Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda...
Transcript of Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda...
MEKANISME MENDETEKSI DAN MENGUNGKAP KARTEL
DALAM HUKUM PERSAINGAN
Oleh: A.M. Tri Anggraini
A. PENGANTAR
Hambatan dalam perdagangan oleh para pelaku usaha biasanya dilakukan
dengan maksud untuk mencegah terjadinya proses persaingan yang wajar,1 sehingga
dapat menimbulkan kerugian yang signifikan dalam kegiatan usaha, terutama bagi para
pihak yang berkaitan langsung dengan bidang-bidang usaha bersangkutan.2 Salah satu
upaya untuk mencegah terjadinya hambatan yang bersifat merugikan tersebut adalah
melalui pengaturan hukum. Amerika Serikat mengatur pencegahan hambatan
perdagangan yang merugikan dalam Section 1 The Sherman Act 1890 yang
menyatakan, bahwa “setiap perjanjian, penggabungan dalam bentuk trust atau yang
lainnya, atau konspirasi, dalam bentuk hambatan perdagangan antar Negara (Bagian),
atau dengan negara asing, harus dinyatakan sebagai ilegal”.3 Demikian pula negara-
negara yang tergabung dalam Pasar Bersama Eropa mengatur melalui Article 81 of the
European Community (EC) Treaty, yang melarang segala bentuk ketidak-harmonisan
dalam pasar bersama, yakni persekongkolan di antara pelaku usaha yang dapat
mempengaruhi perdagangan antar negara anggota dan atau berakibat membatasi
persaingan dalam pasar bersama.4 Salah satu negara yang tergabung dalam Pasar
Bersama Eropa, yaitu Jerman juga melarang segala bentuk perjanjian di antara pelaku
usaha, baik yang tergabung dalam asosiasi maupun tindakan kerjasama lainnya, yang 1 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, bahwa “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”. 2 Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law (Westbury, New York: The Foundation Press, 1993), h. 117. 3 Section 1 The Sherman Act: “Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several States, or with foreign nations, is declared to be illegal”. 4 Article 81 (1) of The EC Treaty: “The following shall be prohibited as incompatible with the common market: all agreements between undertakings, decisions by associations of undertakings and concerted practices which may affect trade between member states and which have their object or effect the prevention, restriction or distortion of competition within the common market, and in particular those which…”
1
berakibat membatasi atau merusak persaingan.5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga mengatur
hambatan perdagangan yang bersifat ilegal, meskipun pengaturannya ditetapkan
secara menyebar di berbagai Bagian (Bab) dalam Undang-undang, yakni dalam Bab III
mengenai Perjanjian yang Dilarang dan Bab IV mengenai Kegiatan yang Dilarang.
Pada hakekatnya terdapat dua jenis hambatan dalam perdagangan, yakni
hambatan horisontal dan vertikal. Ketika para pesaing dalam bidang usaha tertentu
terlibat dalam perjanjian (kesepakatan) yang mempengaruhi perdagangan di wilayah
tertentu, maka tindakan ini disebut dengan hambatan horisontal.6 Hambatan horisontal
diartikan secara luas sebagai suatu perjanjian yang bersifat membatasi dan praktek
kerjasama (concerted practices), termasuk perjanjian yang secara langsung atau tidak
langsung menetapkan harga atau persyaratan lainnya, seperti perjanjian yang
menetapkan pengawasan atas produksi dan distribusi, alokasi (pembagian) kuota atau
wilayah atau pertukaran informasi/data mengenai pasar, dan perjanjian menetapkan
kerjasama dalam penjualan maupun pembelian secara terorganisasi, atau menciptakan
hambatan masuk pasar (entry barriers).7
Perjanjian yang bersifat membatasi (restrictive agreements) adalah terlarang jika
dilakukan antara pelaku usaha privat maupun publik, dengan kata lain bahwa perjanjian
tersebut disetujui oleh semua individu, rekanan (partnership), perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha tertentu dalam hal penjualan barang atau jasa perdagangan
berkaitan dengan pelaku usaha. Namun demikian, perjanjian di antara pelaku usaha
pengawas (controlling) dan yang diawasi (controlled), misalnya antara perusahaan
induk (parent companies) dan anak perusahaan (subsidiary companies), atau antara
perusahaan-perusahaan yang terafiliasi bukan termasuk dalam jenis perjanjian ini,
5 Article 1 German Antitrust Act: “Agreements between competing undertakings, decisions by associations of undertakings and concerted practices which have as their object or effect the prevention, restriction or distortion of competition, shall be prohibited”. 6 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications, (New York: Matthew Bender & Co.), 1994, h. 75. 7 Martin Heidenhain et. al., German Antitrust Law (Frankfurt am Main: Verlap Fritz Knapp GmbH, 1999), h. 17.
2
karena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang
berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal.8
Hambatan vertikal adalah hambatan perdagangan yang dilakukan oleh para
pelaku usaha dari tingkat (level) yang berbeda dalam rangkaian produksi dan
distribusi.9 Secara umum hambatan vertikal adalah hambatan atau pembatasan yang
ditetapkan oleh pabrikan (manufacture) atau distributor atas kegiatan usaha dari
pengecer.10 Analisis atas hambatan vertikal terdiri atas dua kategori, pertama, adalah
perjanjian yang dilakukan oleh penjual untuk mengontrol faktor-faktor yang berkaitan
dengan produk yang akan dijual kembali. Sebagai contoh, misalnya pabrikan hanya
mau menjual kepada pengecer yang menyetujui untuk menjual kembali produknya
dengan harga tertentu. Dalam hal ini, pabrikan kadangkala juga menentukan kepada
jenis pelanggan mana barang tersebut dapat dijual, bahkan menetapkan lokasi
penjualan produknya. Akibat langsung dari kategori (jenis) hambatan ini adalah
persaingan antara para penjual dalam produk sejenis atau disebut juga intrabrand
competition. Kategori yang kedua, adalah meliputi usaha-usaha penjual untuk
membatasi pembelian yang dilakukan oleh pembeli atas penjualan produk pesaingnya.
