SERTIFIKASI RELAWAN BENCANA
-
Upload
herman-suryo -
Category
Documents
-
view
137 -
download
1
Transcript of SERTIFIKASI RELAWAN BENCANA
SERTIFIKASI RELAWAN BENCANA
Mengadopsi alam pikiran George Edward III, bahwa suatu implementasi
kebijakan akan berhasil jika mampu mengatasi permasalahan seputar komunikasi,
sumber daya,disposisi serta struktur birokrasi (Subarsono:2009). Seandainya pula
hal itu juga diterapkan terhadap implementasi kebijakan penanggulangan bencana
maka sudah barang tentu, dapat kita perkirakan seberapa besar energi yang harus di
keluarkan oleh pemerintah untuk melindungi bangsa Indonesia dari ancaman bencana
terutama pada sektor sumber daya. Kita maklumi bersama bahwa dalam proses
penanganan saat bencana terdapat setidaknya 2 problema yang selalu mengemuka
yakni terbatasnya sumber daya baik manusia maupun perlengkapan / peralatan juga
terbatasnya logistik untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup korban bencana.
Sementara itu pada sisi lain Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) mencatat bahwa selama 3 tahun berturut – turut yakni ditahun 2010 hingga
2012 di wilayah Indonesia telah terdera bencana sebanyak 5030 kali. Selama 3 tahun
itu pula BNPB membukukan 3460 orang meninggal akibat berbagai bencana dan
setidak tidak - tidaknya lebih dari 2,7 juta korban bencana mengungsi.
Dalam suatu kesempatan Sutopo Yuwono, Kepala Pusat Informasi Bencana
BNPB mengungkapkan bahwa diperkirakan pada saat ini 115 juta jiwa manusia
mendiami wilayah rawan bencana yang tersebar di seluruh wilayah baik provinsi
maupun kabupaten / kota di Indonesia dengan berbagai jenis ancaman bencana
seperti banjir, tanah longsor, tsunami, erupsi gunung berapi ,putting beliung dan
sebagainya
Sungguh ini adalah pekerjaan yang sangat berat jika pemerintah baik pusat
maupun daerah harus sendirian mengatasi problema kebencanaan, meskipun
pemerintah sudah mempunyai pondasi kebijakan penanggulangan bencana bahkan
mempunyai 4 filosofi penanggulangan bencana. Keempat filosofi penanggulangan
bencana tersebut adalah “ jauhkan bencana dari manusia, jauhkan manusia dari
bencana, hidup harmonis dengan bencana dan kearifan lokal”. Meskpun empat
filosofi tersebut terkesan sederhana dan mudah untuk diucapkan bagaimanapun juga
tetap sangat berat untuk dilaksanakan.
Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi problema
kebencanaan adalah dengan merekonstruksi paradigma penanggulangan bencana.
Salah satu dari rekostruksi paradigma manajemen penanggulangan bencana yang
dilakukan oleh pemerintah adalah dengan diterbitkanya Undang Undang Nomor 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam ketentuan tersebuat
menyatakan bahwa bencana bukan semata menjadi urusan pemerintah tetapi harus
menjadi urusan bersama. Paradigma baru ini juga merupakan sebuah pengutamaan
dalam penanggulangan bencana yang juga diadopsi dari International Strategy For
Disaster Reduction (ISDR). Strategi ISDR menekankan bahwa “ disaster is every
body business “. Maka mulai saat itu Indonesia memulai babak baru dalam
manajemen kebencanaan dengan menempatkan bencana menjadi tangggung jawab
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha. Ketiga komponen ini sering disebut dengan
3 pilar penanggulangan bencana yang mempunyai peran dan kedudukan strategis
dalam penanggulangan bencana.
Salah satu peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana adalah
menjadi relawan. Kehadiran para relawan merupakan suatu solusi yang sangat tepat
dalam mengatasi kelangkaan sumber daya penanggulangan bencana yang dimiliki
oleh instansi pemerintah khususnya BNPB /.
Namun kadangkala kiprah relawan yang hadir pada beberapa saat setelah
bencana juga memunculkan problem dilapangan. Seringkali terjadi relawan yang
hadir di daerah bencana tidak melapor untuk mencatatkan diri sumber dayanya
kepada Pusat Pengendalian Operasional. Juga seringkali kali terjadi shadirnya
relawan yang tidak mempunyai kemampuan standar yang dibutuhkan bagi keperluan
penanggulangan bencana. Bahkan kadangkala di jumpai ada relawan yang datang
dilokasi bencana dengan perlengkapan dan perbekalan ala kadarnya.Tidak itu saja
relawan yang hadir dan telah mencatatkan diri ke Pusdalops pun sangat susah untuk
di konfirmasi terhadap kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki karena ini akan
membutuhkan waktu dan tenaga pula untuk proses verifikasi padahal kebutuhan akan
dukungan personil sangat mendesak untuk segera terpenuhi.
Seakan hendak menegaskan bahwa begitu pentingnya peran relawan bencana,
maka pada tanggal 30 Desember 2011 BNPB mengeluarkan regulasi tentang relawan
penanggulangan bencana. Peraturan tersebut adalah Peraturan Kepala (Perka) BNPB
Nomor 17 tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana. Fokus
regulasi ini adalah pengaturan mengenai standar- standard dan kualifikasi relawan,
pengembangan kapasitas relawan dan kerjasama antar relawan dalam keseluruhan
aspek penanggulangan bencana seperti yang termuat dalam konsideran peraturan
tersebut, disamping pengaturan berkenaan dengan peran, hak dan kewajiban relawan.
Siapa Relawan Bencana ?
