SEMIOTIKA JIHAD FI SABILILLAH ‘IBNU BATTUTAH DALAM...
Transcript of SEMIOTIKA JIHAD FI SABILILLAH ‘IBNU BATTUTAH DALAM...
SEMIOTIKA JIHAD FI SABILILLAH ‘IBNU
BATTUTAH’ DALAM FILM JOURNEY TO MECCA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi
Islam (S. Kom. I)
Oleh
Nurmalisa Nazaroni
NIM: 1110051000114
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S. 1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan tiruan hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 19 Desember 2014
Nurmalisa Nazaroni
i
ABSTRAK
Nurmalisa Nazaroni
Semiotika Jihad fi Sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam Film Journey to Mecca.
Film Journey to Mecca merupakan film yang menceritakan tentang sosok
yang bernama Ibnu Battutah dalam melakukan perjalanan sucinya ke tanah suci
Mekah. Ibnu Battutah dinobatkan sebagai seorang petualang muslim terbesar abad
ke-14. Prestasi perjalanan yang telah ditempuhnya yaitu sejauh 73.000 mil dan
melampaui 44 negara jika dilihat pada peta dunia saat ini. Perjalanan ke Mekah
merupakan rute pertama petualangannya dengan misi menunaikan ibadah haji.
Pemuda asal Maroko ini melakukan perjalanan ke Mekah seorang diri yang ketika
itu usianya 21 tahun. Banyak penolakan ketika ia meminta izin dari berbagai
pihak, terutama orang tua, saat ia berpamitan ingin melaksanakan perjalanan suci
tersebut. Namun berkat tekad dan harapan yang kuat untuk bisa melihat Masjidil
Haram akhirnya ia memutuskan untuk berangkat pada saat itu. Di tengah
perjalanannya ia banyak sekali menghadapi berbagai hambatan, seperti
fatamorgana, tidak sadarkan diri, badai gurun, bahkan ia nyaris mati akibat
serangan bandit di gurun.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:
Pertama, bagaimana sign dan code Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah dalam film
Journey to Mecca? Kedua, bagaimana elemen Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah
dalam film Journey to Mecca? Dan ketiga, bagaimana convetion Jihad fi
Sabilillah Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menggunakan metode
semiotika Roland Barhtes yaitu dengan cara mencari makna denotasi, konotasi
dan mitos yang dikemas melalui pemaknaan sign dan code, elemen dan convetion
yang menjelaskan semiotika pada dasarnya hendak memperlajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Artinya, semua yang hadir
dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi
makna.
Film Journey to Mecca menampilkan perjuangan Jihad fi sabilillah Ibnu
Battutah, terutama dalam adegan ketika Ibnu Battutah sedang melakukan
perjalanan dari Kairo menuju Mekah. Di sana banyak divisualisasikan perjuangan
keras Ibnu Battutah dalam menghadapi kerasnya sebuah perjuangan menuju ridha
Allah. Karena, banyak sekali simbol-simbol dan kode-kode yang menurut peneliti
memunculkan interpretasi dan pesan simbolik. Karena hal itulah, menurut peneliti
film Journey to Mecca perlu ditelisik menggunakan kajian semiotika.
Jadi, film ini berhasil menampilkan perjuangan Jihad fi Sabilillah yang
dilakukan oleh Ibnu Battutah dalam memperjuangkan rukun Islam yang kelima.
Kode yang muncul terdapat ketika perjalanan dari Kairo menuju Mekah. Melalui
unsur sinematik film, peneliti menemukan ada 13 elemen penting yang dapat
membangun makna di dalam film sebagai representasi makna Jihad fi Sabilillah.
Konvensi terdapat dalam beberapa sekuen dan adegan dalam durasi-durasi
tertentu.
Keyword: Ibnu Battutah, Jihad fi Sabilillah, Mekah, film, Semiotik, Journey to
Mecca.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena sampai pada saat ini telah
diberikan nikmat sehat oleh-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah dalam rangka
mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) pada program studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak melibatkan bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dari semua pihak tersebut
mustahil penulis dapat menyelasaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan hormat
tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. H. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Dr. Suparto, M. Ed, Ph. D, selaku Wakil Dekan I bidang
Akademik, Drs. Jumroni, M. Si, selaku Wakil Dekan II bidang
Administrasi Umum, dan Dr. H. Sunandar Ibnu Noor, M.A, selaku Wakil
Dekan III bidang Kemahasiswaan.
2. Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan
meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan inspirasinya yang
sangat berharga.
3. Rachmat Baihaky, M.A, selaku Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
iii
4. Fita Fathurokhmah, M. Si, Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
5. Prof. Dr. Murodi, MA, Dosen Penasihat Akademik Jurusan Komunikasi
dan Penyiaran Islam (KPI D).
6. H. Zakaria, MA. Selaku dewan penguji yang memberikan arahan dan
masukan untuk perbaikan kualitas skripsi ini.
7. Dr. Sihabudin Noor, MA. Selaku dewan penguji yang mengarahkan
peneliti untuk memperbaiki skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak
ilmu kepada saya.
9. Segenap jajaran pegawai tata usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Dedyk Haryono dan Ibunda Maysah
yang telah menjadi orang tua hebat yang tak henti-hentinya memberikan
kasih sayang, doa, dan motivasinya untuk penulis. Kasih sayangmu begitu
berarti bagiku.
11. Kakakku tersayang Ayi Saepudin, Jojo Septianto, Mahlin, dan adikku
Bayu Prasetyo, selalu memberikan motivasi, dukungan moril maupun
materil, serta kasih sayang yang tak terhingga.
12. Mas Danang Budi Utomo, kamu hadir di waktu yang tepat, terimakasih
untukmu yang memberiku semangat setiap hari, motivasi, doa, canda dan
tawa di saat penulis merasa jenuh. “Selalu ada jalan kalau kita mau
berusaha.”
iv
13. Sahabatku, Intan Purwatih, Isyana Tungga Dewi, Karlia Zainul, Nurul
Fazriah, Shofa Mayonia Jeric, Kawan-kawan KPID, dan Kawan-kawan
KKN MOZAIK, kebersamaan dengan kalian memahamiku tentang banyak
hal berharga.
14. Kepada Muhammad Dhiya Ulhaq, yang telah bersedia memberikan
banyak referensi kepada penulis.
Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta doa kepada
penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan
penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya.
Jakarta, 19 Desember 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI
LEMBAR PENYATAAN
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat penelitian....................................................... 6
D. Metodologi Penelitian .................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 11
BAB II KERANGKA TEORITIS ................................................................ 13
A. Tinjauan Umum Film ..................................................................... 13
B. Semiotika ....................................................................................... 33
C. Representasi Jihad fi sabilillah ...................................................... 41
BAB III GAMBARAN UMUM FILM JOURNEY TO MECCA ............... 48
A. Profile Bruce Neibaur sebagai Sutradara Film Journey to Mecca . 48
B. Sinopsis Film Journey to Mecca .................................................... 50
C. Tim Produksi Film Journey to Mecca ............................................ 53
vi
BAB IV TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN ........................................ 54
A. Adegan dalam Film Journey to Mecca .......................................... 54
B. Narasi Adegan yang diteliti ............................................................ 75
C. Semiotik dalam Adegan “Perjalanan dari Kairo ............................ 81
D. Interpretasi...................................................................................... 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 102
A. Kesimpulan .............................................................................. 102
B. Saran ......................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.2 Skema Gende Film Induk Primer dan Induk Sekunder ............ 25
Tabel 2.2 Tabulasi Analisis Film .............................................................. 39
Tabel 1.4 Adegan Awal mula Perjalanan Ibnu Battutah .......................... 56
Tabel 2.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Awal Mula Perjalanan
Ibnu Battutah ............................................................................ 58
Tabel 3.4 Adegan Perampokan ................................................................. 63
Tabel 4.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Ketika Ibnu Battutah
Menghadapi Bahaya yang Mengancam ................................... 65
Tabel 5.4 Adegan Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip .................. 70
Tabel 6.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Keteguhan Hati
Mempertahankan Prinsip ......................................................... 72
Tabel 7.4 Analisis Tanda Denotasi dan Konotasi dalam Skenario ........... 82
Tabel 8.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Perjalanan Ibnu Battutah
dari Kairo Menuju Mekah ........................................................ 83
Tabel 9.4 Visualisasi shot dari Adegan Perjalanan dari Kairo ................ 84
Tabel 10.4 Analisis Adegan Utama Melalui Tabulasi Analisis Film Stave
Campsall ................................................................................... 94
Tabel 11.4 Konvensi dalam Adegan Utama ............................................... 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Film Journey to Mecca merupakan film hasil garapan sutradara asal
Amerika, Bruce Neibaur. Film ini merupakan salah satu film bergendre
dramatic adventure yang rilis pada akhir April tahun 2009 lalu. Journey to
Mecca manampilkan catatan sejarah penting mengenai seorang tokoh
petualang muslim terbesar sepanjang masa menyusuri belahan dunia pada
abad 14, Abdullah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati ibn Battutah (Ibnu
Batutah) asal Maroko.
Dalam film ini, Bruce mencoba menampilkan sebuah makna yang
tersirat dari perjuangan pemuda asal Maroko tersebut (yang ketika itu berusia
21 tahun) dalam perjalanannya menuju tanah suci Mekah untuk melaksanakan
ibadah haji. Pesan-pesan yang ingin ditampilkan dalam film ini tergambar
jelas pada beberapa adegan dan sign. Pesan-pesan tersebut banyak
merepresentasikan makna sebuah perjuangan yang tulus di jalan Allah, atau
disebut dengan jihad fi sabilillah.
Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haji ialah
kegiatan melaksanakan rukun Islam kelima (kewajiban ibadah) yang harus
dilakukan oleh orang Islam yang mampu, dengan mengunjungi Baitullah atau
Ka’bah pada bulan Haji dan mengerjakan amalan haji, seperti ihram, tawaf,
sa’i, dan wukuf.1
1Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online.
2
Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban yang paling sakral di
antara semua kewajiban Islam. Tercatat, ibadah haji dikatakan sebagai simbol
agama teragung dan merupakan ibadah teristimewa di antara keempat ibadah
Islam lainnya dan termasuk salah satu rukun utama di antara kelima rukunnya.
Amalan-amalan haji yang sangat agung ini mampu menyatukan segala
perbedaan seperti, ras, bahasa, asal negara, serta tingkatan sosial, dan lain-lain.
Selain itu, ibadah haji mampu menyatukan semuanya dalam satu kesatuan,
sehingga semuanya merasa sama di mata Allah.
Pesan-pesan inilah yang coba ditanamkan dalam film Journey to
Mecca. Film ini mencoba memvisualisasikan perjuangan Ibnu Battutah
menunaikan rukun Islam kelima, yakni pergi berhaji. Dalam perjalanan
hajinya Ibnu Battutah kerapkali menghadapi kerasnya berbagai tantangan dan
rintangan. Bahkan ia nyaris kehilangan nyawanya ketika datang para
perampok saat menempuh perjalanan di padang pasir. Tantangan dan
rintangan kian hadir silih berganti, tetapi berkat tekat keimanan dan keteguhan
hatinya, ia mampu melewati segala cobaan yang menderanya. Perjalanan ini
merupakan bukti pencapaian ibadah haji yang merupakan perintah langsung
dari Allah.
Journey to Mecca memunculkan kembali sejarah perjuangan keras
pada saat itu. Film ini berhasil memvisualisasikan perjalanan berhaji yang
merupakan potret atau gambaran perjalanan ke Mekah pada abad ke-14.
3
Terbukti, Film ini berhasil mendapatkan penghargaan Most Popular Film di
La Geode Film Festifal, Paris pada tahun 2009 lalu dengan durasi 45 menit.2
Di Indonesia, film ini diputar di Teater IMAX Keong Emas, Taman
Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Di dalam film ini kemudian muncul
berbagai simbol-simbol dan tanda-tanda yang merepresentasikan perjuangan
‘jihad di sabilillah’ yang tercermin melalui tokoh Ibnu Battutah yang
diperankan oleh Chems Eddine Zinoun.
Film memiliki pengaruh yang cukup besar sebagai media penanaman
nilai dan ideologi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk
menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta
menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya
kepada masyarakat umum.3
Film merupakan sebuah karya yang mengandung unsur audio visual
sehingga muncul berbagai interpretasi di dalamnya. Inilah yang menarik
perhatian peneliti yaitu ingin mengetahui lebih jauh tanda serta simbol yang
dapat mempengaruhi penontonnya dalam film ini terhadap paradigma jihad.
Untuk menganalisis film ini lebih kritis lagi, pendekatan semiotika
menjadi sangat penting. Karena semiotika merupakan kajian tentang
pemaknaan sebuah tanda. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari
Yunani semeion (tanda). Tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai suatu hal
2 http://cakrawala-senja.blogspot.com/2009/05/journey-to-mecca.html, diunduh pada
Sabtu, 1 Maret 2014. 3 Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1991), Cet. Ke-2, h.13.
4
yang merujuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene
mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.4
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu
yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.5
Salah seorang tokoh semiotik yang cukup terkenal dalam
mempraktikkan model linguistik dan semiologi milik Saussure yakni Roland
Barthes. Barthes berpendapat bahwa bahasa ialah sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam kurun
waktu tertentu.6
Teori Barthes mengenai signifikasi dua tahap (two order of
signification), seperti yang disebut Fiske, Barthes menemukan bahwa di dalam
sebuah tanda mengandung dua unsur pemaknaan yang signifikan. Pemaknaan
ini yang kemudian disebut sebagai denotative dan conotative sign.7
Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis memberi judul pada
penelitian ini “Semiotika Jihad fi Sabilillah „Ibnu Battutah‟ dalam Film
Journey to Mecca.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas bahwa apa yang
menjadi sorotan dalam film ini yakni bagaimana pengorbanan serta
4 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006). 6 Indiawan Seto Wahyu, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011).
6 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet ke-4,
h.63. 7 Indiawan Seto, Semiotika Komunikasi, h, 16.
5
perjuangan Ibnu Battutah dalam menempuh perjalanan menuju Mekah
dalam rangka menunaikan ibadah haji, maka penulis membatasi penelitian
pada pesan tanda atau simbol dalam rangkaian gambar yang mengandung
aspek jihad fi sabilillah dalam adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo
menuju Mekah pada durasi 18:58 sampai durasi 31:50 melalui film
Journey to Mecca karya Bruce Neibaur.
2. Perumusan Masalah
Agar tidak terlalu meluas pembahasan dalam penelitian ini, maka
peneliti memfokuskan pada tiga hal berikut diantaranya:
1. Bagaimana sign dan code jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam
film Journey to Mecca?
2. Bagaimana elemen jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film
Journey to Mecca?
3. Bagaimana convention jihad fi sabilillah ‘Ibnu Battutah’ dalam film
Journey to Mecca?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana sign dan code jihad fi sabilillah ‘Ibnu
Battutah’ dalam film Journey to Mecca.
b. Untuk mengetahui bagaimana elemen jihad fi sabilillah ‘Ibnu
Battutah’ dalam film Journey to Mecca.
6
c. Untuk mengetahui bagaimana convention jihad fi sabilillah ‘Ibnu
Battutah’ dalam film Journey to Mecca.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu sebagai
bahan informasi dan dokumentasi ilmiah perkembangan ilmu
pengetahuan, serta memberikan pandangan tentang analisis semiotika
sebagai sebuah metode penelitian dalam analisis media.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi para
praktisi perfilman untuk mengetahui bagaimana membuat film sarat
makna sebagai media dakwah Islam. Sedangkan untuk praktisi
komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi khazanah
keilmuan dan literatur baru untuk mengetahui serta menggali makna
yang terkandung dalam sebuah produk media massa, khususnya
penelitian film menggunakan analisis semiotika.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menggunakan
metode semiotika Roland Barthes yaitu dengan cara mencari makna
denotasi, konotasi dan mitos yang dikemas melalui pemaknaan sign dan
7
code, elemen, dan convetion yang menjelaskan semiotika atau semiologi
pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)
memaknai hal-hal (things).8 Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan
manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna.
a. Objek Penelitian dan Unit Analisis
Objek penelitian ini adalah film. Sedangkan unit analisisnya
adalah mengkhususkan pada gambaran perjalanan haji abad ke-14
dalam film Journey to Mecca dalam adegan-adegan visual, audio, atau
narasi dalam film Journey to Mecca yang berkaitan dengan rumusan
permasalahan penelitian.
b. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui observasi,
yaitu mengamati langsung secara mendalam data-data yang sesuai
dengan pertanyaan penelitian. Berikut instrumen penelitiannya:
1. Data Primer
Data primer berupa dokumen elektronik, yaitu berupa DVD film
Journey to Mecca. Penulis mengamati simbol-simbol yang ada dalam
film tersebut serta menganalisis sesuai dengan model penelitian yang
digunakan.
2. Data Sekunder
8 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet. Ke-
4, h. 15.
8
Data sekunder berupa dokumen tertulis, yakni penulis
mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai
literatur yang sesuai dengan materi penelitian untuk dijadikan
argumentasi.
3. Teknik Analisis Data
Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian dikaitkan
dengan rumusan masalah. Selanjutnya dilakukan analisis data
menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Bartes
mengembangkan semiotika menjadi dua, yakni denotasi dan konotasi
yang menghasilkan tanda secara objektif yaitu untuk memahami
makna yang tersirat dalam Film “Journey to Mecca”. Selain itu
menggunakan teknik analisis semiotika film Christian Metz yaitu
dengan cara mencari makna dalam film yang akan diteliti, serta
menggunakan tabulasi analisis film Steve Campsall sebagai pelengkap
dari unsur-unsur film. Berikut indikatornya:
a. Sign
Unit makna terkecil yang dapat kita jumpai di manapun kita
berada, dapat kita dengar, kita rasa, kita hirup, dapat pula kita
tafsirkan dan turut menentukan makna keseluruhan.
b. Code
Sekumpulan tanda yang nampak secara alami dan membentuk
makna keseluruhan.
c. Elements
9
Seluruh aspek dan komponen dalam produksi film dan dapat
memunculkan berbagai representasi makna.
d. Denotative Sign
Terdapat pada signifikasi tahap pertama, yaitu kata yang bersifat
umum dan secara langsung menunjukkan makna yang sebenarnya.
e. Conotative Sign
Istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi
tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari penonton serta
nilai-nilai dari kebudayaannya.
f. Convention Sign
Merupakan rujukan dalam menilai suatu pekerjaan atau kebiasaan
yang sudah umum di dalam masyarakat dan biasanya eksistensinya
muncul dalam sebuah kesepakatan bersama.
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini banyak persamaan dan perbedaan dengan skripsi-
skripsi sebelumnya khususnya yang mengkaji tentang semiotika yang
menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes. Tujuannya sebagai
bahan rujukan bagi penulis dalam merumuskan masalah, tapi tentunya
ditunjang pula dengan literatur lainnya seperti buku, artikel, internet, dll.
Adapun penelitian yang serupa diantaranya yaitu, Semiotika
Perjuangan ‘Said Nursi’ Menulis Kitab Risalah Nur dalam Film Hur Adam
10
oleh Uray Noviandy Taslim, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Model
semiotika yang digunakan Uray sama dengan peneliti yaitu sama-sama
menggunakan model semiotika Roland Barthes. Dalam skripsinya, Uray
mengkaji mengenai interpretasi dakwah bil qalam atau jihad dengan kata-kata
di balik jeruji besi yang dilakukan oleh tokoh penting di Turki yaitu
Bediuzzaman Said Nursi.9
Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza, oleh Muhammad
Dhiyaa Ulhaq tahun 2013, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Tidak jauh
berbeda dari penelitian semiotika terdahulu, Ulhaq menggunakan pisau
analisis semitika Roland Barthes. Wacana yang ingin dibangun pada
penelitian tersebut yaitu menggambarkan fakta-fakta mengenai bagaimana
visualisasi dalam merepresentasikan pandangan Islam terhadap anak-anak
Palestina dalam menyikapi jihad.10
Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung, oleh Ania
Febriani Fasha tahun 2013, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Penelitian
tersebut menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, wacana yang diangkat
yakni membatasi permasalahan penelitian pada pesan tanda atau simbol yang
mengandung aspek makna kasih ibu pada film tersebut.11
9 Uray Noviandy Taslim, “Semiotika Perjuangan ‘Said Nursi’ Menulis Kitab Risalah Nur
dalam Film Hur Adam,” Skripsi S1 (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012). 10
Muhammad Dhiyaa Ulhaq, “Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza,”
Skripsi S1 (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013). 11
Ania Febriani Fasha, “Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung,”
Skripsi S1(Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).
11
Persamaan dari skripsi-skripsi terdahulu dengan penelitian ini yaitu
sama-sama menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes.
