shalat 5 wktu

16
Dalam “Injil Barnabas” ada ungkapan mengenai ‘kelima waktu sembahyang’ dan ‘Uraian mengenai Allah dan sifat-sifatnya’ yang dengan jelas kita ketahui sebagai hasil teologi Islam. Saya rasa tidaklah tepat kalau “Kelima waktu sembahyang” dianggap sebagai hasil teologi Islam. Beberapa waktu yang lalu saya sempat kirimkan kebbrp teman by email: tentang shalat dalam kristen yang telah dikenal sejak jaman gereja mula2 dan tradisi ini berlanjut pada jaman Luther dan hingga sekarang Gereja Katolik Roma,Gereja Melkite di Palestina, Gereja2 Orthodox masih melakukan sholat, walaupun telah disesuaikan dengan keadaan jaman saat ini. Saya postingkan ulang tentang shalat dalam Kristem : Shalat dalam Kristen Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi dilingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern ( E.H. Van Olst, Alkitab dan Liturgi / Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1996 hal.68-69) Dalam komunitas Kristen yang berbahasa Arab. Doa-doa harian atau Brevir (Latin : De Liturgia Horanum) lebih populer disebut Sab’u ash shalawat (Shalat Tujuh Waktu). Liturgia Horanum adalah doa- doa harian yang dilakukan pada saat-saat tertentu, yang didasarkan atas penghayatan jam-jam peristiwa Yesus, khususnya Jalan Salib-Nya (Latin :Via Dolorosa, Arab : Tarîkh al-Alam). Brevir atau doa-doa harian ini sifatnya non-sakramental, dalam bilangan tujuh waktu secara lengkap, saat ini masih dilaksanakan di seluruh gereja-gereja Timur, khususnya oleh para rahib di biara-biara. Tetapi pemeliharaan waktu-waktu shalat, lengkap dengan adab qiyam (berdiri), ruku’ dan sujud, terutama dilestarikan di Gereja Orthodox Syria. Karena kekunoannya, tentu saja tidak dapat dikatakan tatacara ini dipengaruhi islam, seperti yang sering dituduhkan orang Kristen di Indonesia. Model doa-doa harian seperti ini, bukan hanya

description

gcngc

Transcript of shalat 5 wktu

Dalam Injil Barnabas ada ungkapan mengenai kelima waktu sembahyang dan Uraian mengenai Allah dan sifat-sifatnya yang dengan jelas kita ketahui sebagai hasil teologi Islam.

Saya rasa tidaklah tepat kalau Kelima waktu sembahyang dianggap sebagai hasil teologi Islam.Beberapa waktu yang lalu saya sempat kirimkan kebbrp teman by email: tentang shalat dalam kristen yang telah dikenal sejak jaman gereja mula2 dan tradisi ini berlanjut pada jaman Luther dan hingga sekarang Gereja Katolik Roma,Gereja Melkite di Palestina, Gereja2 Orthodox masih melakukan sholat, walaupun telah disesuaikan dengan keadaan jaman saat ini.

Saya postingkan ulang tentang shalat dalam Kristem :

Shalat dalam Kristen

Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi dilingkungan Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari subyektivisme dan individualisme modern ( E.H. Van Olst, Alkitab dan Liturgi / Jakarta : BPK. Gunung Mulia, 1996 hal.68-69)

Dalam komunitas Kristen yang berbahasa Arab. Doa-doa harian atau Brevir (Latin : De Liturgia Horanum) lebih populer disebut Sabu ash shalawat (Shalat Tujuh Waktu). Liturgia Horanum adalah doa-doa harian yang dilakukan pada saat-saat tertentu, yang didasarkan atas penghayatan jam-jam peristiwa Yesus, khususnya Jalan Salib-Nya (Latin :Via Dolorosa, Arab : Tarkh al-Alam).

Brevir atau doa-doa harian ini sifatnya non-sakramental, dalam bilangan tujuh waktu secara lengkap, saat ini masih dilaksanakan di seluruh gereja-gereja Timur, khususnya oleh para rahib di biara-biara. Tetapi pemeliharaan waktu-waktu shalat, lengkap dengan adab qiyam (berdiri), ruku dan sujud, terutama dilestarikan di Gereja Orthodox Syria.

Karena kekunoannya, tentu saja tidak dapat dikatakan tatacara ini dipengaruhi islam, seperti yang sering dituduhkan orang Kristen di Indonesia. Model doa-doa harian seperti ini, bukan hanya waktu-waktunya yang dapat dilacak dari ayat-ayat Alkitab sendiri, tetapi juga dokumen-dokumen gereja kuno, masa-masa menjelang kelahiran Islam, hingga pada zaman sekarang ini. Pola-Pola doa seperti ini, khususnya dalam Gereja Katolik ritus latin, sudah banyak mengalami penyesuaian akibat tuntutan hidup modern.

