Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda...

37
MEKANISME MENDETEKSI DAN MENGUNGKAP KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN Oleh: A.M. Tri Anggraini A. PENGANTAR Hambatan dalam perdagangan oleh para pelaku usaha biasanya dilakukan dengan maksud untuk mencegah terjadinya proses persaingan yang wajar, 1 sehingga dapat menimbulkan kerugian yang signifikan dalam kegiatan usaha, terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang-bidang usaha bersangkutan. 2 Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya hambatan yang bersifat merugikan tersebut adalah melalui pengaturan hukum. Amerika Serikat mengatur pencegahan hambatan perdagangan yang merugikan dalam Section 1 The Sherman Act 1890 yang menyatakan, bahwa “setiap perjanjian, penggabungan dalam bentuk trust atau yang lainnya, atau konspirasi, dalam bentuk hambatan perdagangan antar Negara (Bagian), atau dengan negara asing, harus dinyatakan sebagai ilegal”. 3 Demikian pula negara-negara yang tergabung dalam Pasar Bersama Eropa mengatur melalui Article 81 of the European Community (EC) 1 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, bahwa “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”. 2 Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law (Westbury, New York: The Foundation Press, 1993), h. 117. 3 Section 1 The Sherman Act: “Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several States, or with foreign nations, is declared to be illegal”. 1

Transcript of Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda...

Page 1: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

MEKANISME MENDETEKSI DAN MENGUNGKAP KARTEL

DALAM HUKUM PERSAINGAN

Oleh: A.M. Tri Anggraini

A. PENGANTAR

Hambatan dalam perdagangan oleh para pelaku usaha biasanya dilakukan

dengan maksud untuk mencegah terjadinya proses persaingan yang wajar,1 sehingga

dapat menimbulkan kerugian yang signifikan dalam kegiatan usaha, terutama bagi para

pihak yang berkaitan langsung dengan bidang-bidang usaha bersangkutan.2 Salah satu

upaya untuk mencegah terjadinya hambatan yang bersifat merugikan tersebut adalah

melalui pengaturan hukum. Amerika Serikat mengatur pencegahan hambatan

perdagangan yang merugikan dalam Section 1 The Sherman Act 1890 yang

menyatakan, bahwa “setiap perjanjian, penggabungan dalam bentuk trust atau yang

lainnya, atau konspirasi, dalam bentuk hambatan perdagangan antar Negara (Bagian),

atau dengan negara asing, harus dinyatakan sebagai ilegal”.3 Demikian pula negara-

negara yang tergabung dalam Pasar Bersama Eropa mengatur melalui Article 81 of the

European Community (EC) Treaty, yang melarang segala bentuk ketidak-harmonisan

dalam pasar bersama, yakni persekongkolan di antara pelaku usaha yang dapat

mempengaruhi perdagangan antar negara anggota dan atau berakibat membatasi

persaingan dalam pasar bersama.4 Salah satu negara yang tergabung dalam Pasar

Bersama Eropa, yaitu Jerman juga melarang segala bentuk perjanjian di antara pelaku

usaha, baik yang tergabung dalam asosiasi maupun tindakan kerjasama lainnya, yang 1 Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, bahwa “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”. 2 Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law (Westbury, New York: The Foundation Press, 1993), h. 117. 3 Section 1 The Sherman Act: “Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several States, or with foreign nations, is declared to be illegal”. 4 Article 81 (1) of The EC Treaty: “The following shall be prohibited as incompatible with the common market: all agreements between undertakings, decisions by associations of undertakings and concerted practices which may affect trade between member states and which have their object or effect the prevention, restriction or distortion of competition within the common market, and in particular those which…”

1

Page 2: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

berakibat membatasi atau merusak persaingan.5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga mengatur

hambatan perdagangan yang bersifat ilegal, meskipun pengaturannya ditetapkan

secara menyebar di berbagai Bagian (Bab) dalam Undang-undang, yakni dalam Bab III

mengenai Perjanjian yang Dilarang dan Bab IV mengenai Kegiatan yang Dilarang.

Pada hakekatnya terdapat dua jenis hambatan dalam perdagangan, yakni

hambatan horisontal dan vertikal. Ketika para pesaing dalam bidang usaha tertentu

terlibat dalam perjanjian (kesepakatan) yang mempengaruhi perdagangan di wilayah

tertentu, maka tindakan ini disebut dengan hambatan horisontal.6 Hambatan horisontal

diartikan secara luas sebagai suatu perjanjian yang bersifat membatasi dan praktek

kerjasama (concerted practices), termasuk perjanjian yang secara langsung atau tidak

langsung menetapkan harga atau persyaratan lainnya, seperti perjanjian yang

menetapkan pengawasan atas produksi dan distribusi, alokasi (pembagian) kuota atau

wilayah atau pertukaran informasi/data mengenai pasar, dan perjanjian menetapkan

kerjasama dalam penjualan maupun pembelian secara terorganisasi, atau menciptakan

hambatan masuk pasar (entry barriers).7

Perjanjian yang bersifat membatasi (restrictive agreements) adalah terlarang jika

dilakukan antara pelaku usaha privat maupun publik, dengan kata lain bahwa perjanjian

tersebut disetujui oleh semua individu, rekanan (partnership), perusahaan yang

melakukan kegiatan usaha tertentu dalam hal penjualan barang atau jasa perdagangan

berkaitan dengan pelaku usaha. Namun demikian, perjanjian di antara pelaku usaha

pengawas (controlling) dan yang diawasi (controlled), misalnya antara perusahaan

induk (parent companies) dan anak perusahaan (subsidiary companies), atau antara

perusahaan-perusahaan yang terafiliasi bukan termasuk dalam jenis perjanjian ini,

5 Article 1 German Antitrust Act: “Agreements between competing undertakings, decisions by associations of undertakings and concerted practices which have as their object or effect the prevention, restriction or distortion of competition, shall be prohibited”. 6 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications, (New York: Matthew Bender & Co.), 1994, h. 75. 7 Martin Heidenhain et. al., German Antitrust Law (Frankfurt am Main: Verlap Fritz Knapp GmbH, 1999), h. 17.

