Sejarah.docx
-
Upload
alif-via-saltika-putri -
Category
Documents
-
view
218 -
download
1
Transcript of Sejarah.docx
AUTOPSI VIRTUAL
Sejarah Autopsi Virtual
Autopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat terhadap autopsi
konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam bidang medical imaging. Autopsi
konvensional kini sering ditolak oleh anggota keluarga atau tidak ditoleransi oleh agama dalam
masyarakat multikultural, hal ini yang mencetuskan bahwa autopsi konvensional dapat
digantikan dengan pencitraan non-invasif dan jika diperlukan pengambilan sampel jaringan yang
dipandu dengan pencitraan minimal invasif dan oleh angiografi untuk cedera pembuluh darah.
Dunia kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan
dalam konteks keilmuannya. Autopsi virtual dengan teknik pemindaian canggih sebenarnya
sudah mulai digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun 1977. Hal ini terus
berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi 3 dimensi
dalam pemeriksaan post mortem (Afandi, 2009; Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali,
2006).
Penerapan computed tomography (CT) pertama pada forensik adalah penjelasan pola luka
tembak pada kepala oleh Wullenweber dkk pada 1977. Karena terbatasnya kualitas gambar dan
resolusi dan output yang tidak memuaskan pada dulunya, hanya beberapa penelitian yang
dihubungkan dengan temuan patologis. Studi perbandingan dari autopsi konvensional dan post-
mortem CT dilakukan oleh Flodmark dkk pada tahun 1980. Kemudian diperkenalkan spiral CT
oleh Kalender dkk pada 1989, yang membuka jalan menuju penghasilan dan pengolahan data
radiografi 3 dimensi (3D), namun hal ini tidak meningkatkan daya tarik ilmuan forensik dalam
modalitas baru ini. Penelitian mengenai autopsi virtual diselesaikan oleh University of Berne
pada tahun 1990, yang dikembangkan oleh Richard Dirnhofer yang merupakan mantan Direktur
Kedokteran Forensik University of Berne, yang kemudian dilanjutkan oleh Michael Thali.
Michael Thali mengatakan, “Jika anda melakukan autopsi, anda akan merusak geometri 3
dimensi dari jasad. Dengan cara non-invasif menggunakan teknik pencitraan cross-section dapat
sama-sama mendokumentasikannya.” (Mahesh & Kumar, 2015; Patowary, 2008; Dirnhofer,
Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
.
Konsep dari dokumentasi objektif dan non-invasif terhadap permukaan tubuh untuk
kepentingan forensik muncul pada awal tahun 1990-an dengan perkembangan fotografi forensik.
Sebagaimana biasanya dalam ilmu forensik, ide ini lahir dari dan dipacu oleh kebutuhan, dalam
hal ini karena tingginya angka bunuh diri di Switzerland. Pada kasus yang membutuhkan
perbandingan senjata pembunuh dengan impresi pada tengkorak korban untuk mengidentifikasi
kemungkinan senjata. Pada tahun 2000, disarankan bahwa dokumentasi permukaan tubuh
dikombinasikan dengan dokumentasi internal tubuh (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, &
Thali, 2006). Michael Thali memperkenalkan istilah virtopsy atau autopsi virtual yang membantu
menentukan penyebab kematian tanpa membelah mayat. Metode ini telah digunakan sejak tahun
2006 untuk menemukan penyebab kematian mendadak di ibukota Swiss (Soltanzadeh,
Imanzadeh, & Keshvari, 2014).
Tidak dapat dipungkiri bahwa autopsi virtual telah membawa angin segar terutama dalam
menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi autopsi virtual lebih baik jika dibandingkan
autopsi konvensional dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, seperti emboli
udara, pneumotoraks, dan patah tulang, akan tetapi tidak untuk kepentingan medikolegal. Sejak
berkembangnya autopsi virtual yang dimotori oleh Richard Dirnhofer, banyak para peneliti
melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan autopsi virtual ini. Titik perhatian utama
para peneliti adalah seberapa akurat autopsi virtual dibandingkan dengan autopsi konvensional.
Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba mengatasi
kekurangan-kekurangan dalam autopsi virtual (Alves, Bige, Maury, & Arrive, 2014; Afandi,
2009).
