Semmas End

49
PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM DI MYANMAR TAHUN 1997 - 2010 (word count: 6597) Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Seminar Masalah HI Dosen pengampu Bpk. Yusli Effendi Disusun oleh: Friska Dwi Laraswati 0811240047 PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Transcript of Semmas End

Page 1: Semmas End

PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM

DI MYANMAR TAHUN 1997 - 2010

(word count: 6597)

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Seminar Masalah HI

Dosen pengampu Bpk. Yusli Effendi

Disusun oleh:

Friska Dwi Laraswati

0811240047

PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2010

Page 2: Semmas End

Abstrak

Penelitian ini diawali dengan penjelasan konsep Hak Asasi Manusi yang secara universal telah diakui dan seharusnya mendapatkan perlindungan. Dalam era globalisasi, isu-isu yang dulunya tidak begitu dipertimbangkan, kini menjadi perhatian masyarakat internasional, salah satunya adalah mengenai penghargaan dan perlindungan terhadap HAM. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Negara Myanmar terjadi dalam rangka demokratisasi pemerintahan yang berbentuk Junta Militer. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan peranan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam setiap negara anggotanya. Awalnya, ASEAN didirikan hanya sebagai bentuk integrasi kerjasama fungsional antar negara anggotanya. Perhatian dan tekanan masyarakat internasional terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar, memaksa ASEAN untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Myanmar. Berbagai macam penyelesaian melalui jalan diplomasi telah ditempuh ASEAN demi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar, namun belum ada satupun yang mampu menyelesaikan kasus tersebut.

Disinilah ketidak mampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik HAM di Myanmar kemudian dipertanyakan. ASEAN sebagai sebuah organisasi kawasan seharusnya mampu menyelesaikan permasalah ini dengan menindak, mengintervensi atau memberikan sanksi atas Myanmar. Namun pada kenyataanya, hal ini tersandung permasalahan yang menyangkut latar belakang kawasan yang membentuk kepatuhan pada nilai bersama atau regional value. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan mempertanyakan ketidakmampuan peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik HAM di Myanmar. Peneliti menjelaskan ketidakmampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik ini melalui Teori Rezim. Pada akhir penelitian, peneliti kemudian menyimpulkan bahwa ketidakmampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik HAM terjadi karena bentuk rezim dan regional value yang dimiliki ASEAN.

Keywords: ASEAN, Myanmar, ASEAN Way, problem completion mechanism, non-interference, collective security, regimes theory.

2

Page 3: Semmas End

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia merupakan sebuah bentuk dari nilai-nilai universal

yang telah dilindungi oleh sistem internasional. Hak-hak asasi manusia yang

biasa dilanggar diantara Negara-negara yang menganut sistem pemerintahan

otoritarian adalah hak untuk berserikat dan berkumpul serta hak untuk

mengemukakan pendapat. Dalam penelitian kali ini, peneliti akan

mempersempit lingkup penelitian hanya pada konflik pelanggaran HAM yang

terjadi di Myanmar. Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar merupakan

salah satu pelanggaran HAM terbesar yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.

Pelanggaran HAM di Myanmar telah terjadi sejak tahun 1997 yang sampai

sekarang masih belum menemukan titik terang penyelesaian.1

Pelanggaran HAM Myanmar dilakukan oleh pemerintahan Junta Militer

yang telah berkuasa sejak 1988 dengan menggunakan kebijakan pemerintahan

yang cenderung represif terhadap warga negaranya sendiri. Aksi kekerasan

yang dilakukan oleh pemerintahan Junta Militer Myanmar, terjadi ketika

masyarakat Myanmar mulai menyuarakan gelombang demokrasi.2 Dengan

kata lain, masyarakat Myanmar pada masa tersebut ingin menggulingkan

pemerintahan Junta Militer dan menggantikannya dengan pemerintahan yang

demokratis. Merasa terancam dengan aksi-aksi demonstrasi masyarakatnya

yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, pemerintah mulai melakukan

pertahanan dengan menggunakan aksi kekerasan dalam pembubaran

gelombang demonstrasi. Banyak korban berjatuhan, dan banyak warga sipil

yang dipenjarakan dalam aksi pemerintahan Junta Militer Myanmar.3

1 “Aksi Demo Damai di Myanmar Berakhir Kerusuhan”. diakses melalui http://antaranews.com pada tanggal 08 Maret 2011. (2007)2 “Pelanggaran Hal Asasi Manusia dan Konflik Bersenjata di Burma”. Diakses melaui http://www.forum-politisi .org. Pada Tanggal 13 April 2011. (2011)3 “Parlemen Serukan Penghentian pelanggaran HAM di Myanmar”. Diakses melalui http://www.antaranews.com. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007)

3

Page 4: Semmas End

Tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar menuai banyak

protes dari berbagai pihak. Protes dilakukan tidak hanya dari Negara-negara

satu kawasan namun juga dari Negara-negara diluar kawasan seperti Uni

Eropa dan Jepang.4 Namun, sampai saat ini, ASEAN sebagai organisasi

regional yang menaungi Myanmar masih belum bisa menyelesaikan kasus

pelanggaran HAM yang terjadi. Dengan ini peneliti pada akhirnya

mempertanyakan efektifitas peran ASEAN dalam penyelesaian konflik

pelanggaran HAM di Myanmar, dan mempertanyakan mengapa ASEAN

belum dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar? Kedua

pertanyaan inilah yang menjadi perhatian dan kerangka pemikiran peneliti

dalam melakukan penelitian terhadap kinerja dan mekanisme penyelesaian

masalah di ASEAN.

ASEAN merupakan sebuah bentuk Intergovernmental Organizations dari

negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pada pembentukannya

yakni pada 8 Agustus 1967, ASEAN dibentuk tanpa adanya konstitusi atau

seperangkat aturan formal dan tertulis yang mengatur interaksi antar anggota-

anggotanya. Pada saat itu, ASEAN hanya terbentuk sebagai bentuk integrasi

yang berdasar pada kerjasama fungsional antar Negara anggota. Konstitusi

atau landasan hukum bagi ASEAN yakni Piagam ASEAN baru diratifikasi

oleh kesepuluh anggotanya pada 20 November 2007. Hal ini mengartikan

bahwa ASEAN merupakan salah satu institusi internasional yang berdiri

selama kurang lebih 40 tahun tanpa adanya konstitusi legal atau dasar hukum

yang kuat dalam interaksi antar anggotanya. Ditandatanganinya piagam

ASEAN seharusnya memberikan perubahan yang signifikan terhadap

keseluruhan aktivitas atau interaksi yang diambil oleh seluruh anggota.

Keberadaan Piagam ASEAN membuat setiap Negara anggota yang

meratifikasinya diwajibkan untuk tunduk pada seperangkat aturan hukum

yang menyangkut hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara.

