SEJARAH KELUARGA EMI PANGESTI DAN...
Transcript of SEJARAH KELUARGA EMI PANGESTI DAN...
SEJARAH KELUARGA EMI PANGESTI DAN PERANANNYA
TERHADAP EKSISTENSI BATIK KARANG TUBAN
(1981-2010)
M MA’ARIF RAKHMATULLAH
Prodi Pendidikan Sejarah
Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang 5 Malang
Email: [email protected]
Abstrak: penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengetahui
perkembangan batik di Indonesia dan peranan keluarga Emi
dalam mengembangkan perubahan motif Batik Karang (1981-
2010). Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah.
Metode sejarah meliputi heuristik, kritik sumber meliputi kritik
ekstern dan kritik Intern. Interpretasi dan Historiografi.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa ragam
hias motif batik di Indonesia berkembang sejak masa Kerajaan
Hindu-Budha. Batik memperoleh kedudukan tinggi abad XVIII
saat penguasa keraton Yogyakarta dan Kasunanan Solo
melegitimasi motif batik yang hanya boleh digunakan kalangan
bangsawan. Keluarga Emi melestarikan Batik dengan cara tetap
mempertahankan pembuatan batik tulis dan melakukan inovasi
motif Batik Karang.
Kata Kunci: Sejarah, Batik Karang, Tuban
Pendahuluan
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organizaticon
(UNESCO) telah menetapkan batik sebagai Representative List of the Intangible
Cultural Heritage of Humanity, pada tanggal 30 September 2009. Batik dalam hal
ini telah dikukuhkan sebagai warisan kebudayaan dunia asli Indonesia. Batik yang
dimaksud disini yakni batik tulis dan batik cap, karena dilihat dari proses
pembuatan batik yang masih tradisional yaitu buatan tangan (hand made). Serta
dilihat juga dari nilai filosofis dan simbolik yang ada pada motif-motif batik.
Munculnya batik pada awalnya didasari oleh rasa seni atau estetika dari
kehidupan manusia dan juga kebutuhan akan sandang yang dalam hal ini adalah
pakaian. Rasa seni dari manusia kemudian diaplikasikan dalam goresan tangan
berupa batik dan memiliki nilai filosofis yang tinggi dari setiap motifnya.
Hampir setiap daerah di Nusantara memiliki batik dengan ciri khas
masing-masing, begitu juga dengan Kabupaten Tuban. Pada zaman Kerajaan
Singhasari (abad 13 M), Majapahit (abad 14-15 M) dan Demak (16 M), Tuban
menjadi kota pelabuhan yang penting bagi kerajaan-kerajaan terebut. Dikarenakan
menjadi bandar dagang, maka Tuban tidak terlepas dari keberadaan batik
(Mistaram, 2008:35). Keberadaanya sebagai bandar dagang memungkinkan
terjadinya pertukaran komoditas salah satunya yaitu batik. Selain itu letak Lasem
yang juga tidak terlalu jauh dengan Tuban, bisa jadi faktor pendukung keberadaan
Batik di Tuban. Mengingat Lasem menjadi salah satu wilayah yang juga terkenal
dengan pembatikannya.
Faktor pendukung selanjutnya yaitu wilayah daratan Tuban yang kurang
subur sehingga cocok untuk ditanami kapas. Dalam perkembangannya itulah
muncul dengan pesat usaha batik di Tuban yang berbahan baku kain tenun yang
dioleh dari kapas. Meskipun sekarang, keberadaan kain tenun semakin digantikan
oleh bahan baku mori yang banyak dijual di pasaran. Pekerjaan memproduksi
batik telah menjadi bagian sehari-hari dari ribuan perajin yang tersebar di
beberapa wilayah kecamatan seperti Kerek, Montong, Merakurak, Tuban,
Semanding dan Palang. Hal ini jelas menunjukan bahwa Tuban memiliki potensi
dari komoditas batik yang perlu dikembangkan.
Setiap usaha produksi batik tentunya memiliki seorang tokoh perintis awal
yang kemudian juga mengajarkan kemampuannya kepada orang lain terutama
orang-orang terdekat yang masih keluarga dari perajin batik. Usaha tersebut
kemudian berjalan dari generasi ke generasi sehingga memunculkan trah perajin
batik, misalnya seperti usaha Batik Danar Hadi di Solo yang dikelola oleh H.
Santoesa Doellah. Dari latar belakang kehidupan beliau memang lahir dan tumbuh
di lingkungan keluarga perajin batik. Bahkan istrinya juga berasal dari keluarga
perajin batik (www.TokohSurakarta.com diakses 10 Oktober 2012).
Batik Karang merupakan salah satu varian batik yang ada di Kabupaten
Tuban selain Batik Gedog dan Batik Palang. Dinamakan Batik Karang karena
batik tersebut diusahakan di Kelurahan Karang Kecamatan Semanding Kabupaten
Tuban. Usaha batik yang menarik dan memiliki nilai historis tinggi untuk ditulis
adalah milik keluarga Emi Pangesti.
Faktor pendorong penulis untuk mengkaji sejarah keluarga pada artikel ini
yaitu bahwa masih sedikit penulisan mengenai sejarah keluarga di Indonesia,
termasuk dalam bentuk skripsi atau artikel ilmiah di Jurusan Sejarah Universitas
Negeri Malang. Minat penulis dalam mengkaji sejarah keluarga juga didorong
oleh adanya materi sejarah keluarga ketika mengajar di kelas 1 pada saat
mengikuti program PPL di MAN 3 Malang.
Penulis pada skripsi ini mengkaji sejarah keluarga Emi Pangesti yang
memiliki peranan dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi Batik
Karang Tuban. Penulis berusaha memunculkan tokoh dari keluarga Emi Pangesti
yang memiliki usaha kecil menengah dalam bentuk produksi batik. Faktor
pendorong penulis untuk mengkaji keluarga Emi Pangesti dibanding keluarga
lainnnya yaitu adanya proses pewarisan ketrampilan membuat batik yang telah
berlangsung dari generasi ke generasi.
Dalam proses pewarisan ini terdapat hal yang unik yaitu Emi Pangesti
dalam membuat batik mendapat bimbingan dari ibunya sendiri yaitu Samiyatun.
Sedangkan Samiyatun mendapatkan ketrampilan membuat batik dari ibu
mertuanya yaitu Siyem. Siyem merupakan ibu Tjokro, sedangkan Tjokro adalah
suami samiyatun. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketrampilan Emi Pangesti dalam
membuat batik, apabila dilihat dalam silsilahnya berasal dari nenek (Siyem) yang
dalam hal ini merupakan garis keturunan bapak (Tjokro).
Faktor selanjutnya yaitu usaha batik tulis di Karang yang sudah cukup
terstruktur bentuknya adalah miliki Emi Pangesti. Usaha Emi Pangesti dalam
memproduksi batik juga telah merambah pasaran nasional maupun internasional
dengan dibuktikannya dalam berbagai ajang pameran batik. Dia juga
membimbing menantunya yaitu Gatot untuk membuka cabang batik tulis Emi di
Karang. Sehingga dapat terlihat peranan keluarga Emi dalam perkembangan Batik
Karang.
