SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS...
Transcript of SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS...
SEMINAR NASIONAL
REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017
Seminar Nasional Bidang Arsitektur:
re-Thinking in Sustainable Design
Arsitektur | 1
Rancang Bangun Elemen Taman Kota Sebagai Bagian dari
Ekonomi Kreatif Subsektor Arsitektur Dalam Peningkatan Citra
Kawasan Kota
Studi Kasus: Taman Balaikota Bandung; Taman Sejarah, Taman
Merpati, Taman Badak dan Taman Dewi Sartika
Irfan Sabarilah Hasim, Eggi Septianto, Saryanto
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
Email: [email protected]
ABSTRACT
Bandung memiliki segudang produk Arsitektur dan Taman Bersejarah yang sejajar dengan kota-kota
lainnya di Indonesia. Karya arsitektur bangunan bersejarah bertebaran di berbagai lokasi di Kota
Bandung, begitupun dengan taman-taman kota peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Hingga
akhir tahun 2016, Pemerintah Kota Bandung tengah merampungkan beberapa Taman Kota baru
termasuk peremajaan beberapa taman Peninggalan bersejarah yang pernah dibangun di awal abad
19. Kurang lebih sudah 30 dari 600 taman yang dimiliki Kota Bandung yang sudah ditata kembali
sejak tahun 2013. Taman-taman di Kota Bandung telah banyak menyedot perhatian, bukan saja
masyarakat Bandung tetapi masyarakat luar Kota Bandung bahkan Mancanegara. Taman Balaikota
adalah salah satu taman yang mengalami perbaikan dan perubahan yang cukup signifikan. Kalau
dulu taman ini hanya dikenal dengan nama Taman Balaikota atau Taman Merdeka, kini di kompleks
ini dikenal empat nama yaitu; Taman Sejarah, Taman Merpati, Taman Badak dan Taman Dewi
Sartika. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah rancangan taman yang tercipta
mampu memberikan kesan (citra kawasan) bagi pengunjungnya ditinjau dari pola yang dibentuk oleh
elemen-elemen ruang terbuka. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan selama tiga minggu
di hari kerja dan hari libur. Metode analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil
penelitian mengidentifikasi secara umum bahwa rancangan yang tercipta mampu dikenali oleh
pengunjung dengan baik, yaitu; dari sembilan gambar pola rancangan yang dinilai oleh responden,
lima bernilai diatas 90%, tiga bernilai diatas 60% dan hanya satu bernilai diatas 40%.
Kata Kunci : Bandung, taman kota, citra kawasan
1. Pendahuluan
Bandung merupakan salah satu kota tujuan wisata yang sangat diperhitungkan saat ini. Kotanya
memiliki beberapa produk peninggalan arsitektur bersejarah, bangunan dan taman-taman yang unik.
Tidak kurang dari 600 nama taman berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota
Bandung yang direncanakan revitalisasinya sejak tahun 2013. Berdasarkan data terakhir, sudah kurang
lebih 30 Taman Kota Bandung yang ditata kembali, termasuk dengan Taman Kota peninggalan
Pemerintahan Hindia Belanda; Taman Maluku, Taman Ganeca, Taman Lalu lintas, Taman Merdeka
dan Taman Sari (Kebun Binatang Bandung). Taman sebagai ruang terbuka pada awalnya berfungsi
sebagai resapan air, landmark kawasan dan simpul jalan. Sejak pemerintahan Kota Bandung dipimpin
walikota Ridwan Kamil, fungsi taman kota dikembalikan dan dilengkapi fungsinya selain sebagai
fungsi ekologi juga sebagai fungsi sosial.
Rancang bangun elemen taman kota yang dimaksudkan di penelitian ini adalah rancang bangun yang
dilakukan oleh Pemda Bandung untuk memperbaiki, merubah eleman-elemen taman kota baik
sebagian atau seluruhnya yang sudah dilakukan dan masih berlangsung sampai saat ini. Rancang
Arsitektur | 2
Bangun Elemen Taman Kota dapat diartikan sebagai sebuah bagian/ proses dari revitalisasi ruang
kota. Yang artinya menurut KBBI adalah “ proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan
kembali”. Revitalisasi menurut Martokusumo (2016), apabila dikaitkan dengan paradigma
berkelanjutan, revitalisasi merupakan sebuah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) aset perkotaan
dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan
menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada. Namun, dapat dipastikan tujuannya adalah untuk
menciptakan kehidupan baru yang produktif serta mampu memberikan kontribusi positif pada
kehidupan sosial-budaya dan terutama kehidupan ekonomi (kawasan) kota.[1]
Taman sebagai bagian dari elemen arsitektur saat ini merupakan bagian dari subsektor ekonomi
kreatif yang layak mendapat prioritas. Konsep ekonomi kreatif adalah konsep di era ekonomi baru
yang penopang utamanya adalah informasi dan kreativititas dimana ide dan stock of knowledge dari
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor produksi utama dalam kegiatan ekonomi.[2] Dua
kata kunci dari Ekonomi Kreatif adalah informasi dan kreativitas. Informasi memudahkan orang untuk
mengakses sektor-sektor kegiatan yang memiliki nilai tambah dan nilai tentu saja nilai ekonomi.
Informasi yang cepat berarti proses penyebaran pengetahuan juga semakin cepat. Ide-ide kreatif sudah
pasti berkembang dan menyeluruh bahkan sampai ke lapisan-lapisan paling bawah.
Kreativitas akan mendorong inovasi yang menciptakan nilai tambah lebih tinggi, dan pada saat yang
bersamaan ramah lingkungan serta menguatkan citra dan identitas budaya bangsa.[3]
Taman sebagai elemen Arsitektur Kota merupakan wujud dari hasil penerapan pengetahuan, ilmu
teknologi dan seni secara utuh dalam mengubah lingkungan binaan dan ruang, sebagai bagian dari
kebudayaan dan peradaban manusia, sehingga dapat menyatu dengan keseluruhan lingkungan ruang.
Dengan demikian Taman Kota dapat dikatakan wadah yang cukup komunikatif dalam skala kota dan
kawasan. Kalau kita amati pembangunan taman yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung pada
dasarnya merupakan sebuah upaya untuk mendaur-ulang dengan tujuan memberikan vitalitas baru.
Taman-taman kota dibongkar, dibangun, ditambahkan elemen-elemen baru dengan fungsi-fungsi yang
lebih variatif. Taman-taman dibangun dan diperbaiki kembali dengan tujuan membentuk kota yang
baik. Dalam buku yang berjudul Good City Form, Kevin Lynch (1980) menyebutkan lima dimensi
dan dua meta kriteria untuk membentuk kota atau kawasan yang baik, yaitu; 1) Vitalitas, 2) Sense, 3)
Fit, 4) Akses, 5) Kontrol dan dua meta kriteria efisiensi dan keadilan [4].
Hasil pembangunan yang baik seharusnya memberikan kesan yang mendalam untuk pengguna-nya,
dan hal ini baru bisa terjadi apabila sebuah kawasan mempunyai citra atau image, atau ciri khusus
yang mudah dikenali. Dalam buku yang berjudul The Image of The City, Kevin Lynch (1960)
menyebutkan lima unsur fisik kota pembentuk Citra kota yaitu 1) Path (Lintasan), merupakan suatu
lorong yang memberi keleluasaan gerak yang potensial, bisa berupa; gang, lorong, jalan kendaraan
dan jalur pejalan, 2) Edge (Tepi), merupakan batas antara dua daerah yang berbeda karakter fisiknya,
juga berfungsi sebagai daerah peralihan, 3) Landmark (Tengaran atau ciri lingkungan), merupakan
obyek yang dikenali karena bentuknya yang jelas, menonjol, kontras atau unik di lingkungan
sekitarnya sehingga mampu menarik perhatian, 4) Node (Simpul), merupakan simpul atau tempat
strategis yang menjadi fokus, bisa berupa persimpangan jalan, ruang tempat istirahat, lintasan yang
memusat atau pusat konsentrasi dari beberapa kegiatan, 5) Region/ district (kawasan atau wilayah),
merupakan kawasan dalam kota yang mempunyai karakter khusus yang mudah dikenali, sehingga
secara psikologis, pengamat merasakan keberadaannya dalam suatu daerah tertentu [5]. Penelitian ini
akan mengidentifikasi elemen-elemen yang dibangun di Taman Balaikota Bandung. Bagaimana
karakter khusus rancangan elemen-elemen Taman Balaikota ini?, dan apakah rancangan elemen
Taman Balaikota mudah dikenali dan memberi kesan untuk pengguna-nya?.
2. Metodologi
Obyek studi kasus berlokasi di Balai kota Bandung. Sample penelitian adalah lokasi taman-taman di
dalam komplek Balai Kota Bandung. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.
Metoda pengambilan data dilakukan dengan kegiatan observasi, penyebaran kuesioner, dan
Arsitektur | 3
dokumentasi pada periode waktu hari kerja dan minggu/ libur selama 3 minggu. Periode
dikelompokan menjadi jam pengamatan yaitu jam 07.00-09.00 (pagi); 11.00-13.00 (siang) dan 14.00-
16.00 (sore). Kuesioner dibagikan secara offline dan online dengan kisi-kisi penelitian berupa
gambaran secara visual rancangan-rancangan yang khas yang dihasilkan oleh elemen-elemen
pembentuknya.
3. Panduan Penulisan Makalah
3.1. Gambaran Taman Balai Kota Bandung
Taman Balai Kota Bandung dikenal juga dengan nama Taman Merdeka merupakan taman tertua di
Kota Bandung dan yang pertama di bangun di kota ini. Pieter Sijthoffpark, atau lebih dikenal dengan
nama Pieterspark, dibangun pada tahun 1885 untuk mengenang Asisten Residen Priangan, Pieter
Sijthoff, yang berjasa besar bagi perkembangan Kota Bandung. Taman ini dirancang oleh R.
Teuscher, seorang pakar tanaman (botanikus) yang bertempat tingal di pojok Tamblongweg dan
Naripanweg. [6]
Lokasi taman ini merupakan satu kesatuan dengan Kantor Walikota Bandung. Di tengah taman
terdapat patung ikan di atas dua buah kolam dihiasi tanaman hias disekitarnya, dilengkapi dengan
tulisan besar ‘Taman Balai Kota’ berwarna merah dan putih. Di lokasi yang berdekatan dengan patung
ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar ‘Taman Badak’ berwarna hijau
dan putih. Di taman ini terdapat pula sebuah patung monumen pahlawan nasional Raden Dewi Sartika
yang diresmikan oleh salah satu Walikota Bandung bernama Wahyu Hamijaya pada 4 Desember
1996. Di taman ini juga dibangun beberapa elemen taman, seperti ‘gembok cinta’, bunga-bunga hias
yang beragam, dan berbagai fasilitas baru seperti, sarana untuk berolah raga, penataan sungai yang
bisa dipakai anak-anak untuk bermain air, riam-riam air terjun kecil, tempat duduk, ruang-ruang
komunal plaza-plaza kecil yang dilengkapi dengan lampu-lampu taman yang menarik. Yang paling
menarik dari taman ini sekarang adalah akses yang sangat terbuka, berbeda sekali dengan kondisi
yang dulu. Utara, selatan, timur dan barat mempunyai akses yang sangat terbuka. Setiap orang bisa
masuk ke taman ini dari segala arah. Bahkan, penamaan Taman ini sekarang bertambah. Dahulu
dikenal satu nama Taman Merdeka atau Taman Balai Kota, sekarang dikenal beberapa nama, yaitu;
Taman Sejarah, Taman Balai Kota, Taman Labirin atau Taman Merpati, Taman Badak dan Taman
Dewi Sartika.
Gambar 1. Pembagian Zona Taman Balai Kota Bandung (Sumber: Asna Dewita, 2017)
Arsitektur | 4
3.2. Gambaran Taman Taman di Balai Kota Bandung
3.2.1. Taman Sejarah
Taman Sejarah merupakan salah satu taman yang dibangun baru, tahun 2017. Merupakan revitalisasi
Taman Balai Kota di bagian utara yang sebelumnya tertutup untuk umum. Saat ini pagar pembatas
taman dengan publik tidak ada lagi, akses sangat terbuka. Rencana Pemerintah Daerah Kota Bandung
adalah menjadikan taman ini sebagai Tempat Wisata Edukasi di Bandung, terutama bagi kalangan
yang ingin mengetahui sejarah Bandung. Fasilitas yang bisa ditemui di Taman ini adalah Museum
Sejarah Kota Bandung dilengkapi dengan mural sejarah Bandung, juga monumen tokoh-tokoh
pemimpin Bandung dari masa ke masa, mulai dari era Bertus Coops, Otje Djundjunan, Ateng
Wahjudi, Aa Tarmana, Dada Rosada hingga kini yaitu Ridwan Kamil. Informasi tentang Bandung dari
masa ke masa mulai dari prasejarah sampai kemerdekaan ada, termasuk hikayat Cerita Rakyat
Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu juga ada disini.
3.2.2. Taman Bali Kota/ Taman Merpati
Kalau kita berjalan di tengah Taman Balai Kota, kita akan melihat penampakan pohon besar Samanea
saman atau dikenal dengan nama Kihujan yang sangat rindang. Dibawah pohon besar tersebut kita
bisa melihat sebuah monumen yang ditanda-tangani Ateng Wahyudi. Diresmikannya sebuah nama
Taman Merpati bersama 800 ekor merpati pada tanggal 20 Agustus 1993.
3.2.3. Taman Badak
Di dalam Taman Balai Kota Bandung terdapat patung badak bercula berwarna putih. Patung ini
diresmikan 10 November 1981 oleh Walikota Bandung saat itu yang bernama Husen Wangsaatmadja
dan saat ini dilengkapi dengan tulisan besar berwarna hijau dan putih. Saat ini taman ini dinamakan
Taman Badak.
3.2.4. Taman Dewi Sartika
Taman ini berada pada lokasi paling selatan di Taman Balai Kota. Salah satu ciri yang mencolok
adalah, adanya Monumen Patung Pahlawan Nasional Dewi Sartika. Nama Dewi Sartika diberikan
sejak tahun 1996, bersamaan dengan penempatan Patung di taman ini yang diresmikan oleh Walikota
Bandung Wahyu Hamijaya pada tanggal 4 Desember 1996. Terdapat Gazebo di lokasi ini, dan tentu
saja pohon-pohon besar, yang membuat taman ini terasa sangat nyaman. Perbaikan-perbaikan dan
penambahan elemen-elemen taman yang baru dapat kita lihat saat ini. Akses yang terbuka dari arah
selatan, barat dan timur terasa bahwa taman ini mengundang orang untuk masuk dan melakukan
berbagai aktifitas. Ruang-ruang, plaza kecil dirancang dan dilengkapi dengan elemen keras yang
bervariasi, pavement yang menarik, tempat duduk, lampu taman dan penampakan dari batu-batu
vertikal yang menjulang seperti stonehenge di Inggris. Sungai kecil di sebelah timur, ditata, dibendung
dilengkapi dengan tanaman yang penuh warna.