4 “Junta Myanmar Kebal Sanksi Ekonomi”, Harian Seputar Indonesia online melalui http://seputar-indonesia.com/junta-myanmar-kebal-sanksi-ekonomi/.htm. Pada tanggal 23 Maret 2011. (2007)

4

Page 5: Semmas End

Piagam ASEAN mengarahkan seluruh masyarakat ASEAN untuk

mencapai tujuan bersama demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan

masyarakat ASEAN. Salah satu tujuan bersama masyarakat ASEAN yakni

pembentukan ASEAN Community pada 2015. Piagam ASEAN berisikan

tentang keinginan-keinginan atau cita-cita masyarakat ASEAN, hal ini tertulis

pada pasal 1 ayat pertama hingga ayat kelimabelas ASEAN Charter.5 Dari

tujuan-tujuan yang dikemukakan dalam piagam ASEAN, beberapa

diantaranya yakni; ASEAN bertujuan untuk menjaga perdamaian dan

stabilitas kawasan, memajukan kerja sama dibidang ekonomi, politik, hukum

dan HAM, menjadikan ASEAN sebagai kawasan bebas dari senjata nuklir dan

senjata pemusnah lainnya, menciptakan pasar tunggal, mengurangi

kemiskinan dan meratakan pembangunan, memperkuat demokrasi dan

melindungi Hak Asasi Manusia serta kebebasan-kebebasan fundamental

lainnya. Namun, tujuan utama yang tertulis dalam Piagam ASEAN secara

umum adalah untuk membentuk ASEAN sebagai organisasi kawasan yang

memiliki landasan hukum dan berorientasi pada kepentingan dan

kesejahteraan mayarakat ASEAN.6

Walaupun Piagam ASEAN telah ditanda-tangani oleh kesepuluh

anggotanya, nyatanya masih banyak permasalahan yang timbul dan tidak

dapat diselesaikan oleh ASEAN. Salah satu yang menjadi perhatian

masyarakat internasional dan memaksa ASEAN untuk turun tangan adalah

kasus-kasus pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM merupakan

salah satu hal yang menjadi perhatian ASEAN, hal ini diawali dengan

dikeluarkannya Joint Communique of the 26th ASEAN Ministerial Meeting

yang berlangsung pada 23-24 Juli 1993 di Singapura.7 Sebagai salah satu

bentuk Asian Way, pertemuan ini membahas mengenai isu pelanggaran HAM

di Myanmar dan saran-saran penyelesaian atau solusi yang kemudian

diberikan oleh negara-negara anggota ASEAN pada pemerintahan Myanmar.

5 “The Asean Charter”. yang diaskses melalui www.asean.org/ASEAN-Charter.pdf. diakses pada tanggal 2 Juni 2010.6 Ibid 7 Anak Agung Banyu Perwita, “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal Myanmar”, Analisis CSIS, (2006) Volume 32 Nomer 2 Hal 155.

5

Page 6: Semmas End

Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia telah disepakati dalam Piagam

ASEAN pasal 1 ayat ke 7 dan ditandatanganinya Universal Declaration of

Human Rights pada 1948 oleh anggota PBB termasuk Negara-negara anggota

ASEAN. Namun pada kenyataannya perlindungan terhadap HAk Asasi

Manusia yang telah disepakati secara universal tidak dapat memberikan

perlindungan secara nyata terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di

Myanmar.

1.2 Rumusan Masalah

Mengapa ASEAN belum dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM

yang terjadi di Myanmar?

1.3 Kerangka Pemikiran

1.3.1 Peringkat Analisis

Penelitian ini menggunakan tingkat analisa induksionis.8 Tingkat

analisa induksionis adalah tingkat analisa dimana unit eksplanasi dari

penelitian ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari unit analisanya.

Unit eksplanasi dalam penelitian ini adalah peranan ASEAN yang berada

pada tataran sistem regional; dan pelanggaran HAM yang terjadi di

Myanmar yang berada pada tataran Negara bangsa. ASEAN dan konflik

pelanggaran HAM di Myanmar merupakan objek yang perilaku dan

tindakannya hendak diamati.

Salah satu cara efektif untuk menentukan tingkat analisa yang pas

dalam sebuah penelitian adalah dengan menentukan suatu tingkat analisa

yang dalam hal ini adalah teori yang digunakan.9 Penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan teori rezim yang pada intinya mengatakan bahwa

interaksi antar Negara diatur berdasarkan sistem yang melingkupinya atau

lebih tepatnya rezim atau intstitusi internasional yang melingkupinya.

Penelitian ini bertujuan menjelaskan mengenai bagaimana ASEAN

sebagai salah satu organisasi internasional regional yang memiliki aturan,

norma dan kebijakan dapat menentukan perilaku dan interaksi antar

8 Mos’oed, Mochtar. 1990. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi”. hal. 39 Ibid. hal. 48

6

Page 7: Semmas End

Negara anggotanya. Hal ini menuntun peneliti untuk melakukan analisa

ditingkat sistem dengan asumsi perilaku Negara bangsa ditentukan oleh

sistem yang melingkupinya. Analisa sistem fokus pada asumsi bahwa

seringkali Negara-negara dalam sistem internasional tidak bertindak secara

sendiri-sendiri melainkan secara komunal dalam sebuah organisasi atau

institusi.10

1.3.2 Pendekatan

1.3.2.1 Teori Regime

Sebelum beranjak pada definisi dan penjelasan mengenai teori rezim,

penulis akan memberikan definisi mengenai organisasi internasional

karena rezim internasional tidak selalu berbentuk institusi internasional.

Dalam sistem internasional, ada beberapa jenis organisasi internasional,

salah satunya adalah organisasi internasional antar pemerintahan atau yang

biasa disebut dengan Inter Governmental Organizations. ASEAN dalam

hal ini merupakan salah satu bentuk organisasi kerjasama antar pemerintah

yang terletak di kawasan Asia Tenggara. ASEAN merupakan sebuah

bentuk organisasi kerjasama regional yang berperan dalam memajukan

kehidupan masyarakat di Asia Tenggara dengan melakukan kerjasama

dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Fungsi organisasi

Internasional dalam sistem Internasional telah dibedakan menjadi lima

bentuk oleh Harold Jacobson yakni kategori informasi, normatif,

penciptaan aturan, pengawasan aturan dan kategori operasional.11

Dari fungsi-fungsi yang telah dijelaskan diatas, ASEAN sebagai

organisasi antar pemerintah telah memenuhi kategori-kategori sebagai

organisasi internasional. Salah satu buktinya terlihat dalam

penandatanganan Piagam ASEAN pada tahun 2007, pembentukan ASEAN

Regoinal Forum sebagai wadah perundingan, dan pembentukan AFTA

sebagai sebuah bentuk kerjasama ekonomi. Selain fungsi-fungsi organisasi

yang telah dikemukanakan oleh Harold, ada sebuah alternative fungsi

10 Op cit11 Jacobson, Harorld. “Networks of Interindependence: Internasional Organizations and the Global Political System, The Range of Functions”. (1979, New York: Alfred A. Khopf), p. 88-89.

7

Page 8: Semmas End

organisasi yang juga telah ditawarkan oleh Karent Mingst. Organisasi

internasional berfungsi untuk mengatur kerjasama, membantu

menyelesaikan permasalahan dan perselisihan, memberikan fasilitas dalam

pembentukan jaringan antar pemerintah sebagai wadah perundingan

internasional, dan sebagai tempat pembentukan rezim internasional.12

Menurut Karet Mingst, salah satu fungsi dari Organisasi Internasional

adalah menginisiasi penciptaan rezim internasional. Dan ASEAN yang

awalnya dibentuk sebagai sebuah ntegrasi kawasan telah menjadi sebuah

rezim ekonomi dan keamanan, hal ini terlihat pada penanda tanganan

Piagam ASEAN sebagai norma khusus dari suatu rezim.

Menurut Stephen D. Krasner, rezim adalah “principle, norms, rules,

and decision-making procedures around which actor’s expectation

converge in a given issue area”13. Yang artinya adalah rezim merupakan

sebuah tatanan yang berisikan kumpulan prinsip, norma, aturan, proses

pembuatan keputusan yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan

actor-aktor yang memuat kepentingan aktor-aktor tersebut dalam suatu

ranah isu tertentu dalam hubungan internasional. Dari kriteria yang

diberikan oleh Krasner, maka ASEAN merupakan sebuah organisasi

internasional yang dalam hal ini sudah memiliki seperangkat prinsip,

norma, aturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang dilaksanakan oleh

seluruh Negara Asia Tenggara kecuali Timor Leste. Dengan

diratifikasinya Piagam ASEAN pada 2007 yang berisi tentang prinsip, hak

dan kewajiban, tujuan, dan aturan telah menunjukkan bahwa ASEAN telah

memenuhi kriteria sebagai rezim internasional. Salah satu poin penting

dalam penjelasan Krasner tentang teori rezim adalah norma. Norma

merupakan suatu standard perilaku yang didefinisikan dalam bentuk hak

dan kewajiban. Norma internasional yang disepakati dan dipatuhi bersama

oleh anggota atau aktor-aktor internasional akan menentukan

12 Karent Mingst, “Essentials of International Relations”, (W.W Norton & Company, New York, 1998), hal.259.13 Stephen D. Krasner,”International Regimes”, The Massachusets Institute of Technology, (Spring, 1982). Hal 2.

