Sejarah Pengadilan Agama RI

35
Sejarah Pengadilan Agama / Pengadilan Tinggi Agama 1 Oleh : Agus Jaya Pendahuluan Salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama demokratisasi dan perlindungan terhadap hak aqasasi manusia. Kebutuhan tersebut semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional. 2 1 Tugas Makalah Studi Islam Kawasan Nusantara, disampaikan pada seminar kelas, Jurusan Sejarah Peadaban Islam, Prodi : Tafsir Hadits, semester II, Pasca Sarjana IAIN Raden Fatah, Palembang Sumatera Selatan. Dosen pembimbing : Dr Nyimas Anisah Muhammad, MA. 2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah disampaikan dalam seminar penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 27 September 2000. 1

Transcript of Sejarah Pengadilan Agama RI

Page 1: Sejarah Pengadilan Agama RI

Sejarah Pengadilan Agama

/ Pengadilan Tinggi Agama1

Oleh : Agus Jaya

Pendahuluan

Salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat

ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era

reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum

reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan

perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan

pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat

dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup

berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama

demokratisasi dan perlindungan terhadap hak aqasasi manusia. Kebutuhan tersebut

semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang

banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.2

Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus

dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai

hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan

harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal

Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh

bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam,

maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam

pembangunan hukum nasional.3

1 Tugas Makalah Studi Islam Kawasan Nusantara, disampaikan pada seminar kelas, Jurusan Sejarah Peadaban Islam, Prodi : Tafsir Hadits, semester II, Pasca Sarjana IAIN Raden Fatah, Palembang Sumatera Selatan. Dosen pembimbing : Dr Nyimas Anisah Muhammad, MA.

2 Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah disampaikan dalam seminar penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 27 September 2000.

3 Ibid.

1

Page 2: Sejarah Pengadilan Agama RI

Dalam makalah ini Penulis paparkan gambaran tentang sejarah perjalanan

hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era

reformasi ini.

 Sejarah Hukum Islam di Indonesia

a. Awal Islam di Indonesia sampai awal awal 1800 M

Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam,

masuk dan menjadi bagian dari norma masyarakat sejak masuknya ajaran Islam

mulai abad I Hijriah atau abad 7-8 Miladiyah4. Sebagai gerbang masuk ke dalam

kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan

sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan,

gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak,

Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti

oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas.

Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh

Utara.5 Bahkan Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345

M singgah di Samudera Pasai sempat berjumpa dengan Sultan al-Malik al-Zahir

yang sangat mahir dalam fiqh Mazhab Syafi’i. Pada masa VOC pernah

diperkenalkan hukum Belanda dan dibentuk lembaga peradilan yang juga berlaku

bagi bangsa Indonesia. Namun upaya ini gagal dan akhirnya lembaga-lembaga yang

hidup di masyarakat dibiarkan berjalan sebagaimana keadaan sebelumnya. Pada

tahun 1760 diterbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan

dan hukum kewarisan Islam yang berlaku di pengadilan untuk menyelesaikan

sengketa di kalangan umat Islam. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam

masyarakat tetap diakui pada masa VOC mulai tahun 1602 hingga tahun 1800.6

b. Mahkamah Syar’iyah pada Masa Penjajahan Belanda4 Ibid5 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, Paramadina, Jakarta Oktober, 19986 Jimly Asshidiqie,

2

Page 3: Sejarah Pengadilan Agama RI

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan

kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang

lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat

dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan

sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai

perpanjangan tangan di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan

fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan

fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang

mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan

kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum

yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi

untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.7

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang

dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

1. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,

dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk

agama Islam.

