Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

78
Sebuah Kisah: ”Dari Pekarangan Menuju Meja Makan” CATATA REFLEKSI PENDAMPINGAN PERTANIAN ORGANIK DI PEKARANGAN BAGI PEREMPUAN LERENG MERAPI Tim Pendampingan Nawakamal Editor : Emil E. Elip Lembaga Nawakamal September 2012

description

Buku ini merupakan refleksi kerja pendampingan program pertanian organik di pekarangan bagi perempuan di lereng Merapi-Magelang. Buku ini tidak bersifat teknis program, namun sebagai refleksi dia bergerak dari ranah teknis program, analisa sosial, bahkan kultural.

Transcript of Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Page 1: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Sebuah Kisah: ”Dari Pekarangan Menuju Meja Makan” CATATA REFLEKSI PENDAMPINGAN PERTANIAN ORGANIK DI PEKARANGAN BAGI PEREMPUAN LERENG MERAPI Tim Pendampingan Nawakamal Editor : Emil E. Elip

Lembaga Nawakamal September 2012

Page 2: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 1

”Dari Pekarangan Menuju Meja Makan” Editor Emil E. Elip Tim Penulis: A. Gandung Indarto

Agung Haryanmto Baning Prihatmoko Bowo Nugroho

Emil E. Elip Guntur Prabawanto Henu Pramujaka

Johan Dwi Bowo Kristina Wahyu S. Maulana Paramitha

Sanna Sanata Wawan Setiawan Supporting: Anik, Tri Broto, Uut

Diterbitkan oleh: Lembaga Nawakamal Jl. STM Pembangunan No. 6-A Mrican, Yogyakarta 55281 Telp/Fax : 0274 – 552890 Email: [email protected] www.nawakamalfoundation.wordpress.com

Lembaga Nawakamal adalah lembaga non-pemerintah didirikan tahun 1994 yang kemudian diperbaharui tahun 2009. Lembaga Nawakamal concern dalam bidang penguatan pemberdayaan dan hak-hak masyarakat dalam ranah dukungan kehidupan berkelanjutan (sustainability livelihood). Saat ini Nawakamal didukung oleh 6 staff full-time dan beberapa volunter yang berpengalaman dalam perencanaan partisipatif, pengorganisasian komunitas, pelatihan-pelatihan, penelitian sosial dan evaluasi, pembuatan film dokumenter, dll.

Page 3: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 2

Sekapur Sirih: “A Tribute to Edi Tanto”

Dengan segala hormat kepada sidang pembaca, ijinkan saya untuk menyebut mas Edi Tanto sebagai sosok yang “antagonis-kontroversial” namun hangat. Tanto (panggilan akrabnya) yang saya kenal sejak kami duduk di salah satu SMA di Yogya, antagonis karena ia senantiasa “berdiri” di sisi paling kritis dalam praksis kehidupan dan kerja penguatan masyarakat. Demikian pula dalam banyak ide-ide pemikirannya. Ia juga kontroversial karena sebagai sarjana sosiologi yang cukup cerdas, ia memilih hidup sebagai petani saja di rumah dan sawahnya di Keceme-Sleman.

Badannya tegap, hitam, dan jabat tangannya begitu berat. Sungguh fisik seorang petani yang bukan hanya pandai berolah pikir, tetapi petani yang berpraktik sehari-hari, mencangkul, menyiapkan bibit, mengangkut pupuk kandang, memelihara kambing, kolam, mengontrol saluran air, memanen, dan macam-macam lain. Ketika seluruh petani di desanya konvensional, Tanto memilih jalan petani organik. Orang menganggapnya “edan”.

Tanto bukan orang “kemarin sore” dalam kerja dan gerakan pertanian organik. Perjalanan tarian kehidupannya dalam pertanian organik terbentang dari Sumatera sampai NTT dan Papua. Promosi dan advokasi dalam pertanian organik yang ia yakini bukan dari panggung seminar keseminar, tetapi dari petak tanah yang satu ke petak tanah yang lain, dari perjumpaan bersama petani di satu tempat ke tempat lain, dari tindakan yang satu ke tindakan yang lain. Karena itu ia menolak dengan hormat award dari salah satu lembaga swadaya nasional cukup bergengsi di negeri ini.

Banyak hal menarik dari Tanto, tetapi satu hal yang jelas adalah bahwa gerakan pertanian organik yang diusungnya tumbuh dari praktik hidup petani yang nyata, yang dilakukannya sendiri, dengan segala jatuh bangun dunia pertanian. Itulah sebabnya segala kesempatan berbincang bersama dia, yang sering salah satunya di kandang wedus miliknya di Keceme, kita diajak bergerak mengembara dari hal-hal kecil tentang pertanian sampai pada ranah-ranah filosofis, ontologis, bahkan teologis tentang menjadi petani dan kebudayaan bertani. Memaknai “pekarangan” selalu menjadi topik yang membuat semangatnya berapi-api. Saya amat yakin dia bukanlah

Page 4: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 3 aktivis pertanian organik yang amat gampang tergelincir dalam hingar-bingar ekslusifitas lebel organik.

Sayang dalam usianya yang relatif muda Tanto telah berpulang ke Bapanya. Tetapi “kehangatan” pribadinya yang suka berkunjung ke sahabat-sahabatnya, membagi beras, ketela, atau tomat dari tanahnya, juga membagi bibit-bibit bagus kepada orang-orang, akan selalu dikenang. Suatu sore bersama sahabat kami duduk-duduk di rumah di Mrican-Yogyakarta, Tanto datang dengan sekuter kesukaannya membawa legen. Dalam cangkir-cangkir kecil kami minum bersama-sama. Segera tubuh kami menjadi hangat. “Semoga peristiwa kecil ini selalu menandai persahatan yang panjang”, sahutnya tenang. Emil. E. Elip Jakarta, September 2012

Page 5: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 4

Daftar Isi Sekapur Sirih: ”A Tribute to Edi Tanto” | - 2 Daftar Isi | - 4 Bagian 1 Pengantar: ”Lereng Merapi” | - 5 Bagian 2 ”Dari Pekarangan Ke Meja Makan”: Sebuah Kisah | - 14 Bagian 3 Memberi Makna (Baru) Atas Pekarangan | - 23 Bagian 4 Kelompok Petani Perempuan dan Bayang-Bayang | - 41 ”Kuasa” Laki-Laki Bagian 5 Dari Tanam Sampai Konsumsi | - 50 Bagian 6 Beberapa Catatan (Refleksi) ”Pendampingan” | - 56 P e n u t u p | - 70

Page 6: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 5

Bagian 1

“Lereng Merapi”: Pengantar

Lereng Merapi di Jawa Tengah, yang terletak antara Yogya, Magelang,Boyolali, Ambarawa, adalah “mujizat” kehidupan tetapi juga ironi. Sebagai sebuah lereng gunung fulkanik-aktif sejak ratusan tahun lalu, lereng tersebut menyajikan kesuburan luar biasa, kekayaan aneka ragam hayati, dan keindahan. Hal-hal seperti itulah kiranya yang memunculkan energi kehidupan komunitas dan kebudayaan sejak lama. Para sejarawan telah mununjukkan bahwa di lereng Merapi ini muncul kerajaan Hindu Jawa Kuno, diikuti dengan kehidupan Wangsa-Wangsa kuat dan berjaya dengan kebudayaan tinggi, serta sumber pangan pertanian ekonomi yang cukup.

Kota-kota dan masyarakat disekitar lereng Merapi seperti Yogyakarta, Magelang,

Klaten, Solo, Ungaran, Semarang, dll hidup dari support lereng Merapi. Air, segala macam jenis sayuran dan bahan pangan, supplay susu sapi, energi kesenian dan budaya tradisi, mengalir dari lereng Merapi. Namun masyarakat Merapi adalah juga saksi sejarah bencana alam vulkanis gunung Merapi, yang terus menerus terjadi. Masyarakat Merapi juga menjadi saksi hidup kegagalan strategi pembangunan pertanian, yang telah puluhan tahun tercekoki pupuk non-oprganik, yang kemudian secara ekonomis tidak memberikan keuntungan berlebih bagi petani bahkan harga-harga dipermainkan seenaknya.

Program pertanian organik pekarangan untuk kaum perempuan Merapi, khususnya

disisi lereng Magelang ini, muncul dalam dua konteks kejadian sejarah besar bagi lereng Merapi. Pertama, kejadian bencana erupsi Merapi November 2010 yang mengakibatkan terjadinya pengungsian cukup besar serta kerugian korban manusia dan harta benda yang tidak sedikit. Kedua, adalah konteks sejarah pertanian di lereng Merapi yang telah mencapai titik kulminasi penggunaan pestisida serta mulai berhembusnya bentuk-bentuk pertanian organik meski belum banyak dipraktekkan oleh masyarakat.

Dengan latar belakang dua kejadian tersebutlah program “Dari Pekarangan Menuju

Meja Makan” ini diperkenalkan. Pendekatan yang dipakai adalah model pertanian pekarangan organik dengan sasaran kaum perempuan. Di satu sisi program ini ingin menjawab kebutuhan jangka pendek agar masyarakat segera dapat melakukan aktivitas perhatian dan mendapatkan hasil pertanian yang cukup sehat yaitu melalui pekarangan, sambil menunggu sawah dan tegalan mereka bersih dari abu vulkanik. Di sisi lain, melalui pertanian pekarangan untuk kaum perempuan ini ingin dipromosikan model-model pertanian alternatif non-pestisida.

Page 7: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 6

Ironi di Lereng Merapi Oleh: Emil E. Elip Kesuburan dan Bencana Non-organik Catatan sejarah dari Labberton dan Bemmelen1

Jadi sudah sekitar 40 tahun belakangan pertanian non-organik bekerja di lereng Merapi. Namun nampaknya sekilas, lereng itu tetap subur. Segala macam tanaman ekonomi pokok petani tetap saja tumbuh subur menghijau. Banyak orang bilang memang ”bahan-bahan kimia” itu mampu membuat tanaman tampak menghijau segar, bahkan tampak luarnya kelihatan lebih ”indah” dibanding tanaman-tanaman yang ditanam secara organik. Kisah ”meja makan” masyarakat lereng Merapi, dan kita

menunjukkan bahwa lereng Merapi pada umumnya dan khususnya lereng merapi di sebelah Barat Daya yaitu wilayah Kabupaten Magelang sampai ke wilayah Jawa Tengah lainnya, merupakan pemukiman tempatan komunitas warga kerajaan Mataram Hindu. Berdirinya Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut dan beberapa candi lain di kawasan lereng Merapi, setidaknya menggambarkan bahwa wilayah ini merupakan wilayah “tua” lengkap dengan segala macam kegiatan ekonomi (pertanian) mereka. Siapa yang menyangkal jika dikatakan bahwa lereng Merapi umumnya, termasuk di wilayah Magelang serta wilayah Kecamatan Dukun dan sekitarnya, adalah wilayah yang amat subur, tercukupi air, dan mengalir sungai-sungai dengan air tak terputus sepanjang musim. Kondisi lingkungan semacam itu kiranya menjadi prasyarat dasar bermukimnya komunitas-komunitas masyarakat untuk bisa hidup ”cukup” dari ketersediaan alam. “Meja makan” komunitas masyarakat ini tercukupi oleh bahan pangan alami yang sehat. Alam lereng Merapi di wilayah Kecamatan Sawangan, Dukun, Salam dan lainnya telah memanjakan masyarakatnya dengan kesuburan berkelimpahan. Hasil-hasil pertanian sayur mereka seperti cabe, brokoli, caisin, kacang panjang, tomat, sledri, kobis, salak, dll men-support pasar-pasar lokal di wilayah Magelang, Muntilan, sampai Semarang dan Yogyakarta, bahkan mungkin kota-kota lain yang dibawa oleh para “juragan”. Sepertinya kita bisa mengatakan bahwa masyarakat kawasan lereng Merapi (meski tidak seluruhnya) “cukup” sejahtera melalui aktivitas ekonomi-pertanian dan peternakan. Sampai sekitar tahun 1970-an model pertanian lereng Merapi yang subur itu masih didominasi ”pertanian organik”. Ringkasnya pertanian organik adalah sistem pertanian yang kebutuhan-kebutuhan pupuk dan pengendalian hamanya diolah dengan memanfaatkan apa yang disediakan alam seperti selesah dedaunan, kotoran ternak, dll. Sistem pertanian tersebut belakangan dikenal dengan istilah low-input agriculture system. Setelah era 1970-an hingga sekarang, seiring dengan permintaan ”pasar” yang terus meningkat, kebutuhan keluarga yang kian mendesak, serta kondisi-kondisi ”kelangkaan” lahan di lereng Merapi akibat meningkatnya penduduk, pola saprodi pertanian digantikan dengan non-organik. Kian lama kian meningkat kebutuhan pupuk dan pestisida non-organik, karena begitulah sifat bekerjanya bahan kimia itu terhadap tanah.

