Selaka - download.isi-dps.ac.id

12
Selaka Ni Nyoman Srayamurtikanti, I Nyoman Kariasa, I Gde Made Indra Sadguna Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar Jalan Nusa Indah Denpasar (0361) 227316 Fax.(0361) 236 100 Denpasar e-mail: [email protected] Abstrak Karya musik dapat disebabkan atau terjadi akibat beberapa faktor salah satunya yaitu pengalaman dari pembuat karya sendiri. Terdapat sebuah teori yang dicetuskan oleh Murray Schafer pada tahun 1960, yaitu soundscape. Soundscape terjadi karena kepekaan Murray dengan bunyi disekitarnya, bunyi yang sengaja didengar dan diteliti secara detail sehingga mendapatkan bunyi-bunyi beraneka ragam jenisnya. Hal ini disebut sebagai pemandangan bunyi. Dalam pendengaran sengaja tersebut Schafer mendengarkan secara detail bunyi-bunyi yang selama ini tidak mendapat perhatian oleh mahluk hidup khususnya manusia. Pada karya ini memiliki ruang yang sama yaitu mendengar secara sengaja dan meneliti bunyi yang ada dilingkungan penata yang pada realitanya adalah lingkungan pembuat kerajinan perak. Dalam kesehariannya penata selalu mendengar bunyi yang dihasilkan oleh pembuatan kerajinan perak. Bunyi- bunyi ini adalah titik awal dari terjadinya karya musik karawitan yang berjudul Selaka. Karya ini menerjemahkan atau membahasakan bunyi-bunyian pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk dalam bahasa musikal yang dituangkan ke dalam barungan gamelan gender wayang dan beberapa instrumen semarandana. Terdapat tiga tahapan yang menurut penata memiliki peluang garap yaitu Nglebur, Menteng dan Ngebunin. Ketiga tahapan tersebut memiliki karakter bunyi tersendiri sehingga dalam karya musiknya penata mereinterpretasikannya ke dalam sebuah karya musik karawitan. Kata kunci: Selaka, Soundscape, Desa Celuk Abstract The work of music can be caused or occurs due to several factors, one of which is the experience of the creator of his own work. There is a theory coined by Murray Schafer in 1960, the soundscape. Soundscape occurs because of Murray's sensitivity to the surrounding sounds, sounds that are intentionally heard and examined in detail so that they get various kinds of sounds. This is called a sound scene. In this deliberate hearing Schafer listened in detail to the sounds that had not received attention by living things, especially humans. In this work has the same space that is listening intentionally and examining the sounds that exist in the stylist environment which in reality is the environment of the silver handicraft makers. In their daily life stylists always hear the sounds produced by making silver crafts. These sounds are the starting point of the occurrence of music works entitled Selaka. This work translates or expresses the sounds of silver making in Celuk Village in a musical language which is poured into the gender gamelan gamelan and some semarandana instruments. There are three stages that according to the director have opportunities to work, namely Nglebur, Menteng and Ngebunin. The three stages have their own sound character so that in their music the stylist reinterprets it into a musical piece of music. Keywords: Selaka, Soundscape, Celuk Village

Transcript of Selaka - download.isi-dps.ac.id

Page 1: Selaka - download.isi-dps.ac.id

Selaka

Ni Nyoman Srayamurtikanti, I Nyoman Kariasa, I Gde Made Indra Sadguna

Fakultas Seni Pertunjukan

Institut Seni Indonesia Denpasar

Jalan Nusa Indah Denpasar (0361) 227316 Fax.(0361) 236 100 Denpasar

e-mail: [email protected]

Abstrak

Karya musik dapat disebabkan atau terjadi akibat beberapa faktor salah satunya yaitu pengalaman

dari pembuat karya sendiri. Terdapat sebuah teori yang dicetuskan oleh Murray Schafer pada tahun 1960,

yaitu soundscape. Soundscape terjadi karena kepekaan Murray dengan bunyi disekitarnya, bunyi yang

sengaja didengar dan diteliti secara detail sehingga mendapatkan bunyi-bunyi beraneka ragam jenisnya.

Hal ini disebut sebagai pemandangan bunyi. Dalam pendengaran sengaja tersebut Schafer mendengarkan

secara detail bunyi-bunyi yang selama ini tidak mendapat perhatian oleh mahluk hidup khususnya manusia.

Pada karya ini memiliki ruang yang sama yaitu mendengar secara sengaja dan meneliti bunyi yang ada

dilingkungan penata yang pada realitanya adalah lingkungan pembuat kerajinan perak. Dalam

kesehariannya penata selalu mendengar bunyi yang dihasilkan oleh pembuatan kerajinan perak. Bunyi-

bunyi ini adalah titik awal dari terjadinya karya musik karawitan yang berjudul Selaka. Karya ini

menerjemahkan atau membahasakan bunyi-bunyian pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk dalam

bahasa musikal yang dituangkan ke dalam barungan gamelan gender wayang dan beberapa instrumen

semarandana. Terdapat tiga tahapan yang menurut penata memiliki peluang garap yaitu Nglebur, Menteng

dan Ngebunin. Ketiga tahapan tersebut memiliki karakter bunyi tersendiri sehingga dalam karya musiknya

penata mereinterpretasikannya ke dalam sebuah karya musik karawitan.

Kata kunci: Selaka, Soundscape, Desa Celuk

Abstract

The work of music can be caused or occurs due to several factors, one of which is the experience

of the creator of his own work. There is a theory coined by Murray Schafer in 1960, the soundscape.

Soundscape occurs because of Murray's sensitivity to the surrounding sounds, sounds that are intentionally

heard and examined in detail so that they get various kinds of sounds. This is called a sound scene. In this

deliberate hearing Schafer listened in detail to the sounds that had not received attention by living things,

especially humans. In this work has the same space that is listening intentionally and examining the sounds

that exist in the stylist environment which in reality is the environment of the silver handicraft makers. In

their daily life stylists always hear the sounds produced by making silver crafts. These sounds are the

starting point of the occurrence of music works entitled Selaka. This work translates or expresses the sounds

of silver making in Celuk Village in a musical language which is poured into the gender gamelan gamelan

and some semarandana instruments. There are three stages that according to the director have opportunities

to work, namely Nglebur, Menteng and Ngebunin. The three stages have their own sound character so that

in their music the stylist reinterprets it into a musical piece of music.

