Serologi DBD.docx

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat secara global, nasional dan lokal. Lebih dari 2,5 milyar penduduk (lebih dari 40% populasi dunia) berisiko terinfeksi DBD. Saat ini, DBD menjadi penyakit endemik di lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat dan untuk pertama kalinya dilaporkan terjadi kasus DBD di Prancis, Kroasia dan beberapa negara lain di Eropa (WHO, 2012). Di Indonesia, anak-anak merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita DBD, dengan proporsi sekitar 30% (Kemenkes RI, 2012). Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe akan menimbulkan antibody terhadap serotype yang bersangkutan, sedangkan antibody yang terbentuk terhadap serotype laen sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotype laen tersebut. Seseorang yang 1

Transcript of Serologi DBD.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat secara global, nasional dan lokal. Lebih dari 2,5

milyar penduduk (lebih dari 40% populasi dunia) berisiko terinfeksi DBD.

Saat ini, DBD menjadi penyakit endemik di lebih dari 100 negara di Afrika,

Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat dan untuk

pertama kalinya dilaporkan terjadi kasus DBD di Prancis, Kroasia dan

beberapa negara lain di Eropa (WHO, 2012). Di Indonesia, anak-anak

merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita DBD, dengan

proporsi sekitar 30% (Kemenkes RI, 2012).

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)

disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus

(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavirus, family

Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe akan menimbulkan antibody

terhadap serotype yang bersangkutan, sedangkan antibody yang terbentuk

terhadap serotype laen sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan

perlindungan yang memadai terhadap serotype laen tersebut. Seseorang

yang tinggal didaerah keempat serotype virus dengue dapat ditemukan

diberbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue

yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukan

bahwa keempat serotype ditemukan dan bersikulasi disepanjang tahun.

Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan

banyak yang menunjukan manifestasi klinik yang berat.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana respon imun tubuh terhadap virus demam berdarah dengue ?

1

1.3. Tujuan Masalah

Mengetahui bagaimana respon imun tubuh terhadap virus demam berdarah

dengue.

2

BAB II

DEMAM BERDARAH DENGUE

2.1. Definisi Demam Berdarah Dengue

Demam dengue / DF dan demam berdarah dengue / DBD (dengue

haemorrhagic fever / DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan / atau nyeri

sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan

diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai

oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di

rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah

demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok (Suhendro,

Nainggolan, Chen, 2006).

2.2. Etiologi Demam Berdarah Dengue

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus

dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.

Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam

ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.

Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan

DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam

berdarah dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3

merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype

dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis

dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).

2.3. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik

Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di

seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per

100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat

kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,

3

sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada

tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus

Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap

tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat

perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak

mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi

virus dengue yaitu :

Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan

vektor di lingkungan, transportasi vektor di lingkungan,

transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain;

Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi

dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;

Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO,

2000).

2.4. Patogenesis Demam Berdarah Dengue

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih

diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa

mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah

dengue dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD

adalah :

a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam

proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan

sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue

berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau

makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement

(ADE);

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam

respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu

4

2.2 . :Sumber (dengue virus infeksi klinis Manifestasi Monograph on

Dengue virus infection

Symptomatic Asymptomatic Undifferentiated Dengue fever Dengue haemorrhagic fever syndrome fever

No shock Dengue shock Without With unusual syndrome haemorrhage haemorrhage gue haemorrhagicenD D engue fever fever

TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin,

sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;

c. Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan

opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan

peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;

d. Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

terbentuknya C3a dan C5a.

Dengue/Dengue Haemorrahgic fever, WHO 1983)

2.5. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik,

atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah

dengue atau sindrom syok dengue (SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti

oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak

demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak

mendapat pengobatan tidak adekuat (Kabra, Jain, Singhal, 1999).

5

Gejala utama dari demam berdarah adalah demam tinggi, sakit kepala

parah, sakit parah di belakang mata, nyeri sendi, nyeri otot dan tulang, ruam,

dan perdarahan ringan (misalnya, hidung atau gusi berdarah, mudah

memar). Umumnya, anak-anak muda dan orang-orang dengan infeksi

dengue pertama mereka memiliki penyakit ringan dari anak-anak dan orang

dewasa.