1 Lihat http://www.wacananusantara.org/99/23/menelusuri-kebenaran-letusan-gunung-merapi.

Page 8: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 7 semua, adalah kisah perjalanan zat-zat kimia yang membahayakan tubuh dan kesehatan di masa akan datang. Anak-anak adalah generasi yang, sering kali tidak kita sadari dan abaikan, menjadi korbannya. Ironisnya!!, kita semua seakan mengamani keluh para petani bahwa: ”kalau tidak pupuk non-organik tidak bisa hidup!!”. Selama 40 tahun hingga kini bekerja dengan pupuk dan pestisida non-organik tentu telah menjadi ”budaya” baru: budaya pertanian. Sawah dan tegalan (ladang) menjadi arena pertarungan yang inten petani lereng Merapi melalui pupuk dan pestisida kimia itu untuk menggenjot produksi tanaman. Arena ini sekaligus menjadi media ekpresi ”kekuasaan” laki-laki. Sementara perempuan hanyalah ditempatkan pada posisi ”membantu” suami (laki-laki) di sawah dan tegalan. Lantas tidak adakah tempat lain yang masih bebas dari bahan kimia itu? Bagaimana dengan pekarangan? Bisakah dari sana dimulai ”upaya baru” sayur-mayur yang organik? Bila sawah dan tegalan menjadi arena ekspresi kuasa laki-laki, bisa pekarangan menjadi arena ekspresi ”kuasa” perempuan? Ini mungkin sebuah ironi juga bahwa kuasa perempuan terhadap pekarangan tidak terdefinisi dengan jelas di budaya bercocok-tanam lereng Merapi. Di dusun-dusun yang lebih atas, dimana masih banyak penduduk yang mempunyai pekarangan, pekarangan didominasi dengan tumbuhan tanaman keras ekonomis. Sementara di dusun-dusun yang lebih di bawah, pekarangan kurang termanfaatkan dengan baik sebagai sebuah tempat untuk sistem bercocok-tanam. Ironisnya lagi tidak semua masyarakat di lereng Merapi, termasuk di wilayah program MERP-Pertanian mempunyai sawah, tegalan, atau pekarangan. Kelompok buruh tani menjadi sebuah kelompok yang semakin meningkat. Begitu pula dengan kelompok petani penyewa lahan, baik secara sewa musiman maupun tahunan. Lepas dari gambaran ironi-ironi yang ada di masyarakat petani lereng Merapi, nampaknya ”membawa, melibatkan, atau menginisiasi sebuah kegiatan bagi para perempuan ke dalam ”arena” budidaya pertanian pekarangan secara organik merupakan upaya yang menarik. Lebih menarik lagi apabila perempuan bersama kelompok perempuan yang ada secara partisipatif kemudian memiliki arena kuasa atas tanaman-tanaman yang tumbuh dipekarangannya demi ”dapur dan makanan di meja makan” mereka yang sehat. Dan pekarangan, bagaimanapun bentuk pekarangan yang dimiliki, menjadi arena ekpresi individual perempuan, arena relasi-relasi sosial perempuan, dan arena ekspresi melalui kelompok-kelompok petani perempuan.

Hidup Akrab Dengan Bencana Lereng Merapi bisa digambarkan bak dua sisi mata uang dalam satu koin. Satu sisi lereng Merapi adalah ”berkat” kelimpahan akan kesuburan tanahnya karena keberadaan Gunung Merapi, namun disisi lain lereng Merapi adalah juga ”bencana” (relatif) rutin karena keberadaan Gunung Merapi juga. Lepas dari masih adanya kontroversi yang ada, kedua pakar sejarah Labberton dan Bemmelen menyatakan bahwa kerajaan Mataram Hindu terpaksa pindah dari Jawa Tengah lantaran terjadinya bencana vukanis Gunung Merapi Tahun 1006. Ditambahkan oleh Bemmelen bahwa letusan besar tahun 1006 itu terjadi akibat pergerakan tektonik sepanjang sesar transversal yang menjadi dasar deretan Gunung Api Ungaran–Merapi. Diperkirakan gempa menyertai pergerakan tersebut dan merusak sebagian Candi Borobudur dan Mendut yang dibangun pada abad ke-9.

Page 9: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 8 Sejarah mencatat2

Dari sejarah letusan ini bisa terbayangkan bahwa masyarakat wilayah lereng Merapi, khususnya yang berada di wilayah Kabupaten Magelang termasuk Kecamatan Dukun yang menjadi sasaran program MERP-Pertanian ini, adalah masyarakat yang ”akrab dengan bencana Merapi” setidaknya secara periodik antara 4 sampai 8 tahun sekali. Kerugian atas harta benda, rumah, ternak, areal produksi pertanian, dll boleh dikata merupakan hal yang harus selalu siap ”dikorbankan”. Bencana erupsi Merapi November 2010 lalu pemerintah menetapkan 25 desa masuk sebagai zona KRB (Kawasan Rawan Bencana) III, yaitu zona yang diharuskan tidak boleh dipakai sebagai hunian. Sebanyak 18 Desa diantaranya berada di Kabupaten Magelang

sekitar abad 9-11 Masehi, Gunung Merapi kembali meletus. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah korban jiwa dalam letusan kali ini. Diduga akibat letusan ini candi-candi yang berada di kawasan sekitar Jawa Tengah bagian Selatan terkubur akibat abu vulkanik. Di tahun 1672 M Gunung Merapi meletus, akibat letusan itu 3.000 orang meninggal dunia. Gunung Merapi kembali meletus dahsyat di tahun 1786, di tahun ini tidak tercatat secara jelas jumlah korban yang tewas. Pada tahun 1822, kembali Gunung Merapi meletus tercatat dan setidaknya 100 orang meninggal dunia. Hanya berselang 50 tahun tepatnya di tahun 1872, Gunung Merapi kembali menghamburkan abu vulkanik secara dahsyat akibatnya 200 orang meninggal dunia. Di tahun 1930 letusan hebat kembali terjadi, kali ini aliran lava, piroklastika, dan lahar hujan, mengguyur dan menghancurkan 13 desa akibatnya 1.400 orang tewas akibat peristiwa alam ini.

Laporan BPPTK menyatakan bahwa sudah sejak lama arah rekahan lubang

kawah Merapi menghadap ke Barat Daya (sejak Tahun 1930), yang berarti menghadap ke arah wilayah-wilayah di Kabupaten Magelang. Setelah tahun 1930 secara periodik Gunung Merapi meletus yaitu tahun 1954, 1959, 1961, 1976, 1994, 1997, 1998, 2001, 2006, dan terakhir kemarin November 2010. Letusan tahun 2010 lalu ternyata merubah arah rekahan lubang kawah yang dahulu menghadap Barat Daya kini menghadap ke Selatan. Di masa datang wilayah DIY diperkirakan menjadi wilayah paling rawan terdampak letusan Gunung Merapi.

3

Diluar bencana-bencana vulkanis akibat ”ulah” Merapi, kini area lereng Merapi di wilayah Magelang mulai terasa bencana kekeringan dan kelangkaan air. Memang kelangkaan air tersebut belum terasa di semua dusun namun tanda-tanda awalnya sudah mulai terjadi di beberapa dusun tertentu. Sungguh mengagetkan bahwa di lereng Merapi yang subur dengan bayangan air mesti tersedia sepanjang musim, saat ini jika kemarau tiba tidak sedikit dusun mengalami kekeringan. Setelah bahaya letusan dan banjir lahar dingin, ancaman bencana kekukarangan air bersih membayangi warga sekitar lereng Gunung Merapi di Magelang. Ancaman hilangnya ratusan mata air dan rusaknya sejumlah bendungan serta saluran irigasi membuat warga mulai kesulitan air bersih dan fasilitas sarana pengairan untuk sawah

, termasuk wilayah Kecamatan Dukun tempat sasaran program MERP-Pertanian ini.

4

2 Lihat dari sumber http://beye-beyeblog.blogspot.com/2010/10/sejarah-letusan-gunung-merapi-sepanjang.html 3 http://www.pikiran-rakyat.com/node/128171 4 http://pks-jateng.or.id/index.php/read/news/detail/40/Bahaya-kekeringan-dan-krsis-air-bersih-ancam-warga-

Merapi

. Selain kekurangan air bersih, musim kemarau tahun ini juga mengakibatkan sekitar 5.078 hektare lahan pertanian di delapan kecamatan diperkirakan mengalami kekeringan

Page 10: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 9 seperti di: Kecamatan Dukun, Sawangan, Ngluwar, Mungkid, Borobudur, Srumbung, Muntilan dan Salam5

5 http://merapi.peduli.org/2011/06/dampak-kemarau-enam-desa-terancam-kekeringan/

. ”Berkah” dan ”bencana” memang silih berganti membayangi masyarakat

lereng Merapi, tidak hanya akhir-akhir ini saja namun sepertinya hal itu sudah menjadi bagian dari sejarah panjang mereka. Jika bencana datang secara periodik semacam itu maka jelaslah perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang cacat menjadi kelompok yang paling rentan, tidak saja pada saat bencana itu terjadi tetapi juga pada masa-masa pasca bencana. Sekali lagi, perempuan (sebagai ibu rumah tangga) tentu menjadi mempunyai beban bertumpuk pasca bencana dalam ”mengelola” rumah tangga mereka. Perempuan harus diberi kesempatan mengambil peran vital berpartisipasi dalam membangun ekonimi-pertanian masyarakat lereng Merapi pasca bencana dari ”sebuah tempat” yang paling dekat dengan mereka, yaitu: pekarangan!! [■]

Page 11: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 10 Merapi Early Recovery Programme: Pertanian6

6 Diolah oleh Emil E. Elip, diambil dari Proposal MERP-Pertanian Nawakamal dan Laporan Akhir Kegiatan MERP-Pertanian Juni 2011.

Pada November 2010 lalu, entah untuk yang keberapa kali, Gunung Merapi kembali menunjukkan “kemurkaannya”. Radius bahaya Merapi dinaikkan tahap-demi tahap dari radius 5 Km sampai 20 Km. Warga di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, dan DIY kalang kabut. Dampak “kemurkaan” erupsi Merapi begitu luas sampai ketika pemerintah telah menurunkan radius bahaya erupsi Merapi dari 20 Km menjadi 15 Km dan 10 Km pada 14 dan 19 November 2010 lalu.

Sebanyak 160.000 penduduk kembali ke desa masing-masing. Di desa mereka

menghadapi berbagai permasalahan. Pertama, banyak rumah mengalami kerusakan tingkat sedang yang masih bisa dihuni sampai kerusakan parah yang sama sekali tidak bisa dihuni. Kedua, masyarakat tidak memiliki akses air bersih. Dilaporkan bahwa minimnya ketersediaan air bersih ini terjadi hampir di semua area bahaya erupsi merapi. Ketiga, rendahnya ketersediaan pangan bagi keluarga sebab hasil pertanian rusak parah sementara mereka tidak mempunyai uang cash untuk membeli bahan makanan. Di Kab. Magelang 43% penduduk hidup dari lahan pertanian di kawasan Merapi, sementara itu sebesar 80% kawasan pertanian tersebut rusak karena bencana Merapi. Keempat, oleh karena kerusakan ekonomi masyarakat tersebut maka hampir sebagian besar keluarga mengalami kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak mereka, para ibu hamil dan menyusui menjadi sangat rentan untuk menjaga kesehatan mereka dan anak-anak balita menghadapi tingkat asupan gizi yang menurun.

