Sejarah Berlakunya Hukum Adat

41
Selasa, 06 Juli 2010 SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT (Sejarah Penemuan Hukum Adat) Perhatian terhadap hukum adat itu dilukiskan secara lengkap oleh Van Vollenhov dalam buku De ontdekking van het adatrecht. Dari lukisan van Vollenhoven ini, Soekanto dalam buku Meninjau hukum adat Indonesia telah dibuat suatu reproduks yang dipersingkat. Van Vollenhoven menulis dalam bukunya itu tentang sejarah ontdekking van het adatrecht, yakni sejarah "penemuan hukum adat". Timbul pertanyaan: siapakah ya menemukan hukum adat? Hukum adat ditemukan oleh siapa? Sudah tentu, tidak oleh rakyat sendiri. Hal itu tidak mungkin, karena dengan meminjam kata-kata von Sa hukum adat itu ist Und wird mit dem Volk. Hukum adat itu ada ditengah-tengah r sendiri, dirasakan oleh rakyat sendiri setiap hari. Jadi, ganjil sekali untuk bahwa rakyat "menemukan hukum adat"!. Siapa-siapa yang menemukan dan memperkenalkan hukum adapt itu, ditunjukkan ole van Vollenhoven dalam bukunya tersebut, yakni sarjana-sarjana, ahli-ahli dan p peminat lain terhadap hukum adat, yang justru hidup diluar Ilingkungan, masyar adat, apalagi 90% dari mereka itu adalah orang asing dan yang menjadi pelopor hukum adat (adatrechtswetenschap) atau pembangun ilmu hukum adat. Kita

Transcript of Sejarah Berlakunya Hukum Adat

Selasa, 06 Juli 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT

(Sejarah Penemuan Hukum Adat)

Perhatian terhadap hukum adat itu dilukiskan secara lengkap oleh Van Vollenhoven dalam buku De ontdekking van het adatrecht. Dari lukisan van Vollenhoven ini, oleh Soekanto dalam buku Meninjau hukum adat Indonesia telah dibuat suatu reproduksi yang dipersingkat.

Van Vollenhoven menulis dalam bukunya itu tentang sejarah ontdekking van het adatrecht, yakni sejarah "penemuan hukum adat". Timbul pertanyaan: siapakah yang menemukan hukum adat? Hukum adat ditemukan oleh siapa? Sudah tentu, tidak oleh rakyat sendiri. Hal itu tidak mungkin, karena dengan meminjam kata-kata von Savigny -hukum adat itu ist Und wird mit dem Volk. Hukum adat itu ada ditengah-tengah rakyat sendiri, dirasakan oleh rakyat sendiri setiap hari. Jadi, ganjil sekali untuk mengatakan bahwa rakyat "menemukan hukum adat"!.

Siapa-siapa yang menemukan dan memperkenalkan hukum adapt itu, ditunjukkan oleh van Vollenhoven dalam bukunya tersebut, yakni sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminatpeminat lain terhadap hukum adat, yang justru hidup diluar Ilingkungan, masyarakat adat, apalagi 90% dari mereka itu adalah orang asing dan yang menjadi pelopor ilmu hukum adat (adatrechtswetenschap) atau pembangun ilmu hukum adat. Kita

mengetahui bahwa hukum adat adalah hasil proses kemasyarakatan dan kebudayaan sejak beribu-ribu tahun yang lalu sampai sekarang, dan dalam bukunya tersebut oleh van Vollenhoven ditunjukkan siapa-siapa yang telah berjasa menyelidiki, melaporkan, menganalisa, menulis dan menyusun hukum adat Itu. van V ollenhoven memberitahukan bila sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain terhadap hukum adat menyadan bahwa, rakyat IndoneiIa, mempunyai sekumpulan peraturanperaturan hukum yang rnengatur tingkah laku mengatur hidup kemasyarakatan, yang menentukan serta mengikat karena mempunyai sanksi. Dengan kata-kata lain: dalam buku van Vollenhovcn tersebut dapat kita baca bila ilmu hukum yang pada zaman kolonial di bawa ke Indonesia oleh sarjana-sarjana, ahli-ahli dan peminat-peminat lain (terhadap hukum) yang bagian terbesarnya orang Belanda mulai memperhatikan hukurn adat dan kemudian, menemukan "ontdekken hukum adat itu. Karena dengan ditemukannya hukum adat itu, dimulailah juga suatu riwayat sebuah cabang ilmu hukurn, yaitu dimulainya riwayat tentang ilrnu hukum adat (adatrechtswetenschap), maka dapat dikatakan bahwa dalam buku van Vollenhoven, De ontdekking van het adatrecht tersebut di atas, dilukiskan sejarah ilmu hukum adat.

Prof. Bushar berpendapat bahwa menyelidiki perkembangan hukum adat adalah suatu usaha yang jauh lebih sukar daripada menyelidiki evolusi dalam perhatian terhadap hukum tersebut. Dari manakah kita dapat mengetahui misalnya, gono-gini pada zaman Sultan Agung di Mataram, atau jual-beli pada zaman raja I Gusti Ngurah Panji Sakti di Buleleng (Pulau Bali)?

'Van Vollenhoven maupun Soekanto memberi "geschiedenis van de (adat)rechtswetenschap" (sejarah ilmu hukum adat) dan tidak mcmberi "(adat) rechtsgeschiedenis" (sejarah hukum adat).

Pada tahun-tahun 1750, 1759, 1760 dan 1768 turut campurnya VOC dalam usaha penertiban hukum orang lndonesia asli, menghasilkan empat kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang indonesia asli. ialah: 1. Untuk keperluan Landraad di Semarang tahun 1750 dibuat suatu Compendium yang biasanya terkenal dengan nama singkatannya yaitu "Kitab Hukum Mogharraer" yang memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata memuat hukum pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah "Regt in Nederlandch Indie" dan oleh sebab pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan dalam pembentukan RR 1854. 2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan VOC disahkan suatu ''Compendium van Clootwijck", yang merupakan suatu pencatatan tentang hukum adat yang berlaku di kraton-kraton Bone dan Goa (di Sulawesi Selatan), yang dibuat oleh Jan Dirk van Clootwijck, yang tatkala itu menjadi "Gubernur di pesisir Selebes", dan tahun 1752 sampai tahun 1755. 3. Tahun 1760 oleh pimpinan VOC dikeluarkan suatu himpunan peraturan-peraturan hukum Islam mengenai warisan, nikah dan talak. Karena himpunan ini disusun oleh D.W. Freijer, seorang penasihat pernerinteh VOC mengenai hal-hal anak pribumi, maka orang mengenalnya dengan nama Compendium Freijer. Pencatatan hukum islam oleh Freijer ini lama dipakai, beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke-19; bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun

1913. 4. Oleh Pieter Cornelis Hasselaer, yang pada tahun 1757 sampai tahun 1765 menjabat residen di Cirebon, direncanakan pembuatan suatu kitab hukum ada! yang akan menjadi "Suatu pegangan hukum adat bagi hakim-hakim di Cirebon. Penyelesaian pembuatan kitab hukum tersebut terjadi pada talnm 1768 dibawah

Menyadari adanya dan kemudian "menemukan" hukum adat itu dengan berangsurangsur., terjadilah dalam abad ke-19 dan pada permulaan abad ke-20 ini, sebagai akibat diadakannya penyelidikan dan pelajaran hukum adat yang makin lama makin banyak, makin teliti dan makin sistematis.

