SENIN, 11 APRIL 2011 - ftp.unpad.ac.id filedalam menekuni dunia tari. Meski tidak berlatar belakang...

1
IWAN KURNIAWAN A DA perasaan bang- ga yang ia tunjuk- kan saat mengung- kapkan liku-liku dalam menekuni dunia tari. Meski tidak berlatar belakang pendidikan formal seni tari, ia membuktikan dirinya telah menjadi salah satu penari ter- baik saat ini. Kualitas Gentille dalam me- nari tak diragukan lagi. Ia su- dah menggeluti sejumlah tarian tradisional Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan sejak usia empat tahun. “Rasanya saya bisa bebas berekspresi. Setiap gerakan dalam tari menggam- barkan sebuah arti kedamai- an,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan ini. Pria kelahiran Makassar, 10 Agustus itu mengaku melalui tari ia bisa mengunjungi berba- gai negara. Sebuah perjalanan yang tidak ia bayangkan sebe- lumnya. Ya, begitulah. Gentille ada- lah salah satu pemain dalam sendratari I La Galigo. Seni per- tunjukan itu merupakan karya sutradara dunia asal Amerika Serikat, Robert Wilson. Lakon- nya mengisahkan petualangan Sureg Galigo yang penuh de- ngan kisah moral. Pementasan perdananya dilakukan di Singapura pada 2004. Di tahun yang sama, karya itu juga dipentaskan di Amsterdam, Barcelona, Mad- rid, Lyon, dan Revenna. Ke- mudian, New York dan Jakarta (2005), Melbourne (2006), Milan (2007), dan Taipei (2008). Selama pementasan, Ille, sapaan Gentille, selalu menjadi tokoh sentral dalam sendratari itu. Ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Pasalnya, ia menjadi peran utama dalam kisah yang diambil dari epik mitos penciptaan dari peradab- an Bugis. “Saya menari karena ini adalah epik dari suku saya. Ini membuat saya semakin bangga karena sendratari kami telah dikenal di seantero dunia,” ucapnya, bangga sambil meng- gerakkan jemarinya. Ayah dua anak itu memiliki rencana untuk bisa membuat sendratari serupa. Ia miris de- ngan cerita yang diambil dari epik tersebut tidaklah lengkap. Panjang naskah I La Galigo dipercaya melebihi isi kitab Mahabharata. Jadi, hanya se- bagian naskah yang diambil untuk ditarikan. Melalui sendratari itu, selain bisa mengunjungi kota-kota besar dunia, Ille telah menari di depan presiden. Mulai era Soeharto hingga Susilo Bam- bang Yudhoyono. “Dari semua presiden, saya sudah pernah tampil di hadapan mereka. Hanya Soekarno yang tidak pernah melihat saya menari,” cetusnya. Alumnus program diploma Jurusan Tata Boga Sekolah Pari- wisata Makassar itu mengaku keterlibatan pemerintah sudah cukup. Sayangnya, tidak se- mua penari bisa mendapatkan kesempatan untuk menari di Istana Presiden. Saat menari di hadapan orang nomor satu di Indonesia itu, ia selalu menari dengan hati. Bagi- nya, melalui menari setiap ge- rak-gerik dapat berkata-kata. “Jadi, saat tampil di depan DOK. PRIBADI Setelah berkelana menarikan kisah epik masyarakat Bugis itu berkeliling dunia, dua bulan lagi M Gentille Andilolo akan tampil di kampung halamannya. M GENTILLE ANDILOLO MENARIKAN I LA GALIGO KE SELURUH DUNIA presiden, saya tidak gugup. Saat di panggung, sekalipun presiden, ia hanyalah penon- ton,” cetusnya. Ille adalah putra asli suku Bugis. Ia menjadi contoh se- sosok yang bangga dengan kebudayaan lokal. Baginya, hidup adalah kesempatan yang dapat diisi dengan menari hing- ga hayatnya. “Ya, menarilah seumur hidup,” tuturnya, sedikit berloso. Pulang kampung Semenjak dipentaskan per- tama kali pada 2004 di ‘Negeri Singa’, sendratari I La Galigo belum pernah dipentaskan di tanah asalnya. Karena itu, Ille merasa senang karena bisa tampil di depan ke- luarga, rekan-rekannya semasa kecil dulu, hingga masyarakat Sulawesi Selatan. Sendratari tersebut akan dipentaskan di Benteng Rot- terdam, Makassar, pada 23-24 Juni. Dengan demikian, lakon itu bisa dikatakan akan pulang kampung. Kepiawaian Ille dalam me- nekuni seni tari tidak terlepas dari pengaruh sesepuhnya. Ia mendiang Mak Coppong Daeng Rannu, sang maestro tari Pakarena. Melalui bimbingan, ia mulai tekun belajar. Beberapa tari tradisional Toraja juga ia pelajar secara autodidak, yaitu tari Pa’gellu dan tari Dao bulan. Setelah tampil bersama sang sutradara Wilson, Ille pun meraih beasiswa karena talenta yang ada. Kesempatan itu tidak ia sia-siakan. Ia telah mem- perdalam pengetahuannya tentang kesenian di New York sejak delapan tahun silam. “Saya mengikuti beasiswa summer time (musim panas). Dengan beasiswa itu, saya semakin bisa mengerti ten- tang kesenian bangsa lain,” jelasnya. Kini, di tengah mendunianya sendratari I La Galigo, ia memi- liki angan untuk menggarap karya serupa. Bedanya, ia bakal memadukan tari Pa’gellu dan Dao bulan. Pemilihan dua tari itu dise- babkan tari tersebut memiliki losobagi masyarakat Toraja. Apalagi, pementasan kedua tari baru bersifat kelokalan. “Saya sungguh sedih karena yang menggarap I La Galigo adalah orang asing. Ini yang membuat saya untuk termo- tivasi untuk mengkreasikan yang lainnya,” ucapnya, de- ngan nada datar. Sebagai seorang penari, Ille juga senang berkoleksi aneka kain tenun, batik, dan sutra. Untuk batik, misalnya, sedikit- nya 450 kain telah menjadi koleksi pribadinya. “Saat pergi ke sebuah toko, saya sering ber- lama-lama karena perlu kejelian untuk memilih,” ucapnya. Kain-kain itu menjadi koleksi dan simpanan agar saat pe- mentasan ia memiliki stok. Apalagi, ia yakin keberadaan kain yang berkualitas bagus lambat laun akan mahal. “Ini yang membuat saya tetap me- ngoleksi karena saya juga ingin membuat sendratari lainnya,” pungkasnya, mantap. (M-2) [email protected] Saya menari karena ini adalah epik dari suku saya. Ini membuat saya semakin bangga karena sendratari kami telah dikenal di seantero dunia.” SENIN, 11 APRIL 2011 17 S O SOK

