Seminar OS
-
Upload
mohdmasri1 -
Category
Documents
-
view
190 -
download
0
Transcript of Seminar OS
Australia Dental Journal Obat Tambahan 2005; 50:4.Infeksi Odontogenik BeratIC Uluibau, * T Jaunay, Goss AN † ‡
Abstrak
Latar Belakang: Infeksi odontogenik yang berat berpotensi menyebabkan kondisi yang
mematikan. Berdasarkan tingkat kematian pasien, di institusi pengarang penelitian ini
diawali dengan menentukan faktor-faktor risiko, manajemen dan serangkaian perawatan akhir
dari pasien.
Metoda: Semua pasien yang dirawat di Rumah Sakit Royal Adelaide di departmen bagian
Bedah Mulut dan Maksilofasial dengan infeksi odontogenik pada tahun 2003 telah
diinvestigasi. Informasi rinci
terhadap pra - presentasi dari anamnesa, tindakan bedah dan manajemen anestesi yang
diperoleh dianalisis.
Hasil: Empat puluh delapan pasien dengan rincian , 32 orang laki-laki, 16 orang perempuan,
usia rata-rata 34,5 tahun,dengan range rata-rata umur 19-88 tahun telah dirawat. Semua data
yang diperoleh dari seluruh pasien yang datang dengan keluhan rasa sakit dan bengkak,
dengan ditemukan 21 orang trismus (44%). 44 pasien dengan kondisi gigi yang buruk (92%)
dan 4 orang (8 %) yang mengalami kegagalan endodontik. Pasien yang datang telah
mendapatkan perawatan definitif dan terapi antibiotik. Pasien yang datang kebanyakan telah
mendapat pengobatan definitif seperti ekstraksi, insisi drainase, antibiotik dosis tinggi
melalui intravena dan rehidrasi. Pasien-pasien telah dirawat inap di rumah sakit selama 3,3
hari (range data rawat inap 1-16). Pasien yang memerlukan intubasi berkepanjangan dan
ketergantungan tinggi atau perawatan intensif (40 %) telah memerlukan perawatan yang lebih
lama. Tidak ada pasien meninggal dan semua sepenuhnya pulih.
Kesimpulan: Infeksi odontogenik yang parah merupakan resiko serius bagi kesehatan pasien
dan kehidupannya. Perawatan yang paling utama dengan pembedahan dengan narkose
umum. Antibiotik diperlukan dalam dosis tinggi intravena sebagai tambahan dan bukan
sebagai pengobatan primer.
Kata kunci: Odontogenik infeksi, antibiotik, Airway.
Aust Dent J 2005; 50 Suppl 2: S74-S81
PENDAHULUAN
Telah diketahui sejak lama bahwa infeksi odontogenik yang parah merupakan
penyakit yang serius dan dapat menyebabkan kematian. Dalam ilmu bedah modern
yang mana sebelum antibiotik ditemukan, infeksi odontogenik dihubungkan dengan
kadar kematian yang signifikan berkisar dari 10% hingga 40%. Dengan hadirnya
penisilin dan perkembangan derivatifnya, infeksi odontogenik, dan juga infeksi
lainnya, menjadi mudah ditangani. Walau begitu, dalam 10 hingga 15 tahun terakhir,
telah terjadi resistensi antibiotik yang serius. Hal ini berjalan perlahan tetapi
membahayakan sehingga meningkatkan insidensi infeksi odontogenik yang parah
karena praktisi kesehatan menganggap hal ini sebagai kasus gigi yang simpel. Penulis
sadar setidaknya ada 2 pasien yang meninggal ketika dalam perawatan infeksi
odontogenik dalam rumah sakit pendidikan pada umumnya pada beberapa tahun ini.
Salah satu kasusnya terjadi pada institusi penulis.
Infeksi odontogenik hadir umumnya dari nekrosis pulpa atau dari karies gigi
maupun dari jaringan perikoronal. Kedua contoh tersebut berasal dari mikroba rongga
mulut. Tergantung dari tipe, kuantitas dan virulensi mikroba tersebut yang bisa
menyebar ke dalam maksila atau mandibula dan kemudiannya ke sekitar wajah,
rahang dan leher. Walaupun ada banyak penyebab lain infeksi kepala dan leher,
infeksi odontogenik merupakan penyebab utamanya. Huang et al. menemukan 50 %
dari 185 kasus infeksi leher dalam disebabkan oleh infeksi odontogenik, Bridgeman
et al. menemukan 53 % dari 107 kasus, Bross-Soriano et al. 89 % dari 121 kasus dan
Juang et al pula 86 % dari 14 kasus Ludwig's Angina.
