SENI TEMBANG I

68
Diktat SENI TEMBANG I DR. PURWADI, M.HUM PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Telp: 0274-550843-12; Email: [email protected] November 2010

Transcript of SENI TEMBANG I

Diktat

SENI TEMBANG I

DR. PURWADI, M.HUM

PENDIDIKAN BAHASA DAERAH

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Telp: 0274-550843-12; Email: [email protected]

November 2010

2

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk memperlancar proses belajar mengajar Mata Kulian

Seni Tembang I di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Yogyakarta.

Bahan perkuliahan Seni Tembang I secara teoritis terdiri dari pengenalan

olah vokal dan seluk beluk tembang Jawa. Adapun dalam aspek praktisnya, akan

diberikan latihan untuk melakukan tembang dolanan dan sebagian tembang macapat.

Hal ini tentu disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik.

Semoga dengan terbitnya diktat ini akan dapat memperlancar proses belajar

mengajar di kalangan pendidik dan mahasiswa. Diharapkan dari diktat sederhana ini

akan disusul oleh sebuah penerbitan yang lebih layak, sebagai sarana untuk nguri-

uri budaya Jawi yang adi luhung dan edi peni.

Yogyakarta, 10 November 2010

Dr. Purwadi, M.Hum

3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................... iii BAB I KEINDAHAN SENI TEMBANG ....................................... 1 BAB II TEMBANG DOLANAN ..................................................... 4 BAB III TEMBANG MACAPAT ...................................................... 18 BAB IV TEMBANG MIJIL .............................................................. 25 BAB V TEMBANG MASKUMAMBANG ...................................... 30 BAB VI TEMBANG GAMBUH ....................................................... 33 BAB VII TEMBANG PANGKUR ..................................................... 41 BAB VIII TEMBANG MEGATRUH .................................................. 48 BAB IX TEMBANG POCUNG ........................................................ 53 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 58 LAMPIRAN 1. SILABUS ...................................................................... 59 LAMPIRAN 2. RPP .............................................................................. 62 PENYUSUN ........................................................................................... 65

4

BAB I

KEINDAHAN SENI TEMBANG

A. Kandungan Nilai Luhur

Kebudayaan Jawa telah berusia ribuan tahun. Salah satu bagian dari

kebudayaan tersebut adalah kesenian, khususnya seni tembang. Seni tembang dalam

budaya Jawa mengandung unsur estetis, etis dan historis. Untuk unsur estetis atau

keindahan seni tembang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kesenian pada

umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Nilai

rekreatif tembang mampu menghibur hati yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan

suasana yang tegang, sehingga suasana terasa ayem tentrem.

Nilai utilitaris tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat

dari praktek ritual dalam masyarakat Jawa. Adanya acara rutin macapatan,

panembrama, ura-ura, gegendhingan, sesendhonan dan kehidupan menunjukkan

bahwa seni tembang tetap diuri-uri murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan

sangat memperhatikan unsur etis atau kesusilaan. Istilah kesusilaan ini sering

disebut dengan tata krama, unggah-unggah, budi pekerti, wulangan, wejangan,

wedharan, sopan santun, pernatan dan duga prayoga. Begitu pentingnya unsur etis

atau susila ini banyak sekali kitab-kitab Jawa yang mengulas secara jelas, tuntas dan

tegas. Misalnya Serat Wulangreh, Serat Whedhatama, Serat Tripama, Serat

Sanasunu, Serat Panitisastra, Serat Kalatidha dan Serat Sabdajati yang

mengandung ajaran budi pekerti luhur.

Sastra piwulang karya para pujangga tersebut ditulis dalam bentuk tembang

yang hingga kini amat diperhatikan oleh kalangan masyarakat Jawa. Unsur historis

5

tembang terdapat dalam sastra babad. Misalnya Babad Majapahit, Babad Demak,

Babad Pajang, Babad Mataram, Babad Kartasura, dan Babad Giyanti. Penulisan

sejarah dalam bentuk sastra babad ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat

apresiatif terhadap kehidupan masa lampau. Kesadaran sejarah ini dilandasi oleh

pemikiran bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan merupakan satu

kesinambungan yang tak terpisahkan. Sastra babad yang diungkapkan dalam bentuk

tembang itu bisa dijadikan referensi bagi generasi penerus sebagai kaca benggala

atau cermin kehidupan.

B. Pengembangan Seni

Sejalan dengan perjalanan masyarakat Jawa, maka seni tembang pun

mengikuti perkembangan jaman secara dinamis. Seni tembang mengalami

perkembangan sesuai dengan nuting jaman kelakone. Sebagai salah satu cabang

kesenian Jawa, tembang memperoleh kedudukan yang sangat terhormat. Masyarakat

Jawa yang berdomisili di perkotaan, pedesaan dan pegunungan sangat akrab dengan

seni tembang. Di lingkungan pendidikan formal, seni tembang disebarkan lewat

buku-buku ajar. Dengan demikian keberadaan seni tembang bertambah menyebar.

Publikasi seni tembang semakin diperhitungkan ketika media cetak dan elektronik

turut serta menyebarluaskan nilai-nilai estetis, etis dan historis seni tembang di

tengah-tengah masyarakat.

Seni tembang sebagai bagian dari kesenian daerah (Jawa) merupakan unsur

kesenian/seni budaya yang wajib dilestarikan pembinaannya dan pengembangannya

(Biman Putra, 2002). Seni Tembang yang terkait dengan seni Sastra Jawa adalah

sebagian unsur kebudayaan nasional yang dilindungi negara (Sardjijo, 1991).

6

Tembang merupakan puisi yang dinyanyikan. Jenis tembang ada tiga macam, yaitu :

tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe.

Banyak tembang dan lagu Jawa yang dinyanyikan dengan irama bebas.

Walaupun dikatakan dilagukan dengan irama bebas, mesti terdengar dan terasa

adanya keterlibatan langsung adanya: panjang pendek suara, keras lunak suara, besar

kecil nada, cepat lambat waktu (tempo), liukan suara atau alunan suara. Tujuannya

agar diperoleh suasana yang indah dan gembira.

7

BAB II

TEMBANG DOLANAN

A. Metode Pengajaran

Seni tembang dalam budaya Jawa diajarkan baik melalui jalur pendidikan

formal maupun pendidikan non formal. Di antara jenis tembang Jawa ada yang

disebut dengan tembang dolanan. Kata dolanan berasal dari kata dasar dolan yang

berarti bermain. Dolanan dapat diberi makna bermain-main. Pengertian tembang

dolanan adalah jenis lelagon yang bernuansa santai, bersenang-senang, suka cita,

riang gembira dan ringan tanpa beban. Kebanyakan tembang dolanan dinyanyikan

oleh anak-anak yang sedang bermain-main. Para pencipta tembang dolanan biasanya

amat memahami suasana batin atau aspek psikologis anak kecil. Tingkat kebahasaan

dan kandungan pemikirannya dibuat sangat sederhana, mudah dan komunikatif.

Tembang dolanan berguna sekali buat proses belajar-mengajar di tingkat

taman kanak-kanak. Guru TK yang banyak menguasai tembang dolanan tentu

memudahkan dalam kelancaran belajar anak balita. Di antara materi pembelajaran,

selama ini tembang dolanan terbukti sangat digemari. Bahkan setelah pulang di

rumah pun, anak-anak itu akan unjuk kebolehan di hadapan orang tuanya (Diyono,

1996). Metode playing by learning, bermain sambil belajar sebenarnya inheren

sudah dilaksanakan oleh para guru TK yang menggunakan materi belajar tembang

dolanan.

Keasyikan tembang dolanan ini pada perkembangan selanjutnya juga dipakai

oleh remaja dan orang tua. Hanya saja, syair-syairnya mesti diubah sesuai dengan

usia dan keadaan. Pada intinya suasana riang gembira saja yang masih

8

dipertahankan. Para pengarang Jawa pun sudah paham bahwa tembang dolanan

cocok untuk menyampaikan ajaran didaktif yang ringan-ringan saja. Untuk tema

besar, berat dan penting umumnya para pujangga lebih suka menggunakan metrum

tembang macapat, tembang tengahan dan tembang gedhe.

B. Unsur Pendidikan Anak

Nilai etis filosofis tembang dolanan memang mudah dipahami oleh khalayak

umum, orang awam, perserta didik pemula dan anak-anak muda. Ajaran luhur yang

dikandung dalam tembang dolanan sering disampaikan secara terbuka dan apa

adanya. Tembang dolanan menghindari kata-kata konotatif dan makna simbolik,

bahasa sehari-hari dan dekat dengan alam merupakan tema-tema yang menjadi

sumber inspirasi para pengarang lagu dolanan.

Berbeda sekali dengan topik-topik kontemplatif dan reflektif, para pujangga

tentu lebih memilih metrum yang mendukung suasana serius. Khusus untuk

tembang-tembang tertentu memang membutuhkan penampilan yang lebih

berwibawa. Pengarang-pengarang yang berasal dari kalangan istana memang lebih

cenderung untuk memilih tembang-tembang yang mengandung nilai filosofis

religius. Hal ini bisa dimaklumi karena istana menjadi panutan dan tuntunan.