Pada tahun 1783 oleh Marsden dipublikasikan sebuah buku yang berjudul The History of Sumatra, yang sebenarnya tidak memuat sejarah pulau tersebut, tetapi dengan meminjam istilah-istilah van Vollenhoven, membuat suatu "gambaran atau suatu "Iaporan sistematis" tentang Sumatra pada akhir abad ke 18. Istilah-istilah van Vollenhoven ini sesuai dengan penjelasan yang oleh Marsden sendiri diberi tentang istilah "history" itu yaitu: "berisikan laporan tentang pemerintahan, hukum, kebiasaan dan adat sopan-santun orang-orang pribumi".

Mengenai hukum adat yang diperhatikan oleh Marsden dalam bukunya, van Vollenhoven menulis: "Hukum adat meliputi hanya sebagian daripada buku Marsden tetapi ia mencarinya dan memberikan perhatian yang khusus - terhadap hukum adat itu , mencoba menyusunnya, dan menempatkannya pada tempat yang utama pada ulasan

judulnya dan di dalam bagian pokok bukunya itu".

Van V ollenhoven menyebut Marsden seorang pionir, seorang perintis dalam penemuan hukum adat itu, sebab "padanyalah timbul untuk pertama kali kesadaran tentang kesatuan dan hubungan tali-temali daripada daerah dan golongan suku-suku bangsa, yang keseluruhannya digolongkannya dalam kompleks yang lebih luas, yaitu Melayupolinesia, yang di dalam perjalanan sejarah selanjutnya dari abad ke-19, akan dijuluki dengan nama "daerah Indonesia" dan "orang-orang Indonesia".

Karya Marsden disusul oleh karya Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda, yang hampir menyamai Marsden sebagai pionir dan berturut-turut menjabat Sekretarispemerintah, Sekretaris Jenderal dari Gubernur-Jenderal Daendels, ketua Hooggerechtshof, Raffles (!), sesudah kembalinya kekuasaan Belanda atas Indonesia menjadi pembantu ... Komisaris-Jenderal pada akhirnya: anggota Raad van indies. teranglah bahwa ia adalah seorang yang mengabdi pada yang kuat dan berkuasa! Rupanya jasa Muntinghe adalah penemuan desa Jawa Sebagai suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yang asli dengan organisasi sendiri dan hakhak sendiri atas tanah. Muntinghe adalah juga orang Barat pertama yang secara sistematis memakai istilah "adat", tetapi masih belum mengenal istilah "adatrecht" .

Penyelidikan dan pelajaran hukum adat Indonesia yang diadakan oleh Raffles tidak dipublikasikan dalam History of Java yang terkenal itu, tetapi dimuat dalam suatu skema pajak tanah yang dapat dibaca dalam Substance of a Minute.

Rafles membatasi bahan-bahan penyelidikannya tentang hukum adat yang hidup di Jawa terutama pada daerah-daerah kerajaan (Yogya dan solo), jadi dari suatu daerah, yang pasti memberikan arti yang sangat besar bagi penyelidikan atau studi tentang bahasa, kesenian, kesusastraan, namun disanalah pula hukum rakyat justru telah diperkosa oleh hukum raja. Jadi Raffles tidak dapat mencatat hukun rakyat yang hidup. Seperti Marsden, juga Raffles melihat Indonesia sebagai suatu keseluruhan yang bulat ", yang tidak terpisah-pisahkan.

Wilken, yang tidak menyebut Marsden sebagai perintis penyelidikan dan pelajaran hukum adapt, memuji Raffles sebagai penyelidik adat-istiadat pertama yang sungguhsungguh.

Van Vollenhoven mengenal tiga perintis penemu hukum adat, yang ketiga-tiganya orang Inggris: Marsden, Raffles dan John Crawfurd. Yang disebut terakhir adalah seorang dokter, bekerja pada pemerintah Inggris, tetapi kemudian diserahi tugas politik, antara lain dari tahun 1811 sampai tahun 1814 dan pada tahun 1816 "resident", yaitu duta, pada kraton di Yogyakarta. Pada tahun 1814 ia melakukan tugas politik di Bali dan Sulawesi. Pengalamannya ditulis dalam sebuah buku yang berjudul History of the Indian Archipelago, yang terbit pada tahun 1820.

Mengenai pandangan Crawfurd tentang hukum adapt adalah suatu campuran, adatistiadat asli dan hukum Hindu dan islam"., suatu percampuran hukum hindu asli dan

hukum arab, dan dua hal terakhir ini adalah hanya diterima oleh yang terdahulu", -jadi dengan demikian crawfurd hanya melihat hukum agama itu sebagai bagian kecil saja dari hukum adat.

Di atas ini dapat kita catat perhatian tiga orang pemerintahan bangsa Inggris terhadap hukum adat itu. terhadap hukum adat itu ada juga perhatian dari pihak pemerintahan Bangsa Belanda seperti Muntinghe. Orang pertama dengan pandangan seorang negarawan, yang memperhatikan politik hukum adat, ialah Dirk van Hogendorp 17611822.

Kesimpulan Dirk van Hogendorp tentang sistem tanah adat itu, pada permulaan dianut pula oleh adiknya, yaitu Gijsbert Karel van Hogendorp. Tetapi mulai tahun 1806, oleh Gijsbert Karel hal tersebut dianggap suatu kesimpulan yang salah. Mulai tahun 1806 Gijsbert Karel berpendapat bahwa menurut hukum positif, orang Jawa itu menjadi pemilik iangsung tanahnya.

Daendels telah mengenal desa sebagai suatu yang bulat. Rupanya ia mengetahui tentang panjer dalam acara adat dan peradilan agama. Disamping itu, ia membuat dua kesalahpahaman: hukum pidana Jawa dianggapnya hukum pidana menurut al-Quran dan kepala desa dianggapnya kepala distrik dan sebaliknya. Pada bulan September 1808 ia menganjurkan supaya di seluruh pantai utara Pulau Jawa agar pengajaran anak-anak diberikan menurut adat kebiasaan undang-undang.