2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di

tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini

kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di

Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab

Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki

kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah

hukum pidana Islam.8

Berakhirnya kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintahan kolonial

Belanda. Pada masa kolonial Belanda, Hukum Islam mengalami pergeseran yang

semakin melemah. Pada awalnya telah dibentuk Pengadilan Agama tahun 1882

7 Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam hal 64-668 Ibid

3

Page 4: Sejarah Pengadilan Agama RI

yang wewenangnya meliputi masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan

berdasarkan hukum Islam. Hal ini diikuti oleh kesimpulan penilitian Willem

Christian van den Berg yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah menerima

sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Namun kesimpulan ini

ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje yang melontarkan teori resepsi. Teori

resepsi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintahan kolonial

Belanda. Pada tanggal 1 April 1937 diterbitkan ketentuan yang mencabut

wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara

kewarisan. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya diletakkan di bawah

pengawasan Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Agama hanya dapat

dieksekusi jika telah mendapatkan persetujuan dari pengadilan negeri (executoire

verklaring).9

Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di

Indonesia dengan menghilangkan hukum Islam, Namun upaya itu menemui

kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat

jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-

harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk

menyelesaikan masalah itu. Diantaranya :

1. menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi

2. membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah

(spiritual) saja.10

Secara kronologis upaya pembatasan pemberlakuan hukum Islam oleh

Pemerintah Hindia Belanda adalah sebagai berikut:

1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan

Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin

menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan

hukum Belanda.11

2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,

Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang

9 Jimly Assidiqie10 Ramly Hutubarat, Kedudukan Hukum..., hal 67-6811 Ibid, hal 68

4

Page 5: Sejarah Pengadilan Agama RI

agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan

yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas

kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian

menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.12

3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk

komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam

memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh

hukum adat setempat).13

4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische

Staatsregeling  (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement),

yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan

hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak

ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.14

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang

berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

12 Ibid, hal 68-7013 Ibid, hal 7014 Ibid, hal 72

5

Kronologis pembatasan Hukum Islam oleh

Hindia Belanda

Page 6: Sejarah Pengadilan Agama RI

Bagi Kota Palembang sendiri sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Selatan,

semenjak masa Kesultanan Palembang telah ada wewenang untuk mengadili

perkara perdata bagi umat Islam, hal ini disebut dengan NATA GAMA

sebagaimana yang ditulis oleh De Ro De La Faile, seorang anggota Raad Van Indie

dalam bukunya Dari Kesultanan Palembang, pimpinan pengadilan tersebut berada

di tangan Hakim Syar’iyah yang memeriksa dan memutuskan perkara atas nama

Sultan.

6

Pertengahan abad 19Kebijakan scr sadar untuk

mengubah hukum yang ada menjadi hukum

Belanda

Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang

agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas

kepatutan dan keadilan yang diakui umum.

1922 Belanda membentuk komisi untuk meninjau ulang

wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-

kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh

hukum adat setempat).

Tahun 1925 perkara perdata sesama muslim akan

diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah

diterima oleh hukum adat

Page 7: Sejarah Pengadilan Agama RI

Pangeran Penghulu bertindak pula sebagai penasehat syar’iyah (hukum

Islam) dan juru sumpah do LANDRAAD (Pengedilan Negeri) dengan mempunyai

hak penuh bersuara dan memberikan pertimbangan secara hukum Islambila

diperlukan. Adapun tugas-tugas Pangeran Penghulu sebagai berikut :

1. Urusan nikah, tolak, rujuk (NTR), warits, Wakaf umum, pengajaran Agama

Islam.

2. Menetapkan awal Romadhan dan Syawwal (dengan membunyikan meriam)

sebagai tanda akan dimulainya puasa atau hari raya.