8

Page 9: Semmas End

kelangsungan sebuah rezim internasional. Banyak penteori rezim

menerangkan bahwa pada dasarnya Negara merupakan aktor internasional

yang akan lebih sering menyesuaikan diri dengan norma internasional

berdasarkan perhitungan cost-benefitnya.

Teori rezim menjelaskan tentang ketaatan negara anggota terhadap

norma dan aturan terhadap rezim internasional untuk mencapai

kepentingan nasional mereka. Sebuah rezim internasonal diorganisasikan

dengan dibuatnya perjanjian antar negara anggota sehingga dapat menjadi

landasan hukum yang formal dalam hukum internasional. Rezim sebagai

subjek hukum internasional yang memiliki landasan konstitusional, norma

dan aturan yang telah disepakati bersama dapat membentuk perilaku dan

interaksi antar negara anggotanya. Rezim dibentuk dari hasil negosiasi

antar negara anggotanya, begitu pula ASEAN. Dalam memaksimalkan

efektifitas serta kinerja rezim internasional diperlukan adanya kepatuhan

dari negara-negara yang membentuk rezim.

Kepatuhan yang dimaksud dalam rezim internasional telah dibahas

oleh William Zartman yang biasa disebut dengan compliance. Ada dua hal

yang diperlukan agar suatu rezim internasional dengan aspek kepatuhan

atau compliance dapat diterapkan disebut dengan Enforcement School.

Enforcement School merupakan sebuah metode dimana negara-negara

anggota dapat mendorong kepatuhan. Dan metode kedua adalah

Management school yang menerangkan bahwa ketidakpatuhan yang

dilakukan negara-negara dalam sebuah rezim ditangani dengan pembuatan

rezim-rezim lanjutan dengan maksud untuk menangani ketidakberdayaan

rezim sebelumnya untuk menangani ketidakpatutan negara-negara

tersebut.14

1.3.2.2 Konsep Cooperative security

14 Zartman, William. 2007. “Peacemaking in international conflict: methods and conflict”. (2007, Washington DC: United States Institutes of peace) diakses melalui books.google.co.id/books?id=1GUL0oYZx0kCa&pg=PA390&dq=william+zartman+compliance+and+bargaining&hl=id&ei=X9qSTfrIC8GXcYuduIkH&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CEUQ6AEwBg#v=onepage&q&f=false pada tanggal 12 Maret 2011.

9

Page 10: Semmas End

Menurut Emmers, strategi diplomasi menawarkan empat karakteristik

strategi diplomasi yakni collective security, comprehensive security,

cooperative security dan common security. Dan dalam artikelnya yang

berjudul “Balance of power within and beyond cooperative security

regime: ASEAN & ARF” menafsirkan konsep Balance of Power dalam

konteks politik regional berkaitan dengan momen berdirinya ASEAN

sebagai organisasi regional yang memegang nilai cooperative security.15

Konsep “cooperative security” secara umum didefinisikan sebagai :

“a process whereby countries with common interest work jointly through agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or mitigate disputes, build confidence, enhance economic development prospects, and maintain stability in their regions” 16

Cooperative security adalah sebuah proses kerjasama atau mekanisme

yang dilakukan oleh Negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama

untuk mengurangi ketegangan dan kecurigaan; memisahkan dan

mengurangi perselisihan; membangun kepercayaan diri; memperbesar

prospek pembangunan ekonomi; dan memelihara stabilitas kawasan.

Emmers mengutarakan pendapatnya bahwa cooperative security tidak

memberikan aksi secara langsung dan tepat sasaran disebabkan karena

pertemuan dan diskusi melalui forum yang terjadi hanya angin semata dan

tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik guna merenggangkan

tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun

saling curiga.

“…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of economic or military sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a reventive dimension, albeit not through problem solving.” 17

15 Emmers, Ralf. 2004. “Cooperative security and Balance of Power in ASEAN and The ARF.” New York: Routledge Publishing. p. 50-54.16 Michael Moodle, Chemical and Biological Arms Control Institute, (January, 2000).17 Op cit

10

Page 11: Semmas End

Konsep “cooperative security” diharapkan dapat meningkatkan betapa

pentingnya suatu struktur lingkungan yang terintegrasi antar negara

sehingga mampu memelihara kesejahteraan dan kaemanan rakyatnya.

Munculnya pelanggaran HAM yang terjadi terhadap warga sipil Myanmar

oleh pemerintahannya merupakan sebuah bukti bahwa suatu Negara

memiliki permasalahan yang pada dasarnya tidak dapat diselesaikan

sendiri.

1.3.3 Hipotesis

ASEAN belum bisa menyelesaikan tindak pelanggaran HAM di

Myanmar karena ASEAN tidak memiliki otoritas atau wewenang yang

cukup kuat untuk memberikan tindakan pada Myanmar. ASEAN sebagai

sebuah bentuk rezim cooperative security tidak memiliki sanksi yang

dapat diterapkan dalam menindak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Selain itu, ASEAN terganjal keberadaan nilai-nilai regional yang menjadi

prinsip dasar ASEAN seperti prinsip non-interference dan ASEAN way

dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi di

Myanmar.

1.3.4 Konseptualisasi

1.4.4.1 Regional Value

ASEAN merupakan sebuah organisasi yang terbentuk dari Negara-

negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kemiripan nasib dan latar

belakang. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara terdiri dari berbagai

suku bangsa, ras dan agama yang membentuk suatu masyarakat Asia

Tenggara yang memiliki cita-cita dan tujuan. Perbedaan membuat

masyarakat Asia Tenggara menghargai identitas bangsa atau Negara lain

khususnya Negara-negara yang berada pada satu kawasan.

Negara-negara di kawasan Asia Tenggara mayoritas merupakan

Negara-negara bekas jajahan atau Negara koloni kecuali Negara Thailand.

Sebagai Negara-negara bekas koloni, Negara-negara anggota ASEAN

11

Page 12: Semmas End

sangat menjunjung tinggi kemerdekaan yang dimikili tiap Negara.

Memiliki pengalaman buruk yang sama dalam upaya meraih kemerdekaan

membuat mayoritas Negara-negara ini menjunjung tinggi kedaulatan.

Menjunjung tinggi kedaulatan dan kemerdekaan pada dasarnya menjadi

nilai utama dari dibentuknya ASEAN. Efek trauma sebagai akibat dari

masa penjajahan yang begitu lama membuat masyarakat ASEAN sangat

menghormati kedaulatan yang sudah dimiliki sehingga menginginkan

kewewenangan dalam menentukan nasib dan arah dari kehidupan

negaranya masing-masing.

Nilai-nilai utama ini tertera pada Piagam ASEAN yakni pada

pembukaan alinea ke tujuh yakni “respecting the fundamental importance

of amity and cooperation, and the principles of sovereignty, equality,

territorial integrity, non-interference, consensus and unity and diversity”.18

Sebelumnya, nilai-nilai ini telah disepakati jauh sebelum

ditandatanganinya Piagam ASEAN pada 2007 kemarin. Pada 24 Februari

1976, lima perdana menteri dan presiden dari Negara pendiri ASEAN

menandatangani sebuah perjanjian yang membentuk suatu norma interaksi

antar Negara di kawasan Asia Tenggara yakni Treaty Amity and

Cooperation. Norma dan nilai yang ada dalam perjanjian tersebut yakni:

1. Penghormatan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, persamaan,

integritas wilayah, dan identitas national seluruh bangsa;

2. Terbebas dari intervensi, subversi dan paksaan dari pihak luar;

3. Tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain;

4. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai

5. Tidak digunakannya ancaman dengan menggunakan kekuatan

6. Kerjasama yang efektif antar anggota 19

Prinsip non-interference adalah sebuah prinsip dimana setiap Negara

anggota ASEAN berhak menentukan nasib dan arah masing-masing

18 Op cit19 Severino, Rodolfo. “Asean”. (2008, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).

12

Page 13: Semmas End

Negara dan tidak ada satupun pihak yang diperkenankan untuk turut

campur dalam urusan dalam negeri yang terjadi di suatu Negara. Prinsip

ini hadir sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap nilai kedaulatan dan

kemerdekaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat ASEAN.