Perbedaannya terletak pada wacana yang coba dibangun oleh peneliti yaitu
ketabahan hati perjuangan ibnu Battutah dalam perjalanan ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji serta peneliti mengkaji tentang jihad fi sabilillah yang
dilakukan Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah maka penulis
membagi pembahasannya ke dalam lima bab yang dibagi kedalam sub-sub
bab sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II: LANDASAN TEORI
Dalam bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum film yang berisi
seputar definisi film, struktur film, jenis dan klasifikasi film,
sejarah perkembangan film, film sebagai media komunikasi dan
sebagai media dakwah. Tinjauan umum semiotika meliputi konsep
dasar semiotika, konsep semiotika Barthes dan Metz, tabel analisis
Steve Campsall. Tinjauan umum jihad fi sabilillah meliputi definisi
12
jihad, drajat jihad, perintah berjihad dalam Al-qur’an. Profil Ibnu
Battutah.
BAB III: GAMBARAN UMUM FILM
Pada bab ini berisikan tentang profil sutradara dan penghargaan
film Journey to Mecca, gambaran umum film Journey to Mecca,
dan tim produksi film.
BAB IV: ANALISIS SEMIOTIKA FILM JOURNEY TO MECCA
Dalam bab ini menjelaskan tentang temuan penelitian dan hasil
penelitian dari analisis judul film, pengantar adegan yang diteliti
dan narasi yang diteliti dalam film Journey to Mecca.
BAB V: PENUTUP
Pada bab akhir ini, penutup terdiri dari kesimpulan, saran, daftar
pustaka dan lampiran.
13
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Tinjauan Umum Film
1. Definisi Film
Film, menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBI) didefinisikan sebagai
selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret). Di samping itu, film juga merupakan media untuk tempat
gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop), dan film diartikan sebagai
lakon (cerita) gambar hidup.1 Kemudian, menurut UU No. 23 Tahun 2009
tentang perfilman Pasal 1 menyebutkan bahwa film merupakan karya seni
budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang
dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertunjukkan.2
Film merupakan salah satu bagian dari media massa. Film berperan
sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan,
menyajikan cerita, peristiwa, drama, dan sajian teknis lainnya kepada
masyarakat. Secara etimologis, film disebut sebagai Moving Images (gambar
bergerak). Awalnya film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi.
Film ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan
proyektor. Thomas Edison, untuk kali pertamanya mengembangkan kamera
1Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 414. 2Undang-U ndang No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman, Pasal 1.
14
citra bergerak pada tahun 1888 ketika itu ia membuat film berdurasi sepanjang
15 detik.3
Menurut Prof. Dr. Azhar Arsyad, M. A, film atau gambar hidup
merupakan gambar-gambar dalam frame dimana frame demi frame
diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar
terlihat gambar itu hidup. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga
memberikan daya tarik tersendiri.4 Selain itu, film memiliki hubungan yang
sangat erat dengan kebudayaan. Seperti apa yang dikatakan oleh James
Monaco, bahwa memahami film adalah memahami bagaimana setiap unsur,
baik sosial, ekonomi, politik, budaya, psikologi dan estetis film masing-
masing mengubah diri dalam hubungan yang dinamis.5
Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknik.
Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap.
Proses teknik berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan ide dan gagasan
menjadi sebuah film yang siap ditonton. Pencarian ide dan gagasan ini dapat
berasal dari mana saja, seperti novel, cerpen, puisi, dongeng, bahkan dari
sejarah masa lampau.6
Sebagai karya seni, film memiliki kemampuan kreatif. Film
mempunyai kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai
bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah
realitas yang dibangun oleh pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau
3Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h.
132. 4Azhar Arsyad, Media Pengajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-5, h.
48. 5Teguh Trianton, Film Sebagai Media Belajar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 49.
6Ekky Imanjaya, Why Not: Remaja Doyan Nonton, (Bandung: PT Mizan Bunaya
Kreativa, 2004), h. 10.
15
unsur-unsur budaya yang terdapat di dalam lapisan masyarakat. Ataupun
sebaliknya, realitas yang ditampilkan dalam film kemudian menjadikan
sebuah bentukan „budaya‟ yang diikuti oleh penonton.
Seperti halnya karya sastra, film adalah karya seni budaya yang
terbentuk dari berbagai unsur. Secara umum struktur film sama dengan
struktur karya sastra yaitu terbentuk oleh unsur-unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Oleh karena itu, untuk dapat memahami segala pesan yang
disampaikan dalam film kita harus mampu menganalisis atau mengkaji
berbagai unsur-unsur pembangun film tersebut.
Mengkaji unsur intrinsik artinya kita dapat menganalisis satu demi satu
secara objektif dengan totalitas berbagai unsur yang terkandung di dalam
karya tersebut. Lalu, yang dimaksud dengan totalitas yakni bahwa berbagai
unsur yang dianalisis dan diurai satu persatu tadi tetap saling dihubungkan
dalam rangka mendapatkan makna dan pesan yang utuh dari keseluruhan
karya. Sedangkan mengkaji unsur ekstrinsik artinya kita dapat
menghubungkan makna dan pesan yang telah diperoleh dari unsur intrinsik
dengan berbagai hal yang berada di luar karya yang dinilai memiliki bubungan
erat dengan penciptaan dan penyerapan informasi atau pesan dalam sebuah
film menjadi lebih komprehensif dan lengkap.
Dalam kajian semiotika, film adalah salah satu prodak media massa
yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya
adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh
sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan dan mengapa ia memiliki makna
sebagaimana ia tampil.
16
Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra
fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam
kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan
metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotika
media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikasi yang ditanggapi
orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari reaksi, inspirasi, dan
wawasan pada tingkat interpretasinya.7
Untuk dapat memahami film secara utuh, kita harus memahami unsur-
unsur pembentuk film terlebih dahulu. Secara umum, unsur pembentukan film
terbagi menjadi dua macam, yakni unsur naratif dan unsur sinematik.
1. Naratif
Unsur naratif film berhubungan dengan aspek cerita atau tema
film. Unsur ini meliputi tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu.
a. Tokoh
Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yakni tokoh utama dan
tokoh pendukung. Tokoh utama acapkali diistilahkan sebagai
protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan tokoh
antagonis yang biasanya bertintak sebagai pemicu konflik.
b. Masalah dan Konflik
Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang
dihadapi oleh tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalahan
ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin dari
luar ataupun dari dalam diri tokoh protagonis (konflik batin).
7Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, h. 134.
17
c. Lokasi
Tempat atau lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai
pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat
membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.
d. Waktu
Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting dalam
membangun cerita. Pagi, siang, sore, dan malam hari dalam film
memiliki makna sendiri sebagai pembangun suasana narasi film.
2. Sinematik
Adapun unsur sinematik meliputi aspek-aspek teknis dalam
produksi sebuah film. Seperti mise en adegan (scene), sinematografi,
editing, dan suara.
a. Mise en Scene
Segala hal yang berada di depan kamera. Tujuannya untuk
menimbulkan efek dramatis tertentu. Empat elemen pokok Mise en
Scene yaitu, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta
acting dan pergerakan pemain.
b. Sinematografi
Sinematografi berasal dari bahasa Yunani “kinema” yang berarti
gerakan dan “graphein” yaitu merekam. Artinya, pengaturan
pencahayaan dan kamera ketika merekam gambar fotografis untuk
suatu sinema. Sinematografi sangat erat hubungannya dengan seni
fotografi tetap. Perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan
kamera dengan objek yang diambil.8
8Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 107.
18
1) Jarak
Dalam sinematografi terdapat beberapa teknis sudut pengambilan
gambar serta ukuran gambar dalam sebuah frame. Salah satu aspek
Framing yang terdapat dalam sinematografi yaitu jarak kamera
terhadap objek (type of shot), diantaranya:
a) Extreme Long Shot
Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh
dari objeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak.
Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah objek yang
sangat jauh yang memperlihatkan panorama yang luas.
b) Long Shot
Pada teknik long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas
namun latar belakang suatu tempat masih dominan. Teknik ini
seringkali digunakan sebagai establishing shot, yakni shot
pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih
dekat.
c) Medium Long Shot
Dengan menggunakan teknik Medium Long Shot, tubuh
manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik
manusia dan lingkungan relaitif seimbang. Sehingga semua
terlihat netral.
d) Medium Shot
Pada jarak ini kamera memperlihatkan gambar tubuh manusia
dari pinggang ke atas. Gesture serta ekspresi wajah mulai
tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame.
19
e) Medium Close-up
Pada teknik ini, kamera memperlihatkan tubuh manusia dari
dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan
latar belakang tidak lagi menjadi dominan. Seperti yang
digunakan dalam adegan percakapan normal.
f) Close-up
Teknik close-up pada umumnya memperlihatkan wajah, tangan
dan kaki, atau objek kecil lainnya. Teknik ini mampu
memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang
mendetail.
g) Extreme Close-up
Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail
bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya,
atau bagian dari sebuah objek.
2) Sudut Kamera (Angle)
Sudut kamera ialah sudut pandang kamera dalam mengambil
gambar terhadap objek yang berada dalam frame. Secara umum, sudut
kamera dibagi menjadi tiga, di antaranya:
a) Low Angle
Pengambilan gambar dengan low angle yaitu, posisi kamera
berada lebih rendah dari objek. Hal ini mengakibatkan objek
berada lebih dominan.
b) High Angle
High angle mengakibatkan dampak sebaliknya dari low angle,
yaitu objek akan terlihat lebih imperior atau tertekan.
20
c) Eye Level
Pada sudut pengambilan gambar ini yakni subjek sejajar
dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan
normal sehingga posisi subjek terlihat netral, tidak ada
intervensi khusus pada subjek.
c. Editing
Transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.
d. Suara
Seluruh suara yang keluar dari gambar, yakni dialog, musik, dan efek
suara.
2. Struktur Film
Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit
cerita atau ide yang sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipahami.
Struktur adalah kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur film
dan merepresentasikan jalan pikiran dari si pembuat film. Struktur
terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film mengikat aksi
(action) dan ide menjadi satu kesatuan yang utuh.9 Adapun struktur
film, di antaranya:
a. Shot
Shot adalah hasil sebuah rekaman secara visual dan audio yang
dimulai dari kamera yang diaktifkan sampai dihentikan aktifitasnya.
Berapapun lamanya kamera dioperasikan jika tidak diinterupsi maka
9D. A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV IKJ Press, 2005), h. 8.
21
hasil rekamannya adalah sebuah shot. Sekalipun kamera digerakkan
untuk mengcover subjek dari angle yang berbeda namun tidak disertai
dengan penghentian operasional maka itu berupa satu shot.
Dalam kenyataannya, film memerlukan banyak shot. Berapa
jumlah shot dalam film adalah relatif, yang terpenting adalah dengan
banyaknya shot maka akan bervariasi angle dan ukuran type of shot.
Shot yang variatif akan memberi kemungkinan variasi penglihatan
pada audience sehingga semakin banyak yang bisa dilihat dan diserap.
b. Scene
Scene (adegan) adalah kejadian yang berlangsung di satu
tempat dalam kurun waktu tertentu. Scene bisa terdiri dari beberapa
shot, namun bisa saja hanya satu shot berapa pun panjangnya shot itu.
Skenario telah mengelompokan scene sesuai dengan urutan kejadian
atau cerita, secara jelas dicantumkan scene melalui pergantian tempat
dan waktu dari scene pertama hingga berikutnya.
c. Sequence
Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu
peristiwa yang utuh. Sebuah sequence umumnya terdiri atas beberapa
adegan yang mengelompokkan kejadian yang berurutan. Misalnya
seorang pemeran berangkat menuju rumah, sampai pemeran tersebut
berada dalam rumah. Jika dua atau lebih adegan tersebut berlangsung
secara berurutan maka adegan-adegan tersebut dikelompokkan dalam
sebuah sequence.10
10
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29.
22
3. Jenis dan Klasifikasi Film
Seiring berkembangnya dunia perfilman, semakin banyak film
yang diproduksi dengan corak yang berbeda-beda. Secara garis besar, film
dapat diklasifikasikan berdasarkan cerita, orientasi pembuatan, dan
berdasarkan genre.
Namun, secara umum Himawan Pratista membagi film menjadi 3
jenis, yaitu: Dokumenter, Fiksi, dan Eksperimental. Pembagian ini
didasarkan atas cara bertutur film tersebut, yakni naratif dan non-naratif.
Film fiksi memiliki struktur narasi yang jelas, sementara film
dokumenter dan film eksperimental tidak memiliki struktur naratif yang
jelas.11
Adapun definisinya menurut Himawan, sebagai berikut:
a. Film Dokumenter
Jenis film ini biasanya berhubungan dengan orang-orang, tokoh,
peristiwa atau kejadian, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak
menciptakan peristiwa, tetapi merekamnya. Film ini juga dibuat
dengan struktur bertutur yang sederhana. Tujuannya agar penonton
lebih mudah memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan.
b. Film Fiksi
Film fiksi dibuat dengan menggunakan cerita rekaan dan
adegan yang sudah dirancang sejak awal. Jenis film ini jauh berbeda
dengan jenis film dokumenter dan eksperimental karena cerita pada
jenis film ini terikat oleh plot, serta struktur filmnya pun terikat dengan
hukum kausalitas atau sebab-akibat.
11
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29-30.
23
c. Film Eksperimental
Berbeda dengan film dokumenter dan fiksi, jenis film ini tidak
memiliki plot namun tetap memiliki struktur yang dipengaruhi oleh
insting subjektifitas sineas, seperti gagasan, ide, emosi, serta
pengalaman batin. Film eksperimental umumnya tidak bercerita
tentang apapun, bahkan terkadang menentang kausalitas, film
eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami
karena menggunakan simbol-simbol personal yang diciptakan pihak
sineas sendiri.
Kemudian berdasarkan orientasi pembuatannya, film dapat
digolongkan dalam dua kategori yaitu film komersial dan
nonkomersial. Film komersial, orientasi pembuatannya adalah bisnis
dan mengejar keuntungan. Dalam klasifikasi ini, film memang
dijadikan sebagai komoditas industrialisasi. Sehingga film dibuat
sedemikian rupa agar memiliki nilai jual dan menarik untuk disimak
oleh berbagai lapisan khalayak. Film komersial biasanya lebih ringan,
atraktif, dan mudah dimengerti. tujuannya agar lebih banyak orang
yang berminat untuk menyaksikan film.
Berbeda dengan film komersial, jenis film non-komersial
merupakan film yang digolongkan bukan film yang berorientasi
bisnis. Dengan kata lain, film non-komersial ini dibuat bukan dalam
rangka mengejar target keuntungan dan azasnya bukan untuk
menjadikan film sebagai komoditas, melainkan murni sebagai seni
dalam menyampaikan suatu pesan dan sarat akan tujuan. Karena bukan
24
dibuat atas dasar kepentingan bisnis dan keuntungan, maka biasanya
segmentasi penonton film non-komersial juga terbatas. Contoh film
non-komersial misalnya berupa film propaganda, yang dibuat dengan
tujuan mempengaruhi pola pikir massal agar sesuai dengan pesan yang
berusaha disampaikan.
Genre
Salah satu cara kunci di mana film dikembangkan dan dipasarkan adalah
melalui genre.12
Istilah genre memiliki asal usul dalam sejarah seni. Awalnya,
digunakan untuk merujuk pada lukisan-lukisan populer (sebagai lawan dari
lukisan-lukisan berselera tinggi atau berseni tinggi). Sampai sekarang, genre
merupakan istilah yang masih dipakai dalam industri penerbitan untuk
membedakan buku-buku massal dari buku-buku sastra.
Dalam kajian-kajian film, penelitian genre mengkaji film dengan
mengaitkannya pada film-film lain dalam genre yang sama. Film-film kerap
dipelajari menurut genrenya.
Fungsi genre sendiri adalah untuk mempermudah kita dalam
mengklasifikasikan dan memilih beberapa bentuk film yang saat ini mungkin
sudah berjumlah jutaan atau bahkan lebih. Pada era Hollywood klasik, kurang
lebih pada tahun 1930-1960, Bordwell, Thompson, dan Sraiger membuat film-
film untuk masing-masing genre, seperti Western, musikal, dan komedi guna
menjamin jumlah khalayak yang maksimal untuk keseluruhan sinema mereka.
12
Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksanakan
Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang, 20060, h. 89.
25
Beberapa studio menspesialisasikan diri pada genre-genre tertentu.13
Jadi, genre
sangat membantu bagi para penikmat film untuk memilih bentuk film yang dicari.
Genre juga merupakan sebuah kategori semiotik karena di dalamnya
terdapat kode-kode dan konvensi-konvensi yang dimiliki oleh film-film dalam
sebuah genre yang sama. Misalnya, unsur-unsur seperti lokasi, gaya, dan mise en
scene seluruhnya merupakan bagian dari sistem terkode yang dapat diidentifikasi
melalui analisis semiotika.
Mengacu pada kategori genre sebagaimana disebutkan di atas yaitu untuk
mempermudah melihat dan mengklasifikasikan film, berikut skema genre film
yang dibagi berdasarkan pengaruh dan sejarah serta perkembangannya.
Tabel 1.2.14
Skema Genre Film Induk Primer dan Induk Sekunder.
Genre Induk Primer Genre Induk Sekunder
Aksi
Drama
Epik Sejarah
Fantasi
Fiksi-ilmiah
Horor
Komedi
Kriminal dan Gangster
Musikal
Petualangan
Perang
Western
Bencana
Biografi
Detektif
Film noir
Melodrama
Olahraga
Perjalanan
Roman
Superhero
Supernatural
Spionase
Thriller
1. Genre Induk Prime
Genre ini merupakan genre-genre pokok yang sudah ada dan
populer sejak awal berkembangnya sinema di era 1900-an sampai 1930-
13
Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies, h. 90. 14
Pratista, Memahami Film, h. 13.
26
an. Hanya saja, beberapa yang populer dari bentuk genre ini, di antaranya
seperti genre aksi, drama, komedi, horor, serta fiksi imiah yang populer
hingga kini. Namun, adapula genre yang jauh lebih populer dan sukses di
masa lalu, yakni genre seperti musikal, epik sejarah, perang, serta western.
Di samping itu, satu-satunya genre yang tampaknya tidak pernah tersingkir
dari industri perfilman adalah komedi, mungkin karena genre komedi
begitu fleksibel.
2. Genre Induk Sekunder
Bentuk genre ini merupakan pengembangan dari genre induk
primer yang memiliki karakter dan ciri-ciri khusus dibandingkan dengan
genre induk primer.
4. Sejarah Singkat Perkembangan Perfilman
Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia
setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19.
Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar yang mengalami
unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi
kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya pada abad ke-18 dan
permulaan abad ke-19.15
Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan
hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita,
15
Alex Sobur, Semiotika komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), h. 126.
27
peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat
umum.
Berbicara mengenai sejarah film, berarti tidak bisa lepas dari awal
mula munculnya fotografi. Dan sejarah fotografi tidak bisa lepas dari peralatan
pendukungnya, seperti kamera. Kamera pertama di dunia ditemukan oleh Ibnu
Haitham.16
Seorang ilmuan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak
(astronomi), matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Pertama kali ia
menemukan Kamera Obscura yakni dengan dasar kajian ilmu optik
menggunakan bantuan energi cahaya matahari. Teori beliau telah membawa
pengaruh kepada penemuan film yang kemudian disambung-sambungkan dan
dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa
kini.
Kemudian, proses pengembangan selanjutnya diteruskan pada tahun
1877 oleh Eadweard Muybridge dengan membuat film bergerak. Pembuatan
film ini merupakan gambar gerak pertama di dunia, di mana pada masa itu
belum diciptakan kamera yang bisa merekam gerakan dinamis.17
Pembuatan
film dilakukan dengan cara merekam 16 frame gambar kuda yang sedang
berlari. Dari 16 frame gambar kuda yang sedang berlari tersebut, kemudian
dibuat rangkaian gerakan secara urut sehingga gambar kuda terkesan sedang
berlari. Dan terbuktilah bahwa ada satu momen di mana kaki kuda tidak
menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang.
16
Biografi Ibnu Haitham, Sang Penemu Kamera Obscura, tersedia di
http://indonesiaindonesia.com/f/90467-ibnu-haitham-penemu-kamera-obscura/, diakses pada,
Minggu, 11 Oktober 2014. 17
Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Massa jilid 1 Edisi 5: Melek Media dan
Budaya, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), h. 211.
