Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

150
Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani? Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani? Yogyakarta 12-14 April 2012 Surakarta 16-18 April 2012 Jepara 27-29 April 2012 Semarang 1-3 Mei 2012 Surabaya 7-9 Mei 2012 Denpasar 10-12 Mei 2012

description

Catatan penting dari kesiapan SVLK di industri-industri berbasis kayu di Pulau Jawa dan Bali

Transcript of Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Page 1: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Sertifikasi LegalitasProduk Kayu, Siapa Berani?Sertifikasi LegalitasProduk Kayu, Siapa Berani?

Yogyakarta 12-14 April 2012

Surakarta 16-18 April 2012

Jepara 27-29 April 2012

Semarang 1-3 Mei 2012

Surabaya 7-9 Mei 2012

Denpasar 10-12 Mei 2012

Page 2: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?
Page 3: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Penulis & Fotografer: Sigit PramonoDesain Grafis: Agus Sudaryono

Sertifikasi LegalitasProduk Kayu, Siapa Berani?

Page 4: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?
Page 5: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Daftar Isi

Kata Pengantar

Agar Legal, Industri Perlu SVLK

Kurikulum, Mendorong Interaksi antara Peserta dengan Pelatih

Pelatihan SVLK- Asmindo di Yogyakarta

Pelatihan SVLK- Asmindo Komda Solo Raya

SVLK Rasa Jepara Ingin Mudah dan Murah…

Pelatihan SVLK di Semarang, MayoritasIndustri Papan Atas

Pelatihan SVLK di Surabaya

Operasi Tanpa Tulis: Bali dan Jepara Sama saja

Rangkuman Temuan dalam Pelatihan SVLK di Enam Kota

6

Bab 1 8

Bab 2 26

Bab 3 38

Bab 4 56

Bab 5 74

Bab 6 94

Bab 7 110

Bab 8 112

Bab 9 138

Page 6: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

S

Pelatihan SVLK bersama MFP

istem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada 2012 sudah seperti tamu di depan pintu. PeraturanMenteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P. 38/2009 dan seperangkat petunjuk pelaksanaan penerapan SVLK diundangkan sejak Juni 2009. SVLK yang selama beberapa tahun telah dibahassecara maraton oleh berbagai pihak terkait, pada 2013 akan menjelma menjadi wajib danmengikat.

Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009dan petunjuk pelaksanaannya pada 2010 menunjukkan bahwa SVLK memang masih perlupenyempurnaan. Tujuannya, untuk meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitasnya. Melaluiforum konsultasi publik tingkat regional dan nasional, parapihak berhasil merumuskan masukandalam upaya penyempurnaan aturan tersebut.

Selanjutnya proses penyempurnaan masukan berlanjut melalui tim kelompok kerja. Dan padaakhir Desember 2011 ada penetapan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 tentang perubahan atas Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentangstandar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitaskayu pada pemegang izin atau pada hutan hak.

Dalam dua tahun terakhir hingga awal 2012, pelaksanaan SVLK pada tingkat unit manajemenpelaku usaha sudah tampak dan berkembang signifikan. Sudah ada penilaian kinerja PengelolaanHutan Produksi Lestari (PHPL) pada unit kelola/pemegang izin pada berbagai bentuk pengelola -an hutan dengan total areal seluas kurang lebih 5,8 juta hektare. Di sisi lain, verifikasi legalitaskayu (VLK) juga telah dilakukan pada hutan alam maupun tanaman dengan luas kurang lebih800 ribu hektare, dan verifikasi legalitas kayu juga telah dilaksanakan pada 175 unit industri pengolahan kayu.

Sebagian besar industri yang lulus proses sertifikasi VLK adalah industri berskala besar dan bergerak di bidang wood working. Di Jawa Tengah, beberapa industri yang mengawaliimplementasi sistem ini antara lain Indotama Omricon Kahar, Albasia Bumhipala Persada, PTKayu Lapis Indonesia Semarang, dan Dharma Satya Nusantara Temanggung. Sebagian di antaraindustri besar tersebut memproduksi furnitur dan moulding, seperti Kurnia Jati Utama di JawaTengah dan PT Panca Warna di Gresik (Jawa Timur). Di kalangan Usaha Kecil Menengah(UKM) dan Industri Kecil Menengah (IKM), salah satu dari sedikit yang telah mendapatkanSertifikat Legalitas Kayu adalah Jawa Furni Lestari (Yogyakarta), yang memproduksi furniturdengan pola non manufactured.

Untuk mempersiapkan industri kehutanan, terutama dari kalangan UKM, agar mampu menerap -kan SVLK, perlu syarat. Yakni meningkatkan kapasitas dan kesiapan pelaku industri kecil danmenengah melalui pelatihan SVLK. Kegiatan tersebut juga diharapkan secara bersama-sama menjadi sarana untuk mendorong implementasi SVLK di kalangan IKM/UKM, mendorongperluasan jejaring usaha kehutanan serta penajaman tentang berbagai hambatan untuk imple-mentasi. Selain itu dengan pelatihan juga diharapkan munculnya strategi bagi kelompok UKMdalam menyikapi keharusan dalam menerapkan SVLK.

Bagi MFP - KEHATI, pelatihan SVLK bagi IKM/UKM ini sendiri merupakan pelaksanaan darisalah satu rencana kerja, yaitu untuk melakukan latih damping bagi unit manajemen hutan hakdan industri kecil dan menengah. Pada awalnya, MFP – Kehati hanya berencana melaksanakanpelatihan dan pendampingan atau asistensi pada delapan unit IKM. Tapi dalam pelaksanaannya,pelatihan dan pendampingan SVLK melibatkan peserta lebih besar. Jumlah industri kecil menengah, terutama mebel dan kerajinan begitu besar, dan pengrajin kecil yang tergantung padasektor ini begitu banyak, terutama di daerah-daerah sentra furnitur dan kerajinan yang bertujuan

6

Page 7: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pengantar Dari MFP

ekspor. Di sisi lain, kewajiban untuk melaksanakan SVLK sepenuhnya pada Januari 2014 di sektor ini terlihat cukup berat. Ini mengingat tingkat kemampuan dan pengetahuan di kalanganIKM. Karena itu, ada kebutuhan untuk memberikan perhatian lebih kepada IKM dalam upayapeningkatan kapasitas ini. Meski demikian, sumberdaya yang dimiliki oleh MFP - KEHATI takmemungkinkan untuk melakukan latih-damping secara intensif terhadap semua IKM. Karenaitu, kegiatan ini dirancang sebagai pelatihan dan asistensi awal hanya kepada IKM yang direkomendasikan oleh asosiasinya, dalam hal ini Asosasi Industri Permebelan dan KerajinanIndonesia (Asmindo).

Kegiatan pelatihan SVLK bagi IKM/UKM diharapkan dapat menghasilkan beberapa capaiannyata berupa:

1. Meningkatnya pemahaman dan kesiapan kelompok UKM tentang SVLK, yang meliputi konteks, kriteria indikator yang harus dipenuhi, dan strategi penerapannya,

2. Tersusunnya gap analysis dan rencana tindak lanjut penyiapan implementasi SVLK bagi masing-masing industri peserta,

3. Adanya komitmen dari pelaku industri berbahan baku kayu menuju sertifikasi legalitas kayu,

4. Tersusunnya rencana untuk mengimplementasikan SVLK secara penuh dan menyebarluaskan pengetahuan tentang implementasi SVLK oleh peserta pelatihan kepada para pelaku usaha yang lain melalui asosiasi yang ada,

5. Adanya dokumentasi dan pembelajaran tentang strategi peningkatan kapasitas IKM melalui pelatihan yang dilaksanakan dan beberapa program lain sebelumnya.

Capaian dari rangkaian pelatihan ini diharapkan dapat melengkapi apa yang sudah dihasilkanoleh MFP - KEHATI melalui mitranya dalam memfasilitasi IKM untuk melaksanakan SVLK.Beberapa industri di Jepara, Yogyakarta, Bulukumba, dan Surakarta, selama beberapa bulan padatahun 2012 ini telah mendapatkan asistensi teknis dari mitra MFP - KEHATI, dan sedang menyiapkan diri untuk menjalani audit verifikasi legalitas kayu. Seperti dipaparkan di atas,pelatihan ini diharapkan dapat menambah akselerasi penguatan kapasitas yang dilakukan, sehingga dampaknya tidak berhenti pada 5 industri / kelompok pengrajin yang telah didampingisaja.

Jakarta, Juli 2011

Diah Rahardjo,Programme Director MFP - KEHATI

7

Page 8: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

SVLK adalah sistem untuk memastikan keabsahan legalitas kayupada industri berbasis kayu.

Agar Legal, IndustriPerlu SVLK

8

Page 9: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK di enam kota di Pulau Jawa dan Bali—Yogyakarta, Surakarta, Jepara, Semarang, Surabaya, dan Denpasar.

Bab

9

Page 10: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

ertengahan April hingga pertengahan Mei2012 merupakan saat yang mendatangkan kesibukan ekstra bagi MultistakeholderForestry Programme (MFP). Program yangmendapat dukungan Departemen Pem -bangunan Internasional Kerajaan Inggris danIrlandia Utara (UKAID) ini mengerahkan sejumlah personelnya untuk memfasilitasipelatihan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu(SVLK) di enam kota di Pulau Jawa dan Bali— Yogyakarta, Surakarta, Jepara, Semarang,Surabaya, dan Denpasar.

Sesuai namanya, SVLK adalah sistem untukmemastikan keabsahan legalitas kayu yang digunakan sebagai bahan baku oleh industriberbasis kayu. SVLK adalah peraturan yangdisusun oleh Pemerintah Republik Indonesia(RI), dalam hal ini Kementerian Kehutanan.Sebagai sebuah peraturan, SVLK harus ditaatikalangan industri berbasis kayu. Artinya, industri harus menerapkan SVLK dalam

bisnisnya. Ini terutama bagi industri yangmelempar produknya ke pasar ekspor.

Resminya, pelatihan SVLK bagi industriberkala kecil dan menengah ini bertajukPelatih an SVLK Bagi Kelompok Usaha Kecil danMenengah (UKM) Pemegang Izin Usaha Indus-tri Kayu Lanjutan (Furniture, Kerajinan, dll).Pelatihan berlangsung dari 12 April hingga 12Mei 2012.

Pelatihan SVLK ini merupakan respons MFPterhadap permintaan Asosiasi Industri Per -mebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo).Yakni agar MFP memfasilitasi pelatihan SVLKbagi para anggotanya di sejumlah wilayah.Yang dimaksud “fasilitasi” di sini adalah bahwaMFP memberikan dukungan dalam beberapabentuk – dana untuk mengongkosi sebagiankebutuhan pelatihan, sumberdaya manusia(SDM) untuk peran pelatih serta tenaga narasumber, juga kurikulum dan silabus – untukterlaksananya proses pelatihan.

Maka jadilah pelatihan tersebut menyertakanperusahaan permebelan dan kerajinan berbasiskayu yang sebagian besar anggota Asmindo.Hanya saja, untuk pelatihan di Jepara (JawaTengah), peserta bukan dari anggota Asmindo,melainkan juga anggota Asosiasi PengrajinKecil Jepara (APKJ). Untuk industri anggotaAsmindo, pelatihan SVLK ini merupakan yangpertama kali. Tapi pelatihan SVLK untuk industri di luar Asmindo, sudah pernah adasebelumnya. Ada catatan tersendiri tentang dinamika ini, dalam bagian lain bab ini.

Asmindo mengetuk pintu MFP untuk mem-fasilitasi pelatihan SVLK bagi para anggotanyabukan tanpa sebab. Bergulir sejak 2008, MFPII bergerak dalam kegiatan untuk mendorongproses multipihak untuk mempercepat prosespemberlakuan SVLK di Indonesia. Jadi, selamaini SVLK merupakan program utama yang didorong MFP. Dengan menjadikan SVLKsebagai salah satu program utama, MFP

Pelatihan SVLK bersama MFP

P

10

Industri sawmill: Termasuk salah satu usaha berbasis kayu.

Page 11: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

dengan sendirinya juga memiliki berbagaisumberdaya. Baik itu berupa sumberdayamanusia, jaringan, sistem informasi, maupunsumber pendanaan— yang semuanya disiap-kan untuk memfasilitasi berbagai kegiatanmendorong tercapainya SVLK.

Alasan lain mengapa Asmindo mengandalkandukungan MFP dalam mendorong SVLKadalah bahwa selama ini MFP, juga sudah ber -gerak memberikan dukungan bagi sejumlahmitra lokal untuk melakukan pendampingandan pelatihan SVLK secara langsung, di luarkerjasama dengan Asmindo. Pelatihan tersebutmelibatkan industri kecil dari sejumlah wilayahdi Indonesia. Pelatihan ini berlangsung di Yogyakarta, sekitar awal 2011 dan 2012.Dengan fasilitasi MFP, pelatihan tersebut padasaat itu dilakukan oleh Universitas GadjahMada (UGM), dalam hal ini Fakultas Kehutanan, serta sebuah Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM) bidang kehutanan danpemberdayaan masyarakat, Java Learning Center (JAVLEC), Yogyakarta.

Desember 2013 Industri Wajib SVLK

Pelatihan SVLK bagi industri mebel dan kerajinan berbasis kayu anggota Asmindo ini berangkat dari dinamika perkembangan sikapAsmindo sendiri terhadap status SVLK. Ituterjadi ketika pada 2009 beredar kabar bahwaPemerintah RI berketetapan hati untukmenaikkan status VLK. Tadinya, sejak disusunpada 2003, sebagai sebuah peraturan, SVLKmasih bersifat tak wajib atau sukarela (volun-tary). Artinya, industri masih boleh menjualproduk mebel dan kerajinan berbahan kayu keEropa tanpa harus memenuhi semua syaratyang ada dalam SVLK.

SVLK adalah peraturan produk asli Pemerin-tah RI. Selain diniatkan untuk memperbaikipengurusan hutan dan industri produk kehutanan, ini merupakan tanggapan terhadapsikap sejumlah negara yang tergabung dalamUni Eropa (UE), terutama Inggris. Merekameminta jaminan bahwa produk mebel yangdiekspor RI ke Eropa dibuat dari bahan bakukayu legal. Permintaan jaminan ini berkaitan

Pelatihan SVLK bersama MFP

11

JeparaJumat–Minggu,

27–29 April 2012

Milestone Pelatihan SVLK bagi IKM Anggota Asmindo oleh MFP 2012

SemarangSelasa–Kamis,1–3 Mei 2012

SurabayaSenin–Rabu,7–9 Mei 2012

YogyakartaKamis–Sabtu,

12–14 April 2012

SurakartaSenin–Rabu,

16–18 April 2012

DenpasarKamis–Sabtu,

10–12 Mei 2012

Page 12: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Peta Tujuan Ekspor Mebel Indonesia

Amerika Serikatt

Mexicot

Eropat

Timur Tengaht

Afrika Selatant

Thailant

Korea Selatant

Jepangt

Taiwant

Australiat

12

Pelatihan SVLK bersama MFP

dengan kepedulian masyarakat internasionaluntuk mengerem laju pembabatan hutan secara liar (illegal logging). Kasus illegal loggingmemang marak di Tanah Air, terutama bebe -rapa tahun setelah jatuhnya rezim Pemerintah -an Presiden Soeharto pada 1998. Bahkansampai tahun 2000, illegal logging berlangsung.Dan sebagian besar hasil illegal logging mengalirke industri berbasis kayu, termasuk industrimebel dan kerajinan.

Dan dari berbagai komoditas ekspor Indone-sia, mebel termasuk yang volumenya dominan,dengan nilai yang tak sedikit. Ekspor mebel Indonesia bukan hanya ke Eropa, melainkanjuga ke belahan dunia lainnya: AmerikaSerikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, ailand, Turki, Afrika Selatan,Dubai, bahkan Israel. Dan seluruh pemerin -tah an negara-negara tersebut sudah telanjurmencap bahwa mebel yang mereka impor dariIndonesia dibuat dari bahan baku kayu yangtak memenuhi syarat legalitas.

Kritik bermunculan dari parapihak yang melihat pelaksanaan SVLK di Indonesiaterkesan kurang sungguh-sungguh. Itu masih

ditambah dengan cap oleh masyarakat inter-nasional bahwa produk mebel Indonesiadibuat dari bahan baku kayu tak legal. Itu semuai membuat harga diri Pemerintah RIterusik. Stigmatisasi tersebut seolah menudingbahwa Bangsa Indonesia tak sanggup menga tur sendiri urusan dalam negerinya,termasuk mengurusi legalitas kayu sebagaibahan baku industri berbasis kayu (timber-based industry). Dari situlah kemudian Peme -rintah RI menyusun dan menerbitkanperaturan tentang SVLK pada 2003.

Hanya saja, di saat-saat sekitar awal pener -bitannya SVLK masih bersifat sukarela.Akibat nya, industri pun juga bersikap suka-suka. Artinya, SVLK belum efektif sebagai alatuntuk mencapai tujuan. Belum ada jaminanbahwa mebel produksi Indonesia, baik yanguntuk ekspor maupun untuk pasar domestik,menggunakan bahan baku kayu legal. Jika diartikan lebih jauh, illegal logging sangatmungkin masih berlangsung.

Keadaan ini sekali lagi membuat beberapa negara yang tegabung dalam Uni Eropa mintaPemerintah RI lebih besungguh-sungguh.

Page 13: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

ekspor: Beberapa negara Eropa minta kayu legal.

“Perlu penyempurnaanSVLK gunameningkatkanakuntabilitas dankredibilitasnya.

13

Hasilnya, pada 2009 Pemerintah RI memutus -kan bahwa SVLK bukan lagi bersifat sukarela,melainkan wajib bagi industri. Sebenarnya,wajib SVLK bukan hanya bagi industri,melainkan semua jenis bisnis yang mengguna -kan kayu. Itu bahkan berlaku pula bagi parapengelola hutan. Kebijakan Pemerintah untukmewajibkan SVLK tertuang melalui PeraturanMenteri Kehutanan (Permenhut) No.P.38/Menhut-II/2009.

Meski ditandatangani pada 2009, PermenhutNo. 38 2009 dan seperangkat petunjuk pelak-sanaan dalam penerapan SVLK ini tak serta-merta memaksakan SVLK efektif pada tahunitu juga. Pemerintah pada 2010 masihmelakukan evaluasi dan pembenahan (revisi)atas Peraturan tersebut. Hasil evaluasi terhadapimplementasi tersebut menunjukkan perlunyapenyempurnaan SVLK guna meningkatkanakuntabilitas dan kredibilitasnya. Melaluiforum konsultasi publik tingkat regional dannasional; para pihak berhasil merumuskan masukan dalam upaya penyempurnaan aturantersebut.

Selanjutnya proses penyempurnaan masukanditindaklanjuti melalui tim kelompok kerjayang akhirnya pada akhir Desember 2011menetapkan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011tentang perubahan atas Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009tentang standar dan pedoman penilaian kinerjapengelolaan hutan produksi lestari dan veri-fikasi legalitas kayu pada pemegang izin ataupada hutan hak (bukan hutan milik negara).

Sambil mendapat masukan baru dari para pemangku kepentingan (stakeholder),Pemerintah melalui P 68 menyebutkan bahwapada Desember 2012 industri primer dan integrated-- seperti sawmill, plywood-- sudahharus ber-VLK. Sedangkan untuk industri lanjutan pada Desember 2013. Itu berartibahwa industri yang tak mengikuti aturanmain SVLK bakal kehilangan kesempatanmelanjutkan bisnisnya.

Pada awal diberlakukannya SVLK, dan indusrimasih enggan menerapkannya, Asmindo pun

Page 14: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Perjalanan SVLK

2001 2002 2003 2005

Deklarasi Bali tentangpenegakan hukum kehutanan danpemerintahan

Berbagai Mou kerjasama untukmemerangi pembalakan liar

Konsultasi multi pihakuntuk mengem-bangkan definisi legali-tas kayu

Pengembangan lebih lanjut danperumusan standar dan kriteriauntuk legalitas kayu dari berbagaijenis standar legalitas kayu

“Indonesia merupakannegara Asia pertama yangmempunyai kesepakatan VPAdengan UE.

14

Pelatihan SVLK bersama MFP

memandang SVLK sebagai beban, terutamabeban biaya. Baru ketika Pemerintah menetap-kan tenggat diberlakukannya SVLK bagi industri lanjutan, yaitu pada Desember 2013,Asmindo berubah pikiran. Asmindo tak inginindustri mebel anggotanya tutup warung gara-gara tak melaksanakan sistem ini. Apa lagi beberapa negara di luar Indonesia— terutamaChina, Vietnam, dan Malaysia— yang selamaini juga mengandalkan salah satu lumbung devisanya dari ekspor mebel, berpeluangmelesat lebih di depan dan meninggalkan Indonesia tercecer di belakang.

Indonesia merupakan negara Asia pertamayang mempunyai kesepakatan VPA dengannegara-negara EU. Hingga pada saat ini,perkembangan dari tahapan perjanjian VPAtersebut tengah memasuki tahap “persiapanujicoba pengiriman kayu atau produk kayubersertifikat”, sebelum memasuki tahap imple-mentasi sepenuhnya pada Maret 2013. Beberapa indikator berjalannya proses tersebutadalah telah dikembangkannya “Strategi

Implementasi” oleh kedua negara danpembicaraan intensif terkait pengembangankelembagaan Joint Preparatory Committee.

Implementasi SVLK pada tingkat unit mana-jemen pelaku usaha sudah terlihat dan menun-jukkan perkembangan yang signifikan dalamdua tahun terakhir. Itu tampak dari ber -langsungnya penilaian kinerja PengelolaanHutan Produksi Lestari (PHPL) pada unitkelola/pemegang izin pada berbagai bentukpengelolaan hutan dengan total areal seluas kurang lebih 5,8 juta hektare. Di sisi lain,verifikasi legalitas kayu (VLK) juga telah dilakukan pada hutan alam maupun tanamandengan luas kurang lebih 800 ribu hektare, danverifikasi legalitas kayu juga telah dilaksanakanpada 175 unit industri pengolahan kayu.

Sebagian besar industri yang telah lulus prosessertifikasi VLK adalah industri berskala besardan bergerak di bidang wood working. Bebe -rapa contoh di Jawa Tengah antara lain Indo-tama Omricon Kahar, Albasia Bumhipala

Page 15: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Perjalanan SVLK

2006 2007 2009 2011

Persada, Dharma Satya Nusantara Temang-gung, dan PT Kayu Lapis Indonesia Semarang.Beberapa industri besar tersebut juga mem -produksi furnitur dan menggarap moulding,seperti Kurnia Jati Utama (Jawa Tengah) danPT Panca Warna di Gresik (Jawa Timur).Sedangkan di kalangan UKM, salah satu darisedikit yang telah lolos audit VLK adalah JawaFurni Lestari (Yogyakarta), yang memproduksifurnitur dengan pola non manufactured.

Dalam mencapai tujuan untuk mempersiap-kan industri kehutanan, terutama dari kalang -an Usaha Kecil dan Menengah untuk mampumengimplementasikan sistem verifikasi legali-tas kayu (SVLK), maka perlu dilakukanpening katan kapasitas dan kesiapan pelaku industri kecil dan menengah melalui pelatihanSVLK. Kegiatan tersebut juga diharapkan secara bersama-sama menjadi sarana untukmendorong implementasi SVLK di kalanganIKM/UKM, mendorong perluasan jejaringusaha kehutanan serta penajaman tentangberbagai hambatan untuk implementasi. Selain

itu dengan pelatihan juga diharapkan muncul-nya strategi bagi kelompok usaha kecil danmenengah dalam menyikapi keharusan dalammenerapkan SVLK.

China dan Vietnam terang-terangan mengirimdelegasi ke Indonesia untuk mengkopi drafSVLK, dan tinggal menerjemahkannya kedalam bahasa masing-masing. Malaysia punagresif memperisapkan investasinya untukmasuk ke bisnis mebel di Indonesia. Jika tetapsaja tak sigap dalam menyikapi dinamikaperdagangan mebel internasional, terutamaberkaitan dengan pemberlakuan SVLK sebagaikebijakan wajib, industri mebel Indonesia bisabenar-benar tertimpa petaka. Itu mengingatwajib SVLK tak hanya untuk ekspor ke Eropa,tapi juga akan melebar untuk ekspor keAmerika Serikat (AS), Jepang, dan Australia.Dan jika negara-negara lain yang nantinyalebih dulu ber-SVLK, maka, pasar domestikakan dibanjir produk impor, terutama dariChina, dan juga terlibas oleh masuknyapenanaman modal langsung investor Malaysia.

Reformulasi standar le-galitas kayu dan ujicoba lapangan

Peningkatan standar le-galitas kayu danpengembangan sistem

Standar dan sistem le-galisasi kayu diadopsioleh pemerintah

l Kesepakatan VPA tercapail Pemarafan kesepakatan

VPAl Peluncuran logo “V-legal”

15

Pelatihan SVLK bersama MFP

Page 16: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

16

Ini Dia Wajah-wajah Para Pelatih dan Narasumber

Ahmad Edi Nugroho: Surakarta Agus Setyarso: Surakarta, Jepara, Semarang, Surabaya, Bali

Agus P Djailani: Yogyakarta, Surakarta,Surabaya, Bali

I Ketut Alit Wisnawa: Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali

Irfan Bakhtiar: Yogyakarta, Surakarta,Jepara, Semarang, Bali

Suryanto Sadiyo: Yogyakarta,Surakarta, Jepara, Surabaya

Exwan Novianto: Yogyakarta,Surakarta, Jepara, Bali

Een Nuraeni: Yogyakarta, Surakarta,Surabaya, Bali

Setyowati: Yogyakarta, Surakarta,Jepara, Semarang, Surabaya, Bali

Jajag Suryo Putro: Yogyakarta,Surakarta, Jepara, Semarang, Bali

Panji Anom: Yogyakarta, Surakarta,Jepara, Semarang, Surabaya, Bali

Anton Sanjaya: Jepara, Semarang,Surabaya

Sudarwan: Yogyakarta, Surakarta,Jepara, Semarang, Bali

Teguh Yuwono: Jepara, Semarang, Bali.

Diah Raharjo: Jepara, Bali

Page 17: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

MFP tak sendiri melaksanakan seluruhkegiatan dan tanggungjawab dalam pelatihanSVLK bagi IKM anggota Asmindo di enamkota kali ini. Ia bekerjasama dengan jaringanmitra lokal di beberapa daerah untukmelakukan itu. Ini terutama untuk penyediaantenaga pelatih, narasumber, dan panitia lokaldi enam kota yang bersangkutan.

Kerjasama antara MFP dengan sejumlah mitralokal tersebut membuat pelatihan SVLK bagiIKM anggota Asmindo di enam kota lebihmudah. Mudah dalam pengertian bahwa daribeberapa program pelatihan sebelumnya, disitu sudah terdapat tenaga pelatih, narasumber,dan kurikulum yang siap dimanfaatkan.

Pada 17 hingga 21 Januari 2012, MFP danpara mitranya juga baru saja menyeleng-garakan pelatihan bagi tenaga pendampingIKM. Di situ, MFP bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam halini Fakultas Kehutanan, dan Java LearningCenter (Javlec). Pelatihan berlangsung di Kom-pleks Wanagama, hutan observasi milik UGM,di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi DaerahIstimewa Yogyakarta (DIY). Peserta pelatihanberasal dari sejumlah IKM yang selama inisedang dan akan menjadi mitra dampingandari LSM mitra MFP, misalnya APIK Bule-leng, Koperasi Kosta Jasa Kebumen, Lampung,serta dari perwakilan LSM dan pemerintahdaerah (Pemda).

Pelatihan bagi pendamping IKM pada Januaritersebut dapat disebut sebagai arena pemanasan bagi pelatihan SVLK bagi IKManggota Asmindo sepanjang April hingga Mei2012. Target, materi, kurikulum, peserta,lokasi, dan mekanisme pelatihan bagi pendamping IKM memang berbeda daripelatihan SVLK bagi IKM anggota Asmindo.Namun dalam beberapa hal, kedua pelatihanpada taraf tertentu memiliki kemiripan. Yaknidalam hal pengelolaan penyelenggaraan,tenaga pelatih, dan metodologi.

Dalam kerjasama dengan para mitra lokal, termasuk dengan Javlec dan SulawesiCommunity Foundation (SCF) di Makassar,MFP berperan sebagai penyandang dana. MFPjuga memiliki program yang salah satunya tentang implementasi SVLK, baik di hutanmaupun di industri. Kontribusi MFP yang diharapkan oleh para mitra lokalnya adalahpertama adanya fasilitasi yang berkelanjutan,termasuk dalam kegiatan pelatihan ini.Artinya, para mitra dan jaringan lokal berharapkegiatan ini tak berhenti sampai di sini. Pasal-nya, masih banyak pekerjaan yang belum tuntas dan perlu adanya tindakan nyata berupapendampingan bagi industri kecil dan menengah yang mempunyai kemauan tinggiuntuk menuju SVLK. Harapan lain adalahadanya terobosan yang konkret untuk men-dorong Pemerintah dan pihak lain untukmembenahi kebijakan yang kurang pas. Dengan demikian, VLK dapat terlaksanasesuai rencana dan tepat waktu.

Dalam kerjasama dengan MFP, para mitralokal juga hadir bukan dengan tangan hampa.Mereka memberikan kontribusi berupajaringan dan dampingan di lapangan. Paramitra dan jaringan MFP juga menyiapkan materi, memfasiltasi pelatihan, dan membuatlaporan pelaksanaan kegiatan kepada MFP.Untuk teknis pelaksanaan di lapangan, MFPjelas tak sanggup berjalan sendiri. Di situlah,mitra lokal dan jaringannya memainkan peranya sebagai mitra MFP, karena selama initelah berhasil dalam mendorong kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan Unit Mana -jemen Hutan Rakyat dan Industri KecilMenengah (IKM) menuju SVLK.

Sejauh ini sudah ada lima Unit ManajemenHutan Rakyat dan satu Industri Kecil Menegah yang mendapatkan SVLK. Darisudut pandang sumberdaya manusia (SDM),para personel Javlec dan jaringannya memilikikompetensi dalam melakukan fasilitasi pelatih -an SVLK. Mereka ini telah lulus dari pelatihan

Pelatihan SVLK bersama MFP

17

Pada 17 hingga 21 Januari 2012,MFP dan paramitra menyeleng-garakan pelatihanbagi tenaga pendamping IKM.

Page 18: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

pendamping atau fasilitator dan auditor. Selainitu, mereka juga memiliki pengalaman dalammelakukan pendampingan dan audit internal. Khusus berkaitan dengan pelatihan SVLK bagiUKM anggota Asmindo, ini merupakan yangpertama. Sebelum ini Asmindo sempat meno-lak SVLK, dan baru kemudian menerima. Ituberlanjut dengan inisiatif Asmindo yang kemudian minta MFP memfasilitasi pelatihan.Hanya saja tak semua anggota Asmindo terakomodasi dalam pelatihan SVLK ini.

Untuk memfasilitasi industri anggota Asmindoagar siap mengadopsi SVLK, Asmindo danMFP sepakat bahwa kegiatan ini bukan ajangsosialisasi, melainkan penyiapan industrimenuju SVLK. Tujuannya adalah agar industrimengetahui seberapa jauh kekurangan atau kesiapan mereka untuk meraih SVLK.Faktanya, memang masih banyak industri yangbelum paham dan belum tahu tentang SVLK.

Pendekatan terhadap kondisi di kalangan industri yang demikian itu dilakukan dalambentuk pelatihan, dan lebih spesifik lagi berupacoaching tentang SVLK, konsultasi intensif,pemetaan masalah berikut tindakan yang

dilakukan. Harapannya, industri yang sudahsiap dan punya komitmen nantinya akanmelakukan langkah-langkah lanjutan secaramandiri ke arah SVLK.

Tenaga pelatih dalam beberapa pelatihanSVLK inilah hampir semuanya berasal darilembaga-lembaga yang selama ini merupakanmitra lokal MFP. Di situ ada Teguh Yuwono(dosen Fakultas Kehutanan UGM), JajagSuryo Putro (pebisnis mebel di Yogyakarta),dengan koordinasi oleh Irfan Bakhtiar (salahsatu fasilitator dari MFP). Kapasitas Teguh Yuwono jelas, yakni sebagai dosen FakultasKehutanan UGM, sesuai dengan syarat –syaratpelatih. Akan halnya Jajag dan Irfan hadir dengan kapasitas sebagai pendukung. Jajagdiperlukan kehadirannya untuk memaparkanpengalaman empirisnya sebagai pelaku bisnismebel (PT Jawa Furni Lestari).

Sementara itu, Irfan hadir sebagai narasumberuntuk mendukung pemahaman para pesertaseputar SVLK. Selain tiga nama tersebut, hadirpula Exwan Novianto dan Suryanto Sadiyo sebagai fasilitator utama (lead trainer) pada saatproses pelatihan berlangsung. Kedua personaljaringan Javlec ini telah banyak berkiprahdalam bidang sertifikasi. Berpenga laman panjang dalam mendampingi hutan rakyat danIKM perkayuan, serta mengantongi sertifikatsebagai auditor sertifikasi Chain of Custody(CoC) industri kayu dan pelatih IndepenentForest Monitoring (IFM), Exwan dan Suryomerupakan dua dari sedikit pelatih yang sangatmenguasai substansi dan kodisi lapangandalam implementasi SVLK, terutama bagiUM Hutan Rakyat dan IKM perkayuan.

Kelima nama itu pula yang kemudian kembalitampil dalam ragkaian pelatihan SVLK bagi

Pelatihan SVLK bersama MFP

Pelaku industri: Sasaran lepatihan SVLK-MFP-Asmindo.

18

Page 19: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

IKM anggota Asmindo. Dan karena skalapekerjaan dalam pelatihan SVLK bagi IKManggota Asmindo lebih besar, melibatkan peserta lebih banyak, berlangsung lebih lama,dan berlangsung di enam kota, jumlah pelatihdan narasumber pun juga lebih banyak. Beberapa nama pelatih tambahan antara lainEen Nuraeni, Setyowati, Anton Sanjaya, dan Sudarwan. Jadi, pelatihan SVLK bagi IKManggota Asmindo melibatkan total enampelatih.

Keenam nama tersebut mendapat kepercayaanmenangani pelatihan SVLK bagi IKM anggotaAsmindo karena mereka memang memiliki kapasitas untuk melaksanakan pekerjaansebagai pelatih. Mereka menguasai persoalankarena berpengalaman di bidang tersebut. Disamping menekuni pekerjaan tetap masing-masing, mereka juga telah menjalani pelatihandan bahkan mengantongi sertifikat sebagai auditor profesional. Dan lebih dari itu, selamaini mereka pun aktif menangani isu SVLK, dengan memainkan peran sebagai pen dam-

ping bagi entitas masyarakat dan badan usahaberbasis kayu untuk mendapatkan SVLK. Suryanto Sadiyo (Arupa, Yogyakarta), ExwanNovianto dan Sudarwan (keduanya Shorea,Yogyakarta) selama ini merupakan mitra bagiJavlec. Javlec sendiri adalah mitra lokal MFPdi Yogyakarta dengan kegiatan untuk men-dorong sertifikasi pengelolaan hutan rakyat.Kegiatan ini tak terbatas pada pengelolaanhutan rakyat di seputar Yogyakarta, melainkanmeluas ke Jawa Timur (Malang, Madiun, Pacitan) dan JawaTengah (Purworejo danKebumen).

Anton Sanjaya adalah manajer program sebuahLSM Sulawesi Community Foundation (SCF)yang berbasis di Makassar (Sulawesi Selatan),selain memiliki sertifikat sebagai auditor Veri-fikasi Legalitas Kayu. Bersama Jaringan Advokasi untuk Hutan (JAUH) dan KoperasiHutan Jaya Lestari (KHJL), SCF berkoordinasidalam berbagai pelatihan SVLK dan pen-dampingan bagi para anggota koperasi, danberhasil lulus SVLK pada 2011. Koperasi HJL,

Pelatihan SVLK bersama MFP

19

Niaga kayu: SVLK memastikan kayuyang beredar legal.

Page 20: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

dengan lebih dari 750 anggota dan denganpendampingan dari JAUH, telah pula mengantongi Sertifikat Forest StewardshipCouncil (FSC).

Pada saat ini SCF dan sejumlah LSM lokal danpetani hutan melakukan pendampingan di tigakabupaten— Muna (200 petani jati), Luwu(51 petani), dan Bulukumba (200 lebihpetani). Kini SCF tengah memfasilitasi inven-tarisasi potensi pohon di ketiga kabupatentersebut. Sementara itu, Een Nuraeni (Bogor,Jawa Barat) adalah personel MFP yang selamaini giat dalam program untuk mendorong danmemfasilitasi para pengrajin dan industri kecilmebel di Kabupaten Buleleng (Bali) yangberhimpun dalam Asosiasi Pengrajin IndustriKecil (APIK).

Pada saat ini pendampingan MFP terhadapAPIK kian intensif seiring dengan rencanaasosiasi tersebut untuk mengejar target men-dapatkan SVLK sekitar 2013. Sejak awal 2012,

APIK mulai merapikan administrasi internalpara anggotanya serta menata proses produksi,sesuai dengan syarat-syarat (verifier) SVLK.Langkah yang ditempuh APIK mencakup rencana memasukkan unit kelola hutan milikpara petani ke dalam keanggotaan asosiasi. Tujuannya, untuk menjamin bahwa seluruhkayu bahan baku yang digunakan industri ker-ajinan dan industri mebel di Buleleng legal.

Penambahan jumlah personel dalam pelatihanSVLK bagi IKM anggota Asmindo tak hanyaterjadi pada pelatih. Jumlah narasumber jugaditingkatkan. Irfan Bakhtiar tak hanyamemainkan peran sebagai kordinator yangmemaksa dia selalu berkomunikasi dan beker-jasama dengan Komda Asmindo di enam kota.Komunikasi antara Irfan dengan Komda Asmindo di enam kota dimaksudkan untukmemastikan beberapa hal berkaitan denganpelatihan. Itu terutama berkaitan dengan tem-pat pelatihan yang representatif ( biasanya diruang pertemuan atau convention hall di hotelatau di restoran), serta jumlah peserta yangsudah pasti berimplikasi pada anggaran.

Narasumber PelatihanDalam pelatihan SVLK bagi industri anggotaAsmindo di enam kota tersebut Irfan taksekadar berperan sebagai koordinator. Ia bebe -rapa kali juga menjadi narasumber, terutamauntuk menjelaskan tentang latar belakangSVLK, tentang latar belakang serta tujuanpelatihan, dan juga tentang kapasitas MFPdalam pelatihan tersebut. Selain Irfan, pelatih -an SVLK bagi industri anggota Asmindo jugamelibatkan sejumlah narasumber lain, baikyang permanen maupun yang insidental.

Beberapa nama yang temasuk narasumber pemanen dari MFP adalah Agus Setyarso danAgus P Djailani, sekalipun mereka berdua sem-pat tak mengikuti pelatihan di beberapa kotakarena harus melaksanakan tugas lain. Disamping sebagai narasumber, Agus Setyarsojuga membuat pengamatan serta telaah sekilas

20

Pelatihan SVLK bersama MFP

Kegiatan Industri: Di Jepara dan Bali banyak pengrajin

Page 21: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

21

Berbagi Tugas atara Asmindo dan MFP

Bagian awal bab ini menyebutkan bahwa Asmindo minta agar MFP melakukan fasilitasipelatihan SVLK bagi industri angota Asmindo.Yang dimaksud dengan “fasilitasi” oleh MFPdalam pelatihan SVLK bagi anggota Asmindo ini berwujud beberapa hal, terutama berupapendanaan untuk seluruh keperluan untuk mendukung pelaksanaan pelatihan. Dengan perhitungan bahwa pelatihan di tiap kota berlangsung tiga hari, maka total terdapat 18 haripelatihan, dengan beberapa pos anggaran yang menjadi tanggungan MFP sebagai berikut.

l Honor pelatih, rata-rata enam orang untuk tiap kotal Honor narasumber, rata-rata empat sampai enam orang di tiap kotal Honor tim pendukung (resepsionis dan administrasi), rata-rata dua sampai lima orang

di tiap kotal Ongkos transportasi bagi pelatih, narasumber, personel Asmindo, personel MFP, dan

peserta (termasuk tiket pesawat terbang PP), rata-rata 50 orang di tiap kota l Ongkos akomodasi di hotel (menginap dan makan) bagi peserta, pelatih, personel

Asmindo, narasumber dan personel MFP sendiri), rata-rata 50 orang di tiap kota l Uang saku (perdiem) bagi peserta, pelatih, narasumber, dan panitia, rata-rata 50 orang

di tiap kotal Ongko sewa kendaraan bagi pelatih untuk mengunjungi lokasi industri yang hendak

didampingi pada sesi pendampimgan di tiap kota, rata-rata empat mobil di tiap latihan,untuk disewa selama satu hari,

l Ongkos produksi dan sewa peralatan (kaos, sound system, multimedia, flash disk berisi bahan ajar).

Sementara itu, Komda Asmindo bertugas menangani beberapa hal:l Mengurusi hal-hal teknis berkaitan dengan akomodasi di hotel atau tempat pelatihanl Membuat daftar dan mengundang peserta pelatihanl Mengundang narasumber dari BP2HP atau Dinas Kehutanan dan Perkebunanl Menyiapkan tempat latihan dan peralatannya (termasuk back drop)l Mengorganisasi penyewaan mobil yang dipakai pelatih dalam melakukan kunjungan

(coaching) di industri.

Page 22: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

tentang situasi dan dinamika yang terjadi padasaat pelaksanaan pelatihan. Hasil telaah danpengamatan lantas ia jadikan bahan diskusidengan para pelatih, dengan tujuan agar adaperbaikan sehingga pelatihan dapat mencapaihasil optimal.

Sedangkan narasumber dari MFP yang hadirinsidental di saat pelatihan adalah Achmad EdiNugroho (di Surakarta) dan Diah Raharjo (diJepara dan Denpasar). Sebagai figur yangmemegang peran sentral di MFP, Achmad EdiNugroho dan Diah Raharjo hadir di pelatihanlebih untuk memberikan dukungan moral danpolitik. Ini terutama ketika pada pelatihantersebut terdapat sesi pertemuan sampingan(side event), baik resmi maupun tak resmi, yangmelibatkan pimpinan institusi, seperti Asmindo (baik Asmindo pusat maupunKomda) dan kantor Pemerintah Daerah— biasanya Dinas Kehutanan dan Perkebunan (di

Jepara, Semarang, Denpasar) serta DinasPerdagangan (Denpasar).

Narasumber permanen lain juga datang dariAsmindo pusat (Dewan Pengurus Pusat,DPP), yakni Ketut Alit Wisnawa. Di DPP Asmindo, Alit memang memegang peransebagai pengurus yang khusus menanganisosialisasi SVLK internal di kalangan industriyang menjadi anggota Asmindo. Ia ikut hadirdan menjadi narasumber dalam pelatihanSVLK oleh MFP bagi industri anggota Asmindo di enam kota, kecuali Jepara.

Dari Asmindo, masih ada juga narasumber lainuntuk pelatihan SVLK ini, yakni pimpinanKomda setempat. Mereka itu antara lain YuliSugianto (Komda Yogyakarta), David R Wijaya (Komda Solo Raya), Akhmad Fauzi(Komda Jepara), Anggoro Ratmodiputro(Komda Semarang), dan Pitoyo (Komda Denpasar). Satu-satunya Komda Asmindoyang ketuanya tak bisa hadir ke pelatihanadalah Surabaya, dan diwakilkan.

Narasumber lain dalam pelatihan ini adalahpetugas dari Balai Pemantauan PemanfaatanHasil Hutan Produksi (BP2HP) Wilayah VIII,Kementerian Kehutanan, Surabaya, untuk materi tentang penatausahaan hasil hutan(PUHH). Mereka ini hadir dalam pelatihan diSurakarta, Jepara, Semarang, dan Surabaya.Untuk tiap pelatihan, ada dua narasumber dariBP2HP, sesuai dengan sifat pelatihan yang jugamengundang dua wakil untuk tiap industri—satu orang dari posisi pembuat keputusan (decision maker, DM) dan satu orang dariposisi staff. Untuk pelatihan di Yogyakarta danDenpasar, narasumber untuk materi tentangPUHH berasal dari Dinas Kehutanan danPerkebunan provinsi setempat. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Industri Mebel: Setiap proses harus dicatat.