2

Page 3: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

karena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang

berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal.8

Hambatan vertikal adalah hambatan perdagangan yang dilakukan oleh para

pelaku usaha dari tingkat (level) yang berbeda dalam rangkaian produksi dan

distribusi.9 Secara umum hambatan vertikal adalah hambatan atau pembatasan yang

ditetapkan oleh pabrikan (manufacture) atau distributor atas kegiatan usaha dari

pengecer.10 Analisis atas hambatan vertikal terdiri atas dua kategori, pertama, adalah

perjanjian yang dilakukan oleh penjual untuk mengontrol faktor-faktor yang berkaitan

dengan produk yang akan dijual kembali. Sebagai contoh, misalnya pabrikan hanya

mau menjual kepada pengecer yang menyetujui untuk menjual kembali produknya

dengan harga tertentu. Dalam hal ini, pabrikan kadangkala juga menentukan kepada

jenis pelanggan mana barang tersebut dapat dijual, bahkan menetapkan lokasi

penjualan produknya. Akibat langsung dari kategori (jenis) hambatan ini adalah

persaingan antara para penjual dalam produk sejenis atau disebut juga intrabrand

competition. Kategori yang kedua, adalah meliputi usaha-usaha penjual untuk

membatasi pembelian yang dilakukan oleh pembeli atas penjualan produk pesaingnya.

Contoh jenis hambatan ini terlihat dari tindakan tying arrangement, di mana seorang

penjual hanya akan menjual suatu jenis produk jika pembeli bersedia membeli jenis

produk lainnya dari penjual yang sama. Kemungkinan yang lain adalah penjual hanya

menjual produknya dengan suatu persyaratan, bahwa pembeli harus membeli seluruh

komponen yang dibutuhkan kepada penjual tersebut. Pembatasan seperti ini

mengakibatkan persaingan antar brands atau interbrand competition.11

B. LARANGAN KARTEL DALAM UU NOMOR 5 TAHUN 1999

Istilah kartel terdapat dalam beberapa bahasa seperti "cartel" dalam bahasa

Inggris dan kartel dalam bahasa Belanda. "Cartel" disebut juga "syndicate" yaitu suatu

kesepakatan (tertulis) antara beberapa perusahaan produsen dan lain-lain yang sejenis

8 Ibid. 9 Lawrence Anthony Sullivan, Antitrust (St. Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1977), h. 657. 10 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Op. Cit., h. 149. 11 Ibid.

3

Page 4: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

untuk mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran

dan sebagainya, dengan tujuan menekan persaingan dan atau persaingan usaha pada

pasar yang bersangkutan. dan meraih keuntungan.12

Kartel kadangkala diartikan secara sempit, namun di sisi lain juga diartikan

secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya

saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk ”menetapkan

harga” guna meraih keuntungan monopolistis. Sedangkan dalam pengertian luas, kartel

meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan

pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel yang paling umum terjadi di kalangan

penjual adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian pembagian wilayah pasar atau

pelanggan, dan perjanjian pembatasan output. Sedangkan yang paling sering terjadi di

kalangan pembeli adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi wilayah dan

big rigging.13 Para pengusaha sejenis dapat mengadakan kesepakatan untuk

menyatukan perilakunya sedemikian rupa, sehingga mereka terhadap konsumen

berhadapan sebagai satu kesatuan, yang dampaknya adalah seperti memegang

monopoli. Hal yang demikian disebut "kartel ofensif". Pengaturan persaingan juga bisa

diadakan untuk menghindarkan diri dari cara-cara bersaing yang sudah menjurus pada

penghancuran diri sendiri, karena sudah menjurus pada perang harga dengan harga

yang lebih rendah daripada harga pokoknya. Persaingan sudah terjerumus pada "cut

throat competition". Dalam keadaan yang demikian, semua perusahaan akan merugi,

dan akhirnya bangkrut. Kalau pengaturan persaingan di antara perusahaan sejenis

dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang demikian, namanya adalah

"kartel defensif". Kalau kartelnya defensif, pemerintah justru memberikan kekuatan

hukum kepada kartel defensif tersebut, sehingga yang tidak ikut di dalam kesepakatan

dipaksa oleh kekuatan undang-undang untuk ikut mematuhi kesepakatan mereka.

Adapun yang mendorong pendirian kartel adalah persaingan keras di pasar.

Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga

12Hasim Purba, Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern. (On-line) tersedia di http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf (14 September 2007 ).

13 Ridwan Khairandy, ed, Op. Cit., h. 263.

4

Page 5: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

bersama, mengatur produksi, bahkan menentukan secara bersama potongan harga,

promosi, dan syarat-syarat penjualan lain. Biasanya, harga yang dipasang kartel adalah

jauh lebih tinggi daripada harga yang terjadi kalau tidak ada kartel. Adanya kartel juga

bisa melindungi perusahaan yang tidak efisien, yang bisa hancur bila tidak masuk

kartel. Dengan demikian, ada beberapa persyaratan untuk mendirikan kartel. Pertama,

semua produsen besar dalam satu industri masuk menjadi anggota. Ini supaya terdapat

kepastian bahwa kartel benar-benar kuat. Kedua, semua anggota harus taat melakukan

apa yang diputuskan bersama. Ketiga, jumlah permintaan terhadap produk mereka

terus meningkat. Kalau permintaan turun, kartel kurang efektif, karena makin sulit

mempertahankan tingkat harga yang berlaku. Keempat, sulit bagi pendatang baru

untuk masuk dalam pasar bersangkutan.

Kondisi yang menguntungkan kartel meliputi hambatan atau lambannya masuk

pasar, termasuk biaya terbuang (sunk cost) dan permintaan yang tidak elastis pada

harga bersaing. Biaya tinggi masuk pasar merupakan hambatan jika pendatang baru

harus memikul beban lebih tinggi dibanding dengan perserta/ anggota (kartel) yang

sudah ada. Rendahnya kecepatan masuk pasar dapat mendorong kartelisasi, walaupun

jika hanya mengizinkan pelaku usaha yang ada meraih keuntungan jangka pendek.

Hambatan lain masuk pasar dapat mencakup masalah-masalah biaya dan permintaan,

termasuk paten dan perizinan, langkanya sumber daya, dan diferensiasi produk atau

kesetiaan konsumen. Kondisi lain yang menguntungkan kartel ialah biaya pelaksanaan

dan kebijakan yang rendah – semakin sedikit pelaku usaha peserta, semakin mudah

melaksanakannya.14

Sementara itu, pengaturan tentang larangan kartel di Amerika Serikat diserahkan

pada otoritas lembaga persaingan, yang memiliki peranan dalam menjaga dan

mempertahankan persaingan usaha yang fair. Peranan utama pengaturan antitrust di

Amerika Serikat melalui The Sherman Act bukanlah pada pengawasan perusahaan

yang monopolis, melainkan lebih pada transaksi yang bersifat anti kompetitif, seperti

perjanjian antara para pesaing untuk menetapkan harga, membatasi output, membagi

14 Luis Tineo, Maria Coppola.Op.Cit.h.13

5

Page 6: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

(wilayah) pasar, atau mengesampingkan pesaing lainnya.15 Perjanjian jenis ini sering