Infeksi odontogenik selalu polimikroba, disertai oleh campuran dari aerob,
aerob fakultatif dan anaerob. Microorganisme paling sering ditemukan dalam kasus
infeksi dentoalveolar adalah streptococus viridans. Umumnya, semakin mendalam
dan intensif studi mikrobiologi yg dilakukan, semakin besar range dan tipe bakteri
yang ditemukan. Sakamoto et al. telah mengisolasi 112 strain bakteri, dengan rata-
rata 4.86 strain dari tiap pasien dari 23 kasus abses dentoalveolar. Hanya 28 % bakteri
aerob atau fakultatif aerob dan selebihnya yaitu 7 % anaerob. Heimdahl et al dalam
studinya menemukan bahwa 88% dari mikroorganisme adalah bakteri anaerob.
Mereka juga menemukan bahwa semakin parah dan ekstensif infeksi tersebut, secara
umum bakteri penyebabnya adalah anaerob. Penelitian juga menemukan bakteri jenis
gram negative rod mempunyai statistic yang signifikan (p<0.05). Streptococcus
milleri lebih banyak ditemukan tetapi tidak signifikan secara statistic dalam kasus
infeksi yang parah. Kuriyama et al menemukan 664 jenis strain bakteri yang
berlainan dari 106 kasus. Telah ada kesepakatan dari semua studi tadi bahwa bakteria
yang umumnya ditemukan dalam infeksi odontogenik adalah streptococcus yang
aerob, peptostreptococci, pigmen dan non-pigmen prevotella dan fusobacterium,
dimana semuanya adalah anaerob.
Faktor anatomi memainkan peran penting dalam terjadinya infeksi bakteri,
ketika ia menyebar melebihi batas rahang. Penyebaran infeksi tersebut selalunya
mengikuti garis dari yang paling kurang resistant, yang mana terhalang oleh tulang
dan periosteum, otot dan fasia. Hal ini juga dibuktikan oleh Grondisky dan Holyoke
pada tahun 1938 yang menggunakan injeksi gelatin berwarna untuk menentukan jalur
yang paling kurang resistant diantara fascia. Penelitian tersebut dan juga studi
anatomi yang lain sabagai dasar standar anatomi spasium kepala dan leher.
Faktor umum lainnya yang berperan dalam perkembangan infeksi
odontogenik adalah daya tahan tubuh penderita dan gangguan terhadap sistem
imunitas disebabkan oleh penyakit sistemik. Kondisi immunokompromise contohnya
dalam kasus HIV/AIDS, neoplasma hematologi atau penyakit sistemik lain seperti
diabet adalah fakto-faktor risiko dalam mempengaruhi penyebaran infeksi.
Infeksi odontogenik dengan keparahan yang parah merupakan hasil akhir dari
proses yang panjang dan perlahan. Mikroorganism yang terlibat dalam pembentukan
karies gigi memerlukan waktu kalau tidak bulanan, tahunan untuk sampai ke pulpa
gigi sehingga menyebabkan necrosis pulpa dan kemudiannya periapikal abses. Gigi
yang tumbuh partial mengalami simptom yang intermitan sebelum mendapat
simptom yang serius. Banyak pasien yang mendapat multiple sign atau simptom
setelah menderita onset simptom. Bridgeman et al dalam penelitiannya terhadap 107
penderita di Australia dalam waktu 57 bulan terdapat 100 % pernah mengalami rasa
sakit pada saat pertama kali terkena penyakit tersebut. Umumnya rasa sakitnya
bersifat intermitten dan pasien gagal mendapatkan perawatan perawatan utama yang
adekuat. Pembengkakan secara tiba-tiba pada 105 pasien (98%) dalam jangka waktu
beberapa jam atau hari menyebabkan pasien mencari perawatan ke spesialis. 46 %
dari pasien telah mencapai tahap trismus atau kesulitan dalam membuka mulut
mereka. Pada waktu ini infeksi telah menyebar jauh melewati batas rahang. Kondisi
pasien tersebut menjadi berat, secara klinis merupakan infeksi yang signifikan.
Prinsip pengelolaan infeksi odontogenik yang berat telah dikenal selama
berabad-abad; mengekstraksi gigi dan mengeluarkan pus. Hal ini dijelaskan oleh
Hippocrates dan diperkuat dalam bedah modern tetapi pada masa pre-antibiotik.
