Sepuluh Cita Untuk Presiden

37
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubug-gubug, pekerjaan kita belum selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat” (Soekarno, 1950) Sepuluh Cita Untuk Presiden BEM Se-UI

description

Sepuluh Cita Untuk Presiden

Transcript of Sepuluh Cita Untuk Presiden

Sepuluh Cita Untuk Presiden

[Untukmu Pak Presiden][footnoteRef:1] [1: Versi lengkap kajian dapat diakses di http://bit.ly/Evaluasi1SemesterJkw ]

Tujuh bulan memang bukan waktu yang sebentar, tetapi bukan pula waktu yang lama. Tujuh bulan yang lalu kami, rakyat Indonesia, menyerahkan mandat kepada Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia sampau tahun 2019 mendatang. Janji-janji yang tertuang dalam Nawacita yang digaungkan selama masa kampanye pada pemilu 2014 yang lalu kini kami tagih. Dalam tujuh bulan ini, kami tidak melihat adanya komitmen yang besar dari sang pemegang tampuk kekuasaan untuk mewujudkan janji-janji surga itu. Hal tersebut ditunjukkan dari berbagai masalah yang terjadi di republik ini selama duet Jokowi-JK memimpin negeri ini. Isu-isu mengenai pelemahan agenda pemberantasan korupsi, supremasi hukum, penghapusan subsidi BBM, BPJS, harga kebutuhan pokok, dan isu-isu kerakyatan lainnya menggoyahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika kita mencoba mengelompokkan masalah-masalah yang terjadi, kita dapat mengklasifikasikannya ke dalam empat sektor, yaitu hukum, ekonomi, kesehatan, dan energi.Kami mahasiswa, sebagai anak kandung dari rakyat, mengambil sikap sebagai mitra kritis pemerintah dalam membangun negeri ini. Kami memutuskan untuk tidak tinggal diam menghadapi masalah-masalah yang menimpa negeri ini. Tujuh bulan memang bukan waktu yang sebentar, tetapi kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Bagi kami, tujuh bulan ini sudah cukup kami jadikan sebagai masa toleransi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Dan hari ini, untuk kebaikan pemerintahan Jokowi-JK ke depannya dan untuk kebaikan bangsa Indonesia, kami sampaikan sepuluh tuntutan kami, yaitu:1. Menegakan hukum dengan seadil-adilnya dan melakukan penguatan agenda pemberantasan korupsi dengan menghentikan kriminalisasi institusi pemberantasan korupsi2. Menggunakan merit system sebagai paradigma pengisian jabatan publik dengan langkah awal mengganti Jaksa Agung dari kalangan partai politik3. Mencopot Budi Gunawan sebagai Wakapolri karena alasan rekam jejak dan integritas yang buruk dan mengganti dengan calon lain yang memiliki rekam jejak dan integritas yang baik4. Mempercepat restrukturisasi kementerian5. Melakukan transparansi mekanisme penetapan harga BBM dan pengalihan subsidi BBM serta menetapkan kebijakan afirmasi harga BBM jika harga minyak dunia terlalu tinggi6. Merealisasikan peningkatan anggaran untuk sektor kesehatan7. Melakukan restrukturisasi institusi BPJS8. Memperjelas peraturan teknis dan pelaksanaan BPJS9. Melakukan aksesi FCTC10. Membatalkan perpanjangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT. FreeportSepuluh tuntutan muncul setelah melihat permasalahan bangsa saat ini. Selanjutnya, tuntutan tersebut tidak hanya sekedar tuntutan yang hanya untuk dibaca dan diterima saja. Kami menunggu itikad baik pemerintah untuk memenuhi tuntutan tersebut, karena sekali lagi kami tegaskan jika tuntutan tersebut kami buat sebagai bentuk kecintaan kami untuk bangsa Indonesia. Pada momentum satu tahun pemerintahan Jokowi-JK nanti, kami akan kembali menagih pemenuhan tuntutan tersebut. Sebagai bahan pertimbangan, kami akan menjabarkan secara singkat hasil kajian kami terkait dengan sepuluh tuntutan tersebut. Berikut pembahasannya,1. Menegakan hukum dengan seadil-adilnya dan melakukan penguatan agenda pemberantasan korupsi dengan menghentikan kriminalisasi institusi pemberantasan korupsiSebagai negara hukum, Indonesia seharusnya merupakan negara yang mengutamakan supremasi hukum yang telah dibangun dengan prinsip penegakkan hukum, bahwasanya hukum bersifat objektif dan tidak memihak. Akan tetapi kenyataannya di Indonesia, masih terlihat rendahnya kualitas dan profesionalitas aparat penegak hukum. Belakangan ini terdapat kasus-kasus yang menunjukkan ketidakadilan di dunia peradilan ini. Masih terdapat keringanan bagi terdakwa yang memiliki jabatan-jabatan tinggi dibanding rakyat kecil.Hal-hal yang menjadi sorotan selama tujuh bulan pemerintahan Jokowi-JK berkuasa adalah soal penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Salah satunya adalah mengenai eksekusi mati terpidana kasus narkoba Januari lalu. Dimana jaringan narkoba Bali Nine yang ditangkap di Bali, pada 17 April 2015 silam dan dua di antara pelakunya kini sedang menunggu hukuman mati pada bulan April tahun ini yakni Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, dua warga negara Australia. Kejaksaan Agung menyatakan masih menunggu hari baik untu melakukan eksekusi mati bagi para terpidana kasus narkoba ini yakni setelah dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika yang baru selesai dilaksanakan pada 24 April 2015 di Bandung.[footnoteRef:2] Upaya tegas Jokowi ini banyak mendapat pujian dari berbagai kalangan, namun beberapa pihak juga menentang tindakannya tersebut. Salah satu pimpinan negara yang termasuk vokal menentang kebijakan Presiden ini adalah Perdana Menteri Australia, Tony Abott yang mengungkit soal bantuan Australia kepada Indonesia dalam bencana tsunami yang melanda wilayah Aceh pada tahun 2004 silam. Namun sikap tegas ditunjukkan Presiden Jokowi dengan tetap konsisten menjalankan kebijakan hukuman mati dengan alasan Indonesia sebagai wilayah darurat narkoba. Akan tetapi di sisi lain, upaya penegakan hukum yang hendak dilakukan Jokowi-JK kembali dicoba dalam prahara antara dua institusi penegakan hukum di Indonesia, yakni antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Kisruh mulai dari penetapan calon Kapolri sebagai tersangka kasus korupsi, upaya pra-peradilan yang ditempuh, kriminalisasi yang dilayangkan kepada para komisioner KPK hingga kini isu penetapan Komjen Budi Gunawan yang disinyalir akan menjadi Wakapolri mendampingi Jenderal Badrodin Haiti. Setelah secara taktis dan tegas mengambil sikap dalam kasus eksekusi mati terpidana kasus narkoba di bulan Januari, tren penegakan hukum menjadi menukik tajam dengan langkah Jokowi-JK terkait prahara KPK-Polri yang mencuat di bulan Februari yang dinilai banyak kalangan kurang tegas dan disetir oleh partai politik yang mengusungnya. [2: http://nasional.kompas.com/read/2015/04/08/19395561/Kejaksaan.Agung.Cari.Hari.Baik.untuk.Eksekusi.Hukuman.Mati. ]

