Sesi i Coal Shipment & Logistics

download Sesi i Coal Shipment & Logistics

of 22

Transcript of Sesi i Coal Shipment & Logistics

COAL SHIPMENT & LOGISTICS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM BERBAGAI KETENTUAN YANG ADA PADA PRAKTEK PERDAGANGAN DI INDONESIA DAN INTERNASIONAL

OLEH

DR. CHANDRA MOTIK YUSUF DJEMAT, SH., MSc.

Kursus Intensif Hukum Pertambangan Angkatan IV (KIHP IV)

Energy & Mining Law Institute (EMLI) Ruang Sonokeling Gedung Manggala Wanabhakti Jakarta

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT DALAM BERBAGAI KETENTUAN YANG ADA PADA PRAKTEK PERDAGANGAN DI INDONESIA DAN INTERNASIONAL Oleh : DR. Chandra Motik Yusuf, SH., MSc.

Indonesia sebagai negara yang terletak di khatulistiwa mempunyai posisi yang strategis karena terletak diantara dua benua dan dua samudera yakni benua Asia dan Australia serta Samudera Indonesia dan Pasifik dan karena luas perairannya lebih besar dibandingkan dan Pasifik dan karena luas perairannya lebih besar dibandingkan dengan luas daratannya menjadi perairan Indonesia sebagai wilayah yang selalu dilalui oleh kapal-kapal yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Karena posisi dari negara Indonesia yang amat menguntungkan tersebut tumbuhlah beberapa jenis usaha dan yang terutama sekali adalah pengangkut. ARTI PENGANGKUT Menurut Kitab Undang - Undang Hukum Dagang Pasal 466 Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan, baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya atau sebagian melalui lautan. Sedangkan menurut The Hague Rules 1924, pengangkut adalah termasuk pemilik kapal atau pihak charterer yang menukar kontrak pengangkutan dengan pengirim. Adapun menurut Hamburg Rules 1978 membedakan antara Pengangkut dan pengangkut yang sesungguhnya yakni :

Pasal 1 1. Pengangkut adalah setiap orang oleh siapa atau dalam nama siapa kontrak pengangkutan barang lewat laut telah dibuat dengan pengirim. 2. Pengangkut yang sesungguhnya berarti setiap orang kepada siapa

penyelenggaraan pengangkutan barang atau sebagian dari pengangkutan telah

dipercayakan oleh pengangkut, dan termasuk dalam mana setiap orang lain, kepada siapa penyelenggaraan tersebut telah dipercayakan.

Satu

definisi

lagi

yang

juga

penting

mengenai

pengangkut

dari

Intenasional/national practice (Bill of Lading) yakni, pengangkut termasuk pula pemilik dan agen dari pengangkut tersebut.

MASA TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia Pasal 468 KUHD : Persetujuan pengangkutan mewajibkan si pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkatnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang tersebut. Sedang menurut The Hague Rules Pasal 1 e, pengangkutan barang meliputi jangka waktu mulai dari waktu barang-barang dimuat diatas kapal hingga pada waktu dibongkar dari kapal (tackle to tackle).

Dalam The Hamburg Rules 1978 mengenai pertanggungan jawab pengangkut dirumuskan lebih terinci. Hal ini dapat dilihat dalam article 4 (Period of responsibility). Jadi menurut pasal ini, pertanggungan jawab pengangkut adalah pada saat barang - barang ada di bawah penguasaannya, yaitu di pelabuhan muatan, selama berlangsungnya pengangkutan sampai di pelabuhan

pembongkaran. Atau dapat ditafsirkan bahwa pertanggungan jawab pengangkut adalah pada saat barang-barang ada di bawah penguasaan pengangkut sampai pada saat barang-barang itu diserahkan kepada consignee. Adapun yang dimaksudkan dengan consignee itu adalah mereka yang punya hak untuk diserahkannya barang - barang padanya (consignee means any person entitled to take delivery of the goods).

Selanjutnya article 4 ayat 2 dari The Hamburg Rules 1978 menetapkan tentang sejak kapan barang berada di dalam penguasaan pengangkut sehubungan

dengan article 4 ayat 1 tersebut, yaitu barang berada (dianggap berada) dalam penguasaan pengangkut:

1.

Sejak barang diterima/diserahkan kepadanya oleh : a. b. Pengirim atau orang lain yang bertindak atau namanya atau Seseorang yang berwenang atau orang lain yang diperlukan terhadapnya hukum atau aturan dimana barang harus diserahkan.

2.

Sampai saat barang diserahkan : a. b. Kepada consignee (penerima) atau Dalam hal dimana consignee tidak menerima barang dari pengangkut, maka sebagai gantinya dalam hubungannya dengan perjanjian atau berdasar atas hukum atau atas dasar kebiasaan dalam dunia perdagangan (perniagaan) yang berlaku di tempat pelabuhan barang-barang

dibongkar, atau c. Diserahkannya barang-barang kepada yang berwenang/siapa yang berhak atau kepada pihak ketiga berdasarkan hukum atau ketentuan yang berlaku ditempat pelabuhan.