Al-Qudds al-Ilah dan Sabush Shalawt:Dua corak Ibadah Gereja Mula-mula

Sejarah gereja mula-mula, sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Baru, dengan jelas mencatat bahwa sejak awal mula orang-orang Kristen awal : . bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu menjalankan shalat-shalat dan merayakan ekaristi (Kis 2:42, Peshitta)Ayat ini mencatat kedua corak ibadah gereja kuno, yakni ibadah sakramental (Arab : Al-Qudds al-Ilah/Perjamuan Kudus) dan ibadah non-sakra-menta, antara lain ibadah-ibadah harian dengan waktu-waktu tertentu ( cf: waktu sembahyang Kis 3:1)

Ternyata dua corak ibadah ini hanya meneruskan dari kedua corak ibadah Yahudi : Hag (jamak : Hagigah) dan Siddur.Hagigah ialah perayaan besar yang harus diselenggarakan 3 kali dalam setahun di kota suci Yerusalem. Kata yang diterjemahkan perayaan. Perlu dicatat pula, kata Ibrani Hag (yang seakar dengan kata Arab : hajj), yang sejak dibangunnya Bet hammigdas (Arab: Bait al-Magdis) di Yerusalem, perayaan 3 kali dalam setahun ini dipusatkan di kota suci itu (Kel 23:14 ; Mzm 122:4). Perayaan besar atau hag ke Yerusalem ini, dalam kacamata Iman Kristen sudah digenapi dengan kedatangan Yesus Sang Mesiah, dan satu dari antara ketiga hag yang terbesar, yaitu Hag ha-Pesah (Perayaan Paskah) yang dahulu menjadi puncak perayaan-perayaan Yahudi, sekarang dimengerti dalam makna yang baru.

Kalau Paskah Yahudi adalah perayaan pembebasab Bani Israil dari perbudakan Firaun di Mesir, maka Paskah Kristen adalah perayaan pembebasan umat manusia dari belenggu dosa berkat penebusan Kristus.Teologi penebusan sendiri ternyata lebih dilatar belakangi konsep Yahudi mengenai Kippur (Arab : Kaffarat), yang artinya penebusan atau penggantian, kurban yang menjadi puncak seluruh peribadatan Yahudi, dilanjutkan dan digenapi dalam kurban Perjamuan Kudus (Aram : Qurban Qadiss, Arab : Al-Qudds al-Ilah). Dan apabila Paskah Yahudi itu dirayakan dengan roti tidak beragi, maka dalam ekaristi umat memecah-mecahkan roti, yang secara teologis diimani sebagai tubuh dan darah Kristus. Karena kedatangan Kristus sudah menggenapi Taurat dan Kitab Nabi-nabi, tidak lagi mewajibkan ber-hag ke Yerusalem, melainkan memecah-mecahkan roti dirumah masing-masing (Kis 2:46).

Perlu diketahui, peristiwa nuzulnya Firman Allah menjadi manusia (Kalimatullah al-Mutajjasad) : Kelahiran, Kebangkitan dan miraj-Nya ke Surga, menjiwai seluruh ibadah Kristen ; baik ke tujuh sakramen gereja, khusunya Perjamuan Kudus, maupun Ibadah-Ibadah non-sakramental seperti Shalat Tujuh Waktu.Pembagian waktu shalat ini mula-mula berasal dari pembagian waktu-waktu menurut perhitungan Yahudi kuno. Begitu juga unsur-unsur doa dipanjatkan, kendati dimengerti dalam makna baru yang berpusat pada permenungan atas peristiwa Kristus.

Shalt dan Shalawt dalamKomunitas Kristen Arab dan Islam

Istilah dalam bahasa Arab Shalt berasal dari bahasa Aram Tselta. Ungkapan ini, misalnya dapat dibaca dalam Kis 2:42, teks Peshitta waminin hu be syulfana de shliha we mish-tautfin hwo ba tselta we baqtsaya de eukaristiya Artinya : Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu melaksanakan tselta dan merayakan ekaristi.Dalam bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut kasril khubzi wa Shalawt, maksudnya memecah-mecahkan roti dan doa-doa.

Istilah shalt di negara-negara Timur Tengah digunakan baik oleh umat Islam maupun Kristen, meskipun dalam pemakaiannya kata ini agak berbeda.Dalam Islam memang dibedakan pengertian shalt secara bahasa (lughawi) sebagai doa yang sebaik-baiknya (ad-duau bi al-khair), dan maknanya secara syariah Islam (syari) sebagai doa menurut tertib waktu dan ritual tertentu. Dalam makna demikian, Islam membedakan istilah shalt dengan doa-doa pada umumnya yang bisa dilakukan disembarang waktu.Sedangkan dalam Kristen, kata ini diterapkan baik untuk doa-doa yang dikanonisasikan (Ash-Shalt al-Fardhiyyah) menurut waktu-waktu dan cara tertentu, maupun doa-doa pada umumnya (contohnya : Ash-Shalt ar-Rabbaniyah, Doa Bapa kami)

Dalam Kristen, kata Shalt juga kadang-kadang diterapkan untuk menyebut Al-Qudds (Misa atau Perjamuan Kudus) pada hari-hari perayaan tertentu. Perjamuan Kudus yang biasanya disebut Al-Quddas al-Ilahi, juga disebut shalt Al-Qudds.Sedangkan ibadah-ibadah perayaan, terutama Perayaan Natal (Id al-Mld) dan Perayaan Paskah (Id al-Fashha) juga lazim disebut Shalt al-Id, berbeda dengan Islam, kata Shalt dalam komunitas Kristen dipakai dalam makna lebih luas.Selain kata Shalt ini, dalam bahasa Arab juga acap kali dipakai juga dalam bentuk jamaj shalawt. Kedua bentuk ini sama-sama muncul baik dalam al-Quran, maupun dalam Alkitab berbahasa Arab dan tradisi gereja-gereja Arab