Para penguasa bangsa Belanda yang memimpin pemerintahani Hindia-Belanda sesudah zaman inggris, yaitu Komisaris - Jenderal yang dari 3 orang: van der Capellen, Du bus dan van den Bosch, tidak menaruh perhatian terhadap hukum adat dan apa yang dicatatnya adaah salah. Terutama mendengar nama van den Bosch, teringat kita pada masa Cultuurstelsel, yaitu masa tindakan pemerintah Hindia-Belanda yang sewenang-wenang, masa penindasan rakyat, masa memberi tanda tidak menngertinya dan diperkosanya kepentingan rakyat yang hakiki, tidak mau mengetahui lembagaIembaga masyarakat adat dan hukum adat indonesia.

Kemudian datang seorang yang kedua, tetapi yang lebih baik dari Muntinghe, yaitu Jean Chretien Baud, yang pernah menjabat Gubernur-Jenderal, kemudian Menteri Jajahan (Koloni).

Mengenai karya Wilken, van Vollenhoven menulis: "Buah tangan Wilken adalah kelas satu dan menimbulkan kekaguman orang, baik oleh karena tebalnya maupun oleh kekayaan isinya. la telah merasakan dirinya dihadapkan - tidak saja dilapangan hukum adat, tetapi juga dilapangan animisme . Mengenai Metode Wilken, van Vollenhoven menulis: "Metode Wilken alah metode etnologi- perbandingan, suatu cabang ilmu yang kala itu masih muda; tetapi berbeda dari banyak orang asing lainnya, sejak semula hampir segala perhatiannya dipusatkan pada kepulauan indonesia dan daerah-daerah sekelilingnya. Di tahun 1891 daerah lndonesia ini dikenal sebagai suatu daerah yangterkaya atau jauh lebih kaya dari bagian dunia lainnya.

Biarpun Wilken, sebagai Guru besar pada Fakultas Sastra bertugas ngajar etnologi atau volkenkunde dan oleh sebab itu sebenarnya bukan spesialis hukum adat, - bahkan tak pernah ia memakai istilah adatrecht, namun oleh karena hasil karya Wilkenlah maka hukum adat mendapat tempat yang khas - tersendiri, dalam lingkungan kebudayaan yang sangat luas. Pada Wilken, hukum adat itu! merupakan bahan yang berdiri sendiri, walaupun tak disebutnya secara khusus, dan ia tetap mempertahankan hubungan antara hukum adat itu dengan kebiasaan dan agama.

Seorang lain yang juga disebut penemu hukum adat, adalah F.A. Liefrinck. "Sedang Wilken melakukan karya yang fundamental di Leiden, - maka dengan jiwa yang setara, namun tersendiri, dilakukanlah tugas menghadapi hukum adat itu di seberang lautan oleh seorang pegawai pamongpraja, ialah Frederik Albert Liefrinck".

Kita dapat menyebut Liefrinck sebagai salah seorang "penemu" hukum adat - biarpun seperti Wilken, Liefrinck tidak memakai istilah "adatrecht" .. karena juga Liefrinck memberi kepada hukum adat itu suatu tempat tersendiri. Tetapi metode Liefrinck berbeda prinsip dari metode Wilken. di atas tadi telah dikemukakan bahwa Wilken menggunakan metode etnologi-perbandingan, sedangkan "hasil karya Liefrinck terbatas pada suatu lingkungan hukum adat tertentu. Penyelidikannya hanya mengenai adatrechtskring atau lingkungan hukum adat: Bali dan Lombok.

Sebagai penemu ketiga dari hukum adat, dapat disebutkan C. Snouck Hurgronje yang bersama-sama dengan kedua "penemu" yang tersebut diatas tadi, Wilken dan Liefrinck

- sering mendapat penamaan sebagai penemu-penemu hukum adat yang terkemuka. Siapakah Snouck Hurgronje? "Kalau Wilken adalah pegawai Pamongpraja yang menjadi ilmuwan, dan Liefrinck seorang pegawai pamongpraja yang menjadi tetap seorang pamongpraja, maka Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana-bahasa yang menjadi negarawan. Pada waktu Snouck Hurgronje tinggal di lndonesia ini, ia menulis beberapa buku penting, yang menjadi karya besar, yaitu tentang Iembaga-lembaga kebudayaan di Sumatra Utara. Pada tahun 1893 dan tahun 1894 diterbitkan buku De Atjehers, dan pada tahun 1903 diterbitkan buku Het Gayoland. Karya ini mengagumkan dunia ilmu pengetahuan, karena ia mengarangnya hanya bersumber pada percakapan belaka dengan orang-orang yang berasaf dari daerah pedalaman, yang tidak pernah dikunjunginya. "Menetap - pada waktu itu -hanyalah mungkin di daerah lingkungan yang dikuasai - yaitu Kotaraja dan sekitarnya - dan di beberapa pelabuhan pada pantai Utara dan Timur; bahan-bahan dari daerah pedalaman itu, hanyalah didapat dengan jalan bertanya-jawab belaka. Namun ekspedisi yang kemudian dilakukan ke daerah-daerah pedalaman dan pegunungan Aceh, yaitu dimasa antara 1898 sampai 1903, membenarkan pendapat-pendapat beliau pada bahan-bahan hukum adat demikian rupa, sehingga pcnerbitan dalam bahasa Inggris dalam tahun 1906 tidak memerlukan sama-sekali perubahan- perubahan naskah tersebut.

Dalam tahun 1900 ia bertemu dengan seorang Gayo yang cerdas dari daerah pesisir Barat Aceh yang merupakan alasan baginya untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang daerah Gayo. Namun daerah dataran tinggi Gayo itu sendiri tidaklah pernah beliau kunjungi karena tak dapat dikunjungi. Bahan-bahan itupun didapat dari bertanya-

tanya belaka pada orang-orang Gayo yang datang "ke bawah". Dan kebenaran daripada bahan-bahan inipun terbukti dengan jeiasnya dan kemudian diletakkan dalam karangan "Het Gayoland', 1903.

Hasil karya Snouck Hurgronje tentang daerah-daerah di Indonesia, yaitu "De Atjehers" dan "Het Gayoland", kedua-duanya, sepanjang hal itu mengenai hukum adat, pada hakikatnya terpusat pada suatu lingkungan hukum belaka atau sebagian daripada itu, dan tidaklah ia "mengadakan sesuatu perbandingan dengan daerah Nusantara lainnya. ladi sama halnya dengan Liefrinck, dan sangatlah berlainan dengan metode Wilken. Bahan-bahan tulisannya adalah penuh, malah berlimpah-limpah dengan perhatian dan ajaran-ajaran, yang sangat bermanfaat bagi studi tentang hukum adat di seluruh Indonesia; antara iain perbandingan/perhubungan antara hukum rakyat dan hukum raja, hukum yang hidup dan penulisan-hukum, hukum asli dan hukum agama.

