Sejarah Radio Rimba Raya Aceh Tengah

11
“RADIO RIMBA RAYA” Oleh Drs. H. MAHMUD IBRAHIM Seluruh rakyat Indonesia serentak merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Desember 1948 Ibu Kota Negara “Yogyakarta” diduduki musuh, presiden dan wakil presiden ditawan. Tampuk pemerintahan darurat dipimpin oleh Mr. Syarifudin Parawinegara. Sementara itu, Belanda menyerang dan menduduki wilayah- wilayah Indonesia lainnya, kecuali wilayah Aceh. Sebab itu Aceh merupakan “Daerah Modal” perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Pemimpin-pemimpin bersama rakyat berjuang dimana-mana secara gerilya dan serangan musuh semakin gencar dari udara dan laut untuk menguasai basis gerilyawan baik dikota maupun didesa. Belanda menyatakan kepada dunia, bahwa Negara dan pemerintahan Indonesia tidak ada lagi dan wilayah Republik Indonesia sepenuhnya dikuasai Belanda. Untuk mengantisipasi pernyataan tersebut, mutlak diperlukan alat pemancar radio diwilayah Aceh yang bebas dari pendudukan Belanda. Karena pemancar RRI pusat di Yogyakarta tidak berfungsi lagi.

description

Sejarah radio yang terlupakan oleh bangsa indonesia, radio yang berperan untuk memerdedakan indonesia

Transcript of Sejarah Radio Rimba Raya Aceh Tengah

RADIO RIMBA RAYA

Oleh

Drs. H. MAHMUD IBRAHIM

Seluruh rakyat Indonesia serentak merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 19 Desember 1948 Ibu Kota Negara Yogyakarta diduduki musuh, presiden dan wakil presiden ditawan. Tampuk pemerintahan darurat dipimpin oleh Mr. Syarifudin Parawinegara.

Sementara itu, Belanda menyerang dan menduduki wilayah-wilayah Indonesia lainnya, kecuali wilayah Aceh. Sebab itu Aceh merupakan Daerah Modal perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Pemimpin-pemimpin bersama rakyat berjuang dimana-mana secara gerilya dan serangan musuh semakin gencar dari udara dan laut untuk menguasai basis gerilyawan baik dikota maupun didesa.

Belanda menyatakan kepada dunia, bahwa Negara dan pemerintahan Indonesia tidak ada lagi dan wilayah Republik Indonesia sepenuhnya dikuasai Belanda. Untuk mengantisipasi pernyataan tersebut, mutlak diperlukan alat pemancar radio diwilayah Aceh yang bebas dari pendudukan Belanda. Karena pemancar RRI pusat di Yogyakarta tidak berfungsi lagi.

Serangan Belanda keseluruh pelosok Indonesia, sudah diperhitungkan oleh pemimpin kita di seluruh Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di Aceh dipersiapkan perang Sabillilah berpusat di Kuta Raja (sekarang Banda Aceh) dan cadangan pusat perjuangan dikota Biruen.

Menjelang agresi militer Belanda pertama yang dimulai tanggal 21 juli 1945, Mayor John Lie dari komando Tentara RI Divisi Gajah I, berhasil memasukkan ke Aceh sebuah pemancar radio merk Marconi dari Malaya (Malaysia). John Lie menggunakan 2 buah speed boat. Satu diantaranya memuat alat pemancar radio sedangkan satu buahnya lagi memuat kelontong dan makanan. Ditengah selat sumatra rombongan John Lie berpapasan dengan patroli tentara Belanda. Speed boat yang memuat kelontong dan makanan menancap gas, marinir Belanda dengan menggunakan sekoci-sekoci bermesin ganda mengejar dan menangkapnya serta merampas barang-barang muatannya. Sementara speed boat yang memuat pemancar radio, meningkatkan kecepatannya menuju pantai sumatra di Tanjung Pura. Pemancar radio beserta onderdil lengkap untuk pemancar cadangan, segera dipugah dan dikawal oleh prajurit-prajurit TRI (Tentara Republik Indonesia) dan Laskar Rakyat.

Pada tanggal 23 juli 1947, dua hari setelah Belanda melancarkan serangan besar-besaran dalam aksi militer I, pemancar radio itu diselamatkan ke Langsa Aceh Timur, kemudian dibawa ke kota Biruen Aceh Utara, dimanfaatkan oleh komandan divisi X kolonel Husin Yusuf menjadi pemancar siaran umum, memonitor dan menyampaikan pengumuman dan intruksi.

