Selaka - download.isi-dps.ac.id
Transcript of Selaka - download.isi-dps.ac.id
Selaka
Ni Nyoman Srayamurtikanti, I Nyoman Kariasa, I Gde Made Indra Sadguna
Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia Denpasar
Jalan Nusa Indah Denpasar (0361) 227316 Fax.(0361) 236 100 Denpasar
e-mail: [email protected]
Abstrak
Karya musik dapat disebabkan atau terjadi akibat beberapa faktor salah satunya yaitu pengalaman
dari pembuat karya sendiri. Terdapat sebuah teori yang dicetuskan oleh Murray Schafer pada tahun 1960,
yaitu soundscape. Soundscape terjadi karena kepekaan Murray dengan bunyi disekitarnya, bunyi yang
sengaja didengar dan diteliti secara detail sehingga mendapatkan bunyi-bunyi beraneka ragam jenisnya.
Hal ini disebut sebagai pemandangan bunyi. Dalam pendengaran sengaja tersebut Schafer mendengarkan
secara detail bunyi-bunyi yang selama ini tidak mendapat perhatian oleh mahluk hidup khususnya manusia.
Pada karya ini memiliki ruang yang sama yaitu mendengar secara sengaja dan meneliti bunyi yang ada
dilingkungan penata yang pada realitanya adalah lingkungan pembuat kerajinan perak. Dalam
kesehariannya penata selalu mendengar bunyi yang dihasilkan oleh pembuatan kerajinan perak. Bunyi-
bunyi ini adalah titik awal dari terjadinya karya musik karawitan yang berjudul Selaka. Karya ini
menerjemahkan atau membahasakan bunyi-bunyian pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk dalam
bahasa musikal yang dituangkan ke dalam barungan gamelan gender wayang dan beberapa instrumen
semarandana. Terdapat tiga tahapan yang menurut penata memiliki peluang garap yaitu Nglebur, Menteng
dan Ngebunin. Ketiga tahapan tersebut memiliki karakter bunyi tersendiri sehingga dalam karya musiknya
penata mereinterpretasikannya ke dalam sebuah karya musik karawitan.
Kata kunci: Selaka, Soundscape, Desa Celuk
Abstract
The work of music can be caused or occurs due to several factors, one of which is the experience
of the creator of his own work. There is a theory coined by Murray Schafer in 1960, the soundscape.
Soundscape occurs because of Murray's sensitivity to the surrounding sounds, sounds that are intentionally
heard and examined in detail so that they get various kinds of sounds. This is called a sound scene. In this
deliberate hearing Schafer listened in detail to the sounds that had not received attention by living things,
especially humans. In this work has the same space that is listening intentionally and examining the sounds
that exist in the stylist environment which in reality is the environment of the silver handicraft makers. In
their daily life stylists always hear the sounds produced by making silver crafts. These sounds are the
starting point of the occurrence of music works entitled Selaka. This work translates or expresses the sounds
of silver making in Celuk Village in a musical language which is poured into the gender gamelan gamelan
and some semarandana instruments. There are three stages that according to the director have opportunities
to work, namely Nglebur, Menteng and Ngebunin. The three stages have their own sound character so that
in their music the stylist reinterprets it into a musical piece of music.
Keywords: Selaka, Soundscape, Celuk Village
PENDAHULUAN
Bunyi dan suara adalah dua hal yang
sama-sama abstrak namun dapat didengar
secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam
bukunya, Hardjana mengatakan bahwa
“suara (Inggris: voice; Jerman; stimme)
menunjukkan kepada pengertian bersifat
umum dan di dalam bahasa juga
menunjukkan ”bunyi” manusia dan
binatang”. Dalam pengertian tersebut dapat
jelas diketahui bahwa suara bersumber dari
kerongkongan manusia dan binatang.
Sedangkan bunyi (Inggris: sound; Jerman;
klang) lebih menunjukkan pada pengertian
khusus dan sudah mencerminkan suatu
pengertian tertentu. Biasanya diterapkan
hanya hubungannya dengan benda. Bunyi
juga telah menunjukkan adanya suatu
kualitas tertentu” (2018 : 66). Dengan
pengertian tersebut sudah barang tentu ruang
lingkup antara suara dan bunyi terlihat jelas
karena pada intinya adalah perbedaan yang
dimiliki oleh suara dan bunyi yaitu berada
pada sumbernya. Suara bersumber dari
kerongkongan manusia dan binatang,
sedangkan bunyi bersumber dari gesekan
benda.
Ketika berjalan di sebuah lapangan
atapun perkebunan menuju ke pura, tempat
upacara, sebagian besar suara yang didengar
adalah bunyi serangga, namun setelah
mencapai jarak kira-kira 200 meter dari
tempat berangkat, kita baru mendengar
suara gamelan dengan kualitas lirih. Di
tempat lain, lebih dekat dengan tempat
upacara, kita dapat mendengar dengan jelas
bunyi gamelan yang keras. Bunyi gamelan
itu dapat diibaratkan sebagai sebuah pohon
yang tinggi sedangkan suara serangga
sebagai padang rumput yang luas. Seluruh
suara itu sebagai objek visual dan berada di
angkasa yang dapat didengar dari mana-
mana. Ini berarti bahwa suara-suara atau
bunyi-bunyi tersebut membuat suara
lingkungan di suatu ruang; seperti pohon,
gedung, dan lain-lain yang diletakkan di
ruangan atau desa. Kejadian tersebut di
alami oleh salah seorang komponis asal dari
Kanada yaitu Murray Schafer. Hal yang
dialami oleh Schafer membuatnya
merenung dengan kejadian tersebut
sehingga dengan apa yang dialaminya
tersebut, Schafer menciptakan sebuah teori
yaitu soundscape pada tahun 1960-an.