Contoh jenis hambatan ini terlihat dari tindakan tying arrangement, di mana seorang
penjual hanya akan menjual suatu jenis produk jika pembeli bersedia membeli jenis
produk lainnya dari penjual yang sama. Kemungkinan yang lain adalah penjual hanya
menjual produknya dengan suatu persyaratan, bahwa pembeli harus membeli seluruh
komponen yang dibutuhkan kepada penjual tersebut. Pembatasan seperti ini
mengakibatkan persaingan antar brands atau interbrand competition.11
B. LARANGAN KARTEL DALAM UU NOMOR 5 TAHUN 1999
Istilah kartel terdapat dalam beberapa bahasa seperti "cartel" dalam bahasa
Inggris dan kartel dalam bahasa Belanda. "Cartel" disebut juga "syndicate" yaitu suatu
kesepakatan (tertulis) antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang sejenis
8 Ibid. 9 Lawrence Anthony Sullivan, Antitrust (St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1977), h. 657. 10 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Op. Cit., h. 149. 11 Ibid.
3
untuk mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran
dan sebagainya, dengan tujuan menekan persaingan dan atau persaingan usaha pada
pasar yang bersangkutan. dan meraih keuntungan.12
Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun di sisi lain juga diartikan
secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya
saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk ”menetapkan
harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam pengertian luas, kartel
meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan
pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel yang paling umum terjadi di kalangan
penjual adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian pembagian wilayah pasar atau
pelanggan, dan perjanjian pembatasan output. Sedangkan yang paling sering terjadi di
kalangan pembeli adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi wilayah dan
big rigging.13 Para pengusaha sejenis dapat mengadakan kesepakatan untuk
menyatukan perilakunya sedemikian rupa, sehingga mereka terhadap konsumen
berhadapan sebagai satu kesatuan, yang dampaknya adalah seperti memegang
monopoli. Hal yang demikian disebut "kartel ofensif". Pengaturan persaingan juga bisa
diadakan untuk menghindarkan diri dari cara-cara bersaing yang sudah menjurus pada
penghancuran diri sendiri, karena sudah menjurus pada perang harga dengan harga
yang lebih rendah daripada harga pokoknya. Persaingan sudah terjerumus pada "cut
throat competition". Dalam keadaan yang demikian, semua perusahaan akan merugi,
dan akhirnya bangkrut. Kalau pengaturan persaingan di antara perusahaan sejenis
dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang demikian, namanya adalah
"kartel defensif". Kalau kartelnya defensif, pemerintah justru memberikan kekuatan
hukum kepada kartel defensif tersebut, sehingga yang tidak ikut di dalam kesepakatan
dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk ikut mematuhi kesepakatan mereka.
Adapun yang mendorong pendirian kartel adalah persaingan keras di pasar.
Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga
12Hasim Purba, Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern. (On-line) tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf (14 September 2007 ).
13 Ridwan Khairandy, ed, Op. Cit., h. 263.
4
bersama, mengatur produksi, bahkan menentukan secara bersama potongan harga,
promosi, dan syarat-syarat penjualan lain. Biasanya, harga yang dipasang kartel adalah
jauh lebih tinggi daripada harga yang terjadi kalau tidak ada kartel. Adanya kartel juga
bisa melindungi perusahaan yang tidak efisien, yang bisa hancur bila tidak masuk
kartel. Dengan demikian, ada beberapa persyaratan untuk mendirikan kartel. Pertama,
semua produsen besar dalam satu industri masuk menjadi anggota. Ini supaya terdapat
kepastian bahwa kartel benar-benar kuat. Kedua, semua anggota harus taat melakukan
apa yang diputuskan bersama. Ketiga, jumlah permintaan terhadap produk mereka
terus meningkat. Kalau permintaan turun, kartel kurang efektif, karena makin sulit
mempertahankan tingkat harga yang berlaku. Keempat, sulit bagi pendatang baru
untuk masuk dalam pasar bersangkutan.
Kondisi yang menguntungkan kartel meliputi hambatan atau lambannya masuk
pasar, termasuk biaya terbuang (sunk cost) dan permintaan yang tidak elastis pada
harga bersaing. Biaya tinggi masuk pasar merupakan hambatan jika pendatang baru
harus memikul beban lebih tinggi dibanding dengan perserta/ anggota (kartel) yang
sudah ada. Rendahnya kecepatan masuk pasar dapat mendorong kartelisasi, walaupun
jika hanya mengizinkan pelaku usaha yang ada meraih keuntungan jangka pendek.
Hambatan lain masuk pasar dapat mencakup masalah-masalah biaya dan permintaan,
termasuk paten dan perizinan, langkanya sumber daya, dan diferensiasi produk atau
kesetiaan konsumen. Kondisi lain yang menguntungkan kartel ialah biaya pelaksanaan
dan kebijakan yang rendah – semakin sedikit pelaku usaha peserta, semakin mudah
melaksanakannya.14
Sementara itu, pengaturan tentang larangan kartel di Amerika Serikat diserahkan
pada otoritas lembaga persaingan, yang memiliki peranan dalam menjaga dan
mempertahankan persaingan usaha yang fair. Peranan utama pengaturan antitrust di
Amerika Serikat melalui The Sherman Act bukanlah pada pengawasan perusahaan
yang monopolis, melainkan lebih pada transaksi yang bersifat anti kompetitif, seperti
perjanjian antara para pesaing untuk menetapkan harga, membatasi output, membagi
14 Luis Tineo, Maria Coppola.Op.Cit.h.13
5
(wilayah) pasar, atau mengesampingkan pesaing lainnya.15 Perjanjian jenis ini sering
disebut sebagai hambatan perdagangan yang terang-terangan atau langsung (naked
restraint), perilaku kartel, atau persekongkolan. Kebanyakan negara yang memandang
kartel sebagai pelanggaran persaingan yang paling serius, bahkan di beberapa negara
perjanjian kartel dituntut sebagai tindakan kriminal.16
1. Kartel dalam pengertian luas
Kartel kadangkala didefinisikan secara sempit, namun di sisi lain juga diartikan
secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya
saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan
harga” guna meraih keuntungan monopolis.17 Sedangkan dalam pengertian luas, kartel
meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan
pelanggan, dan menetapkan harga.18 Jenis kartel yang paling umum terjadi di kalangan
penjual adalah perjanjian penetapan harga, persekongkolan penawaran tender (bid
rigging), perjanjian pembagian wilayah (pasar) atau pelanggan, dan perjanjian
pembatasan output. Sedangkan yang paling sering terjadi di kalangan pembeli adalah
perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi dan bid rigging.19
Jenis perjanjian horisontal yang dianggap paling merugikan atau bahkan dapat
berakibat mematikan persaingan adalah kartel. Terdapat banyak bentuk kartel yang
memungkinkan usaha yang bersaing membatasi persaingan melalui kontrak
diantaranya yaitu :
15 Ernest Gellhorn, Antitrust Law and Economics in a Nutshell, (St. Paul, Minn.: West Publishing, Co., 1986), h. 153. Lihat pula Section 1 The Sherman Act of 1890. 16 R. Shyam Khemani et al., A Framework for The Design and Implementation of Competition Law and Policy, (Washington, D.C.-Parish: The World Bank-OECD, 1999), h. 20. 17 Herbert Hovenkamp, Antitrust (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1993), h. 71. 18 ”A cartel is a formal agreement among firms in an olygopolistic industry. Cartel members may agree on such matters as prices, total industry output, market shares, allocation of customers, allocation of territories, bid-rigging, establishment of common sales agencies, an the division of profits or combination of these”. R. S. Khemani and D. M. Shapiro, Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law (Paris: OECD, 1996), h. 7. 19 R. Shyam Khemani et al., Op. Cit. h. 21.