Ketika penurunan demam, gejala termasuk muntah terus menerus,

sakit perut parah, dan kesulitan bernapas, mungkin berkembang. Ini

menandai awal dari untuk periode 24-48 jam ketika pembuluh darah

terkecil (kapiler) menjadi berlebihan permeabel, yang memungkinkan

komponen cairan untuk melarikan diri dari pembuluh darah ke dalam

peritoneum (menyebabkan ascites) dan rongga pleura (menyebabkan efusi

pleura). Hal ini dapat menyebabkan kegagalan sistem peredaran darah dan

shock, diikuti dengan kematian, jika kegagalan sirkulasi tidak dikoreksi.

Selain itu, pasien dengan DBD memiliki jumlah platelet yang rendah dan

manifestasi perdarahan, kecenderungan untuk mudah memar atau jenis lain

dari perdarahan kulit, perdarahan hidung atau gusi, dan pendarahan

mungkin internal.

2.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien

tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,

hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat

adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell

culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-

PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena

teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya

antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun

IgG.

6

Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :

Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui

limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit

plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase

syok akan meningkat.

Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya

peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya

dimulai pada hari ke-3 demam.

Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,

atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau

kelainan pembekuan darah.

Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran

plasma.

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan

diberikan transfusi darah atau komponen darah.

Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

o IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,

menghilang setelah 60-90 hari.

o IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,

pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.

Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat

pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan

surveilans. (WHO, 2006).

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks

kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat

dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada

sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi

7

badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi

dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006).

2.7. Diagnosis

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14

hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri

tulang belakang dan perasaan lelah.

a. Demam Dengue (DD)

Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan

dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

Nyeri kepala.

Nyeri retro-oebital.

Mialgia / artralgia.

Ruam kulit.

Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif).

Leukopenia.

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila

semua hal ini di bawah ini dipenuhi :

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :

o Uji bendung positif.

o Petekie, ekimosis, atau purpura.

o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau

perdarahan dari tempat lain.

o Hematemesis atau melena.

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran

plasma) sebagai berikut :

8

o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin.

o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

o Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau

hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD

dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.

(WHO, 1997)

2.8. Diagnosis Banding

Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat

kesesuaian klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya

dan leptospirosis.

Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan

manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),

hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta

gelisah. (Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan, 2006)

9

2.9. Derajat penyakit infeksi Virus Dengue

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu

diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel berikut :

Tabel Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (WHO,1997)

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium Keterangan

DD

Demam disertai 2 atau

lebih tanda: sakit

kepala, nyeri retro-

orbital, mialgia,

artralgia.

Leucopenia

Trombositopenia,

tidak ditemukan bukti

kebocoran plasma

Serologi

Dengue

Positif

DBD I

Gejala di atas

ditambah uji bendung

positif .

Trombositopenia,

(<100.000/? l), bukti

ada kebocoran plasma

DBD II

Gejala di atas

ditambah perdarahan

spontan

Trombositopenia,

(<100.000/? l),

bukti ada kebocoran

plasma

DBD III

Gejala di atas

ditambah kegagalan

sirkulasi (kulit dingin

dan lembab serta

gelisah)

Trombositopenia,

(<100.000/? l), bukti

ada kebocoran

plasma

DBD IV

Syok berat disertai

dengan tekanan

darah dan nadi tidak

terukur.

Trombositopenia,

(<100.000/? l), bukti

ada kebocoran

plasma

DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

2.10. Definisi gambaran Enzim Transaminase

Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk

jenis protein yang disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase

adalah sejenis tes yang digunakan untuk mengukur level beberapa jenis

10

enzim hati, yang merupakan protein spesifik yang membantu tubuh untuk

memecahkan dan menggunakan (metabolisme) substansi yang lain. Produk

ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah. Tingkat produk tersebut

dapat diukur dalam darah. (Wendon, William, 2008)

2.11. Bagian gambaran enzim transaminase

Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim

transaminase:

▪ ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum

glutamik piruvik transaminase)

▪ AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum

glutamik oksaloasetik transaminase)

Tabel 2.2. Nilai Rujukan Gambaran Fungsi Hati

Ukuran Satuan Nilai Rujukan P/L

ALT (SGPT) U/L< 23 P

< 30 L

AST (SGOT) U/L< 21 P

< 25 L

(Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).

2.12. Hasil Tes

Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang

berbeda, dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes

fungsi hati dapat memberi gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin

menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosis akibat

penyakit hati.

Hasil tes ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit

hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi gambaran yang tepat. Namun

biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran mengenai tingkat

peradangan (Wendon, Williams, 2008).

