Selasa, 17 Januari 2017 Utama Pemerintah Perlu Waspadai ...gelora45.com/news/SP_20170117_3.pdf ·...

1
3 Suara Pembaruan Selasa, 17 Januari 2017 Utama [YOGYAKARTA] Perang siber berupa maraknya ujar- an kebencian dan penyebar- an hoax berbau SARA hanya sebagian kecil dari masalah cyber crime. Meski dipandang sebagai sesuatu yang genting saat ini, pemerintah jangan hanya berfokus pada hal yang tampak. Menurut peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhadi Sugiono, saat masya- rakat dan pemerintah disi- bukkan oleh persoalan hoax, dan ujaran kebencian, ada sisi lain yang sedang digarap oleh pelaku cyberwar . “Karena tidak ada batasan dalam dunia maya, sangat mungkin terjadi, medan perang itu berpindah ke media maya. Ancaman itu nyata meski tidak bisa dirasakan,” ujarnya. Berkaca pada Pilpres Amerika yang melibatkan peretas dari Rusia, pemerin- tah Indonesia juga harus berhati-hati pada perilaku peretas asing. “Tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia maya, dan sangat mungkin ada keterlibatan intelijen asing dalam cyberwar di Indonesia. Karena itu, pemerintah Indonesia, harus mampu menciptakan portal-portal dalam mengatasi para hac- ker,” tegasnya. Jika perlu, ujarnya, peme- rintah Indonesia merekrut barisan anak muda pegiat dunia maya, termasuk para peretas Indonesia untuk membantu proses pengaman- an dunia maya. Muhadi pun mengatakan, tidak sedikit anak muda Indonesia yang pernah menjadi sorotan dunia. Contohnya, ucap Muhadi, dua anak muda dari Indonesia yang mampu meretas akses satelit di seluruh dunia seper- ti VSAT dan satelit TV Malaysia. Ditambahkan, kejahatan di dunia maya atau cyberc- rime sesungguhnya sudah terjadi sejak internet menja- di ‘kawan’ hidup masyarakat. Bahkan di era 90-an, pencu- rian data di dunia maya atau lebih dikenal sebagai carder, sudah dilakukan oleh anak bangsa. Kejahatan cyberfroud alias penipuan di dunia maya pun merambah data-data pribadi hingga akun perbankan. Karena itu, menurut Muhadi, bahaya penggunaan internet, tidak melulu pada paparan terlihat. Artinya, ancaman itu bukan hanya hoax. “Di era yang serba digital ini, terlalu banyak lubang kejahatan yang tidak terpan- tau dan UU ITE membutuh- kan perangkat pendukungnya seperti polisi siber, dewan keamanan siber bahkan tim siber forensik. Tanpa peran- ti itu, UU ITE hanya akan menjerat pelaku terlapor atau hal yang tampak,” ujarnya. Menurut Menko Polhukam Wiranto, pemben- tukan Badan Siber Nasional masih digodok. Ditargetkan dalam bulan Januari ini sudah terbentuk badan tersebut. "Masih dibahas. Tunggu saja," kata Wiranto di Jakarta, Senin (16/1). Ia menjelaskan badan tersebut dibentuk untuk menangkal serangan-serang- an siber, terutama yang datang dari luar negeri misalnya dalam kasus data perbankan, bea cukai, peredaran narko- ba, pajak, dan sebagainya. "Perlu proteksi di tingkat nasional. Kita menepis arus lalu lintas siber yang negatif," tuturnya. Dia menjanjikan badan ini akan diisi ahli-ahli yang mumpuni di bidang teknolo- gi informatika. Alasannya, isu siber tak bisa ditangani secara sembarangan. Menurutnya, badan itu sebagai payung yang meng- atur koordinasi antara insti- tusi siber yang sudah ada. Lembaga-lembaga siber yang ada tetap dipertahankan. Saat ini di Kementerian Pertahanan punya Cyber Defence, Badan Intelijen Negara memiliki Cyber Intelligence, dan kepolisian memiliki Cyber Security. Wiranto menam- bahkan BCN akan mengam- bil bentuk seperti Lembaga Sandi Negara. Melindungi Masyarakat Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu, menya- takan bahwa rencana pem- bentukan Badan Siber uta- manya harus bekerja untuk melindungi masyarakat