Secara etimologis, perubahan bentuk dari bahasa Suryani/Aram Tselta menjadi bahasa Arab Shalt, bisa dilacak dari proses korespondensi bunyi (the phonetic corespondence).Dalam rumpun bahasa-bahasa semitik, aksara Aram ts sering berubah menjadi aksara Ibrani sy, dan menjadi aksara Arab sh,Misalnya kata dasar Aram Tsela (Dan 6:11) bentuk Ibraninya syalu, sebagaimana kita jumpai dalam dalam ayat : Syalu Syalom Yerusalem, Artinya:Berdoalah untuk keselamatan Yerusalem Alkitab LAI Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem (Mzm 122 :5).P.K. Pilon mencatat ; banyak ahli menduga kata-kata selah, yang sering muncul dalam mazmur-mazmur, mungkin berasal dari akar kata Aram ts-l yang artinya ruku atau membungkuk.

Kalau demikian, mungkin dapat diduga bahwa zaman dahulu, kata ini dimaksudkan sebagai sebuah panggilan untuk ruku di sela-sela pendarasan ayat-ayat mazmur. Kata Aram tselta sendiri, juga berasal dari akar kata yang sama. Jadi nomina tselta dalam bahasa Aram merupakan nomen actionis, yang berarti ruku atau perbuatan membungkukan badan. Karena itu, secara teknis tselta dalam dialek Aram digunakan arti ritus penyembahan.

Dari kata tselta inilah, bahasa Arab kemudian melestarikannya menjadi kata shalt. Istilah shalt ini dipakai baik oleh umat Islam maupun gereja-gereja berbahasa Arab di Timur Tengah, sedangkan kata Suryani tselta dipakai oleh seluruh gereja-gereja Suryani (Gereja Ortohodoz Syria, Gereja Assyria, Gereja Maronit, Gereja Khaldea Kesatuan dan Gereja Katolik Syria), berdampingan dengan kata Arab shalat tersebut sampai sekarang.Ada sedikit perbedaan dalam pemakaian kedua bentuk kata Arab shalat dan shalawat dalam komunitas Muslim dan Kristen berbahasa Arab.

Selanjutnya, Mar Igbatius Yaqub III menekankan bahwa orang-orang Kristen hanya melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa timur lainnya ketika memuju Allah dalam praktek ibadah mereka (tabaan lamma kana yafalahu al-yahud wa ghayrihim f al-syargi f atsna mumara-satihim al-ibadah). Perlu dicatat pula, bahwa pada akhirnya pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh umat Muslim (wa qad iqtabasa al-Muslimin aidhan buduruhum hadza al-naun min al-ibadah). Ritus shalat sebagai ibadah harian pada waktu-waktu yang ditentukan, bukan hal baru dalam tradisi Kristen dan tidak bisa dimonopoli oleh Islam saja.

Iddana Tselta : Waktu-Waktu DoaDari Yudaisme ke Kristenan Mula-Mula

Ketika merealisasikan misi keselamatan Allah di dunia, Kristus memanggil murid-muridnya yang berasal dari bangsa Yahudi. Ketika beribadah di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge, mereka tidak mempunyai cara lain kecuali cara Yahudi.Setelah kenaikan Yesus ke surga, umat Kristen perdana di Yerusalem masih meneruskan kebiasaan Yahudi ini, yaitu sembahyang dengan waktu-waktu tertentu ( Kis 3:1 ; 10:9 ; 10:30). Serentak dengan itu, mereka juga menyadari bahwa kedatangan-Nya, Yesus telah menggenapi hukum Taurat dan Kitab Nabi-Nabi (Mat 5:17)

Dalam konteks situasi seperti itulah, umat Kristen mula-mula melaksanakan ibadah mereka kepada Allah. Dan untuk itu, gereja telah mengambil dari kaum Yahudi tilawah ayat-ayat Mazmur, dan shalat-shalat yang ditentukan pada jam-jam tertentu (wa qad akhadzat badha al-kanais ;an yahud tilawat mazamir wa shalawat muayyanat fi hadzihi as-saah). Fakta bahwa umat Kristen mula-mula berdoa pada jam-jam tertentu, dengan jelas dinyatakan dalam kesaksian kehidupan gereja perdana, seperti tercatat dalam Perjanjian Baru dan tulisan-tulisan bapa-bapa rasuli (the apostolic fathers, murid-murid para rasul) terawal

Umat Kristen mula-mula jelas berakar pada adab keYahudian, sehingga tidak dapat disangkal bahwa mula-mula sekali umat Kristen juga melakukan sembahyang 3 kali dalam sehari (Dan 6:11 ; Mzm 15:18). Mazmur 15:18 dengan jelas mencatat tiga waktu sembahyang Yahudi, yakni pada waktu petang, pagi dan tengah hari. Dalam bahasa Ibrani, tiga waktu sembahyang tersebut adalah : erev we boker we tsohorayim (Arab : masyaan wa shabhan wa dhuran).Dalam kitab-kitab doa Yahudi, waktu petang (erev) sering disebut juga maariv (Arab : Maghrib).