22

Page 23: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

23

Narasumber lainnya dariBP2HP WilayahVIII, Surabaya,untuk materi tentang PUHH

Petugas BP2HP Pelatihan SVLK IKM/UKM untuk Materi PUHH:

Tony Riyanto (Surakarta, Surabaya) Budi Kurniyadi (Surakarta)

Erwan Sudaryanto (Semarang, Surabaya) Hadi Sukisno (Semarang)

Heru Sutopo (Jepara) Aditya Nugroho (Jepara).

Page 24: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Buat Apa Pelatihan SVLK?Jadi, dengan ringkas dapat disampaikan bahwa pelatihan ini dilatarbelakangi peraturan menteri tentang SVLK, yakni P 38 tahun 2009 jo P 68 tahun 2011. Peraturan tersebut mewajibkan parapemegang izin, baik pengelola hutan maupun industry, untuk memperoleh SVLK. Memang, sudahada beberapa industri yang mendapatkan sertifikat VLK. Hanya saja mereka itu sebagian besarmerupa kan industri besar. Sedangkan industri kecil dan menengah, terutama yang bergerak dibidang furniture dan mebel, masih sedikit. Untuk itulah, Asmindo meminta MFP untuk memfasilitasipenyiapan industri menuju SVLK.

Tujuan, Target, dan Strategi AsmindoDan secara spesifik, ada dua tujuan utama dalam pelatihan ini:1. Peserta memahami sistem verifikasi legalitas kayu,2. Peserta mampu mengimplementasikan legalitas kayu dalam unit industrinya.

Secara khusus, pelatihan SVLK bagi IKM anggota Asmindi ini merupakan pelaksanaan WorkplanMFP Transisi nomor 1.3.2.a. Latih Damping bagi 10 Usaha Menengah (UM dan delapan IKM.

Meskipun di dalam workplan hanya direncanakan untuk melaksanakan pelatihan dan pendampinganatau asistensi kepada delapan unit IKM, realitas pelaksanaan SVLK membutuhkan yang lebih besar.Jumlah industri kecil menengah, terutama mebel dan kerajinan begitu besar, dan pengrajin kecilyang tergantung pada sektor ini begitu banyak, terutama di daerah – daerah sentra furnitur dan kerajinan yang bertujuan ekspor.

Di sisi lain, kewajiban untuk mengimplementasikan SVLK sepenuhnya pada Januari 2014 di sektorini terlihat cukup berat jika dilihat dengan tingkat kemampuan dan pengetahuan di kalangan IKM.Karena itu, dirasa perlu untuk memberikan perhatian lebih kepada IKM dalam upaya peningkatankapasitas ini. Meskipun demikian, sumberdaya yang dimiliki oleh MFP tak memungkinkan untukmelakukan latih damping secara intensif terhadap semua IKM yang ada. Oleh karena itu, kegiatanini didesain sebagai pelatihan dan asistensi awal kepada IKM yang direkomendasikan oleh Asmindo.

TargetDari dua tujuan besar tersebut ada beberapa target yang hendak dicapai melalui pelatihan ini:a. Meningkatnya pemahaman dan kesiapan kelompok usaha kecil dan menengah tentang SVLK,

yang meliputi konteks, kriteria indikator yang harus dipenuhi, dan strategi implementasi di lapangan,

b. Tersusunnya gap analisis dan rencana tindak lanjut penyiapan implementasi SVLK bagi masing– masing industri peserta,

c. Adanya komitmen dari pelaku industri berbahan baku kayu menuju sertifikasi legalitas kayu,d. Tersusunnya rencana untuk mengimplementasikan SVLK secara penuh dan menyebarluaskan

pengetahuan tentang implementasi SVLK oleh peserta pelatihan kepada para pelaku usaha yang lain melalui asosiasi yang ada

e. Adanya dokumentasi tentang desain dan pelaksanaan pelatihan IKM yang dilaksanakan.

StrategiSedangkan strategi dalam pelatihan ini meliputi beberapa langkah:1. Memberikan pemahaman kepada peserta lewat materi pada hari pertama2. Kemudian pada hari kedua peserta melakukan praktik untuk melakukan assessment terhadap

industrinya dengan output berupa data gap analysis yang terjadi pada industri,

Pelatihan SVLK bersama MFP

24

Page 25: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

25

3. Dan pada hari ketiga dilakukan konsultasi dengan metode clinical coach, yang menempatkan tiap peserta di-clinic oleh dua hingga tiga pelatih.

Dokumentasi dan Pembelajaran PelatihanMengiringi pelaksanaan pelatihan SVLK bagi industri angota Asmindo ini, juga berlangsung kegiatanpendokumentasian. Dokumentasi ini mencakup penulisan proses pembelajaran dari aktivitas ber bagai program yang telah dilakukan dan pelatihan ini. Produk dokumentasi ini akan berbentukbuku, yang di dalamnya mengandung muatan sebagai berikut:

1. Latar belakang pentingnya IKM, khususnya mebel dan kerajinan, untuk melaksanakan SVLK dan VPA, serta kerangka dasar kerja sama antara MFP dengan Asosiasi seperti Asmindo dan APKJ.

2. Proses perjalanan fasilitasi MFP pada IKM. Bagian ini menggambarkan perjalanan dalam mem-fasilitasi IKM dari 2010 sampai dengan 2011, dengan berbagai pelajaran yang didapatkan. Kajian laporan program, interview dokumentator dengan fasilitator MFP (Irfan Bakhtiar), technical assistance (Een Nuraeini), dan mitra (Anton Sanjaya, Suryanto Sadiyo, Sudarwan, Exwan Novianto, Jajak Suryo Putro) menjadi bahan bagi penulis untuk menyusun pembelajaran fasilitasi. Beberapa fasilitasi MFP dan mitra yang akan dikembangkan dalam dokumentasi ini antara lain:v Fasilitasi Asosiasi Pengrajin Industri Kecil (APIK) Buleleng v Dukungan audit kepada Jawa Furni Lestari v Fasilitasi industri kecil menengah di Sulawesi oleh SCFv Fasilitasi industri kecil menengah di Yogyakarta, Surakarta, dan Jepara oleh Javlec.

3. Gambaran tentang kluster industri yang dipilih dan nilai strategisnya bagi industri kayu, khususnya mebel, di Indonesia. Di dalam bagian ini juga akan ditampilkan profil industri yang terpilih di masing – masing klaster (daerah).

4. Kurikulum, silabus, modul, dan bahan ajar yang digunakan selama pelatihan. Kurikulum dan bahan– bahan pelatihan akan ditampilkan dalam buku ini sebagai bahan tutorial kontemporer yang komunikatif dan bisa dikembangkan (replicable). Dengan demikian, aktivitas pelatihan ini dapat direplikasi oleh asosiasi atau pihak terkait lain untuk melaksanakan pelatihan sejenis.

5. Catatan–catatan penting dari diskusi yang berkembang dalam proses pelatihan, baik di kelas maupun di lapangan.

6. Sintesis hasi pelatihan yang merupakan rangkuman dari diskusi rencana tindak lanjut pada hari terakhir dengan pemilik industri dan pegurus asosiasi.

7. Lessons learned kegiatan pelatihan bersama Asmindo. Bagian ini merupakan bagian yang penting dalam dokumentasi ini. Bagian ini merupakan hasil refleksi bersama semua pihak yang terlibat, baik tim MFP, tim pelatih, ataupun Asmindo sebagai rekan kerja dari tim ini. Pembelajaran dari seri pelatih an ini diharapkan menjadi bekal dan landasan ke depan bagi intervensi MFP II ataupun program–program yang lain.

Dalam rangka penyusunan dokumen lessons learned ini, penulis menyertai proses pelatihan di tiapkota. Selain untuk menangkap substansi pelatihan dan lessons learned yang didapatkan secara langsung, keikutsertaan seorang penulis dalam seri pelatihan ini juga untuk mendokumentasikanprofil – profil menarik dari IKM – IKM yang terpilih di tiap lokasi dan sekaligus dapat intens berinteraksidengan tim trainer, MFP, dan para mitra untuk melakukan penggalian informasi terkait.

Dengan demikian, pada akhir program MFP II, telah dihasilkan dokumentasi fasilitasi (capacity building) MFP kepada industri secara lengkap dan komprehensif.

Page 26: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Persiapan kurikulum di Yogyakartaberlangsung sehari di Hotel Jambuluwukpada Senin, 9 April 2012.

Kurikulum, Mendorong Interaksiantara Peserta dengan Pelatih

26

Page 27: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Kick-off pelatihan SVLK di Yogyakarta, tiga hari menyusul persiapan materi dan kurikulum.

Bab

27

Page 28: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Daftar Hadir: Untuk data dan mengetahui peserta.

Y

28

Pelatihan SVLK bersama MFP

ogyakarta menjadi kota penting bagi pelaksa -naan pelatihan SVLK bagi industri anggota Asmindo. Yogyakarta menjadi kota pertama(kick off) pelaksanaan pelatihan, pada 12hingga 14 April 2012. Dari Kota Pelajar itupula, pelatihan ini paling banyak menyertakanmitra dan tenaga pelatihnya. Lima dari delapantenaga pelatih berasal dari Yogyakarta, sepertiPanji Anom (Javlec), Exwan Novianto dan Sudarwan (Shorea), Suryanto Sadiyo (Arupa),dan Teguh Yuwono (Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, UGM). Dan lebihdari itu, di Yogyakarta pula MFP melakukanpersiapan palaing pelatihan, yakni untukmenentukan kurikulum, silabus, dan metodepelatihan SVLK bagi industri anggota Asmindo.

Persiapan kurikulum di Yogyakarta ini berlang-sung sehari di Hotel Jambuluwuk pada Senin,9 April 2012. Itu berarti bahwa persiapankurikulum tersebut hanya berselang tiga haridari kick off pelatihan. Empat dari total delapan

pelatih hadir dalam agenda di Hotel Jambu-luwuk ini. Selain empat pelatih asal Yogyakartayang tersebut di atas, hadir pula tiga pelatihlain, yakni Setyowati dan Een Nuraeni (keduanya dari Bogor, Jawa Barat), serta AntonSanjaya (Makassar).

Hadir pula Agus Setyarso— paling senior baikdi kalangan pelatih maupun narasumber—yang berperan sebagai pelatih bagi kelimapelatih tersebut (trainer of trainer, ToT). Disamping itu hadir pula beberapa personel dariMFP, Irfan Bakhtiar. Sebagai wakil MFP, IrfanBakhtiar juga memainkan peran sebagai koordinator pertemuan tersebut.

Agenda tersebut, selain untuk menyusunkurikulum untuk pelatihan SVLK bagi industri anggota Asmindo, juga menjadi ajangpengarahan (briefing) oleh Agus Setyarso bagitujuh pelatih— minus Teguh Yuwono— yangakan dikerahkan ke pelatihan SVLK. SebagaiToT, Agus memberikan pengarahan untukmenyamakan persepsi di kalangan pelatihberkaitan berbagai hal seputar pelatihan. Disitu pelatih membangun kata sepakat sesuaidengan kapasitas masing-masing, untukmemahami dokumen-dokumen verifier SVLK.Dan lebih banyak lagi waktu yang merekamanfaatkan untuk mendesain pelatihan SVLKyang bakal mereka laksanakan nanti. Desainpelatihan ini mencakup analisis situasi, analisiskebutuhan, dan pilihan kurikulum dan metodenya.

Page 29: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Analisis Kebutuhan atas Dasar Persoalan pada Industri:1. Berbasis dan berskala rumahan2. Hanya merupakan bagian dari mata-rantai perniagaan (warung kayu,

penggergajian, pengrajin, supplier (pool), industri, dan pasar)3. Mengandalkan ketrampilan (skill-based industry, bukan knowledge base)4. Tanpa dukungan jasa finansial bank (di level pengrajin), bankable pada level

supplier sampai industri5. Tanpa manajemen mutu (sampai tingkat supplier), ada manajemen mutu di

Industri6. Mudah memulai dan mudah mengakhiri usaha7. Keberlangsungan produksi rendah di tingkat pengrajin, besar di level industri8. Hubungan dengan Dinas Perdagangan dan Industri rendah.

Analisis Kebutuhan Berbasis Masalah:1. Sampai dengan pengrajin: horison, terbatas pada order2. Industri: sale maksimum (makin banyak order makin bagus), berdampak pada

tingkat bisa diterimanya SVLK (diterima jika berdampak positif pada penjualan)3. Manajemen internal lemah (sumberdaya manusia, SDM): keputusan teknis masih

ada di level pemilik perusahaan4. Administrasi internal belum tertib5. Kepatuhan pada regulasi rendah: hanya patuh pada polisi, patuh pada PUHH6. Perlu intervensi SVLK sampai ke manajemen, perlu tertib regulasi dan administrasi.

Analisis situasi merupakan langkah untukmelihat seperti apa kondisi industri anggotaAsmindo yang bakal mereka hadapi dalampelatihan nanti. Dari analisis itu kemudianmuncul pelatihan macam apa yang dibutuh -kan oleh industri. Pada tahap tersebut kemu-dian kegiatan bangun kurikulum. Untukmembangun kurikulum yang akan mereka

terap kan dalam pelatihan bagi industri anggotaAsmindo, mereka sepakat memodifikasikurikulum yang sebelumnya mereka pernahlaksanakan dalam pelatihan bagi pendampingIKM/UKM. Pertimbangannya, topik bahasankedua pelatihan ini memiliki kesamaan, yaknitentang SVLK.

29

Pelatihan SVLK bersama MFP

Page 30: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

1

2

3

4

5

Konteks SVLK

Teknik dasar Fasilitasi Inti

Merancang fasi litasi/pen-dam-pingan IKM

Melaksanakan Fasilitasi/Pen-dampingan IKM

Monitoring dan Evaluasi

Konteks sertifikasi kehutan-an dan SVLK

Menguasai prinsip-prinsip fasilitasi kelompok

Memahami langkah dasar fasilitasi kelompok

Pemetaan parapihak

Pemahaman mengenai SVLK & CoC

PUHH

Identifikasi kebutuhan pendampingan di IKM

Menguasai situasi pendam-pingan VLK padaIKM

Menyusun rencana tindak fasilitasi pen-dampingan SVLK

Menguasai teknik pendampingan lapangan

Mengkaji ulang hasil-hasil fasilitasi/pen-dampingan

Total

4

2

2

4

4

4

4

6

4

8

6

48

Peserta mampu: 1) Menjelaskan kembali sertifikasi hutan dalam konteks industri kehutanan dan perdagangan, dan2) Mendiskusikan secara spesifik IKM di Indonesia.

Peserta mampu memahami dasar-dasar fasilitasi, misi fasili -tator multipihak, dan tindak fasilitasi.

Peserta mampu mendeskripsikan kembali berbagai pengalaman yang menyangkut langkah dasar fasilitasikelompok secara sistematis.

Peserta mampu mengenali aktor-aktor kunci pada pendampingan SVLK, mengidentifikasi preferensi awal parapihak, dan memperoleh keberterimaan para pihak untuk pro-gram pendampingan SVLK.

Peserta mampu: 1) Menjelaskan ketentuan penerapan VLK pada pemegangizin dan menentukan panduan VLK yang digunakan.2) Menjelaskan keterkaitan pelaksanaan penilaian VLK padabagan kelembagaan pelaksanaan VLK.3) Menjelaskan protokol/prosedur penilaian VLK pada pe-megang izin.4) Menjelaskan ketentuan ISO terkait penerapan VLK pada pe-megang izin dan kelengkapannya pada bagan kelembagaanpelaksanaan VLK.5) Memahami prinsip CoC di Unit Industri.

Peserta Mampu:1) Menjelaskan PUHH di IKM;2) Menganalisis PUHH di IKm

Peserta mampu mengidentifikasi isu dan akar masalah pener-apan SVLK pada pihak-pihak yang dilayani, serta kapasitasyang ada untuk penerapan SVLK.

Peserta mampu:1) Menggali motif, harapan, gagasan, dan masalah penerapanVLK berdasarkan perspektif unit industri2) Menumbuhkan minat dan empati unit industri pada pelak-sanaan VLK.3) Menjelaskan segmen-segmen kegiatan penata-usahaanhasil hutan pada kegiatan unit industri. 4) Mengidetifikasi para pihak (kelompok- kelompok peserta)SVLK dalam fasilitasi.5) Menganalisis hak, tanggung jawab/kewajiban para pihak.6) Menganalisis hubungan para pihak.7) Menjelaskan identitas penyelenggara fasilitasi dalam sosial-isasi/ diseminasi/pendampingan.8) Mengkaji hasil analisis 3R.9) Mengkaji hubungan-hubungan parapihak.

Peserta mampu:1) Melakukan kesepahaman mengenai kesenjangan situasisaat awal pendampingan untuk pencapaian VLK.2) Melakukan kesepahaman dengan pihak yang dilayani men-genai tujuan, lingkup dan hasil yang diharapkan dari prosespendamping-an.3) Mengidentifikasi tahapan pendampingan sesuai dengansituasi IKM dan preferensi pihak yang dilayani.4) Mengidentifikasi strategi pendampingan pada setiap taha-pan.5) Mengidentifikasi narasumber.6) Mengidentifikasi kebutuhan logisitik dan sarana selamapendampingan.7) Menyusun jadwal pendampingan.8) Merumuskan mekanisme monitoring terhadap proses pen-dampingan.9) Menyusun dokumen rencana pendampingan.

Peserta mampu: 1) Menguasai teknik pendampingan kelompok IKM untukpenyiapan penerapan VLK.

Setelah mengikuti pelajaran ini, peserta kompeten dalammengkaji ulang fasilitasi/ pendampingan yang meliputikegiatan : Menjelaskan pedoman, teknik dan metode, analisa,dan kriteria evaluasi keterampilan fasilitasi dalam evaluasihasil-hasil pelaksanaan simulasi.

In-class

In-class

In-class

In-class

In-class

In-class

In-class

In-class

In-class

Praktek Lapangan

Evaluasi Bersama

No KlasterKompetensi

Judul Sesi Pelatihan Sesuai dengan Unit Kompetensi JPL Indikator Keberhasilan Referensi

Narasumber

Pelatihan SVLK bersama MFP

30

Page 31: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

31

Agus Setyarso mengajak para pelatih mencobauntuk melihat persoalan industri kecil danmikro secara utuh. Mereka melakukan ituuntuk menemukan logika kurikulum dan silabus yang bisa dibangun agar nyambungdengan kenyataan yang ada di kalangan industri. Dalam sesi ini seluruh pelatih ikutterlibat untuk memberikan masukan. Ini misalnya ketika ada usulan agar pelatihanSVLK bagi industri anggota Asmindo inimemasukkan unsur metode pendampingan(coaching). Sisi positif metode coaching adalahadanya peluang bagi para peserta nantinya ikutterlibat (partisipasi) aktif. Dengan begitu,suasana pelatihan nantinya bisa terjalin komunikasi timbal-balik antara pelatih atau pendamping dengan peserta.

Dalam persiapan kurikulum di Hotel Jambu-luwuk tersebut para pelatih sepakat untukmenyusun informasi dasar tentang karakter peserta sebagai bekal awal bagi para pelatih. Disitu mereka menempatkan industri kecil dalammenengah peserta pelatuhan tersebut pada kategori dengan beberapa karakter (analisissituasi pada IKM dan analisis kebutuhan

berbasis masalah) sebagai berikut:

Dalam pertemuan di Hotel Jambuluwuk tersebut mereka juga menyepakati untukmemberi kesempatan kepada industri untukmengirimkan dua wakilnya ke pelatihan. Duawakil dari industri tersebut terdiri dari seorangpersonel level manajemen atau pembuat keputusan (decision maker, DM), dan seoranglagi dari level staf. Dan atas dasar keterwakilandua tingkatan dalam industri ini pula, panitiamemasukan agenda kelas terpisah bagi keduakelompok itu. Artinya, dalam kurikulum yangmereka susun di Hotel Jambuwuluk pada saatitu ada satu sesi dalam pelatihan di hari pertama yang menempatkan dua kelompokwakil dari industri tadi mengikuti kelas terpisah pada saat yang sama.

Panitia memisah kelas kedua kelompok wakiltadi atas dasar kapasitas mereka di dalam industri. Karena berbeda kapasitas, makamateri, pelaksanaan (pendekatan), dan targetpelatihan bagi mereka pun dibuat bebeda,sesuai dengan jenis pekerjaaan dan tingkat tangungjawab mereka di industri.

Dalam melakukan presentasi, para pelatih(trainer) dalam sesi trainingdi kelas di hari pertama diwanti-wanti menampilkanslide sesedikit mungkin, dan sebaliknya didorong untukmemancing interaksi dengan peserta semaksimalmungkin. Selain itu, parapelatih juga disarankanuntuk mencermati latarbelakang para peserta.

Untuk peserta dari kelompok pembuat keputusan, panitia pelatihan menyiapkan pendekatandan target dalam analisis kebutuhan berbasis kompetensi sebagai berikut:

1. Mampu menyelesaikan kewajiban untuk VLK secara sederhana dan tegas2. Mampu menyampaikan informasi dengan jelas kepada pimpinan perusahaan

tentang manfaat dan biaya VLK3. Mampu menyusun rencana penyiapan VLK4. Mampu mengorganisasikan perubahan manajemen di industri masing-masing.

Dan berikut ini analisis kebutuhan berbasis kompetensi untuk kelompok peserta dari tingkat staf:

1. Melakukan gap analysis pada industri masing-masing dengan mengacu pada verifier SVLK

2. Mengidentifikasi titik-titik kritis VLK di industri (dengan metode penyampaian kasus)3. Menyusun format administrasi dan tata-usaha kayu (TUK) di internal industri

(tagging, tabulasi, dan data manajemen)4. Melatih anak buah untuk menerapkan TUK internal.

Page 32: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

32

Alur Pelatihan SVLK Industri Anggota Asmindo oleh MFP

Hari Training di dalam kelas1

1. Registrasi

3. Pleno, pemaparan tentang SVLK oleh narasumber dari MFP dan Asmindo (Pusat dan Komda), dipandu fasilitator dari salah satu pelatih, disusul dengan sesi tanyajawab.

2. Training berlangsung di tempat khusus dengan daya tampung sekitar 50 orang dan fasilitas memadai (ruang rapat di hotel atau restoran).

Page 33: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

33

di Yogyakarta, Surakarta, Jepara, Semarang, Surabaya, dan DenpasarApril-Mei 2012

4. Share learning oleh pelaku industri yang berhasil ber-VLK, disusul dengan sesi tanya-jawab

5. Kelas terpisah pararel bagi dua kelompok peserta (manajemen dan staf), juga oleh dua narasumber berbeda dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) tingkat provinsi atau dari Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP), Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI

6. Pengumuman nama-nama pelatih (coach) dan nama-nama industri (klien) yang akan dikunjungi dalam pelatihan hari kedua, satu coach melakukan coaching clinic terhadap dua atau tiga klien. Panitia tak mengunjungi industri yang wakilnya kabur dari pelatihan atau tak mengikuti sampai selesai pelatihan di hari petama.

Page 34: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

34

Hari Field Coaching2

1. Para coach berangkat dari hotel tempat menginap— langsung menuju dua atau tiga industri, sesuai jadwal yang telah disusun.

2. Kunjungan dilakukan dengan menggunakan mobil rental setempat— satu coach satu mobil— yang diorganisasikan oleh petugas Komda Asmindo setempat pula.

3. Kunjungan coach ke industri bertujuan melihat kondisi riil bagaimana klien sanggup mempersiapakan surat-surat legalitas, apakah sudah sanggup memahami pemaparan tentang SVLK dengan berbagai implikasinya pada sesi training di hari pertama.

Page 35: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

35

Hari Coaching Clinic3

1. Para klien kembali ke tempat pelatihan seperti di hari pertama

2. Panitia menyiapkan beberapa meja konsultasi.3. Satu sesi konsultasi melibatkan dua wakil industri dan

dilayani oleh dua konsultan yang tak lain adalah mereka yangdalam sesi pelatihan sebelumnya berperan sebagai coach, trainer, ataupun fasilitator.

4. Konsultan memeriksa kesanggupan klien dalam memenuhi verifier.

5. Konsultan memberikan rekomendasi serta saran sebagai rencana tindak lanjut (RTL).

6. Pleno melibatkan seluruh peserta, pemilik perusahaan, pelatih, dan narasumber untuk melakukan evalusasi, disusul dengan tanyajawab.

7. Panitia membagikan flash disk berkapasitas delapan giga byte berisi seluruh materi pelatihan; souvenir berupa kaos berlogo SVLK, Asmindo, dan MFP.

Monitoring: kurang lebih satu sampai dua bulan ke depan pascapelatihan.

Page 36: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

36

Pertama

(Pelatihan berlangsung dalamformat //training// di kelas)

Kedua

Pelatihan berlangsung dalamformat coaching di industriKetiga

Pelatihan berlangsung dalamformat coaching di kelas)

PembukaanBina Suasana

Pemahaman tentang VLK

Manfaat dan biaya VLKPUHHRehat siangVerifier kritis pada SVLKPengalaman penerapan VLKRehat petangPersiapan coaching

Gap assessment pada industry

Coaching clinic

Kelas plenoKelas pleno

Kelas pleno

Kelas plenoKelas paralel

Kelas paralelKelas pleno

Kelas pleno.

Harus jelas indikatorkeberhasilan nya apa? Untuktarget evaluasi sebulan kedepan.

Coach melakukan kunjunganke industri, satu coach menangani dua industri.

• Empat klien ditangani oleh dua coach.

• Pelaksanaannya masing-masing industri, yang dalam pelatihan ini diwakili oleh dua orang peserta, ditangani oleh dua orang coach.

• Alur pelatihan• Pemetaan peserta• Perubahan Permendag 20• SVLK sebagai sertifikat wajib• Dampak tak mengikuti VLK

• Bagan dan dokumen (bedah kasus)Istirahat, solat, makan siang

• Verifier kritis berdasar pada indikator

Istirahat, solat, makan malam• Yang di-coach sebagai perusahaan, bukan sebagai

orang/perserta• Lingkup coaching• Target coaching

Peserta diberi tugas menyusun perencanaan untuk tindak/aksi di industrinya, terkait:

a. Melakukan gap analisisb. Merencanakan tertib administrasi. dan TUK industric. Bagaimana mentransfer pengetahuan tentang SVLK ke anak

buahnya

• Pelaksanaan (pagi)• Coaching (siang)• Revisi (jika perlu)• Pelaporan oleh peserta

Perbaikan tertib administrasi dan TUK oleh industri.

Hari Materi

Materi Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo oleh MFP di Yogyakarta, Surakarta, Jepara, Semarang, Surabaya, dan Denpasar, 12 April – 12 Mei 2012

Keterangan

Ilustrasi Posisi Pelatih (Trainer atau Coach)

Fasilitator bertugas:

• Memperlancar dan menghidupkan diskusi• Mempergunakan narasumber semaksimal mungkin• Memberikan tekanan pada hal-hal penting• Jangan memberikan jawaban yang ‘’mengambang”, karena akan

dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan oleh peserta. Tanyakan pada ahlinya

Coaching berbeda dengan training.

Pada coaching:- Coach tak mengajari- Semua hal tentang tugas, harus dikerjakan peserta- Memancing keterlibatan aktif peserta dengan pertanyaan- Dapat memberi contoh dokumen dari industri lain, tapi tak boleh memberi template, biarkan klien

menyusun sendiri.

Tugas coach:Observasi dan memberi saran Coach harus menjaga jarak dengan klien.

Sifatnya coachingSifatnya training

Hari KeduaHari Pertama Hari Ketiga

Page 37: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

37

I. Penyelenggaraan pelatihan:A. Tempat/venue pelaksanaan dan fasilitas pertemuan:

cukup baik sangat baikB. Kualitas makanan dan servis:

cukup baik sangat baikC. Ketersedian materi/bahan presentasi

kurang standar sangat baikD. Persiapan Panitia/penyelenggara:

cukup baik sangat baik

Komentar tambahan:

II. Materi, narasumber dan tim pelatih:A. Struktur/organisasi pelatihan di kelas & coaching lapangan (di lokasi IKM)

kurang cocok cocok sangat cocokB. Waktu penyelenggaraan:

kurang cukup terlalu panjangC. Materi tentang SVLK/pengetahuan nara sumber dan tim pelatih:

kurang cukup lengkap sangat komprehensifD. Relevansi SVLK untuk perusahaan anda:

tidak relevan relevan sangat relevan/ekspor ke UE E. Pengetahuan Tim Trainer tentang masalah/isu ygn dihadapi UKM/IKM

kurang menguasai sangat menguasai

Komentar tambahan:

III. Tindak Lanjut yang Dibutuhkan untuk Anggota Asmindo yang Berminat SVLK:Pelatihan tambahan untuk persiapan dokumen/sistem, termasuk kunjungan ke perusahaan yang sudah SVLK (khususnya pola kemitraan/sub kontrak)Pendampingan untuk pra-asesmentKemungkinan untuk group certificationPembentukan koperasi/KSU untuk penyedian bahan kayu bersertifikasi SVLK melalui “warung/terminal kayu”

Tambahan lain-lain:

Lampiran Evaluasi Pelatihan SVLK Anggota Asmindo oleh MFP

Page 38: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Hari : Kamis-Sabtu, 12-14 April 2012

Tempat : Hotel Bintang Fajar, Umbulharjo

Peserta : 14 industri anggota Asmindo Komda DIY

Pelatih : Een Nuraeni (MFP), Setyowati (independen), Sudarwan (Shorea), Exwan Novianto(Shorea), Suryanto Sadiyo (Arupa),Panji Anom (Javlec).

Narasumber : Jajag Suryo Putro (PT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta), Yuli Sugianto (Ketua Asmindo Komda Yogyakarta, Ketut Alit Wisnawa (Pengurus DPP Asmindo), Tri Mulyadi (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, DIY), Irfan Bakhtiar (MFP).

Fasilitator : Agus P Djailani.

PelatihanSVLK-Asmindodi Yogyakarta

38

Page 39: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Yogyakarta menjadi tuan rumah pertama pelatih an SVLK bagi industri anggota Asmindo.

Bab

39

Page 40: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

ogyakarta menjadi tuan rumah pertama pelatih an SVLK bagi industri anggota Asmindo.Pelatihan berlangsung dari Kamis (12 April) hinga Sabtu (14 April 2012). Acara ini berlangsungdi Hotel Bintang Fajar (Bifa), di kawasan Umbulharjo, tenggara Yogyakarta. Semua hotel besardan menengah di kawasan tengah kota full booked karena kebetulan pada hari-hari itu sedangramai event di Yogyakarta.

Ada enam pelatih ambil bagian dalam pelatih an di Yogyakarta. Mereka antara lain Exwan Novianto, Sudarwan, Panji Anom, Een Nuraeni, dan Setyowati. Selain tenaga pelatih, hadir pulasejumlah narasumber. Salah satu narasumber adalah Ketut Alit Wisnawa (DPP Asmindo). Disamping sebagai anggota DPP Asmindo, Alit adalah pengusaha dan eksportir kerajinan danmebel kayu di Denpasar (Bali).

Narasumber lain dalam pelatihan SVLK- Asmindo di Yogyakarta adalah Irfan Bakhtiar. Masihdari MFP, hadir pula Arbi Valentinus dan Agus Djailani. Namun Arbi hanya bisa mengikuti sesipembukaan, karena ada tugas mendadak di Jakarta. Agus Djailani, dengan keahlian di bidangUKM/IKM, hadir sebagai pendukung teknis dan fasilitator di beberapa sesi.

Pelatihan SVLK bersama MFP

40

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

CV Kwas

CV Interiorindo

Yoni Art

PT Talaindo

Nebula

Koperasi Serba Usaha (KSU) Apikri

Halim Pratama

CV Purnama International

PT Mirota Persada

CV Java Connection Gallery

Jogja Home Gallery

PT YIG

PT Aunika Java Art

Karkasa

Asmindo Komda DIY

LailyPrawesti

Irwan Sindhu Ridikprobo Hidayat

SuistiningsihAgus

Yen Perwira Suparjo

Nery NovitaErdian Cahya

Noor HasanahAhmadi

Candra GunawanJoko Suparyanto

Dina Dirgayuni

SutartiniTri Hartati

Setyana Ade

Yuli Sugianto

DyahMaryanto

Daniel Philippe DessibourgHestin Widiyanurti

Dian KurniatiArif Sujatmiko

RumiAna

Jl Imogiri Barat Km 17 Bungas Jetis, Bantul

Jl Parangtritis Km 13, Sumber, Sumberagung, Jetis, Bantul

Dukuh RT 5/08 Banyuraden, Gamping, Sleman

Gamping Tengah, RT 2 RW 15, Ambarketawang, Gamping, Sleman

Jl Imogiri Barat Km 6,5 No 200 Yogyakarta

Jl Imogiri Barat Km 4,5 No. 163 A Yogyakarta

Jl Parangtritis Km 4,5, Yogyakarta

Jl Parangtritis Km 7, No 1, Sewon, Bantul

Jl FM Noto 7, Kotabaru, YogyakartaJl Plemburan No 17, Sariharjo, Ngaglik, Sleman (pabrik)

Jl Trapesium 27, Condongcatur, Sleman

Jl Raya Jogja-Solo, Km 11,5Jl Cempaka, Sukoharjo, RT 01 RW 04, Cupuwatu I, Purwomartani, Kalasan, Sleman

Jl Pleret, Km 2,3, Balong Potorono, Bantul

Bulak Nyamplung, Dusun Bibis, Kelurahan Timbulharjp. Kecamawan Sewon, Bantul

Jl Godean Km 9,5, Mandungan, Margoluwih, Sayegan, Sleman

Jl Karanglo No 74, Kotagede

No Industri

Peserta Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo Komda Yogyakarta, 12-14 April 2012

Nama Alamat

Y

Page 41: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

41

12

345

67

8

910

111213

1234

12345

6

Registrasi PesertaPembukaan

Bina Suasana PelatihanCoffee BreakMateri: Pemahaman SVLKMateri: Manfaat dan biaya Sertifikasi VLKIstirahatMateri: SOP PUHH

Dokumen PUHHMateri: Verifier kritis pada VLK Industri

IstirahatMateri: Pengalaman penerapan VLK IndustriISHOMAMateri: Persiapan coaching pada industri Pembagian kelompok dan penyiapan praktek lapangan

Gap assessment di industriIstirahatGap Assessment di industri Penyusunan laporan hasil study lapangan(gap assessmnet)

Coaching clinic Sesi ICoaching clinic Sesi IIIstirahat siangPenyusunan review oleh timRencana tindak lanjut bersama pimpinanindustri dan AmindoPenutup

08.00 – 08.3008.30 – 09.00

09.00 – 09.3009.30 – 09.4509.45 – 11.30

11.30 – 13.0013.00 – 14.30

14.00 – 15.30

15.30 – 15.4515.45 – 17.00

17.00 -19.0019.00 – 20.30

20.30 – 21.00

08.30 – 12.0012.00 – 13.00 13.00 – 17.0019.30 – 22.00

09.00 – 11.0011.00 – 13.0013.00 – 14.0014.00 – 15.00 15.00 – 17.30

17.30 – 18.00

l MFP: Irfan Bakhtiarl Komda Asmindo Yogyakarta: Yuli Suryanto Sadiyo (Arupa)

l Ketut Alit Wisnawa l Jajag Suryo Putro

1. Tri Mulyadi (Dishutbun DIY) 2. Riyanta (Dishutbun DIY)1. Suryanto Sadiyo2. Exwan Novianto

Sudarwan Imanuel Andy S (RAPI Furniture)

Tim pelatiih

Seluruh peserta

Tim pelatihTim pelatih

Tim PelatihTim pelatih

MFP

Panitia

EkswanNoviantoAgus PD (Kelas pleno)Kelas pleno)

TBD (kelas paralel)

TBD (kelas paralel)

TBD

TBD

Leader: Suryanto

Tim pelatih melatih industri

APD/IB

Jadwal Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo Komda Yogyakarta, 12-14 April 2012

Hari ke-1

Hari ke-1

Hari ke-1

No Acara Waktu FasilitatorTrainer/Narasumber

Seluruh peserta datang dari beberapa wilayah kabupaten dan kota yang ada di ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta (DIY), seperti Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta.

Page 42: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

edianya direktur program MFP II, Diah Raharjo, juga hadir dan siap membukapelatihan di Yogyakarta. Tapi ia mendadakharus kembali ke Jakarta sehari sebelumnyakarena ada tugas yang lebih mendesak. Makajadilah Irfan ikut membuka pelatihan bersamaAlit dan Ketua Asmindo Komda Yogyakarta,Yuli Sugianto.

Dari kalangan industri yang menjadi pesertapelatihan, hadir 28 orang mewakili 14 perusa-haan. Total jumlah industri kerajinan danmebel di Yogyakarta ada sekitar 300. Jumlahpersisnya tak ada yang tahu, karena industri-industri kecil dengan modal kecil begitu gampang datang dan pergi. Seluruh pesertadatang dari beberapa wilayah kabupaten dankota yang ada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), seperti Bantul, Sleman,Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta.

Semua wilayah tersebut relatif dekat denganhotel tempat latihan. Dengan begitu, seluruhpeserta dan panitia lokal bertolak ke pelatihandari tempat tinggal masing-masing, tanpaharus bermalam di hotel. Dari seluruh personelyang terlibat dalam

pelatihan di Yogyakarta tersebut, hanya tigayang bermalam di hotel, yakni dua pelatih dariBogor— Een Nuraeni dan Setyowati.

Pelaksanaan PelatihanKelas Bersama

Acara di hari pertama berupa pelatihan didalam ruangan. Tiga narasumber di sesi pembukaan tersebut, antara lain Yuli Sugianto(Asmindo Komda DIY), Ketut Alit Wisnawa(DPP Asmindo), Agus Djailani (MFP), IrfanBakhtiar (MFP), dan Jajag Suryo Putro (indus-tri, PT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta). Padaumumnya pelatihan berlangsung sesuai rencana. Komposisi peserta pun sesuai denganundangan, yakni satu industri mengirimkandua wakilnya— satu dari tingkat pembuatkeputusan dan satu tingkat staf.

Pada pembukaan, masing-masing narasumberkepada peserta memaparkan dua hal utama.Yang pertama adalah tentang latar belakangdan tujuan SVLK. Yang kedua tentang latarbelakang dan pelatihan. Narasumber jugamemberikan gambaran umum kepada pesertatentang beberapa manfaat ketika industri mengadopsi SVLK. Mereka juga memaparkanresiko yang bisa dialami industri jika tak kunjung menerapkan SVLK sampai sistem iniberlaku efektif sebagai aturan wajib.

Narasumber juga memaparkan beberapa haltentang lembaga masing-masing. Ketut AlitWisnawa yang mewakili Asmindo, umpama -nya, menjelaskan kelembagaan, anggota,kegiatan, serta posisi dan langkah Asmindo

Pelatihan SVLK bersama MFP

S

Pelatihan Pertama. Sesi di dalam dan di luar kelas.

42

Page 43: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

dalam menyikapi SVLK. Hal senada juga terlontar dari Yuli Sugianto, Ketua AsmindoKomda DIY. Alit dan Yuli juga menyampaikanharapan, baik kepada internal anggota Asmindo maupun kepada MFP. Kepadaindustri yang menjadi peserta pelatihan, keduanya berharap dapat memanfaatkankesempatan selama pelatihan dan menularkanpemahaman mereka tentang SVLK yangmereka peroleh selama pelatihan kepada parapelaku industri lain yang belum mendapatkankesempatan serupa. Kepada MFP, keduanyaberharap lembaga donor dari Inggris tersebutdapat memfasilitasi pelatihan lanjutan sepertiitu. Atau setidaknya, MFP memberi dukunganpada Asmindo dalam mendorong paraanggotanya ber-VLK.

Sementara itu, Irfan Bakhtiar yang mewakiliMFP menjelaskan sejarah perjalanan SVLK.Itu termasuk perkembangan terakhir bahwaPemerintah RI sudah menetapkan untuk men-jadikan SVLK sebagai syarat wajib bagi indus-tri pada 2013. Irfan juga menegaskan bahwadalam pelatihan SVLK tersebut MFP sekadar

menjadi mitra Asmindo untuk memfasilitasipelatihan. MFP tak pada posisi untuk men-dorong, membujuk, apa lagi memaksa industriuntuk mengadopsi SVLK. Dengan ringkasIrfan mengatakan, SVLK tetap berjalan terusdengan atau tanpa industri mengadopsinya.

Meski demikian, Irfan tak menepis anggapansejumlah pihak bahwa SVLK masih perlu lebihdisempurnakan. Ini karena masih ada beberapapersyaratan yang sangat ideal sehingga industrisulit dapat memenuhinya. Tapi justru melaluiserangkaian pelatihan inilah MFP berniatmendengar dan mengamati langsungkesenjang an apa saja yang terjadi antara ber -bagai verifier dalam SVLK dengan fakta yangterjadi di industri. Selanjutnya, MFP mencatat,meng analisis, dan menyampaikan rekomen-dasi kepada Pemerintah RI, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, untuk merevisiSVLK agar sebisa mungkin mendekati realitayang terjadi di kalangan indutsri.

Sementara itu, pelatih menyampaikan materiberbagai hal yang lebih rinci dan lebih bersifat

Pelatihan SVLK bersama MFP

43

Kelas Pararel. Dipandu pelatihSuryanto Sadiyo.

Page 44: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Dengan sertifikatSVLK, produkakhir bisa dilacakasalusul bahanbakunya dandirunut ke belakang prosesproduksinya.

44

Pelatihan SVLK bersama MFP

teknis. Itu mulai dari paparan tentang pelatih -an yang akan berlangsung tiga hari, denganteknik kombinasi antara pelatihan di kelas dihari pertama dan di lapangan di hari kedua danketiga berturutan. Pelatih juga menyampaikanpada peserta bahwa pelatihan di dalam kelas dihari pertama akan mencakup sesi terpisah antara peserta dari tingkat pembuat keputusandengan karyawan. Untuk keperluan itu,pelatih bertanya kepada para peserta untukmeyakinkan bahwa perusahaan mereka benar-benar mengirimkan dua wakil sesuai undang -an. Sebagian perusahaan memang mengirimandua wakinya dari tingat pembuat keputusandan karyawan. Tapi ternyata ada juga industriyang hanya mengirimkan satu wakil.

Dalam istilah para pelatih, pendekatan inimereka sebut sebagai agenda “BangunSuasana”. Ini adalah agenda yang disampaikanoleh pelatih untuk menciptakan suasana danpenyesuaian untuk mengantarkan pesertamasuk ke dalam kegiatan pelatihan yang lebihrinci, lebih teknis, dan sudah pasti lebih rumit.

Masih di sesi awal di hari pertama, pelatihanjuga menampilkan narasumber dari kalangan.Ia adalah Jajag Suryo Putro. Ia adalah nakodaPT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta, sebuah industri yang memperoduksi dan mengekspormebel yang sudah mendapatkan serfifikasiSVLK. Sebagai perusahaan sekelas IKM/UKM, PT Jawa Furni Lestari termasuk pionir.Perusahaan ini mendapatkan sertifikat SVLKdengan fasilitasi MFP.

Dalam presentasinya, Jajag menyampaikan materi berupa perjalanan perusahaannyameraih SVLK. Penyelenggara berharap, testi-moni Jajag akan memberi dorongan semangatbagi peserta pelatihan. Jajag membeberkanmotivasi perusahaannya mendapatkan SVLK,kendati sudah memiliki beberapa sertifikatlain. Menurut Jajag, perusahaannya perlumemiliki SVLK untuk menciptakan pasar premium. Yakni pasar ekspor yang menuntut

produk-produk dibuat dari bahan baku kayulegal dan diproduksi melalui proses teknis danadministrasi yang mentaati hukum pula. Dengan sertifikat SVLK, produk akhir bisadilacak asal-usul bahan bakunya dan dirunutke belakang proses produksinya.

Beberapa pertanyaan bermunculan dari parapeserta terhadap pengalaman Jajag mengurusSVLK untuk perusahannya. Secara umum pertanyaan para peserta lebih mengarah padahubungan antara SVLK dengan peluang mem-perluas pasar. Ringkasnya, peserta ingin tahu,apakah SVLK serta-merta menjamin perusa-haan punya kesempatan untuk mengem-bangkan pasar. Mereka juga ingin tahu apakahSVLK juga dengan sendirinya akan membuatperusahaan dapat memperoleh harga yanglebih baik.