6
a. Kartel Harga Pokok (prijskartel)Di dalam kartel harga pokok, anggota-anggota menciptakan peraturan
diantara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan besarnya Iaba.
Pada kartel jenis ini ditetapkan harga penjualan bagi para anggota kartel.
Benih dari persaingan kerapkali juga datang dari perhitungan Iaba yang akan
diperoleh suatu badan usaha. Dengan menyeragamkan tingginya laba, maka
persaingan diantara mereka dapat dihindarkan.20
b. Kartel Harga
Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan barang-barang
yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota tidak
diperkenankan untuk menjual barang-barangnya dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota-
anggota itu diperbolehkan menjual di atas penetapan harga, akan tetapi atas
tanggung jawab sendiri.21
c. Kartel Kontingentering
Di dalam jenis kartel ini, masing-masing anggota kartel diberikan jatah dalam
banyaknya produksi yang diperbolehkan. Biasanya perusahaan yang
memproduksi lebih sedikit daripada jatah yang sisanya menurut ketentuan,
akan diberi premi hadiah, namun jika melakukan yang sebaliknya maka akan
didenda. Maksud dari pengaturan ini adalah untuk mengadakan restriksi yang
ketat terhadap banyaknya persediaan barang, sehingga harga barang-barang
yang mereka jual dapat dinaikkan. Ambisi kartel kontingentering biasanya
untuk mempermainkan jumlah persediaan barang dengan cara menahan dan
mengatur ketersediaan barang tetap dalam kekuasaannya.22
d. Kartel Kuota
20Hasim Purba, Op.Cit., h.921ibid22ibid
7
Kartel kuota adalah pembagian volume pasar diantara para pesaing usaha.
Disini ditetapkan volume produksi dan atau penjualan tertentu atau ditentukan
batas maksimal untuk volume produksi dan/atau penjualan yang
diperbolehkan, dan kuota tersebut biasanya dijamin oleh pengaturan pasokan
atau pembayaran pengimbangan dalam hal volume produksi atau pemasaran
yang telah ditetapkan dilewati. Kartel kuota bertujuan untuk menaikkan
tingkat harga.23
e. Kartel Standart atau Kartel Tipe
Kartel standar dan Kartel tipe adalah perjanjian yang dibuat antara pelaku
usaha mengenai standart, tipe, jenis atau ukuran tertentu yang harus ditaati.
Perjanjian tersebut mengakibatkan pembatasan produksi karena pelaku
usaha dihalangi untuk menggunakan standar atau tipe lain. Perjanjian
tersebut dengan cara yang khas tidak hanya menghambat persaingan
kualitas, melainkan secara tidak langsung mempengaruhi persaingan harga
diantara para anggota kartel.24
f. Kartel Kondisi
Kartel kondisi adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha mengenai
standardisasi ketentuan perjanjian, yang tidak berkaitan langsung atau tidak
langsung dengan harga, tetapi berkaitan dengan unsur lain dalam perjanjian
bersangkutan. Perjanjian tersebut bertujuan untuk menghambat penjualan,
oleh karena anggota kartel tidak dimungkinkan untuk membuat perjanjian lain
dengan mitra kontrak individu. Setiap kondisi kurang lebih mempengaruhi
harga, hal mana dapat terjadi melalui mekanisme pasar, atau dengan
memperhatikan pembagian resiko dari segi kalkulasi (tanggung jawab dan
jaminan) serta melalui kondisi tambahan yang harus dipenuhi (pengemasan,
pengiriman, pelayanan).25
23Knud Hansen,et.al.,Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta : Katalis, 2002 ), h 208
24ibid., h. 209.25ibid., h 210.
8
g. Kartel Syarat
Dalam kartel ini memerlukan penetapan-penetapan di dalam syarat-syarat
penjualan misalnya kartel yang menetapkan standar kualitas barang yang
dihasilkan atau dijual, dan/atau menetapkan syarat-syarat pengiriman,
apakah ditetapkan loco gudang, Fob, C&F, Cif, embalase atau
pembungkusan dan syarat-syarat pengiriman lainnya. Tujuan yang dimaksud
oleh para anggota adalah keseragaman diantara para anggota kartel.
Keseragaman itu perlu di dalam kebijakan harga, sehingga tidak akan terjadi
persaingan diantara mereka.26
h. Kartel Laba atau Pool
Di dalam kartel anggota kartel biasanya menentukan peraturan yang
berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Misalnya bahwa laba kotor
harus disentralisasikan pada suatu kas umum kartel, kemudian laba bersih
kartel akan dibagikan diantara mereka dengan perbandingan tertentu pula.27
i. Kartel Rayon
Kartel rayon atau kadang-kadang juga disebut kartel wilayah pemasaran
untuk mereka. Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh penetapan harga
untuk masing-masing daerah. Kartel rayon juga menentukan suatu peraturan
bahwa setiap anggota tidak diperkenankan menjual barang-barangnya di
daerah lain. Dengan ini dapat dicegah persaingan diantara anggota, yang
mungkin harga-harga barangnya berlainan.28
j. Sindikat Penjualan atau Kantor Sentral Penjualan
Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil produksi dari
anggota harus melewati sebuah badan tunggal ialah kantor penjualan pusat.
