Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

19
Double Movement: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Ishtimbat Hukum Islam (Studi Kritis Pemikiran Fazlur Rahman) Brought By: Mazizaacrizal a.k.a Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com : www.facebook.com/mazizaacrizal E-mail : [email protected]

description

 

Transcript of Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

Page 1: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

Double Movement:

Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam

Ishtimbat Hukum Islam

(Studi Kritis Pemikiran Fazlur Rahman)

Brought By: Mazizaacrizal

a.k.a

Dewa ng’Asmoro Mudhun Bumi

Visit me at : www.mazizaacrizal.blogspot.com

: www.facebook.com/mazizaacrizal

E-mail : [email protected]

Page 2: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

ABSTRAK

Metodologi baru dalam memahami al-Qur’an ditawarkan oleh Fazlur Rahman yang terkenal dengan teori double movement. Teori ini terdiri dari dua langkah; pertama, memahami prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an untuk menemukan universalitas pesan etis yang dikandungnya melalui proses induksi atas ayat-ayat (hukum) yang kongrit spesifik. Kedua, membumikan seluruh prinsip-prinsip universal (etika) al-Qur’an yang telah diperoleh ke dalam kehidupan masyarakat-masyarakat Muslim kontemporer.

Kata kunci : Double Movement, Fazlur Rahman

PendahuluanAl-Qur'an adalah wahyu yang secara literer diwahyukan kepada Nabi Muhammad

(antara tahun 710-732 M). Maksud yang hendak ditegaskan bahwa, tidak ada dokumen keagamaan manapun yang difirmankan literer seperti ini(fadzlur Rahman.1982:1-2). Selain itu, keyakinan bagi umat Islam, al-Qur’an merupakan petunjuk lengkap dan sempurna(Harun Nasution.1995:26), selain sebagai pedoman etika, ia sekaligus menjadi prinsip gerak dalam Islam(Amin Abdullah.2002:62-63). la bukan sekedar teks puji-pujian ataupun tuntutan kesalehan pribadi. Ukiran sejarahnya, telah dibuktikan dalam sepanjang karir Nabi; menyelesaikan setiap permasalahan umat Islam dalam situasi-situasi aktual, baik mengenai isu-isu hukum maupun moral kehidupan manusia. Maka dengan demikian, mendorong para ahli hukum dan intelektual Muslim untuk memandang al-Qur'an (dan Sunnah Rasul) sebagai sumber yang mampu menjawab semua persoalan umat manusia(Fadzlur Rahman.1982:2).

Ijtihâd sebagai satu-satunya mekanisme pembentukan hukum Islam sangat mendesak untuk selalu dilakukan dan dikembangkan, hal ini mengingat, permasalahan kehidupan umat Islam dewasa ini yang semakin komplek, arus globalisasi zaman modern, sebagai sebuah konsekwensi, telah menciptakan kesenjangan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Moment-moment inilah, Islam tertantang untuk menghadirkan eksistensinya, yakni melalui reaktualisasi institusi hukumnya(A.Mas'adi.1998:57).

Tentunya bukan tugas yang mudah, selain konsistensi, usaha tersebut juga harus didukung dengan metodologi yang sistematis dan komprehensif. Sebuah metodologi yang dapat menjadi perangkat ijtihâd yang memadai. Dalam hal ini tentunya, metodologi yang mampu merengkuh pesan etis atau ideal-moral, prinsip dan tujuan hakiki al-Qur'an(A. Mas'adi.1998:57).

Sebagai manifesto kepedulian terhadap problem-problem modernitas, jihâd intelektual (ijtihâd) sudah banyak dilakukan oleh kalangan ahli hukum dengan semangat pembaharuan(Fadzlurrahan,1993:10). Tetapi tidak sedikit pula yang mengurai sebuah kesalahan-kesalahan. Kondisi ini tidak lain, akibat dari pemahaman-pemahaman yang ahistoris, literalis dan atomistis(fazlurrahman,1993:20-21). Sebuah

Page 3: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

kondisi yang memprihatinkan, tidak ayal jika produk-produk penafsiran yang diformulasikannya tetap bercokol nuansa-nuansa parsial ad Hoc(Muhammad Azhar,1996:30). tidak menghasilkan Weltanschauung (pandangan dunia) yang kohesif dan bermakna bagi kehidupan secara keseluruhan(Tafsir dkk,2002:66-67). Bagaimana tidak, tindakan yang demikian telah menceraikan al-Qur'an dan Sunnah dari akar kesejarahannya, serta mereduksi keduanya menjadi kompendia yang berdiri atas bagian-bagian yang terisolasi dan terpilah-pilah.