Keywords: Selaka, Soundscape, Celuk Village

Page 2: Selaka - download.isi-dps.ac.id

PENDAHULUAN

Bunyi dan suara adalah dua hal yang

sama-sama abstrak namun dapat didengar

secara sengaja maupun tidak sengaja. Dalam

bukunya, Hardjana mengatakan bahwa

“suara (Inggris: voice; Jerman; stimme)

menunjukkan kepada pengertian bersifat

umum dan di dalam bahasa juga

menunjukkan ”bunyi” manusia dan

binatang”. Dalam pengertian tersebut dapat

jelas diketahui bahwa suara bersumber dari

kerongkongan manusia dan binatang.

Sedangkan bunyi (Inggris: sound; Jerman;

klang) lebih menunjukkan pada pengertian

khusus dan sudah mencerminkan suatu

pengertian tertentu. Biasanya diterapkan

hanya hubungannya dengan benda. Bunyi

juga telah menunjukkan adanya suatu

kualitas tertentu” (2018 : 66). Dengan

pengertian tersebut sudah barang tentu ruang

lingkup antara suara dan bunyi terlihat jelas

karena pada intinya adalah perbedaan yang

dimiliki oleh suara dan bunyi yaitu berada

pada sumbernya. Suara bersumber dari

kerongkongan manusia dan binatang,

sedangkan bunyi bersumber dari gesekan

benda.

Ketika berjalan di sebuah lapangan

atapun perkebunan menuju ke pura, tempat

upacara, sebagian besar suara yang didengar

adalah bunyi serangga, namun setelah

mencapai jarak kira-kira 200 meter dari

tempat berangkat, kita baru mendengar

suara gamelan dengan kualitas lirih. Di

tempat lain, lebih dekat dengan tempat

upacara, kita dapat mendengar dengan jelas

bunyi gamelan yang keras. Bunyi gamelan

itu dapat diibaratkan sebagai sebuah pohon

yang tinggi sedangkan suara serangga

sebagai padang rumput yang luas. Seluruh

suara itu sebagai objek visual dan berada di

angkasa yang dapat didengar dari mana-

mana. Ini berarti bahwa suara-suara atau

bunyi-bunyi tersebut membuat suara

lingkungan di suatu ruang; seperti pohon,

gedung, dan lain-lain yang diletakkan di

ruangan atau desa. Kejadian tersebut di

alami oleh salah seorang komponis asal dari

Kanada yaitu Murray Schafer. Hal yang

dialami oleh Schafer membuatnya

merenung dengan kejadian tersebut

sehingga dengan apa yang dialaminya

tersebut, Schafer menciptakan sebuah teori

yaitu soundscape pada tahun 1960-an.

Soundscape terdiri dari dua buah

kata yaitu sound yang berarti suara atau

bunyi, sedangkan scape merupakan

singkatan dari landscape, yang artinya

pemandangan. Kata sound apabila ditambah

dengan scape menjadi soundscape, artinya

pemandangan yang berupa suara atau bunyi

(Nakagawa, 2000 : 106). Konsep

pemandangan suara sedikit berbeda dengan

konsep pemandangan pada umumnya.

Perbedaannya terletak pada dilihat dan tidak

dapat dilihat. Pengertian pemandangan pada

umumnya adalah wujud yang dapat dilihat

namun, pemandangan suara adalah

pemandangan (didengar dan dirasakan)

yang berupa suara atau bunyi dan tidak

berwujud.

Dalam teori tersebut, Schafer

mengajak manusia untuk mendengarkan

suara atau bunyi lingkungan dengan benar-

benar medengar dan mencermati setiap

pergerakan suara atau bunyi di tempat

manusia itu berada. Jika telah melakukan hal

tersebut maka banyak suara atau bunyi yang

dapat disadari kehadirannya mulai dari

desiran angin, hentakan kaki, gaungan motor

dan bahkan suara nafas diri sendiri pun dapat

didengar, yang sudah barang tentu sesuai

dengan di lingkungan atau ditempat apa kita

berada. Dalam lingkungan terdekat, dapat

ditemukan hal serupa seperti dialami oleh

Schafer. Dengan mencermati dan

Page 3: Selaka - download.isi-dps.ac.id

3

mendengar betul suara lingkungan tersebut,

dapatlah kita sadari soundscape / suara

lingkungan tersebut hadir di sekeliling kita.

Contoh kejadian serupa yang dapat kita

temui ialah pada suara lingkungan yang

pada sekelompok warga yang bekerja

sebagai pembuat perhiasan. Dalam

lingkungan warga tersebut dari ujung rumah

warga pertama hingga rumah-rumah warga

satu profesi dapat kita cermati dan

mendengar secara betul. Suara lingkungan

tersebut dapat disadari setelah berjalan

menyusuri rumah warga yang memiliki mata

pencaharian yang sama. Dapat kita dengar

suara-suara dari benda-benda yang ditempa

dan dilebur untuk dibuatkan perhiasan dan

bernilai guna sehingga dapat diperjual

belikan oleh warga itu sendiri. Kejadian ini

terdapat di salah satu desa yaitu Desa Celuk.

Desa Celuk adalah desa kelahiran

penata. Terdapat banyak kejadian dan

peristiwa yang telah dialami oleh penata,

salah satunya adalah menjadi bagian dari

masyarakat bermata pencaharian sebagai

pengerajin perak. Sehari-hari penata sering

mendengar serta melihat orang-orang

membuat kerajinan perak. Dengan teori

soundscape penata mencoba menerapkan

teori tersebut di lingkungan penata sendiri.