Terhadap pertanyaan tersebut, Jajag men -jelaskan bahwa SVLK tak otomatis membuatperusahaan dapat seketika memperluas pasarataupun membuat harga premium. SVLK,kata Jajag, dapat menjadi alat perusahaanuntuk menciptakan pasar premium.

Kelas paralelSampai di situ, peserta masih mengikutipelatih an di kelas bersama. Artinya, para peserta dari tingkat pembuatan keputusan danstaf masih mendapatkan materi yang sama darinarasumber yang sama pula. Baru kemudianmenyusul dua kelas pararel yang berlangsungbersamaan untuk para peserta dari keduatingkat tersebut.

Secara umum, kedua kelas sebenarnya sama-sama belajar tentang penatausahaan hasil hutan(PUHH). Dan karena begitu banyaknya aspekyang terkandung dalam PUHH, panitia mem-bagi materi tersebut ke dalam dua kelas sesuaidengan kapasitas dan strata para pesertapelatih an di dalam industri. Secara agak rinci,pelatihan tentang PUHH ini banyak mengu-pas standard operation procedures (SOP) dan

Page 45: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Materi SVLK. Narasumber Ketut AlitWisnawa menjelaskan seputar SVLK.

45

beberapa dokumen penting yang harus adauntuk menyertai PUHH.

Kelas untuk peserta dari tingkat pembuatkeputusan fokus pada materi yang diarahkanuntuk mencapai empat tujuan. Pertama, agarpeserta nantinya mampu menyelesaikan kewajiban SVLK dengan sederhana dan tegas.Kedua, agar peserta mampu menyampaikaninformasi dengan jelas tentang berbagai halyang mereka peroleh selama pelatihan—terutama tentang manfaat dan biaya SVLK—jelas kepada pemilik perusahaan di tempatmereka bekerja. Ketiga, agar peserta mampumenyusun rencana penyiapan VLK bagi perusahaannya. Keempat, agar peserta mampumengorganisasikan perubahan manajemen diperusahaan masing-masing sebagai upayauntuk mendapatkan VLK.

Sementara itu, kelas pararel untuk peserta darikalangan staf pun juga diarahkan untuk tujuanyang sama, hanya saja lebih pada jenis-jenispekerjaan teknis, bukan manajerial. Pertama,agar peserta mampu menemukan dan mem-

buat gap analysis pada industri masing-masingdengan mengacu pada verifier SVLK. Kedua,agar peserta mampu mengidentifikasi titik-titikkritis VLK di industri mereka masing-masing.Pelatih menyampaikan materi ini dengan mengajak peserta berdiskusi tentang kasus-kasus yang mereka alami selama ini. Ketiga,agar peserta mampu menyusun format admi -nistrasi dan tata-usaha kayu (TUK) di internalindustri, misalnya untuk melakukan tagging,tabulasi, dan data manajemen. Keempat, agarpeserta sanggup melatih dan mengajari parapekerja anak buahnya untuk menerapkanTUK internal.

Sedianya, sesi pelatihan kelas pararel masing-masing dipandu oleh dua narasumber dariDinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishut-bun) DIY. Tapi dalam pelatihan tersebut,hanya satu petugas Dishutbun yang hadir—Tri Mulyadi— dan mengantarkan materipelatihan untuk kelas pembuat keputusan.Sedangkan kelas staf, pelatihan yang sedianyamenghadirkan narasumber Riyanta dariDishutbun DIY diambil alih oleh tim pelatih

Page 46: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Narasumber Industri. Jajag Suryo Putro(papling kanan) ikut menjadi narasumber.

46

Pelatihan SVLK bersama MFP

yang disediakan MFP sejak awal— SuryantoSadiyo yang dibantu Exwan Novianto dan Sudarwan.

Dari dua kelas terpisah yang berlangsungpararel tersebut, selanjutnya peserta pelatihankembali bergabung ke dalam kelas bersama.Kali ini materi pelatihan berupa uraian pengalaman (share learning) oleh sebuahperusahaan di Yogyakarta, Rapi Furniture,dalam menyusun persiapan untuk menerapkanVLK. Ini terutama mengenai dokumen apasaja yang diperlukan sebuah industri dalamperjalanannya menuju VLK. Hadir sebagainarasumber dari Rapi Furnitur Imanuel Andy.Seluruh presentasi, baik selama pembukaan,sesi kelas pararel, maupun share learning olehJawa Furni Lestari dan Rapi Furniture merupa -kan upaya bagi pantia untuk memberi pema-haman bagi para peserta pelatihan tentang

verifier kritis dalam perusahaannya. Lebihkhusus lagi, pemahaman ini akan membantupeserta mengisi formulir verifier kritis.

Persiapan PendampinganMenutup hari pertama pelatihan adalah per siapan pendampingan yang akan ber -langsung esok harinya. Panitia mengumumkannama-nama pelatih dan industri yang hendakmereka damping esok hari. Rata-rata seorangpelatih mendampingi dua atau tiga industri.

Pada saat panitia mengabsen ulang industri peserta pelatihan, ditemukan tiga wakilindustri tak tampak lagi. Mereka mening-galkan sesi terakhir pelatihan di hari pertama.Satu peserta mundur dengan alasan perusa-haannya menarik diri dari pelatihan tersebut.Dua peserta lain tak hadir di sesi pertama dengan alasan keluarga dan waktu sudah

Page 47: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Irfan Bakhtiar. Narasumber dari MFPmemaparkan perjalanan SVLK.

47

terlalu larut, sekitar jam 20.00 WIB. Bagi peserta yang tak hadir dengan alasan menarikdiri, panitia pelatihan tak memasukkan dalamdaftar untuk didampingi. Sedangkan bagi dualagi peserta yang tak hadir karena alasan kelu-arga, panitia masih memberi toleransi danmengirim pelatih ke industri mereka untukmelakukan pendampingan keesokan harinya.

Dalam kesempatan itu, pelatih membagikanformulir soft copy “Verifier Kritis” kepada seluruh peserta. Formulir ini akan menjadibahan bagi para pelatih untuk melakukananali sis kesenjangan gap assessment yang terjadidi tiap industri. Dari analisis kesenjangan inilah para pelatih nantinya dapat menakarseberapa besar kemungkinan industri yangbersangkutan sanggup melaksanakan SVLKdalam waktu yang tersisa.

Sebenarnya pendampingan ini merupakan lanjutan dari proses pelatihan secarakeseluruhan. Hanya saja pada awalnya, pendampingan sedianya dibuat berbeda dariteknik pelatihan. Dalam pelatihan (training),pelatih (trainer) melakukan intervensi langsungterhadap peserta pelatihan.

Tapi dalam pendampingan (coaching), parapendamping (coach) hanya mengamati hasilkerja para peserta dalam mengisi formulir verifier kritis tadi. Pendamping tak dibenarkanmembantu peserta mengisi formulir tersebut.Pasalnya, panitia akan menjadikan mampuatau tidaknya peserta dalam mengisi formulir tersebut merupakan indikator sebagaikemapuan mereka dalam memahami materipelatihan di kelas selama hari pertama.Ringkasnya, panitia ingin menjadikan prosespendampingan ini seolah sebagai simulasiproses audit terhadap industri yang hendakber-VLK. Di situ, auditor tak dibenarkanmembantu industri yang menjadi kliennyamengisi formulir verifier kritis.

Secara teknis, pendampingan (adalah proses

pelatihan berupa kunjungan langsung olehpendamping ke masing-masing industri tempat para peserta pelatihan bekerja.Pendamping di situ tak lain adalah parapelatih. Hanya karena peran pendamping agakberbeda dari pelatih, maka para pelatih dalamsesi pendampingan ini disebut sebagai pendamping.

Dengan pengumuman pembagian tersebut,tiap wakil industri bisa mengetahui siapa pendamping yang akan mendatangi perusa-haan mereka esok hari. Begitu sebaliknya,pendam ping pun mengetahui perusahaanmana saja yang akan mereka kunjungi besok.Setelah saling mengetahui, mereka punberkumpul, antara pendamping dan para wakilindustri yang hendak dikunjungi. Kedua pihakber koordinasi untuk menyepakati beberapa halpenting: mencatat nomer telepon, mencatatlokasi perusahaan, denah atau peta lokasi, sertawaktu kunjungan.

Pendampingan ke IndustriHari kedua pelatihan SVLK bagi indusrianggota Asmindo berupa kunjungan ke perusahaan tempat para peserta bekerja. Di sinipara pendamping selama seharian penuh mengunjungi dua atau tiga perusahaan. Di Yogyakarta, jarak perusahaan-perusahaan takterlalu jauh. Mereka tersebar di Kabupaten Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta saja.

Untuk menjangkau lokasi perusahaan, parapendamping menggunakan mobil sewaanyang difasilitasi panitia. Semuanya mobil lokalYogyakarta, sehingga pengemudi bisa dengan

Page 48: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

mudah menemukan alamat perusahan yanghendak dikunjungi. Kebanyakan pelatih di Yogyakarta adalah warga setempat. Sekalipunbegitu, mereka tetap berkumpul dulu di hoteltempat pemusatan pelatihan.

Jam kunjungan paling awal sekitar jam 09.00WIB. Ini sengaja dibuat tak bersamana denganjam mulai bekerja sekitar jam 07.00 atau jam07.30 WIB. Pertimbangannya, para pesertapelatihan memerlukan waktu untuk mem-berikan penjelasan kepada atasan mereka dikantor beberapa hal tentang pelatihan pada kemarin hari. Ini misalnya, kepada atasannyaatau pemilik perusahaan, peserta harus bisamengkomunikasikan apa tujuan pelatihan.

Tanpa kesanggupan berkomunikasi, pesertatak akan sanggup mengisi formulir verifier kritis. Sebab di situ ia harus mencatat beberapadokumen legal perizinan perusahaan. Danuntuk mengetahui berbagai dokumen tersebutia mau tak mau harus berhubungan denganpimpinan perusahaan atau petugas lain yang

berwenang mengurusi dokumen-dokumentersebut.

Peserta belum pahamTemuan selama proses kunjungan di perusa-haan menunjukkan bahwa sebagian besar peserta belum paham mengisi formulis verifierkritis. Artinya, mereka juga belum sepenuhnyamenangkap materi pelatihan di dalam kelas selama sehari di hari pertama.

Pada saat pendamping datang di perusahaan,mereka mendapat formulir masih kosong.Ketika pendamping bertanya perihal masihkosongnya formulir, yang seharusnya sudahdiisi pada saat pendamping datang, pesertapelatihan mengatakan bahwa mereka belumsanggup menerapkan materi pelatihan denganpraktek mengisi formulir.

Peserta bahkan belum mampu mengidenti-fikasi dokumen-dokumen yang dimaksuddalam formulir dengan dokumen-dokumenyang ada pada perusahaan tenpat mereka bekerja. Masih kosongnya formulir juga karenamemang perusahaan tak memiliki atau takmenjalankan prosedur standar operasi (SOP)internal, lazimnya sebuah perusahaan yangbaik dan benar. Ini umpamanya, tampak dengan tiadanya surat kontrak ataupun notapembelian bahan baku oleh perusahaan daripara supplier.

Yang lebih memprihatinkan, ada perusahaanyang baru mengetahui bahwa salah satu izin-nya ternyata telah daluwarsa pada saat dikun-jungi pendamping.

Kekurangan perusahan dalam mentaati per -atur an sesuai dengan tuntutan legalitas internalperusahaan ataupun legalitas bahan bakumakin kentara ketika pendamping menelusuri

Pelatihan SVLK bersama MFP

Kunjungan ke Industri. Pelatih Een Nuraeini (palingkiri) melakukan pendampingan di industri.

48

Tanpa kesanggupanberkomunikasi,peserta tak akansanggup mengisiformulir verifierkritis.

Page 49: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

49

Suasana Kerja. Dua pekerja perempuandi sebuah industri mebel.hubunan kerja antara perusahaan dengan para

supplier atau sub kontraktor. Hubungan antarakedua pihak bersifat sesaat dengan volume produk sekadar untuk memenuhi kuota orderperusahaan, bukan hubungan permanen dengan volume dan frekuensi pengirimanbarang secara ajeg. Keadaan ini merupakansalah satu penyebab mengapa tak ada doku-men legal kerjasama antar kedua pihak.

Berbagai realita di perusahaan ini membuatgamang para peserta mengisi formulir verifierkritis. Mereka ragu apakah akan mengisi sesuaikenyataan di perusahaan atau sesuai denganideal VLK. Mereka baru mengisi sesuai dengankeadaan di perusahaan setelah pelatihmeyakinkan mereka beruang-ulang. Yaknibahwa pengisian formulir harus sesuai kenyataan di perusahaan, dan bahwa mengisidata atau informasi palsu akan membuat perusahaan gugur ketika mereka menghadapiauditor yang sebenarnya di kemudan hari. Itumengacu pada niat panitia untuk menjadikanpelatihan dan pendamping an ini sebagai simulasi sebuah proses audit.

Proses pendampingan di perusahaan dipelatih an hari kedua ini berlanjut denganpertemuan di kelas pada petang hari. Di situpara pendamping dan peserta pelatihanbertemu di tempat pemusatan pelatihan, yaknidi Hotel Bintang Fajar. Agenda utama merekamenyusun laporan tentang berbagai kesenjang -an antara persyaratan normative SVLK dengankenyataan di industri yang ditemukan selamapendampingan di perusahaan pada pagi hinggalewat tengah hari sebelumnya.

Pertemuan pada petang hari dari jam 19.00hingga 22.00 WIB ini ternyata tak berlangsungefektif karena peserta, terutama kaum perem-puan yang sudah berkeluarga, keberatan dantak fokus mengikuti diskusi. Akhirnya pantiapelatihan sepakat mempersingkat pertemuanini, dan meniadakan pertemuan seperti inipada malam hari dalam lanjutan pelatihan dilima kota lainnya kemudian. Artinya, setelahseharian pendamping melakukan pendam -ping an di industri, tak ada lagi kegiatan di harikedua pelatihan.

Page 50: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

Coaching Clinic

Hari ketiga atau hari terakhir pelatihanberlangsung di tempat pemusatan pelatihan diHotel Bintang Fajar. Para peserta berkumpulmembawa formulir verifier kritis yang telahmereka isi dalam sesi pendampingan di harikedua. Tiap wakil industri, tetap dua orangdari tingkat pembuat keputusan dan staf, men-dapat pendampingan (coaching clinic) oleh duapendamping.

Mereka bersama-sama menganalisis hasiltemuan atau keadaan riil di industri masing-masing. Mereka mendiskusikan temuan-temuan tersebut. Dari situ pendampingmemberikan gambaran seberapa layak sebuahindustri sangup melakukan VLK dalam waktuyang masih tersisa sampai 2013.

Dua pendamping untuk satu industri ini dimaksudkan agar ada pendapat pembanding.Ini juga agar pendamping dapat saling mengoreksi dan melengkapi analisis serta sarandan rekomendasi yang mereka berikan kepadaindustri. Proses coaching clinic ini berlangsungbersamaan melibatkan para peserta wakil industri dan pendamping di beberapa mejaterpisah.

Agenda di hari terakhir pelatihan ini berlanjutdengan kelas bersama berisi review pelaksanaantiga hari pelatihan secara keseluruhan. Timpelatih menyampaikan beberapa catatan tentang pelaksanaan pelatihan. Ini mencakupsoal pelatih, materi pelatihan, rangkumanberbagai temuan di beberapa industri, feno -mena umum pada industri, serta kemampuanpeserta memahami materi. Beberapa kritik dansaran terhadap beberapa catatan di atas munculdari para peserta, narasumber, dan pelatih.

Dari situ disepakati rencana tindak lanjut secara umum. Dengan melihat kondisi umumdan spesifik yang terjadi di kalangan industrimebel dan furniture di DIY, para pesertapelatihan menggarisbawahi beberapa hal yangmemungkinkan mereka laksanakan di dalamwaktu dekat untuk mengantarkan industrianggota Asmindo menuju VLK.

Salah satu hal yang patut digaris bawahi adalahbahwa pada umumnya industri di DIY masihmemerlukan cukup waktu untuk ber-VLK. Inikarena secara internal mereka masih menga -lami banyak kekurangan dalam melengkapidan mentaati verifier administratif dan opera-sioanal perusahaan.

Setidakya hanya ada satu atau dua perusahaanyang benar-benar sudah memiliki syaratmendekati VLK. Itu pun karena mereka sebelum ini sudah punya pengalamanmendapatkan sertifikasi selain SVLK. Bagi perusahaan seperti itu, MFP menawarkanbantuan untuk mendampingi dan mem-fasilitasi untuk mendapat kan SVLK dengantanggungan MFP. Perusahaan tersebut sanggup memenuhi semua syarat dan verifierSVLK dalam satu tahun yang masih tersisahingga 2013. Agenda terakhir ini sekaligusmenutup seluruh kegiatan pelatihan yangberlangsung tiga hari.

50

Produk Kayu. Selain mebel, kayu jugamenjadi bahan baku kerajinan.

Page 51: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

51

Profil PT Jawa Furni LestariPT Jawa Furni Lestari adalah salah satu dari sedikit perusa-haan yang telah ber-SVLK. Perusahaan yang sebagian besarproduknya untuk pasar ekspor yang berbasis di Yogyakartaini membuktikan bahwa SVLK tak serta merta membebani,sekalipun juga tak berarti SVLK membuat harga produk menjadi premium. Jajag Suryo Putro, salah satu pimpinanperusahaan, memandang SVLK sebagai investasi untukmemposisikan produknya di pasar premium.

Perusahaan ini memiliki pemegang saham dua orang, Jajagdan Oki Widayanto. Jajag dan Oki tak pernah mengambildeviden, belum pernah. Mereka selalu memanfaatkan ke untungan untuk membesarkan perusahaan. Merekamembungkus perusahaan, istilah Jajag. Itu mulai dari sekadarsebagai UKM, agar bisa menjadi korporasi, itu cita-citamereka. Dulu workshop mereka cuma berukuran 400 meterpersegi, itu terjadi pada 2000-an. Pada awalnya mereka taktahu ke mana akan membawa perusahaan. Pada saat itukegiatan produk sudah mengarah ke furnitur.

Dan berkat komitmen mereka berdua, pada 2003 merekanekat melegalkan usaha mereka. Pada 2005 perusahan kiantumbuh. Produksi beranjak naik, begitu juga dengan jumlah sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat di dalamnya. Jajagmemperkirakan, pada saat itu sekitar 1.500 orang terlibatdalam kegiatan perusahaan, baik langsung maupun taklangsung. Itu mulai dari sub kontraktor, pemasok pemilikbahan baku, pekerja, serta masyarakat di sekitar workshopyang hidup dari perusahaan.

Bagi Jajag dan Oki, jumlah SDM yang terlibat dalam perusa-haannya merupakan amanah. Yakni amanah yang harusdipelihara. “Maksud saya, ini titik kami tak bisa mundur lagi.Kami harus terus mengembangkan perusahaan dengansungguh-sungguh. Kami merasa ikut bertanggungjawabatas kehidupan 1.500 orang tersebut,” kata Jajag.

Sampai sekitar awal 2012, PT Jawa Furni Lestari memilikijaringan kerja sampai beberapa di luar Yogyakarta— Jepara,Purwodadi, Cepu, Blora. Itu artinya terjadi perluasan. Sebelum itu, beberapa mitra Jajag masih di Bantul dan

Klaten. Para mitra ini kebanyakan berperan sebagai vendor,baik ikut mengerja kan pesanan atau yang mensuplai kebutuhan produksi PT Jawa Furni Lestari.

Pada 2003, jumlah mitra Jajag sekitar 40. Kini jumlah itu menjadi 120. Rata-rata tiap vendor mempekerjakan limaorang tukang. Dan itu baru vendor kayu, belum menghitungvendor non kayu yang jumlahnya mencapai 100-an. Vendornon-kayu ini mencakup vendor bahan packing, finishing, sub-kontraktor transportasi, sub kontraktor tenaga-tenaga yangbekerja di rumah masing-masing.

“Misalnya, untuk menganyam kulit, kami sub-kan ke oranglain, dan jumlahnya sekarang sekitar 200-an. Dari situ, kamitak ingin berhenti di tengah jalan hanya untuk egoisme kami,hanya karena kami sudah mendapatan keuntungan cukup.Rasanya naif. Pengertian kami, ini tanggungjawab dan haruskami selesaikan,” kata Jajag.

Itulah salah satu alasan pada 2005 Jajag dan rekan investornya memutuskan untuk fokus dan habis-habisanmengembangkan perusahaan. Mereka tak ingin para pekerjadan rekanan mengalami kesulitan hidup lantaran perusahanhanya berjalan di tempat. Caranya dengan membangun perusahaan dengan benar, tertib, dan cerdas. Mereka berduamembenahi organisasi perusahaan, mengukur sistemmanajemen dengan International Organization for Standar -di zation (ISO).

Page 52: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Kegiatan Industri. Pembuatan mejadan kursi di PT Jawa Furni Lestari.

52

Pelatihan SVLK bersama MFP

“Hasilnya, perusahaan bisa berkembangKarena sudah punya sistem yang berjalan.Kami punya lima workshop, dengan luastotal hampir dua hektare,” kata Jajag, sarjanateknik industri itu.

Dari lima workshop tersebut, dua berlokasidi Klaten, dua di Sleman, dan satu di Kalasan,serta sebuah show room di Palagan, Yogyakarta. Dan menurut Jajag, ia berhasilmembuat efisien kerja kelima workshoptersebut. Nilai yang mereka peroleh punmakin tinggi. Hal lain yang diakukan Jajagadalah mengembangkan kapasitasnya sebagai operator peru sahaan. Begitu jugadengan Oki, yang berlatar belakang per-bankan, mengembangkan potensinyauntuk mendukung pendanaan bagi perusahaan.

Tentang pemasaran, Jajag mengatakanpada awalnya masih konvensional. Ia taktahu hendak menyasar segmen yang mana.Perusahaan ini mengalir berdasarkan konsep pemasaran tradisional. Artinya,perusahaan mengerjakan garapan ketikaada pesanan (order). “Yang penting di awalkami untung dulu. Keuntungan itulah yang ke mudian kami putar,” katanya.

Ia menargetkan pada 2015 nanti perusa-haannya benar-benar berjalan sendiri, sudah menjadi mesin bisnis. Ia berani mematoktarget tersebut karena pada saat ini perusa-haannya sudah memiliki diversifikasi pasarjelas. Itu berkat beberapa sertifikasi yangmereka miliki, dan juga lantaran sistem manajemen yang mengarah pasarmenengah ke atas, serta segmen proyek.

“Kami melihat kekosongan pasokan produk-produk ramah lingkungan, padahal segmen -nya menggunung. Sudah mulai ada

permintaan yang jelas, dari beberapajaringan hotel intenasional. Mereka men-datangi kami dan minta suplai. Itu yangpasar premium. Sedangkan pasar mene -ngahnya lebih banyak lagi dan memanghidup kami di situ,” kata Jajag.

Ia menjelaskan, kesadaran tentang sertifikasidatang dari hasil riset pemasaran merekasendiri. Yakni bahwa tren pasar akan mele-bar atau akan fokus pada produk-produkyang bersertifikasi. Temuan itu pun lantasmereka terapkan. Tapi pada awalnya takmudah. Banyak orang menganggap serti-fikasi sulit, aneh, ribet. Tapi upaya menda -patkan sertifikasi berjalan terus. “Sebelummelihat hasil sertifikasi, biasanya orangmalas melakukannya,” lanjut Jajag.

Untuk promosi, Jajag menempuh strategimelalui membangun jaringan dengan lem-baga swadaya masyarakat (LSM), lembagadonor, lembaga yang peduli untuk men-dorong pasar atau pemasok serta vendoruntuk berbuat yang benar dengan serti-fikasi, dengan legalitas. Dan menurut Jajag,LSM dan lembaga donor memang harusmengawal industri dalam upaya ke arah sertifikasi. Pasalnya, industri seringmenghadapi masalah dan itu bisa membuatsemangat mereka untuk bersertifikat naik-turun. “Dengan komunikasi yang ajegbersama LSM dan donor, membuat industripercaya diri,” kata Jajag.

Melalui kemitraan dengan LSM (Arupa,Shorea, Javlec) dan lembaga donor (MFP), PTJawa Furni Lestari berhasil mendapatkanSVLK. Tadinya perusahaan itu sudah punyasistem certificate of conformity (CoC) yangsifatnya mandatory (wajib). Itu antara lain International Organization for Standar-dization (ISO) 9001-2000, Verification of

Page 53: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

“Riset menjadi kuncipengembanganperusahaan.Untuk tujuan itu,PT Jawa FurniLestari punya timriset.

53

Pelatihan SVLK bersama MFP

Legal Origin (VLO), Membaga Ekolabel Indonesia (LEI), serta Forest StewardshipCouncil (FSC).

Tapi perusahaan itu masih mengalamibentur an tentang banyak hal yang tak bisadipecah kan internal. Dari situ, Jajag lantasmengadopsi SVLK. Pertimbangannya, SVLKmembuat perusahaan tak perlu lagi terlalurepot menangani soal-soal legalitas, baik legalitas internal perusahaan dalammenjalankan operasinya maupun legalitaskayu sebagai bahan baku.

Riset menjadi kunci pengembangan perusa-haan. Untuk tujuan itu, PT Jawa Furni Lestaripunya tim riset. Perusahaan memberi kesempatan para personelnya untukmengembangkan kapasitas pribadi masing-masing. Tujuannya, untuk memperdalampengetahuan mereka sesuai bidang tugas-nya. Itu mereka lakukan, baik melalui infor-masi di internet serta membangun jaringandan diskusi dengan berbagai komunitas. Sis-tem ini masih didukung dengan berbagaipelatihan peningkatan kapasitas SDM.

Untuk urusan manajemen dan tim kreatif, perusahaan sejak 2007 menerapkan polarekrutmen berdasarkan standar SDM yangmenurut mereka benar. Perusahaan takmemfokuskan seorang personel pada satujenis pekerjaan saja. Tiap personel harus siap dipindahtugaskan ke divisi apa pun,sehinggga mereka dapat mengembangkandirinya. Tiap enam bulan pimpinan perusa-haan mengeva luasi performa para karya -wan untuk menentukan posisi mereka ditahun berikutnya. “Kami tak mengenalpembagian senioritas. Kami member-lakukan kebijakan bahwa anak buah takboleh lebih bodoh dari kami. Ini supayakonsep kami tercapai.

Mengenai persaingan di pasar, Jajagmenyikapinya dengan bonus berupalayanan kepada pelanggan berupa solusi.Itu membuat pelanggan tak terpaku padaharga yang tertera pada barang. Selainmembuat pelanggan nyaman, layanantambahan berupa solusi ini juga membuatpelanggan percaya dan setia. Lebih dari itu,JajakJajag mengamati bahwa perkembang -an bisnisnya salah satunya didukung olehpromosi di kalangan pelanggan yangbercerita dari mulut ke mulut. Beberapapelanggan barunya datang karena men -dapat rekomendasi dari pelanggan lainyang pernah datang.

“Jadi kami tak menjadikan harga sebagai senjata untuk bersaing. Dan sekalipunpromosi dari mulut ke mulut terbukti efektif,kami tetap melakukan promosi melaluipameran, situs web, dan blog.” kata Jajag.

Di situs web dan blog, Jajag mempro-mosikan produknya dengan cara menyapacalon pelanggan untuk berdiskusi sebagaipancingan. Kepada sebuah chain store yangkebetulan punya visi sama dengannya iaakan menanyakan apakah memerlukankoleksi. Ketika pemilik chain store butuh produk kerajinan dan mebel, Jajag punlantas membuatkan modelnya. “Model pertama mungkin kurang pas, tapi kami takberhenti. Tim kreatif kami justru terus mem-buatkan penyempurnaannya, sampai terjaditransaksi.

Mereka punya target usia 45-50 harus sudahpensiun. Baru dari situ mereka akan aktuali -sasi. Tapi untuk aktualisasi butuh modal,perlu dana. Modal yang mereka cari itu berasal dari usaha mereka sekarang. l

Page 54: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Wawancara Dengan Yuli Sugianto, Ketua AsmindoKomda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Bagaimana Anda memandangpelatihan SVLK bagi industri ini?Asmindo adalam mitra Pemerintahdalam hal ekspor mebel, kerajinan kayukhususnya, meski ada juga aneka kerajin -an lain. Jadi pelatihan SVLK bagi industridengan MFP ini positif. Saya ingin indus-tri memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.

Bagaiana awal Asmindo bermitra dengan MFP?Saya tahu MFP dari Pak Agus Djailani(konsultan MFP bidang UKM/IKM). Diamenyampaikan pada saya bahwa MFPmemiliki satu program masalah globali -sasi, pelatihan, dan pendampingan SVLK.Itu saya anggap bagus karena SVLKsudah merupakan peraturan Pemerin-tah. SVLK wajib, dan itu penting bagikami, khususnya yang ada di Yogyakarta.

Seperti apa gambaran umum industri mebel dan furnitur diYogyakarta?Di Yogyakarta banyak usaha (furnitur)menengah ke atas , dan semuanyabertanya-tanya tentang peluang kamiagar dapat memanfaatkan program- program MFP untuk mendorong SVLKtersebut. Yang jelas ini perlu cepat karenaPak Agus menyampaikan sinyal waktu -nya sudah mepet. Jalan paling cepatadalah segera membuat kesepakatankerjasama antara Asmindo Pusat denganMFP.

Bagaimana kesiapan Asmindodalam pelatihan anggotanya?Dari pihak Asmindo, sudah ada AsmindoCertification Care (ACC). Asmindo Certifi-cation Care ini berperan mendampingiindustri anggota Asmindo. Dan ternyataAsmindo Pusat dan MFP berhasilmerumus kan kesepakatan kerjasama. Iniberlanjut dengan beberapa kegiatan—sosialisasi, pelatihan, pendampingan—di kalangan para anggota Asmindo diberbagai daerah.

Pelatihan yang ideal menurutAnda seperti apa?Setelah sosialisasi atau pelatihan ini sebaiknya ada fasilitasi bagi industriuntuk mendapatkan sertifikat SVLK. Baikitu untuk perusahaan menengah ke atasatau ke bawah. Tapi ini tetap denganmenakar kesiapannya. Yang penting pertama, industri harus punya komitmen.Kemudian kesiapan manajer mereka. Iniyang tak bisa dipaksa. Tapi ini kan masihtahap awal. Nantinya saya yakin lambatlaun SVLK ini tuntas di kalangan industri.

Tahapan apa yang dilalui untuksampai mewujudkan pelak-sanaan pelatihan SVLK ini?Prosesnya saya lihat cukup cepat. Dari internal Asmindo Pusat, kami mulaidengan membentuk Asmindo Certifi -cation Care (ACC) belum lama ini. Inisemacam gugus tugas dan baru kamibentuk di Yogyakarta, Jawa Timur, danSemarang. ACC fokus mendorong sertifikasi melalui pendampingan dikalangan industri.

Jika Asmindo punya programpelatihan, seperti apa itu gambarannya sekilas?Yang pasti kurikulum Asmindo agakberbeda. MFP sudah punya modulsendiri. Itu hanya perlu menentukan tempat, susunan acara pelatihan, berapaorang yang diundang. MFP bisa cepatmenentukan itu. Karena itulah, kamimendorong kawan-kawan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya pelatihanini, selagi gratis.

Apa yang diperlukan industriuntuk punya semangat ikut pelatihan?Ikut atau tidak, itu memang pilihan industri sendiri. Yang penting, pesertaperlu punya motivasi dan niat mewujud-kan iklim untuk membangun satu komu-nitas. Dan saya kira pemahaman tentangSVLK sudah mulai terbentuk di kalanganindustri. Jujur saja, sebelum ini jadi satu

54

Pelatihan SVLK bersama MFP

Page 55: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

program konkret, pendampingan sampainanti audit masih banyak yang bingung.

Apakah ada hambatan untukmemulai SVLK di kalangan industri?Industri memang sempat bingung melihatSVLK. Kami bertanya-tanya, ada apa lagiini. Ada banyak pertanyaan lain. Misalnya,SVLK ini keharusan atau bukan, berapa biayanya. Jika kami sudah punya SVLKterus bagaimana. Jika ternyata kami sudahmegantongi CoC atau VLO bagaimana?Bagaimana dengan industri kecil. Pertanyaan seperti itu sering muncul.

Anda sendiri memandang SVLKseperti apa?Bagi insudtri yang sudah punya sertifikasiapa pun, SVLK merupakan kunci. Karenapaling tidak, jika kami punya SVLK jadiagak tenang. Cuma ada satu pertanyaanlanjutan, benarkah dengan SVLK ini nanti-nya untuk ekspor ke negara-negara impor-tir, semua negara bisa menerima? Apakahmasih terbatas? Karena kalau terbatas, adakemungkinan industri mencari negara tujuan ekspor lain yang tak mewajibkanSVLK. Ini terutama untuk industri kecil. Itumenyimpang dari tujuan. l

Segera setelah pelatihan di Yogyakarta usai, para pelatih dan sebagian narasum-ber berkumpul untuk membuat evaluasi pelaksanaan peltihan. Secara ringkas,evalu asi atas pelaksnaan pelatihan di Yogyakarta dapat dipaparkan sebagaiberikut:

1. Pelatihan perlu melibatan pemilik. Tujuannya untuk mempermudah pesertadan pelatih mengakses dokumen perusahaan yang diperlukan untuk mengisi formulir verifier kritis dan untuk menyusun gap assessment.

2. Materi rasionalitas harus bisa membawa peserta paham mengapa harusSVLK. Di Yogyakarta, materi ini belum sesuai disain awal di Hotel Jambu-luwuk. Sehingga pada materi di sesi berikutnya tak ada pertanyaan lagi tentangmengapa SVLK.

3. Perlu memastikan peralatan di kelas berfungsi baik. Di Yogyakarta terjadigangguan teknis.

4. Pembagian kelas (kelas paralel) ternyata diskusinya sama saja, tak seperti yangkita ilustrasikan di awal. Ke depan, di Solo meskipun tetap kelas paralel, materinya sama.

5. Ternyata metode coaching yang menuntut coach agar memegang etika takboleh mengajari klien tak bisa dilakukan. Ini karena memang peserta masih rendah pengetahuannya. Faktanya coach masih harus sedikit melakukanintervensi mengajari klien dan memberitahu kekurangan-kekurangannya. l

55

Pelatihan SVLK bersama MFP

Yuli Sugianto.

Page 56: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Hari : Senin-Rabu, 12-14 April 2012

Tempat : Hotel Novotel

Peserta : 10 industri anggota Asmindo Komda Solo Raya, 1 dari Kediri (Jawa Timur)

Pelatih : Een Nuraeni (MFP), Setyowati (independen, Bogor), Sudarwan (Shorea, Yogyakarta), Exwan Novianto (Shorea, Yogyakarta), Suryanto Sadiyo (Arupa, Yogyakarta), Panji Anom (Javlec, Yogyakarta).

Narasumber : Jajag Suryo Putro (PT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta), David R Wijaya (Ketua Asmindo Komda Solo Raya), Adi Dharma Santoso (Pengurus DPP Asmindo), Tony Riyanto dan Budi Kurniyadi (BP2HP Wilayah VIII Surabaya), Ahmad Edi Nugroho (Co-Director MFP), Irfan Bakhtiar (MFP).

Moderator : Agus P Djailani (MFP).

Pelatihan SVLK- Asmindo Komda Solo Raya

56

Page 57: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Bab

Para peserta, pelatih, dan narasumber dalam pelatihan SVLK di Surakarta.

57

Page 58: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

Nuansa Kayu

Prima

Arafa

Mugiharjo

Andatu

Vienna Classic

Adi Furniture

Mulya Abadi

Kharisma Rotan

Manggala Jati

Dallas

Lutfi

Julia

Zakki RI

Hernawati

Irawan

Khatarina

Adi Santoso

Murjiyanto

Dewi Ambarsari

Arif Sujatmiko

Ronald

Kawasan Industri Kalijambe, Sragen

Ki Mangun Sarkoro, Surakarta

Kayuapak, Polokarto, Sukharjo

Kanthongan, Kragilan, Boyolali

Jl Slamet Riyadi, Kartosuro

Jl Merbabu, Sukoharjo

Tegalarum, Mojosongo, Surakarta

Ngemul, Sidorejo, Sukoharjo

Gesingan RT 2, Luwang, Sukoharjo

Jl Karang Plese, Klaten

Kediri

No Industri

Peserta : 11 industri dan Asmindo Komda Solo Raya dan satu dari Kediri.

Nama Alamat

Pelatihan di Surakarta menyertakan industrianggota Asmindo setempat. Di Surakarta,

asosiasi ini bermana Asmindo Komda SoloRaya. Pelatihan untuk Komda Solo Rayaberlangsung di Hotel Novotel. Pelatihan inimelibatkan komposisi pelatih yang sama persisdengan pelatihan sebelumnya di Yogyakarta.

Sedangkan narasumber terjadi perubahan.DPP Asmindo, yang mengirimkan wakilnyaKetut Alit Wisnawa di Yogyakarta, kali inimengirimkan wakilnya Adi Dharma Santoso.Dari MFP, hadir Ahmad Edi Nugroho, selainjuga Irfan Bakhtiar, Agus Djailani, dan AgusSetyarso. Sedangkan narasumber dari AsmindoKomda Solo Raya hadir sang ketua, David RWijaya. Narasumber lain dari BP2HP WilayahVIII Surabaya, Tony Riyanto dan BudiKurniyadi, yang khusus menyampaikan materitentang PUHH.

Peserta pelatihan pada umumnya merupakananggota Asmindo Komda Solo Raya. Hanyasaja, ada satu peserta yang mewakili sebuah industri mebel dari luar Surakarta, yakni Dallas

Furniture dari Kediri (Jawa Timur). Secara geografis, Kediri sebenarnya lebih dekat keSurabaya, kota kelima tempat diselenggarakan-nya pelatihan. Hadirnya Dallas, menurut IrfanBakhtiar, karena si pemilik punya sejumlah perusahaan lain dan ingin mengikutkan dua diantaranya ke pelatihan ini.

Urutan acaranya pun pada umumnya sama.Pembukaan berlangsung dengan penjelasanoleh panitia yang juga pelatih, pengenalan seluruh hadirin, berlanjut dengan penjelasantentang seluruh agenda pelatihan salama tigahari. Panitia juga menjelaskan agenda pelatihandi hari pertama. Itu mulai dari pembukaan, rasionalitas SVLK oleh narasumber, kelasparalel bagi kelompok pemegang keputusandan staf tentang PUHH, ulasan tentang veri-fikasi titik kritis VLK, pengalaman penerapanVLK dari audit internal perusahaan, berbagipengalaman oleh pelaku usaha yang sudahmendapatan SVLK, dan persiapan coachingclinic untuk mencari temuan gap assessment diindustri esok harinya.

Pembukaan

58

Pelatihan SVLK bersama MFP

Page 59: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pendaftaran Peserta. Suasana pendaftaran para peserta pelatihanSVLK di Surakarta.

59

Ada satu hal yang menjadi perhatian panitia,yakni tentang pemahaman para peserta mengenai mekanisme dan prosedur pelatihan.Terutama tentang pengiriman dua wakil daritiap industri, harus dari personel yang menem-pati posisi sebagai pembuat keputusan dan satulagi dari kalangan staf. Hal lain yang mendapatperhatian tim pelatih adalah mengenai pelatih -an di hari kedua berupa coaching clinic. Iniadalah kunjungan langsung oleh pelatih ke perusahaan yang merupakan tempat kerjamasing-masing peserta pelatihan.

Untuk itu, Irfan Bakhtiar, yang juga berperansebagai koordinator seluruh rangkaian pelatih -an, wanti-wanti tentang mekanisme tersebut.Ia berpesan agar peserta yang hadir di hari per-tama latihan itu secakap mungkin menyam-paikan informasi kepada para pimpinanperusahaan mereka di kantor bahwa esok haripendamping pelatihan akan datang ke perusa-haan untuk melakukan pendampingan. Tepat-nya, mendampingi peserta pelatihan dariperusahaan terebut dalam mencari temuan direct gap assessment.

Perhatian lebih oleh panitia terhadap persoalantersebut cukup beralasan karena tak semua peserta memiliki kecakapan dalam meng- komunikasikan informasi kepada pemilikperusahaan. Prosedur ini sekaligus juga untukmenguji seberapa intens hubungan atau komu-nikasi di antara para personel para perusahaanyang berdangkutan.

Tapi prosedur standar pelatihan tersebut takberlaku bagi dua peserta yang mewakili Dallas,sebuah perusahaan mebel asal Kediri. Merekamendapat perlakuan khusus. Mengingat jarakyang cukup jauh dan waktu tempuh lama bagimereka untuk bolak-balik Surakarta-Kediri,panitia mengusulkan pada kedua peserta tadiagar minta perusahaannya mengirim doku-men-dokumen soft copy melalui E-mail. Selan-jutnya, mereka akan mendapat pendampingandi hari kedua di hotel tempat pelatihan, tanpakunjunan langsung ke Kediri. l

Page 60: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Ahmad Edi Nugroho memulai denganpen jelasan tentang sosialisasi SVLK.

Menurutnya selama ini telah berlangsung beberapa langkah untuk mensosialisasi kanSVLK. Ini terutama untuk meningkatkan prakesiapan industri perkayuan ke arah SVLK. Inikarena pasar kayu dunia berubah drastis, mulai dengan timber reulation nomer 995 Oktober2010 di negara-negara anggota Uni Eropa(UE). Timber regulation ini mewajibkan pasardi Eropa hanya menerima impor produk kayuyang legal mulai pada Maret 2013.

Edi menjelaskan bahwa timber regulation kinitelah menjadi non-tariff barrier perdagangan diEropa. Dan bukan cuma produk kayu yangmenjadi sasaran, melainkan juga produk per-tanian dan perikanan. Untuk produk ke-hutanan, non-tariff barrier berupa Forest LawEnforcement, Governance and Trade-Volun-

tary Partnership Agreement (FLEGT-VPA).Pasal 4 Ayat 1 timber regulation UE melaranghadirnya kayu ilegal di pasar Eropa. SedangkanAyat 2 menyebutkan bahwa para pelaku bisnisperkayuan harus melakukan due diligence(betul-betul memeriksa keabsahan legalitasproduk kayunya). Peraturan tadi berlaku mulaiMaret 2013 untuk semua jenis produk yangmengandung unsur kayu.

Sebagai sebuah non-tarrif barrier, FLEGT-VPAakan mengecualikan produk-produk kayuimpor dari negara yang menandatanganiFLEGT-VPA. Produk kayu dari negara-negarayang menandatangan FLEGT-VPA tak perlumelakukan due diligent. Dan Indonesia ter -masuk salah satu dari lima negara yang ikutmenandatangani FLEGT-VPA dengan UE.Mereka adalah Ghana, Kamerun, Gabon, Republik Afrika Tengah. Hanya saja kelanjutanFLEGT –VPA di keempat negera tersebutmentok di tengah jalan.

Artinya, berbagai produk kayu yang selama inimasuk Eropa, nantinya belum tentu akan bisaterus berlanjut begitu FLEGT-VPA efektif.Dengan perkembangan seperti itu, ada peluang bagi produk-produk kayu dari TanahAir untuk menikmati kemudahan masuk pasarUE. Yang sudah hampir pasti adalah bahwaproduk-produk tersebut bakal bisa mengaksespasar premium. Dan harus diakui bahwa pasarpremium belum serta-merta bisa memastikanbahwa harganya akan ikut premium.

Dari ulasan di atas tampak bahwa sertifikasiatas produk kayu (SVLK) penting. Dan kiniSVLK sudah mendapat pengakuan dan per -setujuan dari UE sebagai salah satu instrumenpenting untuk melengkapi dokumen ekspormelalui FLEGT-VPA. Pemerintah RI dan UEsudah menandatangani kesepakatan untuk

Pelatihan SVLK bersama MFP

Presentasi NarasumberAhmad Edi Nugroho

Ahmad Edi Nugroho. Memaparkan tentang kesepakatan RI dan UE untuk produk legal.

