SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS...

50
SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017 Seminar Nasional Bidang Arsitektur: re-Thinking in Sustainable Design

Transcript of SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS...

Page 1: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

SEMINAR NASIONAL

REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017

Seminar Nasional Bidang Arsitektur:

re-Thinking in Sustainable Design

Page 2: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar
Page 3: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 1

Rancang Bangun Elemen Taman Kota Sebagai Bagian dari

Ekonomi Kreatif Subsektor Arsitektur Dalam Peningkatan Citra

Kawasan Kota

Studi Kasus: Taman Balaikota Bandung; Taman Sejarah, Taman

Merpati, Taman Badak dan Taman Dewi Sartika

Irfan Sabarilah Hasim, Eggi Septianto, Saryanto

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

Email: [email protected]

ABSTRACT

Bandung memiliki segudang produk Arsitektur dan Taman Bersejarah yang sejajar dengan kota-kota

lainnya di Indonesia. Karya arsitektur bangunan bersejarah bertebaran di berbagai lokasi di Kota

Bandung, begitupun dengan taman-taman kota peninggalan Pemerintah Hindia Belanda. Hingga

akhir tahun 2016, Pemerintah Kota Bandung tengah merampungkan beberapa Taman Kota baru

termasuk peremajaan beberapa taman Peninggalan bersejarah yang pernah dibangun di awal abad

19. Kurang lebih sudah 30 dari 600 taman yang dimiliki Kota Bandung yang sudah ditata kembali

sejak tahun 2013. Taman-taman di Kota Bandung telah banyak menyedot perhatian, bukan saja

masyarakat Bandung tetapi masyarakat luar Kota Bandung bahkan Mancanegara. Taman Balaikota

adalah salah satu taman yang mengalami perbaikan dan perubahan yang cukup signifikan. Kalau

dulu taman ini hanya dikenal dengan nama Taman Balaikota atau Taman Merdeka, kini di kompleks

ini dikenal empat nama yaitu; Taman Sejarah, Taman Merpati, Taman Badak dan Taman Dewi

Sartika. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi apakah rancangan taman yang tercipta

mampu memberikan kesan (citra kawasan) bagi pengunjungnya ditinjau dari pola yang dibentuk oleh

elemen-elemen ruang terbuka. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan selama tiga minggu

di hari kerja dan hari libur. Metode analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil

penelitian mengidentifikasi secara umum bahwa rancangan yang tercipta mampu dikenali oleh

pengunjung dengan baik, yaitu; dari sembilan gambar pola rancangan yang dinilai oleh responden,

lima bernilai diatas 90%, tiga bernilai diatas 60% dan hanya satu bernilai diatas 40%.

Kata Kunci : Bandung, taman kota, citra kawasan

1. Pendahuluan

Bandung merupakan salah satu kota tujuan wisata yang sangat diperhitungkan saat ini. Kotanya

memiliki beberapa produk peninggalan arsitektur bersejarah, bangunan dan taman-taman yang unik.

Tidak kurang dari 600 nama taman berdasarkan data dari Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota

Bandung yang direncanakan revitalisasinya sejak tahun 2013. Berdasarkan data terakhir, sudah kurang

lebih 30 Taman Kota Bandung yang ditata kembali, termasuk dengan Taman Kota peninggalan

Pemerintahan Hindia Belanda; Taman Maluku, Taman Ganeca, Taman Lalu lintas, Taman Merdeka

dan Taman Sari (Kebun Binatang Bandung). Taman sebagai ruang terbuka pada awalnya berfungsi

sebagai resapan air, landmark kawasan dan simpul jalan. Sejak pemerintahan Kota Bandung dipimpin

walikota Ridwan Kamil, fungsi taman kota dikembalikan dan dilengkapi fungsinya selain sebagai

fungsi ekologi juga sebagai fungsi sosial.

Rancang bangun elemen taman kota yang dimaksudkan di penelitian ini adalah rancang bangun yang

dilakukan oleh Pemda Bandung untuk memperbaiki, merubah eleman-elemen taman kota baik

sebagian atau seluruhnya yang sudah dilakukan dan masih berlangsung sampai saat ini. Rancang

Page 4: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 2

Bangun Elemen Taman Kota dapat diartikan sebagai sebuah bagian/ proses dari revitalisasi ruang

kota. Yang artinya menurut KBBI adalah “ proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan

kembali”. Revitalisasi menurut Martokusumo (2016), apabila dikaitkan dengan paradigma

berkelanjutan, revitalisasi merupakan sebuah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) aset perkotaan

dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan

menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada. Namun, dapat dipastikan tujuannya adalah untuk

menciptakan kehidupan baru yang produktif serta mampu memberikan kontribusi positif pada

kehidupan sosial-budaya dan terutama kehidupan ekonomi (kawasan) kota.[1]

Taman sebagai bagian dari elemen arsitektur saat ini merupakan bagian dari subsektor ekonomi

kreatif yang layak mendapat prioritas. Konsep ekonomi kreatif adalah konsep di era ekonomi baru

yang penopang utamanya adalah informasi dan kreativititas dimana ide dan stock of knowledge dari

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor produksi utama dalam kegiatan ekonomi.[2] Dua

kata kunci dari Ekonomi Kreatif adalah informasi dan kreativitas. Informasi memudahkan orang untuk

mengakses sektor-sektor kegiatan yang memiliki nilai tambah dan nilai tentu saja nilai ekonomi.

Informasi yang cepat berarti proses penyebaran pengetahuan juga semakin cepat. Ide-ide kreatif sudah

pasti berkembang dan menyeluruh bahkan sampai ke lapisan-lapisan paling bawah.

Kreativitas akan mendorong inovasi yang menciptakan nilai tambah lebih tinggi, dan pada saat yang

bersamaan ramah lingkungan serta menguatkan citra dan identitas budaya bangsa.[3]

Taman sebagai elemen Arsitektur Kota merupakan wujud dari hasil penerapan pengetahuan, ilmu

teknologi dan seni secara utuh dalam mengubah lingkungan binaan dan ruang, sebagai bagian dari

kebudayaan dan peradaban manusia, sehingga dapat menyatu dengan keseluruhan lingkungan ruang.

Dengan demikian Taman Kota dapat dikatakan wadah yang cukup komunikatif dalam skala kota dan

kawasan. Kalau kita amati pembangunan taman yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung pada

dasarnya merupakan sebuah upaya untuk mendaur-ulang dengan tujuan memberikan vitalitas baru.

Taman-taman kota dibongkar, dibangun, ditambahkan elemen-elemen baru dengan fungsi-fungsi yang

lebih variatif. Taman-taman dibangun dan diperbaiki kembali dengan tujuan membentuk kota yang

baik. Dalam buku yang berjudul Good City Form, Kevin Lynch (1980) menyebutkan lima dimensi

dan dua meta kriteria untuk membentuk kota atau kawasan yang baik, yaitu; 1) Vitalitas, 2) Sense, 3)

Fit, 4) Akses, 5) Kontrol dan dua meta kriteria efisiensi dan keadilan [4].

Hasil pembangunan yang baik seharusnya memberikan kesan yang mendalam untuk pengguna-nya,

dan hal ini baru bisa terjadi apabila sebuah kawasan mempunyai citra atau image, atau ciri khusus

yang mudah dikenali. Dalam buku yang berjudul The Image of The City, Kevin Lynch (1960)

menyebutkan lima unsur fisik kota pembentuk Citra kota yaitu 1) Path (Lintasan), merupakan suatu

lorong yang memberi keleluasaan gerak yang potensial, bisa berupa; gang, lorong, jalan kendaraan

dan jalur pejalan, 2) Edge (Tepi), merupakan batas antara dua daerah yang berbeda karakter fisiknya,

juga berfungsi sebagai daerah peralihan, 3) Landmark (Tengaran atau ciri lingkungan), merupakan

obyek yang dikenali karena bentuknya yang jelas, menonjol, kontras atau unik di lingkungan

sekitarnya sehingga mampu menarik perhatian, 4) Node (Simpul), merupakan simpul atau tempat

strategis yang menjadi fokus, bisa berupa persimpangan jalan, ruang tempat istirahat, lintasan yang

memusat atau pusat konsentrasi dari beberapa kegiatan, 5) Region/ district (kawasan atau wilayah),

merupakan kawasan dalam kota yang mempunyai karakter khusus yang mudah dikenali, sehingga

secara psikologis, pengamat merasakan keberadaannya dalam suatu daerah tertentu [5]. Penelitian ini

akan mengidentifikasi elemen-elemen yang dibangun di Taman Balaikota Bandung. Bagaimana

karakter khusus rancangan elemen-elemen Taman Balaikota ini?, dan apakah rancangan elemen

Taman Balaikota mudah dikenali dan memberi kesan untuk pengguna-nya?.

2. Metodologi

Obyek studi kasus berlokasi di Balai kota Bandung. Sample penelitian adalah lokasi taman-taman di

dalam komplek Balai Kota Bandung. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif.

Metoda pengambilan data dilakukan dengan kegiatan observasi, penyebaran kuesioner, dan

Page 5: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 3

dokumentasi pada periode waktu hari kerja dan minggu/ libur selama 3 minggu. Periode

dikelompokan menjadi jam pengamatan yaitu jam 07.00-09.00 (pagi); 11.00-13.00 (siang) dan 14.00-

16.00 (sore). Kuesioner dibagikan secara offline dan online dengan kisi-kisi penelitian berupa

gambaran secara visual rancangan-rancangan yang khas yang dihasilkan oleh elemen-elemen

pembentuknya.

3. Panduan Penulisan Makalah

3.1. Gambaran Taman Balai Kota Bandung

Taman Balai Kota Bandung dikenal juga dengan nama Taman Merdeka merupakan taman tertua di

Kota Bandung dan yang pertama di bangun di kota ini. Pieter Sijthoffpark, atau lebih dikenal dengan

nama Pieterspark, dibangun pada tahun 1885 untuk mengenang Asisten Residen Priangan, Pieter

Sijthoff, yang berjasa besar bagi perkembangan Kota Bandung. Taman ini dirancang oleh R.

Teuscher, seorang pakar tanaman (botanikus) yang bertempat tingal di pojok Tamblongweg dan

Naripanweg. [6]

Lokasi taman ini merupakan satu kesatuan dengan Kantor Walikota Bandung. Di tengah taman

terdapat patung ikan di atas dua buah kolam dihiasi tanaman hias disekitarnya, dilengkapi dengan

tulisan besar ‘Taman Balai Kota’ berwarna merah dan putih. Di lokasi yang berdekatan dengan patung

ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar ‘Taman Badak’ berwarna hijau

dan putih. Di taman ini terdapat pula sebuah patung monumen pahlawan nasional Raden Dewi Sartika

yang diresmikan oleh salah satu Walikota Bandung bernama Wahyu Hamijaya pada 4 Desember

1996. Di taman ini juga dibangun beberapa elemen taman, seperti ‘gembok cinta’, bunga-bunga hias

yang beragam, dan berbagai fasilitas baru seperti, sarana untuk berolah raga, penataan sungai yang

bisa dipakai anak-anak untuk bermain air, riam-riam air terjun kecil, tempat duduk, ruang-ruang

komunal plaza-plaza kecil yang dilengkapi dengan lampu-lampu taman yang menarik. Yang paling

menarik dari taman ini sekarang adalah akses yang sangat terbuka, berbeda sekali dengan kondisi

yang dulu. Utara, selatan, timur dan barat mempunyai akses yang sangat terbuka. Setiap orang bisa

masuk ke taman ini dari segala arah. Bahkan, penamaan Taman ini sekarang bertambah. Dahulu

dikenal satu nama Taman Merdeka atau Taman Balai Kota, sekarang dikenal beberapa nama, yaitu;

Taman Sejarah, Taman Balai Kota, Taman Labirin atau Taman Merpati, Taman Badak dan Taman

Dewi Sartika.

Gambar 1. Pembagian Zona Taman Balai Kota Bandung (Sumber: Asna Dewita, 2017)

Page 6: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 4

3.2. Gambaran Taman Taman di Balai Kota Bandung

3.2.1. Taman Sejarah

Taman Sejarah merupakan salah satu taman yang dibangun baru, tahun 2017. Merupakan revitalisasi

Taman Balai Kota di bagian utara yang sebelumnya tertutup untuk umum. Saat ini pagar pembatas

taman dengan publik tidak ada lagi, akses sangat terbuka. Rencana Pemerintah Daerah Kota Bandung

adalah menjadikan taman ini sebagai Tempat Wisata Edukasi di Bandung, terutama bagi kalangan

yang ingin mengetahui sejarah Bandung. Fasilitas yang bisa ditemui di Taman ini adalah Museum

Sejarah Kota Bandung dilengkapi dengan mural sejarah Bandung, juga monumen tokoh-tokoh

pemimpin Bandung dari masa ke masa, mulai dari era Bertus Coops, Otje Djundjunan, Ateng

Wahjudi, Aa Tarmana, Dada Rosada hingga kini yaitu Ridwan Kamil. Informasi tentang Bandung dari

masa ke masa mulai dari prasejarah sampai kemerdekaan ada, termasuk hikayat Cerita Rakyat

Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu juga ada disini.

3.2.2. Taman Bali Kota/ Taman Merpati

Kalau kita berjalan di tengah Taman Balai Kota, kita akan melihat penampakan pohon besar Samanea

saman atau dikenal dengan nama Kihujan yang sangat rindang. Dibawah pohon besar tersebut kita

bisa melihat sebuah monumen yang ditanda-tangani Ateng Wahyudi. Diresmikannya sebuah nama

Taman Merpati bersama 800 ekor merpati pada tanggal 20 Agustus 1993.

3.2.3. Taman Badak

Di dalam Taman Balai Kota Bandung terdapat patung badak bercula berwarna putih. Patung ini

diresmikan 10 November 1981 oleh Walikota Bandung saat itu yang bernama Husen Wangsaatmadja

dan saat ini dilengkapi dengan tulisan besar berwarna hijau dan putih. Saat ini taman ini dinamakan

Taman Badak.

3.2.4. Taman Dewi Sartika

Taman ini berada pada lokasi paling selatan di Taman Balai Kota. Salah satu ciri yang mencolok

adalah, adanya Monumen Patung Pahlawan Nasional Dewi Sartika. Nama Dewi Sartika diberikan

sejak tahun 1996, bersamaan dengan penempatan Patung di taman ini yang diresmikan oleh Walikota

Bandung Wahyu Hamijaya pada tanggal 4 Desember 1996. Terdapat Gazebo di lokasi ini, dan tentu

saja pohon-pohon besar, yang membuat taman ini terasa sangat nyaman. Perbaikan-perbaikan dan

penambahan elemen-elemen taman yang baru dapat kita lihat saat ini. Akses yang terbuka dari arah

selatan, barat dan timur terasa bahwa taman ini mengundang orang untuk masuk dan melakukan

berbagai aktifitas. Ruang-ruang, plaza kecil dirancang dan dilengkapi dengan elemen keras yang

bervariasi, pavement yang menarik, tempat duduk, lampu taman dan penampakan dari batu-batu

vertikal yang menjulang seperti stonehenge di Inggris. Sungai kecil di sebelah timur, ditata, dibendung

dilengkapi dengan tanaman yang penuh warna.