11

2.13. Enzim Hati

ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim

yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati

dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila

ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat

menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan

hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan pada hati dapat

disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol, dan

penyakit pada saluran cairan empedu.

AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung,

ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam

beberapa kasus peradangan hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa

(Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).

2.14. Hubungan infeksi dengue dengan gambaran enzim transaminase

Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar,

endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.

Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan

makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran

darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.

Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang

biak dalam sel retikuloendotelial ( hepar) yang selanjutnya diikuiti dengan

viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon

imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-

hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya

adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk,

dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster

effect).

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah

sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan

ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda

dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG

12

harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer

antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi

sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa

dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM

setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih

dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.

Hipotesis tentang patogenesis DBD / SSD seperti antibody-dependent

enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh

IFN-γ / TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya

trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD / SSD. Menurut Lei HY

dkk, 2001, infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh

berupa perubahan dari rasio CD4 / CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat

menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis

serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan

fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue.

Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam

membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin

dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan

trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena

overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-

trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan

defisiensi koagulasi.

Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas

terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti

suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel

apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran

penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal

ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD / DSS berat terjadi peningkatan

level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro oleh Bosch I dkk (2002) melalui

kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe

2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan

karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappaB. Penelitian oleh Bethell

13

dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan

bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular

adhesion molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan

protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari

reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya

penyakit.

2.15. Respon Imunologis

Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo

virus) dan terdiri dari 4 serotype yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4. Infeksi virus

dengue untuk pertama kali akan merangsang terbentuknya antibodi non-

netralisasi. Sesuai dengan namanya, antibodi tersebut tidak bersifat

menetralkan replikasi virus, tetapi justru memacu replikasi virus. Akibatnya

terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi sekunder

oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis infeksi

sekunder lebih berat dibanding infeksi sekunder (Soedarmo, 2002).

Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di

darah atau menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat

utama infeksi virus dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada

sel fagosit mononuklear berperan sebagai reseptor dan generator replikasi

virus. Kemudian virus dengue dengan mudah masuk dan menginfeksi sel

fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya virus bereplikasi di dalam sel

fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi akan menyebar ke

organ lain seperti hati, usus, limpa, dan sumsum tulang belakang

(mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan memicu respon

dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis\yang disebut

sebagai mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).

Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T

sitotoksik (CD8), dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th

selanjutnya berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan

IFN-γ, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan

IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsang monosit melepaskan TNF-α, IL-

14

1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang makrofag melepas

IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ.

Pada jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur

komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang

meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah

peningkatan IL-1, TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001;

Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).

IL-1, TNF-α, dan IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga

timbul demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan

TNF-α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang

merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan

demam ? Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipothalamus anterior

dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis (OVLT). OVLT terletak

di dinding rostral ventriculus III dan merupakan sekelompok saraf

termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam OVLT

melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2.

Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat

menjadi PGE2.

Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam

hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir

mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set pointyang

menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas

(vasokontriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil (Kresno, 2001;

Abdoerrachman, 2002).

Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap

gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan

penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan

merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan

meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam

sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus ventromedial yang

berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000).

15

IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang

poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk

memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan

menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri

otot, nyeri kepala berat, muntah, dan somnolen(Soedarmo, 2002).

Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah

trombosit pada penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan

terjadinya perdarahan pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang

bermanifes sebagai bercak kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah

histamin meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan

cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel. Hal itu semakin diperparah

dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan gangguan fungsi

hati.

Adanya plasma leakage tersebut menyebabkan peningkatan Hct.

Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi

berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen

C3g); depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi

trombosit terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Trombositopenia

menyebabkan perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan

melena, epistaksis, dan gusi berdarah.

Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan hepar

untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu,

sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat

infeksi virus dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi

tidak segera diatasi, maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang

disebut DSS (Dengue Shock Sydrome) dan sering menyebabkan kematian

(Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).

2.16. Penularan Virus Dengue

Dengue ditularkan antar manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan

Aedes albopictus, yang ditemukan di seluruh dunia. Serangga yang

menularkan penyakit adalah vektor. Gejala infeksi biasanya mulai 4-7 hari

16

setelah gigitan nyamuk dan biasanya berlangsung 3 - 10 hari. Dalam rangka

untuk transmisi terjadi nyamuk harus memberi makan pada seseorang

selama periode 5 hari ketika sejumlah besar virus dalam darah, periode ini

biasanya dimulai sebelum penderita mengalami gejala. Beberapa penderita

tidak memiliki gejala yang signifikan namun masih dapat terinfeksi

nyamuk. Setelah virus masuk ke dalam darah, virus akan memerlukan

inkubasi 8-12 hari sebelum kemudian dapat ditularkan ke manusia lain.