Dengan ketentuan demikian ini jelaslah, bahwa masa tanggung jawab pengangkut (period of responsibility of the carrier) dalam The Hamburg Rules 1978 adalah lebih nyata dan memberi tanggung jawab yang besar terhadap pengangkut.

Masa tanggung jawab Pengangkut menurut International/ National Practices adalah : B/L ke dan dari Indonesia Eropa B/L ke dan dari Indonesia Amerika B/L ke dan dari Indonesia Jepang B/L ke dan dari Indonesia Australia Untuk tiap-tiap B/L = The Hague Rules = tackle to tackle + delivery = The Hague Rules = The Hague Rules = jo masing-masing peraturan

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

A.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Tanggung jawab pengangkut menurut KUHD (pasal 468) adalah untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus ia angkut serta selanjutnya adalah menjadi tanggung jawabnya, apabila barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak dapat diserahkan atau menjadi rusak.

Dalam pasal 477 KUHD, ditetapkan bahwa pengangkut juga bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena terlambat diserahkannya barang yang diangkut. Juga ditentukan bahwa pengangkut bebas dari tanggung jawab sebagai demikian itu, apabila dapat dibuktikan oleh pengangkut, bahwa hal-hal itu disebabkan karena bahaya yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarkannya.

Khusus terhadap rusaknya ia bebas dari tanggung jawab apabila pengangkut dapat membuktikan, bahwa rusaknya itu disebabkan karena cacatnya barang atau karena kesalahan si pengirim (lihat pasal 91 jo 468 KUHD).

B.

Menurut Hague Rules, 1924

Dengan memperhatikan article 3 dari The Hague Rules mengenai kewajibankewajiban pengangkut pada sebelum dan pada awal pelayaran ditetapkan, bahwa pengangkut diharuskan meneliti secermat-cermatnya tentang :

1.

Kapal harus layak laut, layak laut dalam hal ini harus diartikan secara luas, yaitu kondisi kapal harus memenuhi segala syarat untuk menyelenggarakan pengangkutan di laut secara baik dan aman.

2.

Kapal harus diawaki, diperlengkapi dan diberi persediaan sebagaimana mestinya.

3.

Membuat palka, kamar-kamar pendingin dan semua bagian lain dari kapal tempat barang-barang yang akan diangkut, siap dan aman untuk menerima, mengangkut dan menyiapkan barang-barang tersebut.

Selanjutnya The Hague Rules tidak mengatur secara tegas tanggung jawab pengangkut (yang secara tegas dikemukakan adalah hal-hal mengenai pengangkut yang bebas dari tanggung jawab, yakni di dalam article 4 yang menyatakan : Pengangkutan dapat dibebaskan dari kewajiban dan tanggung jawab setelah dapat membuktikan bahwa pengangkut telah melakukan usahausaha yang sewajarnya untuk menghindari terjadinya kerusakan dan kehilangan barang).

C.

Menurut Hamburg Rules, 1978

The Hamburg Rules 1978 dalam hubungannya dengan tanggung jawab pengangkut menetapkan dengan tegas, bahwa pengangkut bertanggung jawab atas akibat dari hilang dan rusaknya barang, bahkan diperluas lagi dengan tanggung jawab atas keterlambatan penyerahan barang barang ( jika hal itu terjadi sepanjang barang - barang itu ada di dalam penguasaan pengangkut ). Ini berarti bahwa kalau terjadi kelambatan penyerahan barang misalnya oleh pengangkut, maka pihak pengangkutlah yang harus membuktikan tentang ketidaksalahannya apabila terjadi tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh karena lambatnya penyerahan barang tersebut (juga keadaan demikian itu dapat pula terjadi dalam hal barang itu hilang ataupun barang itu rusak).

Dengan demikian, sesuai pengertian pengangkut yang oleh The Hamburg Rules 1978 dibedakan antara carrier (pengangkut) dan actual carrier (pengangkut sesungguhnya), maka The Hamburg Rules juga mengatur tentang tanggung jawab untuk masing-masng pengangkut, yaitu carrier dan actual carrier (hal ini sama sekali tidak disinggung di dalam The Hague Rules).

Kalau kita memperhatikan pada article 10 (1) dari The Hamburg Rules yang menetapkan suatu prinsip yang tegas, yaitu bahwa meskipun sebagian atau seluruh pelaksanaan pengangkutan (carrier) telah dipercayakan kepada pengangkut sesungguhnyna (actual carrier), namun carrier (pengangkut) masih tetap bertanggung jawab terhadap seluruh pelaksanaan pengangkutan.