Prinsip non-interference juga telah disepakati dalam piagam ASEAN

yakni pada pasal 2 ayat dua (e,f) yang berbunyi

“non-interference in the internal affairs of ASEAN member states; respect for the right of every member state to lead its national existence free from external interference, subversion and coercion”20

Selain itu, masyarakat ASEAN lebih mengedepankan aksi-aksi damai

dalam menyelesaikan masalah atau konflik yakni dengan menggunakan

jalan diplomasi, negosiasi, konsensus dan mediasi. Hal ini tertulis pada

piagam ASEAN pasal 2 ayat 2 (c,d) yakni “renunciation of agression and

of the threat or use of force or other actions in any manner inconistet with

international law; reliance on peacefull settlement of disputes”.21 Pilihan

mekanisme penyelesaian masalah berdasar pada nilai-nilai yang dimiliki

oleh masyarakat ASEAN biasa dikenal dengan ASEAN way. ASEAN way

disebut-sebut sebagai upaya negara-negara anggota untuk aktif

menyelesaikan persengketaan yang ada tanpa harus melanggar kedaulatan

satu sama lain.22 ASEAN way merupakan suatu mekanisme penyelesaian

konflik informal tanpa melakukan intervensi menjauh pada negara anggota

ASEAN.

1.4.4.2 Management Conflict atau Mekanisme Penyelesaian Masalah

Sebagai sebuah bentuk organisasi kawasan yang memiliki tujuan

utama yakni memelihara perdamaian dan keamanan di kawasannya,

ASEAN memiliki mekanisme penyelesaiannya sendiri. Ada beberapa

20 Op Cit21 Ibid 22 Leifer, M. “The Asean States: No Common Outlook, International Affairs” (Royal Institute of International Affairs 1944). diakses 10 Juni 2008. Dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults.

13

Page 14: Semmas End

perjanjian antara anggota-angggota yang menandakan upaya pencapaian

pemeliharaan perdamaian dan keamanan kawasan yakni The Zone of

Peace and Neutrality pada 1971, The Southeast Asia Nuclear Weapons –

Free Zone pada 1995 dan Treaty Amity and Cooperation pada tahun 1976.

Mekanisme penyelesaian masalah yang digunakan ASEAN adalah dengan

menggunakan jalan damai dengan tanpa menggunakan pendekatan

militeristik.23 ASEAN lebih memilih menggunakan jalan diplomasi atau

perundingan yang sesuai dengan prinsip ASEAN dalam menyelesaikan

masalah yang ada di kawasan Asia Tenggara.

Salah satu lembaga eksternal yang diinisisasi dalam pembentukannya

oleh ASEAN adalah ARF yang memiliki fungsi sebagai wadah atau forum

dalam penyelesaian masalah Negara-negara di dalam kawasan Asia

Pasifik. Oleh karena itu pada tahun 1993 diselenggarakan sebuah

konferensi tingkat tinggi di Singapura dalam bentuk informal working

dinner untuk membuat suatu forum dialog regional yang membahas

masalah stabilitas politik dan keamanan Asia Pasifik. Anggota ARF

sampai saat ini berjumlah 21 negara, yakni anggota ASEAN serta AS,

Jepang, Kanada, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Uni Eropa,

Rusia, Cina, India dan Papua Nugini.

ARF diharapkan menjadi sebuah solusi dalam masalah politik dan

keamanan yang mengganggu stabilitas kawasan namun nyatanya ARF

gagal melakukan hal tersebut. Pertemuan pertama ARF diadakan di

Bangkok pada 1994, menyepakati prinsip dasar interaksi anggota-anggota

ARF yang berdasar pada TAC. Dengan disepakatinya TAC, ARF hanya

berfungsi sebagai forum dialog antar Negara-negara mengenai isu-isu

yang ada dalam kawasan tanpa adanya mekanisme penyelesaian yang jelas

atas isu-isu yang berkembang.24 ARF hanya merupakan sebuah forum

yang menggunakan ASEAN way dalam menangani masalah yang ada

23 Severino, Rodolfo. “Asean”. (2008, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies). 24 “ASEAN Regional Forum” diakses melalui ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/.../ARF%20Indonesia.pdf. Pada tanggal 6 April 2011.

14

Page 15: Semmas End

dikawasan, tanpa adanya elemen penekanan terhadap penyelesaian

masalah yang terjadi pada Negara anggota. ARF terbukti berhasil

menjauhkan Asia Tenggara dari isu-isu keamanan misalnya senjata

pemusnah massal, namun ARF lupa untuk membuat sebuah terobosan

yang cukup dalam rangka menyelesaikan konflik pelanggaran HAM yang

masih sedang terjadi di kawasannya sendiri yakni Myanmar.25

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar dan Proses Penyelesaian

Konflik

25 “Politik Dalam Negeri dan Hubungan Luar Negeri”. Diakses melalui www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6520/. Pada tanggal 6 April 2011.

15

Page 16: Semmas End

2.1.1 Sejarah Pelanggaran HAM di Myanmar

Myanmar atau Burma mulai bergabung dengan ASEAN pada tahun

1990an. Sejak tahun 1988, Myanmar merupakan salah satau Negara di Asia

Tenggara yang masih memakai sistem pemerintahan Junta Militer dan

memiliki kecenderungan memakai cara-cara yang represif.26 Pemerintahan

Junta Militer Myanmar merupakan pemerintahan dengan mayoritas etnis

Burma, dan masalah internal Myanmar terjadi karena adanya dominasi etnis

Burma di pemerintahan Myanmar. Pengaturan kekuasaan seperti ini

membuat ketidakseimbangan hak antara etnis Burma dan Non Burma dan

dominasi etnis Burma mengakibatkan etnis non-Burma merasa ditindas.

Perasaan tertindas yang dirasakan oleh masyarakat etnis non-Burma

mengakibatkan kemunculan perlawanan dari etnis-etnis non-Burma terhadap

pemerintahan Myanmar.

Pada tahun 1990, diadakan pemilu yang kemudian dimenangkan oleh

kubu pro demokrasi yang bentukan etnis non-Burma pimpinan Aung San

Suu Kyi. Akan tetapi pemerintahan militer Myanmar tidak mengakui

kemenangan kubu pro-demokrasi dan malah memberlakukan undang-

undang darurat.27 Junta Militer, yang menyebut diri sebagai Dewan

Pemulihan Ketertiban dan Hukum (SLORC), malah membungkam Suu Kyi

dengan memberlakukan hukuman tahanan rumah untuk pejuang Myanmar

tersebut. Kemenangan Suu Kyi yang direbut oleh pemerintahan Junta

Militer merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan

HAM yang ingin ditegakkan oleh etnis non Burma di Myanmar. Penolakan

junta untuk menerima hasil pemilu 1990 yang seharusnya mengantarkan Suu

Kyi ke puncak kekuasaan sipil Myanmar, dapat diartikan sebagai

pelanggaran HAM oleh junta atas Suu Kyi terkait dengan pasal 21 ayat 1,

26 “ASEAN Kecewa Tindakan Represif Junta Militer Myanmar” edisi 28 September 2007. Diakses melalui www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2007/09/28/46397/-ASEAN-Kecewa-Tindakan-Represif-Junta-Militer-Myanmar-. Pada tanggal 6 April 201127 “Hasil pemilu pada tahun 1990 Dibatalkan”. Diakses melalui http://cetak.kompas.com/read/2008/06/04/00413049/hasil.pemilu.pada.tahun.1990.dibatalkan Harian Kompas Digital. Pada tanggal 5 april 2010. (2011)