Pada mulanya, pemancar ini dipasang Krueng Simpor 20 Km dari kota Biruen jurusan Takengon, studionya disalah satu kamar rumah jabatan komanda divisi X kolonel Husin Yusuf di Biruen.

Beberapa bulan kemudian, pemancar tersebut dipindahkan kedesa Cot Gue, 8 Km arah selatan Kuta Raja yaitu pusat pemerintahan dan perjuangan. Penyiaran dilakukan dari studio disebuah gedung peninggalan Belanda dikawasan Peunayong Kuta Raja. Di Cot Gue disiapkan pemancar cadangan, apabila Kuta Raja diduduki musuh.

Pemancar radio di Cot Gue tidak sempat melakukan siaran, karena dalam proses persiapan studio siaran, terjadi aksi militer Belanda ke II tanggal 19 Desember 1948. Setelah Yogyakarta Ibu Kota Negara RI diduduki musuh, serangan tentara-tentara Belanda ke Aceh semakin gencar baik dari laut maupun udara. Hampir setiap hari terjadi pertempuran di Kuta Raja. Karena itu Gubernur militer Kuta Raja memerintahkan supaya pemancar radio itu dipindahkan dari Cot Gue ke tempat yang setrategis dan aman didataran tinggi Gayo Aceh Tengah dan segera dipasang serta segera memancar, karena RRI pusat di Yogyakarta tidak berfungsi lagi.

Dipilihnya dataran tinggi Gayo sebagai tempat pemancar radio, adalah dalam rangka program perjuangan jangka panjang mempertahankan Kemerdekaan RI melalui sistem gerilya, sampai kemerdekaan diperoleh secara penuh dan nyata.

Pada tanggal 20 Desember 1948, pemancar diberangkatkan dari Kuta Raja ke Aceh Tengah dengan tujuan Burni Bius di Kecamatan Silih Nara 10 Km arah barat kota Takengon. Tempat ini sangat setrategis untuk penyiaran yang aman, namun dalam perjalanan terjadi situasi yang sangat menegangkan, karena pesawat-pesawat Belanda terbang rendah mengejar dan menyerang pasukan pembawa dan pengawal pemancar, keadaan alam berbukit dan berhutan lebat sangat membantu penyembunyian sehingga terbang Belanda berulang-ulang kehilangan sasaran.

Dalam suasana tegang itu, rencana pemasangan pemancar di Burni Bius, mendadak terpaksa dibatalkan dan dialihkan ke Rimba Raya yang belum bertuan, 61 Km dari Biruen atau 49 Km dari kota Takengon.

Rimba Raya pada saat pembangunan pemancar ini, belum mempunyai nama karena dari Krueng Simpor sampai Reronga belum dihuni manusia. Daerah ini terletak dilereng sebelah barat pegunungan Gerdong (Bur-Kul) karena ditumbuhi hutan yang sangat lebat, terletak tidak jauh dari jalan provinsi Biruen-Takengon diwiliyah kecamatan Timang Gajah.

Ketika Brigade pembangunan para pejuang bersenjata dipimpin kolonel Husin Yusuf membuka daerah ini menjadi perkebunan dan pemukiman tahun 1950, beliau memberi nama daerah ini dengan Rimba Raya dengan code RR.

Dalam suasana mencekam dan dalam waktu singkat, pemancar radio Rimba Raya selesai di pasang oleh W.sohultz kepala kantor pos, telegram dan telephon Kuta Raja, seorang warga Negara RI keturunan Indo-Jerman bersama R.Sarsono dan tehnisi lainnya.

Ketika pemancar-pemancar RRI di berbagai kota di Indonesia tidak mengudara lagi karena dikuasai Belanda, Radio Rimba Raya mengisi kekosongan itu dengan hasil yang baik sekali menurut ukuran waktu itu. Sewaktu radio Belanda Batavia dan Hilversum memberi tahukan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi,radio Rimba Raya membantahnya dengan tegas. Pemancar gerilya itu menandaskan bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada, disini adalah Aceh salah satu wilayah Republik Indonesia yang tetap utuh sepenuhnya.

Berita itu di kutip oleh All India Radio kemudian menyiarkannya lagi dan duniapun mengetahui kebohongan Belanda.berita-berita dari penerangan divisi disampaikan ke Rimba Raya melalui berbagai saluran menurut fungsinya. Di samping itu, berita-berita di terima lebih banyak dari pemerintah pusat di Sumatra, dari pimpinan perjuangan di jawa, lembaga-lembaga pemerintah,organisasi masyarakat dan dari pimpinan perjuangan.