Di atas tadi pada permulaan Bab I telah dikemukakan bahwa Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memakai isti]ah adatrecht", yaitu adat yang bersanksi hukum, berbeda dari kelaziman dan keyakinan-keyakinan lain yang tidak mengandung arti "hukum".

Justru karena ditemukannya istilah "adatrecht" itu, maka diantara tiga "ontdekkers" hukum adat: Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje, yang disebut terakhirlah yang menampakkan diri paling jelas!

Pada waktu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje "menemukan hukum adat", maka secara berangsur-angsur literatur tentang hukum adat itu bertambah, baik tulisantulisan dari kalangan sarjana-sarjana yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan maupun tulisan-tulisan dari kalangan sarjana-sarjana hukum (juristen) yang bekerja dibidang praktek.

Dikalangan pendidik pegawai Pamong Praja Belanda di kota Delft (IihatIah diatas tadi), maka tradisi S. Keyzer, yaitu menulis tentang "hukum agama dengan penyimpananpenyimpanan" lihatlah di atas tadi , diteruskan. Yang meneruskan tradisi yang salah itu adalah Dr. A.W.T. Juynboll, yang mengajar lembaga-Iembaga Islam di Delft dari tahun 1869 sampai tahun 1887, dan Mr. L.W.C. van den Berg, yang mengajar lembagalembaga, Islam di Delft itu dari tahun 1887 sampai tahun 1900 (tahun ditutupnya pendidikan di Delft itu).

Dari kalangan pendidikan di kota Delft itu terkenal pula sumbangan Dr. G.K. Niemann, gurubesar, tentang Sulawesi Selatan, yang dipublikasi pada-tahun 1883 dan yang berikutnya. Pada tahun 1868 diterbitkan laporan tentang Midden-Sumatra-expeditie (Sumatra Tengah) dengan lukisan tentang adat-istiadat masyarakat disitu.

Tetapi mulai tahun 1884 ada perubahan yang bersifat perbaikan keadaan. Yang menyebabkan perubahan itu adalah tiga orang sarjana hukum yang namanya de Gelder, Nederburgh dan Carpentier Alting.

Pada tahun 1886, dalam sebuah buku tentang dua Strafwetboek dari tahun 1866 dan tahun 1872, de Gelder, Vice-President Hoog Gerechtshof, menaruh perhatian terhadap pengertian-pengertian hukum adat dan hak milik tanah adat. pada tahun 1889, Mr. W. Winckel, Landraad voorzitter di Ambon dan kemudian President Hoog Gerechtshot, telah sadar akan pentingnya hukum adat itu.

Perhatian yang lebih besar lagi terhadap hukum adat itu, datanglah dari Mr. I.A. Nederburgh, yang pada waktu itu masih Landraad Vvoorzitter di Sulawesi Selatan (kemudian direktur Departemen Justisi, President hoof Gerechtshof, gurubesar luar biasa). Pada tahun 1888 ia mempublikasikan dalam lndisch Weekblad van het Recht terjemahan dari beberapa sumber hukum (adat) Makassar dan pada tahun 1891 sampai tahun 1893 ia terlibat dalam suatu polemik dengan Mr. M.C. Piepers tentang asal dan sifat peradilan agama di Sulawesi Selatan itu. Dari tahun 1896 sampai tahun 1898, Mr. Nederburgh, sebagai suatu "eenmans werk", menerbitkan majalah Wet en adat, adalah menjadi majalah pertama yang membahas persoalan hukum adat itu dari segala segi dan memberi dorongan kuat untuk menyelidiki lebih dalam hukum adat itu. Jasa majalah ini terutama mengurangi kesalahpahaman yang melihat hukum adat itu sebagai hukum agama (Islam) .

Seorang pelopor ketiga diantara sarjana-sarjana hukum yang bekerja dibidang praktek, adalah Mr. J.H. Carpentier Alting, yang mulai bekerja sebagai pengacara (advocaat) di Padang, kemudian Landraadvorzitter di Menado, gurubesar, President Hoog

Gerechtshof dan anggota Raad van lndie. Pada tahun 1897, ia berhasil menimbulkan inisiatif pada residen Manado untuk mengadakan penyelidikan tentang hukum adat setempat dengan maksud untuk mengumpulkan bahan-bahan yang dapat dipakai membuat kodifikasi hukum adat di Minahasa.

Mengenai karya para sarjana hukum, seperti de Gelder, Nederburgh dan Carpentier Alting, van Vollenhoven menulis: "Menjadi pertanda bagi para yuris saat ini adalah, berhubung dengan sifat hukum adat hanyak kekosongan, maka bila mereka menulis tentang bahan-bahan hukum adat, mereka tidaklah secara zakelijk mempersoalkan tentang Isinya, tetapi bahkan menulis tentang disekelilingnya.

Di atas telah dikemukakan bahwa Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronje menemukan hukum adapt. Tetapi ketiga sarjana ini belum melahirkan suatu ilmu hukum adat (adatrechtswetenschap). Untuk dapat suatu ilmu hukum adat, maka perlu diperdalam pengetahuan hukum adat itu. Hal yang disebut terakhir ini baru saja terjadi permulaan abad ini. Van Vollenhoven menulis: "Tidaklah jika kita mengatakan bahwa permulaan abad ini ditandai suatu penemuan kedua daripada hukum adat, suatu penemuan lebih mendalam; yaitu yang tidak saja hanya mengurnpulkan dan menyusunnya, tetapi juga memahamkan sifat-siflt ketimurannya.

Justru "tweede ontdekking" ini penting, karena "tweede ontdekking" tersebut dapat mengarahkan pelajaran hukum adat ke suatu arah baru.

Sebagai faktor-faktor yang "bogen de adatrechtstudie in nieuwe richting om" (membelokkan studi tentang hukum adat dalam arah yang baru") yang melahirkan suatu Ilmu hukum adat, oleh van Vollenhoven disebut: Pertama, ialah hasil karya dari etnologi yang baru saja timbul, di Indonesia dipamerkan atau diperkenalkan oleh van Ossenbruggen. Mereka itu berpendirian, bahwa untuk memahamkan lembaga-lembaga ketimuran, orang sepatutnya mencari titik haluannya pada jiwa yang bersifat ketimuran dan masih primitif. Dan pikiran seperti hal inipun masih saja hampir tak kelihatan pada Wilken, suatu pertanda akan kekurang sadaran dari para sarjana barat.

Kedua, ialah seperti dalam tahun 1865 tatkala pemerintah mengusulkan suatu rencana undang-undang yang akan membunuh merusak hukum adat Dan kiranya bagi hukum adat patutlah dicatat sebagai hari besar tatkala pemerintah mengajukan rencana undang-undang yang berbahaya pada tanggal 15 Nopember 1904 - yaitu pasal-pasal 75 dan 109 R.R dan rencana 19 Mei 1908 .. yaitu pasal 62 R.R.