Dalam era antibiotik menggunakan antibiotik, cairan intravena untuk rehidrasi pasien
dan pengelolaan nyeri yang tepat telah dijelaskan dan diajarkan pada mahasiswa
kedokteran gigi dan medis selama beberapa dekade.
Baik dokter gigi atau dokter umum, memiliki peran penting dalam mengelola
infeksi odontogenik. Mereka dapat mengobati pasien dengan antibiotik saja,
menyarankan manajemen yang benar atau merujuk kepada spesialis bedah mulut dan
rahang atas atau dokter gigi spesialis lainnya. Awalnya antibiotik mungkin muncul
untuk bekerja, tetapi jika pasien tidak melanjutkan ke manajemen definitif masalah
akan muncul kembali dengan peningkatan keparahan. Antibiotik adalah faktor
predisposisi paling sering muncul pada infeksi yang berat. Penyebab infeksi
odontegenik yang lainnya dapat terjadi dari perawatan gigi ketika dokter gigi
mencoba untuk mempertahankan gigi. Menjadi suatu kepentingan utama pasien
untuk mengakui bahwa pengelolaan konservatif belum mampu menyelesaikan
masalah yang diajukan dan gigi yang terlibat harus diekstraksi.
Kematian adalah komplikasi yang paling serius dari infeksi odontogenik berat
dengan kejadian telah dilaporkan nol, 1,6 % dan 23 %. Penelitian terakhir ini dibatasi
pada pasien dengan infeksi nekrosis yang berat. Kematian baik dari obstruksi napas
akut, yang dapat terjadi pada setiap usia dan biasanya pada pasien yang sehat, sampai
pasien dengan kegagalan multi-organ pada kasus medically compromised, biasanya
pasien yang lebih tua.
Penelitian ini dibahas berturut-turut mengenai infeksi odontogenik berat yang
dimasukkan ke rumah sakit besar metropolitan dalam jangka waktu 12
bulan. Penekanan utamanya adalah pada tindakan pasien dan dokter sebelum
presentasi, manajemen dan hasil yang definitif.
BAHAN DAN METODE
Catatan medis yang diperoleh dari semua pasien yang dirawat di Rumah Sakit
Royal Adelaide, Adelaide, South Australia, di bawah perawatan department Bedah
Oral dan Maxillofacial dengan diagnosis infeksi primer akut pada periode 1 January
2003-31 Desember 2003. Kriteria inklusif untuk studi ini adalah semua pasien dengan
infeksi odontogenik yang telah menyebar melampaui batas-batas rahang dan yang
sangat sakit untuk menjamin masuk ke rumah sakit untuk pengelolaan bedah. Tidak
ada pasien yang dirawat di rumah sakit dan memenuhi kriteria adalah
pengecualian. Pasien yang infeksinya telah tersebar, yang tidak memerlukan
perawatan rumah sakit dan diperlakukan sebagai pasien rawat jalan, adalah
pengecualian.
Database pasien menurut demografi, penjelasan dan rincian lengkap tentang
manajemen (termasuk komplikasi) telah dicatat. Data ini disimpan pada komputer
pribadi non-jaringan dan analisis sederhana dilakukan. Angka yang sesuai dengan
pasien infeksi odontogenik pada tahun 1993 telah ditentukan. Studi ini dilakukan
sesuai dengan persyaratan audit internal Rumah Sakit Royal Adelaide.
HASIL
Delapan puluh delapan pasien yang menderita infeksi kepala dan leher yaitu
48 (55 %) berasal dari odontogenik. Tiga puluh sembilan (81 %) berasal dari pulpa
dan sembilan (19 %) berasal dari pericoronal. Demografi pasien diperlihatkan pada
Tabel 1. Status medis pasien disajikan dalam Tabel 2. Hanya kondisi tersebut yang
dikontribusikan pada presentasi.
Sejarah penanganan yang didapatkan pasien setiap hari atau minggu sebelum
onset akut disajikan dalam Tabel 3. Hanya informasi yang diverifikasi akurat yang
dicatat. Sebagai catatan bahwa banyak pasien yang kurang mengetahui tentang
riwayat mereka meskipun sebagian besar setuju bahwa mereka telah mengalami
gejala intermiten, biasanya sakit, dalam beberapa bulan. Demikian pula, mereka tidak
tahu apakah mereka telah menerima pengobatan. Sekitar setengah diindikasikan
bahwa mereka mungkin telah menerima setidaknya satu rejimen antibiotik sebelum
timbul gejala akut.