Dalam kasus yang jarang terjadi dengue dapat ditransmisikan dalam

transplantasi organ atau transfusi darah dari donor yang terinfeksi, dan ada

bukti penularan dari ibu hamil yang terinfeksi kepada janinnya. Namun

dalam sebagian besar infeksi, gigitan nyamuk merupakan penyebab yang

sering terjadi.

Di banyak bagian daerah tropis dan subtropis, demam berdarah adalah

endemik, yait terjadi setiap tahun, biasanya selama musim ketika populasi

nyamuk Aedes yang tinggi, sering ketika curah hujan optimal untuk

pembibitan. Dengue epidemi memerlukan banyak nyamuk vektor, banyak

orang tanpa kekebalan terhadap salah satu jenis empat virus (DENV 1,

DENV 2, DENV 3, DENV 4), dan kesempatan untuk kontak antara

keduanya. Meskipun Aedes yang umum di AS selatan, demam berdarah

adalah endemik di Meksiko utara, dan penduduk AS tidak memiliki

kekebalan, kurangnya transmisi dengue di benua Amerika terutama karena

kontak antara manusia dan vektor terlalu jarang untuk mempertahankan

transmisi.

2.17. Entomologi dan Ekologi Aedes Aegypti

Aedes aegypti, nyamuk vektor utama virus dengue adalah serangga

berhubungan erat dengan manusia dan tempat tinggal mereka. Manusia

tidak hanya menyediakan darah sebagai makanan untuk nyamuk tetapi juga

menyediakan tempat untuk berkembangbiak. Nyamuk meletakkan telur

mereka di sisi wadah penampungan air dan telur menetas menjadi larva

setelah hujan atau banjir. Sebuah larva berubah menjadi pupa dalam waktu

sekitar seminggu dan menjadi nyamuk dalam dua hari. Habitat perairan

17

utama Aedes, dari rongga pohon ke toilet dan belajar tentang siklus hidup

nyamuk.

Sangat sulit untuk mengontrol atau menghilangkan Ae. aegypti karena

mereka memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang membuat

mereka kuat, atau dengan kemampuan untuk cepat kembali ke keadaan awal

setelah gangguan akibat fenomena alam (misalnya, kekeringan) atau

intervensi manusia (misalnya, tindakan pengendalian). Salah satu adaptasi

tersebut adalah kemampuan telur untuk menahan pengeringan (drying) dan

untuk bertahan hidup tanpa air selama beberapa bulan pada dinding bagian

dalam wadah penampung air. Sebagai contoh, jika kita menghilangkan

semua larva, pupa, dan nyamuk dewasa Ae. aegypti sekaligus, populasinya

bisa pulih dua minggu kemudian sebagai akibat dari telur menetas setelah

hujan atau penambahan air untuk wadah menyimpan telur.

Sangat mungkin bahwa Ae.aegypti terus merespons atau beradaptasi

dengan perubahan lingkungan. Sebagai contoh, baru-baru ini dinemukan

bahwa Ae. aegypti mampu mengalami perkembangan dewasa septic tank

yang rusak atau terbuka di Puerto Rico, sehingga produksi mencapai ratusan

atau ribuan nyamuk dewasa Ae.aegypti per hari.

Aedes aegypti

Virus dengue terutama ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang

terinfeksi aegyptimosquitoes, sebuah invasif, spesies domestik dengan

distribusi di seluruh dunia tropis dan subtropis yang berasal dari Afrika.

18

Aedes albopictus

Vektor nyamuk lain yang penting dari demam berdarah adalah Aedes albopictus,

yang juga merupakan spesies invasif berasal dari Asia.

2.18. Siklus Hidup Nyamuk

Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup kompleks

dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi, dan habitat. Nyamuk

betina bertelur di dalam dinding basah wadah dengan air. Larva menetas

(gambar 1) saat air membanjiri telur sebagai akibat dari hujan atau

penambahan air oleh orang-orang. Pada hari-hari berikutnya, larva (gambar

2) akan memakan mikroorganisme dan partikel organik, mencurahkan kulit

mereka tiga kali untuk dapat tumbuh dari awal sampai instar keempat.