Soundscape terdiri dari dua buah
kata yaitu sound yang berarti suara atau
bunyi, sedangkan scape merupakan
singkatan dari landscape, yang artinya
pemandangan. Kata sound apabila ditambah
dengan scape menjadi soundscape, artinya
pemandangan yang berupa suara atau bunyi
(Nakagawa, 2000 : 106). Konsep
pemandangan suara sedikit berbeda dengan
konsep pemandangan pada umumnya.
Perbedaannya terletak pada dilihat dan tidak
dapat dilihat. Pengertian pemandangan pada
umumnya adalah wujud yang dapat dilihat
namun, pemandangan suara adalah
pemandangan (didengar dan dirasakan)
yang berupa suara atau bunyi dan tidak
berwujud.
Dalam teori tersebut, Schafer
mengajak manusia untuk mendengarkan
suara atau bunyi lingkungan dengan benar-
benar medengar dan mencermati setiap
pergerakan suara atau bunyi di tempat
manusia itu berada. Jika telah melakukan hal
tersebut maka banyak suara atau bunyi yang
dapat disadari kehadirannya mulai dari
desiran angin, hentakan kaki, gaungan motor
dan bahkan suara nafas diri sendiri pun dapat
didengar, yang sudah barang tentu sesuai
dengan di lingkungan atau ditempat apa kita
berada. Dalam lingkungan terdekat, dapat
ditemukan hal serupa seperti dialami oleh
Schafer. Dengan mencermati dan
3
mendengar betul suara lingkungan tersebut,
dapatlah kita sadari soundscape / suara
lingkungan tersebut hadir di sekeliling kita.
Contoh kejadian serupa yang dapat kita
temui ialah pada suara lingkungan yang
pada sekelompok warga yang bekerja
sebagai pembuat perhiasan. Dalam
lingkungan warga tersebut dari ujung rumah
warga pertama hingga rumah-rumah warga
satu profesi dapat kita cermati dan
mendengar secara betul. Suara lingkungan
tersebut dapat disadari setelah berjalan
menyusuri rumah warga yang memiliki mata
pencaharian yang sama. Dapat kita dengar
suara-suara dari benda-benda yang ditempa
dan dilebur untuk dibuatkan perhiasan dan
bernilai guna sehingga dapat diperjual
belikan oleh warga itu sendiri. Kejadian ini
terdapat di salah satu desa yaitu Desa Celuk.
Desa Celuk adalah desa kelahiran
penata. Terdapat banyak kejadian dan
peristiwa yang telah dialami oleh penata,
salah satunya adalah menjadi bagian dari
masyarakat bermata pencaharian sebagai
pengerajin perak. Sehari-hari penata sering
mendengar serta melihat orang-orang
membuat kerajinan perak. Dengan teori
soundscape penata mencoba menerapkan
teori tersebut di lingkungan penata sendiri.
Alasan penata memilih lingkungan rumah
untuk mencoba mendengarkan bunyi dan
suara secara betul dan cermat karena pada
lingkungan rumah penata terdapat suara dan
bunyi-bunyian yang setiap harinya
ditimbulkan oleh para pengerajin perak saat
memproses perak menjadi sebuah perhiasan.
Desa Celuk merupakan desa yang terkenal
sebagai penghasil kerajinan perak atau
selaka di Bali. Berdasarkan pernyataan yang
dikemukakan oleh Wisnu Wardana dalam
bukunya yaitu Jewelry of Bali, bahwa
“keberadaan kerajinan perak di Bali
menyebar di beberapa kabupaten antara lain
: Badung, Buleleng, Klungkung, Bangli, dan
Desa Celuk Kabupaten Gianyar. Desa Celuk
sebagai pusat kerajinan perak terbesar di
Bali, dan sudah dikenal hingga
mancanegara” (2016 : 73). Kerajinan perak
sebagai bagian dari seni rupa, disamping
memiliki nilai praktis, ekonomis, dan juga
nilai estetis. Bentuk kerajinan perak Celuk
menekankan pada fungsi kegunaan motif
hias yang mengandung nilai simbolis, estetis
dan sosial (Semara Putra, 2013 : 18).
Keberadaan Desa Celuk yang disebut
sebagai sentra kerajinan perak tidak luput
dari sejarah yang menjadikannya seperti saat
ini. Kerajinan perak sebagai bagian dari seni
rupa, di samping memiliki nilai praktis dan
ekonomis juga memilih nilai estetis. Seni
kerajinan perak dan emas di Desa Celuk
sudah ada sejak jaman sekitar tahun 1915-
an, yang dipelopori oleh keluarga I Nyoman
Gati untuk kebutuhan konsumen dan
kebutuhan keagamaan. Pekerjan ke-pande-
an pada jaman dulu, konsumennya hanya
orang tertentu, selain untuk keperluan
agama, juga konsumennya adalah para Raja
– Ratu maupun Meneer (tuan dan nyonya
Belanda), baik itu di Desa Kamasan
(Klungkung), Beratan (Buleleng), Bangli
maupun Desa Celuk sendiri (Wardana, 2016
: 74).