Alasan penata memilih lingkungan rumah

untuk mencoba mendengarkan bunyi dan

suara secara betul dan cermat karena pada

lingkungan rumah penata terdapat suara dan

bunyi-bunyian yang setiap harinya

ditimbulkan oleh para pengerajin perak saat

memproses perak menjadi sebuah perhiasan.

Desa Celuk merupakan desa yang terkenal

sebagai penghasil kerajinan perak atau

selaka di Bali. Berdasarkan pernyataan yang

dikemukakan oleh Wisnu Wardana dalam

bukunya yaitu Jewelry of Bali, bahwa

“keberadaan kerajinan perak di Bali

menyebar di beberapa kabupaten antara lain

: Badung, Buleleng, Klungkung, Bangli, dan

Desa Celuk Kabupaten Gianyar. Desa Celuk

sebagai pusat kerajinan perak terbesar di

Bali, dan sudah dikenal hingga

mancanegara” (2016 : 73). Kerajinan perak

sebagai bagian dari seni rupa, disamping

memiliki nilai praktis, ekonomis, dan juga

nilai estetis. Bentuk kerajinan perak Celuk

menekankan pada fungsi kegunaan motif

hias yang mengandung nilai simbolis, estetis

dan sosial (Semara Putra, 2013 : 18).

Keberadaan Desa Celuk yang disebut

sebagai sentra kerajinan perak tidak luput

dari sejarah yang menjadikannya seperti saat

ini. Kerajinan perak sebagai bagian dari seni

rupa, di samping memiliki nilai praktis dan

ekonomis juga memilih nilai estetis. Seni

kerajinan perak dan emas di Desa Celuk

sudah ada sejak jaman sekitar tahun 1915-

an, yang dipelopori oleh keluarga I Nyoman

Gati untuk kebutuhan konsumen dan

kebutuhan keagamaan. Pekerjan ke-pande-

an pada jaman dulu, konsumennya hanya

orang tertentu, selain untuk keperluan

agama, juga konsumennya adalah para Raja

– Ratu maupun Meneer (tuan dan nyonya

Belanda), baik itu di Desa Kamasan

(Klungkung), Beratan (Buleleng), Bangli

maupun Desa Celuk sendiri (Wardana, 2016

: 74).

Kesadaran akan pemandangan suara

dan bunyi nampak jelas ketika proses

pembuatan perak itu berlangsung. Dalam

proses pembuatan perak yang masih dalam

konteks tradisi tersebut, proses ini

mengeluarkan bunyi-bunyian yang

dihasilkan oleh alat-alat pembentuk perak

serta perak yang diolah. Menurut I Ketut

Bawa, salah seorang pengerajin perak di

Celuk memaparkan bahwa, hampir semua

tahapan dari pembuatan kerajinan perak ini

menghasilkan bunyi-bunyi yang memiliki

ciri khas tersendiri. Adapun tahapan-tahapan

pembuatan kerajinan perak yang

menghasilkan bunyi adalah : melebur

(nglebur), memukul perak agar menjadi tipis

(menteng) dan memberi hiasan (ngebunin)

(wawancara tanggal 13 Februari 2018).

Page 4: Selaka - download.isi-dps.ac.id

4

Selaka dalam kamus Bahasa Bali

oleh Sri Reshi Anandakusuma menyebutkan

bahwa kata selaka berarti perak (1986 :

327). Berdasarkan beberapa sumber dari

pengerajin perak sendiri pun mengatakan

bahwa kata selaka merupakan sebuah

penyebutan lain dari perak. Selaka

digunakan sebagai judul karya ini karena hal

yang mendasari terbentuknya garapan ini

“perak” sebagai objek yang diolah menjadi

kerajinan sehingga pada prosesnya

menimbulkan sebuah pemandangan suara

dan bunyi (soundscape) yang merupakan

ciri khas desa Celuk itu sendiri. Jadi,

diharapkan kata Selaka tersebut dapat

mewakili keseluruhan unsur dari garapan

yang menginginkan kearifan lokal desa

menjadi sebuah titik spirit dari penciptaan

karya karawitan.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya

maka timbul ide yang yang melatar

belakangi karya ini yaitu bunyi-bunyian

yang dihasilkan dari proses pembuatan

perak di Desa Celuk. Adapun konsep yang

digunakan adalah ketiga tahapan dari

pembuatan perak tersebut. Ketiga tahapan

tersebut adalah Nglebur, Menteng, dan

Ngebnunin.

PROSES KREATIVITAS

Dalam karya ini penata melalui

beberapa tahapan dalam menjalani proses

kreativitas karya. Terdapat tiga tahapan

yang diambil dari konsep Alma M. Hawkins

dalam bukunya Creating Through Dance

yang dialih bahasakan oleh Y. Sumandiyo

Hadi ISI Yogyakarta, 1990. Disebutkan ada

tiga tahapan dalam proses penggarapan

karya seni antara lain: tahap penjajagan

(eksplorasi), tahap percobaan (improvisasi),

dan tahap pembentukan (forming)

(Sumandiyo Hadi, 2003: 24). Teori ini

diadopsi oleh penata karena pada proses

kreativitas dalam pembuatan karya

komposisi karawitan ini sesuai dengan apa

yang dilakukan penata untuk

mewujudkannya. Teori ini sangat berfungsi

sebagai pemberi arah dan pemberi landasan

dalam berkarya komposisi karawitan yang

baik untuk dipertanggungjawabkan. Adapun

ketiga tahapan ini dijabarkan sebagai

berikut.

Menurut Hawkins, proses pertama

dalam berkreatifitas adalah tahapan

penjajagan. Dalam proses karya, penata

menjalani langkah awal dari keseluruhan

proses kerja komposisi yaitu eksplorasi atau

tahap penjajagan, menjelajahi semua hal

yang berkaitan dengan apa yang diperlukan

dalam mewujudkan sebuah komposisi

karawitan yang diinginkan. Bukan hanya

hal-hal yang berkaitan dengan unsur

musikal, melainkan hal-hal non-musikal

perlu juga dieksplorasi karena

bagaimanapun karya ini akan didukung oleh

unsur musikal dan non-musikal.