Ketika larva telah memperoleh energi dan ukuran yang cukup dan dalam

instar keempat, metamorfosis dipicu, mengubah larva menjadi pupa

(gambar 3). Pupa tidak makan, mereka hanya mengubah dalam bentuk

sampai tubuh orang dewasa, terbang nyamuk terbentuk. Kemudian, orang

dewasa yang baru terbentuk muncul dari air setelah melanggar kulit

kepompong (gambar 4, inset). Seluruh siklus hidup berlangsung 8-10 hari

pada suhu kamar, tergantung pada tingkat makan. Dengan demikian, ada

fase air (larva, pupa) dan fase terestrial (telur, dewasa) di Ae tersebut.

aegypti-siklus hidup.

Inilah kompleksitas siklus hidup yang membuatnya agak sulit untuk

mengerti darimana nyamuk berasal. Mirip kompleks siklus hidup dengan

bentuk air dan darat yang diamati dalam amfibi.

19

Siklus Hidup Nyamuk

2.19. Habitat Perairan Nyamuk

Habitat air adalah wadah dimana telur berkembang menjadi nyamuk

dewasa. Nyamuk yang menularkan dengue bertelur pada dinding wadah

berisi air di rumah dan teras. Telur menetas saat terendam air dan dapat

bertahan selama berbulan-bulan. Nyamuk dapat meletakkan puluhan telur

hingga 5 kali selama hidup mereka.

Ada berbagai macam buatan wadah penampung di halaman belakang

atau teras yang mengumpulkan air hujan atau yang diisi dengan air oleh

orang-orang di mana vektor DBD dapat berkembang. Membuang wadah

yang tidak terpakai, menempatkan wadah yang berguna di bawah atap atau

wadah yang tertutup, dan sering mengubah air panci minum hewan dan pot

bunga akan sangat mengurangi risiko infeksi dengue. Wadah penyimpanan

air harus tetap bersih dan ditutup sehingga nyamuk tidak dapat

menggunakannya sebagai habitat perairan.

20

a. Wadah alami yang berasal dari tanaman

Rongga pohon yang dipenuhi hujan, ruas bambu, daun axils tanaman

b. Wadah buatan yang diisi dengan air hujan

Bekas wadah besar (ban, peralatan rusak) dan bekas wadah kecil (kaleng cat)

Tong sampah, ember atau ember, nampan lukisan, mainan

c. Wadah yang diisi dengan air oleh manusia untuk mengumpulkan air

Wadah penyimpanan air (sumur, tangki, waduk, tong, guci, ember)

21

Wadah hias atau rekreasi (pot tanaman dan piring, kolam renang plastik, perakaran tanaman pada tanaman air / air)

Wadah minum hewan peliharaan

Septic tank rusak

22

BAB III

PENUTUP

1.

3.1. Kesimpulan

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue

haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus

(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavirus, family

Flaviviridae, dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri

sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeniadan

diathesis hemoragik.

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus

dengue yaitu :

o Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan

vektor di lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi

vektor dai satu tempat ke tempat lain;

o Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan

paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;

o Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk

(WHO, 2000).

Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :

o Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam

proses netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan

sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus

dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau

makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement

(ADE);

o Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran

dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T

helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan

limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;

23

o Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan

opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan

peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;

o Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

terbentuknya C3a dan C5a.

3.2. Saran

1. Menjaga sanitasi lingkungan disekitar tempat tinggal untuk menghindari

penyebaran virus demam berdarah dengue.

2. Menjaga kesehatan tubuh dengan cara olahraga, makan yang teratur,

istirahat yang cukup, dll.

24

DAFTAR PUSTAKA

Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In: Soedarmo

dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi

Pertama.Jakarta: IDAI, pp: 27-51.

Agustin, Seffianti. 2011. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian

Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal

Timur Kota Tegal Tahun 2010). Tesis Pascasarjana. Universitas Negeri

Semarang, Semarang. [online] http://lib.unnes.ac.id/8912/1/10931a.pdf

[diakses tanggal 9 Februari 2013]

Dinkes Kota Palu. 2012. Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2011. Palu: Dinas

Kesehatan Kota Palu.

Falah, Miftakhul. (2010). Faktor-Faktor yang Behubungan dengan Kejadian

Demam Berdarah (DBD) di Kelurahan Sendangmulyo Kecamatan

Tembalang. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang.

