Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

26
1

Transcript of Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

Page 1: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

1

Page 2: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

2

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan

lahirnya kekuasan yang berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan

sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi

Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa

berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang

sesudahnya.

Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat

kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan,

adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui

dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam

menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti

sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama

yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini

dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi

Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak

Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya.1

Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak

khawarij (kelompok yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali,

meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun

tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya

kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya

Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian

bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada umat

Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan dikenal dengan am

jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu

1 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 311.

Page 3: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

3

kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan

menjadi kerajaan.

Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru

dalam kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-

sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan

lain sebagainya.

B.    Rumusan Masalah

Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1.      Pendirian Dinasti Bani Umayyah

2.      Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah

3.      Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz

4.      Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah

5.      Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah

Page 4: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah

1. Asal Mula Dinasti Bani Umayyah

Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah

Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada

tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu

nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para

pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.

Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin

Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk

memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di

pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau

menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh

besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta

pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada

tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan

pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi

Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat

menggantikan khalifah Utsman bin Affan.

Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh

masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah 2ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya

Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam

yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.

Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa

Marwan pergi ke Syam untuk bertemu  dengan Muawiyah dengan membawa

barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.

2 DR. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 40.

Page 5: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

5

Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi

Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang

berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang

Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan

(sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang

kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M3. Muawiyah tidak

menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.

Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat

muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat

Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat

Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi

Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan

tersebut juga karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru

untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.

Muawiyah mengecam  agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi

Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah

Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat

pembunuhan  tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan

menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi

dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu,

juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra4 dan Mesir.

Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin

Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu

Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di

ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu

di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk

penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan

kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi

Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.

3 Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.4 Aqidatus Syi’ah, hlm. 86.

Page 6: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

6

Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan,

munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena

punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis tersebut.

Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus

pembunuhan tersebut.

Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari

kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah.

Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat

khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan

masalah yang dihadapi khalifah.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan

banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya

sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah

Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku

sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan

kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur

Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin

bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat

resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai

gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan

masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan

posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin

Affan.

Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka

menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam

nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara

massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi

atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan

ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman

bin Affan untuk segera meletakkan jabatan.

Page 7: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

7

Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman  bin Affan

semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan

secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan

langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman

terbunuh dengan sangat mengenaskan.

Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali,

antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti

dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin

Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang

pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala

kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah

Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang

dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa

terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

2. Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan

Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan

tahun  40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang

beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij5 yaitu Abdurrahman bin

Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam

khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang

umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at)

atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi

Thalib.

Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang

melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak

sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah

setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia

Ali bin Abi Thalib.

Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata

tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para

5 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, Cet. Ke 5, UI Press, 1985, h. 61.

Page 8: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

8

pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur

Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena

Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan

tertinggi dalam dunia Islam.

Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan

persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali

perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui

Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.

Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia

bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antara lain:

1. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi

hutang-hutangnya kepada pihak lain.

2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin

Abi Thalib beserta keluarganya.

3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad

kepada Hasan setiap tahun.

4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan

(kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan

pemilihan kembali pemimpin umat Islam.

5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz,

dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi

Thalib sebelumnya.

Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya

begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk

diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.

Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini

menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah

pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.

Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan

dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan

sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi

Page 9: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

9

seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai

khalifah.

Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari

warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah

sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di

tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah

(661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya

kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada

anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya

sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan

pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani

umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus,

tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.6

Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini

dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein

menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah ketika

yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas

permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak

mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam

pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,

tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan

dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.7

B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah

Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk,

dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada

ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan

membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan

6 John L. Esposito, Islam dan politik, (Jakarta: Bulan Bintang,1990)7 Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258.

Page 10: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

10

melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya

dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan).8

Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia

cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu

membangun  peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah

dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri

Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.

Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi

tokoh-tokoh muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk

mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan

membangun Dinasti Umayyah.

Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661

M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa

pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin

dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis

sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa

sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu

kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah

diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan

atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika

Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap

anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan

Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia

memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan

tersebut[9]. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa”

yang di angkat oleh Allah.9

Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan

secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan

dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari tangan

8 Ibn Khaldun, Al Muqoddimah, Darul Ma’arif, Tunisi, cet.ket-3, 1991,h.1349 Ibid., h. 328

Page 11: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

11

Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan

berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan

perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan

menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang

putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.

Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin

Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi

Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk

penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena

Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan

menunjuk Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya

kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan,

agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik  intern umat Islam seperti yang

pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah

meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk

mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian

memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at)

dihadapan sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini

bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam

yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.

Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa

pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah

Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi

sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang

sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi

Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja

seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729

M).

Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:

Page 12: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

12

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)

2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)

3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)

4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)

5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)

6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)

7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)

8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)

9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)

10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)

11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)

12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)

13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)

14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)10

C. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah

Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan

kembali oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan.

Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai

oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-

serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang

dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Ia

mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan

Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai

ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke

Maltan.11

Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn

Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran,

10 Ibid., h. 32911 Ibid., h. 364

Page 13: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

13

dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya

yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari

Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M.

setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin

pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan

benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama

Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian

Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova,

dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo

yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova.12Pada saat

itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat

dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman

penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui

pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah al-

Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.

Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya

mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang

terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun

Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah

tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak,

sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,

Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).

D. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah

Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer

dimasanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut

Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani Umayah didalam

pembangunan berbagai bidang antara lain:

12 Ibid., h. 369

Page 14: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

14

Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-

tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di

sepanjang jalan.

Menertibkan angkatan bersenjata.

Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium

dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak

mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan Arab.

Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .

Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan

administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai

bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh

putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan keras

dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.

Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat

dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.

Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan

daerah lainnya.

Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid

yang megah.

Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’, Isti’arah

dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-

orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam (Al-

qur’an dan Al-sunnah).

Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar

jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis

ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang

berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan

Sirah/Tarikh.

BAB III

Page 15: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

15

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Dari penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil

beberapa kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai

sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin

Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap

terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya

Utsman bin Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi

Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia

( bai’at ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.

Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn

‘Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan

khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan

mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali

terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak

menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah setelah melakukan perundingan dan

perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu

disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).

Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai

banyak kemajuan. Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai

wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian

wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan

pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan

militer yang terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman,

bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang

arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.

B.     SARAN

Page 16: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

16

Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut kami  telah kami

susun secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara

mengenai sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah ada

habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.

Sering kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah mengenai masa lampau,

tapi sejarah begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita

belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai

tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat

sejarah kita juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai

modal berharga untuk melangkah di masa depan

Islam merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah yang

panjang. maka dari itu, marilah kita menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang

berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan keteguhan dan rasa

kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk ini.

DAFTAR PUSTAKA

Page 17: Sejarah kebudayaan islam (Perguruan Tinggi )

17

Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, (Jakarta: Paramadina,

2002), hlm. 311.

DR. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada,2003), hlm. 40.

Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid2, (Jakarta:

Pustaka Alhusna,1982), hlm.33.

Aqidatus Syi’ah, hlm. 86.

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, Cet. Ke 5,

UI Press, 1985, h. 61.

John L. Esposito, Islam dan politik, (Jakarta: Bulan Bintang,1990)

Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003),

hlm. 258.

Ibn Khaldun, Al Muqoddimah, Darul Ma’arif, Tunisi, cet.ket-3,

1991,h.134

Ibid., h. 328

Ibid., h. 329

Ibid., h. 364

Ibid., h. 369