26Hasim Purba, Op.Cit, h.927ibid28ibid
9
Melalui pemusatan penjualan seperti ini, maka persaingan diantara mereka
akan dapat dihindarkan.29
2. Penetapan harga
Salah satu bentuk kartel yang sering dilakukan oleh para anggotanya adalah
penetapan harga (price fixing). Penetapan harga disebut sebagai naked restraint
(terang-terangan), jika perjanjian tersebut tidak terjadi pada suatu perusahaan joint
venture yang dilakukan oleh peserta (pihak-pihak) dalam kegiatan usaha patungan
tersebut.30 Dalam prakteknya, jarang ditemukan perjanjian yang secara terang-terangan
berisi tentang kesepakatan untuk menetapkan harga. Meskipun kadangkala dengan
mudah ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya perjanjian (express
agreement) sejenis itu.31 Sebaliknya, ketika tidak ada bukti-bukti yang secara langsung
menunjukkan adanya perjanjian, maka diperlukan bukti-bukti tidak langsung yang
mellingkupi terjadinya perjanjian, seperti persekongkolan untuk menentukan harga atau
non harga.32 Guna mengantisipasi terjadinya perjanjian penetapan harga, di bawah ini
terdapat karakteristik pasar yang mendukung terwujudnya price fixing:33
a. Konsentrasi Pasar (Market Concentration); Adanya (hanya) sejumlah kecil perusahaan sejenis yang beroperasi di
pasar akan mempermudah terbentuknya kesepakatan di antara mereka. Asumsi
ini didasarkan pada dua alasan, pertama, bahwa perusahaan-perusahaan
tersebut harus melakukan pertemuan secara rahasia dan mengkomunikasikan
gagasan mereka satu sama lain. Sebaliknya, semakin besar jumlah peserta
kartel, akan semakin sulit melakukan pertemuan rahasia, atau dengan kata lain,
lebih mudah untuk mendeteksi pertemuan rahasia yang terdiri dari banyak
jumlah anggota. Alasan yang kedua, adalah bahwa berangkat dari perbedaan
29ibid30 Herbert Hovenkamp, Loc. Cit. 31 E. Thomas Sullivan and Jeffrey L. Harrison, Op. Cit., h. 126. 32 Ibid. 33 Herbert Hovenkamp, Op. Cit., h. 71-72.
10
kondisi anggota kartel, maka akan lebih mudah menyeragamkan harga jika kartel
hanya diikuti beberapa anggota saja.
Sebagai contoh perkara di atas adalah penetapan harga oleh pelaku usaha
angkutan laut khusus barang (kargo) untuk trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta,
yang melibatkan empat (4) perusahaan, yakni PT Perusahaan Pelayaran
Nusantara Panurjwan, PT Pelayaran Tempuran Emas, Tbk., PT Tanto Intim Line,
dan PT Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa. Perkara bermula
dari adanya perang tarif pada trayek Jakarta-Pontianak hingga mencapai
Rp.800.000,- per-Teus (twentieth equivalent units), di mana tingkat harga
tersebut secara ekonomi tidak lagi dapat menutupi kegiatan operasionalnya.
Guna mengatasi hal ini, INSA berinisiatif mengadakan pertemuan dengan empat
perusahaan pelayaran yang beroperasi pada trayek tersebut. Tujuan pertemuan
di antara mereka adalah untuk melakukan penyesuaian tarif secara transparan
dalam hal biaya produksi, struktur bisnis, dan lain-lain, untuk kemudian
dituangkan dalam bentuk kesepakatan tarif yang mengikat para pihak. Tarif uang
tambang petikemas dari Jakarta ke Pontianak yang disepakati bersama adalah
sebesar Rp. 1.600.000,- per-Teus. Dalam perjanjian tersebut juga diatur
ketentuan mengenai sanksi apabila melanggar kesepakatan, salah satunya
adalah tidak diberikannya pelayanan operasional di pelabuhan. Kesepakatan ini
dibuat untuk jangka waktu tiga bulan, dan dapat diadakan evaluasi serta dapat
diperpanjang kembali. Berkaitan dengan adanya kesepakatan tersebut, maka
dalam Putusan Perkara Inisiatif Nomor 02/KPPU-I/2003, KPPU menyatakan
pembatalan perjanjian tersebut. Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk
Kesepakatan Bersama Tarif Uang Tambang Peti Kemas Jakarta- Pontianak-
Jakarta, ditanda-tangani oleh empat perusahaan pelayaran, INSA, dan Direktur
Lalu Lintas dan Angkutan Laut sebagai pihak regulator/fasilitator, dianggap
bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
b. Hambatan Masuk (Barriers to Entry); Hambatan masuk (pasar) adalah beberapa faktor di pasar yang membuat
“biaya” melakukan kegiatan bisnis serupa bagi pelaku usaha baru (new entrant)
11
menjadi lebih tinggi dibandingkan biaya yang dibebankan terhadap perusahaan
yang telah eksis sebelumnya. Hambatan masuk yang tinggi merupakan upaya
esensial bagi kartel yang efektif, karena ketika pasar kartel memperoleh profit
yang tinggi, hal ini akan menjadi daya tarik bagi pelaku usaha baru (new entrant)
untuk masuk pasar yang sama. Jika dalam suatu pasar kartel yang menetapkan
harga tinggi “kebanjiran” perusahaan-perusahaan baru yang masuk pasar, maka
kartel tersebut tidak dapat beroperasi dengan baik, dan pada akhirnya berakibat
pada berakhirnya kartel. Hambatan masuk tersebut meliputi biaya-biaya
permodalan yang harus dibayar oleh pelaku usaha baru lebih tinggi daripada
perusahaan yang telah ada. Hambatan tersebut juga dapat berupa persyaratan
pemberian lisensi oleh pemerintah yang sulit atau tidak mungkin dilaksanakan
bagi pelaku usaha baru.