3.3. Hasil Pengamatan Taman Taman Balai Kota.

3.3.1. Data Pengunjung dan aktifitas

Tabel 1 Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Pengunjung pada Taman Balai Kota Bandung

Lokasi Taman Jumlah Pengunjung

Senin - jumat sabtu Minggu/ libur

(tanpa event)

Minggu/ libur

(ada event)

pagi siang sore pagi siang sore pagi siang sore pagi siang sore

Taman Sejarah 118 111 71 297 312 153 499 556 277 700 800 400

Taman Merpati 48 44 42 180 150 94 540 675 397 900 1100 700

Taman Badak 50 45 44 185 240 200 193 270 200 200 300 200

Taman Dewi Sartika 63 64 48 205 250 180 353 425 240 500 600 300

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa taman dikunjungi orang setiap saat, pagi, siang dan sore,

setiap hari dan mengalami lonjakan pengunjung pada hari minggu/ libur, terutama apabila terdapat

event.

Page 7: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 5

3.3.2. Identifikasi Elemen Lunak Taman Balai Kota Bandung

Elemen lunak yang terdapat di Taman Balai Kota Bandung sangat bervariasi, baik itu rumput, penutup

tanah, semak perdu maupun pohon besar. Beberapa tanaman yang ditemui di taman ini adalah;

1)rumput peking, 2)rombusa mini, 3)landep, 4)brokoli kuning, 5)puring, 6)philodendron, 7)ararea,

8)maranti bali, 9)daun wungu, 10)bromelia, 11)akalipa, 12)anthurium, 13)tanduk rusa,dll. (lihat

gambar 2).

Gambar 2. Beragam elemen lunak Taman Balai Kota Bandung

3.3.3. Identifikasi Elemen Keras Taman Balai Kota Bandung

Berdasarkan pengamatan di lapangan elemen lunak yang terdapat di Taman Balai Kota Bandung

adalah sebagai berikut; 1) paving yang bervariasi; batu andesit, coral, basalto, beton, 2) signage,

3)sculpture/ patung-patung, 4) lampu, 5) tempat duduk, 6) shelter, 7) pagar, dll. (lihat gambar 3)

Gambar 3. Beragam elemen keras Taman Balai Kota Bandung

3.3.4. Identifikasi Rancangan Khas Taman Balai Kota Bandung

Berdasarkan pengamatan terdapat rancangan khas masing-masing elemen di Taman Balai Kota

Bandung. Elemen-elemen yang membentuk rancangan khas bervariasi, diantaranya adalah; signage

nama taman, pola dari elemen lunak dan elemen keras dan sculpture atau patung (lihat gambar 4).

Page 8: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 6

Taman Sejarah Taman Merpati Taman Badak Taman Dewi Sartika

Gambar 4. Rancangan Khas Taman Balai Kota Bandung

3.3.5. Penilaian Rancangan Khas Dari rancangan-rancangan khas yang terdapat di Taman Balai Kota, dipilih sembilan gambar untuk ditampilkan

dalam sebuah kuesioner dan secara acak digabung dengan gambar-gambar visual yang dihasilkan dari taman-

taman di luar Taman Balai Kota, seperti; Taman Vanda, Taman Saparua dan Taman musik. Kuesioner disebar

dalam bentuk cetakan langsung dan dalam bentuk online. Hasil yang didapat dari orang yang pernah

mengunjungi Taman Balai Kota, rata-rata menunjukan kesan yang baik (lihat Gambar 5).

Gambar 5. Rancangan Khas Taman Balai Kota dan hasil penilaian responden

4. Kesimpulan

Rancangan khas kawasan umum sudah mampu memberikan citra positif terhadap pengunjung taman.

Hasil penelitian mengidentifikasi secara umum bahwa rancangan yang tercipta mampu dikenali oleh

pengunjung dengan baik, yaitu; dari sembilan gambar pola rancangan yang dibagikan untuk dinilai

oleh responden, lima bernilai diatas 90%, tiga bernilai diatas 60% dan hanya satu bernilai diatas 40%.

Selain dari hasil yang didapat dari responden, pengamatan lapangan menunjukan bahwa aktifitas yang

terjadi di Taman Balai Kota Bandung bervariasi dan terjadi setiap hari (rutin). Masyarakat

mengunjungi taman setiap hari, dan terjadi peningkatan yang cukup signifikan di hari libur, terutama

apabila ada acara tertentu (event) yang berlangsung di lokasi.

Daftar Pustaka

[1] Martokusumo, Widjaja.2008. ”Revitalisasi, Sebuah Pendekatan dalam Peremajaan Kawasan”

dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 19/ No. 3 Desember 2008 (hlm. 57 – 73).

Bandung: SAPPK ITB.

[2] Afiff, Faisal.2012. ”Kewirausahaan dan Ekonomi Kreatif”,

http://sbm.binus.ac.id/files/2013/04/Kewirausahaan-dan-Ekonomi-Kreatif.pdf, diakses pada 30

Agustus 2017 pukul 21.18 wib.

Page 9: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 7

[3] Kominfo.2015.” Ekonomi Kreatif adalah Pilar Perekonomian Masa Depan”,

https://kominfo.go.id/content/detail/5277/ekonomi-kreatif-adalah-pilar-perekonomian-masa-

depan/0/berita, diakses pada 30 Agustus 2017 pukul 22.00 wib.

[4] Lynch, Kevin. (1980). Good City Form. Cambridge; The MIT Press.

[5] Lynch, Kevin. (1960). The Image of City. London; The MIT Press.

[6] Portal Resmi Kota Bandung.2017. ”Taman Kota Bandung Tempo Dulu”,

https://portal.bandung.go.id/taman-kota-bandung-tempo-dulu, diakses pada 29 November 2017

pukul 17.00 wib

Page 10: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar
Page 11: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 8

Kriteria Konektifitas dalam Sustainable Site

Studi Kasus: Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas Bandung

Dwi Kustianingrum, Eka Virdianti dan Dian Duhita

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

Email: [email protected]

ABSTRAK

Ruang luar yang terbentuk akibat fungsi dan tatanan massa bangunan dan terhubung dengan sistem

ekologi sekitar. Sebuah ruang terbuka publik akan menjadi daya tarik suatu kawasan sebagai tempat

beraktifitas. Kampus Itenas merupakan kawasan pendidikan sebagai miniatur Kota skala kecil terdiri

dari beragam komunitas civitas akademika. Inti dari isu keberlanjutan adalah konektifitas yang

terjalin dengan baik. Rancangan ruang luar merupakan stimulus yang akan direspon oleh

pengunjung. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria konektifitas dalam sustainable

site di ruang terbuka publik Itenas dan mengidentifikasi perbedaan dari aspek rancangan ruang

terbuka publik kota. Melalui pendekatan kualitatif dengan kisi-kisi penelitian yaitu, (a) Konektifitas

site terhadap sistem dan fungsi kawasan, (b) Konektifitas site terhadap ekologi dan aktifitas. Obyek

studi adalah Ruang terbuka publik non parkir kampus Itenas. Pengambilan data dengan dokumentasi,

pengamatan, interview di periode 1 hari di hari kerja dan libur. Metode analisis secara deskriptif.

Hasil penelitian mengidentifikasikan secara umum dari konektifitas sustainable site sudah terjalin

baik. Hanya perlu beberapa rekomendasi rancangan untuk meningkatkan kenyamanan. Sedangkan

dari konektifitas ekologi belum mengakomodir rancangan ramah lingkungan. Terdapat perbedaan

dari ruang terbuka publik kota yaitu ruang terbuka publik kampus lebih memprioritaskan aspek

kenyamanan untuk beraktifitas dan tidak memerlukan fitur atraktif sebagai sarana daya tarik.

Kata Kunci: Konektifitas, Sustainable site,Ruang Terbuka Publik,Kampus

ABSTRACT

The open space formed by the function and the mass of the building and connected with the ecological

sistem. A public open space become the atractive zones at site as a place of activity. Itenas is an

educational function area and it is as a miniature small-scale city, consists of various community

academic community. The principal of sustainability issues is well-established connectivity. The

design of open space is a stimulus that will be responded by visitors. This study aims to identify the

criteria of connectivity in a sustainable site in the public space of Itenas and to identify differences in

aspects of urban public spatial design. Through qualitative approach with research variable that are,

(a) Site connectivity to sistem and function of area, (b) site connectivity to ecology and activity. The

study object is Public space non parking area at Itenas. Data collection with documentation,

observation, interview in 1 day period on weekdays and weekend. Analys by descriptive method. The

results of the research generally indicate that the sustainable site connectivity is well established. But

need some design recommendations to improve the comfort. While the ecological connectivity has not

been accommodating the design of environmentally friendly. There is a difference from the city public

open space that is open space publik campus prioritizes the comfort aspect to the activity and does not

require attractive features to invite visitor.

Kata Kunci: Connectivity, Sustainable site, Publik Open Space,Campuss

Page 12: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 9

1. Pendahuluan

Kita ketahui bahwa pola alam terbentuk dari keragaman individu pada suatu habitat dan terkoneksi

satu dengan lainnya membentuk siklus yang berkelanjutan. Pola ini yang menjadi dasar pemikiran

konsep berkelanjutan, “thinking as sistem: connectivity not fragmentation” [1]. Profesi arsitek dalam

proses merancang lingkungan binaan, akan sangat bersinggungan dengan sistem ekologi, fungsi dan

aktifitas lingkungan sekitar. Tantangan dalam proses desain, “Bagaimana membentuk sebuah sistem

binaan baru yang dapat terhubung dengan sistem yang ada yaitu alam, budaya dan kegiatan”.

Konektifitas ini yang akan menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan desain berkelanjutan dalam

beraksitektur.

Proses beraksitektur menghasilkan karya arsitek dengan fungsi tertentu yang akan direspon oleh

pengguna dalam bentuk aktifitas. Ruang fungsi, tidak hanya terbatas dalam ruang dalam yang

terlingkupi bidang, namun dapat juga berupa ruang luar yang berfungsi untuk berbagai aktifitas.

Ruang terbuka bagian dari ruang fungsi yang akan terbentuk dari tatanan massa bangunan dan dapat

difungsikan sebagai area komunal komunitas. Menurut Gehl.J, “Life between building merupakan

kehidupan yang terjadi akibat pola tatanan massa, bergabung menjadi bentuk ruang komunal dalam

suatu kawasan dan seluruh ragam kegiatan, sehingga membuat kawasan tersebut lebih bermakna serta

menarik” [2].

Secara mikro kawasan isu keberlanjutan memiliki istilah sustainable site. Inti dari nilai keberlanjutan

ini adalah membentuk suatu sistem yang secara continue dan terus berproses seperti sistem alam.

Mikro kawasan, sebagai lingkungan binaan dapat terdiri dari beberapa ruang publik yang secara

internal dan eksternal harus terkoneksi dengan baik. Sistem koneksi dapat terjadi karena adanya

stimulus dan respon pada ruang publik tersebut. Terdapat 3 nilai intrisik pada ruang terbuka publik

yaitu demokratis, bermakna dan responsif [3]. Makna dan responsif dibentuk dari rancangan ruang

publik. Sedangkan demokratis adalah ketersediaan aksesibilitas [4].

Ruang terbuka publik dapat juga bersifat privat bergantung pada lokasi dan kepemilikan. Ruang

terbuka publik privat dapat terletak pada lokasi khusus, fungsi pendidikan, komersial area ataupun

perumahan. Kawasan pendidikan, contohnya kampus yang merupakan sample kota dalam skala kecil.

Sebuah kampus terdiri dari berbagai ragam komunitas, budaya dengan kepentingan serta tujuan yang

berbeda. Akan menjadi menarik jika kawasan tersebut terdapat ruang terbuka publik berkelanjutan

yang menjadi sarana dari ragam komunitas kampus untuk berinteraksi.

Ruang publik yang berkualitas memiliki konektifitas dan terdiri dari kualitas rancangan pada aspek:

aksesibilitas, aktifitas, kenyamanan, dan fitur menarik [5]. Penelitian ini akan mengidentifikasi

konektifitas yang terbentuk pada kawasan privat pendidikan yaitu dengan studi kasus kampus Itenas

Bagaimana kriteria konektifitas dalam sustainable site terbentuk di ruang terbuka publik Itenas?.dan

apakah terdapat perbedaan dari aspek rancangan ruang terbuka publik kota?.

2. Metodologi

Obyek studi kasus berlokasi di ruang terbuka Institut Teknologi Nasional (Itenas). Sample penelitian

adalah 20 titik ruang terbuka publik non parkir yang telah teridentifikasi dari pengamatan titik kumpul

mahasiwa Pendekatan menggunakan penelitian kualitatif. Metoda pengambilan data dilakukan dengan

kegiatan observasi, penyebaran list wawancara, dan dokumentasi pada periode waktu 1 hari kerja dan

1 hari libur di semester pendek 2017. Periode dikelompokan menjadi jam pengamatan yaitu jam

08.00-10.00(pagi hari); 12.00-14.00(siang hari) dan 15.00-17.00(sore hari). Jumlah responden ditarget

5 (lima) sampel perwaktu pengamatan pada tiap titik ruang terbuka publik Itenas. Instrumen penelitian

berupa list wawancara. Kisi-kisi penelitian berupa kriteria sustainable site yaitu 3 kategori

konektifitas dalam sebuah kawasan [6], namun di penelitian ini hanya 2 yang akan dijadikan

pembahasan, yaitu: (a) Konektifitas site terhadap sistem dan fungsi kawasan, (b) Konektifitas site

terhadap ekologi dan aktifitas. Metode analisis dilakukan secara deskriptif.

Page 13: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 10

3. Hasil dan Diskusi

3.1 Gambaran Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas

Dalam Rencana Induk Pengembangan Itenas 2014-2030, kawasan ini memiliki lahan seluas 52.954

m², dengan luas tapak +18.895 m². Sarana dan prasarana Itenas meliputi 21 unit gedung untuk

kegiatan perkuliahan, praktikum, administrasi, dan kegiatan pendukung lainnya. Lingkungan kampus

ditata dengan asri dan dilengkapi berbagai sarana penunjang, seperti sarana olah raga, gedung serba

guna, ruang seminar, kantin, mesjid, perpustakaan, bank, student center,dan klinik kesehatan [7]. Dari

hasil wawancara diprediksi untuk Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang terbangun adalah 41%. Sisa

dari lahan tersebut diperuntukan untuk bangun-bangunan, prasarana jalan, dan area taman.

Area terbuka publik Itenas dibentuk dari ruang antara gedung. Walaupun ada beberapa yang memang

dibentuk secara khusus baik diluar gedung maupun berupa innercourt dalam bangunan. Terdapat 20

sample ruang terbuka publik Itenas dalam penelitian ini. Penyebaran titik sample ruang terbuka publik

dapat dilihat pada gambar 1.