Sebagaimana pernyataan Arkoun, Sebuah persoalan terbesar dan terus-menerus menjadi agenda pembaharuan dalam Islam, pada dasarnya adalah bagaimana memahami dan menyadari sepenuhnya arti tradisi (al-turast) dan modernitas (al-tajdîd)(Muhammad Arkoun,2001:viii-xvi). Hal inilah, kemudian Rahman mencoba menegaskan upaya pembaharuan dalam Islam yang mungkin dapat dilakukan dengan baik, yakni umat Islam harus mampu mengkaji dunia Barat beserta gagasan-gagasan secara objektif, begitu juga halnya dengan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaan sendiri.

Sebagai wujud kongkrit atas keprihatinan ini, menyadari signifikansinya sebuah rumusan metodologi sebagai salah satu perangkat pembaharuan Islam, Rahman menawarkan prosedur ijtihad atau metodologi yang hermeneutis(Taufik Adnan Amal,1987:55). Sebuah metode pemahaman al-Qur'an secara kesatu paduan, terjalin-berkelindan, yang diharapkan mampu menghasilkan suatu weltaschauung. Metode ini dirumusan secara definitif dalam teori double movement-nya.

Metode yang diusulkan Rahman memiliki bentuk yang baru, namun pada dasarnya semua unsur-unsurnya adalah tradisional. Metodologi yang sarat dengan kritik sejarah, seperti latar belakang sosio-historis al-Qur'an, perilaku Nabi dan khususnya asbab al-nuzul ayat-ayat al-Qur'an. Dengan kesadaran historis dan sintetik-analitika, universalitas pesan moral al-Qur'an yang tidak jarang bersembunyi di balik aturan legal-spesifiknya akan dapat ditemukan(fazlurrahman:168-169). Sebuah paradigma baru dalam studi al-Qur'an pada umumnya, pembacaan yang berpusat pada teks atau filologi klasik dan studi sejarah, kepada orentasi baru mengenai keterkaitan secara dialektis antara teks, sejarah, dan realitas social. Dan tentunya juga paradigma baru studi bidang hukum Islam khususnya. Sebuah kontribusi besar bagi pembaharuan hukum Islam. (Ilham B. Saenong:3)

Kajian ini ingin mengungkap dua pertanyaan besar, yaitu pertama, sejauhmana kontribusi konsep hermeneutika Fazlur Rahman sebagai sebuah metodologi, dan kedua, bagaimana aplikasinya dalam mekanisme istimbat hukum Islam.

Sketsa Akademis Fazlur RahmanRahman dilahirkan pada 1919, ketika anak benua Indo-Pakistan masih belum

terpecah ke dalam dua negara merdeka, di sebuah daerah yang terletak di barat laut Pakistan,(Taufik Adnan Amal,1987:13) dan wafat pada tanggal 26 Juli 1988. Anak benua ini memang terkenal dengan sederetan pemikir liberalnya seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid, Amir Ali dan Iqbal. Dengan latar belakang semacam ini, tidaklah mengherankan jika Rahman kemudian berkembang menjadi seorang pemikir liberal dan radikal dalam peta pembaharuan Islam.

Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi, sebuah

Page 4: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

mazhab Sunni yang lebih bercorak rasionalis dibandingkan dengan tiga mazhab Sunni lainnya.(Gufron A. Mas'adi,1998:15) Meskipun dibesarkan di kalangan tradisional bermazhab Hanafi, namun Rahman sejak berumur belasan tahun telah lepas dari lingkup pemikiran yang sempit dalam batas mazhab-mazhab Sunni, ia mengembangkan pemikirannya secara bebas. (Taufik Adnan Amal,1994:15) Hal ini nampak saat Rahman baru berumur belasan tahun, ia sudah merasa skeptis terhadap Hadits. Walaupun wacana atau pengetahuan yang melingkupi dalam dirinya penuh dengan nuansa intelektual tradisionalis (didikan bapaknya), yang sejak kecil mengajarkan Hadits dan pendidikan formal Rahman. Sebagai sebuah pemikiran tahap awal Rahman telah mampu mengembangkan dan mengartikulasikan kajian Hadits secara sistematis.

Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di universitas tersebut dan mendapat gelar M.A., dalam sastra Arab.(Muhammad Azhar) Kemudian, berangkat dari kesadarannya akan rendahnya mutu pendidikan di India, ia akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya, yaitu Oxford University.