3.3. Hasil Pengamatan Taman Taman Balai Kota.
3.3.1. Data Pengunjung dan aktifitas
Tabel 1 Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Pengunjung pada Taman Balai Kota Bandung
Lokasi Taman Jumlah Pengunjung
Senin - jumat sabtu Minggu/ libur
(tanpa event)
Minggu/ libur
(ada event)
pagi siang sore pagi siang sore pagi siang sore pagi siang sore
Taman Sejarah 118 111 71 297 312 153 499 556 277 700 800 400
Taman Merpati 48 44 42 180 150 94 540 675 397 900 1100 700
Taman Badak 50 45 44 185 240 200 193 270 200 200 300 200
Taman Dewi Sartika 63 64 48 205 250 180 353 425 240 500 600 300
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa taman dikunjungi orang setiap saat, pagi, siang dan sore,
setiap hari dan mengalami lonjakan pengunjung pada hari minggu/ libur, terutama apabila terdapat
event.
Arsitektur | 5
3.3.2. Identifikasi Elemen Lunak Taman Balai Kota Bandung
Elemen lunak yang terdapat di Taman Balai Kota Bandung sangat bervariasi, baik itu rumput, penutup
tanah, semak perdu maupun pohon besar. Beberapa tanaman yang ditemui di taman ini adalah;
1)rumput peking, 2)rombusa mini, 3)landep, 4)brokoli kuning, 5)puring, 6)philodendron, 7)ararea,
8)maranti bali, 9)daun wungu, 10)bromelia, 11)akalipa, 12)anthurium, 13)tanduk rusa,dll. (lihat
gambar 2).
Gambar 2. Beragam elemen lunak Taman Balai Kota Bandung
3.3.3. Identifikasi Elemen Keras Taman Balai Kota Bandung
Berdasarkan pengamatan di lapangan elemen lunak yang terdapat di Taman Balai Kota Bandung
adalah sebagai berikut; 1) paving yang bervariasi; batu andesit, coral, basalto, beton, 2) signage,
3)sculpture/ patung-patung, 4) lampu, 5) tempat duduk, 6) shelter, 7) pagar, dll. (lihat gambar 3)
Gambar 3. Beragam elemen keras Taman Balai Kota Bandung
3.3.4. Identifikasi Rancangan Khas Taman Balai Kota Bandung
Berdasarkan pengamatan terdapat rancangan khas masing-masing elemen di Taman Balai Kota
Bandung. Elemen-elemen yang membentuk rancangan khas bervariasi, diantaranya adalah; signage
nama taman, pola dari elemen lunak dan elemen keras dan sculpture atau patung (lihat gambar 4).
Arsitektur | 6
Taman Sejarah Taman Merpati Taman Badak Taman Dewi Sartika
Gambar 4. Rancangan Khas Taman Balai Kota Bandung
3.3.5. Penilaian Rancangan Khas Dari rancangan-rancangan khas yang terdapat di Taman Balai Kota, dipilih sembilan gambar untuk ditampilkan
dalam sebuah kuesioner dan secara acak digabung dengan gambar-gambar visual yang dihasilkan dari taman-
taman di luar Taman Balai Kota, seperti; Taman Vanda, Taman Saparua dan Taman musik. Kuesioner disebar
dalam bentuk cetakan langsung dan dalam bentuk online. Hasil yang didapat dari orang yang pernah
mengunjungi Taman Balai Kota, rata-rata menunjukan kesan yang baik (lihat Gambar 5).
Gambar 5. Rancangan Khas Taman Balai Kota dan hasil penilaian responden
4. Kesimpulan
Rancangan khas kawasan umum sudah mampu memberikan citra positif terhadap pengunjung taman.
Hasil penelitian mengidentifikasi secara umum bahwa rancangan yang tercipta mampu dikenali oleh
pengunjung dengan baik, yaitu; dari sembilan gambar pola rancangan yang dibagikan untuk dinilai
oleh responden, lima bernilai diatas 90%, tiga bernilai diatas 60% dan hanya satu bernilai diatas 40%.
Selain dari hasil yang didapat dari responden, pengamatan lapangan menunjukan bahwa aktifitas yang
terjadi di Taman Balai Kota Bandung bervariasi dan terjadi setiap hari (rutin). Masyarakat
mengunjungi taman setiap hari, dan terjadi peningkatan yang cukup signifikan di hari libur, terutama
apabila ada acara tertentu (event) yang berlangsung di lokasi.
Daftar Pustaka
[1] Martokusumo, Widjaja.2008. ”Revitalisasi, Sebuah Pendekatan dalam Peremajaan Kawasan”
dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 19/ No. 3 Desember 2008 (hlm. 57 – 73).
Bandung: SAPPK ITB.
[2] Afiff, Faisal.2012. ”Kewirausahaan dan Ekonomi Kreatif”,
http://sbm.binus.ac.id/files/2013/04/Kewirausahaan-dan-Ekonomi-Kreatif.pdf, diakses pada 30
Agustus 2017 pukul 21.18 wib.
Arsitektur | 7
[3] Kominfo.2015.” Ekonomi Kreatif adalah Pilar Perekonomian Masa Depan”,
https://kominfo.go.id/content/detail/5277/ekonomi-kreatif-adalah-pilar-perekonomian-masa-
depan/0/berita, diakses pada 30 Agustus 2017 pukul 22.00 wib.
[4] Lynch, Kevin. (1980). Good City Form. Cambridge; The MIT Press.
[5] Lynch, Kevin. (1960). The Image of City. London; The MIT Press.
[6] Portal Resmi Kota Bandung.2017. ”Taman Kota Bandung Tempo Dulu”,
https://portal.bandung.go.id/taman-kota-bandung-tempo-dulu, diakses pada 29 November 2017
pukul 17.00 wib
Arsitektur | 8
Kriteria Konektifitas dalam Sustainable Site
Studi Kasus: Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas Bandung
Dwi Kustianingrum, Eka Virdianti dan Dian Duhita
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
Email: [email protected]
ABSTRAK
Ruang luar yang terbentuk akibat fungsi dan tatanan massa bangunan dan terhubung dengan sistem
ekologi sekitar. Sebuah ruang terbuka publik akan menjadi daya tarik suatu kawasan sebagai tempat
beraktifitas. Kampus Itenas merupakan kawasan pendidikan sebagai miniatur Kota skala kecil terdiri
dari beragam komunitas civitas akademika. Inti dari isu keberlanjutan adalah konektifitas yang
terjalin dengan baik. Rancangan ruang luar merupakan stimulus yang akan direspon oleh
pengunjung. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria konektifitas dalam sustainable
site di ruang terbuka publik Itenas dan mengidentifikasi perbedaan dari aspek rancangan ruang
terbuka publik kota. Melalui pendekatan kualitatif dengan kisi-kisi penelitian yaitu, (a) Konektifitas
site terhadap sistem dan fungsi kawasan, (b) Konektifitas site terhadap ekologi dan aktifitas. Obyek
studi adalah Ruang terbuka publik non parkir kampus Itenas. Pengambilan data dengan dokumentasi,
pengamatan, interview di periode 1 hari di hari kerja dan libur. Metode analisis secara deskriptif.
Hasil penelitian mengidentifikasikan secara umum dari konektifitas sustainable site sudah terjalin
baik. Hanya perlu beberapa rekomendasi rancangan untuk meningkatkan kenyamanan. Sedangkan
dari konektifitas ekologi belum mengakomodir rancangan ramah lingkungan. Terdapat perbedaan
dari ruang terbuka publik kota yaitu ruang terbuka publik kampus lebih memprioritaskan aspek
kenyamanan untuk beraktifitas dan tidak memerlukan fitur atraktif sebagai sarana daya tarik.
Kata Kunci: Konektifitas, Sustainable site,Ruang Terbuka Publik,Kampus
ABSTRACT
The open space formed by the function and the mass of the building and connected with the ecological
sistem. A public open space become the atractive zones at site as a place of activity. Itenas is an
educational function area and it is as a miniature small-scale city, consists of various community
academic community. The principal of sustainability issues is well-established connectivity. The
design of open space is a stimulus that will be responded by visitors. This study aims to identify the
criteria of connectivity in a sustainable site in the public space of Itenas and to identify differences in
aspects of urban public spatial design. Through qualitative approach with research variable that are,
(a) Site connectivity to sistem and function of area, (b) site connectivity to ecology and activity. The
study object is Public space non parking area at Itenas. Data collection with documentation,
observation, interview in 1 day period on weekdays and weekend. Analys by descriptive method. The
results of the research generally indicate that the sustainable site connectivity is well established. But
need some design recommendations to improve the comfort. While the ecological connectivity has not
been accommodating the design of environmentally friendly. There is a difference from the city public
open space that is open space publik campus prioritizes the comfort aspect to the activity and does not
require attractive features to invite visitor.
Kata Kunci: Connectivity, Sustainable site, Publik Open Space,Campuss
Arsitektur | 9
1. Pendahuluan
Kita ketahui bahwa pola alam terbentuk dari keragaman individu pada suatu habitat dan terkoneksi
satu dengan lainnya membentuk siklus yang berkelanjutan. Pola ini yang menjadi dasar pemikiran
konsep berkelanjutan, “thinking as sistem: connectivity not fragmentation” [1]. Profesi arsitek dalam
proses merancang lingkungan binaan, akan sangat bersinggungan dengan sistem ekologi, fungsi dan
aktifitas lingkungan sekitar. Tantangan dalam proses desain, “Bagaimana membentuk sebuah sistem
binaan baru yang dapat terhubung dengan sistem yang ada yaitu alam, budaya dan kegiatan”.
Konektifitas ini yang akan menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan desain berkelanjutan dalam
beraksitektur.
Proses beraksitektur menghasilkan karya arsitek dengan fungsi tertentu yang akan direspon oleh
pengguna dalam bentuk aktifitas. Ruang fungsi, tidak hanya terbatas dalam ruang dalam yang
terlingkupi bidang, namun dapat juga berupa ruang luar yang berfungsi untuk berbagai aktifitas.
Ruang terbuka bagian dari ruang fungsi yang akan terbentuk dari tatanan massa bangunan dan dapat
difungsikan sebagai area komunal komunitas. Menurut Gehl.J, “Life between building merupakan
kehidupan yang terjadi akibat pola tatanan massa, bergabung menjadi bentuk ruang komunal dalam
suatu kawasan dan seluruh ragam kegiatan, sehingga membuat kawasan tersebut lebih bermakna serta
menarik” [2].
Secara mikro kawasan isu keberlanjutan memiliki istilah sustainable site. Inti dari nilai keberlanjutan
ini adalah membentuk suatu sistem yang secara continue dan terus berproses seperti sistem alam.
Mikro kawasan, sebagai lingkungan binaan dapat terdiri dari beberapa ruang publik yang secara
internal dan eksternal harus terkoneksi dengan baik. Sistem koneksi dapat terjadi karena adanya
stimulus dan respon pada ruang publik tersebut. Terdapat 3 nilai intrisik pada ruang terbuka publik
yaitu demokratis, bermakna dan responsif [3]. Makna dan responsif dibentuk dari rancangan ruang
publik. Sedangkan demokratis adalah ketersediaan aksesibilitas [4].
Ruang terbuka publik dapat juga bersifat privat bergantung pada lokasi dan kepemilikan. Ruang
terbuka publik privat dapat terletak pada lokasi khusus, fungsi pendidikan, komersial area ataupun
perumahan. Kawasan pendidikan, contohnya kampus yang merupakan sample kota dalam skala kecil.
Sebuah kampus terdiri dari berbagai ragam komunitas, budaya dengan kepentingan serta tujuan yang
berbeda. Akan menjadi menarik jika kawasan tersebut terdapat ruang terbuka publik berkelanjutan
yang menjadi sarana dari ragam komunitas kampus untuk berinteraksi.
Ruang publik yang berkualitas memiliki konektifitas dan terdiri dari kualitas rancangan pada aspek:
aksesibilitas, aktifitas, kenyamanan, dan fitur menarik [5]. Penelitian ini akan mengidentifikasi
konektifitas yang terbentuk pada kawasan privat pendidikan yaitu dengan studi kasus kampus Itenas
Bagaimana kriteria konektifitas dalam sustainable site terbentuk di ruang terbuka publik Itenas?.dan
apakah terdapat perbedaan dari aspek rancangan ruang terbuka publik kota?.
2. Metodologi
Obyek studi kasus berlokasi di ruang terbuka Institut Teknologi Nasional (Itenas). Sample penelitian
adalah 20 titik ruang terbuka publik non parkir yang telah teridentifikasi dari pengamatan titik kumpul
mahasiwa Pendekatan menggunakan penelitian kualitatif. Metoda pengambilan data dilakukan dengan
kegiatan observasi, penyebaran list wawancara, dan dokumentasi pada periode waktu 1 hari kerja dan
1 hari libur di semester pendek 2017. Periode dikelompokan menjadi jam pengamatan yaitu jam
08.00-10.00(pagi hari); 12.00-14.00(siang hari) dan 15.00-17.00(sore hari). Jumlah responden ditarget
5 (lima) sampel perwaktu pengamatan pada tiap titik ruang terbuka publik Itenas. Instrumen penelitian
berupa list wawancara. Kisi-kisi penelitian berupa kriteria sustainable site yaitu 3 kategori
konektifitas dalam sebuah kawasan [6], namun di penelitian ini hanya 2 yang akan dijadikan
pembahasan, yaitu: (a) Konektifitas site terhadap sistem dan fungsi kawasan, (b) Konektifitas site
terhadap ekologi dan aktifitas. Metode analisis dilakukan secara deskriptif.
Arsitektur | 10
3. Hasil dan Diskusi
3.1 Gambaran Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas
Dalam Rencana Induk Pengembangan Itenas 2014-2030, kawasan ini memiliki lahan seluas 52.954
m², dengan luas tapak +18.895 m². Sarana dan prasarana Itenas meliputi 21 unit gedung untuk
kegiatan perkuliahan, praktikum, administrasi, dan kegiatan pendukung lainnya. Lingkungan kampus
ditata dengan asri dan dilengkapi berbagai sarana penunjang, seperti sarana olah raga, gedung serba
guna, ruang seminar, kantin, mesjid, perpustakaan, bank, student center,dan klinik kesehatan [7]. Dari
hasil wawancara diprediksi untuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang terbangun adalah 41%. Sisa
dari lahan tersebut diperuntukan untuk bangun-bangunan, prasarana jalan, dan area taman.
Area terbuka publik Itenas dibentuk dari ruang antara gedung. Walaupun ada beberapa yang memang
dibentuk secara khusus baik diluar gedung maupun berupa innercourt dalam bangunan. Terdapat 20
sample ruang terbuka publik Itenas dalam penelitian ini. Penyebaran titik sample ruang terbuka publik
dapat dilihat pada gambar 1.