Save the Children concern terhadap kondisi itu dan merasa perlu mengembangkan MERP (Merapi Early Recovery Program) di bidang pertanian, yang implementasinya bekerja sama dengan mitra lokal Lembaga Nawakamal. Program ini didesain untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak dalam fase “recovery” bencana erupsi Merapi di sebagian wilayah Kab. Magelang. Sasaran tidak langsungnya diperkirakan 22.800 orang, sementara sasaran langsungnya (beneficiaries) sebanyak 5.700 keluarga yang terkelompokkan menjadi 92 kelompok perempuan tersebar di 60 dusun. Wilayah implementasi adalah 7 desa di Kec. Dukun (Desa Ngargomulyo, Sumber dan Kenigar, Kalibening, Mangunsuko, Sewukan, dan Paten) dan 1 desa di Kec. Salam (Desa Gulon). MERP-Pertanian diimplementasikan dari Februari sampai Juni 2011.

Tujuan Program MERP-Pertanian secara ringkas yaitu: (1) Sebanyak 5.700

keluarga di desa-desa sasaran kegiatan mendapatkan cash grant agar mereka mampu menyediakan kebutuhan pangan dan membiaya kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya sampai periode kegiatan ini berakhir; (2) Sebanyak 5.700 keluraga di desa-desa sasaran kegiatan mendapatkan cash grant untuk memulai usaha ekonomi pertanian mereka; (3) Didesa-desa sasaran kegiatan terbentuk kelompok-kelompok masyarakat yang dikembangkan oleh kaum perempuan sebagai pengelola kegiatan di tingkat masyarakat, inisiator munculnya kegiatan yang memperhatikan upaya perlindungan anak dan kesehatan ibu-anak.

Page 12: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 11 Rangkaian kegiatan secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Pelatihan Pembekalan Untuk Staff Lapangan. Tujuan pelatihan antara lain: (a) Pendalaman design kegiatan dan metodelogi kegiatan; (b) Pendalaman teknis budidaya tanaman dalam polybag; (c) Teknis composting; (d) Metode pendampingan; dll. Pelatihan ini penting sebab para staff proyek memiliki latar belakang pengalaman pendampingan pertanian yang berbeda, juga bermanfaat bagi awal terbentuknya team building.

(2) Pelatihan “Budidaya Pertanian Pekarangan” untuk Masyarakat: Pelatihan

mengenai budidaya sayuran di dalam media tanam polybag diberikan kepada masyarakat melalui perwakilan kelompok-kelompok perempuan. Pelatihan diberikan dalam 2 angkatan agar proses belajar-mengajarnya lebih efektif. Durasi pelatihan untuk setiap angakatan adalah 2 hari. Perwakilan kelompok tersebut diharapkan bisa berperan sebagai pendorong dan motivator kepada kelompok dalam transfer tehnik budidaya sayuran dalam polybag. Sebuah modul praktis tentang budidaya sayuran dalam polybag akan disusun.

(3) Pelatihan “komposting” (Pengelolaan Limbang Sampah Rumah Tangga) untuk

Masyarakat: Setelah kegiatan penanaman sayur-mayur dalam polybag terlaksana, yang diperkirakan selesai pada akhir Maret 2011, kepada masyarakat diberikan pelatihan tentang komposting. Pelatihan ini menjadi penting karena disetiap kelompok ada agenda aksi bersama untuk membuat media kompos dengan memanfaatkan dana “cash grant”. Pelatihan dilaksanakan dalam 2 angkatan, masing-masing 1 hari.

(4) Workshop Pengorganisasian Kelompok: Ide perlunya kegiatan ini adalah

berdasarkan: Pertama, sejauh proses kegiatan berjalan di bidang pertanian maupun non pertanian belum pernah diberikan “penyadaran” awal yang mendasar tentang “pengorganisasian” kelompok. Kedua, sejauh ini pendekatan kegiatan bersifat sektoral (pertanian sendiri, non-pertanian sendiri, dll) sementara kelompoknya tetap satu. Ketiga, pada masa-masa akhir program muncul keinginan beberapa lokasi desa untuk melakukan semacam “jejaring” antar kelompok petani perempuan tersebut. Kegiatan ini sangat mendukung untuk pencapaian hasil kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas kelompok, terutama dalam hal mengorganisasi kelompok demi keberlanjutan kelompok di masa datang. Materi-materi yang dibahas antara lain: (1) Identifikasi hambatan-hambatan organisasi kelompok dan solusi mengatasinya, (2) Dasar-dasar pembukuan keuangan kelompok dan transparansi, (3) Inisiatif jejaring antar kelompok. Workshop dilakukan sebanyak 2 tahap masing-masing tahap lamanya 1 hari.

(5) Pembuatan Buku Panduan Budidaya Pertanian Pekarangan: Buku panduan yang berjudul ”Dari Pekarangan Sampai Ke Meja Makan” ini menjawab dan memperdalam upaya meningkatkan kapasitas para kader dan anggota kelompok dalam hal budidaya pertanian pekarangan dan pembuatan kompos. Buku panduan praktis ini yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar, diharpkan mudah dipakai oleh “agent-agent” (kader-kader yang pernah detraining) untuk menularkan pengetahuannya di tingkat kelompok (capacity building anggota kelompok).

(6) Pembuatan Film Tentang Budidaya Pertanian Pekarangan: Pembuatan film ini dilakukan karena berawal dari gagasan bahwa agar penyampaian training mengenai budidaya pertanian pekarangan dan pembuatan kompos tersampaikan

Page 13: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 12 dengan mudah, maka Nawakamal (atas inisiatif sendiri) mencoba membuat film yang telah diputar pada saat training sebagai media training. Ternyata setelah pelatihan para kader meminta film tersebut untuk di putar pada saat mereka mentransfer pengathuannya di kelompok, dan menurut para kader film ini mempermudah mereka dalam melakukan training di kelompok. Film yang berisi tentang “budidaya pekarangan dan tehnik-tehnik membuat kompos”, yang sangat mendukung pencapaian hasil berkaitan dengan pengembangan kapasitas para anggota kelompok. Frame “pemberdayaan” menjadi kata kunci sejak awal ketika Tim Nawakamal mendiskusi MERP-Pertanian ini. Pada dasarnya MERP-Pertanian adalah program “recovery” yang bersifat jangka pendek dan cepat. Namun dengan mempertimbangkan fenomena masalah di wilayah sasaran program, tidak hanya karena bencana erupsi Merapi saja, namun juga problem lingkungan dan tata kelola pertanian yang ada, maka Nawakamal sepakat membawa fram “recovery” ini menuju strategi “pemberdayaan”. Coverage area di 7 desa, 60 dusun, dengan 5.700 KK (representasi perempuan) sasaran, dengan program dasar budidaya pertanian organik di pekerangan bagi perempuan, bukanlah program kecil dan sepele. Dalam pandangan Tim Nawakamal jika program ini diragap dalam strategi pemberdayaan, bukan tidak mungkin dia akan menyumbangkan sebuah “gerakan” yang besar dan luar biasa tidak hanya bagi perempuan sasaran secara individual maupun kelompok petani perempuan yang dibentuk, namun juga menyumbangkan gerakan baru dalam pertanian pekarangan dalam komunitas basis petani di lereng Merapi.

Kendala-kendala utama yang dihadapi selama program berlangsung antara lain: (1) Kuatnya persepsi masyarakat (perempuan dan laki-laki) bahwa jika pertanian mau berhasil harus non-organik. Tidak mudah mengubah mindset mereka yang sudah mendarah-daging selama 40 tahun. (2) Besarnya kecenderungan pengaruh “kuasa” laki-laki terhadap perempuan sasaran program baik secara individual maupun kelompok. Ada unsur semacam ketidakpercayaan laki-laki terhadap perempuan bahwa perempuan mampu mengelola budidaya pertanian pekarangan secara organik, serta ketidakpercayaan bahwa perempuan mampu berorganisasi/berkelompok (kelompok tani perempuan) yang diberi kewenangan mengelola keuangan kelompok. (3) Warga lereng Merapi oleh karena bencana yang periodik sudah terbiasa dengan “bantuan”. Semua ini hanya “bantuan”. Oleh karena itu banyak sasaran program memiliki anggapan jangka pendek, bahwa ini sekedar bantuan setelah itu selesai. Beberapa capaian yang bisa dipetik dari implementasi program selama 5 bulan (Februari – Juni 2011) ini antara lain: (1) Lebih dari 80% KK (petani perempuan) berpartisipasi dalam penanaman sayur-mayur di pekarangan secara organik memakai media polybag. Jenis tanaman yang ditanam rata-rata antara 15 – 20 jenis tanaman. (2) Sebanyak 92 kelompok petani perempuan telah terbentuk. Melalui pemantauan yang dilakukan sebanyak 20% kelompok dengan performa baik, 48% kelompok performanya sedang, dan 27% performanya kurang. (3) Sebanyak 244 perempuan utusan kelompok (rata-rata 2 orang di setiap kelompok) yang telah dilatih setidaknya telah mampu menularkan pengetahuannya mengenai dasar-dasar budidaya pertanian pekarangan dan pembuatan kompos. (4) Lebih dari 70% KK sasaran program telah memanen budidaya sayuran di pekarangannya dan telah mengkonsumsi untuk keluarganya. Banyak perempuan mengatakan sayuran organik dari pekarangannya lebih “renyah” dan awet. Mereka juga mengungkapkan bahwa setelah memanen sayuran dari pekarangannya tersebut rata-rata mampu menekan pengeluaran rumah tangga antara Rp. 2000 sampai Rp. 3000 per hari. (5) Sebagian besar perempuan

Page 14: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 13 mengharapkan agar “program tidak berhenti di sini”. Bahkan dibeberapa desa telah tercetus inisiatif awal untuk membentuk “jejaring” kelompok petani perempuan. [■]

Page 15: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 14

Bagian 2 “Sebuah Kisah”

Suatu malam sehabis mahrib, sebuah keluarga petani di lereng Merapi makan malam di dapur bersma anak-anak dan suaminya. Sang ibu memasak sayuran caisin hasil dari pekarangannya. ”Weh...lha kok enak yo Bu. Krenyes krenyes seger..”, kata si suami (Wah enak juga Bu. Segar rasanya). Si Ibu menjawab bahwa sayuran itu berasal dari pekarangan mereka. Menurut pengakuan Ibu ini, sejak saat itu keluarganya semakin menghargai dan sering makan sayur hasil pekarangan mereka. Bermacam jenis sayur diolahnya, menunya ganti-ganti kadang caisin, kadang kacang panjang, kapri, dll.

Ini kisah yang amat sederhana. ”Sebuah Kisah Meja Makan” petani lereng Merapi.

Belakangan semakin banyak ibu-ibu kelompok petani organik pekarangan tersebut yang menceritakan hal serupa. bahkan kata mereka, mereka bisa lebih irit Rp. 3000 sampai Rp. 5000 per minggu karena tidak perlu beli sayur ke pasar atau warung. Fragmen ini ingin kami sebut dengan ”Kisah dari Pekarangan Menuju Meja Makan”. Anak-anak adalah salah satu penikmat kisah itu, sebab dia terpenuhi dengan makan yang lebih sehat serta asupan gizi cukup. Kisah ini merupakan fragmen kehidupan yang sudah cukup langka terjadi di lereng Merapi. Pasalnya adalah Pertama, sudah lebih dari 20 tahun sawah dan tegalan mereka terpolusi pupuk non organik. Kedua, pekarangan relatif tidak menghasilakan apa-apa apalagi pangan yang sehat. Ketiga, bencana erupsi merapi memaksa anak terpaksa sering mengkonsumsi mie instant.