Di universitas inilah ia mengikuti kuliah-kuliah formal, ia giat mempelajari bahasa-bahasa Barat. Pengusaannya terhadap bahasa-bahasa tersebut, pada gilirannya, sangat membantu upayanya dalam memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi Islam, lewat penelusurannya terhadap literatur keislaman yang ditulis orientalisme dalam bahasa-bahasa mereka. Meskipun banyak menimba pengetahuan dari sarjana-sarjan Barat, namun ia sangat kritis terhadap pandangan-pandangan mereka yang bertalian dengan Islam dan umatnya. (Taufik Adnan Amal,1994:82)

Pada tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya di Oxford dengan mengajukan sebuah disertasi tentang Ibn Sina, dua tahun kemudian, Oxford University Press menerbitkan terjemahan inggrisnya dari karya monumental Ibn Sina, Kitab al-Najt, dengan judul Avicenna’s Psycology. Kitab al-Najat merupakan ringkasan Ibn Sina sendiri terhadap karya agungnya Kitab al-Syifa’; penerjemahannya oleh Rahman. Karena kajian-kajiannya yang mendalam tentang Ibn Sina, di kalangan sarjana-sarjana ketimuran memberi predikat padanya sebagai seorang yang ahli tentang Ibn Sina.

Setelah meraih Doctor of Philosofhy (D. Phil) dari Oxford University mengembangkan intelektualnya, dengan mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, kemudian di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, ia menjabat sebagai Associate Professor of Philisophy. Di Kanada Rahman menjalin persahabatan yang erat dengan orientalis kenamaan, W.C. Smits, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.( (Taufik Adnan Amal,1994:83)

Neomodernisme dan Usaha-usaha Pembaharuan Hukum Islam RahmanDi Barat, Rahman merasa telah memperoleh kebebasan intelektual, maka tentu

saja ia tidak segan-segan hijrah ke sana ketimbang “berkubang” di Pakistan atau negeri-negeri Muslim lainnya yang menurutnya, “belum dewasa” secara intelektual.

Page 5: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

(Fazlurrahman,1993:1) dalam berbagai kegiatan intelektual, seperti memimpin proyek penelitian universitas tersebut, mengikuti berbagai seminar internasional, serta memberikan ceramah di berbagai pusat studi terkemuka. Ia juga aktif menulis buku-buku keislaman dan menyumbangkan artikel-artikelnya ke berbagai jurnal internasional. Karya-karya intelektual Rahman, dalam kenyataannya, mencakup hampir keseluruhan studi-studi Islam normatif maupun historis. Dan dalam beberapa artikelnya, ia mulai mengidentifikasi dirinya sebagai seorang neomodernis sehubungan dengan usaha-usaha pembaharuan yang tengah dilakukan dewasa ini.

Dalam sebuah artikel yang ditulis pada penghujung dekade 1970-an, Rahman membagi dialektika perkembangan pembaharuan yang muncul di dunia Islam ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pramodernis yang muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Dimana gerakan ini tidak bersentuhan dengan Barat; memperlihatkan ciri-ciri umumnya: 1. Gerakan ini muncul karena keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam dan usaha untuk mengubahnya, 2. Himbauan untuk kembali kepada Islam sejati dan mengenyahkan takhayul-takhayul yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme popular, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berusaha melakukan ijtihâd, 3. Himbauan untuk mengenyahkan corak predeterministik, 4. Himbauan untuk melakukan pembaruan kekuatan bersenjata (jihâd) bila perlu.(Fazluraahman,1993:1)

Dasar pembaruan revivalisme pramodernis kemudian diambil alih oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide Barat. Usaha modernisme klasik dalam menciptakan kaitan baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui sumber al-Qur’an dan Sunnah Nabi, menurut Rahman, merupakan suatu prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa. Hakikat penafsiran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan “sunnah historis” (yakni biografi Nabi) sebagaimana dibedakan dengan “sunnah teknis” (yakni terdapat di dalam Hadits-Hadits). Mereka pada umumnya skeptis terhadap Hadits, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisme ilmiah.(Fazlurrahman:18-19)

Modernisme klasik telah memberikan pengaruh terhadap gerakan ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis. Gerakan ini mendasari dirinya pada basis pemikiran modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kolektif. Namun karena usahanya untuk membedakan diri dari Barat, maka neorevivalisme merupakan reaksi terhadap modernisme klasik. Mereka tidak menerima metode atau semangat modernisme klasik; tetapi sayangnya, mereka tidak mampu mengembangkan metode apa pun untuk menegaskan posisinya,(Taufik Adnan Amal:135-143) selain berusaha membedakan Islam dari Barat.