Dalam perjalanan selama 1 semester lebih ini, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK dapat dikatakan belum berjalan secara optimal dari seluruh aspek yang hendak dicapai dalam Nawacita. Namun, di sisi lain banyak pula terobosan-terobosan yang dilakukan. Realisasi Nawa Cita yang merupakan janji kampanye Jokowi-JK memang masih membutuhkan proses yang panjang. Akan tetapi kinerja selama 6 bulan ini dapat menjadi gambaran awal bagi jalannya pemerintahan 4 tahun kedepan. Kapasitas Jokowi sebagai pemimpin negara tentu harus benar-benar berorientasi pada kedaulatan rakyat menurut undang-undang dasar sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi.[footnoteRef:3] Kinerja awal Jokowi melihatkan bahwa Nawa Cita ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang akan terus direalisasikan meski banyak kendala maupun halangan yang dihadapi. [3: Lihat Pasal 2 Undang-undang Dasar 1945]

Langkah awal yang harus dilakukan dalam mewujudkan cita ini adalah dengan mengentikan upaya pelemahan agenda pemberantasan korupsi dengan menghentikan kriminalisasi terhadap institusi pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, ketika dimintai keterangan pers soal polemik KPK dan Polri, Presiden Joko Widodo kerap kali menyuarakan stop kriminalisasi![footnoteRef:4]. Seruan tersebut sekiranya belum cukup didukung dengan langkah konkret dari Presiden. Sebelumnya, Presiden sudah membentuk Tim Konsultasi Independen atau dikenal dengan nama Tim 9. Tim 9 terdiri dari Syafi'i Ma'arif sebagai Ketua, Jimly Asshiddiqqie sebagai Wakil, Hikmahanto Juwana sebagai Sekretaris, dan sebagai anggota adalah Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan Panggabean, Komjen (purn) Oegroseno, Jenderal (purn) Sutanto, Bambang Widodo Umar, dan Imam Prasodjo [4: Salah satu contoh berita media massa yang memuat seruan stop kriminalisasi KPK http://nasional.kompas.com/read/2015/03/05/21095941/Jokowi.Perintahkan.Polri.Hentikan.Kriminalisasi.terhadap.KPK.dan.Pendukungnya]

Pada zaman rezim SBY berkuasa dan terjadi kasus serupa yang kerap disebut sebagai Drama Cicak Vs Buaya, penanganan kasus tersebut juga dilakukan dengan tim konsultan independen oleh Presiden yang disebut sebagaim Tim 8. Namun Tim 9 bentukan Jokowi dan Tim 8 pada zaman SBY diklaim berbeda, meskipun menghadapi kasus yang sekilas serupa. Perbedaan tersebut dapat dilihat melalui tabel dibawah ini:Tim 8Tim 9

LegitimasiDilegitimasi secara formal dengan Keppres Tidak dilegitimasi secara formal dengan Keppres

WewenangTim bisa menggali fakta lebih mendalam dengan melakukan pemanggilan pihak terkait, mengkaji berkas yang sesuai, dan melakukan investigasiTim hanya menjawab dan memberi rekomendasi ketika Presiden bertanya. Tim tidak bisa menggali fakta lebih mendalam dengan melakukan pemanggilan pihak terkait atau mengkaji berkas yang sesuai. Sehingga, dalam memberikan pertimbangan kepada presiden, tim independen cukup menganalisis perkembangan yang terjadi melalui media massa.

Masa KerjaAda tenggat waktu yang diatur oleh KeppresTidak ada tenggat waktu yang jelas

OutputTim memverifikasi langkah hukum yang dilakukan kepolisian. Verifikasi ini berujung dikeluarkannya deponeering kasus oleh Kejaksaan Agung.Tim memberikan rekomendasi kepada Presiden, namun sifatnya tidak mengikat

Menurut kami, langkah penghentian kriminalisasi KPK yang sekarang tidak hanya menjerat pimpinan KPK tetapi juga penyidik dan pihak yang terkesan membela KPK dapat dimulai dengan memberikan legitimasi terhadap Tim 9. Legitimasi tersebut dapat dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur secara formil kewenangan dan masa kerja tim 9. Dengan adanya legitimasi tersebut, tim dapat melakukan investigasi dengan melakukan pemanggilan pihak terkait dan meminta berkas yang dibutuhkan untuk membongkar polemik yang melenda dua institusi penegakan hukum ini. Legitimasi tersebut dapat menguatkan rekomendasi yang dihasilkan oleh Tim 9 sehingga mempunyai kekuatan hukum. Harapannya, Tim 9 ini dapat menjadi Tim Pencari Fakta terkait dengan indikasi kriminalisasi yang mendera dua institusi penegakan hukum ini, terutama kriminalisasi yang terjadi di tubuh KPK. 2. Menggunakan merit system sebagai paradigma pengisian jabatan publik dengan langkah awal mengganti Jaksa Agung dari kalangan partai politikIndonesia sudah menerapkan sistem merit dalam konteks pegawai negara sipil, termasuk payung hukumnya. Namun yang menjadi perdebatan adalah relevansi menggunakan sistem merit dalam penetapan jabatan-jabatan dalam lembaga negara yang terhitung sebagai hak prerogratif presiden ataupun pada jabatan jabatan negara yang dimana Presiden memiliki hak untuk mengajukan nama. Oleh karena itu, Presiden berhak:1. Mengajukan nama dan menetapkan Hakim Konstitusi.[footnoteRef:5] [5: Lihat Pasal 18 Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi]

1. Mengangkat petugas diplomatik.[footnoteRef:6] [6: Lihat UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri]

1. Menetapkan calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY/Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.[footnoteRef:7] [7: Lihat UU No. 85 Tahun 2014 tentang Mahkamah Agung]

1. Membentuk dewan pertimbangan yang memiliki tugas memberi nasehat dan pertimbangan untuk Presiden yang diatur oleh UU.[footnoteRef:8] [8: Lihat UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden]

1. Mengangkat dan memberhentikan anggota KY / Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.[footnoteRef:9] [9: Lihat UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial]

1. Mengangkat menteri-menteri.[footnoteRef:10] [10: Lihat Pasal 17 UUD 1945]

1. Mengusulkan calon panglima kepada DPR untuk disetujui.[footnoteRef:11] [11: Lihat Pasal 13 ayat (5) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.]