disebut sebagai hambatan perdagangan yang terang-terangan atau langsung (naked

restraint), perilaku kartel, atau persekongkolan. Kebanyakan negara yang memandang

kartel sebagai pelanggaran persaingan yang paling serius, bahkan di beberapa negara

perjanjian kartel dituntut sebagai tindakan kriminal.16

1. Kartel dalam pengertian luas

Kartel kadangkala didefinisikan secara sempit, namun di sisi lain juga diartikan

secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya

saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan

harga” guna meraih keuntungan monopolis.17 Sedangkan dalam pengertian luas, kartel

meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan

pelanggan, dan menetapkan harga.18 Jenis kartel yang paling umum terjadi di kalangan

penjual adalah perjanjian penetapan harga, persekongkolan penawaran tender (bid

rigging), perjanjian pembagian wilayah (pasar) atau pelanggan, dan perjanjian

pembatasan output. Sedangkan yang paling sering terjadi di kalangan pembeli adalah

perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi dan bid rigging.19

Jenis perjanjian horisontal yang dianggap paling merugikan atau bahkan dapat

berakibat mematikan persaingan adalah kartel. Terdapat banyak bentuk kartel yang

memungkinkan usaha yang bersaing membatasi persaingan melalui kontrak

diantaranya yaitu :

15 Ernest Gellhorn, Antitrust Law and Economics in a Nutshell, (St. Paul, Minn.: West Publishing, Co., 1986), h. 153. Lihat pula Section 1 The Sherman Act of 1890. 16 R. Shyam Khemani et al., A Framework for The Design and Implementation of Competition Law and Policy, (Washington, D.C.-Parish: The World Bank-OECD, 1999), h. 20. 17 Herbert Hovenkamp, Antitrust (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1993), h. 71. 18 ”A cartel is a formal agreement among firms in an olygopolistic industry. Cartel members may agree on such matters as prices, total industry output, market shares, allocation of customers, allocation of territories, bid-rigging, establishment of common sales agencies, an the division of profits or combination of these”. R. S. Khemani and D. M. Shapiro, Glossary of Industrial Organisation Economics and Competition Law (Paris: OECD, 1996), h. 7. 19 R. Shyam Khemani et al., Op. Cit. h. 21.

6

Page 7: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

a. Kartel Harga Pokok (prijskartel)Di dalam kartel harga pokok, anggota-anggota menciptakan peraturan

diantara mereka untuk perhitungan kalkulasi harga pokok dan besarnya Iaba.

Pada kartel jenis ini ditetapkan harga penjualan bagi para anggota kartel.

Benih dari persaingan kerapkali juga datang dari perhitungan Iaba yang akan

diperoleh suatu badan usaha. Dengan menyeragamkan tingginya laba, maka

persaingan diantara mereka dapat dihindarkan.20

b. Kartel Harga

Dalam kartel ini ditetapkan harga minimum untuk penjualan barang-barang

yang mereka produksi atau perdagangkan. Setiap anggota tidak

diperkenankan untuk menjual barang-barangnya dengan harga yang lebih

rendah daripada harga yang telah ditetapkan itu. Pada dasarnya anggota-

anggota itu diperbolehkan menjual di atas penetapan harga, akan tetapi atas

tanggung jawab sendiri.21

c. Kartel Kontingentering

Di dalam jenis kartel ini, masing-masing anggota kartel diberikan jatah dalam

banyaknya produksi yang diperbolehkan. Biasanya perusahaan yang

memproduksi lebih sedikit daripada jatah yang sisanya menurut ketentuan,

akan diberi premi hadiah, namun jika melakukan yang sebaliknya maka akan

didenda. Maksud dari pengaturan ini adalah untuk mengadakan restriksi yang

ketat terhadap banyaknya persediaan barang, sehingga harga barang-barang

yang mereka jual dapat dinaikkan. Ambisi kartel kontingentering biasanya

untuk mempermainkan jumlah persediaan barang dengan cara menahan dan

mengatur ketersediaan barang tetap dalam kekuasaannya.22

d. Kartel Kuota

20Hasim Purba, Op.Cit., h.921ibid22ibid

7

Page 8: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Kartel kuota adalah pembagian volume pasar diantara para pesaing usaha.

Disini ditetapkan volume produksi dan atau penjualan tertentu atau ditentukan

batas maksimal untuk volume produksi dan/atau penjualan yang

diperbolehkan, dan kuota tersebut biasanya dijamin oleh pengaturan pasokan

atau pembayaran pengimbangan dalam hal volume produksi atau pemasaran

yang telah ditetapkan dilewati. Kartel kuota bertujuan untuk menaikkan

tingkat harga.23

e. Kartel Standart atau Kartel Tipe

Kartel standar dan Kartel tipe adalah perjanjian yang dibuat antara pelaku

usaha mengenai standart, tipe, jenis atau ukuran tertentu yang harus ditaati.

Perjanjian tersebut mengakibatkan pembatasan produksi karena pelaku

usaha dihalangi untuk menggunakan standar atau tipe lain. Perjanjian

tersebut dengan cara yang khas tidak hanya menghambat persaingan

kualitas, melainkan secara tidak langsung mempengaruhi persaingan harga

diantara para anggota kartel.24

f. Kartel Kondisi

Kartel kondisi adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha mengenai

standardisasi ketentuan perjanjian, yang tidak berkaitan langsung atau tidak

langsung dengan harga, tetapi berkaitan dengan unsur lain dalam perjanjian

bersangkutan. Perjanjian tersebut bertujuan untuk menghambat penjualan,

oleh karena anggota kartel tidak dimungkinkan untuk membuat perjanjian lain

dengan mitra kontrak individu. Setiap kondisi kurang lebih mempengaruhi

harga, hal mana dapat terjadi melalui mekanisme pasar, atau dengan

memperhatikan pembagian resiko dari segi kalkulasi (tanggung jawab dan

jaminan) serta melalui kondisi tambahan yang harus dipenuhi (pengemasan,

pengiriman, pelayanan).25

23Knud Hansen,et.al.,Undang – Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta : Katalis, 2002 ), h 208

24ibid., h. 209.25ibid., h 210.

8

Page 9: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

g. Kartel Syarat

Dalam kartel ini memerlukan penetapan-penetapan di dalam syarat-syarat

penjualan misalnya kartel yang menetapkan standar kualitas barang yang

dihasilkan atau dijual, dan/atau menetapkan syarat-syarat pengiriman,

apakah ditetapkan loco gudang, Fob, C&F, Cif, embalase atau

pembungkusan dan syarat-syarat pengiriman lainnya. Tujuan yang dimaksud

oleh para anggota adalah keseragaman diantara para anggota kartel.