3. mengangkat penghulu-penghulu, khatib sekaligus dengan bisluitnya

4. menerima laporan dari penghulu-penghulu yang berada dalam wilayah

kekuasaannya menyangkut masalah zakat mal, zakat fitrah, kelahiran dan

kematian, kawin lari, dll. Dan untuk putusan Pangeran Penghulu sifatnya

tetap dan tidak bisa dimintakan banding.15

Keadaan ini cukp lama berlangsung serta berpengaruh besar terhadap

perkembangan agama Islam di kota Palembang dan sekirtarnya. Tetapi setelah

masknya kekuasaan Belanda di Palembang, maka kedudukan Hakim Syar’i

diperkecil dan dibatasi kekuasaannya lalu kemudian dirubah menjadi kekuasaan

Pangeran Penghulu. Kekuasaan Pangeran Penghulu inipun berangsur-angsur

ditekan. Ketika pengarh dan kekuasaan Belanda di Palembang semakin kuat

pangeran Penghulu kemudian dihapus kemudian sebagai gantinya dibentuklah

RAAD yang disebut RAAD AGAMA yang kemudian diketuai oleh Hoofd

Penghulu yang berada dibawah lingkungan kekuasaan LANDRAAD. Kemudian

mulailah diberlakkan hukum adat di RAAD AGAMA dengan Simbr Cahya sebagai

kitab hukumnya. Selanjutnya hak untuk mengangkat Hoofd Penghulu, anggota

RAAD AGAMA berada pada pemerintah Hinia Belanda, dengan wewenang yang

dipersempit, yaitu:

1. Mengurus nikah, tolak dan ruju’ (NTR)

2. Menetapkan awal Romadhon dan Syawwal.16

15 Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Penyusunan naskah buku Yuridiksi dalam wilayah Pengadilan Tinggi Agama Palembang Palembang : 2007, hal. 3

16 Idem, hal 4

7

Page 8: Sejarah Pengadilan Agama RI

Gambaran kejadian diatas terjadi merata diseluruh Indonesia, fenomena ini

semakin mempersempit gerakan umat Islam, dimana peraturan yang diberlakukan

selalu berpihak kepada kepentingan penjajahan yang secara logis mayoritas

menyimpang dari hukum islam.

Mahkamah Syar’iyah pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada

panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera

Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag

meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral

Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi

keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan 

Belanda.17

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan

berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya

adalah:

1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam

sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh

bangsa Indonesia sendiri.

3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada

bulan oktober 1943.[12]

5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang

mendampingi berdirinya PETA.

6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan

kewenangan Pengadilan Agama

17 Ramly Hutubarat, Kedudukan Hukum Islam ...hal 76

8

Page 9: Sejarah Pengadilan Agama RI

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum

Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga,

masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman

baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.

Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,

Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak

memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau

pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang

memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari

bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.18

Melihat kesempatan ini, umat Islam Indonesia bangkit untuk kembali

membentuk Mahkamah Syar’iyah walau dengan bentuk yang sangat sederhana.

Masa ini tidak berlangsung lama, sehingga belum terjadi perubahan yang

signifikan. Walaupun demikian ada beberapa daerah di Sumatera yang telah

berhasil mendirikan kembali Mahkamah Syar’iyah dan mampu bertahan sampai era

kekerdekaan.19

 

Mahkamah Syar’iyah pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru

kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan

semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian

membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang

mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi

dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya

Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa

depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti

Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)

kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang

terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok

18 Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal 34, dinukil oleh Bakhtia Effendy, Islam dan Negara, hal 83

19 Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Penyusunan naskah..., hal 5

9

Page 10: Sejarah Pengadilan Agama RI

Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI

“bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun

Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif

mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia”.20

Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir

dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling

penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan

dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut

Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai

negara sekuler dan bukan pula negara Islam.21

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang

mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat

Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu

akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh

PPKI.

Penyebab kegagalan Piagam Jakarta tersebut dikarenakan keberatan

golongan Kristen di Indonesia Timur yang memilih integrasi dari Indonesia jika

tetap piagam

Bagaimanapun pada masa kemerdekaan aktualisasi hukum Islam mulai

mendapatkan tempat dalam hukum nasional. Masalah dasar negara dan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam merupakan salah satu masalah

mendasar yang dibahas mulai dari perumusan UUD 1945 hingga perumusan

konstitusi oleh Konstituante. Bahkan perdebatan pelaksanaan hukum Islam masih

tetap berlanjut hingga saat ini.22

Aktualisasi hukum Islam adalah bagian dari proses pembangunan hukum

nasional. Aktualisasi hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu

upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu

yang berlaku khusus bagi umat Islam, dan upaya menjadikan Syari’at Islam dan

Fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.23

20 Ramly Hutubarat, Kedudukan Hukum Islam…, hal 8521 Ibid, hal 89-9022 Jimly Assidiqie23 ibid

10

Page 11: Sejarah Pengadilan Agama RI

Di sisi lain, setahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya tanggal 1