Dari delapan pasien yang sedaang mendapatkan pengobatan gigi, empat
adalah pasien yang datang tidak teratur dan empat orang pasien reguler di praktek
gigi umum. Pada kelompok berikutnya, 4 orang merupakan pekerja ras Kaukasia dan
sedang dirawat endodontik. Semuanya telah mendapatkan beberapa rejimen
antibiotik. Pasien yang mencoba ekstraksi sendiri memiliki riwayat penyakit mental.
Temuan untuk pengobatan disajikan pada Tabel 4. Ruang permukaan meliputi
daerah yang jauh dari jalan napas, yaitu spasium kaninus dan bukal. Infeksi leher
yang dalam melibatkan ruang di sekitar jalan napas atas, terutama ruang
submandibular. Umumnya, hanya satu ruang yang terlibat. Tiga pasien dengan
keterlibatan beberapa ruang merupakan True Ludwig's Angina serta melibatkan
seluruh leher secara bilateral. Ruang keterlibatan disajikan dalam Tabel 5 dan
diilustrasikan pada Gambar 1a, 1b dan 1c.
Gambar 1. Berbagai odontogenik presentasi dari infeksi
Gambar 1a. Superficial. Fossa kaninus kanan dan infeksi spasium bukal. Resiko
jalan nafas rendah. Catatan pasien tidak ada pada tahun 2003, tetapi sebagai arsip
ilustrasi.
Gambar 1b. Dalam. Abses spasium Submandibular kanan. (Pasien diintubasi
Gambar 1c. Deep bilateral Ludwig's angina. Beberapa drain dan intubasi.
Manajemen operasi dapat dilihat pada Tabel 6. Pada lima pasien yang belum
diekstraksi gigi, dan kemudian tiga orang pasien telah diekstraksi dalam minggu
terakhir, dan dua pasien lagi menolak untuk diekstraksi. Pada delapan pasien yang
didrainase tetapi tidak mengeluarkan pus, ini merupakan selulitis. Standar protokol
untuk rumah sakit adalah 1.2g IV benzylpenicillin setiap enam jam dengan
metronidazol 500mg Iv per 12 jam, dan dipertahankan sampai pasien sembuh. Ini
diikuti dengan pemberian oral amoxicillin 500mg setiap delapan jam selama lima
hari. Cephazolin 1g IV setiap enam jam telah digunakan untuk pasien yang diduga
alergi terhadap penisilin atau yang menunjukkan resisten terhadap penisilin. Non-
protokol regimen antibiotik digunakan untuk sembilan kasus, biasanya dengan
melanjutkan regimen antibiotik oleh institusi lain. Tidak hasil yang signifikan secara
statistik akibat dari regimen antibiotik yang berbeda. Rincian regimen antibiotik yang
digunakan disajikan pada Tabel 7.
Perawatan pasca-operasi
disajikan dalam Tabel
8. Di akhir prosedur
pembedahan telah dikonsultasikan antara dokter bedah dan anestesi tentang resiko
obstruksi jalan napas. Jika dianggap pasien berisiko rendah, dia akan diekstubasi, dan
diamati dalam waktu yang singkat di ruang pemulihan dan kemudian dikembalikan
ke ruang perawatan. Keempat pasien yang memiliki ketergantungan tinggi (HCU)
diintubasi selama beberapa jam, selama pembengkakan terjadi dan kemudian
diekstubasi. Dari 15 pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif setidaknya
sudah 24 jam diintubasi, dengan dua diantaranya telah dirawat lebih dari lima
hari. Satu pasien berkembang menjadi pneumonia selama diintubasi dan telah
berhasil diobati dengan antibiotik jangka panjang. Seseorang yang mendapatkan
methicillin resisten terhadap Staphylococcus aureus dalam lingkungan unit perawatan
intensif. Setelah operasi penggunaan steroid dianjurkan oleh beberapa ahli bedah
untuk intubasi pasien. Hal ini memakan waktu beberapa jam karena memiliki efek
dan meningkatkan resiko penyebaran bakteri lebih lanjut. Tidak ada pasien yang
diekstubasi pada akhir operasi setelah pemberian steroid. Dari 19 pasien intubasi;
lima tidak
mendapatkan steroid, lima mendapat dosis tunggal dan delapan mendapat lebih dari
satu dosis. Satu pasien sudah diberikan steroid untuk auto-imun hepatitis. Statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok-kelompok ini selama berjam-jam
dilakukan intubasi, baik di ICU maupun rumah sakit dalam jangka waktu
lama. Terdapat statistik yang lemah yang menunjukkan korelasi antara jumlah ruang
yang terlibat dengan penggunaan steroid (p <0,037). Satu pasien yang mengalami
pneumonia sedang dirawat steroid.