Kesadaran akan pemandangan suara
dan bunyi nampak jelas ketika proses
pembuatan perak itu berlangsung. Dalam
proses pembuatan perak yang masih dalam
konteks tradisi tersebut, proses ini
mengeluarkan bunyi-bunyian yang
dihasilkan oleh alat-alat pembentuk perak
serta perak yang diolah. Menurut I Ketut
Bawa, salah seorang pengerajin perak di
Celuk memaparkan bahwa, hampir semua
tahapan dari pembuatan kerajinan perak ini
menghasilkan bunyi-bunyi yang memiliki
ciri khas tersendiri. Adapun tahapan-tahapan
pembuatan kerajinan perak yang
menghasilkan bunyi adalah : melebur
(nglebur), memukul perak agar menjadi tipis
(menteng) dan memberi hiasan (ngebunin)
(wawancara tanggal 13 Februari 2018).
4
Selaka dalam kamus Bahasa Bali
oleh Sri Reshi Anandakusuma menyebutkan
bahwa kata selaka berarti perak (1986 :
327). Berdasarkan beberapa sumber dari
pengerajin perak sendiri pun mengatakan
bahwa kata selaka merupakan sebuah
penyebutan lain dari perak. Selaka
digunakan sebagai judul karya ini karena hal
yang mendasari terbentuknya garapan ini
“perak” sebagai objek yang diolah menjadi
kerajinan sehingga pada prosesnya
menimbulkan sebuah pemandangan suara
dan bunyi (soundscape) yang merupakan
ciri khas desa Celuk itu sendiri. Jadi,
diharapkan kata Selaka tersebut dapat
mewakili keseluruhan unsur dari garapan
yang menginginkan kearifan lokal desa
menjadi sebuah titik spirit dari penciptaan
karya karawitan.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya
maka timbul ide yang yang melatar
belakangi karya ini yaitu bunyi-bunyian
yang dihasilkan dari proses pembuatan
perak di Desa Celuk. Adapun konsep yang
digunakan adalah ketiga tahapan dari
pembuatan perak tersebut. Ketiga tahapan
tersebut adalah Nglebur, Menteng, dan
Ngebnunin.
PROSES KREATIVITAS
Dalam karya ini penata melalui
beberapa tahapan dalam menjalani proses
kreativitas karya. Terdapat tiga tahapan
yang diambil dari konsep Alma M. Hawkins
dalam bukunya Creating Through Dance
yang dialih bahasakan oleh Y. Sumandiyo
Hadi ISI Yogyakarta, 1990. Disebutkan ada
tiga tahapan dalam proses penggarapan
karya seni antara lain: tahap penjajagan
(eksplorasi), tahap percobaan (improvisasi),
dan tahap pembentukan (forming)
(Sumandiyo Hadi, 2003: 24). Teori ini
diadopsi oleh penata karena pada proses
kreativitas dalam pembuatan karya
komposisi karawitan ini sesuai dengan apa
yang dilakukan penata untuk
mewujudkannya. Teori ini sangat berfungsi
sebagai pemberi arah dan pemberi landasan
dalam berkarya komposisi karawitan yang
baik untuk dipertanggungjawabkan. Adapun
ketiga tahapan ini dijabarkan sebagai
berikut.
Menurut Hawkins, proses pertama
dalam berkreatifitas adalah tahapan
penjajagan. Dalam proses karya, penata
menjalani langkah awal dari keseluruhan
proses kerja komposisi yaitu eksplorasi atau
tahap penjajagan, menjelajahi semua hal
yang berkaitan dengan apa yang diperlukan
dalam mewujudkan sebuah komposisi
karawitan yang diinginkan. Bukan hanya
hal-hal yang berkaitan dengan unsur
musikal, melainkan hal-hal non-musikal
perlu juga dieksplorasi karena
bagaimanapun karya ini akan didukung oleh
unsur musikal dan non-musikal.
Ide dari karya ini seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, berawal dari
kesadaran penata akan lingkungan rumah
yang memiliki kearifan lokal sebagai
kampung penghasil kerajinan perak yang
setiap harinya diselimuti dengan bunyi-
bunyian ditimbulkan dari proses pembuatan
kerajinan perak itu sendiri.
Kenapa hanya bunyi-bunyian yang
dihasilkan oleh proses pembuatan kerajinan
perak saja yang terklarifikasi setelah
eksplorasi ide? Sesuai dengan pernyataan
Suka Harjana dalam bukunya yaitu Estetika
Musik mengatakan bahwa “karena yang
menjadi landasan pernyataan musik adalah
bunyi di dalam ruang dan waktu maka kita
dihadapkan kepada kesulitan justru karena
ruang dan waktu di dalam kenyataan hidup
kita tidak mungkin ditangkap oleh pe-raba-
an maupun penglihatan kita” (2018: 63).
Berdasarkan pernyataan tersebut, penata
memfokuskan diri terhadap bunyi-bunyian
yang didengar oleh penata dalam hal
eksplorasi bunyi pada ide tersebut. Namun,
pada karya ini penata tidak sepenuhnya ada
dalam tanggapan tersebut, karena penata
juga melihat serta meraba bagaimana proses
5
pembuatan perak tersebut berlangsung
karena bunyi-bunyian tersebut akan muncul
atau terdengar karena ada bahan-bahan
perak yang diperlakukan sesuai kebutuhan
atau dengan kata lain, bunyi-bunyian
tersebut tidak akan muncul jika tidak ada
manusia penggerak dari benda penghasil
bunyi terebut .
