba’ah, (Kairo: Dar as-Salam,

    Cet. II, 1428 H- 2008 M.), hlm. 2

  • 36

    Yahya al-Aslami, Muhammad Ibn Said Ibn Abi Fudaik, Abdullah Ibn Nafi‟ teman

    ibnu Abi za‟ab.40

    Ulama Bagdad Irak yang menjadi gurunya ialah: Waki‟ Ibn Jarrah, Abdul

    Wahab Ibn Abdul Majid Ats-Tsaqafi, Abu Usamah Hammad Ibn Usamah al-Kufi,

    Ismail Ibn Ulayah. Dia juga menerima ilmu dari Muhammad Ibn Al-Hasan yaitu

    dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung daripadanya.41

    3. Dasar-dasar Mazhab Syafi`i

    Dasar madzhabnya: Al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak

    mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.

    Beliau juga tidak mengambil Istihsan sebagai dasar madzhabnya, menolak

    maslahah mursalah dan perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi‟i mengatakan,

    ”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat.”

    Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi‟i adalah nashirussunnah ,” Kitab

    “Al-Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak;

    Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za‟farani, Al-Karabisyi dari Imam Syafi‟i.

    Sementara kitab “Al-Umm” sebagai madzhab yang baru yang diriwayatkan oleh

    pengikutnya di Mesir; Al-Muzani, Al-Buwaithi, Ar-Rabi‟ Jizii bin Sulaiman.

    Imam Syafi‟i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih

    bertentangan dengan perkataanku, maka ia adalah madzhabku, dan buanglah

    perkataanku di belakang tembok.”

    40

    Hasbi Ash -Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), 480-481

    41 Ali Jum‟ah Muhammad, Al-Madkhol Ilā Mażāhib al-Arba’ah, (Kairo: Dar as-Salam,

  • 37

    4. Karya-Karya Imam Syafi‟i

    Imam Syafi‟i banyak menulis kitab-kitab. Sebagiannya ditulis sendiri lalu

    dibacakannya kepada orang-orang, atau mereka yang membacakannya kepadanya.

    Sebagiannya didektekannya. Sangat sulit untuk menghitung kitab-kitabnya,

    karena banyak yang sudah hilang. Ia menulis di Makkah, Baghdad, dan Mesir.42

    Buku-bukunya yang ada di tangan para ulama saat ini adalah yang ditulisnya di

    mesir. Diantara kitabnya yang paling terkenal dan banyak memuat pemikiran-

    pemikiran beliau adalah:

    1) Kitab al-Umm

    Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang

    terdapat kitab-kitab lain yang dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya

    adalah: Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi‟i dalam hadis-hadis Nabi S.A.W dan

    juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam Syafi‟i, Khilāfu

    Mālik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya, Al-Radd ‘Alā

    Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaanya terhadap mazhab ulama Madinah dari

    serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah, Al-khilāfu Ali wa Ibn

    Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu

    Hanifah dan ulama Irak dengan Ali Abi Thalib dan Abdullah Bin Mas‟ud, Sair al-

    Auza‟i, berisi pembelaanya atas Imam al-Auza‟i dari serangan Abu Yusuf, Ikhtilāf

    al-Hadīts, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi‟i atas hadis-hadis yang

    42

    Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 8

  • 38

    tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang tercetak sendiri, Jimā’ al-

    ‘Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi‟i tehadap sunnah Nabi SAW.43

    2) Kitab Ar-Risālah

    Kitab Ar-Risālah adalah karya monumental Imam Syafi‟i yang dikenal

    sebagai kitab pertama dalam ushul fiqih, didalamnya banyak membahas rumusan-

    rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis. Kitab ini merupakan karya Imam

    Syafi‟i atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi yang berkaitan dengan

    penjelasan makna-makna al-Qur‟an, dan menghimpun beberapa khabar, ijma‟ dan

    penjelasan tentang nasikh dan mansukh dalam al-Qur‟an dan sunnah. Dan juga

    atas dorongan dari Ali bin al-Madani agar Imam Syafi‟i memenuhi permintaan

    Abdurrahman bin al-Mahdi.44

    Atas permintaan dan dorongan itulah Imam Syafi‟i

    menulis kitab Ar-Risālah ini.