dari hoax , ujaran kebencian, dan fitnah, dan melindungi komu- nikasi dan basis data yang dikelola oleh negara. Berbagai lembaga yang bekerja secara parsial mena- ngani isu itu selama ini tidak terasa bermanfaat, terbukti maraknya hoax. Karena itulah perlu dibuatkan badan khusus yang menangani, sehingga ada mekanisme jelas bagi institusi yang ditugaskan mengerjakan tugas itu. Anggota Komisi III DPR dari Hanura, Syarifuddin Suddin, menilai bahwa kon- disi saat ini memang sudah mengkhawatirkan dan memer- lukan peran semacam Badan Siber Nasional. Sebab banyak sekali berita yang tidak mengandung kebenaran, dan kadang ditelan mentah-men- tah menjadi kebenaran. Badan Siber Nasional diletakkan di bawah koman- do langsung presiden sehing- ga koordinasi kerjanya bisa cepat dan lebih efektif. Menurut praktisi keaman- an teknologi informasi, Josua Sinambela, ancaman serang- an siber yang terjadi dan dirasakan di Indonesia saat ini umumnya digolongkan cyber crime, mulai dari peni- puan, pencurian identitas, pencemaran nama baik, pemalsuan identitas hingga aktifitas cracking, hacking (pembobolan) sistem dan jaringan. Lembaga-lembaga peme- rintahan seperti Kementrian Kominfo, Polri, Lembaga Sandi Negara, BIN selama ini masih terlihat berjalan sendiri dengan tupoksi masing -masing. Lembaga-Lembaga tersebut hingga saat ini ter- lihat belum kerja sama dengan baik. Dalam memproteksi dunia maya selain kerja sama di antara lembaga tersebut, juga perlu dukungan masya- rakat maupun stakeholder yakni swasta dan akademisi. "Banyak kejahatan siber yang penanganannya perlu melibatkan banyak pihak maupun lembaga, sehingga penanganannya dapat dise- lesaikan dengan lebih efektif," katanya. Sementara itu, aturan hukum seperti UU ITE masih hanya mengatur bagaimana konsekuensi hukum pada pelaku kejahatan siber. UU itu, belum sampai mengatur bagaimana jika terjadi cyber- war antarnegara, atau ancam- an ancaman terhadap perta- hanan negara atau infrastruk- tur vital negara. Josua berpandangan, mendesak atau tidaknya keberadaan Badan Siber Nasional ini sangat bergan- tung dari desain dan fungsi Badan Siber Nasional itu sendiri. Jika tugasnya masih sama saja dengan badan-ba- dan atau organisasi yang sudah ada, berarti kurang mendesak. "Tetapi jika tugasnya dan fungsinya benar-benar mampu mengkoordinasikan setiap lembaga yang sudah ada sebelumnya, maka akan dapat meningkatkan efektivitas kinerja semua lembaga lem- baga tersebut," ucapnya. Menurutnya, keberadaan Badan Siber Nasional dapat menjadi efektif, jika benar- benar mampu berkoordinasi dengan baik dengan lemba- ga-lembaga yang sudah ada, memiliki visi dan tujuan serta lingkup batasan yang jelas, sehingga tidak saling tum- pang-tindih dengan tugas lembaga lainnya. Ia berharap, posisi Badan Siber Nasional menjadi lem- baga negara sebagai pusat koordinasi dalam pencegah- an atau mengatasi segala ancaman terhadap pertahan- an keamanan negara, meling- kupi berbagai objek dan infrastruktur vital negara seperti perbankan, listrik, telekomunikasi dan rahasia negara. "Jadi idealnya Badan Siber Nasional tidak mengu- rusi lagi kejahatan cyber crime seperti hoax dan penghasut- an," ucapnya. [MJS/152/Y-7/R-15] [JAKARTA] Saat banyak negara sangat bergantung pada sistem komputerisasi, tingkat keamanan sebenarnya justru semakin rentan. Serangan siber mengintai segala hal terkait sistem komputer. Para pere-tas menyerang sistem dalam jaringan (online) beragam sektor, mulai dari telekomunikasi, infor- masi, perbankan, hingga pemerin- tahan. Perang siber bukan isapan jem- pol belaka. Di jagat maya, perang ini sebenarnya bisa dianggap “Perang Dunia III”. Meskipun tak kasat