Mari kita cermati secara lebih mendalam bahwa kisah sederhana ini mempunyai

dimensi yang sangat kuat dan luas. Perempuan dan Pekarangan bisa menjadi pendorong perubahan kehidupan keluarga yang bernuansa positif komprehensif. Pertama, pekarangan bisa menjadi ekpresi energi positif perempuan bagi keluarga, Kedua, hasil pekarangan bisa menekan pengeluaran keluarga untuk biaya konsumsi. Ketiga, konsumsi keluarga menjadi lebih sehat asupan gizinya tercukupi dan sangat baik untuk anak-anak. Keempat, jika hasil pekarangan bisa surplus setelah dikonsumsi akan bisa dijual guna menambah penghasilan.

Jika fragmen ”Kisah dari Pekarangan Menuju Meja Makan” bisa berjalan secara

berkelanjutan maka kita sedang melakukan gerakan yang sangat kuat melawan korporasi non-organik. Dan perlawanan itu dilakukan oleh perempuan, dari tempatnya yang paling ”dekat” dengan dia yaitu ”kerangan”.

Page 16: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 15 Dari Pekarangan Menuju Meja Makan7

Pangan sehat dan berimbang menganjurkan porsi yang besar untuk buah dan sayuran dalam menu harian anak. Hal ini menunjukkan bahwa sayuran mempunyai

Praktek pertanian modern harus diakui telah banyak membawa kelimpahan sehingga pangan dapat dengan mudah kita dapatkan. Pangan kemasan yang berasal dari industri makanan juga banyak tersedia di sekitar kita. Bahan pangan segar berasal dari lahan pertanian tersebut menjadi menu sehari-hari di meja makan kita, sementara makanan olahan industri seolah-olah mengepung kita dan menggoda anak-anak kita dan menjadikannya jajanan yang paling disukai.

Asupan pupuk kimia dan pestisida yang menjadi tumpuan kegiatan pertanian modern, saat ini menjadi sorotan tajam berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Sisa-sisa pestisida tidak hanya menempel tetapi juga meresap ke dalam hasil pertanian seperti sayuran sehingga tidak hilang ketika dicuci bahkan dengan air mengalir sekalipun. Cemaran ini jelas mengancam kesehatan keluarga kita. Hal yang sama terjadi pada bahan pengawet dan penambah rasa pada makanan olahan industri.

Anak merupakan kelompok paling rentan pada ancaman pangan yang tercemar tersebut, terutama pada usia emas antara 0–5 tahun. Pada usia ini, kecukupan gizi anak menentukan tumbuh kembang pada usia selanjutnya. Kelompok rentan yang lain adalah kelompok ibu, terutama ibu hamil dan ibu menyusui.

Pangan adalah hak dasar bagi setiap orang, namun pangan yang sehat adalah

keutamaan yang harus diperjuangkan. Gagasan tentang “Kisah Meja Makan” adalah langkah kecil untuk memperjuangkan pangan yang sehat senantiasa dapat tersaji di meja makan keluarga. Langkah kecil karena gagasan ini tentang pangan khususnya sayuran sebagai menu sehari-hari dalam jumlah dan variasi yang cukup untuk pemenuhan gizi keluarga. Langkah kecil karena upaya tersebut dapat dilakukan di tempat terdekat dari rumah yaitu: ”pekarangan”. Pangan Sehat Untuk Anak

Pangan yang sehat untuk anak adalah pangan berimbang yang memenuhi kecukupan gizi yang dapat mendukung tumbuh-kembang anak secara optimal. Pangan sehat dan berimbang dalam satu piring makan yang disajikan terbagi menjadi dua bagian yang sama. Satu bagian untuk biji-bijian dan protein dengan jumlah biji-bijian lebih banyak. Satu bagian lainnya untuk kelompok buah dan sayuran dengan jumlah sayuran yang lebih banyak. Tambahkan susu atau hasil olahan susu dalam menu harian anak bermanfaat untuk melengkapi kecukupan gizi anak.

Gambaran porsi di atas selain menunjukkan sumber pangan berimbang juga

asupan makanan dari masing-masing sumber tersebut untuk memudahkan dalam memastikan apakah yang dimakan anak dalam sehari sudah seimbang atau belum. Artinya, apakah dalam satu hari anak sudah makan buah dan sayuran dalam jumlah yang seimbang dibanding jumlah biji-bijian dan protein.

7 Ditulis oleh Tim Pendamping Nawakamal. Diambil dan diolah kembali dari buku ”Dari Pekarangan Sampai Ke Meja Makan” - Panduan Budidaya Pertanian Pekarangan MERP-Pertanian (Save the Children – Nawakamal, Juni 2011).

Page 17: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 16 peran yang sangat penting dalam pola makan harian anak. Manfaat sayuran terutama adalah menjaga sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem kekebalan dan sistem saraf. Pola makan kaya protein memberi asupan pada tubuh kita anti oksidan yang dapat mencegah penyakit seperti kanker, kelainan jantung dan stroke. Lebih dari itu sayuran mengandung berbagai mineral, vitamin, dan serat yang menjaga tubuh kita tetap sehat. Berbagai kandungan di dalam sayuran di atas tidak dapat digantikan oleh makanan suplemen ataupun vitamin-vitamin sintetik. Pertanian Organik Budidaya Pangan Sehat di Pekarangan

Budidaya tanaman sehat dilakukan secara organik. Pertanian organik adalah proses pertanian yang dilakukan secara alami dengan memanfaatkan sumber daya lingkungan, termasuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lahan. Sumber daya lingkungan yang dimaksud adalah potensi petani dalam mengolah lahan pertanian secara terpadu dengan keragaman tanaman dan ternak sehingga dapat dikelola secara berkelanjutan. Dari proses seperti ini akan terjadi suatu siklus yang saling menguntungkan antara tumbuhan dan hewan juga keterlibatan manusia sebagai pelaku usaha.

Tumbuhan dapat memanfaatkan sampah dan kotoran hewan untuk menunjang

pertumbuhannya. Hewan dan manusia dapat memanfaatkan hasil tumbuhan untuk menunjang kehidupannya. Budidaya secara alami dikelola tanpa adanya asupan kimia untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Kearifan lokal petani dalam menentukan pola tanam menjadi andalannya. Untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman diberikan pupuk kandang dari kotoran ternak dan kompos dari pengolahan sampah hijau/organik. Hama penyakit tanaman dikendalikan dengan cara rotasi tanaman dan keragaman tanaman serta pelestarian musuh alami. Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pangan yang dihasilkan melalui bertani secara alami mengandung nilai gizi, rasa dan tingkat keamanan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pola pertanian konvensional yang banyak menggunakan bahan-bahan kimia di dalam pupuk dan pestisidanya (Jaker PO, 2009). Mulai Dari (Pemanfaatan) Pekarangan

Pangan sehat dapat kita usahakan melalui budidaya organik tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida sintetik buatan pabrik. Pupuk dan pengendalian hama-penyakit sesungguhnya dapat kita buat sendiri dari bahan-bahan organik yang tersedia di sekitar kita.

Pekarangan merupakan ”alam mini” yang paling dekat dengan kita. Kita dapat memulai bersahabat dengannya melalui budidaya sayuran sehingga alam terdekat kita itu bisa mengambil manfaat tanpa resiko. Caranya adalah dengan menciptakan siklus alam yang seimbang. Gunakan bahan-bahan organik yang dapat membusuk untuk menyuburkan tanaman. Cari musuh hama agar tercipta rantai makanan. Pakai pestisida hayati (organik) agar tubuh tidak teracuni. Lihat sekitar! Manfaatkan bahan-bahan yang sudah disediakan untuk dikembalikan lagi ke alam, tidak usah membeli!. Dengan demikian kita dapat memperoleh manfaat zat gizi berupa vitamin, protein, mineral, lemak dan karbohidrat dari tanaman yang kita usahakan sendiri secara organik, bukan racunnya!

Jangan lupa memperhatikan cara memasak agar zat gizi yang sudah kita rawat

selama masa tanam tersebut tidak hilang dalam sekejap karena terlalu matang

Page 18: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 17 memasak. Masaklah dengan benar, lalu hidangkan sayuran tersebut di meja makan kita supaya dinikmati kelezatan rasanya dan kebaikan gizinya oleh anak-anak kita, diri kita sendiri, dan seluruh keluarga.

Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar

rumah tinggal dan jelas batasan-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan disini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi serta hubungan biofisika (Danoesastro, 1978).

Pada tahun 1970-1980 an masih sering kita jumpai pekarangan yang terpelihara

dengan baik di pedesaan. Di pekarangan tersebut terdapat berbagai macam tanaman tahunan seperti pepohonan beraneka ragam hingga tanaman semusim misalnya sayuran, empon-empon, dan tanaman umbi-umbian. Keberadaan pekarangan yang terawat baik ini sangat bermanfaat bagi pemenuhan pangan keluarga misalnya sayur dan umbi-umbian. Selain itu apabila kondisi pertanian sawah atau tegal yang diusahakan sedang dalam masa paceklik maka hasil pekarangan sangat membantu meringankan kesulitan keluarga.

Pekarangan rumah yang hijau selain berguna untuk memenuhi kebutuhan pangan juga sangat baik gunanya untuk memasok oksigen di lingkungan sekitar kita. Keadaan lingkungan kita menjadi segar. Aneka ragam tanaman yang ada di pekarangan bermanfaat pula untuk menyerap dan menyimpan air hujan melalui akar-akarnya. Ini mencegah kekeringan bagi sungai-sungai di sekitar pekarangan. Apabila sungai tersebut digunakan untuk pengairan sawah maka ketika musim kemarau tiba debit air tidak akan berkurang drastis.

Mulai tahun 1990 sampai sekarang pekarangan semakin sedikit ditemui.

Jikalau pun ada sudah tidak terlalu luas dan fungsinya hanya sebagai keindahan saja bukan sebagai penyumbang bahan makanan. Hal ini disebabkan karena bertambah padatnya penduduk sehingga kebutuhan ruang semakin tinggi. Selain itu, arus konsumtif mudah membeli sudah menjadi budaya sehingga orang-orang lebih suka kepraktisan dan serba instan.

Keadaan ini seharusnya menjadi perhatian bagi kita semua. Kemerosotan

kualitas lingkungan terlebih lagi pekarangan akibat budaya serba instan tersebut tangah kita rasakan saat ini. Ketergantungan kita terhadap produsen dan kuasa pasar membuat perekonomian kita terpuruk. Belum lagi menghadapi lingkungan yang telah rusak membutuhkan ketelatenan untuk memperbaiki. Upaya-upaya memperbaiki ekosistem tersebut sangat mendesak dan penting untuk dilakukan demi masa depan yang jauh lebih baik.

Kegiatan yang paling mudah dan dekat adalah menata ulang pekarangan

sebagai bagian integral tak terpisahkan dari sebuah hunian. Kegiatan ini dilakukan dengan dasar kesadaran kita akan pentingnya pekarangan yang mampu memenuhi fungsi pemasok bahan pangan, oksigen, resapan air dan estetika (keindahan). Jika hal ini dilakukan maka hunian yang ideal yaitu sebuah lingkungan manusiawi di mana manusia dapat menjaga dan berdampingan seimbang dengan alam dapat tercipta. Ke depan, suatu tatanan masyarakat baru yang berbudaya tinggi dan beradab akan terbangun dengan sendirinya.

Page 19: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 18 Selagi masih ada kesempatan untuk memperbaiki cara-cara bertani kita, mari

kita gali kembali kemampuan kita untuk menghasilkan pangan yang sehat demi memenuhi kebutuhan keluarga dan siapa saja yang megkonsumsi hasil “uluwetu” sawah, tegalan dan pekarangan kita. Mari kita selami bersama lautan pengetahuan dan kearifan yang bisa dijadikan sarana bertani, dan lebih jauh lagi sebagai sarana lelaku (perilaku) hidup sebagai titah yang sudah semestinya menghargai segala titah dalam perjalanan bersama menemukan kesejatian hidup. ”Mari bu, kita bergerak!” [■]

Page 20: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 19 Pestisida, Kanker, dan Kesehatan (Belajar Bersama Ibu-Ibu) Oleh: Maulana Paramitha

Penyakit kanker bagi masyarakat yang sudah tersentuh modernitas pastilah tak asing lagi. Tapi bagi ibu-ibu di lereng Merapi penyakit ini meninggalkan kesan mendalam. Bagaimana bisa dua orang perempuan di Dusun Tutup Duwur meninggal diantarkan oleh penyakit ini?. Fenomena inilah yang menggerakkan ketua PKK, dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pelatihan-pelatihan seputar pertanian organik sebelum program ini, mengagkat fenomena itu dalam pertemuan kelompok.