Selanjutnya article 10 memberikan ketentuan yang lebih tegas lagi, yaiu carrier (pengangkut) tetap bertanggung jawab sehubungan dengan pengangkutan di laut yang dilaksanakan actual carrier (pengangkut sesungguhnya) untuk perbuatan-perbuatan dan kealpaan yang dilakukan oleh actual carrier dari buruh - buruh dan agen-agennya selama dalam lingkungan pekerjaannya.

Yang penting harus diperhatikan adalah bahwa bagi actual carrier berlakulah seluruh ketentuan-ketentuan yang mengatur pertanggungan jawab carrier terhadap pengangkutan yang ia lakukan dalam konvensi tersebut.

Tanggung jawab pengangkut menurut Internasional dan B/L pada dasarnya menunjuk The Hague Rules.

KEKEBALAN PENGANGKUT

Di dalam Hague Rules, pengangkut maupun kapal tidak bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang terjadi atau diakibatkan oleh :

1.

Tindakan, tidak waspada atau kelalaian Nakhoda, anak buah kapal, pandu atau orang-orangnya pengangkut dalam hal navigasi atau dalam pengusahaan kapal;

2.

Kebakaran, kecuali benar-benar disebabkan kesalahan atau sepengetahuan pengangkut;

3.

Bahaya, malapetaka dan kecelakaan lautan atau perairan pelayaran lainnya;

4. 5. 6. 7.

Kejadian diluar kekuasaan manusia; Tindakan perang; Tindakan permusuhan dari masyarakat; Penangkapan atau penahanan oleh raja, Pemerintah, atau rakyat, ataupun penyitaan menurut kami;

8. 9.

Pembatasan karantina; Tindakan atau kealpaan pengirim atau pemilik barang, agennya atau kuasanya;

10.

Pemogokan atau penutupan perusahaan atau pemberhentian atau perintangan pekerjaan oleh sebab apapun, baik sebagian maupun seumumnya;

11. 12. 13.

Kerusuhan atau pemberontakan; Menyelamatkan atau mencoba menyelamatkan jiwa atau harta benda di lautan; Susut isi atau berat barang atau setiap kerugian atau kerusakan yang terjadi sebagai akibat dari cacat, kualitas atau sifat barang itu;

14. 15. 16.

Pembungkus yang tidak baik; Merek-merek yang tidak jelas atau tidak tahan lama; Cacat yang tersembunyi yang tidak dapat dijumpai dengan pengamatan yang sewajarnya;

17.

Setiap sebab lainnya yang terjadi diluar kesalahan dan pengetahuan pengangkut dan di luar kesalahan atau kelalaian agen-agen atau orangorangnya pengangkut, tapi keharusan untuk pembuktian terletak pada pihak yang mempergunakan pengecualian ini untuk menunjukkan bahwa tidak ada kesalahan atau kelalaian agen-agen atau roang-orang pengangkut yang turut mengakibatkan kerugian atau kerusakan tersebut.

Menurut Hamburg Rules, pengangkut tidak bertanggung jawab dalam hal terjadi kebakaran di atas kapal dan berakibat terhadap barang-barang tersebut.

BATAS-BATAS JUMLAH GANTI RUGI YANG MENJADI TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

A. Menurut Kitab Undang - Undang Hukum Dagang

Meskipun pada prinsipnya pengangkut tidak diperbolehkan untuk membatasi tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kelalaian/kesalahannya, tetapi pasal 470 KUHD di dalam ayat 1 dan 2 memperkenankan apabila hal itu diperjanjikan, maka si pengangkut tidak akan bertanggung jawab :

1.

Untuk lebih dari suatu jumlah tertentu untuk setiap barang yang diangkutnya, kecuali apabila kepadanya diberitahukan tentang sifat dan harga barang tersebut sebelum atau pada waktu barang itu diterimanya. Jumlah itu tidak boleh lebih rendah dari Rp. 600,-

2.

Apabila sifat dan harga barang tersebut dengan sengaja diberitahukan secara tidak benar kepadanya, maka pengangkut dibebaskan dari pemberian ganti kerugian (pasal 470 KUHD).

Bila pengangkut itu adalah pengusaha kapal itu sendiri, maka sesuai dengan pasal 474 KUHD, tanggung jawab pengangkut sebagai demikian itu tentang kerugian yang ditimbulkan kepada barang-barang yang diangkut adalah terbatas sampai jumlah Rp. 50 per m bersih kapal ditambah sekedar mengenai kapal-kapal yang digerakkan dengan tenaga mesin (untuk menentukan isi tersebut, harus dikurangi dari isi kotor untuk ruangan yang diperlukan oleh tenaga penggerak).