Doa pada waktu senja ini, dalam gereja-gereja berbahasa Arab disebut shalat ghurub (doa waktu matahari tenggelam) atau shalat masya (doa sore hari). Menurut literatur Yahudi, Talmud (Brakot 26b), setelah penghancuran Baitul Maqdis dan zaman pembuangan di Babel, ditetapkan satu waktu doa lagi yaitu doa jam ke-sembilan (sa-at at-yisah). Menurut hitungan waktu Yahudi, doa ini dilakukan kira-kira jam tiga petang (sejajar dengan waktu Asyar dalam Islam). Dalam bahasa Ibrani, sembahyang ini disebut minhah (korban petang). Sembahyang Minhah inilah yang disebut dalam Kis 3:1,dan dibedakan dengan waktu maariv yang disebutkan dalam Ezr 9:5 ; Dan 9:21 ; Mzm 141:2.

Menurut sejarahwan Yahudi Flavius Josephus, penetapan sembahyang Minhah merupakan reinterpretasi dari frasa antara kedua waktu petang yang disebut Yubelium 49:1. 10-12. yaitu sebuah sumber ekstrakanonik Yahudi ini, Kis 3:1 mencatat kebiasaan Kristen mula-mula, yang sering dengan jelas mengenal waktu sembahyangSebagaimana umat Kristen mewarisi batu-batu pondasi ritus umat Allah sebelumnya, tetapi menafsirkannya dalam terang kedatangan Yesus sebagai Mesiah, maka waktu-waktu doa Yahudi itu dipelihara, akan tetapi dengan penghayatan tersendiri yang berpusat pada Kristus (Christocentris) khususnya merujuk kepada kurban akbar-Nya di Kalvari.

Waktu-waktu sembahyang ini dalam gereja purba ditentukan berdasarkan pembagian waktu sehari menurut sitem Ibrani kuno. Berbeda dengan waktu modern yang dimulai pagi hari, perhitungan waktu Ibrani dimulai dari sore hari, kira-kira saat setelah matahari terbenam. Lalu 12 jam pada siang hari-nya, yang dihitung pertiga jam. Dalam bahasa Ibrani, mulai dari: syaah ha-ehad jam pertama (sejajar dengan pukul 06.00 pagi), syaah ha-syelisit jam ketiga (sejajar dengan jam 09.00 pagi), syaah syisyit jam keenam (sejajar dengan pukul 12.00 siang), dan syaah ha-tesiit jam kesembilan (sejajar dengan pukul 15.00 petang).

Berdasarkan perhitungan waktu seperti itulah, Kisah Rasu-rasul mencatat bagaiman para rasul dan umat Kristen mula-mula dengan setia menunaikan waktu-waktu sembahyang. Dalam Alkitab bahasa Indonesia (LAI 1974), penyebutan waktu-waktu ini sudah disesuaikan dengan perhitungan waktu modern. Misalnya, Kis 3:1 mencatat : Pada suatu hari menjelang sembahyang, yaitu jam ke sembilan (epiten hooran tes prsekees ten ennaten), naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah untuk berdoa, Kis 2 :1-5 mencatat pula bahwa pada hari Pentakosta (Ibrani : hag hasy syavuot) Roh Kudus turun saat mereka yang berkumpu pada jam ke tiga (estin gar hoora tritee tes emeras).Petrus dan Silas dikisahkan juga mempunyai kebiasaan berdoa pada tengah malam (shalt al-lail), sebagaimana dilakukan nabi-nabi pada zaman dulu ( Mzm 119:62 ; Kis 16:25).

Rujukan paling dini mengenai kebiasaan sembahyang harian ini, bisa dibaca dalam kitab Didache (tahun 95 M) yang menganjurkan agar dalam sembahyang kita doa Bapa Kami dibaca 3 kali dalam sehari. Tiga kali sehari ini jelas masih menunjuk waktu-waktu sembahyang Yahudi, dimana gerja mula-mula berasal.Klemens ar-Rumani, salah seorang murid Rasul Petrus yang menjadi uskup Roma (yang namanya juga disebut Rasul Petrus dalam Filipi 4:3), tahun 90 Masehi menulis surat kepada orang-orang Kristen di Roma : Kebangkitan Rohani kita adalah dengan melaksanakan ibadah harian pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.

Selain itu, kita juga membaca karya kuno lain, antara lain ditulis Klemens al-Iskandari (tahun 150-215 Masehi), dalam satu suratnya menyebut: waktu-waktu yang ditetapkan para bapa gereja kita, yang kita pelihara dengan melaksanakannya secara rutin dari hari ke hari.Sesungguhpun kita boleh bersyukur kepada Allah, tulis Basilius al-Kabir setiap waktu. Kita tidak boleh melalaikan waktu-waktu doa yang telah ditetapkan rasul-rasul di Yerusalem.