Pengetahuan para ibu anggota kelompok semakin terkentalkan ketika program ini berjalan. Secara bersama-sama kami mengidentifikasi penyakit ini secara simpel dalam ”bahasa” mereka. Kanker secara sederhana dipahami sebagai pertumbuhan abnormal dari sel-sel tubuh. Pemicunya bisa banyak hal misalnya makanan yang mengandung bahan pewarna, pengawet, dan penguat rasa. Tetapi mereka jarang mengkosumsi makanan kaleng, yang banyak mengandung zat pengawet, mie instan dan penyedap rasa masakan. Tentu saja mereka pernah mengkonsumsi makanan-makanan itu, namun tidak setiap hari. Kemudian perhatian mereka tertuju pada kegiatan pertanian yang selama ini dilakukan. Penggunaan pestisida untuk meracuni hama penyakit tanaman sangat akrab dengan mereka.

Penggunaan yang terus menerus dari masa tanam satu ke masa tanam berikutnya, dosis yang tidak tepat dan minimnya pengamanan saat aplikasi membuat mereka tercemar bahan-bahan toxic secara langsung. Belum lagi nantinya tanaman yang diperlakukan demikian itu toh juga dikonsumsi oleh mereka. Zat-zat dari pestisida kimia tersebut menjadi karsinogen dalam tubuh. Kemudian memicu tumbuhnya sel kanker. Kesimpulan diatas mungkin terlalu serta merta jika tidak terlalu terburu-buru menyeret kambing hitam. Namun belum ada kemungkinan lainnya. Demikian kanker meninggalkan jejak bagi masyarakat berupa kengerian dan rasa was-was.

Pengalaman yang mereka miliki sebelum program ini memudahkan penetrasi gagasan mengenai konsep dari pekarangan menuju meja makan yang membungkus program ini. Pembuatan kompos secara organik dan pengendalian hama menggunakan bahan-bahan alami untuk menghasilkan pangan yang sehat lebih mudah diterima saat diperkenalkan sebagai salah satu pencegahan penyakit kanker. Terlihat, ibu-ibu di kelompok ini lebih sering mempraktekan resep-resep pembuatan pestisida alami dan pupuk secara bersama-sama untuk merawat tanaman mereka.

Dalam konteks program ini, ibu-ibu sebenarnya mendapat alternatif dan tambahan pengetahuan serta pengalaman praktis yang melengkapi wawasan mereka sebelumnya untuk mencegah kanker. Kegiatan budidaya pertanian di pekarangan secara ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang sehat bisa menjadi salah satu solusi.

Namun demikian, solusi ini tidak begitu saja mudah diterima oleh semua ibu-ibu dengan kesadaran penuh. Ada batasan waktu dalam program namun ide ini harus ditawarkan kembali setiap saat. Bahwa dalam pelaksanaannya pun solusi tersebut masih menyisakan banyak pertanyaan. Mungkin ada yang berhenti ditengah jalan,

Page 21: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 20 mungkin ada yang tidak meneruskan. Karena apa yang dihadapi adalah hal yang tak kasat mata. Terornya bisa muncul tenggelam. Penantian bernama antisipasi mungkin akan sangat panjang dan tak terjawab. [■]

Page 22: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 21 Mes Penanda Amnesia Oleh: Johan Dwi Bowo

Masyarakat Sewukan, seperti juga masyarakat lain di lereng Merapi di Kecamatan Dukun umumnya, menafkahi hidup dari sayur-mayur yang ditanamnya. Cabai baik keriting maupun rawit adalah salah dua tanaman andalan mereka. Tanaman lain yang sering ditanam secara tumpang sari bersamaan dengan cabai antara lain adalah caisin, loncang dan sledri. Ada juga yang menanam cabai bersamaan dengan kubis ndog atau ketimun.

Sedari pagi buta sudah bersepatu berjalan atau berkendara menuju lahan mereka. Tidak sedikit yang pulang pada saat sore menjelang petang. Yang muda, yang lansia, seolah ketika matahari mulai terbit adalah penanda jam kantor dan menjelang siang ketika matahari di atas kepala adalah penanda istirahat siang dan setelah sejenak beristirahat –dan memasak bagi mereka yang perempuan-- mereka akan ngantor lagi. Penanda pulang kantor adalah petang pada saat matahari pelit bersinar. ”Kantore ten sabin niki”, kata ibu-ibu petani (kantornya di sawah ini).

Mereka meyakini bahwa sayuran luwih cepak duwite (cepat jual), butuh cash yang lebih cepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini pulalah yang selanjutnya melandasi kehati-hatian mereka dalam merawat tanaman dan menjadi salah satu penentu seberapa banyak luwih cepak mereka bisa benar-benar tersediakan. Oleh sebab itu, selain tahu bahwa pekerjaan sehari-hari sangat menyerap waktu, mereka memilih memakai asupan pertanian yang ces pleng.

Sebelum tahun 70an, mes (pupuk urea) tidak dikenal, uwuh (sersah sampah), limbah kacang tidak susah dikumpulkan dan menjadi pupuk handal pertanian sayuran. Dekade itu menjadi tanda peralihan pemakaian pupuk dan pestisida pabrikan yang notabene popular disebut pupuk dan pestisida kimia. Sebelum decade keramat itu, mereka bahkan tidak perlu menyemprot dengan pestisida-pestisida karena hama tidak seberapa. Cukup dengan memakai pupuk seadanya sayuran tumbuh subur.

Lain dulu lain sekarang, seakan lomba pacuan kuda, setiap petani sayur harus

mencambuk pantat kudanya kecang-kencang, merogoh dari koceknya dalam-dalam untuk mendapatkan asupan penyubur dan anti hama dalam jumlah banyak. Nek mboten ngoten mboten marem, nek mboten ngoten mangkeh omone do teko. (Kalau tidak begitu tidak puas. Kalau tidak begitu nanti hamanya berdatangan).

Ketika tanaman cabe dan tomat rusak, yaitu pada saat tanaman enggan hidup, enggan bertunas subur dan keriting dan bahkan ketika berbuah, buah yang digadang-gadang cepak justru menjauh dari impian di depan mata alias tanaman rusak dan sekarat, pertanyaan yang muncul selalu senada, obat apa yang mujarab? Ketika cabai diserang hama dan pada saat harganya rendah, cabai dibiarkan mengering di sawah. Obat yang sudah dipakai tak mampu mengubah nasib pembudidaya dan hilanglah investasi dan harapan dan tak jarang melarikan diri ke rentenir.

Sudah banyak jenis pestisida disemprotkan, sudah berkali-kali pupuk dibenam,

keriting dan pathek tetap saja ogah diusir. Untuk sekesuk tanaman cabai, dibutuhkan paling tidak masing-masing 50 kg mes (urea), TSP, KCL, ZA yang ternyata mereka yakini mempercepat tumbuh kembang tanaman namun sekaligus menjadikan tanah

Page 23: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 22 kehilangan cacing-cacing, menjadikannya bantat dan tandus (karena kandungan amonianya), pendeknya tanah menjadi mahluk yang sakit-sakitan dan tak sehat karena endapan racun yang tertinggal dan mikro organisme tanah yang mati.

Pemakaian pestisida – dan sering kali diberikan dalam jumlah yang melebihi

ukuran standar dan ketika praktek penyemprotannya tidak memperhatikan keselamatan diri - berakibat pada buruknya kesehatan pembudidaya maupun konsumen dan tidak jarang mengakibatkan kematian terutama pada pembudidaya (seperti kejadian di Ngablak, Magelang) serta menurunnya tingkat kesehatan lingkungan. [■]

Page 24: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 23

Bagian 3 Memberi Makna (Baru)

Atas Pekarangan Pekarangan, dalam sistem ekonomi masyarakat pegunungan, bagaikan sektor formal dan sektor informal dalam ekonomi perkotaan. Pekarangan dipandang substitute ekonomi sawah dan tegalan. Sektor informal dianggap “pinggiran” dari pada sektor formal. Tetapi ketika sektor formal hancur dan merugi karena krisis bencana, sektor formal dan pekaranganlah yang menopang kehidupan keluarga dan sistem kehidupan masyarakat lebih luas. Kapitalisasi dan modernisasi pertanian telah merenggut sawah dan tegalan menjadi arena penting ekonomi petani, dan semakin terdera karena kebutuhan dan biaya hidup yang meninggi. Pekarangan menjadi anak tiri dan ditinggalkan. Oleh karena itu bisa kita lihat, bahwa dikehidupan petani yang mempunyai pekarangan cukup luas pun, pekarangan terbengkalai seakan tidak memberi hasil apapun. Akibatnya ketika sawah dan tegalan menjadi “involutif” dimana hasilnya kurang memberikan nilai tambah akumulasi perekonomian keluarga petani, para petani seakan kehilangan orientasi ontologisnya dengan menjual aset tanah mereka. Pekarangan sama sekali “hilang” sebagai kultur material yang bisa dibangun kembali untuk menopang kehidupan. Pertanian organik di pekarangan dengan demikian mempunyai relevansi yang kuat dalam model ekonomi pertanian masyarakat lereng Merapi, atau mungkin juga masyarakat kawasan dataran tinggi lainnya. Namun menjadi sangat jelas, bahwa promosi pertanian organik di pekarangan bukanlah sekedar teknis tahapan-tahapan program yang “well-prepared” saja. “Memberi makna baru pekarangan” akan berhadapan dengan bangunan kultural yang ketat, yang perlu dibongkar kembali, kemudian ditata kembali dengan tahapan yang sabar, sambil diamati, diantisipasi, diberi makna baru pada setiap relasi kultural antara “perempuan” dan “laki-laki”. Memaknai relasi antara “pekarangan—keluarga—sawah/tegalan” kiranya mirip dengan memaknai relasi “perempuan—keluarga—lakilaki”. Gagal memaknai yang satu akan gagal pula membangun relasi yang lainnya. Itulah kiranya makna bahwa pemberdayaan dan penguatan masyarakat adalah juga kerja-kerja kultural.

Page 25: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 24 ”Pekarangan” Yang Terpinggirkan Oleh: Iskandar Lasao

Pekarangan merupakan sebidang tanah yang letaknya berada disekitar rumah. Di lahan pekarangan itu biasanya tumbuh berbagai ragam tanaman. Bentuk dan pola tanaman tidak dapat disamakan, tergantung selera dari pemiliknya. Pada lahan pekarangan itu pula ada yang memelihara berbagai hewan, mulai dari ikan sampai ternak besar seperti sapi dan lain sebagainya. Keragaman tanaman dan hewan peliharaan inilah yang memberikan nuansa tertentu pada lahan pekarangan. Lahan pekarangan merupakan kesatuan kehidupan yang saling menguntungkan. Sehingga segala sesuatunya termanfaatkan secara terpadu (tidak ada sesuatupun yang terbuang).

Sejarah bercerita bahwa pekarangan tidaklah sekedar berupa lahan ”pelataran”, tetapi juga memiliki fungsi-fungsi khusus, seperti di Jawa misalnya, jaman dulu pekarangan memiliki nilai yang sangat beragam selain untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, juga memiliki nilai estetika, sosial-budaya, kesehatan (sebagai apotik hidup, penyedia rempah-rempah dan tanaman obat lainnya) bahkan memiliki nilai religi seperti yang masih tampak pada pekarangan-pekarangan di Bali, dimana pada pelataran-pelataran rumahnya secara khusus diletakkan altar untuk sesembahan bagi para dewa (Andreas Maryoto, 2009; Kuntowijoyo, 2002 dalam Heri Priyatmoko, 2009; Wikipedia, 2011; Anonim, 2011)8

8 Beberapa Referensi: Heri Priyatmoko. 2009, "Orang Jawa Ilang Pekarangane" (

.