Dalam 2 dari 23 kasus ekstubasi kembali ke ruang perawatan, komplikasi
terjadi dan keputusan tersebut dirubah. 1). Pada tahap awal pemulihan, mendapatkan
stridor dan tanda-tanda lain yang menyulitkan pernapasan. Oleh karena itu, mereka
kembali dibius, re-intubasi dan diberikan perawatan intensif. Pasien kedua menjadi
semakin parah dengan peningkatan rasa sakit, bengkak, trismus dan demam. CT scan
menunjukkan pengumpulan nanah lebih lanjut, mereka dibius dan selanjutnya
dilakukan insisi dan drainase. Sekarang leher pasien cukup bengkak dan saluran
pernafasan telah terkompromi. Dibuatkan jalan napas dengan trakeostomi. Pasien di
rawat di ruang intensif pasca operasi kedua.
Keadaan pasca operasi mempunyai efek yang signifikan terhadap waktu yang
dibutuhkan untuk tinggal di rumah sakit yang selanjutnya memiliki efek pada sumber
daya rumah sakit. Mereka yang langsung diekstubasi dan kembali ke bangsal,
dipulangkan rata-rata dalam 1,5 hari. Mereka yang membutuhkan perawatan intensif
rata-rata dipulangkan setelah enam hari. Rawat inap paling lama selama 16 hari.
Efek keterlambatan di bawa ke rumah sakit dan resiko pada saluran napas
telah dianalisis. Pasien yang melakukan penundaan lebih dari satu minggu secara
signifikan (p <0,01) cenderung mengalami penyebaran infeksi leher dalam. Pasien
yang mengalami infeksi leher dalam secara bermakna (p <0,01) lebih memerlukan
perawatan intensif. Pasien-pasien dengan kondisi fit dan baik, ketika dibandingkan
dengan mereka yang satu co-morbiditas, telah dirawat inap dalam tempoh yang
sama. Mereka dengan dua co-morbiditas, untuk contoh medis dan penyakit mental
atau mirip pasangan, tempoh tinggal di rumah sakit meningkat secara signifikan (p
<0,01). Insiden infeksi berat yang dirawat oleh Bagian Bedah Oral dan Maxillofacial
pada tahun 2003 adalah 44 per juta. Pada tahun 1993 insiden itu sekitar 32 per juta.
DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan setiap minggu di salah satu rumah sakit di
Australia terdapat pasien dengan infeksi odontogenik yang parah dan berpotensi
mengancam hidup. Semua pasien mendapatkan penanganan dengan intensitas tinggi
dari spesialis bedah dan anestesi serta 31 % pasien memerlukan perawatan intensif
tingkat tinggi. Semua diselesaikan tanpa adanya resiko yang signifikan dan
dilaporkan tidak ada kematian. Secara umum, temuan ini hampir sama dengan
penemuan lainnya di Australia dimana terdapat 56 kasus disebabkan oleh pulpa atau
pericoronal dalam waktu 57 bulan. Berdasarkan dua penelitian tersebut yang
dilakukan dalam kurun waktu satu dekade, didapat infeksi odontogenik berat
mengalami peningkatan. Dengan kriteria inklusi yang sama, versi Melbourne
mengumpulkan 56 kasus dibandingkan dengan 48 kasus yang dikumpulkan dari
populasi yang jauh lebih besar sebanyak 3,5 juta (Melbourne) dan 1,1 juta
(Adelaide). Rumah sakit Royal Melbourne melayani sekitar sepertiga penduduk
Melbourne, sedangkan Royal Adelaide adalah satu-satunya bagian Oral dan
Maxillofacial di South Australia. Penelitian ini menjelaskan insiden Melbourne di
awal 1990-an dimana sekitar 34 kasus per juta per tahun dan selanjutnya mendukung
pandangan bahwa, infeksi odontogenik serius yang mengancam jiwa jarang terjadi
tetapi meningkat.
Penyebaran infeksi odontogenik harus dicegah dengan perawatan gigi secara
rutin. Dalam penelitian ini hanya empat pasien(16%) yang mendapatkan perawatan
gigi secara teratur. Dapat dikatakan tanggung jawab pasien terhadap perawatan
giginya merupakan faktor utama. Enam belas pasien (34%) bermasalah dengan
penyalahgunaan narkoba atau penyakit mental yang terkait dengan gaya hidup yang
buruk. Juga berhubungan dengan xerostomia yang dengan sendirinya memberikan
kontribusi terhadap kesehatan mulut yang buruk.