28
Setelah penemuan gambar bergerak oleh Muybridge, inovasi kamera
mulai berkembang ketika Thomas Alfa Edison mengembangkan fungsi
kamera gambar biasa menjadi kamera yang mampu merekam gambar gerak
pada tahun 1888, sehingga kamera mulai bisa merekam objek yang bergerak
secara dinamis. Maka dimulailah era baru sinematografi, yakni sebuah alat
yang secara bersamaan dapat memfoto dan memproyeksikan gambar yang
ditandai dengan diciptakannya sejenis film dokumenter singkat oleh Lumière
Bersaudara.
Film yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di
Boulevard des Capucines, Paris, Prancis dengan judul Workers Leaving the
Lumière's Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian ditetapkan
sebagai hari lahirnya sinematografi.
Pada awal lahirnya film, memang tampak belum ada tujuan dan alur
cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh oleh ranah
industri, mulailah film dibuat lebih terkonsep, memiliki alur dan cerita yang
jelas. Meskipun pada era baru dunia film gambarnya masih tidak berwarna
alias hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio. Ketika itu, saat orang-
orang tengah menyaksikan pemutaran sebuah film, akan ada pemain musik
yang mengiringi secara langsung gambar gerak yang ditampilkan di layar
sebagai efek suara.
Kemudian, film bicara yang pertama muncul pada tahun 1927 di
Broadway, Amerika Serikat, meskipun dalam keadaan belum sempurna
sebagaimana dicita-citakan. Baru pada tahun 1935 film bicara boleh dikatakan
mencapai kesempurnaan. Waktu pemutarannya cukup lama dan ceritanya
29
panjang, karena film pada masa itu banyak yang berdasarkan novel dari buku
dan disajikan dengan teknik yang baik.
Diawali pada tahun 1945 film mengalami kemerosotan yang cukup
tajam. Hal ini disebabkan karena munculnya televisi.18
Pada tahun-tahun sejak
rumah-rumah penduduk terdapat pesawat televisi, film telah surut peminatnya.
Amerika Serikat mengalami kemerosotan jumlah pengunjung sampai lebih
dari setengahnya. Demikian pula dengan negara-negara lain.
Lalu, pada tahun 1952 Fred Waller memperkenalkan sistem
“Cinerama”. Layarnya yang enam kali lebih besar dari layar yang biasa, tidak
bisa digunakan secara umum karena mahalnya biaya dan karena kesukaran
teknik dalam pemutarannya di gedung-gedung bioskop. Penelitian pun
dilanjutkan. Pada tahun 1953 sistem “tiga dimensi” ditemukan. Penonton tidak
hanya melihat gambar yang rata seperti biasanya, melainkan menonjol ke luar,
seolah-olah apa yang disaksikan itu adalah kenyataan. Akan tetapi, sistem ini
pun mengalami kesukaran teknik sehingga tidak dapat dengan mudah
disajikan kepada publik.
Kemudian, pada tahun 1953 publik yang sekian lama terpesona oleh
TV berhasil ditarik kembali ke gedung-gedung bioskop. Hal itu disebabkan
penemuan “Cinemascope” oleh perusahaan film 20th Century Fox. Layarnya
yang lebar yang meskipun tidak menandingi Cinerama, tetapi dapat disajikan
kepada publik. Publik menyambut dengan antusias. Hal itu ditandingi
perusahaan film Paramount, dengan memperkenalkan sistem Vista Vision
dengan sukses pula. Layar untuk Vista Vision tidak selebar layar untuk
18
Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 126.
30
Cinemascope, tetapi layarnya dapat menampilkan gambar-gambar yang tajam
dan dapat memuaskan penonton.19
5. Film sebagai Media Komunikasi Massa
Komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa yang
ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa
melibatkan aspek komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal,
komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi. Teori komunikasi massa
umumnya memfokuskan pada struktur media, hubungan media dan
masyarakat, hubungan antar media dan khalayak, aspek budaya dan
komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap
individu.20
Littlejohn, menyatakan bahwa komunikasi massa merupakan:
“The process whereby media organizations produce and transmit
messages to large publics and the process by which those messages are
sough, used, understood, and influences.”21
Komunikasi massa, proses di mana organisasi-organisasi media
memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan
proses di mana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh
khalayak.
Seperti kita ketahui bersama bahwa media massa seperti surat kabar,
televisi, film, radio, dan juga internet, serta proses komunikasi massa (peran
yang dimainkannya) semakin banyak dijadikan sebagai objek studi. Gejala ini
19
Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2007), h. 204-205. 20
Eko Harry Susanto, Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial
Ekonomi Politik, (Jakarta: Mitra Wacana Media penerbit, 2010), h. 9. 21
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara,
2008), Cet. Ke-2, h. 16.
31
seiring dengan meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai suatu
institusi penting dalam masyarakat.
Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan
kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan
simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya
hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja
bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga
bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media masa selaku sumber
kekuatan (alat kontrol), manajemen, dan inovasi dalam masyarakat dapat
didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
Film dinilai sebagai salah satu media komunikasi masa yang efektif.
Selain membawa pesan persuasi, film sudah melekat dalam kehidupan
masyarakat modern dan dianggap sebagai sumber berita maupun hiburan yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, pemanfaatan film sering kali dijadikan
sebagai alat propaganda. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang
menilai bahwa film memiliki jangkauan realisme, pengaruh emosional, dan
popularitas yang hebat.
Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang
sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama, namun unsur-unsur
baru dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya memanipulasi
kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas.
6. Film sebagai Media Dakwah
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab “da‟wah”.
mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, „ain, dan wawu. Dari ketiga huruf asal
32
ini, terbetuk beberapa kata dengan ragam makna. Makna-makna tersebut di
antaranya berarti memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon,
menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan,
mendoakan, menangisi dan meratapi.22
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah
kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk
beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syariat dan akhlak
Islam.
Menurut M. Natsir dalam pemikirannya mengenai dakwah Islam,
memberikan pengertian bahwa dakwah Islam merupakan ajakan yang berisi
amar ma‟ruf nahi munkar. Menurutnya ajakan tersebut tidak cukup dengan
lisan, melainkan juga dengan bahasa, perbuatan dan kepribadian mulia secara
nyata.23
Seiring perkembangan teknologi komunikasi, komunikasi dakwah
juga memanfaatkan penggunaan media modern. Sebagaimana komunikasi
pada umumnya, berdakwah melalui media memiliki keunggulan utama soal
efisiensi dan efektifitas penyebaran pesan. Dalam artian, komunikasi yang
berhasil mencapai tujuan, mengesankan, dan mampu menghasilkan perubahan
sikap (attitude change) pada komunikan. Sedangkan, pengertian media
dakwah sendiri adalah alat yang menjadi perantara penyampaian pesan
dakwah kepada mitra dakwah.
Aktifitas dakwah niscaya menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari
seorang muslim. Kesadaran akan kewajiban berdakwah harus ada pada diri
22
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-2, h. 6. 23
Thohir Luth, M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta, Gema Insani Press, 1999),
h. 80.
33
setiap muslim. Berdakwah sama wajibnya dengan ibadah ritual seperti shalat,
zakat, puasa dan haji.
Salah satu alternatif dakwah yang cukup efektif adalah melalui media
film, karena dengan kemajuan teknologi di zaman sekarang pemanfaatan
media tersebut cukup efektif, sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini
dunia perfilman semakin maju dan berkembang disertai dengan sangat
antusiasnya animo masyarakat dalam menikmati produksi film.
Film adalah bagian kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal.
Bahkan, cara kita berbicara pun sangat dipengaruhi oleh metafora film.24
Itulah sebabnya orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan film.
Film dapat memengaruhi emosi penonton. Adapun keunikan film
sebagai media dakwah di antaranya yaitu, Pertama, secara psikologis,
penyuguhan secara hidup dan tampak yang dapat berlanjut dengan animation
memiliki keunggulan daya efektifnya terhadap penonton. Sehingga dakwah
dapat disuguhkan kepada khalayak lebih baik dan efisien dengan media ini.
Selanjutnya, media film yang menyuguhkan pesan hidup dapat mengurangi
keraguan yang disuguhkan, lebih mudah diingat dan mengurangi kelupaan.25
B. Semiotika
1. Konsep Dasar Semiotika
Istilah semiotics atau semiotika pertamakali diperkenalkan oleh
Hippocrates (460-377 SM), ia merupakan seorang penemu ilmu medis Barat,
24
John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: kencana, 2008), h. 160. 25
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, h. 426.
34
seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates dalam bahasa Yunani
merupakan semeon, yang berarti “penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik.26
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda.27
Semiotika, seperti kata John Lechte dalam Sobur, adalah teori tentang
tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang
menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs
„tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sign system (code) „sistem tanda‟.
Semiotika menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi
dalam teori komunikasi. Teori semiotika terdiri atas sekumpulan teori tentang
bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi,
perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.
Tanda, yakni apapun yang memproduksi makna. Secara umum, tanda
menurut Tony Thwaites ialah, tanda bukan sekadar ulasan tentang dunia,
tetapi dengan sendirinya merupakan ihwal (things) khususnya dalam dunia
sosial. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi memproduksinya.
Tanda memproduksi banyak makna, namun bukan sekadar satu makna
petanda.28
Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung
dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui
bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak
terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural
yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.
26
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 6. 27
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15. 28
Tony Thwaites, Introducing Cultural and Media Studies; sebuah Pendekatan Semiotik,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 13-14.
35
Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam
sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi
pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang
kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai
salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat
bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna
dalam suatu tanda.
Ketika kita berbicara mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori,
maka tidak bisa terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut.
Semiotika tentunya memiliki tokoh-tokoh yang menjadi pemikir terbentuknya
sebuah tradisi semiotik itu sendiri, ada empat tokoh semiotika yang cukup
terkenal dengan teorinya, di antaranya, pertama, Charles Sander Pierce, ia
menemukan tipologi tanda yaitu indeks, ikon, dan simbol. Teori Pierce
dikenal dengan grand theory yang membagi sistem tanda menjadi tiga unsur
yaitu representmen, interpretant, dan objek. Kedua, Ferdinand de Saussure,
tokoh ini lebih berfokus pada semiotika linguistic, setidaknya Saussure telah
menemukan dua komponen dalam studi semiotika yaitu signifier (penanda)
dan signified (petanda).29
Kemudian barulah muncul tokoh-tokoh selanjutnya
seperti Roland Barthes dan Cristian Metz. Semiotika sendiri menurut Sobur
terbagi menjadi dua jenis, di antaranya:
a. Semiotika Komunikasi
Semiotika ini menekankan pada teori tentang tanda, salah satu di
antaranya yaitu mengansumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,
29
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media,2011), h. 13-15.
36
yakni pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).
b. Semiotika Signifikasi
Semiotika ini lebih memberikan tekanan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada jenis ini, tidak
dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan
adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada
penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya.30
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes menjadi tokoh yang begitu identik dengan kajian
semiotika. Pemikiran semiotika Barthes banyak digunakan sebagai rujukan
penting dalam penelitian, khususnya di Indonesia. Konsep pemikiran Barthes
terhadap semiotik dikenal dengan konsep mitologi dan semiologi yang
merupakan pendalaman dari teori linguistik dan semiologi milik Saussure.31
Sebagai penerus dari pemikiran Saussure, Roland Barthes menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Di mata Barthes, suatu teks merupakan
sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu
dilakukan rekonstruksi dari teks itu sendiri.
Barthes menjelaskan bahwa kunci dari analisisnya ada pada konotasi
dan denotasi. Ia mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem
30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15. 31
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63.
37
yang terdiri dari sebuah ekspresi (E) atau signifier dalam hubungannya (R)
dengan isi (signified) (C).32
Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”,
mencakup denotasi, yaitu makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural
dan personal. Hal ini merupakan distingsi antara Saussure dan Barthes,
meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier (ekspresi) dan signified
(isi) yang diusung oleh Saussure.
3. Konsep Semiotika Christian Metz
Christian Metz adalah seorang teoritikus film yang terkenal sebagai
pelopor penerapan teori semiotika dari Saussure ke dalam film. Tokoh ini lahir
di Beziers, Prancis bagian selatan, pada tahun 1931. Pada periode 1970-an,
pemikirannya mengenai film sangat memengaruhi perkembangan film di
Prancis, Inggris, Amerika Latin, dan Amerika Serikat.33
Bukunya yang
berjudul Languange and Cinema memberikan pemahaman mengenai film
sebagai satuan bahasa yang berbeda dari bahasa tutur. Semua komponen
dalam film merupakan serangkaian kode yang merepresentasikan sebuah
budaya, sejarah dan nilai-nilai. Bagi Metz, teori film adalah teori yang
mengkaji wacana-wacana sejarah film, masalah ekonomi film, estetika film
dan semiotika film.34
Menurut Metz, film merupakan sekumpulan tanda dan bahasa yang
tercipta melalui gerakan gambar serta kode-kode yang ditampilkan di dalam
32
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, h. 16. 33
http://jurnalfootage.net/v4/artikel/peranan-teori-filem-di-dalam-ilmu-filem, diakses pada
Jumat, 10 Oktober 2014. 34
Zuzana M.Pick, Cinema As Sign and Languange, h. 200.
38
film. Baginya, sebuah film bagi penontonnya hanyalah “ilusi tentang realitas”
yang mungkin lebih tepat disebut “impresi tentang realitas”.
Metz secara khusus tertarik dengan bagaimana penanda film,
dibandingkan dengan media lainnya (penanda-penanda lainnya), ia berhasil
memberikan suatu narasi (diagesis), intrik, deskripsi, drama, dan sebagainya.
Di sinilah faktor kunci penentunya, berkaitan dengan cara bagaimana film
memberikan suatu struktur naratif, bukan dengan cara bagaimana film-film
tertentu berkembang dan ditafsirkan dalam kerangka perkembangan ini.
Menjelang pertengahan tahun 1970-an, Metz mulai menyadari bahwa
pendekatan semiotik terhadap film cenderung mengistimewakan tataran
struktur diskursus film dan mengabaikan kondisi penerimaan film terhadap
aspek pandangan para penonton.35
4. Tabel Analisis Film Steve Campsall
Steve Campsall merupakan salah seorang pengajar studi bahasa Inggris
dan media di The Beauchamp College. Dalam tabel analisis filmnya yang
diadopsi dari pemikiran Metz, Steve campsall melihat film sebagai kesatuan
bahasa dan makna. Ini kemudian dipahami oleh Campsall sebagai Moving
Image Texts: “Film Languange”. Semiotika film dapat direalisasikan dengan
berbagai komponen dan elemen yang dapat menjelaskan teknik semiotika film
secara mendetail melalui tabel berikut:
35
John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 131-134.
39
Tabel 2.2.36
Tabulasi Analisis Film
Analysis Moving ImageTexts: “Film Languange”
Signs, Code and
Conventions
Semiotika, merupakan sebuah jalan untuk
menjelaskan bagaimana tanda itu diciptakan. di
dalam film, tanda-tanda tersebut diciptakan oleh
para sineas film atau sutradara. Apa yang kita
dengar, kita rasakan, merupakan sesuatu yang
dapat kita persepsikan dan mengandung sebuah
ide. Ide tersebutlah yang kemudian disebut dengan
„meaning‟.
Salah satu contoh pemaknaan penting,
misalnya kata-kata pengecut, memiliki lawan
heroic. Situasi ini memungkinkan penafsir
memiliki pendapat yang berbeda, dan ini
dinamakan Binary Opposite. Ada beberapa
komponen dalam memahami semiotika film. Di
antaranaya:
- Signs (tanda): unit makna terkecil yang bisa
kita tafsirkan dan turut menentukan makna
keseluruhan.
- Code (kode): dalam semiotika, sebuah kode
merupakan sekumpulan tanda yang Nampak
“pas” sekaligus “alami” dalam membentuk
makna keseluruhan.
- Convention (konvensi): istilah konvensi itu
penting. Ia merujuk pada suatu cara yang
sudah umum dalam mengerjakan sesuatu.
Dan kita sering mengaitkan sesuatu yang
konvensional dengan hasil yang pasti dan
menganggapnya natural.
Perlu diketahui pula bahwa tipe tanda dan
kode setidaknya terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Ikon: tanda dank ode yang dibuat untuk
menunjukkan sesuatu yang melekat atau
identik pada sesuatu.
- Indeks: system penandaan yang
menggunakan unsure kausalitas atau sebab
akibat.
- Simbol: pemaknaan terhadap sesuatu yang
melepaskan secara total makna denotasi pada
sesuatu terssebut.
36
Stave Campsall – 27/06/2005; 14:18:24) Media – GCSE Film Analysis Guide (3) –
SJC.
40
Hal lain yang juga penting untuk memahami
tanda adalah melaui konvensi. Konvensi
merupakan suatu kesepakatan umum yang melekat
dalam masyarakat dan dijadikan jalan dalam
melakukan suatu pekerjaan. Biasanya konvensi
terwujud dalam suatu perbuatan.
Mise-En-Adegan Mise-En-Adegan menjawab beberapa
pertanyaan penting di dalam sebuah film.
Pertanyaan tersebut meliputi efek apa? Mengapa
dia memproduksi? Dan apa tujuan yang ingin
dicapai? Namun, sebenarnya Mise-En-Adegan
merupakan segala sesuatu yang dihadirkan para
sutradara ke dalam adegan-adegan dan rekaman-
rekaman yang terbuat di dalam kamera melalui
aspek Setting, Kostum, Tata Rias, dan
Pencahayaan.
Editing Editing merupakan suatu proses memotong
dan menggabungkan beberapa potongan film
menjadi satu. Membuat film tersebut menjadi cerita
yang bersambung, dapat dipahami, realistis,
mengalir dan naratif.
Shot Types Shot merupakan pengambilan gambar untu
membangun sebuah potongan gambar yang naratif
dan memberikan makna tersendiri terhadap
objeknya. Biasanya shot terkait dengan
pengambilan kamera. Seperti Close Up (CU), Point
of View (POV) dan Middle Shot (MS).
Camera Angle Sudut kamera, biasanya selalu menciptakan
makna-makna yang signifikan dengan kondisi atau
situasi objek. Seperti sudut kamera POV high angle
shot yang mencerminkan superioritas atau
kekuasaan.
Camera
Movement
Pergerakan kamera merupakan suatu bentuk
penciptaan makna yang dinamis. Perpindahan dari
zoom out ke zoom in misalnya, memiliki nilai dan
dinamika makna tersendiri.
Lighting Pencahayaan merupakan salah satu aspek
penting dalam film. Pencahayaan dapat
menimbulkan suasana dan mood yang menegaskan
makna. Kegelapan di hutan misalnya menciptakan
makna ketakutan dan kengerian.
Dieges and
Sound
Dieges atau diagenic sound di dalam film
merupakan „dunia film‟. Yang mana merupakan
bagian dari setiap aksi yang dijalankan aktor.
Misalnya, suara musik yang yang mengiringi
jalannya aktor dan lainnya.
Visual SFX merupakan gambar generasi computer
(CGI) yang bertujuan untuk menciptakan realitas
41
Effects/SFX dan makna melalui efek-efek gambar dan suara.
Narrative Narrative merupakan unsur film yang memuat
cerita dan kisah khusus di dalam film.
Genre Genre adalah ragam dari naratif yang sedang
dibicarakan di dalam film.
Iconography Ikonografi merupakan aspek penting dari
genre. Hal inilah yang demikian akan menjadi
symbol-simbol pendukung genre. Seperti padang
pasir yang mendukung karakter koboi.
The Star System Bintang-bintang film tertentu bisa menjadi
bagian penting dalam ikonografi dan menjadi
penegas makna. Bisa menjadi penegas karakter dan
aksi.
Realism Media dapat menyuguhkan tingkat realitas
yang sangat tinggi, sehingga sesuatu terkesan
benar-benar nyata. Dengan layar yang jernih, jelas,
sound yang kuat, dan ruang yang sengaja dibuat
gelap, pemirsa dapat merasakan atmosfer realitas
yang tinggi.
Demikianlah berbagai komponendan elemen yang dapat merealisasikan
film melalui teknis semiotika yang mana peneliti akan mengkaji lebih dalam
sistem tanda yang terkait di dalam film berdasarkan tabel tersebut.
