Sejarah.docx

19
AUTOPSI VIRTUAL Sejarah Autopsi Virtual Autopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat terhadap autopsi konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam bidang medical imaging. Autopsi konvensional kini sering ditolak oleh anggota keluarga atau tidak ditoleransi oleh agama dalam masyarakat multikultural, hal ini yang mencetuskan bahwa autopsi konvensional dapat digantikan dengan pencitraan non-invasif dan jika diperlukan pengambilan sampel jaringan yang dipandu dengan pencitraan minimal invasif dan oleh angiografi untuk cedera pembuluh darah. Dunia kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan dalam konteks keilmuannya. Autopsi virtual dengan teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun 1977. Hal ini terus berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi 3 dimensi dalam pemeriksaan post mortem (Afandi, 2009; Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006). Penerapan computed tomography (CT) pertama pada forensik adalah penjelasan pola luka tembak pada kepala oleh Wullenweber dkk pada 1977. Karena terbatasnya kualitas gambar dan resolusi dan output yang tidak memuaskan pada dulunya, hanya beberapa penelitian yang dihubungkan dengan temuan patologis. Studi perbandingan dari autopsi konvensional dan post-mortem CT dilakukan oleh Flodmark dkk pada tahun 1980. Kemudian

Transcript of Sejarah.docx

Page 1: Sejarah.docx

AUTOPSI VIRTUAL

Sejarah Autopsi Virtual

Autopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat terhadap autopsi

konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam bidang medical imaging. Autopsi

konvensional kini sering ditolak oleh anggota keluarga atau tidak ditoleransi oleh agama dalam

masyarakat multikultural, hal ini yang mencetuskan bahwa autopsi konvensional dapat

digantikan dengan pencitraan non-invasif dan jika diperlukan pengambilan sampel jaringan yang

dipandu dengan pencitraan minimal invasif dan oleh angiografi untuk cedera pembuluh darah.

Dunia kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan

dalam konteks keilmuannya. Autopsi virtual dengan teknik pemindaian canggih sebenarnya

sudah mulai digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun 1977. Hal ini terus

berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi 3 dimensi

dalam pemeriksaan post mortem (Afandi, 2009; Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali,

2006).

Penerapan computed tomography (CT) pertama pada forensik adalah penjelasan pola luka

tembak pada kepala oleh Wullenweber dkk pada 1977. Karena terbatasnya kualitas gambar dan

resolusi dan output yang tidak memuaskan pada dulunya, hanya beberapa penelitian yang

dihubungkan dengan temuan patologis. Studi perbandingan dari autopsi konvensional dan post-

mortem CT dilakukan oleh Flodmark dkk pada tahun 1980. Kemudian diperkenalkan spiral CT

oleh Kalender dkk pada 1989, yang membuka jalan menuju penghasilan dan pengolahan data

radiografi 3 dimensi (3D), namun hal ini tidak meningkatkan daya tarik ilmuan forensik dalam

modalitas baru ini. Penelitian mengenai autopsi virtual diselesaikan oleh University of Berne

pada tahun 1990, yang dikembangkan oleh Richard Dirnhofer yang merupakan mantan Direktur

Kedokteran Forensik University of Berne, yang kemudian dilanjutkan oleh Michael Thali.

Michael Thali mengatakan, “Jika anda melakukan autopsi, anda akan merusak geometri 3

dimensi dari jasad. Dengan cara non-invasif menggunakan teknik pencitraan cross-section dapat

sama-sama mendokumentasikannya.” (Mahesh & Kumar, 2015; Patowary, 2008; Dirnhofer,

Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

.

Page 2: Sejarah.docx

Konsep dari dokumentasi objektif dan non-invasif terhadap permukaan tubuh untuk

kepentingan forensik muncul pada awal tahun 1990-an dengan perkembangan fotografi forensik.

Sebagaimana biasanya dalam ilmu forensik, ide ini lahir dari dan dipacu oleh kebutuhan, dalam

hal ini karena tingginya angka bunuh diri di Switzerland. Pada kasus yang membutuhkan

perbandingan senjata pembunuh dengan impresi pada tengkorak korban untuk mengidentifikasi

kemungkinan senjata. Pada tahun 2000, disarankan bahwa dokumentasi permukaan tubuh

dikombinasikan dengan dokumentasi internal tubuh (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, &

Thali, 2006). Michael Thali memperkenalkan istilah virtopsy atau autopsi virtual yang membantu

menentukan penyebab kematian tanpa membelah mayat. Metode ini telah digunakan sejak tahun

2006 untuk menemukan penyebab kematian mendadak di ibukota Swiss (Soltanzadeh,

Imanzadeh, & Keshvari, 2014).