Contohnya seperti di lebur
(nglebur), pada saat nglebur ini terdapat
kompor serta gembus yang digunakan untuk
melebur bahan awal perak tersebut maka
penata juga mengambil fokus pada
visualisasi bagaimana suara itu timbul.
Visualisasi tersebut menurut penata dapat
diterjemahkan ke dalam garapan karya ini
dengan meniru cara melebur sehingga
menimbulkan suara dari nglebur itu sendiri.
Menteng, pada saat menteng ini
terdapat dua buah alat yang digunakan yaitu
paron dan palu serta bahan perak yang sudah
dilebur, dalam tahap menteng ini kembali
penata mengambil dua fokus peluang garap
yang dapat diterjemahkan, pada saat
menteng bahan perak yang sudah dilebur
akan diletakkan di atas paron kemudian
dipukul dengan palu sehingga menghasilkan
bunyi. Kedua hal tersebut memberikan
penata peluang garap sehingga bunyi ini
terklarifikasi untuk dijadikan materi untuk
karya Selaka.
Ngebunin, pada proses ngebunin ini
adalah tahapan pembuatan perak yang tidak
menimbulkan bunyi seperti sebelumnya
karena, pada proses ini adalah proses
memberi hiasan pada perak. Proses
ngebunin memerlukan bahan-bahan hiasan
yaitu jejawanan yang akan ditempel pada
perak yang sudah terbentuk dari proses
menteng tersebut. Hiasan-hiasan perak dari
Desa Celuk terkenal memiliki ciri khas yang
kuat, adapun motif-motif khas dari desa
Celuk adalah motif jejawanan, motif liman
paya, motif buah gonda, motif bun
jejawanan (Wardana, 2016: 80).
Setelah penata mengeksplorasi ide
yang telah dikupas dengan mencari hakekat
serinci mungkin guna dijadikan bahan garap
maka, penata mulai mentafsirkan media
gamelan yang digunakan. Media yang
digunakan adalah media yang dapat meniru
suara nglebur yang menurut penata terkesan
berat, meniru suara menteng yang identik
dengan keras dan nyaring, media yang dapat
menghasilkan nada-nada dan menjalin
banyak melodi untuk mereinterpretasikan
proses ngebunin. Maka instrumen yang
terpilih adalah Gender Wayang, penyacah,
jublag, reong Semarandana serta bende,
gong lanang, gong wadon, kempur. Dalam
pencarian deretan nada antara gamelan
Gender Waayang dan gamelan
Semarandana, penata mendapatkan 9
deretan nada baru berdasarkan pendengaran
penata sendiri.
Setelah terpilihnya media yang
digunakan serta eksplorasi setiap bunyinya
maka, penata mulai mengalihkan fokus pada
pemilihan personil pendukung. Dalam
garapan karya musik Selaka ini dibutuhkan
12 orang penabuh termasuk penata yang
memainkan setiap instrumen yang
digunakan. Pada pemilihan personil
pendukung ini penata memilih orang-orang
yang berkompeten serta komitmen tinggi
guna memperlancar terwujudnya garapan
komposisi karawitan ini.
Setelah melewati proses tersebut
kemudian penata mulai untuk menuliskan
komponen dan unsur-unsur musik dari
warna suara yang tersedia ke dalam sebuah
catatan yaitu notasi lagu. Dalam pencatatan
notasi lagu ini penata menggunkan sistem
notasi ding-dong yaitu sistem notasi Bali
yang menggunakan Aksara Bali karena pada
garapan ini penata menggunakan instrumen
tangga nada pelog dan tangga nada slendro
jadi, memudahkan penata untuk
menerjemahkan lagu ke dalam sebuah
bentuk notasi ding-dong. Tidak luput juga
pada sistem penulisan notasi ini, ada
6
beberapa penulisan yang menggunakan
simbol-simbol tertentu karena keterbatasan
simbol dari Aksara Bali yang dapat
mewakili bunyi dari beberapa teknik
permainan instrumen.
Pada tahap terakhir penata mulai
memilih, menghubungkan satu temuan
dengan temuan dengan temuan lainnya, baik
yang berupa warna suara, melodi, ritme dan
dinamika. Tahapan ini juga menyangkut
pengendapan hasil temuan, pertimbangan,
dan pembobotan secara estetis musikalitas.
Penata mulai menghubungkan motif-motif
dan bagian-bagian yang dapat dijadikan
frase-frase lagu yang sesuai dengan tujuan
dari setiap bagiannya. Menambah atau
mengurangi bagian yang telah dilalui agar
tetap mempunyai porsi yang sesuai dengan
kebutuhan karya. Memberikan dinamika
pada setiap bagian atau setiap menit pada
karya agar dapat lebih dijiwai oleh
pendukung serta dapat mengerti maksud dan
tujuan dari karya ini agar tidak asal lewat
saja sehingga karya ini tetap mengandung
nilai artistik dan nilai estetis dalam konteks
karya seni musik karawitan Bali. Semua
tahapan tersebut dilewati karena penata
menginginkan karyanya menjadi sebuah
karya yang dapat terimplementasi sesuai
dengan ide dan konsep yang digunakan.
Gambaran kasar oleh karya ini sudah terlihat
namun, seiring waktu berjalan penata
mengharapkan karya ini dapat selalu
terbenahi untuk menjadi lebih baik sehingga
pada akhirnya karya ini memang benar-
benar terwujud matang sebagai karya seni
musik karawitan Bali.