3.1 Konektifitas Ruang Terbuka Publik dalam Sustainable Site

3.1.1 Konektifitas site terhadap sistem dan fungsi kawasan

Kriteria ini merupakan konektifitas yang bersifat fungsional, memiliki sistem jaringan dan hubungan

ruang. Kawasan itenas terdiri dari beberapa massa bangunan, membentuk suatu sistem tertentu seperti

dapat dilihat pada gambar 1 di atas. Tatanan massa tersebut membentuk sebuah ruang terbuka yang

dapat menjadi ruang komunal luar civitas akademika. Lokasi tatanan massa dilihat dari zone,

membentuk sebuah zone fungsi publik-privat kawasan. Zone periferi yaitu: depan, pusat, samping dan

belakang kawasan difungsikan sebagai zone publik. Zone tengah kawasan yaitu digunakan untuk

fungsi sarana dan kegiatan pendidikan (lihat pada gambar 2).

Gambar 1 Penyebaran Titik Sample Ruang Terbuka Publik Kampus Itenas

Page 14: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 11

Dari hasil pengamatan, kampus ini telah membentuk sebuah sistem kawasan, dimana penyebaran zone

publik berada pada area periferi kawasan dan simpul publik pada pusat kawasan. Penyebaran fungsi

pendidikan (kegiatan belajar) diantara zone periferi dan pusat kawasan kampus. Zone tersebut dapat

dikategorikan sub sistem publik yang terkoneksi satu dengan lainnya melalui sirkulasi. Hasil

pengamatan, sub sistem yang lebih privat terbentuk diluar zone publik, yaitu zone sekitar bangunan

jurusan. Selanjutnya ruang terbuka publik kampus ini dikategorikan menjadi 4, jika dilihat dari sisi

lokasi, yaitu; (1)Entrance bangunan, (2)Diantara/koridor bangunan, (3)Dalam bangunan, (4)Sarana

kampus. Simpul-simpul tersebut menyebar secara merata di tiap tatanan massa bangunan. Simpul-

simpul ruang terbuka ini terkoneksi langsung melalui pedestrian, jalan, dan selasar. Teridentifikasi

titik simpul ruang terbuka publik ini sudah terintegrasi dengan adanya prasarana pencapaian dan

kemudahan aksesibilitas dalam bentuk sirkulasi jalan dan pedestrian. Konektifitas ini perlu

ditingkatkan kenyamanannya di beberapa jalur yang menghubungkan titik simpul ruang terbuka

publik yaitu memberikan penutup atap pada pedestrian berupa selasar atau simpul pemberhentian

yang dapat berupa shelter. Hal tersebut dapat meningkatkan kenyamanan dan keaktifan di tiap ruang

luar.

Sejalan dengan teori, rancangan berdampak pada situasi tertentu yang membuat aktifitas, komunitas

serta pikiran mengarah kepada situasi yang menyenangkan dan ramah lingkungan [8]. Situasi

terbentuk dari rancangan dan respon pengunjung yang dapat mengakibatkan ruang luar menjadi aktif

atau pasif. Hasil pengamatan, simpul teraktif dan pasif berdasarkan periode waktu, dapat dilihat pada

tabel 1, di bawah ini.

Tabel 2 Hasil Pengamatan Perkiraan Jumlah Pengunjung pada Titik Ruang Terbuka Publik

Ko

de Lokasi Ruang Terbuka

Publik Kampus Itenas

Jumlah Pengunjung (Mahasiswa)

Hari kerja Hari Libur Jumlah

Total

Keterangan Kategori

pagi siang sore pagi siang sore Ruang Ruang

1 Parkir T.Elektro-

GIANT

0 2 - 0 0 0 2 Aktif Entrance Bangunan

2 Entrance T.Elektro 3 6 5 - 8 2 24 Aktif Entrance Bangunan

3 GD. 20 - GD. 18 0 - 10 65 - - 75 Aktif Koridor

4 GD. 14 - GD. 4 11 2 2 - - - 15 Aktif Koridor

5 GD. 16 0 2 3 20 6 - 31 Aktif Koridor

6 GD. 16 - GD. 17 18 4 22 - 5 - 49 Aktif Sarana

7 Lapangan Tenis 0 - - - - - 0 Pasif Sarana

8 Mesjid 0 60 45 3 40 16 164 Aktif Entrance Bangunan

9 GD. 12 (T.Sipil) 6 2 4 6 18 2 38 Aktif Entrance Bangunan

Gambar 2 Zone Publik, Penyebaran Bangunan dan Ruang Terbuka Sarana

Page 15: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 12

Ko

de Lokasi Ruang Terbuka

Publik Kampus Itenas

Jumlah Pengunjung (Mahasiswa)

Hari kerja Hari Libur Jumlah

Total

Keterangan Kategori

pagi siang sore pagi siang sore Ruang Ruang

10 Kantin 50 42 38 4 25 30 189 Aktif Sarana

11 GD. 17 - GD. 19 0 2 4 - - - 6 Aktif Koridor- Entrance

Bangunan

12 GD. 11 (T.Mesin) 4 8 3 - - - 15 Aktif Koridor

13 GD. 9 - GD. 12

(Perpustakaan)

18 15 20 - - - 53 Aktif Koridor- Entrance

Bangunan

14 GD. 10 (T. Industri) 11 17 16 5 2 4 55 Aktif Entrance Bangunan

15 GD. 8 (T.Lingk) - GD.

9

0 15 18 - 9 - 42 Aktif Koridor

16 GD. T. Informatika -

MKDU

0 - - - - - 0 Pasif Koridor

17 GD. MKDU-GD

Planologi

0 - - - - - 0 Pasif Koridor

18 GD. 1 (Innercourt

Desain)

5 8 22 2 4 4 45 Aktif Koridor

19 GD. Student Center 2 20 5 - 2 2 31 Aktif Sarana

20 Lapangan Basket 23 11 13 - - 3 50 Aktif Sarana

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa ruang aktif tersebar di hampir setiap titik simpul dengan

kategori beragam yaitu depan gedung, koridor dan sarana. Hasil responden beralasan ruang terbuka

kawasan kampus itenas dikunjungi karena keteduhan, nyaman, dekat jurusan, terdapat area duduk, dan

hijau. Kriteria tersebut dapat menjadi syarat rancangan ruang publik fungsi pendidikan. Pengamatan

subyektif membuktikan bahwa titik simpul aktif terjadi karena ada respons aktifitas lain, yaitu

kegiatan khusus pada sarana kawasan. Respons aktifitas tertentu sesuai fungsi sarana, mengundang

pengunjung untuk berkumpul di area tersebut. Seperti pada kode 9 (Kantin) terespon dengan kegiatan

makan. Kode 20 (lapangan basket) terbentuk aktifitas viewing. Pada titik kode 8 (masjid) terespon

aktifitas ibadah. Gambaran rancangan ruang terbuka aktif kampus itenas, dapat dilihat di gambar 3.

Ruang terbuka pasif terjadi pada 3 simpul yaitu ruang terbuka publik kode 7 (lapangan tenis), kode 16

(ged. informatika-ged. MKDU) dan 17 (ged. MKDU-ged.Planologi). Secara rancangan untuk kode 16

dan 17 memenuhi kriteria rancangan ruang publik, namun pada kode 16, kenyamanan tidak terpenuhi

karena berhubungan area parkir serta bentuk rancangan yang menimbulkan situasi kurang nyaman.

Pada kode 17, titik ini tidak menjadi aktif karena lokasi tidak strategis dan tidak ada aktifitas lain yang

dapat direspon oleh pengunjung (jauh dari sarana). Sedangkan ruang terbuka publik pada kode 7,

ditinjau dari lokasi, berhubungan dengan sarana komersil (kode 9) tetapi dari sisi rancangan area ini

ditutupi pagar tinggi, tidak terdapat area duduk serta tidak teduh. Tiga kasus area pasif tersebut

membuktikan lokasi, fungsi dan bentuk rancangan ruang luar memberikan stimulus pada keaktifan

ruang. Tidak adanya stimulus mengakibatkan tidak terjadinya respon dari manusia, pikiran dan

aktifitas [5], sehingga setting site tidak terbentuk sempurna. Akibat stimulus dan respon tidak terjadi

maka konektifitas antar site, fungsi dan aktifitas tidak terbentuk sehingga titik ini teridentifikasi pasif.

Gambaran rancangan ruang yang teridentifikasi pasif dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 3 Ruang Terbuka Aktif

Page 16: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 13

Pembahasan di atas mengidentifikasikan secara umum, bahwa penyebaran ruang terbuka publik

kampus itenas telah mencapai 85%. Ruang terbuka publik pasif teridentifikasi 15%, di 3 titik simpul

dengan kategori sarana, dan koridor. Untuk mengaktifkan ruang pasif tersebut perlu diadakan

penelitian lebih lanjut, namun rekomendasi sementara memerlukan penambahan sarana lain dekat

ruang terbuka publik kode 16 (ged. informatika-ged. MKDU) dan 17 (ged. MKDU-ged.Planologi),

agar lebih menarik. Serta mendesain kode 7 (lapangan tenis) agar lebih terbuka, nyaman dan

memenuhi kriteria rancangan ruang terbuka publik.

3.1.2 Konektifitas site terhadap Ekologi dan Aktifitas

Komponen ekologi dan aktifitas menjadi bagian dari pembentukan sustainable site. Pada kriteria ini

keberlanjutan dipertimbangkan dari sisi konektifitas alam, aktifitas dan lingkungan binaan. Thinking

as sistem: connectivity not fragmentation” [3]. Ruang terbuka publik kampus ini dari sisi ekologi,

belum mengadaptasi pola siklus alam. Bisa dilihat belum terdapat area pengolahan air limbah ruang

terbuka publik. Sistem drainase sudah teridentifikasi namun dialirkan ke drainase kota tidak tersiklus

dalam kawasan. Tidak terdapat sumur resapan dan area softscapes di beberapa tempat masih kurang,

terutama tanaman keras yang memiliki tajuk. Dalam sustainable site, sebuah kawasan dapat menjadi

tempat habitat-habitat alam, selain manusia sehingga terjadi biodiversity. Jika dilihat dari sistem mikro

alam kawasan dengan parameter kesejukan, kawasan ruang terbuka publik non parkir ini secara umum

membentuk iklim luar yang nyaman (diidentifikasi dari responden). Titik ruang terbuka publik aktif

dikunjungi karena keteduhan dan kenyamanannya. Hal tersebut dapat diindikasikan dampak dari

softscape, pembayangan dan material pedestrian yang tidak terlalu memantulkan panas.

Dari sudut konektifitas site dan aktifitas, simpul-simpul zone publik berupa sarana yang membentuk

ruang terbuka publik memberikan respon terhadap keaktifan aktifitas. Dimana pengunjung berkumpul

pada periode tertentu yaitu kode 8 (masjid) ketika waktu ibadah. Titik ruang terbuka publik-sarana

lain, terespon secara continue tidak diperiode tertentu. Hal tersebut karena adanya stimulus aktifitas

yang independen dan bersifat menyenangkan yaitu makan (di kode 10-kantin) dan rekreasi (di kode

20-lapangan Basket). Sedangkan titik ruang terbuka bentukan massa yaitu kategori koridor dan

entrance, keaktifannya terespon karena aktifitas proses belajar. Rerata pengunjung berkumpul pada

area tersebut pada saat menunggu jam kuliah selanjutnya.

Aktifitas yang terjadi di tiap ruang terbuka publik, teridentifikasi melalui survey pengamatan dan

kuesioner. Aktifitas yang terjadi sesuai dengan teori aktifitas di ruang publik yaitu : (1)sitting, (2)

viewing, (3) eating [6]. Perbedaan aktifitas untuk ruang publik dengan kategori privat-pendidikan

yaitu tidak adanya aktifitas viewing di titik kumpul tersebut, kecuali pada saat kegiatan publik tertentu

yang membutuhkan penonton pada kode-20 (Lapangan basket). Aktifitas yang terbentuk adalah

diskusi, menunggu dan nongkrong sebagai dampak aktifitas tersebut, pengunjung akan melakukan

aktifitas duduk. Lihat gambar 5, berikut ini.

Gambar 4 Ruang Terbuka Pasif

Page 17: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 14

Gambar 5 Aktifitas Pengunjung (a) Periode Hari Kerja, (b) Periode Hari Libur

Tentu saja, untuk menghidupkan ruang terbuka publik diperlukan suatu rancangan yang dapat

mengakomodir aktifitas tersebut. Hasil rekapitulasi data responden tersebut memberikan gambaran

untuk kriteria yang diinginkan pengunjung ruang terbuka publik kampus itenas secara berurutan

adalah : (1)teduh, (2)nyaman, (3)Area duduk,(4)Tenang,(5)Hijau dan (6)Dekat jurusan. Penilaian

selanjutnya adalah konektifitas aktifitas dan rancangan, atau sebaliknya. Penelitian ini melihat di

beberapa titik ruang publik yang aktif terdapat elemen-elemen rancangan site yang berfungsi

multifungsi dan terintegrasi dengan rancangan lainnya (dapat dilihat gambar 8a). Namun terdapat pula

ruang terbuka publik yang tidak memiliki elemen rancangan site, utamanya hardscape. Uniknya ruang

terbuka tersebut terespon dengan baik akibat stimulus tempat terjadinya aktifitas lain, yaitu komersil

dan aktifitas belajar (lihat gambar 8b. Kriteria ini tidak menjadi hal yang utama, karena hasil

pengamatan di titik ruang terbuka kode 7 (lapangan tenis) terletak dilokasi strategis dekat dengan area

komersil. Sehingga dari analisis tersebut diperlu adanya kriteria lain yaitu keteduhan.

4. Kesimpulan

Kriteria konektifitas site terhadap sistem dan fungsi kawasan secara umum sudah terkoneksi dengan

baik. Sub sistem tersebut terbentuk dari titik simpul ruang terbuka dan terkoneksi langsung melalui

sirkulasi berupa jalur penghubung yaitu: pedestrian, jalan, dan selasar. Konektifitas ini perlu

ditingkatkan kenyamanannya di beberapa jalur penghubung dengan memberikan penutup atap pada

pedestrian berupa selasar atau simpul pemberhentian berupa shelter. Konektifitas secara fungsi,

berdampak pada keaktifan ruang, penyebaran ruang terbuka publik aktif kampus itenas telah mencapai

85%. Ruang terbuka publik pasif teridentifikasi 15%, yaitu di 3 titik simpul dengan kategori sarana,

dan koridor.Hal tersebut terjadi karena tidak terbentuk stimulus dari rancangan dan respon

pengunjung. Sedangkan penilaian dari kriteria konektifitas site terhadap ekologi belum terbentuk

secara umum. Ruang terbuka publik secara umum belum ramah terhadap lingkungan alam. Namun

secara pembentukan iklim mikro, menurut responden di beberapa tempat titik kumpul aktif telah

membentuk lingkungan yang teduh (sejuk). Untuk konektifitas site terhadap aktifitas teridentifikasi

baik, terutama pada ruang publik kategori sarana yang memiliki daya tarik dari kekhususan fungsi.

Terdapat perbedaan dari aspek rancangan publik kota, dimana rancangan ruang terbuka publik

kampus lebih memprioritaskan aspek kenyamanan untuk beraktifitas dan tidak memerlukan fitur

atraktif sebagai sarana daya tarik. Sarana daya tarik ruang terbuka publik kampus adalah simpul-

simpul fungsi yang bersifat komersil dan rekreasi aktif.