Agustus 1946 terjadilah peristiwa penting bagi umat Islam yaitu terbentuknya

Mahkamah Syar’iyah Keresidenan Palembang24 yang daerah kekuasaanya meliputi

kota Palembang dan Mahkamah Syar’iyah Teluk Betung25 dan menjelang

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia 1950 dibentuklah Pengadilan

Agama Propinsi26 yang berkantor di Jalan Diponegoro No. 19 Palembang dengan

ketua K.H. Abu Bakar Bastary.

Walaupun pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-

samar. Isa Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh

umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia suatu

politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.27

Mahkamah Syar’iah Masa Kemerdekaan Priode Revolusi hingga keluarnya

dekrit Presiden 5 Juli 1950

Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia

memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh

tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara.

Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah

Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan

untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian

kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa

yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan

berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia -yang merupakan satu dari 16 bagian

negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit

untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam.

Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum

Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian

24 Kini Pengadilan Agama Kota Palembang25 Kini Pengadilan Agama Tanjung Karang26 Saat itu belum merupakan pengaddilan tingkat banding27 Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa

tahun, hal 325, dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, hal 91

11

Page 12: Sejarah Pengadilan Agama RI

pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang

berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi

PBB.28

Pada awal tahun 1950 negara bagian RIS hanya tersisa tiga negara saja yaitu

: RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, Muhammad Natsir

sebagai salah seorang tokoh umat Islam mengajukan ide yang kemudian dikenal

sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian

tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk

kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan

dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD

Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini

tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih

ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950.

Peluang Hukum Islam dalam UUDS 1950

Kelebihan Undang-undang Sementara 1950 dalam memberikan peluang

kepada Hukum Islam hanya terdapat pada 3 aspek, yaitu :

1. Pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa

“Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan Jaminan negara terhadap

kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing.

2. Pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan

keagamaan.29

3. UUD Sementara 1950 membuka peluang untuk merumuskan hukum Islam

dalam wujud peraturan dan undang-undang.

Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat

mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun

1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang

juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.30 Dan setelah

itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi

28 Ramly Hutabara, Kedudukan Hukum Islam, hal 10329 Ibid, hal 110-11130 Ibid, hal 113

12

Page 13: Sejarah Pengadilan Agama RI

undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti

UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam

Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir

tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden

Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa

kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada

tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit

ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22

Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi

tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam

dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah

“dokumen historis”.31

Hal lain yang patut dicatat pada fase ini adalah terjadinya beberapa

pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam. Yang paling fenomenal

adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat.

Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal

14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada

17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung

dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin

merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka

Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara

Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun

1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih

banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin

pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan

bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.32

Setelah beberapa tahun Pengadilan Agama diluar Jawa mengalami

kebekuan, maka Pemerintah Indonesia waktu itu memandang perlu untuk

31 Ibid, hal 131-13332 Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam and Rebellion, Hal 10, dikutip oleh

Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, hal 96-97

13

Page 14: Sejarah Pengadilan Agama RI

membentuk dengan segera Pengadilan Agama untuk daerah luar Jawa-Madura, hal

ini diwujudkan dengan mengeluarkan suatu peraturan yang mengacu kepada UUDS

pasal 98 dan UU darurat no.1 tahun 1951, pasal 1 ayat 4.

Sebagai realisasinya, pada tanggal 9 Oktober 1957 diundangkanlah PP. No

45 tahun 1957 (LN. 1957-99) tertanggal 5 Oktober 1957 tentang pembentukan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa-Madura.