c. Metode Penjualan (Sales Methods); Metode penjualan yang paling kondusif terwujudnya perjanjian penetapan
harga adalah dalam suatu pelelangan, di mana pihak penjual membuka harga
melalui lelang, dan para anggota kartel menanggapi dengan harga tertentu yang
telah disepakati sebelumnya di antara mereka. Mereka juga akan menyepakati
dan menentukan pihak mana yang akan memenangkan tender. Dalam pasar
demikian, jika salah seorang anggota mengingkari kesepakatan tersebut, maka
akan segera diketahui oleh anggota lainnya.
d. Homogenitas Produk (Product Homogeneity); Adanya kesamaan produk mempermudah bekerjanya suatu kartel harga,
terutama bagi bidang-bidang usaha yang memiliki karakteristik unik. Namun pada
akhirnya konsumen akan menyangsikan produk yang mereka beli, karena
adanya keseragaman harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha. Sebaliknya,
heterogenitas produk akan membuat konsumen mempunyai pilihan atas varian
produk yang ditawarkan, sehingga pada akhirnya mempersulit terjadinya kartel
harga. Seperti yang terjadi dalam penetapan tarif taksi di wilayah DKI Jakarta
melalui SK Gubernur, yang berakhir pada munculnya dua macam tarif yakni tari
lama dan tarif baru dengan masing-masing kondisi layanan jasanya. Dalam hal
12
ini, konsumen mempunyai pilihan untuk menentukan apakah akan menggunakan
jasa taksi tarif lama atau tarif yang baru.
e. Adanya Sarana Kerjasama (Facilitating Devices); Bekerjanya suatu penetapan harga dapat secara efektif berjalan jika
terdapat sarana untuk melakukan tindakan kerjasama, misalnya standarisasi
produk, integrasi vertikal dan pengaturan harga penjualan kembali, adanya
pengumuman harga penjualan (implisit maupun eksplisit), serta pengiriman pola
harga dasar. Kegiatan seperti ini mudah dilakukan jika para pengusaha
tergabung dalam satu asosiasi dagang, seperti yang terjadi pada asosiasi
semen, elektronik, bahkan industri makanan yang menguasai jenis makanan dari
tingkat produksi sampai dengan pemasarannya.
Salah satu contoh perkara penetapan harga yang didukung oleh sarana
kerjasama dalam asosiasi adalah Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang
Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas AC. Dugaan penetapan harga ditujukan pada
penyelenggara angkutan umum, yakni PT Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum
PPD, PT Bianglala Metropolitan, PT Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan
berawal dari kesepakatan di antara pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung
dalam Organda, untuk menaikkan tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300,
dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang
Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta.
Berdasarkan surat ini, mereka yang tergabung dalam asosiasi, yakni DPD Organda DKI
Jakarta, kemudian mengajukan surat kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk
konsultansi tarif Bus Kota Patas AC. Sesuai dengan permohonan tersebut, maka
Gubernur mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33 tanggal 4 September 2001
mengenai Penyesuaian Tarif Angkutan, dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.
Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain
adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka
menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya pokok
13
angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara seragam,
meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan yang hanya memiliki sedikit armada
bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan besarnya tarif angkutan
tersebut, sehingga hanya mengikuti saja kesepakatan di antara pihak penentu.
Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui beberapa penyelenggara
angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan, karena seharusnya yang
berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para penyelenggara, disesuaikan
dengan biaya produksi masing-masing operator bus kota.
Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi, maka
Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di antara para
penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus
kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-penumpang.
C. MENDETEKSI DAN MEMBUKTIKAN KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN
Hal yang paling penting guna mengungkap adanya kartel adalah proses
mendeteksi dan membuktikan kartel, karena kecermatan penggunaan metode dalam
kedua proses tersebut menentukan berhasil-tidaknya penemuan atas suatu kartel.
1. Pendeteksian terhadap adanya KartelDeteksi terhadap kartel merupakan langkah awal dalam proses penegakan
hukum. Dalam hal ini diperlukan penentuan pimpinan (aktor utama) atas tindakan
kartel, karena tanpa mengetahui adanya pelaku utama, sulit melakukan investigasi atas
suatu kartel. Namun demikian, pendeteksian atas adanya pelaku utama kartel bukanlah
merupakan alat bukti yang cukup untuk menggugat suatu kartel. Guna mendeteksi
suatu kartel, paling tidak harus memenuhi prosedur berikut ini:
a. Deteksi atas pelaku utama kartel;
b. Mengumpulkan alat bukti tambahan (investigasi atas fakta);
c. Penilaian hukum atas fakta;
d. Keputusan atas lanjut atau tidak lanjutnya penyelidikan atas kartel;
e. Penanganan perkara terhadap kartel.*)
14
Penjelasan di atas menunjukkan, bahwa pencegahan yang paling ampuh atas
suatu kartel adalah mendeteksi perilaku kartel secara efektif serta menjelaskan
konsekuensi kepada pihak terkait jika terdapat tindakan kartel. Karena itu, pertama,
harus terdapat ancaman serius dari lembaga pengawas persaingan bagi perusahaan
yang tertangkap melakukan kartel. Kedua, pelaku-pelaku kartel harus dibebani sanksi.
Adanya konsekuensi yang jelas atas suatu kartel paling tidak bermanfaat atas dua hal,
yakni pertama, mencegah kartel yang terkonstruksi; kedua, memperkuat efektivitas
beberapa metode mendeteksi suatu kartel.
Dalam mendeteksi kartel diperlukan petunjuk dan informasi atas pelopor dalam
kartel. Namun demikian, tanpa pengetahuan yang cukup tentang elemen-elemen kunci
atas kartel, yakni kemungkinan-kemungkinan cara tentang bagaimana implementasi
tindakan kartel, serta dampak negatif kartel terhadap persaingan dan kesejahteraan
konsumen. Hal ini merupakan langkah yang sangat sulit untuk menemukan petunjuk
atas tindakan kartel. Dalam hal ini, adalah suatu keharusan dalam mendeteksi kartel,
bahwa seseorang harus mengetahui tindakan apa yang akan dicari dan bersikap hati-
hati dalam menentukan perilaku mana yang dianggap illegal. Sikap dan tindakan inilah
yang seharusnya dimiliki dan dilakukan oleh otoritas persaingan.