Ketiga, terletak pada keputusan dan perbuatan dari pemerintah Hindia Belanda yang secara terus menerus rnelakukan hal-hal yang sampai kini sebetulnya orang enggan melakukannya, ialah: soal-soal kedesaan, soal-soal kewilayahan, soal-soal hukum tanah. Hal yang sedemikian ini patutlah menjadi perhatian para pamong praja dan para yuris, bahwa di sini terletak beberapa keberatan dan patutlah pula hal ini menimbulkan "ketidak senangan" terhadap metode-metode Barat .

Namun di belakang sebab-sebab yang tiga ini, berdirilah suatu aliran jiwa besar

sesudah 1900, yang dengan secara pasti memalingkan mukanya dari rasionalisme, dan materialisme abad yang lampau, seraya membukakan mata dan jiwa bagi hal-hal yang asli-kuno dan eara berpikir timur,cara mistik dan abad pertengahan, yang non Eropa dan non-materialistik.

Pada permulaan kariernya, van Ossenbruggen bekerja sebagai pengacara dan anggota Weeskamer di Makassar, Padang dan Semarang, kemudian ia menjadi dosen pada sekolah-sekolah pendidikan bagi pegawai Pamong Praja Indonesia di Probolinggo dan Magelang, kemudian ia diangkat menjadi anggota dan Ketua Raad van Justitie di surabaya, dan ia mengakhiri kariernya sebagai Raadsheer dan President Hoog Gerechtshof . Tetapi disamping bekerja dalam jabatan-jabatan resmi ini, ia mempunyai kegemaran mempelajari, rnenyebarkan dan mempraktekkan etnologi.

Pada tahun 1902 ia menulis suatu karangan tentang perbandingan hukum yang berjudul Oorsprong en eerste ontwikkeling van het testeeren Wogdijrecht, yang menurut Snouck Hmgronye menjadi suatu studi yang sangat penting dengan memaparkan secara rinci tentang sistem suku dan keluarga dalam kehidupan primitif dan oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk dipelajari.

Di atas tadi telah diperkenalkan kepada kita trio yang "penemu hukum adat", yaitu Wilken, Liefrinck dan Snouck Hurgronye. Ketiga orang ini telah memberi suatu tempat tersendiri kepada hukum adat itu dalam lapangan ilmu hukum. Tetapi mereka belum ada kesempatan untuk mengadakan pelajaran hukum adat secara sistematis,

mempelajari secara sistematis bahan-bahan tentang hukum adat yang telah dikumpulkan, membuat analisa dan menemukan sistem sendiri (eigen systeem) dalam tata hukum adat itu.

Dalam karya van Vollenhoven berhubung dengan pelajaran hukurn adat, ada tiga hal yang perlu disebut, karena menjadi hal-hal terpenting. Van Vollenhoven menghilangkan kesalah-pahaman yang melihat hukum adat itu identik dengan hukum agama (Islam); van Vollenhoven membela hukum adat terhadap usaha pembentukan undang-undang untuk mendesak atau menghdangkan hukum adat, dengan meyakinkan pembentuk undang-undang itu bahwa hukum adat adalah hukum yang hidup, yang mempunyai suatu jiwa dan sistem sendiri; dan van Vollenhoven membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam sembilan belas lingkungan hukum adat (adatrechtskringen).

Dengan menghilangkan kesalahan paham yang melihat hukum adapt identik dengan hukum agama, van Vollenhoven berhasil memperlihatkan, identitas tersendiri dari hukum adat itu. Hal ini telah disinggung di atas.

Membagi wilayah hukum adat Indonesia dalam sembilanbelas lingkungan hukum adat itu sangat mempermudah mempelajari secara sistematik hukum adat itu. Dalam hukum adat ditiap-tiap lingkungan hukum itu ada ciri-ciri yang khas, yang memberi tanda kenaI pada hukum adat yang bersangkutan, sehingga, mempermudah menentukan Identitasnya, dengan demikian akan lebih mudah kita dapat menentukan ciri-ciri yang membedakan hukum adat orang Batak di Tapanuli dari hukum adat orang Minangkabau

di Sumatra Barat, maupun ciri-ciri yang sama dalam kedua hukum adat itu, dan justru karena kita dapat melihat ciri-ciri yang membedakan maupun ciri-ciri yang sarna ini, maka kita dapat memperoleh suatu ikhtisar sistematis tentang hukum adat di Indonesia.

Adapun sembiIan belas lingkungan hukum adat itu adalah sebagai berikut: 1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue) 2. Tanah Gayo, Alas dan Batak A. Tanah Gayo (Gayo Lueus) B. Tanah Alas C. Tanah Batak (Tapanuli) I. Tapanuli Utara a. Batak Papak (Barus) b. Batak Karo c. Batak Simelungun d. Batak Toha (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Julu) II. Tapanuli Selatan a. Padang Lawas (Tano Sepanjang) b. Angkola c. Mandailing (Sayurmatinggi) 2a. Nias (Nias Selatan) 3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah datar, Limapuluh Kota, Tanah Kampar, Korinci) 3a.Mentawai (orang Pagai).

4. Sumatra Selatan A. Bengkulu (Rejang) B. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan Tulang Bawang) C. Palembang (Anak-Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo) D. Jambi (pendudluk daerah Batin dan Penghulu) 5. Tanah Malayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatra Timur, orang Banjar) 6. Bangka dan Belitung. 7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas-Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam-Hulu, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak dan Dayak tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo-Timan, Long Glatt, Dayak Maanyan-Patai, Dayak. Maanyan-Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung-Punan). 8. Minahasa (Menado) 9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boallemo) 10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai) 11. Sulawesi Selatan (orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salayar, Muna) 12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmaheira, Tobelo, Kepulauan Sula) 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar) 14. Irian. 15. Kepulauan Timor (Timor Timur, Timor Barat, Timor Tengah, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu, Bima)

16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa) 17. Jawa Tengah, Jawa Timur serta Madura (Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura) 18. Daerah Kerajaan (Solo, Y ogyakarta) 19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten),

Perlu dikemukakan bahwa pembagian ini hanya untuk sementara

\" :Iktu saja. Di kemudian hari, karena tukar-menukar anggapan dan l.illI .. ]1 intas yangmenjadi lebih rapat, dan anggota-anggota berlbagai I"("l'sekutuan hukum adat itllll makin lama makill bertambah, maka dengan .;,,"dlirinya perbedaan hukum antara berlbagai persekutuan hukum adat klsebut, yang sekarang masih ada, akan dihapuskan dan diperkecil. I'lktor-faktor lain ialah pengaruh kota-kota besardan makin lama makin wcresapnya kesadaran nasional sebagai warga Negara Kesatuan Il.q)Ublik Indonesia. Juga resepsi hulmm Eropa serta keinginan untuk I II I.: ngadakan unifikasi hukum di ~ndlonesi21 menjadi suatu faktor penting ;'lm.1l lenyapnya perbedaan hulkum tersebut dikemudian !hari .... I't:mbagian in i juga tidak berarti, bahwa Ibangsa Indonesia terbagi dalam Ill} "'bangsa kecil" yang sekalikali tidak mempunyai Ilmbungan antara \;mg satu dengan yang lain, tcrkecuali ilkatan kenegaraall1l yang diberi llama Republik Indonesia. Ilkatan kenegaraan kita ini makin lama makin I ".~K'isi! I. Perbedaan hukum adat tersebut bukanlah suatu perbedaall1l asasi IpnYlcipieel).