Definisi
Autopsi adalah pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga kepala,
leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai dengan
pemeriksaan jaringan dan organ tubuh di dalamnya, baik secara fisik maupun dengan dukungan
pemeriksaan laboratorium (Afandi, 2009).
Autopsi virtual disebut juga dengan virtopsy. Istilah virtopsy berasal dari kata virtual dan
autopsy. Kata virtual berasal dari terminologi Latin, virtus yang berarti “berguna, efisien, dan
baik”. Kata autopsi berasal dari terminologi Yunani, auto yang berarti “sendiri” dan opsomie,
“melihat” sehingga autopsi berarti “melihat dengan mata sendiri”. Karena bertujuan untuk
menghilangkan subjektivitas yang dimaksud dalam kata autos, maka kata autos dihapus untuk
menciptakan istilah virtopsy yang merupakan gabungan dari virtual dan autopsy. Autopsi virtual
adalah penerapan dari teknik pencitraan 3 dimensi non-invasif untuk mendokumentasikan
permukaan tubuh dan organ-organ interna dari mayat untuk menentukan penyebab dan cara
kematiannya (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006; Ibrahim, Zuki, & Noordin,
2012; Stawicki, Aggrawal, Anil, Dean, & Bahner, 2012).
Teknik Autopsi Virtual
Berbeda halnya dengan autopsi konvensional, pada autopsi virtual tidak memerlukan
diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih
untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam. Teknik pemindaian canggih
sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan autopsi sejak tahun 1977. Hal ini
terus berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai menggunakan radiografi 3
dimensi dalam pemeriksaan postmortem (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Pada autopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun
pemotongan jaringan tubuh. Dengan menggunakan teknik pemindaian yang memungkinkan
melihat secara utuh keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posis
dan ukuran luka maupun kedaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa
harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini diyakini menjadi alasan menghindari alasan-alasan
penolakan autopsi konvensional (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Dalam autopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling
melengkapi yaitu:
a. Pemindaian permukaan 3-D yang di desain untuk pemetaan tubuh bagian luar. Pengunaan
alat ini dapat memberikan informasi dan menyimpan gambaran area permukaan secara detail
b. Multi-slice computed tomography (MSCT) dan
c. Magnetic resonance imaging (MRI), yang akan dapat memvisualisasikan tubuh bagian
dalam, sehingga dapat diperiksa secara detail setiap potongan tubuh. Selain itu dengan
menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan melalui
pengukuran kadar metabolit dalam otak, dan untuk sampel pemeriksaan histopatologi
forensik juga dapat diambil melalui CT guided needle biopsy. Visualisasi sistem sirkulasi
digunakan postmortem angiography (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Keuntungan Autopsi Virtual
Penerimaan autopsi virtual sebagai pengganti autopsi konvensional tidaklah serta merta
dapat diterima di Indonesia. Dengan adat ketimuran, masyarakat yang religius seperti autopsi
virtual merupakan angin segar untuk mengatasi permasalahan penolakan autopsi konvensional.
Autopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena
dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan
relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena tidak dibutuhkan pisau bedah serta tidak
harus memotong tubuh (Afandi, 2009).
Sangat efektif dalam menilai luka termasuk menyocokkan dengan senjata yang
memungkinkan. Luka dapat dinilai tanpa merusak bentuk jasad.
Tidak menggunakan metode dengan pisau bedah, sehingga tidak mengakibatkan adanya
infeksi dari darah atau cairan tubuh lainnya.
Tidak memotong bagian-bagian tubuh, sehingga dapat diperiksa ulang tanpa adanya bekas
akibat autopsi sebelumnya.
Data dapat disimpan dalam bentuk digital, sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu dengan
mudah. Data digital yang diperoleh dapat dikonsultasikan kembali setiap kali pertanyaan
baru muncul atau bisa dikirim ke para ahli lain untuk meminta pendapat kedua.
Lebih menghemat waktu dan jasad dapat segera diurus setelah proses pencitraan.
Lebih dapat diterima untuk yang berkaitan dengan suatu penyakit dan oleh kepercayaan yang
tidak menginginkan pembedahan mayat (Patowary, 2008; Dirnhofer, Jackowski, Vock,
Potter, & Thali, 2006).
Dapat menentukan posisi organ in situ yang berbeda serta menjaga keutuhan tubuh manusia
(Rüegger, et al., 2014).