Keseragaman itu perlu di dalam kebijakan harga, sehingga tidak akan terjadi

persaingan diantara mereka.26

h. Kartel Laba atau Pool

Di dalam kartel anggota kartel biasanya menentukan peraturan yang

berhubungan dengan laba yang mereka peroleh. Misalnya bahwa laba kotor

harus disentralisasikan pada suatu kas umum kartel, kemudian laba bersih

kartel akan dibagikan diantara mereka dengan perbandingan tertentu pula.27

i. Kartel Rayon

Kartel rayon atau kadang-kadang juga disebut kartel wilayah pemasaran

untuk mereka. Penetapan wilayah ini kemudian diikuti oleh penetapan harga

untuk masing-masing daerah. Kartel rayon juga menentukan suatu peraturan

bahwa setiap anggota tidak diperkenankan menjual barang-barangnya di

daerah lain. Dengan ini dapat dicegah persaingan diantara anggota, yang

mungkin harga-harga barangnya berlainan.28

j. Sindikat Penjualan atau Kantor Sentral Penjualan

Di dalam kartel penjualan ditentukan bahwa penjualan hasil produksi dari

anggota harus melewati sebuah badan tunggal ialah kantor penjualan pusat.

26Hasim Purba, Op.Cit, h.927ibid28ibid

9

Page 10: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Melalui pemusatan penjualan seperti ini, maka persaingan diantara mereka

akan dapat dihindarkan.29

2. Penetapan harga

Salah satu bentuk kartel yang sering dilakukan oleh para anggotanya adalah

penetapan harga (price fixing). Penetapan harga disebut sebagai naked restraint

(terang-terangan), jika perjanjian tersebut tidak terjadi pada suatu perusahaan joint

venture yang dilakukan oleh peserta (pihak-pihak) dalam kegiatan usaha patungan

tersebut.30 Dalam prakteknya, jarang ditemukan perjanjian yang secara terang-terangan

berisi tentang kesepakatan untuk menetapkan harga. Meskipun kadangkala dengan

mudah ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya perjanjian (express

agreement) sejenis itu.31 Sebaliknya, ketika tidak ada bukti-bukti yang secara langsung

menunjukkan adanya perjanjian, maka diperlukan bukti-bukti tidak langsung yang

mellingkupi terjadinya perjanjian, seperti persekongkolan untuk menentukan harga atau

non harga.32 Guna mengantisipasi terjadinya perjanjian penetapan harga, di bawah ini

terdapat karakteristik pasar yang mendukung terwujudnya price fixing:33

a. Konsentrasi Pasar (Market Concentration); Adanya (hanya) sejumlah kecil perusahaan sejenis yang beroperasi di

pasar akan mempermudah terbentuknya kesepakatan di antara mereka. Asumsi

ini didasarkan pada dua alasan, pertama, bahwa perusahaan-perusahaan

tersebut harus melakukan pertemuan secara rahasia dan mengkomunikasikan

gagasan mereka satu sama lain. Sebaliknya, semakin besar jumlah peserta

kartel, akan semakin sulit melakukan pertemuan rahasia, atau dengan kata lain,

lebih mudah untuk mendeteksi pertemuan rahasia yang terdiri dari banyak

jumlah anggota. Alasan yang kedua, adalah bahwa berangkat dari perbedaan

29ibid30 Herbert Hovenkamp, Loc. Cit. 31 E. Thomas Sullivan and Jeffrey L. Harrison, Op. Cit., h. 126. 32 Ibid. 33 Herbert Hovenkamp, Op. Cit., h. 71-72.

10

Page 11: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

kondisi anggota kartel, maka akan lebih mudah menyeragamkan harga jika kartel

hanya diikuti beberapa anggota saja.

Sebagai contoh perkara di atas adalah penetapan harga oleh pelaku usaha

angkutan laut khusus barang (kargo) untuk trayek Jakarta-Pontianak-Jakarta,

yang melibatkan empat (4) perusahaan, yakni PT Perusahaan Pelayaran

Nusantara Panurjwan, PT Pelayaran Tempuran Emas, Tbk., PT Tanto Intim Line,

dan PT Perusahaan Pelayaran Wahana Barunakhatulistiwa. Perkara bermula

dari adanya perang tarif pada trayek Jakarta-Pontianak hingga mencapai

Rp.800.000,- per-Teus (twentieth equivalent units), di mana tingkat harga

tersebut secara ekonomi tidak lagi dapat menutupi kegiatan operasionalnya.

Guna mengatasi hal ini, INSA berinisiatif mengadakan pertemuan dengan empat

perusahaan pelayaran yang beroperasi pada trayek tersebut. Tujuan pertemuan

di antara mereka adalah untuk melakukan penyesuaian tarif secara transparan

dalam hal biaya produksi, struktur bisnis, dan lain-lain, untuk kemudian

dituangkan dalam bentuk kesepakatan tarif yang mengikat para pihak. Tarif uang

tambang petikemas dari Jakarta ke Pontianak yang disepakati bersama adalah

sebesar Rp. 1.600.000,- per-Teus. Dalam perjanjian tersebut juga diatur

ketentuan mengenai sanksi apabila melanggar kesepakatan, salah satunya

adalah tidak diberikannya pelayanan operasional di pelabuhan. Kesepakatan ini

dibuat untuk jangka waktu tiga bulan, dan dapat diadakan evaluasi serta dapat

diperpanjang kembali. Berkaitan dengan adanya kesepakatan tersebut, maka

dalam Putusan Perkara Inisiatif Nomor 02/KPPU-I/2003, KPPU menyatakan

pembatalan perjanjian tersebut. Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk

Kesepakatan Bersama Tarif Uang Tambang Peti Kemas Jakarta- Pontianak-

Jakarta, ditanda-tangani oleh empat perusahaan pelayaran, INSA, dan Direktur

Lalu Lintas dan Angkutan Laut sebagai pihak regulator/fasilitator, dianggap

bertentangan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

b. Hambatan Masuk (Barriers to Entry); Hambatan masuk (pasar) adalah beberapa faktor di pasar yang membuat

“biaya” melakukan kegiatan bisnis serupa bagi pelaku usaha baru (new entrant)

11

Page 12: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

menjadi lebih tinggi dibandingkan biaya yang dibebankan terhadap perusahaan

yang telah eksis sebelumnya. Hambatan masuk yang tinggi merupakan upaya

esensial bagi kartel yang efektif, karena ketika pasar kartel memperoleh profit

yang tinggi, hal ini akan menjadi daya tarik bagi pelaku usaha baru (new entrant)

untuk masuk pasar yang sama. Jika dalam suatu pasar kartel yang menetapkan

harga tinggi “kebanjiran” perusahaan-perusahaan baru yang masuk pasar, maka

kartel tersebut tidak dapat beroperasi dengan baik, dan pada akhirnya berakibat

pada berakhirnya kartel. Hambatan masuk tersebut meliputi biaya-biaya

permodalan yang harus dibayar oleh pelaku usaha baru lebih tinggi daripada

perusahaan yang telah ada. Hambatan tersebut juga dapat berupa persyaratan

pemberian lisensi oleh pemerintah yang sulit atau tidak mungkin dilaksanakan

bagi pelaku usaha baru.