Namun, tidak dipungkiri bahwa
karya ini mengalami kesulitan-kesulitan
yang pernah membuat penata menjadi tidak
percaya diri dan kehilangan akal untuk
mewujudkannya. Permasalahan utama yang
terjadi adalah keinginan penata dalam dunia
imajinasinya tidak sesuai dengan apa yang
telah terealisasi dalam dunia nyata. Hal
tersebut sangat membebankan penata karena
penata sadar bahwa kemampuan penata
dalam mencipta sebuah karya karawitan
tidaklah dalam dan sempurna tetapi masih
meraba-raba. Penata sering kehabisan akal
akan motif yang digarap sehingga tidak
memungkiri bahwa terdapat banyak motif
yang berulang-ulang sehingga kesannya itu-
itu saja. Peristiwa itu terjadi karena
virtuositas penata yang masih dangkal
sehingga kejadian-kejadian tersebut muncul.
Dalam benak penata semua hal tersebut
memang harus terlewati, hal-hal seperti itu
wajar terjadi dan tidak ada manusia yang
sekali bertindak akan menghasilkan yang
sempurna namun melewati banyak
kegagalan. Permasalahan selanjutnya adalah
pendukung yang kehadirannya sering tidak
kompak. Hal ini juga yang sangat
mempengaruhi konsistensi dalam berkarya
oleh penata. Akibat dari hal ini adalah
penata selalu merubah-rubah lagu yang
sudah terwujud setiap latihannya. Hal ini
terjadi karena penata menyesuaikan dengan
kehadiran pendukung yang memegang
setiap instrumennya, siapapun yang hadir
maka penata akan memaksimalkan pola
pukulan pada instrumen yang
pendukungnya hadir. Hal ini sangat
berpengaruh buruk bagi pola pikir penata
karena konsisten lagu yang telah dibuat
sangatlah susah jika pendukung tidak
lengkap atau silih berganti tidak hadir pada
setiap latihannya.
WUJUD GARAPAN
Deskripsi Karya
Karya karawitan Selaka merupakan
karya musik yang terinspirasi dari
pemandangan bunyi (soundscape) dan motif
perak di Desa Celuk yang terkenal akan
pembuatan kerajinan peraknya. Garapan ini
mereinterpretasikan bunyi-bunyian dari
proses pembuatan perak dan motif-motif
perak tersebut ke dalam bahasa musikal
yang ditata dan diolah sesuai dengan
perspektif serta kemampuan penata.
7
Secara musikal karya ini
mengedepankan kebebasan daya cipta
penata dalam menjelajahi ruang imajinasi
yang dimiliki oleh penata yang telah
terbentuk melalui pengetahuan dan
pengalaman yang telah dilalui. Bunyi-
bunyian dan motif tersebut merupakan
bahan serta modal utama dari penata yang
kemudian dikemas dengan apik sehinga
menjadikannya sebuah karya karawitan
yang terwujud dengan utuh.
Media ungkap adalah tempat
mencurahkan serta benda yang akan
menyuarakan ide penata agar dapat terwujud
sehingga dapat diperdengarkan dan
ditampilkan. Instrumen yang digunakan ini
dipilih sesuai dengan karakteristik bunyi-
bunyian serta motif yang digunakan maka,
pentingnya keserasian antara bunyi dan
motif dengan instrumen yang digunakan.
Adapun instrumen yang digunakan adalah 2
intrumen Gong lanang dan wadon, 1 Bende,
1 Kempur, 2 instrumen penyacah
semarandana, 2 instrumen jublag
semarandana, 2 instrumen pemade gender
wayang, 2 instrumen kantilan gender
wayang dan reong semarandana.
Instrumentasi dan Teknik Permainan
Dalam komposisi karawitan
“Selaka” ini menggunakan beberapa
instrumen sebagai media ungkap serta
teknik permainan yang digunakan sebagai
berikut :
Barungan gamelan Gender Wayang
Ensambel ini terdiri dari empat
gender masing-masing dengan sepuluh
bilah, dua wilayah tengah dan dua lainnya
pada satu oktaf lebih tinggi. Gender ini
dimainkan dengan teknik instrumental yang
sulit, menggunakan sepasang pemukul dari
kayu dengan ujungnya yang berbentuk
piringan kecil, sedangkan suara bilahnya
ditutup dengan ujung jari atau pangkal
tangan. Tangan kiri dan tangan kanan
memainkan musik yang berbeda, biasanya
terkonfigurasikan dengan tangan kiri
memainkan melodi dan tangan kanan
memainkan kotekan (Tenzer, 1990 : 251).
Penata menggunakan satu barung gamelan
Gender Wayang dalam garapan ini karena
ingin mendapatkan wilayah nada yang lebih
luas yaitu 2 oktaf dari instrumen pemade dan
2 oktaf lebih kecil di instrumen kantilan
daripada instrumen pemade.
Gambar 4.1
Barungan Gamelan Gender Wayang
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Suharta dan Suryatini dalam
penelitiannya juga menjelaskan bahwa
disamping teknik permainan dasar yang
disebut kumbang atarung dengan jenis
pukulan sesuai fungsinya, Gender Wayang
sangat kaya dengan motif-motif permainan.