16

Page 17: Semmas End

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM) yang

menjelaskan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam pemerintahan

negaranya. Selain itu, ada pasal 9 DUHAM yang menjabarkan bahwa tak

seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-

wenang. Lalu ada pasal 5 yang bisa digunakan sabagai dasar hukum atas

pelanggaran HAM Junta terhadap Suu Kyi karena pasal ini menjelaskan

bahwa tak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan dengan kejam, tak

berprikemanusiaan atau yang merendahkan martabat manusia. Ini sesuai

dengan perlakuan junta yang mengisolasi Suu Kyi serta kondisinya dalam

tahanan.28

Parahnya lagi, Junta Militer tidak hanya merebut kemenangan kubu pro

demokrasi namun juga memenjarakan para aktivis dan demonstran yang

menginginkan terbentuknya Negara demokratis. Pada bulan Mei tahun 1996,

SLORC juga menahan 262 aktivis NLD (Liga Nasional Demokrasi) yang

melakukan demonstrasi terhadap pemerintahan Junta Militer.29 Pada 1997,

Myanmar melakukan perombakan terhadap pemerintahannya yang

kemudian diberi nama SPDC atau The State Peace and Development

Council, namun tidak ada perubahan kebijakan yang berarti selain

ditambahkannya Perdana Menteri pada sistem Pemerintahan dengan tetap

memakai personil militer dalam struktur pemerintahan yang berkuasa.

Konsepsi Myanmar terhadap keamanan domestik yang berlebihan yang

akhirnya menjadikan penguatan rejim, kesatuan nasional dan kepatuhan

hukum sebagai fokus dari aktivitas keseharian penguasa militer tersebut.30

Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar terjadi

pada September 2007, yang dipelopori oleh para Biksu Budha di Myanmar

sebagai bentuk penolakan terhadap pemerintahan Junta Militer Myanmar.

28 “The Universal Declaration of Human Rights”. Diakses melalui www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml pada tanggal 27 Maret 2011. (1948)29 “Kekejaman Junta Myanmar”. Diakses melalui http://rakyatmerdeka.co.id.htm. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007) 30 Muthiah Alagappa, “Asian Security Practice-Material and Ideational Influences”, Stanford University Press, California, 1998. Hlm.390

17

Page 18: Semmas End

Demonstrasi dimotori oleh kenaikan harga BBM karena penghapusan

subsidi oleh pemerintah yang pada akhirnya diikuti oleh warga sipil pro

demokrasi. Pemerintahan Myanmar menggunakan aksi kekerasan dalam

pembubaran demonstrasi tersebut, banyak dari warga sipil dan biksu yang

ditahan dan disiksa. Banyak korban yang berjatuhan dalam aksi

pemerintahan untuk membubarkan demonstrasi tersebut, salah satunya

adalah wartawan Kenji Nagai yang berasal dari Jepang.31 Dalam kurun

waktu 17 bulan sejak Juni 2007, jumlah tahanan politik Myanmar melonjak

sebesar 42,8 % menjadi 2.100 tahanan. 32

2.1.2 Proses Penyelesaian Konflik HAM yang Terjadi di Myanmar

Pembahasan mengenai pelanggaran HAM di Myanmar diawali dengan

dikeluarkannya Joint Communique of the 26th ASEAN Ministerial Meeting

yang berlangsung pada 23-24 Juli 1993 di Singapura.33 Sebagai bentuk

ASEAN way, pertemuan ini membahas mengenai isu pelanggaran HAM di

Myanmar dan saran-saran penyelesaian yang diberikan oleh negara-negara

anggota ASEAN. Akan tetapi pemerintahan Junta Militer selalu

menggunakan prinsip non-interference yang dianut oleh ASEAN sebagai

suatu alasan agar negara-negara ASEAN tidak ikut campur dalam urusan

dalam negerinya. Dengan ini, anggota-anggota ASEAN yang lain tidak

dapat memberikan tindakan lebih lanjut karena prinsip tersebut merupakan

salah satu prinsip utama ASEAN. Pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura,

Menteri Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa junta harus membagi

kekuasaan dengan pemerintahan sipil untuk memfasilitasi menuju transisi

demokrasi dan penegakan kembali HAM rakyatnya.34

31 Ibid32 “Parlemen Serukan Penghentian pelanggaran HAM di Myanmar” artikel tanggal 11 Oktober 2007 diakses melalui http://www.antaranews.com pada tanggal 28 Maret 2011 33 Anak Agung Banyu Perwita, “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal Myanmar”, (Analisis CSIS, 2006) Volume 32 Nomer 2 hal 155.

34 “Catatan dari KTT ke-13 ASEAN: Isu Politik Myanmar Hangatkan Suasana” diakses melalui Suara Merdeka Harian Nasional http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/28/nas27.htm pada tanggal 15 April 2011

18

Page 19: Semmas End

Sistem internasional terus mengecam tindakan pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh pemerintahan Myanmar, Uni Eropa sendiri sudah

memberikan sanksi pada Myanmar, seperti adanya larangan bepergian bagi

politisi Myanmar dan pembekuan aset-aset yang dimilikinya di Eropa.35

Selain itu Uni Eropa juga memberikan sanksi berupa embargo kayu, barang

tambang dan logam kecuali minyak.36 Akan tetapi tindakan Myanmar malah

tidak dapat dihentikan, hal ini membuat sistem internasional meminta

ASEAN untuk memberikan tindakan tegas pada Myanmar.

Salah satu bentuk kecaman dunia internasional terhadap pelanggaran

HAM Myanmar dilakukan pada tanggal 10 Desember 2008 dimana lebih

dari 100 mantan pemimpin dunia, seperti : mantan Presiden Amerika Serikat

(AS) George HW Bush dan Jimmy Carter, mantan pemimpin Uni Soviet

Mikhail Gorbachev, mantan Perdana Menteri (PM) Australia John Howard,

mantan PM Prancis Lionel Jospin, mantan PM Jepang Junichiro Koizumi,

serta mantan presiden Filipina Fidel Ramos dan Corazon Aquino,

melayangkan surat kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) Ban Ki Moon. Surat tersebut berisi tentang penagihan itikad Sekjen

PBB tersebut yang pernah dilontarkannya pada 11 Oktober 2007 terkait

pembebasan Aung San Suu Kyi. Tidak hanya itu, puluhan peraih hadiah

nobel yang berkumpul pada penyerahan nobel perdamaian kepada mantan

presiden Finlandia Martii Ahtisaari tanggal 9 Desember 2008, juga

mendorong pembebasan Aung San Suu Kyi sebagai peraih nobel

perdamaian 1991. Pembebasan yang diminta komunitas Internasional tidak

saja untuk Aung San Suu Kyi, tetapi juga ribuan tahanan politik

pendukungnya. Sekjen PBB Ban Ki Moon akhirnya merespon positif

terhadap pembebasan Aung San Suu Kyi, dengan meminta seluruh negara di

35 Awaludin, H. “Nasib Demokrasi di Myanmar” Diakses melaluV httcetak.kompas.com/read/2009/08/.../nasib.demokrasi.di.myanmar PAda Tanggal 24 Maret 2011. (2009)

36 “Myanmar pun ‘Tunduk”, Edisi 25 Oktober 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?, pada 2 Juni 2010.