3.1 Konektifitas Ruang Terbuka Publik dalam Sustainable Site
3.1.1 Konektifitas site terhadap sistem dan fungsi kawasan
Kriteria ini merupakan konektifitas yang bersifat fungsional, memiliki sistem jaringan dan hubungan
ruang. Kawasan itenas terdiri dari beberapa massa bangunan, membentuk suatu sistem tertentu seperti
dapat dilihat pada gambar 1 di atas. Tatanan massa tersebut membentuk sebuah ruang terbuka yang
dapat menjadi ruang komunal luar civitas akademika. Lokasi tatanan massa dilihat dari zone,
membentuk sebuah zone fungsi publik-privat kawasan. Zone periferi yaitu: depan, pusat, samping dan
belakang kawasan difungsikan sebagai zone publik. Zone tengah kawasan yaitu digunakan untuk
fungsi sarana dan kegiatan pendidikan (lihat pada gambar 2).
Gambar 1 Penyebaran Titik Sample Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas
Arsitektur | 11
Dari hasil pengamatan, kampus ini telah membentuk sebuah sistem kawasan, dimana penyebaran zone
publik berada pada area periferi kawasan dan simpul publik pada pusat kawasan. Penyebaran fungsi
pendidikan (kegiatan belajar) diantara zone periferi dan pusat kawasan kampus. Zone tersebut dapat
dikategorikan sub sistem publik yang terkoneksi satu dengan lainnya melalui sirkulasi. Hasil
pengamatan, sub sistem yang lebih privat terbentuk diluar zone publik, yaitu zone sekitar bangunan
jurusan. Selanjutnya ruang terbuka publik kampus ini dikategorikan menjadi 4, jika dilihat dari sisi
lokasi, yaitu; (1)Entrance bangunan, (2)Diantara/koridor bangunan, (3)Dalam bangunan, (4)Sarana
kampus. Simpul-simpul tersebut menyebar secara merata di tiap tatanan massa bangunan. Simpul-
simpul ruang terbuka ini terkoneksi langsung melalui pedestrian, jalan, dan selasar. Teridentifikasi
titik simpul ruang terbuka publik ini sudah terintegrasi dengan adanya prasarana pencapaian dan
kemudahan aksesibilitas dalam bentuk sirkulasi jalan dan pedestrian. Konektifitas ini perlu
ditingkatkan kenyamanannya di beberapa jalur yang menghubungkan titik simpul ruang terbuka
publik yaitu memberikan penutup atap pada pedestrian berupa selasar atau simpul pemberhentian
yang dapat berupa shelter. Hal tersebut dapat meningkatkan kenyamanan dan keaktifan di tiap ruang
luar.
Sejalan dengan teori, rancangan berdampak pada situasi tertentu yang membuat aktifitas, komunitas
serta pikiran mengarah kepada situasi yang menyenangkan dan ramah lingkungan [8]. Situasi
terbentuk dari rancangan dan respon pengunjung yang dapat mengakibatkan ruang luar menjadi aktif
atau pasif. Hasil pengamatan, simpul teraktif dan pasif berdasarkan periode waktu, dapat dilihat pada
tabel 1, di bawah ini.
Tabel 2 Hasil Pengamatan Perkiraan Jumlah Pengunjung pada Titik Ruang Terbuka Publik
Ko
de Lokasi Ruang Terbuka
Publik Kampus Itenas
Jumlah Pengunjung (Mahasiswa)
Hari kerja Hari Libur Jumlah
Total
Keterangan Kategori
pagi siang sore pagi siang sore Ruang Ruang
1 Parkir T.Elektro-
GIANT
0 2 - 0 0 0 2 Aktif Entrance Bangunan
2 Entrance T.Elektro 3 6 5 - 8 2 24 Aktif Entrance Bangunan
3 GD. 20 - GD. 18 0 - 10 65 - - 75 Aktif Koridor
4 GD. 14 - GD. 4 11 2 2 - - - 15 Aktif Koridor
5 GD. 16 0 2 3 20 6 - 31 Aktif Koridor
6 GD. 16 - GD. 17 18 4 22 - 5 - 49 Aktif Sarana
7 Lapangan Tenis 0 - - - - - 0 Pasif Sarana
8 Mesjid 0 60 45 3 40 16 164 Aktif Entrance Bangunan
9 GD. 12 (T.Sipil) 6 2 4 6 18 2 38 Aktif Entrance Bangunan
Gambar 2 Zone Publik, Penyebaran Bangunan dan Ruang Terbuka Sarana
Arsitektur | 12
Ko
de Lokasi Ruang Terbuka
Publik Kampus Itenas
Jumlah Pengunjung (Mahasiswa)
Hari kerja Hari Libur Jumlah
Total
Keterangan Kategori
pagi siang sore pagi siang sore Ruang Ruang
10 Kantin 50 42 38 4 25 30 189 Aktif Sarana
11 GD. 17 - GD. 19 0 2 4 - - - 6 Aktif Koridor- Entrance
Bangunan
12 GD. 11 (T.Mesin) 4 8 3 - - - 15 Aktif Koridor
13 GD. 9 - GD. 12
(Perpustakaan)
18 15 20 - - - 53 Aktif Koridor- Entrance
Bangunan
14 GD. 10 (T. Industri) 11 17 16 5 2 4 55 Aktif Entrance Bangunan
15 GD. 8 (T.Lingk) - GD.
9
0 15 18 - 9 - 42 Aktif Koridor
16 GD. T. Informatika -
MKDU
0 - - - - - 0 Pasif Koridor
17 GD. MKDU-GD
Planologi
0 - - - - - 0 Pasif Koridor
18 GD. 1 (Innercourt
Desain)
5 8 22 2 4 4 45 Aktif Koridor
19 GD. Student Center 2 20 5 - 2 2 31 Aktif Sarana
20 Lapangan Basket 23 11 13 - - 3 50 Aktif Sarana
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa ruang aktif tersebar di hampir setiap titik simpul dengan
kategori beragam yaitu depan gedung, koridor dan sarana. Hasil responden beralasan ruang terbuka
kawasan kampus itenas dikunjungi karena keteduhan, nyaman, dekat jurusan, terdapat area duduk, dan
hijau. Kriteria tersebut dapat menjadi syarat rancangan ruang publik fungsi pendidikan. Pengamatan
subyektif membuktikan bahwa titik simpul aktif terjadi karena ada respons aktifitas lain, yaitu
kegiatan khusus pada sarana kawasan. Respons aktifitas tertentu sesuai fungsi sarana, mengundang
pengunjung untuk berkumpul di area tersebut. Seperti pada kode 9 (Kantin) terespon dengan kegiatan
makan. Kode 20 (lapangan basket) terbentuk aktifitas viewing. Pada titik kode 8 (masjid) terespon
aktifitas ibadah. Gambaran rancangan ruang terbuka aktif kampus itenas, dapat dilihat di gambar 3.
Ruang terbuka pasif terjadi pada 3 simpul yaitu ruang terbuka publik kode 7 (lapangan tenis), kode 16
(ged. informatika-ged. MKDU) dan 17 (ged. MKDU-ged.Planologi). Secara rancangan untuk kode 16
dan 17 memenuhi kriteria rancangan ruang publik, namun pada kode 16, kenyamanan tidak terpenuhi
karena berhubungan area parkir serta bentuk rancangan yang menimbulkan situasi kurang nyaman.
Pada kode 17, titik ini tidak menjadi aktif karena lokasi tidak strategis dan tidak ada aktifitas lain yang
dapat direspon oleh pengunjung (jauh dari sarana). Sedangkan ruang terbuka publik pada kode 7,
ditinjau dari lokasi, berhubungan dengan sarana komersil (kode 9) tetapi dari sisi rancangan area ini
ditutupi pagar tinggi, tidak terdapat area duduk serta tidak teduh. Tiga kasus area pasif tersebut
membuktikan lokasi, fungsi dan bentuk rancangan ruang luar memberikan stimulus pada keaktifan
ruang. Tidak adanya stimulus mengakibatkan tidak terjadinya respon dari manusia, pikiran dan
aktifitas [5], sehingga setting site tidak terbentuk sempurna. Akibat stimulus dan respon tidak terjadi
maka konektifitas antar site, fungsi dan aktifitas tidak terbentuk sehingga titik ini teridentifikasi pasif.
Gambaran rancangan ruang yang teridentifikasi pasif dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 3 Ruang Terbuka Aktif
Arsitektur | 13
Pembahasan di atas mengidentifikasikan secara umum, bahwa penyebaran ruang terbuka publik
kampus itenas telah mencapai 85%. Ruang terbuka publik pasif teridentifikasi 15%, di 3 titik simpul
dengan kategori sarana, dan koridor. Untuk mengaktifkan ruang pasif tersebut perlu diadakan
penelitian lebih lanjut, namun rekomendasi sementara memerlukan penambahan sarana lain dekat
ruang terbuka publik kode 16 (ged. informatika-ged. MKDU) dan 17 (ged. MKDU-ged.Planologi),
agar lebih menarik. Serta mendesain kode 7 (lapangan tenis) agar lebih terbuka, nyaman dan
memenuhi kriteria rancangan ruang terbuka publik.
3.1.2 Konektifitas site terhadap Ekologi dan Aktifitas
Komponen ekologi dan aktifitas menjadi bagian dari pembentukan sustainable site. Pada kriteria ini
keberlanjutan dipertimbangkan dari sisi konektifitas alam, aktifitas dan lingkungan binaan. Thinking
as sistem: connectivity not fragmentation” [3]. Ruang terbuka publik kampus ini dari sisi ekologi,
belum mengadaptasi pola siklus alam. Bisa dilihat belum terdapat area pengolahan air limbah ruang
terbuka publik. Sistem drainase sudah teridentifikasi namun dialirkan ke drainase kota tidak tersiklus
dalam kawasan. Tidak terdapat sumur resapan dan area softscapes di beberapa tempat masih kurang,
terutama tanaman keras yang memiliki tajuk. Dalam sustainable site, sebuah kawasan dapat menjadi
tempat habitat-habitat alam, selain manusia sehingga terjadi biodiversity. Jika dilihat dari sistem mikro
alam kawasan dengan parameter kesejukan, kawasan ruang terbuka publik non parkir ini secara umum
membentuk iklim luar yang nyaman (diidentifikasi dari responden). Titik ruang terbuka publik aktif
dikunjungi karena keteduhan dan kenyamanannya. Hal tersebut dapat diindikasikan dampak dari
softscape, pembayangan dan material pedestrian yang tidak terlalu memantulkan panas.
Dari sudut konektifitas site dan aktifitas, simpul-simpul zone publik berupa sarana yang membentuk
ruang terbuka publik memberikan respon terhadap keaktifan aktifitas. Dimana pengunjung berkumpul
pada periode tertentu yaitu kode 8 (masjid) ketika waktu ibadah. Titik ruang terbuka publik-sarana
lain, terespon secara continue tidak diperiode tertentu. Hal tersebut karena adanya stimulus aktifitas
yang independen dan bersifat menyenangkan yaitu makan (di kode 10-kantin) dan rekreasi (di kode
20-lapangan Basket). Sedangkan titik ruang terbuka bentukan massa yaitu kategori koridor dan
entrance, keaktifannya terespon karena aktifitas proses belajar. Rerata pengunjung berkumpul pada
area tersebut pada saat menunggu jam kuliah selanjutnya.
Aktifitas yang terjadi di tiap ruang terbuka publik, teridentifikasi melalui survey pengamatan dan
kuesioner. Aktifitas yang terjadi sesuai dengan teori aktifitas di ruang publik yaitu : (1)sitting, (2)
viewing, (3) eating [6]. Perbedaan aktifitas untuk ruang publik dengan kategori privat-pendidikan
yaitu tidak adanya aktifitas viewing di titik kumpul tersebut, kecuali pada saat kegiatan publik tertentu
yang membutuhkan penonton pada kode-20 (Lapangan basket). Aktifitas yang terbentuk adalah
diskusi, menunggu dan nongkrong sebagai dampak aktifitas tersebut, pengunjung akan melakukan
aktifitas duduk. Lihat gambar 5, berikut ini.
Gambar 4 Ruang Terbuka Pasif
Arsitektur | 14
Gambar 5 Aktifitas Pengunjung (a) Periode Hari Kerja, (b) Periode Hari Libur
Tentu saja, untuk menghidupkan ruang terbuka publik diperlukan suatu rancangan yang dapat
mengakomodir aktifitas tersebut. Hasil rekapitulasi data responden tersebut memberikan gambaran
untuk kriteria yang diinginkan pengunjung ruang terbuka publik kampus itenas secara berurutan
adalah : (1)teduh, (2)nyaman, (3)Area duduk,(4)Tenang,(5)Hijau dan (6)Dekat jurusan. Penilaian
selanjutnya adalah konektifitas aktifitas dan rancangan, atau sebaliknya. Penelitian ini melihat di
beberapa titik ruang publik yang aktif terdapat elemen-elemen rancangan site yang berfungsi
multifungsi dan terintegrasi dengan rancangan lainnya (dapat dilihat gambar 8a). Namun terdapat pula
ruang terbuka publik yang tidak memiliki elemen rancangan site, utamanya hardscape. Uniknya ruang
terbuka tersebut terespon dengan baik akibat stimulus tempat terjadinya aktifitas lain, yaitu komersil
dan aktifitas belajar (lihat gambar 8b. Kriteria ini tidak menjadi hal yang utama, karena hasil
pengamatan di titik ruang terbuka kode 7 (lapangan tenis) terletak dilokasi strategis dekat dengan area
komersil. Sehingga dari analisis tersebut diperlu adanya kriteria lain yaitu keteduhan.
4. Kesimpulan
Kriteria konektifitas site terhadap sistem dan fungsi kawasan secara umum sudah terkoneksi dengan
baik. Sub sistem tersebut terbentuk dari titik simpul ruang terbuka dan terkoneksi langsung melalui
sirkulasi berupa jalur penghubung yaitu: pedestrian, jalan, dan selasar. Konektifitas ini perlu
ditingkatkan kenyamanannya di beberapa jalur penghubung dengan memberikan penutup atap pada
pedestrian berupa selasar atau simpul pemberhentian berupa shelter. Konektifitas secara fungsi,
berdampak pada keaktifan ruang, penyebaran ruang terbuka publik aktif kampus itenas telah mencapai
85%. Ruang terbuka publik pasif teridentifikasi 15%, yaitu di 3 titik simpul dengan kategori sarana,
dan koridor.Hal tersebut terjadi karena tidak terbentuk stimulus dari rancangan dan respon
pengunjung. Sedangkan penilaian dari kriteria konektifitas site terhadap ekologi belum terbentuk
secara umum. Ruang terbuka publik secara umum belum ramah terhadap lingkungan alam. Namun
secara pembentukan iklim mikro, menurut responden di beberapa tempat titik kumpul aktif telah
membentuk lingkungan yang teduh (sejuk). Untuk konektifitas site terhadap aktifitas teridentifikasi
baik, terutama pada ruang publik kategori sarana yang memiliki daya tarik dari kekhususan fungsi.