Perbedaan hukum adat itu hanya perbedaan kedaeralhan Ilokal) saja. Hal ini tdah dibuktikalfll okh Prof. Ter Harr dalam buktmya lkginselen en steL~el van he! adatrecht., yaitu sebualh buku yang menjadi I/logistrale voortzetting (pellanjut yang gemillang) darii pekerjaan van Voillenhoven 16'1.

Karya van Vollenhoven yang maha besar ini, yaitu mempelajari hokum adat secara sistematiis dlengan mendekatn sebanyak-banyaknya p.;lllldangan hidujp orang ]Indoncsiia sendliri, diteruskan dan d1i1engkapi oleh heberapa tijdgenoten dan bekas muriclnya. Diantara bekas muridlnya harus

disebut dua orang yang telah meninggalkan karya yang genial, yaitll I seorang dari negeri Belanda dan seorang putra Indonesia.

Orang Belanda itu bernama Rarend ter Haar Bzn, yang pada waktu hidupnya menjadi gurubesar (yang pertama) untuk hukum adat -- dan untuk sementara waktujuga untuk etnologi- padaRechtshogeschool dl kota Betawi dahulu (Jakarta sekarang) dari tahun 1924 sampai tahull 1940168

Oleh Soekanto diberitakan bahwa pada ter Haar ada suatu "kemauuo yang istimewa yaitu kemauan untuk menempatkan hukum adat disuatu :i tempat yang derajatnya sarna dengan ilmu-i1mu -hukum positif yang,: lain" (gestreefd moest worden naar een gelijkwaardige plaats in de r!ll der positieve rechtswetenschappen, lihat: Ter Haar, Het

adatprivaatrechl '''I van Ned. Indie in wetenschap, practijk en onderwijs, diesrede 1937. '. pag.3)" 1 69.

Soelkanto melanjutkan berita tentang karya ter Haar dengan pertanyaan: "Apakah artinya Tel" Haal" tcrhadap hukum adat?

"Jawaban atas pertanyaan ini kita d1apat Iberikan dengan satu perkataan saja, yaitu: banyak. D.a~am lapangan teori hulkum adlat, dalam lapangan politik hukum adat, d1alam lapangan hukum acara, dalam usahanya untuk hukum adat tak dapat diabaikan, dan lain-lain."

Berhubung dengan teori hukull1 adat, Soepomo melllgatakan dalam lndisch tijdschr~fi. van het recht, jilid 154, aft 1, 1941, kirakira seperti begini: "Sistem hukum adat telah dibentangkan oleh valli V ollenhoven dalarn bukunya: Het Adatrecht van Ned. Irldie dengan pekerjaan ini van! Vol1enhoven memberikan kepada kita suatu dasar untuk menyelidiklil!1 lebih jauh hukum adat. Langkah pertama yang hams dilakllkan ialahilll penyelidikan lembaga-Iembaga hukum dan hubunganhubungannya sertl~'ill faktor-faktor s~sial yang mel~p~l~garuhi Ikeadaan _dan perkembangatllill, hllkum adat.ll1llah tllgas yang dlplhh oieh Ter Haar. rer Haar melakukal' ill!

1 di. Rechtshogeschool dalam kuliah-kuliahnya; Ter Baar melakukan IIII dalam karangan-karangannya; Tel' Haar mengumllmkan ini dalam I '1Ikunya: Beginselen en stelsen van het adatrecht, buku mana disamping 11111\\1 van Vollenhoven, sangat perlu bagi seorang penggernar hllkum 1,1:1["170, "Akan tetapi, bllkan saja Soepomo yang memuji buah pikiran Ter Il:lar dalam buku itu; salah seorang ahlih~lkum yangternamajuga, seperti dlllarhum Mr. F.D.E. van Ossenbruggen mengemukakan bahwa buah 101 k iran dan perkataan dalam buku itu adalah tepat clan terang (kernachtige "'f'crgeving der gedachten, verm(jding van elke overtolligheid, zonder d.oJ duidel(jkheid in te baeten, Themis 1939, halaman 505).

Memang, dalam buku itu Ter Haar membentangkan dengan terang dan sistematis beberapa macam persekutuan hu1kum, tanah, ~".~,rjanjian-perjanjian, hukum perkawilllan, hukum kekeluargaan, hukum W:'I!liS dan lain-lain hal., sehingga kita dapat mengatakan, bahwa isi buku IIu adalah suatu keuntungan besarbagi pel'kembangan hukllm kita. Makin h;myak kita mempelajari buku karangan Tel" Haar ini, makin tertarik ilia o1eh isi bukl1 itu. Pendek kata, dengan terbitnya Beginselen en stelsel I,m he! adatrecht itu, Ter Haar I'nemlberikan slLIatu sumbangan yang ',;Ingat berharga bagi kita dan yang harus kita hargai.

Dalam politik hl1kum adat, Tel' Haar berjuang supaya misalnya hak 1IIIayat (beschikkingsrecht) mendapat pengakuan formil dalam IlIldang-Ull1idang; pertama,

dibdakanE~ layar dalam volksraad, kedua, dalam agrarische commissie van 1928 ketiga, dalam advies der ,ommissie (1930)"" keempat, dalam beberapa karangankarangan; kita ,;!,~but disini: Het beschikkingsrecht in het adatrecht .... i(Indisch tijdschr, l!h recht, dl. 125, pag. 348 en volg.); Twee agrarischeproblemen (De ,\'tuw, 15 Aug. 1930); De rechten op den woesten grond en de wetgever III Ned. lndie (De Gids, 1932); Het beschikkingsrecht in de jurisprudentie (Koloniaal tijdschrift 23ejrg. 1934). Lihat: MIf'. C. Tj. Bertling: B. Ter 'Ilaar, Bznl, (Koloniaal tijdschrifi, 30e jaargang, No, 3, Mei 1941, bld.

di. Rechtshogeschool dalam kuliah-kuliahnya; Ter Baar melakukan IIII dalam karangankarangannya; Tel' Haar mengumllmkan ini dalam I '1Ikunya: Beginselen en stelsen van het adatrecht, buku mana disamping 11111\\1 van Vollenhoven, sangat perlu bagi seorang penggernar hllkum 1,1:1["170, "Akan tetapi, bllkan saja Soepomo yang memuji buah pikiran Ter Il:lar dalam buku itu; salah seorang ahlih~lkum yangternamajuga, seperti dlllarhum Mr. F.D.E. van Ossenbruggen mengemukakan bahwa buah 101 k iran dan perkataan dalam buku itu adalah tepat clan terang (kernachtige "'f'crgeving der gedachten, verm(jding van elke overtolligheid, zonder d.oJ duidel(jkheid in te baeten, Themis 1939, halaman 505).