Gending-gending gender wayang sangat
banyak jumlahnya, sehingga memberi ruang
dan formulasi yang beraneka ragam untuk
melahirkan motif dan jenis pukulan dengan
istilah tertentu, untuk menunjukkan
“identitasnya” (2013 : 52-54). Dari semua
teknik dan motif pukulan yang dimiliki oleh
repertoar gender wayang, maka pada
garapan karawitan ini menggunakan
beberapa teknik dan motif pukulan yaitu
Ngempyung atau Ngero, Nyintud, Ngoret,
Ngerot, Nerumpuk, Nendet dan Oncag-
oncagan. Hal tersebut adalah hal dasar yang
membentuk identitas dari barungan gender
wayang sendiri, maka dari itu dalam
pengolahan pukulan gender wayang pada
garapan ini tetap berpijak pada dasar dan
mengembangkannya sesuai dengan porsi
garap yang diinginkan oleh penata.
8
Gamelan Semarandana
Barungan gamelan Semarandana
merupakan gamelan yang menyerupai
gamelan Gong Kebyar. Hanya saja gamelan
Semarandana terdapat dua nada tambahan
atau sering disebut dengan nada pemero
yaitu deung (6) dan daing (2). Pada
garapan karawitan ini penata hanya
menggunakan beberapa instrumen dari
gamelan Semarandana, yaitu : Penyacah,
Jublag, Reong, Gong, Kempur dan Bende.
Menurut Sachs dan Hornbostel pada
Bandem mengatakan bahwa instrumen
musik diklasifikasikan menjadi 5 golongan
yaitu idiofon (instrumen pukul),
membranofon (kulit dicecangkan), kordofon
(dawai), aerofon (ditiup), dan electrofon
(bunyi yang ditimbulkan oleh listrik) (2013
: 121-124). Dari beberapa instrumen
barungan gamelan Semarandana,
instrumen-instrumen tersebut
diklasifikasikan ke golongan idiofon.
Gong
Instrumen ini bentuknya bulat,
dengan garis tengah 70-100 cm dengan
menggunakan sebuah pencon (tonjolan)
diangkat dari permukaannya setinggi 6 cm
dan lebarnya 6 cm. Dalam gamelan Gong
Kuna atau Gong Kebyar digunakan dua
jenis gong yaitu gong wadon dan lanang.
Gong dimainkan dengan sebuah panggul
yang dilapisi dengan kain dan gong tersebut
berfungsi untuk memberi frase akhir atau
pukulan akhir dari sebuah lagu.
Gambar 4.2
Gong Lanang dan Wadon
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Selain sebagai pemberi frase akhir
lagu, pada garapan ini gong berfungsi
sebagai pemberi kesan berat dan besar,
berfungsi sebagai instrumen yang digesek
oleh panggul kayu sehingga menimbulkan
bunyi seperti keluarnya api yang tujuannya
untuk mereinterpretasikan bunyi api dari
pembuatan perak serta berfungsi sebagai
instrumen yang mewakili dari proses
menteng dari serangkaian tahapan
pembuatan kerajinan perak.
Kempur
Kempur atau kempul merupakan
jenis gong yang ukurannya menengah, lebih
kecil dari gong wadon dan lanang. Dalam
permainan lagu-lagu gamelan, kempur
biasanya berfungsi sebagai semi finalis dari
sebuah melodi dan dimainkan silih berganti
dengan gong wadon dan lanang.
Gambar 4.3
Kempur
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Selain sebagai semi finalis dari
sebuah melodi, pada garapan ini kempur
berfungsi sama seperti gong namun,
dominan kempur sebagai pemegang tempo
dan mengikuti jatuhnya pukulan bende.
Bende
Bende atau Bebende merupakan
instrumen sejenis kempur dan ukurannya
juga sebesar kempur akan tetapi nadanya
tidak senyaring kempur, akibat tonjolannya
dibuat agak datar tidak seperti pencon pada
kempur. Bende dimainkan dengan sebuah
panggul dan mengisi berbagai ritme dalam
gamelan, memakai teknik permainan yang
berbeda dengan permainan kempur. Bende
berfungsi untuk memperkaya ritme.
9
Gambar 4.4
Bende
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Fungsi bende pada karya Selaka ini
adalah sangat penting karena pada bagian
dua karya ini, instrumen bende menjadi
instrumen pokok karena bunyi dari bende
sendiri dapat mewakili bunyi menteng yang
dihasilkan dari proses pembuatan perak
tersebut. Pada bagian dua karya ini musikal
bende mendominir dari instrumen-
instrumen lainnya. Teknik pemukulan bende
tidak sama dengan teknik pemukulan bende
pada biasanya. Pada karya ini instrumen
bende dipukul pada bagian pinggir dan
ditutup dengan telapak tangan sehingga
mendpatkan bunyi nyaring dan keras serta
memiliki reng (gelombang) yang pendek
sesuai kebutuhan garapan. Teknik tersebut
dapat mewakili bunyi yang diinginkan.
Reong
Bentuk instrumen ini serupa dengan
terompong dan terdapat sebanyak 12 (dua
belas) gong di atas deretan sebuah resonator
kayu. Reong dimainkan oleh empat pemain
dan masing-masing menggunakan dua buah
panggul. Dalam gamelan gong kuna atau
gong kebyar, reong ini dimainkan sebagai
pembawa ritme dengan teknik permainan
yang disebut ubit-ubitan, kotekan atau
cecandetan.