Beberapa penelitian telah menyelidiki akurasi diagnostik post-mortem MRI dibandingkan
otopsi konvensional. Sebagian besar menunjukkan hasil yang baik dalam mendeteksi
kelainan sistem saraf pusat, tetapi relatif hasil buruk untuk deteksi anomali jantung (Rüegger,
et al., 2014).
Data yang disediakan 1 : 1 cocok dengan tubuh dan geometri 3D yang benar dalam sumbu
xyz atau dokumentasi spasial, yang dapat digunakan sebagai dasar ilmiah 3D rekonstruksi.
Pendekatan ini memberikan pemeriksaan alternatif atau tambahan yang "melihat" aspek yang
berbeda dari tubuh, seperti CT "melihat" dengan sinar X dan MRI "melihat" distribusi kimia.
Teknik ini dapat dipertimbangkan dalam budaya dan situasi di mana autopsi tidak ditoleransi
oleh agama atau ditolak oleh anggota keluarga (misalnya, alasan psikologis).
Jasad terkontaminasi oleh infeksi, zat beracun, radionuklida, atau bio-hazard lainnya (yaitu,
bioterorisme) dapat dilakukan pemeriksaan tanpa menyentuh jasad.
Sebuah pilihan strategi baru, pememeriksaan dengan langkah yang bijaksana. Hal ini dicapai
dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan eksternal, kemudian mungkin pemindaian
CT, kemudian membaca data, kemudian mungkin MRI, dan mengevaluasi ulang data, dan
akhirnya memutuskan apakah dilakukan atau tidak untuk autopsi konvensional. Dengan
demikian, suatu kasus dapat diperiksa dengan cara yang mengoptimalkan kualitas dan biaya
(Schweitzer, Thali, Breitbeck, & Ampanozi, 2014).
Penerapan Autopsi Virtual
Autopsi Virtual pada Kekerasan Kepala dan Leher
Temuan khas pada radiologis klinis sama pada pencitraan postmoretm. Peningkatan
tekanan intrakranial akibat trauma atau iskemik bermanifestasi pada autposi sebagai herniasi
tentorium pada lobus temporal atau herniasi cerebelum ke foramen magnum, dengan penekanan
pada dasar cerebelum sesuai dengan foramen magnum temuan lain disertai dengan jika
ditemukan peningkatan tekanan intrakranial. Pencitraan postmortem memberikan visualiasi
merinci. Keadaan tersebut sangat membantu khususnya ketika tahap pembusukan menyebabkan
tidak dapat dilaksanakannya investigasi autopsi terhadap otak yang tersisa dan memungkinan
menyingkirkan penyebab lain selain otak (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Gambar. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan kematian. (kiri) Gambaran MR yang
menunjukan herniasi bagian basal cerebelum ke dalam foramen magnum. (kanan) Foto autopsi
menunjukan cerebelum, dengan pembengkakan pada tonjolan dan tanda tekanan yang disebabkan oleh
foramen magnum (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Gambar. Pendarahan intrakranial akibat trauma. (kiri) Gambar potongan axial pada pencitraan
memberikan gambaran hipointense pada lobus temporal kiri yang mencapai ruang subarachnoid. (kanan)
Foto autposi tehadap potongan melewati lobus temporal pada otak yang telah difiksir dengan formalin
menunjukan perdarahan yang diakibatkan trauma, dominasi di korteks dan subkorteks (Afandi, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Avhayev et al membuktikan bahwa
denganmenggunakan MSCT MRI, terjadi herniasi tonsil pada 3 pasien yang meninggal karena
kekerasan pada kepala, dan hasil yang mereka temukan kemudian dikonfirmasi dengan autopsi
konvensional. Baik hasil pemeriksaan MSCT, MRI maupun autopsi konvensional didapatkan
hasil sama. dalam penelitian ini mereka merekomendasikan penggunaan kombinasi antara
keduanya (Aghayev, et al., 2004).
Autopsi Virtual pada Kasus Sudden Death in Infant and Children
Penelitian di Jepang, Menunjukan bahwa pemeriksaan postmortem computer tomography
(PMCT) dengan menggunakan MSCT dan MRI berperan penting dalam mendiagnosis kasus-
kasus kematian mendadak pada bayi dan anak-anak . penyebab pasti dari kematian mendadak
yang terjadi pada anak-anak sebaiknnya dilakukan pemeriksaan PMCT dan pemeriksaan lainnya
seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri (Aghayev, et al., 2004).