Selain yang disebutkan di atas, pekarangan pun memiliki nilai ekonomis. Petani pada jaman dahulu, ketika hendak memenuhi kebutuhan sandangnya misalnya, mereka biasanya cukup dengan menjual hasil panenan dari pekarangannya ke pasar. Tidak hanya itu, komoditas hasil dari pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga sekitar. Ketika memanen hasil pekarangannya, mereka biasa berbagi dengan tetangga. Lebih dari itu, setiap pekarangan sering dipakai oleh anak-anak kampung untuk bermain. Bagi masyarakat desa, pekarangan memiliki nilai sosial yang tinggi dimana dalam kasus-kasus tertentu mereka bisa memakainya untuk keperluan bersama.

Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah degradasi fungsi dari lahan pekarangan, hal ini sangat tampak, tidak hanya di masyarakat perkotaan tapi juga pada komunitas desa. Pertanyaan selanjutnya adalah sejak kapan lahan pekarangan kehilangan fungsinya? Dahulu kala masyarakat Jawa menganggap pekarangan termasuk rumah, sebagai wilayah sakral, yang tidak boleh diperjual-belikan, bahkan keberadaanya harus dilestarikan, dan diwariskan turun-temurun, dianggap sebagai tempat untuk pulang dan berkumpul keluarga besar pada musim-musim tertentu.

http://kabutinstitut.blogspot.com); Wikipedia. 2011 “Pekarangan” (http://id.wikipedia.org); Anonim. 2011 “Manfaatkan Pekarangan untuk Tanaman Pertanian”; Anonim. 2011 “Pemberdayaan Lumbung Pangan Masyarakat”

Page 26: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 25 Desakan ekonomi, peningkatan harga-harga kebutuhan, perubahan pola

konsumsi keluarga dengan maraknya makanan instan yang beredar di masyarakat menjadi tonggak utama perubahan fungsi pekarangan. Diperparah dengan masuknya program revolusi hijau yang mulai mengakar sekitar tahun 1970an sampai 1984an, dimana sejak itu pekarangan berubah sepenuhnya menjadi tempat pemenuhan kebutuhan ekonomi semata terutama untuk membangun warung dan kios. Sebab lainnya adalah ledakan penduduk yang luar biasa pada tahun-tahun tersebut, yang memberikan desakan yang luar biasa pada lahan pekarangan, sehingga pekarangan yang tadinya memiliki fungsi strategis sebagai lumbung hidup berubah menjadi rumah- rumah tanpa pekarangan (Anonim, 2011).

Demikianlah yang terjadi di lereng Merapi. Kecenderungan untuk mengejar

materi menjadikan konsentrasi penggarapan beralih sepenuhnya kepada lahan tegalan dan sawah, sehinga pekarangan semakin terabaikan. Meski pendapatan yang diperoleh dari lahan tegalan dan sawah melimpah, akan tetapi tidaklah mengubah tingkat kesejahteraan petani, karena untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarga selalu mengandalkan pasokan dari luar dusun. Petani menjadi tergantung pada pasar dan tidak lagi mandiri. Panen dijual hanya untuk membeli makanan, lebih dari itu, tanaman pangan lokal terancam punah.

Program untuk kembali memanfaatkan lahan pekarangan, dalam hal budidaya tanaman sayuran dipekarangan oleh perempuan, adalah solusi yang paling memungkinkan untuk dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan mikro keluarga. Sasaran target pelakunya adalah perempuan karena merekalah yang memiliki kontrol terhadap pangan dan gizi keluarga. Maka dengan demikian diharapkan pekarangan dapat dikelola melalui pendekatan terpadu berbagai jenis tanaman, ternak dan ikan, sehingga akan menjamin ketersediaan bahan pangan yang beranekaragam secara terus menerus, guna pemenuhan gizi keluarga. [■]

Page 27: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 26 Beberapa Kendala Budidaya Pertanian Dalam Polybag Oleh: Henu Pramujaka

Erupsi merapi membawa dampak kerugian yang luar biasa besar bagi warga di lereng Merapi khususnya di Kecamatan Dukun. Kerugian meteriil berupa rumah rusak, ternak mati, tanaman di sawah hancur baik tanaman yang siap panen maupun tanaman yang baru tumbuh, hijauan makanan ternak rusak tertutup abu dan pasir sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan. Kerugian lain adalah kondisi psikologis warga akan trauma hebatnya erupsi Merap yang meluluhlantakan kawasan lereng Merapi. Keadaan ini membuat lumpuh perekonomian warga di lereng Merapi khususnya warga di Kecamatan Dukun, yang sebagian warganya hidup dari usaha pertanian dan peternakan terutam ternak sapi an kambing.

Program pertanian pekarangan dari Save the Children yang diimplementasikan oleh Nawakamal sesungguhnya belum sampai pada substansi permasalahan warga lereng Merapi. Penyebabnya adalah kendala durasi program yang pendek. Keterlibatan warga dalam program sangat diwarnai perasaan kewajiban karena telah mendapat bantuan-bantuan lain berupa cash-grant. Sebenarnya tujuan dari program budidaya pertanian pekarangan sangat baik ketika warga belum bisa maksimal dapat kembali bekerja di sawah. Tujuan tersebut adalah bertanam sayuran secara organik untuk memenuhi kebutuhan pangan yang sehat bagi keluarga sehingga pemulihan awal warga lereng Merapi dapat tercapai dengan tercukupinya pangan bagi warga Merapi.

Dari pantauan atas partisipasi penanaman para sasaran program, lebih dari 80% warga sasaran program menanam sayuran dalam polybag. Tetapi hal ini tentu bukan tanpa masalah. Walaupun sudah diberikan pelatihan teknik budidaya dan komposting bagi kader maupun warga (yang dilakukan oleh para kader) pada tingkat kelompok. Kendala-kendala yang muncul pada pelaksanaan program ini antara lain, setelah tanaman ditanam intensitas pemeliharaan sangat kurang, terlihat banyak tanaman tidak terawat. Banyak sebab mereka tidak tekun merawat antara lain karena tenaga mereka banyak tersedot di sawah membantu suami mereka. Dari sawah inilah sumber utama ekonomi pertanian mereka.

Pada umumnya mereka akan melakukan apa saja tanpa memperdulikan lingkungan dan kesehatan jangka panjang, sebab yang penting agar sawah menghasilkan uang. Tetapi yang sering terjadi adalah justru kegagalan. Kendala lain adalah belum adanya kesadaran bagi warga akan kebutuhan pangan yang sehat dari pekarangan, sehingga setelah ditanam sebagian perempuan cenderung membiarkan. Barangkali mereka mau menanam hanya melaksanakan ”kewajiban” saja atau ”pekewuh” karena mendapatkan bantuan cash-grant, dan belum sampai pada kesadaran. Sehingga penanaman sayuran di pekarangan dikesampingkan.

Untuk mengubah pola pikir masyarakat dibutuhkan pendampingan dan penyadaran terus menerus secara berkelanjutan dan butuh waktu yang lama. Pendampingan yang berkelanjutan ini akan menjadi pondasi dasar yang kuat untuk kelanjutan budidaya sayuran secara organik dipekarangan agar menghasilkan pangan yang sehat bagi kebutuhan keluarga. Dengan pendampingan semacam itu diharapkan tumbuhnya kesadaran dan kebutuhan akan pangan yang sehat.

Page 28: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 27 Bagi warga yang tidak mempunyai tanah pekarangan atau sawah, sebagai contoh saja di sebagian anggota kelompok Kalibening Kulon, ini menjadi kendala tersendiri dalam kegiatan budidaya di polybag. Mereka terpaksa mengambil tanah dari kebun bambu milik salah satu warga Kalibening Kulon. Beliau dengan sukarela tanahnya diambil untuk mengisi polybag bagi sebagian warga, sehingga warga yang tidak mempunyai pekarangan atau sawah dapat melaksanakan budidaya sayuran dalam polybag. Ternyata tanah ini sangat subur, banyak mengandung unsur hara kalium dan phosphor, terbukti beberapa tanaman tumbuh subur, dan beberapa tanaman seperti gambas, pare, buncis dapat berbuah dengan baik9

Dari rangkaian program ini jika pendampingan dan penyadaran pada masyarakat dilakukan terus menerus niscaya akan menumbuhkan semangat masyarakat untuk mengolah sampah yang dapat menjaga lingkungan tetap sehat dan bersih yang akan menghasilkan pupuk organik. Pendampingan yang dilakukan

.

Jadi ketersediaan tanah merupakan faktor yang sangat menentukan dalam budidaya pekarangan dipolybag. Tidak masalah ketika warga mempunyai pekarangan tetapi menjadi masalah bagi warga yang tidak mempunyai pekarangan atau sawah. Barangkali keadaan ini dapat menjadi alasan untuk mencari alternatif lain cara-cara teknik budidaya sayuran di pekarangan, misalnya bagaimana dengan ide teknik hidroponik.

Dalam teknik budidaya secara hidroponik dapat digunakan media pasir yang tentu saja banyak terdapat di lereng Merapi. Adapun pupuk cair yang digunakan dapat menggunakan dari cairan pemgembangbiakan biang bakteri dari daun-daunan legume sebagai pupuk cair dengan kandungan nitrogen. Sedangkan pupuk cair yang mengandung unsur hara phosphor dan kalium dapat memakai cairan pengembangbiakan biang bakteri dari bahan-bahan bonggol pisang, rebung bambu dan buah-buahan matang yang hampir membusuk. Barangkali teknik budidaya hidroponik dapat memecahkan masalah keterbatasan media tanah sehingga program pertanian pekarangan dalam polibag dapat dilaksanakan oleh warga, khususnya warga yang tidak mempunyai tanah pekarangan.

Keberlanjutan budidaya sayuran dalam polybag secara organik sangat ditentukan ketersediaanya dan kecukupan pupuk organik. Kesadaran warga akan pengelolaan sampah rumah tangga dan lingkungannya belum maksimal sehingga ketersediaan pupuk organik tidak mencukupi. Tidak masalah bagi mereka yang mempunyai ternak sendiri. Seperti di Dusun Sidomulyo mereka sudah mempunyai tempat pengolahan kompos secara komunal, masing-masing rumah tangga juga mempunyai ember komposter sendiri-sendiri. Ketika ember komposter penuh dengan sampah rumah tangga maka masing-masing akan mengumpulkannya di tempat kompos komunal. Jika ini dilakukan dengan baik maka kebutuhan kompos untuk warga Dusun Sidomulyo akan tercukupi, tetapi yang terjadi belum ada kesadaran semua warga akan pengelolaan sampah dengan baik sehingga keberlanjutan program ini mengalami kendala. Sebenarnya pupuk organik tidak hanya terbatas pada kotoran ternak saja tetapi sampah rumah tangga daun-daunan tanaman disekitar kita juga dapat menjadi sumber pembuatan pupuk organik.

9 Dari catatan-catatan lapangan yang ada ditemukan sekitar 15 sampai 20 jenis variasi tanaman yang ditanam, seperti: kangkung, bayam, buncis, kacang panjang, kacang tanah, kacang koro, senerek, kacang ijo, kapri, sawi, lebor, caisin, tomat, berbagai jenis cabai, bunga kol, pare, gambas, ketimun, jahe, kunir, kencur, empon-empon, bawang merah, bawang putih, kemangi, sere, dll.