Tidak dapat dipungkiri bahwa autopsi virtual telah membawa angin segar terutama dalam

menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi autopsi virtual lebih baik jika dibandingkan

autopsi konvensional dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, seperti emboli

udara, pneumotoraks, dan patah tulang, akan tetapi tidak untuk kepentingan medikolegal. Sejak

berkembangnya autopsi virtual yang dimotori oleh Richard Dirnhofer, banyak para peneliti

melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan autopsi virtual ini. Titik perhatian utama

para peneliti adalah seberapa akurat autopsi virtual dibandingkan dengan autopsi konvensional.

Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba mengatasi

kekurangan-kekurangan dalam autopsi virtual (Alves, Bige, Maury, & Arrive, 2014; Afandi,

2009).

Definisi

Autopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga kepala,

leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai dengan

pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik maupun dengan dukungan

pemeriksaan laboratorium (Afandi, 2009).

Autopsi virtual disebut juga dengan virtopsy. Istilah virtopsy berasal dari kata virtual dan

autopsy. Kata virtual berasal dari terminologi Latin, virtus yang berarti “berguna, efisien, dan

baik”. Kata autopsi berasal dari terminologi Yunani, auto yang berarti “sendiri” dan opsomie,

Page 3: Sejarah.docx

“melihat” sehingga autopsi berarti “melihat dengan mata sendiri”. Karena bertujuan untuk

menghilangkan subjektivitas yang dimaksud dalam kata autos, maka kata autos dihapus untuk

menciptakan istilah virtopsy yang merupakan gabungan dari virtual dan autopsy. Autopsi virtual

adalah penerapan dari teknik pencitraan 3 dimensi non-invasif untuk mendokumentasikan

permukaan tubuh dan organ-organ interna dari mayat untuk menentukan penyebab dan cara

kematiannya (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006; Ibrahim, Zuki, & Noordin,

2012; Stawicki, Aggrawal, Anil, Dean, & Bahner, 2012).

Teknik Autopsi Virtual

Berbeda halnya dengan autopsi konvensional, pada autopsi virtual tidak memerlukan

diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih

untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam. Teknik pemindaian canggih

sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun 1977. Hal ini

terus berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai menggunakan radiografi 3

dimensi dalam pemeriksaan postmortem (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Pada autopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun

pemotongan jaringan tubuh. Dengan menggunakan teknik pemindaian yang memungkinkan

melihat secara utuh keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posis

dan ukuran luka maupun kedaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa

harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini diyakini menjadi alasan menghindari alasan-alasan

penolakan autopsi konvensional (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Dalam autopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling

melengkapi yaitu:

a. Pemindaian permukaan 3-D yang di desain untuk pemetaan tubuh bagian luar. Pengunaan

alat ini dapat memberikan informasi dan menyimpan gambaran area permukaan secara detail

b. Multi-slice computed tomography (MSCT) dan

c. Magnetic resonance imaging (MRI), yang akan dapat memvisualisasikan tubuh bagian

dalam, sehingga dapat diperiksa secara detail setiap potongan tubuh. Selain itu dengan

menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan melalui

pengukuran kadar metabolit dalam otak, dan untuk sampel pemeriksaan histopatologi

Page 4: Sejarah.docx

forensik juga dapat diambil melalui CT guided needle biopsy. Visualisasi sistem sirkulasi

digunakan postmortem angiography (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Keuntungan Autopsi Virtual

Penerimaan autopsi virtual sebagai pengganti autopsi konvensional tidaklah serta merta

dapat diterima di Indonesia. Dengan adat ketimuran, masyarakat yang religius seperti autopsi

virtual merupakan angin segar untuk mengatasi permasalahan penolakan autopsi konvensional.

Autopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena

dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan

relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena tidak dibutuhkan pisau bedah serta tidak

harus memotong tubuh (Afandi, 2009).

Sangat efektif dalam menilai luka termasuk menyocokkan dengan senjata yang

memungkinkan. Luka dapat dinilai tanpa merusak bentuk jasad.

Tidak menggunakan metode dengan pisau bedah, sehingga tidak mengakibatkan adanya

infeksi dari darah atau cairan tubuh lainnya.

Tidak memotong bagian-bagian tubuh, sehingga dapat diperiksa ulang tanpa adanya bekas

akibat autopsi sebelumnya.