Autopsi Virtual pada Jantung
Penyebab kematian paling banyak adalah insufisiensi jantung. Penyakit jantung kronik
atau iskemik akut dapat mencetus (a) pengurangan jumlah serat kontraksi secara akut atau (b)
aritmia. Sebagai tambahan, jantung sering menjadi target perlukaan pada bunuh diri atau pada
pembunuhan. Perlukaan pada jantung memberikan manifestasi khas pada pencitraan perikardial
berupa tamponade jantung dam hematothorak. Lebih jauh, kegagalan ventrikel kanan akibat
emboli udara pada cedera kranial (akibat luka tembak, luka pada kepala, luka tusuk pada leher)
merupakan penyebab paling umum kematian yang berhubungan dengan jantung. Pada pencitraan
kontras hingga teknik autopsi tradisional, gambaran CT postmortem memungkinkan untuk
pencitraan 3D terhadap struktur emboli, dengan memberikan gambaran emboli udara (Dirnhofer,
Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Gambar. Trauma jantung (luka tusuk pada jantung). (kiri) Pencitraan jantung menggunakan MRI 2T
melalui apex jantung menunjukan cedera mikard. Diikuti dengan tamponade yang bermanifestasi
sebagai endapan komponen seluler. (kanan) Fotografi terhadapspesime menunjukan laserasi transmural
dari ventrikel kiri di bagian apical (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, & Thali, 2006).
Penelitian autopsi virtual juga dilakukan untuk medeteksi ada tidaknya infak miokard.
Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian dikonfirmasi dengan
pemeriksaan histologi. Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa baik MRI maupun
pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis peracute infarct myocard. Sementara itu
untuk keadaan subacute, acute dan chronic dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan hasilnya
sesuai dengan hasil histopatologi sesuai dengan fase infark yang terjadi (Aghayev, et al., 2004).
Autopsi Virtual pada Paru-paru
Pemeriksaan postmortem dapat digunakan untuk menentukan penyebab kematian.
Sebagai contoh, pneumothorak dapat dengan mudah ditemukan melalui pencitraan postmortem.
Udem paru, yang mana sering terlihat pada kematian akibat jantung atau racun, dapat diperiksa
melalui pencitraan seperti peningkatan peningkatan gambaran ground-glass pada CT atau
peningkatan kepadatan pada gambaran MR. Perlukaan paru pada potongan axial dapat ditandai
dengan adanya gambaran endapan darah. Khas pada kasus tengelam, paru bermanifestasi dengan
emphysema aquosum dan overlaping retrosternal pada lobus atas (Afandi, 2009).
Gambar. Udem paru. (kiri) Pencitraan MR dengan 2T melalui potongan coronal menunjukan
penigkatan kepadatan paru akibat peningkatan jumlah bagian air dalam paru. (kanan) Foto autpsi
menunjukan hilangnya jaringan air setelah suction. Catatan akumulasi edema pada paru sebagai temuan
patologi forensik (Afandi, 2009).
Autopsi Virtual pada Hanging
Untuk menyingkirkan kasus pembunuhan yang dikuti dengan gantung diri seolah-olah
bunuh diri, ahli forensik mencari tanda-tanda vital. Pendarahan ada tempat perlekatan otot
sternokleidomastoideus atau struktur jaringan lunak membuktikan bahwa sirkulasi masih terjadi
ketika terjadi kejadian penjeratan, dan asumsi kuat bahwa masih ada upaya bernafas melawan
oklusi jalan nafas menyebabkan terjadinya ruptur alveorlar yang tampak sebagai
pneumomediastinum ada emfisema jaringan lunak sepanjang leher (Afandi, 2009).
.
Gambar. Tanda vital pada kasus gantung diri. (kiri) Pencitraan MR 2T pada potongan sagital menunjukan
area hiperintense pada sekitar strenoklavikula pada daerah insersi otot sternokleidomastodeius. (kanan)
foto autopsi yang menunjukan daerah pendarahan pada daerah sekitar insersi otot sternokleiomastodeus,
temuan yang yang menandakan masih berlangsungnya sirkulasi pada saat penjeratan (Afandi, 2009).
