SENSOMOTORIK
-
Upload
reenata-raynata -
Category
Documents
-
view
118 -
download
2
description
Transcript of SENSOMOTORIK
SENSOMOTORIK
I. Pendahuluan
Manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya jika ia tidak tahu adanya bahaya yang
mengancam atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat,
mendengar, mencium, dan merasakan rasa-nyeri, rasa-raba, rasa-panas, rasa-dingin, dan
sebagainya. Inilah yang disebut sebagai sistem sensorik. Sistem ini menerima ribuan informasi
kecil dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikan untuk menentukan reaksi
yang harus dilakukan tubuh. Sebagian terbesar kegiatan sistem saraf berasal dari pengalaman
sensoris dari reseptor sensoris, baik berupa reseptor visual, reseptor auditorius, reseptor raba di
permukaan tubuh, atau jenis reseptor lain. Pengalaman sensoris ini dapat menyebabkan suatu
reaksi segera, atau kenangannya dapat disimpan di dalam otak selama bermenit-menit,
berminggu-minggu, atau bertahun-tahun dan kemudian dapat membantu menentukan reaksi
tubuh di masa yang akan datang.
Sistem sensorik menempatkan manusia berhubungan dengan sekitarnya. Sensasi dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu superfisial, dalam, viseral, dan khusus. Sensasi superfisial, disebut juga
perasaan ekteroseptif atau protektif, yang mengurus rasa-raba, rasa-nyeri, rasa-suhu. Sensasi
dalam, yang disebut juga sebagai sensasi proprioseptif mencakup rasa gerak (kinetik), rasa sikap
(statognesis) dari otot dan persendian, rasa getar (pallesthesia), rasa tekan-dalam, rasa nyeri
dalam otot. Sensasi viseral (interoseptif) dihantar melalui serabut otonom aferen dan mencakup
rasa lapar dan rasa nyeri pada visera.
Sensomotorik adalah suatu sensor alamiah yang ada didalam tubuh manusia. dengan sistem
sensor berdasarkan anatomi tubuh manusia, ditinjau dari perkembangan dan pertumbuhan saraf-
saraf dan otot-otot pada anak. sensor motorik meliputi pergerakan tubuh manusia, pengelihatan,
daya tangkap, indra perasa, sentuhan, dll. Sensor motorik merupakan proses pertumbuhan
manusia dalam mencapai proses pengaplikasian yang baik dan sesuai dengan apa yang
diinginkan.pengaplikasian dikhusukan dalam proses daya tangkap, tingkat cekatan dalam
bertindak (refleks), sinkronisasi pandangan dan pemikiran, kesinambungan antara saraf-saraf,
otot, daya kerja otak kanan.
1. PEMERIKSAAN SENSIBILITAS DALAM / PROPIOSEPTIF
A. Pemeriksaan Rasa Gerak dan Rasa Sikap
Teknik : rasa gerak dan rasa posisi diperiksa bersamaan. Dilakukan dengan menggerakkan jari-
jari secara pasif dan menyelidiki apakah pasien dapat merasakan gerakan tersebut serta
mengetahui arahnya. Juga dinilai derajat gerakan terkecil yang masih dapat dirasakannya. Pada
orang normal pasien sudah dapat merasakan arah gerakan bila sendi-interfalang digerakkan
sekitar dua derajat atau 1 mm. Selain itu juga diselidiki apakah ia tahu posisi dari jari-jarinya.
Selama pemeriksaan pasien memejamkan mata, badan dan ekstremitas diistirahatkan dan
dilemaskan, semua gerakan volunteer dihindari. Kemudian pemeriksa menggerakkan bagian
ekstremitas pasien, misal jari kaki, pegang jari kaki pada bagian lateral dan hindari bersentuhan
dengan jari-jari lainnya.
Cara kedua adalah dengan jalan menempatkan jari penderita pada suatu posisi, kemudian ia
disuruh mengatakan posisi dari jari tersebut atau disuruh menempatkan jari sisi lainnya seperti
posisi jari yang kita periksa.