Data dapat disimpan dalam bentuk digital, sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu dengan

mudah. Data digital yang diperoleh dapat dikonsultasikan kembali setiap kali pertanyaan

baru muncul atau bisa dikirim ke para ahli lain untuk meminta pendapat kedua.

Lebih menghemat waktu dan jasad dapat segera diurus setelah proses pencitraan.

Lebih dapat diterima untuk yang berkaitan dengan suatu penyakit dan oleh kepercayaan yang

tidak menginginkan pembedahan mayat (Patowary, 2008; Dirnhofer, Jackowski, Vock,

Potter, & Thali, 2006).

Dapat menentukan posisi organ in situ yang berbeda serta menjaga keutuhan tubuh manusia

(Rüegger, et al., 2014).

Beberapa penelitian telah menyelidiki akurasi diagnostik post-mortem MRI dibandingkan

otopsi konvensional. Sebagian besar menunjukkan hasil yang baik dalam mendeteksi

kelainan sistem saraf pusat, tetapi relatif hasil buruk untuk deteksi anomali jantung (Rüegger,

et al., 2014).

Page 5: Sejarah.docx

Data yang disediakan 1 : 1 cocok dengan tubuh dan geometri 3D yang benar dalam sumbu

xyz atau dokumentasi spasial, yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah 3D rekonstruksi.

Pendekatan ini memberikan pemeriksaan alternatif atau tambahan yang "melihat" aspek yang

berbeda dari tubuh, seperti CT "melihat" dengan sinar X dan MRI "melihat" distribusi kimia.

Teknik ini dapat dipertimbangkan dalam budaya dan situasi di mana autopsi tidak ditoleransi

oleh agama atau ditolak oleh anggota keluarga (misalnya, alasan psikologis).

Jasad terkontaminasi oleh infeksi, zat beracun, radionuklida, atau bio-hazard lainnya (yaitu,

bioterorisme) dapat dilakukan pemeriksaan tanpa menyentuh jasad.

Sebuah pilihan strategi baru, pememeriksaan dengan langkah yang bijaksana. Hal ini dicapai

dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan eksternal, kemudian mungkin pemindaian

CT, kemudian membaca data, kemudian mungkin MRI, dan mengevaluasi ulang data, dan

akhirnya memutuskan apakah dilakukan atau tidak untuk autopsi konvensional. Dengan

demikian, suatu kasus dapat diperiksa dengan cara yang mengoptimalkan kualitas dan biaya

(Schweitzer, Thali, Breitbeck, & Ampanozi, 2014).

Penerapan Autopsi Virtual

Autopsi Virtual pada Kekerasan Kepala dan Leher

Temuan khas pada radiologis klinis sama pada pencitraan postmoretm. Peningkatan

tekanan intrakranial akibat trauma atau iskemik bermanifestasi pada autposi sebagai herniasi

tentorium pada lobus temporal atau herniasi cerebelum ke foramen magnum, dengan penekanan

pada dasar cerebelum sesuai dengan foramen magnum temuan lain disertai dengan jika

ditemukan peningkatan tekanan intrakranial. Pencitraan postmortem memberikan visualiasi

merinci. Keadaan tersebut sangat membantu khususnya ketika tahap pembusukan menyebabkan

tidak dapat dilaksanakannya investigasi autopsi terhadap otak yang tersisa dan memungkinan

menyingkirkan penyebab lain selain otak (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Page 6: Sejarah.docx

Gambar. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan kematian. (kiri) Gambaran MR yang

menunjukan herniasi bagian basal cerebelum ke dalam foramen magnum. (kanan) Foto autopsi

menunjukan cerebelum, dengan pembengkakan pada tonjolan dan tanda tekanan yang disebabkan oleh

foramen magnum (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Gambar. Pendarahan intrakranial akibat trauma. (kiri) Gambar potongan axial pada pencitraan

memberikan gambaran hipointense pada lobus temporal kiri yang mencapai ruang subarachnoid. (kanan)

Foto autposi tehadap potongan melewati lobus temporal pada otak yang telah difiksir dengan formalin

menunjukan perdarahan yang diakibatkan trauma, dominasi di korteks dan subkorteks (Afandi, 2009).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Avhayev et al membuktikan bahwa

denganmenggunakan MSCT MRI, terjadi herniasi tonsil pada 3 pasien yang meninggal karena

kekerasan pada kepala, dan hasil yang mereka temukan kemudian dikonfirmasi dengan autopsi

konvensional. Baik hasil pemeriksaan MSCT, MRI maupun autopsi konvensional didapatkan

hasil sama. dalam penelitian ini mereka merekomendasikan penggunaan kombinasi antara

keduanya (Aghayev, et al., 2004).