Sebagai pertimbangan dalam menentukan topik, penulis menggunakan dua
penelitian terdahulu. Pertama, Agustina (2004) skripsi Universitas Negeri Malang
dengan judul “Perkembangan Industri Batik Tulis Gedog “Kestriyan” Desa
Margorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban (1997-2002)”. Tulisan ini
memfokuskan pada kajian sejarah perekonomian, khususnya perkembangan Batik
Gedog dalam organisasi bernama Kesatriyan yang diketuai oleh Rukayah. Penulis
mengambil temporal 1998-2002 terdapat dua peristiwa penting yang
mempengaruhi tingkat penjualan Batik Gedog. Dua peristiwa penting yakni krisis
moneter tahun 1998 dan peristiwa Bom Bali I tahun 2002. Kedua peristiwa
tersebut kemudian berdampak pada penurunan permintaan kain batik gedog.
Penurunan permintaan tersebut dikarenkan harga batik yang cenderung
mengalami kenaikan pada saat krisis moneter dan peristiwa Bom Bali 1
mengakibatkan sepi wisatawan yang menjadi konsumen pembeli batik. Hasil
penulisan diatas, belum mengkaji mengenai bagaimana peran utama dari tokoh
yang menjadi ketua perajin batik dari organisasi Kesatriyan tersebut dalam
kaitanya mengembangkan dan mempertahankan keberadaan Batik Gedog. Selain
itu juga belum ada pembahasan lebih mendalam mengenai silsilah dari tokoh yang
menjadi perintis dari organisasi Kesatriyan.
Kedua,Sumarni (2003) skripsi Universitas Negeri Surabaya dengan judul
“Bentuk Ragam Hias dan Proses Pewarnaan Batik Tulis Karang di Tuban”. Dalam
kesimpulan penulisan skripsi ini sudah terdapat upaya dari pihak perajin yang
dimana dalam hal ini adalah Emi untuk meningkatkan mutu produksinya dengan
cara menciptakan motif-motif baru yang lebih menarik. Selain hal itu, ia juga
melakukan pembinaan-pembinaan dan selalu memperhatikan nasib karyawannya.
Akan tetapi penulisan skripsi ini belum menjelaskan mengenai latar belakang
kehidupan tokoh yakni Emi dalam kaitanya dengan penciptaan motif-motif baru.
Termasuk juga belum menjelaskan peranan tokoh sebelum Emi dalam penciptaan
motif-motif Batik Karang.
Pertimbangan inilah yang melatarbelakangi pilihan penulis untuk mencoba
mengupas mengenai Sejarah Keluarga Emi Pangesti dan Peranannya Terhadap
Eksistensi Batik Karang Tuban (1981-2010).
Pemilihan temporal 1981 dilatarbelakangi bahwa pada tahun tersebut Emi
mendirikan usaha Batik Karang setelah mendapat pelatihan memproduksi batik
dari Dinas Perekonomian dan Pariwisata, serta mulai memberikan inovasi pada
Batik Karang dari yang semula berupa batik motif klasik kemudian perlahan
mendapat sentuhan batik bermotif kontemporer. Sebelum tahun 1981
sebagaimana diusahakan oleh para generasi pendahulu Emi, batik yang dihasilkan
adalah batik dengan motif klasik yang terdiri dari warna-warna lembut seperti
soga, hitam dan putih.
Sedangkan 2010 menjadi batasan karena pada tahun tersebut berdiri galeri
Batik Karang sebagai tempat produksi serta penjualan produksi batik Emi. Selain
itu pada tahun tersebut Emi juga memberikan pelatihan membuat batik kepada
lima puluh guru SMP yang tergabung dalam MGMP Seni Budaya SMP Negeri Se
Kabupaten Tuban. Dari sini bisa terlihat peran aktif Emi untuk melestarikan
keberadaan Batik Karang Tuban.
Tujuan penulisan yaitu untuk mengetahui perkembangan batik di Indonesia
dan mengetahui peran keluarga Emi dalam mengembangkan perubahan motif
Batik Karang Tuban dalam rentang waktu 1981 sampai 2010.
METODE
Penelitian ini merupakan kajian dari Sejarah Keluarga sehingga penulis
menggunakan metode sejarah. Tahapan-tahapan metode sejarah yaitu meliputi
heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
Heuristik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh penulis dalam
melakukan pencarian dan pengumpulan data serta sumber yang terkait dengan
penelitian (Syamsuddin, 2008:86).
Dalam proses heuristik penulis menggunakan metode sejarah lisan (Oral
History) yang membantu dalam pengumpulan sumber tidak tertulis dari para
pelaku sejarah (Kuntowijoyo, 2003:29-30). Penggunaan metode tersebut juga
didukung dari segi temporal mengenai tema penelitian masih dimungkinkan guna
pengumpulan sumber melalui proses wawancara terhadap pelaku sejarah. Sejarah
lisan diperlukan sebagai salah satu upaya pelengkap dari keterangan yang tertulis
dalam sebuah dokumen atau bahkan bisa menjadi pengganti dari dokumen,
mengingat tidak banyak dokumen yang menulis tentang sejarah keluarga kecuali
bagi keluarga golongan atas.
Sejarah lisan tumbuh dan berakar dari kehidupan sehari-hari manusia,
sehingga dimungkinkan muncul adanya para tokoh atau pahlawan baru tidak
hanya dari kalangan pemimpin tetapi juga dari rakyat biasa yang sebelumnya
tidak dikenal (Thompson, 2012:24). Bahwa dalam penulisan ini akan
dimunculkan sejarah keluarga Emi yang memiliki peran untuk menjaga eksistensi
Batik Karang Tuban. Selanjutnya kedua sumber tersebut nantinya dibedakan
menjadi sumber lisan dan sumber tertulis.
Sumber lisan berupa hasil wawancara dengan beberapa narasumber yaitu
Emi Pangesti, Rusmaji, Pujiyono, Samiyati dan Subarji, sedangkan sumber
tertulis berupa buku dan artikel. Setelah melakukan heuristik, penulis melakukan
tahapan selanjutnya yaitu kritik sumber. Kritik Sumber terbagi dalam dua bagian
yaitu ekstern dan intern. Dalam kritik ekstern, penulis mengidentifikasi buku
Rona Menawan Batik Tuban. Di sini penulis akan mengidentifikasi apakah buku
tersebut memang ditulis oleh seorang yang kompeten dibidang batik dan
penulisan buku tersebut merupakan sebuah karya dari hasil penelitian ilmiah,
sehingga hasil tulisannya dapat dijadikan rujukan penulis.
Sedangkan kritik intern, menekankan pada aspek isi (substansi) dari
sumber dan kesaksian (testimoni). Penulis mengidentifikasi isi buku Rona
Menawan Batik Tuban terutama dalam pembahasan Batik Karang. Penulis
mencari siapa penyusun serta tujuan penulisan buku tersebut, mengingat buku
tersebut penulis dapatkan di Dinas Perindustrian, sehingga timbul kekhawatiran
buku tersebut dibuat untuk kepentingan pemerintah dan menghilangkan fakta-
fakta yang sebenaranya. Maka keterangan Batik Karang dalam buku tersebut
penulis bandingkan dengan keterangan dari Emi sebagai tokoh Batik Karang.