19

Page 20: Semmas End

dunia menggunakan pengaruh dan kemampuannya agar Junta Militer

memenuhi komitmen menuju demokrasi.37

Sampai saat ini, ASEAN yang terus berpegang teguh pada semua

prinsip dasarnya telah banyak mengambil tindakan dalam upayanya untuk

menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Desakan

dari pihak-pihak di luar ASEAN juga muncul dalam pertemuan pejabat

tinggi (SOM) ASEAN menjelang Pertemuan Tahunan ke-37 Menteri Luar

Negeri ASEAN di Jakarta Convention Center (JCC) pada akhir bulan Juni

tahun 2004.38 Kemudian pada tahun 2007 yakni tepatnya dalam pertemuan

para Menteri Luar Negeri ASEAN, ASEAN juga kembali mendesak

Myanmar agar lebih serius dalam menangani pelanggaran HAM yang

terjadi. Pada pertemuan ini, para menlu ASEAN juga mendesak Junta

Myanmar agar segera melepaskan tokoh pejuang demokratisasi Aung San

Suu Kyi.39

Langkah yang sedikit lebih maju yang diambil oleh para menlu

ASEAN adalah dengan membentuk badan Hak Asasi Manusia pada tahun

yang sama. Namun hingga kini, tokoh demokratisasi Aung San Suu Kyi

masih hidup sebagai tahanan politik Junta dan belum ada indikasi bahwa ia

akan segera menghirup udara bebas. Bahkan ia mendapatkan penjagaan

yang ketat dari aparat keamanan sehingga sulit mendapat akses pada dunia

luar. Begitupun juga ketika terjadi aksi protes damai yang melibatkan

pimpinan agama (Sangha) dan masyarakat pada bulan September tahun

2007. Demonstrasi yang dilakukan mendapatkan tindakan represif dari

37 “PBB Kecam Pelanggaran HAM Myanmar”. Diakses melalui http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=76763:pbb-kecam-pelanggaran-ham-myanmar&catid=16:internasional&Itemid=29. Pada tanggal 28 Maret 2010. (2009)38 Kompas, 30 Juni 2004, diakses dari Pusat Informasi Kompas pada tanggal 8-06-2008. http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2007/01/12/brk,20070112-91115,id.html. Diakses pada tanggal 17 Juni 2008. 39 “Catatan dari KTT ke-13 ASEAN: Isu Politik Myanmar Hangatkan Suasana” diakses melalui http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/28/nas27.htm. Suara Merdeka Harian Nasional digital pada tanggal 15 April 2011. (2007)

20

Page 21: Semmas End

Dewan Negara, Perdamaian, dan Pembangunan (SPDC/Junta Militer) yang

dipimpin langsung oleh Jendral Senior Than Shwe. Sampai saat ini

sejumlah pimpinan aksi demonstrasi ketika itu masih mendekam dalam

tahanan dibawah pengawasan SPDC.40

Pembentukan Badan HAM ASEAN yang sebelumnya diharapkan

mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar nyatanya

berakhir mengecewakan. Badan HAM ASEAN dibentuk sejalan dengan

prinsip-prinsip dasar yang telah ada dalam ASEAN. Badan Ham ASEAN

nyatanya hanya bertugas untuk mempromosikan penghargaan dan

penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tanpa memberikan perlindungan

secara efektif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pada masyarakat

ASEAN. Dengan ini, Badan HAM ASEAN tetap tidak memiliki wewenang

dan otoritas terhadap perlindungan korban-korban pelanggaran HAM yang

terjadi di ASEAN. Jalan terakhir yang dapat ditempuh ASEAN tanpa harus

melanggar prinsip-prinsip yang ada adalah dengan membawa kasus

pelanggaran HAM pada lembaga diluar ASEAN yang juga menaungi

Negara anggota ASEAN, yakni melalui kerangka ASEAN Regional Forum.

Namun nyatanya kerangka ARF pun tidak dapat memberikan solusi yang

mengikat secara aktif yang dapat ditempuh untuk menghentikan pelanggaran

HAM yang terjadi di Myanmar.

2.2 Peran ASEAN Terkait Konflik Pelanggaran HAM di Myanmar

2.2.1 Alasan Ketidakmampuan Peran ASEAN dalam Konflik Pelanggaran

HAM yang Terjadi di Myanmar

Salah satu tujuan utama ASEAN tertera pada pasal 1 ayat 1 yakni: “to

maintain and enhance peace, security and stability and further strengthen

peace oriented values in the region”.41 Dimana tujuan tersebut berarti

ASEAN bertujuan memelihara dan meningkatkan perdamaian di kawasan

40 “Burma's “Saffron Revolution” is Not Over”. Diakses melalui www.ituc-csi.org/IMG/pdf/Birmania_FIDH_ITUC_101107.pdf. Pada tanggal 24 Maret 2011.41 Op cit

21

Page 22: Semmas End

Asia Tenggara. Sedangkan dalam pasal 1 ayat 7 menunjukkan tujuan

ASEAN untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan

fundamental lainnya. Dari dua tujuan yang tertera dalam piagam ASEAN

ini, penulis mecoba memaparkan bahwa ASEAN bukan hanya ingin

melindungi masyarakat ASEAN dari terjadinya konflik yang bersifat

tradisional, namun ASEAN juga memberikan perlindungan HAM bagi

masyarakat ASEAN. Untuk merealisasikan hal ini, ASEAN membentuk

suatu lembaga dalam ASEAN, yakni Badan HAM ASEAN. Namun sampai

saat ini, Badan ASEAN tidak memberikan tindakan apapun terhadap

pelanggaran HAM yang terjadi di Myamar, padahal dibentuknya badan ini

diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar.42

Sampai sekarang upaya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh

ASEAN tidak juga membuahkan hasil. Dari perundingan-perundingan serta

diplomasi yang telah dilakukan oleh anggota-anggota ASEAN yang lain

nyatanya juga tidak dapat menghentikan tindakan pemerintahan Junta

Militer Myanmar dari perilakunya yang represif. Dari pertemuan pejabat

tinggi ASEAN sampai pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN, nyatanya

tidak dapat membuahkan solusi mengikat yang mampu membuat Myanmar

berhenti melakukan pelanggaran HAM. Hal ini terjadi karena ketidak

kompakan Negara-negara ASEAN dalam menentukan sikap terhadap

pelanggaran HAM di Myanmar. Malaysia, Filipina, Singapura, dan

Indonesia sejauh ini telah terus menagih janji Pemerintah Myanmar untuk

pelaksanaan demokrasi di negara itu termasuk pembebasan Aung San Suu

Kyi. Namun di sisi lain, Kamboja dan Laos menyatakan bahwa persoalan

reformasi politik merupakan urusan dalam negeri Myanmar, tidak boleh

dicampuri oleh ASEAN. Dengan adanya banyak penghalang dalam

mekanisme penyelesaian dalam kerangka ASEAN, kasus ini kemudian

dibawa ke lembaga diluar ASEAN yakni ARF yang diharapkan dapat

42 “Badan HAM ASEAN Lemah”. Diakses melalui www.komnasham.go.id/risalah/162-badan-ham-asean-lemah pada tanggal 24 Maret 2011.

22

Page 23: Semmas End

membuat perubahan yang signifikan terhadap penyelesaian pelanggaran

HAM di Myanmar.

ARF memiliki fungsi sebagai wadah atau forum dalam penyelesaian

masalah Negara-negara di dalam kawasan Asia Pasifik. Dari fungsi yang ada

terlihat bahwa ARF hanya merupakan sebuah bentuk cooperative security

dimana bentuk ini menurut Emmers tidak efektif sebagai penyelesaian

masalah yang terjadi karena cooperative security tidak memiliki otoritas

untuk melakukan penekanan terhadap masalah yang terjadi di Asia

Tenggara.43 Salah satu perjanjian dalam TAC yang membuktikan ARF dan

ASEAN sebagai sebuah bentuk cooperative security terletak pada

penggunaan jalan damai dengan quite diplomacy dalam mengatasi masalah

disuatu kawasan, hal ini sesuai dengan fungsi ARF itu sendiri yang hanya

mengedepankan jalur diplomasi dan negosiasi dalam menyelesaikan

masalah.