60

Page 61: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

menggunakan SVLK sebagai sistem verifikasifalam FLEGT-VPA tadi. Artinya, kedua pihaksudah menyelesaikan administrasi masing-masing untuk mengadopsi SVLK. Dan untukmemastikan nasib SVLK, kedua pihak jugamulai membenahi persiapan masing-msing.UE mengurus persetujuan pelaksanaan SVLKdari 27 negara anggotanya. Pada saat yangsama, Pemerintah RI juga perlu meratifikasiSVLK. Jika “pekerjaan rumah” kedua pihaktersebut tuntas, SVLK segera berlaku penuh.

Menurut Edi, sebagai sebuah sertifikasi,penyusunan SVLK telah melalui proses multi-pihak di Tanah Air. Beberapa langkah dalamproses penyusunan SVLK termasuk mencaridefinisi legal serta indikatornya. Selamapenyusunan, proses tersebut menyertakan parapakar untuk membicarakan bagaimana sistemini nantinya bekerja.

Dari situ tampak SVLK tak hanya kredibel dimata Indonesia tapi juga UE. Padahal selamaini UE paling rewel dan paling sulit ditembussertifikasinya. Dengan keberhasilan mencapaikesepakatan aspek legalitas kayu dengan UE,selanjutnya bisa melebar ke negara-negara lain,seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), dan

Australia. Pasalnya UE bukan satu-satunyakawasan yang menerapkan standar legalitasproduk. Pemerintah Jepang, AS, dan Australiapun memiliki kebijakan yang menuntut importir harus bertangungjawab atas legalitaskayu.

Pada intinya, kata Edi, tren perdagangan kayudunia berubah drastis. Dan dengan SVLK, disitu ada peluang. Jika industri mebel Indonesiabisa memanfaatkan peluang ini, kredibiitas ekspor produk kayu Indonesia bisa terangkat,pendapatan dari ekspor juga bisa ikut naik.

MFP sendiri ikut andil dalam proses untukmendorong VPA dan juga SVLK sebagai instrumen ekspor ke Eropa. MFP meyakinkanindustri tentang tren bisnis kayu global belakangan ini. MFP menggelar roadshow,memproduksi dan menyebarkan brosur,menyelenggarakan pelatihan. MFP memahamikeadaan industri mebel di Tanah Air yangmasih memerlukan pendampingan khususdalam memahami perlunya langkah untukmemenuhi syarat-syarat legalitas. Sekalipun ituberupa legalitas usaha yang paling mendasar,seperti dokumen SIUP, TDP, TDI, danNPWP. l

61

Kelas Pelatihan. Hari pertama pelatihanSVLK berlangsung di dalam kelas.

Page 62: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

David mengakui legalitas memang salahsatu bagian dari untuk memperbaiki citra

produk kayu dari Indonesia. Masyarakat duniaselama ini telanjur mengganggap bahwa produk kayu Indonesia ilegal. Menurutnya,SVLK merupakan kesempatan bagi industridan eksportir kayu untuk menyikapi denganhalus.

Yang membuat David gelisah adalah waktupemberlakuan wajib SVLK yang sudahdemikian mengimpit. Selain waktu yangmepet, volume bisnis industri mebel diSurakarta kebanyakan juga masih berskalakecil. Untuk sekali ekspor umpamanya, volume produk tak sampai memenuhi satukontainer. Keadaan tersebut juga membuat

industri merasa terbebani ketika harusmengeluarkan biaya untuk mendapatkan sertifikasi VLK. Dalam soal dokumen legalitas perusahaan pun, industri di Surakarta masihbanyak yang belepotan, tak lengkap.

Ia melontarkan gagasan agar ada celah bagi industri untuk mendapatkan VLK sebagaikelompok. Ia melihat cara itu bisa menjadijalan keluar bagi industri-industri untuk mem-peroleh VLK dengan patungan. Dengan begitu, beban ongkos di tiap industri bisa lebihterjangkau. Hanya saja, David mengaku belumpaham bagaimana mekanisme memperolehVLK melalui kelompok. Itu pun jika caratersebut bisa dilakukan. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Ketua Asmindo KomdaSolo Raya, David E Wijaya

David R Wijaya. Ketua Asmindo Komda Solo Raya.

62

Page 63: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Agus Djailani sebagai moderator, memberi pengantar tentang maraknya illegal logging

di Indonesia yang terjadi segera setelah masakrisis keuangan dan krisis politik di Tanah Airpada 1998. Pada saat itu Indonesia mendapattekanan Dana Moneter Internasional (IMF)untuk membuka ekspor logging. Itu memicumaraknya illegal logging yang terus terjadihingga 2002 dan mengakibatkan hutan kritis.

Maraknya illegal logging sampai membuatmasyarakat internasional mencap Indonesia sebagai pengekspor produk kayu ilegal. Danstigmatisasi itu masih terus melekat hingga saatini. Yang membuat keadaan parah, pada saat

itu belum ada sertifikasi wajib atas produk hasilhutan.

Baru belakangan Pemerintah RI mengambillangkah tegas untuk meberlakukan sertifikasiwajib atas produk-produk kayu. Sertifikasiwajib bagi produk berbahan kayu juga dirasakan pihak UKM, untuk menyesuaikandiri dengan tuntutan para konsumen, terutamadi luar negeri. Menurut Agus P Djailani, sertifikasi wajib bagi produk berbahan bakukayu harusnya sudah diberlakukan sejak masakrisis itu, ketika illegal logging mulai menapaknaik drastis. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

63

Rasionalisasi SVLKProlog oleh Agus P Djailani

Agus P Djailani. Fasiliiator MFP untuk urusan IKM/UKM.

Page 64: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

SVLK merupakanprogram multi -pihak. Selain industri, di situjuga ada bebe -rapa kementerianserta lembaga Pemerintah,terutama lembagapenegakanhukum (POLRI),yang ikut menen-tukan berhasilnyapenerapan SVLK.

Adi Dharma, mewakili DPP Asmindo,khususnya Tim Asmindo untuk SVLK.

Adi Dharma hadir dalam sesi pembukaan,terutama utuk memberikan materi berupapemahaman (rasionalitas) SVLK kepada parapeserta pelatihan. Ia memulai dengan pen -jelasan tentang latar belakang Asmindo dalammendukung langkah Pemerintah RI untukmendorong SVLK bagi industri.

Menurutnya, dukungan Asmindo itu munculdari desakan pasar akan produk dengan bahanbaku kayu legal. Dukungan Asmindo jugamerupakan langkah untuk menyikapi pan -dang an masyaraat internasional tentang pro-duk-produk mebel indonsaia yang diproduksidari kayu hasil illegal logging. Itu semua mem-buat Asmindo merasa perlu lebih serius men-dorong program yang menyatakan bahwaproduk-produk mebel Indonesia diproduksidari bahan baku kayu legal.

Untuk membuktikan pada dunia bahwa Pemerintah RI punya itikad serius untukmemastikan produk-rpoduk mebel Indonesiadiproduksi dari bahan baku kayu legal, Peme -rintah RI membuat kesepakatan dengan negara-negara yang tergabung dalam Masya- ra kat Eropa (European Union, EU). Padaawalnya, kesepakatan tersebut masih bersifatsukarela (voluntary partnership agreement, VPA).Perjanjian ini menyebutkan bahwa produk-produk mebel Indonesia diproduksi dari bahanbaku kayu legal yang ditebang dari hutanlestari, yakni hutan yang dikelola SVLK pula.

Dari sekadar sukarela, VPA kini menjadi wajib.Pemerintah RI dan EU sudah menandatanganiVPA tersebut, sehingga status VPA yangtadinya sukarela berubah menjadi wajib. Danitu terwujud dalam SVLK. Di tahap awal,SVLK masih terbatas efektif untuk ekspor keEropa. Namun dalam aktu dekat, SVLK jugaakan berlaku melebar dalam hubungan dagangdengan Jepang, Amerika Serikat (AS), danAustralia.

Sebagai sebuah kesepakatan atas dasar prinsipkesetaraan, SVLK juga membuka peluang bagiPemerintah RI untuk mengawal pelaksanaan-nya di dalam dan di negara-negara Eropa yangmenandatanganinya. Di dalam negeri, pelak-sanaan SVLK tampak dari upaya dan komit-men Pemerintah RI untuk memastikan bahwaproduk-produk mebel Indonesia diproduksidari bahan baku kayu ilegal dan melalui prosesproduksi yang legal, oleh industri yang juga ilegal.

Sebaliknya, negera-negara EU pun juga di tuntut untuk berkomitmen melaksanakanSVLK. Artinya, EU juga harus mengeluarkanperaturan yang hanya membolehkan masuk -nya produk-produk mebel yang diproduksidari kayu legal. Jangan sampai ketika Pemerin-tah RI telanjur mewajibkan SVLK, ternyataEU kemudian membiarkan masuk produk-produk berbahan baku kayu ilegal dari pihaklain.

Sebagai instrumen wajib untuk menekan illegallogging, SVLK juga memberi kesempatan bagiIndonesia untuk menaikkan daya saing produkmebelnya di pasar global. Sejauh ini, Indonesiamerupakan negara kelima yang menanda -tangani VPA. Bahkan untuk Asia, Indonesiaadalah yang terdepan dalam memberikankomitmennya terhahap upaya menekan illegallogging. Vietnam, ailand, Malaysia belumsampai pada tahap itu.

Bahkan Malaysia masih menolak member-lakukan VPA. Ini karena Malaysia ikutmemetik keuntungan dari praktek illegal log-ging. Hampir semua kayu dan produk berba-han baku kayu yang diperdagangkan olehMalaysia adalah hasil illegal logging di hutan-hutan Indonesia dan dibawa masuk keMalaysia melalui cara yang tak legal pula—penyelundupan.

Dari presentasi tentang latar belakang Asmindo mendukung SVLK tersebut, Adi

Pelatihan SVLK bersama MFP

Adi Dharma Santoso: Posisi Asmindo terhadap

SVLK

64

Page 65: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Dharma lantas memaparkan berbagai hal tentang organisasi Asmindo serta langkahnyadalam mendorong SVLK. Pada intinya, iamenggarisbahwai bahwa SVLK merupakanprogram multipihak. Selain industri, di situjuga ada beberapa kementerian serta lembagaPemerintah RI lain, terutama lembaga pene-gakan hukum (POLRI), yang ikut menentu -kan berhasilnya penerapan SVLK sesuai yangdiharapkan.

Dari kalangan kementerian, SVLK memer-lukan dukungan kebijakan dari KementerianKehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Ke-menterian Keuangan, Kementerian LuarNegeri, Kementerian Perindustrian, Kemente -rian Perdagangan, Kementerian LingkunganHidup, Kementerian Koperasi, KementerianTenaga Kerja, dan Badan Perencanaan Pem-bangunan Nasional (BAPPENAS). Dari Ke-menterian Kehutanan, umpamanya, Asmindoberharap agar memberi kemudahan penyedia -an bahan baku kayu dari hutan lestari.

Pada beberapa kementerian lain, Asmindomengharapkan kemudahan sistem perizinan diberbagai tingkat pemerintahan— pusat,provinsi, kabupaten, dan kota. Ini karenaSVLK tak hanya menuntut legalitas bahanbaku kayu dan proses produksi, juga legalitasperusahaan. Dalam hal ini, legali tas perusahaanmenyangkut kepemilikan berbagai izin usahaseperti Tanda Daftar Industri (TDI), TandaDaftar Perusahaan (TDP), Surat Izin UsahaPerdagangan (SIUP), Eks portir Terdaftar Pro-duk Industri Kehutanan (ETPIK), Upaya Pen-gelolaan Lingkungan (UKL) dan UpayaPemantauan Lingkungan (UPL), AnalisisMengenai Dampak Lingkungan.

Kepada BAPPENAS, Asmindo mengharapkanterbitnya kebijakan yang mendorong lembaga-lembaga Pemerintah untuk menggunakanperangkat kantor dari mebel produksi dalamnegeri dari bahan baku kayu ber-VLK. Denganbegitu, industri kayu berpeluang memperkuat

basisnya di dalam negeri dan sanggupmemainkan peran sebagai tuan rumah dinegeri sendiri. Jika mekanisme berlangsungkonsisten, itu memberikan harapan bagi indus-tri mebel di Tanah Air dalam jangka panjang.

Harapan lain juga disampaikan Asmindokepada Kementerian Perdagangan. Ini khusus-nya untuk merevisi peraturan tentang keten-tuan ekspor produk kehutanan yang berkaitandengan masa pemberlakuan SVLK pada Maret2013. Tujuannya, agar industri tak sampai ter-sandera oleh peraturan tersebut sehingga ter-ancam tak dapat melakukan ekspor sampaibatas waktu mulai berlakunya SVLK nanti.

Kepada Kementerian Luar Negeri, Asmindoberharap agar selalu mengawal ratifikasi per-janjian kerjasama dengan negara-negara tujuanekspor. Ini merupakan perimbangan darikomitmen parapihak di dalam negeri untukmendorong pelaksanaan SVLK, dengan para-pihak di luar negeri yang seharusnya jugamemberi kepastian akan terbitnya regulasiyang memaksa semua produk yang masukharus diproduksi dengan legal pula.

Harapan lain juga Asmindo alamatkan padaKementerian Keuangan. Ini berupa kemudah -an dan transparansi tata-laksana ekspor pro-duk-produk yang ber-VLK oleh Kantor Beadan Cukai. Selain kemudahan dan transparansidi kalangan Bea dan Cukai, Asmindo jugaberharap ada pembenahan pada sistem ekspordalam harmonisasi prosedur dan dokumen.Dengan demikian tak perlu terjadi lagi perusa-haan gagal mengekspor produknya lantaransistem dokumen— seperti FAKB, FAKO,TDI, SKAU, nota, ETPIK, endorsement-- yangtumpang-tindih dan saling kontradiktif.Menurut Adi Dharma, akan sangat ideal jikapelaksanaan ekspor berlangsung dalam sistemIndonesian National Single Window (INSW)untuk memastikan adanya harmonisasi dansinkronisasi prosedur dan dokumen. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

65

Wakil Asmindo. Adi Dharma Santosomewakili DPP Asmindo untuk urusanSVLK.

Page 66: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Sebetulnya paparan oleh Irfan Bahtiar sudahdisinggung Ahmad Edi Nugroho dan Adi

Dharma Santoso. Sebenarnya Irfan Bakhtiarberharap ada penyampaian materi rasionalitasSVLK dari Kementerian Kehutanan. Tapi sam-pai mendekati saat pelatihan, tak kunjung adakonfirmasi dari Kementerian Kehutanan.Akhirnya MFP dan tim pelatih sepakatmenyusun sendiri materi rasionalitas SVLKdalam pelatihan di Surakarta.

Irfan Bakhtiar mulai dengan garis besar bahwatujuan SVLK adalah untuk mendorong produk hasil hutan Tanah Air agar tetapsanggup menembus pasar global. Ini karenapemerintah beberapa negara tujuan ekspor,khususnya di Eropa, sudah menerapkan non-tariff barrier terhadap produk-roduk mebeldari bahan baku kayu. Mereka mengambil kebijakan ini sebabagi respons merekaterhadap riuh-rendahnya isu illegal logging,kerusakan lingkungan, yang sudah mengalamimultiplikasi dengan isu-isu lain. Negara-negaratersebut menempuh non-tariff barrier karenakebijakan tariff barrier tak lagi dibernarkanoleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kebijakan non-tariff barrier oleh beberapa negara Eropa ini tak hanya untuk produkkayu. Informasi dari Kementerian Luar NegeriRI menyebutkan bahwa pihaknya juga tengahmenegosiasikan soal produk perikanan danpertanian di sana. Ini berarti bahwa kebijakannon-tariff barrier mulai menguat. Khususuntuk produk kayu, ada Forest Law Enfor -cement, Governance and Trade (FLEGT)-VPAyang sudah berlaku di sejumlah negara Eropa,seperti Belgia, Prancis, dan Jerman. Bahkansejak beberapa tahun silam Norwegia sudahmenyatakan menutup pintu bagi impor kayu-layu kayu tropis.

Sekilas, volume komoditas ekpor Indonesia keEropa hanya 17%. Tapi dari 17% tersebutlebih dari 50% itu berupa produk furnitur. Ituangka yang sangat besar. Itu pula mengapa

MFP melihat firnitur merupakan komoditasyang strategis dalam neraca perdagangan global Indonesia ke Eropa. Akan menjadi pukulantelak bagi industri mebel Tanah Air jika Eropamenggembok pintu impor dari Indonesiahanya karena produk-produk dari Indonesiadibuat dari bahan baku ilegal.

Dari situ kemudian terbangun kontak antaraMFP dengan Asmindo, dan itu berlanjut dengan kesepakatan untuk bekerja bersama.Di situ MFP memberikan fasilitas untukmempercepat pelaksanaan SVLK di Tanah Airmelalui berbagai cara sosialisasi. Indikator darikeberhasilan kerjasama antara MFP dan Asmindo ini adalah pelaksanaan SVLKmenjadi lebih cepat. Ini mengingat timberregu lation sudah disepakati dan dilaksanakan antara Pemerintah RI dengan Uni Eropa (UE).

Pada tahap ini, ada harapan bahwa negara-ne-gara yang tergabung dalam UE juga konsisten.Sebagai sebuah kesepakatan, timber regulationtak hanya harus menekan Indonesia, tapi jugaUE agar memiliki komitmen. Untuk itu MFPmerasa perlu untuk ikut mengawal pelak-sanaan timber regulation oleh negara-negaraEropa melalui pemantauan pasar (market mon-itoring) di sana. MFP akan memastikan jangansampai UE membiarkan masuk kayu dan produk kayu ilegal. Salah satunya kayu dariMalaysia yang sebenarnya hampir semua,terutama kayu merbau, hasil selundupan darihutan di pulau-pulau di Nusantara. Jika ter -nyata ada negara Eropa anggota UE yangmengingkari SVLK, Indonesia bisa membawamasalah ini ke peradilan internasional.

Untuk memverifikasi legalitas produk, adamekanisme due diligent regulation. Ini merupa -kan langkah untuk mengecek legalitas produk,dari mulai lokasi pemanenan kayu sampaipelabuhan ekspor, termasuk proses produksi diindustri. Proses ini akan berlangsung bertele-tele dan memakan waktu, dengan peluangyang menganga akan terjadinya kesalahan.

Pelatihan SVLK bersama MFP

Irfan Bakhtiar

66

Irfan Bakhtiar. Membuat mudah pemahaman tentang SVLK kepadapeserta pelatihan.

Page 67: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

67

Namun prosedur due diligent regulation ini bisadihindari berkat ditandatanganinya VPA antaraIndonesia dengan UE. Penandatanganan VPAini mengisyaratkan adanya komitmen bahwaproduk kayu Indonesia mengikuti standar lega-litas kayu, dan bersertifikat. Dengan sertifikatini, produk kayu Indonesia menda patkanlampu hijau ntuk masuk ke Eropa tanpa harusmelalui due diligent regulation yang berliku.

Atas dasar pertimbangan itulah MFP men-dorong telaksananaya penandatanganan VPAbilateral antara Indonesia dengan UE. Yanglebih membanggakan, standar legalitas inidibangun berdasar peraturan nasional RIsendiri. Dan selanjutnya, tata kelembagaanpengaturan legal assurance system ini merupa -kan cikal bakal bagi SVLK. Dengan adanya sistem legalitas yang dibuat sendiri olehPemerintah Indonesia, ini merupakan pang-gung bagi Indonesia untuk mengangkat pamordi tengah masyarakat internasional.

Selain market barrier sebagai rambu-rambuSVLK di negara tujuan ekspor, ada juga rambu

lain di dalam negeri, yakni perbaikan tatakelola hutan dan industri berbahan baku kayu.Dalam soal tata kelola hutan, ternyata banyakpemanfatan hutan produksi yang tak lestari.Di situ terjadi penebangan yang melebihikuota (overcutting), penebangan di luar blok,dan konflik dengan masyarakat di sekitarhutan. Banyak sertifikasi pengelolan hutanlestari mandatory yang dikembangkan Ke-menterian Kehutanan yang ternyata belummenjamin kelestarian. Dari situlah munculalasan untuk mendorong SVLK.

Persoalan lain juga tampak dari rendahnyapemahaman dan dipenuhinya ketentuan penatausanahaan hasil hutan dan dokumenpengangkutan. Itu, misalnya, dialami seorangpedagang kayu dari Palembang yang hendakmengangkut kayu kopi ke Pulau Jawa. Barusampai di Lampung, ia distop petugas. Yangmenggelikan, baik si petugas dan penjual kayutersebut tak tahu persis dokumen apa yangharus dilengkapi. Artinya, pengusaha di bidangproduk berbasis kayu memang seharusnyapaham dokumen berbagai jenis kayu.

Interaksi Pelatih-Peserta. Pemahamantentang SVLK melalui pendekatan personal.

Page 68: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

Dan itu sudah ada pada buku yang panduanyang penerbitannya difasilitasi MFP. Bukupanduan tersebut juga membantu pengusahakayu membekali diri dengan pengetahuan tentang jenis kayu dan dokumen apa saja yangdiperlukan untuk menyertainya. Dengan begitu, pengusaha kayu dapat membekalidirinya pada saat melakukan pengiriman kayudengan dokumen yang benar-benar sesuai.Untuk memperkuat argumentasi, pedagangkayu juga bisa menunjukkan daftar kayu dandokumennya kepada petugas di jalan, yangsudah hampir pasti juga belum paham.

Ia melanjutkan bahwa industri masih banyakyang kurang memperhatikan kelengkapandokumen legalitas perizinan. Bagi pelaku usahadi Indonesia yang penting usaha berjalan dulu,izinnya belakangan. Ini juga dilakukan sejum-

lah perusahaan ekspor yang sudah mengirimbarang ke luar negeri sekalipun belummemegang dokumen-dokumen perizinan. Iamenengarai, tak sedikit badan usaha yangberhubungan dengan konsumen umum eng-gan mengurus izin dengan alasan biayanyamahal. Pengusaha masih lebih nyamanmelakukan tawar-menawar dengan petugas,agar biaya dibuat murah.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian danmerupakan prakondisi menuju SVLK adalahbahwa semua masyarakat dan petugas harussama-sama mematuhi peraturan Pemerintah.Salah satu contoh adalah prosedur transportasidan traksaksi kayu. Di situ, SKSKB ataupunFAKO harus “dimatikan” oleh petugas P3KB.Tapi kenyataannya, ada daerah yang pasarkayunya cukup ramai, tapi tak memiliki

Pendokumentasian Legalitas. Industriperlu lebih disiplin menata dokumentasiadministrasi.

68

Page 69: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

69

Pertanyaannya,setelah 2013 industri belumjuga bersertifikatSVLK, apa takboleh ekspor?

petugas P3KB, seperti yang terjadi di Klaten,Jawa Tengah. Di situlah perlunya mendorong Pemerintah agar menyediakan petugasnya dilapangan. Dalam hal ini asosiasi seperti Asmindo dapat memainkan peran lebih besaruntuk mendorong Pemerintah.

Salah satu keadaan yang menunjukkan bahwamasyarakat masih abai, terutama pelaku usaha,adalah kurangnya perhatian pada standarketenaga-kerjaan. Itu tampak pada masihadanya perusahaan yang mepekerjakan anak-anak, tak memiliki kebijakan yang mem-berikan hak berserikat bagi pekerja, kontrakkerja, serta prosedur keamanan dan kesela-matan.

Di pihak Pemerintah, sistem perdagangan yangselama ini ada juga masih perlu lebih dibenahi.Penerbitan NIK, ETPIK, document endorse-ment, laporan oleh surveyor masih tumpang-tindih dan mengakibatkan ekonomi biayatinggi (korupsi). Untuk mengatasi itu, harusada langkah ratifikasi legalitas kayu oleh indus-tri perkayuan di Indonesia untuk menjaminlegal compliance. Prinsip legal berarti legal sum-bernya, legal usahanya, legal sistem pro-duksinya, termasuk legalitas dokumen kegiatanpendukungnya— soal lingkungan, misalnya.Dan itu bisa terakomodasi dalam SVLK.

SVLK ditetapkan Pemerintah RI melalui Per-aturan Menteri Kehutanan (Permenhut) P 382009 juncto P 68 2011 tentang sistem penila-ian sistem hutan produksi. SVLK wajib bagiindustri primer dan terpadu pada Desember2012, setahun setelah diberlakukan aturan ini.Bagi industri lanjutan termasuk mebel, SVLKmenjadi wajib dua tahun setelah diterbitkan-nya aturan ini, pada Desember 2013. Itudiperkuat dengan peraturan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, KementerianKehutanan. Ada juga penguatan dari peratuanKementerian Perdagangan yang sedang diubahdan sudah disepakati.

Pada saatnya nanti, ketika SVLK berlaku, adasejumlah perubahan prosedur ekspor. Endor -sement BRIK (untuk yang wajib endorsementBRIK) dan laporan surveyor (LS) Sucofindo(yang wajib LS) akan digantikan denganDokumen V – Legal. Dokumen ini tak sekadarmengantar barang menuju gerbang ekspor,melainkan terus akan mengikuti barang sampai negara tujuan ekspor.

Dokumen V-Legal ini diterbitkan oleh Lem-baga Verifikasi Legalitas Kayu. Dokumen V -Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada pro-duk kayu atau kemasan yang menyatakanbahwa kayu dan produk kayu telah memenuhistandar VLK. Pada saat ini V Legal sedangdalam proses mendapatkan hak paten di Ke-menterian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Di situ, industri yang sudah bersertifikat LKakan mengajukan Dokumen V – Legal kepadaLVLK yang mensertfikasi. Sedangkan industriyang belum bersertifikat LK akan menjalaniinspeksi untuk tiap kontainer yang dieksporoleh LVLK yang terakreditasi. Yang sudah adasekarang antara lain: BRIK, Sucofindo, TUV,Mutu Agung, MHI, Sarbi International, SGSIndonesia, Equality Indonesia, dan sedangdalam proses Transtra Permada.

Pertanyaannya, setelah 2013 ternyata ada industri yang belum juga bersertifikat SVLK,apa tak boleh ekspor? Jawabnya ia boleh impor,yakni melalui inspeksi atas tiap invoice yangjumlahnya puluhan lembar. Itu artinya takefisien. l

Di Luar Ruangan. Beberapa pekerjamebel bekerja di luar ruangan.

Page 70: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Sesi tanya-jawab ini berlangsung setelahagenda rasionalitas SVLK. Seorang peserta

pelatihan, Nugroho, menyatakan bahwadirinya sedikit sekali memahami persoalanSVLK. Ia juga menyatakan belum pahambenar dengan penjelasan oleh sejumlah nara-sumber dalam sesi rasionalitas yang baru sajadia ikuti. Pemahaman dia tentang penjelasanseputar rasionalitas SVLK hanya sekitar 22%.Dan ia percaya hal yang sama dialami rekan-rekanya sesama peserta pelatihan.

Lebih lanjut, Nugroho melontarkan dua per-tanyaan kepada Irfan Bakhtiar. Yang pertama,apakah Dokumen V-Legal hanya berlakuuntuk produk kayu atau juga rotan serta kertas.

Nugroho juga minta penjelasan tentang pelak-sanaan Dokumen V-Legal yang bakal meng-gantikan beberapa dokumen impor. Kedua,apakah SVLK merupakan peraturan wajibyang dipaksakan oleh negara asing atau meru-pakan produk Pemerintah RI sendiri.

Tentang Dokumen V-Legal, Irfan Bakhtiarmenegaskan bahwa itu hanya berlaku untukproduk kayu. Tentang peran Dokumen V-Legal, pemberlakuannya mulai Juli 2012.Pelaksanaan Dokumen V-Legal masih menunggu revisi beberapa peraturan Kemen-terian Perdagangan. Revisi perlu dilakukanuntuk menyelaraskan aturan KementerianPerdagangan dan Kementerian Kehutanan.

Pelatihan SVLK bersama MFP

70

Sesi Tanya-jawabSVLK Buatan Asing atau

Asli Indonesia

Memotong Kayu. Seorang pekerja diindustri mebel meluruskan ukuran kayu.

Page 71: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

SVLK Dibangun sebelum EropaPunya Timber Regulation

Tentang inisiatif SVLK, Irfan Bakhtiarmenegas kan bahwa itu merupakan kebijakanPemerintah RI, bukan dari negara asing. Danmenurutnya, parapihak di Tanah Air, termasukPemerintah RI dan sejumlah LSM, sudahmemulai sejak 2001. Itu terjadi sebelum UEmemiliki timber regulation. SVLK merupakanjawaban sekaligus tantangan dari pihak Indonesia terhadap kritik UE dalam DeklarasiBali yang memandang Indonesia sebagai biangillegal logging.

Indonesia ingin membuktikan sanggup mem-buat produk legal melalui SVLK, dan mem-buka mata Eropa bahwa selama ini produkilegal justru berasal dari China dan Malaysiayang mengunakan bahan baku kayu curiandari Indonesia. Sebaliknya, Indonsia menuntutbalik Eropa agar memiliki aturan— yang belakangan muncul dalam wujud EU timberregulation-- yang jelas-jelas melarang masuknyaproduk ilegal. Artinya, Eropa jangan hanyamenekan Indonesia, tapi pada saat yang samamembiarkan banjirnya produk ilegal dariChina dan Malaysia.

71

Kayu legal. Untuk ekspor mebel keEropa, kayu harus memenuhi syarat le-galitas.

Page 72: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Tanpa SVLK, Indonesia akan Dilibas China dan Vietnam

Menghadapi persaingan dengan China danMalaysia, Indonesia sebenarnya sudah sangatberbaik hati. Ini tampak dari jerih payah para-pihak di Indonesia dalam membangun SVLK.Itu mulai sejak 2001 ketika Indonesia meng-gagas SVLK. Gagasan itu kian intensif pada2003, dengan puncaknya pada 2009 ketikaSVLK dikuatkan statusnya sebagai aturanwajib melalui Permenhut. Belum berhenti diitu, pada 2011 Pemerintah RI dan parapihaklain melakukan revsisi atas aturan tentangSVLK tersebut.

Dan ketika SVLK memiliki wujud yang sem-purna, datanglah wakil Pemerintah China danVietnam— yang sebenarnya merupakan

negara pesaing bagi Indonesia— untuk begitusaja mengkopi aturan-aturan dalam SVLKyang sudah “siap saji” tadi. Artinya, China danVietnam mengakui kredibilitas SVLK danakan menggunakannya untuk mendapatkanjalur hijau dalam ekspor ke Eropa. Pada Desember 2012 Vietnam, umpamanya,bersiap menandatangani FLEGT Lisence dengan Eropa.

Sementara itu, para pelaku usaha kayu ekspordi Indonesia selama ini masih berkesan engganmengadopsi SVLK. Jika ini terus terjadi, Chinadan Vietnam kaan mendahului Indonesiadalam menemukan jalan mudah ekspor keEropa. Jalan panjang dan upaya keras para -pihak di Indonesia dalam membangun SVLKakan sia-sia.

Pelatihan SVLK bersama MFP

72

Kayu Masuk. Timbunan kayu sebelum masuk sawmill.

Page 73: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Legal Identik dengan Halal

Penjelasan Irfan Bakhtiar di atas diperkuatlebih lanjut dari narasumber lain dan sekaliguspelatih bagi pelatih, Agus Setyarso. Baginya,pelatihan di Surakarta adalah yang pertama iamuncul. Agus Setyarso memulai dengan per-tanyaan apakah seseorang mengembangkanusaha atas dasar legal atau sekadar ingin laku.Agus Setyarso menganalogikan legalitas usahasebagai sesuatu yang halal dalam agama. Danitu, baik sesuatu yang legal atau halal, harusnyamenjadi pertimbangan dasar bagi orangmelakukan usaha.

Para penggagas menyusun SVLK dengan niatagar pengusaha mebel memiliki kehormatan.Siapa pun yang memiliki usaha legal sudahsepantasnya dihormati. Dan sebagai pemilikusaha yang legal, mereka ini harus mendapattempat terhormat, terpisah dari mereka yangusahanya tak legal. Dan yang lebih penting,para pemilik usaha legal ini juga harus dilindungi.

Namun semua orang bisa saja bilang usahanyalegal. Untuk melihat sebuah usaha legal, perludibuktikan dengan melacak asal-usul bahanbaku yang legal, diproduksi dengan legal,melalui proses legal, diangkut dengan sistemtransportasi legal, dan dijual dengan cara legalpula. Dan pada saat awal sistem legalitas inidigulirkan sekitar 2001 hinga 2005, Indonesiamemang merupakan belantara kegiatan usahailegal.

Itu salah satunya tampak dari keengganan sejumlah asosiasi. Kepada Menteri Kehutanan,pada saat itu MS Kaban, Indonesian Sawmilland Woodworking Association (ISWA)menyata kan keberatannya. Jika sistem veri-fikasi legalitas ini berlaku, maka perusahaananggota ISWA bisa tinggal 50%. BeruntungMS Kaban jalan terus dengan sistem verifikasilegalitas tersebut, dan menjawab bahwa dengan anggota yang tinggal 1% pun takmasalah asalkan legal. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

73

Usaha Legal. Narasumber Agus Setyarso menekankan pentingnyausaha yang legal.

Page 74: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

SVLK Rasa JeparaIngin Mudah danMurah…

Hari : Jumat-Minggu, 27-29 April 2012

Tempat : Restoran Maribu

Peserta : 20 industri anggota Asmindo Komda Jepara dan APKJ

Pelatih : Setyowati (independen, Bogor), Sudarwan(Shorea, Yogyakarta), Exwan Novianto(Shorea, Yogyakarta), Suryanto Sadiyo(Arupa, Yogyakarta), Panji Anom (Javlec, Yogyakarta), Teguh Yuwono (Yogyakarta), Anton Sanjaya (SSC, Makassar).

Narasumber : Jajak Suryo Putro (PT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta), Akhmad Fauzi (Ketua Asmindo Komda Jepara), A Kholik, Joko Pramono(Wakil Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, Tony Riyantodan Budi Kurniyadi (BP2HP Wilayah VIII Surabaya), Diah Raharjo (Co-Director MFP), Irfan Bakhtiar (MFP).

Moderator : Teguh Yuwono.

74

Page 75: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Warung Kayu. Timbunan kayu untuk dijual seperti ini banyak dijumpai di halaman rumah atau lahan kosong di tepijalan di Jepara.

Bab

75

Page 76: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

76

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

Sukardi

Muhammad Hatta

Ahmad Zainudin

Rini

Yenny Rahmawati

Muhlisin

Ali Ma’rifatullah

Hj Alfiatun

Sulthon

Agus Riyanto

Dwi Agus Setyowati

Dyah

Nuril Mustafa

Mawardi

Totok Karmanto

Jati Widodo

Lutfi

Kurnia

Andrew

Legiman Arya

Endang P

Rudiyanto

Abdul Latif

Karnoto

Soegianto/Yayuk

Kuncoro

Amin Fatah

Rifai

M Bejo Raharjo

Nofi A

Margono

Siti Khotimah

Agus

Anita DL

Deddy Pradigdo

M Rumman

Slamet Widodo

Ika

Sutrisno

Joni

Noor Cholis

Moch Amry Rahman

Fitri Andarini

Fanty W

Cardios Furniture

Elok Sejati

Mebel Anak

CV Orchard Collection

CV Java Mebel Indonesia

Jati Makmur

Kharisma Jati Antik

Raisa House of Excellent

CV Cambium

CV Duta Jepara

CV Allpin

CV IFC

Sipra Furniture

CV Mebel Jati Jepara

PT Cambium

CV Irawan Jati

Multi Usaha Raya

APKJ

MKM Furniture

CV Mebel Jati Jepara

CV Sunteak Alliance

Asmindo

Jepara Carver

CV Karya Jati

UD Harapan Kita

Troso

Troso

Jondang

Tahunan

Desa Banyumanis RT 04 RW 04

Kuwasen Rt 02 RW 05

Bugel, RT 16 RW 04

Bandengan

Ngabul

Jl Raya Jepara-Kudus, Km 3

Karang Kebagusan

Mulyoharjo

Tahunan

Sinanggul RT 03

Wonorejo

Mlonggo Km 9

Sinanggul

Jepara

Sinanggul

Sinanggul

Ngasem

Jepara

Senenan

Mlonggo

Potroyudan

Kecapi RT 41 RW 07, Tahunan

Sinanggul

No Industri

Peserta Pelatihan SVLK pada AsmindoJepara, 27-29 APRIL 2012

Nama Alamat

Page 77: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

77

Jadwal Pelatihan SVLK pada AsmindoJepara, 27-29 APRIL 2012

1

2

3

45

6

7

8

1

23

12345

6

Registrasi PesertaPembukaan

Bina suasana pelatihan

IstirahatMateri 1Rasionalitas SVLK

Makan siangMateri IIPUHH: Kelas 1. SOP PUHHKelas2. Dokumen PUHH

Materi IVVerifier kritis pada VLK IndustriKelas 1. Kelas 2. Coffee BreakMateri VPengalaman penerapan VLK Industri (manfaat, pembiayaan dan proses S-LK)IstirahatMateri VI• Pengorganiasian data• Persiapan coaching pada industri • Penyusunan laporan hasil gap assessmentPembagian kelompok dan penyiapan praktek lapangan

Gap assessment di industri masing - masing Makan siang Gap assessment di Industri masing – masingPenyusunan laporan hasil study lapangan(gap assessmnet)

Coaching clinic sesi 1Coaching clinic sesi 2Makan siangPenyusunan review oleh timRencana dan tindak lanjut (RTL) bersamapemilik dan asosiasiPenutup dan perpisahan

08.00 – 08.3008.30 – 09.00

09.00 – 09.30

09.30 – 09.4509.45 – 11.30

11.30 – 13.0013.00 – 14.30

14.00 – 15.30

15.30 – 15.4515.45 – 17.00

17.00 -19.0019.00 – 20.30

20.30 – 21.00

08.30 – 12.0012.00 – 13.00 13.00 – 17.0019.30 – 22.00

09.00 – 11.0011.00 – 13.0013.00 – 14.0014.00 – 15.00 15.00 – 17.30

17.30 – 18.00

• MFP• Asmindo Komda Jepara• Suryanto• Teguh Y

• Agus Setyarso• Irfan Bahtiar

BP2HP Wilayah VIII

Tim pelatih1. Teguh Yuwono2. Sudarwan

Jajag Suryon Putro

Teguh Yuwono

Anton Sanjaya

Seluruh peserta

Tim pelatihTim pelatih

Agus SetyarsoSeluruh peserta

MFP & Asmindo

Panitia

TBD

Anton Sanjaya(kelas pleno)

SuryantoExwan

ExwanSuryanto

Sudarwan

Panji Anom(kelas pleno)

Panji Anom(kelas pleno)

Tim pelatih mendampingi industri

SudarwanSudarwan

Hari ke-2

Hari ke-3

No Acara Waktu FasilitatorTrainer/Narasumber

Hari ke-1

Terminal kayu menurut pemikiran Agus Setyarso adalah sebuah sistem untuk mengetahui dan mencatat masuknya kayu-kayu ke Jepara. Di terminal itu, kayu-kayudicatat akan ditujukan ke pedagang kayu, industri, atau pengrajin mana saja.

Page 78: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Ada beberapa wacana yang mencuat dalampelatihan di Jepara. Yang paling kentara

adalah ide untuk membangun satu pintu checkpoint bagi arus masuknya kayu bahan baku industri. Ide ini bertujuan untuk membuatperedaran kayu dari pedagang dan masuk keindustri serta pengrajin di Jepara mudah dicatat, dilacak, dan transparan. Ide ini munculdari temuan bahwa begitu besarnya volume suplai kayu yang masuk untuk memenuhikebutuhan industri dan pengrajin yang jum-lahnya memang sangat banyak di Jepara.

Hanya saja, perputaran niaga kayu di Jeparatak diikuti dengan upaya pendokumentasianyang desiplin. Satu truk atau pikap kayu,umpamanya, tak selalu didistribusikan menujusatu industri. Hal lain yang mendorong pem-bentukan satu pintu bagi arus kayu di Jeparaadalah bahwa di daerah ini tak banyak aksesatau pintu masuk bagi kayu-kayu tersebut.

Gagasan satu pintu check point kayu inimuncul dari Agus Setyarso, yang sehari –harinya juga merupakan anggota presi diumDewan Kehutanan Nasional (DKN). AgusSetyarso juga menyebut satu pintu check pointkayu ini dengan istilah lain, yakni “terminalkayu”. Hanya saja istilah terminal kayu inisempat menimbulkan salah mengerti dikalang an pelaku usaha dan Asmindo Jepara.Mereka menyangka terminal kayu tersebut sebagai sebuah lokasi tempat kayu-kayudibongkar-muat. Karena itu, mereka menyata -kan bahwa gagasan Agus Setyarso ini sudahusang karena mereka pernah punya pengalam -

an kurang bagus dengan konsep terminal kayukonvensional di Semarang yang gagal karenaterlalu banyak menyedot pekerjaan fisik danadministrastif.

Yang benar, terminal menurut pemikiran AgusSetyarso adalah sebuah sistem untuk menge-tahui dan mencatat masuknya kayu-kayu dariluar daerah ke Jepara. Di terminal itu pula,kayu-kayu tersebut dicatat akan ditujukan kepedagang kayu, industri, atau pengrajin manasaja. Di terminal ini, kayu tak perlu dibongkar-muat. Dengan perkembanan teknologi infor-matika yang sudah demikan maju, pelaksanaanpencatatan terhadap berbagai data— asal kayu,nama perusahaan penjual, volume kayu, ukur -an jenis, harga, dan tujuan— dalam sistem satuterminal kayu ini akan menjadi mudah.

Wacana lain yang muncul dalam pelatihanadalah keingingan para pelaku industri danpengrajin Jepara agar khusus untuk Jepara,SVLK dibuat mudah dan murah. Gagasan inimuncul dari argumentasi bahwa kegiatanmemproduksi kerajinan kayu (termasuk pem-buatan mebel), sudah sangat lama belangsungdi Jepara. Masyarakat Jepara memiliki tradisipanjang dan turun-temurun untuk mempro-duksi berbagai perabot rumah dari bahan kayu.Kegiatan itu berlangsung sebelum semua per-aturan Pemerintah, termasuk SVLK, ada.

Karena itulah, para pengrajin dan pelaku usahaJepara ingin agar peraturanlah yang hendaknyamenyesuaikan diri dengan kondisi dan tradisiyang terjadi di Jepara, bukan sebaliknya. JikaSVLK harus ditaati oleh para pelaku dan pengrajin di Jepara, mereka ingin agar SVLKtersebut mengakomodasi kepentingan dan kebiasaan yang selama ini berlangsung diJepara— sebuah ‘’SVLK rasa Jepara”. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Wacana Satu Pintu Check Point Kayu

untuk Jepara

Arus Kayu. Salah satu kekhasan diJepara adalah arus kayu yang sangatlonggar.

78

Becak Kayu. Di Jepara becak tak cumamengangkut orang.

Page 79: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bagi industri mebelberskala kecil dan menengah di Jepara

resminya berlangsung pada 27 hingga 29 April2012. Tapi MFP dan Asmindo Jepara telahmelakukan persiapan jauh sebelumnya. Padasaat hari terakhir pelatihan di Surakarta, IrfanBakhtiar lebih dulu menyempatkan dirimeluncur ke Jepara. Ia bertemu dengan bebe -rapa pengurus Asmindo Komda Jepara untukmenyiapkan berbagai hal. Itu terutama berkait -an dengan lokasi pelatihan, penginapan bagipelatih, dan jumlah peserta.

Bahkan pada petang hari hinga menjelangHari-H pelatihan juga berlangsung pertemuanantara pejabat Asmindo Komda Jepara, timMFP, narasumber, dan pelatih. Mereka mem-bahas beberapa hal tentang titik berat per-soalan tata-niaga kayu mebel di Jepara, tentangstrategi pelatihan yang akan berlangsung esokharinya, serta tentang SVLK sendiri.

Berbeda dari pelatihan di Yogyakarta danSurakarta yang tempat pelatihan dan pengi -nap annya menyatu di satu hotel, pelatihan danpenginapan di Jepara terpisah. Pelatihanberlangsung di Restoran Maribu, sedang tem-

pat menginap di Hotel Jepara Indah. Inikarena pada saat yang sama beberapa ruangpertemuan di hotel tersebut sudah lebih duludipesan pihak lain.