C. Representasi Jihad fi Sabilillah
1. Definisi Jihad fi Sabilillah
Secara etimologi, jihad fi sabilillah dikenal sebagai jihad berjuang di
jalan Allah. Secara terminologi, jihad fi sabilillah yaitu, setiap perbuatan
ditegakkan atas dasar kebaikan dengan harapan ridha dari Allah. Yakni
melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti
berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-
fitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, membendung arus-arus
pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Jihad tidak mengharapkan harta
42
rampasan perang, atau mendapatkan usaha pada kehidupan dunia. Bagi Islam,
diwajibkan kepada setiap muslim untuk menerapkan setiap nilai dan norma
Islam bagi setiap dimensi kehidupannya. Usaha dan perjuangan untuk
mencapai cita-cita dan tujuan Islam yang luas dan mulia ini disebut “jihad fi
sabilillah” (berjuang di jalan Allah).37
Dalam melaksanakan jihad fi sabilillah, selain memerlukan kebulatan
tekad yang utuh, memerlukan ilmu dan keterampilan yang memadai, tetapi
juga harus mengenal medan yang dihadapi. Dengan mengenal medan, akan
memperoleh keterangan betapa banyak rintangan-rintangan dan tantangan
yang dihadapi dalam melaksanakan jihad fi sabilillah. Ketika jihad fi sabilillah
disebutkan, maka itu berarti upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan
segala kemampuan untuk selalu berada di jalan Allah.
2. Derajat Jihad fi Sabilillah
a. Harus senantiasa mempunyai ruhul jihad
Ruhul jihad secara umum diartikan sebagai semangat juang atau
kerja keras. Adapun pengertian secara terminologi (istilah) adalah
mencurahkan segenap kemampuan dan tenaga secara lahir batin untuk
berjuang di jalan Allah, agar tercapai kedamaian dan ketentraman dalam
naungan dan ridha-Nya.
Ruhul jihad atau semangat perang ini harus terus dipupuk dan
dimantapkan di kalangan umat Islam untuk dijadikan dinamo penggerak di
dalam perjuangan, terutama di dalam menghadapi rintangan dan tantangan
37
Abdul Zadir Djaelani, Jihadd fi Sabilillah dan tantangan-tantangannya, (Jakarta: CV.
Pedoman Ilmu Jaya, 1995), h. 1
43
dari musuh-musuh Islam. Oleh karena itu, Rasulullah saw memberi
jaminan bagi setiap umatnya (kaum muslimin) yang melakukan jihad fi
sabilillah itu, pasti akan mendapatkan salah satu di antara dua kehormatan
yang tinggi. Yakni berupa kemenangan dan kebahagiaan duniawi atau
mati syahid dengan syurga jannatun na‟im di akhirat yang kekal
selamanya.38
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa [4] ayat 84:
“Maka berperanglah di jalan Allah, tidak diberatkan atasmu melainkan
dirimu, tetapi bangkitkanlah semangat orang mukmin. Mudah-mudahan
allah menyingkirkan kegagalan (kesombongan) orang-orang kafir, karena
Allah terlebih Gagah dan sangat keras siksa-Nya.”
Memang melakukan jihad fi sabilillah untuk menegakkan agama
Islam dan membela kehormatan kaum muslimin merupakan suatu pekerjaan
yang sangat mulia dan tinggi serta sulit untuk dibandingkannya dengan
pekerjaan-pekerjaan lainnya.
b. Mati syahid
Syahid menurut bahasa artinya hadir, lawan dari ghaib. Asy-Syahid
artinya orang yang menyaksikan apa yang dilihat dan didengarnya. Sedangkan
arti mati syahid menurut isilah agama adalah orang yang terbunuh di jalan
Allah karena membela agama dan menolak permusuhan terhadap Islam dan
kaum muslimin dengan niat semata-mata li‟ila I kalimatillah (meninggikan
kalimat Allah).
38
Abdul Zadir Djaelani, Jihad fi Sabilillah dan tantangan-tantangannya, h. 35.
44
Allah berfirman dalam surat At-Taubah [2] ayat 111:
“sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman diri
dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu
telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-
Qur‟an.”
Ada perkara yang dapat dikelompokkan ke dalam jihad, di antaranya
mengajak kepada yang baik dan melarang kepada yang munkar. Di dalam
hadits dikatakan, “Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah menegakkan
kalimat yang benar dihadapan pemimpin yang jahat.” Akan tetapi sesuatu
darinya tidak menjadikan pelakunya mendapatkan syahid yang paling besar
atau mendapatkan pahala orang-orang yang berjihad, kecuali jika ia
membunuh atau terbunuh di jalan Allah.39
3. Perintah Berjihad dalam Al-Qur’an
Jihad merupakan salah satu istilah pokok di dalam al-Qur‟an.
Pembahasan jihad di dalam al-Qur‟an cukup mewarnai sebagian ayat-ayat al-
Qur‟an yang diturunkan di Mekah dan Madinah. Hal ini menunjukkan urgensi
jihad dalam sejarah pembentukan dan perkembangan syariat Islam. Islam
datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar
39
Al-Imam Abu al-A‟la al-Maududi, dkk, Jihad Bukan Konfrontasi: meluruskan Makna
Jihad Islam dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Modern, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra
Muslim, 2001), h. 112.
45
memperjuangkan hal tersebut hingga mengalahkan kebatilan. Tetapi hal itu
tidak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan jihad.
Firman Allah SWT dalam surat Al-Furqaan [25] ayat 52, yang berbunyi:
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al-Qur‟an dengan jihad yang besar.”
Allah mewajibkan jihad pada setiap muslim sebagai suatu kewajiban
yang tegas. Allah memberikan seruan ajakan yang paling besar untuk jihad,
memberikan pahala yang paling utama bagi para mujahid (orang yang
berjuang membela agama Islam) dan syuhada (orang-orang yang mati syahid).
Tidak ada yang dapat menyertai mereka dalam hal pahala kecuali orang yang
melakukan jihad. Allah akan memberikan mereka keistimewaan-keistimewaan
rohani dan amaliah di dunia dan di akhirat yang tidak pernah keistimewaan itu
diberikan kepada selain mereka. Allah akan menjadikan darah-darah mereka
yang suci sebagai catatan di dunia serta tanda kemenangan dan keberuntungan
di akhirat.40
D. Profil Ibnu Battutah
Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati At-
Thanji Abu Abdullah Ibnu Battutah (Ibnu Battutah) adalah seorang tokoh
terkemuka pada abad ke 14. Ia dijuluki sebagai petualang (pelancong) muslim
terbesar sepanjang masa. Ia dikenal dengan berbagai macam kisah
perjalanannya mengelilingi dunia. Lahir di kota Thanjah (Tangier), Maroko
40
Al-Imam Abu al-A‟la al-Maududi, dkk, Jihad Bukan Konfrontasi: meluruskan Makna
Jihad Islam dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Modern, h. 77-78.
46
pada tahun 1304.41
Ibnu Battutah dibesarkan dalam keluarga yang taat
menjaga tradisi Islam. Ia juga merupakan seorang pemuda sekaligus pelajar
yang sangat berbakat. Selama masa remajanya Ibnu Battutah telah
memperoleh nilai-nilai dan kepekaan seorang pemuda yang berpendidikan.
Terbukti ia berhasil menyelesaikan studinya di sekolah Sunni Maliki yang
mengajarkan perihal hukum Islam yang dominan di Afrika Utara pada saat itu.
Nama Ibnu Battutah telah dicatat dalam kepustakaan-kepustakaan
sejarah dunia, khususnya sejak abad pertengahan sampai zaman modern.
Namanya masyur di mata para ilmuan Muslim maupun Barat. Banyak buku
atau karya ilmiah disusun bersumber dari memoarnya, Rihlah Ibnu battutah.
Judul asli memoar itu, yang merupakan catatan perjalanan sebagaimana yang
didiktekan kepada Ibnu Juzai Al-Kalbi adalah Tuhfah an Nuzhar fi Gharabil
Amshar wa‟Ajaibil asfar (Hadiah Berharga dari Pengalaman Menyaksikan
Negeri-negeri Asing dan Menjalani Perjalanan-perjalanan Ajaib). Karya
besarnya itu kini sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa dunia, salah satunya
dalam bahasa Indonesia.
Ibnu Battutah memulai perjalanan pada usia 21 tahun untuk
menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci Mekah. Perjalanan tersebut
berlangsung selama 18 bulan. Perjalanan ditempuh melalui jalur darat. Ia
berjalan menyusuri pantai Utara Afrika melewati Aljazair, Tunisia, Tripoli,
Alexandria, Kairo, Jarusalem, singgah di Damaskus, Madinah, hingga sampai
pada tujuannya yakni Mekah. Ia melakukan perjalanan ini seorang diri tanpa
ada teman yang mengiringi. Ia bertekad meninggalkan orang-orang yang
41
Muhammad bin Abdullah bin Battutah, Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan
Keliling Dunia di Abad Pertengahan, (Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2009), h. v.
47
dicintainya, laki-laki maupun perempuan. Hal ini didorong oleh tekad yang
sangat kuat dan kerinduan yang mendalam terhadap ma‟had yang mulia
(Mekah dan Madinah).42
Selama karier hidup perjalanannya yang merentang hampir selama tiga
puluh tahun, ia telah melintasi kawasan Dunia Timur mengunjungi kurang
lebih 44 negara zaman modern, dan menempuh jarak sejumlah kira-kira
73.000 mil atau sama dengan 117.000 kilometer. Sejarawan Barat, George
Sarton, mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battutah tiga kali lebih
jauh dari perjalanan Marco Polo. Kisah tersebut merupakan kisah perjalanan
yang luar biasa. Di dalam rihlah, ia mendeskripsikan kondisi spiritual, politik,
dan sosial setiap negeri yang disinggahinya. Bahkan ia berhasil merekam
peradaban Timur Tengah pada abad pertengahan. Manuskrip catatan ini
tersimpan di Bibliotheque Nationale, Paris. Hal inilah yang menjadikan sosok
Ibnu Battutah dianggap sebagai pahlawan Islam. Ibnu Battutah meninggal
dunia pada tahun 1368.43
42
Muhammad bin Abdullah bin Battutah, Rihlah Ibnu Bathuthah, h. 7. 43
Ross E Dunn, Petualangan Ibnu Battutah Seorang Musafir Muslim Abad ke-14,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. xxxviii.
48
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM
A. Bruce Neibaur Sebagai Sutradara Film Journey to Mecca
Bruce Neibaur, lahir di Idaho, Boise, Amerika Serikat pada tahun
1956. Bruce pernah mengemban ilmu di Utah State University dan Brigham
Young University. Bukan hal baru baginya berkecimpung di dunia perfilman
dan pertelevisian, kiprahnya sebagai seorang sutradara pembuatan film
dimulai sejak tahun 1991.
Berkat kontribusinya di dunia perfilman, ia berhasil memenangkan
kategori di antarnya yakni, Won the Best Feature Film and Best
Cinematography untuk film The Ghosts of Dickhens’ Past. Penghargaan
tersebut diberikan oleh Santa Clarita International Film Festival dalam
rangka festifal pendamping untuk Academy Award. Selain itu, ia juga
mendapatkan penghargaan pada film Friendship Field yaitu dengan
memenangkan Children's Jury Award untuk film terbaik yang diberikan oleh
Liv Ullman Peace Prize at the Chicago International Children's Film Festival.
Terakhir, Bruce membuat film dengan judul Journey to Mecca yang
juga mendapatkan respon yang baik dari para penonton. Bagi Bruce, film yang
secara khusus dibuat dalam format IMAX ini merupakan sebuah visusalisasi
pengakuan dunia kepada sosok Ibnu Battutah atas prestasi perjalannya dengan
menempuh jarak 73.000 mil pada tahun 1325 M dengan melintasi 44 negara
(menurut peta dunia pada saat ini).
49
Journey to Mecca karya sutradara Amerika ini menceritakan
petualangan Ibnu Battutah menuju Mekah. Film ini menjadi film Islam
pertama dalam format IMAX. Dalam film ini Bruce menjadi seorang sutradara
sekaligus penulis naskah. Film ini rilis pada tahun 2009. Dalam sebuah
wawancara singkat Bruce Neibaur mengatakan:
“It’s really everything that an IMAX film should be, because
audiences go with the expectations learning things and they’re going
to learn things in this film. Western audiences in particular that will
that think believe their mosque”.1
Menurutnya, Asal-usul film Journey to Mecca menceritakan tentang
kisah yang luar biasa dari Ibnu Battutah, mempromosikan pemahaman yang
lebih baik tentang Islam di Barat, dan untuk menyajikan jantung Islam kepada
dunia Muslim. Selain itu, film ini juga sarat akan nilai filosofi dan pesan di
dalamnya.
Film Journey to Mecca merupakan karya debutnya di bidang
perfilman. Terbukti, film ini berhasil mendapatkan berbagai penghargaan,
diantaranya, La Prix Du Public, Most Popular Film di La Geode Film Festival,
Paris, 2009.
Penonton diajak merasakan betapa beratnya perjalanan haji dan
suasana Masjidil Haram pada abad ke-14. Kerumunan jamaah melakukan
tawaf, sa’i, bermalam di Arafah, dan lontar jumrah di Mina. Pemandangan
yang mengundang haru menyaksikan kebesaran Tuhan mengumpulkan
umatnya di Baitullah, ditambah layar IMAX membuat semua tampilan di
layar terasa mengesankan.
1https://www.youtube.com/watch?v=wSaRWZ8OvIo, diakses pada 3 Agustus 2014.
50
Selain itu, adalah suatu kekaguman ketika tim produksi berhasil
mendapat izin untuk mengambil gambar di Mekah, terutama di dalam
Masjidil Haram. Produksi film ini dilakukan pada bulan Oktober 2007. Awak
produksi seluruhnya berjumlah 93 orang, di antaranya, 85 orang Muslim dan 8
orang lainnya non-Muslim. Sutradara Bruce Neibaur dan produser merupakan
awak produksi yang beragama non-Muslim, mereka hanya bisa melambaikan
tangan ketika pengambilan gambar dilakukan pada saat prosesi haji tanggal 17
Desember 2007.
B. Sinopsis Film
Sekali dalam seumur hidup, umat Islam dipanggil untuk melaksanakan
perjalanan yang luar biasa. Setiap tahun mereka berkumpul di kota Mekah
untuk menjalankan serangkaian ibadah memperingati jejak Nabi Ibrahim,
ibadah tersebut disebut Haji. Kegiatan haji selalu menarik perhatian banyak
pihak, baik bagi orang yang menunaikannya maupun yang tidak, termasuk
dari kalangan non-Muslim. Pertahunnya tidak kurang dari empat juta muslim
tumpah ruah di Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.2 Ibadah haji
merupakan salah satu kewajiban yang paling sakral di antara semua kewajiban
Islam. Haji merupakan suatu simbol agama yang teragung, suatu ibadah
istimewa di antara keempat ibadah Islam yang lainnya dan merupakan salah
satu rukun utama di antara kelima rukunnya. Dalil yang menunjukkan
kewajiban ibadah haji ialah berasal dari Al-Qur’an Al-Karim.3
2Sumber Artilel dari http://www.abufida.com/2012/10/journey-to-makkah.html, diakses
pada Senin, 27 Oktober 2014. 3Yusuf Al-Karadhawi, 100 Tanya-Jawab Haji dan Umrah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013), h. 10.
51
Haji telah melahirkan berjuta-juta inspirasi, tekad dan semangat. Sebab
di dalamnya mengandung banyak hikmah dari sebuah pengorbanan dan
perjuangan. Pengorbanan harta, waktu, fisik, keikhlasan hati, kekhusuan
beribadah, kesabaran terhadap diri sendiri, sabar kepada sesama, dan tentunya
yang paling utama yaitu sabar kepada Allah SWT.
Begitu pula yang dikisahkan dalam film Journey to Mecca yang
menceritakan tentang perjalanan religi seorang pemuda bernama Ibnu Battutah
yang lahir di Tangier, Maroko, pada tahun 1304. Ia dibesarkan dalam keluarga
yang taat menjaga tradisi Islam. Ibnu Battutah begitu tertarik untuk mendalami
ilmu-ilmu hukum Islam (fikih), sastra dan syair Arab. Kelak, ilmu yang
dipelajarinya semasa kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam
melalui perjalanan panjangnya. Ketika Ibnu Battutah tumbuh menjadi seorang
pemuda, dunia Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat
mengalami kejayaan Bani Marin yang berkuasa di Maroko pada abad ke 14.
Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negara, Ibnu Battutah mencatat
mengenai penduduk, pemerintahan, dan ulama. Ia juga mengisahkan tentang
kedukaan yang dialami selama diperjalanan, seperti ketika berhadapan dengan
penjahat, hampir tidak sadarkan diri bersama kapal yang karam dan nyaris
dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim.
Ibnu Battutah memulai perjalanan pada usia 21 tahun untuk
menunaikan ibadah haji menuju ke Tanah Suci Mekah. Dengan penuh
kesedihan, ia meninggalkan orang tua serta sahabat-sahabatnya di Tangier.
Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Perjalannya menuju Baitullah telah membawanya berpetualang dan
52
menjelajahi dunia. Seorang diri, ia mengarungi samudra dan menjelajah
daratan demi sebuah tujuan mulia.
Pada hari keberangkatannya, ayahnya memberikan kuda, emas, dan
doa untuk Ibnu Battutah, sedangkan ibunya memberikan pakaian ihram.
Perjalanan ke Mekah ini merupakan awal dari perjalanannya menempuh jarak
ribuan mil dimulai dari Tangier, Maroko, Damaskus, dan kemudian Madinah
hingga ke Mekah. Medan yang dilalui cukup berbahaya dan sangat rawan
gangguan keamanan. Ia melintasi Gurun Sahara, pegunungan, dan sungai Nil.
Di tengah-tengah perjalanan di gurun pasir, Ibnu Battutah bertemu dengan
sekelompok perampok. Ketika diserang oleh beberapa perampok Ibnu
Battutah sempat melakukan perlawanan. Namun, berhubung ia hanya seorang
diri, ia akhirnya tumbang juga. Kemudian ia kembali melanjutkan
perjalanannya, rintangan datang bertubi-tubi kepadanya. Namun ia tetap
berserah diri kepada Allah. Ibnu Battutah percaya apa yang pernah dikatakan
oleh seorang musafir:
“Bahaya mengintai disetiap kesempatan dalam perjalanan menuju
Mekah. Namun aku percaya orang yang berani menghadapi bahaya
terbesar, akan mendapat ganjaran terbesar dari Allah.”4
Kondisi inilah yang membuat Ibnu Battutah memilih untuk berjuang
di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Film ini, secara implisit mengisahkan ulang
tentang perjuangan yang ditempuh oleh Ibnu Battutah. Perjuangan tersebut,
kemudian menjadikan Ibnu Battutah tetap dikenal hingga saat ini. Sebuah
perjalan besar yang tercatat dalam sebuah memoar yang berjudul rihlah Ibnu
Battutah.
4terdapat pada durasi 08:12.
53
Tim Produksi Film Journey to Mecca
Director : Bruce Neibaur
Producer : Dominic Cunningham-Reid, Taran Davies, Jonathan
Barker
Executive Producer : Jake Eberts
Line Producer : Daniel Ferguson
Co-Producer : Al Zain Al Sabah
Supervising Producer : Diane Robert
Original Music : Michael brook
Sinematografi : Afshin Javadi
Ghasem Ebrahimian
Rafey Mahmood
Editorial Film : Jean-Marie Drot
Penulis Naskah : Carl Knutson, Bruce Neibaur, dan Tahir Shah.
Pemain : Chems Eddine Zinoune sebagai Ibnu Battutah
Hassam Ghancy sebagai Highwayman (penyamun)
Nabil Elouahabi sebagai Hamza
Nadim Sawalha sebagai Ibnu Mustapha
Produced by : SK Films, National Geographic, Derest Door Productions,
Cosmic Pictures, Eagle VisionMedia Group
Budget : $13 million5
5Jouney to Mecca (2009) crew, diakses dari
http://moviespictures.org/movie/Journey_to_Mecca_(2009), Rabu 27 April 2014, pukul 4:45.
54
BAB IV
TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Adegan dalam film Journey to Mecca
Film yang diteliti oleh penulis berjudul Journey to Mecca. Film ini secara
umum bercerita tentang perjalanan haji Ibnu Battutah pada abad ke 14. Di
dalam film yang berdurasi 45 menit ini, terdapat beberapa tampilan adegan
perjalanan Ibnu Battutah dalam menghadapi kerasnya tantangan alam dan
tentu saja tantangan dari berbagai macam ujian yang dihadapinya. Banyak
adegan yang terdapat dalam film ini yang berkenaan langsung dengan fokus
penelitian. Sebelum itu peneliti juga akan meneliti adegan-adegan penting
yang berhubungan dengan adegan utama, yaitu tentang perjuangan Ibnu
Battutah dalam menjalankan rukun Islam yang ke-5 yakni berhaji di mana
dikatakan dalam agama, haji sebagai pilar penting dalam Islam. Berawal dari
mimpi, perampokan, badai gurun pasir, lembah neraka, sampai pada akhirnya
Ibnu Battutah melaksanakan prosesi haji di Mekah. Namun, peneliti
membatasi penelitian ini pada perjalanannya.
