SENIN, 4 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Benteng Terakhir fileD I era 1980, jumlah perajin aluminium...

1
D I era 1980, jumlah perajin aluminium di Kota Gudeg men- capai 170 pelaku usaha. Namun memasuki 1995, sebagian besar perajin mulai gulung tikar lantaran kehabisan modal. Pesanan pun sepi. Tahun ini, yang tersisa ber- jumlah 90 unit usaha saja de- ngan total perajin aluminium sebanyak 1.300 orang. Omzet yang mereka hasilkan menca- pai Rp144 juta per hari. “Sekarang perajin aluminium sudah mulai bangkit lagi, tetapi masih banyak kekurangan di sana-sini. Kendala utamanya ialah teknologi,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Alumini- um Yogyakarta (Aspayo), Bam- bang Cahyono, di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Teknologi yang diguna- kan perajin aluminium masih ketinggalan jauh. Akibatnya produk yang mereka hasilkan tidak berdaya saing tinggi. Produk aluminium yang dihasilkan di Yogyakarta se- sungguhnya bervariasi. Mu- lai aksesori dan suku cadang sepeda motor hingga berbagai macam perabot rumah tangga. Pemasarannya pun sudah me- luas ke seluruh pelosok Nusan- tara. Ada pula yang diekspor ke Malaysia dan Taiwan via Bandung, dalam bentuk suku cadang sepeda motor dan sepeda angin. “Jangan kaget kalau suku cadang sepeda motor dari luar negeri sebenarnya karya pera- jin Yogyakarta. Banyak kasus, produk kita di-finishing di luar negeri kemudian masuk lagi ke pasar Indonesia, termasuk Yogyakarta,” kata Bambang. Perajin aluminium melalui Aspayo berusaha untuk tetap bisa bertahan dari gempuran, mulai awal dekade ini. Mereka sudah sepakat untuk menerus- kan per- kem- bangan kerajinan aluminium sebagai salah satu potensi ekonomi bagi Yogyakarta. Adapun keahlian perajin untuk menghasilkan produk kerajinan tidak perlu diragu- kan lagi. Hanya, keterbatasan teknologi menyebabkan produk yang dihasilkan ka- dang tidak maksimal. Um- pamanya saat memproduksi onderdil, mereka tidak bisa tepat ukuran dan persis seperti yang diinginkan. “Kami selalu mengamati, meneliti, dan memodifikasi. Kalau hanya disuruh menjiplak suku cadang sepeda angin atau sepeda motor, perajin kita cu- kup mumpuni. Artinya dari sisi kemampuan sangat berpotensi berkembang,” katanya. Gayung bersambut. Kini kendala teknologi yang dih- adapi perajin ditangkap Peme- rintah Kota Yogyakarta. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Logam pun dibangun un- tuk menjadi solusi dan bertugas mengem- bangkan kerajinan aluminium yang lebih mapan. UPT Logam diresmikan Gu- bernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 3 Desem- ber 2009. “Unit pelaksana teknis ini dimaksudkan un- tuk pelayanan, pembinaan, dan pengembangan industri aluminium,” kata Kepala UPT Logam, Wisnu Sundaru. Berbagai mesin dan peralat- an juga dibeli untuk meleng- kapi UPT Logam. Seperti mesin bubut konvensional (Baojie C36266C) dan VMC (Hartford F1 Series Lg-800) yang mampu membuat benda kerja dengan desain yang kompleks dan membutuhkan tingkat presisi yang tinggi. Ada juga mesin frais hori- zontal, copy milling, las listrik, las argon, las karbit, mesin bor tiang, gerinda duduk, dan gerinda portabel. UPT Logam juga memiliki laboratorium uji material se- perti uji komposisi dan uji mekanik. “UPT ini juga berperan seba- gai unit konsultasi bagi perajin aluminium,” jelas Wisnu. Meskipun sudah ada UPT Logam yang bisa menjem- batani persoalan teknologi untuk meningkatkan nila tam- bah pada produk alumunium, tetap saja perajin tidak begitu berkembang pesat. Pasalnya, mereka masih terbatas dari sisi permodalan. Mereka memimpikan adanya keberpihakan perbankan bagi pelaku industri kecil dan mene- ngah, yakni kemudahan men- dapat modal untuk mengem- bangkan usaha. “Perajin butuh bank yang berkarakter industri yang keberadaannya memang untuk industrialisasi di sektor ini,” ungkap Bambang dengan penuh harap. (N-4) sulistiono@ mediaindonesia.com Nusantara | 7 SENIN, 4 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Benteng Terakhir Kerajinan Aluminium Sentra industri di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, mulai bergeliat lagi. Mereka sempat rontok karena kalah modal dan teknologi. Sulistiono ASAL USUL Toko Oen Malang FOTO-FOTO: MI/SULISTIONO REPRO BAGUS SURYO KIOS es krim Oen yang bersejarah dan kesohor di kawasan tua Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, ini dulunya menempati posisi strategis. Persis di depan pusat pertokoan Sarinah (dulu Gedung Concordia), di sebelah Kantor Telkom, dan dekat dengan Alun-Alun Kota Malang. Berikut secuplik sejarah yang dilaluinya. 1930: Toko Oen berdiri dengan nama Oen Ice Cream Palace Pattissier, sesuai yang tertulis pada tembok depan toko tersebut. Sejak awal dibuka, pemilik restoran terkenal itu adalah orang Tionghoa bernama Max Liem, dengan marga Oen. Sajian utama restoran ini yakni menu spesial Belanda. Pada masa itu, Toko Oen menjadi tempat favorit berkum- pulnya orang-orang Belanda dan Eropa di Malang. 1947: Pada Kongres Komite Nasional Indonesia Pusat pada 25 Februari, restoran ini menjadi tempat mangkal peserta kongres se-Indonesia. Mereka makan siang dan minum di sini. Bangunan restoran ini juga salah satu yang selamat dari aksi bumi hangus di Malang. 1991: Restoran berganti kepemilikan, namun pemilik baru tidak mengubah fungsinya. Tidak seperti Toko Oen di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, pemilik baru mengganti bentuk bangunan ke gaya yang lebih modern serta komersil. Tinggal Toko Oen di Malang dan Semarang saja yang berkomitmen meneruskan gaya kolonial khas kios es krim bersejarah tersebut. Sekarang: Hingga kini menu masakan Belanda serta minuman tradisional masa lalu seperti sekoteng masih bisa dinikmati di tempat ini. Bahkan berbagai kudapan masa lalu juga tersedia. Restoran tersebut kini menjadi satu-satunya tempat makan di Kota Malang yang masih menampilkan suasana masa lalu. Meja, kursi, dan lemari masih dibiarkan sama seperti dulu. Kursi kayu dan rotan nuansa tempo dulu juga masih utuh. Bahkan pakaian yang dikenakan pelayan juga diper- tahankan seperti dulu, yakni berwarna putih. Itu sebabnya wisatawan dari Belanda dan Eropa lain- nya selalu mengunjungi restoran ini untuk bernostalgia. Mengingat kembali masa tinggal mereka di Kota Malang. (BN/N-4) MENGEMBANGKAN KERAJINAN: Pegawai UPT Logam, Yogyakarta, menyelesaikan proses produksi keraji- nan aluminium. Unit ini dibentuk pemerintah daerah untuk menyelesaikan kendala teknologi di tingkat perajin. Perabot Aluminium Piagam MI/BAGUS SURYO