Persiapan juga belangsung di kalangan pelatih.Itu karena terjadi perubahan formasi pelatihdan narasumber. Een Nuraeni dan Agus PDjailani dan yang dua kali mengikuti duapelatihan awal di Yogyakarta dan Surakarta,terpaksa absen. Mereka mendapat tugas keSerui, Papua. Sebagai ganti, muncul wajahbaru Teguh Yuwon (UGM, Yogyakarta) dan

Anton Sanjaya (SCF, Makassar). Karena keduanya baru bergabung, MFP merasa perluagar para pelatih lama yang bertahan, dengandukungan Irfan Bakhtiar, melakukan briefingterhadap Teguh Yuwono dan Anton Sanjaya.

Pemikiran tentang perlunya kedua pelatih yangbaru bergabung itu mendapatkan briefingdatang dari Agus Setyarso. Hal lain yangberbeda pada pelatihan di Jepara dari duapelatihan sebelumnya di Yogyakarta danSurakarta adalah bahwa tak tampak sorangpun perwakilan dari DPP Asmindo. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

79

Pembukaan

Page 80: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Akhmad Fauzi memandang SVLK takbanyak berbeda dengan beberapa serti-

fikasi yang pernah ada dan diberlakukan untukproduk mebel. Dan menurutnya, sertifikasiterhadap produk hasil industri, temasuk kayu,dari masa ke masa main banyak, termasukISO. Dan itu semua merupakan beban bagi industri.

Padahal, industri mebel dewasa ini meng-hadapi kendala lebih banyak dibanding dengan kondisi beberapa puluh tahun silam.Ia berkeseimpulan bahwa industri menghadapipersoalan yang terus bertambah, bukan ber -kurang. Di masa lalu, industri tak mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku, aksespermodalan ke bank, pemasaran, serta opera-sional industri sendiri. Hasilnya pun berupaproduk dengan mutu andal. Tapi dewasa inisuplai bahan baku tak semudah dulu.

Dampaknya, harga bahan baku berupa kayupun terkerek naik. Pada 2001, umpamanya,menurut Akhmad Fauzi, harga bahan bakuberupa kayu gelondongan sekitar Rp 600 ribuper meter kubik. Sekarang, volume yang samaharganya Rp 6 juta. Sementara harga bakumeningkat, harga produk justru stagnan. Disamping kuantitas berkurang, harganya puntak terjangkau.

Selain ISO, sejak 2001 atau sekitar 10 tahun,industri sudah pernah dihadapkan pada syaratverifikasi, pada saat itu bernama Eco-labeling.Dan menurutnya, dari 2001 sampai sekarang

belum terpenuhi. Ia memandang ada persoalandi situ.

Sebelum ini, industri masih bisa bertahan dengan bahan baku dari kayu “OD” dengandiameter sekitar 10 sentimeter. Tapi sekarangindustri tak segan-segan menggunakan kayu“piton”, berdiameter tujuh sentimeter. Bahkankarena begitu sulitnya mendapatkan bahanbaku, tak sedikit industri di Jepara kini memanfaatkan ranting. Dengan kata lain,rendemen kayu di kalangan industri di Jeparabisa mencapai 70% hinga 80%.

Di tengah belitan beberapa persoalan yangmenurutnya kian berat bagi industri, AkhmadFauzi mengakui bahwa industri tetap perlumengadopsi SVLK. Hanya saja, menurutnyamasih ada beberapa pertanyaan yang membuatbanyak pelaku industri gamang. Pertanyaanitu antara lain adalah, jika industri benarmeng adopsi SVLK, perlu dijawab bagaimanadampaknya terhadap pamasaran, akses modal,perpajakan. Dan dengan tersedianya waktuyang tersisa, industri mulai sekarang perlumenentukan sikap apakah akan mengadopsiSVLK atau tidak, dengan resiko dan keun -tung an yang ada pada kedua pilihan tersebut.

Akhmad Fauzi juga mengaku paham bahwaSVLK merupakan langkah untuk menyikapiisu global. Ini terutama menyangkut keharus -an industri ber-VLK, baik untuk kepentinganekspor maupun untuk memenuhi pasar domestik. Namun ia berharap SVLK yangmerupakan peraturan wajib Pemerintah inimembuka ruang bagi kepentingan dan kapasitas para pelaku industri lokal seperti diJepara. Ia ingin agar segala persyaratan dan at-uran untuk menda pat kan SVLK mudah,murah, dan sederhana bagi industri. Ia menye-but SVLK yang demikian itu sebagai “SVLKrasa Indonesia”. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Akhmad Fauzi, Ketua Asmindo Komda Jepara

Akhmad Fauzi. Ketua Asmindo KomdaJepara di sela pelatihan SVLK.

80

Bahan Baku. Dulu bahan kayu mudahdan murah diperoleh, tapi sekarangsusah dan mahal.

Page 81: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Diah Raharjo memulai dengan sekilaspenjelasan mengenai MFP kepada peserta

pelatihan. MFP adalah program kehutananmultipihak melalui kerjasama KementerianKehutanan RI dengan Pemerintah Inggris.MFP bertujuan memfasi li tasi tata-kelola ke-hutanan. Salah satunya, sejak 2001 MFP ikutmelakukan fasilitasi tentang SVLK. Sebagaisebuah program multipihak, SVLK sejak awalmelibatkan sejumlah parapihak, termasukDPP Asmindo. Serang kai an forum multipihakjuga sudah berlangsung untuk membahas danmencari jalan keluar dari persoalan yangberkaitan dengan verifikasi.

Satu hal yang mendapat perhatian Diah Raharjo dalam sambutannya adalah hasilpembicaraan antara tim MFP dengan Asmindo Komda Jepara pada petang harisebelumnya. Salah satunya adalah tentang pendangan kalangan industri mebel di Jeparabahwa SVLK seharusnya mengarah padaberbagai persoalan di hulu dalam tata-niagamebel. Yang terjadi, masih menurut AsmindoKomda Jepara, SVLK pada saat itu juga merambah persoalan-persoalan di hilir.

Yang dimaksud hulu adalah beberapa ptosesawal dalam industri mebel. Itu antara lain soalhutan asal kayu, pengangkutan kayu darihutan, serta perdagangan kayu sebagai bahanbaku, sebelum sampai ke pengrajin atau indus-tri. Sedangkan sisi hilir industri mebel men-cakup proses produksi serta pemasaran, baikuntuk pasar domestik maupun ekspor. Danmenurut Diah Raharjo itu merupakan per-tanyaan yang sering ia dengar cukup lama.

Diah Raharjo mengatakan bisa memahamipemikiran tersebut. Yakni bahwa ketika prosesdi hulu sudah serba terverifikasi, maka rentetanproses di hilir seolah sudah beres. Padahal jikaada upaya untuk memetakan lebih teliti, per-soalannya tak sesederhana memilah sekadardua ranah proses industri— hulu dan hilir.Sejak ikut mengawal cikal-bakal SVLK mulai2001 dan kemudian 209 terbit pengesahanpemberlakuannya, MFP mendapati bahwaverifikasi legalitas tak melulu menjadi per-soalan di hulu, melainkan juga di hilir. Ia lantas memberi contoh tentang berbagai kerumitan seputar legalitas kayu yang dihadapisejumlah eksportir mebel dan kerajinan kayudi Bali yang selama ini mendapat pendamping -an MFP.

Bahkan verifikasi legalitas kayu kini tak lagimerupakan soal kehutanan, melainkan jugasoal industri, perdagangan, dan bea-cukai. Disitulah tampak bahwa verifkasi legalitas, dalamhal ini SVLK, tak hanya mengurusi proses dihulu, melainkan juga hilir.

Itu juga berarti bahwa ketika terjadi perbaikanatas kebijakan tentang verifikasi legalitas, prosesnya juga menyangkut parapihaktersebut, dengan mengacu pada SVLK. Di situMFP memainkan peran sebagai mitra bagi beberapa pihak lainnya. Dan menurut DiahRaharjo, dari sejumlah pekerjaan, yang palingberat untuk ditangani adalah peningkatankapasitas sejumlah pihak yang terkait denganSVLK. Secara tak langsung, Diah Raharjo

Pelatihan SVLK bersama MFP

81

MFP mendapatibahwa verifikasilegalitas takmelulu menjadipersoalan di hulu,melainkan juga di hilir.

Diah Raharjo, Program Director MFP

Diah Rahrjo. Program Director MFP.

Page 82: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

menyebutkan bahwa pelatihan yang sedangberlangsung tersebut merupakan salah satubentuk upaya pening katan kapasitas parapihakagar lebih memahami SVLK.

Mengadopsi SVLK merupakan langkah penting bagi industri. Berbeda dari Eco-labelingyang sukarela, SVLK merupakan peraturanwajib. Lebih dari itu, SVLK merupakan per aturan produk Pemerintah RI sendiri,bukan karena tekanan negara lain yang menuntut adanya verifikasi legalitas denganberbagai indikator negara asing pula. MenurutDiah Raharjo, SVLK berangkat dari niatBangsa Indonesia untuk memperbaiki tata-kelola, mem bangun sebuah sistem sertifikasidengan citarasa Indonesia. Dan pada saat ini,SVLK sudah diundangan oleh Pemerintah RIsebagai peraturan yang wajib bagi industrimulai 2013. Itu berarti industri tinggal punyawaktu setahun dihitung dari 2012 untukmenyiapkan ber bagai syarat dan membenahidiri mengadopsi SVLK.

Bahwa pembenahan harus dilakukan takhanya oleh industri, melainkan juga oleh petugas Pemerintah, Diah Raharjo setuju. DanMFP sudah melangkah ke arah itu denganmenjalin kerjasaman dengan POLRI di ber -bagai provinsi dan di berbagai tingkat— dariPolsek (kecamatan), Polres (kabupaten), Pol-resta (kota), sampai Polda (provinsi). Ker-jasama MFP dengan POLRI tersebut berupasosialisasi SVLK agar petugas Polisi di lapanganmemahami rincian persyaratan apa saja yangharus menyertai proses produksi industriperkayuan, terutama di sektor penebangan danpengangkutan. Kerjasama tersebut juga men-cakup penjaringan masukan dari pihak POLRIbagi perbaikan SVLK.

Selain sebagai sarana untuk meningkatkan kapasitas kalangan industri, menurut DiahRaharjo, pelatihan juga merupakan upayauntuk menemukan kesenjangan antara persyaratan legalitas ideal yang ada dalam

aturan SVLK dengan kenyataan di industri(gap assessment). Baik itu dalam soal legalitasbahan dan proses produksi seta pemasarannya,maupun legalitas administrasi perusahaan yang berangkutan.

Melanjutkan penjelasan dalam sambutannya,Diah Raharjo menyebutkan ada tiga hal yangsering ia temui di berbagai kesempatan sosiali -sasi, fasilitasi, maupun pelatihan SVLK sepertiyang pada saat itu sedang berlangsung:1. Selalu keluar pemikiran bahwa sebaiknyasertifikasi ini mudah dan murah. Menurutnya,pemikiran itu bisa dibicarakan, terutamamenyangkut industri kecil-menengah. Itumisal nya dengan mengajukan SVLK secaraberkelompok. Tapi berbagai rincian di balikSVLK berkelompok itulah yang justru perludibicarakan bersama, sehingga tercapai kesepakatan yang mengikat.2. Pelaku usaha atau industri perlu terbukapada pelatih atau pendamping dalam prosesgap assessment. Ini perlu agar keadaan ataukenyataan pada industri segera bisa diketahui,dan dengan segera pula industri melakukanpembehaan, baik pembenahan sistem adminis -trasi internal perusahaan, legalitas perusahaanataupun legalitas proses produksi dan bahanbaku. Sifat SVLK memang mendorong adanyaperbaikan pada tata-kelola unit usaha (industri).3. Perlunya kerjasama lebih baik antara pelakuusaha dengan pemerintah daerah (Pemda). Inimerupakan pintu bagi pelaku usaha untuk didengar suaranya ketika Pemda melakukanperbaikan sistem perizinan. Intinya, Pemdaperlu mengakomodasi kepentingan kalanganusaha dengan memberikan insentif bagikalang an usaha yang tulus melakukan per-baikan di unit manajemennya.

SVLK sudah menjadi keharusan bagi industri.Pasar global, terutama Eropa, mensyaratkanbahwa semua produk yang masuk benua ter -sebut harus sudah bersertifikat legal. Perkem-bangan di Eopa tersebut sejalan dengan

Pelatihan SVLK bersama MFP

82

Bahan Baku. Dulu bahan kayu mudahdan murah diperoleh, tapi sekarangsusah dan mahal.

Page 83: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

langkah Pemerintah RI mengenai legalitas produk kayu. Dan kini Pemerintah RI sudahmembuat kerjasama sukarela dengan UEbahwa semua produk berbahan kayu dari Indonesia yang sudah terverifikasi legal danberlogo V-Legal, akan ada green line di Eropa.Dengan UE, kebijakan yang sudah disetujuiberupa timber regulation. Parlemen Eropa jugasepakat bahwa timber regulation mulai efektifpada Maret 2013. Itu bersamaan dengan pem-berlakuan kebijakan di Eropa yang hanya akanmenerima kayu-kayu sertifikat legal.

Hanya saja, kesepakatan dan kemudahan ituperlu dikawal konsistensinya. Beberapa pihak,termasuk Pemerintah RI dan MFP, terusmelakukan market monitoring. Dasar pemi -kirannya, di negara pembeli juga harus ada kebijakan yang hanya menerima produk kayulegal bersertifikat V Legal. Harus diakui bahwadi Eropa pun tak sedikit pihak yang ikutmenikmati bisnis dengan produk mebel ilegal.Artinya, jika bisnis terus berlangsung secara

ilegal, para pengrajin kecil di Indonesia,termasuk Jepara, yang melakukan jerih-payahberkarya dengan segala resiko hukumnya, sementara para pemilik modal di Eropa yangmenikmati hasilnya. Ketidakadilan akibat bisnis produk ilegal inilah yang menurut DiahRaharjo harus dihentikan, melalui penerapanSVLK.

Diah Raharjo mengatakan bahwa banyak carauntuk memperbaiki Bangsa Indonesia, selainhanya mecerca Pemerintah. Dan khusus untuk

meredam illegal logging, langkah perbaikan bisaberawal dari SVLK. Cara ini berpeluang mengangkat kembali harkat Bangsa Indonesiayang selama ini telanjur dicap oleh msyarakatinternasional sebagai sumber kerusakan hutandan lingkungan akibat illegal logging. Resikoselalu ada, dan sebagai sebuah forum para -pihak, SVLK tetap membuka peluang bagiparapihak untuk bersama-sama mengelola resiko tersebut. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

83

Untuk Ekspor. Sebagian produk mebelJepara masuk pasar luar negeri.

Page 84: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Joko Pramono menyebut SVLK menandaibahwa isu kehutanan dan lingkungan

Indonesia sudah masuk ranah international.Kenyataannya, mutu hutan di Tanah Air memang anjlok. Di kawasan Jepara, dulu hutancukup lebat dengan pohon sebagai bahan bakuindustri mebel melimpah. Tapi kini kawasanhutan terus tergerus, pohonnya yang tumbuhpun tak selebat dan belum sebesar dulu. Darikeadaan seperti itu, muncul kebijakanPeme rintah RI untuk menerapkan SVLK dikalang an pelaku usaha perkayuan, baik di hulumaupun di hilir, temasuk industri mebel.

Laju kerusakan hutan yang seolah tak ter -bendung membuat masyarakat internasional dengan mudah menuding Indonesia sebagaibiang illegal logging. Dengan begitu, produkmebelnya pun dicap ilegal pula. Dan dengankeadaan seperti itu, mereka melihat Indonesiabegitu mudah menyepelekan aturan.

Surutnya mutu hutan akibat illegal logging jugatampak dari banyaknya beredar kayu tak legaldi pasar kayu. Banyak indikator yangmenandai adanya peredaran kayu ilegal di satudaerah. Salah satu indikator tersebut adalahpraktek tak “dimatikannya” dokumen kayupada saat mengalami perpindahan tempat danperubahan bentuk begitu kayu diperdagang -kan. Praktek tak “mematikan” dokumen kayucukup banyak dilakukan pengusaha dan pengrajin mebel.

Meski demikian, Joko Pramono juga melihatbahwa beberapa peraturan masih dipandangsebagai momok oleh pengusaha dan pengrajin.Itu salah satu alasan mengapa sampai tejadi adapengusaha mebel dan pengrajin menempuh

cara tak mematikan dokumen perjalanan kayu.Menurutnya, Pemda, dalam hal ini PemerintahKabupaten (Pemkab) Jepara, pernah menyata -kan berniat membuat kebijakan berisi berbagaikemudahan bagi kalangan usaha.

Di luar forum, pernyataan Joko Pramono inimendapat tanggapan dari narasumber AgusSetyarso. Agus Setyarso mengatakan bahwa sebagai sebuah wacana, sikap Pemkab Jeparatersebut cukup progresif. Hanya saja itu masihsulit terwujud sampai pada tahap imple-mentasi, karena masih sebatas ucapan. Untukmembuat sebuah kebijakan efektif, harus dituangkan tertulis, misalnya peraturan daerah(Perda).

Khusus tentang SVLK, kata Joko Pramono,Dinas Kehutanan dan Perkebunan Jeparabersama Asmindo Komda Jepara sudahbertemu dengan Bupati. Mereka menyusundraf Perda untuk mempermudah bagi pelakuusaha mebel dan kerajinan kayu di situ dalammendapatkan SVLK. Menurutnya, Jeparaberniat meniru Pemerintah Provinsi (Pemprov)Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang membuat beberapa terobosan dalam Perda-nyauntuk membantu pengusaha perkayuan mengakomodasi SVLK.

Ia menjelaskan bahwa industri mebel dan kerajinan kayu di Jepara merupakan yangpaling unik di Indonesia. Ini terutama karenamasyarakat Jepara telah melakukan kegiatanproduksi perabot dan ukiran kayu secara tradisiyang berlangsung lama dan turun-temurun.Tradisi ini sudah ada jauh sebelum berbagaiperaturan tentang industri berbasis kayumuncul. Karena itu, pengusaha dan pengrajin,Asmindo, dan Pemkab Jepara ingin agar per-aturan, termasuk SVLK, berlaku lentur. Iamenyebutkan, jika SVLK diberlakukan bagiindustri dan kerajinan kayu di Jepara itu taksekadar SVLK yang rasa Indonesia, melainkanlebih khusus SVLK “rasa Jepara”. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Joko Pramono, WakilKepala Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Jepara

Joko Pramono. Isu kehutanan danlingkungan Indonesia masuk ranah international.

84

Page 85: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Agus Setyarso melakukan pendekatan halal-haram dalam memberikan penjelasan

seputar VLK kepada peserta pelatihan. Iameng analogikan bahwa usaha mebel dan kera -jinan dari kayu ilegal sama halnya berbisnisbarang haram yang sering dipertanyakan. Dengan begitu, lebih nikmat berdagangbarang halal, membuat hati tenang.

Untuk mengetahui seberapa halal atau haramkegiatan dan dagangan para pengusaha mebelserta pengrajin di Jepara, Agus Setyarso menga -takan bahwa itu akan diketahui dalam pelatih -an selama tiga hari tersebut. Itu terutama padahari kedua, ketika para pendamping mengun-jungi tempat usaha para peserta untukmelakukan gap assessment.

Karena itu ia berpesan pada para peserta agarterbuka saja dan menunjukkan keadaan dankesiapan administrasi, legalitas, dan meka -nisme kerja mereka kepada pendamping padasaat dikunjungi esok hari. Ia juga meyakinkanbahwa para pendamping atau pelatih adalahpribadi-pribadi yang independen, tak memilikiurusan dengan pajak.

Dengan mengetahui apa saja yang munculdalam gap assessment, perusahan dan pengrajinakan paham seberapa besar peluang merekauntuk ber-VLK. Justru jika perusahaan danpengrajin tertutup, akan sulit mengetahuikenyataan yang terjadi di industri seta langkahapa saja yang kira-kira nantinya dapat mem-perbaikinya. Dan jika itu terjadi, Asmindo jugatak akan dapat membuat usulan kepada Pemerintah untuk memperbaiki SVLK sebagaisebuah peraturan yang murah dan mudah bagipara pelaku usaha.

Jadi, niat atau peluang untuk mendapatkansertifikasi harus datang dari pelaku usaha danpengrajin sendiri. Dengan adanya gap assess-ment yang terbuka antara pelaku usaha dan pengrajin terhadap pendamping, akanketahuan pula peta kesiapan mereka untuk

ber-VLK. Dengan begitu, akan diketahuimana perusahaan atau pengrajin yang sudahmelakukan langkah-langkah tertib dan bisa didorong atau dipromosikan, dan mana yangmasih belepotan.

Sekalipun merupakan sentra industri mebeldan kerajnan yang memiliki akar tradisi kuatdan panjang, Jepara juga diwarnai pelaku-pelaku usaha dan pengrajin yang masih ter-belunggu dengan urusan kapasitas modal danSDM. Itu membuat mereka hanya berpikirbagaimana bisa bertahan. Usaha dan pengrajinyang demikian ini juga harus dilihat dan diper-hatikan kondisinya, bukan dibiarkan sekarat.

Padahal, sesuai SVLK, semua perjalanan kayuyang merupakan bahan baku industri dan pengrajin harus tercatat dengan baik. Dansemua dokumen transaksi kayu juga harus disimpan. Sekalipun seorang pengepul kayu, iaharus mencatat dan menyimpan dokumenyang menyertai kayu yang dibelinya. Jikapelaku usaha membeli kayu dari pengepulseperti ini, dan ketahuan pada saat diaudituntuk VLK, semua persyaratan yang telah iamiliki akan sia-sia dan gagal ber-VLK. DiJepara juga tak sedikit perusahaan mebel yangmapan, bahkan juga ada eksporttir. Mereka inimemiliki kapasitas finansial dan SDM lebihkuat, memiliki jaringan pemasaran luas, sertapembeli permanen.

Seperti apa pun skala usahanya, sebenarnya adacukup ruang bagi produk yang bersertifikat.Karena tak semua produsen memiliki produkbersertifikat, maka mereka yang bersertifikatdengan sendirinya menemukan pasartersendiri (niche). Yakni pasar yang pembelinyahanya mau menampung produk-produk legalbersertifikat, seperti halnya SVLK, dan bukanproduk yang dibuat dari bahan baku kayu hasilillegal logging. Tapi Agus Setyarso juga menam-bahkan bahwa pasar SVLK pasti dijalankansesuai jadwal atau Pemerintah akan menunda,itu belum diketahui pasti. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

85

Dialog dengan Narasumber AgusSetyarso

Sesi Diskusi. Narasumber Agus Setyarso tengah menjawab pertanyaanpeserta pelatihan.

Page 86: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Sampai pada tahap itu, penjelasan Agus Setyarso memancing terjadiya diskusi

dengan peserta. Seorang peserta, umpamanyakeberatan dengan cara Agus Setyarso meng -analogikan legal-ilegal dengan halal-haram. Peserta tersebut berkeras bahwa merekamenggunakan bahan baku kayu legal, karenamereka membeli dari pedagang. Ia tak setujubahan baku kayu disebut ilegal hanya karenatak dilengkapi logo V-Legal atau dokumenveri fikasi. Menurutnya, status legal atau ilegalpada kayu lebih berkaitan dengan brandingatau pencitraan. Dalam pemahamannya, jikaada upaya untuk mencitrakan bahwa kayu-kayu yang di Jepara legal, maka legal pula kayuitu!

Pada bagian lain, peserta tersebut mengakuipaham tentang SVLK sebagai peraturan wajibbagi industri, dengan semua persyaratan yangtak satu pun boleh lewat. Sebagai pemilik industri kecil rumahan, ia juga mengakutertarik ber-VLK. Hanya saja, yang dia harap-kan adalah agar SVLK dibuat (lagi-lagi) mudahdan murah. Lebih lanjut ia mempertanyakanapakah produk yang ber-VLK serta-merta akandapat terangkat harganya. Ini karena pemilikusaha dan pengrajin akan mengeluakan ogkosekstra untuk memenuhi berbagai syaratSVLK— mulai dari pegurusan perizinan, per-baikan administrasi internal, dan penambahantenaga khusus mengurusi kerapian dokumenperusahaan. Dengan pemahaman sebagai pengusaha, naiknya ongkos idealnya jugaberdampak pada naiknya harga produk.

Hal lain yang tampak pada peserta tadi adalahpemahamannya tentang SVLK yang menurut-nya lebih untuk mengamankan pasar ekspor.Ia mengusulkan agar mekanisme itu bisa dibalik, yakni agar SVLK juga bisa meng-amankan pasar domestik. Ia berharap ada keberpihakan Pemerintah pada industri lokal,misalnya dengan memberi rekomendasi padaproyek-proyek Pemerintah agar menggunakanproduk mebel dalam negeri.

Menjawab pertanyaan apakah SVLK akanmenjamin harga produk naik, Agus Setyarsomenegaskan tidak. Kepada peserta pelatihan,Agus Setyarso mengatakan bahwa dalampelatihan tersebut akan ada sesi tukar-penga -lam an yang menampilkan narasumber JajagSuryo Putro, seorang pelaku usaha mebel dariYogyakarta, yang telah memperoleh SVLK.Jajag Suryo Putro juga menjadi narasumbertentang pengalaman dan perjalanan pelakuusaha mendapatkan SVLK dalam pelatihan diYogyakarta, Surakarta, Jepara, Semarang, danDenpasar. Jajag Suryo Putro tak dapatmengikuti pelatihan di Semarang karena harusmenunggui istrinya melahirkan anak kedua.

SVLK, kata Agus Setyarso, membuat pelakuusaha dan pengrajin merasa lebih punyakekuat an bersaing lebih bagus. Denganmengan tongi SVLK, pelaku usaha dan peng -rajin menjadi yang terdepan dari yang laindalam hal prosuksi. Mereka juga memilikipeluang lebar masuk pasar Eropa, juga pasarAustralia yang sebentar lagi juga akan mene -rapkan timber regulation. Perluasan pasar bagiproduk bersertifikat juga terbuka ke Jepangdan AS. Artinya, SVLK bukan sarana untukmedapatkan harga premium, melainkan pasarpremium. Lagi pula, kata Agus Setyarso, biayasertifikasi adalah relative. Beberapa pelakuusaha memandang itu beban. Tapi ada jugamenganggap sertifikasi sebagai instrumenuntuk mengembangkan pasar.

Agus Setyarso membenarkan bahwa SVLKberdampak pada beban biaya bagi pelakuusaha. Namun bukan berarti SVLK sudahmenjadi harga mati. Menurutnya, SVLKmasih membuka pintu bagi pelaku usaha,terutama dari skala kecil-menengah, untukmendapatkan SVLK dengan cara lebih murah.Celah itu datang dari revisi Peraturan MenteriKehutanan P 38 ke P 68, yang menyebutkancara kelompok sebagai modus untuk men -dapatkan sertifikasi dengan menanggung biayabersama-sama, dengan begitu bisa menjadi

Pelatihan SVLK bersama MFP

86

Diskusi antara Narasumber-Peserta

Pelatihan

Diskusi di Kelas. Menjelang kunjunganke industri pelatih dan pesertaberdiskusi.

Page 87: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

lebih murah. Bagaimana wujud dan mekanis-menya, kata Agus Setyarso, para pelaku usahadi Jepara bisa duduk bersama dan mem-bicarakannya. Dari situ bisa muncul SVLKcitarasa Jepara, seperti yang diidamkan beber-apa pihak.

Mengenai pendapat Asmindo Komda Jeparabahwa harusnya sertifikasi mengarah padakegiatan hulu industri dan bukan hilir, AgusSetyarso mengiyakan itu. Artinya, sudahbanyak upaya sertifikasi yang diarahkan padapara pengelola hutan yang merupakan sumberkayu bahan baku industri. Bahkan sertifikasikelompok juga bisa diterapkan. Ini terutamabagi hutan rakyat milik kelompok mayarakat.Di situ, satu kelompok pengelola hutan rakyatdi satu kecamatan atau satu koperasi, umpama-nya, dapat mengajukan satu sertifikasi.

Bahkan pada perkembangannya, terutama jikaSVLK sudah efektif, tata-niaga dan lalu-lintaskayu di hulu satu daerah hulu bisa melalui satupintu pengecekan (single window). Denganadanya satu pintu pengecekan dan jalur masukkayu di satu kabupaten, maka tata-niaga kayudi wilayah tersebut akan seragam. Harga kayuakan menjadi transparan, sistem adminis-trasinya akan menjadi lebih sederhana, danujungnya sertifikasi pun akan lebih mudah. Selain itu, pelaku usaha pun akan terhindardari menjadi korban permainan harga kayupara pedagang.

Jika sistem satu pintu itu terlaksana, petani dihutan rakyat yang sedikitnya perlu menunggu10 tahun untuk memanen kayunya pun akanikut menikmati jerih payahnya secara lebihlayak dan bermartabat. Selama ini, para petanihutan kurang mendapatkan penghargaan danpendapatan yang setara dengan para pemilikmodal di industri yang dalam sehari sajamampu melakukan produksi. Sertifikasi memang dimaksudkan untuk mendudukkanpara pelaku usaha dalam mata-rantai industriperkayuan secara setara.

Melalui pelatihan tersebut, menurut Agus Setyarso, para pelaku usaha dan pengrajindapat menyuarakan keinginan dan harapannyaberkaitan dengan SVLK. Ini salah satunyamengenai kemungkinan Pemerintah mem-berikan subsidi bagi pelaku usaha untuk mem-peroleh SVLK. Dari 2009 hingga 2011 padasaat SVLK disahkan dan direvisi untuk mem-beri peluang bagi masukan dari parapihak,umpamanya, tak satu pun ada permohonansubsidi dari para pelaku usaha.

Sekalipun beberapa kali menjelaskan manfaatyang bisa dipetik para peserta dari pelatihantersebut, Agus Setyarso menegaskan bahwapelatihan itu bukan dimaksudkan untuk mem-bujuk para peserta dari kalangan usaha itumeng adopsi SVLK. Ia mengatakan, keputusanapakah mereka hendak ber-VLK atau tidak,tetap ada di tangan mereka sendiri. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

87

Peluang Subsidi. Industri dan pengrajinkecil berpeluang mendapatkan subsidiuntuk SVLK.

Page 88: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Apa nama lengkap perusahaan yangAnda fasilitasi di Jepara, dan siapa namalengkap pemiliknya?

Cambium Furniture, Jepara Carving, danDuta Jepara. Cambium Furniture adalah sebuah manufakturing dan industri furnitur.Ia punya kapasitas ekspor 50 kontainer (2011).Jepara Carving adalah industri kerajinan, tapipemiliknya keberatan memberi tahu informasitentang kapasitas ekspornya. Jepara Carvingbelum memiliki izin usaha. Untuk melakukanekspor, ia berkonsolidasi dengan perusahaanyang sama-sama masuk dalam kategori IKMlain yang memiliki izin ekspor (ETPIK). Sementara itu, Duta Jepara adalah industrimanufakturing dan industri furnitur, dengankapasitas ekspor 96 kontainer.

Jelaskan bagaimana perkembangansikap pemiliknya terhadap pelatihanSVLK?

Pemilik Cambium Furniture mendukung danberharap agar pelatihan SVLK dapat mem-berikan solusi terhadap gap assessment. Padasaat pelatihan, pemilik tak dapat mengikutipelatihan dengan alasan kesibukan. PemilikJepara Carving mengikuti pelatihan hanya

untuk mencari tahu informasi SVLK dan baruakan mempersiapkan industrinya untuk serti-fikasi, bila usaha kerajinan merupakan produkyang wajib di-SVLK. Pemilik Duta Jeparamengikuti pelatihan untuk memperoleh infor-masi mengenai SVLK.

Seberapa lengkap surat-surat legal-bisnisyang mereka miliki, dan menurut Andaseberapa besar kans mereka ber-SVLK?

Cambium Furniture dan Duta Jepara memilikidokumen legalitas dan perizinan yang lengkap,sesuai dan sah. Secara umum permasalahanyang dihadapi industri untuk mengajukan sertifikasi SVLK terkait dokumen legalitas danperizinan dipengaruhi oleh dua faktor. Faktorinternal, dokumen lingkungan (SPPL) belumtersedia, izin industri yang sudah tak sesuaidengan kondisi riil. Faktor eksternal, dokumenSKSKB cap KR dan atau FAKB yang belumdimatikan petugas P3KB, tak ada dokumenpengangkutan (FAKO) dari sawmill jasa ke industri. Bila faktor eksternal belumditemukan solusinya, industri tak akan pernahmemperoleh sertifikat SVLK.

Jelaskan proses pendampingan terhadapmereka di hari ketiga, dan kasus spesifik/unik apa yang Anda temukanpada saat mendampingi mereka?

Pertama, industri menyampaikan gap analysisyang telah dibuat berdasarkan audit internal.Selanjutnya, pendamping memberikan solusiberdasarkan gap assessment tersebut. Untukkasus yang unik, Duta Jepara tadinya mengakusebagai UKM. Ternyata pada saat dilakukankunjungan lapangan, Duta Jepara bisa dikate-gorikan industri dengan skala besar. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Wawancara dengan Setyowati (pelatih)

88

Setyowati. Dalam satu sesi pendampingan di industri.

Page 89: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pada saat pendampingan, ia memfasilitasiCV Harapan Kita, milik Hj Fitri Andarini.

Perusahaan ini memiliki lingkup usaha yangmemproduksi indoor furniture (500 item). Iamemiliki sejumlah dokumen izin usaha yangsalah satunya adalah IUI. Ia memiliki 120tenaga kerja, serta didukung 40 buah subkontetap yang masing-masing mempekerjakan 8sampai 10 pekerja.

CV Harapan Kita memiliki peluang kecil ber-VLK. Namun pemiliknya cukup ber -semangat untuk maju ke SVLK, termasukmembangun komitmen akan studi ke JawaFurnitur (Yogyakarta) karena kedua peusahaanmemiliki karakter yang sama. Pemilik perusa-haan ini cukup antusias dalam mengikutiproses pelatihan hingga termasuk dukunganterhadap pembelajaran yang didapat dalampelatihan dan pendampingan.

Dokumen legal bisnis lengkap, namun pen-dokumentasian dan pencatatan dalam simpul-simpulnya sangat kurang. Perlu waktu sekitar6 - 12 bulan untuk perbaikan.

Panji Anom juga mendampingi UD Jati Mak-mur, milik Alvi. Perusahaan ini memilikilingkup usaha garden furniture (meja, kursi,lonjer). Dokumen izin usaha yang dimiliki antara lain berupa IUI-M. Ia memiliki 70orang tenaga kerja borongan, dengan 15 sub-kon tetap yang masing-masing mempeker-jakan 5 hingga 8 orang. UD Jati Makmurmemiliki peluang relatif sulit untuk maju keSVLK. Perusahaan ini berkarakter ikut-ikutan,termasuk dalam pelatihan mengikuti sampaisemua sesi namun tak cukup antusias dalamkomitmen untuk SVLK.

UD Jati Makmur memiliki dokumen legal bisnis cukup komplit, namun tak memilikipencatatan dan pendokumentasian yang baiktermasuk di tingkat subkon. Ia perlu waktu 6sampai 12 bulan untuk perbaikan.

Selain itu, Panji Anom juga mendampingi CVMulti Karya Mandiri (MKM), milik Agus S.Perusahaan ini memiliki lingkup usaha yangmemproduksi furnitur setengah jadi. Ia belummemiliki izin usaha, dan mempekerjakan 35tenaga kerja, dengan dukungan 4 subkon tetapyang masing-masing 5 sampai 8 orang.

Menurut Panji Anom, CV Multi Karya memi-liki peluang besar masuk ke SVLK. Ia misal-nya, memiliki pembukuan yang tertib,pencatatan dan pendokumentasian yang baik,belum memiliki izin-izin. Hanya saja pemilikkurang antusias dan sama sekali tak tertarikdengan SVLK. Padahal ia hanya perlu waktusekitar 3-4 bulan jika memang serius inginmaju.

Panji Anom mencatat, kasus unik terjadi di industri adalah ketika bertemu dengan pemilikperusahan. Mereka umumnya masih memper-tanyakan substansi pelatihan dan pendamping -an. Bahkan seorang pemilik perusahaanmenyatakan bahwa SVLK tak ada fungsinya.Namun staf yang dikirim tetap berangkat kepelatihan dan menjalankan tugas yangdiberikan. Selain itu juga ada temuan bahwaada industri yang telah melakukan aktivitassejak 2008 (di bawah izin dan manajemen PTIndofine) dan sedang mengusahakan semuaizin-izin legalitasnya. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Temuan Panji Anom(pelatih)

Panji Anom. Proses pendampingan diindustri oleh Panji Anom.

89

Page 90: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

90

Pendampingan di TigaPerusahaan Pendampingan juga berlangsung di tiga

perusahaan. Yang pertama adalah CVSipra Furniture, sebuah perusahaan eksporyang tak memiliki unit produksi sendiri, danproduksi dihasilkan dari empat subkon. Perusahaan ini memiliki izin yang sah.

Ketidaksesuain yang ditemukan di perusahaanini berupa nomor NPWP di dokumen IUIkecil tak sesuai dengan nomor NPWP terbaru.Pemilik perusahaan menyatakan akan meng urus perubahan IUI pada Mei 2013. IzinHO perusahaan ini juga habis masaberlakunya, dan si pemilik menyatakan akanmemper panjangnya. Untuk syarat kelengkap -an AMDAL/UKL UPL/SPPL, perusahaan initerbukti tak memiiliki SPPL, dan pemiliknyamenyatakan akan membuat SPPL.

Perusahaan ini belum mampu membuktikanbahwa bahan baku yang diterima berasal darisumber yang sah. Tapi SKSKSB cap KR/FAKBtak dimatikan. Untuk penyelesaian, perusa-haan akan berkoordinasi dengan warung kayudan meminta fasilitasi Asmindo untuk menye-lesaikannya dalam ruang lingkup kabupaten.Perusahaan ini tak memiliki dokumen angkut -an berupa FAKO.

Proses pengolahan produk pada perusahaan iniberlangsung melalui jasa atau kerjasama dengan pihak lain. Perusahaan ini tak memilikidokumen perizinan/legalitas usaha pada sub-kon. Si pemilik berniat melakukan koordinasidan fasilitasi subkon dalam perizinan.

Dalam hal dokumentasi bahan baku, prosesdan produksi, perusahaan ini tak memiliki tallysheet di subkon. Nantinya, ia akan menyusunSOP proses produksi di subkon. Ia juga akanmelakukan uji coba sebelum akhirnyamelakukan implementasi.

Pendampingan juga dilakukan terhadap Orchard Collection yang baru berdiri pada2011, belum pernah melakukan jual beli

produksi kayu, selama ini melakukan eksporproduk rotan. Pada April ini mendapat ordermebel untuk pasar lokal. Orchard memilikidua subkon. Perusahaan ini merupakan produsen dan memiliki izin sah. Hanya sajaNPWP tak sesuai dengan alamat perusahan.Untuk kesalahan ini, pemilik perusahaanberniat mengurus pembetulannya antara Meihinga Desember 2012. Untuk kelengkapanAMDAL/UKL_UPL/SPPL, perusahaan initak memiliki SPPL tak ada. Temuan lain menunjukkan bahwa perusahaan ini takmematikan SKSKSB cap KR/FAKB, tanpaFAKO. Dari seluruh subkon yang bekerjasamadengan perusahaan ini, tak satu pun yangmemiliki legalitas kerjasama. Tally sheet di sub-kon pun juga tak ada.

Perusahaan lain yang mendapat pendamping -an adalah Sunteak Furniture. Perusahaanmebel ini memproduksi dan ekspor produk indoor furniture. Ia tak memiliki ataumenggunakan jasa subkon. Dalam satu bulanterakhir bisa ekspor enam kontainer. Perusahaan ini mendapat order dari memberTFT sehingga perusahaan telah memenuhistandar FSC.

Beberapa penyimpangan yang terjadi pada perusahaan ini adalah soal SKSKSB capKR/FAKB untuk membuktikan bahwa bahanbaku yang diterima berasal dari sumber yangsah, ternyata tak dimatikan. Untuk meng -atasinya, pemilik peusahaan akan berkoordi-nasi dengan Pemkab Jepara antara Mei sampaiNovember 2012.

Pijar merupakan salah satu industri furniturdengan 30 subkon. Dalam proses pengerjaanproduknya hampir semuanya dilakukan olehsubkon. Kegiatan atau proses yang dilakukandi PT Pijar hanya finishing. Jika mau majuSVLK, permasalahan umum yang ada diJepara adalah soal FA-KO. Sedangkan per-masalahan yang khusus relatif tak ada. l

Penyelesaian Produk. Beberapa produk dikeringkan sebelum finishing.

Page 91: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pada sesi pendampingan, Sudarwan men-dapat tugas memfasilitasi tiga perusahaan.

Antara lain CV Mebel Jati Jepara milik AbdulLatief SPd, UD Multi Usaha Raya milik HBedjo, dan Irawan Jati milik Moch Sobirin(Irawan).

Catatan Sudarwan menyebutkan bahwa CVMebel Jati Jepara merupakan perusahaan ekspor berupa indoor furniture. Perusahaanterhitung masih baru, berdiri pada Oktober2011. Selama ini ia menerima suplai barangmentahan (belum difinishing) dari vendortetap maupun dari vendor lain denganmekanisme “beli putus”. Biasanya perusahaanmendapat order dari pembeli, kemudian mem-berikan order kepada subkon. Tapi kadang-kadang juga terjadi pembeli mintadibelanjakan barang-barang dari toko maupunshowroom di Jepara (beli putus). Skala bisnisperusahaan ini kira-kira satu kontainer perbulan (12 kontainer/ tahun), masuk sebagaikategori industri menengah.

Sementara itu, UD Multi Usaha Raya merupa -kan produsen non-ekportir dengan produkberupa garden furniture dan indoor furniture.Ini merupakan perusahaan perorangan skalamenengah. Ia memiliki workshop berukuran5.600 meter persegi. Perusahaan ini juga mempunyai banyak subkon. Order per tigabulanan di perusahaan ini rata-rata di atasangka Rp 300 juta.

Perusahaan Irawan Jati merupakan produsendan sekaligus ekportir untuk produk gardenfurniture. Selain diproduksi di workshop, perusahaan ini juga mempunyai beberapasubkon, dan masuk kategori skala menengahdengan kapasitas ekspor empat kontainer perbulan.

AbdulLatief, pemilik CV Mebel Jati Jepara,tampak memilki semangat dan progres luarbiasa terhadap pelatihan. Kebetulan sebelumini Sudarwan pernah melakukan gap assessment

di perusahaan ini dan beberapa catatan lang-sung diaplikasikannya. Selain itu, Abdul Latiefjuga langsung melakukan pembenahan admi -nistrasi dan melakukan rekrutmen menambahtenaga untuk mengurusi dokumen.

Sementara itu, H Bedjo pemilk UD MultiUsaha Raya cukup bersemangat mengikutipelatihan. Ia punya target SVLK di akhir 2012.Ia sudah mulai melakukan penertiban doku-men per Januari 2012.

Sedangkan Moch Sobirin pemilik perusahaanIrawan Jati menyatakan keberatan mengikutiSVLK. Menurutnya langkah ke arah itu terlalurumit dan merasa tak punya dana. Ia pernahikut sertifikasi dengan skema TFT dan dapatharga premium namun 7% gagal karena ke-mampuan SDM di perusahaan. Sampai kini iapesimistis bisa SVLK.

CV Mebel Jati Jepara memiliki dokumen internal yang cukup lengkap, tapi tak memilikidokumen analisis dampak lingkungan.Masalah eksternal berupa subkon yang belumterfasilitasi SVLK. Ia belum mengkomuni -kasikan SVLK kepada subkon. Peluang perusa-haan ini ber-VLK 80%. Jika ada pembenahandi subkon bisa segera SVLK.

UD Multi Jaya Raya memilki kekurangandalam soal legalitas perusahaan. Ada kesalah andalam IUI soal masa berlakunya izin industridan belum memiliki dokumen lingkungan.Peluang perusahaan ini ber-VLK sekitar 55%,dan perlu pembenahan TUK internal dan subkon.

Staf CV Mebel Jati Jepara sudah memahamiSVLK dan metode pelatihan sehingga di hariketiga punya bahan yang dikonsultasikan danklien membawa semua dokumen secaralengkap. Dari pembicaran informal di luarforum pelatihan diketahui bahwa staf admi -nistrasi perusahaan mempunyai pengalamanandalam menyusun perusahaan menuju CoC. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

91

Temuan Sudarwan(pelatih)

Sudarwan. Beberapa temuan berupakesenjangan ditemukan para pelatih.