Instruksi kepada pasien : : “Pejamkan mata anda, dan rilekskan tubuh anda, , beritahukan saya
setiap kali saya menggerakkan jari kaki anda, apakah anda merasakan gerakannya, katakan
apakah bergerak ke atas atau ke bawah”
“Pejamkan mata anda, dan rilekskan tubuh anda, saya akan memposisikan jari tangan kanan anda
pada posisi tertentu,kemudian tolong gerakkan jari tangan anda pada tangan kiri dengan posisi
yang sama seperti yang saya lakukan pada jari tangan kanan anda”
Hasil : hilangnya rasa gerak dan sikap mengindikasikan gejala tabes dorsalis, multiple sclerosis,
atau defisiensi vitamin B12 atau peripheral neuropathy yang berhubungan dengan diabetes.
Tes lain untuk tes rasa gerak dan sikap adalah tes tunjuk hidung dan tes tumit-lutut serta tes
Romberg
Tes Tunjuk Jari ke Hidung
Tes tunjuk jari ke hidung dilakukan dengan meminta pasien untuk menyentuh hidungnya dan jari
pemeriksa secara berganti-ganti secara cepat, setepat dan selancar mungkin. Pemeriksa
mempertahankan jarinya dengan jarak satu lengan dari pasien. Pasien diminta menyentuh jari
pemeriksa dan kemudian menyentuh hidungnya. Prosedur ini diulang beberapa kali, setelah itu
pasien diminta melakukan pemeriksaan ini dengan mata tertutup.
Hasil : Pasien dengan gangguan serebelum secara terus menerus melewati sasarannya, suatu
keadaan yang disebut dengan past pointing. Disamping itu mereka juga mungkin mengalami
tremor ketika jari mendekati sasarannya
Tes Tumit ke Lutut
Tes tumit ke lutut dilakukan pada pasien dalam posisi berbaring terlentang. Pasien disuruh
menggeserkan tumit kaki kanan menuruni tulang kering kaki kiri, dengan dimulai dari lutut.
Lakukan pada kaki sebaliknya.
Hasil : dalam keadaan normal akan terlihat suatu gerakan yang halus dan lancar, dengan tumit
tetap berada di tulang kering. Pada pasien dengan penyakit serebelum, tumitnya bergoyang-
goyang dari sisi ke sisi.
Tes Romberg
Tes Romberg dilakukan dengan menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa, dengan kaki
dirapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling bersentuhan. Pemeriksa menyuruh
pasien merentangkan lengannya dengan telapak tangan menghadap ke atas dan menutup
matanya. Jika pasien dapat mempertahankan sikap ini tanpa bergerak, tes ini disebut negative.
Tes Romberg positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus memindahkan kakinya
untuk menjaga keseimbangan.
Hasil : penemuan lazim adalah salah satu lengan melayang ke bawah dengan fleksi jari-jari
tangan. Gerakan ini disebut melayang pronator, dijumpai pada pasien dengan hemiparese ringan.
Jika tes Romberg positif menandakan gangguan kolumna posterior.
B. Pemeriksaan Rasa Getar
Stimulus : garputala 128 Hz
Teknik : Menempatkan garputala yang sedang bergetar pada ibu jari kaki, maleolus lateral dan
medial kaki, tibia, spina iliaka anterior superior, sacrum, prosesus spinosus vertebra, sternum ,
klavikula, prosesus stiloideus radius dan ulna dan jari-jari.
Garputala kita ketok dan ditempatkan pada ibu jari kaki atau tulang maleous, pasien ditanya
apakah ia merasakan getarannya, dan ia disuruh memberitahukan bila ia mulai tidak merasakan
getarnnya. Bila getaran mulai tidak dirasakan garpu tala kita pindahkan ke pergelangan atau
sternum atau klavikula atau kita bandingkan dengan jari kaki kita sendiri. Dengan demikian kita
dapat memeriksa adanya rasagetar dan sampai berapa lemah masih dapat dirasakan, dengan jalan
membandingkan dengan bagian lain dari tubuh atau dengan rasa getar pemeriksa.
Instruksi kepada pasien : “pejamkan mata anda,anda akan merasakan sebuah getaran,
beritahukan pada saya apabila anda sudah tidak merasakan getarannya lagi”
Hasil : kehilangan rasa sensasi getar merupakan tanda awal gangguan peripheral neuropathy
akibat factor diabetes dan alkoholik.
C. Pemeriksaan Rasa Raba Kasar ( Rasa Tekan)
Stimulus : Tekanan menggunakan jari tangan pemeriksa atau benda tumpul pada kulit pasien,
atau memencet otot tendon dan serabut syaraf
Teknik : tekan kulit pasien atau dengan jalan memencet otot tendon, namun jangan terlalu kuat
karena kan terasa rasa nyeri.