Terdapat perbedaan dari aspek rancangan publik kota, dimana rancangan ruang terbuka publik
kampus lebih memprioritaskan aspek kenyamanan untuk beraktifitas dan tidak memerlukan fitur
atraktif sebagai sarana daya tarik. Sarana daya tarik ruang terbuka publik kampus adalah simpul-
simpul fungsi yang bersifat komersil dan rekreasi aktif.
Daftar Pustaka
[1] Daniel E Wiliama, 2007, Sustainable Design, Ecology, Architecture and Planning, John Willey &
Sons. Inc
[2] Gehl. J, 1996, Life Between Building,Using Publik Space, Island Press,Washington DC
(a) (b)
Arsitektur | 15
[3] Carmona, Heath, Oc Tanner, Tiesdell. 2003. Publik places, urban spaces. Architectural
Press.
[4] Parkinson, John. 2012. Democracy and Publik Space, Oxford University Press.
[5] https://www.pps.org/reference/grplacefeat/diakses pada 20 Nobember 2017 [6] Dinep. C, Scwab.K, 2010 , Sustainable Site Design, Criteria, Process and Case Studies For
Interating Site and Regiaon in Landscape Design, John Wilson&Sons, Hoboken,New Jersey.
[7] Rencana Induk Pengembangan Kawasan Itenas, Bandung 2016-2030.
[8] Purwanto. E, 2007, Rukun Kota:Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub, dalam Purwanto,E,
2012, Pola Setting Ruang Komunal Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Dipenogoro, Seminar Nasional Riset dan Perencanaan,#2, 13 Oktober 2012, Yogyakarta
Arsitektur | 16
Efisiensi Desain Sirkulasi Ruang Dalam pada Bangunan Pasar
Pasar Vertikal di Kota Bandung
Studi kasus: Pasar Cihaurgeulis
Reza Phalevi Sihombing, Novan Prayoga
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: [email protected]
ABSTRAK Pembangunan pasar saat ini banyak mengarah ke pengembangan vertikal. Efisiensi dan keterbatasan
lahan menjadi pertimbangan untuk membangun pasar secara vertikal. Permasalahan yang sering
terjadi adalah tidak berfungsinya lantai (ruang) di lantai atas bangunan sehingga sepi tidak ada
aktivitas. Permasalahan yang telah diketahui tersebut hampir terus berulang seiring pembangunan
pasar secara vertikal. Tidak adanya pertimbangan budaya berpasar masyarakat Indonesia mungkin
menjadi salah satu kegagalan bangunan pasar vertikal. Penelitian ini akan mengkaji desain beberapa
pasar vertikal di Bandung yang kurang maksimal dalam pemakaian ruang di lantai atas. Dari hasil
kajian penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai mengapa area ruang lantai
atas pasar vertikal cenderung tidak diminati.
Kata Kunci: Efisiensi Desain, Ruang Dalam, Pasar Vertikal
ABSTRACT
The current market development leads much to vertical development. Efficiency and limitations of the
land into consideration to build the market vertically. The problem that often happens is the
malfunction of the floor (space) on the top floor of the building so quiet there is no activity. Known
issues are almost constantly recurring as the market develops vertically. The absence of cultural
considerations based on Indonesian society may be one of the failures of vertical market buildings.
This research will examine the design of some vertical market in Bandung which is less than
maximum in the use of space upstairs. From the results of this research study is expected to provide
an overview of why the upper floor space area of the vertical market tends not to be in demand.
Key words : Design Efficiency, Space, Vertical Market
1. Pendahuluan
Pasar tradisional merupakan wadah jual beli masyarakat sejak zaman dahulu. Komunikasi serta tawar
menawar harga antara penjual dan pembeli adalah budaya yang lazim terlihat sebagai aktivitas utama
di dalam pasar. Pembangunan modern turut mempengaruhi desain pasar secara arsitektural. Saat ini
desain pasar modern dibuat vertikal dengan pertimbangan keterbatasan lahan. Beberapa pasar modern
dengan bangunan vertikal di Bandung memiliki ruang (lantai) di atas yang kosong tidak terisi.
Fenomena ini terjadi pada tipikal pasar dengan gedung vertikal.
Dari desain arsitektural, pembagian zonasi antara pasar tradisional dan area retail di atas sudah
menerapkan kaidah yang benar. Namun permasalahan ruang kosong di atas pasar tradisional hampir
berulang terjadi, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengevaluasi desain pasar secara
vertikal. Isu keterbatasan lahan serta budaya masyarakat Indonesia dalam melakukan aktivitas ber-
pasar perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari perencanaan, sehingga pembangunan pasar secara
vertikal di masa depan dapat lebih efektif dari sisi fungsi dan desain.
Arsitektur | 17
2. Metodologi
Pendekatan dalam jurnal ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu jenis
penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh alat-alat prosedur statistika
atau alat kuantifikasi lainnya yang dapat dilakukan dalam satu subyek penelitian dengan latar
belakang yang mewakili fokus penelitian. (Strauss,1990 dalam Ahmadi,2014).
Diagram 2.1. skema metodologi
Dapat dilihat pada diagram diatas metodologi pada pembuatan paper ini didasari dari penentuan
variable terdahulu. Variable yang diapakai adalah mengenai sirkulai ruang dalam pada bangunan
pasar cihaurgeulis. Kemudian yang selanjutnya dilakukan adalah melakukan survey lapangan. Hasil
survey tetap merujuk pada variable yang telah ditentukan. Kemudian tahap selanjutnya adalah
melakukan analisis perancangan yang tetap merujuk pada variable dan hasi survey. Proses tersebut
saling terkait dan terus terulang. Setelah melakukan seua tahap makan ditarik kesimpulan dari proses
tersebut.
3. Hasil dan Pembahasan
Pasar Cihaurgeulis (Pasar Suci)
Pasar Cihaurgeulis atau biasa disebut Pasar Suci ini dapat digolongkan salah satu pasar vertikal karena
terdiri 2 lantai, lantai dasar terdiri dari pasar tradisional dan oleh-oleh sedangkan lantai 2 berfungsi
sebagai area bursa buku dan kantor pemasaran. Pasar Cihaurgeulis juga diklasifikasikan sebagai pasar
kelas II di kota Bandung. Luas site pasar ini sekitar 5.086 m2 dan luas bangunan sekitar 3.816m2.
Lokasi pasar ini terletak si Jl. Surapati Kelurahan Sukaluyu Kecamatan Cibeuying Kaler. Pasar ini
juga pernah mengalami renovasi pada tahun 1978.
Terdapat fenomena umum yang sering terjadi pada budaya berpasar di Pasar ini yaitu fenomena
“pasar tumpah”. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya PKL yang berjualan hingga tumpah ke area
badan jalan depan pasar tersebut. Namun kegiatan pasar tumpah tersebut diatur hanya pada pagi hari
sekitar jam 6-7 pagi agar tidak menyebabkan kemacetan, karena pada waktu tersebut intensitas
kendaraan tidak terlalu ramai. Hal tersebut sudah berlansung bertahun-tahun dibawah pengawasan
petugas lalu lintas. Para PKL juga disediakan tempat diarea trotoar jalan bagian depan area pasar agar
tidak memperluas area jualnya kebadan jalan.
Lokasi Pasar Cihaurgeulis berada pada area perguruan tinggi, perkantoran dan perumahan. Sehingga
rata-rata pengunjung padar ini antara lain karyawan, mahasiswa dan penduduk sekitar perumahan
tersebut.
Arsitektur | 18
Gambar 3. 1 Lokasi Pasar Cihaurgeulis
(sumber: https://www.google.co.id/maps/@-6.8988992,107.6274384,925m/data=!3m1!1e3?hl=en)
3.1. Aksesibilitas dan Sirkulasi Pada Pasar Cihaurgeulis
Aksesibilitas dalam ruang pasar ini dapat dilakukan oleh pengunjung melalui sikulasi horizontal
maupun vertikal. Untuk menjelajahi ruang-ruang kios pengunjung dapat berpindah melalui sirkulasi
vertikal berupa koridor-koridor sedangkan untuk berpindah lantai dapat dilakukan melalu sirkulasi
vertikal berupa tangga. Tidak terdapat Lift, escalator mapun ramp pada bangunan Pasar Cihaurgeulis
ini.
Gambar 3. 2 Zona Sirkulasi pada Denah Lantai Dasar Pasar Cihaurgeulis
Karena hanya terdiri dari dua lantai maka pasar ini hanya menyediakan tangga sebagai akses
pengujung untuk berpindah lantai. Namun yang disayangkan pasar ini tidak dilengkapi dengan ramp
untuk memudahkan pengunjung yang ingin berpindah dengan membawa barang besar atau pun para
penjual untuk memindahkan barang.
Arsitektur | 19
Gambar 3. 3 Zona Sirkulasi pada Denah Lantai 2 Pasar Cihaurgeulis
3.2. Zona Pada Pasar Cihaurgeulis (Pasar Suci)
Dari hasil pengamatan dapat dideskripsikan untuk zona fungsi terdapat 4 zona sebagai berikut:
(a) Zona Pasar Tradisional (pasar basah)
Area ini berfungsi sebagai zona pasat tradisional yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-
hari (sembako)
Gambar 4. 11 Zona Pasar Tradisional
(b) Zona PKL
Merupakan area para PKL yang menempati area trotoar pinggir jalan depan pasar. Kios-kios
PKL terbangun dari deretan kios temporer sepanjang troroar jalan depan pasar.
Gambar 4. 12 Zona Pasar Oleh-oleh
Arsitektur | 20
(c) Zone Pasar Buku
Zone ini merupakan tempat menjual buku-buku, terdapat buku baru maupun buku bekas. Hanya
tersisa 3 kios yang masih bertahan dengan menjual buku.
Gambar 4. 13 Zona Pasar Buku
(d) Zona Tidak Terpakai
Sebenarnya zona ini diperuntukan bagi penjual buku, namun dikarenakan peminatnya semakin
berkurang sehingga terdapat area-area yang tak terpakai. Area tersebut beberapa dimanfaatkan
sebagai gudang penyimpanan barang.
Gambar 4. 14 Zona tidak terpakai
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian sementara dari telaah teori dan analisis data yang dikumpulkan maka dapat
disimpulkan mengenai kajian efisensi desain pasar yang dilihat dari variebel sirkulasi ruang dalam.
Dari pengamatan yang dilakukan, ruang dalam di beberapa pasar mengalami masalah dengan tidak
efisennya penggunaan ruang di beberapa lantai bangunan. Hal itu ditemukan pada area dagang dengan
tipe kios (retail).
Pengamatan selanjutnya berdasarkan pola sirkulasi di dalam pasar. Sebagian besar sirkulasi horizontal
dalam pasar mengelilingi blok kios dn lapak pedagang. Sehingga pola sirkulasinya terbentuk akibat
sistem grid dan blok kios lapak yang terencana. Permasalahan yang timbul justru pada sirkulasi
vertikal. Beberapa pasar memiliki tangga yang kurang representative baik dari segi kenyamanan,
keamanan serta kelayakan. Dari aspek sirkulasi vertikal yang kurang baik tersebut dapat menjadi salah
satu penyebab beberapa lantai di lantai atas pasar kurang terpakai.
Pengamatan dari sisi kegiatan di dalam pasar pada dasarnya dari ketiga pasar yang diamati, lantai
paling bawah bangunan yang memiliki seting kegiatan pasar tradisional merupakan area kegiatan yang
cukup ramai dan berlangsung setiap hari. Bertolak belakang dengan aktivitas di lantai atasnya yang
Arsitektur | 21
cenderung sepi bahkan tidak ada kegiatan sama sekali. Dari pengamatan berdasar kriteria variable di
atas maka dapat dikatakan bahwa kualitas ruang dalam, sirkulasi dan kegiatan memiliki keterkaitan
antara satu dan yang lain.
Daftar Pustaka
[1] Aspers, Patrick, Markets, Polity Press, 2011. Online
(http://books.google.com/books?id=0OKEa5p8mJ8C).
[2] Hefner, R. W. 1998. Markets and Justice for Muslim Indonesians. In Hefner, R. W. (ed) Markets
Culture: Society and Values in the new Asian Capitalism. Institute of Southeast Asian Studies.
[3] Nathaus, Klaus and David Gilgen. 2011. Change of Markets and Markets Societies: Concept and
Case Studies. Historical Social Research 36 (3), Special Issue.
[4] Pasar (http:/www/pasar.co.id) Pasar Indonesia
[5] Pindyck, Roberts S. and Daniel L. Rubinfield. 2012. Microeconomics, Prentice Hall.
[6] Tjahjono, Budi. Upaya Penataan Bangunan Pasar Tradisional Menjadi Bangunan Multifungsi di
Kawasan Perdagangan Terhadap Kualitas Kota, Studi Kasus Kawasan Pasar Pagi Kota Cirebon.
STT Cirebon.
[7] Yaqub, Hamzah. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam, Pola Pembinaan Hidup Dalam
Berekonomi. Diponegoro Bandung.
Arsitektur | 22
Strategi Green Building Untuk Optimalisasi Penghematan Energi
Operasional Bangunan Pada Rancangan Gedung Kantor Pengelola
Bendungan Sei Gong - Batam
Erwin Yuniar R. dan Nur Laela Latifah
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Peningkatan konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam menimbulkan dampak negatif seperti
kerusakan lingkungan serta makin menipisnya ketersediaan energi tak terbarukan dan air bersih di
alam. Untuk itu perlu adanya kesadaran yang mendukung konservasi lingkungan global, salah satu
bentuknya adalah penerapan Green Building pada desain bangunan.
Gedung Kantor Pengelola Bendungan Sei Gong adalah bangunan fungsi kantor di Batam dimana
terdapat potensi alam yang dapat dioptimalkan dan kendala iklim tropis basah yang dapat
diantisipasi, baik melalui teknik pasif dan aktif melalui konsep Greeen Building. Bangunan ini layak
untuk diangkat sebagai objek penelitian karena memiliki desain yang spesifik unik agar seluruh
sistem yang bekerja pada bangunan dapat menghemat energi operasional sekaligus mendukung
pelestarian lingkungan. Metoda analisis yang dilakukan adalah kuantitatif dan kualitatif. Metoda
analisis kuantitatif yang diterapkan berdasarkan data pengukuran langsung cuaca di lapangan.
Metoda analisis kualitatif meliputi kajian atas solusi desain baik teknik pasif maupun aktif yang
sesuai dengan konsep Green Building. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bentuk dan
orientasi bangunan sudah sesuai dengan syarat Green Building, akan tetapi berdasarkan perhitungan
Window Wall Ratio, masih terdapat bidang dinding yang tidak memenuhi syarat Green Building,
namun hal ini dapat diatasi dengan penggunaan kaca memiliki kamampuan Energy Reflective dan
desain Lightshelf yang sesuai.
Key words : green building, green architecture, passive design
1. Pendahuluan
Green Building adalah salah satu solusi desain dalam merancang bangunan dan lingkungannya yang
dapat menjawab permasalahan terkait konservasi sumber daya alam khususnya kebutuhan energi
operasional dan mendukung pelestarian lingkungan, dimana diterapkan baik teknik pasif maupun
teknik aktif pada selubung bangunan, sistem pengkondisian udara dan ventilasi, sistem pencahayaan,
sistem listrik dan transportasi vertikal, manajemen dan efisiensi air, serta pengolahan lahan.