Page 92: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pada hari kedua (Sabtu 28 April 2012),pelatihan berlangsung dalam bentuk

pendampingan di luar ruangan. Ini berupakunjungan oleh para pendamping atau pelatihke perusahaan tempat para peserta pelatihanbiasanya bekerja. Pendampingan di industri iniberlangsung dari jam 09.00 hingga sekitar jam14.00. Pada sore hari para pelatih atau pen-damping berkumpul di luar kelas.

Dipimpin Agus Setyarso, mereka mendis ku si -kan beberapa perkembangan yang terjadi selama dua hari latihan. Berikut adalah catatanmereka selama diskusi di Pulau Panjang, sekitar30 menit dengan perahu mesin di lepas PantaiJepara pada senja:

Situasi Perkayuan di Jepara:v Arus masuknya bahan baku kayu log ke

Jepara sebesar 200 truk per hari. Denganasumsi tiap truk memuat lima meter kubikmaka ada sekitar 1.000 meter kubik per harikayu log.

v Penatausahaan kayu di Jepara belum ter-implementasikan sebagaimana mestinya,misal nya, kayu log yang masuk Jepara yangdilengkapi dokumen SKSKB cap KR atauFAKB (Perhutani), sebagian besar tak di-matikan dokumen tersebut oleh P3KB.

v Terdapat banyak warung kayu, sementaradokumen pengangkutan dari warung kayu ke

IRT/UKM seharusnya berupa FAKB, namunyang terjadi mereka hanya menggunakan nota.

v Terdapat banyak IRT/UKM, yang mana tak patuh pada PUHH.

v Terdapat banyak subkon, yang semuanyatak patuh pada PUHH.

v Pengangkutan kayu olahan hasil pengger-gajian tak dilengkapi FAKO.

v Sebagian besar penggergajian tak memilikiIUPHHK.

v Ada kasus ketika industri primer memilikiIUIPHHK, namun tak memiliki penerbit FAKO.

v Hanya ada dua orang petugas P3KB di Jepara, itupun hanya satu orang yang saat iniberada dalam posisi sebagai petugas P 3 K B .Ini secara operasional tak mungkin mampumemeriksa dan mematikan dokumen pengangkutan SKSKSB cap KR/FAKB.

v Keterbatasan penerbit FAKB dan FAKO.v Ada pasar komponen kayu untuk mebel,

fakta ini semakin memperumit ketelusuranasal bahan bakunya karena ada indikasi adapercampuran kayu yang berasal usul berbeda.Dokumen pengangkutan komponen tersebutadalah nota/faktur jual-beli, ini pun sulit untukdapat ditelusuri asal-usul dan legaitasnya.

v Untuk percepatan implementasi SVLKpada Maret 2013, industri di Jepara sulitmemenuhi SVLK, kecuali ada strategi cerdasuntuk menyederhanakan PUHH. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Diskusi Pelatih- Narasumber di

Pulau Panjang

92

Evaluasi Pelatihan. Narasumber danpelatih melakukan evaluasi di luar kelas.

Page 93: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

A. Perdebatan PUHH:- PUHH P 51 ( berserta turunannya)

tak bermanfaat bagi rakyat. Kenya ta -an nya banyak penyimpangan dalamproses implementasinya, misalnyapungutan dan malapraktek prosedur.

- P 51 hanya melindungi di bagianhulu. Ketika kayu rakyat masuk padaindustri lanjutan maka harusmengikuti P 55. Di hulu, dokumen pengangkutan kayu rakyat berupaSKSKB cap KR/SKAU/nota. Di hilir, dokumen pengangkutan dari industriprimer tetap FAKO.

- Filosofi P 51 adalah melindungihak-hak rakyat. Kenyataannya Peme rintah justru melindungi PerumPerhutani. Rakyat yang menanamjenis-jenis pohon yang sama denganjenis-jenis pohon Perhutani, rakyat diwajibkan membuktikan bahwakayunya tak berasal dari hutan Negara.

B. Hasil diskusi:- Perlu revisi terhadap P 51 yang

melindungi hak-hak rakyat, yaitusederhana dan murah.

- Revisi P 51 harus mengatur kayurakyat dari hulu hingga hilir, yaitu darihutan sampai dengan industri. Arti -nya kayu rakyat tak mengikuti P 55. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

93

Evaluasi di Pantai Kartini

Evaluasi Pelatihan. Narasumber danpelatih melakukan lanjutan evaluasipelatihan di luar kelas.

PUHH P 51 ( berserta turunannya) tak bermanfaat bagirakyat. Kenyataannya banyak penyimpangan dalamproses implementasinya, misalnya pungutan dan malapraktek prosedur.

Page 94: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK di Semarang, MayoritasIndustri Papan Atas

Hari : Selasa-kamis, 1-3 Mei 2012

Tempat : Hotel Swiss-Bell Ciputra, Simpang Lima

Peserta : 11industri anggota Asmindo Komda Semarang

Pelatih : Setyowati (independen, Bogor), Sudarwan(Shorea, Yogyakarta), Panji Anom (Javlec, Yogyakarta), Teguh Yuwono (Yogyakarta), Anton Sanjaya (SSC, Makassar).

Narasumber : Jajag Suryo Putro (PT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta), (Wakil Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jepara, Erwandan Hadi sukisno (BP2HP Wilayah VIII Surabaya), Irfan Bakhtiar (MFP), Ketut Alit Wisnawa (DPP Asmindo), Sunaryo (Ketua Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah).

Moderator : Setyowati

94

Page 95: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Kebanyakan peserta pelatihan SVLK di Semarang adalah industri dengan kekuatan modal besar dan biasanya meyasar pasar ekspor.

Bab

95

Page 96: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

96

1

2

3

4

6

7

8

9

10

11

12

PT Gened Devries Indonesia

PT Bahana Makmur Utama

PT Devonshire Tunggal Indonesia

UD Permata Furniture

CV Dijawa Abadi/ Dua Musim

CV Property

PT Casa Java Furniture

PTCountry Form Furniture

PT Hart Co

PT Anugrah Timber

CV Sarana Jati

Nanik

Mulia

Sri Setiowati

Andreas Wuryanto

Yoga

Iwan

Riyanto

Diah

Esti

Budi Darmono

Ardy

Ari

Jl Kaligawe Km 4,5 Semarang

Jl Terboyo, INdustri Barat 3, Blok E, No 3

Jl Empu Tantular 70-72, 83

Jl Raya Cangkringan, Gunung Pati, Km 1, Bubakan

Perum Semarang Indah, Blok E 5/3

Kawasan Wijaya Kusuma

Dusun Sambengsari, Pringsari, Pringapus, Ungaran

Jl Tugu Industri I No 10, Kawasan Wijaya Kusuma

Jl Singotoro

Jl Imam Bonjol 189, Km 2, Salatiga

Blora

No Industri

Peserta Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo di Semarang, 1-3 Mei 2012

Nama Alamat

Sebagian industri besar dan eksportir memang memiliki bengkel kerja sendiri. Tapi untukmemenuhi permintaan pasar luar negeri mereka tetap mengandalkan kiriman darirekanan pengrajin di Jepara.

Page 97: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

97

Jadwal Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo di Semarang, 1-3 Mei 2012

1

2

3

45

6

7

8

9

1

23

12345

6

Registrasi PesertaPembukaan

Bina suasana pelatihanIstirahatMateri 1Rasionalitas SVLKMakan siangMateri IIPUHH: Kelas 1. SOP PUHHKelas2. Dokumen PUHHMateri IVVerifier kritis pada VLK IndustriKelas 1. Kelas 2. Coffee BreakMateri VPengalaman penerapan VLK Industri (man-faat, pembiayaan dan proses S-LK)IstirahatMateri VI• Pengorganiasian data• Persiapan coaching pada industri • Penyusunan laporan hasil gap assessment

Pembagian kelompok dan penyiapan prakteklapangan

Gap assessment di industri masing - masing Makan siang Gap assessment di Industri masing – masingPenyusunan laporan hasil studi lapangan(gap assessment)

Coaching clinic sesi 1Coaching clinic sesi 2Makan siangPenyusunan review oleh timRencana dan tindak lanjut (RTL) bersamapemilik dan asosiasiPenutup dan perpisahan

08.00–08.3008.30–09.00

09.00–09.3009.30–09.4509.45–11.30

11.30–13.0013.00–14.30

14.00–15.30

15.30–15.4515.45–17.00

17.00-19.0019.00–00.30

20.30–21.00

08.30–12.0012.00–13.00 13.00–17.0019.30–22.00

09.00–11.0011.00–13.0013.00–14.0014.00–15.00 15.00–17.30

17.30–18.00

• MFP• Asmindo Komda SemarangAnton Sanjaya

• Agus Setyarso• Irfan Bahtiar

BP2HP Wilayah VIII

Tim pelatih1. Teguh Yuwono2. Sudarwan

Jajag Suryon Putro

Teguh Yuwono

Anton Sanjaya

Seluruh peserta

Tim pelatihTim pelatih

Agus SetyarsoSeluruh peserta

MFP & Asmindo

Panitia

TBD

Anton Sanjaya(kelas pleno)

Setyowati

Setyowati

Sudarwan

Panji Anom(kelas pleno)

Panji Anom(kelas pleno)

Tim pelatih mendampingi industri

SudarwanSudarwan

Hari Kedua

Hari Ketiga

No Acara Waktu FasilitatorTrainer/Narasumber

Hari Pertama

Page 98: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Bisnis industri mebel dan kerajinan kayu diSemarang (Jawa Tengah) ibarat etalase.

Sebagian besar mereka adalah eksportirberskala menengah ke atas. Untuk memenuhipermintaan pasar luar negeri, mereka mengan-dalkan suplai dari para pengrajin dari Jepara.Itu terungkap dalam rangkaian sesi pelatihanSistem Verifikasi Legal Kayu (SVLK) di Semarang dari Selasa 1 Mei hingga Kamis 3Mei 2012.

Pelatihan SVLK di Semarang melibatkan 11perusahaan dari total sekitar 122 perusahaananggota Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) KomisariatDaerah (Komda) Semarang. Sebagian merupa -kan perusahaan besar, baik itu industrimaupun eksportir. Dalam hitungan kasar, industri mebel dan kerajinan kayu di Semarangmengandalkan 60% suplai produk mebel dan

kerajinan dari rekanan pengrajin mereka diJepara.

Dalam dunia permebelan, para rekanan pengrajin ini mendapat istilah khusus, yakni“subkon”. Itu kependekan dari sub kontraktor.Ke atas, para subkon bekerja atas dasar pesananyang datang dari industri besar, dari perusa-haan ekspor, ataupun dari broker. Subkon takberhubungan langsung dengan pembeli atauimportir di luar negeri (buyer). Ke bawah, sub-kon berurusan dengan “sub-subkon”, dalamhal ini pengrajin berskala rumahan atau dengan pedagang kayu.

Sebagian industri besar dan eksportir memangmemiliki bengkel kerja sendiri. Tapi untukmemenuhi permintaan pasar luar negerimereka tetap mengandalkan kiriman darirekanan pengrajin di Jepara. Lagi pula, bengkel

Pelatihan SVLK bersama MFP

Fenomena Industri Mebel Semarang

Perusahaan Mapan. Industri pesertapelatihan di Semarang memiliki kapasitas sumberdaya manudia yangmemadai.

98

Page 99: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

kerja milik industri di Semarang kebanyakanhanya mengerjakan penyelesaian akhir sebelum produk masuk kontainer.

Keadaan tersebut membuat industri di Semarang perlu melakukan upaya ekstrapanjang dalam memperoleh sertifikat VLK.Para subkon dan sub-subkon merupakan titikpaling kritis dalam SVLK. Mereka – lantarankapasitas finansial dan kapasitas sumberdayamanusianya yang serba pas-pasan – cenderungmengabaikan syarat-syarat legalitas badanusaha. Itu termasuk pemenuhan izin usaha,izin lingkungan, alamat, dan sebagainya.

Subkon dan sub-subkon juga belum memilikikebiasaan membuat catatan kegiatan produksi.Tanpa catatan pembelian kayu, tanpa catatantentang peruntukan kayu, tanpa catatan tahapan-tahapan proses produksi. Selain itu,selalu terjadi saling tukar atau “meminjam”kayu di antara mereka. Begitu rumitnya danbegitu banyak varian kegiatan pengolahankayu di Jepara, sehingga sulit melacak mundursejarah kayu yang digunakan dalam produksimebel. Dan itu termasuk mebel-mebel yangmengalir ke Semarang.

Tapi tak semua centang-perenang proses produksi mebel di Jepara terjadi bukan tanpaalasan. Pengrajin enggan membeberkan asalkayu yang mereka beli bisa jadi lantaranmereka sengaja melakukan itu. Mereka merahasiakan sumber-sumber bahan karenatak ingin pihak lain pada satu saat nantinyelonong membeli sendiri ke sumber bahan-bahan tersebut.

Sebagian peserta bahkan balik mengkritik Pemerintah, dalam hal ini para pembuatperaturan. Menurut pengrajin dan industrimebel, peraturan Pemerintah yang merupakanpersyaratan SVLK mengawang-awang. Per -atur an dibuat tanpa melihat keadaan riil yangterjadi di masyarakat. Peraturan diangap terlaluumum, cenderung menyederhanakan per-

soalan, bahkan abu-abu. Akibatnya, peraturanPemerintah sulit diterapkan.

Peraturan Pemerintah tampak kikuk dan kurang bisa memberi jawaban yang memuas-kan menyangkut kayu-kayu yang berasal daritanaman rakyat, umpamanya kayu pohonmangga. Ini terutama ketika peraturan Peme -rintah memberlakukan syarat-syarat yang samaantara kayu mangga tersebut dengan kayu jatihasil tebangan dari hutan negara, Perum Per-hutani, misalnya. Harusnya ada aturantersendiri untuk kayu rakyat, terutama sejakkayu ini menjalani proses penggergajian, kataIrfan Bakhtiar, narasumber sekaligus koordina-tor pelatihan SVLK dari MultitakeholderForestry Programme (MFP). l

99

Page 100: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bagi anggota AsmindoKomda Semarang berlangsung di Hotel

Swiss-Bell Ciputra, tepat di ujung KawasanSimpang Lima. Ada 11 perusahaan hadirmengikuti pelatihan ini. Peserta pelatihanbukan sekadar perusahaan yang ada di Semarang, melainkan ada juga yang datangdari Salatiga (dua jam bermobil dari Semarangkearah selatan) dan Blora (empat jam bermobildari Semarang ke arah timur).

Hampir semua peserta merupakan perusahaanbesar dan tak lagi dapat disebut sebagai indus-tri atau usaha kecil-menengah. Beberapabahkan merupakan perusahaan dengan modalasing.

Umumnya, peserta pelatihan adalah perusa-haan perdagangan, lebih khusus lagi ke pasarluar negeri (ekspor). Kalaupun mengerjakanproses produksi, itu hanya finishing. Selebih-nya, banyak pekerjaan yag dilakukan para sub-kon mereka, yang sebagian ada di Jepara.Pemahaman mereka terhadap SVLK juga lebihmudah, karena kapasitas SDM yang mengikutipelatihan juga cukup bagus.

Bahkan ada pemilik perusahaan yang datangsendiri mengikuti pelatihan. Hanya saja, itubukan pertama pelatihan diikuti sendiri olehpemilik perusahaan. Pemilik perusahaan

mengikuti pelatihan pertama kali terjadi diJepara.

Dalam pelatihan kali ini, terjadi perubahankomposisi pelatih. Exwan Novianto, SuryantoSadiyo, dan Een Nuraeni tak dapat bergabung.Dengan demikian, tinggal Setyowati, AntonSanjaya, Teguh Yuwono, Panji Anom, dan Sudarwan yang bertahan. Dengan jumlahpelatih atau pendamping seperti itu, adapelatih yang harus mendampingi tiga perusa-haan, normalnya dua perusahaan. Akan tetapiada juga satu pelatih yang hanya mendampingisatu perusahaan. Ini terutama bagi pelatih yangharus mendampingi perusahaan yang lokasi -nya jauh dari Semarang, seperti di Blora.

Narasumber pun juga berubah. Asmindo yangabsen mengirimkan narasumber ke pelatihansebelumnya di Jepara, kali ini kembalimengirim kan Ketut Alit Wisnawa. Dari MFPada Irfan Bakhtiar dan Agus Setyarso. Sedang -kan dari Pemerintah, hadir Sunaryo, KepalaBidang Pengusahaan Hutan, Dinas Kehutanandan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Proses Pelatihan

Teguh Yuwono. Pelatihan SVLK di Semarang merupakan salah satu arenabgai Teguh Yuwono untuk memberikanpemahaman seputar SVLK.

100

Page 101: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Tata-niaga kayu menjadi perhatian tata-niaga kayu rakyat. Itu mengingat selama

ini perdagangan kayu menyimpan keruwetanyang membuat sulit upaya menelusuri ke -absah annya. Pelaku usaha dan pengrajin hanyatahu bahwa mereka mendapatkan kayu bahanbaku industri dengan cara membeli dari peda-gang kayu. Hanya dengan membeli kayu,mereka sudah percaya bahwa itu cukup sebagaibukti legalitas kayu. Padahal sebelum sampaike pengepul atau pedagang, kebanyakan kayuyang beredar di sekitar Semarang benar-benarberedar di tengah belantara tata-niaga kayuyang abu-abu.

Tata-niaga kayu yang tak jelas membuat SVLKsulit. Artinya, pelaku usaha dan pengrajin yangikut atau terperangkap dalam permaianan tata-niaga kayu seperti itu juga mustahil akan sang-

gup ber-VLK. Karena itu, Sunaryo berharapsatu saat tata-niaga kayu akan berlangsungdengan terang-benderang. Dan menurutnya,Asmindo dan MFP punya kapasitas serta akseskepada sejumlah kementerian, terutama Kementerian Kehutanan RI, untuk merevisiperaturan yang mendorong terciptanya tata-niaga kayu yang rapi di masa datang.

Tata-niaga kayu yang benderang membantupelaku usaha dan pengrajin mendapatkan kayuyang jelas asal-usulnya. Dengan demikianpelaku usaha dan pengrajin mendapat peluangmakin lebar untuk memperoleh sertifikatSVLK. Dan pada gilirannya, kegiatan per -dagangan mereka, teutama ke pasar Eropa dansejumlah negara lain yang menuntut legalitaskayu, dapat terus berlangsung. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Sunaryo: Tata-niaga KayuHarus Rapi

101

Sunaryo. Tata-niaga kayu yang tak jelasmembuat SVLK sulit.

Page 102: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Materi yang disampaikan Ketut Alit Wisnawa pada dasarnya sama dengan

yang paparkan dalam pelatihan di Yogyakartadan Surakarta. Pada intinya, ia menguraikantentang SVLK, posisi Asmindo dalam mendukung SVLK, resiko ketika pelaku usahatak menerapkan SVLK, serta persoalan di seputar SVLK itu sendiri.

Ia menekankan bahwa dukungan Asmindobagi SVLK, salah satunya, berangkat darikeprihatinan atas tudingan masyarakat inter-nasional bahwa Indonesia merupakan sumberillegal logging. Pada awalnya, SVLK diarahkanpada industri besar yang dengan kapasitaskeuangan serta SDMnya dengan mudah dapatmengadopsi berbagai persyaratan wajib yangada di dalam SVLK.

Namun belakangan terbukti bahwa SVLK takserta-merta mudah diterapkan bagi industrikecil-menengah. Kesenjangan kapasitas padaindustri besar dengan industri kecil inilah yangkemudian menjadi dasar utuk melakukan revisi terhadap SVLK. Dinamika pada industrikecil juga membuat proses penetapan SVLKmenjadi rumit dan sangat makan waktu. Selainitu, kapasitas pada industri kecil yang masihserba terbatas, menurut Ketut Alit Wisnawamembuat Ketua DPP Asmindo, Ambar Tjahyono, mengatakan bahwa industri kecil-menengah anggota Asmindo akan mengalamikesulitan menerapkan SVLK, bagaimanapunini sudah wajib. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Ketut Alit Wisnawa

102

Kedua Kali. Pelatihan di Semarang merupakan pemunculan kedua Ketut Alit Wisnawa.

Page 103: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Dengan peserta pelatihan dari kalangan industri yang mapan, Agus Setyarso

menampilkan presentasi dengan menekankankeadilan sebagai titik berat SVLK. Iamenggambarkan bahwa industri mebel dankerajinan menggantungkan suplai kayu sebagaibahan baku. Namun dalam mata-rantai ter -sebut ada ketimpangan ekonomi antara petanihutan rakyat yang yang menjadi sumber bahanbaku kayu, dengan para pelaku usaha,terutama industri menengah atas.

Dalam catatan Agus Setyarso, petani hutanrakyat perlu waktu paling cepat 10 tahununtuk menikmati hasil, sejak dari mulaimenanam hingga memanen. Dan dalam bisnisproduk berbahan baku kayu, petani hutanhanya kebagian 6% sampai 8% keuntungansaja. Sebagian besar keuntungan dalam bisnisproduk kayu adalah para pengusaha, terutamapara pedagang eksportir. Dengan mengirimsedikitnya dua kontainer dalam sebulan, pedagang dapat menangguk keuntunganbersih sekitar Rp 50 juta.

Bisa terjadi ketimpangan demikian karena selama ini tata-niaga kayu tak pernah jelas,rumit. Sehingga pedagang kayu dapatmendikte petani hutan agar menjual kayunyasemurah mungkin. Pada saat yang sama peda-gang kayu akan menjual kayunya dengan hargasemena-mena pula. Bedanya, eksportir masihpunya jalan keluar dengan menaikkan hargaproduknya. Sedangkan petani sama sekali takberkutik.

Ketimpangan makin menganga karena dari sebuah penelitian oleh Javlec menunjukkanbahwa industri— dengan kekuatan finansial-nya— dapat melakukan praktek di luar aturan.Baik itu untuk menyiasati status legalitasusaha, status legalitas bahan baku dan pro-duknya, legalitas proses produksi, maupun legalitas pemasarannya. Dengan SVLK, yangmembuat tata-niaga kayu transparan dansegala bentuk akal-akalan untuk menyiasati

berbagai legalitas, perolehan hasil jerih payahakan lebih adil secara proporsional.

Bahwa petani hutan rakyat perlu mendapatperhatian karena jumlah mereka tak sedikit,dengan aset yang tak kecil pula. Di Pulau Jawa,petani hutan rakyat tersebar di 7.000 desa.Tiap tahun, mereka mampu menghasilkansekitar rujuh juta meter kubik kayu jati dansengon. Dan bagi petani hutan rakyat kayuyang mereka tanam juga memiliki nilaiekonomi yang strategis. Petani menjadikankayu di hutan rakyat sebagai tabungan yangakan mereka gunakan ketika memerlukandana untuk keperluan darurat, misalnya biayaanak sekolah, biaya kesehatan, ongkos hajatan.

Namun Agus Setyarso juga mengakui bahwasebagai peraturan produk Pemerintah, SVLKmasih mengandung kelemahan. Ini terutamakelemahan yang datang dari Pemerintahsendiri dalam menyiapkan perangkat untukmenjamin terlaksananya SVLK. Di beberapatingkat pemerintahan, masih saja terjadipengkotakan ranah kewenangan. SVLK,umpamanya, ketika sudah menjadi peraturan

Pelatihan SVLK bersama MFP

Agus Setyarso: SVLK Menjamin Keadilan

103

Page 104: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pemerintah maka semua kementerian haruspaham dan ikut memperhatikan pelaksanaan-nya. SVLK bukan hanya ranah garapan Kementerian Kehutanan.

Kelemahan lain paling tampak adalah elitepolitik lokal— baik eksekutif maupun legis-latif— yang kurang mendukung upaya pelakuusaha untuk mendapatkan kemudahan berser-tifikasi. Padahal kepedulian elite politik daerahsangat diperlukan para pelaku usaha untukmembuat berbagi terobosan, misalnya pembe -ri an keringanan (tax holiday) serta beberapabentuk meudahan lain bagi pelaku usaha yangterbukti masuk dalam kategori skala kecil.

Hal lain yang masih perlu ditingkatkan adalahlayanan Pemerintah. Ketika mengeluarkan kebijakan, harusnya Pemerintah juga mengim-banginya dengan daya dukung yang memadai,umpamanya jumlah petugasnya di lapangan.Itu tampak dengan kurangnya petugas untukmematikan dokumen SKSKB. Jumlah petugas ganis dan wasganis P3KB juga masihsangat terbatas. Dengan perputaran kayu

sekitar tiga juta delapan ratus ribu meter kubikdi Jepara, umpamanya, hanya ada dua satupetugas P2KBP3KB yang masih aktif danbertugas seagai P3KB. Di Jawa Tengah, hanyaada enam puluh satu (61) petugas P2KBuntuk menangani perputaran kayu dengannilai sekitar Rp 4 triliun.

Dari berbagai dinamika di lapangan, yangpenting bagi SVLK adalah persiapan oleh para-pihak. Baik itu pengelola hutan, industri, danPemerintah. Tanpa persiapan memadai, SVLKakan kandas. Dan untuk mengetahui apa sajayang perlu disiapkan, harus ada masukan dariparapihak, termasuk industri. Masukan daripelaku usaha tak akan hanya membantumeningkatkan persiapan, melainkan jugabermanfaat bagi industri sendiri. Ini terutamajika industri anggota Asmindo mampu meng -identifikasi SVLK seperti apa yang bisa meng -akomodasi keinginan dan kemampuannya.Dengan demikian, pada saat mulai diber-lakukan nanti, akan muncul sebuah SVLKyang pro-Asmindo. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

104

Siap Kirim. Sebuah produk mebel menjalani proses pengepakan, siap kirim.

Page 105: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

CV Dijawa Abadi

Setyowati mendampingi tiga perusahaan padasesi pendampingan. Salah satunya adalah CVDijawa Abadi, perusahaan milik Irwan, danberalamat di Perum Semarang Indah BlokEV/3. Dalam pendampingan ter sebut, Setyo -wati menemukan bahwa perusahaan inimengan tongi izin HO (izin ganguan lingkung -an sosial), hanya saja masa berlakunya sudahberlalu. Dokumen legalitas perusahaan lainyang kadaluwarsa adalah izin usaha ling kung -an kecil. Perusahaan ini juga tak memilikidokumen lingkungan (UKL-UPL).

Untuk membuktikan bahwa bahan-bahanbaku yang diterima berasal dari sumber yangsah, perusahaan ini ternyata gagal. Ia membelikayu impor yang tak dilengkapi dengan doku-men impor, daftar kayu impor dan dokumendeklarasi dari negara asal kayu. Di situ juga takterdapat dokumen LMHHOK. Perusahan inijuga belum menerapkan sistem penelusurankayu. Buktinya, realisasi produksi (30 kontai -ner pada 2011) melebihi kapasitas produksiyang diizinkan, enam kontainer saja.

CV Dijawa Abadi bermitra dengan sejumlahsubkon. Tapi selama ini,kerjasama tersebut takdikawal dengan kontrak tertulis. Lebih jauh,pihak subkon juga tak dapat menunjukkan ke-absahan dokumen perizinan atau legalitasusaha nya. Dan sudah bisa dtebak bahwa parasubkon ini tak pernah melakukan pengdoku-mentasian atas bahan baku, proses, dan produksinya.

Hal lain yang belum dimiliki perusahaan iniadalah prosedur dan implementasi K3. Di situtak tersedia prosedur K3 dalam kegiatan operasional lapangan, tanpa jalur evakuasi, dantak tersedia catatan kejadian kecelakaan kerjasecara lengkap. Untuk pemenuhan hak-haktenaga kerja, perusahaan ini tak memiliki kebijakan tertulis mengenai kebijakanperusahaan yang membolehkan untuk membentuk/ terlibat dalam kegiatan serikat

pekerja. Dan satu hal lagi, di situ tidak tersedia dokumen peraturan perusahaan.

PT Devonshire Tunggal IndoPerusahaan lain yang didampingi Setyowatiadalah PT Devonshire Tunggal Indo. Perusa-haan yang beralamat di Jl Mpu Tantular 70-72, Semarang, ini milik pengusaha bernamaTimotius Tan. Ada beberapa indikator dan verifier yang tak dimiliki perusahaan ini,terutama yang berkaitan dengan pengolahandan izin yang sah. Kekurangan itu antara lainberupa izin HO yang sudah daluwarsa masaberlakunnya. Di situ tak tersedia dokumenlingkungan (UKL-UPL), dokumen izin primer(industri memiliki kegiatan memproduksikayu bulat). Selain itu, alamat pabrik padasemua dokumen perijinan tidak sesuai dengankondisi di lapangan.

Untuk memmbuktikan bahwa bahan bakuyang diterima berasal dari sumber yang sah,pembelian kayu oleh perusahaan ini memangdilengkapi dengan dokumen SKSHH. Hanyasaja untuk pembelian kayu bulat, dokumenSKSKB cap KR dan FAKB belum dimatikanoleh petugas yang berwenang. Selain itu doku-men FAKO juga dilengkapi dengan informasipenerima kayu. Di situ juga tak tersedia doku-men LMKB dan LMHHOK. Dan pada saatdicek penerapan sistem penelusuran kayu,diketahui bahwa realisasi produksi melebihikapasitas produksi yang diizinkan.

105

Page 106: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Sebagai perusahaan dengan kapasitas modalmenengah ke atas, perusahaan ini bermitradengan sejumlah subkon. Hanya saja kerja -sama ini tak terdokumentasikan dalam kontraktertulis. Sementara itu, pihak subkon sendirijuga tak dapat menunjukkan keabsahan doku-men perizinan atau legalitasnya. Subkon jugatak melengkapi dirinya dengan dokumentasibahan baku, proses, dan produksi.

Dalam hal sistem keselamatan kerja, perusa-haan ini tak melengkapi dirinya dengan prosedur K3 dalam kegiatan operasionallapangan. Tak ada pula jalur evakuasi. Ber -kenaan dengan pemenuhan hak-hak tenagakerja, pada perusahaan ini tak terdapat serikatpekerja atau pernyataan tertulis mengenai kebijakan perusahaan yang membolehkanuntuk membentuk/ terlibat dalam kegiatanserikat pekerja. Juga tak tersedia dokumen peraturan perusahaan.

UD Permata FurniturePerusahaan ketiga yang didampingi Setyowatiadalah UD Permata Furniture. Perusahaanyang beralamat di Jl Raya Cangkiran, GunungPati Km. 1, Semarang, ini tak memiliki doku-men lingkungan/DPLH. Ia pernah menga-jukan untuk mendapatkan Dokumen DPLHtapi belum dapat diproses karena perusahaanini memang berlokasi di tengah pemukiman.

Dalam hal sumber bahan baku yang diterima,perusahaan ini untuk pembelian kayu sudahdilengkapi dengan dokumen SKSHH. Tapiuntuk pembelian kayu bulat, dokumenSKSKB cap KR dan FAKB belum dimatikanoleh petugas yang berwenang. Pada perusahaanini juga tak tersedia dokumen LMKB danLMHHOK yang sesuai dengan Lampiran Permenhut No. 55/Menhut-II/2006. Tentangpenerapan sistem penelusuran kayu, perusa-haan ini memiliki realisasi produksi 2011 sejumlah 60 kontainer, sedangkan kapasitasizin sebesar 4.776 pcs.

Pelatihan SVLK bersama MFP

106

Page 107: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Dalam proses pengolahan produk melalui jasa/kerjasama dengan pihak lain (industri lain/pengrajin/industri rumah tangga), perusahaanini menjalin kemitraan dengan sejumlah sub-kon. Hanya saja ia tak memiliki kontrak kerjasama dengan subkon. Pihak subkon tidakdapat menunjukkan ke absahan dokumenperizinan atau legalitas. Subkon juga tak men-dokumentasikan bahan baku, proses dan produksi.

Berkenaan dengan prosedur dan implementasiK3, pada perusahaan ini tak tersedia prosedurK3 dalam kegiatan operasional lapangan.Demikian juga dengan pemenuhan hak-haktenaga kerja. Di situ tak terdapat serikatpekerja atau pernyataan tertulis mengenai kebijakan perusahaan yang membolehkanuntuk membentuk atau terlibat dalamkegiatan serikat pekerja. l

107

Pelatihan SVLK bersama MFP

Hal lain yang perlu ditingkatkan adalah layanan Pemerintah. Ketikamengekuarkan kebijakan, harusnya Pemerintah juga mengimbangdengan daya dukung yang memadai, umpamanya jumlah petugas-nya di lapangan.

Page 108: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Proses pendampingan oleh para pelatih ataupendamping menghasilkan analisis kesen-

jangan dan rencana tindak lanjut setiap perusa-haan yang mereka dampingi. Analisis inimereka kemas dalam laporan berformat tabu-lasi yang sangat rinci, sehingga mereka dapatmengukur seberapa kecil atau besar peluang setiap perusahaan untuk melaju mendapatkanSVLK. Dari laporan tersebut dapat diperhi-tungkan pula waktu yang diperlukan parapelaku usaha untuk membawa perusahannyaber-VLK. Berikut adalah analisis kesenjangan-beberapa perusahaan yang berhasil ditemukanpara pelatih dalam pelatihan di Semarang.

PT GDIPerusahaan di kawasan Genuk ini merupakanperusahaan modal asing (PMA) dari Eropa. Perusahaan dengan asset sekitar Rp 500 jutadan mepekerjakan 294 orang telah memilikiizin, dengan kapasitas produksi meja (3,262pcs / 741 m3), bangku (403 pcs / 46 m3), dankursi (196 pcs/ 31 m3) per tahun. Perusahaanini mengekspor seluruh produknya ke Eropa.

Beberapa jenis perizinan juga masih berlaku,antara lain izin HO, SIUP, TDP, TDI / IUI,AMDAL/UKL-UPL/SPPL (masih proses),PKAPT, ETPIK, ETPIK non-podusen, IUIPHHK, RPBBI. Untuk mendapatkan sumberbahan baku kayu, perusahaan ini sebagianbesar membeli dari Perhutani dan sebagiankecil dari pemasok kayu bekas.

PT BMUPerusahaan ini berlokasi di kawasan industriTerboyo dengan status perusahaan modaldalam negeri. Perusahaan ini berjenis industrilanjutan dengan asset sekitar Rp 1 miliar danmempekerjakan 31 orang. Produk yang dihasilkan berupa furnitur (meja dan kursidengan kerangka besi) sebanyak 1.000 m3 pertahun. Sebagian besar prodk diekspor ke Jerman.

Untuk perizinan, perusahaan ini memiliki akte

pendirian usaha yang masih berlaku dan sesuaidengan lingkup usaha namun masih meng -gunakan NPWP lama. Ia tak memiliki HO.Dan untuk NPWP, masih berlaku dan sesuai dengan lingkup usaha. SIUP juga masihberlaku, sesuai dengan lingkup usaha, hanyasaja masih model SIUP lama dan NPWP yanglama. TDP juga masih berlaku, tapi tak sesuaidengan lingkup usaha-- tertera di situ kegiatan-nya di bidang perdagangan besar dan kon-struksi. TDP tercatat sudah daluwarsa, danmasih mengacu pada NPWP lama. Sementaraitu, TDI/IUI masih berlaku dan sesuai denganlingkup usaha, hanya saja mengacu padaNPWP lama. Perusahaan ini tak memilikiAmdal/UKL. ETPIK masih berlaku namunmengacu pada NPWP lama.

Bahan baku yang dipergunakan ini berupakayu jati dari Perhutani. Untuk produk kayu(meja dan kursi), perusahaan ini menyerahkanpengerjaannya kepada sebuah subkon yangmemiliki karyawan empat orang. Sedangkankerangka besi dikerjakan oleh subkon lain yangmempekerjakan karyawan 10 orang.

Yang menarik, perusahaan ini pernah men dapatkan sertifikasi ISO 9001:2000 darilembaga sertifikasi TUV pada 2007.

ATIni merupakan perusahaan dengan jenisprimer dan lanjutan (IUI terpadu), danberlokasi di Salatiga. Dengan aset senilai sekitarRp 782 juta, perusahaan ini mempekerjakan100 hingga 200 tenaga kerja. Sesuai izinnya,produk yang dihasilkan berupa mebel, pintu,dan kerajinan. Dari beberapa izin, hanya TDPyang tak sesuai dengan IUI.

Perusahaan ini memiliki dua lokasi kegiatandengan pemilik yang sama. Untuk men -dapatkan bahan baku, perusahaan ini meng -andalkan kayu jati, mahoni, dan mindi yangdibeli dari Perhutani dan dari pedagang kayuumum.

Pelatihan SVLK bersama MFP

108

Analisis Kesenjangan Beberapa Perusahaan

Kesibukan Industri. Suasana produksipada sebuah perusahaan.

Page 109: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Dari hasil kunjungan lapangan (pendamping -an), ada beberapa hal penting berkenaan dengan kesiapan VLK di PerusahaanPerorangan Anugrah Timbers:

1. Pemilik perusahaan berkomitmen untuk secepatnya mengajukan VLK.

2. Mengingat industri Anugrah Timbermerupa kan industri terpadu (IUI-Primer danIUI Lanjutan) di mana terdapat tiga unit bandsaw (hanya digunakan untuk kepentingansendiri), maka pemilik perusahaan akanmelakukan konsultasi ke Kantor PelayananTerpadu Salatiga untuk menanyakan apakahIUI yang dimiliki sudah termasuk izin IUIprimer. Jika tak temasuk IUI primer makapemilik akan segera mengurus IUI primer darisawmill yang dimiliki.

3. Selama ini perusahaan hanya menggunakanbahan baku dari Perhutani, dan kayu papanyang dikirim baik dari TPK Perhutani, KBMPerhutani, maupun supplier yang sudahdilengkapi dokumen PUHH (FA-KB, FA-KO,SKSKB cap “KR”, dan nota).

4. Dalam hal pemenuhan K-3, perusahaanakan melakukan pembenahan khususnya pem-benahan prosedur dan kepatuhan karyawanterhadap penggunaan alat pengamanan keselamatan K-3. l

109

MFP membantu memfasilitasi industri untuk memenuhi kewajibanmenuju sertifikasi SVLK. MFP bukan membujuk industri ber-SVLKkarena SVLK adalah wajib. Hal besar yang dilakukan MFP dalampelatihan ini adalah menebarkan virus tentang pentingnya SVLKbagi industri dan melakukan pemetaan atas ndustri peserta pelatihan pada saat itu.

Page 110: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK di Surabaya

Hari : Senin-Rabu, 7-9 Mei 2012.

Tempat : Hotel Sun, Sidoarjo

Peserta : 15 industri anggota Asmindo Komda Semarang

Pelatih : Setyowati (independen, Bogor), Panji Anom(Javlec, Yogyakarta), Teguh Yuwono (Yogyakarta), Anton Sanjaya (SSC, Makassar), Suryanto Sadiyo (Arupa, Yogyakarta), Een Nuraeni (MFP).

Narasumber : Agus Setyarso (MFP), Ketut Alit Wisnawa(DPP Asmindo), Tony Riyanto dan Erwan Sudaryanto (BP2HP Wilayah VIII Surabaya),

Moderator : Asmindo Cetification Care (ACC) Surabaya.

110

Page 111: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan di Surabaya. Suasana pembukaan pelatihan SVLK bagi industri anggota Asmindo Komda Jawa Timur.

Bab

111

Page 112: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

112

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

12

13

14

PT Kayaraya Sumberjati

PT Indojaya Prima Semesta

PT Toraya Cipta Gemilang

PT Chantik Mebel Industry

UD Sinar Mas

PT Yanamury

PT Evoline Furniture Industry

CV Sekarjati Indonesia

UD Golden Coco

Koperasi Bina Karya Mandiri

PT Diraja Surya Furniture

Asmindo Jawa Timur

ACC Surabaya

Jl Pangeran Puger No 25, Jelakombo, JOmbang

Jl Wicaksono, Desa Gunung Gangsir, Kecamatan Beji, Pasuruan

Jl Raya Perning Km 40, Kecamatan Jetis, Mojokerto

Jl Bukit Putih No 19, Ardirejo, Situbondo

Jl Karya Bakti B I g/7, Gentong, Gadingrejo, Pasuruan

Jl Raya Bangil, Desa Gerongan, Kecamatan Kratos, Pasuruan

Desa Sumokembangsri, Balongbendo, Krian, Sidoarjo

Jl Kol Sugiono (Pelita) No 51, Ngingas, Waru, Sidoarjo

Jl Kilisuci No 79, Kediri

Jl Dukuh Menanggal III/29, Surabaya

Asem Kandang, Pasuruan

No Industri

Peserta Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo di Surabaya, 7 – 9 April 2012

Nama Alamat

Belajar dari kejadian di Surakarta, tim pelatih dalam pelatihan di Surabaya menyiapkanpendekatan yang lebih terencana bagi peserta dari Tomohon.

Page 113: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

113

Jadwal Pelatihan SVLK bagi Industri Anggota Asmindo di Surabaya, 7 – 9 April 2012

1

2

3

4

5

6

7

1

23

12345

6

Registrasi PesertaPembukaan

Bina Suasana PelatihanIstirahatMateri 1Rasionalitas SVLKMakan siangMateri IIPUHH: Kelas 1. SOP PUHHKelas 2. Dokumen PUHHMateri IVverifier kritis pada VLK industriKelas 1. Kelas 2. IstirahatMateri VPengalaman penerapan VLK Industri (manfaat, pembiayaan dan proses S-LK)Makan malamMateri VI• Pengorganiasian data• Persiapan pendampingan pada industri • Penyusunan laporan hasil gap assessment• Pembagian kelompok dan penyiapan

praktek lapangan

Gap assessment di industri masing - masing Makan siangGap assessment di Industri masing–masingPenyusunan laporan hasil studi lapangan(gap assessmnet)

Pendampingan sesi IPendampingans sesi IIMakan siangPenyusunan review oleh timRencana dan tindak lanjut bersama pemilikperusahaan dan AsmindoPenutup

08.30 – 09.0009.00 – 09.30

09.30 – 10.00 10.00 – 10.3010.30 – 12.00

12.00 – 13.00 13.00 – 14.30 (90 menit)

(14.30 – 16.00) 90 menit

16.00 – 16.30)(16.30 – 17.30) 60 menit

17.30 -19.0019.00 – 20.3008.30 – 12.0012.00 – 13.00 13.00 – 17.0019.30 – 22.00

09.00 – 11.0011.00 – 13.0013.00 – 14.0014.00 – 15.00 15.00 – 17.30

17.30 – 18.00

• MFP (Agus Setyarso)• Asmindo Komda Jatim (Taufik Ghani)• Anton Sanjaya

• Agus Setyarso• Ketut Alit Wisnawa

BP2HP Wilayah VIII

Tim pelatih1. Teguh Yuwono2. Anton Sanjaya

Suryanto Sadiyo

Teguh Yuwono

Semua peserta

Tim pendampingTim pendamping

Agus SetyarsoSemua peserta

MFP & Asmindo

Panitia

TBD

Agus P Djailani(kelas pleno)

Suryanto SadiyoTeguh Yuwono

Panji AnomSuryanto Sadiyo

Anton Sanjaya

Panji(kelas pleno)

Tim mendampingi industri

Anton SanjayaAnton Sanjaya

No Acara Waktu FasilitatorTrainer/Narasumber

Hari Pertama

Hari Kedua

Hari Ketiga

Page 114: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bagi industri angota Asmindo Komda Jawa Timur ber langsung

di Hotel Sun, Sidoarjo, sekitar satu jam dariSurabaya ke arah selatan. Pelatih an berjalantiga hari dari Senin 7 Mei hingga Rabu 9 Mei2012.

Untuk pertama kali, koordinator pelatihan dariMFP, Irfan Bakhtiar absen. Tugas ke Lampungmemaksanya tak dapat mengikuti pelatihanSVLK bagi industri anggota Asmindo KomdaJawa Timur di Surabaya. Personel lain yang takdapat mengawal pelatihan di Surabaya adalahdua pelatih— Exwan Novianto dan Sudarwan.Narasumber dari kalangan pelaku usaha, JajagSuryo Putro tak dapat hadir karena menungguiistrinya bersalin. Dalam komunikasi melalui E-mail kepada tim pelatih, Irfan Bakhtiar, mengusulkan agar Suryanto Sadiyomeng gantikan Jajag Suryo Putro.