Daftar Pustaka

[1] Daniel E Wiliama, 2007, Sustainable Design, Ecology, Architecture and Planning, John Willey &

Sons. Inc

[2] Gehl. J, 1996, Life Between Building,Using Publik Space, Island Press,Washington DC

(a) (b)

Page 18: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 15

[3] Carmona, Heath, Oc Tanner, Tiesdell. 2003. Publik places, urban spaces. Architectural

Press.

[4] Parkinson, John. 2012. Democracy and Publik Space, Oxford University Press.

[5] https://www.pps.org/reference/grplacefeat/diakses pada 20 Nobember 2017 [6] Dinep. C, Scwab.K, 2010 , Sustainable Site Design, Criteria, Process and Case Studies For

Interating Site and Regiaon in Landscape Design, John Wilson&Sons, Hoboken,New Jersey.

[7] Rencana Induk Pengembangan Kawasan Itenas, Bandung 2016-2030.

[8] Purwanto. E, 2007, Rukun Kota:Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub, dalam Purwanto,E,

2012, Pola Setting Ruang Komunal Mahasiswa Arsitektur Fakultas Teknik Universitas

Dipenogoro, Seminar Nasional Riset dan Perencanaan,#2, 13 Oktober 2012, Yogyakarta

Page 19: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 16

Efisiensi Desain Sirkulasi Ruang Dalam pada Bangunan Pasar

Pasar Vertikal di Kota Bandung

Studi kasus: Pasar Cihaurgeulis

Reza Phalevi Sihombing, Novan Prayoga

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

E-mail: [email protected]

ABSTRAK Pembangunan pasar saat ini banyak mengarah ke pengembangan vertikal. Efisiensi dan keterbatasan

lahan menjadi pertimbangan untuk membangun pasar secara vertikal. Permasalahan yang sering

terjadi adalah tidak berfungsinya lantai (ruang) di lantai atas bangunan sehingga sepi tidak ada

aktivitas. Permasalahan yang telah diketahui tersebut hampir terus berulang seiring pembangunan

pasar secara vertikal. Tidak adanya pertimbangan budaya berpasar masyarakat Indonesia mungkin

menjadi salah satu kegagalan bangunan pasar vertikal. Penelitian ini akan mengkaji desain beberapa

pasar vertikal di Bandung yang kurang maksimal dalam pemakaian ruang di lantai atas. Dari hasil

kajian penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai mengapa area ruang lantai

atas pasar vertikal cenderung tidak diminati.

Kata Kunci: Efisiensi Desain, Ruang Dalam, Pasar Vertikal

ABSTRACT

The current market development leads much to vertical development. Efficiency and limitations of the

land into consideration to build the market vertically. The problem that often happens is the

malfunction of the floor (space) on the top floor of the building so quiet there is no activity. Known

issues are almost constantly recurring as the market develops vertically. The absence of cultural

considerations based on Indonesian society may be one of the failures of vertical market buildings.

This research will examine the design of some vertical market in Bandung which is less than

maximum in the use of space upstairs. From the results of this research study is expected to provide

an overview of why the upper floor space area of the vertical market tends not to be in demand.

Key words : Design Efficiency, Space, Vertical Market

1. Pendahuluan

Pasar tradisional merupakan wadah jual beli masyarakat sejak zaman dahulu. Komunikasi serta tawar

menawar harga antara penjual dan pembeli adalah budaya yang lazim terlihat sebagai aktivitas utama

di dalam pasar. Pembangunan modern turut mempengaruhi desain pasar secara arsitektural. Saat ini

desain pasar modern dibuat vertikal dengan pertimbangan keterbatasan lahan. Beberapa pasar modern

dengan bangunan vertikal di Bandung memiliki ruang (lantai) di atas yang kosong tidak terisi.

Fenomena ini terjadi pada tipikal pasar dengan gedung vertikal.

Dari desain arsitektural, pembagian zonasi antara pasar tradisional dan area retail di atas sudah

menerapkan kaidah yang benar. Namun permasalahan ruang kosong di atas pasar tradisional hampir

berulang terjadi, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengevaluasi desain pasar secara

vertikal. Isu keterbatasan lahan serta budaya masyarakat Indonesia dalam melakukan aktivitas ber-

pasar perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari perencanaan, sehingga pembangunan pasar secara

vertikal di masa depan dapat lebih efektif dari sisi fungsi dan desain.

Page 20: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 17

2. Metodologi

Pendekatan dalam jurnal ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu jenis

penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh alat-alat prosedur statistika

atau alat kuantifikasi lainnya yang dapat dilakukan dalam satu subyek penelitian dengan latar

belakang yang mewakili fokus penelitian. (Strauss,1990 dalam Ahmadi,2014).

Diagram 2.1. skema metodologi

Dapat dilihat pada diagram diatas metodologi pada pembuatan paper ini didasari dari penentuan

variable terdahulu. Variable yang diapakai adalah mengenai sirkulai ruang dalam pada bangunan

pasar cihaurgeulis. Kemudian yang selanjutnya dilakukan adalah melakukan survey lapangan. Hasil

survey tetap merujuk pada variable yang telah ditentukan. Kemudian tahap selanjutnya adalah

melakukan analisis perancangan yang tetap merujuk pada variable dan hasi survey. Proses tersebut

saling terkait dan terus terulang. Setelah melakukan seua tahap makan ditarik kesimpulan dari proses

tersebut.

3. Hasil dan Pembahasan

Pasar Cihaurgeulis (Pasar Suci)

Pasar Cihaurgeulis atau biasa disebut Pasar Suci ini dapat digolongkan salah satu pasar vertikal karena

terdiri 2 lantai, lantai dasar terdiri dari pasar tradisional dan oleh-oleh sedangkan lantai 2 berfungsi

sebagai area bursa buku dan kantor pemasaran. Pasar Cihaurgeulis juga diklasifikasikan sebagai pasar

kelas II di kota Bandung. Luas site pasar ini sekitar 5.086 m2 dan luas bangunan sekitar 3.816m2.

Lokasi pasar ini terletak si Jl. Surapati Kelurahan Sukaluyu Kecamatan Cibeuying Kaler. Pasar ini

juga pernah mengalami renovasi pada tahun 1978.

Terdapat fenomena umum yang sering terjadi pada budaya berpasar di Pasar ini yaitu fenomena

“pasar tumpah”. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya PKL yang berjualan hingga tumpah ke area

badan jalan depan pasar tersebut. Namun kegiatan pasar tumpah tersebut diatur hanya pada pagi hari

sekitar jam 6-7 pagi agar tidak menyebabkan kemacetan, karena pada waktu tersebut intensitas

kendaraan tidak terlalu ramai. Hal tersebut sudah berlansung bertahun-tahun dibawah pengawasan

petugas lalu lintas. Para PKL juga disediakan tempat diarea trotoar jalan bagian depan area pasar agar

tidak memperluas area jualnya kebadan jalan.

Lokasi Pasar Cihaurgeulis berada pada area perguruan tinggi, perkantoran dan perumahan. Sehingga

rata-rata pengunjung padar ini antara lain karyawan, mahasiswa dan penduduk sekitar perumahan

tersebut.

Page 21: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 18

Gambar 3. 1 Lokasi Pasar Cihaurgeulis

(sumber: https://www.google.co.id/maps/@-6.8988992,107.6274384,925m/data=!3m1!1e3?hl=en)

3.1. Aksesibilitas dan Sirkulasi Pada Pasar Cihaurgeulis

Aksesibilitas dalam ruang pasar ini dapat dilakukan oleh pengunjung melalui sikulasi horizontal

maupun vertikal. Untuk menjelajahi ruang-ruang kios pengunjung dapat berpindah melalui sirkulasi

vertikal berupa koridor-koridor sedangkan untuk berpindah lantai dapat dilakukan melalu sirkulasi

vertikal berupa tangga. Tidak terdapat Lift, escalator mapun ramp pada bangunan Pasar Cihaurgeulis

ini.

Gambar 3. 2 Zona Sirkulasi pada Denah Lantai Dasar Pasar Cihaurgeulis

Karena hanya terdiri dari dua lantai maka pasar ini hanya menyediakan tangga sebagai akses

pengujung untuk berpindah lantai. Namun yang disayangkan pasar ini tidak dilengkapi dengan ramp

untuk memudahkan pengunjung yang ingin berpindah dengan membawa barang besar atau pun para

penjual untuk memindahkan barang.

Page 22: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 19

Gambar 3. 3 Zona Sirkulasi pada Denah Lantai 2 Pasar Cihaurgeulis

3.2. Zona Pada Pasar Cihaurgeulis (Pasar Suci)

Dari hasil pengamatan dapat dideskripsikan untuk zona fungsi terdapat 4 zona sebagai berikut:

(a) Zona Pasar Tradisional (pasar basah)

Area ini berfungsi sebagai zona pasat tradisional yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-

hari (sembako)

Gambar 4. 11 Zona Pasar Tradisional

(b) Zona PKL

Merupakan area para PKL yang menempati area trotoar pinggir jalan depan pasar. Kios-kios

PKL terbangun dari deretan kios temporer sepanjang troroar jalan depan pasar.

Gambar 4. 12 Zona Pasar Oleh-oleh

Page 23: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 20

(c) Zone Pasar Buku

Zone ini merupakan tempat menjual buku-buku, terdapat buku baru maupun buku bekas. Hanya

tersisa 3 kios yang masih bertahan dengan menjual buku.

Gambar 4. 13 Zona Pasar Buku

(d) Zona Tidak Terpakai

Sebenarnya zona ini diperuntukan bagi penjual buku, namun dikarenakan peminatnya semakin

berkurang sehingga terdapat area-area yang tak terpakai. Area tersebut beberapa dimanfaatkan

sebagai gudang penyimpanan barang.

Gambar 4. 14 Zona tidak terpakai

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian sementara dari telaah teori dan analisis data yang dikumpulkan maka dapat

disimpulkan mengenai kajian efisensi desain pasar yang dilihat dari variebel sirkulasi ruang dalam.

Dari pengamatan yang dilakukan, ruang dalam di beberapa pasar mengalami masalah dengan tidak

efisennya penggunaan ruang di beberapa lantai bangunan. Hal itu ditemukan pada area dagang dengan

tipe kios (retail).

Pengamatan selanjutnya berdasarkan pola sirkulasi di dalam pasar. Sebagian besar sirkulasi horizontal

dalam pasar mengelilingi blok kios dn lapak pedagang. Sehingga pola sirkulasinya terbentuk akibat

sistem grid dan blok kios lapak yang terencana. Permasalahan yang timbul justru pada sirkulasi

vertikal. Beberapa pasar memiliki tangga yang kurang representative baik dari segi kenyamanan,

keamanan serta kelayakan. Dari aspek sirkulasi vertikal yang kurang baik tersebut dapat menjadi salah

satu penyebab beberapa lantai di lantai atas pasar kurang terpakai.

Pengamatan dari sisi kegiatan di dalam pasar pada dasarnya dari ketiga pasar yang diamati, lantai

paling bawah bangunan yang memiliki seting kegiatan pasar tradisional merupakan area kegiatan yang

cukup ramai dan berlangsung setiap hari. Bertolak belakang dengan aktivitas di lantai atasnya yang

Page 24: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 21

cenderung sepi bahkan tidak ada kegiatan sama sekali. Dari pengamatan berdasar kriteria variable di

atas maka dapat dikatakan bahwa kualitas ruang dalam, sirkulasi dan kegiatan memiliki keterkaitan

antara satu dan yang lain.

Daftar Pustaka

[1] Aspers, Patrick, Markets, Polity Press, 2011. Online

(http://books.google.com/books?id=0OKEa5p8mJ8C).

[2] Hefner, R. W. 1998. Markets and Justice for Muslim Indonesians. In Hefner, R. W. (ed) Markets

Culture: Society and Values in the new Asian Capitalism. Institute of Southeast Asian Studies.

[3] Nathaus, Klaus and David Gilgen. 2011. Change of Markets and Markets Societies: Concept and

Case Studies. Historical Social Research 36 (3), Special Issue.

[4] Pasar (http:/www/pasar.co.id) Pasar Indonesia

[5] Pindyck, Roberts S. and Daniel L. Rubinfield. 2012. Microeconomics, Prentice Hall.

[6] Tjahjono, Budi. Upaya Penataan Bangunan Pasar Tradisional Menjadi Bangunan Multifungsi di

Kawasan Perdagangan Terhadap Kualitas Kota, Studi Kasus Kawasan Pasar Pagi Kota Cirebon.

STT Cirebon.

[7] Yaqub, Hamzah. 1999. Kode Etik Dagang Menurut Islam, Pola Pembinaan Hidup Dalam

Berekonomi. Diponegoro Bandung.

Page 25: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 22

Strategi Green Building Untuk Optimalisasi Penghematan Energi

Operasional Bangunan Pada Rancangan Gedung Kantor Pengelola

Bendungan Sei Gong - Batam

Erwin Yuniar R. dan Nur Laela Latifah

Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124

E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Peningkatan konsumsi dan eksploitasi sumber daya alam menimbulkan dampak negatif seperti

kerusakan lingkungan serta makin menipisnya ketersediaan energi tak terbarukan dan air bersih di

alam. Untuk itu perlu adanya kesadaran yang mendukung konservasi lingkungan global, salah satu

bentuknya adalah penerapan Green Building pada desain bangunan.

Gedung Kantor Pengelola Bendungan Sei Gong adalah bangunan fungsi kantor di Batam dimana

terdapat potensi alam yang dapat dioptimalkan dan kendala iklim tropis basah yang dapat

diantisipasi, baik melalui teknik pasif dan aktif melalui konsep Greeen Building. Bangunan ini layak

untuk diangkat sebagai objek penelitian karena memiliki desain yang spesifik unik agar seluruh

sistem yang bekerja pada bangunan dapat menghemat energi operasional sekaligus mendukung

pelestarian lingkungan. Metoda analisis yang dilakukan adalah kuantitatif dan kualitatif. Metoda

analisis kuantitatif yang diterapkan berdasarkan data pengukuran langsung cuaca di lapangan.

Metoda analisis kualitatif meliputi kajian atas solusi desain baik teknik pasif maupun aktif yang

sesuai dengan konsep Green Building. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bentuk dan

orientasi bangunan sudah sesuai dengan syarat Green Building, akan tetapi berdasarkan perhitungan

Window Wall Ratio, masih terdapat bidang dinding yang tidak memenuhi syarat Green Building,

namun hal ini dapat diatasi dengan penggunaan kaca memiliki kamampuan Energy Reflective dan

desain Lightshelf yang sesuai.

Key words : green building, green architecture, passive design

1. Pendahuluan

Green Building adalah salah satu solusi desain dalam merancang bangunan dan lingkungannya yang

dapat menjawab permasalahan terkait konservasi sumber daya alam khususnya kebutuhan energi

operasional dan mendukung pelestarian lingkungan, dimana diterapkan baik teknik pasif maupun

teknik aktif pada selubung bangunan, sistem pengkondisian udara dan ventilasi, sistem pencahayaan,

sistem listrik dan transportasi vertikal, manajemen dan efisiensi air, serta pengolahan lahan.