Ide dari karya ini seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, berawal dari

kesadaran penata akan lingkungan rumah

yang memiliki kearifan lokal sebagai

kampung penghasil kerajinan perak yang

setiap harinya diselimuti dengan bunyi-

bunyian ditimbulkan dari proses pembuatan

kerajinan perak itu sendiri.

Kenapa hanya bunyi-bunyian yang

dihasilkan oleh proses pembuatan kerajinan

perak saja yang terklarifikasi setelah

eksplorasi ide? Sesuai dengan pernyataan

Suka Harjana dalam bukunya yaitu Estetika

Musik mengatakan bahwa “karena yang

menjadi landasan pernyataan musik adalah

bunyi di dalam ruang dan waktu maka kita

dihadapkan kepada kesulitan justru karena

ruang dan waktu di dalam kenyataan hidup

kita tidak mungkin ditangkap oleh pe-raba-

an maupun penglihatan kita” (2018: 63).

Berdasarkan pernyataan tersebut, penata

memfokuskan diri terhadap bunyi-bunyian

yang didengar oleh penata dalam hal

eksplorasi bunyi pada ide tersebut. Namun,

pada karya ini penata tidak sepenuhnya ada

dalam tanggapan tersebut, karena penata

juga melihat serta meraba bagaimana proses

Page 5: Selaka - download.isi-dps.ac.id

5

pembuatan perak tersebut berlangsung

karena bunyi-bunyian tersebut akan muncul

atau terdengar karena ada bahan-bahan

perak yang diperlakukan sesuai kebutuhan

atau dengan kata lain, bunyi-bunyian

tersebut tidak akan muncul jika tidak ada

manusia penggerak dari benda penghasil

bunyi terebut .

Contohnya seperti di lebur

(nglebur), pada saat nglebur ini terdapat

kompor serta gembus yang digunakan untuk

melebur bahan awal perak tersebut maka

penata juga mengambil fokus pada

visualisasi bagaimana suara itu timbul.

Visualisasi tersebut menurut penata dapat

diterjemahkan ke dalam garapan karya ini

dengan meniru cara melebur sehingga

menimbulkan suara dari nglebur itu sendiri.

Menteng, pada saat menteng ini

terdapat dua buah alat yang digunakan yaitu

paron dan palu serta bahan perak yang sudah

dilebur, dalam tahap menteng ini kembali

penata mengambil dua fokus peluang garap

yang dapat diterjemahkan, pada saat

menteng bahan perak yang sudah dilebur

akan diletakkan di atas paron kemudian

dipukul dengan palu sehingga menghasilkan

bunyi. Kedua hal tersebut memberikan

penata peluang garap sehingga bunyi ini

terklarifikasi untuk dijadikan materi untuk

karya Selaka.

Ngebunin, pada proses ngebunin ini

adalah tahapan pembuatan perak yang tidak

menimbulkan bunyi seperti sebelumnya

karena, pada proses ini adalah proses

memberi hiasan pada perak. Proses

ngebunin memerlukan bahan-bahan hiasan

yaitu jejawanan yang akan ditempel pada

perak yang sudah terbentuk dari proses

menteng tersebut. Hiasan-hiasan perak dari

Desa Celuk terkenal memiliki ciri khas yang

kuat, adapun motif-motif khas dari desa

Celuk adalah motif jejawanan, motif liman

paya, motif buah gonda, motif bun

jejawanan (Wardana, 2016: 80).

Setelah penata mengeksplorasi ide

yang telah dikupas dengan mencari hakekat

serinci mungkin guna dijadikan bahan garap

maka, penata mulai mentafsirkan media

gamelan yang digunakan. Media yang

digunakan adalah media yang dapat meniru

suara nglebur yang menurut penata terkesan

berat, meniru suara menteng yang identik

dengan keras dan nyaring, media yang dapat

menghasilkan nada-nada dan menjalin

banyak melodi untuk mereinterpretasikan

proses ngebunin. Maka instrumen yang

terpilih adalah Gender Wayang, penyacah,

jublag, reong Semarandana serta bende,

gong lanang, gong wadon, kempur. Dalam

pencarian deretan nada antara gamelan

Gender Waayang dan gamelan

Semarandana, penata mendapatkan 9

deretan nada baru berdasarkan pendengaran

penata sendiri.

Setelah terpilihnya media yang

digunakan serta eksplorasi setiap bunyinya

maka, penata mulai mengalihkan fokus pada

pemilihan personil pendukung. Dalam

garapan karya musik Selaka ini dibutuhkan

12 orang penabuh termasuk penata yang

memainkan setiap instrumen yang

digunakan. Pada pemilihan personil

pendukung ini penata memilih orang-orang

yang berkompeten serta komitmen tinggi

guna memperlancar terwujudnya garapan

komposisi karawitan ini.

Setelah melewati proses tersebut

kemudian penata mulai untuk menuliskan

komponen dan unsur-unsur musik dari

warna suara yang tersedia ke dalam sebuah

catatan yaitu notasi lagu. Dalam pencatatan

notasi lagu ini penata menggunkan sistem

notasi ding-dong yaitu sistem notasi Bali

yang menggunakan Aksara Bali karena pada

garapan ini penata menggunakan instrumen

tangga nada pelog dan tangga nada slendro

jadi, memudahkan penata untuk

menerjemahkan lagu ke dalam sebuah

bentuk notasi ding-dong. Tidak luput juga

pada sistem penulisan notasi ini, ada

Page 6: Selaka - download.isi-dps.ac.id

6

beberapa penulisan yang menggunakan

simbol-simbol tertentu karena keterbatasan

simbol dari Aksara Bali yang dapat

mewakili bunyi dari beberapa teknik

permainan instrumen.