Contoh tembang-tembang dolanan:

Gundhul Pacul

Gundhul-gundhul pacul-cul gembelengan Nyunggi-nyunggi wakul-kul sempoyongan Wakul ngglempang segane dadi saratan Wakul ngglempang segane dadi saratan

9

Barat Gedhe

Cempe-cempe barata sing gedhe Dak upahi duduh tape Cempa-cempa barata sing dawa Dak upahi duduh klapa Cemper-cemper barata sing banter Dak upahi duduh lemper

Bulan Gedhe

Bulan bulan gedhe ana santri menek jambe Ceblokna saklining wae Mumpung jembar kalangane Mumpung gedhe rembulane Suraka-surak hiyo

Tokung

Tokung-tokung wek wek wek Angon bebek pinggir dalan gung Sing ngadhangi Mbok Kaki Mandraguna Dak are-are bebek asetokung-tokung

Cublak-cublak Suweng

Cublak-cublak suweng Cublak-cublak suweng Suwengi si gulender Mambu katundhung gudel Pak Empong orong-orong Pak Empong orong-orong Sir sir plok kedhele gosong sir sir Sir sir plok kedhele gosong sir sir

Tul Jaenak

Tul jaenak jae jatul jaidi Kontul jare banyak ndoge bajul kari siji Abang-abang gendera Landa Wetan sithik kuburan mayit Klambi abang nggo tandha mata Wedhak pupur nggo golek dhuwit

10

Lindri

Lindri adang telung kathi Lawuhe bothok teri Njur dipenet-net Njur diemplok-plok Ya mak telep-lep Pacak gulu janggreng Adhuh yayi sendhal pancing

Kembang Jambu

Kembang jambu karuk lintang rina jare esuk jenang tela gethuk omah jaga aran cakruk pitik mabur kuwi manuk

Gajah-Gajah

Gajah-gajah, kowe takkandhani jah Mata kaya laron kuping ilir amba-amba Kathik nganggo tlale Buntut cilik tansah kopat-kapit Sikil kaya bumbung Sasolahmu megang-megung

Te Kate Dipanah

Te kate dipanah Dipanah ngisor gelagah Ana manuk ondhe-ondhe Bok sri bombok bok sri kate

E, Dhayohe Teka

E, dhayohe teka, e, gelarna klasa E, klasane bedhah, e, tambalen jadah E, jadahe mambu, e, pakakna asu E, asune mati, e, cemplungna kali E, kaline banjir, e, kelekna pinggir

11

Paman Guyang Jaran

Paman guyang jaran, e e ana apa Ngriku wau wonten popok beruk keli, e ora ana Nggonku neng kene wus suwe Tan ana suket kumledhang Amung wong kang ngguyang sapi Takonana ya dhuk Manawa uninga

Mbok Uwi

Mbok uwi rujak nanas Kumpul-kumpul aneng gelas Ya bapak ya ndara Adhem panas rasane

Wong ngombe upas Mas sinangkling suwasa inten berlean Kil-kil, kil methakil Cagak awak jare sikil

Sepuran

Sinten nunggang sepur lunga nyang Kediri Wong niki sepur dhur bayare setali Sapa trima nggonceng konangan kondhektur Yen didhendha kenceng napa boten kojur Sinten nunggang sepur lunga dhateng Nganjuk Sinten pengin makmur aja seneng umuk.

Jamuran

Jamuran ya gegethok Jamur apa ya gegethok Jamur gajih brejijih saara-ara Sira badhe jamur apa?

12

Menthog Menthog

Menthog-menthog, takkandhani Mung rupamu angisin-isini, Mbok ya aja ngetok Ana kandhang wae Enak-enak ngorok Ora nyambut gawe Menthog-menthog, mung lakumu Megal-megol gawe guyu

Irisan Tela

Ris irisan tela la la la Madu sari ri ri ri Manuke podhang unine kuk angkukan Unine kuk angkukan, unine kuk angkukan

Rujak Nanas

Mbok uwi rujak nanas Kampul kampul aneng gelas Ya bapak ya ndara Adhem panas rasane wong ngombe upas Oas mas sinangkling suwasa inten barleyan Kil kil kil methakil Cagak awak jare sikil

Sluku Bathok

Sluku sluku bathok, bathoke ela elo Si rama menyang kutha, leh olehe payung mutha Mak jenthit lololobah, wong mati ora obah Yen obah medeni bocah, yen urip goleka dhuwit

Buta Galak

Buta buta galak, solahe lunjak-lunjak Ngadeg jingklak-jingklak, nungkak kanca nuli nandhak Ngadeg bali maneh, rupane ting celoneh Iku buron aneh dak sengguh buron kang remeh La wong kowe we we sing marah-marahi

13

La wong kowe we we sing marah-marahi Hi hi aku wedi, ayo kanca ngajak bali Kae lo kae lo mripati plerak-plerok rok rok Kae lo kae lo kulite ambengkerok rok rok Ya kulite ambengkerok

Kidang Talun

Kidang talun mangan kacang talun Mil kethemil mil kethemil Si kidang mangan lembayung

Tikus Pithi

Tikus pithi duwe anak siji Cit cit cuwit, cit cit cuwit Si tikus mangani pari

Gajah Belang

Gajah Belang saka Tanah Plembang Nuk renggunuk, nuk renggunuk Gedhemu meh padha gunung

Sar Sur Kulonan

Sar sur kulonan, mak mak gemake rete te Dak uyake rete te, dak uyake rete te Yen kecandhak dadi gawe Musuh mesthi mati, musuh mesthi mati Dak bedhile mimis wesi Mong mong jlegur, mong mong jlegur

Suwe Ora Jamu

Suwe ora jamu Jamu godhong tela Suwe ora ketemu Ketemu pisan gawe gela

14

Suwe ora jamu Jamu godhong keningkir Suwe ora ketemu Ketemu pisan dadi pikir

Gethuk

Sore-sore padhang bulan Ayo kanca padha dolanan Rene-rene bebarengan Rame-rame e do gegojekan

Kae-kae rembulane Yen disawang kok ngawe-awe Kaya-kaya ngelingake Kanca-kanca ja turu sore-sore

Gethuk asale saka tela Mata ngantuk iku tambane apa Gethuk asale saka tela Yen ra mathuk atine rada gela

Ja ngono mas aja-aja ngono Kadung janji mas Aku mengko gela

Gambang Suling

Gambang suling ngumandhang swarane Thulat-thulit kepenak unine Unine mung nrenyuhake bareng lan kentrung Ketipung suling sigrak kendhangane

Ilir Ilir

Ilir-ilir ilir-ilir tandure wus sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar cah angon cah angon penekna blimbing kuwi lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira

15

dodotira kumitir bedhah ing pinggir domdomana jrumatana kanggo seba mengko sore mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane ya surak asurak hiyo.

Gugur Gunung

Ayo kanca ayo kanca ngayahi karyaning praja Kono-kene kono-kene gugur gunung tandang gawe Sayuk sayuk rukun bebarengan ro kancane Lila lan legawa kanggo mulyaning negara Siji loro telu papat bareng maju papat-papat Diulang-ulungake murih enggal rampunge Holopis kuntul baris holopis kuntul baris Holopis kuntul baris holopis kuntul baris

Wajibe Dadi Murid

Wajibe dadi murid Ora kena pijer pamit Kejaba yen lara, lara tenanan Ra kena ethok-ethokan Yen wis mari bali neng pamulangan Ja nganti mbolos-bolosan Mundhak dadi bocah bodho Plenga-plengo kaya kebo

Gula Klapa

Gula klapa abang putih sang dwi warna Gula klapa pralambang negara kita Watak kendel kulinakna budi asor singkirana Gula klapa dadi srana manunggaling nusantara Gula klapa abang putih sang dwi warna Gula klapa iku minangka pratandha Sagung rakyat Indonesia tunggal sipat rasa karsa Adhedhasar Pancasila ayem tentrem warga bangsa

16

Dhendheng Kenthing

Dhendheng kenthing thing Sambel lonthang thang Kakang mendhak yen mendhak ulung-ulungan Jenang telaka gendhis mawi kalapa, aoa Caosena temanten krenteg kawula Benguk wana kecipir wungu kembange, aoe Rowa rawe temanten ketemu sore.

Kembang Blimbing

Kembang blimbing bing maya maya ya Kembang pelem wujude ingklik ketela Kembang kacang lan kara padha kupune lha kae Kembang pring blas-blasan kaya carange Kembang jambu lan randhu metu karuke lha kae Dhasar blanggreng si kopi pamacakira

Jago Kluruk

Ing wayah esuk, jagone kluruk Rame swarane pating kemruyuk Wadhuh senenge sedulur tani Bebarengan padha nandur pari Srengenge nyunar kulon prenahe Manuke ngoceh ana wit-witan Pating cemruwit rame swarane Tambah asri donya saisine

Lesung Jumengglung

Lesung jumengglung Sru imbal-imbalan Lesung jumengglung Manengker mangungkung

Ngumandhang ngebegi Sajroning padesan Thok thok thek thok thok gung Thok thok thek thok thek thok gung

17

Thok thok thek thok thok gung Thok thok thek thok thek thok gung

Lumbung Desa

Lumbung desa pra tani padha makarya Ayo dhi, njupuk pari nata lesung nyandhak alu Ayo yu, padha nutu yen wis rampung nuli adang Ayo kang, dha tumandang yen wus mateng nuli madhang

Padhang Bulan

Padhang bulan ing pesisir Banyuwangi Kinclong-kinclong segarane kaya kaca Lanang wadon bebarengan suka-suka Eling-eling yo padha elinga Perjuangan patang puluh lima Perjuangan rakyat Indonesia