Pada tahapan selanjutnya penulis memasuki tahap interpretasi yaitu
melakukan penafsiran atas makna yang dari fakta-fakta yang diperoleh setelah
dilakukan kritik sumber. Penulis membandingkan Informasi mengenai Batik
Karang yang diperoleh dari Buku Rona Menawan Batik Tuban dengan keterangan
dari Emi sebagai tokoh Batik Karang, kemudian penulis menyimpulkan makna
dari kedua keterangan tersebut.
Setelah melalui ketiga tahapan sebelumnnya, selanjutnya tahap akhir yakni
historiografi atau penulisan sejarah. Penulisan sejarah harus bersifat diakronis
yakni memanjang berdasarkan waktu. Penulisan artikel ini berisi mengenai
perkembangan awal batik di Indonesia mulai masa Hindu-Budha, Islam, pengaruh
Cina, penjajahan Belanda, pendudukan Jepang sampai masa kemerdekaan
Indonesia. Kemudian masuk ke perkembangan awal munculnya keluarga Emi
sebagai perintis Industri Batik Karang sebelum tahun 1965, dan perkembangannya
tahun 1965 sampai 1981. Selanjtunya faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi
Batik Karang rentang tahun 1981-2010 dan bentuk perubahannya. Kemudian
bentuk pewarisan usaha Batik Karang Emi ke anggota keluarganya
Untuk menganalisis terjadinya sebuah peristiwa sejarah diperlukan juga
penggunaan ilmu bantu yang dalam penulisan artikel ini yaitu antropologi. Ilmu
Antropologi dalam mengkaji sebuah keluarga berarti mencoba melihat pola
kehidupan yang ada di dalamnya. Lewis (1988:5-6) menggunakan empat
pendekatan dalam melakukan penelitiannya terhadap kisah lima keluarga di
Meksiko yaitu pertama mencoba menerapkan konsep masyarakat ke dalam sebuah
keluarga. Lewis menyajikan data tentang sebuah keluarga yang didalamnya
menyangkut materi dan hubungan sebuah keluarga, kehidupan ekonomi, interaksi
sosial dan agama. Pendekatan kedua yaitu melihat keluarga melalui informasi
yang diperoleh dari hasil wawancara dengan setiap anggota keluarga tersebut.
Pendekatan ketiga yaitu memahami peristiwa atau kejadian tertentu yang
memberikan pengaruh besar terhadap keluarga dan melihat tanggapan dari
keluarga terkait peristiwa tersebut. Pendekatan keempat melakukan penelitian
suatu keluarga sebagai seluruh pengamatan terperinci yang dimulai dari adanya
peristiwa khas dan memberikan pengaruh besar dari kehidupan keluarga tersebut.
HASIL
Perkembangan Batik Indonesia
Penemuan motif batik di Indonesia yang paling awal pada masa Hindu-
Budha dibuktikan dengan adanya motif hias ceplok yang diukirkan pada batu di
dinding Candi Badut. Candi Badut sendiri dibangun pada abad VII M, sehingga
dengan penemuan ini diperkirakan masyarakat pada waktu itu telah mengenal
batik. Selanjutnya pada masa Kerajaan Singhasari abad XIII M ditemukan juga
motif ragam hias ceplok kawung terdapat pada kain panjang yang dikenakan
sebagai pakaian dalam patung Ken Dedes. Di masa kerajaan Majapahit abad XIII-
XIV M, motif batik terdapat pada pakaian yang dikenakan pada patung
Kertarajasa Jayawardhana. Dimana motif yang digunakan masih dalam bentuk
ceplok yaitu ceplok padma berupa bunga dan daun teratai (Mistaram, 2008:11-
14). Ragam hias batik juga berkembang pada masa penyebaran agama Islam di
Jawa pada abad XVI-XVII M. Hal itu dibuktikan dengan adanya ragam hias
sulur-suluran yang berada di Masjid Mantingan Jepara dan Makam Sendang
Duwur Lamongan.
Hubungan perdagangan dengan bangsa Cina telah menimbulkan akulturasi
budaya yang dalam ini terdapat pada motif batik pesisiran. Pengaruh budaya
tersebut terdapat pada motif Lok Can.
Susuhunan Paku Buwana III pada tahun 1769 mengeluarkan larangan
menggunakan batik tertentu, seperti yang disampaikan Soedjoko dalam Hidajat
(2004:288-289) yang artinya yaitu: adapun barang berupa kain panjang (jarit)
yang termasuk larangan saya (raja): Batik Sawat, dan batik parang rusak, batik
cumangkiri yang calacep, modang, bangun tulak, lenga-teleng, daragam, dan
tumpal. Adapun batik Cumangkirang yang acalecep berupa lunglungan (sulur)
atau kekembangan (bunga-bungaan), yang saya perbolehkan dipakai Patih, dan
abdidalem, Wedana.
Dari keterangan di atas salah satu motif yang dilarang penggunaannya oleh
Susuhunan Paku Buwana III yaitu motif sawat.
Gambar 1 Motif Sawat (http://motifbatikindonesia.blogdetik.com diakses 24 November
2012)
Selanjutnya pada tahun 1785, Raja Yogyakarta Sultan Hamengkubuwuna I
mencanangkan pola parang rusak bagi keperluan pribadinya (Kitley:1987).
Gambar 2 Motif Parang rusak (http://lowlymonita.blogspot.com diakses 27 November 2012)
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Eliza Van Zulyen merupakan
seorang tokoh Belanda yang mengembangkan batik di Pekalongan antara tahun
1890-1940. Motifnya berupa bunga, burung, dan kupu-kupu Sedangkan warna-
warna yang digemari yaitu warna muda yang dikombinasi dengan gelap dan
terang (Tirta:1985). Setelah Jepang berhasil mengusir Belanda, maka dimulailah
pendudukan militer Jepang atas Indonesia dan tercipta Batik Jawa Hokokai
yang memiliki konsep pagi-sore yaitu satu kain yang menampilkan dua warna
(atau dua motif), gelap dan terang (Purba dkk, 2005:48).
Pada tahun 1950 atas gagasan Presiden Soekarno kepada Go Tik Swan,
sang maestro batik kemudian membuat batik Indonesia yang merupakan
perpaduan antara batik gaya klasik (kraton) dengan batik gaya pesisiran (Rustopo,
2008:81). Di masa pemerintahan selanjutnya batik semakin mendapat
kedudukannnya, sampai puncaknya pada tanggal 2 Oktober 2009 Presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono menetapkannya sebagai hari batik
nasional.
Perkembangan Batik Jawa Timur
Beberapa kabupaten di Jawa Timur terkenal dengan daerah pembatikannya
seperti Sidoarjo, Banyuwangi dan Ponorogo. Sidoarjo terkenal dengan batik Jetis
yang diperkirakan telah ada sejak tahun 1675 (Qamariyah, 2011:95). Banyuwangi
terkenal dengan Batik Gajah Oling. Motif ini sudah ada sejak tahun 1936, ketika
itu dipakai Lurah Kepatihan Joyo Wiroto untuk mementaskan Gandrung
(Ratnawati, 2011:42). Perkembangan batik di Ponorogo tidak terlepas dari
persebaran agama Islam yang dibawa oleh Kiai Hasan Besari yang kemudian
mendirikan Pondok Pesantren Tegalsari. Kiai Hasan Besari merupakan menantu
dari Keraton Solo. Ketika beliau membawa sang putri untuk pindah ke Tegalsari
maka dibawa juga seni batik oleh para keluarga keraton (Wulandari, 2011:16).