Bila kerugian itu disebabkan, karena kesengajaan atau kesalahan berat dari pihak pengangkut, maka berdasarkan pasal 476 KUHD, pengangkut dapat dituntut penggantian kerugian terhadap seluruh kerugian. Karena baik dilihat dari pihak pengangkut maupun dari pihak pengirim barang dalam perjanjian pengangkutan itu dilandasi dengan prinsip itikad baik dengan asumsi bahwa pihak pengirim

barang menghendaki agar barang-barangnya yang dikirim melalui laut itu dapat sampai ditujuan dengan lengkap, aman dan sempurna, sedang di pihak pengangkut menghendaki agar tidak timbul hal-hal yang bertentangan dengan kewajibannya, maka kiranya masalah batas-batas jumlah ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pengangkut itu dapat terselesaikan dengan baik (karena KUHD menetapkan secara tegas, seperti yang terdapat dalam pasal 470 ayat 1, suatu jumlah yang pasti yaitu Rp. 600,00 namun karena nilai rupiah saat ini tentu saja berlainan dengan nilai rupiah pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Dagang tersebut dibuat maka tentu saja terjadilah beberapa masalah yang rumit. Dalam praktek di pengadilan biasanya penentuan batas tersebut dilihat kasus per kasus oleh Hakim).

B. Menurut Hague Rules 1924

The Hague Rules 1924 dalam article 4 ayat 5 mengatur tentang pembatasan tanggung jawab pengangkut sampai jumlah 100 Poundsterling untuk setiap bungkus/colli atau unit barang. Namun demikian seiring dengan berjalannya

waktu terdapat ketidakpuasan terdapat article 4 ayat 5 tersebut. Sehubungan dengan itu, maka pada tahun 1968 di Brussel diadakan suatu protocol untuk menyempurnakan article 4 ayat 5 tersebut yang bernama :Protocol to amend the International convention for the unification of certain rules relating to bill of lading. Tentang perubahan terhadap pasal 4 ayat 5 tersebut yang kemudian dijadikan pasal 2 dalam The Brussel Protocol 1968 adalah tentang merubah jumlah batasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pengangkut. The Brussel Protocol tersebut menetapkan bahwa apabila keadaan dan harga barang telah disebutkan di dalam Bill of Lading, maka dalam hal terhadi adanya kehilangan atau kerusakan, pengangkut tetap bertanggung jawab terhadap barang dalam jumlah yang dapat disamakan dengan 10.000 Frank per bungkus/colli atau 30 Frank per kilo per tiap bagian yang hilang. Kemudian dalam pasal 4 ayat 5 dalam The Brussel Protocol 1968 disebutkan bawah pengangkut tidak akan bertanggung jawab terhadap setiap kejadian mengenai kehilangan dan kerusakan barang, apabila keadaan/sifat atau harga barang ternyata yang disebut dalam Bill of Lading adalah tidak benar. Juga

apbila kerusakan atau kehilangan itu karena kesengajaan pengangkut, maka Limitation of liability seperti tersebut terdahulu tidak berlaku bagi pengangkut.

C.

Menurut The Hamburg Rules 1978

Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut ditetapkan dalam article 6 ayat 1 dan 2, yaitu :

1.

Untuk setiap kehilangan dan kerusakan barang dibatasi sampai suatu jumlah yang sama dengan 835 unit per bungkus/colli atau unti kapal lainnya, atau 2,5 unit per kg dari berat kotor barang-barang yang hilang atau rusak berapapun besarnya.

2.

Untuk setiap keterlambatan dalam pengiriman dibatasi sampai sejumlah yang sama dengan 2 dari yang tambang yang dapat dibayar untuk barang-barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah total uang tambang yang dapat dibayar dibawah perjanjian pengangkutan barang melalui laut.

Catatan : Hal yang istimewa yang terdapat dalam Hamburg Rules adalah ketentuan Konvensi tersebut dapat berlaku bagi semua kontrak pengangkutan melalui laut antara dua negara yang :

1.

Pelabuhan muat sebagaimana tercantum didalam kontrak pengangkutan melalui laut berlokasi di negara pengontrak, atau

2.

pelabuhan bongkar sebagaimana tercantum didalam kontrak pengangkutan melalui laut berlokasi di negara pengontrak, atau

3.

salah satu dari pelabuhan bongkar yang dipilih sebagaimana tercantum didalam kontrak pengangkutan melalui laut merupakan pelabuhan bongkar

yang memadai dan pelabuhan demikian hendaknya berlokasi di negara yang bersangkutan, atau

4.

Bill of lading atau dokumen lainnya yang membuktikan adanya kontrak pengangkutan melalui laut diterbitkan di negara pengontrak, atau

5.

Bill of lading atau dokumen lainnya yang menjamin kontrak pengangkutan melalui laut mencantumkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini atau perundang-undangan suatu negara akan berpengaruh terhadap

pelaksanaan kontrak termaksud.

Sekarang bagaimana dalam praktek terjadi, apakah mengacu pada konvensi internasional yang ada atau tidak, marilah kita lihat bersama :

KASUS I Penggugat asal Tergugat I asal Tergugat II asal : PT. Asuransi Afia Indonesia : PT. Djakarta Lloyd : PT. Varuna Tirta Prakasya

Kronologis singkat : PT. Djakarta Lloyd atas pesanan PT. TEXMACO TAMAN SYNTHETICS mengangkut 389 Gewebe Cout ebrisikan Polyster Chips tipe 20 seharga US $ 479,869,90 dari Antwerpan ke Semarang dengan kapal Setia Budi.