Wisata Kutha

Kutha Bondowoso mas misuwur tapene, Cak cak Surabaya ja lali rujak cingure, Timbang bali nglenthung wingka Babad luwung, Mojokerto jipang wedang angsle asli Malang, Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati, Brem kutha Mediun kripik Trenggalek tamba gumun, Kediri tahu takwane yen Nganjuk kondhang angine. Kutha Ponorogo mas, misuwur reoge Cak-cak Surabaya jo lali mbarek ludruke Empun kesusu kondur mirsanana sandur Wayang topeng dhalang saking Madura sampun kondhang Njajah desa milang kori nggoleki condhonge ati E, seni gambus misri Jombang gandrung Banyuwangi Pandaan sendra tarine yen Nganjuk kondhang kledheke

Witing Klapa

Witing klapa jawata ing ngarsa pada Salugune wong wanita Pancen nyata kula sampun jajah praja Ing Ngayoja Surakarta

18

Cep Menenga (Ki Narto Sabdo)

19

Praon

(Ki Narto Sabdo)

20

Swara Suling

(Ki Narto Sabdo)

Bocah Gunung

Nadyan aku bocah gunung Doh banget dunungku Ora usah ndadak nganggo bingung Yen ta pancen tresna aku Pancen isih dadi lakon Ninggalke sliramu Ra orane yen bakal kelakon Pepisahan karo aku Muga-muga aja nganti gawe gela Nga dinunga tinebehna ing rubeda Yola y mas – yomas yomas Apa kowe ra kelingan Dalan nang omahku Ana latar padha lelungguhan Geguyonan karo aku

21

BAB III

TEMBANG MACAPAT

A. Konvensi Tembang Macapat

Tembang macapat sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Dilihat dari

bentuk karya sastranya, tembang Macapat itu mempunyai konvensi/aturan yang

sama dengan tembang Tengahan, yang pokok ialah: guru gatra, guru wilangan dan

guru lagu. Di samping itu perlu dibumbui dengan hiasan bahasa berupa: kata-kata

Kawi, purwakanthi, kata-kata berkias, bali-swara, daya-sastra dan sebagainya

(Sardjijo, 1991).

Dilihat dari cara melagukannya dan membacanya, perlu diperhatikan

masalah: laras (Slendro, Pelog), lagu-lagunya, irama dan kejelasan ucapannya.

Tembang macapat terikat oleh metrum tertentu. Teknik nembang macapat diuraikan

oleh Hardjasoebrata (1985) dalam bukunya yang berjudul Pedhotan Tembang

Macapat, dan Hardjowirogo (1958) dengan bukunya yang berjudul Pathokaning

Nyekaraken. Adapun tembang yang berkaitan dengan pentas wayang purwa

diuraikan oleh Harsono Kodrat (1982) dengan judul buku Gendhing-gendhing

Karawitan Jawa, serta Kodiron (1976) dalam buku Marsudi Karawitan Jawi.

Tokoh seni tembang lainnya yaitu Marwoto (1981) dengan bukunya Turunan

Karawitan, Nanang Windradi (2002) dengan bukunya Suluk Kawruh Pedhalangan

lan Macapat.

Adapun tokoh yang mengulas tentang tembang dan gending karawitan yaitu :

Soekiman (1984) dengan bukunya Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa, Soerasa

(1983) dengan bukunya Gamelan, Soetrisno (2004) dengan bukunya Syair Tembang

22

dalam Wayang Purwa, Sri Widodo (1995) dengan bukunya Gendhing-gendhing

Dolanan, dan Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut, Sudibyo Aris (1982)

dengan bukunya Mengenal Kesenian Tradisional, Waridi (2004) dengan bukunya

Seni Pertunjukan Wayang, Warih Jati Rahayu (2002) dengan bukunya Puspa

Sumekar, Wasista Suryadiningrat (1971) dengan bukunya Gamelan Dance and

Wayang in Jogjakarta dan Wiryah Sastrowiryono (1988) dengan bukunya Bawa

Sekar. Masing-masing pakar ini memang mempunyai kontribusi yang sangat berarti

bagi perkembangan seni tembang Jawa.

B. Guru Lagu, Guru Wilangan, Guru Gatra

Metrum atau matra itu keteraturan perbandingan jatuhnya berat ringan suara

atau ukuran keajegan jatuhnya tekanan keras suara, dhong-dhing atau guru-lagu.

Suara berat, dhong atau guru itu dalam teori titik irama dinyatakan dengan garis

pendek lurus mendatar, dhing atau lagu dinyatakan dengan tanda setengah lingkaran

kecil tengadah.

No. Gamaning sekar Guru gatra ingkang kaping Katrangan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Dhandhanggula. 10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a

Mac

apat

(alit

) (ba

ku) 2. Sinom. 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a –

3. Asmaradana. 8i 8a 8o(e) 8a 7a 8a 8a - - -

4. Kinanthi. 8u 8i 8a 8i 8a 8i - - - -

5. Pangkur. 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i - - -

6. Durma. 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i - - -

23

7. Mijil. 10i 6o 10e 10i 6i 6u - - - -

8. Maskumambang. 12i 6a 8i 8a - - - - - -

9. Pocung. 12u 6a 8i 12a - - - - - -

10. Gambuh. 7u 10u 12i 8u 8o - - - - -

Teng

ahan

11. Megatruh 12u 8i 8u 8i 8o - - - - -

12. Balabak. 12a 3e 12a 3e 12a 3e - - - -

13. Wirangrong. 8i 8o 10u 6i 7a 8a - - - -

14. Jurudemung. 8a 8u 8u 8a 8u 8a 8u - - -

15. Girisa. 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a 8a - - (ageng)

Guru gatra = jumlah baris

Guru wilangan = jumlah suku kata

Guru lagu = suara akhir vokal

Masing-masing tembang macapat mempunyai sifat dan kegunaan sendiri-

sendiri yaitu:

Tembang Pocung, sifatnya: mempunyai makna seenaknya, bersendau gurau.

Gunanya: untuk kelakar, teka-teki lucu, petuah.

Tembang Mijil, sifatnya: gandrung-gandrung, prihatin. (Gunanya :

mengungkapkan rasa prihatin.

Tembang Maskumambang, sifatnya: susah, merana, prihatin. Gunanya :

mengungkapkan rasa susah.

Tembang Kinanthi, sifatnya: mengandung makna pengharapan gandrung.

Gunanya: mengungkapkan rasa susah karena cinta.

24

Tembang Durma, sifatnya: tegang, marah, dendam. Gunanya : untuk

peringatan, peperangan, menantang.

Tembang Asmaradana, sifatnya: sengsem, marah, dendam. Gunanya :

mengungkapkan rasa susah karena cinta.

Tembang Pangkur, sifatnya: gandrung, tegang. Gunanya untuk memberi

peringatan.

Tembang Sinom, sifatnya: sederhana, susah. Gunanya untuk nasihat,

mengungkapkan rasa susah.

Tembang Dhandhanggula, sifatnya: luwes, manis, serba cocok. Gunanya:

untuk nasihat, mengungkapkan rasa sedih, buat permulaan gendhing.

Tembang Megatruh, sifatnya: susah, menyesal sekali. Gunanya: untuk

mengungkapkan rasa susah.

Tembang Gambuh, sifatnya: menerangkan, men-jelaskan. Gunanya: untuk

mengajar dengan keterangan (Subalidinata, 1974).

Sedangkan menurut Dewantara (1968) setiap tembang memiliki watak

sebagai berikut :

No. Nama. Tegesipun. Ingkang nganggit. Watak.

1. Dhandhanggula.

Pangajab manis. Godhong minangka pepaes. Glali. Dhandhang.

Kanjeng Sunan Kalijaga.

Luwesan; kangge bebuka, tengah, wekasan

2. Sinom. Pradapaning godhong asem.

Kanjeng Sunan Giri Kedaton.

Kangge bebuka, sesorah.

3. Kinanthi. Kanthi, mbekta. Kanjeng Sultan Adi Erucakra.

bebuka. asih, tresna, tumrap gandrung, piwulang.

4. Mijil. Medal, ngraras ati (kawetu). Sunan Geseng. Bebuka. Prihatos.

25

5. Pangkur. Buntut. Murcapada. Gandrung, sereng.

6. Durma. Sima. Kanjeng Sunan Bonang.

Galak. yen langkung sereng.

7. Asmaradana. Kasengsem dana. Kanjeng Sunan Giri Kedaton.

Nesu. Prihatos. Sesotah; sereng.

8. Maskumambang. Kencana tumimbul. Kanjeng Sunan Majagung.

Panalangsa utawi prihatos sanget.

9. Megatruh. Nerang jawah. Kanjeng Sunan Giri Parapen.

Priharos utawi getun pungun-pungun.

10. Pocung. Kluwak, pucuk. Kanjeng Sunan Gunungjati.

Yen gregetipun kendo. Sasakecanipun.

11. Gambuh. Lanteh. Natapraja. Wedharing piwulang ingkang radi sereng.

C. Sifat / Watak Tembang Macapat

Sedangkan menurut Sardjijo (1991), watak tembang adalah sebagai berikut :

Tiap nama tembang Macapat mempunyai sifat/watak masing-masing. Oleh karena

itu pemaparan atau penggambaran sesuatu hal biasanya diselaraskan dengan

sifat/watak tembangnya. Sifat tembang Macapat itu dapat dikatakan sebagai berikut:

(1) Pucung Berwatak gregeten kendho, lucu agak menggelikan, sesuka

hati. Cocok untuk menggambarkan hal-hal yang kurang

bersungguh-sungguh, seenaknya.