Sebagian besar pasien mengaku memiliki perilaku negatif dalam menjaga
kesehatan mulut, dikarenakan takut, fobia atau masalah dalam biaya. Penelitian telah
menggali kasus ini tetapi kebanyakan pasien menghasilkan respon tidak jelas atau
samar. Informasi tambahan dicari selama pasien dalam rawat inap, saat kondisi
kesehatan menurun atau saat akan pulang.
Pasien dengan Kartu Concession Pemerintah (67%), baik dari usia, kecacatan
atau pengangguran lebih terwakili dalam penelitian ini dibandingkan dengan
Masyarakat Selatan Australia (40 %). Di South Australia telah tersedia layanan poli
gigi dengan baik bagi pemegang kartu kesehatan dengan biaya minimal. Dari 440 000
pasien di Australia Selatan pada tahun 2002 hanya 66 000 (15 %) mencari perawatan
gigi dan hanya 13 000 (20 per %) mencari pengobatan gigi konservatif. Dalam
penelitian ini tidak ada pasien yang terdaftar dalam waiting list, meskipun ada
beberapa yang mendapat perawatan emergensi.
Hanya 16 pasien (33%) diketahui menjalani pengobatan selama beberapa
minggu sebelum infeksi yang parah muncul. Dari jumlah tersebut, tujuh (15%) telah
memakai antibiotik yang diberikan oleh dokter umum. Enam pasien tersebut merasa
bahwa ini adalah pengobatan definitif dan mereka menyangkal membutuhkan
perawatan gigi. Dua pasien (4%) mendatangi dokter gigi dengan wajah bengkak dan
trismus, namun tidak ditangani saat itu juga. Satu pasien dinasihati oleh staf resepsi
bahwa dokter gigi sedang sibuk dan tidak akan dapat melihat pasien selama lebih dari
satu minggu. Pasien ditawarkan resep untuk antibiotik dan tanpa melakukan
pemeriksaan terlebih dahulu. Dua hari kemudian pasien dalam perawatan intensif.
Memberikan resep antibiotik tanpa memeriksa pasien terlebih darhulu adalah
tindakan yang tidak etis dan merupakan malpraktek.
Empat pasien (8 %) yang sedang menerima perawatan gigi reguler. Mereke
tidak merespon daro tindakan endodontic debridements dan rejimen
antibiotik. Semua pasien dan dokter gigi mereka yakin untuk mempertahankan
gigi. Dua pasien menolak dilakukan pencabutan gigi meskipun berada dalam keadaan
sakit. Pasien dilakukan perawatan dengan insisi drainase disertai perawatan
endodontic lebih lanjut. kemudian diketahui bahwa salah satu gigi harus
diekstraksi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mana lebih penting, satu gigi,atau
kesehatan anda yang berpengaruh pada hidup Anda?
Keluhan utama pasien datang ke rumah sakit untuk dirawat adalah sakit dan
pembengkakan.. 21 pasien (44 %) menderita trismus. Gejalam yang muncul ini
umumnya tidak terlalu diperhatikan oleh pasien dan dokter gigi sebagai permasalahan
pada rahang. Semua pasien yang mengalami trismus karena infeksi odontogenik
umumnya memiliki permasalahan dengan saluran pernapasan bagian atas (Gambar
2a-2d). Beberapa pasien mengeluhkan tidak bisa berbaring karena mudah tersedak.
Oleh karena itu pasien dengan trismus yang berhubungan dengan infeksi harus
dievaluasi dengan baik pada gejala penyumbatan saluran pernapasan atas, elevasi
lidah, stridor, kesulitan menelan ludah dan penurunan asupan oksigen. Ini adalah
keadaan kegawatdaruratan medis dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Kriteria
ini merupakan prioritas dalam penjemputan ambulans. Beberapa pasien awalnya
dibawa ke rumah sakit umum namun dibawa kembali ke unit bedah mulut rahang dan
wajah di Rumah Sakit Royal Adelaine.Prosedur standar rumah sakit untuk pasien
seperti ini telah dikembangkan oleh unit bedah mulut rahang dan wajah bersama
dengan bagian Otorhinolaryngology dan bagian anestesi.