Hampir semua bapa-bapa gereja, baik di barat maupun di timur, mereka menulis pentingnya ibadah harian ini. Di gereja wilayah timur, misalnya Mar Yuhanna Dahabi al-fam/Yohanes Chrystomos (354-420), dan di gereja wilayah barat dapat disebut St. Agustinus (340-420).Refrensi terlengkap tentang sembahyang harian, lengkap dengan makna teologis masing-masing waktu, dijumpai dalam sebuah dokumen kuno al-Dasquiliyah : Taalm ar-Rusul (Latin: Didascalia Apostolorum, Konstitusi Rasuli), yang editing terdininya telah rampung dikerjakan oleh Hypolitus tahun 215 M.

Dari Yerusalem ke Timur : MaknaTeologis Perubahan Kiblat

Sejak zaman dahulu hingga kini seluruh umat Yahudi berdoa dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Ibrani: Beyt ham-Migdash), di Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci Israel mempunyai arah kiblat (Ibrani: mizrah) ke Yerusalem.Alkitab mencatat kebiasaan berdoa nabi Daniel (Dan 6:11) yang berkibkat ..ke arah Yerusalem, tiga kali ia berlutut dengan kakinya berdoa (Aram: negel Yerusyalem, we zimnin talatah beyyoma hu barek al birkohi ume tsela). Kebiasaan ini diikuti oleh umat Kristen mula-mula, sampai kehancuran kota Yerusalem tahun 70 Masehi.

Setelah kehancuran Bait Allah, kemanakah umat Tuhan menghadap muka untuk menyembah-Nya? Umat Yahudi tetap berkiblat ke sana hingga sekarang, sambil meratapi ke arah tembok sebelah Bait Allah yang masih tersisa (Arab: Haithun al-Mubakka/ Tembok Ratapan). Tetapi umat Kristiani teringat pada sabda Yesus yang memang sudah me nubuatkan kehancuran Bait Allah itu (Mrk 13:1-2) .saatnya akan tiba, kata Yesus kepada wanita samaria di sumur Yakub, kamu akan menyembah Bapa, bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem (Yoh 4:21)

Berdasarkan refleksi mendalam yang diterangi Roh Kudus, umat beriman mulai berpikir Yesus sendirilah kiblat yang sejati. Mengapa? Karena tubuh kebangkitan-Nya telah menjadi shekinah (tempat kehadiran) Allah, untuk menggantikan Bait Allah yang fana itu (Yoh 2:19-21). Tetapi dimanakah sekarang Kristus? Ia sudah terangkat ke surga, dan duduk disebelah kanan Allah (Kol 3:1).Pergumulan ini akhirnya mengantarkan mereka menemukan kembali kiasan kuno mengenai firdaus: di sebelah timur (Kej 2:8). Mereka juga menemukan bahwa tempat kudus di Baitul maqdis, kiblat mereka dahulu waktu menyembah, yang ternyata juga menghadap ke timur (Yeh 44:1), sungguh Kemuliaan Allah Israel datang dari sebelah timur (Yeh 43:2).

Pada akhirnya, umat Kristen perdana itu melaksanakan ibadah mereka dengan mencontoh langsung pola peribadatan Baitu Maqdis yang menghadap ke timur. Mereka tidak lagi mengikuti pola ibadah sinagoge-sinagoge yang menghadap ke Baitul Maqdis, dengan penghayatan yang bersifat Kristosentris.

Makna Teologis Shalat Tujuh Waktu

L.E. Philips, berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa umat Kristen paling awal sudah melaksanakan ibadah-ibadah harian pada waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah malam.P.T. OBrien dalam Prayer in Luke-Acts, lebih terperinci lagi, menurut OBrien waktu tsohorayim (tengah hari) menurut Mzm 55:18, yang tetapi tidak masuk dalam doa Yahudi waktu itu dan waktu tengah malam ditambahkan ke dalam waktu-waktu sembahyang Yahudi. Jadi selain 3 waktu sembahyang Yahudi: saharit (subuh), minchah (asyar) dan maariv (maghrib), umat Kristen mula-mula juga mengenal sembahyang tengah hari dan tengah malam.

Bagaimanakah deskripsi waktu-waktu shalat, makna dan urut-urutannya, menurut sumber-sumber gereja-gereja purba sendiri, khususnya Gereja Orthodoks Syria? Menurut Mar Gregorius Yuhanna Ibn al-Ibri, dalam bukunya Al-Itsiqun (The Ethicon), kanonisasi tujuh waktu shalat ini merupakan penggenapan Mazmur 119:164.Tujuh waktu sembahyang tersebut, sesuai dengan urutan-urutannya :

1. Shalt al-Masa atau al-Ghurub (shalat maghrib)2. Shalt al-Naum (shalat malam)3. Shalt Nishfu al-lail (shalat tengah malam)4. Shalt Subuh (shalat subuh)5. Shalt Saat ats-Tsalitsah (shalat jam ketiga)6. Shalt Saat as- Sadisah (shalat jam keenam)7. Shalt Saat At- Tsiah (shalat jam kesembilan)

Mengapa waktu-waktu sembahyang diawali dari waktu terbenamnya matahari? Menurut Mar Yaqub al-Barthila, dalam bukunya Al-Mausum al-Kanuz, penentuan waktu maghrib sebagai permulaan waktu sembahyang didasarkan atas tradisi eklesiastikal (Arab: thuqs) Gereja Ortodoks Syria yang mengikuti kebiasaan Yahudi pada zaman rasul-rasul Kristus.Urutan ini pula yang diikuti oleh dokumen gereja kuno, At-Taalm al-Rusul (Didascalia) BabXXXVII, mengenai Auqt Shalt (waktu-waktu sembahyang).