Gedung Kantor Pengelola Bendungan Sei Gong adalah bangunan fungsi kantor yang terletak di Batam
dimana terdapat potensi angin dan cahaya berlimpah, tetapi dengan lokasinya di daerah beriklim tropis
basah maka memiliki kendala paparan radiasi matahari tinggi yang berdampak suhu udara tinggi dan
kelembaban udara tinggi, yang dampaknya penggunaan energi operasional yang juga tinggi. Agar
bangunan dapat menghemat energi operasional (terutama pengondisian udara dan pencahayaan
buatan) sekaligus mendukung pelestarian lingkungan, maka diterapkan konsep Green Building,
sehingga bangunan dapat didesain spesifik dan unik ditinjau dari aspek gubahan massa, pengolahan
fasad, zoning, dan sistem sirkulasinya, serta menarik untuk dijadikan objek penelitian.
Strategi Green Building (sebagian besar berdasarkan Panduan Bangunan Gedung Hijau Bandung)
yang dapat diterapkan pada tipikal desain gedung kantor, meliputi Selubung Bangunan,
Pengkondisian Udara & Ventilasi, Sistem Pencahayaan, Sistem Listrik dan Transportasi Vertikal,
Manajemen dan Efisiensi Air, serta Pengelolaan Lahan. Namun dalam makalah seminar ini,
pembahasan akan dibatasi hanya pada aspek analisis selubung bangunan.
Arsitektur | 23
Selubung bangunan adalah komponen bangunan baik yang tidak tembus cahaya maupun tembus
cahaya yang memisahkan interior dari lingkungan luar, secara garis besar terdiri atas dinding dan atap.
Desain selubung bangunan berdampak signifikan terhadap konsumsi energi operasional bangunan,
terutama untuk sistem AC/ penghawaan buatan akibat beban termal dan sistem penerangan buatan
untuk memenuhi kurangnya PASH. Kinerja termal selubung bangunan dapat dievaluasi dari nilai
OTTV dan RTTV.
2. Metodologi
Penelitian menggunakan metoda analisis baik kuantitatif maupun kualitatif. Metoda analisis
kuantitatif yang diterapkan berdasarkan pengukuran langsung cuaca di lapangan dan simulasi baik
simulasi pengukuran perhitungan dimensi bangunan dan luasan fasade, maupun simulasi
menggunakan aplikasi komputer. Metoda analisis kualitatif meliputi kajian atas solusi desain baik
teknik pasif maupun aktif yang sesuai dengan konsep Green Building.
3. Hasil Diskusi
Selubung bangunan meliputi dinding dan atap. Walaupun luas bangunan di bawah 5.000 m2, dalam
penelitian ini tetap dilakukan perhitungan OTTV (Overall Thermal Transfer Value) untuk
mengidentifikasi apakah desain selubung bangunan mendukung penghematan energi operasional AC.
a. Bentuk dan orientasi bukaan/ bangunan
Bentuk denah tapal kuda menyerupai huruf U agar bangunan tidak terlalu tebal, sehingga mendukung
penghematan energi operasional bangunan (AC dan penerangan buatan) dimana dapat
mengoptimalkan penghawaan alami (kelancaran dan aksesibilitas pergerakan udara dalam ruang) juga
pencahayaan alami (aksesibilitas cahaya dalam ruang). Selain itu dapat diperoleh tampak yang diolah
representatif pada semua sisi fasad bangunan.
Gambar 1 : Denah Lantai 1 Gambar 2 : Denah Lantai 2
Bentuk bangunan mengecil ke arah atas, maka pengukuran dimensi bangunan dilakukan pada Lantai
1. Data dimensi bangunan yang terukur pada Lantai 1:
a. AE = panjang bangunan = 48,9 m
b. AB/ DE = tebal bangunan = 12,9 m
c. FC = lebar bangunan = 25,4 m
A U B D E C
Arsitektur | 24
Gambar 3: Tampak Depan (Selatan) Gambar 4: XX Tampak Samping (Barat)
Bentuk bangunan tapal kuda menyerupai huruf U yang tipis hanya 12,9 m (jarak AB/ DE pada Lantai
Dasar) sudah baik dalam mendukung penghematan energi operasional AC dan penerangan buatan.
Orientasi bangunan ke arah Utara Selatan dengan dimensi panjang ke arah Barat Timur sudah baik
dalam mendukung perolehan OTTV sesuai syarat Green Building.
b. Shader eksternal dan filter eksternal
Pada bangunan tidak ada shader (pembayang bersifat masif) untuk bukaan, tetapi terdapat filter Sun
Louvre berupa kisi-kisi aluminium yang menutupi bukaan bagian atas pada dinding eksterior fasad
Utara, Selatan, Barat dan Timur. Sun Louvre ini juga menutupi bukaan di atas pintu kaca pada dinding
eksterior. Karena tidak masif memiliki lubang celah antar kisi-kisinya, maka filter tersebut tidak dapat
100% efektif memberi pembayangan tetapi masih dapat mentransmisikan sebagian radiasi panas
matahari ke bukaan.
Filter Sun Louvre berupa kisi-kisi aluminium sudah baik membentuk reduksi penerimaan radiasi
panas ke dalam bangunan. Tetapi bila bangunan menerapkan Lightshelf yaitu reflektor cahaya
horizontal untuk meningkatkan perolehan cahaya alami dalam ruang yang diletakkan pada dinding
interior fasad di antara bukaan bagian atas dan bawah, maka alokasi Sun Louvre ini justru kurang
baik karena menghalangi transmisi cahaya masuk ke dalam ruang untuk dipantulkan oleh Lightshelf
ke plafon. Maka sebaiknya desain Sun Louvre berupa kisi-kisi mendatar yang diletakkan pada dinding
eksterior fasad dengan alokasi di atas bukaan bagian bawah.
Gambar 5: Secondary Skin tipe 1
pada fasad Barat, Timur, dan Utara Lantai 3 Gambar 6 : Secondary Skin tipe 2
pada fasad Barat dan Timur Lantai 4
s/d Lantai 7
Penerapan filter Secondary Skin pada fasad masih kurang baik karena efektifitasnya hanya
dioptimalkan untuk melindungi area utilitas dan sirkulasi yang bukan area utama. Sebaiknya filter
Secondary Skin diterapkan juga untuk melindungi area utama Lantai 1 dan Lantai 2 pada bagian Barat
dan Timur bangunan yang mendapat paparan radiai panas matahari tinggi.
Arsitektur | 25
Penerapan filter Grill pada fasad Selatan sudah baik karena membantu reduksi radiasi panas matahari
yang mungkin diterima dari arah Selatan.
c. Pengaturan Nilai Window Wall Ratio (WWR)
Hasil perhitungan WWR pada fasad bangunan Lantai 1 dan Lantai 2 baik pada grid luar maupun
dalam
Tabel 1: WWR fasad bangunan Lantai 1 Lantai 1 Lengkungan luar Lengkungan dalam
No. Orientasi
fasad Grid WWR
Status Grid WWR
Status
1. Utara FG 13,5 % Masih OK - - -
GH 47,6 % OK
HI 11,3 % Masih OK
2. Timur Laut IJ 63,5 % Kurang OK - - -
JK, KL 67,5 % Kurang OK
3. Timur LM 67,5 % Kurang OK AB 34,3 % OK
MN 47,6 % OK BC 42,9 % OK
4. Tenggara - -
- CD,
DE, EF 42,9 %
OK
5. Selatan AA, NN Tidak ada Tidak ada FG, HI 42,9 % OK
GH 53,8 % OK
6. Barat Daya - -
- IJ, JK,
KL 42,9 %
OK
7. Barat AB 47,6 % OK LM 42,9 % OK
BC 67,5 % Kurang OK MN 34,3 % OK
8. Barat Laut CD, DE 67,5 % Kurang OK - - -
EF 63,5 % Kurang OK
Tabel 2: WWR fasad bangunan Lantai 2
Lantai 1 Lengkungan luar Lengkungan dalam
No. Orientasi fasad Grid WWR Status Grid WWR Status
1. Utara FG 15,7 % Masih OK - - -
GH 55,6 % OK
HI 13,2 % Masih OK
2. Timur Laut IJ, JK,
KL 50,0 %
OK - -
-
3. Timur LM, MN Tidak ada Tidak ada AB, BC Tidak ada Tidak ada
4. Tenggara - -
- CD 64,0 %
Kurang
OK
DE, EF 50,0 % OK
5. Selatan CC, LL Tidak ada Tidak ada FG, HI 50,0 % OK
GH 50,0 % OK
6. Barat Daya - - - IJ, JK 50,0 % OK
KL 64,0 % Kurang
OK
7. Barat AB, BC Tidak ada Tidak ada LM, MN Tidak ada Tidak ada
8. Barat Laut
CD, DE,
EF 50,0 %
OK - -
-
Dari kedua tabel di atas dapat diketahui bahwa masih ada grid fasad dengan nilai WWR kurang baik
karena sedikit lebih besar dari batas 60 % yang disarankan, dimana pada Lantai 1 terjadi pada
orientasi fasad Timur Laut Timur Laut, Timur, Barat, dan Barat Laut yang di dalamnya semuanya
Arsitektur | 26
merupakan ruang galeri, sedangkan pada Lantai 2 terjadi pada orientasi fasad Tenggara (kantor) dan
Barat Daya (ruang audio visual). Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan suhu ruang dalam yang
otomatis memperbesar beban termal bagi sistem pengkondisian udara (AC) sehingga menambah
konsumsi energi operasional bangunan.
Bila ruang dalam dilengkapi dengan Lightshelf dan desain filter Sun Louvre diubah menjadi kisi-kisi
mendatar yang diletakkan pada dinding eksterior fasad dengan alokasi di antara bukaan atas dan
bawah, maka sebagai solusi atas nilai WWR yang masih kurang baik adalah menggunakan kaca jenis
Coated Glass dengan coating oksida logam pada permukaan kaca sehingga memiliki kemampuan
Energy Reflective (ER) terhadap panas matahari atau low-emissivity.
d. Spesifikasi kaca
Jenis kaca Tempered tidak baik dalam berfungsi sebagai filter karena tidak memiliki kemampuan
mereduksi penerimaan radiasi panas matahari. Sebaiknya kaca yang digunakan sebagai curtain wall,
serta pada bukaan bagian bawah dan pintu eksterior adalah jenis yang memiliki Energy Transmittance
(DET) rendah, sehingga Shading Coefficient (SC) rendah dan otomatis Solar Heat Gain Coefficient
(SHGC) rendah tidak lebih dari 0,4 agar memenuhi syarat Green Building. Selain itu akan lebih baik
bila U-Value atau Thermal Transmittance kaca tidak terlalu tinggi (tidak lebih dari 5,0 W/m2K).
SHGC = 0,86 SC. Maka nilai SC kaca yang disarankan untuk curtain wall, serta pada bukaan bagian
bawah dan pintu eksterior maksimal 0,46. Jenis kaca tersebut adalah Coated Glass dengan coating
oksida logam pada permukaan kaca sehingga memiliki kemampuan Energy Reflective (ER) terhadap
panas matahari atau low-emissivity. Berikut alternatif jenis kaca yang dapat dipilih, yaitu Solar Heat
Reflective Glass dengan coating 1 lapis jenis reflective dan Solar Control Low-e Glass dengan coating
2 lapis jenis low reflective dan low emissivity. Posisi coating pada eksterior (#1) atau interior (#2).
Tabel 3: Alternatif Solar Heat Reflective Glass untuk curtain wall
serta bukaan bagian bawah dan pintu eksterior
No Jenis kaca Tebal
(mm)
Possi
coating
DET
(%)
ER
(%)
SC
(%) SHGC
U-Val
(W/m2K)
1. STOPSOL
Classic Green (CGN) 8 #1 16 28 0,35 0,30 5,7
2.
STOPSOL
New Supersilver
Green (SSGNF)
8 #1 24 25 0,42 0,36 5,7
3.
STOPSOL
New Supersilver Euro
Grey (SSGEF)
8 #1 28 26 0,46 0,40 5,7
Tabel 4: Alternatif Solar Control Low-e Glass untuk curtain wall
serta bukaan bagian bawah dan pintu eksterior
No Jenis kaca Tebal
(mm)
Possi
coating
DET
(%)
ER
(%)
SC
(%) SHGC
U-Val
(W/m2K)
1. SUNERGY SIGMA
Green (SNSGN) 8 #2 17 7 0,37 0,32 4,4
2. SUNERGY SIGMA
Grey (SNSBE) 8 #2 18 7 0,38 0,33 4,3
3. SUNERGY
Blue Green (SNBN) 8 #2 22 6 0,41 0,35 4,1
4. SUNERGY
Euro Grey (SNGE) 8 #2 22 6 0,41 0,35 4,0
Untuk optimasi cahaya alami, sebaiknya fasad bagunan dilengkapi Lightshelf yang menerima cahaya
dari bukaan bagian atas. Untuk itu jenis kaca bukaan bagian atas termasuk di atas pintu eksterior
adalah jenis yang memiliki Visual Light Transmittance (VLT) tidak rendah tetapi di sisi lain Energy
Transmittance (DET) dan Shading Coefficient (SC) tidak terlalu tinggi. Jenis kaca yang disarankan
adalah Coated Glass yang warnanya lebih bening. Berikut alternatif jenis kaca yang dapat dipilih.
Arsitektur | 27
Tabel 5: Alternatif kaca untuk bukaan bagian atas termasuk di atas pintu eksterior
No Jenis kaca Tebal
(mm)
Possi
coating
VLT
(%)
DET
(%)
ER
(%)
SC
(%) SHGC
U-Val
(W/m2K)
1.
STOPSOL
New Supersilver
Clear (SSFLF)
8 #1 62 59 27 0,72 0,62 5,7
2. SUNERGY
Clear (SNFL) 8 #2 68 52 8 0,68 0,58 4,1
Penerapan Glass Block sudah baik karena tepat digunakan sesuai fungsi ruang sebagai toilet, dimana
privasi masih terjaga tetapi kaca masih dapat memasukkan cahaya alami ke dalam ruang
e. Penggunaan Lightshelf
Dimensi Lightshelf ditentukan berdasarkan sudut jatuh sinar matahari, kondisi paling panas di
Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa adalah tengah tahun saat musim kemarau. Untuk
perolehan sudut jatuh sinar matahari arah vertikal (Sudut Datang Vertikal/ SDV) yang diterapkan pada
gambar potongan, digunakan simulasi menggunakan software Ecotect dengan orientasi fasad sesuai
ruang galeri dan kantor. Waktu simulasi adalah saat radiasi panas matahari tinggi dan sudut jatuh
sinarnya miring sehingga dapat masuk melalui bukaan, yaitu pukul 10.00 (menjelang siang) serta
pukul 14.00 dan 16.00 (siang sampai sore). Selain SDV, melalui software Ecotect dapat diperoleh juga
Sudut Datang Horizontal (SDH) yang diterapkan pada gambar denah.