Pada dasarnya, tindakan utama yang dilakukan untuk mengatasi gangguan
jalan pernapasan adalah melakukan intubasi. Jika didapat keraguan pada saluran
pernapasan atas, boleh dilakukan laryngoscopy. Infus intravena dilakukan untuk
merehidrasi pasien. Pemberian antibiotik dalam dosis besar secara intravena harus
dilakukan. Analgesia tidak diberikan sampai jalan pernapasan terbuka dan aman.Foto
roentgen dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Menempatkan pasien dengan posisi
supine pada alat CT scan dengan jalan pernapasan yang tidak terkontrol dapat
menimbulkan masalah. Setelah diperiksa sepenuhnya dan pasien dalam keadaan
stabil, pasien menjadi prioritas dalam hal kegawatdaruratan untuk dilakukan
operasi. Menjelang operasi, ahli bedah dan ahli anestesi harus berdiskusi tentang
penatalaksaaan jalur pernapasan. Infeksi yang terletak di anterior dan bukan infeksi
dalamdapat dilakukan perawatan dengan anestesi lokal dan sedasi. Serat optik dapat
diintubasikan pada pasien trismus,atau adanya kemungkinan pus pada saluran
pernapasan atau adanya kelainan pada rahang dan saluran napas. Pemeriksaan yang
teliti dibawah pengaruh anestesi dapat dilakukan, gigi yang bermasalah dicabut dan
spasium yang terlibat dieksplorasi dan didrainase. Menjelang akhir operasi ahli bedah
dan anestesi harus mendiskusikan tentang tingkat pembengkakan yang akan terjadi
dan keaan salur pernapasan. Keputusan bersama ini dibuat dalam menentukan apakah
pasien harus diekstubasi atau tetap diintubasikan dan dirawat di unit perawatan
intensif (HCU). Jika meragukan, pasien tetap diintubasi.
Keputusan untuk pasien mengekstubasi atau tetap terintubasi memiliki
konsekuensi penting terhadap lamanya pasien dirawat inap di rumah sakit. Hal ini
berimplikasi langsung pada biaya kesehatan masyarakat. Bagaimanapun juga,
keselamatan pasien adalah yang terpenting. Salah seorang pasien dilakukan ekstubasi
namun mendapat masalah saluran pernapasan lalu diintubasi kembali. Reintubasi
adalah sulit untuk dilakukan dan tim bedah harus siap untuk melakukan
trakeostomi. Trakeostomi juga diperlukan pada pasien yang mengalamai infeksi
agresif yang gagal untuk merespon pada saat awal pembedahan. Dua pasien lainnya
diketahui meninggal rumah sakit pendidikan umum Australia karena infeksi
odontogenik dan meninggal beberapa jam pasca operasi karena obstruksi akut saluran
pernapasan bagian atas. Keduanya telah direintubation dan dilakukan tracheotomy
oleh tim resusitasi yang berpengalaman.
Topik yang umumnya dibahas adalah apakah pasien yang menderita selulitis
tidak disarankan untuk dilakukan drainase, dan pada kasus abses, disarankan untuk
dilakukan drainase. Menurut pandangan kami, ini adalah sebuah mitos karena kedua
memiliki bakteri pyang menyebabkan pembengkakan. Ada atau tidaknya pus
bergantung pada tahap dari penyakit tersebut,tingkat keterlibatan mikro-organisme
dan resistensi host. Setelah ditinjau ulang,perawatan yang berbeda dari sellulitis
berasal dari jaman pra-antibiotik. Lalu timbul risiko yang mengintervensi
pembedahan dan dapat memperburuk keadaaan. Dalam kasus ini 38 pasien (79 %)
mempunyai abses yang telah didrainase dan 8 pasien (16 %) menderita selulitis
dimana hanya cairan serosa yang keluarkan. Semua pasien mendapat perlakuan yang
sama. Perbedaan antara selulitis dan abses sudah tidak lagi relevan: dan keduanya
harus didrainase. 47 pasien (98 %) mendapat perawatan antibiotik secara intravena
untuk bakteri aerobik dan anaerobik . Semua pasien dilakukan kultur bakterial yang
memberi hasil adanya campuran koloni bakteri yang biasa terdapat pada flora
normal. Tidak ada infeksi bakteri asing yang ditemukan pada kasus ini.
Salah seorang pasien alergi pada penisilin. Sebelumnya pasien mendapatkan
terapi antibiotik yang multiple dan bertahap untuk perawatan gigi. Satu pasien
menderita MRSA dan mendapatkan perawatan intensif. Ini merupakan efek
lingkungan untuk semua pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif, tapi pasien
juga mendapatkan perawataan antibiotik yang bertahap sepanjang hidup
mereka. Dal;am kasus ini tidak ada pasien meninggal dan semua pulih dengan baik.