Pada tahap terakhir penata mulai

memilih, menghubungkan satu temuan

dengan temuan dengan temuan lainnya, baik

yang berupa warna suara, melodi, ritme dan

dinamika. Tahapan ini juga menyangkut

pengendapan hasil temuan, pertimbangan,

dan pembobotan secara estetis musikalitas.

Penata mulai menghubungkan motif-motif

dan bagian-bagian yang dapat dijadikan

frase-frase lagu yang sesuai dengan tujuan

dari setiap bagiannya. Menambah atau

mengurangi bagian yang telah dilalui agar

tetap mempunyai porsi yang sesuai dengan

kebutuhan karya. Memberikan dinamika

pada setiap bagian atau setiap menit pada

karya agar dapat lebih dijiwai oleh

pendukung serta dapat mengerti maksud dan

tujuan dari karya ini agar tidak asal lewat

saja sehingga karya ini tetap mengandung

nilai artistik dan nilai estetis dalam konteks

karya seni musik karawitan Bali. Semua

tahapan tersebut dilewati karena penata

menginginkan karyanya menjadi sebuah

karya yang dapat terimplementasi sesuai

dengan ide dan konsep yang digunakan.

Gambaran kasar oleh karya ini sudah terlihat

namun, seiring waktu berjalan penata

mengharapkan karya ini dapat selalu

terbenahi untuk menjadi lebih baik sehingga

pada akhirnya karya ini memang benar-

benar terwujud matang sebagai karya seni

musik karawitan Bali.

Namun, tidak dipungkiri bahwa

karya ini mengalami kesulitan-kesulitan

yang pernah membuat penata menjadi tidak

percaya diri dan kehilangan akal untuk

mewujudkannya. Permasalahan utama yang

terjadi adalah keinginan penata dalam dunia

imajinasinya tidak sesuai dengan apa yang

telah terealisasi dalam dunia nyata. Hal

tersebut sangat membebankan penata karena

penata sadar bahwa kemampuan penata

dalam mencipta sebuah karya karawitan

tidaklah dalam dan sempurna tetapi masih

meraba-raba. Penata sering kehabisan akal

akan motif yang digarap sehingga tidak

memungkiri bahwa terdapat banyak motif

yang berulang-ulang sehingga kesannya itu-

itu saja. Peristiwa itu terjadi karena

virtuositas penata yang masih dangkal

sehingga kejadian-kejadian tersebut muncul.

Dalam benak penata semua hal tersebut

memang harus terlewati, hal-hal seperti itu

wajar terjadi dan tidak ada manusia yang

sekali bertindak akan menghasilkan yang

sempurna namun melewati banyak

kegagalan. Permasalahan selanjutnya adalah

pendukung yang kehadirannya sering tidak

kompak. Hal ini juga yang sangat

mempengaruhi konsistensi dalam berkarya

oleh penata. Akibat dari hal ini adalah

penata selalu merubah-rubah lagu yang

sudah terwujud setiap latihannya. Hal ini

terjadi karena penata menyesuaikan dengan

kehadiran pendukung yang memegang

setiap instrumennya, siapapun yang hadir

maka penata akan memaksimalkan pola

pukulan pada instrumen yang

pendukungnya hadir. Hal ini sangat

berpengaruh buruk bagi pola pikir penata

karena konsisten lagu yang telah dibuat

sangatlah susah jika pendukung tidak

lengkap atau silih berganti tidak hadir pada

setiap latihannya.

WUJUD GARAPAN

Deskripsi Karya

Karya karawitan Selaka merupakan

karya musik yang terinspirasi dari

pemandangan bunyi (soundscape) dan motif

perak di Desa Celuk yang terkenal akan

pembuatan kerajinan peraknya. Garapan ini

mereinterpretasikan bunyi-bunyian dari

proses pembuatan perak dan motif-motif

perak tersebut ke dalam bahasa musikal

yang ditata dan diolah sesuai dengan

perspektif serta kemampuan penata.

Page 7: Selaka - download.isi-dps.ac.id

7

Secara musikal karya ini

mengedepankan kebebasan daya cipta

penata dalam menjelajahi ruang imajinasi

yang dimiliki oleh penata yang telah

terbentuk melalui pengetahuan dan

pengalaman yang telah dilalui. Bunyi-

bunyian dan motif tersebut merupakan

bahan serta modal utama dari penata yang

kemudian dikemas dengan apik sehinga

menjadikannya sebuah karya karawitan

yang terwujud dengan utuh.

Media ungkap adalah tempat

mencurahkan serta benda yang akan

menyuarakan ide penata agar dapat terwujud

sehingga dapat diperdengarkan dan

ditampilkan. Instrumen yang digunakan ini

dipilih sesuai dengan karakteristik bunyi-

bunyian serta motif yang digunakan maka,

pentingnya keserasian antara bunyi dan

motif dengan instrumen yang digunakan.

Adapun instrumen yang digunakan adalah 2

intrumen Gong lanang dan wadon, 1 Bende,

1 Kempur, 2 instrumen penyacah

semarandana, 2 instrumen jublag

semarandana, 2 instrumen pemade gender

wayang, 2 instrumen kantilan gender

wayang dan reong semarandana.

Instrumentasi dan Teknik Permainan

Dalam komposisi karawitan

“Selaka” ini menggunakan beberapa

instrumen sebagai media ungkap serta

teknik permainan yang digunakan sebagai

berikut :

Barungan gamelan Gender Wayang

Ensambel ini terdiri dari empat

gender masing-masing dengan sepuluh

bilah, dua wilayah tengah dan dua lainnya

pada satu oktaf lebih tinggi. Gender ini

dimainkan dengan teknik instrumental yang

sulit, menggunakan sepasang pemukul dari

kayu dengan ujungnya yang berbentuk

piringan kecil, sedangkan suara bilahnya

ditutup dengan ujung jari atau pangkal

tangan. Tangan kiri dan tangan kanan

memainkan musik yang berbeda, biasanya

terkonfigurasikan dengan tangan kiri

memainkan melodi dan tangan kanan

memainkan kotekan (Tenzer, 1990 : 251).