26

(2) Gambuh Sumanak, sumadulur, kekeluargaan. Cocok untuk

pengungkapan hal-hal yang bersifat kekeluargaan, nasihat,

kependidikan yang mengandung kesungguhan hati.

(3) Pangkur bersifat keras, bergairah (sereng, nepsu), cocok untuk

memberikan nasihat yang keras, cinta berapi-api, cerita hal-

hal yang bersifat keras.

(4) Durma berwatak keras, marah, bergairah. Cocok untuk

mengungkapkan kemarahan, cerita perang, perasaan jengkel.

(5) Maskumambang nlangsa, ngere-eresi, sedih, memilukan. Cocok untuk

melukiskan perasaan sedih, memilukan hati.

(6) Megatruh bersifat sedih, prihatin, getun, menyesal. Cocok untuk cerita

yang mengandung rasa penyesalan, prihatin, sedih dsb.

(7) Wirangrong bersifat berwibawa. Sesuai untuk pengungkapan keadaan

yang mengandung keagungan, keindahan alam,

pendidikan/pengajaran.

(8) Mijil berwatak cinta, prihatin. Cocok untuk memberikan

pendidikan/pengajaran, rasa cinta kasih, dsb.

(9) Kinanthi bersifat senang, cinta kasih. Cocok untuk memberikan

pendidikan/pengajaran, rasa cinta kasih, dsb.

(10) Balabak bersifat sembrana, seenaknya, lucu. Cocok untuk

menggambarkan hal-hal yang agak lucu serba sesuka hati.

(11) Asmaradana berwatak sedih, cinta asmara. Cocok untuk penggambaran

hal-hal yang mengandung kesedihan cinta asmara.

27

(12) Jurudemung berwatak kenes, prenes. Cocok untuk memaparkan hal-hal

yang mengandung sifat banyak ulah, memancing-mancing

asmara.

(13) Girisa berwatak gagah, berwibawa, wanti-wanti. Sesuai untuk cerita

yang mengandung pendidikan/pengajaran dan nasihat.

(14) Sinom bersifat lincah, ethes, canthas. Cocok untuk melukiskan

suasana kelincahan, berpidato, nasihat dsb.

(15) Dhandhanggula berwatak luwes, menyenangkan. Sesuai untuk

mengungkapkan segala hal/keadaan.

Para seniman dan budayawan dapat mengungkapkan perasaan dan isi

hatinya dalam bentuk tembang sesuai dengan sifat serta keadaannya. Dengan

demikian, karya ciptanya akan menjadi lebih hidup.

28

BAB IV

TEMBANG MIJIL

Makna Tembang Mijil

Tembang mijil mempunyai rumusan dan makna tertentu. Kata mijil secara

harfiah berarti keluar atau lahir. Secara filosofis tembang ini melambangkan proses

kelahiran manusia di dunia. Contoh tembang mijil beserta guru lagu dan guru

wilangannya:

Dedalane guna lawan sekti, (10 i) kudu andhap asor, (6 o) wani ngalah luhur wekasane, (10 e) tumungkula yèn dipun dukani, (10 i) bapang dèn simpangi, (6 i) ana catur mungkur. (6 u)

Ketawang Mijil Wigaring Tyas

2 1 2 6 2 1 6 5 2 1 2 6 2 1 6 5

2 1 2 6 2 1 6 5 2 1 2 6 2 1 6 5

6 6 . . 5 5 6 1 5 6 1 2 3 1 6 5

1 2 1 6 5 2 1 6 2 3 2 1 3 2 1 6

5 5 6 1 5 4 1 2 3 5 1 6 2 1 6 5

Dhuh biyung mban wayah apa iki Rembulan wus ngayom Ing gegana trang abyor lintange Tis-tis sonya puspita kasilir Maruta ris kengis Sumrik gandanya rum (Serat Rama)

29

Mijil Poma Kaki

Poma padha dipun-enget kaki, ing pitutur ingong, sira uga satriya arane, kudu anteng jatmika ing budi, ruruh sarta wasis, samubarangipun.

Sarya nedya prawira ing batin, nanging aja katon, sasabana yen durung masane, kekendelan aja wani mingkis, weweka ing ati, sinamar sinamun.

Lan den-mantep sami marang becik, lan ta aja wekas- ingong, aja kurang iya panrimane, yen wis titahira ing Hyang Widdhi, ing badan puniki, wus pepancenipun.

Ana wong narima wus titahing, Hyang kang dadi awon, lan wong ananarima titahe, ing wekasan iku dadi becik, dene wong ingkang becik, wong narima iku.

Kaya umpamane wong angabdi, amagang Sang Katong, lawas-lawas teka sasedyane, dadi mantri utawa bupati, miwah saliyaning, ing tyase panuju.

Nuli narima terusing batin, tan menging ing Katong, lan rumasa ing kanikmatane, sihing gusti tekeng anak rabi, wong narima becik, kang mengkono iku.

Nanging arang iya masa mangkin, kang kaya mengkono, kang wis kaprah iya salawase, yen wis ana linggihe sathithik, apan nuli lali, ing wiwitanipun.

Pangrasane duweke pribadi, sabarang kang kanggo, datan enget ing mula-mulane, kawiting sugih sangkaning mukti, panrimaning ati, kaya nggone nemu.

Tan rumasa murahing Hyang Widdhi, jalarang Sang Katong, ing jaman mengko iki mulane, arang turun wong lumakyeng kardi, tyase tan salirih, kasusu ing angkuh.

Arang kang sedya amales becik, ing sihe Sang Katong, lawan kabeh iku ing batine, tan anedya narima ing Widdhi, iku uwong tan wrin, ing nikmat ran-ipun.

(Serat Wulangreh)

30

Mijil Bala Lumaris

Mijil Sekarsih

31

Mijil Wit Becik

Wite becik dadine ajuti, kang metu Senen pon, pan wus pasthi amindho lakine, datan trima sapisan yen laki, kudu ngaping kalih, tan cidra puniku. Lamun pinet iriban sathithik, lanang tuwin wadon, suwe-suwe tan ana bedane, iya lanang iya ta pawestri, dangu-dangu sami, ya wirasatipun. Senen wage begjane sathithik, imbuh lantap dhoso, nanging bisa momong wong tuwane, rada bekti laki sawatawis, nging sandhunganeki, rada dhemen padu. Jembar budi tunggale kekalih, de kang Senen kliwon, doyan mangan dremba imul saen, rada kebluk sarta ambesiwit, kawirangan mintir, wedi marang kakung. Dene ingkang metu Senen legi, lemes teka dhoso, kabrangasan ora sabudine, nora suka kumpul lan sesami, kudu angungkuli, barang kudu punjul. Rama ibu yen luput tan wani, yen bener ambekos, lamun krama wedi ing lakine, pan jinurung begjane sathithik, nanging tunggak semi, padon kendho pungkur. Dene ingkang weton Senen paing, padone angganthol, lemes luwes sugihan wateke, lan keringan carobo ing becik, nanging Senen paing, krep petengan kalbu. Dina Senen wus telas tiniti, den eling suteng-ngong, Salasa pon kang winuwus maneh, yen wanodya rada bekti laki, sandhungane mintir, lilan cangkem karut. Sinung awik tur pikire becik, miturut sapakon, tur angembang sepaka wateke, lamun kakung wedi marang estri, yen gung begjaneki, sandhungan tan tutug. Slasa wage wirasatireki, antuk sihing nguwong, kadya wuni iku umpamane, yen andulu warnane kang wuni, itheng pan semu abrit, pinangan jengkerut. Keh kapencut miyarsa derangling, wruh rasane mlengos, mring lakine sathithik wedine, sugih prentah bojone tan mintir, lan tan bengis maring, nora pinter padu. Ati gedhe begjane sathithik, awit saka dhoso, dhemen ngiwa wong iku wateke, sandhungane karusak tan pikir, rada murka kedhik, padon kendho pungkur. Terkadhangan sok alarang siwi, de Salasa kliwon, pan wus takdir Hyang Suksma karsane, kudu-kudu laki kaping kalih, kang tan ngaping kalih nuli pegat lampus. Patrap sareh dhoso jroning ngati, sabare kang katon, adreng durung yen ana karsane, bekti laki miwah rama wibi, wasis acariwis, cekel karyanipun. Dene ingkang metu Slasa legi, pikire lir botoh, apan jembar budine wong kuwe, kabrangasan kawirangan mintir, tur begjane kedhik, lumrah mring sadulur.

32

Dene ingkang metu Slasa paing, watek bengis dhoso, sok sugiha wong iku wateke, reka blaba tur temene cethil, kawirangan mintir, rada dhemen padu. Dina Salasa titinya paing, gantya dina Rebo, Yen Rebo pon krep petengan aten, juweh meneng ora duwe uni, lamun arsamuni, lir gelap kasandhung. Sandhungane sok alarang siwi, yen tumandang dhoso, yen ta rama ibu nora duwe, pan jinurung rijekine mintir, padon buntut arit, tan wruh ing sadulur. Rebo wage wateke pan becik, nanging laki pindho, pan keringan sapadha-padhane, crobo nanging rada bekti laki, alila mring bukti, barang cangkem karut. Mung padone sok ambuntut arit, dene Rebo kliwon, doyan mangan dremba imul saen, lantap bengis kawirangan mintir, lumuh barang kardi, sinome sinantun. (Serat Centhini)

33

BAB V

TEMBANG MASKUMAMBANG

Tembang maskumambang mempunyai arti demikian: mas berarti logam

mulia, kumambang berarti terapung. Tafsir tembang ini mengandung makna bahwa

kehidupan harus berakhir dengan keberuntungan. Oleh karenanya manusia diharap

untuk berbuat baik semulia emas. Contoh tembang Maskumambang beserta guru

lagu dan guru wilangannya:

Jayeng sari yata angandika aris, (12 i) Aduh ariningwang, (6 a) Adat temen sira iki, (8 i) Yen nangis banjur kantaka, (8 a)

Maskumambang Maliwis Putih

34

Maskumambang Gathutkaca Gandrung

Gereng-gereng Gathutkaca sru manangis Sambatira melas arsa Luhnya marawayan mili Gung tinameng astanira

Maskumambang Bapa Biyung

Nadyan silih bapa biyung kaki nini, sadulur, myang sanak, kalamun wuruk tan becik nora pantes yen den-nut-a. Apan kaya mangkono watekan iki, sanadyan wong tuwa, yen duwe watek tan becik, nora pantes yen den-nut-a.