Bagi Rahman modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk neorevivalisme. Kelemahan pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang secara semi-implisit terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi terletak dari prinsip-prinsip dasarnya. Mungkin karena perannya selaku reformis terhadap masyarakat Muslim dan sekaligus sebagai kontroversialis-apologetik terhadap Barat, sehingga ia terhalang untuk melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam, serta menyebabkannya menangani secara ad hoc beberapa

Page 6: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

masalah penting di Barat–misalnya demokrasi dan status wanita. Kelemahan kedua, masalah-masalah ad hoc yang dipilihnya merupakan masalah-masalah di dan bagi dunia Barat, sehingga terdapat kesan merupakan agen-agen westernisasi.(Fazlurrahman:20)

Disinilah di tengah-tengah problem yang komplek neomodernisme menampakkan dirinya. Rahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Menurutnya, tugas umat Islam adalah mengembangkan sikap kritis terhadap kesejarahan Barat maupun terhadap warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Kaum Muslim harus mengkaji dunia Barat beserta gagasan-gagasannya secara objektif, demikian pula dengan gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran dalam sejarah keagamaannya sendiri.(Fazlurrahman:20)

Lebih lanjut ia menegaskan, penting kiranya umat Islam memahami kondisi-kondisi aktual masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan dalam rangka penafsiran pernyataan-pernyataan legal dan sosio-ekonomisnya. Pendekatan historis ini bahkan dianggapnya sebagai satu-satunya metode tafsir yang dapat diterima dan dapat berlaku adil terhadap tuntutan intelektual ataupun integritas moral: “Hanya dengan cara inilah suatu apresiasi yang sejati terhadap tujuan-tujuan al-Qur’an dan Sunnah dapat dicapai”. Aplikasi pendekatan sejarah ini telah membuat Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan atau “ideal moral” al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. “ideal moral” yang dituju oleh al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Jadi dalam kasus poligami dan perbudakan misalnya, Rahman mengungkapkan bahwa “ideal moral” yang dituju al-Qur’an adalah monogami dan emansipasi budak. Sementara penerimaan al-Qur’an terhadap kedua pranata tersebut secara legal karena kemustahilan untuk menghapuskannya dalam seketika.(fazlurrahman,1996:47-53)

Keyakinan inilah yang kemudian Rahman konsepsikan menjadi sebuah rumusan definitif metodologi tafsirnya secara sistematis dan komprehensip, yang terekam dalam teori gerak ganda (double movement)--sebuah rumusan metodik yang bernuansa kritik sosio-historis. Metodologi ini pulalah yang menjadi ciri pembeda antara neomodernisme dan modernisme klasik. Lebih lanjut, Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya itu dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang sewenang-wenang dan liar, sebagaimana yang terjadi selama ini.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, maka projec narative neomodernisme dalam wacana pembaharuan Islam, diantaranya: 1. Perumusan pandangan dunia (word view/ weltanschauung) al-Qur’an; 2. Menciptakan suatu analisis yang sistematis terhadap ajaran-ajaran moral al-Qur’an dan pada gilirannnya akan tercipta etika al-Qur’an; 3. Merumuskan sistem dan formulasi hukum yang relevan dengan kebutuhan kontemporer berdasarkan etika tersebut.

Hermeneutika Sebagai Tawaran Metodologis: Teori Double MovementGagasan pembaharuan Fazlur Rahman, sebagaimana dijelaskan Taufiq Adnan

Amal dilatar-belakangi oleh krisis yang dihadapi Islam klasik dan pertengahan, dan keterpurukan ini tidak berhenti sampai sekarang ini,(Fazlurrahman:24) akar krisis itu terletak dalam sejarah keagamaan Islam, sejak penghujung abad pertama Hijriah, kaum Muslim telah mengembangkan suatu sikap yang kaku dalam memandang kedua pemikiran Islam (al-Qur’an dan as-Sunnah) lewat pendekatan-pendekatan ahistoris,

Page 7: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

literalis dan atomistis pendekatan-pendekatan semacam ini telah menceraikan al-Qur’an dari kesejarahannya, serta mereduksi keduanya menjadi compendia yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terpisah satu sama lain.(fazlurrahman,1995:2)

Sementara itu, sepanjang sejarah, masalah-masalah mendasar yang berkaitan dengan perlunya suatu metode dan cara penafsiran al-Qur’an tidak pernah dibicarakan secara serius. Kaum Muslim sama sekali tidak memiliki metode yang memadai untuk memahami al-Qur’an secara tepat. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan terjadinya sebuah kesalahan umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an. Kesalahan ini secara praksis didukung oleh ketegaran sikap untuk berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an secara terpilah-pilah. Akibatnya pendekatan atomis ini, menurut Rahman, kaum Muslim kerap mereduksikan hukum-hukum dari ayat-ayat, sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai hukumnya.(Fazlurrahman,1995:3)

Kegagalan dalam memahami al-Qur’an sebagai kesatu-paduan yang menghasilkan sebuah weltanschauung yang pasti hanya terjadi dalam bidang hukum. Tetapi juga, merembet pada munculnya bencana besar dalam lapangan pemikiran teologi. Yang selama ini dipandang sebagai legitimasi moral bagi konstruksi hukum Islam dan ironisnya, kegagalan tersebut, menurut Rahman masih terus berlanjut hingga dewasa ini.(Fazlurrahman,1995:3)