mata, perang itu sedang berlangsung sengit. Batasnya tak hanya antarnegara, melainkan sudah lintas benua. Simak saja situs milik Norsecorp, yang menampilkan peta serangan siber dunia secara visual. Setiap serangan ini bagaikan rudal yang dikirim dari lokasi penyerangan dan meledak saat sampai di tempat tujuan. Norsecorp menganalisis setiap ancaman dari ratusan lokasi di 40 negara dan menampilkannya secara realtime. Rasanya masih lekat dalam ingatan saat para peretas Korea Utara (Korut) mengobrak-abrik sistem komputer studio Sony Pictures di Hollywood, Amerika Serikat (AS), pada akhir 2014. Dengan dalih martabat bangsa, peretas menentang pemutaran film The Interview, yang memarodikan pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un. Pemerintah Korut tentu menyang- kal peretasan itu sebagai ulah ten- tara sibernya, yakni Biro 121. Alih-alih mereka memberi “tampar- an” balik dengan menawarkan bantuan investigasi. Tetapi, penye- lidikan badan resmi AS membukti- kan asal serangan memang dari Korut. Dalam sengketa terbaru, Rusia disebut-sebut sebagai dalang keme- nangan Donald Trump dalam pemilu AS pada 8 November 2016. Rusia memang sangat berkepenting- an, karena Presiden Vladimir Putin meyakini Trump lebih bersahabat ketimbang Hillary Clinton. Di pihak Rusia, Putin jelas membantah. Tetapi, hal itu mustahil, karena apa pun kebijakan yang diambil pemerintah Rusia, Putin pasti mengetahuinya. Secara motif, Rusia memiliki target jelas untuk membuktikan bahwa demokrasi AS tidak lebih kredibel daripada Rusia. Akhir Desember 2016, peme- rintah AS di bawah Presiden Barack Obama mengambil sikap serius. Sebanyak 35 diplomat Rusia diusir pulang setelah FBI membeberkan bukti keterlibatan intelijen Rusia, yakni FSB, dalam peretasan pilpres AS dan sistem komputer Partai Demokrat. Pada 2015, Edward Snowden, mantan kontraktor CIA yang men- dapat suaka Rusia mengatakan, aktivitas peretasan yang dilakukan negara-negara semakin meningkat. Hal itu terjadi seiring pergeseran paradigma perang dan intelejen modern yang semakin fokus ke dunia siber. Sekitar 2009, para peretas asal Indonesia juga pernah terlibat “per- tempuran” dengan peretas Malaysia. Konon serangan bermula dari pihak Malaysia yang mengganti tampilan banyak situs dan menampilkan pernyataan “Hacked by Anti-Indon”. Sontak peretas Indonesia pun melan- carkan aksi balas dendam atas ulah peretas di negeri jiran. Saat aksi spionase Australia terhadap Indonesia terbongkar, peretas Indonesia tidak tinggal diam. Banyak peretas secara perorangan dan kelompok melancarkan serang- an balasan kepada Australia. Alhasil, ratusan situs Australia milik pribadi dan publik menjadi korban deface, spoofing , hingga kerusakan database. Peretas Indonesia beridentitas Scrangger40z sanggup membalas serangan Anonymous Australia dengan melumpuhkan beberapa situs milik pemerintah dengan domain gov.au. Scrangger40z mengklaim, Anonymous Indonesia telah menyu- supi 765.734 situs Australia, 456.225 akun Facebook , 51.445 akun Twitter , dan 55.256 akun BlackBerry. Dengan kemampuan yang ada, peretas Indonesia sebenarnya telah mendapat “pengakuan internasional” karena kerap menjadi sumber serangan siber di dunia. Jadi, ren- cana Indonesia membentuk Badan Siber Nasional patut didukung untuk pertahanan negara di jagat maya. [dari berbagai sumber/U-5] Di Jagat Maya, “Perang Dunia III” Sedang Berkecamuk Pemerintah Perlu Waspadai Silent Cyberwar SP/JOANITO DE SAOJOAO Menkominfo Rudiantara (tengah) bersama sejumlah relawan dalam kampanye sekaligus deklarasi masyarakat Indonesia anti-'hoax' di Kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta, Minggu (8/1).