Memang, dalam buku itu Ter Haar membentangkan dengan terang dan sistematis beberapa macam persekutuan hu1kum, tanah, ~".~,rjanjian-perjanjian, hukum

perkawilllan, hukum kekeluargaan, hukum W:'I!liS dan lain-lain hal., sehingga kita dapat mengatakan, bahwa isi buku IIu adalah suatu keuntungan besarbagi pel'kembangan hukllm kita. Makin h;myak kita mempelajari buku karangan Tel" Haar ini, makin tertarik ilia o1eh isi bukl1 itu. Pendek kata, dengan terbitnya Beginselen en stelsel I,m he! adatrecht itu, Ter Haar I'nemlberikan slLIatu sumbangan yang ',;Ingat berharga bagi kita dan yang harus kita hargai.

Dalam politik hl1kum adat, Tel' Haar berjuang supaya misalnya hak 1IIIayat (beschikkingsrecht) mendapat pengakuan formil dalam IlIldang-Ull1idang; pertama, dibdakanE~ layar dalam volksraad, kedua, dalam agrarische commissie van 1928 ketiga, dalam advies der ,ommissie (1930)"" keempat, dalam beberapa karangankarangan; kita ,;!,~but disini: Het beschikkingsrecht in het adatrecht .... i(Indisch tijdschr, l!h recht, dl. 125, pag. 348 en volg.); Twee agrarischeproblemen (De ,\'tuw, 15 Aug. 1930); De rechten op den woesten grond en de wetgever III Ned. lndie (De Gids, 1932); Het beschikkingsrecht in de jurisprudentie (Koloniaal tijdschrift 23ejrg. 1934). Lihat: MIf'. C. Tj. Bertling: B. Ter 'Ilaar, Bznl, (Koloniaal tijdschrifi, 30e jaargang, No, 3, Mei 1941, bld.

Tesis ter Haar adalah mengenai hukum acara orang Indonesial72. Tcsi" ini ditulisnya pada tahun 1915. Sembilanbelas tahun kemudian, "Dalam tahun 1934 ia menerbitkan lagi suatu pub1ikasi tentang hukum acal'H :1 dalam Indisch ttjdschr. v.h. recht, dl. 140, 1934, pag. 35 C.V., tcntal1~1 Welke eischen stelt toe passing van ongeschreven materieel privaatredrJ aan organisatie en procesrecht der inlandsche rechtbanken? Ter

Ham mengatakam disini bahwa Jlwkum acara hams membawa hak serapat-rapatnya dengan masyarakat Indonesia (Soepomo, Mr. B. '1\11' Haar Bzn, Knd. LV.h.r. dl. 154, aft. I , 1941, halaman 13 dan selat~jutnya), Pembatasall hukum adat (ajbakening van het adatrecht). Yanl/l dimaksudlkan T(~r Haar ialah berlmbung dengan peradilannYi~1 (rechtspraak) rad-rad agama (priesterraden) dalam soal-soal hukum waris (in kwesties van erfrecht). Rad-rad agama ini diubah menjad~ pengadilanpengadilan pCllglmlu (penghulugerechten). Lain dari ilU kekuasaan hukum (rechtsmacht) penghulu (godsdienslige rechter) mendapat Ikeltentllilm Ihukum yang lebih Itegas (beter o,mltind). Suall! mahkamah (Hof van lslamitische Zaken) dibentuk. Ini semul~ pekerjaannya Ter Baar. Lilla!: KaranganIkarangan Bertling dan SoepolTlO di atas, halaman 269 Clan 12. Bahwa antara Imkum adat dan lllmu etnologi tiidalk saja ada hubllngall yang erat sekali, akan tetajpi lebih-Iebilh untuk mempllnyai pengertiall tepat atas beberapa hal dalalltll hukum adat, ilmu etnologi sang~I:1 ii diperlukan, dikemukalkan oleh Ter Haar dalam pidatonya Ipada tanggal Ii: 28 Oktober 1937 (diesrede 1937) dilT/ana Ter Haar mellgatakan bahw;:1 ~I ilmll etnologi (rechtsethnologle) adal.ah jperlu untuk rnendidik ahli-ahli ' hukum-adat, dan lebih terang dalam bulku Ter l--Jaar: Beginselen en ste/set :1 , van het adatrecht. Seringkalli dallam OUklll1 itll Ter Haar mell1lulis, bal1wi~ I,ll beberapa perlbllaltan dalam hukum adat berdasar rdigio-maglis, balhwlli :III,' ikatan warga desa dan tanah adalah reliogio magis, dasar panjer ialal,I:II'i .11'1;: religio-magis, dan lain-lain"17J':III,li

Tentang karya "Soepomo sebagai sarjana,"174 -, dalam 1939 'ilaru di lirndlollllesia .. - Hhat d i atas tadi .... ; HllJlkllllllll1l l[slam Ian MasY;lllrak~lt; PI;:rgolakan, Penyeslla.ian Adat kepada hukum Islam; "lmllollliesna s:ahJ1 ma:sjid"; semuanya pidato dan ceramah yang

diadakan an tara tahun 1950 dan tahun ] 953; pidato inaugurasi di Jakarta pacla tanggal 13 September 1952 rnengenai "Kesusilaan dan .... lihat Bab][ di atas -"Hendak Ikl;:mana hukum Islam"2111 dan "Hukum waris bilateralmenurut Ai .. QlIr'an"219.

Di atas tadi telah dikatakan, bahwa dibandingkan dengan keadaan sebell1l11 Perang DlInia II tidak saja di Negeri Belanda tetapi juga di Indonesia, kegiatan menyelidikii dan mempelajari hukmn ad/at itu sangat berkurang; tetapi syu!kurlah, sejak tahun 1957 tampaknya usaba

menyelidi'~i danmelnpelajari'hukllli1' adatH~lah giat k'emball.Kegiatan terse but menjadi Icbill besar e1alirlsahamengadaka~penditian-pUli hilah bertambah banyak. Mungkin hal ini disebabkan oleh faktor keamanan serta kondisi-kondisi sosial politik telah lebih banyak memberikan kesempatan kepada pemillaf.-peminat dilapangan hukum adat. Kegiatan dan minat itu tampaknya berpusat pad a beberapaUniversitas, yaitu UniversitasGajalunada Y ogyakalia dan di Universitas Indonesia Jakarta. Kegiatan itu tidak hanya ditujukan pada "penyelidikan norma-llorma hllkum ad at yang bam", tetapijuga pada penyelidikan-penyelidikan latar belakang sosio-kulturalnya_ Kegiatan itu tampak dalamsuatu rangkaian publikasi "TinjauanSosiografi ]ndonesia" dan dalam penerbitall sebuah majalah "Sosiografi Indonesia" oleh Panitia SoCial .Research Ulliversitas Gajahmaela"220. Kemudiatlo1eh Yayasan Pembina Huklll11 Adat Universitas Gajahlllada diterbitkan "Maj'alah hllkurn Adat". Datlse'gala kegiatan inikiranya mendapatdorongan atallpun dipimpin langsllllgdan dijiwai oleh Prof. M.M.