    Menurut pendapat yang unggul dan dipilih oleh Ahmad Muhmmad

    Muhammad Syakir, kitab Ar-Risālah ini ditulis oleh Imam Syafi‟i pada saat beliau

    berada di Makkah.menurut Fakhrurrazi dalam Manāqib Asy-Syāfi’i, kitab Ar-

    Risālah ini ditulis pada saat Imam Syafi‟i berada di Baghdad. Meskipun belum

    dapat dipastikan dimanakah Imam Syafi‟I menulis kitab ini, keduanya sama-sama

    memuat pengetahuan yang luas.45

    Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M.) ahli hukum Islam

    berkebangsaan Mesir, menyatakan buku itu (Ar-Risālah) disusun ketika Imam

    43 Indal Abror, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

    Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 296. 44

    Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 13 45 Ar-Risālah Imam Syafi’i. terj. Misbah, (Jakarta; Pustaka Azzam, 2008), hlm. 14

  • 39

    Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada

    di Mekah. Imam Syafi'i menyebut bukunya dengan "al-Kitāb" (Kitab atau Buku)

    atau "Kitabī" (Kitabku), yang kemudian lebih dikenal dengan "Ar-Risālah" yang

    berarti "sepucuk surat" karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada

    Abdurrahman bin Mahdi. Kitab Ar-Risālah yang pertama ia susun dikenal dengan

    Ar-Risālah al-Qadīmah (Risalah Lama).46

    Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah pikiran Imam

    Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, isinya disusun kembali

    dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian

    dikenal dengan sebutan Ar-Risālah al-Jadīdah (Risalah Baru). Jumhur ulama

    ushul fiqih sepakat menyatakan bahwa kitab Ar-Risālah karya Imam Syafi'i ini

    merupakan kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih

    sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama

    ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.47

    Imam Syafi'i wafat pada malam jum‟at

    dan dikebumikan setelah shalat ashar hari itu, pada bulan Rajab 204 H. yang

    bertepatan dengan tanggal 29 Rajab 204 H. atau 19 Januari 820 M.4849

    46

    Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006), hlm. 361.

    47 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul

    Jadid,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 30. 48

    Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. 4, 2003), hlm. 234.

    49 Muhammad Izzat bin Ismail, PROBLEMATIKA TAYAMMUM(Studi Komparatif

    Sebagian Pendapat Hanafiyah dan Sebagian Pendapat Syafi`iyah), UIN Jambi, Mei 2017.

  • 40

    BAB III

    PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

    Gerhana adalah sumber bencana dan malapetaka. Dalam perspektif

    sekarang, kita dapat mengatakan bahwa pandangan tersebut bersifat primitif.

    Pandangan primitif itu masih hidup saat Islam datang. Ketika putra Nabi

    Muhammad S.A.W, Ibrahim meninggal, yang bersamaan dengan terjadinya

    gerhana matahari, mereka mengatakan bahwa gerhana itu terjadi karena kepergian

    putra Nabi Muhammad S.A.W. Dalam konteks itulah Nabi Muhammad S.A.W

    bersabda:

    َُما آٓيَخَاِن ِمْن آََٓيِت هللِا ثََعا ْمَس َوإمْلََمَر ََل يَْكِسَفاِن ِمَمْوِت َإَحٍد َوََل ِمَحَياِثِو َومَِكَّنَّ نَّ إمشََّّذإ َرَآيُْخُموُُهَا إ

    ََّل فَا

    ُّوإ فَُلوُموإ َوَصو

    Artinya: “Sungguh, gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau

    hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran

    Allah ta‟ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan

    gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,”1

    Selanjutnya Nabi Muhammad S.A.W menganjurkan untuk melaksanakan

    shalat, bertasbih, berzikir, bertahlil, bersedekah, dan memerdekakan budak.

    Dengan pernyataan dan anjuran Nabi tersebut, Islam jelas menepis segi mitis dan

    primitif dari pandangan masyarakat Arab pra-Islam tentang gerhana.2

    Seperti yang kita ketahui fenomena gerhana matahari (kusufus syamsi) dan

    gerhana bulan (khusuful qamar) merupakan fenomena alam yang menunjukkan

    1 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Madzhab, cet ke-3, (Cairo: Mathba‟ah Al-

    Istiqamah, 2002), hlm. 322. Riwayat Muslim, dikutip Kitab al-Kusuuf, 4/463, no. 1516 2 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan. (Tribun-Medan.com, 2018),

    Akses 26 July 2018

    http://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/islam

  • 41

    kebesaran Allah swt. Shalat sunah gerhana matahari pertama kali disyariatkan

    pada tahun kedua hijriyah, sedangkan shalat gerhana bulan pada tahun kelima

    Hijriyah dan menurut pendapat yang kuat (rajih) pada bulan Jumadal Akhirah.