KESIMPULAN
Infeksi odontogenik yang berat cenderung meningkat. Ini disebabkan karena
ketidakpedulian pasien pada perawatan gigi walaupun beberapa mengalami
kegagalan dalam perawatan endodontik. Antibiotik penting dalam menunjang terapi
pembedahan, namun peenggunaan antibiotik sahaja memperburuknya kondisi pasien.
Infeksi Odontogenik pada tahap lanjut, walaupun sudah dilakukan perawatan yang
tepat, masih dapat menimbulkan kondisi yang fatal.
.
REFERENSI
1. Wilwerding T. History of
Dentistry. http://www.cudental.creighton.edu/htm/history2001.pdf. Accessed
November 2005.
2. Thomas TT. Ludwig's angina. Ann Surg 1908; 47:161-163.
3. Jaunay T, Sambrook PJ, Goss AN. Antibiotik resep South Australia praktek oleh praktisi
gigi umum. Aust Dent J 2000; 45:179-186.
4. Huang TT, Liu TC, Chen PR, Tseng TA, Yeh TH, Chen YS. Dalam leher infeksi: analisis
dari 185 kasus. Kepala Leher 2004; 26:854 --860.
5. Bridgeman A, Wiesenfeld D, Hellyar A, Sheldon W. Mayor rahang atas infeksi. Evaluasi
dari 107 kasus. Aust Dent J 1995; 40:281-288.
6. Bross-Soriano D, Arrieta-Gomez JR, Prado-Calleros H, J Schimelmitz-Idi, Jorba-Basave
Manajemen S. Ludwig's angina dengan potongan leher kecil: 18 tahun pengalaman.
Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 130:712-717.
7. Juang YC, Cheng DL, Wang LS, Liu CY, Duh RW, Chang CS. Ludwig's angina: suatu
analisis terhadap 14 kasus. Scand J Infect Dis 1989;21:121-125.
8. Sakamoto H, Kato H, Sato T, Sasaki J. Semiquantitative bacteriology of closed
odontogenik abscesses. Bull Tokyo Dent Coll 1998;39:103-107.
9. Heimdahl A, von Konow L, Satoh T, Nord CE. Klinis appearance of orofacial infections of
odontogenik origin in relation to microbiological findings. J Clin Microbiol
1985;22:299-302.
10. Kuriyama T, Karasawa T, Nakagawa K, Nakamura S, Yamamoto E. Antimicrobial
susceptibility of major pathogens of orofacial odontogenik infections to 11 beta-
lactam antibiotics. Oral Microbiol Immunol 2002;17:285-289.
11. Grodinsky M, Holyoke EA. The fasciae and fascial spaces of the head, neck, and adjacent
regions. Am J Anat 1938;63:367-408.
12. Laskin DM. Anatomic considerations in diagnosis and treatment odontogenik infections.
J Am Dent Assoc 1964;69:308-316.
13. Granite EL. Anatomic considerations in infections of the face and neck: review of the
literature. J Oral Surg 1976;34:34-44.
14. Haug RH, Hoffman MJ, Indresano AT. An epidemiologic and anatomic survey of
odontogenik infections. J Oral Maxillofac Surg 1991;49:976.
15. Wong TY. A nationwide survey of deaths from oral and maxillofacial infections: the
Taiwanese experience. J Oral Maxillofac Surg 1999;57:1297-1299.
16. Miller EJ Jr, Dodson TB. The risk of serious odontogenik infections in HIV-positive
patients: a pilot study. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod
1998;86:406-409.
17. Topazian RG, Goldberg MH. Oral and maxillofacial infections. 2nd edn. Philadelphia:
WB Saunders, 1987:156.
18. Topazian RG, Goldberg MH. Oral and maxillofacial infections. 3rd edn. St Louis: Mosby,
1993.
19. Flynn TR. Odontogenik infections. Oral and maxillofacial surgery clinics of North
America. 1991;3:311-327.
20. Waite DE. Textbook of practical oral and maxillofacial surgery. 3rd edn. Philadelphia:
Lea and Febiger, 1987.
21. Kruger GO. Textbook of oral and maxillofacial surgery. St Louis: Mosby, 1986.
22. Papalia E, Rena O, Oliaro A, et al. Descending necrotizing mediastinitis: surgical
management. Eur J Cardiothorac Surg 2001;20:739-742.
23. Head and Neck Infections. Acute Management Protocol. Royal Adelaide Hospital.
Adelaide, Australia, 2004.