Perlakuan yang sepotong-potong, ad hoc, dan sering kali sangat ekstrinsik terhadap al-Qur’an tidaklah berhenti di abad modern sekarang ini, bahkan dalam beberapa hal semakin memperburuk tekanan-tekanan yang datang dari gagasan-gagasan modern, serta kekuatan-kekuatan perubahan sosial, bersamaan dengan pengaruh pemerintah jajahan di negeri-negeri Muslim talah menciptakan situasi di mana pengadopsian gagasan-gagasan kunci Barat modern tertentu, serta pranata-pranatanya dibela mati-matian oleh sebagian kaum Muslim yang lain menolak modernitas mentah-mentah, dan penulisan karya-karya apologetik yang menggantikan pengagungan diri bagi pembaruan muncul tak putus-putusnya.(Fazlurrahman:3)

Dalam latar belakang persoalan yang sedemikian krusial inilah, Rahman menawarkan sebuah metodologi penafsiran al-Qur’annya yang sistematis dan komprehensip, yakni ia mengistilahkannya dengan “metode-tafsir sistematis”—sebuah metode penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan teori hermeneutik dalam memahamai al-Qur’an secara kontekstual.( Tafsir, dkk, 2002:78) Diusahakannya atas nama neomodernisme,( dipelopori oleh Rahman ) yang dianggap sebagai suatu ‘langkah’ keharusan yang amat mendesak.

Dalam konteks inilah neo-modernisme yang digagas dan dipelopori Rahman lewat proyek pembaharuan metodologi tafsirnya, muncul dalam arena pergulatan pemikiran Islam. Melalui pembaharuan metodologi tafsir, neo-modernisme hendak mengkaji secara kritis warisan intelektual keagamaan yang pernah hidup dan berlaku dalam sejarah Islam, maupun gagasan-gagasan, pranata-pranata dari Barat modern yang turut mewarnai kehidupan kaum Muslim dewasa ini. Agenda utama dari gerakan neomodernisme Rahman, sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Ihsan Ali Fauzi, adalah menafsirkan Islam secara utuh dan menyeluruh dalam tiga aras pemikiran Islam, di mana satu sama lainnya saling terkait secara organis, yakni teologi, etika atau moral dan legislasi hukum Islam kontemporer.( Ihsan Ali Fauzi, 3:56)

Pembaharuan metodologi penafsiran al-Qur’an yang dilakukan tersebut,

Page 8: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

menurutnya, merupakan jihad intelektual. Sebab sejak dekade kedua abad ke-20, konservatisme yang demikian kuat dipandangnya Islam, itu sebabnya, krisis yang terjadi dalam ranah pemikiran Islam selama sekian abad dibawah kepengapan dan stagnasi lantaran menangnya konservatisme dan ortodoksisme hanya mungkin dipulihkan kembali dengan mengedepankan semangat intelektual yang telah lama redup, menurut Rahman.

…jika pembicaraan yang lantang dan berkesinambungan dari kaum Muslim tentang kelangsungan hidup Islam sebagai suatu sistem doktrin dan praktek di dunia dewasa ini benar sejati (suatu masalah yang jawabannya tidak mudah ditetapkan) maka tampak jelas bahwa mereka harus memulai sekali lagi pada tingkat intelektual. Mereka harus secara terang-terangan tanpa perlu menahan diri membahas apa yang dikehendaki Islam untuk mereka lakukan dewasa ini………suatu penafsiran al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan.( Fazlur Rahman, 1970, I:329)

Usaha ini tentunya tidak hendak mengulang kesalahan-kesalahan para mufassir klasik (pada abad tengahan) dalam memberlakukan al-Qur’an secara ayat per-ayat; meski terkadang mereka memberikan rujukan silang ketika menafsirkan suatu ayat, tetapi hal ini tak dilakukan secara sistematis. Karena itu, tafsir-tafsir al-Qur’an mereka tidak menghasilkan suatu weltanschauung (pandangan-dunia) yang kohesif dan bermakna bagi kehidupan secara keseluruhan.( Taufik Adnan Amal,1993:54) Demikian pula dengan metode tafsir perkembangan terakhir yang terkenal dengan istilah “tafsir tematik” (maudhu’i),(Nashruddin Baidan,1998:151)lihat juga (Said Agil Munawar,2002:73) walaupun dalam berbagai hal oleh ahli dapat dijadikan sumber rujukan (index), tetapi cara semacam ini, tidak cukup banyak membantu bagi orang yang ingin memahami al-Qur’an tentang Tuhan, manusia, dan masyarakat,( Fazlur Rahman : xi) demikian tegas Rahman. Bagi Rahman, lebih lanjut, tafsir tematik masih parsial atau kandungan al-Qur’an-nya masih terpilah-pilah antara satu dan lainnya. Padahal, mestinya tema-tema itu bukan ibarat index yang tak saling terkait, melainkan kesatuan integral yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.( Tafsir, dkk.2002:77)