Aja sira niru tindak kang tan becik, nadyan tan wong liya, lamun pamuruke becik, miwah tindake prayoga.

Iku pantes sira tiruwa tan kaki, miwah bapa biyung, wewuruk watekan becik, iku kaki estokena.

Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi, pan nemu duraka, ing donya tuwin akhir, tan wurung kasurang-surang.

Maratani mring anak pituning wuri, den padha prayitna, aja nana kumawani, ing bapa tanapi biyung.

Ana uga etang-etangane kaki, lelima sinembah, dununge sawiji-wiji, sembah lelima punika.

Ingkang dhingin rama ibu kaping kalih, mara-tuwa lanang, wadon kang kaping tri, ya marang sadulur tuwa.

Kaping pate marang ing guru sayekti, sembah kaping lima, marang ing gustinireki, parincine kawruhana.

Pramilane rama ibu den-bekteni, kinarya jalaran, ananging badan puniki, wineruhken padhang hawa.

Uripe pinter samubarang kardi, saking ibu rama, ing batin saking Hyang Widdhi, mulane wajib disembah.

Pan kinarsakaken ing Hyang Kang Linuwih, kinarya jalaran, aneng ing donya puniki, weruh ing becik lan ala.

Saking rama ibu margane udani, mila mara-tuwa, lanang wadon den-bekteni, aweh rasa ingkang nyata.

35

Sajatine rasa kang mencarken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa.

Pan sinembah gegentining ramaneki, pan sirnaning bapa, sadulur tuwa gumanti, ingkang pantes sira tut-a.

Ing sawarah wuruke ingkang prayogi, sembah kang kaping pat, ya marang guru sayekti, marmane guru sinembah.

Kang atuduh marang sampurnaning urip, tumekeng antaka, madhangken petenging ati, ambenerken marga mulya.

Wong duraka ing guru abot pribadi, pramila proyoga, minta asih siyang latri, ywa nganti suda sihira.

Kaping lima dununging sembah puniki, mring Gusti kang murba, ing pati kalwan urip, miwah sandhang lawan pangan.

Wong ing donya wajib anuta ing Gusti, lawan dipun awas sapratingkahe den-kesthi, aja dumeh wus awirya.

(Serat Wulangreh)

Maskumambang Rowang Karuna

36

BAB VI

TEMBANG GAMBUH

Tembang gambuh ini berarti cocok, selaras, serasi dan seimbang. Tembang ini

merupakan lambang kehidupan suami istri yang telah mencapai kebahagiaan dan

kemuliaan hidup. Contoh tembang gambuh:

Gambuh Tutur Bener

Tutur bener puniku, sayektine apantes tiniru, nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo. Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh. Si Kidang umbagipun, ngandelaken kebat lumpatipun, pan si gajah ngandelaken geng inggil, ula ngandelaken iku, mandine kalamun nyakot. Iku upaminipun, aja ngandelaken sira iku, suteng Nata iya sapa kumawani, iku ambege wong digung, ing wasana dadi asor. Adiguna puniku, ngandelaken kapinteranipun, samubarang kabisan dipun dheweki, sapa bisa kaya ingsun, toging prana nora enjoh. Ambeg adigang iku, ngongasaken ing kasoranipun, paratantang candhala anyenyampahi,

37

tinemenan nora pecus, satemah adadi guyon. Ing wong ngurip puniku, aja nganggo ambeg kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, kang waskitha solah ing wong. Dene tetelu iku, si kidang suka ing patinipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ingpatinipun, ngandelaken upase mandos. Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wang anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang nggunggung, wekasane kajelomprong.

(Serat Wulangreh)

Gambuh Sambel Goreng

. . . . . 1 1 1 . 2 6 1 5 3 5 . 0

Se- ga pe- nak wak du- dun

. . . . . 5 3 2 1 . 1 1 2 6 1 5 3 5 . 0

Sambel go- reng tur pe- te- ne wu- tuh

1 6 5 2 . 3 . 2 1 . 3 3 3 3 5 2 . 3 1 5 6 5 3 . 0

Gu- deg manggar i- wak pi- tik santen kanil

1 1 1 1 . 2 2 2 . 3 2 . 3 . 2 1 . 0

I- wak empal a- bon re- mus

3 3 3 3 . 3 2 3 . 5 . 2 . 3 . 2 1 . 0

Be- rongkos- e i- wak co- ngor

38

Gambuh Pamoring Rasa

Gambuh Jurang Gesong

Gambuh Sembah Catur

Samengko ingsun tutur, Sembah catur supaya lumuntur, Dhidhin raga, cipta, jiwa rasa, kaki, Ing kono lamun tinemu, Tandha nugrahaning Manon.

39

Sembah raga puniku, Pakartine asarana saking warih, Kang wus lumrah limang wektu, Wantu wataking weweton. Inguni uni durung, Sinarawung wulang kang sinerung, Lagi ini bangsa kas ngetokkan anggit, Mintokken kawignyanipun, Sarengate elok elok. Thithik kaya santri Dul, Gajeg kaya santri brai kidul, Saurute Pacitan pinggir pasisir, Ewon wong kang padha nggugu, Anggere padha nyalemong. Kasusu arsa weruh, Cahyaning Hyang kinira yen karuh, Ngarep arep urub arsa den kurebi, Tan wruh kang mangkono iku, Akale kaliru enggon. Yen ta janma rumuhun, Tata titi tumrah tumaruntun, Bangsa srengat tan winor lan laku batin, Dadi nora gawe bingung, Kang padha nembah Hyang Manon. Lir sarengat iku, Kena uga inganaran laku, Dhingin ajeg kapindhone ataberi, Pakolehe putraningsung, Nyenyeger badan mrih kaot. Wong seger badanipun, Otot daging kulit balung sungsum, Tumrah ing rah memarah antenging ati, Antenging ati nunungku, Angruwat ruweding batos. Mangkono mungguh ingsun, Ananging ta sarehne asnafun, Beda beda panduk panduming dumadi, Sayektine nora jumbuh, Tekad kang padha linakon.

40

Nanging ta paksa tutur, Rehne tuwa tuwa se mung catur, Bok lumuntur lantaraning reh utami, Sing sapa temen tinemu, Nugraha geming kaprabon. Samengko sembah kalbu, Yen lumintu uga dadi laku, Laku agung kang kagungan Narapati, Patitis tetesing kawruh, Meruhi marang kan momong. Sucine tanpa banyu, Mung nyunyuda mring hardaning kalbu, Pambukane tata titi ngati ati, Atetep telate atul, Tuladha marang waspaos, Mring jatining pandulu, Panduk ing ndon dedalan satuhu, Lamun lugu legutaning reh maligi, Lageane tumalawung, Wenganing alam kinaot. Yen wus kambah kadyeku, Sarat sareh saniskareng laku, Kalakone saka eneng ening eling, Ilanging rasa tumlawung, Kono adiling Hyang Manon. Gagare nggugar kayun, Tan kayungyun mring ayuning kayun, Bangsa anggit yen ginigit nora dadi, Marma den awas den emut, Mring pamurunging lelakon. Samengko kang tinutur, Sembah katri kang sayekti katur, Mring Hyang Sukma sukmanen saari ari, Arahen dipun kacakup, Sembaling jiwa sutengong. Sayekti luwih perlu, Inganaran pepuntoning laku, Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin, Sucine lan awas emut, Mring alaming lama maot.

41

Ruktine ngangkah ngukut, Ngiket ngruket triloka kakukut Jagad agung ginulung lan jagad alit, Den kandel kumadel kulup, Mring kelaping alam kono, Keleme mawi limut, Kalamatan jroning alam kanyut, Sanyatane iku kanyataan kaki, Sejatine yen tan emut, Sayekti tan bisa awor. Pamete saka luyut, Sarwa sareh saliring pangayut, Lamun yitna kayitnan kang miyatani, Tarlen mung pribadinipun, Kang katon tinonton kono. Nging Aywa salah surup, Kono ana sajatining urub, Yeku urub pangarep uriping budi, Sumirat sirat narawung, Kadya kartika katonton. Yeku wenganing kalbu, Kabukane kang wengku winengku, Wewengkone wis kawengku neng sireki, Nging sira uga kawengku, Mring kang pindha kartika byor. Samengko ingsun tutur, Gantya sembah ingkang kaping catur, Sembah rasa karasa wosing dumadi, Dadine wis tanpa tuduh, Mung kalawan kasing batos. Kalamun durung lugu, Aja pisan wani ngaku aku, Antuk siku kang mengkono iku kaki, Kena uga wenang muluk, Kalamun wus padha melok. Meloke ujar iku, Yen wus ilang sumelanging kalbu, Amung kandel kumandel marang ing takdir, Iku den awas den emut, Den memet yen arsa momot.