Berita-berita dari front Sumatra Timur di terima di Rimba Raya secara beranting.korespoden perang atau petugas penerangan menelephonnya ke Kuala Simpang, di teruskan ke Langsa, ke pidi, lhokseumawe, Bireun, dan akhirnya ke Rimba Raya.

Berita-berita dari medan perang,komentar-komentar dan pengumuman yang di siarkan radio Rimba Raya, di terbitkan dalam berbagai median cetak di Kutaraja dan Bireun.selain dalam bahasa Indonesia, radio Rimba Raya menyiarkan berita dalam bahasa inggris, urdu, hindustani, Arab, Cina, dan bahasa Belanda.

Tim kerabat kerja radio Rimba Raya sangat kompak terdiri dari pemuda Indonesia dan orang-orang asing yang menggabungkan diri pada Republik.

Pimpinan umum : colonel Husin Yusuf,komandan Divisi X

Pimpinan administrasi dan policy penyiaran :kapten A.G Mutiara,kepala penerangan Tentara Divisi X .

Pimpinan tehnik :W.sohultz dan sasono.

Penerangan:Letda T.Ali basyah Talsy, staf penerangan Divisi X.

Penyiaran berbahasa:

-Arab:Letda Abdullah Arif.

-Inggris:Abdullah, orang inggris.

-Urdu:Abu Bakar, orang india.

-Hindustani:Chandra,orang india.

Ketiganya bekas tentara inggris divisi-26 yang berpihak ke Indonesia di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran di Medan Area

-Cina:Hie Wan Fie

-Belanda :Syarifudin.

Pemancar radio Rimba Raya berkekuatan satu kilowatt, mempergunakan signal calling Suara Radio Republik Indonesia dan Suara Indonesia Merdeka bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter. Kadang-kadang dipergunakan signal calling Radio Rimba Raya,-Radio Divisi X dan Radio Republik Indonesia.

Jadwal waktu penyiaran dibagi 5 bagian :

1. Pukul 16.00 s/d 18.00 wib, mengadakan hubungan telegrafi dengan setasiun-setasiun pemancar greilya didalam dan luar kota-kota pendudukan Belanda.

2. Pukul 19.00 s/d 21.00 wib, melakukan siaran dalam negeri, menggunakan calling signal Suara Radio Republik.

3. Pukul 21.00 s/d 23.00 wib, siaran khusus keluar negeri dengan signal calling Radio Republik Indonesia.

4. Pukul 23.00 s/d 24.00 wib, siaran khusus kegaris depan, menggunakan calling signal Suara Indonesia Merdeka.

5. Pukul 24.00 s/d pagi, mengadakan hubungan radio, telephon dengan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Siaran radio Rimba Raya dapat didengar jelas diberbagai kota disemenajung Malaya, Singapura, Manila, New Dehli bahkan di Australia dan dibeberapa bagian Eropah.

Pada tengah malam, penyiar menghubungi sudarsono, perwakilan Indonesia di New Dehli dan L.N Palar perwakilan Indonesia di PBB dengan mengatakan Hallo Sudarsono, hallo Palar, kirimkan kami mentega, susu atau beras. Dimaksudkan adalah barang-barang keperluan perjuangan termasuk senjata. Kode Beras adalah khusus alat senjata.

Radio Rimba Raya dapat menyampaikan pesan-pesan Indonesia kepada Diplomatik Indonesia di PBB, menyebabkan perhatian PBB terhadap perjuangan bangsa Indonesia semakin serius.

Pemancar ini tetap mengadakan hubungan dengan luar negeri dan berhasil mematahkan propaganda Belanda. Pada aksi militer I dan II Belanda, terutama ketika di Yogyakarta diduduki, presiden dan wakil presiden RI ditawan, Belanda sering menyiarkan bahwa Republik Indonesia dan pemerintahannya tidak ada dan Aceh telah dikuasai, Aceh Tengah sudah diduduki.

Namun radio Rimba Raya segera membantahnya dengan tegas bahwa Republik Indonesia tetap utuh, Belanda tidak ada di Aceh. Berita-berita perjuangan rakyat Indonesia disiarkan oleh radio Rimba Raya dengan signal Ini Suara Republik Indonesia.

Radio Rimba Raya dan RRI Kutaraja serentak menyiarkan pukul 16.00 wib rapat raksasa melepas para pejuang ke medan perang, medan area di Belang Padang Kutaraja dan lapangan Tugu Proklamasi di Takengon. Siaran ini sekaligus untuk membantah berita bohong Belanda.