Sebagai tindak lanjut pemerintah, Cq. Menteri Agama telah mengeluarkan

Penetapan no. 58 tahun 1957 tertanggal 13 Nopember 1957 tentang Pembentukan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sumatera, yang pada point 4 angka

huruf A.4 telah membentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propindsi

yang berkeddkan di Palembang yang merupakan Pengadilan tingkat banding

dengan mewilayahi seluruh Propinsi Sumatera Selatan, lampung dan Bengkulu.33

Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor : B/VI/d/359

tertanggal 27 Januari 1958, diangkatlah untuk pertama kalinya K.H. Abu Bakar

Bastary sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi di

Palembang dan Adnan Dinah sebagai Panitera Kepala yang sebelumnya sebagai

Panitera Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama tersebut berlokasi di Jalan

Dipenogoro, no 19 Palembang dengan luas 3x4 M yang menumpang pada kantor

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang.

 

Mahkamah Syar’iyah Era Orde Lama

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya

kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini tertutup untuk

memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam

kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno,

dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat).

Sementara NU bersama dengan PKI dan PNI34 kemudian menyusun komposisi

DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS 33 waktu itu Lampng dan Bengkulumasih merupakan keresidenan dan masih termasuk

wilayah Propinsi Sumatera Selatan.34 Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI) dan Suwiryo

(PNI).

14

Page 15: Sejarah Pengadilan Agama RI

yang kemudian menghasilkan dua ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya

unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang

hidup di Indonesia.35

Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini

hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk

memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan

batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di

era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Mahkamah Syar’iah Era Orde Baru

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru,

banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam

upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan

politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan

bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun

segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD

1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan

menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.36 Lalu bagaimana dengan

hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum

nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk

mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad

Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan

Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat fraksi-

fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan

mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di

Indonesia pada tahun 1970

Aktualisasi Hukum Islam secara Sistematis dan Aflikatif

35 Ramly Hutabat, Kedudukan Hukum Islam, hal 140-14136 Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 111-112

15

Page 16: Sejarah Pengadilan Agama RI

Melihat fenomena perkembangan Hukum Islam maka aktualisasi hukum

Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan-tindakan nyata.

Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan

sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan

Syari’at Islam. Syari’at Islam, sebagaimana telah diuraikan, adalah jalan hidup yang

menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi

hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang

harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat

Islam maupun yang berlaku secara umum.

Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik beberapa

masalah yang harus diselesaikan adalah;

pertama, harus terdapat kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak

dapat dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syari’at Islam berlaku

bagi umat Islam di Indonesia, sebab pernyataan ini adalah pengulangan tanpa

makna. Walaupun tidak ada pengakuan negara, Syari’at Islam sebagai jalan hidup

memang berlaku bagi umat Islam.

Kedua, pembahasan pada tataran filsafat hukum Islam diperlukan untuk

merumuskan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan dalam pengembangan sistem

hukum nasional secara keseluruhan.

Ketiga, harus dilakukan pembahasan berdasarkan prinsip hirarki makna dan

elaborasi Syari’at Islam dan kaidah fiqh untuk menentukan masalah-masalah hukum

yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa dan yang merupakan urusan

pribadi umat Islam.

Keempat, terhadap masalah-masalah hukum yang harus diatur dan

ditegakkan oleh penguasa, harus dipilah-pilah mana yang berlaku khusus bagi umat

Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai hukum nasional

yang tentu saja harus sesuai atau minimal tidak boleh bertentangan dengan norma

dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk norma agama.

Era Pelembagaan.

16

Page 17: Sejarah Pengadilan Agama RI

Upaya pengajuan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam ini

kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui

Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada

Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya hukum Islam telah berlaku

secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.37

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no.

14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.38 Hal ini kemudian disusul

dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang

tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto

sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan

penyebarluasannya kepada Menteri Agama.39

Kompilasi dimaksud terbagi menjadi tiga bagian yaitu ;

1. Tentang hukum perkawinan

2. Tentang Hukum Kewarisan

3. Tentang Hukum Perwakafan

Dasar Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama

Dasar Pengadilan Agama dan Pengadilan tinggi Agama adalah UNDANG-

UNDANG (UU) Nomor: 7 tahun 1989 (7/1989) Tanggal: 29 desember 1989

(jakarta)Tentang: peradilan agama dengan Indeks: Agama, Kehakiman, Peradilan,

Perkawinan, Perceraian, Warisan dan Warganegara.