c. Metode Penjualan (Sales Methods); Metode penjualan yang paling kondusif terwujudnya perjanjian penetapan

harga adalah dalam suatu pelelangan, di mana pihak penjual membuka harga

melalui lelang, dan para anggota kartel menanggapi dengan harga tertentu yang

telah disepakati sebelumnya di antara mereka. Mereka juga akan menyepakati

dan menentukan pihak mana yang akan memenangkan tender. Dalam pasar

demikian, jika salah seorang anggota mengingkari kesepakatan tersebut, maka

akan segera diketahui oleh anggota lainnya.

d. Homogenitas Produk (Product Homogeneity); Adanya kesamaan produk mempermudah bekerjanya suatu kartel harga,

terutama bagi bidang-bidang usaha yang memiliki karakteristik unik. Namun pada

akhirnya konsumen akan menyangsikan produk yang mereka beli, karena

adanya keseragaman harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha. Sebaliknya,

heterogenitas produk akan membuat konsumen mempunyai pilihan atas varian

produk yang ditawarkan, sehingga pada akhirnya mempersulit terjadinya kartel

harga. Seperti yang terjadi dalam penetapan tarif taksi di wilayah DKI Jakarta

melalui SK Gubernur, yang berakhir pada munculnya dua macam tarif yakni tari

lama dan tarif baru dengan masing-masing kondisi layanan jasanya. Dalam hal

12

Page 13: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

ini, konsumen mempunyai pilihan untuk menentukan apakah akan menggunakan

jasa taksi tarif lama atau tarif yang baru.

e. Adanya Sarana Kerjasama (Facilitating Devices); Bekerjanya suatu penetapan harga dapat secara efektif berjalan jika

terdapat sarana untuk melakukan tindakan kerjasama, misalnya standarisasi

produk, integrasi vertikal dan pengaturan harga penjualan kembali, adanya

pengumuman harga penjualan (implisit maupun eksplisit), serta pengiriman pola

harga dasar. Kegiatan seperti ini mudah dilakukan jika para pengusaha

tergabung dalam satu asosiasi dagang, seperti yang terjadi pada asosiasi

semen, elektronik, bahkan industri makanan yang menguasai jenis makanan dari

tingkat produksi sampai dengan pemasarannya.

Salah satu contoh perkara penetapan harga yang didukung oleh sarana

kerjasama dalam asosiasi adalah Putusan Perkara Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang

Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas AC. Dugaan penetapan harga ditujukan pada

penyelenggara angkutan umum, yakni PT Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum

PPD, PT Bianglala Metropolitan, PT Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan

berawal dari kesepakatan di antara pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung

dalam Organda, untuk menaikkan tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300,

dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang

Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta.

Berdasarkan surat ini, mereka yang tergabung dalam asosiasi, yakni DPD Organda DKI

Jakarta, kemudian mengajukan surat kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk

konsultansi tarif Bus Kota Patas AC. Sesuai dengan permohonan tersebut, maka

Gubernur mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33 tanggal 4 September 2001

mengenai Penyesuaian Tarif Angkutan, dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.

Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain

adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka

menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya pokok

13

Page 14: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara seragam,

meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan yang hanya memiliki sedikit armada

bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan besarnya tarif angkutan

tersebut, sehingga hanya mengikuti saja kesepakatan di antara pihak penentu.

Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui beberapa penyelenggara

angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan, karena seharusnya yang

berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para penyelenggara, disesuaikan

dengan biaya produksi masing-masing operator bus kota.

Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi, maka

Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di antara para

penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus

kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-penumpang.

C. MENDETEKSI DAN MEMBUKTIKAN KARTEL DALAM HUKUM PERSAINGAN

Hal yang paling penting guna mengungkap adanya kartel adalah proses

mendeteksi dan membuktikan kartel, karena kecermatan penggunaan metode dalam

kedua proses tersebut menentukan berhasil-tidaknya penemuan atas suatu kartel.

1. Pendeteksian terhadap adanya KartelDeteksi terhadap kartel merupakan langkah awal dalam proses penegakan

hukum. Dalam hal ini diperlukan penentuan pimpinan (aktor utama) atas tindakan

kartel, karena tanpa mengetahui adanya pelaku utama, sulit melakukan investigasi atas

suatu kartel. Namun demikian, pendeteksian atas adanya pelaku utama kartel bukanlah

merupakan alat bukti yang cukup untuk menggugat suatu kartel. Guna mendeteksi

suatu kartel, paling tidak harus memenuhi prosedur berikut ini:

a. Deteksi atas pelaku utama kartel;

b. Mengumpulkan alat bukti tambahan (investigasi atas fakta);

c. Penilaian hukum atas fakta;

d. Keputusan atas lanjut atau tidak lanjutnya penyelidikan atas kartel;

e. Penanganan perkara terhadap kartel.*)

14

Page 15: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Penjelasan di atas menunjukkan, bahwa pencegahan yang paling ampuh atas

suatu kartel adalah mendeteksi perilaku kartel secara efektif serta menjelaskan

konsekuensi kepada pihak terkait jika terdapat tindakan kartel. Karena itu, pertama,

harus terdapat ancaman serius dari lembaga pengawas persaingan bagi perusahaan

yang tertangkap melakukan kartel. Kedua, pelaku-pelaku kartel harus dibebani sanksi.

Adanya konsekuensi yang jelas atas suatu kartel paling tidak bermanfaat atas dua hal,

yakni pertama, mencegah kartel yang terkonstruksi; kedua, memperkuat efektivitas

beberapa metode mendeteksi suatu kartel.

Dalam mendeteksi kartel diperlukan petunjuk dan informasi atas pelopor dalam

kartel. Namun demikian, tanpa pengetahuan yang cukup tentang elemen-elemen kunci

atas kartel, yakni kemungkinan-kemungkinan cara tentang bagaimana implementasi

tindakan kartel, serta dampak negatif kartel terhadap persaingan dan kesejahteraan

konsumen. Hal ini merupakan langkah yang sangat sulit untuk menemukan petunjuk

atas tindakan kartel. Dalam hal ini, adalah suatu keharusan dalam mendeteksi kartel,

bahwa seseorang harus mengetahui tindakan apa yang akan dicari dan bersikap hati-

hati dalam menentukan perilaku mana yang dianggap illegal. Sikap dan tindakan inilah

yang seharusnya dimiliki dan dilakukan oleh otoritas persaingan.