Instruksi pada pasien: “pejamkan mata anda, beritahu pada saya jika anda merasakan tekanan
pada tubuh anda, dan katakana dimana lokasinya”
D. Pemeriksaan Rasa Nyeri Dalam
Stimulus : dengan jalan memencet otot atau tendon, menekan serabut syaraf yang terletak dekat
permukaan, memencet testes atau biji mata.
Teknik : kita pencet otot lengan atas, lengan bawah, paha , betis dan tendon Achilles, juga dapat
dengan jalan menekan biji mata, laring, epigastrium dan testes. Perhatikan apakah pasien peka
terhadap rasa nyeri dalam.
Instruksi pada pasien ; “Pejamkan mata anda, beritahukan pada saya apabila anda merasakan
nyeri pada tubuh anda “
2. PEMERIKSAAN SENSIBILITAS INTEROSEPTIF
Rasa interoseptif ialah perasaan dari visera (organ dalam tubuh), yaitu rasa yang hilang
timbul dari organ-organ internal. Pasien mungkin mengemukakan gangguan perasaan berupa
rasa nyeri, mules, atau kembung. Nyeri visceral ini biasanya difus, tidak tegas lokalisasinya.
Pada pemeriksaan neurologi rasa interoseptif ini sukar dievaluasi dan sukar diperiksa. Selain
lokalisasinya yang difus, kita tidak dapat melakukan tes pada organ yang letaknya di dalam
tubuh.
Bersamaan dengan nyeri interoseptif yang diderita pasien, mungkin pula ia mengalami nyeri
somatic, yang mempunyai asal reflektoris yang disebut nyeri rujukan (referred pain). Nyeri
rujukan ini biasanya didapatkan pada dermatom yang sama atau yang berdekatan dengan organ
internal, sebagai akibat persyarafan segemental yang sama, namun mungkin pula pada tempat
yang lebih jauh. Misalnya nyeri angina pectoris dapat dirujuk ke lengan kiri, nyeri ginjal dapat
dirujuk ke daerah inguinal.
3. PEMERIKSAAN SENSIBILITAS EKSTEROSEPTIF
A. Pemeriksaan Rasa Raba
Stimulus : gumpalan kapas, kertas atau kain yang ujungnya diusahakan sekecil mungkin
Teknik : Menyentuh pasien dengan alat stimulus pada tubuh pasien dan bandingkan bagian-
bagian yang simetris
Instruksi kepada pasien : “ beritahukan kepada saya setiap saat anda merasakannya dan dimana
anda merasakannya. Kami akan mengujinya dengan mata anda dalam keadaan tertutup”
Hasil : Jika sensasi abnormal, lakukan pemeriksan di bagian proksimal sampai batas ketinggian
gangguan sensorik ditentukan.. Kelainan korteks sensori akan mengganggu kemampuan untuk
melokalisasikan daerah yang disentuh.
B. Pemeriksaan Rasa Nyeri
Stimulus : ujung yang tajam dari ujung swab stick yang patah , jarum atau peniti, ujung tumpul
menggunakan ujung swab stick yang tidak patah
Teknik : rasa nyeri dibangkitkan dengan menusuk dengan jarum atau dengan menggunakan
benda tumpul pada tubuh pasien dan bandingkan bagian-bagian yang simetris, jika bagian
simetris dibandingkan, tusukan harus sama kuat.
Instruksi kepada pasien “pejamkan mata anda, beritahukan saya setiap kali saya menyentuh anda,
apakah anda merasakan tajam atau tumpul dan dimana anda merasakannya “
C. Pemeriksaan Rasa Suhu
Stimulus : tabung reaksi yang diisi dengan air es (10-200 celcius) untuk rasa dingin dan untuk
rasa panas dengan air panas (40-500 celcius). Suhu yang kurang dari 50C dan lebih dari 500C
akan menimbulkan rasa nyeri.
Teknik : Diperiksa di seluruh tubuh dan dibandingkan bagian-bagian yang simetris. Bagian
proksimal ekstremitas biasanya kurang peka terhadap rasa dingin, bila dibandingkan dengan
bagian distal ekstremitas. Bagian yang simetris harus diusahakan agar berada dalam kondisi yang
sama, dibuka pakaiannya secara bersamaan,
Instruksi kepada pasien : “pejamkan mata anda, beritahukan saya setiap kali saya menyentuh
bagian tubuh anda, apakah anda merasakan rasa dingin atau panas dan dimana anda
merasakannya”
Hasil : perubahan rasa suhu dinyatakan dengan kata anesthesia suhu.