Menurut tradisi ritus Gereja Syria tersebut, setelah shalt maghrib, shalt naum, shalt nishfu lail, dan shalt subuh, ketiga waktu sembahyang terakhir disebut shalawt as-saah yaitu (saat ats-tsalitsah, saat as-sadisah, dan saat at-tasi-ah).Hal ini agak berbeda dengan ritus Ortodoks Koptik yang memasukan sembahyang subuh sebagai shalat saah al-awwal (shalat jam pertama). Jadi kalau tradisi Syria memasukan shalat ini sebagai urutan terakhir dalam 12 jam paro waktu siangnya.

Salah satu sebab, mungkin pelaksanaan waktu sembahyang ini di biara-biara Koptik lebih lambat, sehingga mereka menyebutnya Shalat Bakir atau sembahyang waktu bangun tidur.Sedangkan dalam Taalim ar-Rusul (The Arabic Didascalia), perhitungan waktu awalnya justru mulai dari shalat al-Naum (sembahyang malam), seperti disebutkan dalam Bab XXXVII sebagai berikut : ..mengenai pembagian waktu-waktu untuk Shalat, yakni: diawali pada malam menjelang tidur (awwala al-laili inda al-naum), dan pada waktu tengah malam (nishfu al-lail), lalu awal waktu hari siangnya: jam ketiga (tsalitsu saah), jam keenam (sdisu saah), jam kesembilan (tsiu saah) dan sore hari (al-masa).

Tetapi perbedaan-perbedaan kecil ini, sama sekali tidak mengurangi makna teologis waktu-waktu shalat, yang terutama berdasarkan penghayatan mendalam gereja mula-mula atas Jalan salib-Nya. Dalam makna Kristosenris itulah, gereja-gereja purba memberikan makna ketujuh ibadah harian ini.Dibawah ini kutipan waktu-waktu shalat dan maknanya berdasarkan sumber Gereja Ortodks Syria, yang akan dibandingkan disana-sini dengan sumber gereja-gereja lain, baik sumber ortodoks maupun katolik ;

Shalt Maghrib(Shalt al-Ghurub)

Shalat ini pada saat bersamaan dengan matahari terbenam, kira-kira pukul 06.00 petang ; untuk kita bersyukur kepada Allah, yang telah memberikan waktu malam kepada kita untuk beristirahat setelah kita bekerja (li nasykurillahi alladzi athina al-layli li nastarii fihi min atabi al-nahari).

Menurut Agabia Gereja Ortodoks Koptik, sembahyang yang meneruskan kebiasaan doa Maariv Yahudi ini, juga untuk mengingatkan kita diturunkannya tubuh Kristus dari kayu salib, dikafani dan dibaringkan serta diberinya wewangian (tadzkarn li nuzli jasad as-Sayid al-Mash min ala ash-shalb wa takfiyanihi wa wadhau al-hanuth alaihi). Sembahyang ini di Gereja Katolik dikenal dengan Verpers atau ibadah sore.

Shalt Waktu Tidur(Shalt an-Naum)

Waktu shalat ini setelah berlalunya waktu maghrib, kira-kira sejajar dengan shalat Isya dalam Islam. Dengan bersembahyang waktu naum, kita memohon perlindungan Allah dari kejahatan kegelapan, supaya dipelihara tidur kita pada waktu malam, dan dapat bangun kembali laksana di alam keabadian (raqadna masaa fa satayaqna fi alam al-abdiyah).

Maksudnya, pada jam ini gereja mengajak kita untuk mengingat berbaringnya tubuh Kristus dalam kubur (Rutibat tadzkrn liwadhii as-sayid al-Mash fi al-qubri). Bukan hanya waktu ini ditentukan untuk istirahat kita, tetapi supaya dengan tidur kita untuk mengingat kematian, dan dengan mengingat kematian kita mengingat Allah, karena sesungguhnya saat tidur adalah laksana kematian kecil (f nahrihi, bi itibri anna al-nama huwa al-mauti ash-shagh). Dalam gereja Katolik Roma, waktu ini disebut Vigil (Latin: Vigilae, tirakatan).

Shalt Tengah Malam(Shalt Nishfu al-Lail)

Sembahyang tengah malam ini didalam gereja-gereja kuno disebut dengan berbagai nama. Selain disebut Shalat Nishfu al-Lail (Shalat tengah malam), ada yang menyebut Shalat saat Hajib Dhulmat (Shalat berjaga waktu malam). Waktu tengah malam sangat penting, karena mengajarkan kepada kita agar kita selalu berjaga dan berdoa untuk dilepaskan dari kejahatan iblis dan bala tentaranya (li yalimina an nushari wa nushali da iman li najji min asy-syirir wa junudihi).