Dalam karya ini instrumen reong
dimainkan oleh tiga orang karena
keterbatasan pendukung maka penata
memutuskan hanya menggunakan tiga
pemain reong tanpa mengurangi makna
dalam memainkan reong tersebut. Reong
dengan laras pelog saih pitu, penata
menggunakan hanya 10 nada saja yaitu 3 (ding), 4 (dong), 5 (deng), 6 (deung), 7 (dung), 1 (dang), 2 (daing), 3 (ding), 4 (dong), 5 (deng). Alasan penata
menggunakan wilayah nada tersebut dan
tidak menggunakan keseluruhan nada ialah
wilayah nada tersebut dapat memenuhi
kebutuan garapan, penata memaksimalkan
pemain reong yang biasanya empat orang
tapi pada karya ini menggunakan tiga orang,
maka dari itu jumlah nada yang digunakan
dikurangi dari biasanya tanpa mengurangi
identitas dari reong pelog saih pitu itu
sendiri.
Gambar 4.5
Reong Semarandana (saih pitu)
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Teknik yang digunakan pada
instrumen reong pada garapan ini adalah
lebih mengisi sela-sela ritme dalam garapan
dan juga tidak terlalu menggunakan motif
kotekan atau cecandetan namun, lebih
bermain pada pemangku melodi karena
reong pada garapan ini lebih berfungsi
sebagai pembawa melodi terutama pada
bagian tiga dari garapan ini yaitu mengolah
melodi yang berbeda pada setiap instrumen
pemangku lagu.
Jublag
Instrumen ini sama bentuknya
seperti instrumen jegogan hanya nadanya
diatur satu oktaf lebih tinggi dari nada
jegogan. Jublag ini disebut juga dengan
calung dan fungsinya untuk memangku
lagu atau menggarisbawahi melodi dan juga
10
menggunakan sistem ombak (ngumbang
ngisep). Jublag Semarandana memiliki 7
nada sesuai dengan laras yang digunakan
yaitu pelog saih pitu.
Gambar 4.6
Jublag Semarandana (saih pitu)
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Teknik yang digunakan instrumen
jublag pada karya ini adalah menggunakan
teknik kotekan yang terintegrasi dengan
sesama jublag atau instrumen gender
wayang dan instrumen lainnya. Jublag juga
menjalankan fungsinya sendiri sebagai
pemangku lagu.
Penyacah
Penyacah merupakan keluarga
gender yang bentuknya sama dengan jublag,
hanya nadanya satu oktaf lebih tinggi dari
jublag. Penyacah fungsinya juga untuk
memangku lagu seperti jublag hanya saja
penyacah bermain dua kali lipat dari jublag
atau calung. Fungsi utama memberi penyela
antara pukulan jublag dan juga
menggunakan sistem ombak (ngumbang
ngisep). Penyacah Semarandana memiliki 7
nada sesuai dengan laras yang digunakan
yaitu pelog saih pitu.
Gambar 4.7
Penyacah Semarandana (saih pitu)
(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)
Teknik yang digunakan instrumen
penyacah pada karya ini adalah
menggunakan teknik kotekan yang
terintegrasi dengan sesama penyacah atau
instrumen gender wayang dan instrumen
lainnya. Penyacah juga menjalankan
fungsinya sendiri sebagai pemangku lagu
dan permainan penyacah lebih lincah atau
lebih kerap dibandingkan dengan jublag.
Dari seluruh instrumen yang
digunakan, penata memilih instrumen-
instrumen tersebut karena penata
menginginkan instrumen yang dapat
mewakili bunyi dari setiap tahapan proses
pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk.
Setiap instrumen dapat dieksplorasi lebih
dalam bunyi yang dapat dihasilkan dengan
menemukan sendiri bagaimana cara
memainkan instrumen tersebut sehingga
reinterpretasi itu terwujud sesuai dengan
kebutuhan garapan.
Analisis Simbol
Dalam pencatatan karya ini, penata
menggunakan notasi deskriptif. Adapun
simbol-simbol yang digunakan adalah
simbol yang biasanya digunakan di dalam
pencatatan gending pada gamelan Bali, yaitu
sistem notasi Ding-Dong dan menggunakan
sistem notasi yang dirangkai secara
subyektif oleh penata guna untuk
mempermudah pembuatan komposisi yang
menggunakan dua tangga nada atau laras
yaitu pelog 7 nada dan slendro serta
pemberian simbol terhadap instrumen gong,
kempur dan bende yang dimainkan sesuai
dengan eksplorasi bunyi pada instrumen itu
sendiri.
Analisa Pola Struktur
Pada bagian pertama atau Nglebur
penata menafsir ulang bunyi nglebur yang
terjadi dalam proses pembuatan kerajinan
perak di Desa Celuk. Penata menginginkan
musik nglebur ini memberikan tekanan berat
dan besar. Selain tekanan musik yang berat
dan besar, penata memberikan bunyi api
yang keluar dari kompor dengan cara
11
menggeret permukaan gong, kempur dan
bende dengan ujung panggul reong yang
ditarik ke atas, ke bawah dan ke samping
sehingga menimbulkan bunyi seperti api
yang terus menerus keluar dari kompor.
Pada realita proses pembuatan kerajinan
perak, tahap nglebur ini menggunakan
gembus yang ditekan secara konstan untuk
memberi angin kepada kompor agar api
tetap hidup. Dalam karya ini penata
menerjemahkan hal tersebut pada tempo
yang digunakan dalam musik namun,
konstan tersebut tidak akan selamanya
digunakan melainkan penata membuat
tempo yang bisa berubah setiap saat serta
unsur ritmiknya dibuat lebih variatif
sehingga tidak konstan saja melainkan ada
unsur dinamika yang digunakan dalam
bagian ini.