Sementara itu, Agus P Djailani dan Een Nuraeni sudah kembali bergabung setelahabsen di Semarang karena bertugas ke Papua.Agus P Djailani memandu jalannya pelatihan.Dan Een Nuraeni bergabung dengan pelatihatau pendamping lain. Demikian pula denganSuryanto Sadiyo, yang juga hadir kembali mengawal jalannya pelatihan. Demikian puladengan Agus Setyarso.

Pelatihan di Surabaya menyertakan 15 indus-tri. Dan untuk pertama kali terjadi, pelatihandi Surabaya melibatkan peserta industri daribeberapa tempat yang cukup berjauhan.Mereka datang dari Pasuruan, Mojokerto,Jombang, Kediri, dan Situbondo. Bahkan adalima peserta dari luar Jawa, yakni dari Tomo-hon, Sulawesi Utara (Sulut).

Sebenarnya, pelatihan dengan menyertakanpeserta dari tempat yang jauh dari pusatpelatih an pertama kali terjadi dalam pelatihansebelumnya, Surakarta dan Semarang. Padasaat pelatihan di Surakarta, ada peserta satu industri dari Kediri, Jawa Timur, yang waktu

tempuhnya dari Surakarta mencapai sekitarenam jam perjalanan. Ini tak memungkinkanpendampinan langsung ke industri. Sebagaijalan keluarnya, pendampingan cukup dilakukan di hotel yang menjadi pusat pelatihandan tempat para peserta dan pelatih menginap.

Kendalanya, peserta tak membawa berbagaidokumen administrasi dan legal perusahaan-nya. Sempat ada upaya untuk mengirimberkas-berkas dokumen tersebut dalam bentuksoft copy melalui E-mail ke akun E-mail pelatih.Tapi kiriman E-mail tersebut masuk spam, sehingga tak sempat diketahui keberadaannyapada saat dibutuhkan, dan baru diketahui belakangan. Sudah bisa dipastikan, pesertatersebut tak dapat mengoptimalkan keikut -sertaannya dalam pelatihan. Jangankan tanpaberkas dokumen, peserta yang telah menyiap-kan berbagai dokumen administrasi dan legalperusahaannya pun masih mengalami banyakkesulitan memahami maksud dan tujuan tiapdokumen mereka sendiri.

Belajar dari kejadian di Surakarta, tim pelatihdalam pelatihan di Surabaya menyiapkan pendekatan yang lebih terencana bagi pesertadari Tomohon. Jauh sebelum kelima pesertadari Tomohon bertolak ke Surabaya, pelatihmengontak mereka dan wanti-wanti agarmereka mebawa serta berbagai dokumen administrasi serta dokumen legal perusahaan.Sesi pendampingan cukup belangsung di homebase atau pusat pelatihan, yakni di sebuah hoteldi Sidoarjo. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Lokasi Industri Menyebar

Titik Kritis. Perubahan bentuk dan ukuran kayu di industri.

114

Page 115: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pemilihan Sidoarjo, bukan Surabaya, sebagai tempat pelatihan tadinya juga

dimaksudkan untuk memperpendek jarak danwaktu tempuh bagi peserta dari beberapakota— Mojokerto, Jombang, Kediri, Pasu-ruan, dan Situbondo. Sempat muncul gagasandi kalangan pelatih untuk membawa kelimapeserta dari Tomohon ini ke industri-industriyang dikunjungi pelatih di sekitar Surabaya.Tujuannya, agar dari proses pendampingandan kunjungan tadi kelimanya bisa belajar ten-tang apa saja yang mereka perlu siapkan untukmendapatkan VLK. Tapi rencana ini urungkarena ternyata sifat kegiatan industri kelimaeksportir rumah kayu dari Tomohon ini takmenyerupai kegiatan industri para pesertapelatihan lain di Jawa Timur.

Pelatihan di Surabaya dibuat menyesuaikandengan keadaan. Ini terutama berlaku untuksesi pelatihan berupa pendampingan langsungdi industri. Dalam pelatihan di beberapa kotasebelumnya, setelah pendampingan di industrimasing-masing di hari kedua, seluruh pesertamasih memungkinkan untuk diminta kembalike pusat pelatihan untuk mengikuti sesi di hariterakhir atau hari ketiga.

Menurut kurikulum pelatihan, pada hari ter-akhir para peserta memang diharapkan kem-bali berkumpul di pusat pelatihan untukmendapat rekomendasi dari para pelatih, ten-tang kelayakan dan langkah apa saja yang masing-masing industri perlu lakukan untukmen dapatkan sertifikat VLK. Tapi untukpelatihan di Surabaya, tak semua industri kembali ke pusat pelatihan. Ini terutama bagisatu peserta dari Situbondo dan dua dariKediri. Waktu tempuh ke Situbondo daripusat pelatihan mencapai enam jam. Sedang -kan ke Kediri sekitar tiga jam. Dengan pertim-bangan itu, semua pelaksanaan pelatihan bagiketiga industri di Situbondo dan Kediri dibuatharus tuntas selama pendampingan di industrimasing-masing.

Selain unik karena menyertakan peserta dariberbagai kota di Jatim, pelatihan SVLK diSurabaya juga pertama kali melibatkan sejum-lah personel Asmindo Certification Care(ACC) secara intensif. Mereka mengukuti setiap sesi pelatihan, termasuk mendampingipelatih dalam kunjungan ke industri. Tampil-nya ACC membuat Asmindo KomdaSurabaya menjadi tuan rumah yang sebenar -nya bagi pelatihan SVLK oleh MFP di KotaPahlawan tersebut. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Sidoarjo, MendekatkanPeserta

Keselamatan Kerja. Salah satu syaratSVLK adalah industri harus menerapkan

keselamatan pekerja. 115

Page 116: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pimpinan Asmindo Komda Jawa Timur,Taufik Ghani, mengatakan ia memahami

informasi tentang SVLK yang masih minim dikalangan pelaku usaha. Ini terutama pelakuusaha dengan skala kecil hingga menengah. Iajuga menghargai pilihan para pelaku usahaapakah nantinya, setelah mengikuti pelatihan,akan memutuskan untuk membawa perusa-haan mereka ber-VLK atau tidak.

Meski begitu, ia tetap minta para pelaku industri anggotanya yang tak berminat ber-VLK agar tak gegabah. Ini khususnya bagipelaku usaha yang berorientasi ekspor. Pasal-nya, pasar ekspor global, terutama Eropa,sudah memutuskan untuk hanya menerimaproduk dari produsen di negara mana punyang sudah menerapkan SVLK.

Ia menambahkan, sebelum ini memang sudahada beberapa sistem sertifikasi yang digagas dandifasilitasi lembaga swadaya masyarakat(LSM). Hanya saja, menurut Taufik Ghani,beberapa sistem sertifikasi yang pernah adatersebut justru sebagai selubung yang dimak-sudkan untuk menenggelamkan produk kayuIndonesia di pasar global. Dengan ber kedoksebagai instrumen sertifikasi, sistem tersebutdengan mudah dapat mengidentifikasi dengancara melacak produk-produk kayu untuk kemudian dijatuhkan dengan segala stigma-tisasi negatif.

Ia lantas memberi ilustrasi bahwa dalam suatuperjalanan ke China dan Malaysia, ia mene-mukan lokasi yang luasnya sekitar satu kecamatan penuh dengan timbunan kayugelondongan. Dari wewancara dengan petugasyang berjaga di tempat itu Taufik Ghani men-jadi tahu bahwa tumpukan kayu yang meng-gunung tersebut adalah hasil selundupan(illegal logging) dari beberapa pulau di Indo -nesia. Yang membuat ia terhenyak adalahbahwa sekalipun merupakan hasil selundupan,kayu-kayu itu setibanya di Malaysia dan China

telah disulap menjadi kayu bersertifikat legal!Mayarakat internasional menurutnya sangattak adil. Mereka tak jarang menyebut Indone-sia sebagai sumber illegal logging, dan menun-tut para pelaku usaha di Tanah Air bersertifikatlegal. Tapi pada saat yang sama dunia menutupmata terhadap praktek penimbunan dan produksi kayu di Malaysia dan China yangbahannya mereka peroleh dengan caramenadah illegal logging di Indonesia. Ini nam-pak sekali dari beredarnya kayu-kayu mahonidi Malaysia, yang merupakan pohon khas Indonesia dan tak pernah ada di Malaysia.

Tekanan internasional dan upaya terselubungmenenggelamkan industri kayu di Indonesiamembuat industri perkayuan di Tanah Airtersendat. Akibatnya, sumber bahan baku yangmelimpah tak serta-merta membuat Indonesiamemimpin produksi kayu dunia. Untuk pasarglobal, ekspor produk kayu Indonesia hanya2,7%. Italia memimpin dengan 19,5%,menyusul kemudian Jerman 14%. DanMalaysia, yang mengunakan bahan baku illegallogging dari Indonesia juga masih lebih baikdari Indonesia sendiri. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

116

Taufik Ghani, AsmindoKomda Jawa Timur

Mengurai Admisnistrasi. Peserta danpelatih merunut status legalitas danadmnistrasi industri.

Page 117: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Klop dengan uraian Taufik Ghani tentangpasar global illegal logging, Agus Setyarso

mengatakan bahwa China merupakan negaraterbesar pengimpor kayu-kayu hasil illegal logging. Selain dari Indonesia, kayu-kayugelondongan yang masuk China juga datangdari beberapa negara Asia Tengah bekas UniSoviet. China menerima semua kayu berbagairupa, tanpa mempedulikan jenisnya.

Dari China, kayu-kayu log ilegal tersebutdikirim ke Eropa Barat dan Jepang. Hanyasaja, Jepang cukup cerdik. Untuk menghindaritudingan di kemudian hari sebagai negarapengimpor kayu ilegal, Jepang mengimporkayu dalam bentuk produk setengah jadi dariChina. Agus Setyarso menyebutnya sebagaipencucian kayu cara Jepang. Selain China,Malaysia merupakan pasar kayu ilegal terbesarkedua.

Fenomena pasar kayu ilegal tak hanya terjadidi pasar global, melainkan juga di pasar domestik. Menurut Agus Setyarso, beberapakota di pesisir utara Pulau Jawa— temasukSurabaya dan Jakarta— merupakan tempatpencucian kayu ilegal, bukan hanya untukkayu yang datang dari luar Pulau Jawamelainkan juga dari Pulau Jawa sendiri. AgusSetyaso mencatat, setidaknya 80% kayu-kayuyang mendarat di kota-kota tepi pantai utaraJawa adalah ilegal.

Dan itu berarti bahwa Bangsa Indonesiamemiliki pekerjaan rumah untuk member-sihkan dirinya sendiri dari praktek perdagang -an kayu ilegal. Itu salah satu alasan yangmelandasi langkah Pemerintah RI serta bebe -rapa pemangku kepentingan untuk meluncur -kan SVLK.

Kepada peserta pelatihan, Agus Setyarso men-jelaskan bahwa sertifikasi memang ber -implikasi pada naiknya biaya operasionalperusahaan. Dan itu tak menjamin bahwa produk yang sudah sertifikasi tak lantas begitu

saja membuat harganya naik. Satu hal yangbisa terjadi pada produk yang telah berser -tifikat adalah terbukanya peluang untuk masukpasar khusus. Yakni pasar yang memang hanyamenghendaki masuknya produk-produk ber -sertifikat legal. Dan menurut Agus Setyarso,pasar yang demikian itu belum tentu bisa imasuki sembarang eksportir. Dalam istilahAgus Setyarso, pasar seperti ini adalah pasarpremium, pasar niche.

Selain berpeluang menembus pasar niche,SVLK juga dapat menjadi pintu gerbang bagipara pelaku usaha untuk menertibkan opera-sional dan administrasi internal perusahaan-nya. Dengan memiliki sistem operasional sertaadministrasi yang tertib, maka terbuka pula kesempatan bagi perusahaan yang bersang-kutan untuk menjadi lebih efisien dan efektif.Pada gilirannya, efisiensi dan efektivitas akanmeningkatkan daya saing.

Perusahaan-perusahaan kayu di Jawa Timurpada saat ini sudah berada di ambang persaing -an global. Itu ditandai dengan masuknyamodal asing, termasuk dari Malaysia danChina, untuk mendirikan perusahan kayu dibeberapa kota yang terkenal sebagai sentra industri kayu di Jawa Timur. Para pemilikmodal dari luar negeri ini masuk ke JawaTimur dengan tujuan mempermudah jalandalam mencari bahan baku.

Jika jumlah perusahaan bermodal asing inimakin banyak, maka perusahaan lokal akanterancam krisis bahan baku. Dengan kekuatanmodalnya dan kapasitas produksinya, perusa-haan asing tersebut akan menyedot berapa punsuplai kayu sebagai bahan baku. Rata-rata sebuah perusahaan besar memiliki kapasitasproduksi 700 kontainer per bulan. Jika di JawaTimur ada 10 perusahan besar asing, makabencana kekurangan bahan baku di kalanganperusahaan lokal bukan sesuatu yang mengada-ada. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

117

Agus Setyarso

Kayu Ilegal Global. China dan Malaysiamenikmati niaga kayu ilegal global.

Page 118: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Proses pendampingan oleh para pelatih ataupendamping menghasilkan analisis kesen-

jangan dan rencana tindak lanjut setiap perusa-haan yang mereka dampingi. Analisis inimereka kemas dalam laporan berformat tabu-lasi yang sangat rinci, sehingga mereka dapatmengukur seberapa kecil atau besar peluang setiap perusahaan untuk melaju mendapatkanSVLK. Dari laporan tersebut dapat diperhi-tungkan pula waktu yang diperlukan parapelaku usaha untuk membawa perusahannyaber-VLK. Berikut adalah analisis kesenjangan-beberapa perusahaan yang berhasil ditemukanpara pelatih dalam pelatihan di Jawa Timur.

PT DSFPT DSF merupakan industri terpadu (industriprimer dan industri lanjutan), di mana merekamemiliki unit sawmill untuk mengolah kayubulat menjadi kayu olahan. Hanya saja iabelum memegang izin. Perusahaan ini meng-gunakan bahan baku khusus kayu jati dari

Perum Perhutani, dan kayu hutan rakyat (Jawadan sulawesi). Bahan baku ini dibeli dari pemasok dalam tiga bentuk—kayu bulat, kayuolahan (sawn timber), dan square log (khususkayu jati dari Sulawesi).

PT DSF sudah menerapkan pencatatan ataudokumentasi semua proses produksi mulaipenerimaan bahan baku sampai dengan penge-masan. Itu salah satunya karena PT DSF sudahmendapatkan sertifikasi CoC FSC. Semuaproses produksi dikerjakan sendiri, takmelibat kan sub kontraktor.

Berdasarkan hasil verifikasi dokumen dan verifikasi lapangan, PT DSF relatif sudahcukup siap untuk maju dalam VLK. Manaje-men PT DSF memiliki komitmen yang cukuptinggi untuk secepatnya maju dalam sertifikasiVLK dalam beberapa bulan ke depan. Bebe -rapa simpul kritis dalam VLK sudah cukupbaik. Perizinan legalitas perusahaan relatif

Pelatihan SVLK bersama MFP

Analisis Kesenjangan Beberapa Perusahaan

Kunjungan ke Industri. Tim pelatih, narasumber, dan ACC berkunjung keindustri.

118

Page 119: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

lengkap, kecuali ditemukan izin HO yangsudah kedaluwarsa, dan IUI-PHHK yangbelum dimiliki (akan segera diurus ke DinasKehutanan).

Pemenuhan ketelusuran asal bahan baku sudahcukup baik (dokumen PUHH seperti FAKBuntuk kayu bulat, FAKO untuk kayu olahan).Khusus untuk kayu square log sementara baruberupa FAKO dari pemasok. Kegiatan prosesproduksi mulai dari penerimaan bahan baku,dan proses produksi sudah dilakukan penca -tatan dengan adanya kartu tally (stock card).

Beberapa kekurangan dalam pemenuhan VLKyang akan segera ditindaklanjuti oleh PT DSFadalah sebagai berikut:

a. Pemenuhan perizinan/legalitas IUI-PHHK, RPBBI dan LMKB-nya.

b.Pembenahan PUHH, khususnya untukbahan baku kayu square log dari pemasok. Selain FAKO akan dilengkapidengan copy SKSKB cap KR asal kayu dari Sulawesi.

c. Pembuatan LMKO sesuai yang dipersya ratkan oleh ketentuan.

PT YRPT YR merupakan industri lanjutan. Merekamemiliki unit sawmill namun hanya untukmembelah kayu olahan menjadi ukuran yanglebih kecil. Bahan baku yang digunakan di industri ini kayu olahan yang terdiri atasmindi, sengon, mahoni, yang berasal darihutan rakyat, veener, kayu lapis, MDF, danparticle board.

PT YR belum menerapkan pencatatan/doku-mentasi di semua proses produksi (mulaipenerimaan bahan baku sampai pengepakan).Semua proses produksi dikerjakan sendiri, kecuali proses pengeringan kayu di kiln and dryyang melibatkan pihak lain (sub-kontraktor).Pada saat ini PT YR sedang membangun industri kayu lapis namun belum beroperasinormal dan baru sebatas uji coba.

Hasil verifikasi dokumen dan veri fikasi lapang -an, PT YR relatif belum siap untuk majudalam VLK. Dari aspek ketelusuran bahanbaku (dokumen FA-KO), pendokumentasianproses produksi (kartu tally atau stock card)hingga penyusunan LMKO belum sistematis.

119

Proses pendampinganoleh para pelatihatau pendampingmenghasilkananalisiskesenjang an dan rencana tindak lanjutsetiap perusahaanyang merekadamping.

Page 120: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Berdasarkan hasil wawancara dengan direkturPT YR, manajemen PT YR memiliki komit-men yang cukup tinggi untuk menyiapkandokumentasi dan fisik kayu untuk maju dalamsertifikasi VLK. Rencana dalam waktu dekatakan mulai ada pembenahan, sehinggadiharap kan pada 2013 PY YR siap maju VLK.

Beberapa simpul kritis dalam VLK di PT YRmasih perlu diperbaiki, khususnya:

a. Pemenuhan ketelusuran asal bahan baku belum sempurna (ada dokumen FAKO yang bukan untuk PT YR) diterima oleh PT YR; bahan baku veener dan kayu lapis yang dibeli dari toko atau pemasok masih mengguna kan dokumen nota. Nantinya menggunakan nota ditambahdengan copy FAKO dari toko.

b.Kegiatan proses produksi mulai dari peneri maan bahan baku, dan proses produksi belum dilakukan pencatatan/ pendokumentasian sehingga dapat tertib administrasi.

c. Pemenuhan perizinan/legalitas khususnya IUI-PHHK untuk pabrik kayu lapis, RPBBI dan LMKB-nya.

d.Pembenahan PUHH khususnya untuk bahan baku kayu yang berupa kayu olahan dari pemasok. Dicek FAKO nyasesuai antara alamat penerima; untuk veener dan kayu lapis yang dibeli dari

toko sebaiknya dilengkapi nota dan copy FAKO/no FAKO.

e. Pembuatan LMKO sesuai yang dipersyaratkan oleh ketentuan.

f. Pada saat pengeringan melalui KD (kiln and dry) milik perusahaan lain, sebaiknya dilakukan penandaan pada kayu olahan dan dilakukan segregasi dan separasi sehingga tak tercampur dengan kayu milik perusahaan lain.

PT IPSPT IPS merupakan industri lanjutan, di manabahan baku yang digunakan adalah kayu olah -an (sawn timber) dari jenis: sengon, mahoni,pinus, rimba campuran; dan beberapa bahanpenunjang seperti: kayu lapis, MDF. Bahanbaku industri kayu olahan dibeli dari pemasok.Sedangkan untuk kayu lapis dan MDF dibelidari toko.

Proses produksi sudah dilakukan pencatatan/dokumentasi, karena PT IPS sudah menyiap-kan sistem untuk maju sertifikasi VLO(namun belum diajukan karena akan majuVLK saja). Dalam proses produksi ada bebe -rapa informasi penting di perusahaan tersebut.Ada sebagian kecil proses produksi yang diker -ja kan oleh sub-kontraktor yaitu pembubutankaki-kaki furnitur (meja), mengukir kom -ponen furnitur, dan laminating MDF dengan veneer.

Pelatihan SVLK bersama MFP

Persiapan Pelatihan. Dua narasumberberbincang tentang persiapan pelatihan.

120

Page 121: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Sub-kontraktor untuk kegiatan laminating veneer dilakukan oleh perusahaan PT, sedanguntuk bubut dan ukir dilakukan oleh perusa-haan CV. Selain digunakan untuk kepenting -an sendiri, kiln and dry PT IPS juga dijasakanuntuk mengeringkan kayu milik pihak ketiga(hanya satu perusahaan).

Berdasarkan hasil verifikasi dokumen dan veri fikasi lapangan, PT IPS relatif cukup siapuntuk maju dalam VLK. Hal ini mengingatbeberapa simpul kritis dalam VLK sudahcukup baik. Perizinan legalitas perusahaan relatif lengkap, hanya ditemukan izin HO yangsudah kedaluwarsa. Pemenuhan ketelusuranasal bahan baku (dokumen PUHH sepertiFAKO dari pemasok, sedang khusus untukkayu lapis dan MDF berupa nota dari toko).Kegiatan proses produksi mulai dari peneri-maan bahan baku, dan proses produksi sudahdilakukan pencatatan dengan adanya kartutally (stock card).

Manajemen PT IPS memiliki komitmen yangtinggi untuk segera mengajukan sertifikasiVLK. Manajemen cukup pro-aktif untuk secepatnya menyelesai kan kekurangan-kekurangan yang perlu dilengkapi menujuVLK. Ditargetkan dalam waktu tiga sampaiempat bulan ke depan perusahaan sudah siapuntuk dinilai.

Beberapa kekurangan dalam pemenuhan VLKyang akan segera ditindaklanjuti oleh PT IPS.Ia akan memenuhi perizinan atau legalitas perusahaan sub-kontraktor, pemenuhanketelusuran bahan baku (dokumen PUHH),dan pembuatan kontrak kerja dengan sub kontraktor. Langkah lain adalah pembenahanPUHH khususnya untuk bahan baku kayulapis dan MDF dari toko. Selain nota akandilengkapi dengan copy FAKO (setidaknyanomer FAKO asal dari industri).

Selain itu juga akan ada pembenahan aspekketenagakerjaan seperti sosialisasi peraturan perusahaan, dan menertibkan penggunaanperlengkapan K-3. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

121

Page 122: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Operasi Tanpa Tulis:Bali dan Jepara Sama saja

Hari : 10-12 Mei 2012

Tempat : Hotel Sanur Beach

Peserta : 14 industri anggota Asmindo Komda Bali

Pelatih : Setyowati (independen, Bogor), Sudarwan(Shorea, Yogyakarta), Panji Anom (Javlec, Yogyakarta), Teguh Yuwono (Yogyakarta), Exwan Novianto (Shorea, Yogyakarta), Een Nuraeni (MFP.

Narasumber : Jajag Suryo Putro (PT Jawa Furni Lestari, Yogyakarta), Irfan Bakhtiar (MFP), Ketut Alit Wisnawa (DPP Asmindo), Dyah Diah Raharjo(Program Director MFP), Agus P Djailani(MFP), Agus Setyarso (MFP), Ambar Tjahyono (Ketua DPP Asmindo).

Moderator : Exwan Novianto.

Page 123: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan di Bali. Para peserta, pelatih, dan narasumber pelatihan SVLK di Bali berfoto bersama.

Bab

Page 124: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

124

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

17

18

19

20

21

22

23

24

Caecelia Tamara

Dani Yuliadi

Jimmy Setiadi

Ayu Anggareni

Anggi Yuni W

Arie Rediawati

Made Sutamaya

Saiful

Julius

I Wayan Diana Rika

IB urya Manuaba

Made Gunadi Ngurah

Made Sutamaya

Krisna PA

I wayan Budiasa

Indah

Pidekso

Bagus John

Putu Gde Widnyana

AA Puspa

Luther TM

Toni

Listi

Trinita

Bali Prefab

Bali Prefab

Ayu bali indonesia

CV Bali Shine Wood

CV Kambuna Jaya

Kioski Gallery

Divadi

CV Kambuna Jaya

PT Wisnu Karya Furniture

CV BCS Furniture

Bali Timber

Kioski Gallery

Divadi

CV BCS Furniture

PTPutri Ayu Bali

Asmindo

Gangga Sukta

Patha Handicraft

PT Rumah Tropika

PT Rumah tropika

No Perusahaan

Peserta Pelatihan SVLK pada Asmindo Bali, 10-12 Mei 2012

Nama Alamat

Bagi para pengrajin kecil di Bali, berhimpun bukan hal baru. Dalam melakukanekspor, mereka bersama-sama memanfaatkan kontainer untuk memuat berbaga produkmereka masing-masing.

Page 125: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

125

Jadwal Pelatihan SVLK pada Asmindo Bali, 10-12 Mei 2012

1

2

3

4

5

6

7

8

1

23

1234

5

Registrasi PesertaPembukaan

IstirahatBina suasana pelatihan

Materi 1Rasionalitas SVLKMakan siangMateri IIPUHH: Kelas 1. SOP PUHHKelas 2. Dokumen PUHHMateri IVVerifier kritis pada VLK IndustriKelas 1. Kelas 2. IstirahatMateri VPengalaman penerapan VLK industri (manfaat, pembiayaan dan proses S-LK)Makan malamMateri VI• Pengorganiasian data• Persiapan pendampingan industri • Penyusunan laporan hasil gap assessmentPembagian kelompok dan penyiapan prakteklapangan

Gap assessment di Industri masing - masing Makan siangGap assessment di Industri masing – masingPenyusunan laporan hasil studi lapangan(gap assessmnet)

Pendampingan sesi IPendampingan sesi IIMakan siangReview dan rencana tindak lanjut bersamapengurus AsmindoPenutup

08.00 – 08.3008.30 – 09.30

09.30 – 09.4509.45 – 10.15

10.15 – 12.00

12.00 – 13.0013.00 – 14.30

14.30 – 16.00

16.00 – 16.1516.15 – 18.00

18.00 -19.0019.00 – 20.30

20.30 – 21.00

08.30 – 12.0012.00 – 13.00 13.00 – 17.0019.30 – 22.00

09.00 – 11.0011.00 – 12.3012.30 – 13.3013.30 – 15.00

15.00 – 16.00

• Asmindo Komda Bali • Dinas Kehutanan Bali

• Agus Setyarso• Ketut Alit Wisnawa

BP2HP Denpasar

Tim Pelatih1. Teguh Yuwono2. Suryanto

Jajag Suryo PutroSudarwan

Teguh Yuwono

Teguh Yuwono

Semua Peserta

Tim pelatihTim Pelatih

Agus SetyarsoPembahas: Ambar Tjahyono (Asmindo)Diah Raharjo (MFP)Ambar Tjahyono (DPP Asmindo)

Irfan Bakhtiar

Suryanto SadiyoTeguh Yuwono

Panji AnomSudarwan

Panji Anom

Suryanto Sadiyo

Suryanto Sadiyo(kelas pleno)

Tim pelatih mendampingi masing-masing industri

Agus P Djailani

Hari Kedua

Hari Ketiga

No Acara Waktu FasilitatorTrainer/Narasumber

Hari Pertama

• Suryanto Sadiyo• Teguh Yuwono

Page 126: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Bali merupakan sentra industri kecil rumah -an untuk produk berbasis kayu. Ini sesuai

dengan kriteria UKM yang menjadi saranpelatihan SVLK bagi anggota Asmindo olehMFP. Mereka ini bertebaran di berbagaikawasan industri kerajinan rumahan di seluruhBali, terutama di sekitar ibukota provinsi, diDenpasar. Di sekitar Denpasar ada ribuan perusahaan kerajinan yang menggunakan kayulimbah sebagai bahan dasarnya. Kayu limbahdi sini bermakna dalam arti sebenarnya, yaknikayu bekas atau tak terpakai, yang teronggokatau terapung-apung di sungai atau kawasanpantai.

Selain industri kerajinan berskala rumahan,ada juga beberapa perusahaan yang berfungsisebagai pengepul dan eksportir. Perusahaanpengepul dan eksportir ini disebut-sebut sebagai perusahaan yang cukup “bermodal”laptop dan biasa “berkantor” di café ataurestoran memburu pembeli di luar negeri.

Beberapa narasumber melihat, industri kerajin -an mendominasi bisnis produk berbasis kayudi Bali. Dengan kata lain, kegiatan industriproduk berbasis kayu sebagaian besar berupahasil kerajianan. Sedangkan produk berupaperabot mebel atau furnitur sebagaian besarmengandalkan suplai berupa barang setengahjadi dari beberapa kota di Pulau Jawa, terutamadari Jepara dan Pasuruan.

Sebagai perusahaan kerajinan berskala rumah -an, mereka umumnya mengabaikan beberapaaspek legal industri maupun aspek legal kayu.Aspek legal perusahaan ini umpamanya berupaizin pendirian perusahaan, izin lingkungan,NPWP, serta ketenagakerjaan. Sedangkanaspek legal kayu ini berupa surat-surat tandasahnya perniagaan dan lalu-lintas kayu yangmereka manfaatkan sebagai bahan baku.Dalam keadaan seperti itu, industri kerajinanberbasis kayu di Bali sama dengan yang terjadidi Jepara: serba tanpa catatan tertulis.

Seperti itulah gambaran 14 perusahaan yangmengiktui pelatihan SVLK bagi Asmindo olehMFP di Denpasar dari Kamis 9 Mei hingaSabtu 12 Mei 2012 lalu. Dari para peserta, pertanyaan tentang ongkos ber-VLK merupa-kan yang paling nyaring mereka suarakan.Mereka menganggap, ongkos VLK terlalumahal. Itu membuat mereka skeptis untuk ber-SVLK. Dan sampai pada pelatihan tahappendam ping an, tinggal tujuh perusahaan yangmenunjukkan minatnya untuk mengikutipelatihan. Selain skeptis karena melihat angkabiaya VLK, perserta juga kelihatan kurangmemiliki pemahaman utuh tentang SVLK.

Tentang ongkos VLK, narasumber Agus Setyarso memberikan alternatif jalan keluar.Yakni agar seluruh indusri kecil mendapatkansertifikasi VLK sebagai kelompok. Yang iamaksudkan adalah agar seluruh industri keciltersebut berhimpun dalam satu wadah. Dankemudian satu wadah inilah, bisa berupa kope rasi atau asosiasi, yang kemudian tampil mengajukan VLK.

Jurus ber-VLK melalui kelompok ini sedangdicoba sejumlah pengrajin di Kecamatan Bule-leng, Kabupaten Buleleng. Mereka ini ber -himpun dalam satu wadah bernama AsosiasiPengrajin Industri Kecil (APIK). Begitu seriuspara pengrajin angota APIK ini mendapatkanVLK, mereka belakangan mendapatkan pen-dampingan intensif dari MFP bersama mitralembaga swadaya masyarakat (LSM)-nya, dibidang kehutanan, Yayasan Wisnu Denpasaryang juga dibantu salah satu nya Java LearningCenter (Javlec) yang berkantor pusat di Yogyakarta.

Bagi para pengrajin kecil di Bali, berhimpunsebenarnya bukan hal baru. Dalam melakukanekspor, umpamanya, beberapa di antaramereka selama ini bersama-sama meman-faatkan kontainer untuk memuat berbagai produk mereka masing-masing. Artinya, ketikadi situ terdapat kepentingan bersama, ada

Pelatihan SVLK bersama MFP

126

Kondisi Industri Mebeldan Kerajinan Kayu di Bali

Lokasi Pelatihan. Di sebuah hall di hotel.

Page 127: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

peluang bagi para pengrajin untuk berhimpundalam mendapatkan VLK.

Dalam kasus APIK, para pengrajin lebihmudah berhimpun, salah satunya karenamereka tinggal di kawasan yang relatif dipedesaaan (rural) ketimbang kawan-kawanmereka yang berdada di sekitar Denpasar(urban). Sebagai bagian masyarakat rural, parapengrajin angota APIK di Buleleng masihmewarisi ikatan sosial dan budaya yang erat.Itu umpamanya dengan masih berlakunya aturan serta kekerabatan adat, yang membuatmereka memiliki rasa kebersamaan dan denganbegitu mereka pun lebih mudah berhimpun.

Pelatihan di Denpasar merupakan akhir darirangkaian pelatihan serupa di lima kota lainyadi Yogyakarta, Surakatra, Jepara, Semarang,dan Surabaya, sejak 12 April 2012. Di selaberbagai sesi perlatihan di Denpasar, ber -langsung pula pertemuan kecil antara MFPdan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asmindo.Dari MFP tampak Diah Raharjo (DirekturProgram MFP), Agus P Djailani (Tehnical Assistance untuk Small and MediumEnterprise), dan Irfan Bakhtiar (Forest PolicyFacilitator). Dari DPP Asmindo tampakAmbar Tjahyono (Ketua Umum) dan Ketut

Alit Wisnawa yang khusus menangani sertifikasi bagi anggotanya.

Dalam pertemuan tersebut, Alit meluruskanpemberitaan di media massa sebelumnya yangmenyebutkan bahwa Asmindo terkesan meno-lak SVLK. Yang benar, kata Alit, Asmindomelihat ada beberapa syarat SVLK yang mem-beratkan industri mebel, terutama indusriberskala kecil. Namun ia optimistis, dalamwaktu yang masih tersisa ke depan ada ruanguntuk mensosialisasikan beberapa syarat ter sebut melalui berbagai pertemuan, baik dengan MFP maupun dengan parapihak laindi kalangan Pemerintah— Kementerian Ke-hutanan, Kementerian Keuangan, Kemente -rian Pertanian, Kementerian Perindustrian,Kementerian Perdagangan, KementerianDalam Negeri, serta Kementerian Luar Negeri.

Mereka sepakat untuk melanjutkan kerjasamamendorong SVLK bagi para angota Asmindo.Mereka mengakui masih banyak tantanganuntuk mewujudkan SVLK di kalangananggota Asmindo. Salah satu langkah palingdekat adalah pertemuan lanjutan antara keduapihak sekitar akhir Mei 2012 ini. l

127

Pelatihan di Kelas. Suasana prosespelatihan di hari pertama.

Pelatihan SVLK bersama MFP

Page 128: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Ujung dari segala upaya pelatihan SVLKbagi industri anggota Asmindo adalah

munculnya komitmen dari insdustri untukber-VLK. Dan ada beberapa langkah—menge nal SVLK, memahami SVLK, danpengambilan keputusan— yang harus dilaluipemilik usaha untuk mencapai komitmen.

Urutan langkah ke arah komitmen ber-VLKtersebut tercermin dari pelaksanaan pelatihanselama tiga hari. Di hari pertama para pesertamenjalani pelatihan di dalam kelas, denganmendapatkan penjelasan dari berbagai sudutpandang tentang SVLK oleh sejumlah pelatihdan narasumber.

Di hari kedua, peserta mendapat tugas mengisiformulir berisi pertanyaan atau parameteruntuk mengukur keadaan administrasi dan legalitas usaha tempat mereka bekerja. Hasilisian tersebut akan tampak kesenjangan sebe rapa dekat atau seberapa jauh antarakeadaan nyata pada perusahaan dengan normayang disyaratkan SVLK. Karena itu pula materi pelajaran pada hari kedua pelatihan inidisebut dengan gap assessment.

Sampai pada tahap gap assessment sudah akantampak seberapa siap atau sebarapa serius peserta atau pemilik perusahaan untuk ber-VLK. Contoh paling kentara adalah ketikapelatih atau pendamping mendatangi industridan mengecek formulir tersebut. Ternyatadalam pelatihan di Bali, ada sejumlah pesertadan pelaku usaha yang membiarkan formuliritu kosong. Dan apakah peserta atau pelakuberniat sungguh-sungguh dengan upaya untukber-VLK makin jelas pada sesi pendampingandan rekomendasi (coaching clinic) di hariketiga.

Sikap peserta atau pemilik usaha yang ragu-ragu atau tegas-tegas menolak SVLK bisa jadididasari oleh pemikiran bahwa SVLK rumitdan mahal. Bagi pelaku usaha, biaya SVLK dipandang sebagai ongkos. Lebih-lebih SVLK

tak serta-merta membuat produk mendapat -kan harga yang lebih menguntungkan. Sebagaipelaku usaha, keuntungan masih merupakantujuan utama.

Masih sedikit pelaku usaha melihat sertifikasi,termasuk SVLK, sebagai investasi. Dengan sertifikasi, pelaku usaha, terutama yang ber-orientasi ke pasar luar negeri atau ke mana punyang konsumennya menuntut legalitas pro-duk, bisa mendapatkan peluang mengisi cerukpasar yang khusus. Ceruk ini sempit karena taksembarang pedagang, kecuali yang mengan-tongi sertifikasi pada produknya, bisa masukke dalamnya.

Agus Setyarso menyebut ceruk sempit bagiproduk bersertifikat legal ini sebagai pasarniche. Dan karena belum tentu banyak pemainyang sanggup masuk ke ceruk sempit itu,pelaku usaha yang produknya bersertifikatberkesempatan mengeksplorasinya lebihdalam. Harga produk di situ bisa jadi tak begitu heboh, sekalipun juga tak berarti jatuh.Namun dengan keadaan sedikitnya kompe -titor yang bermain di situ, pasar ini ibarat bisamemberikan perlakuan khusus bagi produk-produk bersertifikat legal. Dalam istilah AgusSetyarso, pasar seperti ini mendapat sebutansebagai pasar premium. Dan pada gilirannya,pasar premium yang berkembang bukan takmungkin akan ikut menambah volume bisnispelaku usaha, yang juga berarti datangnya keuntungan.

Hanya saja, pemahaman seperti itu belumdimiliki banyak pelaku usaha, walaupun telahmengikuti pelatihan SVLK, umpamanya.Hanya pelaku usaha yang punya komitmen diakhir pelatihan yang kemungkinan sanggupmencapai pemikiran seperti itu. Bahkankomitmen pun juga masih harus didukungdengan konsistensi. Dalam pelaksanaan pela -tih an, komitmen dan konsistensi tercerminpada sesi rencana tindak lanjut (RTL).

Pelatihan SVLK bersama MFP

128

Agus Setyarso

Agus Setyarso. Sebagai narasumber, iajuga aktif mendampingi pelatih.

Page 129: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Tapi SVLK memang tak datang begitu saja.Pelaku usaha harus melakukan upaya men -dapatkannya. Pelaku usaha, umpama nya, sulitmendapatkan SVLK tanpa membenahi administrasi perusahaan dan meningkatkankapasitas sumberdaya manusia nya. Tapi justrugambaran seperti itulah yang tampak dari tigahari pelatihan di Bali. Itu belum memasukkanbeberapa ilustrasi lain yang mencerminkankondisi dan sikap riil di kalangan pelaku usahadi Bali terhadap SVLK. Dengan kata lain,masih sedikit pelaku usaha yang memilikikeinginan tegas untuk ber-VLK, tampak dariminimnya persyaratan yang mereka penuhiuntuk berkomitmen dan konsisten men-do rong rencana tindak lanjut mereka sendiri.

Tapi menurut Agus Setyarso, gejala tersebuttak terlalu mengagetkan. Pasalnya, Asmindosendiri, sebagai induk organisasi yangmewadahi para pelaku usaha, juga perlu memiliki rencana tindak lanjut berkaitandengan SVLK setelah pelatihan ini. l

129

Pejabat Pemerintah. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bali, IGNWiranatha

Dengan sertikasi, pelaku usaha, terutama yang berorientasike pasar luar negeri atau ke mana pun yang konsumennya menuntut legalitas produk, bisa mendapatkan peluangmengisi ceruk pasar yang khusus.

Page 130: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Ini pertama kali Ketua DPP Asmindo, AmbarTjahyono, datang ke pelatihan. Ia datang ke

Denpasar pada saat pelatihan memasuki hariketiga atau terakhir. Sebelum masuk ruanganpelatihan untuk sesi penutupan, Ambar Tjahyono mengadakan pertemuan kecildengan tiga personel MFP— Diah Raharjo,Agus P Djailani, dan Irfan Bakhtiar— di ruangtersendiri. Pada kesempatan itu, Ambar Tjahyono ditemani koleganya, Ketut AlitWisnawa, pengurus DPP Asmindo untukgugus tugas SVLK.

Agus P Djailani membuka forum kecil dan informal tersebut dengan laporan bahwapelatihan di enam kota telah berakhir. Pelatih -an, kerjasama antara Asmindo dengan MFPyang tadinya sempat menghadapi kesulitan,akhirnya terwujud. Namun ada harapanbahwa pelatihan tersebut bukan akhir dariupaya parapihak untuk mendorong pelak-sanaan SVLK di kalangan industri, terutamayang berskala kecil hingga menengah. Harapanyang sama juga disampaikan mereka yanghadir dalam pertemuan tersebut.

Hanya saja DPP Asmindo, seperti disuarakanAmbar Tjahyono, menambahkan dunia usahadewasa ini sedang dibuat mumet oleh upayamemburu pembeli. Dan itu masih ditimpadengan peraturan Pemerintah berupa kewa-jiban untuk mengadopsi SVLK. Padahal,menurut Ambar Tjahyono, banyak petugas pemerintah secara pribadi belum paham benartentang SVK. Ia juga melihat SVLK salah alamat. Ia melihat Pemerintah memunculkanperaturan tentang wajib SVLK bagi pelakuusaha berbasis kayu karena Pemerintah salahdalam mengurus hutan.

Dengan begitu, harusnya sertifikasi, termasukSVLK lebih pas dijalankan di sektor hulu industri kayu, yakni sekitar hutan dan tata-niaga kayu. Itu mengapa, kata Ambar Tjah -yono, tadinya sertifikasi diarahkan hanyauntuk garden furniture, tapi kemudian melebar

kesemua produk berbasis kayu. Ia melihatserti fikasi sebagai ajang bagi lembaga sertifikasiuntuk memperluas lahan bisnis. Dari yangtadinya hanya di sektor hulu, jadi merambahindustri yang populasinya jelas jauh lebihbanyak dan merupakan sumber profit.

Ia mengakui, SVLK bermaksud baik. Tapi jikadipaksakan dengan segala syarat seperti yangada pada saat itu, SVLK justru menjadi kontraproduktif karena menghambat ekspor. Itu ter-jadi karena rantai birokrasi SVLK ia pandangterlalu panjang, lebih panjang dari sertifikasilain yang sudah ada. Rantai panjang birokrasiinilah yang menurut Ambar Tjahyono mem-buat SVLK menambah beban biaya hingga20% dari seluruh ongkos produksi bagi indus-tri. Dengan demikian, pelaku usaha merasaperlu menaikkan harga produknya hingga20% pula untuk menutup biaya. Masalahnya,konsumen belum tentu mau begitu sajamenerima kenaikan 20% tersebut.

Itu menurut Ambar Tjahyono yang membuatpelaku usaha, terutama kecil menengah, kebe -ratan menerima SVLK. Dan sikap seperti itupula yang kata Ambar Tjahtono seketika di-tunjukkan Asmindo. Sekalipun begitu iamenambahkan bahwa Asmindo mendukungpelaksanaan SVLK sebagai produk kebijakanPemerintah. Ia hanya ingin agar SVLK meng -akomodasi kepentingan pelaku usaha, yakniSVLK yang mudah dan murah. Dan menurut-nya, dukungan Asmindo terhadap pelaksanaanSVLK adalah dengan membuat murah biayasertifikasi.

Sertifikasi bisa murah, salah satunya, jika Asmindo punya lembaga sertifikasi sendiri, dantak lagi menggunakan jasa lembaga sertifikasiindependen. Jalan lain yang hendak ditempuhAsmindo adalah mempererat kerjasama dengan kepala-kepala pemerintah daerah(Pemda) agar mempermudah izin dan mem-persingkat rantai birokrasi. Dan yang pasti, Asmindo akan meningkatkan intensitas

Pelatihan SVLK bersama MFP

130

Ambar Tjahyono (Ketua DPP Asmindo)

Ambar Tjahyono. Ketua Umum DPP Asmindo hadir di pelatihan terakhir.

Page 131: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

hubungannya dengan kementerian Kehutanandan beberapa pihak lain. Ia melihat ada banyakmasalah dalam SVLK, dan itu membuat parapihak memiliki pemahaman yangberbeda-beda.