42

Pamoting ujar iku, Kudu santosa ing budi teguh, Sarta sabar tawakel legaweng ati, Trima lila ambeg sadu, Weruh wekasing dumados. Sabarang tindak tanduk, Tumindake lan sakadaripun, Den ngaksama kasisipaning sesami, Sumimpangan ing laku dur, Hardaning budi kang ngrodon. Dadya wruhiya dudu, Yeku minangka pandaming kalbu, Ingkang buka ing kijab bullah agaib, Sesengkeran kang sinerung, Dumunung telenging batos. Rasaning urip iku, Krana momor pamoring sawujud, Wujuddollah sumrambah ngalam sakalir, Lir manis kalawan madu, Endi arane ing kono. Endi manis endi madu, Yen wis bisa nuksmeng pasang semu, Pasamoning hebing kang Maha Suci, Kasikep ing tyas kacakup, Kasat mata lair batos. Ing batin tan kaliru, Kedhap kilap liniling ing kalbu, Kang minangka colok celaking Hyang Widhi, Widadaning budi sadu, Pandak panduking liru nggon. Nggonira mrih tulus, Kalaksitaning reh kang rinuruh Nggyanira mrih wiwal warananing gaib, Paranta lamun tan weruh, Sasmita jatining endhog. Putih lan kuningpun Lamun arsa titah teka mangsul, Dene nora mantra mantra yen ing lair, Bisa aliru wujud, Kadadeyane ing kono.

43

Istingarah tan metu, Lawan istingarah tan lumebu, Dene ing jro wekasane dadi njawi, Rasakna kang tuwajuh, Aja kongsi kabasturon. Karana yen kebanjur, Kajantaka tumekeng saumur, Tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, Dadi wong ina tan weruh, Dheweke den anggep dhayoh. (Serat Wedhatama)

Gambuh Budhalan Enjing bidhal gumuruh Tambur suling gung maguru ngungkung Binarunging krapyak myang watang agathik Kang kapyarsa swaranipun Lir ombaking samodra rob

44

BAB VII

TEMBANG PANGKUR

Tembang pangkur banyak digunakan untuk medhar piwulang atau

mengajarkan nasehat buat anak cucu. Dari akronim atau jarwa dhosok tembang

pangkur diberi makna apa-apa kang mungkur yang berarti segala kehidupan

duniawi sudah ditinggalkan. Contoh tembang pangkur beserta guru lagu dan guru

wilangannya:

Rawana girang sesumbar, (8 a) Heh Subali iku sidamu mati, (11 i) Munyuk-bejunjak-bejunjuk, (8 u) Monyet liwat ngalunjat, (7 a) Tuwa buru baribin suka babruwun, (12 u) Alasan datanpa dangka, (8 a) Kethek nistha dama nistip. (8 i)

Pangkur Mardi Siwi

Mingkar mingkuring angkara, Akarana karenan Mardi siwi, Sinawung resmining kidung. Sinuba sinukarta, Mrih ketarta pakartining ngelmu luhung Kang tumrap ing tanah Jawa, Agama ageming aji. Jinejer neng Wedhatama Mrih tan kemba kembenganing pambudi Mangka nadyan tuwa pikun. Yen tan mikani rasa, Yekti sepi asepa lir sepah samun, Samangsane pasamuan gonyak ganyuk nglilingsemi. Nggugu karsane priyangga, Nora ngganggo peparah lamun angling, Lumuh ingaran balilu, Uger guru aleman, Nanging janma ingkang wus

45

Waspadeng semu Sinamun ing samudana, Sesadon ingadu manis. Si pengung nora nglegawa, Sangsayarda denira cacariwis, Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah, Saya elok alangka longkanganipun, Si wasis waskitha ngalah, Ngalingi marang si pingging. (Serat Wedhatama)

Pangkur Dhudha Kasmaran

5 5 5 5 5 . 5 6 . 1 . 6 5 . 0

Ku – la ma- tur ing tu wan,

. . . . . . . .

1 1 1 . 2 3 1 . 5 5 5 . 6 1 . 2 . 56 . 56 2 . 1 . 0

Ing sa-mang- ke u- lun dar- be ka- li- lip,

.

5 6 . 1 . 1 1 1 1 . 2 3 1 . 0

Wre Su- ba- li su- di bya- nung

. . . . . . . . 3 . 2 3 . 1 1 1 . 2 1 6 . 5 . 0

Su- di- ra jayeng yu- da,

. . . . . . . . . . . . . . . 1 1 1 . 2 3 1 . 1 1 1 1 1 1 . 1 . 21 6 . 5 . 0

Na- nging sa- nget si- ka- ra- dha- teng wak u- lun,

. . 3 5 5 . 5 . 6 1 . 2 . 5 . 6 . 5 3 2 . 1 . 0

Ngrebut gar- wa tan- pa sa - bab,

3 5 5 5 5 5 . 5 6 5 . 3 . 2 1 . 0

Langkung dennya har-da dreng- ki.

46

Pangkur Gua Kiskendha

. . . . . . . 2 2 2 2 . 1 1 . 6 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0

Su- gri- wa a- pa kar- san- ta,

. 6 6 6 6 6 6 6 . 6 1 5 . 3 . 21 6 . 5 . 0

Te- ka si- ra ngampir- ke la- ku ma- mi,

. . . . . . . . . . 2 2 2 2 2 2 . 2 . 3 2 . 1 . 0

De- wa- ji a- nyu- wun ben- du,

. . . . . . . 2 2 2 . 1 6 1 2 . 6 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0

Sa- king ja- hat ka- wu- la,

. . . . . . . . . . 2 2 2 2 . 1 1 . 1 1 . 6 2 . 1 . 65 2 . 3 . 21 . 0

Ka- mi- pu- run ngampir- ken tin- dak pu- ku- lun,

. . . . . . 1 1 1 1 . 6 2 . 1 . 6 5 2 . 1 . 6 . 0

Gusti mu- gi ju- me- neng- a,

5 5 5 5 . 3 2 5 . 3 . 2 1 . 6 . 5 . 0

Na- ra- na- ta won- ten ngri- ki

Pangkur Munggwing Wana

. . . 1 2 . 6 1 . 5 2 . 2 3 . 2 1 . 6 . 0

Ji- rak pin da munggwing wa- na

6 6 6 6 6 6 6 1 5 . 3 . 2 1 . 6 . 5 . 6 . 0

Sa- yeng ka- ga- we rek- ta kang mu- ro- ni

. . . . 1 2 . 6 1 . 6 6 5 . 5 6 . 5 6 . 1 . 0

Si- nam- bi ka- la- ne nga- nggur

47

. . . 6 1 2 . 6 5 6 . 1 . 6 5 . 2 3 . 2 1 . 6 . 0

Wastra tu- mrap mus- ta- ka

. . . 1 2 . 6 . 1 . 6 5 . 2 . 3 . 2 1 . 0

Pa- ngi- ket- e

2 3 5 5 3 5 . 2 3 . 2 1 . 0

Wangsalan kang se- kar pang-kur

. . . 1 2 6 1 . 5 2 . 2 3 . 2 1 . 6 . 0

Ba- on sa- bin ing na- wa- la

5 5 5 5 3 5 . 3 . 2 1 . 6 . 1 . 6 . 5 . 0

Ki- nar- ya la- ngen pri- ba- di

Pangkur Kala Singgah

48

Pangkur Surangga Greget

Pangkur Resi Tama

49

Pangkur Paman Prabu

Pangkur Jejamang

50

Pangkur Pawestri Asta resik sinarbetan, Nyi Artati tetanya mring kang siwi, “Rara apa wus sumurup, arane driji lima, myang karepe ing sawiji-wijinipun?” “Ibu aku durung wrin.” Sang dyah gya rinangkul aglis. Ingarasan wantya-wantya, astanira kang kanan den cepengi. “Lah engeta sira masku, mulane ginawanan, driji lima puniku ta aranipun, ing sawiji-wijinira, jejempol ingkang rumiyin. Panuduh kaping kalihnya, kaping tiga Panunggul ranireki, manis ingkang kaping catur, jejenthik kaping gangsal. Kawruhana mungguh semuning Hyang Agung, wong wadon wus ginawanan, dalil panganggone estri. Iku wajib kinawruhan, karepe sawiji-waji driji. Mula binektan sireku, jejempol maring ing Hyang, den kajempol ing tyas kinarseng kakung. Tegese pol den agampang, sabarang karsaning laki. Mula ginawanan sira, ing panuduh aja kumawani, anikel tuduhing kakung, sapakon lakonana. Pramilane ginawanan kang panunggul, kakungmu unggul-unggulna. Miwah kalamun peparing. Nadyan thithik nora mantra, unggulena gunakayaning laki. Mulane sira puniku, jari manis ginawan, den amanis ulat atanapi tembung. Yen ana karsaning priya, dhoso besengut ywa nganti. Ing netya dipun sumringah, nadyan lagi rengu jro tyasireki, yen ana ngarsaning kakung, buwangen ywa katara. Marmanira ginawan jejenthik iku, dipun athak athik-thikan, yen ana karsaning laki. Karepe athak-athikan, den tarampil marang sabarang karti. Kalamun ngladosi kakung, den ririh lan den kebat. Aywa kebat dreg-dregan grobyagan itu, kebat seru tur anistha, pan rada ngoso ing batin. Lamun ko-engeti Rara, ingsun tanggung wus masthi sira manggih, mulya donya akiripun, lan aja manah nyimpang, kang tumemen den bendunga patang puluh, aja gumingsir tyasira, den trus lair tekeng batin.” Rancangkapti duk miyarsa, sampun tampi cinancang pulung ati, matur maring renanipun, “Dhuh ibu pangestunta, muga-muga pinarengna ing Hyang Agung, bisa nglakoni kang dadya, karepe dariji gati.” (Serat Centhini)

51

BAB VIII

TEMBANG MEGATRUH

Tembang megatruh secara harfiah berarti berpisahnya antara jiwa dan raga.