1. Mengusulkan calon Kepala Kepolisian RI kepada DPR untuk disetujui.[footnoteRef:12] [12: Lihat UU No. 2 Tahun 2002]

Seluruh jabatan diatas merupakan jabatan politis, karena disesuaikan dengan keinginan Presiden. Namun, intensi dibalik politik itu lah yang harus diperhatikan, karena pada dasarnya politik memiliki tujuan akhir bersama yang menguntungkan masyarakat.[footnoteRef:13] Ketika konsepsi politik tidak berjalan sesuai dengan dasar-dasarnya, maka disaat itulah politik menjadi kendaraan yang destruktif bagi masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena eratnya hubungan antara politik dan kekuasaan, dimana politik itu sendiri sebenarnya adalah politik kekuasaan dalam artian bahwa seluruh politik memerlukan kekuasaan.[footnoteRef:14] Melihat lebih jauh, kekuasaan itu sendiri terwujud dalam hukum, dimana penguasa dapat menciptakan hukum dengan berbagai macam cara [footnoteRef:15]untuk menuju keadilan, kepastian, dan kebermanfaatan bersama. Dari sudut pandang inilah muncul konsep ilmu hukum (hukum tata negara) dan ilmu politik bagaikan tulang dan daging.[footnoteRef:16] Perumpamaan tersebut menggambarkan betapa eratnya hubungan antara politik dan hukum. [13: Aristoteles, Politics, (South Bend: Infomotions, 2001). Hal 2.] [14: Baldwin, David A., Power and International Relations, (Princeton: Princeton University), hal. 2.] [15: Morris, Stephen, Laws and Authority, (Princeton: Princeton University), hal 23.] [16: Perkuliahan Asas-Asas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.]

Muncul pendapat di masyarakat bahwa posisi-posisi jabatan yang telah disebutkan tadi layak untuk diterapkan merit system. Hal ini muncul dari kegelisahan masyarakat mengenai hal hal yang muncul ke permukaan mengenai pemerintahan Indonesia yang pada umumnya adalah masalah-masalah, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Politik digunakan sebagai alat untuk menguntungkan pribadi maupun pihak tertentu, itulah yang terjadi di Indonesia selama ini, terbukti dari berbagai macam temuan KPK, Kejaksaan, dan kepolisian. Pada pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi kontroversi saat Presiden Jokowi menetapkan jaksa agung yang merupakan calon legislatif dari Partai Nasdem. Kontroversi juga muncul saat Presiden Jokowi hanya mengajukan satu nama untuk menjadi calon Kapolri. Masyarakat mengkritisi berdasar atas kepedulian masyarakat akan ketidak inginan terulangnya masalah-masalah yang ada.Meskipun memperoleh mandat konstitusional, adalah hak prerogatifnya mengangkat pembantu-pembantunya yang bernama menteri, termasuk Jaksa Agung. Hal tersebut memang sesuai dengan amanat pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.[footnoteRef:17] Namun pemilihan Jaksa Agung dari kalangan partai politik kami nilai sebagai sebuah langkah bluder. Dengan dipilihnya Jaksa Agung dari kalangan Partai Politik dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan partai politik dalam upaya penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. [17: Pasal 19 UU No 16 tahun 2004 : bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.]

Secara objektif, dengan memperhatikan UU Kejaksaan, baik berdasarkan Pasal 20[footnoteRef:18] maupun Pasal 21[footnoteRef:19] UU Kejaksaan, sama sekali tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar oleh Prasetyo. Dalam kacamata hukum, tidak ada satupun yang mengkualifisir Jaksa Agung Prasetyo cacat persyaratan dalam penunjukannya oleh Presiden Jokowi. Namun menyayangkan tindakan tersebut, dengan mendaulat Jaksa Agung dari kalangan Parpol adalah tidak berlebihan, dan pantas dipermaklumkan. Oleh karena posisi Jaksa Agung merupakan jabatan strategis yang memegang kunci berhasil/tidaknya, estafet penegakan hukum ke depannya.[footnoteRef:20] [18: Pasal 20 Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.Adapun syarat-syarat yang dijelaskan dalam pasal 9 ayat 1 antara lain a. warga negara Indonesia;b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;d. berijazah paling rendah sarjana hukum;f. sehat jasmani dan rohani;g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan] [19: Pasal 21Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:a. pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan;b. advokat;c. wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terkait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;d. pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;e. notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;f. arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan;g. pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atauh. pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.] [20: http://www.negarahukum.com/hukum/jaksaagung-2.html]

Pengangkatan HM. Prasetyo sebagai Jaksa Agung periode 2014/2019 dipenuhi tanda tanya dan indikasi muatan politik. Terlebih Prasetyo berasal dari partai Nasional Demokrasi (Nasdem) yang merupakan partai pendukung pemerintah. Dalam pengalamannya di kejaksaan, Prasetyo pernah menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (1999-2000), Inspektur Kepegawaian dan Tugas Umum Pengawasan Kejaksaan Agung RI (2000-2003) serta Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Kejaksaan Agung RI (2003-2005). Dalam karir politik, ia menjadi anggota Dewan Pertimbangan DPP Ormas Nasional Demokrat (2011) dan anggota Mahkamah Partai Nasional Demokrat (2013)[footnoteRef:21]. Dan sebelum akhirnya diangkat sebagai Jaksa Agung, Prasetyo terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2014/2019. Dilihat dari rekam jejaknya, tidak ada prestasi istimewa yang membuat Prasetyo patut diperhitungkan sebagai kandidat Jaksa Agung. Terpilihnya penegak hukum yang berasal dari partai politik rawan kepentingan dan mudah diintervensi. [21: http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/063623405/Kenapa-Jaksa-Agung-Prasetyo-Diragukan]