Therm – anesthesia dingin / panas : tidak merasa panas / dingin
Therm-hypesthesia dingin / panas : kurang merasa panas / dingin
Therm-hyperesthesia dingin / panas : lebih merasa panas / dingin.
Hypesthesia suhu terhadap rasa dingin sering dijumpai pada lesi talamik.
4. PEMERIKSAAN RASA SOMESTESIA LUHUR
Perasaan somestesia luhur ialah perasaan yang mempunyai sifat deskriminatif dan sifat tiga
dimensi / fungsi persepsi. Kadang juga digunakan istilah rasa gabungan (combined sensation).
Rasa somestesia luhur meliputi :
a. Rasa diskriminasi
Dua titik atau spasial ini merupakan kemampuan untuk mengetahui bahwa kita ditusuk dengan
dua jarum atau dengan satu jarum pada saat yang bersamaan.
Stimulus : jarum / peniti
Teknik : Dengan hati-hati peganglah dua peniti dengan jarak 2-3 mm dan sentuhlah ujung jari
tangan pasien. Mintalah kepada pasien untuk menyebutkan jumlah peniti yang dirasakannya.
Bandingkanlah penemuan ini dengan daerah yang sama pada ujung jari tangan lainnya. Karena
daerah tubuh yang berlainan mempunyai sensitivitas yang berbeda-beda, pemeriksa harus
mengetahui perbedaan ini. Di ujung jari tangan dapat membedakan 1 mm, jari kaki 3-8 mm,
telapak tangan 8-12 mm, punggung 40-60 mm.
Hasil : gangguan diskriminasi menandakan adanya lesi pada lobus parietalis.
b. Barognesia
Adalah kemampuan untuk mengenal berat benda yang dipegang atau kemampuan membeda-
bedakan berat benda
c. Stereognosia
Adalah kemampuan untuk mengenal bentuk benda dengan jalan meraba, tanpa melihat.
Tenik : suruhlah pasien menutup matanya. Letakkan kunci, pensil, klip kertas atau mata uang di
telapak tangan pasien dan mintalah kepadanya untuk mengenali benda-benda itu. Periksalah
tangan lainnya dan bandingkan hasilnya.
Hasil : ketidakmampuan mengenali benda mengindikasikan adanya gangguan fungsi lobus
parietalis dan oksipitalis.
d. Topostesia (topognosia)
Adalah kemampuan untuk melokalisasi tempat dari rasa raba.
Teknik : Suruhlah pasien untuk menutup matanya. Sentuh pasien dan mintalah pasien untuk
membuka matanya dan menunjukkan daerah dimana ia disentuh.
Hasil : ketidakmampuan melokalisasi titik menandakan adanya kelainan pada korteks sensorik.
e. Grafestesia
Adalah kemampuan untuk mengenal angka.
Teknik : mintalah pasien untuk menutup mata dan menjulurkan tangannya. Pakailah ujung
tumpul sebatang pensil untuk menulis angka dari 0 sampai 9 di telapak tangan itu. Angkanya
harus dibuat menghadap ke arah pasien. Bandingkan tangan yang satu dengan tangan yang
lainnya.
Hasil : ketidakmampuan mengenali angka merupakan tanda yang sensitive untuk penyakit lobus
parietalis.
DAFTAR PUSTAKA
Lumbantobing,S.M. (2012). Neurologi klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta. Badan
Penerbit FKUI
Bickley,Linn S;Szilagyi Peter G, (2009). Guide to Physical Examination.Philadelphia.Lippincott
Williams & Wilkins
Williams,Janice L. (2005). Diagnosis Fisik : Evaluasi dan Diagnosis dan Fungsi di Bangsal.
Jakarta. EGC
Swartz,Mark. (1995). Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta.EGC
SENSO-MOTORIK
OLEH
KELOMPOK 5
1.HASMAWATI RASYID ( C13113021 )
2.ULVIK DIAN GARCIA ( C13113022 )
3.ASTRI ANITA ( C13113023 )
4.A. NUR AISYAH ABBAS ( C13113024 )
5.FADILLAH NUR SYAMSIA ( C13113025 )
PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI PROFESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014