Megatruh, memisahkan raga dengan ruhnya. Dalam kebudayaan Jawa merupakan

proses khusnul khotimah atau mating pati patitis. Contoh tembang megatruh:

Megatruh Sigra Milir

Sigra milir kang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang jageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon. Wus binucal welah lawan satangipun, ki Wila lan ki Wuragil, eca pra samya pitekur, angadhep gusti sang pekik, bakda ngisa prapteng Betog. Lampahnya lon serep rare prapteng Butuh, rahaden ika tan pangling, lamun laladaning Butuh, arsa kendel raden pekik, amangsit bajul kang gendhong. Ingkang gethek ginetog-getog ping telu, ingkang bajul mirsa wangsit, ingkarsane raden bagus, anulya binekta minggir, cinacang kang gethek alon. Mring ki Wila lawan ki Wuragil sampun, cinancang witing kuweni, akukuh cinancang eduk, karipan samya aguling, sadaya samya kuwayon. (Babad Tanah Jawi)

52

Megatruh Lara Nangis

Megatruh Kencana Sotya

53

Megatruh Puspita Mlathi

Megatruh Parimarmeng Dasih

54

Megatruh Pasuwitan

Wong ngawula ing Ratu luwih pakewuh, nora kena minggrang-minggring, kudu mantep sartanipun, setya tuhu marang gusti, dipun piturut sapakon.

Mapan Ratu kinarya wakil Hyang Agung, marentahken ngukum ngadil, pramila wajib den den-enut, kang sapa tan anut ugi, mring parentahe Sang Katong.

Aprasasat badali karsa Hyang Agung, mulane babo wong urip, saparsa suwiteng Ratu, kudu eklas lair batin, aja nganti nemu ewoh.

Ing wurine yen ati durung tuwajuh, angurta aja ngabdi, angur ngidhunga karuwun, aja age-age ngabdi, yen during eklas ing betos.

Angur angindunga bae nora ewuh, pan nora nana kang ngiri, amangkul pakaryanipun, nora susah tungguk kemit, seba mapan nora nganggo.

Mung yen ana tontonan nonton neng nglurung, kemul bebede sasisih, sarwa mbanda tanganipun, glindhang-glindhung tanpa keris, andhodhok pinggiring bango.

Parandene jroning tyase lir tumenggung, mangku bawat Senen Kemis, mangkono iku liripun, nora kaya wong ngabdi, wruh ing palataran Katong.

Lan keringan sarta ana aranipun, la nana ungguhe ugi, ing salungguh-lungguhipun, nanging ta dipun pakeling, milane pinardi kang wong.

Samubarang pakaryanira Sang Ratu, sayekti kudu nglakoni, sapalakartine iku, wong kang padha-padha ngabdi, wruh ing pagaweyane pan seos.

Kang nyanta bupati mantra panewu, kaliwon paneket miji, panglawe miwah panajung; tanapi para prajurit, lan kang nyambut karya Katong.

Kabeh iku kawajiban sebanipun, ing dina kang amarengi, wiyosarina Sang Prabu, sanadyan tan miyos ugi, pasebane aja towong.

Ingkang lumrah yen kerep seba wong iku, nuli ganjaran den incih, yen tan oleh nuli mantuk, iku sewu sewu sisip, yen wus mangarti kang uwong

Yen mangkono etunge kang sampun weruh, mapan ta datan den-pikir, ganjaran pan wis karuhun, aming naur sihing gusti, winelas ing lair batos.

Setya tuhu lan saparentah pan manut, ywa lengganeng karseng gusti, wong ngawula paminipun, lir sarah aneng jeladri, darma lumampah sapakon.

Dene begja cilaka utawi luhur, asor iku pan wus pasti, ana ing badanireku, aja sok nguring-nguring, marang gusti sanga Katong.

Mudhak ngakehaken ing luputireku, mring gusti tuwin Hyang Widdhi, dene ta sabeneripun, mupusa kalamun pasthi, ing badan tan kena mogok.

55

Tulisane ing lochil makful rumuhun, pepancen sawiji-wiji, tan kena owah sarambut, tulise badan puniki, aja na mundur pakewoh.

(Serat Wulangreh)

Megatruh Wuluh Gadhing

56

BAB IX

TEMBANG POCUNG

Tembang pocung cocok untuk menyampaikan ajaran budi pekerti luhur.

Suasana tembang pocung memang riang gembira. Contoh tembang pocung:

Pocung Wedhatama

Ngelmu iku kelakone kanthi laku (12 u) Lekase lawan kas (6 a) Tegese kas nyantosani (8 i) Setya budya pangekese dur angkara. (12 a) Angkara gung neng angga anggung gumulung, Gegolonganira, Triloka lekere kongsi, Yen den umbar ambabar dadi rubeda. Beda lamun kang wus sungsem reh ngasamun, Semune ngaksama, Sasamane bangsa sisip, Saewa sareh saking Mardi martatama. Taman limut durgameng tyas kang weh limput, Kerem ing karamat, Karana karoban ing sih, Sihing sukma ngrebda saardi gengira. Yeku patut tinulad tulad tinurut, Sapituduhira aja kaya jaman mangkin, Keh pra mudha mudhi dhiri rapal makna. Durung pecus kesusu kaselak besus, Amaknai rapal, kaya sayid weton Mesir, Pendhak pendhak angendhak gunaning janma. Kang Kadyeku kalebu wong ngaku aku, Akale alangka, Elok Jawane denmohi, Paksa langkah ngangkah met kawruh ing Mekah.

57

Nora weruh rosing rasa kang rinuwuh, Lumeketing angga, Anggere padha marsudi, Kana kene kaanane nora beda. Uger lugu den ta mrih pralebdeng kalbu, Yen kabul kabuka, Ing drajat kajating urip, Kaya kang wus winahya sekar srinata. Basa ngelmu mupakate lan panemu, Pasahe lan tapa, Yen satriya tanah Jawi, Kuna kuna kang ginilut tripakara. Lila lamun kelangan nora gegetun, Trima yen ketaman, Sakserik sameng dumadi, Tri legawa nalangsa srah ing Bathara, Baathara gung inguger graning jajantung, Jenek Hyang wisesa, Sana pasenedan suci, Nora kaya si mudha mudhar angkara. Nora uwus kareme anguwus uwus, Uwose tan ana, Mung janjine muring muring, Kaya buta buteng betah nganiaya. Sakeh luput ing angga tansah linimput, Linimpet ing sabda, Narka tan ana udani, Lumuh ala ardane ginawa gada. Durung punjul ing kawruh kaselak jujul, Kaseselan hawa, Cupet kapepetan pamrih, Tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa. (Serat Wedhatama)

58

Pocung Reh Rahayu

Pocung Mangu

Mandheg mangu si kancil ing lampahipun, sakedhap angungak, sigra denira andhelik, ngulap-ulap si kancil sadangunira. Mangu mangu si kancil kendel adangu, ngudi keng wardaya, yen nyata manusa yekti, pesthi obah lunga saking ing panggonan. Iku dudu sutingali nora maju, eca malangkadhak, mulya ana angin midid, mayug-mayug wewedi lir jumangkaha. Kancil gugup andhelik maras kalangkung, dangu ingantosan, mayug-mayug tan lumaris, duh kiteng tyas sumyar gandaning kusuma. Pan sumawur mekaring pudhak gandarum, rumabaseng kisma, maletuk kaken tang tasik, sumarambah karya barubahing driya. Lunging gadhung tumiyung pinggir margagung, lir ngawe-aweya, atur sekare umiring, isthanipun lumaku yen pinethika.

59

Sekar andul kalak kenanga keneng kung, kedah ingagema, maring kang amurweng tulis, semuning kang puspa karaseng wardaya. Dayanipun kusuma mrih marum-arum, maresep ri kang tyas, sekar sumarsana wilis, tulus arum rarase menuhi grana. Cipteng kalbu lir sengseming wanodyayu, yuwaneng bawana, mangkana kancil andhelik, nir ing kingkin wekasan suka ing driya. Pan kapanduk gandaning sekar rum-arum, kadi manggih retna, sawukir kancana rukmi, manggut manggut si kancil sigra maperak. Mring nggenipun wewedi pasangan pulut, kang mindha manusa, parek den iling-ilingi, estu lamun wewedi dudu manusa. Kancil muwus kaya manusa rupamu, memedeni bocah, teka memarasi kancil, dene ingsun pareki nora ngapa. (Serat Kancil)

Pocung Cangkriman

Bapak pocung cangkeme madhep mandhuwur Sabane ing sendhang Tumpakake lambung kering Prapteng wisma si pocung mutah guwaya Bapak pocung dudu watu dudu gunung Dawa kaya ula Ancik-ancik wesi miring Lunga teka si pocung ngumbar suwara Bapak pocung gedhene meh padha gunung Sabane ing sabrang Titihane sang bupati Yen lelana si pocung lembehan grana

60

Pocung Panglipur Rasa Sekar Pocung kanggo tamba ati bingung Panglipuring rasa Murih yuwana basuki Suka sukur awit kersaning Bathara

61

DAFTAR PUSTAKA

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Daru Suprapta, 1985. Serat Wulangreh.Surabaya: Citra Jaya Murti. Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta : Cendrawasih.