Barang tersebut telah diasuransikan oleh PT. Texmaco Taman Synthetics kepada PT. Asuransi Afia Indonesia dengan polis sertifikat No. 202-00053/AAI tertanggal 31 Desember 1979. ketika barang tersebut sampai di Semarang hilang dan rusak (berdasarkan survey report) dan PT. Varuna Tirta Prakasya sebagai EMKL dianggap turut bertanggung jawab atas kerugian dan kehilangan selama belum diserahkan kepada PT. Texmaco Taman Synthetics. Klaim asuransi dikabulkan dan Asuransi Afia harus membayar sejumlah Rp. 22.133.531,70 ekuivalen dengan US $ 35,732.59. Karena telah mendapat dengan hak subrogasi, maka Asuransi Afia Indonesia kemudian menggugat PT. Djakarta Lloyd dan PT. Varuna Tirta Prakasya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dasar gugatan : 1. 2. Tergugat I dan II lalai menjaga barang tersebut Meminta agar Tergugat I dan II untuk menanggug renteng kerugian yag diderita oleh Penggugat sebesar Rp. 22.133.531,70 3. Bunga 5% per bulan

Djakarta Lloyd kemudian melakukan eksepsi terhadap gugatan :

1. 2. 3.

Menolak gugatan Djakarta Lloyd tidak punya hubungan dengan PT. Varuna Tirta Prakasya Djakarta Lloyd dan PT. Varuna Tirta Prakasya tidak ada perjanjian saling menanggung.

4.

Kedatangan kapal tanggal 7 Januari 1980 dan pada tanggal 7 Februari 1980 seluruh barang telah dikeluarkan dan terdapat kekurangan 2 bags

(berdasarkan surat bukti kekuranagan No. 006/HS/AR/80 tanggal 1 April 1980) yang disetujui oleh Asuransi Asia Indonesia. 5. Tuntutan ganti rugi sudah kadaluwarsa dan berdasarkan B/L atau pasal 487 KUHD mohon gugatan tidak dapat diterima

6.

Berdasarkan joint survey yang dilaksanakan tanggal 18 Februari 1980 yang menyatakan dalam survey report yang dikeluarkan pada tanggal 1 April 1980 telah disetujui dan diakui bahwa kerusakan atas pembungkus sebanyak 44 baggs dengan jumlah berat 43.670 kg. Bahwa berat sebenarnya 44 bags adalah 45.232 kg, jadi terdapat perbedaan 45.232 43.670 = 1.562 kg.

7.

Barang telah dibongkar tanggal 7 Januari 1980 dan jpint survey baru dilaksanakan tanggal 18 Februari 1980 (ada tenggang waktu 40 hari), sehingga wajar kalau rusak dan lumrah jika hal tersebut menjadi tanggung jawab pemilik barang yaitu Asuransi Asia Indonesia.

8.

Dalam

konosemen

Djakarta

Lloyd

batas

maksimal

tanggung

jawab

pengangkut : 100 poundsterling per bags

PT. Varuna Tirta Prakasya menjawab

1.

Dalam survey report Djakarta Lloyd mengakui terdapat kerusakan kemasan 44 bags dengan jumlah 43.670 kg.

2.

Tanggung jawba EMKL berdasrkan PP 2/1969 adalah diatas truk sampai diserahkan kepada pemilik barang (pasal 14 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1969 menyatakan : gudang laut diusahakan oleh perusahaan pelayaran dan perusahaan pelayaran yang bersangkutan bertanggung jawab atas kehilangan dan atau kerusakan barang-barang berada di dalam gudang laut).

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan tanggal 6 Maret 1982 untuk perkara No. rol. 308/Pdt.G/1981/PN JKT Pst sebagai berikut :

Dalam Eksepsi : Gugatan Penggugat memang telah daluwarsa karena gugatan didaftarkan melewati JW 1 tahun 21 April 1981), namun karena Somasi dari Penggugar didaftarkan 6 Januari 1981 dengan nomor 1/18 S (dimana dengan adanya somasi tersebut

mencegah daluwarsa), sehingga dengan demikian Eksepsi dari Tergugat I ditolak oleh Pengadilan Negeri.

Dalam Pokok Perkara : Mengabulkan gugatan Penggugat Subrogasi Menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi Rp. 22.133.531,70 ekuivalen US $ 35,732.59 ditambah bunga 6% per tahun

Pengadilan Tinggi dengan No. Rol : 306/Pdt/1983/PT. DKI mengeluarkan putusan yang isinya adalah : menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Mahkamah Agung (dengan putusan No. 716 K/Perd/1984) mengeluarkan putusan sebagai berikut :

1.

Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum yakni mengenai prosedur dalam penggabungan gugatan dimana tidak mungkin tanggung jawab PT. Djakarta Lloyd digabungkan dengan tanggung jawab PT. Varuna Tirta Prakasya, karena gugatan tersebut masing-masing berdiri sendiri.

2.

Pengadilan Tinggi telah salah menafsirkan isi klausula yang tercantum dalam B/L dan klausula 24 yang manyatakan bahwa si pengangkut adalah Djakarta Lloyd yang bertanggung jawab sesuai dengan invoice L/C apabila pada waktu pemuatan harga barang dinyatakan secara tertulis kepada si pengangkut dan harga dicantumkan dalam B/L dan oleh karena tidak ada harga barang dcantumkan dalam B/L, maka ketentuan maximum liability tersebut yang berlaku untuk kekurangan barang.

3.

Pengadilan Tinggi telah salah dalam memberikan pengertian barang rusak, karena yang rusak adalah kemasannya yang tidak cukup kuat oleh karena isi sebanyak 43.670 kg itu tidak ditolak/dikembalikan Afra dan ternyata seluruhnya diterima, sebagai bukti bahwa barang dimaksud tidak rusak.

4.

Menurut B/L yang dikeluarkan oleh Djakarta Lloyd (Pengangkut dalam hal ini tunduk pada Hague Rules 1924) pasal 24 terhadap kerusakan-kerusakan yang timbul dalam pengangkutan barang dari Antwerpan, Belgia ke Semarang, Indonesia hanya dapat dipertanggung jawabkan sebatas 100

Poundsterling/package/unit. Karena di dalam perjalanan tersebut terdapat kerusakan 2 bags maka, jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh Tergugat I adalah 2 (bags yang rusak/hilang) x 100 Poundsterling = 200 Poundsterling ditambah bunga 6% per tahun.

(Catatan kami :

1.

Bahwa walaupun berdasarkan pasal 487 Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur bahwa jangka waktu tuntutan hukum untuk memperoleh kerugian harus dimajukan dlaam waktu 1 tahun semnejak barang diserahkan atau semenjak barang sedianya harus diserahkan dan dengan lewatnya waktu maka berlakulah ketentuan mengenai daluwarsa, namun ada upaya lain untuk mencegah hal tersebut dengan mendaftarkan terlebih dahulu Somasi ke Pengadilan Negeri dimana nanti gugatan tersebut didaftarkan di pengadilan yang bersangkutan dan dengan didaftarkan somasi, maka jangka waktu tersebut mulai lagi dengan dihitung waktu somasi tersebut didaftarkan.

2.

Bahwa walawpun negara Indonesia belum meratifikasi konvensi Hague Rules 1924 yang mana memerlukan beberapa persyaratan tertentu untuk dapat diratifikasi, namun dalam praktek negara Indonesia mengakui konvensi tersebut dan tunduk kepada klausula-klausula didalamnya).

KASUS 2 Penggugat asal : CY. Lee Manager dari Asia Insurance Co Ltd sebuah badan hukum berkedudukan di Hongkong Tergugat I asal Tergugat II asal : PT. Gesuri Lloyd : The Sunko steam ship Co Ltd

Kronologis kasusnya : Joo Seng (sebagai penjual) telah mengadakan jual beli dengan CV. Sopar Jalse (pembeli) di Indonesia mengenai pembeliam kedelai. Kapal berangkat tanggal 17 Februari 1976 dari pelabuhan muat di Buton Rouge, Lousiana, Amerika Serikat ke pelabuhan bongkar di Tanjung Priok (B/L NO. 1, 2, 3) tiba tanggal 4 April 1976. oleh Joo Seng barang tersebut diasuransikan kepada Asia Insurance Co Ltd dengan polis No : 76/256814 76/256815 tanggal 28 Februari 1976 dan No : 76/23569 76/23570 tanggal 17 Februari 1976. Waktu bongkar muat tanggal 5-9 April 1976, atas peraturan CV. Sopar, diadakan inspeksi dan survey oleh PT. Sucofindo yang disaksikan dan disetujui oleh Opsir Kapal.

Inspeksi dan survey yang dilakukan oleh Sucofindo adalah :

1.

Untuk mengetahui berat muatan yang dibongkar berdasarkan selisih perhitungan selisih draft kapal sebelum dan sesudah bongkar. Yang dibongkar 13,971 M2 dalam Certificate of Indonesia and Ships draft survey No. 173489 tanggal 20 April 1976.

2.

Untuk mengetahui kerusakan yang terjadi terhadap barang muatan, berapa jumlahnya, bagaimana sifat-sifatnya dan apa sebabnya. PT. Sucofindo menarik kesimpulan bahwa berdasarkan kubikasi, kacang kedelai yang rusak sebanyak 182,7 M/F, tetapi berdasarkan timbangan adalah sebanyak 545,680 kg (545,68 MT). Sifat-sifat kerusakan adalah membusuk dan berjamur, sebab-sebabnya adalah karena kena air melalui celah-celah yang ada disekitar ruang paka,

sebagaimana diuraikan terperinci dalam Certificate of Damage survey No. 173551 tanggal 28 April 1976 dimana pada pokoknya adalah kurang sempurna perawatan palka kapal sehingga mudah kemasukan air.