Gedung Kantor Pengelola Bendungan Sei Gong adalah bangunan fungsi kantor yang terletak di Batam

dimana terdapat potensi angin dan cahaya berlimpah, tetapi dengan lokasinya di daerah beriklim tropis

basah maka memiliki kendala paparan radiasi matahari tinggi yang berdampak suhu udara tinggi dan

kelembaban udara tinggi, yang dampaknya penggunaan energi operasional yang juga tinggi. Agar

bangunan dapat menghemat energi operasional (terutama pengondisian udara dan pencahayaan

buatan) sekaligus mendukung pelestarian lingkungan, maka diterapkan konsep Green Building,

sehingga bangunan dapat didesain spesifik dan unik ditinjau dari aspek gubahan massa, pengolahan

fasad, zoning, dan sistem sirkulasinya, serta menarik untuk dijadikan objek penelitian.

Strategi Green Building (sebagian besar berdasarkan Panduan Bangunan Gedung Hijau Bandung)

yang dapat diterapkan pada tipikal desain gedung kantor, meliputi Selubung Bangunan,

Pengkondisian Udara & Ventilasi, Sistem Pencahayaan, Sistem Listrik dan Transportasi Vertikal,

Manajemen dan Efisiensi Air, serta Pengelolaan Lahan. Namun dalam makalah seminar ini,

pembahasan akan dibatasi hanya pada aspek analisis selubung bangunan.

Page 26: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 23

Selubung bangunan adalah komponen bangunan baik yang tidak tembus cahaya maupun tembus

cahaya yang memisahkan interior dari lingkungan luar, secara garis besar terdiri atas dinding dan atap.

Desain selubung bangunan berdampak signifikan terhadap konsumsi energi operasional bangunan,

terutama untuk sistem AC/ penghawaan buatan akibat beban termal dan sistem penerangan buatan

untuk memenuhi kurangnya PASH. Kinerja termal selubung bangunan dapat dievaluasi dari nilai

OTTV dan RTTV.

2. Metodologi

Penelitian menggunakan metoda analisis baik kuantitatif maupun kualitatif. Metoda analisis

kuantitatif yang diterapkan berdasarkan pengukuran langsung cuaca di lapangan dan simulasi baik

simulasi pengukuran perhitungan dimensi bangunan dan luasan fasade, maupun simulasi

menggunakan aplikasi komputer. Metoda analisis kualitatif meliputi kajian atas solusi desain baik

teknik pasif maupun aktif yang sesuai dengan konsep Green Building.

3. Hasil Diskusi

Selubung bangunan meliputi dinding dan atap. Walaupun luas bangunan di bawah 5.000 m2, dalam

penelitian ini tetap dilakukan perhitungan OTTV (Overall Thermal Transfer Value) untuk

mengidentifikasi apakah desain selubung bangunan mendukung penghematan energi operasional AC.

a. Bentuk dan orientasi bukaan/ bangunan

Bentuk denah tapal kuda menyerupai huruf U agar bangunan tidak terlalu tebal, sehingga mendukung

penghematan energi operasional bangunan (AC dan penerangan buatan) dimana dapat

mengoptimalkan penghawaan alami (kelancaran dan aksesibilitas pergerakan udara dalam ruang) juga

pencahayaan alami (aksesibilitas cahaya dalam ruang). Selain itu dapat diperoleh tampak yang diolah

representatif pada semua sisi fasad bangunan.

Gambar 1 : Denah Lantai 1 Gambar 2 : Denah Lantai 2

Bentuk bangunan mengecil ke arah atas, maka pengukuran dimensi bangunan dilakukan pada Lantai

1. Data dimensi bangunan yang terukur pada Lantai 1:

a. AE = panjang bangunan = 48,9 m

b. AB/ DE = tebal bangunan = 12,9 m

c. FC = lebar bangunan = 25,4 m

A U B D E C

Page 27: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 24

Gambar 3: Tampak Depan (Selatan) Gambar 4: XX Tampak Samping (Barat)

Bentuk bangunan tapal kuda menyerupai huruf U yang tipis hanya 12,9 m (jarak AB/ DE pada Lantai

Dasar) sudah baik dalam mendukung penghematan energi operasional AC dan penerangan buatan.

Orientasi bangunan ke arah Utara Selatan dengan dimensi panjang ke arah Barat Timur sudah baik

dalam mendukung perolehan OTTV sesuai syarat Green Building.

b. Shader eksternal dan filter eksternal

Pada bangunan tidak ada shader (pembayang bersifat masif) untuk bukaan, tetapi terdapat filter Sun

Louvre berupa kisi-kisi aluminium yang menutupi bukaan bagian atas pada dinding eksterior fasad

Utara, Selatan, Barat dan Timur. Sun Louvre ini juga menutupi bukaan di atas pintu kaca pada dinding

eksterior. Karena tidak masif memiliki lubang celah antar kisi-kisinya, maka filter tersebut tidak dapat

100% efektif memberi pembayangan tetapi masih dapat mentransmisikan sebagian radiasi panas

matahari ke bukaan.

Filter Sun Louvre berupa kisi-kisi aluminium sudah baik membentuk reduksi penerimaan radiasi

panas ke dalam bangunan. Tetapi bila bangunan menerapkan Lightshelf yaitu reflektor cahaya

horizontal untuk meningkatkan perolehan cahaya alami dalam ruang yang diletakkan pada dinding

interior fasad di antara bukaan bagian atas dan bawah, maka alokasi Sun Louvre ini justru kurang

baik karena menghalangi transmisi cahaya masuk ke dalam ruang untuk dipantulkan oleh Lightshelf

ke plafon. Maka sebaiknya desain Sun Louvre berupa kisi-kisi mendatar yang diletakkan pada dinding

eksterior fasad dengan alokasi di atas bukaan bagian bawah.

Gambar 5: Secondary Skin tipe 1

pada fasad Barat, Timur, dan Utara Lantai 3 Gambar 6 : Secondary Skin tipe 2

pada fasad Barat dan Timur Lantai 4

s/d Lantai 7

Penerapan filter Secondary Skin pada fasad masih kurang baik karena efektifitasnya hanya

dioptimalkan untuk melindungi area utilitas dan sirkulasi yang bukan area utama. Sebaiknya filter

Secondary Skin diterapkan juga untuk melindungi area utama Lantai 1 dan Lantai 2 pada bagian Barat

dan Timur bangunan yang mendapat paparan radiai panas matahari tinggi.

Page 28: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 25

Penerapan filter Grill pada fasad Selatan sudah baik karena membantu reduksi radiasi panas matahari

yang mungkin diterima dari arah Selatan.

c. Pengaturan Nilai Window Wall Ratio (WWR)

Hasil perhitungan WWR pada fasad bangunan Lantai 1 dan Lantai 2 baik pada grid luar maupun

dalam

Tabel 1: WWR fasad bangunan Lantai 1 Lantai 1 Lengkungan luar Lengkungan dalam

No. Orientasi

fasad Grid WWR

Status Grid WWR

Status

1. Utara FG 13,5 % Masih OK - - -

GH 47,6 % OK

HI 11,3 % Masih OK

2. Timur Laut IJ 63,5 % Kurang OK - - -

JK, KL 67,5 % Kurang OK

3. Timur LM 67,5 % Kurang OK AB 34,3 % OK

MN 47,6 % OK BC 42,9 % OK

4. Tenggara - -

- CD,

DE, EF 42,9 %

OK

5. Selatan AA, NN Tidak ada Tidak ada FG, HI 42,9 % OK

GH 53,8 % OK

6. Barat Daya - -

- IJ, JK,

KL 42,9 %

OK

7. Barat AB 47,6 % OK LM 42,9 % OK

BC 67,5 % Kurang OK MN 34,3 % OK

8. Barat Laut CD, DE 67,5 % Kurang OK - - -

EF 63,5 % Kurang OK

Tabel 2: WWR fasad bangunan Lantai 2

Lantai 1 Lengkungan luar Lengkungan dalam

No. Orientasi fasad Grid WWR Status Grid WWR Status

1. Utara FG 15,7 % Masih OK - - -

GH 55,6 % OK

HI 13,2 % Masih OK

2. Timur Laut IJ, JK,

KL 50,0 %

OK - -

-

3. Timur LM, MN Tidak ada Tidak ada AB, BC Tidak ada Tidak ada

4. Tenggara - -

- CD 64,0 %

Kurang

OK

DE, EF 50,0 % OK

5. Selatan CC, LL Tidak ada Tidak ada FG, HI 50,0 % OK

GH 50,0 % OK

6. Barat Daya - - - IJ, JK 50,0 % OK

KL 64,0 % Kurang

OK

7. Barat AB, BC Tidak ada Tidak ada LM, MN Tidak ada Tidak ada

8. Barat Laut

CD, DE,

EF 50,0 %

OK - -

-

Dari kedua tabel di atas dapat diketahui bahwa masih ada grid fasad dengan nilai WWR kurang baik

karena sedikit lebih besar dari batas 60 % yang disarankan, dimana pada Lantai 1 terjadi pada

orientasi fasad Timur Laut Timur Laut, Timur, Barat, dan Barat Laut yang di dalamnya semuanya

Page 29: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 26

merupakan ruang galeri, sedangkan pada Lantai 2 terjadi pada orientasi fasad Tenggara (kantor) dan

Barat Daya (ruang audio visual). Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan suhu ruang dalam yang

otomatis memperbesar beban termal bagi sistem pengkondisian udara (AC) sehingga menambah

konsumsi energi operasional bangunan.

Bila ruang dalam dilengkapi dengan Lightshelf dan desain filter Sun Louvre diubah menjadi kisi-kisi

mendatar yang diletakkan pada dinding eksterior fasad dengan alokasi di antara bukaan atas dan

bawah, maka sebagai solusi atas nilai WWR yang masih kurang baik adalah menggunakan kaca jenis

Coated Glass dengan coating oksida logam pada permukaan kaca sehingga memiliki kemampuan

Energy Reflective (ER) terhadap panas matahari atau low-emissivity.

d. Spesifikasi kaca

Jenis kaca Tempered tidak baik dalam berfungsi sebagai filter karena tidak memiliki kemampuan

mereduksi penerimaan radiasi panas matahari. Sebaiknya kaca yang digunakan sebagai curtain wall,

serta pada bukaan bagian bawah dan pintu eksterior adalah jenis yang memiliki Energy Transmittance

(DET) rendah, sehingga Shading Coefficient (SC) rendah dan otomatis Solar Heat Gain Coefficient

(SHGC) rendah tidak lebih dari 0,4 agar memenuhi syarat Green Building. Selain itu akan lebih baik

bila U-Value atau Thermal Transmittance kaca tidak terlalu tinggi (tidak lebih dari 5,0 W/m2K).

SHGC = 0,86 SC. Maka nilai SC kaca yang disarankan untuk curtain wall, serta pada bukaan bagian

bawah dan pintu eksterior maksimal 0,46. Jenis kaca tersebut adalah Coated Glass dengan coating

oksida logam pada permukaan kaca sehingga memiliki kemampuan Energy Reflective (ER) terhadap

panas matahari atau low-emissivity. Berikut alternatif jenis kaca yang dapat dipilih, yaitu Solar Heat

Reflective Glass dengan coating 1 lapis jenis reflective dan Solar Control Low-e Glass dengan coating

2 lapis jenis low reflective dan low emissivity. Posisi coating pada eksterior (#1) atau interior (#2).

Tabel 3: Alternatif Solar Heat Reflective Glass untuk curtain wall

serta bukaan bagian bawah dan pintu eksterior

No Jenis kaca Tebal

(mm)

Possi

coating

DET

(%)

ER

(%)

SC

(%) SHGC

U-Val

(W/m2K)

1. STOPSOL

Classic Green (CGN) 8 #1 16 28 0,35 0,30 5,7

2.

STOPSOL

New Supersilver

Green (SSGNF)

8 #1 24 25 0,42 0,36 5,7

3.

STOPSOL

New Supersilver Euro

Grey (SSGEF)

8 #1 28 26 0,46 0,40 5,7

Tabel 4: Alternatif Solar Control Low-e Glass untuk curtain wall

serta bukaan bagian bawah dan pintu eksterior

No Jenis kaca Tebal

(mm)

Possi

coating

DET

(%)

ER

(%)

SC

(%) SHGC

U-Val

(W/m2K)

1. SUNERGY SIGMA

Green (SNSGN) 8 #2 17 7 0,37 0,32 4,4

2. SUNERGY SIGMA

Grey (SNSBE) 8 #2 18 7 0,38 0,33 4,3

3. SUNERGY

Blue Green (SNBN) 8 #2 22 6 0,41 0,35 4,1

4. SUNERGY

Euro Grey (SNGE) 8 #2 22 6 0,41 0,35 4,0

Untuk optimasi cahaya alami, sebaiknya fasad bagunan dilengkapi Lightshelf yang menerima cahaya

dari bukaan bagian atas. Untuk itu jenis kaca bukaan bagian atas termasuk di atas pintu eksterior

adalah jenis yang memiliki Visual Light Transmittance (VLT) tidak rendah tetapi di sisi lain Energy

Transmittance (DET) dan Shading Coefficient (SC) tidak terlalu tinggi. Jenis kaca yang disarankan

adalah Coated Glass yang warnanya lebih bening. Berikut alternatif jenis kaca yang dapat dipilih.

Page 30: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 27

Tabel 5: Alternatif kaca untuk bukaan bagian atas termasuk di atas pintu eksterior

No Jenis kaca Tebal

(mm)

Possi

coating

VLT

(%)

DET

(%)

ER

(%)

SC

(%) SHGC

U-Val

(W/m2K)

1.

STOPSOL

New Supersilver

Clear (SSFLF)

8 #1 62 59 27 0,72 0,62 5,7

2. SUNERGY

Clear (SNFL) 8 #2 68 52 8 0,68 0,58 4,1

Penerapan Glass Block sudah baik karena tepat digunakan sesuai fungsi ruang sebagai toilet, dimana

privasi masih terjaga tetapi kaca masih dapat memasukkan cahaya alami ke dalam ruang

e. Penggunaan Lightshelf

Dimensi Lightshelf ditentukan berdasarkan sudut jatuh sinar matahari, kondisi paling panas di

Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa adalah tengah tahun saat musim kemarau. Untuk

perolehan sudut jatuh sinar matahari arah vertikal (Sudut Datang Vertikal/ SDV) yang diterapkan pada

gambar potongan, digunakan simulasi menggunakan software Ecotect dengan orientasi fasad sesuai

ruang galeri dan kantor. Waktu simulasi adalah saat radiasi panas matahari tinggi dan sudut jatuh

sinarnya miring sehingga dapat masuk melalui bukaan, yaitu pukul 10.00 (menjelang siang) serta

pukul 14.00 dan 16.00 (siang sampai sore). Selain SDV, melalui software Ecotect dapat diperoleh juga

Sudut Datang Horizontal (SDH) yang diterapkan pada gambar denah.