Karena itu, sembahyang ini dalam bahasa Suryani disebut ; tselota shahra (sembahyang waktu berjaga). Karena lebih dari itu, kita harus senantiasa berjaga-jaga, sebab Yesus akan datang sewaktu-waktu. Lihatlah! kata Yesus dalam Why 16:15, Aku datang seperti pencuri, Berbahagialah ia yang berjaga-jaga. Rasul-rasul mempunyai kebiasaan berdoa tengah malam (Kis 16:25).Pada masa sekarang, wa huwa khshatun bi al-Asqifat wa al-kahanat wa ar-Ruhbn (shalat ini khususnya dilaksanakan oleh Episkop (Uskup), Abuna (Romo), atau Pendeta, dan para Rahib (Biarawan)

Shalt Subuh(Shalt As-Subuh)

Di Gereja Ortodoks Koptik lebih dikenal dengan Shalat Bkir, ada pula yang menyebut Shalat Saah al-Awwal (Sembahyang jam pertama). Waktu sembahyang adalah saat fajar menyingsing, kira-kira pukul 05.00-06.00 pagi menurut waktu kita.Sebelum Kristus, dalam Perjanjian Lama sembahyang ini disebut dalam bahasa Ibrani: Saharit (Mzm 5:4-7), sedangkan sampai sekarang dalam Gereja Katolik lebih dikenal dengan Laudes Matutinae (pujian pagi).

Shalat ini untuk mengingat dimana Tuhan kita Yesus Kristus Bangkit dari kematian. Itulah doa pada waktu pagi ketika kita bangun dari tidur untuk mengucap syukur kepada Allah karena Ia sedah mengaruniakan hari baru bagi kita, dan untuk memuliakan kebangkitan Kristus (Rutibat tadzkarn lis sati llat qma fha al-Masih min baina al-amwt. Tutal al-qiyam min al-nam syukrn li llahi li badi hayati al-nahri al-jadd wa tamajidn ala qiymatihi).

Shalt Jam Ketiga(Shalt As-Sat Ats- Tslitsah)

Waktu sembahyang ini kira-kira sejajar dengan pukul 09.00 pagi menurut waktu kita, atau sebanding dengan Shalat Dhuha; dalam Islam.Kita sembahyang pada jam ketiga, karena pada jam ini Pontius Pilatus telah menjatuhkan hukuman kepada Kristus (Fnmitsali hadzihi as-sati hakama Bilthus ala As-Sayid al-Mash) Mrk 15:25. Pada jam sembahyang ini, kita juga merefleksikan makna penderitaan Kristus, dan mengucap syukur karena Yesus sudah menggantikan kita, yang semestinya kita sendiri yang harus menanggungnya pada hari pengadilan akhirah (yaum ad-dn).

Selain itu, Pada jam ini juga Roh Kudus telah turun atas para murid Yesus yang suci (wa aidhan f mitsali hadzihi as-sati hala ar-Rh al-Quddus ala at-talmid ath-thhr). Dan turunnya Roh Kudus ini, menurut Alkitab dan catatan sejarah gereja Purba, juga menandai berdirinya gereja Kristus pertama Yerusalem (Kis 2:1-15),Gereja Kristus adalah Israel sejati, yaitu penggenapan umat Allah yang baru.

Shalt Jam Kesembilan(Shalt As-Sat At-Tsiah)

Menurut Injil, tepat pada jam kesembilan, yang kira-kira sejajar jam 3 petang ini Yesus menyerahkan nyawa-Nya (Mrk 15:33). Sebagaimana kematian-Nya memberikan Kaffarat (penebusan) bagi setiap orang yang beriman, sebagai orang-orang tebusan-Nya kita memohon agar nantinya Dia mengumpulkan kita bersama kematian kaum mukminin di jalan kaum yang duduk disebelah kanan-Nya (yandhamna maa amwatina al-Muminina fi salaki ashhabi al-janibi al-yamin).Pada waktu itu juga seorang pencuri yang berada disebelah kanan-Nya memohon supaya Yesus kelak mengingatnya di kerajaan-Nya, dan Kristus lalu memberikan keselamatn kepadanya (wa fiha saala al-lashshu al-yaminu an yadzkurahu fi malakutihi, fa athihu al-kalashu saalahu).Pada jam shalat ini, sebagaimana Ia telah mengampuni pencuri itu, maka kitapun sebagai orang berdosa memohon rahmat dan ampunan-Nya. Rasul- rasul Kristus dengan tekun mengikuti sembahyang yang dikenal orang Yahudi sembahyang minhah ini (Kis 3:1 ; 10:30).

Dalam hal ini, gereja perdana memberikan makna baruatas sembahyang yang sudah dikenal sebelumnya ini. Selain mencatat kematian-Nya tepat pada sembahyang kurban petang Yahudi (minhah) ini, Injil juga mencatat sabda Kristus; Sesudah mengatakan demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya. Maka terbelahlah tirai Baitul Maqdis (wa lamma qala hadza aslama ar-ruh, faa ansyaqa hijab al-haykali min wasathah). Terbelahnya tirai Bait Allah ini menandakan sudah tergenapi syariat kurban dengan kematian Syahid-Nya.