Perkembangan Batik Tuban
Secara umum Batik Tuban terbagi menjadi tiga macam yaitu pertama,
Batik Gedog, nama gedog berasal dari bunyi dhog-dhog-dhog yang dihasilkan
oleh alat yang digunakan ketika memintal kapas untuk dijadikan kain. Proses
pembuatan Batik Gedog cukup lama karena bahan bakunya berusaha dipenuhi
sendiri mulai penanaman kapas, kemudian dipanen, ditenun dan dibatik sendiri
oleh perajinnya. Tetapi, dalam perkembangnnya para perajin Batik Gedog juga
menggunakan bahan baku kain mori atau katun dari pabrik. Motif-motif dari Batik
Gedog antara lain Panji Lori, Kembang Waluh, dan lainnya (Paguyuban, 2006:7)
Kedua, Batik Palang yang sesuai namanya diusahakan di Desa Gesikharjo
Kecamatan Palang. Wilayahnya yang berada di pesisir pantai mengakibatkan
adanya pengaruh cina berupa motif burung hong dan binatang air dengan latar
gringsing sisik serta motif dudo brengos. Batik Palang masih mempertahankan
ciri motif batik klasik dengan harga yang cukup mahal (Paguyuban, 2006:77).
Ketiga, Batik Karang diusahakan di Kelurahan Karang Kecamatan
Semanding. Batik yang dihasilkan cukup halus dan adanya motif perpaduan klasik
dengan kontemporer, seperti motif lung-lungan.
Keluarga Emi Pangesti dan Industri Batik Karang Sebelum 1965
Penulis memperoleh keterangan lisan dari Emi yang menyebutkan bahwa
Batik Karang mulai tumbuh sekitar tahun 1820 yang dirintis oleh Warisah. Batik
yang dihasilkan merupakan batik motif klasik atau jawa seperti halnya batik gaya
kraton Yogyakarta dan Solo. Emi mengatakan:
“Tokoh perintis dari generasi pertama itu bernama mbah Warisah, yang merupakan
udeng-udeng saya. Keahlian membatiknya, diwariskan dari generasi ke generasi. Hingga
akhirnya sampai ke saya yang merupakan generasi ke lima”. (Wawancara dengan Emi
Pangesti hari Minggu tanggal 04 Desember 2011)
Pada masa Warisah tentu belum terdapat kemudahan untuk membeli kain,
malam dam pewarna seperti layaknya sekarang. Emi mengatakan:
“bahan baku menggunakan kapas yang ditenun sendiri, sedangkan malamnya menggunakan tolo (sarang) tawon yang direbus, dan pewarnaannya menggunakan bahan-
bahan alami seperti akar pace dan soga yang menghasilkan warna coklat”. (Wawancara
dengan Emi Pangesti hari Minggu tanggal 04 Desember 2011)
Untuk memperkuat keterangan lisan yang disampaikan Emi, penulis
menggunakan sumber tertulis yang terdekat dengan tahun 1820, yakni keterangan
dari buku History of Java yang ditulis oleh Thomas Stamford Raffles pada
periode kepemimpinannya 1811-1816. Disebutkan oleh Raffles (2008:106)
terdapat beberapa macam batik seperti batik warna putih, hitam dan merah. Kain
sebelum dibatik terlebih dahulu dikanji agar tidak mblobor. Proses batik dengan
cara menggunakan lilin panas yang cair, kemudian untuk menggambarkan motif
batik digunakanlah canting. Dalam pandangan penulis keterangan dari Raffles
tadi bisa menjadi penguat dari keterangan dari Emi karena apabila dilihat dari
periode yang disebutkan keduanya tidak terlalu jauh.
Di dalam sebuah keluarga tentu terdapat silsilah mengenai garis keturunan.
Disini penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai silsilah dari
keluarga Emi Pangesti. Silsilah tersebut tampak dalam gambar 3 berikut ini.
SILSILAH KELUARGA EMI PANGESTI
Kopral Warisah
Sarmidin Sakimah Sarmidin Saminah
Warimo Siyem Suminah Munasir Samilah
Sarkam Tjokro Sanuri Karjan Samiyatun Samiyati Karjiban
Mulyati Siswoyo Subandrio Purnomo Subarji Sri Prameswari
Laksminto Emi Pangesti
Agus Gatot Wijayanto Lenny Sugiarti Leddy Sugiarto Citra Dony Pamungkas
Gambar 3. Silsilah Keluarga Emi Pangesti (Diolah dari data lapang wawancara dengan Emi
Pangesti (13 Desember 2012), Samiyati (16 Desember 2012) dan Subarji ((16 Desember 2012)
Dari keterangan dalam silsilah yang ada di gambar 3. bahwa Warisah
merupakan generasi pertama dari Tjokro yang merupakan bapak Emi. Tjokro
merupakan penduduk asli Karang sedangkan Samiyatun ibu dari Emi berasal dari
desa Tegalagung. Kemampuan Emi dalam membuat batik diperoleh dari Ibunya
yaitu Samiyatun. Sedangkan Samiyatun memperoleh kemampuannya tersebut dari
Siyem yang merupakan ibu dari Tjokro, sekaligus mertuanya sendiri. Jadi bisa
disimpulkan bahwa ketrampilan keluarga Emi dalam membuat batik merupakan
pengaruh dari garis keturunan keluarga Karang yang berasal dari neneknya yaitu
Siyem.
Sebagian besar perajin sudah tidak mengetahui siapa tokoh utama dan
kapan terjadi perintisan awal Batik Karang. Akan tetapi, seorang perintis juga bisa
menjadi tokoh legendaris (Soeroto:1983). Hal ini juga terjadi pada Batik Karang,
bahwa dari Emi sendiri sebagai tokoh generasi kelima sulit untuk memastikan
tahun berapa para generasi sebelumnya tersebut lahir dan bagaimana usahanya
dalam mempertahankan Batik Karang. Akan tetapi menurut sifatnya bahwa batik
yang dihasilkan merupakan batik klasik dengan pakem tertentu, sehingga menurut
analisa penulis motif batik pada generasi kedua, ketiga dan keempat
kecenderungan adalah sama motifnya seperti tekuk dengkul, kedele kecer,
kawung, uker dan udan liris.
Emi pernah mengikuti pelatihan yang difasilitasi oleh Dinas Perindustrian
pada 1977 dan 1978. Isi pelatihan memberikan berupa pengetahun baru tentang
pengolahan warna dan diberi gambaran tentang motif-motif kontemporer. Selain
pemberian pelatihan, juga diberikan bantuan modal dan peralatan. Berawal dari
pelatihan tersebut pada 10 Februari 1981, Emi mendirikan usaha batik tepatnya di
Jalan Mojopahit Desa Karang no 67. Produksinya menghasilkan kain batik motif
kontemporer, taplak meja, selendang dan juga kaos.