Data yang diinput untuk simulasi software Ecotect:

a. Lokasi = Koordinat Pulau Batam yaitu 1.0456 LU, 104.0305 BT (1.0 North, 104.0 East)

b. Tanggal = 1 Juli

c. Orientasi = Timur Laut, Timur, Tenggara, Barat Laut, Barat, dan Barat Daya

d. Waktu = 10.00 untuk orientasi fasad Timur Laut, Timur, dan Tenggara

14.00 dan 16.00 untuk orientasi fasad Barat Laut, Barat, dan Barat Daya

Pembacaan sudut dari hasil simulasi software Ecotect:

a. SDV berdasarkan posisi matahari (bintik) terkait garis setengah elips dimana antar garis

selisihnya 10 °

b. SDH berdasarkan selisih perolehan HSA dengan sudut orientasi fasad (arah Utara 0° dihitung

searah jarum jam)

Tabel 6: Nilai Sudut Datang Vertikal (SDV) 1 Juli di Batam berdasarkan simulasi Ecotect

No. Waktu Timur Laut Timur Tenggara Barat Laut Barat Barat Daya

SDV SDH SDV SDH SDV SDH SDV SDH SDV SDH SDV SDH

1. 10.00 53.0⁰ 6.9 59.0⁰ 38.1 85.0⁰ 83.1 - - -

2. 14.00 - - - 54.0⁰ 3.9 62.0⁰ 41.1 90.0⁰ 86.1

3. 16.00 - - - 30.0⁰ 18.8 31.0⁰ 26.2 60.0⁰ 71.2

Berdasarkan Sudut Datang Vertkal (SDV) yang diperoleh, diambil nilai yang paling rendah agar

cahaya yang masuk ke dalam ruang membawa panas masih dapat diantisipasi oleh Lightshelf. Untuk

fasad dengan orientasi Timur Laut, Timur, dan Tenggara, diambil SDV 53⁰, sedangkan untuk fasad

Barat Laut, Barat, dan Barat Daya diambil SDV 30⁰ (bila dimensi Lighshelf terlalu dalam diambil

SDV 54⁰).

Page 31: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 28

4. Kesimpulan

Bentuk, ketebalan dan orientasi bangunan ini sudah sesuai dengan syarat Green Building. Penempatan

filter Secondary Skin akan lebih bermanfaat jika ditempatkan untuk melindungi area utama lantai 1

dan lantai 2. Sedangkan penggunaan Filter Grill pada fasade sudah baik dalam membantu mereduksi

radiasi panas matahari pada sisi selatang bangunan. Hasil perhitungan Window Wall Ratio (WWR)

masih terdapat rasio diatas batas yang disyaratkan, namun hal ini dapat diatasi dengan penggunaan

tipe kaca yang memiliki kamampuan Energy Reflective. Desain Lightshelf sebagai pemantul cahaya

alami dan sebagai shader bagi ruang dalam terhadap paparan radiasi panas matahari sangat ditentukan

oleh faktor lokasi dan orientasi bangunan.

Daftar Pustaka

[1] Latifah, Nur Laela; 2016; Arsitektur dan Energi Modul 1; Diktat kuliah AR 453 Arsitektur dan

Energi.

[2] Olgyay, Victor (1992), Design with Climate-Bioclimate: Approach to Architectural Regionalism,

NY, Van Nostrand Reinhold Co.

[3] Priatman, Jimmy, M. Arch, IAI; 2007; Pengembangan Wawasan Rumah Susun Hemat Energi;

Makalah Lokakarya 12 Mei 2007; Unpar.

[4] Soegijanto, R.M.; 1999; Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Fisika

Bangunan; Departemen Pendidikan Nasional-Indonesia.

[5] Panduan Pengguna Bangunan Gedung Hijau Bandung, 2016.

[6] http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/green+architecture; diakses 5 Agustus 2013.

[7] http://www.wellthy.co.jp/english/files/rainwater01.jpg; diakses 13 Juli 2013

Page 32: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar
Page 33: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 29

Strategi Green Design untuk Optimalisasi Penerapan Prinsip

Konektivitas Sustainable Design

Studi Kasus: Koridor Braga, Bandung

Nurtati Soewarno1, Taufan Hidjaz2, dan Eka Virdianti3 1,3Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan

2Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain

Institut Teknologi Nasional

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Koridor konservasi merupakan salah satu ruang publik Kota dengan nilai sejarah tinggi. Secara

ekonomi koridor konservasi memiliki potensi untuk membuat Kota menjadi lebih hidup namun

terkadang pembangunan Kota dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan koridor ini. Penelitian ini

bertujuan untuk melihat prinsip sustainable design melalui konektivitas dan rancangan strategi

berupa guide line green design. Tiga faktor yang menjadi variabel penelitian adalah Lingkungan,

Sosial dan Ekonomi. Variable makro untuk analisis strategi meliputi prinsip yang dibentuk dari

partisipasi dan kolaborasi elemen masyarakat yaitu state, regional, dan local. Pendekatan penelitian

menggunakan mix method, data diperoleh melalui pengukuran, observasi, dan kuesioner. Obyek

penelitian adalah segmen 2 koridor Braga di Kota Bandung. Analisis menggunakan metoda SWOT

dengan hasil simpulan arahan strategi green design untuk optimalisasi penerapan prinsip

konektivitas sustainable design yang terbagi menjadi 4 aspek: regulasi, partisipasi, insentif dan

arahan-guidleine.

Kata Kunci: Strategi Green Design, Prinsip Konektivitas, Sustainable Design.

ABSTRACT

The conservation corridor is one of the city's public spaces with high historical value. Economically

this corridor has potential to make the City more alive however sometimes city’s development can be

a threat to the exsistence of this corridor. This study aims to look at the principle of sustainable

design, through connectivity and design strategy in the form of green design guide line.The three

factors that become research variables are: Environment, Social and Economics. Macro variable for

strategy analysis covering the principles that form of participation and collaboration of community

elements namely state, regional and local. Research approach using mix method by taking data

through measurement, observation, and questionnaire.The object of research is segment 2 corridor

Braga in Bandung City. Analysis using SWOT method with conclusion with the result of green design

strategy conclusion to optimize the application sustainable design connectivity principal which is

divided into 4 aspects: regulation, participation, incentives and guidline direction.

Keywords: Strategy Green Design, Connectivity Principle, Sustainable Design.

Page 34: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 30

1. Pendahuluan

Aplikasi rancangan konektivitas sebuah Kota dapat dinilai dari keberadaan koridor yang pada

hakekatnya membentuk suatu linkage (penghubung) antar kawasan. Keberadaan koridor merupakan

sistem penghubung akibat deretan massa yang dapat membentuk rancangan visual arsitektur yang

khas. Fungsi koridor dapat berkembang sebagai area komunal: tempat terjadinya interaksi sosial

masyarakat Kota dan cenderung meningkatan nilai ekonominya.

Kota Bandung memiliki bangunan cagar budaya dan beberapa diantaranya terletak di koridor yang

dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung telah dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya

dan memiliki nilai historis. Koridor Braga pada awalnya merupakan kawasan perekonomian elit.

Isu permasalahan dalam penelitian ini koridor Braga merupakan kawasan perekonomian elit di jaman

kejayaannya, lalu sempat menjadi kawasan pasif dan pada tahun 2000-an tumbuh kembali secara

perekonomian namun secara arsitektural terjadi perubahan dan penambahan pada facase bangunan

serta terjadi pergeseran segmentasi ekonomi. Pertumbuhan yang tidak terkendali ini yang akan

mengancam keberlanjutan kawasan Braga.

Penerapan prinsip konektivitas merupakan bagian dari sustainability dalam konteks desain disebut

sustainable design. Berupa filosofi dasar dari pergerakan dasar dan organisasi yang mengkhususkan

untuk mencari pemastian disain, pembangunan dan pengoperasian yang lebih bertanggung jawab

terhadap lingkungan serta reponsif terhadap masyarakat [1]. Penelitian ini diawali dengan tahapan

identifikasi dalam 3 aspek meliputi: (1)Lingkungan,(2)Ekonomi,(3)Sosial. Melalui semangat green

design, strategi akan diarahkan untuk mengimplementasikan prinsip adaptasi [2], dimana Untuk

kawasan Braga, parameter kawasan yang dapat digunakan adalah tolak ukur yang berkaitan langsung

dengan kawasan adalah Appropriate Site Development [3], sedangkan interior parameter strategi lebih

fleksible. Maka tujuan penelitian adalah merancang strategi green design untuk optimalisasi

sustainable design sebagai pedoman pengembangan kawasan Braga Kota Bandung.

2. Metodologi

Studi kasus berlokasi di segmen 2 kawasan Braga, Bandung. (lihat gambar 1). Pendekatan

menggunakan mix method. Metoda pengambilan data dilakukan dengan kegiatan pengukuran suhu

dan kecepatan angin untuk data variable lingkungan, sedangkan variable ekonomi dan sosial melalui

observasi, penyebaran kuesioner, wawancara, dan dokumentasi. Periode waktu pengambilan data

yaitu 2 hari kerja dan 2 hari libur. Periode dikelompokan pada jam pengamatan yaitu 08.00-10.00(pagi

hari); 12.00-14.00(siang hari) dan 15.00-17.00(sore hari). Analisis mikro aspek lingkungan, ekonomi

dan sosial dalam prinsip konektifitas [4]. Variable makro untuk analisis stategi adalah Prinsip-prinsip

ini dibentuk dari partisipasi dari kolaborasi elemen masyarakat yaitu state, regional,dan local [5].

Penelitian ini terfokus pada produk output berupa strategi hasil penelitian sebelumnya. Analisis

menggunakan metoda analisis SWOT dengan tahapan output data internal dan eksternal, pembobotan

dan posisi pada tabel kuadran [6].

Page 35: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 31

3. Hasil dan Diskusi

3.1 Gambaran Kawasan Braga

Perkembangan di awali dari orang Eropa yang bermukim di kawasan sekitar Alun-alun dan Kantor

Pos dan pendatang pengusaha teh, memerlukan kehidupan dan interaksi sosial yang beratmosfer

Eropa. Menurut Wieland, 1997 berawal dengan pembukaan grocery “De Vries” lalu terbentuknya

Concordia, diikuti oleh Braga Theatre Club. Pada tahun yang sama, perbaikan kondisi fisik

Karrenweg dan diberi nama Bragaweg (Braga street). Jalan Braga lalu dikenal secara internasional

sebagai "Het meest Europeesche Winkelstraat van Indi" (tempat belanja Eropa yang paling orisinal

dan bisnis di Indonesia). Kemudian pada dasawarsa 1920-an muncul toko-toko dan butik (boutique)

pakaian yang mengambil model di Kota Paris, Perancis yang saat itu merupakan kiblat model pakaian

di dunia [7].

Kawasan Braga menjadi pusat perbelanjaan dan gaya hidup orang Eropa masa itu. Kehidupan

kawasan Braga hanya berlangsung hingga 1942. Jepang datang ke Indonesia fungsi komersial Braga

menjadi mati. Setelah kemerdekaan kawasan Braga mengalami banyak perubahan baik berupa fisik

bangunan maupun non fisik yaitu pergeseran segmentasi kawasan.

3.1.1 Eksistensi dan Degradasi Kawasan Braga

Hasil survey di lapangan sebanyak 77%, dari 74 fungsi bangunan, masih bertahan dengan langgam

bangunan lama. Jika pengendalian, pendataan dan klasifikasi bangunan tidak segera diterapkan maka

Segment 2

Gambar 6 Segmentasi Kawasan Braga -Studi Kasus: Segemen 2 (Googgle Map 2017,

diolah; David B Sodiyono,2017)

Gambar 7 Braga dari Masa ke Masa (berbagai sumber,2017)

Page 36: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 32

perubahan karakter kawasan dapat terjadi. Komunitas Kota yang menjadi responden telah sepakat

bahwa bangunan lama menjadi background yang sangat menarik dan fitur/elemen dominan yang

mengundang datang ke kawasan ini. Namun hasil observasi beberapa bangunan telah teridentifikasi

hilang dari kawasan tersebut dan digantikan dengan bangunan modern. Degradasi dapat diartikan

kemuduran atau kemerosotan. Penilaian dari sisi kuantitatif adalah berkurangnya jumlah bangunan

Indo Europeeschen Architectuur Stijl, dalam kawasan Braga segmen 2. Sedangkan dari penilaian

kualitatif terdapat pengurangan kualitas/performance arsitektur akibat pemeliharaan atau penambahan

elemen identitas komersil yang terlalu banyak dan tidak didisain dengan baik. Nilai-nilai lingkungan

kemasyarakatan dalam hal pelestarian Bangunan Cagar Budaya belum tersosialisasi dengan baik.

Dalam Perda Bangunan [8] dan Peraturan menteri mengenai Bangunan Hijau terdapat sistem insentif

pada bangunan cagar budaya. Perawatan bangunan cagar budaya dilakukan secara pribadi oleh

pengelola Potongan pajak bumi dan bangunan atau kompensasi belum diberikan pemerintah terhadap

bangunan cagar budaya.

Kondisi infrastruktur pada kawasan ini adalah penyediaan fasilitas parkir serta area pemberhentian

khusus untuk transportasi umum. Perlunya sosialisasi bagi pengguna serta penyedia transportasi

umum dilakukan untuk mengurai kesemrawutan lalu lintas kendaraan. Penyediaan ruang komunal

yang dapat berfungsi ganda sebagai ruang terbuka hijau tidak dapat dilakukan karena kawasan ini

berupa deretan bangunan padat dengan bentuk koridor. Sehingga diperlukan konsep area komunal lain

dan dari sisi penghijauan diperlukan teknik serta disain yang berbeda.

3.1.2 Konektifitas Lingkungan, Ekonomi dan Sosial

Penerapan prinsip konektivitas lingkungan secara makro, koridor ini belum memberikan dapat

memberikan peran dalam menurunkan efek Urban Heat Island. Secara internal, kenyamanan

lingkungan di batas atas zona nyaman, dimana hasil penelitian sebelumnya yaitu temperatur 30,7◦C,

kecepatan angin 0,6 m / s dan kelmbaban 40%. Respon dari pengunjung menyatakan kurang nyaman,

karena alasan panas akibat banyak polusi kendaraan. Tatanan deret massa bangunan, façade arsitektur

ciri bangunan lama dengan sirip dan bidang transparant yang sedikit serta adaptasi rancangan dengan

kanopi, memberikan dampak yang besar dalam menjaga kenyamanan koridor ini.

Koridor ini memang dipersiapkan untuk menjadi pusat perdagangan dan jasa. Mulai tahun 2000an,

kawasan ini hidup kembali, terlihat dengan berjamurnya sector perniagaan dan perhotelan di sekitar

koridor Braga. Koridor Braga segmen-2 memiliki 74 fungsi unit bangunan yang memicu sector

perekonomian internal. Fungsi tersebut telah terespon oleh masyarakat dengan pengeluaran ekonomi

pengunjung untuk makan dan parkir di koridor ini. Secara arsitektural, keseluruhan bangunan

menerapkan pola adaptif reuse dalam rancangan interior. Untuk façade bangunan beberapa

memberikan rancangan adaptif dengan mewarnai bangunan dan memberikan signage dan fitur

menarik sebagai identitas komersil.