ARF nyatanya juga tidak dapat memberikan solusi penanganan kasus

pelanggaran HAM karena beberapa sebab yang sama dengan ASEAN. ARF

sebagai sebuah bentuk cooperative security tidak memiliki otoritas atau

kewenangan dalam memberikan sangsi sebagai sebuah bentuk punishment

untuk membuat setiap Negara anggota tidak melanggar kesepakatan yang

telah disepakati. Dengan tidak adanya sebuah bentuk punishment atau

reward dalam sebuah rezim keamanan membuat rezim ini tidak memiliki

kekuatan pemaksa terhadap masalah atau konflik yang terjadi dalam

kawasan atau kondisi domestik Negara-negara anggota. Mekanisme

penyelesaian yang dimiliki ARF sebagai sebuah bentuk cooperative security

bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam penyelesaian kasus

yang terjadi di Myanmar. Dari penjelasan diatas, strategi cooperative

security yang semula dimaksudkan sebagai kendaraan sosial dan ekonomi

menjadi irrelevan karena lemah terhadap pemberian sangsi militer atau

43 Emmers, Ralf. “Cooperative security and Balance of Power in ASEAN and The ARF”. (2004, New York: Routledge Publishing).

23

Page 24: Semmas End

embargo ekonomi yang jelas. Hal tersebut menjadi kelemahan ASEAN yang

cenderung tidak tegas, tidak jelas, dan menjadi tidak netral terhadap

berbagai konflik regional.

ARF menerapkan proses mekanisme penyelesaian masalah melalui

diskusi yang dilakukan antar anggota untuk mencari solusi yang paling tepat

dalam menyelesaikan masalah.44 Masalah yang terjadi pada satu Negara

anggota akan diproses dalam sebuah pertemuan-pertemuan untuk melobi,

melakukan perundingan, berdiplomasi dan bernegosiasi pada Negara yang

bersangkutan oleh keseluruhan anggota untuk mendapatkan solusi paling

tepat, hal ini biasa disebut dengan ASEAN way. Namun, proses perundingan

atau ASEAN way yang dilakukan cenderung memakan waktu yang lama

sehingga terkesan menghindarkan diri dari masalah atau dan tidak

menyelesaikannya. Dengan lamanya waktu penyelesaian masalah membuat

korban pelanggaran HAM yang jatuh semakin besar. Kemudian masalah

yang memiliki proses penyelesaian yang lama bukannya terselesaikan

namun hilang dalam perbincangan dan muncul kembali pada saat media

mulai mengeksposnya kembali.

ASEAN way nyatanya hanya merupakan sebuah bentuk musyawarah

atau dialog antar Negara-negara tanpa memberikan tindakan berupa solusi

nyata dalam penyelesaian masalah yang terjadi. Tanpa adanya keinginan

yang kuat dari pemerintahan Junta Militer dalam penanganan kasus

pelanggaran HAM yang terjadi melalui kerangkan ASEAN ataupun ARF

maka masalah ini akan terus berlanjut.

Code of conduct yang dimiliki oleh ASEAN atau ARF yang terletak

pada nilai-nilai yang dikemukakan dalam TAC ikut serta menentukan

ketidak efektifan peran ASEAN dalam proses mekanisme penyelesaian

pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Isi dari TAC merupakan

sebuah regional value yang merupakan sebuah norma dan nilai-nilai yang

44 Severino, Rodolfo. “Asean”. (2008, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).

24

Page 25: Semmas End

dipatuhi dan disepakati oleh para anggotanya. Salah satu prinsip utama yang

menentukan pola interaksi dan penyelesaian masalah antar anggota terletak

pada nilai atau prinsip non interference. Prinsip ini bermakna sangat kuat

dan berakar dalam interaksi antar anggota ASEAN. Prinsip untuk tidak

diperbolehkan mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara membuat

seluruh Negara anggota ASEAN tidak diperkenankan untuk ikut campur

dalam kasus pelanggaran HAM di Myanmar walaupun korban yang jatuh

semakin meningkat.

Konflik pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar merupakan

sebuah konflik internal Negara Myanmar. Sesuai dengan konstitusi ASEAN,

konflik internal suatu Negara merupakan kewenangan Negara yang

bersangkutan. Konflik atau kondisi politik suatu Negara bukan menjadi

urusan atau kepentingan Negara lain, sehingga ASEAN tidak diperkenankan

mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara walau secara normatif harus

dilakukan. Pemerintahan Myanmar berhak mengatur atau menentukan

jalannya suatu masalah dalam negerinya sesuai dengan keinginan negaranya

sendiri tanpa intervensi dari pihak lain. ASEAN telah memberikan

penghormatan terhadap hak menentukan kelangsungan suatu Negara dalam

konstitusinya dan menjunjung tinggi prinsip non-interference sebagai

penghormatan terhadap kedaulatan suatu Negara. Prinsip-prinsip ini telah

menjadi landasan dasar interaksi Negara-negara di ASEAN,

Konflik yang terjadi di Myanmar secara prinsipal merupakan sebuah

nilai yang dihormati dalam konstitusi ASEAN sehingga hal ini merupakan

sebuah dilema dimana ASEAN atau ARF diharuskan untuk memilih antara

prinsip non-interference atau penghargaan terhadap HAM. Dimana pada

kenyataannya, prinsip ini akan saling bertentangan jika dihadapkan pada

konteks pelanggaran HAM di Myanmar.

Prinsip inilah yang juga kemudian menjegal proses penyelesaian di

tataran sistem karena Pemerintahan Junta Militer Myanmar malah

25

Page 26: Semmas End

memanfaatkan prinsip-prinsip ini sebagai sebuah tameng perlindungan diri

untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaan yang dimiliki. Badan

HAM yang dibentuk hanya berfungsi sebagai promotor penghargaan

terhadap HAM tanpa adanya perlindungan yang nyata. Hal ini terlihat jelas

pernyataan yang ada padaDeclaration of ASEAN Concord II (Bali Concord

II) pada tanggal 7 Oktober 2003, “…ASEAN shall continue to promote

regional solidarity and cooperation. Member countries shall exercise their

rights to lead their national existence free from outside interference in their

internal affairs”.45

Jika ASEAN memilih untuk melakukan mediasi dan memberikan

perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar

maka tindakan yang harus di ambil oleh ASEAN adalah dengan

mengintervensi Myanmar dalam bentuk-bentuk kebijakan yang

mengikutsertakan masuknya perangkat fisik ASEAN seperti pasukan

perdamaian atau pemberlakuan sanksi untuk menghentikan tindakan

Myanmar. Namun jika ASEAN mengambil tindakan ini, maka ASEAN juga

akan melanggar prinsip non-interference sebagai prinsip utama dalam

ASEAN dan ARF. Memilih untuk melakukan perlindungan terhadap HAM

atau penegakan prinsip utama ASEAN menjadi sebuah dilemayang harus

dihadapi ASEAN. Pembentukan badan HAM ASEAN yang terbatas hanya

pada penghormatan terhadap HAM dan tanpa melakukan perlindungan

secara signifikan terbukti tidak efektif. Pada akhirnya, semua mekanisme

penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar pada

dasarnya terhalang oleh prinsip yang berakar dari prinsip non-interference

yang mencegah Negara atau pihak lain untuk ikut campur atau

mengintervensi urusan dalam negeri suatu Negara walaupun dengan tujuan

yang sangat humanis sekalipun.