Autopsi Virtual pada Kasus Tenggelam
Temuan autopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan
tempat di mana korban tenggal dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang menggembung dan
kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung dan dilatasi paru-paru kanan dan pembuluh
darah vena. Tanda-tanda tersebut merupakan variabel-variabel yang diteliti dengan
menggunakan MRI dan dikonfirmasi dengan temuan autopsi. Dari hasil penelitian tersebut
didapatkan bahwa adanya sendimentasi pada trakea dan percabangan bronkus utama (93%),
cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru
dengan gambaran ground-glass. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di Switzerland,
meskipun pada penelitian tersebut menggunakan MSCT. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh
berbeda dengan hasil temuan autopsi dan histopatologi (Dirnhofer, Jackowski, Vock, Potter, &
Thali, 2006).
Pada korban tenggelam, dari CT dapat dikumpulkan informasi mengenai tentang volume,
kepadatan, ukuran paru-paru dan jumlah cairan di dalamnya membantu dalam mendiagnosis
penyebab kematian (Junior, Souza, Coudyzer, Thevissen, Willems, & Jacobs, 2012).
Plattner (2003) melaporkan laporan kasus mengenai autopsi virtual pada kasus
tenggelam, yang ditemukan adalah massive vital decompression dengan barotrauma pulmonal
dan emboli gas mematikan berdasarkan gambaran radiologi. Dalam hal ini, MSCT dan MRI
dapat memberi gambaran perluasan dan penyebaran dari akumulasi gas pada pembuluh darah
intraparenkim dari organ-organ interna sama baiknya pada area tubuh yang tidak dapat dijangkau
oleh autopsi konvensional (Bakri & Jaudin, 2005).
Autopsi Virtual pada Kasus Penembakan
Radiografi sangat berharga dalam penyelidikan forensik dari luka tembak dan secara
umum digunakan untuk menemukan peluru, mengidentifikasi jenis amunisi dan senjata yang
digunakan, mendokumentasikan jalan peluru, dan untuk membantu dalam pengambilan peluru.
Pola distribusi fragmen logam di sepanjang jalan peluru merupakan indikasi dari jenis amunisi
yang digunakan. Selain itu, pemulihan jaket peluru sangat penting dalam penyelidikan forensik
karena jaket mengandung karakteristik unik rifling yang memungkinkan para ahli balistik untuk
mengidentifikasi senjata dari mana peluru itu ditembakkan. Jaket peluru biasanya terbuat dari
tembaga atau paduan tembaga dan mudah dibedakan dari inti utama dari peluru pada radiografi.
Penetrator, potongan kerucut kecil logam yang terletak di ujung peluru, dirancang untuk kaku
peluru menembus sasaran. Penembus mungkin fragmen dari sisa peluru dan memiliki
penampilan yang khas di radiografi dan ketika pulih di autopsi. Thali et al telah menunjukkan
bahwa autopsi virtual dalam korban luka tembak berguna untuk melokalisir peluru dalam tiga
dimensi, mendokumentasikan jalan peluru, memvisualisasikan pola fraktur yang berhubungan
dengan luka tembak, dan mengevaluasi cedera organ sebelum autopsy (Levy, et al., 2006).
Delapan korban jiwa dari kasus penembakan diperiksa pencitraan dengan MSCT dan
MRI. CT dan MRI juga mampu mendokumentasikan reaksi vital terhadap tembakan oleh adanya
emboli udara dalam jantung dan pembuluh darah dan membentuk pola klasik akibat aspirasi
darah ke paru. Dilakukan percobaan penembakan pada model tengkorak dengan kecepatan
tinggi, kemudian membandingkan pencitraan dengan hasil dari autopsi konvensional didapatkan
hasil yang sangat mirip (Bakri & Jaudin, 2005).
Autopsi Virtual pada Kasus Trauma
Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering menyebabkan kematian.
Tulang yang paling sering terkena berturut-turut adalah tulang iga, kepala, wajah, tibia, dan
pelvis. Sementara itu organ dalam yang paling sering mengalami laserasi akibat kekerasan tumul
adalah hati, paru, jantung, dan lien. Dari penelitian didapatkan bahwa PMCT memiliki
kelemahan dalam mendeteksi adanya gas dalam rongga tubuh (Dirnhofer, Jackowski, Vock,
Potter, & Thali, 2006).