Transcript of Selasa, 17 Januari 2017 Utama Pemerintah Perlu Waspadai ...gelora45.com/news/SP_20170117_3.pdf ·...

Page 1: Selasa, 17 Januari 2017 Utama Pemerintah Perlu Waspadai ...gelora45.com/news/SP_20170117_3.pdf · mengerjakan tugas itu. Anggota Komisi III DPR dari Hanura, Syarifuddin Suddin, menilai

3Sua ra Pem ba ru an Selasa, 17 Januari 2017 Utama

[YOGYAKARTA] Perang siber berupa maraknya ujar-an kebencian dan penyebar-an hoax berbau SARA hanya sebagian kecil dari masalah cyber crime. Meski dipandang sebagai sesuatu yang genting saat ini, pemerintah jangan hanya berfokus pada hal yang tampak.

Menurut peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Muhadi Sugiono, saat masya-rakat dan pemerintah disi-bukkan oleh persoalan hoax, dan ujaran kebencian, ada sisi lain yang sedang digarap oleh pelaku cyberwar. “Karena tidak ada batasan dalam dunia maya, sangat mungkin terjadi, medan perang itu berpindah ke media maya. Ancaman itu nyata meski tidak bisa dirasakan,” ujarnya.

Berkaca pada Pilpres Amerika yang melibatkan peretas dari Rusia, pemerin-tah Indonesia juga harus berhati-hati pada perilaku peretas asing. “Tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia maya, dan sangat mungkin ada keterlibatan intelijen asing dalam cyberwar di Indonesia. Karena itu, pemerintah Indonesia, harus mampu menciptakan portal-portal dalam mengatasi para hac-ker,” tegasnya.

Jika perlu, ujarnya, peme-rintah Indonesia merekrut barisan anak muda pegiat dunia maya, termasuk para peretas Indonesia untuk membantu proses pengaman-an dunia maya. Muhadi pun mengatakan, tidak sedikit anak muda Indonesia yang pernah menjadi sorotan dunia. Contohnya, ucap Muhadi, dua anak muda dari Indonesia yang mampu meretas akses satelit di seluruh dunia seper-ti VSAT dan satelit TV

Malaysia.Ditambahkan, kejahatan

di dunia maya atau cyberc-rime sesungguhnya sudah terjadi sejak internet menja-di ‘kawan’ hidup masyarakat. Bahkan di era 90-an, pencu-rian data di dunia maya atau lebih dikenal sebagai carder, sudah dilakukan oleh anak bangsa.

Kejahatan cyberfroud alias penipuan di dunia maya pun merambah data-data pribadi hingga akun perbankan. Karena itu, menurut Muhadi, bahaya penggunaan internet, tidak melulu pada paparan terlihat. Artinya, ancaman itu bukan hanya hoax.

“Di era yang serba digital ini, terlalu banyak lubang kejahatan yang tidak terpan-tau dan UU ITE membutuh-kan perangkat pendukungnya seperti polisi siber, dewan keamanan siber bahkan tim siber forensik. Tanpa peran-ti itu, UU ITE hanya akan menjerat pelaku terlapor atau hal yang tampak,” ujarnya.

M e n u r u t M e n k o Polhukam Wiranto, pemben-tukan Badan Siber Nasional masih digodok. Ditargetkan dalam bulan Januari ini sudah terbentuk badan tersebut. "Masih dibahas. Tunggu saja," kata Wiranto di Jakarta, Senin (16/1).

Ia menjelaskan badan tersebut dibentuk untuk menangkal serangan-serang-an siber, terutama yang datang dari luar negeri misalnya dalam kasus data perbankan, bea cukai, peredaran narko-ba, pajak, dan sebagainya.

"Perlu proteksi di tingkat nasional. Kita menepis arus lalu lintas siber yang negatif," tuturnya.

Dia menjanjikan badan ini akan diisi ahli-ahli yang mumpuni di bidang teknolo-gi informatika. Alasannya, isu siber tak bisa ditangani secara sembarangan.

Menurutnya, badan itu sebagai payung yang meng-atur koordinasi antara insti-tusi siber yang sudah ada.

Lembaga-lembaga siber yang ada tetap dipertahankan. Saat ini di Kementerian Pertahanan punya Cyber Defence, Badan Intelijen Negara memiliki Cyber Intelligence, dan kepolisian memiliki Cyber Security. Wiranto menam-bahkan BCN akan mengam-bil bentuk seperti Lembaga Sandi Negara.