Pasal 1

1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam

2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di

lingkungan Peradilan Agama.

3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada

Pengadilan Tinggi Agama.

4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor

Urusan Agama

37 Ramly Hutubarat, hal 15338 Ramli Hutubarat, hal 163-16439 Ramli Hutubarat, hal 156-157,

17

Page 18: Sejarah Pengadilan Agama RI

5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita

Pengganti pada Pengadilan Agama.

Pasal 2

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang

diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 3

1. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:

a. Pengadilan Agama;

b. Pengadilan Tinggi Agama.

2. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Pasal 4

1. Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten,

dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

2. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan daerah

hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Pasal 6

Pengadilan terdiri dari :

1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;

2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.

Pasal 7

Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang

Pasal 9

1. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,

Sekretaris, dan Juru Sita.

2. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,

Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 49

18

Page 19: Sejarah Pengadilan Agama RI

1. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b.kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;

c. wakaf dan shadaqah.

2. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a

ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai

perkawinan yang berlaku.

3. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah

penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta

peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan

melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Hukum Islam Era Reformasi

Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok

Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum

Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan

MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang

yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan

ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu

daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya

suatu peraturan yang bersifat umum.40

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit

merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah

membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam

tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

40 Jimly Assidiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional,

19

Page 20: Sejarah Pengadilan Agama RI

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi

sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita

dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum

baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian

dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.41

41 Jimly Assidiqie, Hukum Islam …

20

Sejarah Mahkamah Syar’iyah/

Pengadilan AgamaDi Indonesia

Priode awal Islam di Indonesia

sampai awal awal 1800 M

Hukum Islam pada Masa Penjajahan

Belanda

Hukum Islampada Masa

Penjajahan Jepang

Hukum Islampada Masa

Kemerdekaan (1945)

Menjadi bagian yang menyatu dalam

masyarakat

Hukum Islam mengalami

pergeseran yangsemakin melemah

Tidak adaperubahan berarti

Mulai mendapatkan tempat dalam

hukum nasional, tapi belum dalam

Page 21: Sejarah Pengadilan Agama RI

Penutup

Proses “pengakraban” bangsa ini dengan Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama yang merupakan sarana untuk menerapkan hukum Islam yang

selama ini telah dilakukan, akan tetapi belum maksimal dan harus terus dijalani

dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan

terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri,

dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-

tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.

21

Priode Revolusi hingga keluarnya

dekrit Presiden 5 Juli 1950

Perubahan ini tidaklah membawa

dampakyang signifikan

Hukum Islam Era Orde Lama

Hukum IslamEra Orde Baru

EraPelembagaan

Hukum Islam Era Reformasi

Peran hukum Islam di kembali tidak

mendapatkan tempat yang

Proses dan awal mula pelembagaan pengadilan Agama

(UU) Nomor: 7 tahun 1989, menjelaskan

diakuinya Pengadilan Agama

Hukum Islam mulai menempati posisinya

Page 22: Sejarah Pengadilan Agama RI

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah

disampaikan dalam seminar penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum

Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh

BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 27

September 2000.

22

Page 23: Sejarah Pengadilan Agama RI

D. Jackson, Karl., Traditional Authority, Islam and Rebellion, Hal 10, dikutip oleh

Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara,

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta Oktober, 1998

Hutabarat, Ramly, Kedudukan Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, dan

Perananya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata

Negara Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

Pengadilan Tinggi Agama Palembagn, Penyusunan naskah buku Yuridiksi dalam

wilayah Pengadilan Tinggi Agama Palembang, 2007

S. Lev, Daniel, Islamic Courts in Indonesia, hal 34, dinukil oleh Bakhtia Effendy,

Islam dan Negara

Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa

tahun, hal 325, dinukil dari Bakhtiar Effendy, Islam dan Negara.

23