Pemegang

polis/Joo

Seng

mengklaim

asuransi

dengan

dasar

menggugat

kekurangan barang 76,086 kg dan busuk 545,680 kg, sehingga totalnya adalah = 621,766 kg.

Asuransi/Penggugat telah meminta bantuan adjuster Indonesia sebagai Adjuster, surveyor dan Appraiser dalam bidang asuransi pengangkutan laut (The First National Adjustment Co) dalam assessment report No. 76/318 tanggal 4 November 1976. kerugian yang real (8470 x damage) + short landed x harga-harga penunjukan damage cargo dan diusulkannya untuk dibayar = US $ 82,244.14 ekuivalen HK $ 392,510.15 telah dibayar kepada pemegang polis (berdasarkan statement of claims No. 76/L/13480 tanggal 1 Agustus 1976). Pada tanggal 16 Juni 1976 diajukan klaim kepada Tergugat I dan Tergugat II namun tidak dihiraukan.

Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana Penggugat memuat para Tergugat : 1. 2. Ganti rugi sebesar US $ 82,244.14 ekuivalen HK $ 392,510.15 Keuntungan yang diharapkan 10%, bunga keterlambatan Rp. 1.000.000/bulan modal 1% dan denda

Jawaban Tergugat I dan Tergugat II Dalam Eksepsi : Gugatan didaftarkan pada tanggal 24 Oktober 1977 dan berdasarkan pasal 487 KUHD gugatan sudah daluwarsa.

Pengadilan

Negeri

Jakarta

Pusat

mengeluarkan

putusan

(No.

Rol

:

647/Pdt.G/1977/PN JKT Pst dimana dalam amarnya : menerima eksepsi yang diajukan oleh Tergugat I dan II ( bahwa gugatan tersebut sudah lewat waktu).

Penggugat kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang didaftarkan dengan No Rol : 129/1979/PT Perdata, dimana kemudian Pengadilan Tinggi memutuskan sebagai berikut : mengadili menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng US $ 82,244.14.

Dengan pertimbangan sebagai berikut :

1.

Tanggal 12 April Penggugat telah mengajukan klaim dan tanggal 16 Juni mengajukan klaim + jumlahnya US $ 163,012.75 kepada Tergugat dan tanggal 8 Agustus 1977 Tergugat I dan Tergugat II memberitahukan bahwa menyetujui perpanjangan klaim 3 bulan lagi terhitung sejak tanggal 4 Juli 1977 sampai 4 September 1977.

2.

Sejak semula Tergugat dapat menduga jika klaim tersebut dalam surat bukti jika tidak dapat diselesaikan akan dilanjutkan dimuka Pengadilan dengan adanya klaim tersebut telah menghentikan berlakuknya tenggang waktu 1 tahun dalam pasal 487 KUHD dan mulai kembali terhitung sejak berakhirnya masa perpanjangan klaim tersebut (4 September 1977), sehingga eksepsi para Tergugat mengenai daluwarsa ditolak oleh Pengadilan Tinggi.

Tergugat I dan Tergugat II melakukan kasasi (dengan mendaftarkan dengan No Rol 3762 K/SIP/1981 yang amarnya adalah : menolak kasasi Tergugat I dan II.

Terakhir Tergugat I dan Tergugat II melakukan upaya Peninjauan Kembali (didaftar dengan No. Rol : 87/PK/Perd/1983) dimana dalam amarnya adalah menolak persetujuan kembali dengan dilakukan oleh Terguat I dan II (dengan pertimbangan bahwa karena Tergugat I dan Tergugat II tidak dapat menghadirkan bukti baru, padahal salah satu syarat permintaan peninjauan kembali adalah adanya bukti baru yang tadinya tidak dimunculkan di depan persidagangan terdahulu).

Dari kasus diatas, kami mengambil kesimpulan : 1. Bahwa dalam kasus di atas, pada fakta tertanggal 12 April Penggugat telah mengajukan klaim dan tanggal 16 Juni mengajukan klaim + jumlahnya US$ 163,012.75 kepada Tergugat dan tanggal 8 Agustus 1977 Tergugat I dan Tergugat II memberitahukan bahwa menyetujui perpanjangan klaim 3 bulan lagi terhitung sejak tanggal 4 Juli 1977 sampai 4 September 1977. Bahwa persetujuan perpanjangan klaim yang dilakukan oleh Tergugat I dan II adalah merupakan Undang-undang yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak (pasal 1338 KH Per) yang nilainya lebih tinggi dari ketentuan yang berlaku, sehingga ketentuan pasal 487 KUHD dapat dikesampingkan.

2.