Kelebihan koridor konservasi Braga, diapit kawasan yang didominasi oleh bangunan lama serta dua

ruang terbuka Kota, sehingga konektifitas sosial koridor dan sekitarnya telah terbangun. Di koridor

Braga-segmen 2, pemicu aktifitas interaksi adalah kegiatan mengobrol, menikmati pemandangan dan

duduk. Rerata pengunjung datang dengan membawa teman dan saudara. Rancangan façade bangunan

lama dengan langgam khas dan elemen street furniture, telah menjadi background elemen/fitur

menarik untuk didatangi oleh komunitas Kota. Dalam hal interaksi social koridor Braga telah

memberikan tingkat kepuasan yang baik di mata komunitas Kota.

Page 37: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 33

3.1.3 Regulasi, Penilaian dan Peran Masyarakat di Kawasan Braga

Bangunan lama pada koridor Braga, memberikan andil besar dalam membentuk situasi/setting

kawasan, yaitu potensi dari sisi ketersediaan fitur menarik yang dapat membawa pengunjung dalam

history dan memory zaman Bandung tempo dulu. Hasil kuesioner, kawasan ini perlu dipertahankan

ciri khas arsitektur karena hal tersebut dinilai sebagai fitur dominan yang sangat mengundang. Sisi

identitas koridor Braga sebagai public space yang berkualitas telah terespon oleh komunitas Kota.

Keberlanjutan kawasan ini berada pada nilai history dan langgam arsitektur. Namun citra kawasan

Braga sebagai kawasan elit yang perlu dikemas kembali. Pemerintah dan investor Kota Bandung telah

memberikan stimulus kawasan ini berupa fungsi jasa dan komersil yang akhirnya terespon dengan

baik sehingga kawasan koridor Braga menjadi hidup dari sisi sosial dan ekonomi. Ketiadaan regulasi

guideline kawasan memberikan dampak yang significant dan berakibat hilangnya jati diri kawasan.

3.2 Analisis SWOT

3.2.1 Data Eksternal dan Internal SWOT

Matrik SWOT adalah matrik yang mengintegrasikan faktor strategis internal dan eksternal. Matrik ini

dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman (eksternal) yang dihadapi dapat

disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan (internal) yang dimiliki [6].

Table 1 Data Matriks Eksternal, Pembobotan dan Rating

Matriks Eksternal (Efas)

Bobot

(Skala Rating

(1-4)

Bobot X

Rating 0 - 1)

1) Peluang/Opportunies (O)

a Semua pemilik dan pengelola Bangunan Lama di Kawasan Braga

2 membiayai perawatan bangunan oleh dana pribadi (pemilik atau

penyewa).

0.05 4 0.2

b Pengembangan kawasan berbasis ekonomi, jasa dan komersial

(berpotensi sebagai wisata dan public area) sudah berkemban

0.03 3 0.09

c Tingkat peluang investasi sangat tinggi di kawasan ini 0.05 3 0.15

d Beberapa bangunan bercirikan arsitektur Indo-Europeeschen

Architectuur Stijl yang diduga bangunan cagar budaya

0.1 4 0.4

e Komunitas kota telah merespon bangunan langgam lama sebagai

hal yang menarik dan menjadi identitas kawasan

0.05 3 0.15

0.99

2) Tantangan/Threats (T)

a Penataan infrastruktur perparkiran dan kesemrawutan lalulintas 0.1 3 0.3

b Pengendalian iklim mikro diluar zone nyaman 0.05 3 0.15

c Kesadaran pemilik&pengelola tentang pelestarian bangunan Lama 0.2 4 0.8

d Pengendalian mordenitas pembangunan 0.17 4 0.68

e Kesadaran masyarakat dan investor terhadap eksistensi Bangunan

lama

0.2 4 0.8

1 2.73

Page 38: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 34

Table 2 Data Matriks Internal, Pembobotan dan Rating

Matriks Internal (Ifas)

Bobot

(Skala Rating

(1-4)

Bobot

X

Rating 0 - 1)

A) Kekuatan/Streght (S)

a Sudah adanya regulasi mengenai cagar budaya berupa perda 19 th 2009

serta perwal 921 untuk kawasan koridor konservasi

0.2 2 0.4

b Konektifitas ekonomi dan sosial secara makro-mikro sudah terbangun 0.15 3 0.45

c Pemda telah membentuk tim cagar budaya untuk melaksanakan

pengelolaan Bangunan lama secara umum di kawasan Bandung

0.1 2 0.2

d Identitas kawasan sebagai koridor konservasi 0.05 2 0.1

e Perkembangan kawasan ini sangat pesat 0.05 2 0.1

1.25

B) Kelemahan/Weakness (W).

a Pemda telah membentuk tim cagar budaya untuk melaksanakan

pengelolaan Bangunan lama secara umum di kawasan Bandung

0.2 4 0.8

b Belum ada guideline kawasan untuk meningkatkan visualisasi koridor

Kawasan

0.05 4 0.2

c Perubahan segmentasi/citraKawasan Braga 0.05 3 0.15

d Sosialisasi Pengetahuan Bangunan Cagar Budaya belum dilakukan 0.1 4 0.4

e Pemerintah belum melakukan klasifikasi & inventarisasi bangunan

yang diduga cagar budaya

0.05 4 0.2

1 1.75

Dari hasil pembobotan analisis SWOT di atas, tahapan selanjutnya adalah menempatkan hasil

pembobotan dan nilai rangking dengan melakukan selisih O-T dan S-W pada kuadran di bawah ini.

hasil akhir akan diketahui strategi mikro dan makro berdasarkan posisi kuadran. Hasil kuadran

tersebut akan diturunkan menjadi rancangan aksi dalam Strategi Selisih O-T didapatkan -0.26 dan

Selisih S-W adalah -3. Sehingga didapatkan rekomendasi strategi yang harus dilakukan. O

KUADRAN III 4 KUADRAN I

3

2

1

W -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 S

(-0,26;-3) -1

-2

-3

KUADRAN IV -4

T

Gambar 8 Lokasi Kuadran

Page 39: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 35

Kuadran IV, negatif – negatif , posisi ini menandakan sebuah organisasi/instansi/kawasan yang lemah

dan menghadapi tantangan , rekomendasi strategi yang digunakan adalah strategi bertahan,

mengendalikan kinerja internal agar tidak semakin terperosok. Strategi ini dipertahankan sambil terus

berupaya membenahi diri. Dari hasil analisis SWOT maka strategi yang harus dilakukan adalah

strategi bertahan. Ini disebabkan dari sisi internal instansi yang belum menimplementasikan aturan

dan sosialisasi dan dari sisi peluang area/kawasan ini bukan merupakan jalur utama tapi hanya area

penyokong kawasan strategis.

Arahan strategis yang dihasilkan berupa kuadran bertahan dimana langkah utama stategi adalah

perencanaan ataupun penerapan regulasi dan kebijakan dari pemerintah yang ketat. Kita ketahui

regulasi di Kota Bandung bersifat umum. Dalam detail tata ruang kota Bandung kawasan Braga,

belum mengatur aspek-aspek green design menuju aspek keberlanjutan. Oleh karena itu rencana

strategis di dalam penelitian ini akan mengatur rekomendasi/arahan berbentuk guidline untuk eksterior

dan interior kawasan demi mempertahankan citra kawasan Braga.

Strategi secara umum melakukan upaya adaptasi secara tepat untuk dapat menghidupkan kembali

fungsi koridor Braga adalah dalam konteks preservasi peninggalan sejarah yang sangat penting bagi

kota Bandung. Dalam konteks bangunan hijau penerapan adaptasi pada bangunan yang sudah

terbangun dan termasuk bangunan cagar budaya. Tujuannya adalah agar fungsi koridor Braga dapat

berlanjut dengan menghilangkan tampilan pada beberapa bangunan yang tidak terurus, kumuh, tidak

terawat, dan dibiarkan kosong begitu saja karena tidak dipergunakan sebagai layaknya bangunan

ditengah perkotaan yang bersejarah. Adaptasi fungsi bangunan dengan konteks yang baru (penerapan

prinsip adaptasi dalam green design) dapat dilakukan sebagai alih fungsi pada ruang interior, namun

harus tidak mengganggu tampilan luar (eksterior) agar tetap menjadi bagian koridor Braga yang

bersejarah..

Peran arsitektur tidak cukup untuk penerapan optimalisasi konektifitas sustainable design. Diperlukan

peran-peran yang bersifat collaborative untuk pengembangan keberlanjutan kawasan Braga.

Utamanya dari hasil analisis SWOT yang memberikan hasil tipe strategi “bertahan”, dimana dapat

diartikan peran regulasi sangat penting demi menjaga identitas kawasan. Untuk mewujudkan dampak

kolektif dalam strategi bertahan diperlukan system penyelenggaraan desain berbasis komunitas.

Praktek desain komunitas dengan implementasi nilai-nilai local, historical berbasis citra kawasan

Braga. Prinsip-prinsip ini dibentuk dari partisipasi dari kolaborasi elemen masyarakat yaitu state,

regional,dan local.[5]. Penyelenggaraan diwujudkan dengan kolaborasi dari upaya sisi akademisi

universitas untuk inovatif , inisiatif dari pihak non profit bussiness, dan pemerintah untuk memajukan

tujuan dari desain komunitas.

4. Kesimpulan

Hasil pembahasan dan diskusi, dikelompokan sesuai aspek partisipasi dari kolaborasi elemen

masyarakat. Sehingga dapat terlihat keterlibatan dari elemen masyarakat dan rencana-rencana ke

depan. Stategi yang terbentuk meliputi: (1) Aspek Regulasi yaitu: (a) Regulasi pengurangan intensitas

kendaraan dan penyediaan area komunal parkir untuk meningkatkan kenyamanan kawasan Braga; (b)

Regulasi mengenai pengembangan di kawasan Braga dan guidline visual kawasan yang dapat

memperkuat karakter; (c) Sosialisasi regulasi dan meningkatkan peran masyarakat mengenai cagar

budaya di kawasan ini; (d) Sosialisasi dan pengarahan dari pemerintah untuk pengembangan

kebijakan kawasan jasa dan komersil sekaligus pengembalian citra kawasan ini. (2) Aspek Partisipasi

yaitu: (a) Pemerintah, Investor, Masyarakat bekerjasama dalam mempertahankan identitas kawasan

Page 40: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 36

Braga; (b) Pemerintah, Investor, Masyarakat bekerjasama dalam merencanakan dan membangun

sarana dan prasarana kawasan untuk keberlanjutan; (c) Meningkatkan peran serta pemerintah,

komunitas(masyarakat), investor. (3) Aspek Insentif yaitu: Pemberlakuan Insentif sebagai reward di

kawasan Braga. (4) Aspek Arahan-Guidelline green design yaitu: (a) Pengklasifikasian bangunan dan

kelas cagar budaya di kawasan Braga; (b) Penerapan kriteria green design yaitu kawasan Appropriate

Site Development (pengembangan kawasan yang tepat); (c) Pengendalian modernitas dengan

mengeluarkan guidline pembangunan kawasan berbasis green aspek (bangunan) -kawasan

keberlanjutan; (d) Pengembalian citra kawasan sebagai kawasan elit namun terbuka untuk komunitas

kota secara umum. Pengembangan konsep strategi dalam pelaksanaan akan dilanjutkan dalam

penelitian berikutnya.

Daftar Pustaka

[1] McLennan, 2004, The Philosophy of Sustainable Design, 2004, Ecotone Publishing

[2] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.2 Tahun 2015 Tentang Bangunan

Gedung Hijau.

[3] GBCI, Greenship Existing Building Summary,2012 dalam bcindonesia.org/greenship/rating-

tools/download/cat_view/4-greenship/6-greenship-existing-building di akses 18 Oktober 2017

[4] Daniel E Wiliama, 2007, Sustainable Design, Ecology, Architecture and Planning, John Willey &

Sons. Inc

[5] Marcos L. Rosa, 2012, Hand made urbanism, From Community Innitiatives To Participatory

Model, UTE E. WEILAND (ED)

[6] Freddy Rangkuti, 2001, Analisis SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis- Reorientasi Konsep

Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21, Gramedia Pustaka, Cetakan 7

[7] Kunto. Haryoto, 1985, Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe, Granesia

[8] Peraturan Daerah Kota Bandung No.18 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Bandung (RTRW).

Page 41: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 37

Bambu Siam Sebagai Material dalam Rancangan Bentuk Organik

beserta Uji Kekuatannya

Ardhiana Muhsin, Sofyan Triana

Jurusan Teknik Arsitektur, Jurusan Teknik Sipil,

Fakultas Teknologi Sipil dan Perencanaan

Institut Teknologi Nasional

E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Seiring berkembangnya arsitektur bambu, rancangan bangunan bambu di Indonesia semakin

beragam dikarenakan dorongan untuk mengeksplorasi material bambu semakin tinggi. Salah satunya

adalah dengan menampilkan bangunan-bangunan berbentuk organik. Konsep tersebut ditampilkan

mengingat fungsi yang dimunculkan adalah tipologi bangunan yang erat hubungannya dengan alam

seperti restoran dan hotel resort. Adaptasi bentuk umumnya terjadi berupa penyesuaian dengan

material yang akan dipakai sebagai strukturnya. Bambu betung/petung (Dendrocalamus asper) serta

bambu gombong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro) yang umum dijadikan bambu struktur

tidak dapat begitu saja dilengkungkan. Alternatifnya adalah menggunakan bambu yang ukurannya

lebih kecil yaitu bambu haur payung atau bambu siam (Thailand Bamboo/ Thyrsostachys siamensis

Gamble). Bambu tersebut dirangkai menjadi satu untuk kemudian dibentuk sesuai dengan

kelengkungan yang diinginkan. Bambu kecil sebenarnya tidak diperuntukan sebagai material struktur,

untuk itu dalam penelitian ini selain membahas bentuk yang telah ada dari preseden bangunan,

dilakukan pula uji kekuatan terhadap rangkaian bambu yang dimaksud. Penelitian ini dimulai dengan

menelaah desain bangunan bambu berbentuk organik yang menggunakan metoda serupa. Setelah itu,

dilakukan pembuatan rancangan bangunan bambu baru untuk disimulasikan sebaran

gaya/pembebanan yang akan diterima. Apabila diperlukan, dilakukan uji coba pada model bambu

yang serupa untuk mengetahui beban maksimal yang dapat diterima rangkaian tersebut. Hal ini

penting agar dalam setiap rancangan arsitektur bambu tidak hanya terlihat indah pada gambar

namun dapat dibangun dan dipertanggungjawabkan kekuatannya.

Kata kunci : bambu, bentuk organik, uji kekuatan

1. Pendahuluan

Bentuk adalah perwujudan dari suatu obyek yang paling awal diapresiasi oleh pengamat. Arsitektur

bambu yang terlanjur melekat dengan predikat “tradisional” pada awalnya tidak memiliki banyak

variasi akan bentuk yang ditampilkan. Temuan sifat-sifat fisik bambu, kemudahan dalam

mendapatkan bahan serta berkembangnya pengetahuan tentang cara mengolah bambu menjadikan

material ini sedikit demi sedikit kembali diminati oleh masyarakat. Bukan hanya oleh pengrajin kriya

atau desainer, arsitek juga mulai tertarik terhadap bambu untuk diolah dan dikembangkan sebagai

bagian dari bangunannya. Pasca masuknya informasi dari luar daerah maupun luar negeri, bentuk

yang dipilih semakin berkembang dan variatif. Bentuk organik banyak diangkat menjadi konsep atau

tema karena mampu memaksimalkan karakter bambu sebagai bahan dasar bangunannya.