Penata menggunakan satu barung gamelan

Gender Wayang dalam garapan ini karena

ingin mendapatkan wilayah nada yang lebih

luas yaitu 2 oktaf dari instrumen pemade dan

2 oktaf lebih kecil di instrumen kantilan

daripada instrumen pemade.

Gambar 4.1

Barungan Gamelan Gender Wayang

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Suharta dan Suryatini dalam

penelitiannya juga menjelaskan bahwa

disamping teknik permainan dasar yang

disebut kumbang atarung dengan jenis

pukulan sesuai fungsinya, Gender Wayang

sangat kaya dengan motif-motif permainan.

Gending-gending gender wayang sangat

banyak jumlahnya, sehingga memberi ruang

dan formulasi yang beraneka ragam untuk

melahirkan motif dan jenis pukulan dengan

istilah tertentu, untuk menunjukkan

“identitasnya” (2013 : 52-54). Dari semua

teknik dan motif pukulan yang dimiliki oleh

repertoar gender wayang, maka pada

garapan karawitan ini menggunakan

beberapa teknik dan motif pukulan yaitu

Ngempyung atau Ngero, Nyintud, Ngoret,

Ngerot, Nerumpuk, Nendet dan Oncag-

oncagan. Hal tersebut adalah hal dasar yang

membentuk identitas dari barungan gender

wayang sendiri, maka dari itu dalam

pengolahan pukulan gender wayang pada

garapan ini tetap berpijak pada dasar dan

mengembangkannya sesuai dengan porsi

garap yang diinginkan oleh penata.

Page 8: Selaka - download.isi-dps.ac.id

8

Gamelan Semarandana

Barungan gamelan Semarandana

merupakan gamelan yang menyerupai

gamelan Gong Kebyar. Hanya saja gamelan

Semarandana terdapat dua nada tambahan

atau sering disebut dengan nada pemero

yaitu deung (6) dan daing (2). Pada

garapan karawitan ini penata hanya

menggunakan beberapa instrumen dari

gamelan Semarandana, yaitu : Penyacah,

Jublag, Reong, Gong, Kempur dan Bende.

Menurut Sachs dan Hornbostel pada

Bandem mengatakan bahwa instrumen

musik diklasifikasikan menjadi 5 golongan

yaitu idiofon (instrumen pukul),

membranofon (kulit dicecangkan), kordofon

(dawai), aerofon (ditiup), dan electrofon

(bunyi yang ditimbulkan oleh listrik) (2013

: 121-124). Dari beberapa instrumen

barungan gamelan Semarandana,

instrumen-instrumen tersebut

diklasifikasikan ke golongan idiofon.

Gong

Instrumen ini bentuknya bulat,

dengan garis tengah 70-100 cm dengan

menggunakan sebuah pencon (tonjolan)

diangkat dari permukaannya setinggi 6 cm

dan lebarnya 6 cm. Dalam gamelan Gong

Kuna atau Gong Kebyar digunakan dua

jenis gong yaitu gong wadon dan lanang.

Gong dimainkan dengan sebuah panggul

yang dilapisi dengan kain dan gong tersebut

berfungsi untuk memberi frase akhir atau

pukulan akhir dari sebuah lagu.

Gambar 4.2

Gong Lanang dan Wadon

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Selain sebagai pemberi frase akhir

lagu, pada garapan ini gong berfungsi

sebagai pemberi kesan berat dan besar,

berfungsi sebagai instrumen yang digesek

oleh panggul kayu sehingga menimbulkan

bunyi seperti keluarnya api yang tujuannya

untuk mereinterpretasikan bunyi api dari

pembuatan perak serta berfungsi sebagai

instrumen yang mewakili dari proses

menteng dari serangkaian tahapan

pembuatan kerajinan perak.

Kempur

Kempur atau kempul merupakan

jenis gong yang ukurannya menengah, lebih

kecil dari gong wadon dan lanang. Dalam

permainan lagu-lagu gamelan, kempur

biasanya berfungsi sebagai semi finalis dari

sebuah melodi dan dimainkan silih berganti

dengan gong wadon dan lanang.

Gambar 4.3

Kempur

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Selain sebagai semi finalis dari

sebuah melodi, pada garapan ini kempur

berfungsi sama seperti gong namun,

dominan kempur sebagai pemegang tempo

dan mengikuti jatuhnya pukulan bende.

Bende

Bende atau Bebende merupakan

instrumen sejenis kempur dan ukurannya

juga sebesar kempur akan tetapi nadanya

tidak senyaring kempur, akibat tonjolannya

dibuat agak datar tidak seperti pencon pada

kempur. Bende dimainkan dengan sebuah

panggul dan mengisi berbagai ritme dalam

gamelan, memakai teknik permainan yang

berbeda dengan permainan kempur. Bende

berfungsi untuk memperkaya ritme.

Page 9: Selaka - download.isi-dps.ac.id

9

Gambar 4.4

Bende

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Fungsi bende pada karya Selaka ini

adalah sangat penting karena pada bagian

dua karya ini, instrumen bende menjadi

instrumen pokok karena bunyi dari bende

sendiri dapat mewakili bunyi menteng yang

dihasilkan dari proses pembuatan perak

tersebut. Pada bagian dua karya ini musikal

bende mendominir dari instrumen-

instrumen lainnya. Teknik pemukulan bende

tidak sama dengan teknik pemukulan bende

pada biasanya. Pada karya ini instrumen

bende dipukul pada bagian pinggir dan

ditutup dengan telapak tangan sehingga

mendpatkan bunyi nyaring dan keras serta

memiliki reng (gelombang) yang pendek

sesuai kebutuhan garapan. Teknik tersebut

dapat mewakili bunyi yang diinginkan.