Autopsi Virtual pada Kasus Sudden Death in Infant and Children

Penelitian di Jepang, Menunjukan bahwa pemeriksaan postmortem computer tomography

(PMCT) dengan menggunakan MSCT dan MRI berperan penting dalam mendiagnosis kasus-

kasus kematian mendadak pada bayi dan anak-anak . penyebab pasti dari kematian mendadak

yang terjadi pada anak-anak sebaiknnya dilakukan pemeriksaan PMCT dan pemeriksaan lainnya

seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri (Aghayev, et al., 2004).

Autopsi Virtual pada Jantung

Page 7: Sejarah.docx

Penyebab kematian paling banyak adalah insufisiensi jantung. Penyakit jantung kronik

atau iskemik akut dapat mencetus (a) pengurangan jumlah serat kontraksi secara akut atau (b)

aritmia. Sebagai tambahan, jantung sering menjadi target perlukaan pada bunuh diri atau pada

pembunuhan. Perlukaan pada jantung memberikan manifestasi khas pada pencitraan perikardial

berupa tamponade jantung dam hematothorak. Lebih jauh, kegagalan ventrikel kanan akibat

emboli udara pada cedera kranial (akibat luka tembak, luka pada kepala, luka tusuk pada leher)

merupakan penyebab paling umum kematian yang berhubungan dengan jantung. Pada pencitraan

kontras hingga teknik autopsi tradisional, gambaran CT postmortem memungkinkan untuk

pencitraan 3D terhadap struktur emboli, dengan memberikan gambaran emboli udara (Dirnhofer,

Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Gambar. Trauma jantung (luka tusuk pada jantung). (kiri) Pencitraan jantung menggunakan MRI 2T

melalui apex jantung menunjukan cedera mikard. Diikuti dengan tamponade yang bermanifestasi

sebagai endapan komponen seluler. (kanan) Fotografi terhadapspesime menunjukan laserasi transmural

dari ventrikel kiri di bagian apical (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).

Penelitian autopsi virtual juga dilakukan untuk medeteksi ada tidaknya infak miokard.

Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian dikonfirmasi dengan

pemeriksaan histologi. Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa baik MRI maupun

pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis peracute infarct myocard. Sementara itu

untuk keadaan subacute, acute dan chronic dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan hasilnya

sesuai dengan hasil histopatologi sesuai dengan fase infark yang terjadi (Aghayev, et al., 2004).

Autopsi Virtual pada Paru-paru

Page 8: Sejarah.docx

Pemeriksaan postmortem dapat digunakan untuk menentukan penyebab kematian.

Sebagai contoh, pneumothorak dapat dengan mudah ditemukan melalui pencitraan postmortem.

Udem paru, yang mana sering terlihat pada kematian akibat jantung atau racun, dapat diperiksa

melalui pencitraan seperti peningkatan peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau

peningkatan kepadatan pada gambaran MR. Perlukaan paru pada potongan axial dapat ditandai

dengan adanya gambaran endapan darah. Khas pada kasus tengelam, paru bermanifestasi dengan

emphysema aquosum dan overlaping retrosternal pada lobus atas (Afandi, 2009).

Gambar. Udem paru. (kiri) Pencitraan MR dengan 2T melalui potongan coronal menunjukan

penigkatan kepadatan paru akibat peningkatan jumlah bagian air dalam paru. (kanan) Foto autpsi

menunjukan hilangnya jaringan air setelah suction. Catatan akumulasi edema pada paru sebagai temuan

patologi forensik (Afandi, 2009).

Autopsi Virtual pada Hanging

Untuk menyingkirkan kasus pembunuhan yang dikuti dengan gantung diri seolah-olah

bunuh diri, ahli forensik mencari tanda-tanda vital. Pendarahan ada tempat perlekatan otot

sternokleidomastoideus atau struktur jaringan lunak membuktikan bahwa sirkulasi masih terjadi

ketika terjadi kejadian penjeratan, dan asumsi kuat bahwa masih ada upaya bernafas melawan

oklusi jalan nafas menyebabkan terjadinya ruptur alveorlar yang tampak sebagai

pneumomediastinum ada emfisema jaringan lunak sepanjang leher (Afandi, 2009).

.