______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih. Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta.

Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka. Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai

Pustaka. Imam Soepardi, 1931. Wedhatama Jinarwa, Surabaya: Panyebar Semangat

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo : Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud.

Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud. Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya

Presindo. Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih. Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika. Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada Unversity Press.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

62

LAMPIRAN 1.

SILABUS

SILABUS

MATA KULIAH : SENI TEMBANG I

SIL/FBS-PBD/239 Revisi : 00 10 November 2010 Hal 1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa 2. Mata Kuliah & Kode : Kode : PBD 239 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Ganjil (l) Waktu : 16 pertemuan 4. Mata kuliah Prasyarat & Kode : ....................................... 5. Dosen : Dr. Purwadi I. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mahasiswa memiliki kemampuan dan ketrampilan tentang dasar-dasar seni tembang Jawa yang meliputi : olah vokal, tembang dolanan, dan sebagian tembang macapat. Pengetahuan dasar seni tembang Jawa ini akan mengantarkan mahasiswa menjadi ahli secara teoritis dan trampil secara praktis.

II. STANDARISASI KOMPETENSI MATA KULIAH

Mahasiswa mampu dan terampil melagukan jenis-jenis tembang dolanan serta sebagian tembang macapat yang terdiri dari tembang mijil, pucung, pangkur, maskumambang, gambuh dan megatruh. Dengan penguasaan dasar-dasar lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang.

III. POKOK BAHASAN DAN RINCIAN POKOK BAHASAN

Minggu ke Pokok Bahasan Rincian Pokok Bahasan Waktu I Pengenalan jenis-

jenis tembang Jawa Mengetahui dan memahami jenis-jenis tembang Jawa.

100’

II Latihan dasar olah vokal

Praktek olah vokal secara kolektif dengan lagu dolanan yang paling sederhana.

200’

III Latihan dasar olah vokal dengan diser-tai contoh tembang

Praktek melagukan tembang secara kolektif dengan lagu dolanan yang lebih variatif.

200’

IV Latihan melagukan Praktek melagukan tembang 200’

63

tembang gambuh dan megatruh

gambuh dan megatruh secara kolektif

V Latihan melagukan tembang pocung

Praktek melagukan tembang pocung secara kolektif.

200’

VI Latihan melagukan tembang maskumambang

Praktek melagukan tembang maskumambang secara kolektif.

300’

VII Latihan melagukan tembang mijil dan pangkur

Praktek melagukan tembang mijil dan pangkur secara kolektif.

300’

VIII Ujian akhir 100’

IV. REFERENSI/ SUMBER BAHAN

A. Wajib: Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih. Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta:

Cendrawasih. ______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo: Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta. Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud.

Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikud. B. Anjuran :

Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya Presindo.

Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih. _________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih.

64

Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud. Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika.

Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah. Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta.

Yogyakarta : Gamapress. Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

V. EVALUASI

No Komponen Evaluasi Bobot (%)

- Teknik yang dipakai dalam evaluasi berupa ujian

tulis. Nilai akhir diperoleh dari perhitungan

sebagai berikut.

NA = T + S + 2A 4

100 %

Jumlah 100%

Yogyakarta, 10 November 2010

Dosen

Dr. Purwadi

65

LAMPIRAN 2.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) MATA KULIAH : SENI TEMBANG I

RPP/FBS-PBD/239 Revisi : 00 10 November 2010 Hal.

1. Fakultas / Program Studi : FBS / Pendidikan Bahasa Jawa 2. Mata Kuliah & Kode : Seni Tembang I Kode : PBD 239 3. Jumlah SKS : Teori : - SKS Praktik : 2 SKS

: Sem : Gasal ( ) Waktu : 16 pertemuan 4. Standar Kompetensi : Mahasiswa diharapkan mampu dan terampil

melagukan jenis-jenis tembang dolanan serta sebagian tembang macapat yang terdiri dari tembang mijil, pucung, pangkur, maskumam-bang, gambuh dan megatruh. Dengan penguasaan dasar-dasar lagu tersebut maka mahasiswa akan menjadi pecinta dan pengembang seni tembang dalam masyarakat.

5. Kompetensi Dasar : a. Mahasiswa mengetahui pengetahuan dasar seni

tembang Jawa. b. Pengetahuan itu akan mengantarkan mahasiswa

menjadi ahli tembang Jawa secara teoritis dan trampil secara praktis.

6. Indikator Ketercapaian : Setelah mengikuti program perkuliahan ini

mahasiswa mampu (1) mengenal dasar-dasar seni tembang Jawa; (2) mengetahui jenis-jenis tembang dolanan; (3) dapat mengetahui jenis-jenis tembang macapat

7. Materi Pokok/Penggalan Materi : musik gender beserta dengan buku petunjuk

bermain seni karawitan 8. Kegiatan Perkuliahan :

Tatap Muka Komponen Langkah

Uraian Kegiatan Estimasi Waktu

Metode Media Sumber Bahan/

Referensi PENDAHULUAN Memberi deskripsi seni dasar

tembang Jawa 1 x tatap muka atau 100 menit

Ceramah, demonstrasi

OHP gender

A dan B

66

LATIHAN OLAH VOKAL

Latihan dasar olah vokal dengan disertai contoh tembang

4 pertemuan x 100 menit

Teori dan praktek olah vokal

OHP gender

A dan B

LATIHAN GOLONGAN LAGU DOLANAN

Praktek olah vokal secara kolektif dengan lagu dolanan yang paling sederhana.

4 pertemuan x 100 menit

Teori dan praktek lagu dolanan

OHP gender

A dan B

LATIHAN MELAGUKAN TEMBANG MACAPAT

Praktek melagukan tembang gambuh, megatruh, pocung, maskumambang, mijil secara kolektif

4 pertemuan x 100 menit

Teori dan praktek tembang gambuh, megatruh, pocung, maskumambang, mijil

OHP Gender

A dan B

PEMANTAPAN LATIHAN

Memberi pemantapan dengan cara mempertinggi ketrampilan olah vokal serta melagukan tembang dolanan dan macapat.

1 x tatap muka atau 100 menit

Ceramah, demonstrasi dalam melagukan tembang dolanan dan macapat

OHP gender

A dan B

TANYA JAWAB AKHIR PERKULIAHAN

Memberi kesempatan kepada peserta kuliah untuk menanyakan seluk-beluk bahan perkuliahan seni tembang.

1 x tatap muka atau 100 menit

Ceramah, demonstrasi dan diskusi

OHP gender

A dan B

DAFTAR PUSTAKA

Biman Putra, 2002. Suka-suka Campursari. Surakarta : Cendrawasih.

Diyono, 1996. Kempalan Gendhing-gendhing Pahargyan. Surakarta : Cendrawasih. ______, 1992. Tuntunan Sekar Macapat. Solo : Cendrawasih.

Hardjasoebrata, 1985. Pedhotan Tembang Macapat, Javanologi, Yogyakarta. Hardjowirogo, 1958. Pathokaning Nyekaraken. Jakarta : Balai Pustaka.

Harsono Kodrat, 1982. Gendhing-gendhing Karawitan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.

Ki Hadjar Dewantara, 1968. Dasar Pengetahuan Gendhing Jawa, Taman Siswa, Yogyakarta

Kodiron, 1976. Marsudi Karawitan Jawi. Pelajar : Surakarta. Marwoto, 1981. Turunan Karawitan. Solo : Putrajaya.

Nanang Windradi, 2002. Suluk Kawruh Pedhalangan lan Macapat. Solo: Cendrawasih.

Sardjijo, 1991. Apresiasi Seni Tembang. Yogyakarta : FPBS IKIP Yogyakarta.

67

Soekiman, 1984. Gamelan Dramatari dan Komedi Jawa. Jakarta : Depdikbud.

Soerasa, 1983. Gamelan. Jakarta : Depdikbud. Soetrisno, 2004. Syair Tembang dalam Wayang Purwa. Yogyakarta : Aditya

Presindo. Sri Widodo, 1995. Gendhing-gendhing Dolanan. Solo : Cendrawasih.

_________, 2000. Lelagon Langgam, Kroncong, Dhangdhut. Solo : Cendrawasih. Sudibyo Aris, 1982. Mengenal Kesenian Tradisional. Jakarta : Depdikbud.

Waridi, 2004. Seni Pertunjukan Wayang. Solo : Einika. Warih Jati Rahayu, 2002. Puspa Sumekar. Yogyakarta : Grafika Indah.

Wasista Suryadiningrat, 1971. Gamelan Dance and Wayang in Jogjakarta. Yogyakarta : Gamapress.

Wiryah Sastrowiryono, 1988. Bawa Sekar. Yogyakarta : SMKI.

Yogyakarta, 10 November 2010

Dosen

Dr. Purwadi

68

PENYUSUN

DR. PURWADI, M.HUM lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk,

Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Pendidikan SD sampai SMA

diselesaikan di tanah kelahirannya. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM

yang ditempuh tahun 1990-1995. Kemudian melanjutkan studi pada Program

Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor di UGM diperoleh pada tahun

2001.

Kini bertugas sebagai Dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas

Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Tinggal di Jl. Kakap Raya 36

Minomartani Yogyakarta 55581. Telp 0274-881020. Email: [email protected].