Melindungi MasyarakatAnggota Komisi III DPR,

Masinton Pasaribu, menya-takan bahwa rencana pem-bentukan Badan Siber uta-manya harus bekerja untuk melindungi masyarakat dari hoax , ujaran kebencian, dan fitnah, dan melindungi komu-nikasi dan basis data yang dikelola oleh negara.

Berbagai lembaga yang bekerja secara parsial mena-ngani isu itu selama ini tidak terasa bermanfaat, terbukti maraknya hoax. Karena itulah perlu dibuatkan badan khusus yang menangani, sehingga ada mekanisme jelas

bagi institusi yang ditugaskan mengerjakan tugas itu.

Anggota Komisi III DPR dari Hanura, Syarifuddin Suddin, menilai bahwa kon-disi saat ini memang sudah mengkhawatirkan dan memer-lukan peran semacam Badan Siber Nasional. Sebab banyak sekali berita yang tidak mengandung kebenaran, dan kadang ditelan mentah-men-tah menjadi kebenaran.

Badan Siber Nasional diletakkan di bawah koman-do langsung presiden sehing-ga koordinasi kerjanya bisa cepat dan lebih efektif.

Menurut praktisi keaman-an teknologi informasi, Josua Sinambela, ancaman serang-an siber yang terjadi dan dirasakan di Indonesia saat ini umumnya digolongkan cyber crime, mulai dari peni-puan, pencurian identitas, pencemaran nama baik, pemalsuan identitas hingga aktifitas cracking, hacking (pembobolan) sistem dan jaringan.

Lembaga-lembaga peme-rintahan seperti Kementrian Kominfo, Polri, Lembaga Sandi Negara, BIN selama ini masih terlihat berjalan sendiri dengan tupoksi masing-masing. Lembaga-Lembaga tersebut hingga saat ini ter-lihat belum kerja sama dengan baik. Dalam memproteksi dunia maya selain kerja sama di antara lembaga tersebut, juga perlu dukungan masya-rakat maupun stakeholder yakni swasta dan akademisi.

"Banyak kejahatan siber yang penanganannya perlu melibatkan banyak pihak maupun lembaga, sehingga penanganannya dapat dise-lesaikan dengan lebih efektif," katanya.

Sementara itu, aturan hukum seperti UU ITE masih hanya mengatur bagaimana

konsekuensi hukum pada pelaku kejahatan siber. UU itu, belum sampai mengatur bagaimana jika terjadi cyber-war antarnegara, atau ancam-an ancaman terhadap perta-hanan negara atau infrastruk-tur vital negara.

Josua berpandangan, mendesak atau tidaknya keberadaan Badan Siber Nasional ini sangat bergan-tung dari desain dan fungsi Badan Siber Nasional itu sendiri. Jika tugasnya masih sama saja dengan badan-ba-dan atau organisasi yang sudah ada, berarti kurang mendesak.

"Tetapi jika tugasnya dan fungsinya benar-benar mampu mengkoordinasikan setiap lembaga yang sudah ada sebelumnya, maka akan dapat meningkatkan efektivitas kinerja semua lembaga lem-baga tersebut," ucapnya.

Menurutnya, keberadaan Badan Siber Nasional dapat menjadi efektif, jika benar- benar mampu berkoordinasi dengan baik dengan lemba-ga-lembaga yang sudah ada, memiliki visi dan tujuan serta lingkup batasan yang jelas, sehingga tidak saling tum-pang-tindih dengan tugas lembaga lainnya.

Ia berharap, posisi Badan Siber Nasional menjadi lem-baga negara sebagai pusat koordinasi dalam pencegah-an atau mengatasi segala ancaman terhadap pertahan-an keamanan negara, meling-kupi berbagai objek dan infrastruktur vital negara seperti perbankan, listrik, telekomunikasi dan rahasia negara.

"Jadi idealnya Badan Siber Nasional tidak mengu-rusi lagi kejahatan cyber crime seperti hoax dan penghasut-an," ucapnya. [MJS/152/Y-7/R-15]

[JAKARTA] Saat banyak negara sangat bergantung pada sistem komputerisasi, tingkat keamanan sebenarnya justru semakin rentan. Serangan siber mengintai segala hal terkait sistem komputer. Para pere-tas menyerang sistem dalam jaringan (online) beragam sektor, mulai dari telekomunikasi, infor-masi, perbankan, hingga pemerin-tahan.