    نَِة َّاِهيَِّة ِمَن إمِْيْجَرِة َوَصََلُة ُخُسوِف إمْلََمِر ِِف إمس َّ نَِة إمث ْمِس ِِف إمس َّ َعْت َصََلُة ُكُسوِف إمشَّ إمَْخاِمَسِة َوُُشِ

    إِجحِ ِمَن إمِْيْجَرِة ِِف ُجامََدى إْْلَِخَرِة عَََل إمرَّ

    Artinya: “Shalat gerhana matahari disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah,

    sedangkan shalat gerhana bulan menurut pendapat yang kuat (rajih) pada

    tahun kelima Hijriyah bulan Jumadal Akhirah,”3

    A. Tatacara Shalat Gerhana Matahari dan Bulan Menurut Hanafiyah dan

    Syafi’iyah.

    Dalam pembahasan tata cara melaksanakan shalat gerhana, peneliti ingin

    membahagikan kepada dua bahagian iaitu yang pertama tata cara shalat gerhana

    matahari dan yang kedua shalat gerhana bulan.

    Terjadinya perbedaan ijtihad bagi kedua-dua mazhab ini tidak lain

    dikarenakan dalam memahami teks hadis. Nabi S.A.W tidak melakukan shalat

    gerhana kecuali bila gerhananya terlihat. Sabda Nabi S.A.W di atas ”Apabila

    kalian melihat (gerhana) matahari atau bulan, maka berdoalah kepada Allah dan

    shalatlah.” Nabi S.A.W mengaitkan pelaksanaan shalat gerhana dengan ”melihat

    (ru‟yah)”. Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, ”… karena

    pelaksanaan shalat (gerhana) dikaitkan dengan ru‟yah.”4

    1) Tata Cara Shalat Gerhana Matahari

    3 Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, Hasyiyatus Syeikh Ibrahim al-Baijuri,

    Indonesia, Darul Kutub al-Islamiyyah, 1428 H/2007 M, juz I, halaman 434. 4 Ibnu Hajar Al-„Asqalani, Fath Al Baari Bisyarhi Shahih Al-Bhukari, hadits no.

    1041.Mesir.

  • 42

    Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana Matahari dan Bulan

    Aisyah radhiallahu‟ anha berkata:

    ُ عَوَيْ ِ َصَلَّ إَّللَّ َ فََصَلَّ َرُسوُل إَّللَّ ُ عَوَْيِو َوَسَّلَّ ِ َصَلَّ إَّللَّ ْمُس ِِف َعْيِد َرُسوِل إَّللَّ َ وِ َخَسَفْت إمشَّ َوَسَّلَّ

    ْمُس َف َوكَْد إْْنَوَْت إمشَّ ِِبمنَّاِس... ُُثَّ إهََْصَ

    Artinya: Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah S.A.W lalu Rasulullah

    S.A.W mengimami shalat orang ramai… Setelah baginda S.A.W selesai

    shalat matahari telah kelihatan.5

    Hadis di atas merupakan dalil tentang waktu harus dikerjakan shalat

    gerhana, iaitu bermula terjadinya gerhana sehingga berakhirnya gerhana.

    Sungguhpun begitu, sekiranya kita telah menyelesaikan perlaksanaan shalat

    gerhana namun gerhana tersebut belum berakhir, kita hendaklah memperbanyakan

    berdoa dan berzikir.

    Menurut al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah:

    Lafaz ini (hingga matahari kelihatan) merupakan dalil tentang lamanya

    shalat Gerhana, iaitu hingga matahari nampak kembali. Al-Tohawi berpendapat

    bahawa di dalam hadis dinyatakan hendaklah kamu semua shalat dan berdoa.

    Dalam erti kata lain, jika kita selesai melaksanakan shalat gerhana, namun

    matahari masih belum juga kelihatan, kita hendaklah memperbanyakan berdoa

    sehingga gerhana berakhir. Ibn Daqiq al-'Id menguatkan lagi pendapat ini bahawa

    had waktu tersebut (antara mula gerhana hingga matahari muncul kembali) adalah

    had waktu untuk shalat dan berdoa. Malah bermungkinan doa tersebut boleh

    dilakukan setelah selesai shalat hinggalah matahari muncul kembali. Oleh itu,

    5 al-Bukhari, “Shahih al-Bhukari”, Kitab al-Jumu‟ah, no: 1044.