Dalam BAB I hurup D Perka Nomor 17 tahun 2011 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan relawan penanggulangan bencana adalah seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara
sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana. Namun tidak dijelaskan
secara lebih rinci apa yang dimaksud dengan sukarela dan ikhlas. Sehingga
pemerintah menyerahkan pemaknaan dua kata tersebut kepada masyarakat kedalam
makna yang berlaku umum. Sukarela dapat berarti atas kemauan sendiri ,melakukan
dengan rela hatiataupun melakukan sesuatu dengan kehendak sendiri.Sedangkan
ikhlas bermakna bersih hati atau tulus atau dengan kata lain tidak mempunyai pamrih
apapun dalam melakukan sesuatu Namun pada intisarinya adalah bahwa bekerja
secara sukarela adalah melakukan suatu pekerjaan yang atas kehendak sendiri dengan
tulus sehingga tidak mengharapkan pembayaran atau kompensasi atas apa yang telah
diperbuatnya.
Asal muasal individu relawan dapat berasal dari mana pun juga baik instansi
pemerintah , organisasi masyarakat, LSM, Perguruan tinggi, dan Dunia Usaha seperti
yang termuat dalam konsideran Perka Nomor 17 tahun 2011 tersebut.Yang pasti
relawan harus sudah berusia 18 tahun keatas, sehat jasmani dan rohani, mempunyai
jiwa kerelawanan, semangat pengabdian dan berdedikasi tinggi. Selain itu relawan
harus mampu bekerja secara mandiri serta dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Relawan juga harus memiliki pengetahuan, keahlian, dan ketrampilan yang
bermanfaat bagi penanggulangan bencana. Persyaratan lainnya yang mutlak untuk
penuhi juga adalah bahwa relawan tidak sedang terlibat dalam perkara pidana apalagi
tindak subversi.
Meskipun bersifat sukarela dan ikhlas, kerja relawan pun dapat terkena sanksi
apabila dalam beraktivitas terkait kebencanaan telah melanggar asas, prinsip dan
panca darma relawan maupun aturan dan norma yang disepakati.
Proses Sertifikasi
Sesungguhnya cakupan kerja relawan dalam bencana tidak terbatas, namun
BNPB membatasi cakupan kerja relawan yang dapat disertifikasi. Cakupan tersebut
tidak hanya menyangkut peran relawan saja pada saat tanggap darurat namun sejalan
dengan perubahan paradigma manajemen penanggulangan bencana bahwa relawan
dapat diberdayakan di semua tahapan bencana yakni saat pra bencana, saat tanggap
bencana bahkan dapat melakukan kerja kerelawananya pada tahap pasca bencana.
Dalam hal cakupan kerja, BNPB melakukan pengelompokan cakupan
kemahiran relawan menjadi 26 kelompok kemahiran untuk dapat disertifikasi.
Pengelompokan tersebut antara lain ,Perencanaan, Pendidikan , Sistem Informasi
Geografis dan Pemetaan, Pelatihan Gladi dan Simulasi Bencana, Kaji cepat bencana,
SAR, Transportasi, Logistik, Keamanan Pangan dan Nutrisi, Dapur Umum,
Pengelolaaan Lokasi pengungsi Dan Huntara, Pengelolaan Posko PB, Kesehatan /
Medis, Air Bersih /Sanitasi/ Kesehatan Lapangan,Kemanan dan Perlindungan,
Gender dan kelompok rentan, Psokososial/konseling, Penyembuhan Trauma,
Pertukangan dan Perekayasaan, Pertanian/Peeternakan/Perikanan dan Penghidupan,
Administrasi, Pengelolaan keuangan, Bahasa Asing, Informasi dan komunikasi,
Hubungan Media dan Masyarakat, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan, Promosi
dan Mobilitas Relawan.
Ada 2 jalur yang dilakukan oleh BNPB dalam sertifikasi relawan
penanggulangan bencana .Pertama melalui proses rekoknisi yakni suatu proses
pengakuan yang dilakukan oleh BNPB terhadap seseorang bahwa yang bersangkutan
memenuhi persyaratan untuk diberikan sertifikat. Tentunya BNPB akan melihat
rekomendasi yang diserahkan oleh BPBD dengan memperimbangkan lamanya
seseorang dalam sebagai relawan, pengalaman kegiatan kebencanaan dan spesifikasi
kerja penanggulangan bencana yang telah di gelutinya.Kedua, seseorang dapat
mengajukan dirinya kepada BNPB untuk mendapatkan sertifikat dengan terlebih
dahulu dilakukan uji kompetensi terhadap dirinya.
Meskipun sertifikat relawan penanggulangan bencana tidak seperti sertifikat
untuk mengajar guru / dosen yang dengan sertifikat tersebut dapat menerima
tunjangan dengan besaran rupiah tertentu, namum setidak tidaknya dengan
dimilikinya sertifikat ini merupakan suatu bentuk pengakuan dari lembaga yang
kompeten dengan kebencanaan (BNPB) bahwa yang bersangkutan memang
kompeten untuk melakukan kerja relawan sesuai dengan prinsip kerja relawan
penanggulanga bencana. Pada sisi lain sertifikasi relawan tentunya akan bermanfaat
bagi semua pihak baik pemangku kepentingan bahkan masyarakat terdampak
bencana.
Dan pada akhirnya semua berharap bahwa sertifikat relawan penanggulangan
bencana dapat menjadi suatu bukti keseriusan pemerintah dalam melakukan tata
kelola penanggulangan bencana kearah yang lebih baik. Sehingga ini semua tentunya
dilakukan semata - mata untuk mewujudkan sebuah paradigma baru penanggulangan
bencana bahwa bencana tetap menjadi urusan kita bersama.
Herman Suryo
Pemegang Sertifikat Relawan BNPB Pengajar Manajemen Bencana Fisip UNISRI Surakarta