Reong

Bentuk instrumen ini serupa dengan

terompong dan terdapat sebanyak 12 (dua

belas) gong di atas deretan sebuah resonator

kayu. Reong dimainkan oleh empat pemain

dan masing-masing menggunakan dua buah

panggul. Dalam gamelan gong kuna atau

gong kebyar, reong ini dimainkan sebagai

pembawa ritme dengan teknik permainan

yang disebut ubit-ubitan, kotekan atau

cecandetan.

Dalam karya ini instrumen reong

dimainkan oleh tiga orang karena

keterbatasan pendukung maka penata

memutuskan hanya menggunakan tiga

pemain reong tanpa mengurangi makna

dalam memainkan reong tersebut. Reong

dengan laras pelog saih pitu, penata

menggunakan hanya 10 nada saja yaitu 3 (ding), 4 (dong), 5 (deng), 6 (deung), 7 (dung), 1 (dang), 2 (daing), 3 (ding), 4 (dong), 5 (deng). Alasan penata

menggunakan wilayah nada tersebut dan

tidak menggunakan keseluruhan nada ialah

wilayah nada tersebut dapat memenuhi

kebutuan garapan, penata memaksimalkan

pemain reong yang biasanya empat orang

tapi pada karya ini menggunakan tiga orang,

maka dari itu jumlah nada yang digunakan

dikurangi dari biasanya tanpa mengurangi

identitas dari reong pelog saih pitu itu

sendiri.

Gambar 4.5

Reong Semarandana (saih pitu)

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Teknik yang digunakan pada

instrumen reong pada garapan ini adalah

lebih mengisi sela-sela ritme dalam garapan

dan juga tidak terlalu menggunakan motif

kotekan atau cecandetan namun, lebih

bermain pada pemangku melodi karena

reong pada garapan ini lebih berfungsi

sebagai pembawa melodi terutama pada

bagian tiga dari garapan ini yaitu mengolah

melodi yang berbeda pada setiap instrumen

pemangku lagu.

Jublag

Instrumen ini sama bentuknya

seperti instrumen jegogan hanya nadanya

diatur satu oktaf lebih tinggi dari nada

jegogan. Jublag ini disebut juga dengan

calung dan fungsinya untuk memangku

lagu atau menggarisbawahi melodi dan juga

Page 10: Selaka - download.isi-dps.ac.id

10

menggunakan sistem ombak (ngumbang

ngisep). Jublag Semarandana memiliki 7

nada sesuai dengan laras yang digunakan

yaitu pelog saih pitu.

Gambar 4.6

Jublag Semarandana (saih pitu)

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Teknik yang digunakan instrumen

jublag pada karya ini adalah menggunakan

teknik kotekan yang terintegrasi dengan

sesama jublag atau instrumen gender

wayang dan instrumen lainnya. Jublag juga

menjalankan fungsinya sendiri sebagai

pemangku lagu.

Penyacah

Penyacah merupakan keluarga

gender yang bentuknya sama dengan jublag,

hanya nadanya satu oktaf lebih tinggi dari

jublag. Penyacah fungsinya juga untuk

memangku lagu seperti jublag hanya saja

penyacah bermain dua kali lipat dari jublag

atau calung. Fungsi utama memberi penyela

antara pukulan jublag dan juga

menggunakan sistem ombak (ngumbang

ngisep). Penyacah Semarandana memiliki 7

nada sesuai dengan laras yang digunakan

yaitu pelog saih pitu.

Gambar 4.7

Penyacah Semarandana (saih pitu)

(Doc. Ni Nyoman Srayamurtikanti)

Teknik yang digunakan instrumen

penyacah pada karya ini adalah

menggunakan teknik kotekan yang

terintegrasi dengan sesama penyacah atau

instrumen gender wayang dan instrumen

lainnya. Penyacah juga menjalankan

fungsinya sendiri sebagai pemangku lagu

dan permainan penyacah lebih lincah atau

lebih kerap dibandingkan dengan jublag.

Dari seluruh instrumen yang

digunakan, penata memilih instrumen-

instrumen tersebut karena penata

menginginkan instrumen yang dapat

mewakili bunyi dari setiap tahapan proses

pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk.

Setiap instrumen dapat dieksplorasi lebih

dalam bunyi yang dapat dihasilkan dengan

menemukan sendiri bagaimana cara

memainkan instrumen tersebut sehingga

reinterpretasi itu terwujud sesuai dengan

kebutuhan garapan.

Analisis Simbol

Dalam pencatatan karya ini, penata

menggunakan notasi deskriptif. Adapun

simbol-simbol yang digunakan adalah

simbol yang biasanya digunakan di dalam

pencatatan gending pada gamelan Bali, yaitu

sistem notasi Ding-Dong dan menggunakan

sistem notasi yang dirangkai secara

subyektif oleh penata guna untuk

mempermudah pembuatan komposisi yang

menggunakan dua tangga nada atau laras

yaitu pelog 7 nada dan slendro serta

pemberian simbol terhadap instrumen gong,

kempur dan bende yang dimainkan sesuai

dengan eksplorasi bunyi pada instrumen itu

sendiri.

Analisa Pola Struktur

Pada bagian pertama atau Nglebur

penata menafsir ulang bunyi nglebur yang

terjadi dalam proses pembuatan kerajinan

perak di Desa Celuk. Penata menginginkan

musik nglebur ini memberikan tekanan berat

dan besar. Selain tekanan musik yang berat

dan besar, penata memberikan bunyi api

yang keluar dari kompor dengan cara

Page 11: Selaka - download.isi-dps.ac.id

11

menggeret permukaan gong, kempur dan

bende dengan ujung panggul reong yang

ditarik ke atas, ke bawah dan ke samping

sehingga menimbulkan bunyi seperti api

yang terus menerus keluar dari kompor.

Pada realita proses pembuatan kerajinan

perak, tahap nglebur ini menggunakan

gembus yang ditekan secara konstan untuk

memberi angin kepada kompor agar api

tetap hidup. Dalam karya ini penata

menerjemahkan hal tersebut pada tempo

yang digunakan dalam musik namun,

konstan tersebut tidak akan selamanya

digunakan melainkan penata membuat

tempo yang bisa berubah setiap saat serta

unsur ritmiknya dibuat lebih variatif

sehingga tidak konstan saja melainkan ada

unsur dinamika yang digunakan dalam

bagian ini.