Peneliti kemudian mencoba menarasikan dan mendeskripsikan alur cerita
film dengan menyertakan komponen analisis film dan sedikit unsur semiotika.
Dari sini selanjutnya barulah secara detail akan dipaparkan bagaimana unsur
film dan semiotika menjadi sesuatu yang naratif. Sebagai salah satu media
penelitian, narasi film biasanya muncul di dalam skenario dan percakapan
yang dilakukan oleh para pemain di dalam film. Adapun berikut ini
merupakan pengantar adegan yang akan diteliti.
55
1. Adegan 1 (Awal Mula Perjalanan Ibnu Battutah)
Adegan 1 memperlihatkan situasi ketika Ibnu Battutah menjelaskan
kepada sahabatnya, Hamzah, mengenai mimpi yang ia alami. Dalam
mimpinya itu, ia seakan merasakan terbang di atas sayap burung raksasa
menuju Kairo. Kemudian perjalanan dilanjutkan melewati berbagai macam
tempat, termasuk melewati Laut Merah menuju Mekah. Setelah itu, ia
bertekad untuk merealisasikan mimpi itu dengan melaksanakan ibadah haji ke
Mekah.
Pada bagian awal adegan Ibnu Battutah bergegas melaksanakan
perjalanannya seorang diri, Sutradara menghadirkan beberapa shot yang
berhubungan dengan keyakinan dan tekad kuat mengapa Ibnu Battutah sangat
bersikukuh melanjutkan mimpinya tersebut. Dimulai dari visualisasi
perjalanan yang akan ia tempuh, memperlihatkan gambaran peta abad 14.
Pada zaman dahulu, orang-orang melakukan perjalanan hanya untuk membuat
peta sebagai petunjuk rute terbaik untuk menempuh perjalanan ke Mekah.
Namun, Ibnu Battutah melakukan perjalanan bukan hanya untuk membuat
rute ke Mekah saja. Hal ini yang menyebabkan konteks perjalanan yang
dilalui menjadi lebih luas.
Selanjutnya memperlihatkan adegan ketika Hamzah berpesan kepada
Ibnu Battutah untuk menemui Ibnu Muzaffar seorang alim ulama yang tidak
lain merupakan kerabatnya. Dalam adegan ini, waktu plot yang digunakan
sangat pendek dan ringkas sangat berbeda dengan cerita aslinya yang ada di
Rihlah. Alur narasi yang divisualisasikan cenderung linier, di mana plot
disusun berdasarkan kronologis peristiwa yang sebenarnya.
56
Sejak kecil Ibnu Battutah dibesarkan oleh keluarga yang taat menjaga
tradisi Islam. Untuk itu dalam Islam diajarkan bagaimana seorang anak
menghormati orang tuanya. Terlebih, ketika sang anak ingin meminta izin
melakukan perjalanan jauh. Itu pula yang dilakukan oleh Ibnu Battutah ketika
berpamitan kepada orangtuanya, yakni dengan cara mencium tangan
keduanya. Ketika diberi restu oleh kedua orangtuanya, kemudian Ibnu
Battutah menunaikan ibadah hajinya yang pertama, tepat pada tanggal 14 Juni
1325. Di dalam film, sang Ayah membekalinya dengan emas, kuda dan sedikit
uang. Dan Ibunya memberikan sepasang baju Ihram untuk dikenakan Ibnu
Battutah ketika menjalani prosesi haji kelak. Ibnu Battutah divisualisasikan
dengan berbagai atribut simbolik. Begitu juga aksi yang ditampilkan, sebagai
representasi agama.
Tabel 1.4.
Adegan Awal mula Perjalanan Ibnu Battutah
Adegan Visualisasi Verbal dan Non verbal Pemain Interpretasi Simbolik
1
Ibnu
Battutah
Mimpi yang didasari
dari sebuah pergolakan
batin sampai
menghantarkannya
kepada niat mulia.
57
2
Ibnu
Battutah
Menampilkan gambaran
peta abad ke 14
perjalanan yang akan
dilalui Ibnu Battutah
menuju Mekah.
3
Ibnu
Battutah
dan
Hamzah
Menunjukan peringatan
Hamzah kepada Ibnu
Battutah agar tidak
bepergian ke Mekah
seorang diri.
4
Ibnu
Battutah
dan
Hamzah
Menampilkan keadaan
di mana Hamzah sedang
berpesan kepada Ibnu
Battutah agar menemui
kerabatnya yang berada
di Kairo.
5
Ibnu
Battutah
Menunjukkan kondisi
perasaan yang sedih dan
sangat berat
meninggalkan keluarga
tercinta.
58
6
Ibnu
Battutah
Kondisi di mana
keluarga melepas
kepergian Ibnu Battutah
menunaikan ibadah haji.
Tabel 2.4.
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam adegan “Awal Mula Perjalanan Ibnu
Battutah”
Ikon Ikon pada adegan ini terdapat pada beberapa setting tempat yang
digunakan, memperlihatkan situasi Tangier. Visualisasi gambaran peta
abad ke 14.
Indeks Indeks dalam adegan ini adalah, kata-kata Ibnu Battutah kepada Hamzah
yang siap mati dalam perjalanan menuju Mekah menunjukkan niat
mulianya menunaikan ibadah haji.
Simbol Simbol terdapat pada Ibnu Battutah yang divisualisasikan sebagai
seorang alim yang teguh terhadap pendirian.
Secara teknis, adegan-adegan di atas memiliki beberapa unsur
sinematografi. Pada adegan pertama, terlihat kondisi Ibnu Battutah yang
sedang tertidur dan sedang mengalami mimpi melaksanakan perjalanan ke
Mekah. Hal yang sama pula dialami oleh Nabi Muhammad saw, beliau
bermimpi memasuki kota Mekah dengan aman dan sentosa. Tidak lama
berselang Nabi pun bersama dengan para sahabatnya melakukan perjalanan ke
Mekah untuk melaksanakan umrah. Adegan ini menunjukkan lambang iman
seseorang kepada Allah. Pada adegan ini jarak kamera yang digunakan yaitu
medium shot.
Selanjutnya pada potongan adegan kedua terlihat sebuah gambaran
peta. Jarak kamera yang digunakan yaitu Close-Up sang sutradara ingin
59
menonjolkan gambaran peta rute perjalanan Ibnu Battutah, khususnya pada
abad ke 14. Digambarkan di dalam peta tersebut bahwa wilayah yang akan
menjadi rute perjalanan Ibnu Battutah didominasi oleh gurun pasir.
Pada potongan adegan selanjutnya digambarkan Ibnu Battutah sedang
meyakinkan Hamzah bahwa ia akan tetap melakukan perjalanan mulianya ke
Mekah. Adegan ini menggunakan jarak kamera long shot, sutradara ingin
menampilkan suasana Tangier pada saat itu.
Pada potongan shot selanjutnya, memperlihatkan Hamzah sedang
berpesan kepada Ibnu Battutah untuk menemui kerabatnya di Kairo.
Penggunaan shot pada adegan ini menggunakan jarak kamera long shot, di
mana visualisasi ingin menampakkan objek yang dimaksud yakni percakapan
antara Ibnu Battutah dan Hamzah. Selain itu, memperlihatkan kondisi
lingkungan sekitar yang berada di pantai Afrika Utara.
Adegan selanjutnya, menunjukkan kondisi perasaan yang sedih dan
sangat berat meninggalkan keluarga tercinta. Menggunakan jarak kamera
medium shot, di mana sutradara ingin memvisualisasikan ekspresi wajah
perasaan sedih yang dirasakan oleh Ibnu Battutah.
Kemudian potongan adegan selanjutnya memvisualisasikan Ibnu
battutah yang sedang melaju pergi dengan kudanya meninggalkan seluruh
keluarga menuju perjalanan panjang ke tanah suci Mekah. Jarak kamera yang
digunakan yaitu long shot, sutradara ingin memperlihatkan rasa empati
keluarga, khusunya orang tuanya ketika ditinggal berkelana oleh anak tercinta.
Secara keseluruhan, adegan di atas memiliki beberapa karakter
sinematografi. Jarak kamera yang digunakan adalah medium shot, close up,
60
long shot. Pencahayaan yang digunakan cenderung menggunakan sumber
cahaya key lighting. Setting yang digunakan pada seluruh adegan adalah shot
on location. Aspek suara dalam adegan di atas memakai dieges sound dan non
dieges sound. Kemudian, teknik editing menggunakan tipe montase dan cut in
yang diiringi dengan musik instrumental.
Berikut adalah percakapan Ibnu Battutah dan sahabatnya, Hamzah,
tentang mimpi yang dialami Ibnu Battutah sekaligus keinginan dari hati agar
bisa mencapai Mekah:
Ibnu Battutah : “Aku terbang di atas sayap burung raksasa menuju
Kairo sampai sungai Nil. Kemudian menyebrangi
Laut Merah menuju Mekah.”
Hamzah : “Kau terbang ke Mekah? di atas sayap burung?”
Ibnu Battutah : “Ya.”
Hamzah : “Orang tak bisa terbang, temanku. Ke Mekah
ataupun ke tempat lain! Kenapa kau bersikeras
melaksanakan haji sekarang? Usiamu saja 21 tahun.
Pikirkan tentang apa yang kau korbankan. Karirmu di
bidang hukum baru saja dimulai.”
Ibnu Battutah : “Apa yang akan kupelajari hanya bisa membantu
karirku.
Hamzah : “Kau bersikeras melakukan perjalanan sendiri, dan
tidak seorangpun bepergian sendirian!”
Ibnu Battutah : ”Jika aku harus mati, biarlah terjadi dalam
perjalanan ke Mekah.1
Dalam percakapan yang dilakukan oleh Ibnu Battutah dan Hamzah di
atas memberikan gambaran bahwasannya Ibnu Battutah merupakan sosok
seorang pemuda yang siap merelakan hidupnya demi berjuang di jalan Allah
dalam situasi apapun. Disamping itu dari petikan percakapan tersebut
menggambarkan keteguhan hati dan dan keyakinan seorang Ibnu Battutah
1Percakapan ini dapat dilihat pada durasi 04:27 sampai durasi 05:10.
61
untuk mencapai tujuannya, Mekah. Allah berfirman, dalam surat Al-Qur’an
surat An-Nisaa’ ayat 100:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, Niscaya mereka (manusia)
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang
melimpah. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka
sesungguhnya telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa, Ibnu Battutah mencoba
mewujudkan esensi dari ayat tersebut melalui sikap dan keteguhan hatinya
pada saat melakukan percakapan dengan Hamzah. Walau dihadapkan pada
bahaya terbesar sekalipun ia tetap pada prinsipnya. Sesungguhnya Al-Qur’an
memberikan petunjuk kepada manusia untuk menempuh jalan yang lurus.
2. Adegan 2 (Adegan Ketika Ibnu Menghadapi Bahaya yang
Mengancam)
Setelah peristiwa dialog di adegan pertama, Ibnu Battutah akhirnya
memantapkan hati pada pendiriannya, yaitu melaksanakan perjalanan ke
Mekah seorang diri. Dalam adegan ini, sutradara mencoba memvisualisasikan
bagaimana kerasnya sebuah perjalanan suci yang dilakukan seorang Ibnu
Battutah tanpa adanya pengamanan khusus melewati berbagai medan yang
berbahaya. Bagian lain adalah alat navigasi yang kemudian digunakan Ibnu
Battutah sebagai penuntun perjalanannya. Bagian ini memperlihatkan betapa
62
Ibnu Battutah yakin terhadap jalan yang dipilihnya menuju ke Mekah sesuai
mimpi yang ia alami. Padahal sebenarnya ia bisa saja dengan sangat mudah
bepergian aman bersama dengan karafan haji lainnya, tetapi ia tetap memilih
sendiri jalan yang akan dilaluinya.
Di tengah perjalanan, kemudian datang sekelompok perampok yang
menghadang. Lalu Ibnu Battutah sempat melakukan pembelaan saat
sekawanan perampok tersebut melakukan penyerangan. Dikarenakan Ibnu
Battutah hanya seorang diri dan ia tidak memiliki kemampuan berperang, ia
akhirnya tumbang ketika melawan para perampok tersebut. Ia nyaris dibunuh,
namun kemudian datang seorang ketua dari kelompok penyerang tersebut dan
menghentikan peperangan yang sedang berlangsung. Bukan tanpa alasan ketua
perampok (penyamun, dalam film ini) menghentikan peperangan, ia
mengambil perbekalan Ibnu Battutah seperti emas, uang dan air. Uang yang
diambilnya kemudian diberikan kepada kawanan perampok yang memerangi
Ibnu Battutah. kemudian, ketika sang penyamun melihat baju ihram dan peta
perjalanan yang dibawa Ibnu Battutah, sang penyamun tadi menyadari bahwa
Ibnu Battutah adalah jamaah haji. kemudian Ibnu Battutah pun dibiarkan
pergi.
Setelah adegan perampokan selesai, kemudian shot berpindah dengan
editing cut pada Perjalanan Ibnu Battutah melewati Gurun Sahara yang tandus.
Gurun ini merupakan sebuah padang pasir terbesar di dunia. Sahara terletak di
utara Afrika dan berusia 2,5 juta tahun. Luas padang pasir ini sekitar
9.000.000 kilometer.2 Adegan ini juga memperlihatkan keteguhan hati Ibnu
2http://wonders4u.wordpress.com/fantastic-world/gurun-sahara-afrika/, diakses pada
Sabtu, 13 Desember 2014.
63
Battutah menghadapi berbagai cobaan dan tantangan, ia tetap bersikap tenang
dan menyerahkan sepenuhnya kepada allah SWT.
Di dalam film, terdapat perbedaan yang sangat kontras pada kostum
yang dikenakan oleh Ibnu Battutah dan Penyamun tersebut. Ibnu Battutah
mengenakan pakaian berwarna putih bergaris, namun putih yang sudah lusuh
dikarenakan akibat terkena debu di perjalanan. Dan ia juga mengenakan
sorban berwarna putih yang kemudian melilitkan ekor sorban ke lehernya. Di
sini dapat dilihat penggunaan sorban pada saat itu di Maroko cukup panjang,
jadi ketika mengenakannya masih menyisakan ekor yang menjuntai ke
punggung pemakainya, sehingga perlu dililitkan kembali keleher atau kepala.
Sedangkan sang penyamun mengenakan pakaian berwarna hitam dan sorban
dengan warna yang senada. Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua yang
identik dengan warna hitam berarti memiliki kararter antagonis. Sang
sutradara mencoba memvisualisasikan warna hitam yang dikenakan oleh
penyamun diartikan sebagai sosok yang berjiwa mulia.
Tabel 3.4.
Adegan Perampokan
Adegan Visualisasi Verbal dan Non verbal Pemain Interpretasi Simbolik
1
Ibnu
Battutah
Pegunungan dan kuda
merupakan salah satu
saksi perjuangan Ibnu
Battutah untuk
mencapai tujuannya,
Mekah.
64
2
Ibnu
Battutah
Perjalanan panjang ke
Mekah sebagai bentuk
manifestasi perjuangan
jihad fi sabilillah.
3
Ibnu
Battutah
Menunjukkan mimik
muka tegang dan
waspada pada bahaya
yang mengintai.
4
Ibnu
Battutah
dan
Kawana
n
perampo
k
Situasi di mana terjadi
ancaman perampok
yang mengintai dalam
perjalanan.
5
Kawana
n
perampo
k
Kawanan perampok
yang menghadang Ibnu
Battutah di tengah
perjalanan.
65
6
Penyam
un
Memperlihatkan
Penyamun sedang
memeriksa perbekalan
Ibnu Battutah.
7
Gurun
pasir
Gurun yang gersang
menjadi saksi bisu
perjuangan Jihad fi
sabilillah Ibnu Battutah.
Tabel 4.4.
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam adegan “Ketika Ibnu Menghadapi Bahaya
yang Mengancam”
Ikon Ikon dalam adegan ini adalah sekelompok bandit atau perampok yang
siap membunuh para pelancong perjalanan yang tengah berada di gurun
pasir, tujuannya untuk merampas perbekalan yang dibawa oleh sang
pelancong.
Indeks Indeks dalam adegan ini yaitu, Banyak rintangan yang datang bertubi-
tubi menghampiri perjalanan Ibnu Battutah. Namun, rintangan-rintangan
tersebut membuat ketetapan hati Ibnu Battutah semakin kuat mencapai
tanah suci Mekah.
Simbol Uang yang dicuri oleh para perampok, serta pakaian hitam dan putih
yang dikenakan oleh Ibnu Battutah dan perampok.
Aspek sinematografi dalam adegan ini akan dijelaskan secara teknis,
terlihat Pada potongan adegan pertama menunjukkan Ibnu Battutah yang
66
sedang melihat alat navigasinya untuk menentukan arah menuju Mekah. Jarak
kamera yang digunakan yaitu long shot, di mana sutradara memvisualisasikan
kondisi medan sekitar objek.
Adegan selanjutnya berpindah setting yang berada di gurun,
memperlihatkan perjuangan Ibnu Battutah menempuh perjalanan yang tidak
mudah, perjalanan tetap dilalui sekalipun di waktu siang dan malam. Dalam
adegan ini jarak kamera yang digunakan adalah extreme long shot.
Selanjutnya, pada potongan shot ketiga meperlihatkan Ibnu Battutah
sedang menunjukkan reaksi wajah waspada terhadap suasana di sekeliling
pada bahaya yang mengintai. Adegan ini divisualisasikan dengan jarak kamera
medium shot. Sang sutradara ingin menampikan mitos yang berkembang di
masyarakat bahwasannya ketika melakukan perjalanan panjang di sebuah
padang pasir akan banyak bahaya yang mengancam, di antaranya terdapat
sekumpulan bandit perampok yang siap kapanpun menyerang. Adegan ini
berhasil terviasualisasi secara natural dan berhasil pula memunculkan mood
yang efektif bagi penonton. Menggunakan pencahayaan key lighting, di mana
matahari sebagai sumber pencahayaan langsung dalam adegan ini.
Pada potongan shot selanjutnya, memperlihatkan di mana Ibnu
Battutah sedang disergap oleh kawanan bandit. Penggunaan shot dalam adegan
ini menggunakan jarak kamera long shot. Dengan visualisasi latar yang sama,
yakni di sebuah perbukitan gurun yang tandus.
Potongan adegan selanjutnya memvisualisasikan pasca penyergapan
Ibnu Battutah yang berhasil dihentikan oleh penyamun karena melihat Ibnu
Battutah yang hampir dibunuh para perampok. Jarak kamera yang digunakan
67
yaitu medium shot. Sutradara ingin menampilkan sosok penyamun yang lebih
dominan dan berhasil memberikan pengaruh kuat terhadap para perampok
tersebut.
Kemudian potongan adegan selanjutnya memvisualisasikan sang
penyamun sedang memeriksa perbekalan yang dibawa Ibnu Battutah dan
mengambilnya untuk diberikan kepada para bandit yang menyergap Ibnu
Battutah. Jarak kamera yang digunakan dalam adegan ini yaitu medium shot,
di mana jarak kamera ini memperlihatkan gestur serta ekspresi wajah yang
mulai tampak pada objek. Jarak kamera yang mendominasi di dalam adegan
ini adalah jarak long shot yang memperlihatkan kondisi Ibnu Battutah yang
sangat terpuruk dan nyaris kehilangan nyawanya setelah mengalami
penyergapan bandit tadi. Sutradara berhasil memperlihatkan sebuah situasi
yang nyata tentang suasana batin yang sedang terpuruk.
Jarak kamera extreme long shot diperlihatkan pada adegan selanjutnya
yang memperlihatkan medan perjalanan yang mereka lalui di gurun pasir. Di
mana sutradara jelas memperlihatkan situasi medan yang sulit untuk dilalui.
Secara keseluruhan, adegan ini memiliki aspek sinematografi di
dalamnya. Jarak kamera yang digunakan di antaranya yakni medium shot, long
shot dan extrere long shot. Untuk pencahayaan masih didominasi oleh sumber
pencahayaan natural key lighting, di mana matahari sebagai sumber
pencahayaan langsung. Aspek suara yang digunakan dalam adegan di atas
adalah dieges sound dan non dieges sound dengan menggunakan editing oleh
tipe montase, establishing atau reestablishing shot dan cut in yang diiringi
dengan musik instrumental.
68
3. Adegan 3 (Keteguhan Hati Ibnu Battutah dalam Mempertahankan
Prinsip)
Adegan selanjutnya ialah bagaimana perjuangan Ibnu Battutah
mempertahankan keteguhan hatinya agar terus bertahan sampai pada
tujuan yang ingin dicapai, yakni Mekah. Dalam keadaan kondisi batin
yang tertekan, tidak ada persediaan air setetespun pada perbekalannya kali
ini karena dirampok oleh para bandit gurun. Di tengah teriknya padang
pasir ia merasakan halusinasi tipuan mata dengan munculnya fatamorgana,
hal itu disebabkan karena dehidrasi akut. Kemudian Ibnu Battutah teringat
oleh ucapannya yaitu “Jika aku mati biarlah dalam perjalanan ke Mekah”
itulah kata-kata yang sempat diutarakan kepada sahabatnya, Hamzah.