Djojodigoeno, yang disamping itu teJah pula mempublikasikanberturut-turut hasH karyanya"Menyar\dera Hllkum Adat"221, "Reorientasi Hukumdall Huklnl1 Adat"222 dall "Asas~asias hukum adat"223_

, Pad a Universitas IndOl~esja, Prof. Nilsroen menllIis tentang s.ua~lI segi barn daripada huk~lm adat, yaitl,l Dasar falsafah. adat Mina,ngkab("lu,224 dml tak lama kemudian diterbitkan sebuah hasi) ,karya Prof. Soepqmo terbaru, suatu hinlpunan kara,ng karena "sedang bukllini disiapkan pel~cetakannya " _'Soepo]~()

wafat"226. Keinudial\~ sllatll "Kll111pulan putliSall Mahkamah Agung mellgenai hukl11h adat" telah dihilhpun pula olej1r>rof. Soebektid~hJ. . Tamara, - 1961 -, yang beri'si 50 k'eplltl.lsan-keputusan penting dilapkNgan

hukum adat dan patut dicatat pula karya Prof. S.A. Hakim mengenai "'Juallepas, jual gadai dan jual tahunan", 1960; dua karangan lain yang dipublikasi dalam majalah "Pajajaran"227 menarik perhatian kita, yaitu "Inventarisasi hukum benda perkawinan aelat" oleh Bueli Sembiring S.H. dan "Lembaga kontrak ijon ditinjau dari sudut hukum", oleh Saleh Adiwinata SW28. Dan patut dicatat e1isini sebuah tesis yang sangat penting artinya bagi penyelidikanetnolggi dan hukum adat, ialah hasil karya Dr. Koentjaraningrat! 'Beberapa metode antropologi dalam penyelidikan-penyelidikan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia", 1958. Dengan giatnya kembali lIsaha

menyelidiki dan mempelajari hukllm adat itll, maka kita berharapan besar akan lahirkan kembali, suatu tingkat pelajaran hukum adat yang mutunya sesuai dengan keadaan sebelum Perang Dunia 1I seperti halnya pernah dilakllkan dan dipertahankan oleh Ter Haar dan Soepomo.

Hal itu adalah suatu keharusan, karena hukum adat tetap merupakan suatll bagian penting e1aripada penghidupan sehari-hari bangsa kita. Terlebih hal itu dirasakan, kalau kita mengingat bahwa hukurn adat dapat memberikan bahan-bahan yang bernilai bagi pembinaan huklllm Imasion:lll dimasa yang akan datang, yaitll suatu sistem hukum yang benar-benar sesu3u dengan kepribadian bangsa Indonesia dan memenuhi keperluan dan kepentingan selurllh lapisan dan golongan rakyat kita.

Sebelum menutup bab ini" masih ada satu hal lagi yang memohon perhatian kita. "Kesaelaral1 orang Barat" akan hulkllm adat yang saya sebllt di atas ta&, tidak hanya menghasilkan timbuillya suatll ilmu hukllm adat, sebagai suatu cabang ilmu hukum yang berdiri selldiri, tetapi juga turut mendirikan suatu cabang ilmu hulkllm yang lain, ialah: ilmu hllkum an tar golongan.

JPengaruh ilmu hukllm adat atas tumbulmya ilmu hllkum antar golongan itu, kelihatan dalam sebuah karangan van Vollenhoven yang-J tennuat dalamjilid III He! Adatrecht van Nederiand~ch Indie229 Tetapi

bukanlah van Vollenhoven yang menjadi systeembouwer, pembentuk atau penyusun sistem ilmu hukum antar golongan itu tetapi seorang bekas muridnyalah yang menjadi gurubesar pada Sekolah Tinggi Hukum di .Jakarta dari tahlln ] 924 sampai 1935, yaitu: R.D. Kollewijn23o.

Sesudah Kollewijn berangkat ke Negeri Belanda, dimana ia melanjutkan perkuliahan hukul11 antar golongan pada Universitas Leiden, maka perklliiahan hukum antar golongan pada Sekolah Tinggi Hukum diteruskan oleh W.F. Wertheim231. Sesudah Perang Dunia n pada Universitas Indonesia di Jakarta, kuliah-kuliah hukum antar galongan diberikan oleh seorang bekas murid Kollewijn, yaitll W.L.G. Lemaire.232 Selanjutnya, pada tahun 1951 dalam kalangan Universitas Indonesia, sesudah Lemaire berangkat ke Nederland, kuli.alht-kndiab tersebut diberikan oleh seorang bekas murid Kollewijn yang lain, yaitu G.J. Resink, yang menitikberatkan penyefidikannya pad a sejarah hukum antar golongan itu233. Pada tahun 1955 Resink bertindak sebagai promotor terhadap seorang bekas murid Lemaire, yaitu Gouw Giok Siang, yang menulis sebuah disertasi tentang beberapa segi hukum peraturan perkawinan campuran234. Setahun kcmudian, yaitu pada tahun ] 956, Gouw Giok Siong menggantikan Resink sebagai gurubesar dalam mata peJajaran hukum antar golongan dikalangan Universitas Indonesia2Js Pada tahun 1955 itll pula, Lemaire mcnggantikan Kollewijn dikalangan Universitas Leiden236, Sekali lagi, pada tahllu 1956 itu, seorang bekas murid Resink, yaitu Moh. Koesnoc, memlllai sllatu tllgas mengajar

hllkum antar golongan dikalangan Universitas Hasanuddin di Makassar (kngan mengadakan suatu kuliah umum tentang arti, tempat dan sifat hukum intergentiF37 .

Pada tahun 1957 oleh Gouw Giok Siong diterbitkan .. sesudah disempurnakannya -diktat kuliah Resink, dibawahjudul Hukum Antar l!;olongan. Suatu pengantar238. Buku ini merupakan baik sebagai pengantar .maupun sebagai "handboek" pertafua tentang hukum antar golongan. '''Pertama itu, karena systeem-bouwer-nya sendiri tidak menulisnya239 _ II