Jika kita menilik kembali sejarah dibentuknya KPK salah satunya adalah tidak lain disebabkan karena kinerja kejaksaan yang dianggap buruk dalam penanganan kasus-kasus besar, seperti korupsi. Akibatnya terjadi degradasi kepercayaan publik terhadap kinerja KPK. Oleh karena itu, pengembalian ekspektasi publik dengan kejaksaan melakukan koordinasi dengan KPK, tampaknya akan menemui hambatan. Hambatan itu semakin menjadi masalah berdasarkan kasus yang banyak ditangani oleh KPK adalah kasus-kasus yang melibatkan kader Partai Politik. Sebagai gambaran, penelitian dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2014 menunjukkan dalam keterkaitan dugaan korupsi politik, Partai Demokrat memiliki kedudukan pertama dengan persentase 28,40 persen, disusul Partai Hanura (23,50 persen), PDIP (18,08 persen), PKS (17,24 persen), Partai Golkar (16,03 persen), PKB (14,28 persen), PPP (13,16 persen), dan Partai Gerindra (3,85 persen)[footnoteRef:22]. Sedangkan untuk rekam jejak partai asal Prasetyo masih bersih karena merupakan partai yang baru dan belum lama berpolitik di parlemen. Logikanya, bagaimana mungkin Jaksa Agung melepaskan tendensi politik kepartaian, terhadap kasus yang melibatkan Partai Politik dimana dia berasal atau Partai Politik yang sekoalisi sementara dirinya sendiri memiliki hutang budi dari Partai Politik. Politik balas jasa akan berjalan disini. [22: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5329627e98607/pukat--seluruh-parpol-terlibat-kasus-korupsi]

Kondisi demikian semain runyam dan sulit bagi Jaksa Agung sebagai pimpinan dari seluruh jajarannya, untuk berkoordinasi dengan KPK. Kalau misalnya yang tersangkut korupsi adalah pelaku yang dimana Jaksa Agung tersebut berasal dari partai politik yang sama, termasuk dari sesama koalisi partai. Dalam hal tertentu, Jaksa Agung rawan pula untuk menggunakan kekuasaannya. Dengan serta merta mendahulukan kasus-kasus yang melibatkan kader partai oposisi. Akibatnya, esensi penegakan hukum jauh dari prinsip keadilan proporsional.3. Mencopot Budi Gunawan sebagai Wakapolri karena alasan rekam jejak dan integritas yang buruk dan mengganti dengan calon lain yang memiliki rekam jejak dan integritas yang baikPengangkatan Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia menunjukkan adanya langkah kemunduran dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, pada awal tahun ini BG ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus rekening gendut dan gratifikasi. Atas perbuatannya, Budi Gunawan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.[footnoteRef:23] [23: Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, KPK Tetapkan BG (Kalemdikpol) Tersangka, diakses dari http://www.kpk.go.id/id/berita/siaran-pers/2431-kpk-tetapkan-bg-kalemdikpol-tersangka, pada tanggal 17 Februari 2015 pukul 21.26 WIB.]

Kasus tersebut lalu ditindaklanjuti dengan persidangan praperadilan yang memutuskan bahwa penetapan status tersangka BG tidak sah. Putusan tersebut mendelegitimasi kewenangan KPK dalam menangani kasus BG sehingga kasus BG harus dilimpahkan ke Kejaksaan Agung dan kemudian dilimpahkan lagi ke Bareskrim Polri dengan alasan kekurangan berkas. Dan sampai saat ini, kasus BG belum diselesaikan dan akan diselenggarakan gelar perkara kasus BG ini. Sebagai institusi penegakan hukum sekaligus pemberantasan korupsi di Indonesia, Polri harusnya dapat menjadi harapan bagi masyarakat. Namun berdasarkan hasil survei Transparency International Indonesia (TII) di tahun 2013 menunjukkan bahwa kepolisian dinilai responden sebagai lembaga yang paling korup / bercitra paling buruk. Kepolisian mendapatkan persentasi 91%, kemudian dilanjutkan dengan partai politik dan parlemen sebesar 89%, dan PNS sebesar 79%.[footnoteRef:24] Citra buruk kepolisian ini seharusnya tidak ditambah dengan menempatkan orang yang punya rekam jejak yang buruk dalam penegakan anti korupsi. Terlepas dari status legal formal yang menyatakan BG bersih dari sangkaan. Namun status tersangka yang pernah melekat pada BG bisa membuat kepercayaan publik menjadi jeblok. Soal integritas adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi untuk pejabat negara yang memegang institusi se-vital kepolisian. [24: Ananda Badudu, et.al., Tiga dari Empat Orang Indonesia Menyuap Polisi, http://www.tempo.co/read/news/2013/07/11/063495360/Tiga-dari-Empat-Orang-Indonesia-Menyuap-Polisi, diakses tanggal 26 Februari 2015 pukul 18.27 WIB.]