Data yang diinput untuk simulasi software Ecotect:
a. Lokasi = Koordinat Pulau Batam yaitu 1.0456 LU, 104.0305 BT (1.0 North, 104.0 East)
b. Tanggal = 1 Juli
c. Orientasi = Timur Laut, Timur, Tenggara, Barat Laut, Barat, dan Barat Daya
d. Waktu = 10.00 untuk orientasi fasad Timur Laut, Timur, dan Tenggara
14.00 dan 16.00 untuk orientasi fasad Barat Laut, Barat, dan Barat Daya
Pembacaan sudut dari hasil simulasi software Ecotect:
a. SDV berdasarkan posisi matahari (bintik) terkait garis setengah elips dimana antar garis
selisihnya 10 °
b. SDH berdasarkan selisih perolehan HSA dengan sudut orientasi fasad (arah Utara 0° dihitung
searah jarum jam)
Tabel 6: Nilai Sudut Datang Vertikal (SDV) 1 Juli di Batam berdasarkan simulasi Ecotect
No. Waktu Timur Laut Timur Tenggara Barat Laut Barat Barat Daya
SDV SDH SDV SDH SDV SDH SDV SDH SDV SDH SDV SDH
1. 10.00 53.0⁰ 6.9 59.0⁰ 38.1 85.0⁰ 83.1 - - -
2. 14.00 - - - 54.0⁰ 3.9 62.0⁰ 41.1 90.0⁰ 86.1
3. 16.00 - - - 30.0⁰ 18.8 31.0⁰ 26.2 60.0⁰ 71.2
Berdasarkan Sudut Datang Vertkal (SDV) yang diperoleh, diambil nilai yang paling rendah agar
cahaya yang masuk ke dalam ruang membawa panas masih dapat diantisipasi oleh Lightshelf. Untuk
fasad dengan orientasi Timur Laut, Timur, dan Tenggara, diambil SDV 53⁰, sedangkan untuk fasad
Barat Laut, Barat, dan Barat Daya diambil SDV 30⁰ (bila dimensi Lighshelf terlalu dalam diambil
SDV 54⁰).
Arsitektur | 28
4. Kesimpulan
Bentuk, ketebalan dan orientasi bangunan ini sudah sesuai dengan syarat Green Building. Penempatan
filter Secondary Skin akan lebih bermanfaat jika ditempatkan untuk melindungi area utama lantai 1
dan lantai 2. Sedangkan penggunaan Filter Grill pada fasade sudah baik dalam membantu mereduksi
radiasi panas matahari pada sisi selatang bangunan. Hasil perhitungan Window Wall Ratio (WWR)
masih terdapat rasio diatas batas yang disyaratkan, namun hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
tipe kaca yang memiliki kamampuan Energy Reflective. Desain Lightshelf sebagai pemantul cahaya
alami dan sebagai shader bagi ruang dalam terhadap paparan radiasi panas matahari sangat ditentukan
oleh faktor lokasi dan orientasi bangunan.
Daftar Pustaka
[1] Latifah, Nur Laela; 2016; Arsitektur dan Energi Modul 1; Diktat kuliah AR 453 Arsitektur dan
Energi.
[2] Olgyay, Victor (1992), Design with Climate-Bioclimate: Approach to Architectural Regionalism,
NY, Van Nostrand Reinhold Co.
[3] Priatman, Jimmy, M. Arch, IAI; 2007; Pengembangan Wawasan Rumah Susun Hemat Energi;
Makalah Lokakarya 12 Mei 2007; Unpar.
[4] Soegijanto, R.M.; 1999; Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Fisika
Bangunan; Departemen Pendidikan Nasional-Indonesia.
[5] Panduan Pengguna Bangunan Gedung Hijau Bandung, 2016.
[6] http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/green+architecture; diakses 5 Agustus 2013.
[7] http://www.wellthy.co.jp/english/files/rainwater01.jpg; diakses 13 Juli 2013
Arsitektur | 29
Strategi Green Design untuk Optimalisasi Penerapan Prinsip
Konektivitas Sustainable Design
Studi Kasus: Koridor Braga, Bandung
Nurtati Soewarno1, Taufan Hidjaz2, dan Eka Virdianti3 1,3Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan
2Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Nasional
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Koridor konservasi merupakan salah satu ruang publik Kota dengan nilai sejarah tinggi. Secara
ekonomi koridor konservasi memiliki potensi untuk membuat Kota menjadi lebih hidup namun
terkadang pembangunan Kota dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan koridor ini. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat prinsip sustainable design melalui konektivitas dan rancangan strategi
berupa guide line green design. Tiga faktor yang menjadi variabel penelitian adalah Lingkungan,
Sosial dan Ekonomi. Variable makro untuk analisis strategi meliputi prinsip yang dibentuk dari
partisipasi dan kolaborasi elemen masyarakat yaitu state, regional, dan local. Pendekatan penelitian
menggunakan mix method, data diperoleh melalui pengukuran, observasi, dan kuesioner. Obyek
penelitian adalah segmen 2 koridor Braga di Kota Bandung. Analisis menggunakan metoda SWOT
dengan hasil simpulan arahan strategi green design untuk optimalisasi penerapan prinsip
konektivitas sustainable design yang terbagi menjadi 4 aspek: regulasi, partisipasi, insentif dan
arahan-guidleine.
Kata Kunci: Strategi Green Design, Prinsip Konektivitas, Sustainable Design.
ABSTRACT
The conservation corridor is one of the city's public spaces with high historical value. Economically
this corridor has potential to make the City more alive however sometimes city’s development can be
a threat to the exsistence of this corridor. This study aims to look at the principle of sustainable
design, through connectivity and design strategy in the form of green design guide line.The three
factors that become research variables are: Environment, Social and Economics. Macro variable for
strategy analysis covering the principles that form of participation and collaboration of community
elements namely state, regional and local. Research approach using mix method by taking data
through measurement, observation, and questionnaire.The object of research is segment 2 corridor
Braga in Bandung City. Analysis using SWOT method with conclusion with the result of green design
strategy conclusion to optimize the application sustainable design connectivity principal which is
divided into 4 aspects: regulation, participation, incentives and guidline direction.
Keywords: Strategy Green Design, Connectivity Principle, Sustainable Design.
Arsitektur | 30
1. Pendahuluan
Aplikasi rancangan konektivitas sebuah Kota dapat dinilai dari keberadaan koridor yang pada
hakekatnya membentuk suatu linkage (penghubung) antar kawasan. Keberadaan koridor merupakan
sistem penghubung akibat deretan massa yang dapat membentuk rancangan visual arsitektur yang
khas. Fungsi koridor dapat berkembang sebagai area komunal: tempat terjadinya interaksi sosial
masyarakat Kota dan cenderung meningkatan nilai ekonominya.
Kota Bandung memiliki bangunan cagar budaya dan beberapa diantaranya terletak di koridor yang
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung telah dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya
dan memiliki nilai historis. Koridor Braga pada awalnya merupakan kawasan perekonomian elit.
Isu permasalahan dalam penelitian ini koridor Braga merupakan kawasan perekonomian elit di jaman
kejayaannya, lalu sempat menjadi kawasan pasif dan pada tahun 2000-an tumbuh kembali secara
perekonomian namun secara arsitektural terjadi perubahan dan penambahan pada facase bangunan
serta terjadi pergeseran segmentasi ekonomi. Pertumbuhan yang tidak terkendali ini yang akan
mengancam keberlanjutan kawasan Braga.
Penerapan prinsip konektivitas merupakan bagian dari sustainability dalam konteks desain disebut
sustainable design. Berupa filosofi dasar dari pergerakan dasar dan organisasi yang mengkhususkan
untuk mencari pemastian disain, pembangunan dan pengoperasian yang lebih bertanggung jawab
terhadap lingkungan serta reponsif terhadap masyarakat [1]. Penelitian ini diawali dengan tahapan
identifikasi dalam 3 aspek meliputi: (1)Lingkungan,(2)Ekonomi,(3)Sosial. Melalui semangat green
design, strategi akan diarahkan untuk mengimplementasikan prinsip adaptasi [2], dimana Untuk
kawasan Braga, parameter kawasan yang dapat digunakan adalah tolak ukur yang berkaitan langsung
dengan kawasan adalah Appropriate Site Development [3], sedangkan interior parameter strategi lebih
fleksible. Maka tujuan penelitian adalah merancang strategi green design untuk optimalisasi
sustainable design sebagai pedoman pengembangan kawasan Braga Kota Bandung.
2. Metodologi
Studi kasus berlokasi di segmen 2 kawasan Braga, Bandung. (lihat gambar 1). Pendekatan
menggunakan mix method. Metoda pengambilan data dilakukan dengan kegiatan pengukuran suhu
dan kecepatan angin untuk data variable lingkungan, sedangkan variable ekonomi dan sosial melalui
observasi, penyebaran kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Periode waktu pengambilan data
yaitu 2 hari kerja dan 2 hari libur. Periode dikelompokan pada jam pengamatan yaitu 08.00-10.00(pagi
hari); 12.00-14.00(siang hari) dan 15.00-17.00(sore hari). Analisis mikro aspek lingkungan, ekonomi
dan sosial dalam prinsip konektifitas [4]. Variable makro untuk analisis stategi adalah Prinsip-prinsip
ini dibentuk dari partisipasi dari kolaborasi elemen masyarakat yaitu state, regional,dan local [5].
Penelitian ini terfokus pada produk output berupa strategi hasil penelitian sebelumnya. Analisis
menggunakan metoda analisis SWOT dengan tahapan output data internal dan eksternal, pembobotan
dan posisi pada tabel kuadran [6].
Arsitektur | 31
3. Hasil dan Diskusi
3.1 Gambaran Kawasan Braga
Perkembangan di awali dari orang Eropa yang bermukim di kawasan sekitar Alun-alun dan Kantor
Pos dan pendatang pengusaha teh, memerlukan kehidupan dan interaksi sosial yang beratmosfer
Eropa. Menurut Wieland, 1997 berawal dengan pembukaan grocery “De Vries” lalu terbentuknya
Concordia, diikuti oleh Braga Theatre Club. Pada tahun yang sama, perbaikan kondisi fisik
Karrenweg dan diberi nama Bragaweg (Braga street). Jalan Braga lalu dikenal secara internasional
sebagai "Het meest Europeesche Winkelstraat van Indi" (tempat belanja Eropa yang paling orisinal
dan bisnis di Indonesia). Kemudian pada dasawarsa 1920-an muncul toko-toko dan butik (boutique)
pakaian yang mengambil model di Kota Paris, Perancis yang saat itu merupakan kiblat model pakaian
di dunia [7].
Kawasan Braga menjadi pusat perbelanjaan dan gaya hidup orang Eropa masa itu. Kehidupan
kawasan Braga hanya berlangsung hingga 1942. Jepang datang ke Indonesia fungsi komersial Braga
menjadi mati. Setelah kemerdekaan kawasan Braga mengalami banyak perubahan baik berupa fisik
bangunan maupun non fisik yaitu pergeseran segmentasi kawasan.
3.1.1 Eksistensi dan Degradasi Kawasan Braga
Hasil survey di lapangan sebanyak 77%, dari 74 fungsi bangunan, masih bertahan dengan langgam
bangunan lama. Jika pengendalian, pendataan dan klasifikasi bangunan tidak segera diterapkan maka
Segment 2
Gambar 6 Segmentasi Kawasan Braga -Studi Kasus: Segemen 2 (Googgle Map 2017,
diolah; David B Sodiyono,2017)
Gambar 7 Braga dari Masa ke Masa (berbagai sumber,2017)
Arsitektur | 32
perubahan karakter kawasan dapat terjadi. Komunitas Kota yang menjadi responden telah sepakat
bahwa bangunan lama menjadi background yang sangat menarik dan fitur/elemen dominan yang
mengundang datang ke kawasan ini. Namun hasil observasi beberapa bangunan telah teridentifikasi
hilang dari kawasan tersebut dan digantikan dengan bangunan modern. Degradasi dapat diartikan
kemuduran atau kemerosotan. Penilaian dari sisi kuantitatif adalah berkurangnya jumlah bangunan
Indo Europeeschen Architectuur Stijl, dalam kawasan Braga segmen 2. Sedangkan dari penilaian
kualitatif terdapat pengurangan kualitas/performance arsitektur akibat pemeliharaan atau penambahan
elemen identitas komersil yang terlalu banyak dan tidak didisain dengan baik. Nilai-nilai lingkungan
kemasyarakatan dalam hal pelestarian Bangunan Cagar Budaya belum tersosialisasi dengan baik.
Dalam Perda Bangunan [8] dan Peraturan menteri mengenai Bangunan Hijau terdapat sistem insentif
pada bangunan cagar budaya. Perawatan bangunan cagar budaya dilakukan secara pribadi oleh
pengelola Potongan pajak bumi dan bangunan atau kompensasi belum diberikan pemerintah terhadap
bangunan cagar budaya.
Kondisi infrastruktur pada kawasan ini adalah penyediaan fasilitas parkir serta area pemberhentian
khusus untuk transportasi umum. Perlunya sosialisasi bagi pengguna serta penyedia transportasi
umum dilakukan untuk mengurai kesemrawutan lalu lintas kendaraan. Penyediaan ruang komunal
yang dapat berfungsi ganda sebagai ruang terbuka hijau tidak dapat dilakukan karena kawasan ini
berupa deretan bangunan padat dengan bentuk koridor. Sehingga diperlukan konsep area komunal lain
dan dari sisi penghijauan diperlukan teknik serta disain yang berbeda.
3.1.2 Konektifitas Lingkungan, Ekonomi dan Sosial
Penerapan prinsip konektivitas lingkungan secara makro, koridor ini belum memberikan dapat
memberikan peran dalam menurunkan efek Urban Heat Island. Secara internal, kenyamanan
lingkungan di batas atas zona nyaman, dimana hasil penelitian sebelumnya yaitu temperatur 30,7◦C,
kecepatan angin 0,6 m / s dan kelmbaban 40%. Respon dari pengunjung menyatakan kurang nyaman,
karena alasan panas akibat banyak polusi kendaraan. Tatanan deret massa bangunan, façade arsitektur
ciri bangunan lama dengan sirip dan bidang transparant yang sedikit serta adaptasi rancangan dengan
kanopi, memberikan dampak yang besar dalam menjaga kenyamanan koridor ini.
Koridor ini memang dipersiapkan untuk menjadi pusat perdagangan dan jasa. Mulai tahun 2000an,
kawasan ini hidup kembali, terlihat dengan berjamurnya sector perniagaan dan perhotelan di sekitar
koridor Braga. Koridor Braga segmen-2 memiliki 74 fungsi unit bangunan yang memicu sector
perekonomian internal. Fungsi tersebut telah terespon oleh masyarakat dengan pengeluaran ekonomi
pengunjung untuk makan dan parkir di koridor ini. Secara arsitektural, keseluruhan bangunan
menerapkan pola adaptif reuse dalam rancangan interior. Untuk façade bangunan beberapa
memberikan rancangan adaptif dengan mewarnai bangunan dan memberikan signage dan fitur
menarik sebagai identitas komersil.