Transcript of SENIN, 11 APRIL 2011 - ftp.unpad.ac.id filedalam menekuni dunia tari. Meski tidak berlatar belakang...

IWAN KURNIAWAN

ADA perasaan bang-ga yang ia tunjuk-kan saat mengung-kapkan liku-liku

dalam menekuni dunia tari. Meski tidak berlatar belakang pendidikan formal seni tari, ia membuktikan dirinya telah menjadi salah satu penari ter-baik saat ini.

Kualitas Gentille dalam me-nari tak diragukan lagi. Ia su-dah menggeluti sejumlah tarian tradisional Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan sejak usia empat tahun. “Rasanya saya bisa bebas berekspresi. Setiap gerakan dalam tari menggam-barkan sebuah arti kedamai-an,” ujarnya di Jakarta, akhir pekan ini.

Pria kelahiran Makassar, 10 Agustus itu mengaku melalui tari ia bisa mengunjungi berba-gai negara. Sebuah perjalanan yang tidak ia bayangkan sebe-lumnya.

Ya, begitulah. Gentille ada-lah salah satu pemain dalam sendratari I La Galigo. Seni per-tunjukan itu merupakan karya sutradara dunia asal Amerika Serikat, Robert Wilson. Lakon-nya mengisahkan petualangan Sureg Galigo yang penuh de-

ngan kisah moral.Pementasan perdananya

dilakukan di Singapura pada 2004. Di tahun yang sama, karya itu juga dipentaskan di Amsterdam, Barcelona, Mad-rid, Lyon, dan Revenna. Ke-mudian, New York dan Jakarta (2005), Melbourne (2006), Milan (2007), dan Taipei (2008).

Selama pementasan, Ille, sapaan Gentille, selalu menjadi tokoh sentral dalam sendratari itu. Ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Pasalnya, ia menjadi peran utama dalam kisah yang diambil dari epik mitos penciptaan dari peradab-an Bugis.

“Saya menari karena ini adalah epik dari suku saya. Ini membuat saya semakin bangga karena sendratari kami telah dikenal di seantero dunia,” ucapnya, bangga sambil meng-gerakkan jemarinya.

Ayah dua anak itu memiliki rencana untuk bisa membuat sendratari serupa. Ia miris de-ngan cerita yang diambil dari epik tersebut tidaklah lengkap.

Panjang naskah I La Galigo dipercaya melebihi isi kitab Mahabharata. Jadi, hanya se-bagian naskah yang diambil untuk ditarikan.