Aghayev (2004) mendokumentasikan tiga laporan kasus mengenai trauma tumpul kepala
yang fatal menggunakan post-mortem MSCT dan MRI yang menunjukkan gambaran jejas masif
pada tulang dan jaringan lunak dari kepala dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
dengan herniasi dari tonsil serebelar. Penemuan yang sama pada autopsi konvensional yang
dilakukan setelah autopsi virtual. Suatu laporan kasus dengan objek mendemonstrasikan new 3D
real data berdasarkan pendekatan teknologi geometrik. Aghayev (2004) mendukung pencitraan
post-mortem baik untuk alat visualiasasi yang potensial untuk mendokumentasi dan memeriksa
jejas pada tubuh (Bakri & Jaudin, 2005).
Peranan Autopsi Virtual dalam Proses Identifikasi
…
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, D. (2009). Otopsi Virtual. Majalah Kedokteran Indonesia, 327-332.
Aghayev, E., Yen, K., Sonnenschein, M., Ozdoba, Christof, Thaili, M. J., et al. (2004). Virtopsy
Post-mortem Multi-slice Computed Tomography (MSCT) and Magnetic Resonance
Imaging (MRI) Demonstrating Desending Tonsillar Herniation: Comparation to Clinical
Studies. Neuroradiology, 46-64.
Alves, M., Bige, N., Maury, E., & Arrive, L. (2014). Pulmonary Embolism Diagnosed by
Contrast-enhanced Virtopsy. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, 1-2.
Bakri, R., & Jaudin, R. (2005). Virtual Autopsy. Technology Review, 1-13.
Bewi, S. M., & Suryadi, T. (n.d.). Penentuan Sebab Kematian Virtual Autopsi.
Dirnhofer, R., Jackowski, C., Vock, P., Potter, K., & Thali, M. (2006). VIRTOPSY: Minimally
Invasive, Imaging guided Virtual Autopsy. RadioGraphics, 1305-1333.
Ibrahim, A. O., Zuki, A. B., & Noordin, M. M. (2012). Applicability of Virtopsy in Veterinary
Practice: A Short Review. Pertanika J. Trop. Agric, 1-8.
Junior, A. F., Souza, P. H., Coudyzer, W., Thevissen, P., Willems, G., & Jacobs, R. (2012).
Virtual autopsy in forensic sciences and its applications in the forensic odontology. Rev
Odonto Cienc, 5-9.
Levy, A. D., Abbott, R. M., Mallak, C. T., Getz, J. M., Harke, H. T., Champion, H. R., et al.
(2006). Virtual Autopsy: Preliminary Experience in High-Velocity Gunshot Wound
Victims. Radiology.
Mahesh, S., & Kumar, S. R. (2015). Critical Evaluation and Contribution of Virtopsy to Solved
Crime. Research Journal of Forensic Sciences, 1-4.
Patowary, A. (2008). Virtopsy: One Step Forward In The Field Of Forensic Medicine - A
Review. Journal Indian Acad Forensic Med, 32-36.
Rüegger, C. M., Bartsch, C., Martinez, R. M., Ross, S., Bolliger, S. A., Koller, B., et al. (2014).
Minimally invasive, imaging guided virtual autopsy compared to conventional autopsy in
foetal, newborn and infant cases: study protocol for the paediatric virtual autopsy trial.
BMC Pediatrics, 1-5.
Schweitzer, W., Thali, M., Breitbeck, R., & Ampanozi, G. (2014). Virtopsy. Institute of Forensic
Medicine, 1-13.
Soltanzadeh, L., Imanzadeh, M., & Keshvari, H. (2014). Application of robotic assisted
technology and imaging devices in autopsy and virtual autopsy. International Journal of
Computer Science Issues, 104-109.
Stawicki, S. P., Aggrawal, A., Anil, Dean, A. J., & Bahner, D. A. (2012). Postmortem use of
advanced imaging techniques: Is autopsy going digital? OPUS 12 Scientist, 17-26.
Thali, M. J., Jackowski, C., Oesterhelweg, L., Ross, S. G., & Dirnhofer, R. (2007). VIRTOPSY-
The Swiss virtual autopsy approach. Legal Medicine, 100-104.