Bahwa walaw kasus ini disidangkan di Pengadilan Tinggi dalam wilayah negara Indonesia, namun ketentuan mengenai pembatasan tanggung jawab yang diatur dalam pasal 470 ayat 2 KUHD tidak dipergunakan oleh hakim.

KASUS 3 Ada kasus lain dan terjadi di perusahaan pelayaran rakyat : Jika terjadi kehilangan atau kerusakan barang, maka pelayaran rakyat sebagai pengangkut bertanggung jawab secara penuh (ataupun dimusyawarahkan dengan pemilik barang) kepada pemilik barang. Misalkan pengangkut mengangkut barang kelontong dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta ke Pelabuhan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Sesanpainya di pelabuhan bongkar, pemilik barang memeriksa dan ternyata terdapat kekurangan barang (walawpun pengangkut tidak mengetahui berapa jumlah sebenarnya dari barang yang diangkutnya), maka pemilik barang menuntut ganti rugi kepada pengangkut sebesar harga barang atau jika pengangkut keberatan terhadap besarnya ganti rugi tersebut, mereka kemudian mengadakan musyawarah hingga tercapainya kata sepakat.

Berdasarkan informasi yang kami peroleh, tanggung jawab pelayaran rakyat adalah dari pelabuhan muat, dan disampaikan ke tangan pemilik barang di pelabuhan bongkar. Bila pemilik barang belum datang ke pelabuhan bongkar, pelayaran rakyat

masih bertanggung jawab atas keselamatan barang yang dibawanya mungkin hingga 2-3 hari. Pernah ada kejadian kayu yang diangkut pelayaran rakyat sudah tiba di pelabuhan bongkar dan telah dibongkar, namun pemilik kayu tersebut belum datang dan para anak buah kapal dari pelayaran rakyat tersebut yang menjaga keselamatan. Di saat itulah beberapa batang kayu dapat diambil oleh pemilik kapal (beserta abk nya) mengganti kerugian yang telah diderita oleh pemilik kayu. Yang unik, karena sistemnya bagi hasil, maka perolehan yang didapat oleh pemilik kapal beserta ABK adalah sebagai berikut : ongkos pengangkutan besarnya ganti rugi = x yang kemudian dibagi antara pemilik kapal dengan para anak buah kapalnya. Karena didasarkan pada system bagi hasil, maka para anak buah kapal mempunyai rasa tanggung jawab yang begitu besar atas barang yang dibawanya. Jika barang yang dibawa oleh pelayaran rakyat sampai di tempat tujuan dan berada di tangan pemilik barang dengan selamat, maka perolehan yang diterima oleh pelayaran rakyat beserta ABK nya tidak mengalami potongan.

(Catatan : Biasanya pengangkut mendapat order untuk mengangkut barang dari seseorang atau badan hukum tertentu dan tampaknya kewenangan orang atau badan hukum tertentu dan tampaknya kewenangan orang atau badan tersebut begitu besar, sehingga tidak ada kesempatan bagi pelayaran rakyat untuk mengabaikan. Jadi dapat dikatakan kalau pelayaran rakyat hanya sebagai sub bagian dari proses angkutan antara penjual dengan pembeli. Sebagai contoh misalnya ada beras yang datang dari Vietnam ke pelabuhan Tj. Priok (beras tersebut pesanan dari BULOG). BULOG menunjuk Koperasi Pelayaran Rakyat dimana kemudian menunjuk cabangnya yang berada di Pelabuhan Sunda Kelapa. Cabang koperasi tersebut kemudian menunjuk pelayaran rakyat yang akan membawa beras tersebut dari Sunda Kelapa ke Jambi).

Karena ketentuan mengenai Pelayaran Rakyat dalam Undang-undang No. 21 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 17/2008 belum ada peraturan pelaksanaannya dan

didalam konosemen juga tidak diatur mengenai batas tanggung jawab pengangkut (misalkan berdasarkan atas KUHD), sehingga dalam praktek walawpun tidak disadari ternyata batas tanggung jawab pelayaran rakyat tidak berdasarkan pasal 470 (Rp. 600,00), melainkan sudah mengikuti konvensi internasional bahkan jumlah ganti ruginya jauh melebihi ketentuan tersebut.

Sebagai penutup, kami membuat kesimpulan sebagai berikut :

1.

Bahwa Konvensi Internasional mengenai pengangkutan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap hukum positif serta dalam praktek di pengadilan.

2.

Bahwa Konvensi Internasional mengenai pengangkutan masih belum diratifikasi oleh Inodnesia, namun dalam praktek perdagangan (terutama antara pihak dari Indonesia dengan pihak asing) para pihak seringkali sepakat bahwa untuk pengaturan kontrak mengacu pada konvensi internasional.

Demikianlah tulisan ini dibuat semoga dapat bermanfaat bagi Bapak Bapak dan Ibu Ibu peserta seminar.

Jakarta, 17 November 2011

DR. Chandra Motik Yusuf, SH., MSc.