Melalui sendratari itu, selain

bisa mengunjungi kota-kota besar dunia, Ille telah menari di depan presiden. Mulai era Soeharto hingga Susilo Bam-bang Yudhoyono. “Dari semua presiden, saya sudah pernah tampil di hadapan mereka. Hanya Soekarno yang tidak

pernah melihat saya menari,” cetusnya.

Alumnus program diploma Jurusan Tata Boga Sekolah Pari-wisata Makassar itu mengaku keterlibatan pemerintah sudah cukup. Sayangnya, tidak se-mua penari bisa mendapatkan

kesempatan untuk menari di Istana Presiden.

Saat menari di hadapan orang nomor satu di Indonesia itu, ia selalu menari dengan hati. Bagi-nya, melalui menari setiap ge-rak-gerik dapat berkata-kata.

“Jadi, saat tampil di depan

DOK. PRIBADI

Setelah berkelana menarikan kisah epik masyarakat Bugis itu berkeliling dunia, dua bulan lagi M Gentille Andilolo akan tampil di kampung halamannya.

M G E N T I L L E A N D I L O L O

MENARIKAN I LA GALIGO KE SELURUH DUNIA

presiden, saya tidak gugup. Saat di panggung, sekalipun presiden, ia hanyalah penon-ton,” cetusnya.

Ille adalah putra asli suku Bugis. Ia menjadi contoh se-sosok yang bangga dengan kebudayaan lokal. Baginya, hidup adalah kesempatan yang dapat diisi dengan menari hing-ga hayatnya. “Ya, menarilah seumur hidup,” tuturnya, sedikit berfi losofi .

Pulang kampungSemenjak dipentaskan per-

tama kali pada 2004 di ‘Negeri Singa’, sendratari I La Galigo belum pernah dipentaskan di tanah asalnya.

Karena itu, Ille merasa senang karena bisa tampil di depan ke-luarga, rekan-rekannya semasa kecil dulu, hingga masyarakat Sulawesi Selatan.

Sendratari tersebut akan dipentaskan di Benteng Rot-terdam, Makassar, pada 23-24 Juni. Dengan demikian, lakon itu bisa dikatakan akan pulang kampung.

Kepiawaian Ille dalam me-nekuni seni tari tidak terlepas dari pengaruh sesepuhnya. Ia mendiang Mak Coppong Daeng Rannu, sang maestro tari Pakarena. Melalui bimbingan, ia mulai tekun belajar. Beberapa tari tradisional Toraja juga ia pelajar secara autodidak, yaitu tari Pa’gellu dan tari Dao bulan.

Setelah tampil bersama sang sutradara Wilson, Ille pun meraih beasiswa karena talenta yang ada. Kesempatan itu tidak ia sia-siakan. Ia telah mem-perdalam pengetahuannya tentang kesenian di New York sejak delapan tahun silam.

“Saya mengikuti beasiswa summer time (musim panas). Dengan beasiswa itu, saya semakin bisa mengerti ten-

tang kesenian bangsa lain,” jelasnya.

Kini, di tengah mendunianya sendratari I La Galigo, ia memi-liki angan untuk menggarap karya serupa. Bedanya, ia bakal memadukan tari Pa’gellu dan Dao bulan.

Pemilihan dua tari itu dise-babkan tari tersebut memiliki fi losofi bagi masyarakat Toraja. Apalagi, pementasan kedua tari baru bersifat kelokalan.

“Saya sungguh sedih karena yang menggarap I La Galigo adalah orang asing. Ini yang membuat saya untuk termo-tivasi untuk mengkreasikan yang lainnya,” ucapnya, de-ngan nada datar.

Sebagai seorang penari, Ille juga senang berkoleksi aneka kain tenun, batik, dan sutra. Untuk batik, misalnya, sedikit-nya 450 kain telah menjadi koleksi pribadinya. “Saat pergi ke sebuah toko, saya sering ber-lama-lama karena perlu kejelian untuk memilih,” ucapnya.

Kain-kain itu menjadi koleksi dan simpanan agar saat pe-mentasan ia memiliki stok. Apalagi, ia yakin keberadaan kain yang berkualitas bagus lambat laun akan mahal. “Ini yang membuat saya tetap me-ngoleksi karena saya juga ingin membuat sendratari lainnya,” pungkasnya, mantap. (M-2)

[email protected]

Saya menari karena ini adalah

epik dari suku saya. Ini membuat saya semakin bangga karena sendratari kami telah dikenal di seantero dunia.”

SENIN, 11 APRIL 2011 17SOSOK