Tapi bagaimana pun tidak dapat dipungkiri, bahwa pada dasarnya para mufassir cukup punya andil besar bagi bangunan pemikiran pemahaman (penafsiran) al-Qur’an. Kenyataan ini terbukti dengan banyaknya karya-karya klasik yang mengekspos tentang metode-metode (ilmu-ilmu) atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an. Salah satunya adalah metode al-tafsir dan al-ta’wil, metodologis hermeneutika klasik al-Qur’an.( Ilham B. Saenong.2002:57) Usaha ini sebenarnya penting untuk suatu pemahaman terhadap teks al-Qur’an, tapi bukan berarti pula tidak membutuhkan sebuah teori lain sebagai perangkat penafsiran kontemporer. Sebuah teori penafsiran atau pemahaman al-Qur’an yang labih luas dan utuh,( M. Din Syamsuddin.3:69) sehingga baik bagian-bagian teologis maupun bagian-bagian etika dan etika-legal al-Qur’an menjadi suatu keseluruhan yang padu. Terkait masalah ini, Rahman memberi pernyataannya:

….di samping kitab-kitab tafsir, kaum Muslimin telah merumuskan sejumlah besar karya mengenai metode-metode atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an yang disebut ushul al-tafsir…., mereka telah melakukan suatu jasa besar bagi upaya pemahaman al-Qur’an, penggunaan bahasa-bahasa harfiah

Page 9: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

dan metaforis-nya, dan juga dalam antara ayat-ayat yang mempunyai pengertian umum dan khusus, dan lain-lain usaha-usaha ini sebenarnya sangat penting untuk pemahaman terhadap teks-teks al-Qur’an, walaupun demikian terdapat suatu kebutuhan yang mendesak terhadap teori hermeneutika yang akan menolong kita dalam memahami makna al-Qur’an secara utuh. Sehingga bagian-bagian teologi, etis dan legal al-Qur’an menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh dan padu.( Fazlur Rahman.1986:45)

Berdasarkan sekilas di muka, dapat dipahami, bahwa pada dasarnya hermeneutika dalam tradisi Islam sudah muncul sejak al-Qur’an itu diwahyukan, dengan ilmu al-tafsir dan at-ta’wil. Bahkan untuk aktifitas penafsiran Muslim klasik, dibutuhkan syarat-syarat yang bersifat kualifikatif, yaitu seorang penafsir harus menguasai ilmu-ilmu balaghah, bayan, dan ma’ani. Hanya saja, hermeneutika dalam tradisi kontemporer, secara metodologis, selangkah lebih jauh, sehingga melampaui batas tradisi tafsir klasik dengan ilmu penafsirannya. Ini bukan berarti bahwa hermeneutika lebih tinggi atau pun lebih maju dari ilmu-ilmu penafsiran klasik.(Komaruddin hidayat.2004:149) Hal ini semata-mata menyangkut perbedaan tradisi dan metodologi yang diterapkan. Dengan kata lain teori hermeneutika inilah yang kemudian dimungkinkan menjadi perangkat yang bersifat metodologis memadai untuk penafsiran al-Qur’an kontemporer. Karena bagaimana pun epistemologi yang terbangun dari teori ini memenuhi sebagai mekanisme penafsiran yang berstuktur triadic, inilah yang telah diabaikan oleh ilmu-ilmu penafsiran klasik. Karena pada intinya aktifitas penafsiran harus sepenuhnya memahami akan kompleksitasnya, diantaranya; memenuhi unsur-unsur dalam hubungan dialektis antara teks, penafsir, dan realitas dalam kegiatan interpretasi.( Ilham B. Saenong.2002:57) Dari mekanisme inilah mencapaian makna yang sesungguhnya dari penafsiran.

Kesimpulannya, bahwa dengan metode-tafsir sistematis yang ditawarkan Rahman, adalah berarti sebuah peralihan paradigma baru dalam studi al-Qur’an pada umumunya, dari pembacaan al-Qur’an yang melulu terpusat pada sentralitas teks atau filologi klasik dan studi sejarah, kepada orientasi baru mengenai keterkaitan teks, sejarah, dan realitas sosial. Melaui mana “konformitas-konformitas dan deformitas-deformitas Islam historis bisa dinilai”. Pada saat yang sama, metode ini diharapkan mampu merumuskan nilai-nilai umum dalam al-Qur’an yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam dalam merespon modernitas.