Pada bagian kedua atau Menteng

penata menafsir ulang bunyi menteng yang

terjadi dalam proses pembuatan kerajinan

perak di Desa Celuk. Penata

memaksimalkan bunyi menteng dengan

seluruh instrumen namun, instrumen yang

mendominir adalah bende karena instrumen

bende adalah instrumen yang bunyinya

mendekati bunyi menteng pada realita

pembuatan kerajinan perak di Desa Celuk.

Bunyi yang keras dan nyaring serta memiliki

gelombang suara yang pendek

dimaksimalkan pada bagian ini.

Pada bagian ketiga atau Ngebunin

penata menafsir bentuk dari motif-motif

perak di Desa Celuk. Motif khas yang

dimiliki adalah liman paya, buah gonda dan

jejawanan. Namun, pada karya ini penata

memilih satu motif saja yaitu liman paya.

Motif liman paya terinspirasi dari ujung

buah pare yang berbentuk spiral

menggulung ke bawah. Bentuk spiral yang

ada pada motif liman paya ini menjadi

konsep dari bagian tiga atau ngebunin.

Spiral (berputar) adalah suatu jalan tunggal

menerus, yang berasal dari titik pusat,

mengelilingi pusat dengan jarak yang

berubah (D.K. Ching, 2000 : 253).

Berdasarkan pernyataan dari Ching tentang

bentuk spiral maka bentuk dan pergerakan

spiral tersebut selain merupakan definisi dari

motif liman paya juga menjadi alur konsep

bagian tiga ini.

PENUTUP

Garapan Selaka adalah komposisi

karawitanyang terinspirasi dari suara

lingkungan (soundscape) Desa Celuk yang

terkenal dengan bunyi-bunyian hasil dari

proses pembuatan kerajinan perak. Sumber

inspirasi atau ide gagasan dari karya

dituangkan ke dalam sebuah karya

komposisi karawitansecara garis besar dapat

disimpulkan sebagai berikut :

Karya komposisi Selaka

menggunakan media ungkap barungan

gamelan Gender Wayang dan beberapa

instrumen dari barungan gamelan

Semarandana yaitu reong, penyacah, jublag,

bende, kempur dan gong. Beberapa

instrumen tersebut dipilih karena dapat

mereinterpretasikan ide gagasan penata

yaitu menerjemahkan bunyi-bunyian yang

ditimbulkan oleh proses pembuatan

kerajinan perak ke dalam bentuk bahasa

musik.

Secara struktural karya komposisi

Selaka ini terdiri dari tiga bagian yaitu

Nglebur, Menteng dan Ngebunin. Ketiga

bagian tersebut diambil atau diadopsi

langsung dari proses pembuatan perak di

Desa Celuk yang memiliki daya tarik untuk

dijadikan sebuah komposisi musik.

Karya komposisi karawitanSelaka

dimainkan oleh dua belas pemain termasuk

penata. Para pemain adalah teman-teman

dari anggota Sanggar S’mara Murti yang

memiliki kemampuan memadai dalam

setiap instrumennya.

Karya komposisi karawitanSelaka

mnafsir ulang kembali bunyi-bunyian hasil

dari proses pembuatan kerajinan perak yang

diterjemahkan ke dalam bahasa musik sesuai

Page 12: Selaka - download.isi-dps.ac.id

12

dengan kemampuan dan daya cipta penata

dalam membuat karya musik.

Karya komposisi karawitanSelaka

disajikan konsert dengan durasi waktu 14

menit, 43 detik di panggung berbentuk

proscenium Gedung Natya Mandala ISI

Denpasar.

DAFTAR PUSTAKA

Anandakusuma, Sri Reshi. 1986. Kamus

Bahasa Bali. Denpasar : CV.

Kayumas Agung.

Aryasa dkk, I Wayan. 1984/1985.

“Pengetahuan Karawitan”. Denpasar

: Departemen Pendidikan Dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal

Kebudayaan Proyek Pembangunan

Kesnian Bali.

D.K. Ching, Francis. 2000. Arsitektur

Bentuk, Ruang dan Tatanan. Jakarta

: Erlangga.

Hadi, Y Sumandiyo. 2003. Mencipta Lewat

Tari (terjemahan buku Creating

Through Dance karya Alma M.

Hawkins). Yogyakarta : Manthili

Yogyakarta.

Hardjana, Suka. 2018. Estetika Musik

Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Art

Music Today.

Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos

Sebuah Pengantar Etnomusikologi.

Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Putra, I Wayan Adi Semara. 2013. “Media

Komunikasi Visual Motif Perak

Sebagai Identitas Desa Celuk”, Tesis

Program Pasca Sarjana Institut Seni

Indonesia Denpasar.

Sugiartha, I Gede Arya. 2012. Kreatifitas

Musik Bali Garapan Baru Perspektif

Cultural Studies. Denpasar : UPT.

Institut Seni Indonesia Denpasar.

Tenzer, Michael. 2000. Gamelan Gong

Kebyar : Seni Musik Bali Abad Ke-

Dua Puluh. Indonesia : MSPI.

Wardana,Wisnu. 2016. Jewelry Of Bali.

Denpasar : Biro Promosi dan

Pengembangan Pariwisata Budaya.

SUMBER DISKOGRAFI

Hejny, Zachary. 2015. Karya Musik “ Netra

“. (Rekaman Audio Pribadi Ni

Nyoman Srayamurtikanti).

Suryadi, I Nyoman. 2013. Karya

Sandyagitha “ Tirta Empul Maha

Urip”. (Rekaman Audio Pribadi Ni

Nyoman Srayamurtikanti).

Winda, I Nyoman. 1999. Karya Tabuh

Kreasi “ Gasal “. (Rekaman Audio

Pribadi Ni Nyoman

Srayamurtikanti).