Hal tersebut di atas selain dipahami oleh otoritas persaingan, juga dimengerti
oleh pelaku usaha, konsumen, dan stake holders lain yang berpartisipasi dalam
transaksi ekonomi. Secara umum, ketentuan ini sangat berguna sebagai informasi
terhadap otoritas persaingan dalam proses mendeteksi, sehingga pihak-pihak terkait
dapat menggugat atau paling tidak “meniupkan peluit” (blow a whistle) tentang tindakan
yang dicurigai sebagai kartel. Hal yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa
pada hakekatnya kartel berdampak negatif terhadap kesejahteraan konsumen,
sehingga yang terpenting adalah jika kartel dapat dideteksi dan digugat. Di samping itu,
setiap orang dapat melaporkan, atau “meniupkan peluit” atas adanya tindakan kartel
terhadap otoritas persaingan.
Apabila tidak terdapat pemahaman dan pengetahuan dalam mendeteksi kartel,
juga tidak terdapat edukasi dan cara penanganan perkara yang tepat (secara internal),
serta tidak terdapat advokasi yang mencukupi terhadap stake holders (secara
15
eksternal), maka tidak akan tercipta suatu awareness atas tindakan kartel. Bahkan,
tindakan seperti penetapan harga atau pembagian pasar akan menjadi praktek yang
biasa dilakukan, yang pada akhirnya menjadi dilegitimasikan. Jika hal ini terjadi, akan
memakan banyak waktu untuk mengubah perilaku umum (yang dilegitimasi) atas kartel
illegal.
Guna mencapai efektiitas awareness atas kartel, otoritas persaingan dapat
melakukan langkah-langkah berikut:
a. Mempublikasikan putusan-putusan (baik dalam website maupun majalah) dan informasi yang relevan dengan kartel, mencakup pula press releases;
b. Membujuk warganegara, pelaku usaha pesaing, dan konsumen untuk melaporkan tindakan yang dicurigai kartel kepada otoritas persaingan;
c. Berpartisipasi (sebagai pembicara) dalam konferensi dan seminar yang diorganisasikan oleh industry dan sektor tertentu guna mempresentasikan tugas otoritas persaingan;
d. Melakukan pertemuan berkala dengan media.
Biasanya tindakan kartel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia,
sehingga deteksi terhadap kartel bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam hal ini,
terdapat beberapa metode untuk mendeteksi penemuan atas tindakan kartel. Namun
tampaknya tergantung juga dari pengalaman masing-masing Negara, dimana terdapat
tidak hanya satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menangani kartel dengan
kondisi yang variatif. Artinya, bahwa otoritas persaingan dapat menggunakan berbagai
cara yang efektif dalam melakukan investigasi untuk mendeteksi kartel, yang tidak
hanya tergantung pada satu metode pendakatan saja.
Beberapa pendekatan dapat bersifat saling melengkapi satu sama lain, dan
efektivitas dari pendekatan adalah tergantung dari lebih-kurangnya kredibilitas dan
komitmen otoritas persaingan dalam penggunaan metode tersebut. Secara umum,
otoritas persaingan menggunakan kombinasi teknik dan alat (instrument) untuk
mengatur strategi yang tinggi untuk mendeteksi kartel. Sebaiknya, strategi ini dimuat
dalam aturan hukum yang mendasari kegiatan pengawasan oleh otoritas persaingan di
masing-masing Negara.
16
Penting untuk diperhatikan, bahwa ruang lingkup tugas dan fungsi otoritas
persaingan akan mengalami perubahan yang sangat dinamis mengikuti perkembangan
dinamika ekonomi dan dunia usaha. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu
mengantisipasi perkembangan teknik yang digunakan otoritas persaingan untuk
mendeteksi kartel. Dengan kata lain, strategi yang digunakan otoritas persaingan dalam
mendeteksi kartel harus senantiasa dikembangkan, dengan cara mengubah kebijakan
penegakan dengan menyesuaikan perubahan dan perkembangan di dunia usaha.
Secara umum, terdapat dua (2) metode pendekatan untuk mendeteksi kartel,
yakni Metode Reaktif dan Metode Proaktif. Metode Reaktif adalah metode yang
didasarkan pada beberapa kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas persaingan
menyadari beberapa kemungkinan atas issue kartel dan memulai suatu investigasi.
Dalam hal terdapat kartel yang dilakukan secara tersembunyi, maka sangat efektif jika
menggunakan informasi orang dalam (inside information) untuk mendeteksi kartel.
Informasi orang dalam dapat berasal dari perusahaan (pelaku kartel) atau para individu
yang mengetahui kartel tersebut, kemudian melaporkannya kepada otoritas persaingan.
Metode lainnya adalah Metode Proaktif, yakni metode pendekatan yang
diinisiasi oleh otoritas persaingan untuk mendeteksi kartel, dan tidak berkaitan dengan
peristiwa eksternal. Adapun bentuk penggunaan Metode Proaktif adalah analisis/studi
tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, penelusuran melalui media,
monitoring kegiatan industri atau sektor tertentu, serta pertukaran pengalaman maupun
best practices dari otoritas persaingan lainnya.
Terdapat berbagai alasan otoritas persaingan dalam menggunakan Metode
Proaktif. Alasan yang paling penting adalah bahwa kedudukan dan fungsi otoritas
persaingan yang independen, tidak tergantung pada kondisi atau peristiwa eksternal,
melainkan sangat mengatur dan terlibat dalam proses deteksi. Bahkan dalam hal
otoritas persaingan kekurangan atau bahkan kehilangan informasi ( inside information),
yang berkaitan dengan kartel, maka deteksi atas kartel masih tetap dapat dilanjutkan.
Metode Proaktif dapat menjadi pelengkap dari metode Reaktif, seperti misalnya
mendorong para pihak baik secara individual maupun perusahaan untuk bertindak
sebagai whistle blower atau bahkan untuk menerapkan leniency.
17
Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11
tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pedoman tentang Kartel) juga
memberikan petunjuk tentang indikator awal dalam mengidentifikasi kartel, baik dari sisi
perilaku (conduct) maupun structural (structure).34 Dari aspek perilaku, indikator yang
mudah dilakukan deteksi adalah adanya transparansi dan kemudahan dalam
melakukan pertukaran informasi diantara anggota kartel, yang biasanya hal ini
diakomodasi dalam asosiasi dagang. Peran asosiasi akan menjadi penting ketika
terdapat informasi data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara
periodik, sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel.