Emi tetap berupaya mempertahankan keberadaan ciri batik klasik, dia
mengatakan:
“Saya membuat motif baru yang diberi sentuhan inovasi dari motif batik klasik, misalnya
motif lung-lungan tahun 1979, yang lebih penting lagi adalah tidak menghilangkan ciri
khas batik Tuban yaitu isen-isen bentuk sirip”. (Wawancara dengan Emi Pangesti hari
Sabtu tanggal 13 Oktober 2012)
Gambar 4. Lung-Lungan Motif Klasik (Dokumentasi Penulis)
Gambar 5. Lung-Lungan Motif Kontemporer (Dokumentasi Penulis)
Gambar 4 merupakan batik klasik lung-lungan yang memiliki latar dasar
gringsing sisik. Gringsing sisik ditampilkan dalam bentuk isen-isen cecekan yang
berbentuk titik-titik layaknya sisik ikan. Seperti ciri khas batik klasik lainnya
tampak dominasi warna soga atau cokelat. Ragam hiasnya berupa daun yang
saling menyambung satu sama lainnya. Sedangkan gambar 5 merupakan batik
kontemporer lung-lungan yang memiliki latar dasar warna biru yang mencolok.
Ragam hiasanya tetap berupa daun yang seakan-akan membentuk sebuah bunga.
Inovasi yang terjadi dari batik klasik ke motif batik kontemporer, terlihat
pada batik lung-lungan motif kontemporer (Gambar 5) yaitu penggunaan warna
cerah yakni biru, sedangkan pada motif klasik (Gambar 4) menggunakan warna
soga. Dari segi motif, pada lung-lungan motif kontemporer (Gambar 5) tidak
terdapat isen-isen yang rumit berupa gringsing sisik layaknya pada motif klasik
(Gambar 4) dan hanya daun saja yang masih dipertahankan.
Penghilangan latar dasar gringsing sisik dalam lung-lungan motif
kontemporer dilakukan karena terlalu rumit membuatnya dan itu diperlukan
perajin batik yang telaten terutama nenek-nenek yang sudah tua. Sedangkan
keberadaan mereka di Karang sudah sulit dicari karena banyak yang telah
meninggal. Disisi lain generasi muda Karang tidak terlalu berminat untuk
menekuni batik.
Motif batik lung-lungan klasik diperkirakan sudah ada sejak tahun 1950.
Sedangkan lung-lungan motif kontemporer dibuat tahun 1979. Hal ini bisa
menjadi bukti bahwa pada rentang tahun 1978-1981 telah menjadi awal terjadinya
inovasi dari batik klasik ke batik kontemporer setelah adanya pelatihan batik dari
Dinas Perindustrian di tahun-tahun tersebut.
Penjualan Batik Karang sudah mencapai berbagai wilayah baik di dalam
maupun di luar negeri, tetapi Karang sendiri bukanlah sebuah sentra indutri batik
yang besar seperti halnya Kampung Batik Laweyan di Solo dan indutri Kerajinan
Perak di Kota Gede Yogyakarta, dimana penduduknya sebagian besar bekerja
sebagai perajin batik maupun perak. Sebelum memberikan analisis mengenai
keberadaan Batik Karang yang belum bisa menjadi sebuah industri besar, penulis
akan memberi gambaran singkat mengenai sentra-sentra industri yang telah
disebutkan tadi.
1) Kampung Batik Laweyan
Kampung Batik Laweyan yang terletak di Solo, secara historis mulai
terbentuk sejak zaman Pakubuwono II. Nama Laweyan sendiri berasal dari kata
Lawe yang artinya benang, karena pada mulanya wilayah ini merupakan tempat
pembuatan kain tenun, sehingga raja memilih Laweyan yang dijadikan sebagai
penghasil kain batik, karena dipandang penduduk Laweyan hampir semuanya
pandai menenun, rajin dan tekun dalam bekerja (Kusumawardhani, 2006:52). Bisa
dikatakan perkembangan batik di Laweyan sudah tertata bentuk dan strukturnya
paling tidak semenjak dapat perhatian dari pihak Pakubuwono II. Tentunya
seorang raja tidak akan sembarang memilih daerah untuk membuat batik yang
akan dipergunakan oleh bangsawan keraton.
Pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat Laweyan sebagian besar adalah
berkaitan dengan batik, baik sebagai perajin biasa atau menjadi pengusaha batik.
Dilihat dari segi mayoritas pekerjaan, dapat diketahui bahwa masyarakatnya
memiliki mental dan jiwa kewirausahaan yang tinggi. Sehingga muncul pemikiran
untuk mengembangkan batik menjadi sebuah komoditas yang menguntungkan
secara bisnis. Bagi masyarakat Laweyan menjadi perajin batik adalah pekerjaan
tetap bukan sebagai sambilan, sehingga dapat menghasilkan volume produksi
yang besar. Di sisi lain bidang pertanian justru menempati posisi kecil di
Laweyan, karena tidak banyak orang bekerja sebagai petani.
Faktor pendukung lainnya yaitu di wilayah Laweyan menyimpan bangunan
rumah-rumah serta makam-makam kuno, sehingga layak untuk dijadikan kawasan
heritage. Para wisatawan datang untuk berkunjung melihat bangunan-bangunan
tua dan sembari itu melihat proses produksi batik. Hal tersebut tentu akan menarik
minat mereka untuk membeli batik. Sedangkan Solo sendiri merupakan kota
pendidikan, budaya serta tujuan wisata dari seluruh penjuru Indonesia bahkan
dunia dan ini merupakan pasar dari produksi kain Batik Laweyan.
2) Industri Kerajinan Perak Kota Gede
Industri kerajinan perak Kota Gede memiliki sisi historis yang tinggi.
Menurut Sukiman dalam (Wibowo dan Hutagalung: 2001) Munculnya kerajinan
perak Kota Gede bersamaan dengan ditetapakannya Kotagede sebagai ibukota
Kerajaan Mataram Islam pada abad ke XVI. Dengan latar belakang tersebut
kerajinan perak berkembang pesat di bawah perlindungan dan pengawaan dari
pihak keraton.
Pada masa kolonial, Kotagede merupakan pusat industri dan perdagangan
yang terkemuka sehingga muncul pengusaha jawa yang kaya raya. Sama dengan
Laweyan, di Kotagede sektor pertanian berada pada posisi marginal dibanding
sektor industri (Hariyono, 2011:15).
Yogyakarta terkenal sebagai kota pendidikan dengan banyaknya lembaga
pendidikan yang ada didalamnya. Dengan adanya penelitian ataupun kajian-kajian
ilmiah yang dilakukan oleh civitas akademika terhadap kerajinan perak Kotagede
semakin mempopulerkan dan mendorong untuk dilakukan penelitian-penelitian
selanjutnya. Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian dan riset yang dilakukan
adalah semakin memperbaiki kekurangan-kekurangan yang masih ada di
Kerajinan Perak Kotagede. Kemudian mencari solusinya dengan tujuan agar
kerajinan tersebut semakin berkembang pesat.
Banyaknya tokoh-tokoh pemerhati budaya dan seniman dari daerah
Yogyakarta juga menjadi keuntungan tersendiri bagi kerajinan perak Kotagede.
Tokoh-tokoh seperti itulah yang dapat menjadi salah satu faktor menunjang
keberadaan industri. Mereka memiliki ide-ide yang cemerlang untuk
mengembangkan kerajinan tersebut menjadi industri yang besar. Bahkan dengan
ditetapkannya Kotagede sebagai cagar budaya maka perhatian pemerintah
terhadap kerajinan perak semakin besar.
Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki tingkat kunjungan wisata
salah satu yang tertinggi di Indonesia. Keberadan wisatawan yang tiada henti
datang dan masuk Yogyakarta merupakan pasar dari produk kerajinan perak
tersebut. Melalui kegiatan pameran atau even-even tahunan juga semakin
mengenalkan kerajinan perak Kotagede kepada masyarakat luas. Dengan
masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi beserta dukungan modal ketrampilan
dan kekayaan yang besar menjadikan Kotagede semakin tumbuh menjadi sebuah
sentra industri kerajinan perak.
Penulis akan mencoba menganalisis perbedaan usaha Batik Karang dengan
beberapa kawasan sentra indutri yang telah disebutkan dalam penjelasan di atas.
Ketika berbicara mengenai suatu sentra yang menghasilkan barang-barang
tertentu maka penulis akan mencoba untuk melihatnya sebagai sebuah komunitas.
Syarat terbentuknya komunitas salah satunya adalah memiliki pekerjaan yang
sama dan menghasilkan produk yang sama diantara individu-individu tersebut.
Penduduk karang sebenarnya sudah memiliki aspek tersebut karena terdapat
puluhan orang yang sama-sama menggeluti pekerjaan untuk memproduksi batik.
Akan tetapi masih terdapat hambatan-hambatan yang mengganjal Karang menjadi
sentra industri batik.
Penulis menemukan beberapa aspek yang menjadi hambatan Batik Karang
belum bisa membentuk sebuah kawasan sentra industri atau kampung batik.
Pertama, unit usaha baik tulis di Karang cukup sedikit untuk disebut sebagai
kampung batik. Di wilayah Karang usaha batik tulis yang cukup besar adalah
milik Emi dan menantunya Gatot. Kedua pemilik usaha tersebut yang kemudian
membawahi puluhan tenaga kerja atau buruh untuk memproduksi batik. Dengan
unit usaha yang sedikit tentu volume produksi kain batik yang dihasilkanpun juga
sedikit. Padahal untuk membuat kampung batik diperlukan cukup banyak unit
usaha, di mana didalamnya nanti pengunjung dapat melihat bagaimana proses
produksi batik, pengunjung dapat mencoba membuat batik, hingga dapat membeli
langsung produksi tersebut. Hal ini diperjelas oleh keterangan Rusmaji, dia
mengatakan:
“Indikator untuk sebuah kampung batik yaitu Pertama, harus memiliki jumlah unit usaha
yang cukup. Kedua, tata lingkungan atau tata letak harus dekat dengan Kota.
Dibentuknya kampung batik bertujuan untuk menata secara rapi tempat unit usaha,
tempat penjualan untuk sehingga menarik wisataan. Kalau dijadikan kampung batik,
layout mereka dalam pembuatan batik bisa terta rapi , mulai dari pembuatan dan
penjualan, pengunjung bisa melihat langsung dan didukung oleh lingungan yang bersih”.
(Wawancara dengan Rusmaji hari Kamis 29 November 2012)
Faktor kedua yaitu persepsi masyarakat tentang Batik Karang bukanlah
komoditas perdagangan yang praktis dan secara ekonomi menguntungkan bagi
kehidupan mereka. Masih sedikitnya unit usaha batik yang ada juga dipengaruhi
pandangan masyarakat Karang bahwa menjadi perajin batik bukanlah sumber
penghasilan utama melainkan hanya pekerjaan sambilan, meskipun terdapat juga
yang menggantungkan hidupnya dari bekerja sebagai buruh batik tetapi
jumlahnya minoritas dari keseluruhan masyarakat.
Petani masih menjadi pekerjaan utama sehari-hari masyarakat Karang
sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa tingkat untuk berwirausaha dalam bidang
kerajinan masih rendah. Tumbuhnya suatu usaha kerajinan merupakan bentuk
alternatif ketika usaha pertanian di masyarakat tersebut tidak terlalu berkembang
dan itu terbukti di tempat-tempat sentra usaha kerajinan seperti Laweyan dan
Kotagede, bidang pertanian merupakan kelompok minoritas di masyarakat.
Sedangkan di Karang sendiri justru pertanian merupakan kelompok mayoritas.
Masyarakat Karang pada umumnya memandang produksi batik
membutuhkan waktu yang lama dan ketelatenan serta kesabaran dalam
membuatnya. Jiwa kewirausahaan yang tidak terlalu tinggi serta proses panjang
yang harus dilalui mengakibatkan para generasi muda Karang tidak berminat
terjun ke dalam usaha batik.
Faktor ketiga yaitu, untuk membentuk sebuah sentra industri diperlukan
keunikan barang yang akan diproduksi itu sendiri yang dalam hal ini adalah batik.
Batik Karang perlu membuat indentitas atau ciri khusus yang bisa
membedakannya dengan Batik Gedog tanpa menghilangkan unsur Batik Tuban.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pujiono, dia mengatakan:
“Batik Karang harus memiliki ciri khas seperti warna ekstream atau motif yang ekstream
sehingga bisa mandiri dan lepas dari bayang-bayang Batik Gedog. Hal ini karena motif
yang ada di Batik Karang tidak terlalu jauh beda dengan Batik Gedog. Dengan adanya ciri
khusus Batik Karang bisa dikenal oleh masyarakat luas”. (Wawancara dengan Pujiyono
hari Minggu tanggal 18 November 2012)
Dengan memiliki ciri khusus Batik Karang memiliki jati diri tersendiri dan
masyarakat luas bisa mudah mengetahui bahwa batik yang akan dibeli merupakan
Batik Karang. Sehingga semakin mengenalkan Batik Karang dan meningkatkan
penjualan.
Faktor yang keempat menyangkut peran pemerintah. Pemerintah telah
melakukan upaya-upaya untuk mengembangkan Batik Karang melalui rangkaian
pelatihan, bantuan modal dan informasi pameran. Bisa jadi hal ini dalam
praktiknya sudah dilakukan tetapi masih kurang optimal. Kurang optimal ini bisa
disebabkan hubungan antara perajin dengan pemerintah kurang dekat sehingga
kurang adanya saling bertukar informasi antara keduanya. Seharusnya ada upaya
yang lebih intens lagi dari pemerintah untuk melihat sejauhmana perkembangan
unit usaha Batik Karang dan memberikan solusi yang baik apabila unit usaha
mengalami permasalahan seperti kurangnya pangsa pasar dan pengurusan hak
cipta motif Batik Karang.
Beberapa contoh Batik Karang motif kontemporer yaitu motif ikan
terbang, pantai, rambatan perkutut dan kembang jati.