  • 43

    shalat gerhana tidak harus dilakukan terlalu lama atau mengulanginya beberapa

    kali jika matahari belum kelihatan sehingga matahari muncul (gerhana berakhir).6

    Jumlah rakaat dan Ruku’ dalam Shalat Gerhana Matahari dan Bulan

    Dari laporan berbagai hadis, Nabi Muhammad S.A.W tampaknya beberapa

    kali melaksanakan shalat gerhana. Karenanya, laporan tentang bagaimana Nabi

    melaksanakan shalat gerhana matahari berbeda-beda. Ada yang menyebutkan

    Nabi Muhammad S.A.W shalat gerhana dengan dua ruku‟ dalam satu rakaat; ada

    yang menyebutkan dengan satu ruku‟ dalam satu rakaat. Bahkan ada yang

    menyebutkan empat, enam, delapan, dan sepuluh ruku‟ dalam satu rakaat.

    Tapi, setahu saya, semua hadis menyebutkan bahwa shalat gerhana dua

    rakaat. Perbedaan (laporan) hadis ini menimbulkan perbedaan tata-cara shalat

    gerhana di antara mazhab-mazhab fiqih. Di Indonesia, pada umumnya umat Islam

    menganut mazhab Syafi‟i: dua ruku‟ dalam satu rakaat, dan bacaan tidak dibaca

    nyaring.7

    Berbeda dengan shalat-shalat sunat yang lain, shalat Gerhana memiliki

    empat kali rukuk, yaitu dua kali rukuk setiap rakaat.

    َ فََصَلَّ َرسُ ُ عَوَْيِو َوَسَّلَّ ِ َصَلَّ إَّللَّ ْمُس ِِف َعيِْد َرُسوِل إَّللَّ َا كَامَْت: َخَسَفْت إمشَّ ِ َعْن عَائَِشَة َآَّنَّ وُل إَّللَّ

    َ ِِبمنَّاِس فَلَاَم فَأََطاَل إمِْليَاَم ُ عَوَْيِو َوَسَّلَّ ُكوَع ُُثَّ كَاَم فَأََطاَل إمِْليَاَم َوُىَو ُدوَن َصَلَّ إَّللَّ ُُثَّ َرَكَع فَأََطاَل إمرُّ

    ُجوَد ِل ُُثَّ ََسََد فَأََطاَل إمسُّ ُكوعِ إْْلَوَّ ُكوَع َوُىَو ُدوَن إمرُّ ِل ُُثَّ َرَكَع فَأََطاَل إمرُّ ْكَعِة إمِْليَاِم إْْلَوَّ ُُثَّ فََعَل ِِف إمرَّ

    َّاِهَيِة ِمثَْل مَ َ َوَآثََْن عَوَْيِو ُُثَّ إمث ْمُس فََخَطَب إمنَّاَس فََحِمَد إَّللَّ َف َوكَْد إْْنَوَْت إمشَّ ا فََعَل ِِف إْْلُوََل ُُثَّ إهََْصَ

    َذإ َرآَ ِّسَفاِن ِمَمْوِت َآَحٍد َوََل ِمَحَياِثِو فَا ِ ََل ََيْ ْمَس َوإمْلََمَر آٓيَخَاِن ِمْن آََٓيِت إَّللَّ نَّ إمشَّ

    َّذِِلَ فَاْدُعوإ يُْتْ كَاَل إ

    6 Ibn Hajar al-„Asqalani Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, jil. 6, hlm. 6.

    7 Fahrizal Fahmi Daulay (ed), Sejarah Gerhana Bulan dan Pandangan Islam Hingga

    Turun Anjuran Shalat Nabi Muhammad, (Tribun-Medan.com, 2018) Akses 15 Juli 2018

    http://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/nabi-muhammadhttp://medan.tribunnews.com/tag/islam

  • 44

    ِ ِ َما ِمْن َآَحٍد َآغََْيُ ِمْن إَّللَّ ٍد َوإَّللَّ َة ُمَحمَّ كُوإ ُُثَّ كَاَل ََي ُآمَّ ُّوإ َوثََصدَّ وإ َوَصو ُ َ َوَكّّبِ َآْن يَْزِِنَ َعْبُدُه َآْو حَْزِِنَ إَّلل