Hal tersebut di atas selain dipahami oleh otoritas persaingan, juga dimengerti

oleh pelaku usaha, konsumen, dan stake holders lain yang berpartisipasi dalam

transaksi ekonomi. Secara umum, ketentuan ini sangat berguna sebagai informasi

terhadap otoritas persaingan dalam proses mendeteksi, sehingga pihak-pihak terkait

dapat menggugat atau paling tidak “meniupkan peluit” (blow a whistle) tentang tindakan

yang dicurigai sebagai kartel. Hal yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa

pada hakekatnya kartel berdampak negatif terhadap kesejahteraan konsumen,

sehingga yang terpenting adalah jika kartel dapat dideteksi dan digugat. Di samping itu,

setiap orang dapat melaporkan, atau “meniupkan peluit” atas adanya tindakan kartel

terhadap otoritas persaingan.

Apabila tidak terdapat pemahaman dan pengetahuan dalam mendeteksi kartel,

juga tidak terdapat edukasi dan cara penanganan perkara yang tepat (secara internal),

serta tidak terdapat advokasi yang mencukupi terhadap stake holders (secara

15

Page 16: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

eksternal), maka tidak akan tercipta suatu awareness atas tindakan kartel. Bahkan,

tindakan seperti penetapan harga atau pembagian pasar akan menjadi praktek yang

biasa dilakukan, yang pada akhirnya menjadi dilegitimasikan. Jika hal ini terjadi, akan

memakan banyak waktu untuk mengubah perilaku umum (yang dilegitimasi) atas kartel

illegal.

Guna mencapai efektiitas awareness atas kartel, otoritas persaingan dapat

melakukan langkah-langkah berikut:

a. Mempublikasikan putusan-putusan (baik dalam website maupun majalah) dan informasi yang relevan dengan kartel, mencakup pula press releases;

b. Membujuk warganegara, pelaku usaha pesaing, dan konsumen untuk melaporkan tindakan yang dicurigai kartel kepada otoritas persaingan;

c. Berpartisipasi (sebagai pembicara) dalam konferensi dan seminar yang diorganisasikan oleh industry dan sektor tertentu guna mempresentasikan tugas otoritas persaingan;

d. Melakukan pertemuan berkala dengan media.

Biasanya tindakan kartel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia,

sehingga deteksi terhadap kartel bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam hal ini,

terdapat beberapa metode untuk mendeteksi penemuan atas tindakan kartel. Namun

tampaknya tergantung juga dari pengalaman masing-masing Negara, dimana terdapat

tidak hanya satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menangani kartel dengan

kondisi yang variatif. Artinya, bahwa otoritas persaingan dapat menggunakan berbagai

cara yang efektif dalam melakukan investigasi untuk mendeteksi kartel, yang tidak

hanya tergantung pada satu metode pendakatan saja.

Beberapa pendekatan dapat bersifat saling melengkapi satu sama lain, dan

efektivitas dari pendekatan adalah tergantung dari lebih-kurangnya kredibilitas dan

komitmen otoritas persaingan dalam penggunaan metode tersebut. Secara umum,

otoritas persaingan menggunakan kombinasi teknik dan alat (instrument) untuk

mengatur strategi yang tinggi untuk mendeteksi kartel. Sebaiknya, strategi ini dimuat

dalam aturan hukum yang mendasari kegiatan pengawasan oleh otoritas persaingan di

masing-masing Negara.

16

Page 17: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Penting untuk diperhatikan, bahwa ruang lingkup tugas dan fungsi otoritas

persaingan akan mengalami perubahan yang sangat dinamis mengikuti perkembangan

dinamika ekonomi dan dunia usaha. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu

mengantisipasi perkembangan teknik yang digunakan otoritas persaingan untuk

mendeteksi kartel. Dengan kata lain, strategi yang digunakan otoritas persaingan dalam

mendeteksi kartel harus senantiasa dikembangkan, dengan cara mengubah kebijakan

penegakan dengan menyesuaikan perubahan dan perkembangan di dunia usaha.

Secara umum, terdapat dua (2) metode pendekatan untuk mendeteksi kartel,

yakni Metode Reaktif dan Metode Proaktif. Metode Reaktif adalah metode yang

didasarkan pada beberapa kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas persaingan

menyadari beberapa kemungkinan atas issue kartel dan memulai suatu investigasi.

Dalam hal terdapat kartel yang dilakukan secara tersembunyi, maka sangat efektif jika

menggunakan informasi orang dalam (inside information) untuk mendeteksi kartel.

Informasi orang dalam dapat berasal dari perusahaan (pelaku kartel) atau para individu

yang mengetahui kartel tersebut, kemudian melaporkannya kepada otoritas persaingan.

Metode lainnya adalah Metode Proaktif, yakni metode pendekatan yang

diinisiasi oleh otoritas persaingan untuk mendeteksi kartel, dan tidak berkaitan dengan

peristiwa eksternal. Adapun bentuk penggunaan Metode Proaktif adalah analisis/studi

tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, penelusuran melalui media,

monitoring kegiatan industri atau sektor tertentu, serta pertukaran pengalaman maupun

best practices dari otoritas persaingan lainnya.

Terdapat berbagai alasan otoritas persaingan dalam menggunakan Metode

Proaktif. Alasan yang paling penting adalah bahwa kedudukan dan fungsi otoritas

persaingan yang independen, tidak tergantung pada kondisi atau peristiwa eksternal,

melainkan sangat mengatur dan terlibat dalam proses deteksi. Bahkan dalam hal

otoritas persaingan kekurangan atau bahkan kehilangan informasi ( inside information),

yang berkaitan dengan kartel, maka deteksi atas kartel masih tetap dapat dilanjutkan.

Metode Proaktif dapat menjadi pelengkap dari metode Reaktif, seperti misalnya

mendorong para pihak baik secara individual maupun perusahaan untuk bertindak

sebagai whistle blower atau bahkan untuk menerapkan leniency.

17

Page 18: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11

tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Pedoman tentang Kartel) juga

memberikan petunjuk tentang indikator awal dalam mengidentifikasi kartel, baik dari sisi

perilaku (conduct) maupun structural (structure).34 Dari aspek perilaku, indikator yang

mudah dilakukan deteksi adalah adanya transparansi dan kemudahan dalam

melakukan pertukaran informasi diantara anggota kartel, yang biasanya hal ini

diakomodasi dalam asosiasi dagang. Peran asosiasi akan menjadi penting ketika

terdapat informasi data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi secara

periodik, sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap kesepakatan kartel.