Perang siber bukan isapan jem-pol belaka. Di jagat maya, perang ini sebenarnya bisa dianggap “Perang Dunia III”. Meskipun tak kasat mata, perang itu sedang berlangsung sengit. Batasnya tak hanya antarnegara, melainkan sudah lintas benua.

Simak saja situs milik Norsecorp, yang menampilkan peta serangan siber dunia secara visual. Setiap serangan ini bagaikan rudal yang dikirim dari lokasi penyerangan dan meledak saat sampai di tempat

tujuan. Norsecorp menganalisis setiap ancaman dari ratusan lokasi di 40 negara dan menampilkannya secara realtime.

Rasanya masih lekat dalam ingatan saat para peretas Korea Utara (Korut) mengobrak-abrik sistem komputer studio Sony Pictures di Hollywood, Amerika Serikat (AS), pada akhir 2014. Dengan dalih martabat bangsa, peretas menentang pemutaran film The Interview, yang memarodikan pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un.

Pemerintah Korut tentu menyang-kal peretasan itu sebagai ulah ten-tara sibernya, yakni Biro 121. Alih-alih mereka memberi “tampar-an” balik dengan menawarkan bantuan investigasi. Tetapi, penye-lidikan badan resmi AS membukti-kan asal serangan memang dari Korut.

Dalam sengketa terbaru, Rusia

disebut-sebut sebagai dalang keme-nangan Donald Trump dalam pemilu AS pada 8 November 2016. Rusia memang sangat berkepenting-an, karena Presiden Vladimir Putin meyakini Trump lebih bersahabat ketimbang Hillary Clinton.

Di pihak Rusia, Putin jelas membantah. Tetapi, hal itu mustahil, karena apa pun kebijakan yang diambil pemerintah Rusia, Putin pasti mengetahuinya. Secara motif, Rusia memiliki target jelas untuk membuktikan bahwa demokrasi AS tidak lebih kredibel daripada Rusia.

Akhir Desember 2016, peme-rintah AS di bawah Presiden Barack Obama mengambil sikap serius. Sebanyak 35 diplomat Rusia diusir pulang setelah FBI membeberkan bukti keterlibatan intelijen Rusia, yakni FSB, dalam peretasan pilpres AS dan sistem komputer Partai Demokrat.

Pada 2015, Edward Snowden, mantan kontraktor CIA yang men-dapat suaka Rusia mengatakan, aktivitas peretasan yang dilakukan negara-negara semakin meningkat. Hal itu terjadi seiring pergeseran paradigma perang dan intelejen modern yang semakin fokus ke dunia siber.

Sekitar 2009, para peretas asal Indonesia juga pernah terlibat “per-tempuran” dengan peretas Malaysia. Konon serangan bermula dari pihak Malaysia yang mengganti tampilan banyak situs dan menampilkan pernyataan “Hacked by Anti-Indon”. Sontak peretas Indonesia pun melan-carkan aksi balas dendam atas ulah peretas di negeri jiran.

Saat aksi spionase Australia terhadap Indonesia terbongkar, peretas Indonesia tidak tinggal diam. Banyak peretas secara perorangan dan kelompok melancarkan serang-

an balasan kepada Australia. Alhasil, ratusan situs Australia milik pribadi dan publik menjadi korban deface, spoofing, hingga kerusakan database.

Peretas Indonesia beridentitas Scrangger40z sanggup membalas serangan Anonymous Australia dengan melumpuhkan beberapa situs milik pemerintah dengan domain gov.au. Scrangger40z mengklaim, Anonymous Indonesia telah menyu-supi 765.734 situs Australia, 456.225 akun Facebook, 51.445 akun Twitter, dan 55.256 akun BlackBerry.

Dengan kemampuan yang ada, peretas Indonesia sebenarnya telah mendapat “pengakuan internasional” karena kerap menjadi sumber serangan siber di dunia. Jadi, ren-cana Indonesia membentuk Badan Siber Nasional patut didukung untuk pertahanan negara di jagat maya. [dari berbagai sumber/U-5]

Di Jagat Maya, “Perang Dunia III” Sedang Berkecamuk

Pemerintah Perlu Waspadai Silent Cyberwar

SP/Joanito De SaoJoao

Menkominfo Rudiantara (tengah) bersama sejumlah relawan dalam kampanye sekaligus deklarasi masyarakat indonesia anti-'hoax' di Kawasan Jalan MH thamrin Jakarta, Minggu (8/1).