Page 9: Sejarah.docx

Gambar. Tanda vital pada kasus gantung diri. (kiri) Pencitraan MR 2T pada potongan sagital menunjukan

area hiperintense pada sekitar strenoklavikula pada daerah insersi otot sternokleidomastodeius. (kanan)

foto autopsi yang menunjukan daerah pendarahan pada daerah sekitar insersi otot sternokleiomastodeus,

temuan yang yang menandakan masih berlangsungnya sirkulasi pada saat penjeratan (Afandi, 2009).

Autopsi Virtual pada Kasus Tenggelam

Temuan autopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan

tempat di mana korban tenggal dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang menggembung dan

kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung dan dilatasi paru-paru kanan dan pembuluh

darah vena. Tanda-tanda tersebut merupakan variabel-variabel yang diteliti dengan

menggunakan MRI dan dikonfirmasi dengan temuan autopsi. Dari hasil penelitian tersebut

didapatkan bahwa adanya sendimentasi pada trakea dan percabangan bronkus utama (93%),

cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru

dengan gambaran ground-glass. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di Switzerland,

meskipun pada penelitian tersebut menggunakan MSCT. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh

berbeda dengan hasil temuan autopsi dan histopatologi (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, &

Thali, 2006).

Pada korban tenggelam, dari CT dapat dikumpulkan informasi mengenai tentang volume,

kepadatan, ukuran paru-paru dan jumlah cairan di dalamnya membantu dalam mendiagnosis

penyebab kematian (Junior, Souza, Coudyzer, Thevissen, Willems, & Jacobs, 2012).

Plattner (2003) melaporkan laporan kasus mengenai autopsi virtual pada kasus

tenggelam, yang ditemukan adalah massive vital decompression dengan barotrauma pulmonal

dan emboli gas mematikan berdasarkan gambaran radiologi. Dalam hal ini, MSCT dan MRI

dapat memberi gambaran perluasan dan penyebaran dari akumulasi gas pada pembuluh darah

intraparenkim dari organ-organ interna sama baiknya pada area tubuh yang tidak dapat dijangkau

oleh autopsi konvensional (Bakri & Jaudin, 2005).

Autopsi Virtual pada Kasus Penembakan

Radiografi sangat berharga dalam penyelidikan forensik dari luka tembak dan secara

umum digunakan untuk menemukan peluru, mengidentifikasi jenis amunisi dan senjata yang

Page 10: Sejarah.docx

digunakan, mendokumentasikan jalan peluru, dan untuk membantu dalam pengambilan peluru.

Pola distribusi fragmen logam di sepanjang jalan peluru merupakan indikasi dari jenis amunisi

yang digunakan. Selain itu, pemulihan jaket peluru sangat penting dalam penyelidikan forensik

karena jaket mengandung karakteristik unik rifling yang memungkinkan para ahli balistik untuk

mengidentifikasi senjata dari mana peluru itu ditembakkan. Jaket peluru biasanya terbuat dari

tembaga atau paduan tembaga dan mudah dibedakan dari inti utama dari peluru pada radiografi.

Penetrator, potongan kerucut kecil logam yang terletak di ujung peluru, dirancang untuk kaku

peluru menembus sasaran. Penembus mungkin fragmen dari sisa peluru dan memiliki

penampilan yang khas di radiografi dan ketika pulih di autopsi. Thali et al telah menunjukkan

bahwa autopsi virtual dalam korban luka tembak berguna untuk melokalisir peluru dalam tiga

dimensi, mendokumentasikan jalan peluru, memvisualisasikan pola fraktur yang berhubungan

dengan luka tembak, dan mengevaluasi cedera organ sebelum autopsy (Levy, et al., 2006).

Delapan korban jiwa dari kasus penembakan diperiksa pencitraan dengan MSCT dan

MRI. CT dan MRI juga mampu mendokumentasikan reaksi vital terhadap tembakan oleh adanya

emboli udara dalam jantung dan pembuluh darah dan membentuk pola klasik akibat aspirasi

darah ke paru. Dilakukan percobaan penembakan pada model tengkorak dengan kecepatan

tinggi, kemudian membandingkan pencitraan dengan hasil dari autopsi konvensional didapatkan

hasil yang sangat mirip (Bakri & Jaudin, 2005).

Autopsi Virtual pada Kasus Trauma

Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering menyebabkan kematian.