Emi pernah mengikuti pameran seni dan budaya di luar negeri diantaranya
yaitu Osaka (Jepang) pada tahun 1990, tahun 1991 di Den Haag (Belanda), tahun
1992 di Singapura dan 1993 di Amsterdam (Belanda), seperti yang tertera dalam
tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Pameran Batik Emi di Luar Negeri ( Diolah dari data lapang wawancara dengan
Emi Pangesti hari Sabtu 3 Maret 2012)
No Tahun Tempat Pameran
1 1990 Osaka (Jepang)
2 1991 Den Haag (Belanda)
3 1992 Singapura
4 1994 Amsterdam (Belanda)
Selain di luar negeri, dia juga sering mengikuti pameran dalam tingkat
lokal, pada tahun 2006 di Gedung Budaya Loka Tuban dan berhasil menyabet
juara dua. Satu tahun kemudian, tahun 2007 Emi juga mengikuti kegiatan
POKDARWIS bertempat di kawasan terminal lama jalan teuku umar Tuban. Pada
kegiatan ini dia berhasil mendapat juara satu dalam bidang lomba Cinderamata
dengan menggunakan motif batik.
Selanjutnya, Emi juga pernah mengikuti kegiatan bazar usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM) dalam rangka hari jadi Provinsi Jawa Timut ke 65 yang
diselenggarakan pada tanggal 12-14 Oktober 2010 dengan lokasi di Jalan Yos
Sudarso Tuban. Emi juga memberi pelatihan membuat batik dalam kegiatan
MGMP Seni Budaya SMP Negeri Kabupaten Tuban tahun 2010. Mengenai
kegiatan tersebut, penulis menggali informasi dari Pujiyono, ketua MGMP Seni
Budaya SMP Negeri di Kabupaten Tuban, dia mengatakan:
“Seluruh Guru Seni Budaya SMP Kabupaten Tuban mengikuti kegiatan pelatihan batik di
rumah Emi guna meningkatkan kompetensi guru. Kegiatan berlangsung selama tiga hari
dan diikuti oleh sekitar lima puluh peserta. Pelatihan tersebut langsung di bawah
bimbingan Ibu Emi”. (Wawancara dengan Pujiyono hari Minggu tanggal 18 November 2012)
BAHASAN
Dalam menciptakan sebuah motif, perajin batik tentunya membutuhkan
sumber inspirasi. Wilayah Karang yang berdekatan dengan laut dan memiliki
hasil utama berupa ikan, kemudian menjadi sumber inspirasi bagi perajin batik
untuk menciptakan motif ikan terbang. Penciptaan motif kembang jati juga
terinspirasi dari hutan pohon jati yang luas di Tuban. Dapat disimpulkan dari
penjelasan tersebut bahwa lingkungan alam sekitar dari kehidupan perajin bisa
menjadi sumber inspirasi dalam menciptakan motif batik.
Setiap motif batik memiliki makna tersendiri bagi perajin, hal tersebut
sebagai bentuk ungkapan jiwa seni yang berbeda setiap orangnya. Sebaliknya
batik juga merupakan gambaran atau ekspresi masyarakat Tuban terhadap
lingkungan sekitarnya baik lingkungan alam, sosial dan budaya sehari-hari seperti
motif kapal kerem merupakan ekspresi jiwa seni atas sesuatu yang terjadi di
lingkungan sekitarnya. Perkembangan zaman mempengaruhi kehidupan sosial
perajin yang semakin kompleks sehingga mendorong untuk menciptakan motif
baru yang lebih beragam dengan warna-warna cerah, sebagai bentuk inovasi dari
motif klasik yang terikat oleh pakem tertentu dengan warna-warna gelap.
Perkembangan batik di Indonesia telah ada sejak masa Kerajaan Hindu-
Budha dengan adanya penemuan ragam hias ceplok di dinding Candi Badut (abad
VII M) dan ragam hias kawung dipatung Ken Dedes (abad XIII). Selanjutnya di
masa Kerajaan Islam, ditemukan ragam hias berupa sulur-suluran yang terdapat di
ornamen Masjid Mantingan Jepara dan Makam Sendang Duwur Lamongan.
Hubungan perdagangan dengan bangsa Cina juga berpengaruh terhadap ragam
hiasa Batik di Indonesia seperti Motif Lok Can yang menggambarkan burung
Hong (Phoenix).
Pada abad XVIII Raja Yogyakarta dan Susuhunan Solo mengeluarkan
kebijakan mengenai motif larangan pada kain batik. Terdapat tiga faktor yang
mempengaruhi keluarnya keputusan tersebut. Pertama, raja sebagai penguasa
berusaha untuk melakukan proteksi komoditi kain batik yang dalam praktiknya
fokus pada brand batik kraton. Kedua, motif larangan merupakan upaya untuk
meningkatkan wibawa raja atapun penguasa dihadapan rakyatnya setelah adanya
kolonialisme bangsa asing. Ketiga, adanya motif batik larangan merupakan
sebuah kontrol penguasa terhadap rakyatnya.
Pada masa kolonial, berkembang model Batik Belanda yang memiliki
motif kupu-kupu dan bunga dengan tokohnya Eliza Van Zuylen. Pada era
pendudukan Jepang, jenis batik yang berkembang adalah Batik Jawa Hokokai
dengan konsep pagi-sore. Batik Indonesia mendapat kedudukan tertinggi setelah
Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono menetapkan tanggal 2 Oktober 2009
sebagai hari batik nasional berdasar keputusan UNESCO. Penilaian itu dilihat dari
proses pembuatan dan motif-motif batik yang mencerminkan falsafah kehidupan,
serta batik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Peran keluarga Emi Pangesti dalam melanjutkan dan mengembangkan
Batik Karang telah dirintis oleh Warisah pada tahun 1820. Batik yang dihasilkan
masa Warisah sering disebut sebagai batik klasik atau batik jawa yang bentuknya
berupa jarik, sarung dan selendang. Motif-motif dari batik klasik diantaranya
Tekuk Dengkul, Kedele Kecer, Ukel, Kawung dan Udan Liris. Motif-motif
tersebut sangat dipenuhi oleh nilai-nilai simbolik dan makna harapan bagi
pemakainya.
Pada awalnya mereka membuat batik bukanlah dari bagian untuk
mencukupi kebutuhan ekonominya tetapi sebagai bentuk pemenuhan rasa seni
dari diri manusia (Soeroto:1983). Pada awalnya bagi Warisah membuat batik
bukanlah pekerjaan utama melainkan hanya dilakukan ketika selesai panen hasil
pertanian dan untuk digunakan sendiri atau sebagai hadiah untuk keluarga yang
sedang mempunyai hajatan.
Emi Pangesti merupakan tokoh yang mengembangkan motif kontemporer
Batik Karang. Faktor yang berperan dalam mendukung perkembangan motif
kontemporer yaitu pertama, proses produksi. Proses pembuatan batik motif
kontemporer tidak serumit batik klasik, dimana waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan satu potong kain adalah tujuh sampai sepuluh hari. Hal ini lebih
cepat dibanding batik kasik yang mencapai satu bulan untuk menyelesaikan satu
potong kain. Kedua, kemudahan untuk mendapatkan zat pewarna kimia dengan
beragam warna yang cerah. zat pewarna kimia membuat kain terlihat berwarna
mencolok dan prosesnya lebh praktis dibanding menggunaakan pewarna alam.
Ketiga, harga batik kontemporer lebih terjangkau dikalangan masyarakat umum
dibanding batik klasik yang cukup mahal. Maka, dimulailah produksi batik
kontemporer dan mengurangi produksi batik klasik.