Bagi Rahman, teks suci (al-Qur’an) sebagai objek penafsiran atau pemahaman mempunyai makna yang dalam; kandungan etis yang menjadi nilai-nilai, tujuan-tujuan yang berjangka panjang. Esensi dari ajaran kitab suci menjadi mata rantai penghubung yang penting antara teologi dan hukum Islam. (Fazlur Rahman:45) Nilai etis al-Qur’an terbungkus hal-hal yang umum ke dalam perintah legal atau quasi-legal. Hal ini tidak lain tepatnya merupakan pertanda dari semangat moral al-Qur’an yang tidak hanya puas dengan proporsi etis yang dapat digeneralisasikan, tetapi mendesak untuk diterjemahkan ke dalam paradigma-paradigma yang aktual. Mengingat bahwa al-Qur’an selalu lekat dengan prinsip dan tujuannya tersirat secara eksplisit maupun implisit di dalamnya. Tentunya usaha ini harus didukung dengan pertimbangan latar belakang dan konteks peraturan tersebut:

Page 10: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

….upaya untuk memahami suatu teks atau preseden yang relevan di masa lampau yang berisi aturan, dan untuk mengubah aturan tersebut memperluas atau membatasi atau memodifikasinya dalam cara yang sedemikian rupa, sehingga suatu situasi baru dapat dicakupkan didalamnya dengan suatu solusi yang baru…..suatu pendekatan historis yang jujur dan serius harus digunakan untuk menemukan makna teks al-Qur’an. Pertama-tama al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan kronologisnya…seseorang harus mengikuti bentangan al-Qur’an sepanjang karir dan pranata-pranata yang dibangun belakangan.( Fazlur Rahman.1987)

Selaras dengan pemahamannya terhadap prinsip-prinsip hukum Islam dari al-Qur’an dan Sunnah,( Tafsir, dkk : 74 -76) Rahman telah membangun konsep ijtihad yang metodologis secara khas. Dalam hal ini metode ijtihâd yang ditawarkannya, sebagai upaya mengatasi krisis Islam dan kemodernan adalah “metode-tafsir sistematis”, demikian ia menyebutnya. Sebuah upaya mengkonsepkan ijtihâd dalam kerangka metodologis, metodis, dan sekaligus fungsional.( Ghufron A. Mas’adi.1997:148) Metode(Nashruddin Baidan.2003) ini secara detail terumuskan dalam teori gerak ganda (a double movement of interpretation)( Fazlur Rahman:5).

Berikut inilah rangkaian operasi metodologis gerakan double movement. Gerakan pertama adalah penelusuran pesan etis al-Qur’an, gerakan kedua adalah Pembumian Etika Al-Qur’an Kedalam Konteks Kekinian

Langkah Petama: Penelusuran Pesan Etis Al-Qur’an.

Orientasi akademis dari yang pertama ini adalah memahami prinsip-prisnsip ajaran al-Qur’an guna menemukan universalitas pesan etis yang dikandungnya melalui proses induksi atas ayat-ayat (hukum) yang kongrit spesifik. Sebagaimana diungkapkan Rahman, penelusuran terhadap pesan etis al-Qur’an ini dapat dilakukan melalui dua langkah:

Pertama, orang harus memahami arti atau makna suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Tentunya, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat istiadat, lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehidupan Islam dan khususnya peperangan-peperangan Persia-Bizantium harus dilakukan.( Fazlur Rahman:6)

Pada dasarnya ajaran-ajaran yang bersifat spesifik yang merupakan respon atau jawaban terhadap situasi-situasi khusus,( Amir Mu’alim dan Yusdani.1997:141) Menurut Rahman, perintah-perintah al-Qur’an tidak pernah muncul di belakang suatu ruang yang vacum, tetapi selalu hadir sebagai solusi atau jawaban terhadap berbagi persoalan-persoalan aktual. Sektor sosial dari perintah-perintah al-Qur’an, dengan demikian, memiliki latar belakang situasional, sebagaimana pewahyuan al-Qur’an itu sendiri yang memiliki latar religio-sosial yang amat komplek dan kongkrit dalam sistem politeisme dan sekuilibrium sosio-ekonomis masyarakat Makkah pada awal Islam. Bukan hanya itu, al-Qur’an biasanya juga mensinyalir, baik secara eksplisit maupun implisit, alasan-

Page 11: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

alasan bagi suatu pernyataan yang berisi putusan-putusan maupun berbagai prinsip moral atau legal.( Muhammad Hashim Kamali.1996:43-44)

Sementara tahap berikutnya dari gerakan yang pertama di atas adalah melakukan “penyaringan” atas pesan etis al-Qur’an yang merupakan respon atau jawaban terhadap situasi khusus tertentu. Dengan cara mengeluarkannya, dari bingkai ayat-ayat legal-spesifiknya. Berkaitan dengan hal ini, Rahman menuturkan :

kedua adalah mengeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial umum yang dapat di saring dari ayat-ayat spesifik. Dari sinaran latar belakang sosio-historis dan rasiones legis (‘illat hūkm) yang sering dinyatakan.( Fazlur Rahman:7)