De Liturgia Horanum :Dari Ritus Gereja Latin Hingga Reformasi Protestan

Sejarah mencatat, bahwa seluruh gereja purba mula-mula memelihara waktu-waktu sembahyang, terutama dipertahnkan di biara-biara, dan menganjurkan kepada umat awam untuk melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak seperti agama Yahudi, Kekristenan bukanlah agama yuridis, sehingga konsep ibadah harian ini bukan semata-mata dipandang sebagai kewajiban secara syari, melainkan pelaksanaannya lebih didorong oleh keinsyafan batin, sebagai ucapan syukur karena penebusan Allah melalui pengurbanan Putra-Nya.

Karena itu, sesuai dengan keyakinan Kristen bahwa keselamatan manusia bukan semat-mata karena amal, melainkan karena kasih karunia Ilahi yang mendahului perbuatan baik, maka ibadah-ibadah harian ini bukan menjadi pusat dalam ibadah Kristen.Puncak ibadah Kristen adalah Quddas al-Ilahi atau Perjamuan Kudus, dimana melalui tubuh dan darah suci Kristus kita dilibatkan dalam kehidupan ilahi-Nya yang kekal. Karena keselamatan itu dikerjakan Yesus melalui Jalan Sengsara-Nya, maka ibadah-ibadah harian ini merupakan refleksi umat Allah secara terus menerus untuk selalu mengingat pengurbanan Kristus bagi kita.

Dalam pemahaman inilah seluruh gereja-gereja purba mengenalkan Sabu ash-Shalawat (Sembahyang Tujuh Waktu). Tak terkecuali Gereja Katolik di Barat dan juga Gereja Protestan pada perkembangan awalnya.Dalam bahasa Latin, penyebutan waktu-waktu sembahyang juga mengikuti tradisi Yahudi kuno: Laudes, Hora Tertia, Hora Sexta, Hora Nona, Verper, Vigil dan Completorium (waktu Pagi, Jam Ketiga, Jam Keenam, Jam Kesembilan, Senja, Malam dan Penutup).Namun tuntutan hidup modern, penyesuaian demi penyesuaian terus dilakukan oleh Gereja Katolik.

Perubahan-perubahan itu terus dilakukan dengan seizin Paus, misalnya dilakukan zaman Paus Pius V, Paus Sixtus V, Paus Klement VIII, Paus Urbanus VIII, Paus Klement IX, yang akhirnya tinggal 2 waktu yang ditekankan: Laudes (pagi) dan Vesper (sore).Pada waktu Reformasi Martin Luther terjadi pada waktu Gereja Katokik mengintruksikan kedua waktu sembahyang itu. Karena itu Martin Luther masih mengikuti kedua ibadah harian ini dalam bukunya The Small Cathechism. Kendatipun demikian Martin Luther mengikuti kedua waktu sembahyang ini dengan beberapa revisi, tetapi banyak adab berdoa kuno masih dipertahankan, misalnya membuat tanda salib yang dikenal seluruh gereja zaman kuno, yang sudah hilang dari aliran-aliran gereja kontemporer sekarang.

Pengaruh Liberalisme dan Individualisme sunguh-sungguh sulit dielak-kan di Barat, yang kemunculannya berbarengan dengan era Reformasi. Salah satu dampaknya, bukan hanya menolak warisan ibadah gereja-gerja kuno itu, tetapi juga ada kecenderungan untuk menolak kata-kata dalam doa tersebut yang dikuduskan oleh pola ibadah gereja sepanjang abad.Inilah yang disesalkan oleh E.H. van Olst seorang teolog Calvinis dari Belanda.

Menurut E.H. van Olst, hal ini salah satunya disebabkan karena para reformator sendiri tidak menguasai tradisi gereja purba dan sejarah liturgi dengan baik. Dari ketiga reformator awal, dapat kita catat bahwa Zwingli adalah orang pertama yang melangkah jauh, sampai-sampai simbol-simbol sebagai ekspresi ibadah otentik selama ratusan tahun dibuangnya.

Akibatnya, postur-postur badaniah dalam ibadah yang terbukti mempunyai kesinambungan historis tanpa putus sejak zaman rasuli dihilangkan, dan simbol-simbol lain ditekankan dalam taraf yang sangat minim. Dari fakta ini dapat dipahami, diperkenalkannya bentuk ibadah Kekristenan yang berbasis budaya Timur Tengah ini di Indonesia, bukan hanya aneh di mata umat Islam yang selama ini berinteraksi dengan gereja-gereja Barat, tetapi malahan juga dipandang dengan mata curiga oleh orang-orang Kristen sendiri, karena jarak kultural dalam rentangan sejarah perkembangan yang panjang itu.

Banjarmasin, 23 Januari 2009.

Sumber :Institute for Syriac Christian StudiesBambang Noorsena, SH, MA(Sejarah dan Makna Teologis Shalat Tujuh Waktu dan Pararelisasinya Dengan Islam)E.H. van Olst, Alkitab dan Liturgi(Jakarta, BPK Gunung Mulia 1996)Marthen Luther Small Catechism VII:1