Petunjuk lain dari aspek perilaku adalah pengaturan harga dalam suatu industri,
misalnya one price policy atau price parallelism dimana kesamaan tingkat dan/atau
pergerakan harga di beberapa daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar
anggota atas kesepakatan kartel. Pada umumnya harga yang ditetapkan oleh para
anggota kartel adalah jauh di atas harga wajar, dan guna mengetahui seberapa besar
tingkat kewajaran harga produk tertentu, perlu dilakukan beberapa metode pendekatan
atas harga (benchmarking price).
Hal lain yang perlu diwaspadai dalam hal kebijakan harga dalam perilaku kartel
adalah pembatasan pasokan produk, yang dimaksudkan untuk menahan harga agar
tetap jauh di atas harga persaingan. Para anggota secara sengaja tidak memproduksi
barang secara optimal, sehingga akan terjadi kelangkaan yang mengakibatkan harga
eksesif, yang pada akhirnya konsumenlah yang dirugikan.
2. Pembuktian Unsur-unsur dalam Kartel
Pedoman tentang Kartel mencoba memberikan petunjuk pelaksanaan
membuktikan dan menentukan unsur-unsur adanya kartel.35 Pasal 11 UU Nomor 5
Tahun 1999 mengharuskan KPPU membuktikan beberapa unsur seperti Pelaku Usaha, 34 Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 15-18.
35 Penjabaran unsure Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999, Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
18
perjanjian, pelaku usaha pesaing, bermaksud mempengaruhi harga, mengatur produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli, dan dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Dari ketentuan tersebut yang menyatakan adanya dampak terhadap persaingan,
dapat dikatakan bahwa Undang-undang mengamanatkan penggunaan metode
pendekatan Rule of Reason. Hukum Persaingan mengenal dua pendekatan hukum, per
se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal dan rule of reason adalah
metode yang digunakan untuk menilai suatu tindakan tertentu pelaku bisnis yang
dianggap melanggar Undang-undang Antimonopoli.36 Pendekatan rule of reason
merupakan suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan untuk
membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna
menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau
mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan
setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih
lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.37
Unsur pertama yang harus dibuktikan adalah pelaku usaha, yang berdasarkan
Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Taun 1999 didefinisikan sebagai “setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. Untuk
kasus dugaan kartel, pelaku usaha yang terkait dalam kartel biasanya lebih dari dua
pelaku, bahkan tidak jarang terjadi dalam asosiasi-asosiasi dagang dengan cara saling
melakukan pertukaran informasi di bidang harga, pasokan produk maupun pembagian
wilayah.
36 Pada tahun 1914, The Sherman Act 1890 disempurnakan dengan dikeluarkannya Act to Supplement Existing Laws Against Unlawful Restraints and Monopolies yang dikenal dengan sebutan the Clayton Act. Pada tahun yang sama diterbitkan Act to Create a Federal Trade Commission, to Define Its Powers and Duties, and for Other Purposes yang lebih dikenal dengan the Federal Trade Commission Act. Kemudian pada tahun 1936, the Clayton Act disempurnakan dengan the Robinson-Patman Act, di mana penyempurnaannya terbatas pada Pasal 2 the Clayton Act yang mengatur tentang Diskriminasi Harga. Lihat Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law, (Westbury New York: The Foundation Press, Inc., 1993), h. 395-399.37 R. S. Khemani and D. M. Shapiro, Glossary af Industrial Organisation Economics and Competition Law, (Paris: OECD, 1996), h. 51.
19
Unsur perjanjian merupakan hal yang signifikan untuk dibuktikan, karena pada
hakekatnya kartel merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam UU
Nomor 5/1999. Namun mengingat pengertian Perjanjian dalam Pasal 1 angka 7 UU
Nomor 5/1999 yang antara lain menyatakan bahwa bentuk perjanjian meliputi baik
tertulis maupun tidak tertulis, maka KPPU berusaha keras membuktikan adanya kartel
yang umumnya tidak menemukan perjanjian tertulis. Pembuktian perjanjian tidak tertulis
dapat dilakukan melalui bukti kesepakatan yang tertuang dalam agenda rapat dalam
bentuk catatan-catatan (minutes) maupun notulen. Dalam hal ini, andaikanpun terdapat
perjanjian tertulis, seringkali KPPU mengalami kesulitan memperoleh data tersebut.
Kesulitan mendapatkan bukti adanya perjanjian disebabkan beberapa hal, antara lain
pelaku usaha tidak kooperatif dan menolak memberikan data; di sisi lain ketiadaan
kewenangan KPPU untuk menggeledah dan menyita dokumen yang diperlukan sebagai
pembuktian.
Unsur pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha dalam Pasar
Bersangkutan, dimana konsep dan pengertian Pasar Bersangkutan diatur berdasarkan
Peraturan Komisi Nomor 3 Tahun 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10 tentang
Pasar Bersangkutan.
Perilaku para anggota kartel untuk mempengaruhi harga merupakan salah satu
unsur penting yang dijadikan indikasi awal adanya kartel. Hal ini mengingat tujuan akhir
pembentukan kartel adalah maksimalisasi profit dengan menetapkan harga eksesif
melalui berbagai cara, misalnya membatasi kapasitas produksi dan pasokan barang
sehingga harga tetap tertahan di level yang supra kompetitif.
Unsur lain yang perlu dibuktikan adalah mengatur produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa. Pengaturan produksi diartikan sebagai menentukan jumlah
produksi baik bagi anggota kartel keseluruhan maupun bagi setiap anggota.
Pengaturan ini bisa lebih kecil dan lebih besar dari kapasitas produksi perusahaan atau
permintaan barang dan/atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan pengertian mengatur
pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah mana para
anggota menjual produksinya.38
38 Pedoman tentang Kartel, h. 11.
20
Unsur yang terakhir adalah unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli, yang diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran barang
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.39 Sementara
unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa dengan cara tidak jujur. Pembuktian terhadap 2 (dua) unsur dampak yang terakhir
ini seringkali menimbulkan kesulitan otoritas persaingan, karena Undang-undang
mendefinisikannya secara luas. Dikaitkan dengan tujuan pembentukannya, maka salah
satu tujuan dibentuknya UU Nomor 5/1999 adalah kesejahteraan konsumen. Oleh
karena itu, KPPU mengartikan unsur dampak sebagai adanya kerugian yang diderita
konsumen.