Kedua pemancar radio ini tetap terhubung dengan radio pemerintahan darurat RI terutama ketika Mr. Syarifudin Parawinegara pimpinan PDRI, berada di Burni Bius Aceh Tengah selama satu bulan.

Selain itu, radio Rimba Raya berhubungan dengan kepala staf angkatan perang RI kolonel T.B Simatupang di Banaran keluar negeri tetap berhubungan dengan All India radio di India dan Australia Broadcasting Corporation, kedua pemancar radio itu kerap menayangkan suasana perjuangan bangsa Indonesia kepada pimpinan Rimba Raya.

Ketika perang grilya Indonesia mencapai puncaknya setelah agresi Belanda yang ke-II, radio Rimba Raya berperan sangat aktif menghubungkan PDRI dengan wakil-wakil Republik Indonesia diluar negeri sambil menyiarkan berita-berita perang grilya sehingga Belanda tidak dapat mengelabui dunia.

Salah satu pengiriman melalui radio Rimba Raya berita yang bersejarah adalah penyampaian intruksi PDRI tanggal 31 Januari 1949 nomor kode 93 disampaikan kepada wakil Indonesia diluar negeri Dr. Sudarsono dan Mr. Maramis. Intruksi itu dibacakan dari Rimba Raya ketempat kedudukan Dr. Sudarsosno di New Dehli, diluar jadwal waktu yang biasa. Isinya Berkenaan dengan keputusan dewan keamanan PBB yang memerintahkan panitia PBB untuk Indonesia, mengadakan perundingan dengan Indonesia dan Belanda guna untuk pelaksanaan penghentian tembak menembak dan pengambilan pemerintah RI ke Yogyakarta. PDRI mengintruksikan menteri luar negeri Mr. Maramis, wakil RI di dewan keamanan PBB L.N Palar dan wakil Indonesia di New Dehli Dr. Sudarsono yaitu sebagai berikut Pemerintah Indonesia tidak keberatan diadakannya perundingan itu dan pengambilan pemerintahan RI ke Yogyakarta berarti meliputi pengakuan Belanda terhadap kekuasaan pemerintah RI atas seluruh Jawa dan Sumatra dan pulau-pulau disekitarnya.

Pada tanggal 20 sampai 23 Januari 1949 atas kepercayaan Nehru di New Dehli dilangsungkan komprensi Asia tentang Indonesia, kerabat kerja radio Rimba Raya amat sibuk dalam jam kerja yang diperpanjang, karena banyaknya berita-berita yang harus dikirim kepada wakil-wakil Indonesia yang menghadiri komprensi itu.

Komprensi itu membahas dan mancari jalan membantu Indonesia antara lain menuntut supaya Yogyakarta dikembalikan kepada RI, tentara Belanda ditarik kembali dan pimpinan Indonesia yang ditawan dibebaskan.

Tepat pada hari pembukuannya, RR mengirimkan ucapan selamat kepada ketua PDRI dan berterima kasih kepada negara Asia yang memenuhi undangan PN India Nehru.

Ketika serangan umum terhadap Belanda yang menduduki Yogyakarta tanggal 1 maret 1949 dipimpin Letkol Suharto, radio Rimba Raya turut berperan aktif meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia tetap ada dan pejuang-pejuang RI bukan hanya bisa bertahan, tetapi juga mampu menyerang.

Pada tanggal 10 maret 1949, radio Rimba Raya memancarkan radiogram pemerintah darurat RI kepada Mr. Mohd Rum, ketua delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, tentang kekejaman Belanda dan serangan umum 1 maret 1949 merupakan pembalasan kekejaman itu.

Pimpinan perjuangan RI mengakui dengan jujur bahwa pemancar radio Rimba Raya berperan amat besar mensukseskan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kementerian penerangan RI menyatakan bahwa radio Rimba Raya dan petugas-petugasnnya telah melaksanakan serangkaian kemerdekaan RI. Kenyataan dan pernyataan itu harus dihayati generasi penerus untuk meningkatkan perjuangan pembangunan mengisi kemerdekaan.

Demikianlah cerita tentang sejarah radio Rimba Raya, semoga kelak dapat bermanfaat bagi generasi penerus, dan juga penulis mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang salah letak penulisannya maupun salah menyebutkan nama-nama para pelakunya, mungkin cerita sejarah ini masih ada kakurangannya maka penulis berpesan tolong disempurnakan tulisan cerita ini. Terima kasih atas perhatiannya dan wasalam......