Lamunan tersebut mengindikasikan bahwa Ibnu Battutah pada saat itu
sedang mengalami gejolak batin. Karena rasa haus yang luar biasa dan
sakit tubuhnya akibat serangan bandit atau perampok, akhirnya Ibnu
Battutah tidak sadarkan diri. Kemudian penyamun datang dengan melihat
kondisi Ibnu Battutah yang tidak berdaya, akhirnya ia memutuskan untuk
membawa Ibnu Battutah ke perkemahannya yang letaknya tidak jauh dari
tempat kejadian.
Setelah shot di gurun selesai, kemudian shot berpindah dengan
editing cut kepada wajah Ibnu Battutah dengan menggunakan tipe Medium
shot yang berfungsi untuk memperlihatkan ekspresi wajah yang mulai
tampak pada objek. Dalam adegan tersebut, Ibnu Battutah diperlihatkan
sedang terbaring baru sadarkan diri dari pingsangnya siang hari tadi.
Kemudian ia mamaksakan diri keluar tenda untuk melihat keadaan sekitar.
69
Ada beberapa keluarga yang bermukim di lokasi tersebut, dan Ibnu
Battutah disambut ramah di sana. Tidak lama datang penyamun tadi dan
melakukan percakapan dengan Ibnu Battutah. Berikut adalah
percakapannya:
Penyamun : “Kau ingin kembali ke Tangier sekarang?”
Ibnu Battutah : “Aku tidak akan kembali sampai aku mencapai
Mekah, sampai aku menjalankan ibadah haji.”
Penyamun : “Para bandit penyergap di sepanjang jalan. Kau
membutuhkan perlindungan.”
Ibnu Battutah : “Darimu? Dan gerombolan pencurimu?”
Penyamun : “Aku bepergian sendirian, sama seperti dirimu.”
Ibnu Battutah : “Kau pasti menganggap aku bodoh.”
Penyamun : “Aku tidak melakukan penilaian. Aku hanya
menawarkanmu perlindungan, dan kau bisa
membayarku setelah tiba dengan aman di Kairo.”
Ibnu Battutah : “Kau mencuri uangku.”
Penyamun : “Aku memberikannya pada orang miskin.”
Ibnu Battutah : “Bagaimana caraku membayarmu?”
Penyamun : “Kau punya teman-teman kaya di Kairo.”
Ibnu Battutah : “Aku lebih suka mati di sini di padang pasir!”
Penyamun : “Semoga damai menyertaimu. (Assalamu‟alaikum).
Ibnu Battutah : “Tunggu!”
Penyamun : “Katakan, apa yang dilakukan pemuda seperti dirimu
berharap bisa menemukan Mekah?”
Ibnu Battutah : “Haji adalah sebuah jalan untuk menjumpai tanah
yang baru. Untuk mencapai Mekah dan melihat
Ka‟bah yang terbaik dari semua perjalanan.”
Penyamun : “Dan untuk ini kau mebahayakan hidupmu?”
Ibnu Battutah : “Itu tertulis dalam Al-Qur‟an,” “Jika Allah
memberikan pertolongan kepadamu, maka tidak ada
yang dapat mengalahkanmu.” (QS. Ali Imran
[3]:160).”
Penyamun : “Dan, jika Allah membiarkanmu, maka siapa yang
dapat menolongmu (selain) dari Allah sesudah itu?”
(QS. Ali Imran [3]: 160).”
“Banyak hikmah yang terkandung dalam Al-Qur‟an.
Kita berangkat saat fajar.”3
Dalam dialog di atas, tergambar jelas tekad kuat seorang Ibnu
Battutah mengarungi perjalanan ke Mekah. Di dalam Al-Qur’an tertulis,
3Percakapan ini dapat dilihat pada durasi 15:19 sampai 17:03.
70
Allah ta’ala mengajarkan hamba-Nya melalui Rasulullah saw bahwa
apabila di dalam diri seseorang sudah ada tekad yang kuat dibarengi
dengan usaha yang maksimal dan tidak menyimpang dari syariat Allah,
maka hal yang harus dilakukan setelah itu adalah bertawakal kepada Allah.
Karena Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.
Niscaya pertolongan dari-Nya pasti akan datang dan segala kesulitanpun
akan dimudahkan. Oleh karena itu pada surat Ali Imran ayat 160, Allah
menjelaskan bahwa salah satu kunci kemenangan adalah tawakal atau
berserah diri kepada Allah secara benar. Karena pada hakekatnya
kemenangan dan kekalahan adalah dari Allah. Maka orang mukmin harus
menyadarkan segalanya hanya kepada Allah.
Tabel 5.4.
Adegan Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip
Adegan Visualisasi Verbal dan Non verbal Pemain Interpretasi Simbolik
1
Ibnu
Battutah
Menunjukkan sebuah
kondisi batin yang
sedang tertekan dan
merasakan sakit yang
luar biasa.
71
2
Ibnu
Battutah
Menunjukkan keadaan
Ibnu Battutah setelah
sadar dari pingsannya.
3
Penyamun Kewibawaan dan
kebijaksanaan sang
penyamun menawarkan
perlindungan untuk
keselamatan Ibnu
Battutah dalam
perjalanan.
4
Ibnu
Battutah
Keteguhan hati dan
ketegasan dalam
mempertahankan
prinsip.
5
Ibnu
Battutah
dan
penyamu
n
Memperlihatkan medan
perjalanan yang terjal
dilalui Ibnu Battutah
dan sang penyamun.
72
6
Ibnu
Battutah
Situasi pelik yang tetap
diterima sebagai
konsekuensi perjuangan
dan jihad.
Tabel 6.4.
Ikon, Indeks, dan Simbol dalam adegan “Keteguhan Hati Mempertahankan
Prinsip”
Ikon Ikon dalam adegan ini adalah setting lokasi perkemahan yang terletak di
gurun untuk tempat tinggal para penduduk nomaden. Kehidupan yang
sangat keras dan getir di gurun pasir menyebabkan penduduknya
mempunyai kebiasaan buruk, yakni mencuri. Namun dalam film ini,
divisualisasikan uang hasil curiannya akan diberikan kepada orang
miskin.
Indeks Indeks dalam adegan ini yaitu percakapan antara Ibnu Battutah dan
penyamun, di mana Ibnu Battutah secara keras mempertahankan prinsip
yang dipilihnya dan menolak saran bijak dari penyamun. Bertekat untuk
melanjutkan perjalanannya tanpa bantuan siapapun. Tetapi pada akhirnya
Ibnu Battutah menyetujui saran dari penyamun dengan beberapa
pertimbangan.
Simbol Simbol dalam adegan ini adalah sosok Ibnu Battutah yang melakukan
sesuatu atas dasar tuntunan ayat suci Al-Qur’an. Dan menunjukkan
kepribadian yang shaleh, di mana ia bersikukuh bertahan sampai titik
darah penghabisan untuk melaksanakan haji ke Tanah suci Mekah.
Simbol-simbol agama pada adegan di atas sangat kental akan karakter
Ibnu Battutah sebagai seorang alim yang shaleh.
Secara teknis, adegan ini memiliki beberapa unsur sinematografi.
Potongan adegan pertama, memperlihatkan kondisi yang tampak pada
Ibnu Battutah sedang mengalami masa sulit di mana ia merasakan tekanan
batin dan merasakan sakit yang luar biasa pada tubuhnya akibat kejadian
perampokan. Dalam adegan ini, terdapat teknik dissolve to di mana terjadi
73
adegan flash back ketika Ibnu Battutah terbayang apa yang pernah ia
utarakan kepada Hamzah, yakni “Jika aku mati biarlah terjadi dalam
perjalanan ke Mekah.” Jarak kamera yang digunakan dalam potongan
gambar ini yaitu long shot, di mana sutradara ingin menampilkan keadaan
sekitar untuk mendukung adegan yang sedang dimainkan sehingga
menampilkan mood yang efektif.
Potongan shot selanjutnya, jarak kamera yang dipakai yaitu
medium shot, di mana sutradara ingin memvisualisasikan Ibnu Battutah
yang baru saja sadar dari pingsannya dan berusaha mengingat apa yang
telah terjadi pada dirinya. Diperlihatkan pula ia telah berada di sebuah
perkemahan milik penyamun.
Kemudian potongan adegan selanjutnya memperlihatkan
penyamun sedang melakukan percakapan dengan Ibnu Battutah. Dalam
adegan ini hal yang diperbincangkan yaitu membahas tentang bagaimana
risiko yang akan diterima Ibnu Battutah bilamana ia tetap bersikukuh
melakukan perjalanan seorang diri. Dan penyamun dengan
kebijaksanaannya menawarkan diri untuk bersedia menemani perjalanan
Ibnu Battutah sampai ke Damaskus, yaitu tempat di mana karafan haji
berkumpul di sana dan melakukan perjalanan secara kolektif. Jarak kamera
yang digunakan adalah medium shot, di mana sang sutradara ingin
memperlihatkan karakter kuat dari penyamun.
Adegan keempat, memvisualisasikan Ibnu Battutah yang dengan
sikap konsistennya mengatakan akan melakukan perjalanan suci ke Mekah
untuk berhaji. Dengan mimik muka serius dan dengan tegas ia mengatakan
74
ia akan lebih suka mati di padang pasir daripada harus kembali pulang ke
Maroko sebelum berhaji. Hal ini menegaskan bahwa Ibnu Batutah
memiliki karakter sifat yang keras dan teguh terhadap pendirian. Jarak
kamera yang digunakan pada potongan adegan ini yaitu medium shot, di
mana mood yang coba dibangun memperlihatkan karakter Ibnu Battutah
serta suasana perkemahan yang persis dengan gambaran yang didirikan
oleh suku nomaden di gurun pada saat itu. Di tambah dengan
memperlihatkan adanya api unggun di tengah mereka agar terlihat lebih
natural.
Adegan selanjutnya, memvisualisasikan kondisi medan yang
ditempuh melewati berbagai perbukitan gurun pasir yang terkadang sulit
untuk ditempuh. Namun hal itu tidak lantas membuat mereka berkecil hati
untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan dilanjutkan dengan semangat
pantang menyerah dari keduanya. Jarak kamera yang digunakan adalah
long shot.
Kemudian potongan shot selanjutnya memperlihatkan kondisi saat
badai pasir di gurun. Keadaan di mana gambaran ini merupakan bahaya
yang mengancam saat melewati gurun sehingga menyebabkan kuda yang
ditunggangi harus dijatuhkan dan ditenangkan oleh pemiliknya. Adegan
ini berhasil divisualisasikan oleh Ibnu Battutah dengan memeluk kudanya.
Jarak kamera yang digunakan adalah long shot.
Secara keseluruhan adegan di atas memiliki beberapa karakter
sinematografi. Jarak kamera yang digunakan dalam adegan tersebut di
antaranya yaitu long shot dan medium shot. Untuk pencahayaan cenderung
75
menggunakan sumber pencahayaan top lighting yang fungsinya sekadar
ingin menunjukkan jenis pencahayaan buatan dalam sebuah adegan, yakni
dengan menggunakan cahaya lilin dan api unggun. Selain itu juga tetap
menggunakan cahaya utama (key light). Setting yang digunakan di dalam
adegan keseluruhan adalah shot on location. Aspek suara dan editing di
dalam adegan ini memakai dieges sound dan non dieges sound dengan
editing di dominasi oleh tipe montase (rangkaian gambar), establishing
atau reestablishing shot dan cut in yang diiringi pula dengan musik
instrumental.
B. Narasi Adegan yang Diteliti
Sebelum menganalisis secara detail bagaimana narasi dalam adegan
khusus yang menampilkan perjalanan Ibnu Battutah, berikut peneliti akan
memaparkan komponen-komponen naratif yang dapat dijadikan acuan dalam
memahami adegan khusus berdasarkan unsur naratif film.
1. Tokoh
Tokoh utama dalam film Journey to Mecca adalah Ibnu Battutah. Di
dalam film, divisualisasikan Ibnu Battutah sebagai seorang tokoh yang
protagonis, ambisius, pantang menyerah, dan tegas. Meskipun banyak
menghadapi rintangan dan hambatan dalam perjalanannya, namun ia tetap
konsisten melaksanakan niatnya untuk berhaji ke Mekah. Dedikasi yang
tinggi, membuat ia menemukan jati dirinya ketika melaksanakan
perjalanan yang panjang. Dalam keadaan apapun ia tidak henti-hentinya
memohon pertolongan kepada Allah, ini merupakan bentuk Jihad fi
76
Sabilillah yang dilakukan oleh Ibnu Battutah. Adapun tokoh heroik, yaitu
penyamun. Dengan karakter heroik dan tegasnya itu, dalam beberapa shot
penyamun divisualisasikan sebagai pemicu konflik batin dalam diri Ibnu
Battutah. Selain itu ada Hamzah yang divisualisasikan sebagai sahabat
Ibnu Battutah. Hamzah, divisualisasikan sebagai sahabat yang
berseberangan pendapat dengan Ibnu Battutah saat tahu bahwa Ibnu
Battutah ingin ke Mekah seorang diri. Hamzah kurang menyetujui
kawannya itu melaksanakan haji seorang diri pada usia 21 tahun, namun
kemudian ia merestui kepergian sahabatnya itu. Dan ada pula kawanan
perampok yang menghadang Ibnu Battutah saat di gurun pasir.
2. Masalah dan konflik
Masalah yang muncul pada adegan perjalanan dari Kairo adalah ketika
Ibnu Battutah menemui Ibnu Muzaffar di Kairo dan menceritakan mimpi
yang dialaminya, ketika Penyamun memperingatkan Ibnu Battutah
melewati rute Damaskus dan bergabung dengan kafilah haji namun Ibnu
Battutah tetap mempertahankan keputusannya melewati Laut Merah,
ketika pasca peperangan yang berlangsung di Laut Merah, dan ketika Ibnu
Battutah dilanda demam setelah selama 40 hari berada di padang pasir.
Konflik yang muncul dalam adegan ini adalah konflik batin, di mana
Ibnu Battutah tetap mempertahankan prinsipnya pada rute perjalanan yang
ia lalui yakni melewati Laut Merah walaupun sudah diperingatkan oleh
penyamun untuk memenpuh jalur Damaskus. Kemudian ketika sampai di
Laut Merah ia melihat kapal-kapal laut yang hancur akibat perang yang
77
berlangsung dan sudah pasti tidak dapat menghantarkan ia menyebrangi
laut tersebut.
3. Lokasi
Lokasi utama dalam adegan ini adalah gurun pasir. Gurun pasir,
sebagai setting utama divisualisasikan dengan cukup apik. Setting latar
yang yang memadai yang cukup menghadirkan sebuah realisme ketika
berada di sebuah padang gurun.
4. Waktu
Penggunaan waktu dalam setiap adegan di film ini dijelaskan
sebagai berikut: Siang, di mana diperlihatkan sebagian besar konflik dan
masalah muncul di waktu siang hari serta pada saat itu pula perjalanan
panjang yang ditempuh Ibnu Battutah. Malam, di waktu ini Ibnu Battutah
mengalami mimpi terbang di atas sayap burung raksasa melewati Laut
Merah menuju Mekah. Kemudian mimpi tersebutlah yang menghantarkan
Ibnu Battutah berambisi untuk menunaikan ibadah haji ketika itu.
Adegan Ibnu Battutah mencapai Kairo bermula dari Hamzah yang
memberitahukan untuk menemui Ibnu Muzzafar di Kairo. Kemudian,
pesan dari sahabatnya itu ia penuhi, sesampainya di Kairo Ibnu Battutah
langsung menemui Muzzafar dan menceritakan mimpi yang ia alami. Ibnu
Muzzafar memberikan tanggapan yang baik perihal mimpi yang
diceritakan oleh Ibnu Battutah. Muzzafar lantas mengatakan “Rasulullah
bersabda: Tuntutlah ilmu walaupun itu sampai ke negeri Cina.” Adegan
78
ini berada pada durasi 19:41 sampai 20:45. Kata-kata itu membuat tekad
dan keyakinan Ibnu Battutah semakin kuat untuk memenuhi panggilan
batinnya, berhaji. Ibnu Muzzafar divisualisasikan sebagai alim ulama pada
saat itu, yang tidak lain merupakan kerabat dari Ibnu Battutah. Setting
pada adegan ini berada di Universitas Al-Azhar Kairo.
Kemudian, setelah itu setting berpindah pada suasana pasar yang
menjual barang-barang antik. Di sana divisualisasikan antara Ibnu Battutah
dan penyamun terjadi cekcok karena keputusan Ibnu Battutah yang tetap
memilih jalur Laut Merah sebagai jalan menuju ke Mekah karena baginya
ini merupakan jalur terpendek menuju Mekah padahal penyamun selalu
mengingatkan bahwa ada jalur aman yang dilewati oleh para rombongan
haji melewati Damaskus.4
Tidak menggubris pesan dari penyamun, Ibnu Battutahpun pergi
menunggangi unta menuju Laut Merah dengan tekad dan keyakinan kuat
bisa menemui Mekah melalui jalur yang ia pilih. Namun, sesampainya di
Laut Merah, dengan raut muka yang sangat kecewa dari kejauhan Ibnu
Battutah melihat banyak kapal-kapal laut yang menepi dalam keadaan
yang sangat memprihatinkan. Kapal-kapal tersebut rusak parah akibat
perang yang berlangsung dan menyebabkan lalulintas pelayaran tertunda.
Seketika, Ibnu Battutahpun meminta ampun kepada Allah dan menyesali
perbuatannya yang merasa sombong tidak mau mendengarkan saran orang
lain. Ia meminta kepada-Nya agar bisa tetap sampai ke Mekah. Pada
adegan ini, visualisasi dan narasi dibatasi hanya pada Ibnu Battutah.
4Kota Damaskus merupakan salah satu kota yang dihuni tetua di dunia, selain Al-Fayyum
dan Gaziantep. Populasinya saat ini diperkirakan sekitar 3.67 juta jiwa.
79
Sedangkan, hal lain sebagai pendukung cerita dapat dilihat dari aspek mise
en adegan dan unsur sinematografi.
Tidak sampai beberapa menit terdengar suara unta dibelakangnya.
Tidak disangka oleh Ibnu Battutah ternyata sang penyamun mengikuti
perjalanannya ke Laut Merah. Penyamun tersebut menyarankan Ibnu
Battutah agar melewati jalur yang umum dilewati oleh para kafilah haji,
yakni Damaskus.
Shot berpindah ke Damaskus, di sana divisualisasikan Ibnu
Battutah dan penyamun sedang melakukan percakapan. Penyamun
mengembalikan upah jasa perjalanan kepada Ibnu Battutah dan minta
dibelikan hewan kurban baginya untuk dipersembahkan kepada Allah.
Ibnu Battutah mengajaknya bersama-sama ke Mekah, namun penyamun
menolaknya dan mengatakan suatu saat ia akan kesana Insya Allah.5
Penduduk Damaskus bersikap rendah hati. Orang asing yang memiliki
maksud baik akan mendapatkan perlindungan yang selayaknya dari
penduduk Damaskus. Mereka yang memiliki keterampilan tertentu akan
mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Bagi yang ingin
mencari ilmu atau fokus dalam beribadah, mereka mendapat pelayanan
yang baik.6 Kemudian Ibnu Battutah bersama kafilah haji yang berjumlah
10.000 orang menyusuri perjalanan dengan satu tujuan, Mekah. Di antara
mereka ada yang berprofesi sebagai arsitek, ahli fisika, penyair, dan juga
peternak lebah.
5Percakapan ini muncul pada durasi 25:39.
6Ibnu Battutah, Rihlah Ibnu Battutah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad
Pertengahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 109.