Sehubungan dengan langkah kedua ini, Rahman sangat menekankan pentingnya membedakan ketetapan-ketetapan legal-spesifik al-Qur’an dengan sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan jangka panjangnya (ideal-moral; etis). Hukum ideal inilah yang merepresentasikan kehendak atau hukum Illahi yang sesungguhnya. Sementara, aturan-aturan hukum yang spesifik harus dipandang sebagai institusionalisasi hukum ideal tersebut dalam lingkungan yang spesifik. Etika al-Qur’an yang terkandung dalam ideal inilah yang oleh Rahman sering disebut sebagi ratio legis (‘illat hukm) yang merupakan esensi hukum Islam. Ratio legis ini memuat prinsip-prinsip moral-etis yang menjadi muara akhir dari tujuan diberlakukannya suatu ketetapan-ketetapan hukum.

Langkah kedua: Pembumian Etika Al-Qur’an Kedalam Konteks KekinianGerakan kedua dari pemikiran yuristik adalah metode berpikir dari yang umum

kepada yang khusus. Seluruh prinsip-prinsip universal (etika) al-Qur’an, yang telah diperoleh melalui cara yang dilakukan di atas, mesti dibumikan atau ditubuhkan dalam kehidupan masyarakat-masyarakat Muslim kontemporer.( Fazlur Rahman.1987:224) Menurut Rahman, jenis penelitian sosiologis terhadap situasi kehidupan kontemporer, barang kali bisa memberikan indikasi yang relevan menyangkut bagaimana prinsip-prinsip sosio-moral atau pesan etis yang diperoleh dari al-Qur’an tersebut harus ditubuhkan ke dalam praktek legislasi kontemporer. Pendekatan sosiologis ini, menurut Rahman, sebagaimana diungkapkan Ghufron, pasti akan memunculkan berbagai kesulitan dan perbedaan dalam menginterpretasikan realitas sosio-kultural masa kekinian, tetapi hanya lewat pendekatan semacam inilah, solusi-solusi yang memuaskan dapat dihasilkan.( Ghufron A. Mas’adi.1997:148)

Sebagaimana dengan latar belakang ajaran al-Qur’an yang harus ditelaah untuk memperoleh prinsip-prinsip universalnya, maka pembacaan secara sosiologis terhadap situasi dan kondisi kehidupan kekinian juga mesti dilakukan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang spesifik. Sehingga ajaran universal al-Qur’an tersebut dapat diterapkan secara kongrit dalam lokalitas kehidupan masyarakat kontemporer. Tentu saja hal ini memerlukan suatu kajian yang cermat dan aktual terhadap situasi yang berkembang dewasa ini. Berbagai unsur serta komponen-komponen yang bertalian dengan konteks kehidupan masyarakat kontemporer. Pada momen ini harus dengan ketelitian analisa, sehingga situasi yang berkembang sekarang bisa dinilai, dan diubah sejauh yang diperlukan, dengan menentukan prioritas-prioritas baru agar nilai-nilai sosio-moral atau etika al-Qur’an bisa diterapkan secara baru pula.

Page 12: Sebuah Metodologi Hermeneutis dalam Istimbat Hukum Islam

Gerakan kedua ini sekaligus berfungsi sebagai koreksi atas hasil-hasil yang diperoleh melalui cara yang dilakukan dalam gerakan pertama di atas. Seandainya prinsip-prinsip universal (pesan etis) al-Qur’an yang telah dipahami sebelumnya mengalami kegagalan dalam proses penumbuhannya ke dalam konteks kehidupan kekinian. Maka menurut Rahman sebagaimana dikutip Amir Mu’alim, dapat dipastikan bahwa penyebabnya adalah kegagalan dalam membaca dan menelaah situasi dewasa ini secara tepat, atau sebaliknya kegagalan dalam memahami pesan etis al-Qur’an.( Fazlur Rahman:27) Sebab mustahil ajaran-ajaran universal al-Qur’an yang pada masa lalu bisa dan sungguh direalisasikan dalam tatanan kehidupan yang spesifik, tidak bisa diwujudkan kembali dalam konteks kehidupan kekinian yang juga bersifat spesifik.( Amir Mua’lim dan Yusdani.1997:143) Tentu setelah mempertimbangkan berbagai hal yang berbeda secara spesifik antara konteks kehidupan sekarang dan konteks kehidupan masa silam.

Irkham. Alumnus Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, sedang menempuh studi S2 di UIN Sunan Kalijaga.

DAFTAR PUSTAKA

A. Mas’adi, Ghufron, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1997).

Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Hashim Kamali, Muhammad Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

Mua’lim, Amir dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997).

Rahman, Fazlur, Islamic Modernism, diterj. Oleh Taufiq adnal amal dalam, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1987),