Kelebihan koridor konservasi Braga, diapit kawasan yang didominasi oleh bangunan lama serta dua
ruang terbuka Kota, sehingga konektifitas sosial koridor dan sekitarnya telah terbangun. Di koridor
Braga-segmen 2, pemicu aktifitas interaksi adalah kegiatan mengobrol, menikmati pemandangan dan
duduk. Rerata pengunjung datang dengan membawa teman dan saudara. Rancangan façade bangunan
lama dengan langgam khas dan elemen street furniture, telah menjadi background elemen/fitur
menarik untuk didatangi oleh komunitas Kota. Dalam hal interaksi social koridor Braga telah
memberikan tingkat kepuasan yang baik di mata komunitas Kota.
Arsitektur | 33
3.1.3 Regulasi, Penilaian dan Peran Masyarakat di Kawasan Braga
Bangunan lama pada koridor Braga, memberikan andil besar dalam membentuk situasi/setting
kawasan, yaitu potensi dari sisi ketersediaan fitur menarik yang dapat membawa pengunjung dalam
history dan memory zaman Bandung tempo dulu. Hasil kuesioner, kawasan ini perlu dipertahankan
ciri khas arsitektur karena hal tersebut dinilai sebagai fitur dominan yang sangat mengundang. Sisi
identitas koridor Braga sebagai public space yang berkualitas telah terespon oleh komunitas Kota.
Keberlanjutan kawasan ini berada pada nilai history dan langgam arsitektur. Namun citra kawasan
Braga sebagai kawasan elit yang perlu dikemas kembali. Pemerintah dan investor Kota Bandung telah
memberikan stimulus kawasan ini berupa fungsi jasa dan komersil yang akhirnya terespon dengan
baik sehingga kawasan koridor Braga menjadi hidup dari sisi sosial dan ekonomi. Ketiadaan regulasi
guideline kawasan memberikan dampak yang significant dan berakibat hilangnya jati diri kawasan.
3.2 Analisis SWOT
3.2.1 Data Eksternal dan Internal SWOT
Matrik SWOT adalah matrik yang mengintegrasikan faktor strategis internal dan eksternal. Matrik ini
dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman (eksternal) yang dihadapi dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan (internal) yang dimiliki [6].
Table 1 Data Matriks Eksternal, Pembobotan dan Rating
Matriks Eksternal (Efas)
Bobot
(Skala Rating
(1-4)
Bobot X
Rating 0 - 1)
1) Peluang/Opportunies (O)
a Semua pemilik dan pengelola Bangunan Lama di Kawasan Braga
2 membiayai perawatan bangunan oleh dana pribadi (pemilik atau
penyewa).
0.05 4 0.2
b Pengembangan kawasan berbasis ekonomi, jasa dan komersial
(berpotensi sebagai wisata dan public area) sudah berkemban
0.03 3 0.09
c Tingkat peluang investasi sangat tinggi di kawasan ini 0.05 3 0.15
d Beberapa bangunan bercirikan arsitektur Indo-Europeeschen
Architectuur Stijl yang diduga bangunan cagar budaya
0.1 4 0.4
e Komunitas kota telah merespon bangunan langgam lama sebagai
hal yang menarik dan menjadi identitas kawasan
0.05 3 0.15
0.99
2) Tantangan/Threats (T)
a Penataan infrastruktur perparkiran dan kesemrawutan lalulintas 0.1 3 0.3
b Pengendalian iklim mikro diluar zone nyaman 0.05 3 0.15
c Kesadaran pemilik&pengelola tentang pelestarian bangunan Lama 0.2 4 0.8
d Pengendalian mordenitas pembangunan 0.17 4 0.68
e Kesadaran masyarakat dan investor terhadap eksistensi Bangunan
lama
0.2 4 0.8
1 2.73
Arsitektur | 34
Table 2 Data Matriks Internal, Pembobotan dan Rating
Matriks Internal (Ifas)
Bobot
(Skala Rating
(1-4)
Bobot
X
Rating 0 - 1)
A) Kekuatan/Streght (S)
a Sudah adanya regulasi mengenai cagar budaya berupa perda 19 th 2009
serta perwal 921 untuk kawasan koridor konservasi
0.2 2 0.4
b Konektifitas ekonomi dan sosial secara makro-mikro sudah terbangun 0.15 3 0.45
c Pemda telah membentuk tim cagar budaya untuk melaksanakan
pengelolaan Bangunan lama secara umum di kawasan Bandung
0.1 2 0.2
d Identitas kawasan sebagai koridor konservasi 0.05 2 0.1
e Perkembangan kawasan ini sangat pesat 0.05 2 0.1
1.25
B) Kelemahan/Weakness (W).
a Pemda telah membentuk tim cagar budaya untuk melaksanakan
pengelolaan Bangunan lama secara umum di kawasan Bandung
0.2 4 0.8
b Belum ada guideline kawasan untuk meningkatkan visualisasi koridor
Kawasan
0.05 4 0.2
c Perubahan segmentasi/citraKawasan Braga 0.05 3 0.15
d Sosialisasi Pengetahuan Bangunan Cagar Budaya belum dilakukan 0.1 4 0.4
e Pemerintah belum melakukan klasifikasi & inventarisasi bangunan
yang diduga cagar budaya
0.05 4 0.2
1 1.75
Dari hasil pembobotan analisis SWOT di atas, tahapan selanjutnya adalah menempatkan hasil
pembobotan dan nilai rangking dengan melakukan selisih O-T dan S-W pada kuadran di bawah ini.
hasil akhir akan diketahui strategi mikro dan makro berdasarkan posisi kuadran. Hasil kuadran
tersebut akan diturunkan menjadi rancangan aksi dalam Strategi Selisih O-T didapatkan -0.26 dan
Selisih S-W adalah -3. Sehingga didapatkan rekomendasi strategi yang harus dilakukan. O
KUADRAN III 4 KUADRAN I
3
2
1
W -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 S
(-0,26;-3) -1
-2
-3
KUADRAN IV -4
T
Gambar 8 Lokasi Kuadran
Arsitektur | 35
Kuadran IV, negatif – negatif , posisi ini menandakan sebuah organisasi/instansi/kawasan yang lemah
dan menghadapi tantangan , rekomendasi strategi yang digunakan adalah strategi bertahan,
mengendalikan kinerja internal agar tidak semakin terperosok. Strategi ini dipertahankan sambil terus
berupaya membenahi diri. Dari hasil analisis SWOT maka strategi yang harus dilakukan adalah
strategi bertahan. Ini disebabkan dari sisi internal instansi yang belum menimplementasikan aturan
dan sosialisasi dan dari sisi peluang area/kawasan ini bukan merupakan jalur utama tapi hanya area
penyokong kawasan strategis.
Arahan strategis yang dihasilkan berupa kuadran bertahan dimana langkah utama stategi adalah
perencanaan ataupun penerapan regulasi dan kebijakan dari pemerintah yang ketat. Kita ketahui
regulasi di Kota Bandung bersifat umum. Dalam detail tata ruang kota Bandung kawasan Braga,
belum mengatur aspek-aspek green design menuju aspek keberlanjutan. Oleh karena itu rencana
strategis di dalam penelitian ini akan mengatur rekomendasi/arahan berbentuk guidline untuk eksterior
dan interior kawasan demi mempertahankan citra kawasan Braga.
Strategi secara umum melakukan upaya adaptasi secara tepat untuk dapat menghidupkan kembali
fungsi koridor Braga adalah dalam konteks preservasi peninggalan sejarah yang sangat penting bagi
kota Bandung. Dalam konteks bangunan hijau penerapan adaptasi pada bangunan yang sudah
terbangun dan termasuk bangunan cagar budaya. Tujuannya adalah agar fungsi koridor Braga dapat
berlanjut dengan menghilangkan tampilan pada beberapa bangunan yang tidak terurus, kumuh, tidak
terawat, dan dibiarkan kosong begitu saja karena tidak dipergunakan sebagai layaknya bangunan
ditengah perkotaan yang bersejarah. Adaptasi fungsi bangunan dengan konteks yang baru (penerapan
prinsip adaptasi dalam green design) dapat dilakukan sebagai alih fungsi pada ruang interior, namun
harus tidak mengganggu tampilan luar (eksterior) agar tetap menjadi bagian koridor Braga yang
bersejarah..
Peran arsitektur tidak cukup untuk penerapan optimalisasi konektifitas sustainable design. Diperlukan
peran-peran yang bersifat collaborative untuk pengembangan keberlanjutan kawasan Braga.
Utamanya dari hasil analisis SWOT yang memberikan hasil tipe strategi “bertahan”, dimana dapat
diartikan peran regulasi sangat penting demi menjaga identitas kawasan. Untuk mewujudkan dampak
kolektif dalam strategi bertahan diperlukan system penyelenggaraan desain berbasis komunitas.
Praktek desain komunitas dengan implementasi nilai-nilai local, historical berbasis citra kawasan
Braga. Prinsip-prinsip ini dibentuk dari partisipasi dari kolaborasi elemen masyarakat yaitu state,
regional,dan local.[5]. Penyelenggaraan diwujudkan dengan kolaborasi dari upaya sisi akademisi
universitas untuk inovatif , inisiatif dari pihak non profit bussiness, dan pemerintah untuk memajukan
tujuan dari desain komunitas.
4. Kesimpulan
Hasil pembahasan dan diskusi, dikelompokan sesuai aspek partisipasi dari kolaborasi elemen
masyarakat. Sehingga dapat terlihat keterlibatan dari elemen masyarakat dan rencana-rencana ke
depan. Stategi yang terbentuk meliputi: (1) Aspek Regulasi yaitu: (a) Regulasi pengurangan intensitas
kendaraan dan penyediaan area komunal parkir untuk meningkatkan kenyamanan kawasan Braga; (b)
Regulasi mengenai pengembangan di kawasan Braga dan guidline visual kawasan yang dapat
memperkuat karakter; (c) Sosialisasi regulasi dan meningkatkan peran masyarakat mengenai cagar
budaya di kawasan ini; (d) Sosialisasi dan pengarahan dari pemerintah untuk pengembangan
kebijakan kawasan jasa dan komersil sekaligus pengembalian citra kawasan ini. (2) Aspek Partisipasi
yaitu: (a) Pemerintah, Investor, Masyarakat bekerjasama dalam mempertahankan identitas kawasan
Arsitektur | 36
Braga; (b) Pemerintah, Investor, Masyarakat bekerjasama dalam merencanakan dan membangun
sarana dan prasarana kawasan untuk keberlanjutan; (c) Meningkatkan peran serta pemerintah,
komunitas(masyarakat), investor. (3) Aspek Insentif yaitu: Pemberlakuan Insentif sebagai reward di
kawasan Braga. (4) Aspek Arahan-Guidelline green design yaitu: (a) Pengklasifikasian bangunan dan
kelas cagar budaya di kawasan Braga; (b) Penerapan kriteria green design yaitu kawasan Appropriate
Site Development (pengembangan kawasan yang tepat); (c) Pengendalian modernitas dengan
mengeluarkan guidline pembangunan kawasan berbasis green aspek (bangunan) -kawasan
keberlanjutan; (d) Pengembalian citra kawasan sebagai kawasan elit namun terbuka untuk komunitas
kota secara umum. Pengembangan konsep strategi dalam pelaksanaan akan dilanjutkan dalam
penelitian berikutnya.
Daftar Pustaka
[1] McLennan, 2004, The Philosophy of Sustainable Design, 2004, Ecotone Publishing
[2] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.2 Tahun 2015 Tentang Bangunan
Gedung Hijau.
[3] GBCI, Greenship Existing Building Summary,2012 dalam bcindonesia.org/greenship/rating-
tools/download/cat_view/4-greenship/6-greenship-existing-building di akses 18 Oktober 2017
[4] Daniel E Wiliama, 2007, Sustainable Design, Ecology, Architecture and Planning, John Willey &
Sons. Inc
[5] Marcos L. Rosa, 2012, Hand made urbanism, From Community Innitiatives To Participatory
Model, UTE E. WEILAND (ED)
[6] Freddy Rangkuti, 2001, Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis- Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21, Gramedia Pustaka, Cetakan 7
[7] Kunto. Haryoto, 1985, Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe, Granesia
[8] Peraturan Daerah Kota Bandung No.18 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bandung (RTRW).
Arsitektur | 37
Bambu Siam Sebagai Material dalam Rancangan Bentuk Organik
beserta Uji Kekuatannya
Ardhiana Muhsin, Sofyan Triana
Jurusan Teknik Arsitektur, Jurusan Teknik Sipil,
Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Nasional
E-mail: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Seiring berkembangnya arsitektur bambu, rancangan bangunan bambu di Indonesia semakin
beragam dikarenakan dorongan untuk mengeksplorasi material bambu semakin tinggi. Salah satunya
adalah dengan menampilkan bangunan-bangunan berbentuk organik. Konsep tersebut ditampilkan
mengingat fungsi yang dimunculkan adalah tipologi bangunan yang erat hubungannya dengan alam
seperti restoran dan hotel resort. Adaptasi bentuk umumnya terjadi berupa penyesuaian dengan
material yang akan dipakai sebagai strukturnya. Bambu betung/petung (Dendrocalamus asper) serta
bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) yang umum dijadikan bambu struktur
tidak dapat begitu saja dilengkungkan. Alternatifnya adalah menggunakan bambu yang ukurannya
lebih kecil yaitu bambu haur payung atau bambu siam (Thailand Bamboo/ Thyrsostachys siamensis
Gamble). Bambu tersebut dirangkai menjadi satu untuk kemudian dibentuk sesuai dengan
kelengkungan yang diinginkan. Bambu kecil sebenarnya tidak diperuntukan sebagai material struktur,
untuk itu dalam penelitian ini selain membahas bentuk yang telah ada dari preseden bangunan,
dilakukan pula uji kekuatan terhadap rangkaian bambu yang dimaksud. Penelitian ini dimulai dengan
menelaah desain bangunan bambu berbentuk organik yang menggunakan metoda serupa. Setelah itu,
dilakukan pembuatan rancangan bangunan bambu baru untuk disimulasikan sebaran
gaya/pembebanan yang akan diterima. Apabila diperlukan, dilakukan uji coba pada model bambu
yang serupa untuk mengetahui beban maksimal yang dapat diterima rangkaian tersebut. Hal ini
penting agar dalam setiap rancangan arsitektur bambu tidak hanya terlihat indah pada gambar
namun dapat dibangun dan dipertanggungjawabkan kekuatannya.