Polemik yang muncul di masyarakat tentang pembuktian dan pengungkapan
kartel ini adalah adanya perdebatan istilah direct dan indirect evidence. Sampai saat ini
belum terdapat tulisan yang komprehensif yang dapat menjelaskan mengenai dua jenis
dan istilah alat bukti tersebut dikaitkan dengan system pembuktian dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Adapun alat bukti yang diatur dalam Pasal 42 UU
Nomor 5/1999 meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen,
petunjuk, dan keterangan pelaku usaha.
Berdasarkan jenis alat bukti tersebut di atas, maka alat bukti yang diperlukan
untuk menangani kartel dapat dikatagorikan, antara lain:
1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran;
2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list), jumlah produksi dan jumlah penjualan di wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (semesteran atau tahunan);
3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan);
4. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir;
39 Lihat Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
21
5. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.
6. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel;
7. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel;
8. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel;
9. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel.40
D. PENUTUP
Salah satu tujuan penting pengaturan Hukum Persaingan adalah pencegahan
dan penanganan terhadap kartel, karena hampir dapat dipastikan bahwa dampak atas
kartel adalah menghambat persaingan dengan cara menaikkan harga atau profit. Kartel
dianggap merugikan konsumen karena harga maupun profit eksesif yang ditetapkan
oleh pelaku-pelaku kartel merupakan pemindahan kesejahteraan dari konsumen
kepada pelaku kartel. Oleh karena itu, diperlukan deteksi, penyelidikan dan
pengungkapan disertai pembebanan sanksi yang berat terhadap pelaku kartel, sebab
hal ini merupakan salah satu tugas yang paling penting dari lembaga pengawas
persaingan di seluruh dunia.
Deteksi terhadap kartel merupakan pencegahan yang paling ampuh atas suatu
perilaku kartel secara efektif, karena dapat menjelaskan konsekuensi kepada pihak
terkait mengenai dampak dan akibat yang ditimbulkan atas kartel. Secara umum,
terdapat dua (2) metode pendekatan untuk mendeteksi kartel, yakni Metode Reaktif dan
Metode Proaktif. Metode Reaktif adalah metode yang didasarkan pada beberapa
kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas persaingan menyadari beberapa
kemungkinan atas issue kartel dan memulai suatu investigasi, misalnya dengan
menggunakan informasi orang dalam untuk mendeteksi kartel. Metode lainnya adalah
40 Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
22
Metode pendekatan Proaktif, yakni metode pendekatan yang diinisiasi oleh otoritas
persaingan untuk mendeteksi kartel. Inisiatif ini dapat dilakukan dalam bentuk
penggunaan analisis/studi tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, atau
monitoring kegiatan industri/sektor tertentu dengan menggunakan analisis ekonomi.
Penggunaan analisis ekonomi dalam kartel baik melalui Pendekatan Structural
(structural approach) dan Pendekatan Perilaku (behavioural approach). Pendekatan
Struktural meliputi identifikasi pasar dengan karakteristik yang kondusif untuk
melakukan tindakan kolusif. Dalam beberapa studi atau literatur ekonomi dapat
diidentifikasikan beberapa faktor terkait dengan struktur pasar dan kekuatan pasar yang
mendorong atau memfasilitasi terbentuknya perilaku kartel. Faktor-faktor ini dapat
dijadikan sebagai indikasi-indikasi terbentuknya suatu kartel. Sebagai contoh misalnya
terbentuknya kartel dalam suatu pasar akan mudah terjadi jika pasar terdiri atas
beberapa pelaku usaha, dengan produk yang homogen, dan permintaan (demand)
yang stabil. Pendeketan lain adalah Pendekatan Perilaku, yang lebih menekankan pada
sebuah output berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel.
Pendekatan ini berfokus pada dampak teradap pasar atas koordinasi tersebut. Hal-hal
yang perlu dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama atau identik
di antara pesaing, pergerakan harga yang parallel atau kenaikan harga yang unjustified
atau unexplained, atau pemasok yang berbeda menaikkan harga dengan margin yang
sama dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian, kadangkala peningkatan harga
secara parallel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing secara ketat (highly
competitive).
Penggunaan analisis ekonomi dalam mendeteksi maupun membuktikan kartel
bermanfaat sebagai upaya pencegahan terhadap dampak negatif atas tindakan kartel,
terutama kerugian konsumen atau masyarakat secara umum, serta pelaku usaha
pesaing yang merupakan pemain baru yang bermaksud masuk pasar bersangkutan.
Dalam mengungkap perkara kartel, mengingat dampak yang signifikan yang
ditimbulkan atas kartel baik terhadap pesaing maupun konsumen, maka diperlukan
penguatan kewenangan KPPU untuk menggeledah maupun menyita dokumen. Selain
itu, perlu penerapan leniency program yang di banyak negara terbukti ampuh dalam
mengungkap adanya kartel. Pada akhirnya, dibutuhkan juga kemampuan melakukan
23
analisis ekonomi dari otoritas persaingan (KPPU), serta kerjasama stake holders untuk
menyediakan data yang sifatnya publik, serta para pelaku usaha yang diduga
melakukan kartel, agar tercipta iklim persaingan sehat di dunia usaha.
DAFTAR PUSTAKA
24
Heidenhain, Martin, et. al. German Antitrust Law. Frankfurt am Main: Verlap Fritz Knapp GmbH, 1999.
Kaysen, Carl dan D. Turner. Antitrust Policy: an Economic and Legal Analysis. Cambridge: Harvard University Press, 1971.
Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Purba, Hasim. Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern. http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf (14 September 2007 ).
Roberts, Neil, E. “Cartel and Joint Ventures”. Antitrust Law Journal, vol. 57, 1988.
Scherer, F dan D. Ross. Industrial Market Structure and Economic Performance, 2d ed. 1980.
Sullivan, E. Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding Antitrust and Its Economic Implications. New York: Matthew Bender & Co., 1994.
Sullivan, Lawrence Anthony. Antitrust. Saint Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1977.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
25