Berkaitan dengan peran MFP sebagai salahsatu dari parapihak yang ikut menginisiasi danmengawal SVLK, Ambar Tjahyono berharapagar dukungan MFP akan terus berlanjut.Pelatihan SVLK bagi industri kecil menengahseperti yang baru saja usai pada saat itu hanyasalah satu bentuk dukungan MFP. Ia menye-butkan bahwa pelatihan tersebut hanya bisa dibilang berhasil jika dapat mendoronglolosnya sejumlah industri dalam mendapat -kan SVLK.

Jika Pemerintah memaksakan SVLK sebagaiperaturan wajib dengan berbagai syarat yangada pada saat itu, upaya tersebut akan patah ditengah jalan. Menurutnya pelaksanaan SVLKtak semudah mengucapkannya. Itu termasuktentang gagasan sertifikasi kelompok agarongkos yang dikeluarkan pelaku usaha menjadilebih terjangkau karena ditanggung bersama diantara seluruh anggota kelompok. Gagasantentang sertifikasi kelompok ini sempat men-jadi perbincangan hangat di kalangan peserta,pelatih, dan narasumber dalam pelatihan sebelumnya di Surakarta dan Jepara. l

131

Biaya SVLK. Salah satu perhatian parapeserta adalah soal biaya SVLK.

Seperti disuarakan Ambar Tjahyono, dunia usaha dewasa inisedang dibuat mumet oleh upaya memburu pembeli. Dan itumasih ditimpa dengan peraturan Pemerintah berupa kewajiban untuk mengadopsi SVLK.

Page 132: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

SVLKmerupakan kebijakan Peme -rintah RI yang diinisiasi dan

didorong oleh parapihak, termasuk MFP. Lembaga ini ikut memfasilitasi perumusanSVLK, atas dasar amanah kerjasama antara Pemerintah RI dengan Inggris. Sekalipun disitu terdapat terdapat kerjasama dengan luarnegeri, SVLK murni produk kebijakan Peme -rintah RI sendiri, yang ikut didorong olehbanyak pihak.

Salah satu bukti bahwa SVLK adalah produkBangsa Indonesia sendiri, bukan titipan asing,adalah perjalanan penyusunan SVLK yangmelibatkan berbagai pihak di Tanah Air selama10 tahun. SVLK berangkat dari kondisi ketikaBangsa Indonesia dipandang masyarakat inter-nasional sebagai masyarakat pencuri dan perusak lingkunan, terutama hutan. Merekamencap Bangsa Indonesia tak sanggupmelakukan perubahan dan memperbaiki tata-kelola.

SVLK digulirkan sebagai cara untuk memper-baiki martabat Bangsa Indonesia di matamasyarakat intenasional. SVLK adalah sebuahterobosan. Memang ada pendapat bahwaSVLK lebih tepat mengurusi sektor hulu industri berbasis kayu, dan tak perlu masukranah hilir (produksi dan pasar). Namun DiahRaharjo mengingatkan bahwa SVLK adalah

sebuah sistem yang tak hanya menjadi domainsalah satu bidang saja, melainkan bersifat holistik.

SVLK perlu diarahkan pula ke pelaku pasarkarena di situ terdapat pembeli yang ternyatamenikmati produk-produk tak bersertifikasilegal. Bukan itu saja, kondisi pasar yang takmemperhatikan legalitas produk ternyata jugamenguntungkan negara lain di luar Indonesia.Ketimpangan ini bisa dihilangkan jika semuapasar internasional mengadopsi legalitas atassemua produk yang beredar.

Dalam catatan MFP, mengawal SVLK bukanpekerjaan ringan. MFP harus sering ber -hadapan dengan para birokrat yang belumpaham benar semangat SVLK. Idealnya, parapengambil keputusan dan pembuat kebijakandi Pemerintah harus paham tentang kebijakanyang dibuatnya. Itu mulai ke arah mana kebi-jakan tersebut dan apa manfaatnya. Yang jaditantangan, pergantian posisi birokrasi di Indonesia berlangsung dalam periode yangsangat singkat. Rata-rata seorang pejabat hanyamenempasti posisinya kurang dari tiga tahun.Kebijakan menteri pun berpeluang selaluberubah setiap terjadi perubahan di posisipembantu presiden itu. Ringkasnya, perjalananMFP mengawal SVLK senantiasa menghadapitantangan dari luar dan dari dalam. l

Pelatihan SVLK bersama MFP

Diah Raharjo, Program Director MFP

Diah Raharjo. SVLK adalah produkBangsa Indonesia sendiri.

132

Page 133: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Selama tiga hari pelatihan, antara pelatih atau pendamping terjalin komuni kasi yang cukupcair. Ini berkat pertemuan yang intensif sepanjang hari di hari pertama, ditambah dengan

kunjungan langsung oleh pelatih ke industri tempat para peserta latihan biasa bekerja.

Dalam pelatihan di beberapa kota sebelumnya, pelatih membagikan formulir isian analisis kesenjangan langsung kepada peserta pelatihan. Namun di Bali, pelatih mengkonfirmasipembagian formulir melalui E-mail. Beberapa peserta menerima begitu saja E-mail pelatih. Tapiada juga seorang peserta pelatihan dari perusahaan Bali Prefab yang membalas E-mail yang dikirimkan Panji Anom, seorang pelatih.

Berikut adalah komunikasi antara keduanya:

Kepada Ibu-ibu dan Bapak-bapak peserta pelatihan SVLK Industri di Sanur Beach Hotel Bali,

Berikut kami sampaikan formulir sebagai penuntun bagi industri menuju SVLK. Kami harapkanagar setelah mengisi kondisi yang ada di perusahaan, dengan norma dalam formulir, Ibu-ibu danBapak-bapak mengirimkan ke pelatih masing-masing. Terimakasih

SalamPanji Anom.

Kepada:Bapak Panji Anom dan kawan-kawan pelatih,

Terima kasih atas informasi yang telah Bapak dan tim pelatih berikan kepada kami selaku pengusaha IKM di Bali. Banyak hal yang dapat kami terima dari hasil pelatihan SVLK ter sebut.Namun ada beberapa kendala yang dapat saya ungkapkan yang mungkin beberapa dari kita bisamembantu memecahkannya.

Produk SVLK ini merupakan suatu jawaban dari Indonesia mengenai tekanan dari luar negeriterhadap hal-hal yang bersinggungan dengan kayu, industri kayu dan hasil olahannya. Pemerintahdan beberapa elemen masyarakat berupaya untuk membuat suatu sistem agar produk hasil kayuolahan dari Indonesia bisa mendapatkan sertifikasi yang diakui oleh pihak luar.

Kami menyambut baik langkah positif yang sudah diambil. Namun industri di Bali yang kebanyakan adalah industri kecil dan menengah menemukan beberapa kendala seperti perizinan,syarat-syarat teknis yang diperlukan untuk mendapatkan SVLK. Dan yang juga krusial adalahdari pendanaan yang tak sedikit (sekitar Rp 70 juta untuk tiga tahun, yang di tahun berikutnyaharus di perpanjang lagi dengan dana yang juga cukup besar).

Mengingat ke depan IKM akan mengalami persaingan yang lebih sengit lagi dari luar negeriseperti China, ailand, Malaysia dan Vietnam, sedangkan kondisi ekonomi Amerika dan Eropayang masih belum pulih, malah cenderung memburuk, akan mengakibatkan semakin tidakpastinya pasar tersebut melakukan transaksi bisnis dengan Indonesia.

Pelatihan SVLK bersama MFP

133

Interaksi Pelatih-PesertaPelatihan

Pengrajin Perempuan. Sebuah industri kerajinan mempekerjakanperempuan pengrajin.

Page 134: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Di tengah lesunya penjualan ekspor kami ke negara tersebut, ditambah makin ketatnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh industri perkayuan untuk mendapatkan “legalitas”, maka sayarasa industri perkayuan di Indonesia, terutama di Bali akan mengalami semakin banyak “rintang -an” dan pasti menyebabkan penurunan ekspor, mengurangi produksi, bahkan jika berkelanjutandan semakin parah bisa menyebabkan PHK. Dan itu sudah terbukti, dengan banyaknya pabrikyang tutup karena krisis ini, juga karena beberapa masalah lain.

Menurut saya, perlu dukungan penuh dari Pemerintah dan mungkin dari MFP untuk bisamemberikan subsidi untuk membiayai kepada perusahaan-perusahaan di Bali yang mempunyairespons positif dan serius untuk bisa mendapatkan SVLK ini.

Gubernur Bali mencanangkan Bali sebagai Clean and Green Province. Jadi mungkin Ibu-ibu danBapak-bapak yang mempunyai akses ke pemerintahan bisa menyalurkan aspirasi tersebut untukbisa membantu industri perkayuan di Bali untuk mendapatkan SVLK. Sehingga, kebijakan Pemerintah tersebut bisa terealisasi di lapangan, bukan hanya sebagai wacana.

Beberapa perusahaan yang ingin mendapatkan SVLK ini akan sangat terbantukan jika adadukung an dari pihak-pihak yang berkomitmen untuk mengadakan SVLK untuk industriperkayuan di Bali. Syarat-syarat dan perizinan yang belum lengkap akan kami lengkapi untukpengajuan SVLK ini.

Demikian informasi yang dapat saya sampaikan, semoga ada respon positif dari Ibu-ibu danBapak-bapak. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya

Salam hormat

Dani Yuliadi, ST.PT Bali PrefabJl. Pemelisan (Ke Sakenan) No.8xBy Pass Ngurah Rai, SuwungDenpasar-Bali-Indonesia 80224

Pelatihan SVLK bersama MFP

134

Penutupan Pelatihan. Memasuki hariketiga, pelatihan SVLK berakhir.

Page 135: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Catatan dan Gap Analisis PT WKPI

Perusahaan ini bergerak dibanyak bidang baikproduksi maupun jasa. Itu antara lain inter -national wooden house project manufacture,wood working industry, kiln and dry service,SPM, international fumigation service (AQISstandard), endorsement (BRIK) ekspor, importir, PPJK. Pada saat itu kegiatan produksiyang dilakukan di dalam industrinya adalahmembuat palet atau boks kemasan. Sedangkanuntuk furnitur dan rumah kayu di sub- kontrakan.

Perusahaan ini memiliki sejumlah dokumen legalitas, antara lain berupa akte perusahaan,TDP, SIUP, IUI ada tiga (furnitur, wood work-ing termasuk pallet, industri kerajinan selainkayu), NPWP, HO, ETPIK. Semua izin ter sebut legalitasnya masih berlaku. Sedangkanuntuk legalitas subkon, belum dilakukanpengecekan oleh PT Wisnu Karya Putra International.

Perusahaan ini memiliki subkon untuk penger-jaan furnitur, yang terletak di pinggir jalanbesar di tengah-tengah pemukiman. Modelpabrik tertutup di dalam gedung. Tata-letak perusahaan tak jelas, mana yang untukpenumpukan bahan baku, pembahanan, pera -kitan, finishing dan pengemasan. Kesannya kurang tertata. Segregasi dan separasi produktak jelas. Sehingga sulit dibedakan antara pro-duk yang dipesan oleh PT WKPI dengan pro-duk lain yang dijual sendiri, demikian pulabahan bakunya masih campur.

PT WKPI juga memiliki subkon untukmengerjakan rumah kayu. Kondisi perusahaanlebih tertata daripada subkon furnitur. Namuntetap saja segregasi dan sparasi produk juga takjelas, sehingga rawan sekali terjadi prosesperselingkuhan kayu.

Rencana penataan perusahaan

PT WKPI berencana untuk kegiatan pem -buatan furnitur dan rumah kayu akan dilakukan di industrinya sendiri. Sedangkanpabrik yang membuat furnitur akan dijadikanshow room. Kegiatan ini untuk mengantisipasiketidaklengkapan izin subkon.

Temuan-temuan:1. PT WKPI

- Izin usaha terlalu banyak, belum ada batasan yang mau disertifikasi

- Baru proses penataan pabrik/industri- Belum ada kontrak yang jelas dengan

subkon- Belum ada jalur evakuasi.

2. Subkon furnitur- Legalitas perusahaan belum jelas- Tak ada segregasi dan sparasi produk- Layout perusahaan tak jelas- Tak ada LMK- K3 tidak lengkap.

3. Subkon rumah kayu- Tak ada segregasi dan separasi produk- Legalitas perusahaan belum jelas- Tak ada LMK- K3 tak lengkap.

Pelatihan SVLK bersama MFP

135

Kayu dari Jawa. Bali mendatangkankayu dari luar pulau, terutama Jawa.

Page 136: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Catatan Teguh Yuwono:Ia mendampingi perusahaan Putri Ayu yangmenurut Teguh Yuwono sang pemilik cukupbersemangat dan berkomitmen untukmenyiap kan VLK. Sedangkan Kambuna Jayadan Bali Timber, yang juga didampingi TeguhYuwono, secara umum tak ditemukan doku-men-dokumen untuk penyiapan VLK, kecualisebagian dokumen legalitas atau perizinan perusahaan. Untuk pendokumentasian bahanbaku, dokumentasi PUHH, dan dokumentasiproses produksi sangat kurang. Sehingga harusdilakukan pembenahan total.

Dalam catatannya, CV Kambuna Jaya,merupa kan industri lanjutan. Ia meng gunakanbahan baku berupa kayu olahan (sawn timber)dari jenis jati, ulin, dan meranti yang berasaldari pedagang kayu. Produk utama CV kambuna Jaya adalah interior dan furnitur.

Berdasarkan hasil verifikasi dokumen danpengecekan fisik di lapangan serta diskusi dengan si pemilik CV Kambuna Jaya,perusahaan ini baru memiliki sebagian per - izinan atau legalitas perusahaan. Ia juga belummemiliki sistem pendokumentasian yang rapidan sistematis, baik menyangkut dokumenpembelian bahan baku, dokumentasi prosesproduksi, maupun dokumen PUHH.

Perusahaan ini, dalam proses produksi, belumdilakukan pencatatan/ dokumentasi. Pihakmanajemen menyatakan memiliki komitmentinggi untuk segera membenahi dokumentasiCV Kambuna Jaya dan Bali Timber menujusertifikasi VLK. l

136

Pelatihan SVLK bersama MFP

Teguh Yuwono. Menggali informasitentang situasi industri.

Page 137: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

137

Sanggar APIK. Tempat para pengrajin Buleleng berhimpun

Manuver Cantik Pengrajin APIK

Tak semua yang kecil rapuh. Para pengrajin menengah ke bawah di

Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali,membuktikan itu. Sekalipun tergolongteri, para pengrajin ini mampu mengubah wujudnya dan menjadiperkasa. Bisa menjadi demikian karenapara pengrajin kecil-kecil ini berhimpundalam satu wadah— Asosiasi PengrajinIndustri Kecil (APIK). Dalam kaitannyadengan SVLK, APIK menjadikan agendauntuk memperoleh sertifikasi SVLK sebagai misi paling penting mereka padapertengahan 2012.

Lokasi mereka di pesisir utara Bali, jauhdari Denpasar, ikut memberikan manfaatbagi APIK. Berada di daerah “pinggiran”memung kinkan masyarakat hidup dalampertalian kekerabatan erat dan adat yangmasih kuat. Hubungan antarmanusiamasih intens, sehingga memudahkanpara pengrajin menyamakan suara dibawah asosiasi. Kini APIK dipimpin sangketua Gusti Putu Armada yang didampingi sekretaris Wayan Jelada,

APIK berdiri pada 2006. Ia terbangun atas dasar kesadaran dan keinginan para pengrajin kecil untuk bersama-sama memperjuangkan tingkat kesejahteraan ekonomikeluarga. Kini APIK masih dalam proses penilaian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)baik untuk Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) maupun untuk verifikasi Lega -li tas Kayu (LK) di industrinya. Untuk memburu sertifikasi, APIK bekerjasama denganYayasan Wisnu dan mendapat fasilitasi intensif dari MFP.

Keanggotaan APIK terdiri dari kelompok usaha kecil menengah (UKM). Sebagai sebuahasosiasi, APIK beberapa divisi usaha. Itu mulai dari koperasi serba saha (KSU), businessdeve lopment service (BDS), Perdagangan dan penggergajian kayu termasuk unit kelolahutan rakyat, yang dilengkapi akte pendirian KSU dengan nomor: 27/BH/Dis-perindagkop/III/ 2006, 28 Maret 2006.

Jumlah anggota yang tergabung dalam APIK Buleleng adalah 300 orang yang terdiridari 200 anggota hutan rakyat dan 100 anggota industri kecil. Kapasitas produksi APIKmencapai 2.000 m3 kayu per tahun. Sumber bahan baku kayu berasal dari anggotapetani hutan hak yang tergabung dalam APIK. Luas wilayah yang sedang dalam prosessertifikasi adalah 250 Ha dengan potensi perluasan 500 hektare. Tujuan pemasaranproduk APIK adalah pasar lokal dan luar negeri. l

Page 138: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Banyak temuan oleh para pelatih atau pendamping selama memberikan pelatihandan pendampingan SVLK di kalangan industri. Itu terhitung sejak pelatihan diYogyakarta, Surakarta, Semarang,Surabaya, dan Denpasar.

Rangkuman Temuandalam PelatihanSVLK di Enam Kota

Page 139: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pemilahan kayu olahan yang siap diproses menjadi produk pada sebuah industri.

Bab

Page 140: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

da banyak sekali temuan oleh para pelatih atau pendamping selama memberikan pelatihan danpendampingan SVLK di kalangan industri. Itu terhitung sejak pelatihan di Yogyakarta, Surakarta,Semarang, Surabaya, dan Denpasar. Semua temuan cukup menarik karena menyiratkan kondisiyang terjadi di kalangan industri di enam kota tersebut.

Seluruh pelatih menyusun laporan sesuai dengan temuan pada tiap industri yang merekadampingi. Dari para pelatih, ada dua di antaranya— Een Nuraeni dan Teguh Yuwono— yangmencoba merangkum berbagai temuan tersebut dalam format yang mudah dipahami pembacaumum. Berikut adalah rangkuman kedua pelatih tersebut:

Pelatihan SVLK bersama MFP

140

A

Rankuman Temuan Een Nuraeni

Temuan Een Nuraeni diambil dari pelatihan di empat lokasi pelatihan, antara lain Yogyakarta,Surakarta, Jawa Timur, dan Bali. Ia sempat tak mengikuti pelatihan di dua lokasi pelatihan lain,yakni di Jepara dan Semarang.

Dokumen Legalitas Perusahaan (PerizinanPerusahaan)

Dokumen Legalitas Kayu

Untuk anggota Asmindo dari kalangan industri menengah ke atas tak telalu menjadi masalah. Hampir

seluruhnya memenuhi kelengkapan perizinan yang disyaratkan. Namun ada sedikit masalah mengenai

alamat industri dan jenis kegiatan usaha yang belum ter-update, alamat dan jenis kegiatan usaha tak

sesuai antara praktek dan penjelasan yang tertera di surat perizinan.

Yang harus menjadi perhatian Asmindo adalah bahwa para pengrajin kecil/industri rumah tangga yang

selama ini banyak dilibatkan menjadi bagian/simpul proses produksi industri anggota Asmindo atau

biasa di sebut sub-kontraktor (outsourcing), kebanyakan belum memiliki kelengkapan perizinan yang

merupakan syarat wajib, walau itu sekadar izin usaha perorangan yang merupakan izin level terendah

yaitu berbentuk usaha dagang (UD) yang tak berbentuk badan hukum.

Di antara lokasi coaching, Jawa Timur yang kelihatan lebih rapi dan lengkap dalam hal dokumen legalitas

kayu. Kebanyakan dari anggota Asmindo Jawa Timur telah melengkapi setiap penerimaan bahan baku

kayu mereka dengan dokumen legalitas kayu yang sesuai dengan peruntukkannya (FAKB, FAKO).

Bahkan perusahaan yang menjadi sub-kon (outsourcing) pun telah melengkapi setiap pengiriman

barangnya dengan dokumen legalitas kayu yang sesuai peruntukkannya. Mungkin ini karena

kebanyakan anggota Asmindo Jawa Timur merupakan industri menengah dan besar.

Lain halnya untuk lokasi coaching di Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Di situ masih ditemukan industri

anggota Asmindo (termasuk para sub-kon nya) yang belum melengkapi pembelian bahan baku dengan

dokumen legalitas kayu yang sesuai dengan peruntukkannya. Selain karena kurang pemahaman dan

pengetahuan mengenai PUHH, ini bisa dipahami karena anggota Asmindo di tiga lokasi ini masih

banyak yang level nya industri kecil/pengrajin industri rumahtangga. Dan kenyatannya, biaya

pembuatan dokumen legalitas kayu masih menjadi beban yang berat bagi para industri kecil/pengrajin

industri rumahtangga.

Titik Krisis Temuan dan Rekomendasi

Page 141: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

141

Kontrak kerajasama dengan subkon (outsourcing)dan prosedur sub-kon (outsourcing)

Sistem Manajemen Internal Sertifikasi (termasuk SOP, tallysheet, SDM, dll)

K3, Peraturan Perusahaan,KKB dan hak-hak pekerja

Komitmen Perusahaan danKerjasama

Temuan lain adalah belum memahami/mengetahui, apalagi melaksanakan proses pematian dokumen

pada saat sebelum kayu di bongkar di TPK (logyard) perusahaan. Itu termasuk siapa petugas yang

berwenang “mematikan” dokumen. Lagi-lagi ini ditemukan di tiga lokasi (Yogyakarta, Surakarta, Bali).

Di delapan industri dari empat lokasi (Yogyakarta, Surakarta, Jawa Timur, dan Bali), saya tak menemukan

satu pun perusahaan anggota Asmindo yang memiliki kontrak kerjasama dengan subkon (outsourcing).

Itu termasuk prosedur (SOP) sertifikasi yang harus diikuti oleh subkon (outsourcing) seperti segregasi dan

perizinan.

Sebuah perusahaan menengah/besar belum menjamin sistem manajemen internalnya sudah memadai

untuk menuju sertifikasi kayu. Fakta yang ia temukan di empat lokasi (Yogyakarta, Surakarta, Surabaya,

Bali), hanya sedikit perusahaan yang sudah memiliki sistem manajemen internal yang memadai untuk

menuju sertifikasi kayu, biasanya mereka yang sudah mendapatkan sertifikasi voluntary FSC, sudah lebih

baik dalam kualitas manajemennya.

Beberapa memang sudah menerapkan pencatatan (tally sheet) mutasi kayu sederhana dalam proses

produksinya. Namun pencatatan tersebut belum dibarengi dengan sebuah sistem lacak-balaknya (CoC).

Sehingga bila ingin melakukan penelusuran asal-usul kayu tak akan terlacak.

Kapasitas sumberdaya manusia di sini dalam hal kapasitas pemahaman dan pengetahuan mengenai

sertifikasi kayu (persyaratan dan manajemen ) dan ketersediaan kuantitasnya. Kondisi ini terjadi tak

hanya di industri kecil atau pengrajin, tapi juga di perusahaan menengah hingga besar anggota

Asmindo di hampir seluruh lokasi.

Prinsip 4 – VLK ini menjadi salah satu beban berat bagi seluruh perusahaan apalagi industri kecil atau

pengrajin. Ini tak hanya dirasakan oleh anggota Asmindo. Hampir seluruh perusahaan di Indonesia

banyak yang belum mengikuti peraturan mengenai K3 dan hak-hak pekerja.

Di delapan perusahaan pada empat lokasi pelatihan (Yogyakarta, Surakarta, Jawa Timur, dan Bali) hanya

satu yang memiliki peraturan perusahaan yang update. Yang lainnya ada beberapa yang sudah

membuat tapi tidak update.

Untuk K3, hampir di seluruh lokasi pelatihan belum satu pun yang secara lengkap memenuhi dan

mengimplementasikan K3. Peralatan umum yang seringkali ada hanya hydrant. Itu pun banyak yang tak

berfungsi lagi dan tak disiapkan di tempat yang tepat.

Dalam dunia sertifikasi kayu, konsistensi perusahaan untuk menjalankan semua persyaratan sertifikasi

merupakan hal yang penting untuk dijaga. Konsistensi bisa berawal dari komitmen pimpinan

manajemen perusahaan. Komitmen sangat penting dan harus ada sebelum perusahaan tersebut ingin

melaksanaakn sertifikasi kayu. Komitmen yang tinggi para pimpinan manajemen perusahaan untuk

melakukan perbaikan dan melengkapi semua persyaratan yang diminta oleh sertifikasi, dapat memun -

culkan semangat bagi tim pelaksana di perusahaan. Bila semangat kerja tim sudah terbentuk, konsis-

tensi menjalankan manajemen sertifikasi akan dapat dilakukan.

Di delapan industri dari empat lokasi (Yogyakarta, Surakarta, Jawa Timur, dan Bali), Een Nuraeni melihat

komitmen belum kuat di Yogyakarta dan Bali.

Titik Krisis Temuan dan Rekomendasi

Page 142: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

142

Rankuman Temuan Teguh Yuwono 1. Dokumen Legalitas/Perizinan Perusahaan

a. Untuk industri menengah hingabesar, hampir seluruhnya sudah memenuhi sebagian kelengkap an perizinan yang di syaratkan. Hanya saja perlu ada beberapa perbaikan dan pem benahan atas ketidaksesuaian antara TDP, SIUP, TDI/IUI). Misalnya, alamat industri dan jenis kegiatan usaha yang belum ter-update, alamat dan jenis kegiatan usaha tak sesuai antara praktek dan penjelasan yang tertera di surat perizinan; ataupun izin sudah kedaluwarsa.

b. Para pengrajin kecil atau industri rumah tangga, (umumnya sebagai sub-kontraktor) banyak yang belum memiliki kelengkapan perizinan yang disyaratkan.

c. Industri terpadu umumnya belum memiliki izin IUI Primer.

2. Dokumen Legalitas Kayua. Pendokumentasian dokumen PUHH di anggota Asmindo Jawa Timur cukup rapi dan

lengkap. Kebanyakan dari anggota Asmindo Jawa Timur telah melengkapi setiap penerimaan bahan baku kayu mereka dengan dokumen legalitas kayu yang sesuai dengan peruntukkannya (FAKB, FAKO).

b. Di lokasi lain masih ditemukan industri anggota Asmindo (termasuk para subkon) yang belum melengkapi pembelian bahan baku nya dengan dokumen legalitas kayu yang sesuai dengan peruntukkannya.

3. Kontrak Kerajasama dengan Sub-kon (outsourcing)a. Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor. b. Belum ada segrergasi dan separasi dalam pengerjaan proses produksi di sub-kontraktor.

4. Ketelusuran Kayua. Perusahaan yang sedang menyiapkan/sudah mendapatkan sertifikasi voluntary (CoC,

VLO, TFT) umumnya memiliki sistem manajemen internal yang memadai dalam hal pendokumentasian proses produksi yang snagat penting untuk penyiapan VLK.

b. Perusahaan skala kecil/menengah (apalagi belum menyiapkan menuju TFT, VLO, CoC)umumnya belum menerapkan pendokumentasian proses produksi.

5. Ketenagakerjaan dan K-3a. Untuk perusahaan skala menengah/besar umumnya sudah memiliki aturan

ketenagakerjaan meskipun belum lengkap masih perlu pembenahan/pembaruan/ perbaikan/up dating.

b. Hampir di semua lokasi coaching belum satu pun perusahaan yang secara lengkap memenuhi dan mengimplementasikan K3.

6. Komitmen Perusahaan dan ASMINDODari hasil pengamatan dari empat tempat pelatihan (Jepara, Semarang, Jawa Timur, dan Denpasar), peringkat komitmen perusahaan dan/atau ASMINDO dalam penyiapan anggotanya menuju VLK adalah sebagai berikut:

Page 143: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

143

BaikSedangKurang

Jawa Timur

Semarang, Jepara

Bali

Jawa Timur, Jepara

Semarang

Bali

Tingkat Komitment Peserta Asmindo

• Catatan: Pemeringkatan oleh Teguh Yuwono tak memasukkan Surakarta dan Yogyakarta karenaia tak mengikuti pelatihan di dua lokasi tersebut.

Meski tak mengikuti proses pelatihan di Yogyakarta dan Surakarta, Teguh Yuwono mencobamembuat rangkuman temuan atas dasar laporan yang disusun oleh beberapa pelatih lain.

1. Legalitas perusahaan

2. Kelengkapan dokumen PUHH

3. Ketelusuran kayu4. Kerjasama dengan mitra/

subkon

5. Ketenagakerjaan dan K-3

• Secara umum legalitas perusahaan yang mengikuti pelatihan VLK sudah cukup lengkap, kecuali dokumen lingkungan (UKL/UPL atau SPPL kebanyakan belum memiliki).

• Sebagian perizinan (SIUP / TDP / HO) masa berlakunya sudah kedaluwarsa.• Sebagian dokumen PUHH (SKSKB cap KR) belum dimatikan.• Kayu olahan tak disertai dokumen FA-KO.• Industri belum membuat dokumen LMKB / LMKO sesuai dengan P 55/2006.• Tdak ada informasi.• Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor.• Sumber bahan baku tak disertai dengan dokumen yang sesuai (hanya nota).• Sub kontraktor belum menerapkan sistem administrasi pendokumentasian proses produksi secara

tertib.• Belum dilakukan segregasi dan separasi dalam pengolahan kayu.• Industri belum menerapkan K-3 secara tertib dan lengkap sesuai ketentuan.

Aspek Temuan

A. YOGYAKARTA

1. Legalitas perusahaan

2. Kelengkapan dokumen PUHH

3. Ketelusuran kayu4. Kerjasama dengan mitra/

subkon

5. Ketenagakerjaan dan K-3

• Industri terpadu (yang memiliki //sawmill//) belum memiliki izin IUI primer dan RPBBI.• Secara umum legalitas perusahaan yang mengikuti pelatihan VLK sudah cukup lengkap, kecuali

dokumen lingkungan (UKL/UPL atau SPPL kebanyakan belum memiliki).• Sebagian izin (SIUP / TDP / HO) belum lengkap, dan yang tak sesuai antara izin legalitas atas nama

pribadi, sedang NIK atas nama perusahaan.• Sebagian dokumen PUHH (SKSKB cap KR) belum dimatikan.• Kayu olahan tak disertai dengan dokumen FA-KO namun hanya disertai nota.• Pembelian bahan baku kayu limbah tak ada bukti jual-beli.• Industri belum membuat dokumen LMKB / LMKO sesuai P 55/2006.• Pencatatan proses produksi belum dilakukan dengan baik.• Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor.• Sumber bahan baku tidak disertai dengan dokumen yang sesuai (hanya nota).• Sub-kontraktor belum menerapkan sistem administrasi pendokumentasian proses produksi secara

tertib.• Belum dilakukan segregasi dan separasi dalam pengolahan kayu sehingga memungkinkan ada

ketercampuran antara produk VLK dengan non-VLK.• Industri belum menerapkan K-3 secara tertib dan lengkap sesuai ketentuan.

Aspek Temuan

B. SURAKARTA

Page 144: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

144

C. JEPARA

1. Meskipun kayu yang masuk ke Jepara sudah memiliki dokumen PUHH yang lengkap, karena sebagian besar industri kayu skala kecil (dan industri rumah tangga) umumnya membeli dalam bentuk eceran (beberapa batang), maka sebagian besar pemindahtanganan kayu di Jepara tak disertai dokumen PUHH yang sah sesuai ketentuan.

2. Banyak industri primer (sawmill) dan atau industri terpadu (gabungan primer dengan sekunder) yang tak memiliki IUI-PHHK dan dokumen RPBBI.

3. Ketersediaan petugas P3KB di Jepara sangat terbatas (hanya dua orang) tak seimbang dengan jumlah kayu yang masuk ke Jepara (rata-rata 200 truk per hari).

4. Biaya mematikan dokumen SKSKB, SKSKB cap KR, dan FA-KB cukup mahal.5. Sebagian industri pengolahan kayu di Jepara memiliki subkon dan/atau atau menjadi

subkon dari perusahaan lain di Jepara maupun di luar Jepara (Semarang atau Bali).

1. Legalitas perusahaan

2. Kelengkapan dokumen PUHH

3. Ketelusuran kayu

4. Kerjasama dengan mitra/ subkon

5. Ketenagakerjaan dan K-3

• Untuk perusahaan yang skala menengah hingga besar umumnya sudah memiliki perizinan yang lengkap, kecuali dokumen lingkungan (UKL/UPL atau SPPL ada sebagian industri yang belum memiliki).

• Untuk industri skala kecil (TDI atau IRT) kebanyakan belum memiliki ragam perizinan belum sesuai ketentuan.

• Ada sebagian perizinan yang masa berlakunya sudah kedaluwarsa atau ada ketidaksesuaian antara TDP, SIUP, dengan TDI/IUI. Ini khususnya mengenai jenis produk, kapasitas izin dengan yang riil terjadi.

• Bahan baku yang digunakan industri skala menengah hingga besar umumnya dilengkapi dokumen PUHH.

• Bahan baku kayu yang digunakan oleh industri, (khususnya industri skala kecil) sebagian besar tak disertai dengan dokumen PUHH yang sesuai ketentuan (dokumen FAKB, FAKO, Nota dll).

• Industri belum menyusun LMKB dan LMKO sesuai ketentuan.• Industri skala menengah/besar umumnya sudah menerapkan pencatatan proses produksi. Namun

untuk industri skala kecil atau industry rumah tangga (IRT) belum memiliki pencatatan proses produksi.

• Sub-kontraktor umumnya belum memiliki perizinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.• Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor.• Sub kontraktor belum menerapkan sistem administrasi pendokumentasian proses produksi secara

tertib.• Belum dilakukan segregasi dan separasi dalam pengolahan kayu sehingga dimungkinkan ada

ketercampuran antara produk VLK dengan non-VLK.• Dokumen ketenagakerjaan masih belum lengkap (dokumen serikat pekerja atau kebijakan

perusahaan, peraturan perusahaan dll)• SOP K-3 belum dimiliki, dan implementasi K-3 belum diterapkan secara konsisten.

Aspek Temuan

Page 145: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

145

D. SEMARANG

1. Perusahaan peserta pelatihan VLK umumnya perusahaan menengah hinga besar, dengan aset rata-rata di atas Rp 200 juta.

2. Sebagian perusahaan di Semarang memiliki sub-kontraktor (umumnya di Jepara) yang memproduksi dari bahan baku dan barang setengahjadi, kemudian dikirim ke Semarang dan industri di Semarang sebatas melakukan finishing dan pemasaran serta ekspor.

1. Legalitas perusahaan

2. Kelengkapan dokumen PUHH

3. Ketelusuran kayu

4. Kerjasama dengan mitra/ sub-kon

5. Ketenagakerjaan dan K-3

• Secara umum legalitas perusahaan yang mengikuti pelatihan VLK sudah cukup lengkap, kecuali dokumen lingkungan (UKL/UPL atau SPPL belum memiliki).

• Sebagian dari perizinan masa berlakunya sudah kedaluwarsa.• Ada sebagian perizinan (TDP, SIUP, IUI/TDI) yang belum sesuai, misalnya kapasitas izin, jenis produk,

dll.• Secara umum bahan baku yang digunakan oleh industri skala menengah/besar sudah dilengkapi

dengan dokumen PUHH, namun pada saat kayu olahan diangkut dari sawmill umumnya tidak disertai dengan dokumen FA-KO (karena tidak tahu).

• Untuk industri yang memiliki kerjasama dengan sub kontraktor, umumnya memiliki permasalahan belum tertibnya sub-kontraktor dalam pemenuhan dokumen PUHH (SKSKB, SKSKB cap KR, FA-KB, FA-KO, dll).

• Industri skala menengah/besar umumnya sudah menerapkan sistem pencatatan proses produksi, namun untuk sub kontraktor (umumnya ada di Jepara) belum menerapkan pencatatan proses produksi.

• Sebagian industri di Semarang memiliki sub kontraktor di Jepara.• Sub-kontraktor umumnya belum memiliki perizinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.• Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor.• Sub kontraktor belum menerapkan sistem administrasi pendokumentasian proses produksi secara

tertib.• Belum dilakukan segregasi dan separasi dalam pengolahan kayu sehingga dimungkinkan ada

ketercampuran antara produk VLK dengan non-VLK.• Untuk industri skala menengah/besar sudah memiliki dokumen ketenagakerjaan dan K-3 meskipun

belum lengkap (misalnya dokumen kebijakan perusahaan, peraturan perusahaan/KKB).• Sebagian industri belum memiliki SOP K-3 dan belum sepenuhnya menerapkan K-3.

Aspek Temuan

Page 146: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

146

E. JAWA TIMUR

1. Peserta pelatihan VLK di Surabaya semuanya merupakan industri menengah hingga besar dengan aset di atas Rp 200 juta, dan umumnya proses produksinya dilakukan sendiri di pabrik tersebut. Ada sebagian industri yang menggunakan jasa subkon (misalnya kegiatan bubut, mengukir, maupun menganyam dengan pelepah pisang).

2. Sub kontraktor yang dijadikan mitra industri umumnya berbentuk PT atau CV sehingga sudah memiliki perizinan meskipun ada kemungkinan perlu dilakukan pembenahan.

3. Ada sebagian industri yang merupakan industri terpadu (gabungan industri primer dan lanjutan) dan sebagian lain merupakan industri lanjutan.

4. Bahan baku yang digunakan industri tersebut sebagian merupakan kayu olahan (Perhutani maupun hutan rakyat), sedang sebagian kecil berupa kayu bulat (hutan rakyat, square log) dari pemasok.

5. Sebagai bahan baku pendukung, perusahaan membeli kayu lapis, MDF, particle board, dan veener dari pemasok atau perusahaan lain maupun toko. Umumnya hanya dengan menggunakan nota.

6. ASMINDO Komda Jawa Timur cukup perhatian dalam penyiapan anggota menuju sertifikasi/VLK. Mereka punya lembaga konsultan Asmindo Certification Care (ACC) yang mendampingi anggota untuk maju sertifikasi.

1. Legalitas Perusahaan

2. Kelengkapan dokumen PUHH

3. Ketelusuran kayu

4. Kerjasama dengan mitra/ subkon

5. Ketenagakerjaan dan K-3

• Secara umum legalitas perusahaan yang mengikuti pelatihan VLK sudah cukup lengkap, kecuali dokumen lingkungan (UKL/UPL atau SPPL umumnya belum memiliki).

• Ada sebagian dari perizinan yang masa berlakunya sudah kedaluwarsa.• Secara umum perusahaan dalam membeli bahan baku sudah dilengkapi dengan dokumen PUHH

(FAKO, SKAU, Nota, dll).• Masih ada perusahaan yang belum tertib dalam melakukan pendokumentasian dokumen PUHH

(misalnya PT Yanamuri).• Sebagian besar perusahaan peserta pelatihan VLK sudah melakukan pencatatan dalam proses

produksi secara tertib. Hanya ada sebagian kecil yang belum melakukan proses dokumentasi produksi (misal PT Yanamuri).

• Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor.• Sub-kontraktor umumnya belum memiliki perizinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.• Sub kontraktor belum menerapkan sistem administrasi pendokumentasian proses produksi secara

tertib.• Belum dilakukan segregasi dan separasi dalam pengolahan kayu sehingga memungkinkan ada

ketercampuran antara produk VLK dengan non-VLK.• Untuk industri skala menengah hingga besar sudah memiliki dokumen ketenagakerjaan dan K-3

meskipun belum lengkap (misalnya dokumen kebijakan perusahaan, peraturan perusahaan/KKB).• Sebagian industri belum memiliki SOP K-3 dan belum sepenuhnya menerapkan K-3.

Aspek Temuan

Page 147: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Pelatihan SVLK bersama MFP

147

F. BALI

1. Komitmen peserta pelatihan VLK di Denpasar kurang. Dari 14 industri yang hadir pada pelatihan dari pagi hingga petang, namun di malam hari hanya tersisa 9 perusahaan.

2. Bahan baku yang digunakan industri di Bali umumnya kayu olahan yang berasal dari Jawa (Perhutan dan hutan rakyat), Kalimantan, Sulawesi. Untuk kayu yang berasal dari Bali umumnya berupa kayu bulat (log) (jati, sengon, dll).

3. Selama ini di Bali banyak sawmill (industri primer) yang tak memiliki izin IUIPHHK, sehingga kayu yang diolah dan diangkut di sawmill tak dilengkapi dokumen FA-KO.

4. Di Bali banyak kepala desa yang belum teregister sebagai penerbit SKAU, sehingga ada sebagian industri yang beli kayu dari hutan rakyat namun tidak dilengkapi dokumen SKAU.

5. Sebagian industri di Bali memiliki sub-kontraktor di Jawa (kebanyakan Jawa Timur, dan Jepara). Ada yang finishing dan packaging, namun ada juga yang hanya sebatas trading.

1. Legalitas perusahaan

2. Kelengkapan dokumen PUHH

3. Ketelusuran kayu

4. Kerjasama dengan mitra/ subkon

5. Ketenagakerjaan dan K-3

• Sebagian perusahaan yang mengikuti pelatihan VLK sudah memiliki perizinan yang cukup lengkap, kecuali dokumen lingkungan (UKL/UPL atau SPPL belum memiliki). Sebagian dari perizinan masa berlakunya sudah kedaluwarsa.

• Namun sebagian perusahaan lain belum memiliki perizinan yang lengkap.• Masih banyak ditemukan industri dalam memenuhi bahan baku belum disertai dengan dokumen

PUHH sesuai ketentuan (misal FAKO, SKAU, Nota, dll). • Sebagian besar industri pengolahan kayu di Bali belum menerapkan sistem pendokumentasian

proses produksi.• Belum ada kontrak kerjasama antara industri dengan sub-kontraktor.• Sub kontraktor umumnya belum memiliki perizinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.• Sub kontraktor belum menerapkan sistem administrasi pendokumentasian proses produksi secara

tertib.• Belum dilakukan segregasi dan separasi dalam pengolahan kayu sehingga memungkinkan ada

ketercampuran antara produk VLK dengan non-VLK.• Untuk industri skala menengah/besar sudah memiliki dokumen ketenagakerjaan dan K-3 meskipun

belum lengkap (misalnya dokumen kebijakan perusahaan, peraturan perusahaan/KKB), namun sebagian lain juga belum memiliki.

• Sebagian industri belum memiliki SOP K-3 dan belum sepenuhnya menerapkan K-3.

Aspek Temuan

Page 148: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?
Page 149: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?
Page 150: Sertifikasi Legalitas Produk Kayu, Siapa Berani?

Buku ini merupakan rekaman berbagai peristiwa yang mengiringipelaksanaan pelatihan SVLK bagi industri kecil-menengah anggotaAsmindo. Pelatihan berlangsung di enam kota sentra industrimebel dan kerajinan di Pulau Jawa dan Bali melalui kerjasama MFPdengan DPP Asmindo serta Komda Asmindo di keenam daerah. Ituantara lain Yog yakarta (Asmindo Komda DIY), Surakarta (AsmindoKomda Solo Raya), Jepara (Asmindo Komda Jepara) Semarang (Asmindo Komda Semarang), Surabaya (Asmindo Komda JawaTimur), dan Denpasar (Asmindo Komda Bali).

Pelatihan ini berangkat dari fakta bahwa Sistem Verifikasi LegalitasKayu (SVLK) sudah berada di depan pintu. Kehadiran SVLK mulaiterasa tegas sejak Juni 2009 ketika Peraturan Menteri Kehutanan(Permenhut) Nomor P. 38/2009 dan seperangkat petunjuk pelak-sanaan penerapan SVLK diundangkan. Dari awal, SVLK dibuatsebagai sistem yang mandatory dan dibahas secara maraton olehberbagai pihak terkait. Dan pada 2013 SVLK akan menjelma men-jadi wajib dan mengikat.

Seluruh usaha berbasis kayu wajib mengadopsi SVLK. Beberapaperusahaan besar sudah mulai mengarah ke SVLK. Sedangkan perusahaan berskala kecil-menengah kelihatan terengah-engahdalam upayanya menerapkan SVLK. Baik itu karena soal kapasitasfinansial dan sumberdaya manusia (SDM). Itu menjadi latar belakang kerjasama antara MFP dengan Asmindo untuk menggelarpelatihan ini bagi industri berskala kecil-menengah. Pelatihan inijuga menjadi sarana untuk menmgukur sejauh mana sebenaranyaminat dan kesiapan industri ber-VLK.