Page 42: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 38

Kata ‘organic’ dinyatakan oleh Frank Lloyd Wright pertama kali sekitar tahun 1908 untuk kemudian

dideklarasikan lebih dari 30 tahun kemudian pada tahun 1939 (Frampton, 1980). Lebih lanjut menurut

Elman dalam sebuah essainya, kata ‘organik’ walaupun cenderung mengandung makna yang

berhubungan dengan alam seperti flora dan fauna, konsep arsitektur organik yang diusung oleh Frank

Lloyd Wright bukanlah mengenai style atau bentuk yang dihasilkan berupa peniruan bentuk-bentuk

yang terdapat di alam sekitar kita. Penampang ZERI Pavillion dalam sebuah pameran/expo di Jerman

pada tahun 2000 karya Simon Velez misalnya yang diidentikan seperti sebuah cendawan (Gambar 1)

sedangkan pada bagian dalamnya, penampang ZERI Pavillion menyerupai sel tulang jika dilihat

melalui pembesaran mikroskopik (Gambar 2).

Gambar 9. Penampang ZERI Pavillion

Sumber: Grow Your Own House

Gambar 10. Bagian dalam ZERI Pavillion

Sumber: Grow Your Own House

Konsep arsitektur organik Wright lebih merupakan interpretasi ulang dari prinsip-prinsip alam yang

kemudian melahirkan suatu gagasan yang bisa jadi lebih alami dari alam tersebut. Arsitektur organik

juga memberi penghormatan yang tinggi terhadap karakteristik dari setiap bahan atau material yang

digunakan serta integrasi antara site dengan bangunannya. Pernyataan terakhir tampaknya lebih tepat

konteksnya jika dihubungkan dengan arsitektur bambu. Arsitek tampak lebih banyak menampilkan

bambu secara utuh pada setiap rancangannya. Kombinasi garis lurus serta bentuk-bentuk

lengkungnyapun menyerupai karakter batang pohon bambu yang sesungguhnya. Material bambu yang

digunakan Simon Velez yang diperlihatkan pada gambar di atas, memperlihatkan kemampuan bambu

berbentuk batang dalam menahan beban dan bentang lebar dengan cara dirangkai membentuk kuda-

kuda tiga dimensi. Keberhasilan Velez, seakan membuka wawasan baru bahwa arsitektur bambu

dengan sambungan modern dapat dibuktikan kekuatan strukturnya melalui serangkaian pengujian

yang dilakukannya di Manizales, Kolombia, terhadap replika bangunan yang sama sebelum bangunan

tersebut dipamerankan di lokasi sesungguhnya (Von Vegesack/Kries, 2000).

Perkembangan arsitektur bambu saat ini sudah lebih dinamis lagi. Rancangan Heinz Alberti dalam

Pearl Beach Lounge di Gili Trawangan, Lombok, mengambil metafora dari bentuk ombak di pantai

dan menjadikan tepi bangunan yang dirancangnya bergelombang (Gambar 3).

Gambar 11. Pearl Beach Lounge dan metafora ombak

Sumber: Maurina (2015)

Page 43: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 39

Gambar 12. Penampang Pearl Beach Lounge

Sumber: Maurina (2015)

Pada kondisi seperti ini, bentuk material bambu yang berupa batang masih tetap digunakan sebagai

struktur utama (tanda merah pada Gambar 4) dengan kelengkungan yang didapat dengan cara

pemilihan pada saat pengadaan bahan konstruksi namun untuk bagian lain seperti rangka atap yang

akan menentukan bentuk bangunannya, bambu berbentuk batang tidak dapat lagi mengakomodir

tuntutan kelengkungannya sehingga pada akhirnya digunakan rangkaian bambu ikat yang terdiri dari

bilah-bilah bambu. Contoh lain yang merupakan peniruan dari bentuk-bentuk alam dapat dilihat pada

tampak atas rumah tinggal Elora Hardy di Bali, Indonesia. Susunan massa bangunan, puncak dan

entrance bangunan dapat diinterpretasikan seperti tumpukan batang, daun dan bunga (Gambar 5).

Gambar 13. Rumah Elora Hardy, Bali, Indonesia

Sumber: www.boredpanda.com waktu akses 1 November 2017, pk 07.43 WIB

Beberapa pelatihan/tenan pameran bersifat kontemporer yang diadakan mahasiswa/institusi juga mulai

menggunakan bambu ikat. Selain untuk alasan yang sama dalam hal pencarian bentuk, pada daerah

yang jenis bambunya terbatas pada jenis bambu kecil, tentu akan lebih mudah menggunakan jenis

bambu yang ada daripada mendatangkan dari daerah lain atau bahkan dari luar negeri (Gambar 6).

Untuk jenis fungsi-fungsi sederhana seperti shelter, amphitheater kecil, bentuk yang diambil

umumnya berupa cangkang kerang, siput atau keluarga hewan Mollusca lainnya.

Page 44: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 40

2. Metodologi

Penelitian ini menggunakan metoda riset eksperimental dengan cara menguji kekuatan lentur sampel

bambu. Alat yang dapat digunakan guna mendukung kebutuhan tersebut adalah alat UTM (Universal

Testing Machine) dengan jarak bantalan 15 cm sedangkan bambunya menggunakan bambu haur

payung (Thailand Bamboo/ Thyrsostachys siamensis Gamble) serta bambu tali/apus (Gigantochloa

apus) karena dinilai termasuk jenis bambu yang baik kelenturannya. Pengujian dilakukan masing-

masing sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan 2 jenis sampel yang berbeda sebagai pembanding.

Hasil pengukuran akan dijadikan dasar dalam simulasi perhitungan struktur apabila kemudian batang

bambu tersebut dibuat dalam rangkap 3 dengan asumsi menggunakan klem stainless steel sebagai

pengikatnya. Tahapan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut;

- Pengumpulan bahan uji

- Pengujian dan hasil analisis uji

- Simulasi perhitungan struktur

- Pembuatan model 3D komputer

- Kesimpulan

4. Hasil Diskusi

Bambu yang digunakan untuk pengujian memiliki diameter yang berbeda-beda baik diameter luar

maupu dalamnya. Sebelum percobaan dimulai dilakukan pengukuran terhadap keempat spesimennya

seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Setelah proses pendataan selesai, pengujian dimulai dengan

memberikan tekanan pada bahan uji secara bertahap. Pengujian dihentikan saat bambu tidak dapat lagi

menahan beban yang diberikan, dapat dilihat berupa perubahan bentuk hingga kerusakan pada bahan

uji. Selain itu ditandai pula dengan menurunnya grafik kekuatan spesimen dalam menahan bebannya.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 6. Bambu Ikat di Fiano Romano, Italia

Sumber: www.francescagioiagreco.com waktu akses 3 November 2017, pk 20.27 WIB

Page 45: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 41

Gambar 7. Proses Pengujian Spesimen 1

Dari kiri ke kanan : Bambu mulai diberi tekanan bertahap, saat mencapai 190 kg telah terjadi

perubahan pada spesimen, grafik mulai turun dari puncak, timbul suara retakan dan juga perubahan

secara visual

Pengujian sebaiknya dilakukan beberapa kali dengan kondisi bambu yang relatif sama.

Gambar 8. Proses Pengujian Spesimen 2

Dari kiri ke kanan : Pada tekanan 201 kg, kerusakan pada spesimen kedua lebih berat dibandingkan

spesimen sebelumnya namun angka kekuatannya lebih baik sedikit

Pengujian yang kedua didapat hasil yang tidak jauh berbeda dengan percobaan pertama sehingga

dapat dijadikan kesimpulan sementara bahwa bambu tali dengan diameter luar dan dalam yang hampir

sama, ternyata memiliki kekuatan yang sama juga (Gambar 8).

Gambar 8. Proses Pengujian Spesimen 3 dan 4

Dua pengujian terakhir menggunakan jenis bambu siam dengan diameter bambu yang lebih kecil

(lihat Tabel 1, pada Bahan Uji Bambu Siam). Antara kedua spesimen terakhir ini ternyata angka

Page 46: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 42

kekuatannya sangat jauh berbeda yaitu pada 90 kg dan 35 kg. Perbedaan yang signifikan seperti ini

tidak dapat dijadikan kesimpulan sementara akan kekuatan spesimen tersebut sehingga diperlukan

spesimen tambahan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat akan kekuatan yang sebenarnya

dapat diterima oleh bambu tersebut. Rekaman hasil percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 8

sedangkan data hasil uji secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Bahan Uji

Sumber: Politeknik Negeri Bandung

Spesimen F(N) Diameter

Luar (mm)

Diameter

Dalam (mm)

S=jarak ruas

(mm)

σb

N/mm2

Bambu Tali 1 1900 48,86 32,64 150 9.229

Bambu Tali 2 2010 50,16 38,14 150 9.143

Bambu Siam 1 900 23,83 11,74 150 27.007

Bambu Siam 2 350 19,92 11,86 150 9.353

Berdasarkan Tabel 1 juga dapat dilakukan analisis pada spesimen tunggal dengan rincian sebagai

berikut:

a. Bambu Tali

Kuat Tekan = 1955 Newton 195,5 Kg

Tegangan Tekan (Tekuk) = 9,186 N/mm2 0,9186 Kg/mm2

Diameter Rata-Rata Luar = 49,51 mm

Diameter Rata-Rata Dalam = 35,39 mm

b. Bambu Ater

Kuat Tekan = 625 Newton 62,5 Kg

Tegangan Tekan (Tekuk) = 9,353 N/mm2 0,9353 Kg/mm2

Diameter Rata-Rata Luar = 21,88 mm

Diameter Rata-Rata Dalam = 11,8 mm

Page 47: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 43

Bambu Tali

Pemeriksaan Titik Berat Baru

Gambar 14. Penampang Komposit Bambu Tali

Y . A = y1.a1 + y2.a2 + y3.a3

Keterangan:

Y = Jarak titik berat komposit terhadap bagian alas penampang

A = Luas total komposit

y1 = Jarak titik berat Bambu 1 terhadap bagian alas penampang

y2, y3 = Jarak titik berat Bambu (2 & 3) terhadap bagian alas penampang

a1 = Luas penampang Bambu 1 (1924,56 mm2)

a2, a3 = Luas penampang Bambu 2 dan atau Bambu 3 (1924,56 mm2)

Y. 5773,67 mm2 = (67,635 mm*1924,56 mm2) + (24,755 mm*1924,56 mm2) + (24,755

mm*1924,56 mm2)

Y = 31,134 mm (Jarak Titk Berat Baru terhadap alas)

Pemeriksaan Inersia

Ix = Ixo + Ay2

= 2 x {[(0,7854 x (49,51/2)4)- (0,7854 x (35,39/2)4)]+[(0,25 x π x 49,512 x 24,7552) -

(0,25 x π x 35,392 x 24,7552)} + {[(0,7854 x (49,51/2)4)- (0,7854 x (35,39/2)4)]+ [(0,25 x π x 49,512 x

67,6352) - (0,25 x π x 35,392 x 67,6352)]}

= 6.112.025,285 mm4

Pemeriksaan Momen Izin Maksimum Lapangan Bambu Komposit

Penjumlahan tegangan lentur 3 batang bambu = 3 x 9,186 N/mm2 = 27,558 N/mm2

Bambu 1

Bambu 2

Bambu 3

Page 48: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 44

27,558 N/mm2 =

Momen Izin Lapangan Bambu Komposit = 5.410.008,12 Nmm

Perbandingan Momen izin lapangan bambu tunggal

Perhitungan Inersia Bambu Tunggal

Ix = Ixo + Ay2

= [(0,7854 x (49,51/2)4)- (0,7854 x (35,39/2)4)]+[(0,25 x π x 49,512 x 24,7552) - (0,25

x π x 35,392 x 24,7552)

= 794.629,645 mm4

Pemeriksaan Momen Izin Maksimum Lapangan Bambu Tunggal

Penjumlahan tegangan lentur 1 batang bambu = 9,186 N/mm2

9,186 N/mm2 =

Momen Izin Lapangan Bambu Tunggal = 294.868,427 Nmm

Perbandingan kekuatan Bambu Tunggal dengan Bambu Komposit (3 bambu) dalam hal:

Momen izin lapangan

Momen Izin Lapangan Bambu Tunggal vs Momen Izin Lapangan Bambu Komposit

794.629,645 Nmm vs 5.410.008,12 mm4

1 : 18,4

Momen Bambu Komposit 18,4 kali lipat Momen Bambu Tunggal

Kuat Tekan

Khusus untuk kuat tekan antara bambu tunggal dan bambu komposit, secara mendasar bahwa kuat

tekan akan tergantung kepada besaran alas tekan, bahwa yang mana kuat tekan bambu komposit

akan 3 kali lipat bambu tunggal dengan kondisi penampang tekan tertekan merata untuk bambu

komposit pada perletakan atau pada joint.

5. Kesimpulan

Pengertian bentuk organik tidak sama dengan definisi arsitektur organik. Bentuk organik memiliki

rentang yang lebih luas dan beragam, umumnya memang berupa peniruan dari bentuk-bentuk yang

terdapat di alam. Kekuatan bambu Siam secara simulasi perhitungan memiliki kemampuan yang

berlipat dibandingkan bambu tunggalnya, khusus untuk kuat tekan, kekuatannya berbanding lurus

dengan jumlah bambu yang digunakan dalam rangkaian tersebut.

Page 49: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar

Arsitektur | 45

Daftar Pustaka

[1] Maurina, Anastasia dan Christina, Danna. 2015. Estetika Struktur BambuPearl Beach Lounge,

Gili Trawangan, Lombok. Research Report. Vol.1. 2015.

http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/view/1356/1313

[2] Frampton, Kenneth (1980). Modern Architecture, A Critical History. Thames and Hudson,

London.

[3] Von Vegesack, Alexander/Kries, Mateo. 2000. Grow Your Own House. Vitra Design Museum.

[4] Elman, Kimberly. Frank Lloyd Wright and the Principles of Organic Architecture

https://www.pbs.org/flw/legacy/essay1.html#top. Waktu akses 27 Oktober 2017, pk. 18.52 WIB

[5] Woman Quits Job to Build Sustainable Bamboo Homes In Bali www.boredpanda.com waktu

akses 1 November 2017, pk 07.43 WIB

[6] Borgo Rock Festival (Fiano Romano, Italy) www.francescagioiagreco.com waktu akses 3

November 2017, pk 20.27 WIB

Page 50: SEMINAR NASIONAL REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017semnas.lp2m.itenas.ac.id/wp-content/uploads/2018/05/05-Paper... · ikan juga terdapat patung badak bercula satu juga dengan tulisan besar