Kata kunci : bambu, bentuk organik, uji kekuatan
1. Pendahuluan
Bentuk adalah perwujudan dari suatu obyek yang paling awal diapresiasi oleh pengamat. Arsitektur
bambu yang terlanjur melekat dengan predikat “tradisional” pada awalnya tidak memiliki banyak
variasi akan bentuk yang ditampilkan. Temuan sifat-sifat fisik bambu, kemudahan dalam
mendapatkan bahan serta berkembangnya pengetahuan tentang cara mengolah bambu menjadikan
material ini sedikit demi sedikit kembali diminati oleh masyarakat. Bukan hanya oleh pengrajin kriya
atau desainer, arsitek juga mulai tertarik terhadap bambu untuk diolah dan dikembangkan sebagai
bagian dari bangunannya. Pasca masuknya informasi dari luar daerah maupun luar negeri, bentuk
yang dipilih semakin berkembang dan variatif. Bentuk organik banyak diangkat menjadi konsep atau
tema karena mampu memaksimalkan karakter bambu sebagai bahan dasar bangunannya.
Arsitektur | 38
Kata ‘organic’ dinyatakan oleh Frank Lloyd Wright pertama kali sekitar tahun 1908 untuk kemudian
dideklarasikan lebih dari 30 tahun kemudian pada tahun 1939 (Frampton, 1980). Lebih lanjut menurut
Elman dalam sebuah essainya, kata ‘organik’ walaupun cenderung mengandung makna yang
berhubungan dengan alam seperti flora dan fauna, konsep arsitektur organik yang diusung oleh Frank
Lloyd Wright bukanlah mengenai style atau bentuk yang dihasilkan berupa peniruan bentuk-bentuk
yang terdapat di alam sekitar kita. Penampang ZERI Pavillion dalam sebuah pameran/expo di Jerman
pada tahun 2000 karya Simon Velez misalnya yang diidentikan seperti sebuah cendawan (Gambar 1)
sedangkan pada bagian dalamnya, penampang ZERI Pavillion menyerupai sel tulang jika dilihat
melalui pembesaran mikroskopik (Gambar 2).
Gambar 9. Penampang ZERI Pavillion
Sumber: Grow Your Own House
Gambar 10. Bagian dalam ZERI Pavillion
Sumber: Grow Your Own House
Konsep arsitektur organik Wright lebih merupakan interpretasi ulang dari prinsip-prinsip alam yang
kemudian melahirkan suatu gagasan yang bisa jadi lebih alami dari alam tersebut. Arsitektur organik
juga memberi penghormatan yang tinggi terhadap karakteristik dari setiap bahan atau material yang
digunakan serta integrasi antara site dengan bangunannya. Pernyataan terakhir tampaknya lebih tepat
konteksnya jika dihubungkan dengan arsitektur bambu. Arsitek tampak lebih banyak menampilkan
bambu secara utuh pada setiap rancangannya. Kombinasi garis lurus serta bentuk-bentuk
lengkungnyapun menyerupai karakter batang pohon bambu yang sesungguhnya. Material bambu yang
digunakan Simon Velez yang diperlihatkan pada gambar di atas, memperlihatkan kemampuan bambu
berbentuk batang dalam menahan beban dan bentang lebar dengan cara dirangkai membentuk kuda-
kuda tiga dimensi. Keberhasilan Velez, seakan membuka wawasan baru bahwa arsitektur bambu
dengan sambungan modern dapat dibuktikan kekuatan strukturnya melalui serangkaian pengujian
yang dilakukannya di Manizales, Kolombia, terhadap replika bangunan yang sama sebelum bangunan
tersebut dipamerankan di lokasi sesungguhnya (Von Vegesack/Kries, 2000).
Perkembangan arsitektur bambu saat ini sudah lebih dinamis lagi. Rancangan Heinz Alberti dalam
Pearl Beach Lounge di Gili Trawangan, Lombok, mengambil metafora dari bentuk ombak di pantai
dan menjadikan tepi bangunan yang dirancangnya bergelombang (Gambar 3).
Gambar 11. Pearl Beach Lounge dan metafora ombak
Sumber: Maurina (2015)
Arsitektur | 39
Gambar 12. Penampang Pearl Beach Lounge
Sumber: Maurina (2015)
Pada kondisi seperti ini, bentuk material bambu yang berupa batang masih tetap digunakan sebagai
struktur utama (tanda merah pada Gambar 4) dengan kelengkungan yang didapat dengan cara
pemilihan pada saat pengadaan bahan konstruksi namun untuk bagian lain seperti rangka atap yang
akan menentukan bentuk bangunannya, bambu berbentuk batang tidak dapat lagi mengakomodir
tuntutan kelengkungannya sehingga pada akhirnya digunakan rangkaian bambu ikat yang terdiri dari
bilah-bilah bambu. Contoh lain yang merupakan peniruan dari bentuk-bentuk alam dapat dilihat pada
tampak atas rumah tinggal Elora Hardy di Bali, Indonesia. Susunan massa bangunan, puncak dan
entrance bangunan dapat diinterpretasikan seperti tumpukan batang, daun dan bunga (Gambar 5).
Gambar 13. Rumah Elora Hardy, Bali, Indonesia
Sumber: www.boredpanda.com waktu akses 1 November 2017, pk 07.43 WIB
Beberapa pelatihan/tenan pameran bersifat kontemporer yang diadakan mahasiswa/institusi juga mulai
menggunakan bambu ikat. Selain untuk alasan yang sama dalam hal pencarian bentuk, pada daerah
yang jenis bambunya terbatas pada jenis bambu kecil, tentu akan lebih mudah menggunakan jenis
bambu yang ada daripada mendatangkan dari daerah lain atau bahkan dari luar negeri (Gambar 6).
Untuk jenis fungsi-fungsi sederhana seperti shelter, amphitheater kecil, bentuk yang diambil
umumnya berupa cangkang kerang, siput atau keluarga hewan Mollusca lainnya.
Arsitektur | 40
2. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metoda riset eksperimental dengan cara menguji kekuatan lentur sampel
bambu. Alat yang dapat digunakan guna mendukung kebutuhan tersebut adalah alat UTM (Universal
Testing Machine) dengan jarak bantalan 15 cm sedangkan bambunya menggunakan bambu haur
payung (Thailand Bamboo/ Thyrsostachys siamensis Gamble) serta bambu tali/apus (Gigantochloa
apus) karena dinilai termasuk jenis bambu yang baik kelenturannya. Pengujian dilakukan masing-
masing sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan 2 jenis sampel yang berbeda sebagai pembanding.
Hasil pengukuran akan dijadikan dasar dalam simulasi perhitungan struktur apabila kemudian batang
bambu tersebut dibuat dalam rangkap 3 dengan asumsi menggunakan klem stainless steel sebagai
pengikatnya. Tahapan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut;
- Pengumpulan bahan uji
- Pengujian dan hasil analisis uji
- Simulasi perhitungan struktur
- Pembuatan model 3D komputer
- Kesimpulan
4. Hasil Diskusi
Bambu yang digunakan untuk pengujian memiliki diameter yang berbeda-beda baik diameter luar
maupu dalamnya. Sebelum percobaan dimulai dilakukan pengukuran terhadap keempat spesimennya
seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Setelah proses pendataan selesai, pengujian dimulai dengan
memberikan tekanan pada bahan uji secara bertahap. Pengujian dihentikan saat bambu tidak dapat lagi
menahan beban yang diberikan, dapat dilihat berupa perubahan bentuk hingga kerusakan pada bahan
uji. Selain itu ditandai pula dengan menurunnya grafik kekuatan spesimen dalam menahan bebannya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 6. Bambu Ikat di Fiano Romano, Italia
Sumber: www.francescagioiagreco.com waktu akses 3 November 2017, pk 20.27 WIB
Arsitektur | 41
Gambar 7. Proses Pengujian Spesimen 1
Dari kiri ke kanan : Bambu mulai diberi tekanan bertahap, saat mencapai 190 kg telah terjadi
perubahan pada spesimen, grafik mulai turun dari puncak, timbul suara retakan dan juga perubahan
secara visual
Pengujian sebaiknya dilakukan beberapa kali dengan kondisi bambu yang relatif sama.
Gambar 8. Proses Pengujian Spesimen 2
Dari kiri ke kanan : Pada tekanan 201 kg, kerusakan pada spesimen kedua lebih berat dibandingkan
spesimen sebelumnya namun angka kekuatannya lebih baik sedikit
Pengujian yang kedua didapat hasil yang tidak jauh berbeda dengan percobaan pertama sehingga
dapat dijadikan kesimpulan sementara bahwa bambu tali dengan diameter luar dan dalam yang hampir
sama, ternyata memiliki kekuatan yang sama juga (Gambar 8).
Gambar 8. Proses Pengujian Spesimen 3 dan 4
Dua pengujian terakhir menggunakan jenis bambu siam dengan diameter bambu yang lebih kecil
(lihat Tabel 1, pada Bahan Uji Bambu Siam). Antara kedua spesimen terakhir ini ternyata angka
Arsitektur | 42
kekuatannya sangat jauh berbeda yaitu pada 90 kg dan 35 kg. Perbedaan yang signifikan seperti ini
tidak dapat dijadikan kesimpulan sementara akan kekuatan spesimen tersebut sehingga diperlukan
spesimen tambahan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat akan kekuatan yang sebenarnya
dapat diterima oleh bambu tersebut. Rekaman hasil percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 8
sedangkan data hasil uji secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Bahan Uji
Sumber: Politeknik Negeri Bandung
Spesimen F(N) Diameter
Luar (mm)
Diameter
Dalam (mm)
S=jarak ruas
(mm)
σb
N/mm2
Bambu Tali 1 1900 48,86 32,64 150 9.229
Bambu Tali 2 2010 50,16 38,14 150 9.143
Bambu Siam 1 900 23,83 11,74 150 27.007
Bambu Siam 2 350 19,92 11,86 150 9.353
Berdasarkan Tabel 1 juga dapat dilakukan analisis pada spesimen tunggal dengan rincian sebagai
berikut:
a. Bambu Tali
Kuat Tekan = 1955 Newton 195,5 Kg
Tegangan Tekan (Tekuk) = 9,186 N/mm2 0,9186 Kg/mm2
Diameter Rata-Rata Luar = 49,51 mm
Diameter Rata-Rata Dalam = 35,39 mm
b. Bambu Ater
Kuat Tekan = 625 Newton 62,5 Kg
Tegangan Tekan (Tekuk) = 9,353 N/mm2 0,9353 Kg/mm2
Diameter Rata-Rata Luar = 21,88 mm
Diameter Rata-Rata Dalam = 11,8 mm
Arsitektur | 43
Bambu Tali
Pemeriksaan Titik Berat Baru
Gambar 14. Penampang Komposit Bambu Tali
Y . A = y1.a1 + y2.a2 + y3.a3
Keterangan:
Y = Jarak titik berat komposit terhadap bagian alas penampang
A = Luas total komposit
y1 = Jarak titik berat Bambu 1 terhadap bagian alas penampang
y2, y3 = Jarak titik berat Bambu (2 & 3) terhadap bagian alas penampang
a1 = Luas penampang Bambu 1 (1924,56 mm2)
a2, a3 = Luas penampang Bambu 2 dan atau Bambu 3 (1924,56 mm2)
Y. 5773,67 mm2 = (67,635 mm*1924,56 mm2) + (24,755 mm*1924,56 mm2) + (24,755
mm*1924,56 mm2)
Y = 31,134 mm (Jarak Titk Berat Baru terhadap alas)
Pemeriksaan Inersia
Ix = Ixo + Ay2
= 2 x {[(0,7854 x (49,51/2)4)- (0,7854 x (35,39/2)4)]+[(0,25 x π x 49,512 x 24,7552) -
(0,25 x π x 35,392 x 24,7552)} + {[(0,7854 x (49,51/2)4)- (0,7854 x (35,39/2)4)]+ [(0,25 x π x 49,512 x
67,6352) - (0,25 x π x 35,392 x 67,6352)]}
= 6.112.025,285 mm4
Pemeriksaan Momen Izin Maksimum Lapangan Bambu Komposit
Penjumlahan tegangan lentur 3 batang bambu = 3 x 9,186 N/mm2 = 27,558 N/mm2
Bambu 1
Bambu 2
Bambu 3
Arsitektur | 44
27,558 N/mm2 =
Momen Izin Lapangan Bambu Komposit = 5.410.008,12 Nmm
Perbandingan Momen izin lapangan bambu tunggal
Perhitungan Inersia Bambu Tunggal
Ix = Ixo + Ay2
= [(0,7854 x (49,51/2)4)- (0,7854 x (35,39/2)4)]+[(0,25 x π x 49,512 x 24,7552) - (0,25
x π x 35,392 x 24,7552)
= 794.629,645 mm4
Pemeriksaan Momen Izin Maksimum Lapangan Bambu Tunggal
Penjumlahan tegangan lentur 1 batang bambu = 9,186 N/mm2
9,186 N/mm2 =
Momen Izin Lapangan Bambu Tunggal = 294.868,427 Nmm
Perbandingan kekuatan Bambu Tunggal dengan Bambu Komposit (3 bambu) dalam hal:
Momen izin lapangan
Momen Izin Lapangan Bambu Tunggal vs Momen Izin Lapangan Bambu Komposit
794.629,645 Nmm vs 5.410.008,12 mm4
1 : 18,4
Momen Bambu Komposit 18,4 kali lipat Momen Bambu Tunggal
Kuat Tekan
Khusus untuk kuat tekan antara bambu tunggal dan bambu komposit, secara mendasar bahwa kuat
tekan akan tergantung kepada besaran alas tekan, bahwa yang mana kuat tekan bambu komposit
akan 3 kali lipat bambu tunggal dengan kondisi penampang tekan tertekan merata untuk bambu
komposit pada perletakan atau pada joint.
5. Kesimpulan
Pengertian bentuk organik tidak sama dengan definisi arsitektur organik. Bentuk organik memiliki
rentang yang lebih luas dan beragam, umumnya memang berupa peniruan dari bentuk-bentuk yang
terdapat di alam. Kekuatan bambu Siam secara simulasi perhitungan memiliki kemampuan yang
berlipat dibandingkan bambu tunggalnya, khusus untuk kuat tekan, kekuatannya berbanding lurus
dengan jumlah bambu yang digunakan dalam rangkaian tersebut.
Arsitektur | 45
Daftar Pustaka
[1] Maurina, Anastasia dan Christina, Danna. 2015. Estetika Struktur BambuPearl Beach Lounge,
Gili Trawangan, Lombok. Research Report. Vol.1. 2015.
http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/view/1356/1313
[2] Frampton, Kenneth (1980). Modern Architecture, A Critical History. Thames and Hudson,
London.
[3] Von Vegesack, Alexander/Kries, Mateo. 2000. Grow Your Own House. Vitra Design Museum.
[4] Elman, Kimberly. Frank Lloyd Wright and the Principles of Organic Architecture
https://www.pbs.org/flw/legacy/essay1.html#top. Waktu akses 27 Oktober 2017, pk. 18.52 WIB
[5] Woman Quits Job to Build Sustainable Bamboo Homes In Bali www.boredpanda.com waktu
akses 1 November 2017, pk 07.43 WIB
[6] Borgo Rock Festival (Fiano Romano, Italy) www.francescagioiagreco.com waktu akses 3
November 2017, pk 20.27 WIB