Tulang yang paling sering terkena berturut-turut adalah tulang iga, kepala, wajah, tibia, dan

pelvis. Sementara itu organ dalam yang paling sering mengalami laserasi akibat kekerasan tumul

adalah hati, paru, jantung, dan lien. Dari penelitian didapatkan bahwa PMCT memiliki

kelemahan dalam mendeteksi adanya gas dalam rongga tubuh (Dirnhofer, Jackowski, Vock,

Potter, & Thali, 2006).

Aghayev (2004) mendokumentasikan tiga laporan kasus mengenai trauma tumpul kepala

yang fatal menggunakan post-mortem MSCT dan MRI yang menunjukkan gambaran jejas masif

pada tulang dan jaringan lunak dari kepala dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial

dengan herniasi dari tonsil serebelar. Penemuan yang sama pada autopsi konvensional yang

dilakukan setelah autopsi virtual. Suatu laporan kasus dengan objek mendemonstrasikan new 3D

Page 11: Sejarah.docx

real data berdasarkan pendekatan teknologi geometrik. Aghayev (2004) mendukung pencitraan

post-mortem baik untuk alat visualiasasi yang potensial untuk mendokumentasi dan memeriksa

jejas pada tubuh (Bakri & Jaudin, 2005).

Peranan Autopsi Virtual dalam Proses Identifikasi

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, D. (2009). Otopsi Virtual. Majalah Kedokteran Indonesia, 327-332.

Aghayev, E., Yen, K., Sonnenschein, M., Ozdoba, Christof, Thaili, M. J., et al. (2004). Virtopsy

Post-mortem Multi-slice Computed Tomography (MSCT) and Magnetic Resonance

Imaging (MRI) Demonstrating Desending Tonsillar Herniation: Comparation to Clinical

Studies. Neuroradiology, 46-64.

Alves, M., Bige, N., Maury, E., & Arrive, L. (2014). Pulmonary Embolism Diagnosed by

Contrast-enhanced Virtopsy. American Journal of Respiratory and Critical Care

Medicine, 1-2.

Bakri, R., & Jaudin, R. (2005). Virtual Autopsy. Technology Review, 1-13.

Bewi, S. M., & Suryadi, T. (n.d.). Penentuan Sebab Kematian Virtual Autopsi.

Dirnhofer, R., Jackowski, C., Vock, P., Potter, K., & Thali, M. (2006). VIRTOPSY: Minimally

Invasive, Imaging guided Virtual Autopsy. RadioGraphics, 1305-1333.

Ibrahim, A. O., Zuki, A. B., & Noordin, M. M. (2012). Applicability of Virtopsy in Veterinary

Practice: A Short Review. Pertanika J. Trop. Agric, 1-8.

Junior, A. F., Souza, P. H., Coudyzer, W., Thevissen, P., Willems, G., & Jacobs, R. (2012).

Virtual autopsy in forensic sciences and its applications in the forensic odontology. Rev

Odonto Cienc, 5-9.

Page 12: Sejarah.docx

Levy, A. D., Abbott, R. M., Mallak, C. T., Getz, J. M., Harke, H. T., Champion, H. R., et al.

(2006). Virtual Autopsy: Preliminary Experience in High-Velocity Gunshot Wound

Victims. Radiology.

Mahesh, S., & Kumar, S. R. (2015). Critical Evaluation and Contribution of Virtopsy to Solved

Crime. Research Journal of Forensic Sciences, 1-4.

Patowary, A. (2008). Virtopsy: One Step Forward In The Field Of Forensic Medicine - A

Review. Journal Indian Acad Forensic Med, 32-36.

Rüegger, C. M., Bartsch, C., Martinez, R. M., Ross, S., Bolliger, S. A., Koller, B., et al. (2014).

Minimally invasive, imaging guided virtual autopsy compared to conventional autopsy in

foetal, newborn and infant cases: study protocol for the paediatric virtual autopsy trial.

BMC Pediatrics, 1-5.

Schweitzer, W., Thali, M., Breitbeck, R., & Ampanozi, G. (2014). Virtopsy. Institute of Forensic

Medicine, 1-13.

Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014). Application of robotic assisted

technology and imaging devices in autopsy and virtual autopsy. International Journal of

Computer Science Issues, 104-109.

Stawicki, S. P., Aggrawal, A., Anil, Dean, A. J., & Bahner, D. A. (2012). Postmortem use of

advanced imaging techniques: Is autopsy going digital? OPUS 12 Scientist, 17-26.

Thali, M. J., Jackowski, C., Oesterhelweg, L., Ross, S. G., & Dirnhofer, R. (2007). VIRTOPSY-

The Swiss virtual autopsy approach. Legal Medicine, 100-104.