80
Kemudian pada sekuen terakhir, ada satu tempat yang harus
mereka lalui yang dikenal sebagai “Lembah Neraka.” Dalam satu tahun,
lembah mendidih ini telah merenggut ribuan nyawa. Hal itu membuat para
kafilah haji terpaksa melanjutkan perjalanan menuju Madinah tanpa
istirahat. Dalam adegan ini terlihat beberapa orang meninggal dunia akibat
dilanda demam tinggi karena suhu panas yang sangat menyengat melebihi
gurun terkenal Sahara. Selama 40 hari perjalanan di padang pasir,
membuat kondisi tubuh kafilah lemah. Begitu pula dengan Ibnu Battutah,
tubuhnya dilanda demam. Tetapi ia bertekad tidak akan menyerah dan
terus melanjutkan perjalanan walaupun dalam keadaan yang sangat lemah
sekalipun. Tidak lama kemudian terdengar seruan dari kejauhan “Aku
melihat Madinah.” Dari seorang penunjuk jalan yang menunggangi kuda
dengan membawa tongkat dan terdapat bendera putih yang berada tepat
diujung atas tongkat, itu menandakan bahwa suatu cara untuk
menunjukkan kedamaian atau tidak keikutsertaan seseorang dalam
peperangan. Dalam kondisi lemah, mendengar seruan tersebut Ibnu
Battutah merasa seakan ada angin segar yang merasuki sela-sela jiwanya.
Hal itu menuntunnya untuk melanjutkan kembali perjalanan menuju
gerbang Madinah.
Dari paparan narasi di atas, dapat peneliti kaji bahwasannya mitos
yang ingin dibangun di dalam narasi tersebut adalah melalui sosok Ibnu
Battutah. Melalui setting atau latar di mana adegan diambil, melalui narasi
yang digunakan di dalam setiap adegan dan monolog yang dilakukan para
81
pemain. Adapun penjelasan mitos secara lebih detail dapat dilihat pada
tabel konvensi, denotasi dan konotasi.
C. Semiotik dalam Adegan “Perjalanan dari Kairo”
1. Tanda-tanda dan Kode
Di dalam sebuah film, kita pasti banyak ditampilkan tanda-tanda dan kode,
terutama pada sebuah adegan. Tanda-tanda dan kode tersebut secara alami
pasti memiliki makna tertentu. Akan tetapi makna yang akan terbentuk
pastilah berbeda-beda pada setiap kode yang ditampilkan. Tanda dan kode
tersebut merupakan hasil dari representasi dari kita sebagai peneliti. Tidak asal
memberi asumsi dari makna pada kode yang ditampilkan dalam adegan, tapi
sebagai peneliti harus membutuhkan pengetahuan seputar konvensi yang
sudah berlaku sebelumnya dan dalam wilayah-wilayah tertentu.
Pada penelitian kali ini, peneliti mencoba mencari unsur tanda dan kode
pada adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo dengan mengklasifikasikan
tanda-tanda yang memiliki makna lain yang bersifat subjektif dan melekat
pada suatu kata ataupun frase, atau yang disebut sebagai konotasi. Pada
adegan ini hanya dipilih berdasarkan tingkat relevansinya dengan tujuan
penelitian. Adapun denotasi dan konotasi pada adegan utama penelitian ini
adalah sebagai berikut:
82
a. Denotasi dan Konotasi
Tabel 7.4.
Analisis Tanda Denotasi dan konotasi dalam skenario
Tanda Denotasi Tanda Konotasi dan Mitos
Kuda Salah satu hewan peliharaan yang telah memegang peranan
penting dalam pengangkutan orang dan barang selama
ribuan tahun. Dalam berbagai kebudayaan dianggap sebagai
simbol kejantanan, kebebasan, kecerdasan, dan kekuatan.
Unta Mamalia yang sangat kuat dan tahan terhadap kondisi
lingkungan gurun pasir yang paling ganas sekalipun.
Hitam Warna yang identik dengan hal yang negatif yang dapat
menimbulkan persepsi orang berbeda-beda.
Putih Menunjukkan kedamaian, spiritualitas, kesederhanaan dan
kebersihan hati.
Mimpi Pengalaman alam bawah sadar atau gambaran aktifitas
kejadian yang terjadi pada saat seseorang tidur.
Shalat berjamaah Aktifitas di mana manusia bersama-sama meraih derajat
yang lebih tinggi di sisi Allah.
Padang Pasir Suatu daerah yang hanya menerima curah hujan yang sedikit
dan kelembapan udara yang sangat rendah.
Sorban Kesalehan yang disertai intensitas ibadah yang tinggi serta
keistimewaan dalam pribadi.
Haji Ajang berkumpulnya umat Islam dalam jumlah besar pada
waktu yang sama, di tempat yang sama, untuk melakukan
hal yang sama, dengan pakaian yang sama, dengan tujuan
yang sama, dan dengan seruan yang sama pula, yakni:
“Labbaikallahumma labbaik; labbaika la syarika laka
labbaik; innal-hamda wan-ni‟mata laka wal-mulka la
syarika lak.” Yang semuanya itu bermuara semata-mata
mengharapkan ridha Allah.
Perang Sebuah aksi fisik antara dua atau lebih kelompok untuk
83
melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.
Kafilah Rombongan haji berkendaraan unta di padang pasir.
Upah Imbalan yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau
sebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan.
Demam Panas badan atau suhu tubuh yang lebih tinggi dari biasanya.
Ka’bah Rumah suci sebagai pusat bagi manusia.
Kain Ihram Simbol bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dengan
status yang sama yakni sebagai khalifah di bumi. Maka
manusia dibebaskan dari status-status yang bersifat duniawi.
Berkurban Manifestasi dari rasa syukur seorang mukmin atas
pemberian rahmat dari Allah.
Bercukur atau tahallul Menanggalkan kesombongan yang menjadi seseorang tinggi
hati dari orang lain.
Islam Iman keagamaan muslim yang percaya bahwa hanya ada
satu Tuhan, yaitu Allah. Allah lah yang menurunkan wahyu
Al-Qur’an kepada Muhammad.
Mekah Situs paling suci dalam Islam dan merupakan tujuan ibadah
haji.
b. Ikon, Indeks dan Simbol dalam Adegan “Perjalanan Ibnu
Battutah dari Kairo Menuju mekah.”
Tabel 8.4.
Ikon Mekah merupakan kota yang identik dengan sejarah Nabi Ibrahim yang
membangun tempat ibadah pertama untuk umat Islam. Prosesi haji yang
dilakukan Ibnu Battutah merupakan bentuk rasa cinta kepada Allah dan
mengharapka ridha dari-Nya. Kain ihram yang melambangkan kesetaraan
manusia. Kuda dan unta sebagai kendaraan perjalanan Ibnu Battutah.
Serta padang pasir yang menjadi saksi bisu perjuangan Ibnu Battutah
menuju Mekah.
Indeks Perkataan, ucapan yang memiliki unsur kausalitas terhadap sebuah
peristiwa. Di dalam adegan ini khususnya telah terangkum dalam sebuah
teks dalam percakapan maupun narasi. Terdapat beberapa indeks yang
muncul dan cukup dominan pada adegan tersebut. Yang pertama terletak
pada sikap yang tegas dari Ibnu Battutah yang senantiasa
mempertahankan keputusannya untuk melewati jalur Laut Merah,
84
padahal sudah diperingatkan bahwa di sana sedang terjadi perang.
Melihat keadaan yang tidak memungkinkan untuk melewati jalur
tersebut, kemudian ia mengucapkan : “Ampuni kebodohan hamba.
Ampuni kesombongan hamba. Izinkan hamba mencapai Mekah dan
berdiri di atas Jabal Rahmah (Gunung Arafat).”7 Setelah memanjatkan
doa, terdengar suara unta di belakangnya. Ternyata penyamun mengikuti
perjalanan Ibnu Battutah, dan kemudian mengajaknya untuk melewati
rute Damaskus. Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan
menuju Damaskus.
Simbol Tekad kuat dan keteguhan hati Ibnu Battutah melaksanakan ibadah haji
dan menentukan jalur perjalanan sendiri yang diilhami dari mimpinya.
Bergabungnya Ibnu Battutah dengan Kafilah haji. sikap tenang dan sabar
sebagai simbol keteguhan. Serta Lembah Neraka, lembah ini setiap
tahunnya merenggut ribuan nyawa, mendesak kafilah untuk melanjutkan
perjalanan tanpa beristirahat.
2. Tabulasi Analisis Elemen Adegan
Sebelum masuk kepada penelitian elemen film, peneliti mencoba
memunculkan beberapa potongan shot yang berhubungan langsung dengan
pokok permasalahan dalam penelitian ini, berikut adalah visualisasinya:
Tabel 9.4.
Visualisasi shot dari Adegan “Perjalanan dari Kairo”
Visualisasi Verbal dan Non Verbal
Visualisasi Verbal dan Non verbal Interpretasi Simbolik
7Berada pada durasi 23:55.
85
19:46
21:38
22:56
23:39
86
23:57
26:00
27:34
28:16
87
28:51
29:15
30:15
32:00
88
33:32
39:19
39:48
40:47
3. Analisis Narasi dan Simbolik Antara Adegan Utama dan Pendukung
Pada Tabel 9.4.
89
Tabel di atas menunjukkan serangkaian adegan dan narasi yang
masing-masing saling berhubungan. Peneliti akan menganalisis dari kacamata
analisis film Cristian Metz. Banyak simbol yang mengandung makna tentang
sebuah perjuangan Jihad fi Sabilillah pada perjalanan panjang Ibnu Battutah
dari Kairo menuju Mekah.
Pada kolom pertama di baris pertama, potongan adegan di atas
memperlihatkan Ibnu Battutah dan penyamun sedang melakukan perjalanan.
Adegan ini menunjukkan perjuangan perjalanan rohani meninggalkan tanah
kelahiran menuju tanah suci Mekah. Sutradara cukup apik memvisualisasikan
sebuah perjalanan yang tampak seperti alami. Adegan ini diambil
menggunakan jarak kamera long shot yang bertujuan untuk menampilkan
kondisi sekitar. Potongan adegan kolom kedua baris pertama,
memvisualisasikan perjalanan menyebrangi sungai Nil menggunakan perahu
bersama dengan penyamun. Adegan ini menunjukkan rasa bahagia setelah
sekian lama berada di gurun pasir sehingga membuat perjalanan ini terasa
nikmat. Ibnu Battutah menyampaikan rasa syukurnya dalam bentuk sajak
sebagai berikut:
“Setelah beberapa bulan di padang gurun, kami akhirnya sampai di
sungai Nil. Melebihi dalam manisnya rasa dan khazanah yang
terbentang di dasarnya. Ibu dari semua kota tiada tara dalam
keindahan dan karunia sebuah keajaiban pengetahuan dan
pengalaman: Kairo.”
Adegan selanjutnya pada scane pendukung kedua kolom kedua.
sesampainya di Kairo Ibnu Battutah langsung menemui Ibnu Muzzafar dan
menceritakan mimpi yang dialaminya. Bagi Ibnu Battutah, mimpinya seolah
memberi petunjuk kepadanya untuk sesegera mungkin melakukan ibadah haji
90
ke Mekah walaupun jalur yang akan dilaluinya merupakan jalur yang paling
jarang ditempuh oleh para kafilah haji. Berikut petikan yang dikatakan Ibnu
Muzzafar:
“Kau harus mencapai tujuanmu jika kau ingin mengenali hikmah
orang-orang di sekitarmu. Nabi Muhammad saw, bersabda:
„Tuntutlah ilmu, sekalipun kau sampai ke negeri Cina.”8
Negeri Cina atau Tiongkok adalah negeri mahakarya tradisi, seni, dan
budaya. Berkembang jauh sebelum kebudayaan Barat merambah dan
mendominasi budaya masyarakat masa kini, negeri Cina telah lebih dulu
dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Negeri ini melahirkan berbagai
penemuan, mulai dari pengolahan masakan, pakaian, kertas, pengetahuan
agama, budaya, dan filsafat. Keunggulanya mendapat pengakuan dari berbagai
penjuru dunia, menembus dan melintasi batas-batas geografis, kultural dan
agama. Untuk itu nabi Muhammad pernah menyatakan kekagumannya dengan
mengatakan “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.”9 Demikianlah
penjelasan mengenai hadist tersebut. Hadist tersebut kemudian menginspirasi
Ibnu Battutah untuk meneruskan perjalanannya menjelajahi negeri-negeri
Muslim lainnya.
Adegan pendukung selanjutnya adalah Ibnu Battutah sedang
melakukan percakapan dengan penyamun. Adegan ini memperlihatkan upaya
penyamun mengingatkan Ibnu Battutah agar tidak melewati Laut merah,
karena pada saat itu sedang terjadi perang di sana. Namun Ibnu Battutah teguh
pada pendirian memilih untuk melewati jalurnya dan melanjutkan perjalanan
seorang diri. Dalam percakapannya ia mengatakan:
8Percakapan dapat dilihat pada durasi 20:04 sampai 12:34.
9Rasti Suryadani, Anekdot Cina, (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2008), h. v.
91
“Haji tak bisa menunggu! Aku akan menyebrangi Laut Merah! Aku
sudah membuat keputusan.”
Adegan selanjutnya memvisualisasikan keadaan di Laut Merah. Benar
saja apa yang dikatakan oleh penyamun, sedang terjadi perang di Laut Merah.
Sesampainya di sana, dengan raut muka yang sangat kecewa dari kejauhan
Ibnu Battutah melihat banyak kapal-kapal laut yang menepi dalam keadaan
yang sangat memprihatinkan. Kapal-kapal tersebut rusak parah akibat perang
yang berlangsung dan menyebabkan lalulintas pelayaran tertunda. Seketika,
Ibnu Battutahpun meminta ampun kepada Allah dan menyesali perbuatannya
yang merasa sombong tidak mau mendengarkan saran orang lain. Ia kemudian
meminta kepada-Nya agar bisa tetap sampai ke Mekah. Hal ini menandakan
bahwa Allah menguji ketetapan hati orang beriman dengan banyak cara, di
antaranya memberi mereka permasalahan pada waktu-waktu tertentu atau
membuat mereka mengalami penderitaan. Diterangkan pula dalam surat Al-
Baqarah [02]: 155 yang berbunyi:
“Dan sesungguhnya kami akan mengujimu dengan suatu cobaan, seperti
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Namun
gembiralah orang-orang yang sabar.”
Adegan pendukung selanjutnya, memperlihatkan Ibnu Battutah sedang
memeluk penyamun. Secara denotasi, adegan ini menandakan sebuah
perwujudan dari kepedulian tulus dan sederhana antar sahabat.
92
Adegan selanjutnya berpindah setting ke padang gurun,
menampilkan Ibnu Battutah yang sedang memulai perjalanan dari Damaskus
bersama kafilah haji. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai arsitek,
ahli fisika, penyair, dan juga peternak lebah. Adegan ini menunjukkan bahwa
dalam memenuhi panggilan Allah, status sosial bukan lagi menjadi
penghalang dalam perjalanan.
Adegan selanjutnya memperlihatkan keadaan perjalanan dalam cuaca
ekstrim. Ada satu tempat yang harus dilalui yang dikenal sebagai “Lembah
Neraka.” Dalam satu tahun, lembah mendidih ini telah merenggut ribuan
nyawa. Karena keadanaan wilayah tersebut yang tidak memungkinkan untuk
beristirahat, mendesak para kafilah untuk menuju Madinah tanpa beristirahat.
Karena alasan itu, di sana Ibnu Battutah kelelahan dan mengalami demam.
Walaupun demikian, ia tetap tidak menyerah dan melanjutkan perjalananya
itu. Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai sebuah perjuangan Jihad fi
Sabilillah betapa perjalanan ke Mekah sangatlah jauh melewati padang pasir
tandus yang luar biasa panasnya.
Adegan selanjutnya memperlihatkan di mana Ibnu Battutah dan para
kafilah sedang melaksanakan shalat berjamaah. Adegan ini memberi makna
bahwa shalat merupakan lambang kekuatan dan kesatuan umat, serta
merupakan simbol terpenting dari perilaku dalam menjaga keberadaan dan
keharmonisan ukhuwwah islamiyah.
Adegan selanjutnya berpindah setting ke Masjidil Haram. Adegan ini
memperlihatkan mimik Ibnu Battutah yang terkesima melihat apa yang
diimpikannya berada di depan mata. Impian yang telah lama didoakan selama
93
hidupnya, Ka’bah yang suci. Mempertontonkan keadaan Masjidil Haram yang
dipenuhi sesak oleh para jamaah haji yang sedang melakukan tawaf (bergerak
mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali), jamaah tersebut berasal dari berbagai
penjuru yang berjumlah ribuan bahkan jutaan manusia dalam satu tempat. Di
mana tawaf bermakna bahwa gerak hidup setiap manusia bukanlah sekedar
untuk hidup itu sendiri, melainkan segala gerak hidup itu terjadi dan menuju
kepada Allah. Allah lah sebagai pusat pusaran gerak manusia.
Adegan selanjutnya memperlihatkan Ibnu Battutah sedang membeli
sekawanan domba untuk dikurbankan kepada orang miskin. Hal itu karena ia
memngingat jasa penyamun yang membimbingnya dalam perjalanan.
Adegan selanjutnya mencukur rambut atau tahallul. Hal ini
menandakan bahwasannya keluar dari keadaan ihram karena telah selesai
melaksanakan amalan haji. Tahallul ditandai dengan mencukur rambut,
minimal 3 helai. Hal ini bermakna, menanggalkan kesombongan yang menjadi
seseorang tinggi hati dari orang lain.
Adegan selanjutnya memperlihatkan Ibnu Battutah bersama dengan
para kafilah sedang dalam perjalanan meninggalkan Mekah. Namun, bukan
Tangier tujuan selanjutnya setelah berhaji. Ia teringat oleh kata-kata Ibnu
Muzzafar yang pernah mengatakan “Tuntutlah ilmu sekalipun kau sampai ke
negeri Cina.” Kata-kata itulah yang kemudian menginspirasi Ibnu Battutah
untuk terus mengemban ilmu hingga ke lebih dari 40 negara.
Tabel 10.4.
Analisis Adegan Utama Melalui Tabulasi Analisis Film Stave Campsall
No Elemen Temuan Analisis
1. Mise En Scene What:
Ibnu Battutah merupakan salah satu tokoh asal suku Berber. Suku berber
94
merupakan suku penduduk asli yang mendiami wilayah Afrika Utara. Dalam
film ini, kostum yang dikenakan oleh Ibnu Battutah merupakan pakaian khas
Maroko, yakni burnoose atau selham. Jenis pakaian ini, merupakan pakaian
luar sebagai pelngkap penampilan kaum laki-laki yang bertujuan sebagai
pelindung dingin. Kostum yang dikenakan oleh Ibnu Battutah seperti jubah
dan sorban yang dikenakannya itu, serta jenggot yang merupakan
representasi dari simbol keagungan seorang manusia pemberani, kuat, hebat,
dan memiliki solidaritas tinggi.
Penyamun yang idealnya menjadi sosok yang jahat dan kejam, dalam
film ini diperankan berbeda. Ia diperankan sebagai sosok heroik yang
menemani Ibnu Battutah dalam perjalanan. Padang pasir yang tandus, kuda
dan unta yang menjadi kendaraan saat berada di padang pasir. Dan sorban
yang digunakan untuk menutup setengah wajahnya dari hidung sampai dagu,
bertujuan untuk melindungi wajah dari panas pasir gurun yang bertebaran.
Perang di Laut Merah terjadi akibat perang Byzantium pada waktu itu,
menyebabkan lalu lintas penyebrangan tidak berjalan.
What Effect:
Effect yang muncul dalam adegan ini yaitu shot on location yang
menggunakan lokasi langsung seperti padang pasir, sungai Nil, Masjidil
Haram, dan lain-lain. Penggunaan lokasi ini bertujuan untuk memunculkan
aspek realism dalam film. Cahaya yang dihasilkan pada adegan ini
menggunakan cahaya natural yang berasal dari matahari.
What Meaning:
Sistem makna yang ditampilkan adalah melalui pendekatan denotasi dan
konotasi. Denotasi yang muncul dalam adegan ini yaitu, hitam, putih, haji,
shalat berjamaah, perang, kuda, bercukur. Adapun penjelasan makna
konotasi dan denotasi pada adegan sudah dijelaskan di atas.
How:
Dalam membangun aspek mise en scene yang relevan dengan narasi
film pada adegan ini sutradara berfokus pada aspek setting dan pemain, di
mana melalui property yang dimunculkan dalam adegan ini dapat
membangun mood penonton.
Purpose:
Tujuan sutradara menampilkan adegan ini nampaknya adalah untuk
memvisualisasikan sosok Ibnu Battutah dengan berbagai atributnya,
membangun karakter pemain, dan yang terrpenting adalah untuk
merepresentasikan sejarah tokoh terkenal pada masanya.
2. Editing Unsur editing yang digunakan adalah cut, di mana cut ini merupakan
transisi dari shot satu ke shot lainnya secara langsung yang menimbulkan
editing kontinu pada suatu rangkaian adegan dialog atau aksi pada
umumnya. Ada beberapa aspek yang diperhatikan peneliti dalam melakukan
teknik editing, yaitu aspek kontinuitas grafik, aspek ritmik, aspek spasial dan
aspek temporal. Namun, pada scene ini menggunakan tempo editing yang
cepat dengan durasi shot yang hanya beberapa detik.