Transcript of SENIN, 4 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Benteng Terakhir fileD I era 1980, jumlah perajin aluminium...

Page 1: SENIN, 4 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Benteng Terakhir fileD I era 1980, jumlah perajin aluminium di Kota Gudeg men-capai 170 pelaku usaha. Namun memasuki 1995, sebagian besar perajin

DI era 1980, jumlah perajin aluminium di Kota Gudeg men-capai 170 pelaku

usaha. Namun memasuki 1995, sebagian besar perajin mulai gulung tikar lantaran kehabisan modal. Pesanan pun sepi.

Tahun ini, yang tersisa ber-jumlah 90 unit usaha saja de-ngan total perajin aluminium sebanyak 1.300 orang. Omzet yang mereka hasilkan menca-pai Rp144 juta per hari.

“Sekarang perajin aluminium sudah mulai bangkit lagi, tetapi masih banyak kekurangan di sana-sini. Kendala utamanya ialah teknologi,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Alumini-um Yogyakarta (Aspayo), Bam-bang Cahyono, di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Teknologi yang diguna-kan perajin aluminium masih ketinggalan jauh. Akibatnya produk yang mereka hasilkan tidak berdaya saing tinggi.

Produk aluminium yang dihasilkan di Yogyakarta se-sungguhnya bervariasi. Mu-lai aksesori dan suku cadang sepeda motor hingga berbagai macam perabot rumah tangga. Pemasarannya pun sudah me-luas ke seluruh pelosok Nusan-tara. Ada pula yang diekspor ke Malaysia dan Taiwan via Bandung, dalam bentuk suku cadang sepeda motor dan sepeda angin.

“Jangan kaget kalau suku cadang sepeda motor dari luar negeri sebenarnya karya pera-jin Yogyakarta. Banyak kasus, produk kita di-fi nishing di luar negeri kemudian masuk lagi ke pasar Indonesia, termasuk Yogyakarta,” kata Bambang.

Perajin aluminium melalui Aspayo berusaha untuk tetap bisa bertahan dari gempuran, mulai awal dekade ini. Mereka sudah sepakat untuk menerus-kan per-k e m -bangan

kerajinan aluminium sebagai salah satu potensi ekonomi bagi Yogyakarta.

Adapun keahlian perajin untuk menghasilkan produk kerajinan tidak perlu diragu-kan lagi. Hanya, keterbatasan t e k n o l o g i m e n y e b a b k a n produk yang dihasilkan ka-dang tidak maksimal. Um-pamanya saat memproduksi onderdil, mereka tidak bisa tepat ukuran dan persis seperti yang diinginkan.

“Kami selalu mengamati, meneliti, dan memodifikasi. Kalau hanya disuruh menjiplak suku cadang sepeda angin atau sepeda motor, perajin kita cu-kup mumpuni. Artinya dari sisi kemampuan sangat berpotensi berkembang,” katanya.