45 “Handbook on Selected ASEAN Political Documents - New Edition”. Diakses melalui www.aseansec.org/pdf/HBPDR.pdf. Pada tanggal 24 Maret 2011. (2003)

26

Page 27: Semmas End

Pemilu demokratis yang sudah sejak lama tidak dilakukan oleh

pemerintahan Myanmar akhirnya dilakukan pada 7 November 2007 lalu

walau tanpa pemimpin gerakan pro-demokrasi dari partai NDL yakni Aung

San Suu Kyi yang dibebaskan pada 14 November 2010. Hasil pemilu

menunjukkan bahwa 80% suara nyatanya diraih oleh partai yang didukung

oleh Junta Militer yakni Union Solidarity and Development Party (USDP)

dan National Unity Party (NUP). Hasil pemilu yang dilakukan oleh Junta

Militer nyatanya masih diperdebatkan karena banyak Negara di dunia tidak

menerima hasil pemilu yang telah dikeluarkan. Pemilu yang sebelumnya

diharapkan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan kasus pelanggaran

HAM melalui perubahan rezim pemerintahan yang ada di Myanmar

nyatanya gagal karena hasil pemilu yang tetap mendukung keberadaan Junta

Militer. Dengan hasil pemilu yang seperti ini, maka sampai saat ini

penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Myanmar masih menjadi jalam

buntu.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

ASEAN belum bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di

Myanmar karena ASEAN terganjal 2 hal yang berada pada tataran rezim

dan tataran sistem. Ketidakmampuan ASEAN terjadi karena ASEAN

melalui ARF merupakan sebuah rezim Cooperative security yang tidak

memiliki otoritas atau kewenangan dalam melakukan penekanan terhadap

pemerintahan. ARF tidak memiliki mekanisme penekan berupa sangsi

27

Page 28: Semmas End

militer ataupun ekonomi terhadap Myanmar, sehingga tidak ada bentuk

penekanan terhadap Pemerintahan Myanmar, yang dapat memaksa

pemerintahannya untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi di

negaranya.

Selain pada tataran rezim, ketidakefektifitas ASEAN dalam

penyelesaian pelanggaran HAM di Myanmar terjadi karena sistem

regional ASEAN memiliki nilai-nilai dan norma-norma kepatuhan yang

menghambat penyelesaian pelanggaran HAM. Inti dari norma dan nilai

yang ada pada ASEAN serta ARF adalah prinsip non interference yang

mengarah pada penyelesaian masalah secara damai atau ASEAN way.

Prinsip ini membuat ASEAN dan ARF tidak berhak ikut campur dalam

urusan dalam negeri suatu Negara termasuk pelanggaran HAM yang

dilakukan Junta Militer Myanmar terhadap warganya. Penyelesaian

masalah yang tersandung prinsip non interference diperparah dengan

mekanisme penyelesaian masalah yang tidak nyata yakni hanya dengan

perundingan untuk mencapai kata sepakat dalam solusi. Solusi yang

diberikanpun tidak dapat menekan Myanmar karena hanya terletak di

tataran normatif. Penyelesaian masalah secara damai membuat tidak ada

adanya tindakan keras terhadap pemerintahan Myanmar, yang ada

hanyalah perundingan dan pendekatan terhadap pemerintahan Myanmar

untuk melakukan perlindungan terhadap HAM.

3.2 Saran

Sebagai sebuah bentuk integrasi kawasan yang bertujuan untuk

menjaga stabilitas keamanan yang ada di Asia Tenggara, ASEAN

seharusnya membentuk kerangka legal yang mengikat dalam mekanisme

penyelesaian masalah yang disetujui semua pihak. Hal ini bisa dilakukan

dengan adanya pembatasan masalah atau isu tertentu yang dapat

diintervensi oleh ASEAN dengan tujuan menjaga stabilitas keamanan.

Dengan ini, ASEAN tidak sampai melangkahi prinsip non-interference

28

Page 29: Semmas End

yang ada dalam tubuh ASEAN. Kerangka legal yang disetujui semua

anggota ASEAN pastinya memiliki mekanisme sanksi mengikat yang

akan membuat tindak pelanggaran HAM di Myanmar dapat segera

diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

“About us: ASEAN Regional Forum”. Diakses melalui http://www.aseanregionalforum.org/News/tabid/59/Default.aspx. Pada tanggal 26 Maret 2011.

Muthiah Alagappa, “Asian Security Practice-Material and Ideational Influences”, Stanford University Press, California, 1998. Hlm.390

“Aksi Demo Damai di Myanmar Berakhir Kerusuhan”. diakses melalui http://antaranews.com pada tanggal 08 Maret 2011. (2007)

“ASEAN Kecewa Tindakan Represif Junta Militer Myanmar” edisi 28 September 2007. Diakses melalui www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2007/09/28/46397/-ASEAN-

29

Page 30: Semmas End

Kecewa-Tindakan-Represif-Junta-Militer-Myanmar-. Pada tanggal 6 April 2011

ASEAN Regional Forum” diakses melalui ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/.../ARF%20Indonesia.pdf. Pada tanggal 6 April 2011.

Awaludin, H. 2009. “Nasib Demokrasi di Myanmar”. Diakses melalui httcetak.kompas.com/read/2009/08/.../nasib.demokrasi.di.myanmar. Pada Tanggal 24 Maret 2011.

“Badan HAM ASEAN Lemah”. 2009. Diakses melalui www.komnasham.go.id/risalah/162-badan-ham-asean-lemah. Pada tanggal 26 Maet 2011.

“Burma's ’Saffron Revolution’ is Not Over”. 2007. Diakses melalui www.ituc-csi.org/IMG/pdf/Birmania_FIDH_ITUC_101107.pdf. Pada tanggal 26 Maret 2011.

“Catatan dari KTT ke-13 ASEAN: Isu Politik Myanmar Hangatkan Suasana” diakses melalui Suara Merdeka Harian Nasional http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/28/nas27.htm pada tanggal 15 April 2011

Emmers, Ralf. 2004. “Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and The ARF”. New York: Routledge Publishing.

“Handbook on Selected ASEAN Political Documents - New Edition”.2003. Diakses melalui www.aseansec.org/pdf/HBPDR.pdf. Pada tanggal 26 Maret 2011.

“Hasil Pemilu Pada Tahun 1990 Dibatalkan”. Diakses melalui http://cetak.kompas.com/read/2008/06/04/00413049/hasil.pemilu.pada.tahun.1990.dibatalkan Harian Kompas Digital. Pada tanggal 5 april 2010. (2011)

Jacobson, Harorld. “Networks of Interindependence: Internasional Organizations and the Global Political System, The Range of Functions”. (1979, New York: Alfred A. Khopf), p. 88-89.

“Junta Myanmar Kebal Sanksi Ekonomi”, Harian Seputar Indonesia online melalui http://seputar-indonesia.com/junta-myanmar-kebal-sanksi-ekonomi/.htm. Pada tanggal 23 Maret 2011. (2007)

“Kekejaman Junta Myanmar”. Diakses melalui http://rakyatmerdeka.co.id.htm. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007)

30

Page 31: Semmas End

Krasner, Stephen D.. 1982. “The Massachusets Institute of Technology: International Regimes”. Spring

Leifer, M. 2008. “The Asean States: No Common Outlook, International Affairs” (Royal Institute of International Affairs 1944). diakses 10 Juni 2008. Dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults.

Mingst, Karent. 1998. “Essentials of International Relations”. New York: W.W Norton & Company.

“Myanmar pun ‘Tunduk”, Edisi 25 Oktober 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?, pada 2 Juni 2010.

Mos’oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.

“Parlemen Serukan Penghentian pelanggaran HAM di Myanmar”. Diakses melalui http://www.antaranews.com. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007)

“Pelanggaran Hal Asasi Manusia dan Konflik Bersenjata di Burma”. Diakses melaui http://www.forum-politisi .org. Pada Tanggal 13 April 2011. (2011)

“PBB Kecam Pelanggaran HAM Myanmar”. Diakses melalui http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=76763:pbb-kecam-pelanggaran-ham-myanmar&catid=16:internasional&Itemid=29. Pada tanggal 28 Maret 2010. (2009)

Perwita, Anak Agung Banyu. 2006. “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal Myanmar”. Analisis CSIS.

“Politik Dalam Negeri dan Hubungan Luar Negeri”. Diakses melalui www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6520/. Pada tanggal 6 April 2011.

Severino, Rodolfo. 2008. “Asean”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

The ASEAN Charter”. Retrieved June 2nd 2010. Available at: www.aseansec.org/ASEAN-Charter.pdf.

“The Universal Declaration of Human Rights”. 1948. Diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml. Pada tanggal 27 Maret 2011.

31