Akan tetapi, sebagai upaya untuk menjaga dan mempertahankan motif
klasik, Ibu Emi melakukan inovasi pada motif, seperti motif klasik lung-lungan
(gambar 4) dimodifikasi munculnya lung-lungan dalam motif kontemporer
(gambar 5). Modifikasi terletak pada motifnya yang dibuat lebih sederhana dan
warna yang lebih cerah daripada motif klasik. Sedangkan mengenai penciptaan
batik motif kontemporer, hal terpenting yang harus selalu diingat lainnya yaitu
mempertahankan ciri khas batik Tuban yaitu adanya bentuk isen-isen sirip.
Ketrampilan membuat batik yang dimiliki oleh Emi kemudian dimiliki
juga oleh Leddy Sugiarto yang merupakan putra keduanya. Hal tersebut
merupakan salah satu bentuk proses pewarisan tradisi keluarga. Emi juga menjadi
pembina sekaligus pembimbing dari Agus Gatot Wiyanto yang merupakan suami
dari Lenny Sugiarti (putri pertama Emi). Pada tahun 2003 Gatot mulai merintis
usaha batik, yang juga berada di Karang. Menurut Soeroto (1983) pewarisan
keahlian membuat batik dapat dimulai dengan keikutsertaan anggota keluarga
untuk membantu kegiatan perintis tersebut. Apabila telah memiliki ketrampilan
yang memadai dengan dilihat dari halus atau tidaknya kain yang telah dibatik,
selanjutnya ia akan memulai usaha sendiri sekiranya memiliki modal usaha.
Proses ini akan terus berjalan dengan demikian tumbulah kegiatan di antara
banyak keluarga, sehingga akan terjadi suatu cluster kegiatan kerajinan.
Pertumbuhan tersebut merupakan bagian dari pola yang berlaku di lingkungan
usaha kerajinan yang tumbuh dan menjadi besar.
Emi sebagai tokoh Batik Karang melakukan beberapa upaya untuk
mengenalkan Batik Karang ke masyarakat luas melalui serangkaian pameran baik
di dalam maupun di luar negeri. Selain itu dia juga memberikan pelatihan
membuat batik kepada msayarakat. Dari berbagai kegiatan inilah sering
dimunculkan motif-motif baru sehingga menarik minat konsumen untuk membeli
Batik Karang. Termasuk juga mendengarkan saran-saran dari konsumen
mengenai motif yang dinginkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Perkembangan ragam hias motif batik dimulai sejak masa Hindu-Budha
dan semakin berkembang sesuai dengan konteks waktunya. Adanya motif batik
larangan pada masa kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta merupakan
bentuk legitimasi kaum bangsawan terhadap rakyat biasa sehingga menimbulkan
adannya tingkatan sosial dalam masyarakat.
Peran keluarga Emi dalam melanjutkan dan mengembangkan eksistensi
Batik Karang dilakukan dengan cara membuat inovasi motif batik dari klasik
menuju kontemporer, mempertahankan Batik Karang sebagai batik tulis
tradisional, mengikuti pameran baik di dalam maupun di luar negeri serta
memberikan pelatihan kepada masyarakat.
Penulisan sejarah keluarga dalam sebuah usaha kecil dan menengah bisa
menjadi bahan kajian oleh penulis selanjutnya, tentu dengan menggunakan tema
dan wilayah yang berbeda sehingga akan mucul keunikan tersendiri yang
membedakannya dengan industri Batik Karang.
Daftar Rujukan
Agustina, S.K. 2004. Perkembangan Industri Batik Tulis Gedog “Kestriyan”
Desa Margorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban (1997-2002). Skripsi
tidak diterbitkan. FS: UM.
Hapsari, S.Y. 2008. Historical Antique Indonesian Batik Designs, Motifs &
Patterns for Great Fashion,(Online),
(http://lowlymonita.blogspot.com/2009/05/batik-oh-batik.html) diakses 27
November 2012.
Hariyono, A. 2011. Sejarah (Sosial) Ekonomi Teori Metodologi Penelitian dan
Narasi Kehidupan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Hidayat, R. 2004. Kajian Strukturalisme Simbolik Mitos Jawa Pada Batik
Berunsur Alam. Bahasa dan Seni, 32 (2): 286-304.
Jauhari, N. 2012. Motif batik Indonesia, (Online),
(http://motifbatikindonesia.blogdetik.com/files/2012/02/batiksawat1.jpg)
diakses 24 November 2012.
Khitley, P. 1987. Batik dan Kebudayaan Popular. Prisma, 16 (V) : 54-70.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kusumawardani, F.2006. Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional Di
Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000. Skripsi tidak diterbitkan.
FIS:UNNES, (Online),
(http://koleksi.pustakaskripsi.com/dl.php?f=1535.pdf) diakses 27 November
2012.
Lewis, O.1959. Kisah Lima Keluarga:Telaah-Telaah Kasus Orang Meksiko
dalam Kebudayaan Kemiskinan. Terjemahan Rochmulyati H. 1988. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Mistaram. 2008. Fungsi dan Makna Simbolik Ragam Hias Batik Pesisiran.
Malang: UM.
Paguyuban Pecinta batik Indonesia Sekar Jagad. 2006. Rona Batik Tuban,
Mantap, Menawan. Yogyakarta: Paguyuban Pecinta batik Indonesia Sekar
Jagad.
Purba dkk, A. 2005. TRIPs-WTO dan Hukum HKI Indonesia (Kajian
Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia). Jakarta: Rineka
Cipta.
Qamariyah, D. 2011. Sejarah Industri Batik Jetis Sidoarjo (2008-2012). Skripsi
tidak diterbitkan. FIS: UM.
Raffles, T.S. Tanpa tahun. The History Of Java. Terjemahan Eko
Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah. 2008.
Yogyakarta: Narasi.
Ratnawati, I. 2011. Batik Gajah Oling Banyuwangi. Pustaka Kaiswaran & FS :
UM.
Rustopo. 2008. Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjoanagara.
Yogyakarta: Ombak & Yayasan Nabil.
Soeroto. 1983. Sejarah Kerajinan di Indonesia. Prisma, 8 (XII): 20-30.
Sumarni. 2003. Bentuk Ragam Hias dan Proses Pewarnaan Batik Tulis Karang di
Tuban. Skripsi tidak diterbitkan FBS:UNESA.
Syamsuddin, H. 2008. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Thomphson, P. 1978. Teori dan Metode Sejarah Lisan. Terjemahan Windu W
Yusuf. 2012. Yogyakarta: Ombak.
Tirta, I. 1985. Simbolisme Dalam Corak dan Warna Batik. Femina.28 (XIII): 1-
23.
Tokohsurakarta. 2008. H Santoso Doellah Menancapkan Icon Batik, (Online),
(http://tokohsurakarta.wordpress.com/2008/08/25/h-sanoso-doellah-
menancapkan-icon/) diakses 10 Oktober 2012.
Wibowo, D & Hutagalung, M. H. 2001. Dampak Pariwisata Terhadap
Kebudayaan Kotagede (Kajian Pendahuluan Pemberdayaan Situs Kotagede
Sebagai Aset Pariwisata). Jurnal Ilmu Pariwisata, (Online) 6 (1): 51-57,
(http//www. isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/61015157.pdf) diakses 16
November 2012.
Wulandari, A. 2011. Batik Nusantara.Yogyakarta: Andi.