Petunjuk lain dari aspek perilaku adalah pengaturan harga dalam suatu industri,

misalnya one price policy atau price parallelism dimana kesamaan tingkat dan/atau

pergerakan harga di beberapa daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar

anggota atas kesepakatan kartel. Pada umumnya harga yang ditetapkan oleh para

anggota kartel adalah jauh di atas harga wajar, dan guna mengetahui seberapa besar

tingkat kewajaran harga produk tertentu, perlu dilakukan beberapa metode pendekatan

atas harga (benchmarking price).

Hal lain yang perlu diwaspadai dalam hal kebijakan harga dalam perilaku kartel

adalah pembatasan pasokan produk, yang dimaksudkan untuk menahan harga agar

tetap jauh di atas harga persaingan. Para anggota secara sengaja tidak memproduksi

barang secara optimal, sehingga akan terjadi kelangkaan yang mengakibatkan harga

eksesif, yang pada akhirnya konsumenlah yang dirugikan.

2. Pembuktian Unsur-unsur dalam Kartel

Pedoman tentang Kartel mencoba memberikan petunjuk pelaksanaan

membuktikan dan menentukan unsur-unsur adanya kartel.35 Pasal 11 UU Nomor 5

Tahun 1999 mengharuskan KPPU membuktikan beberapa unsur seperti Pelaku Usaha, 34 Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 15-18.

35 Penjabaran unsure Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999, Peraturan Komisi Nomor 4 Tahun 2010 tentang Kartel berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

18

Page 19: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

perjanjian, pelaku usaha pesaing, bermaksud mempengaruhi harga, mengatur produksi

dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli, dan dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.

Dari ketentuan tersebut yang menyatakan adanya dampak terhadap persaingan,

dapat dikatakan bahwa Undang-undang mengamanatkan penggunaan metode

pendekatan Rule of Reason. Hukum Persaingan mengenal dua pendekatan hukum, per

se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal dan rule of reason adalah

metode yang digunakan untuk menilai suatu tindakan tertentu pelaku bisnis yang

dianggap melanggar Undang-undang Antimonopoli.36 Pendekatan rule of reason

merupakan suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan untuk

membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna

menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau

mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan

setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih

lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.37

Unsur pertama yang harus dibuktikan adalah pelaku usaha, yang berdasarkan

Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Taun 1999 didefinisikan sebagai “setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”. Untuk

kasus dugaan kartel, pelaku usaha yang terkait dalam kartel biasanya lebih dari dua

pelaku, bahkan tidak jarang terjadi dalam asosiasi-asosiasi dagang dengan cara saling

melakukan pertukaran informasi di bidang harga, pasokan produk maupun pembagian

wilayah.

36 Pada tahun 1914, The Sherman Act 1890 disempurnakan dengan dikeluarkannya Act to Supplement Existing Laws Against Unlawful Restraints and Monopolies yang dikenal dengan sebutan the Clayton Act. Pada tahun yang sama diterbitkan Act to Create a Federal Trade Commission, to Define Its Powers and Duties, and for Other Purposes yang lebih dikenal dengan the Federal Trade Commission Act. Kemudian pada tahun 1936, the Clayton Act disempurnakan dengan the Robinson-Patman Act, di mana penyempurnaannya terbatas pada Pasal 2 the Clayton Act yang mengatur tentang Diskriminasi Harga. Lihat Stephen F. Ross, Principles of Antitrust Law, (Westbury New York: The Foundation Press, Inc., 1993), h. 395-399.37 R. S. Khemani and D. M. Shapiro, Glossary af Industrial Organisation Economics and Competition Law, (Paris: OECD, 1996), h. 51.

19

Page 20: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Unsur perjanjian merupakan hal yang signifikan untuk dibuktikan, karena pada

hakekatnya kartel merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilarang dalam UU

Nomor 5/1999. Namun mengingat pengertian Perjanjian dalam Pasal 1 angka 7 UU

Nomor 5/1999 yang antara lain menyatakan bahwa bentuk perjanjian meliputi baik

tertulis maupun tidak tertulis, maka KPPU berusaha keras membuktikan adanya kartel

yang umumnya tidak menemukan perjanjian tertulis. Pembuktian perjanjian tidak tertulis

dapat dilakukan melalui bukti kesepakatan yang tertuang dalam agenda rapat dalam

bentuk catatan-catatan (minutes) maupun notulen. Dalam hal ini, andaikanpun terdapat

perjanjian tertulis, seringkali KPPU mengalami kesulitan memperoleh data tersebut.

Kesulitan mendapatkan bukti adanya perjanjian disebabkan beberapa hal, antara lain

pelaku usaha tidak kooperatif dan menolak memberikan data; di sisi lain ketiadaan

kewenangan KPPU untuk menggeledah dan menyita dokumen yang diperlukan sebagai

pembuktian.

Unsur pelaku usaha pesaingnya adalah pelaku usaha dalam Pasar

Bersangkutan, dimana konsep dan pengertian Pasar Bersangkutan diatur berdasarkan

Peraturan Komisi Nomor 3 Tahun 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10 tentang

Pasar Bersangkutan.

Perilaku para anggota kartel untuk mempengaruhi harga merupakan salah satu

unsur penting yang dijadikan indikasi awal adanya kartel. Hal ini mengingat tujuan akhir

pembentukan kartel adalah maksimalisasi profit dengan menetapkan harga eksesif

melalui berbagai cara, misalnya membatasi kapasitas produksi dan pasokan barang

sehingga harga tetap tertahan di level yang supra kompetitif.

Unsur lain yang perlu dibuktikan adalah mengatur produksi dan/atau pemasaran

barang dan/atau jasa. Pengaturan produksi diartikan sebagai menentukan jumlah

produksi baik bagi anggota kartel keseluruhan maupun bagi setiap anggota.

Pengaturan ini bisa lebih kecil dan lebih besar dari kapasitas produksi perusahaan atau

permintaan barang dan/atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan pengertian mengatur

pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah mana para

anggota menjual produksinya.38

38 Pedoman tentang Kartel, h. 11.

20

Page 21: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Unsur yang terakhir adalah unsur dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli, yang diartikan sebagai pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih

pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran barang

atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.39 Sementara

unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar

pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau

jasa dengan cara tidak jujur. Pembuktian terhadap 2 (dua) unsur dampak yang terakhir

ini seringkali menimbulkan kesulitan otoritas persaingan, karena Undang-undang

mendefinisikannya secara luas. Dikaitkan dengan tujuan pembentukannya, maka salah

satu tujuan dibentuknya UU Nomor 5/1999 adalah kesejahteraan konsumen. Oleh

karena itu, KPPU mengartikan unsur dampak sebagai adanya kerugian yang diderita

konsumen.