3. Shot Types Dalam adegan ini terdapat beberapa shot, di antaranya: Pertama,
medium shot. Medium shot digunakan ketika Ibnu Battutah melakukan
percakapan dengan Ibnu Muzzafar. Di tempat lain diperlihatkan pula ketika
Ibnu Battutah dan penyamun berada di Damaskus. Kedua adalah long shot.
95
Long shot digunakan pada saat memperlihatkan keadaan Laut Merah pasca
perang, selain itu memperlihatkan adegan di mana Ibnu Battutah sedang
melakukan perjalanan bersama penyamun.
Ketiga adalah cloce up. Close up digunakan ketika Ibnu Battutah sampai
di Laut merah dan melihat keadaan porak poranda di hadapannya. Adegan
ini memperlihatkan mimik kekecewaan Ibnu Battutah. Kemudian Exreme
long shot. Extreme long shot digunakan pada saat prosesi haji dilaksanakan
secara menyeluruh, selain itu pada saat selesainya berhaji memperlihatkan
Ibnu Battutah dan para kafilah melanjutkan perjalanan. Dan kemudian
exreme long shot juga digunakan untuk memperlihatkan medan perjalanan
yang ditempuh Ibnu Battutah di Padang Gurun.
4. Camera Angle Sudut kamera.
Tipe sudut.
Tipe sudut kamera yang tampak pada adegan ini adalah tipe high angle, di
mana objek diperlihatkan tampak lebih kecil daripada setting. Hal ini
memunculkan kesan bahwa seseorang terlihat rendah, kecil, kehilangan
dominasi, lemah, dan terintimidasi.
Kemiringan.
Dalam adegan ini, teknik kemiringan kamera tidak digunakan. Hal ini bisa
menimbulkan makna bahwa narasi dan kisah dalam adegan ini masih stabil.
Ketinggian.
Dalam adegan ini, ketinggian kamera digunakan oleh sutradara untuk
mempelihatkan medan perjalanan yang rumit Ibnu Battutah dan para kafilah
haji pada saat di padang gurun.
5. Camera
Movement
Pergerakan kamera pada adegan ini didominasi oleh teknik panning dan
tilting. Teknik penning digunakan dengan cara menggeser kamera ke kanan
ataupun ke kiri, dengan maksud melihat objek lain yang berada di sisi kanan
atau sisi kiri objek. Sedangkan teknik tilting digunakan dengan cara
menggerakan kamera secara vertikal, gerakannya mendongak ke atas (tilt up)
atau menunduk ke bawah (tilt down). Teknik penning tampak ketika prosesi
haji berlangsug, yakni ketika para jamaah sedang melakukan tawaf.
Sedangkan teknik tilting tampak ketika Ibnu Battutah dalam perjalanan dari
Damaskus bersama para kafilah haji.
6. Lighting Ada beberapa aspek yang harus dilihat dalam menjelaskan lighting, di
antaranya:
1. Kualitas
Kualitas cahaya yang ditampilkan pada adegan ini adalah soft light
atau dengan kata lain disebut sebagai cahaya lembut yang cenderung
menyebarkan cahaya sehingga menghasilkan bayangan yang tipis.
2. Arah Pencahayaan
Arah pencahayaan pada adegan ini adalah frontal lighting, di mana
sutradara ingin menghapus bayangan dan menegaskan bentuk sebuah
objek atau wajah karakter dari objek tampak jelas.
3. Sumber Cahaya
Sumber cahaya dalam adegan ini menggunakan key light, dimana
sumber cahaya utama dan paling kuat menghasilkan cahaya. Adapun
cahaya utama yang digunakan dalam adegan ini adalah cahaya
matahari.
96
7. Dieges and
Sound
Suara yang digunakan dalam adegan ini adalah tipe suara dieges sound.
Tipe ini memberi pemahaman bahwa sumber suara berasal langsung dari
objeknya. Selain itu terdapat tipe suara non dieges sound, yaitu suara musik
yang mengilustrasikan suatu kondisi semangat, di mana terdapat dalam
adegan ketika Ibnu Battutah dan kafilah memulai perjalanan dari Damaskus.
8. Visual Effect /
SFX
Tidak terdapat visual effek dalam film ini. Hal ini menandakan bahwa
film ini merupakan jenis film yang tidak banyak diintervensi unsur teknologi
komputer.
9. Narrative Secara singkat jenis narasi ini menggunakan pola narasi linier, di mana
waktu berjalan sesuai dengan urutan aksi peristiwa tanpa adanya interupsi
waktu yang signifikan.
10. Genre Film ini bergenre dramatic adventure atau dokumenter. Sutradara ingin
menampilkan perjalanan dramatis seorang tokoh yang sudah melakukan
sebuah perjalanan besar dan sudah cukup dikenal oleh masyarakat luas.
11. Iconoghraphy Ikonografi merupakan sebuah system yang mendukung genre.
Ikonografi dalam film ini di antaranya adalah padang pasir, Damaskus,
mekah, kain ihram, sorban, pakaian, unta, kuda, dan kafilah haji. hal ini yang
mendukung perjuangan Ibnu Battutah dalam perjalanannya menuju Mekah.
12. The Star System Sutradara memilih bintang film Chems Eddine Zinoun sebagai pemeran
Ibnu Battutah karena dinilai ia memiliki karakter kuat dalam memerankan
tokoh tersebut.
13. Realism Realitas yang dibangun dalam adegan ini cukup apik dan relevan dengan
kondisi sosial pada waktu itu. Dengan penggunaan layar IMAX,
menciptakan mood efektif bagi penonton karena dikemas dengan unsur mise
en scene yang membuat perjalanan berbahaya seperti melintasi gurun sahara,
pegunungan, dan sungai nil, serta kafilah haji yang jumlahnya ribuan seolah
menjadi nyata.
4. Konvensi
Penjelasan mengenai konvensi, sebetulnya sudah tertera dalam elemen di
bagian akhir. Namun, untuk mempermudah penelitian, berikut unsur konvensi
yang lebih detail.
Tabel 11.4.
Tanda-tanda Simbolik Pemain Konvensi
Cara mempertahankan
argument.
Ibnu Battutah Bersikap dan bertutur baiksudah
dipahami semua orang sebagai suatu
97
budaya positif yang membawa seseorang
bisa diangkat derajatnya di mata manusia
dan di mata Tuhan.
Berserah diri kepada Allah
ketika mengalami kesusahan.
Ibnu Battutah Menyandarkan diri dan takdir dengan
sungguh-sungguh kepada Allah
merupakan ciri khusus yang dimiliki
orang mukmin. Orang mukmin, yakni
manusia yang memiliki sisi keimanan
yang mendalam serta mampu melihat
kekuasaan Allah. Karena Allah
menciptakan semua peristiwa dengan
tujuan ilahiyah.
Cara berterima kasih kepada
orang lain.
Ibnu Battutah Manifestasi terkait hubungannya dengan
sesama manusia. Kebaikan seseorang
dalam wujud rasa terima kasihnya kepada
sesama merupakan ukuran tingkat
syukurnya seorang hamba.
Cara bersyukur. Ibnu Battutah Anggota tubuh melaksanakan ketaatan
kepada Allah. Dalam hal ini anggota
badan dijadikan sebagai sarana untuk taat
kepada Allah dan mencegah dari maksiat
kepada-nya. Ibnu Battutah justru
merepresentasikan rasa syukurnya
dengan melaksanakan ibadah haji ke
tanah suci Mekah dan berkurban di sana.
Cara berbusana. Ibnu Battutah Dalam hal ini Ibnu Battutah ingin
menampilkan kebudayaan khas dari
Maroko dengan tampilan yang ia
kenakan. Busana yang dikenakannya
merepresentasikan sosok seorang
manusia pemberani, kuat, dan memiliki
solidaritas yang tinggi.
Cara melukiskan perasaan. Ibnu Battutah Dalam hal ini, Ibnu Battutah
mengutarakan isi hatinya akan
kekaguman sebuah wilayah dan
keajaiban Tuhan dengan sajak yang
indah.
D. Interpretasi
Film Journey to Mecca merupakan film yang menceritakan tentang
kisah luar biasa dari sosok Ibnu Battutah. Film yang sarat akan pesan dan
98
filosofi ini merupakan film bergenre dokumenter/dramatic adventure. Bruce
Neibaur selaku sutradara film, secara khusus membuat film ini dalam format
IMAX yaitu layar yang berukuran 21,5 meter x 29,3 meter. Baginya, hal ini
merupakan sebuah visusalisasi pengakuan dunia kepada sosok Ibnu Battutah
atas prestasi perjalannya dengan menempuh jarak 73.000 mil pada tahun 1325
M dengan melintasi 44 negara (menurut peta dunia pada saat ini).
Pesan yang coba disampaikan dalam film ini adalah hikmah dari
sebuah pengorbanan dan perjuangan. Pengorbanan dan perjuangan yang
dimaksud adalah pengorbanan harta, waktu, perjuangan fisik, keikhlasan hati,
kekhusuan beribadah, kesabaran terhadap diri sendiri, sabar kepada sesama,
dan tentunya yang paling utama yaitu sabar kepada Allah SWT.
Jika dilihat dari kontennya, film ini mencoba merepresentasikan
sebuah bentuk jihad yang dilakukan setulus hati dan tanpa paksaan dari pihak
manapun. Ini mengindikasikan bahwa sebaiknya dalam melaksanakan
perintah Allah harus dengan hati yang ikhlas walaupun banyak kendala yang
dihadapi dalam menjalankannya.
Ibnu Battutah divisualisasikan sebagai seseorang yang konsisten dan
pantang menyerah. Penonton seolah diajak melintasi padang pasir yang tandus
dan panas menyilaukan. Menyaksikan peribadatan menakjubkan saat tiga juta
manusia dari seluruh dunia setiap tahun mengelilingi Hajar Aswad. Film ini
khususnya, telah membangun sebuah dimensi yang berbeda dalam kegiatan
jihad fi sabilillah. Dominasi tokoh dalam film ini, memberikan sebuah stimuli
agar sebaiknya berjuang di jalan Allah harus sepenuh hati melibatkan seluruh
jiwa raga.
99
Ibnu Battutah adalah pemuda Maroko yang ingin menunaikan ibadah
haji karena mimpinya. Kedua orang tuanya sangat mengkhawatirkan dan
berusaha mencegahnya mengingat usia Ibnu Battutah masih sangat muda
untuk melakukan perjalanan seorang diri. Namun, karena keinginan yang
sudah tidak terbendung, ia tetap bersikukuh untuk melaksanakan perjalanan ke
Mekah pada saat itu. Ayahnya memberikan seekor kuda, sedangkan ibunya
memberikan pakaian ihram. Pakaian ini yang kelak menyelamatkannya dari
sergapan para bandit di gurun.
Pada adegan 2, terjadi fenomena perampokan saat Ibnu Battutah
tengah melakukan perjalanan disebuah perbukitan gurun. Di sana ia dikepung
oleh kawanan bandit yang mencoba menghadangnya untuk merampas
perbekalan yang dibawa oleh Ibnu Battutah. Kemudian, entah mengapa ketika
Ibnu Battutah hampir dibunuh oleh para bandit, tiba-tiba ketua tokoh nomaden
yang bermukim di gurun tersebut datang dan menghentikan kejadian itu. Hal
ini mengindikasikan bahwa seperti yang dikatakan dalam Al-qur’an janji
Tuhan tidak akan ingkar kepada hambanya yang sepenuh hati berjuang di
jalan Allah. Terbukuti, Tuhan masih melindungi Ibnu Battutah dari bahaya
yang mengancam dengan cara mendatangkan penyamun untuk melindunginya
dari sergapan para bandit gurun. Selain itu terdapat pula adegan pada saat di
mana Ibnu Battutah merasakan kesulitan, sang penyamun selalu hadir untuk
membantu dan menuntunnya dalam perjalanan.
Film yang diproduksi Cosmic Picture ini banyak menceritakan
pengalaman Ibnu Battutah pada saat ia berinteraksi dengan peradaban bangsa
lain, seperti pada saat ia melakukan perjalanan dari Damaskus bersama para
100
kafilah yang notabene berasal dari berbagai suku dan negara berkumpul di
sana untuk melakukan perjalanan bersama-sama. Selain itu, film ini mampu
menyajikan gambaran perjalanan haji yang sangat menuntut kesiapan mental
untuk menghadapi segala rintangan yang melelahkan secara fisik maupun
mental.
Sineas menampilkan adegan-adegan tertentu sebagai pesan simbolik.
Pada adegan khusus perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah,
pesan-pesan tersebut dibangun berdasarkan narasi dan bahasa skenario.
Sebagaimana pemahaman yang dilontarkan Metz, bahwasannya bahasa film
berbeda dengan bahasa tutur. Bahasa film yang dimaksud adalah serangkaian
aspek dan komponen yang mendukung terjadinya proses produksi tanda di
dalam film tersebut.
Pada adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah,
sineas sudah cukup jeli melihat simbol-simbol dan kode-kode itu. Terbukti
dengan pemilihan lokasi setting, situasi psikis, properti, dan hal lain yang
terlibat di dalam bahasa film, terangkum dalam sebuah aksi drama yang linier
dan tidak membingungkan, sehingga keberlangsungan cerita tersusun rapi,
membuatnya menjadi sebuah kemasan yang saling berkaitan antara ikon,
indeks, simbol.
Hal ini dapat dilihat ketika Ibnu Battutah sedang melakukan perjalanan
panjang dari Damaskus bersama para kafilah haji. ini menunjukkan, kondisi
yang mendukung dan bangunan setting yang dapat mendukung mood
penonton. Jubah, unta, sorban, gurun pasir, kafilah haji sebagai pendukung
ikonografi yang cukup relevan.
101
Di sisi lain, tokoh antagonis dalam film ini tidak banyak dimunculkan.
Hanya sekali, ketika Ibnu Battutah disergap oleh para bandit di gurun pasir
dan mencuri barang bawaannya. Dalam film ini, menurut peneliti, tantangan
terbesar yang menjadi hambatan perjalanan Ibnu Battutah adalah keadaan
alam yang ekstrim di mana banyak spot yang menunjukkan cuaca panas yang
teramat terik. Unsur sinematografinya sangat natural, sehingga tidak terkesan
dibuat-buat.
102
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan
dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sign dan Code (tanda-tanda dan kode) yang terdapat pada perjuangan jihad
fi sabilillah adalah tanda-tanda verbal maupun non verbal di dalam adegan
perjalanan ke Mekah yang tervisualisasi dalam pertengahan cerita.
Pemilihan sign dan code berfokus pada adegan ketika perjalanan yang
ditempuh Ibnu Battutah dari Kairo menuju Mekah. Melalui kajian
semiotika, peneliti menemukan kurang lebih 19 tanda dan kode yang
signifikan terhadap tujuan penelitian dalam adegan perjalanan dari Kairo
menuju Mekah yang dirangkum dalam tebel denotasi dan konotasi.
2. Elemen yang terdapat dalam perjuangan jihad fi sabilillah terdapat 13
komponen penting dalam penelitian ini. Pertama, aspek mis en scene yang
menjelaskan makna melalui kostum, tata rias, setting, dan pencahayaan
yang ditampilkan di depan kamera yang berfungsi sebagai penunjuk status
sosial, citra dan penunjuk ruang dan waktu. Selanjutnya pemaknaan
melalui editing dapat dilihat dari bagaimana pengemasan berbagai shot
dalam sebuah adegan. Kemudian shot types yang menampilkan makna
melalui jarak dan sudut kamera, ketinggian dan kemiringan kamera, serta
camera angle, aspek ini menanmkan makna melalui berbagai sudut
kemera secara khusus.
Selain itu, ada pula camera movement yang bertujuan menghadirkan
sebuah pesan melalui gerakan kamera secara dinamis. Lighting
103
memberikan makna tertentu dalam setiap adegan pemain film dan juga
mood dan efek tertentu. Diges and sound menghidupkan makna melalui
suara-suara tertentu. Efek visual, memberikan makna seakan terlihat nyata.
Narrative bekerja dalam scenario film. Genre pada film ini adalah
dramatic adventure, karena film ini menceritakan sebuah perjalanan yang
dramatis dan ikonografinya memiliki kesamaan yang sangat dekat dengan
genre. The star system menyesuaikan pemeran dengan cerita film. Dan
yang terakhir realism, komponen ini menampilkan situasi yang terlihat
realistis.
3. Convention (konvensi) dalam film ini bisa dilihat sebagaimana gambaran
suasana sebuah perjalanan ke Mekah pada abad ke 14. Perampokan dan
hambatan hambatan yang dihadapi dalam perjalanan setidaknya dapat
memberikan sebuah gambaran kecil kepada penonton.
B. Saran
Journey to Mecca, merupakan film yang memiliki plot cerita yang
berusaha menampilkan sebuah perjuangan keras menuju tanah suci Mekah
seorang Ibnu Battutah. Namun, setiap kejadian atau hambatan yang
ditampilkan dalam film ini terlalu singkat, sehingga perjalanan yang
membahayakan itu terkesan wajar-wajar saja.
Film ini ada baiknya diputar juga di bioskop-bioskop pada umumnya,
karena dapat menjangkau segmentasi kalangan manapun yang ingin menonton
film ini. Di Indonesia khususnya, layar IMAX pada saat itu hanya terdapat di
TMII, sehingga sulit terjangkau untuk kalangan yang berada di luar Jakarta.
104
DAFTAR PUSTAKA
Al-Karadhawi, Yusuf. 100 Tanya-Jawab Haji dan Umrah. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2013.
Al-Maududi, Al-Imam Abu al-A‟la, dkk. Jihad Bukan Konfrontasi: meluruskan
Makna Jihad Islam dalam Realitas Kehidupan Masyarakat Modern.
Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001.
Arsyad, Azhar. Media Pengajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009.
Baran, Stanley J. Pengantar Komunikasi Massa jilid 1 Edisi 5: Melek Media dan
Budaya. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.
Battutah, Muhammad bin Abdullah. Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan
Keliling Dunia di Abad Pertengahan. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta, 2009.
Campsall, Stave. – 27/06/2002 (Rev. 17/12/2005; 14:18:24) Media – GCSE Film
Analysis Guide (3) – SJC.
Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotik Media. Yogyakarta: Jalasutra,
2010.
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Djaelani, Abdul Zadir. Jihadd fi Sabilillah dan tantangan-tantangannya. Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1995.
E Dunn, Ross. Petualangan Ibnu Battutah Seorang Musafir Muslim Abad ke-14.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Effendi, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2007.
Fasha, Ania Febriani. “Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta
Mendukung,” Skripsi S1. Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2013.
Imanjaya, Ekky. Why Not: Remaja Doyan Nonton. Bandung: PT Mizan Bunaya
Kreativa, 2004.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
105
M.Pick, Zuzana. Cinema As Sign and Languange, Christian Metz. Languange and
Cinema, translated by Donna Jean Umiker-Sebeok, Mouton: Thee Hague
Paris, 1974.
McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1991.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara,
2008.
Peransi, D. A. Film/Media/Seni. Jakarta: FFTV IKJ Press, 2005.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.
Stokes, Jane. How To Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk
Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. Yogyakarta:
Bentang, 2006.
Suryadani, Rasti. Anekdot Cina. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2008.
Susanto, Eko Harry. Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika
Sosial Ekonomi Politik. Jakarta: Mitra Wacana Media penerbit, 2010.
Taslim, Uray Noviandy. “Semiotika Perjuangan „Said Nursi‟ Menulis Kitab
Risalah Nur dalam Film Hur Adam,” Skripsi S1. Jakarta: Perpustakaan
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012.
Thohir Luth, M. Natsir. Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta, Gema Insani Press,
1999.
Thwaites, Tony. Introducing Cultural and Media Studies; sebuah Pendekatan
Semiotik. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008.
Trianton,Teguh. Film Sebagai Media Belajar. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
Ulhaq, Muhammad Dhiyaa. “Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza,”
Skripsi S1. Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman, Pasal 1.
106
Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: kencana, 2008.
Wibowo, Indiawan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011.
Website
http://cakrawala-senja.blogspot.com/2009/05/journey-to-mecca.html
http://indonesiaindonesia.com/f/90467-ibnu-haitham-penemu-kamera-obscura/
http://jurnalfootage.net/v4/artikel/peranan-teori-filem-di-dalam-ilmu-filem,
http://moviespictures.org/movie/Journey_to_Mecca_(2009)
http://wonders4u.wordpress.com/fantastic-world/gurun-sahara-afrika/
http://www.abufida.com/2012/10/journey-to-makkah.html
Lampiran 1: Cover DVD Film Journey to Mecca
Lampiran 2: Rihlah Ibnu Battutah