Disamping itu, kecurigaan akan adanya skenario politik jahat yang mengatur naiknya BG dalam tampuk kekuasaan korps bhayangkara tersebut semakin mengemuka. Proses yang begitu mendadak dan tertutup membuat proses suksesi orang nomor dua di tubuh Polri itu menimbulkan banyak tanya. Proses tersebut dianggap menyalahi aturan. Yang lebih mengejutkan lagi adalah ketidaktahuan Presiden akan pengangkatan tersebut padahal Presiden adalah pihak yang berhak dikonsultasikan perihal pengangkatan Wakapolri. Oleh karena itu, kami menuntut agar BG dicopot dari jabatannya sekarang sebagai Wakapolri. Proses gelar perkara yang belum dilakukan jelas-jelas mengindikasikan bahwa yang bersangkutan belum selesai kasus hukumnya. Sehingga kami menuntut agar BG digantikan oleh calon lain yang memiliki rekam jejak dan integritas yang baik.4. Mempercepat restrukturisasi kementerianPerubahan nomenklatur kabinet di beberapa kementerian membuat struktur organisasi di beberapa kementerian berubah. Dalam 6 bulan terakhir, proses restukturisasi kementerian memang sudah bejalan namun dirasa sangat lambat. Hal ini dapat dilihat masih banyaknya kursi pejabat eselon 1 yang masih kosong. Lamanya proses restukturisasi salah satunya dikarenakan oleh inovasi pemerintah Jokowi-JK yang menginginkan adanya lelang jabatan untuk publik untuk beberapa pos jabatan. Saat ini, hampir seluruh kementerian membuka lelang jabatan untuk pos eselon 1 dan 2. Kebijakan ini merupakan terobosan yang baik karena membuka peluang partisipasi masyarakat untuk mengisi jabatan di pemerintahan. Namun, lambatnya proses restukturisasi berakibat rendahnya penyerapan anggaran untuk program-program pemerintah. Dalam struktur anggaran, pejabat eselon 1 merupakan Kuasa Pengguna Angaran dimana merekalah yang berhak mengucurkan dana bagi program-program pemerintah. Tidak adanya pejabat definitif membuat program-program pemerintah menjadi terhambat sehingga penyerapan anggaran pada Kuartal-I 2015 sangat minim. Penyerapan anggaran yang rendah ini merupakan salah satu rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal-I 2015 yang hanya 4,7% (BPS,2015). 5. Melakukan transparansi mekanisme penetapan harga BBM dan pengalihan subsidi BBM serta menetapkan kebijakan afirmasi harga BBM jika harga minyak dunia terlalu tinggiPada bulan November 2014, Presiden Joko Widodo, mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium dari Rp6.500,- menjadi Rp8.500,- dan jenis solar dari Rp4.500,- menjadi Rp6.500,- sebagai hasil dari pengalihan subsidi ke infrastruktur dan bidang kesehatan. Memasuki tahun 2015, Menteri ESDM, Sudirman Said mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2015 yang mencabut subsidi BBM untuk jenis Premium.Alhasil, pemerintah mengurangi pos subsidi energi dari Rp 344,7 trilliun pada APBN 2015 menjadi Rp 137,8 trilliun pada APBN-P 2015, turun lebih dari setengahnya atau sekitar Rp 206,9 trilliun. Namun, sayangnya pengalihan subsidi ini memang kurang transparan. Pemerintah tidak menjelaskan rincian alokasi dana yang dialihkan. Beberapa menteri mengatakan bahwa pengalihan subsidi ini dilakukan untuk menunjang pembangunan infrastuktur dan pertanian. Memang anggaran pada APBN-P 2015 untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian meningkat dari APBN 2015. Namun, alokasi lebih lanjut untuk program apa subsidi tersebut dialihkan masih tidak jelas.Sementara berkaitan langsung dengan kondisi minyak bumi di Indonesia, cadangan minyak bumi di Indonesia jauh berkurang dari tahun 2004 hingga tahun 2012 yang sejalan pula dengan penurunan produksi minyak bumi dari tahun 2008 sampai 2012 sebanyak 21% (Ditjen ESDM, 2012). Pengalihan program subsidi tersebut berkaitan pula dengan sumber petroleum fund yang dicetuskan oleh DPR dalam RUU Migas. Petrolum fund adalah dana yang bersifat jangka panjang dan digunakan untuk mengakomodasi keberlangsungan dari usaha minyak bumi. Sudah saatnya, proporsi subsidi energi dialokasikan seluruhnya ke petroleum fund. Sumber petroleum fund sebaiknya berasal dari pemotongan penerimaan migas untuk APBN (dalam hal ini pengurangan subsidi energi).Realisasi pengalihan subsidi BBM ke petroleum fund harus dijalankan pemerintah secara transparan dan ada tolok ukurnya. Hal ini sangatlah penting agar masyarakat tahu bagaimana hak mereka dialihkan ke petroleum fund yang dialokasikan nantinya untuk pembuatan kilang-kilang baru dan pengembangan energi alternatif pengganti minyak bumi.Mekanisme penentuan harga patokan (harga pasar) yang keliru juga menyebabkan besarnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah cukup dipertanyakan. Karena terdapat banyak sekali perhitungan harga BBM sebelum disubsidi mulai dari versi kementrian ESDM hingga para ahli yang besarnya bervariasi. Hal itu juga disebabkan karena RON 88 sudah tidak dijual di Negara lain sehingga kita tidak mengetahui berapa harga RON 88 yang sebenarnya. Selain penentuan harga yang masih tidak transparant terdapat masalah lain. Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 4 tahun 2015 tidak menjelaskan batas atas harga BBM bersubsidi seandainya harga minyak dunia melambung tinggi. Sehingga apabila harga minyak dunia melambung hingga ke angka $100 perbarel maka harga BBM di Indonesia bisa menyentuh angka 15.000 rupiah perliter.6. Merealisasikan peningkatan anggaran untuk sektor kesehatanSecara riil, salah satu indikator makro pembangunan sumber daya manusia Indonesia yaitu Indeks Pembangunan Manusia (HDI)/Human Development Index(HDI).Human development index (HDI) merupakan pengukuran jangka panjang yang melibatkan tiga dasar pertumbuhan manusia, yaitu angka kesehatan dan angka hidup manusia, akses pendidikan dan standar kehidupan manusia. Dalam laporan UNDP tahun 1998, HDI Indonesia adalah 0,679 meningkat dari 0,586 pada tahun 1995, dimana Indonesia berada pada tingkat urutan 96 dari 174 negara.Dari dataterakhir pada tahun 2003 ternyata HDI Indonesia menurun ke peringkat 112 dari peringkat 175 negara.Sementara itu di tahun 2004 Indonesiaada pada peringkat 111 dari 175 negara.Padahal negara-negara tetangga kita seperti Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (peringkat 33), Malaysia (peringkat 58), Thailand (peringkat 76), dan Filipina (peringkat 83) (Supriyoko, 2004).Dari laporan tersebut dapat dikatakan bahwa negara kita masih tertinggal dari negara-negara lain dalam hal pembangunan nasional (khususnya pada sektor kesehatan) yang seharusnya dapat ditingkatkan sehingga akan berdampak terhadap peningkatan pembangunan kesehatan di Indonesia (Adisasmito, 2007).Dalam 10 tahun terakhir, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia tidak pernah mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan peringkat yang ditetapkan UNDP tersebut, peringkat Indonesia tidal pernah diatas urutan 102. Bahkan di tahun 2011, peringkatHDI Indonesia berada pada urutan 124 dari 187 negara, menurun bila dibanding peringkat 108 pada tahun 2010. Sesuai dengan peringkat ini, UNDP menempatkan Indonesia dalam katagoriMedium Human Development (kelompok negara berperingkat pembangunan manusianya sedang). Kondisi ini tentu saja jauh dari harapan reformasi 1998 dimana ekspetasi tinggirakyat Indonesia akan perbaikan kehidupan. Pasca reformasi perkembangan pembangunan Indonesia tidak mengalami peningkatan berarti.Melihat kondisi yang demikian di mana disebutkan bahwa angka hidup dan kesehatan menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan angka HDI di Indonesia. Satu hal yang jelas sangat krusial untuk dalam pengingkatan HDI: APBN yang anggarkan untuk bidang kesehatan. Kesuksesan suatu program kesehatan amat dipengaruhi oleh pembiayaan terhadap program kesehatan tersebut.Hal ini akan berdampak terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang dinikmati oleh masyarakat.Pembiayaan kesehatan per kapita di Indonesia terendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.Meskipun menunjukkan peningkatan 8 kali dari Rp19.602 pada tahun 1990 dan menjadi Rp171.511 pada tahun 2000.Sebagai perbandingan, Malaysia sampai tahun 2003 mampu menghasilkan pembiayaan kesehatan per kapita sebesar 374$ dengantotalexpendituredari GDP sebesar 3.8%.Tahun 2000, telah ada kesepakatan bupati/walikota se-Indonesia untuk mengalokasikan 15% dari masing-masing APBD untuk pembangunan kesehatan.Meskipun ada beberapa daerah yang secara nominal meningkat, namun kenyataannya rata-rata pembiayaan kesehatan daerah baru mencapai 9% dari APBD pada tahun 2001 dan 3-4% dari APBD pada tahun 2002.Indonesia saat ini dalam segicapital expenditureuntuk sektor kesehatan hanya mampu mencapai 2,2% dari GDP.Presentase tersebut masih jauh dari anjuran WHO, yakni paling sedikit 5% dari PDB per tahun.Sementara negara lain yang memiliki sistem kesehatan yang baik rata-rata total ekspenditur untuk kesehatan mencapai 8%-15% dari GDP.Minimnya akses kesehatan dan ketiadaan biaya menjadi suatu hal ironis mengingat APBN Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Peningkatan APBN tidak diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk kesehatan. Minimnya anggaran yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang sebagai wujud dari rendahnya apresiasi negara terhadap pembangunan manusia Indonesia. Pelanggaran pemerintah dengan tidak memenuhi 5% anggaran kesehatan dapat dikatakan menjadi salah satu sebab Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami kemerosotan. Sekedar catatan, Indeks Pembangunan Manusia menggunakan pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu indikator.Alokasi APBN untuk kesehatan justru masih dibawah besarnya alokasi untuk membayar utang yang mencapai 10 %. Alokasi anggaran kesehatan yang rata-rata hanya sekitar 3 % sangat minim bila dibandingkan dengan standar Badan Kesehatan Dunia yang menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 % dari Pendapatan Domestik Bruto.Dari alokasi anggaran kesehatan dalam APBN 6 tahun terakhir, dapat dilihat bahwa pemerintah belum menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Jika dilihat dari alokasi anggaran, sejak APBN 2001 sampai tahun 2010 anggaran kesehatan masih berputar pada angka 2,5 % dari total APBN, bahkan dalam kurun waktu 6 tahun terakhir tidak ada peningkatan berarti. Padahal APBN telah meningkat tajam dari Rp 226 triliun di tahun 2005 menjadi 1.126 triliun di tahun 2010.Kritik lain dalam anggaran kesehatan di Indonesia adalah masih banyak program yang bersifat pemborosan, karena sebagian besar anggaran program yang dijalankan habis untuk urusan bersifat teknis aparatur seperti koordinasi dan konsolidasi antar instansi, sosialisasi, monitoring, evaluasi dan bimbingan teknis. Dalam konteks operasionalisasi program memang diperlukan konsolidasi, koordinasi, evaluasi maupun monitoring, namun menjadi tidak wajar bila anggaran untuk urusan teknis lebih besar dibanding dengan anggaran untuk program itu sendiri.Persoalan minimnya alokasi anggaran kesehatan dan berbagai pemborosan, sebenarnya terletak pada politik anggaran Indonesia yang masih berwatak oligarki dan meniadakankedaulatan rakyat atas anggaran. Disadari atau tidak, dominasi dan hegemoni partai politik dalam lingkar kekuasaan selama ini telah membuat kebijakan anggaran seolah menjadi hak mutlak partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk di kekuasaan (legislatif dan eksekutif), seolah tidak ada sangkut pautnya dengan nasib dan masa depan rakyat. Oligarki politik anggaran ini semakin kuat ketika partai politik yang berkuasa lebih memilih membangun koalisi kepentingan (transaksional bisnis) dengan kroni-kroninya daripada memperjuangkan konstituennya. Wajar jika kemudian kebijakan anggaran yang dihasilkan hanya memihak pada kepentingan segelintir orang, jauh dari aspirasi dan kebutuhan riil rakyat.Pengembangan aspek kesehatan merupakan bagian dari sembilan agenda prioritas Jokowi, atau yang disebut dengan Nawacita. Setidaknya terdapat tiga poin Nawacita yang berkaitan erat dengan bidang kesehatan. Yang pertama adalah poin nomor tiga Nawacita, yaitu Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Pada agenda tersebut, dijelaskan bahwa Jokowi-JK berkomitmen dalam pemerataan pembangunan tiap daerah, dan juga berkomitmen untuk membantu daerah yang belum cukup kapasitasnya dalam melakukan layanan publik. Perlu diingat bahwa pelayanan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang sangat penting, dan kesenjangan kualitasnya di tiap daerah sangat terasa. Dan perlu diingat pula, bahwa ujung tombak pelayanan kesehatan di pinggiran adalah pusat pelayanan kesehatan primer yaitu Puskesmas yang terletak di tiap daerah. Komitmen Jokowi-JK dalam membangun Indonesia dari pinggiran baru dapat terwujud secara hakiki ketika pembangunan Puskesmas dan kualitas pelayanan kesehatan juga mendapatkan perhatian yang cukup dalam pembangunan yang Jokowi-JK canangkan. Perhatian yang paling diperlukan adalah pengalokasian anggaran yang cukup dan sesuai dalam pelaksanaannya untuk kedua keperluan sektor kesehatan tersebut.Poin kedua adalah agenda nomor 5 yaitu Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Peningkatan kualitas hidup, yang dapat dilihat dari Human Development Index (HDI), memerlukan perhatian pemerintah dalam bidang kesehatan. Nilai HDI Indonesia sampai tahun 2013 masih berada di bawah Malaysia, Thailand, dan juga Singapura. Komitmen Jokowi-JK dalam peningkatan kualitas hidup harus dibarengi dan realisasinya. Kartu Indonesia Sehat yang dicanangkan Jokowi-JK belum terbukti memberikan hasil maksimal karena dana yang masih kurang dan pengalokasian yang masih belum sesuai. Hal ini dikarenakan, seperti yang dapat kita lihat, Kartu Indonesia Sehat menambah jumlah peserta bantuan iuran dari pemerintah, namun tidak menjawab kekurangan jumlah bantuan iuran dari pemerintah untuk pelaksanaan JKN.Agenda selanjutnya adalah agenda nomor enam yaitu Kami akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional. Kualitas kesehatan telah diteliti amat berpengaruh dalam meningkatkan pruduktivitas masyarakat secara individual maupun secara keseluruhan. Hasil penelitian oleh David E. Bloom dan David Canning dari Harvard School of Public Health menunjukan bahwa diperkirakan, peningkatan 1% pada angka harapan hidup dapat meningkatkan produktivitas sebesar 2,8%. Jika Jokowi-JK serius atas komitmennya ini, maka merupakan suatu pilihan yang bijak untuk lebih memperhatikan kebutuhan sektor kesehatan di Indonesia.7. Melakukan restrukturisasi institusi BPJSMenurut UU NO. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menimbang bahwa untuk mewujudkan tujuan Sistem Jaminan Nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum yang berdasarkan prinsip kegotongroyongan ,nirlaba,keterbukaan,kehati-hatian,akuntabilitas,portabilitas,kepesertaan bersifat wajib ,dana amanat,dana hasil pengelolaan danajaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta yaitu melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS sebagai badan hukum publik mendapat amanah dan kepercayaan dari pembentuk undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan nasional dengan tujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhiny kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan / atau anggota keluarganya. Oleh karena itu BPJS dituntu untuk melaksanakan amanah tersebut secara akuntable dan transparan.Untuk itulah perlu dilakukan pengawasan terhadap BPJS agar dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan asas-asas, prinsip-prinsip ketentuan peraturan perundang-undangan dan memberi manfaat yang optimal kepada peserta dan/atau keluarganya. Menurut UU BPJS menentukan pengawas terhadap BPJS dilakukan secara internal dan eksternal.Sesuai dengan pasal 39 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menentukan pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional ( DJSN ) dan lembaga pengawasan independen. Dalam penjelasannya dikemukakan, DJSN melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggara program Jaminan Sosial. Selanjutnya dkemukakan,Yang dimaksud dengan lembaga pengawas independen adalah Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan.Fungsi, tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dalam melaksanakan fungsi pengawasan termasuk pengawasan terhadap penyelenggara program jaminan sosial, telah diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.Ketentuan Pasal 39 UU BPJS mengatur bahwa pengawasan eksternal terhadap BPJS dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan lembaga pengawas independen. Dalam penjelasan Pasal 39 UU BPJS disebutkan bahwa lembaga pengawas independen BPJS adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penunjukan OJK sebagai pengawas independen atas BPJS sejalan pula dengan tugas pengaturan dan pengawasan OJK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) yang menjelaskan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.Dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 UU OJK disebutkan bahwa yang dimaksud dengan lembaga jasa keuangan lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. OJK melakukan pengawasan terhadap BPJS untuk mewujudkan pengelolaan program jaminan sosial yang transparan, berkelanjutan dan mampu melindungi kepentingan masyarakat. Agar tujuan tersebut tercapai, diperlukan suatu sistem pengawasan yang dapat memberikan indikasi mengenai potensi kegagalan BPJS secara dini. Indikasi tersebut dapat diperoleh secara akurat apabila OJK memperoleh informasi yang memadai mengenai kondisi BPJS yang dapat diperoleh melalui pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung. Peraturan OJK ini mengatur hal-hal pokok mengenai pengawasan BPJS seperti ruang lingkup pengawasan OJK atas BPJS, kewenangan OJK untuk meminta BPJS menyusun dan menyampaikan laporan tertentu, serta pemberian rekomendasi kepada BPJS, DJSN, atau Presiden. Dengan adanya Peraturan OJK ini diharapkan pengawasan OJK terhadap BPJS dapat berjalan secara efektif dan efisien.[footnoteRef:25] [25: http://www.ojk.go.id/Files/regulasi/ojk/pojk/pojk5a.pdf ]