Polemik yang muncul di masyarakat tentang pembuktian dan pengungkapan

kartel ini adalah adanya perdebatan istilah direct dan indirect evidence. Sampai saat ini

belum terdapat tulisan yang komprehensif yang dapat menjelaskan mengenai dua jenis

dan istilah alat bukti tersebut dikaitkan dengan system pembuktian dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Adapun alat bukti yang diatur dalam Pasal 42 UU

Nomor 5/1999 meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen,

petunjuk, dan keterangan pelaku usaha.

Berdasarkan jenis alat bukti tersebut di atas, maka alat bukti yang diperlukan

untuk menangani kartel dapat dikatagorikan, antara lain:

1. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah pemasaran;

2. Dokumen atau rekaman daftar harga (price list), jumlah produksi dan jumlah penjualan di wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (semesteran atau tahunan);

3. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan);

4. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat selama beberapa periode terakhir;

39 Lihat Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

21

Page 22: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

5. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.

6. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau pertukaran informasi antar para peserta kartel;

7. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel;

8. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam kartel;

9. Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong kartel.40

D. PENUTUP

Salah satu tujuan penting pengaturan Hukum Persaingan adalah pencegahan

dan penanganan terhadap kartel, karena hampir dapat dipastikan bahwa dampak atas

kartel adalah menghambat persaingan dengan cara menaikkan harga atau profit. Kartel

dianggap merugikan konsumen karena harga maupun profit eksesif yang ditetapkan

oleh pelaku-pelaku kartel merupakan pemindahan kesejahteraan dari konsumen

kepada pelaku kartel. Oleh karena itu, diperlukan deteksi, penyelidikan dan

pengungkapan disertai pembebanan sanksi yang berat terhadap pelaku kartel, sebab

hal ini merupakan salah satu tugas yang paling penting dari lembaga pengawas

persaingan di seluruh dunia.

Deteksi terhadap kartel merupakan pencegahan yang paling ampuh atas suatu

perilaku kartel secara efektif, karena dapat menjelaskan konsekuensi kepada pihak

terkait mengenai dampak dan akibat yang ditimbulkan atas kartel. Secara umum,

terdapat dua (2) metode pendekatan untuk mendeteksi kartel, yakni Metode Reaktif dan

Metode Proaktif. Metode Reaktif adalah metode yang didasarkan pada beberapa

kondisi eksternal yang terjadi sebelum otoritas persaingan menyadari beberapa

kemungkinan atas issue kartel dan memulai suatu investigasi, misalnya dengan

menggunakan informasi orang dalam untuk mendeteksi kartel. Metode lainnya adalah

40 Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

22

Page 23: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Metode pendekatan Proaktif, yakni metode pendekatan yang diinisiasi oleh otoritas

persaingan untuk mendeteksi kartel. Inisiatif ini dapat dilakukan dalam bentuk

penggunaan analisis/studi tentang ekonomi atau analisis/studi tentang pasar, atau

monitoring kegiatan industri/sektor tertentu dengan menggunakan analisis ekonomi.

Penggunaan analisis ekonomi dalam kartel baik melalui Pendekatan Structural

(structural approach) dan Pendekatan Perilaku (behavioural approach). Pendekatan

Struktural meliputi identifikasi pasar dengan karakteristik yang kondusif untuk

melakukan tindakan kolusif. Dalam beberapa studi atau literatur ekonomi dapat

diidentifikasikan beberapa faktor terkait dengan struktur pasar dan kekuatan pasar yang

mendorong atau memfasilitasi terbentuknya perilaku kartel. Faktor-faktor ini dapat

dijadikan sebagai indikasi-indikasi terbentuknya suatu kartel. Sebagai contoh misalnya

terbentuknya kartel dalam suatu pasar akan mudah terjadi jika pasar terdiri atas

beberapa pelaku usaha, dengan produk yang homogen, dan permintaan (demand)

yang stabil. Pendeketan lain adalah Pendekatan Perilaku, yang lebih menekankan pada

sebuah output berupa adanya kemungkinan tindakan koordinatif antar pelaku kartel.

Pendekatan ini berfokus pada dampak teradap pasar atas koordinasi tersebut. Hal-hal

yang perlu dicurigai antara lain adalah harga, rabat atau diskon yang sama atau identik

di antara pesaing, pergerakan harga yang parallel atau kenaikan harga yang unjustified

atau unexplained, atau pemasok yang berbeda menaikkan harga dengan margin yang

sama dalam waktu yang bersamaan. Namun demikian, kadangkala peningkatan harga

secara parallel merupakan petunjuk adanya pasar yang bersaing secara ketat (highly

competitive).

Penggunaan analisis ekonomi dalam mendeteksi maupun membuktikan kartel

bermanfaat sebagai upaya pencegahan terhadap dampak negatif atas tindakan kartel,

terutama kerugian konsumen atau masyarakat secara umum, serta pelaku usaha

pesaing yang merupakan pemain baru yang bermaksud masuk pasar bersangkutan.

Dalam mengungkap perkara kartel, mengingat dampak yang signifikan yang

ditimbulkan atas kartel baik terhadap pesaing maupun konsumen, maka diperlukan

penguatan kewenangan KPPU untuk menggeledah maupun menyita dokumen. Selain

itu, perlu penerapan leniency program yang di banyak negara terbukti ampuh dalam

mengungkap adanya kartel. Pada akhirnya, dibutuhkan juga kemampuan melakukan

23

Page 24: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

analisis ekonomi dari otoritas persaingan (KPPU), serta kerjasama stake holders untuk

menyediakan data yang sifatnya publik, serta para pelaku usaha yang diduga

melakukan kartel, agar tercipta iklim persaingan sehat di dunia usaha.

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: Web viewkarena perjanjian tersebut termasuk kesepakatan antara dua pelaku usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal

Heidenhain, Martin, et. al. German Antitrust Law. Frankfurt am Main: Verlap Fritz Knapp GmbH, 1999.

Kaysen, Carl dan D. Turner. Antitrust Policy: an Economic and Legal Analysis. Cambridge: Harvard University Press, 1971.

Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang Kartel berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Purba, Hasim. Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern. http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf (14 September 2007 ).

Roberts, Neil, E. “Cartel and Joint Ventures”. Antitrust Law Journal, vol. 57, 1988.

Scherer, F dan D. Ross. Industrial Market Structure and Economic Performance, 2d ed. 1980.

Sullivan, E. Thomas dan Jeffrey L. Harrison. Understanding Antitrust and Its Economic Implications. New York: Matthew Bender & Co., 1994.

Sullivan, Lawrence Anthony. Antitrust. Saint Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1977.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

25