Pada bagian kedua atau Menteng
penata menafsir ulang bunyi menteng yang
terjadi dalam proses pembuatan kerajinan
perak di Desa Celuk. Penata
memaksimalkan bunyi menteng dengan
seluruh instrumen namun, instrumen yang
mendominir adalah bende karena instrumen
bende adalah instrumen yang bunyinya
mendekati bunyi menteng pada realita
pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk.
Bunyi yang keras dan nyaring serta memiliki
gelombang suara yang pendek
dimaksimalkan pada bagian ini.
Pada bagian ketiga atau Ngebunin
penata menafsir bentuk dari motif-motif
perak di Desa Celuk. Motif khas yang
dimiliki adalah liman paya, buah gonda dan
jejawanan. Namun, pada karya ini penata
memilih satu motif saja yaitu liman paya.
Motif liman paya terinspirasi dari ujung
buah pare yang berbentuk spiral
menggulung ke bawah. Bentuk spiral yang
ada pada motif liman paya ini menjadi
konsep dari bagian tiga atau ngebunin.
Spiral (berputar) adalah suatu jalan tunggal
menerus, yang berasal dari titik pusat,
mengelilingi pusat dengan jarak yang
berubah (D.K. Ching, 2000 : 253).
Berdasarkan pernyataan dari Ching tentang
bentuk spiral maka bentuk dan pergerakan
spiral tersebut selain merupakan definisi dari
motif liman paya juga menjadi alur konsep
bagian tiga ini.
PENUTUP
Garapan Selaka adalah komposisi
karawitanyang terinspirasi dari suara
lingkungan (soundscape) Desa Celuk yang
terkenal dengan bunyi-bunyian hasil dari
proses pembuatan kerajinan perak. Sumber
inspirasi atau ide gagasan dari karya
dituangkan ke dalam sebuah karya
komposisi karawitansecara garis besar dapat
disimpulkan sebagai berikut :
Karya komposisi Selaka
menggunakan media ungkap barungan
gamelan Gender Wayang dan beberapa
instrumen dari barungan gamelan
Semarandana yaitu reong, penyacah, jublag,
bende, kempur dan gong. Beberapa
instrumen tersebut dipilih karena dapat
mereinterpretasikan ide gagasan penata
yaitu menerjemahkan bunyi-bunyian yang
ditimbulkan oleh proses pembuatan
kerajinan perak ke dalam bentuk bahasa
musik.
Secara struktural karya komposisi
Selaka ini terdiri dari tiga bagian yaitu
Nglebur, Menteng dan Ngebunin. Ketiga
bagian tersebut diambil atau diadopsi
langsung dari proses pembuatan perak di
Desa Celuk yang memiliki daya tarik untuk
dijadikan sebuah komposisi musik.
Karya komposisi karawitanSelaka
dimainkan oleh dua belas pemain termasuk
penata. Para pemain adalah teman-teman
dari anggota Sanggar S’mara Murti yang
memiliki kemampuan memadai dalam
setiap instrumennya.
Karya komposisi karawitanSelaka
mnafsir ulang kembali bunyi-bunyian hasil
dari proses pembuatan kerajinan perak yang
diterjemahkan ke dalam bahasa musik sesuai
12
dengan kemampuan dan daya cipta penata
dalam membuat karya musik.
Karya komposisi karawitanSelaka
disajikan konsert dengan durasi waktu 14
menit, 43 detik di panggung berbentuk
proscenium Gedung Natya Mandala ISI
Denpasar.
DAFTAR PUSTAKA
Anandakusuma, Sri Reshi. 1986. Kamus
Bahasa Bali. Denpasar : CV.
Kayumas Agung.
Aryasa dkk, I Wayan. 1984/1985.
“Pengetahuan Karawitan”. Denpasar
: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Proyek Pembangunan
Kesnian Bali.
D.K. Ching, Francis. 2000. Arsitektur
Bentuk, Ruang dan Tatanan. Jakarta
: Erlangga.
Hadi, Y Sumandiyo. 2003. Mencipta Lewat
Tari (terjemahan buku Creating
Through Dance karya Alma M.
Hawkins). Yogyakarta : Manthili
Yogyakarta.
Hardjana, Suka. 2018. Estetika Musik
Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Art
Music Today.
Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos
Sebuah Pengantar Etnomusikologi.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Putra, I Wayan Adi Semara. 2013. “Media
Komunikasi Visual Motif Perak
Sebagai Identitas Desa Celuk”, Tesis
Program Pasca Sarjana Institut Seni
Indonesia Denpasar.
Sugiartha, I Gede Arya. 2012. Kreatifitas
Musik Bali Garapan Baru Perspektif
Cultural Studies. Denpasar : UPT.
Institut Seni Indonesia Denpasar.
Tenzer, Michael. 2000. Gamelan Gong
Kebyar : Seni Musik Bali Abad Ke-
Dua Puluh. Indonesia : MSPI.
Wardana,Wisnu. 2016. Jewelry Of Bali.
Denpasar : Biro Promosi dan
Pengembangan Pariwisata Budaya.
SUMBER DISKOGRAFI
Hejny, Zachary. 2015. Karya Musik “ Netra
“. (Rekaman Audio Pribadi Ni
Nyoman Srayamurtikanti).
Suryadi, I Nyoman. 2013. Karya
Sandyagitha “ Tirta Empul Maha
Urip”. (Rekaman Audio Pribadi Ni
Nyoman Srayamurtikanti).
Winda, I Nyoman. 1999. Karya Tabuh
Kreasi “ Gasal “. (Rekaman Audio
Pribadi Ni Nyoman
Srayamurtikanti).