Sedangkan fungsi,tugas, dan wewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melaksanakan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Negara telah diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh DJSN, tidak bisa dipisahkan dari kewenangan DJSN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menentukan DJSN berwenang melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Nasional.Dalam Penjelasannya dikemukakan, Kewenangan melakukan monitoring dan evaluasi dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya program Jaminan Sosial, termasuk tingkat kesehatan keuangan BPJS.UU SJSN maupun UU BPJS tidak memerintahkan pengaturan lebih lanjut pengawasan DJSN terhadap BPJS ke peraturan pelaksanaan. Meskipun demikian, Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai pengawasan eksternal DJSN terhadap BPJS. Penjelasan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengemukakan Yang Dimaksud menjalankan UU sebagaimana mestinya adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah UU atau untuk menjalankan UU sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut diatur secara jelas dan operasional fungsi , tugas, dan wewenang DJSN , ruang lingkup pengawasan, tata cara pelaksanaan pengawasan eksternal DJSN terhadap BPJS. DJSN sebagai institusi yang bertanggung jawab kepada Presiden, harus benar-benar dibuat bertaji mengawasi BPJS. Hanya dengan demikian pengawasan akan berjalan secara efektif.[footnoteRef:26] [26: http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/325 ]

Dari pembagian kerja pengawasan baik dari segi internal maupun ekternal terhadap BPJS memungkinkan terjadinya potensi rangkap jabatan dan tumpang tindih dalam hal pengawasan. Sebab pembagian mekanisme dalam pengawasan BPJS belum jelas baik terhadap Dewan Jaminan Sosial Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK). DJSN sebagai institusi yang bertanggung jawab kepada Presiden, harus benar-benar dibuat bertaji mengawasi BPJS. Hanya dengan demikian pengawasan akan berjalan secara efektif dimana kedudukan DJSN sebagai pelaksana pengawas eksternal dari BPJS.8. Memperjelas peraturan teknis dan pelaksanaan BPJSBPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) merupakan lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial di Indonesia yang diatur di dalam UU No.24 tahun 2011 tentang BPJS. Jaminan sosial sendiri merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. BPJS terbagi atas dua yaitu BPJS kesehatan serta BPJS ketenagakerjaan, BPJS kesehatan sendiri berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh Rakyat Indonesia, sedangkan BPJS ketenagakerjaan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.Teknis dari penyelenggaraan BPJS kesehatan sendiri, diatur lebih lanjut di dalam Peraturan menteri kesehatan No.28 tahun 2014 tentang pedoman pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Di dalam pasal 2 poin b peraturan ini menyatakan bahwa, Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yaitu: (b) Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional.Cost effective di dalam peraturan penyelenggaraan BPJS kesehatan tersebut haruslah ditafsirkan lebih jelas, dikarenakan hal tersebut dapat menimbulkan penafsiran lain yang dapat membuat pasien dirugikan, contohnya adalah di dalam sebuah pemberian obat, dokter harus memenuhi cost effective sehingga membuat dokter memberikan obat generik saja kepada pasien, berbeda pada pasien yang tidak menggunaakan BPJS, yang diberikan tambah obat obat khusus . Ini membuat pasien akan dirugikan serta akan membuat pasien sukar sembuh dari penyakit yang ia derita.Di dalam peraturan ini maupun di dalam Undang Undang mengenai BPJS, tidak terdapat sebuah peraturan yang mengharuskan pasien yang menggunakan BPJS harus diutamakan, maupun perihal tidak boleh mengesampingkan ataupun menolak pasien yang menggunakan BPJS.Hal itu terlihat sangat penting dikarenakan sudah menjadi sebuah rahasia publik bahwa pelayanan terhadap orang- orang yang memakai BPJS jelas berbeda dengan orang orang yang membayar dengan kontan di depan. Contoh kasus yang telah terjadi adalah kasus Agus Supriyanto seorang pasien pengguna BPJS kelas III yang menderita kanker getah bening, saat ia pada keadaan kritis ia ditolak oleh Rumah Sakit yang ia tuju yaitu Rumah Sakit Muhammad Hoesin, Palembang, Sumatera Selatan, karena ia sudah dalam keadaan kritis ia akhirnya meninggal.[footnoteRef:27] [27: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/577729-pasien-bpjs-palembang-meninggal-setelah-ditolak-rumah-sakit diakses pada hari Kamis, 16 April 2015 pukul 18.19 WIB.]