Gayung bersambut. Kini kendala teknologi yang dih-adapi perajin ditangkap Peme-rintah Kota Yogyakarta. Unit

Pelaksana Teknis (UPT) Logam pun dibangun un-tuk menjadi solusi dan

bertugas mengem-bangkan kerajinan aluminium

yang lebih mapan.UPT Logam diresmikan Gu-

bernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 3 Desem-ber 2009. “Unit pelaksana teknis ini dimaksudkan un-tuk pelayanan, pembinaan, dan pengembangan industri alumi nium,” kata Kepala UPT Logam, Wisnu Sundaru.

Berbagai mesin dan peralat-an juga dibeli untuk meleng-kapi UPT Logam. Seperti mesin bubut konvensional (Baojie C36266C) dan VMC (Hartford F1 Series Lg-800) yang mampu membuat benda kerja dengan desain yang kompleks dan membutuhkan tingkat presisi yang tinggi.

Ada juga mesin frais hori-zontal, copy milling, las listrik, las argon, las karbit, mesin bor tiang, gerinda duduk, dan gerinda portabel.

UPT Logam juga memiliki laboratorium uji material se-perti uji komposisi dan uji mekanik.

“UPT ini juga berperan seba-gai unit konsultasi bagi perajin aluminium,” jelas Wisnu.

Meskipun sudah ada UPT Logam yang bisa menjem-batani persoalan teknologi untuk meningkatkan nila tam-bah pada produk alumunium, tetap saja perajin tidak begitu berkembang pesat. Pasalnya, mereka masih terbatas dari sisi permodalan.

Mereka memimpikan adanya keberpihakan perbankan bagi pelaku industri kecil dan mene-ngah, yakni kemudahan men-dapat modal untuk mengem-bangkan usaha. “Perajin butuh bank yang berkarakter industri yang keberadaannya memang untuk industrialisasi di sektor ini,” ungkap Bambang dengan penuh harap. (N-4)

[email protected]

Nusantara | 7SENIN, 4 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Benteng Terakhir Kerajinan Aluminium

Sentra industri di Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta, mulai bergeliat lagi. Mereka sempat rontok karena kalah modal dan teknologi.

Sulistiono

ASAL USUL

Toko Oen Malang

FOTO-FOTO: MI/SULISTIONO

REPRO BAGUS SURYO

KIOS es krim Oen yang bersejarah dan kesohor di kawasan tua Kayutangan, Kota Malang, Jawa Timur, ini dulunya menempati posisi strategis.

Persis di depan pusat pertokoan Sarinah (dulu Gedung Concordia), di sebelah Kantor Telkom, dan dekat dengan Alun-Alun Kota Malang.

Berikut secuplik sejarah yang dilaluinya. 1930: Toko Oen berdiri dengan nama Oen Ice Cream

Palace Pattissier, sesuai yang tertulis pada tembok depan toko tersebut. Sejak awal dibuka, pemilik restoran terkenal itu adalah orang Tionghoa bernama Max Liem, dengan marga Oen. Sajian utama restoran ini yakni menu spesial Belanda.

Pada masa itu, Toko Oen menjadi tempat favorit berkum-pulnya orang-orang Belanda dan Eropa di Malang.1947: Pada Kongres Komite Nasional Indonesia Pusat

pada 25 Februari, restoran ini menjadi tempat mangkal peserta kongres se-Indonesia. Mereka makan siang dan minum di sini. Bangunan restoran ini juga salah satu yang selamat dari aksi bumi hangus di Malang.1991: Restoran berganti kepemilikan, namun pemilik

baru tidak mengubah fungsinya. Tidak seperti Toko Oen di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, pemilik baru mengganti bentuk bangunan ke gaya yang lebih modern serta komersil.

Tinggal Toko Oen di Malang dan Semarang saja yang berkomitmen meneruskan gaya kolonial khas kios es krim bersejarah tersebut.

Sekarang: Hingga kini menu masakan Belanda serta minuman tradisional masa lalu seperti sekoteng masih bisa dinikmati di tempat ini. Bahkan berbagai kudapan masa lalu juga tersedia. Restoran tersebut kini menjadi satu-satunya tempat makan di Kota Malang yang masih menampilkan suasana masa lalu.

Meja, kursi, dan lemari masih dibiarkan sama seperti dulu. Kursi kayu dan rotan nuansa tempo dulu juga masih utuh. Bahkan pakaian yang dikenakan pelayan juga diper-tahankan seperti dulu, yakni berwarna putih.

Itu sebabnya wisatawan dari Belanda dan Eropa lain-nya selalu mengunjungi restoran ini untuk bernostalgia. Mengingat kembali masa tinggal mereka di Kota Malang. (BN/N-4)

MENGEMBANGKAN KERAJINAN: Pegawai UPT Logam, Yogyakarta, menyelesaikan proses produksi keraji-nan aluminium. Unit ini dibentuk pemerintah daerah untuk menyelesaikan kendala teknologi di tingkat perajin.

Perabot Aluminium PiagamMI/BAGUS SURYO