[online] http://eprints.undip.ac.id/31481/ [diakses tanggal 25 September

2012]

Fitria, A.U. 2006. Beberapa Faktor Perilaku Kepala Keluarga yang Berhubungan

dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas

Slawi Kabupaten Tegal. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro,

Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/31481/ [diakses tanggal 25

September 2012]

Kemenkes RI. 2012. Kasus DBD Indonesia Masih Tertinggi di Dunia. [online]

http://news.okezone.com/read/2012/06/15/340/647934/kasus-dbd-

indonesia-masih- tertinggi-di-dunia [diakses 27 September 2012]

Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi –

Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181.

Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2000. Leptin

actions on food intake and body temperature are mediated by IL-

1. Neurobiology Journal, pp: 7047-52.

25

Mahardika, Wahyu. 2009. Hubungan Antara Perilaku Kesehatan Dengan Kejadian

Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Cepiring

Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu

Keolahragaan. Universitas Negeri Semarang, Semarang. [online]

http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/download/2571/2566

[diakses tanggal 22 November 2012]

Munsyir, M.A., Ridwan, Amiruddin. 2009. Pemetaan dan Analisis Kejadian

Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi

Selatan Tahun 2009. Makassar. [online] http://jurnalmedika.com/edisi-

tahun-2011/edisi-no-06-vol-xxxvii- 2011/326-artikel-penelitian/633-

pemetaan-dan-analisis-kejadian-demam-berdarah- dengue-di-kabupaten-

bantaeng-sulawesi-selatan-2009 [diakses tanggal 15 Desember 2012]

Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue.

In: In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV.

Jakarta: FKUI, pp: 1731-1736.

Nugroho, A.S. 2003. Risiko Infeksi Dengue pada Anak Terkait Faktor

Lingkungan di Wilayah Puskesmas Pandanaran, Karangayu dan

Bandarharjo Kota Semarang. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro,

Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/12315/ [diakses tanggal 9

November 2012]

Rahman, Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah DAN Praktik

3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja

Puskesmas Blora Kabupaten Blora.[online] Unnes Journal of Public Health

2 (1), hal. 1-8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph [diakses tanggal

15 Februari 2013]

Rahman, Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah DAN Praktik

3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja

Puskesmas Blora Kabupaten Blora.[online] Unnes Journal of Public Health

2 (1), hal. 1-8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph [diakses tanggal

15 Februari 2013]

26

Riyadi, Rudjito. dkk. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah

Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue Di Daerah Rawan

Demam Berdarah Dengue Kota Lubuklinggau. [online] Jurnal Ekologi

Kesehatan Vol. 6 No.2. hal. 594-601

http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?

act=tampil&id=68484&idc=24 [diakses tanggal 11 Februari 2013]

Salawati, dkk. 2010. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor

Lingkungan dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk. [online] Jurnal

Kesehatan Masyarakat Indonesia 6 (2),hal. 46-54.

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi/article/view/142 [diakses tanggal

11 Februari 2013]

Sari, Puspita dkk. 2012. Hubungan Kepadatan Jentik Aedes sp dan Praktik PSN

dengan Kejadian DBD di Sekolah Tingkat Dasar di Kota Semarang. [online]

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT. Volume 1, Nomor 2,

p.413422http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/1128/1151

[diakses tanggal 2 Desember 2012]

Schmidt, W.P et al. 2011. Population Density, Water Supply, and the Risk of

Dengue Fever in Vietnam: Cohort Study and Spatial Analysis. [online]

PLoS Medicine. Volume 8, Issue 8, p.

1-10http://www.plosmedicine.org/article/fetchObjectAttachment.action?

uri=info%3Adoi

%2F10.1371%2Fjournal.pmed.1001082&representation=PDF [diakses 11

November 2012]

Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta:

IDAI, pp: 176-209.

Trapsilowati, W, Susanti, L & Pujiyanti, A., 2008. Gambaran Kemudahan

Memperoleh Air dan Sarana Penyimpanan Air terhadap Kasus DBD di Kota

Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Jepara. [online] Jurnal

Vektora. Volume II, No 1, p. 1-13

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/vk/article/download/13/13

[diakses 18 September 2012]

27

Widianto, Teguh. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian

Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa –tengah.

[online] Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro,

Semarang.http://eprints.undip.ac.id/17910/1/TEGUH_WIDIYANTO.pdf

[diakses 20 November 2012]

WHO. 2012. Dengue and severe dengue. [online] (diupdate Januari 2012)

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ [diakses 25 September

2012]

28