Karena itu seharusnya ditambahkan sebuah norma baru ke dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.28 tahun 2014, yang mengatur tentang pelarangan serta sanksi, bagi rumah sakit yang melanggarnya. Dengan dibuatnya norma baru ini maka sejatinya kasus yang terjadi pada saudara Agus Supriyanto tidak akan terjadi dan dunia medis di Indonesia akan menjadi lebih baik ke depannya. 9. Melakukan aksesi FCTCPertumbuhan produksi dan konsumsi rokok di Indonesia sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Jika kondisi ini dibiarkan oleh pemerintahan baru, maka kepentingan kesehatan publik dan HAM akan terganggu. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah mengefektifkan peran pemerintah dalam melindungi publik sekaligus mengendalikan industri rokok melalui langkah-langkah yang sesuai dengan kewenangannya.FCTC bukanlah hal baru bagi pemerintah Indonesia. Dalam kurun 19962003 Delegasi Pemerintah Indonesia menjadi salah satu peserta aktif yang terlibat dalam panitia perumusan naskah (drafting committee) dari FCTC. Ironisnya, ketika FCTC disahkan pada 2003 dan didorong menjadi hukum internasional, Pemerintah Indonesia tidak menandatanganinya. Bahkan ketika FCTC menjadi hukum internasional pada 2005, pemerintah tidak meratifikasi FCTC. Peluang yang mungkin dilakukan Pemerintah Indonesia adalah melakukan aksesi. Langkah aksesi FCTC dalam isu pengendalian tembakau merupakan bagian penting dalam pemenuhan hak atas kesehatan. Langkah ini sejatinya sudah diserukan Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang bersidang pada Pertemuan ke-40, 23 Mei 2014 (E/C.12/IDN/CO/1). Komite Ekosob merilis sejumlah rekomendasi kepada pemerintah Indonesia pada 19 Juni 2014, antara lain: (1) Pemerintah Indonesia harus melakukan pencegahan atas risiko kesehatan yang serius terkait rokok, utamanya remaja dan anak; (2) memberlakukan peraturan antitembakau yang mencakup larangan merokok di ruangan dalam gedung; (3) memperkuat larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; (4) menerapkan pendekatan berbasis HAM atas penggunaan tembakau, memberikan layanan kesehatan yang layak, rehabilitasi, dan dukungan layanan psikologis bagi pecandu rokok.Secara umum, Komite Ekosob mendorong Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi FCTC. Sebagai negara pihak pada KIHESB, Pemerintah Indonesia seharusnya mulai merumuskan dan mengambil langkah-langkah untuk menjalankan rekomendasi Komite Ekosob tersebut.10. Membatalkan perpanjangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT. FreeportNamun meskipun kadar batas ekspor sudah diturunkan, Freeport merasa keberatan dengan pajak progresif sebesar 25% (tahap 1), akhirnya melalui lobi-lobi, Freeport membuat MoU dengan pemerintah sehingga diijinkan ekspor (terhitung 6 Agustus 2014) setelah mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dengan memberikan uang jaminan pembangunan Smelter sebesar USD115 Juta, MoU ini sepertinya dijadikan satu dengan poin-poin renegosiasi yang mencakup hal-hal berikut : luas wilayah operasi, kewajiban divestasi, kenaikan royalti, pembangunan smelter dan pemanfaatan produk lokal. Dan pemerintah membentuk tim independen untuk memantau perkembangan pembangunan smelter yang ditargetkan perperiode waktu.Target hingga Januari 2015 adalah sudah terjadi pembebasan lahan untuk pembangunan smelter, namun tidak tanda-tanda smelter akan dibangun. Karena tidak sesuai target, Kementrian ESDM akan mencabut surat ijin ekspor Freeport. Namun melalui lobi-lobi ketidaktercapaian target itu akhirnya disiasati dengan pembuatan MoU baru (perpanjangan).Hal tersebut memperlihatkan tidak tegasnya pemerintah terhadap Freeport. Hingga saat ini masih belum jelas masalah pembangunan SMELTER yang akan dibangun di Papua dan juga tidak ada semangat dari pemerintah untuk menyiapkan BUMN yang akan menggatikan Freeport ketika kontraknya habis pada tahun 2021. Seharusnya pada tahun 2019 nanti pemerintah tidak lagi memperpanjang kontrak Freeport yang sudah hampir 50 tahun mengolah tambang di Papua. Kami melihat semangat pemerintah saat ini selalu menguntungkan asing dalam berbagai sektor mulai dari Freeport hingga pada proyek 35000MW.Demikian tuntutan dan rekomendasi yang kami sampaikan. Semoga pemerintah dapat mengambil langkah yang tepat.BEM Se-UI