Page 29: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 28 Namakamal baru sebagian saja yang mampu menunbuhkan kesadaran pada warga akan kebutuhan pangan sehat. Paling tidak Nawakamal sudah berhasil memberikan pengenalan, pelatihan teknik budidaya dan komposting sehingga warga sudah melakukan penanaman sampai sudah ada yang menikmati hasilnya. Ini merupakan pondasi untuk pendampingan lebih lanjut sampai pada tingkat kesadaran warga akan kebutuhan pangan yang sehat. [■]

Page 30: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 29 Pesona Baru: “Pekarangan dan Pasar” Oleh: Bowo Nugroho Apa yang terjadi di dusun Gunung Sari, khususnya di RT 2, selama program MERP (Merapi Early Recovery Program) ini berlangsung, benar-benar menarik untuk di simak dari sisi dinamika atau pergerakan progresnya. Pada awalnya, ketika tahap sosialisasi berlangsung, apa yang terjadi di Gunung Sari sama dengan proses di dusun-dusun lain. Ibu-ibu di dusun ini menunjukkan antusiasme “greget” yang besar untuk melaksanakan program MERP. Namun sama juga dengan pertanyaan yang diajukan kepada dusun-dusun lain, kenyataan tersebut juga diliputi tanda tanya: “dari mana greget ini berakar”. Dari dana “cashgrant”kah? Atau memang dari gagasan pokok: “mencapai kemandirian pangan sehat untuk keluarga dari pertanian pekarangan” yang relatif sudah tertangkap dan tercerna baik? Pada kenyataannya dua sebab di atas memang terjadi di banyak tempat, setidaknya di wilayah Kalibening dan Gulon dengan prosentase yang hampir sama lebih didominasi oleh mereka yang dilandasi alasan “cashgrant”. Namun tampaknya dengan intensitas pertemuan kelompok yang cukup padat yaitu setiap tanggal 7 ada pertemuan khusus pertanian, dan dalam setiap minggunya ada 2 sampai 3 kali pertemuan untuk berbagai kepentingan yang sudah terselenggara sejak sebelum MERP masuk. Pertemuan mingguan itu membahas berbagai hal seperti PKK, Posyandu, dll dimana biasanya disinggung pula hal ihwal perkembangan budidaya pertanian pekarangan. Efek kesuksesan dalam praktik budidaya pertanian pekarangan telah menggeser alasan-alasan melaksanakan program dari orientasi cashgrant ke dalam wilayah-wilayah yang lebih beragam. Wilayah-wilayah tersebut adalah: Pertama, tentang pengelolaan sampah yang menjadi salah satu sesi tersendiri dalam kesempatan pertemuan kelompok. Obrolan berawal dari kebutuhan untuk pupuk ke depan jika program ini hendak terus dihidupi. Secara bersama-sama kelompok melihat bahwa dapur adalah sebuah “pabrik” bahan baku pupuk yang potensial, seperti: air leri, air kelapa, sisa sayuran segar, sabut kelapa, bungkus tempe, susu sisa (basi) bahkan urin sendiri, dengan tambahan modal gula. Maka tercetuslah niat untuk membuat ember komposter secara masal. Di tingkat kelompok kemudian dibuatlah anggaran untuk itu dengan kesepakatan bersama. Akhirnya ditetapkanlah hari untuk secara bersama-sama membuat komposter tersebut agar bisa dipastikan bahwa semua anggota membuatnya untuk dapurnya sendiri-sendiri. Warga umum (non sasaran program) juga diajak melihat situasi pekarangan. Banyak pekarangan yang tidak “tersapa” dengan ramah. Membuang sampah sembarangan membuat lingkungan tidak nyaman untuk dilihat, dan merusak lingkungan dengan sampah-sampah plastiknya yang menumpuk. Dan ada yang dilewatkan, bahwa sampah organik dari pekarangan adalah juga modal. Maka dibuatlah juga sebuah rencana untuk membuat lobang-lobang kompos di pekarangan (koen). Kedua model pengomposan tersebut terlaksana dengan baik dan sukses. Sebuah gambaran interaksi yang nyata dan saling menghidupi dalam ekosistem sebuah dusun antara manusia dan lingkungannya mulai tampak. Kedua, pada pertemuan-pertemuan berikutnya sebuah pertanyaan dimunculkan. Apakah keluarga terutama anak-anak sudah mendapatkan haknya atas pangan sehat dari usaha pertanian pekarangan ini? Kalau belum, apa yang bisa di

Page 31: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 30 buat? Maka direncanakanlah prosespenanaman baru, dengan jenis sayur yang lebih banyak. Pengurus menerima usulan-usulan jenis sayur yang ingin ditanam oleh anggotanya untuk kemudian dibelikan. Banyak anggota, meski tidak semua, yang kemudian menambah jumlah polybag untuk ditanami. Namun, bersamaan dengan progres ini, penyakit dan hama tanaman juga mulai bermunculan. Pestisida alami yang sudah pernah di buat tidak lagi mujarab karena sudah terlalu lama kedaluwarsa. Lalu kelompok berinisiatif mengagendakan untuk membuat lagi secara bersama-sama pestisida organik yang baru. Memang ada perubahan signifikan tanggapan dari anggota, namun ada pula yang tidak bergeming. Lalu, sebuah inisiatif muncul. Di antara beberapa warga yang mulai redup gregetnya, ada beberapa yang lain yang berinisiatif memperkuat pemupukan tanamannya dengan larutan dari rendaman kotoran kambing. Meskipun hama tidak bergeming alias masih ada, namun dengan intensitas pemupukan seminggu tiga kali, ternyata mampu mendongkrak produktifitas sayuran. Prestasi ini cukup kuat memberi alasan untuk melanjutkan memberi semangat bagi anggota yang sudah “redup”, dan bahkan mengembangkan program secara lebih bersemangat. Ketiga, kepuasan batin. Rasa puas ini bisa dirasakan ketika melihat “wajah” tanaman yang menghijau subur dan gemuk. Kepuasan ini yang kemudian oleh satu dua warga menjadikannya semacam “kalangenan” yang aneh. Terong yang sudah saatnya di panen sengaja tidak dipanen karena “pesonanya yang memikat”. Rasa puas juga dirasakan ketika ternyata muncul gejala baru di beberapa keluarga: anak-anak bahkan ada juga bapak-bapak mulai senang makan sayur. Tidak hanya senang memakannya tapi juga memeliharanya: menyiram, memupuk, mencari media tanam, dan lain-lain. Sebuah dinamika yang cukup “gayeng” (semangat dan senang) terjadi. Di kalangan ibu-ibu tumbuh kepuasan yang lain lagi, yang ini lebih kuat dampak progresnya. Ceritanya begini, ada seorang ibu, tetangga ibu Waginem (warga RT 2 Gunung Sari), bekerja di salah satu toko milik orang Cina di Muntilan. Suatu hari ibu ini bercerita tentang apa yang terjadi di dusunnya kepada sang pemilik toko, bahwa ada kegiatan ibu-ibu di dusunnya yaitu menanam sayur di pekarangan secara organik. Sang pemilik toko tertarik dan memesan salah satu hasil sayuran yaitu tomat, sesuai yang diceritakan si ibu ini, yaitu: “tomat milik bu Waginem tetanggaku bagus-bagus loh Koh!”. Serta merta si empunya toko memberi uang Rp 10.000,- untuk memesan 2 Kg tomat. Karena produksi bu Waginem belum banyak maka pesanan tomat di kirim dalam 2 tahap setiap 4 hari. Bersemangatlah Ibu Waginem akan kenyataan ini. Lantas ia berencana menambah lokasi penanaman sayuranya. Dan memang kebutuhan sayuran organik ini sudah tampak nyata di konsumen-konsumen. Akhir bulan Juni 2011 lalu, Ibu Waginem sudah mengalokasikan lahan sayuran seluas + 100 M2 . Yang sempat terungkap dari beliau adalah; “Ya, siapa tau apa yang saya tanam ini bisa untuk nambal gagal panen yang sudah dua kali di sawah..” Rupanya pesona produksi (baca: rupiah) menyengat pula kepada tetangga yang lain. Beberapa keluarga lain mulai memperluas lahan sayurannya dengan membuat pagar-pagar bambu seukuran ketersediaan lahan pekarangannya sendiri. Bahkan ada pula, ibu Sulini namanya (warga RT2), telah menambah dan membeli sendiri polybag sebanyak 2 Kg (120an lembar) katanya mau untuk membuat “pabrik” sayur. Beliau telah menitipkan sayuran tersebut di warung tetangganya. Ada juga yang menjual sayurannya di warungnya sendiri seperti yang dilakukan Ibu Mudah warga RT3.

Page 32: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 31 Dari kasus-kasus kecil di atas maka (mungkin) bisa diambil refleksi bahwa di samping alasan-alasan terpenuhinya kebutuhan pangan sehat di “meja makan” keluarga, lebih dari semua itu ada “pesona rupiah” yang tampaknya mulai menjadi pesona dan memikat warga sasaran program10

10 Warga kelompok-kelompok di Dusun Windusari juga pernah mengungkapkan hal yang serupa dimana mereka sudah sering didatangi bakul (para pengepul) yang ingin memesan atau membeli sayur-sayuran hasil pertanian pekarangan ini.

. Tampaknya memang itulah “kutup magnet” yang paling kuat menggairahkan dan dicari di jaman yang serba berebut ini. Akhirnya, menjadi tantangan bagi kita untuk membuat kutub-kutub magnet yang lainnya, demi keseimbangan dan keutuhan kemanusiaan petani kita terhadap linkungan alamnya. [■]

Page 33: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 32 Ibu-Ibu Semakin Bersemangat Oleh: Iskandar Lasau

”Geger” Merapi pada erupsi 2010 lalu memberikan dampak yang luar biasa

bagi kehidupan masyarakat sekitar lereng Merapi. Tampak jelas keterpurukan kegiatan ekonomi dan kegiatan pertanian masyarakat, terutama pada daerah yang masuk dalam ring satu Kawasan Rawan Bencana 3 (KRB-3). Berangkat dari masalah tersebutlah, kemudian bermunculan berbagai macam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergerak untuk masuk ke wilayah-wilayah tersebut, paling tidak untuk meringankan beban derita yang dirasakan oleh masyarakat.

Salah satu dari sekian banyak yang masuk adalah lembaga Save the Children

dengan berbagai ragam program, diantaranya adalah program pertanian yang terfokus pada upaya pemanfaatan lahan pekarangan, dengan tujuan agar warga sasaran mampu memenuhi kebutuhan pangan keluarga, karena hal tersebut satu-satunya yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Lahan utama mereka yaitu sawah dan tegalan (ladang) belum bisa diolah.

Wilayah Kecamatan Dukun merupakan salah satu sentra pertanian utama yang

mensuplai kebutuhan sayuran untuk daerah pulau Jawa dan sekitarnya, seperti col, kenthang, bawang merah, caisin, kacang panjang, kapri, dll. Ketika terjadi erupsi Merapi 2010, lahan-lahan pertanian mengalami kerusakan yang parah, sehingga memerlukan waktu yang agak lama untuk pemulihannya. Hal tersebut berdampak pada peningkatan harga-harga sayuran dipasaran.

Sebagai salah satu sentra penghasil sayuran yang utama, pertanian dilereng

Merapi cukup diperhitungkan. Yang menjadi permasalahan adalah ketika pengolahan lahan pertanian yang berorientasi pada upaya untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka yang terjadi adalah pacu produski yang berlebihan, sehingga kebutuhan tanah akan ketersediaan haranya cenderung terabaikan. Lalu yang terjadi kemudian adalah suplay bahan-bahan kimia yang luar biasa banyak guna memacu produksi. Gambaran sejauh mana produk pupuk non-organik ini merasuki para petani di lereng Merapi bisa dilihat di artikel lain di dalam buku ini.

Dari Sawah ke Pekarangan

Program yang dilakukan berimplementasi pada upaya mendekatkan sumber air ke pemukiman, beasiswa bagi pelajar , dan pertanian, semua kegiatan diawali dengan pembagian cash grant. Kegiatan pertanian sendiri yang dilakukan bertumpu pada perhatian akan kebutuhan pangan yang sehat buat keluarga, terutama anak-anak, dan pilihan sasaran kegiatan yang dilaksanakan ditujukan pada ibu-ibu/ kelompok perempuan, dengan asumsi bahwa perempuan/ibu adalah individu yang paling dekat bersinggungan dengan kepentingan anak.

Program pemanfaatan lahan pekarangan dengan konsep pertanian ramah

lingkungan dan sehat tersebut dilakukan dalam berbagai tahap kegiatan, mulai dari pelatihan-pelatinah, pengorganisasian, hingga pada pengelolaan keuangan dan pembentukan jaringan antar kelompok.

Ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok perempuan, pada awal kegiatan

tampak sangat antusias untuk melakukan kegiatan pertanian pekarangan, hal itu bisa

Page 34: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 33 dipahami karena pertanian sehat yang ramah lingkungan merupakan model baru yang diperkenalkan pada lahan sempit pekarangan mereka, satu-satunya wilayah netral yang dianggap aman dari pengaruh pupuk kimia. “Entah” hal ini dilakukan sebagai akibat/ dorongan dari cash grant atau memang tersemangati oleh keinginan hidup sehat dengan makanan sehat yang didapat dari pertanian sehat yang diolah dengan cara yang sehat.

Respon dari para ibu sangat baik terhadap kegiatan pertanian yang dilakukan,

terutama ketika dibenturkan dengan penghematan ekonomi, rasa dan kesehatan pangan. Hampir semua anggota kelompok sasaran kegiatan ketika ditanyakan komentarnya tentang hasil dari pertanian pekarangannya akan mengatakan bahwa rasa dari hasil pertanian yang dilakukan sangat berbeda dengan yang dipanen dari sawah atau tegalan, ataupun yang dibeli dari eyek (pedagang sayur keliling). Dimana rasanya lebih enak, gurih dan ketika disimpan-pun sayuran akan tahan lebih lama, jika dibandingkan dengan yang dipanen dari sawah ataupun yang dibeli dari pedagang keliling. Dengan hasil dari pertanian pekarangan tersebut mereka mengaku dapat menghemat pengeluaran sekitar Rp. 2.000,- hingga Rp. 3.000,- per hari.

Seleski alam membuktikan bahwa tidak sedikit dari anggota kelompok yang

tergerak untuk mempertahankan model atau cara-cara bertani sehat tersebut, misalnya ketika muncul anggapan bahwa pertanian pekarangan adalah sebagai hiburan, klangenan, yang memiliki nilai estetika untuk mempercantik pekarangan sehingga berdampak pada perlakuan tanaman yang ditata membentuk taman misalnya. Akan tetapi menjelang akhir kegiatan tampak dengan jelas banyak dari anggota kelompok yang semangatnya agak kendur untuk menjalankan program pertanian pekarangan.

Melihat respon dari anggota kelompok yang beragam terhadap kegiatan

pertanian pekarangan tersebut, menjadi ironi ketika semangat bertani pekarangan yang sehat menjadi kendur, sementara kalau dianalisa berdasarkan rasa, penghematan ekonomi, dan nilai estetika tanaman pekarangan tersebut sangat menguntungkan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Berdasarkan pada kenyataan itu maka, kami bisa menyimpuklan beberapa hal sebagai berikut:

• Semangat pertanian pekarangan yang dikelola dengan cara yang sehat dan ramah

lingkungan tersebut didorong oleh karena adanya bantuan berupa cash grant, dan ketika bantuan tersebut habis, maka semangatnya juga mengikuti. Dengan artian semangat pertanian pekarangan tersebut didorong oleh rasa/keinginan balas jasa kepada ”pihak” yang telah memberikan bantuan.

• Pertanian yang sehat melewati beberapa tahap yang dianggap sulit dan berbelit-belit, mulai dari penyiapan lahan sebagai media tanam, perawatan dan lain sebagainya.

• Pengelolaan pertanian pekarangan merupakan hal baru yang bukan merupakan kebiasaan mereka pada umumnya.

• Fungsi sekunder pertanian pekarangan, dimana perhatian utama sebenarnya tetap pada pengelolaan pertanian lahan sawah/tegalan. Dalam artian pertanian pekarangan menjadi perhatian kedua setelah lahan sawah/tegalan. Dan kebiasaan harian mereka yang sebagian besar waktunya dihabiskan dilahan sawah/tegalan, dan ketika pulang kerumah, biasanya sudah capai, dan semangat untuk ngopeni pekarangannya jadi terbengkalai.

Page 35: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 34 Terlepas dari berbagai persoalan seperti yang disebutkan diatas, setidaknya

kegiatan yang dilakukan telah meninggalkan kesan yang baik dalam alam pikiran para ibu/anggota kelompok, sampai pada tahap yang sebelumnya tidak dipekirakan, dimana beberapa diantara mereka telah berani mencoba pada lahan yang lebih luas (sawah/tegalan) misalnya. Embrio-embrio seperti inilah yang kemudian dirasakan perlu untuk mendapat perhatian lebih lanjut dalam rangka upaya untuk mempertahankan bara pertanian sehat yang sudah ada agar tetap panas, sehingga sewaktu-waktu diharapkan bisa menyala, lalu menjalar kemudian menjangkiti idnividu-individu lainnya. []

Page 36: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 35 “Pekarangan”: Tidak Sekedar Lahan Di Sekitar Rumah (Sebuah refleksi) Oleh: Bowo Nugroho

Apa yang sudah kita lakukan untuk alam yang telah menopang hidup kita?

Jika ditilik lebih dalam, program pertanian pekarangan yang telah dijalankan di kawasan lereng Merapi di kecamatan Dukun, ada sebuah pesan bahwa pekarangan adalah sebuah kawasan yang padat nilai. Jika diurai nilai-nilai yang nampak antara lain yakni nilai ekonomis, nilai ekologis yang dekat dengan nilai spiritual, juga nilai kultural. Kalau mau lebih jauh bahkan nilai politis pun tersentuh.

Nilai ekonomis dapat dipahami sebagai sebuah potensi yang jika digali mempunyai output ekonomis yang signifikan. Membicarakan nilai ekonomis ini pun sebenarnya dapat terkait dengan nilai kultural. Secara kultural cara pandang kebanyakan warga adalah lahan sawah-lah yang paling dapat menjadi andalan ekonomis. Maka sebagian besar waktu dan perhatian terarah pada lahan yang dirasa lebih produktif. Semangat “mengeruk” rezeki dari sawah dipertaruhkan dengan menghabisi waktu sehari di lahan. Berangkat jam 06.30 atau 07.00 pagi sampe jam 05.00 sore. Di sela-sela waktu tersebut, jam sekitar 11:00 atau 12:00 sampai jam 13:00 atau 14:00 siang, mereka pulang untuk Luhuran dan makan siang lalu istirahat sebentar.

Bagi sebagian warga yang bekerja sebagai “buruh tani” dan menggarap lahan orang lain maka daya dorong energi aktifitas bertani mereka akan menjadi semakin besar. Mereka harus berbagi hasil dengan sang empunya lahan. Jika hasil panen mereka sedikit, semakin sedikit pula hasil yang akan mereka peroleh. Jelaslah sesungguhnya mereka tidak mau ini terjadi. Maka dengan segala upaya mereka mengusahakan hasil yang sebesar-besarnya. Jika yang digarap adalah lahan sendiri daya dorong mereka antara lain adalah bahwa mereka akan berupaya mengeluarkan banyak modal untuk menghidupi lahan yang harapannya dapat menghidupi mereka. Modal harus kembali dengan hasil yang minimal impas.

Daya dorong atau keinginan lain yang samar-samar terungkap adalah kebutuhan untuk menjadi setara secara ekonomi dengan tetangga-tetangga. “Hawa” persaingan cukup pekat di kalangan mereka, dengan harapan dapat lebih percaya diri tampil di mata sesamanya. Disisi itu muncul pula di depan mata mereka kebutuhan-kebutuhan yang mendesak seperti uang jajan anak, uang sekolah dengan segala keperluannya, uang belanja harian, uang sosial (nyumbang), uang rehap rumah dan sebagainya.

Selama ini hasil lahan sawah dengan berbagai cara (yang dimaksud adalah cara-cara non-organik) telah terbukti dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan itu. Maka tak pelak lagi bersandarlah mereka pada “sawah”. Perhatian dengan segala wujudnya dan waktu tercurah penuh di sana. Namun di sisi lain, disadari atau tidak, sebenarnya mereka telah kehilangan sesuatu. Sesuatu yang sangat penting bagi manusia: “Kemerdekaan”. Merdeka untuk mempunyai cara pandang yang berbeda, merdeka untuk menentukan sendiri cara hidup, cara menikmati hidup yang lebih manusiawi.

Page 37: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 36 Kepentingan-kepentingan yang bermuatan ekonomis telah merampas kesempatan mereka untuk berelasi mesra dengan tetangga. Misalnya saja –seperti yang terjadi di beberapa tempat di Kalibening Kulon-- yang bisa menggambarkan akan situasi tersebut adalah “tidak hidup” lagi forum-forum RT untuk sekedar berkumpul membahas sesuatu. Atau kalaupun ada, di banyak tempat, forum-forum tersebut di cemari oleh sentimen-sentimen atau sejarah relasi yang buruk antar anggota warga masyarakat. Sehingga gagasan-gagasan baru sulit tumbuh dan berkembang di kalangan warga ini. Jika ada lontaran-lontaran gagasan dari warganya sendiri lebih sering tidak ditanggapi untuk kemudian dipertajam atau diperkuat menjadi gagasan-gagasan yang dapat menjadi dinamika perubahan mereka.

Kesempatan untuk menikmati waktu luang, mengasah kreatifitas, menghidupkan imajinasi-imajinasi, angan-angan atau mimpi-mimpi juga telah terampas dari mereka. Waktu mereka telah dihabisi oleh tuntutan mengejar “sesuatu” yang tidak dapat menjamin hidup semakin berkualitas sebagai manusia kecuali secara ekonomi. Atau “sesuatu” yang lebih menjerat dari pada memerdekakan. Harga “manusia” sungguh dipertaruhkan di sini. Manusia yang berbudaya. Manusia yang dapat menggenggam hari-hari dan masa depannya sendiri, sebagai petani tentunya.

Memang sudah tidak terelakkan lagi adanya kebutuhan untuk misalnya membiayai kebutuhan pendidikan dan sebagainya yang bersifat mutlak yang adalah konsekwensi dari penganut peradaban ini. Namun sungguh mengenaskan ketika yang menjadi pertaruhan adalah harga kemanusiaan. Manusia merdeka yang sekaligus adalah hanya bagian dari alam. Ketika manusia memahami dirinya hanyalah sebagai bagian dari alam, itu akan mendasari cara pandangnya atas alam yang harus dipelihara, dikelola, agar dapat menghidupinya, untuk kesejahteraanya. Bukan kesejahteraan yang “njomplang”, berat sebelah, sebuah kesejahteraan yang di sisi lain melekat kekejaman pada alam atau lingkungannya. Sebuah kesejahteraan yang dikeruk secara kejam dari alam.

Manusia (baca “petani”) merdeka sebenarnya mengemban fitrah sebagai pelestari alamnya, ruang hidupnya sendiri, ruang hidup yang di dalamnya ada pula sesamanya yang harus juga dirangkulnya untuk sama-sama sejahtera karena juga sama-sama bagian dari alam. Ruang hidup yang penuh makna manusiawi, adalah ruang untuk benar-benar menghayati keseharian sebagai berkah-berkah luar biasa dari “Sang Pencipta”. Di sinilah nilai spiritual menjadi nampak. Ketika hidup di dalam sebuah ruang di sadari sebagai berkah luar biasa dari Sang Pencipta maka rasa syukur bukanlah basa basi di ruang-ruang doa dan kesempatan-kesempatan dakwah. Namun sebuah kenyataan yang menyentak hatinurani, yang menelorkan sebuah aksi penuh gairah mengemban misi hidup: memelihara alam ciptaan yang adalah ruang hidupnya sendiri.

Tidak mungkinlah jika kesadaran sudah mencapai keserasian dengan alam manusia akan begitu saja berlaku kejam terhadap alam. Memupuk dan menjejali lahan dengan bahan kimia misalnya, atau memandang sebelah mata pada pekarangan –yang juga sebagai bagian ruang hidupnya sendiri-- dengan membiarkannya kotor oleh sampah-sampah atau membiarkan nganggur terbengkalai. Banyak hal dapat dilakukan di ruang ini untuk menambah kualitas-kehidupan. Suatu gagasan yang dapat menjadi alternatif untuk, setidaknya, meretas kungkungan budaya “ekonomis” tersebut adalah

Page 38: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 37 gagasan untuk “pekarangan”11

11 Pada akhirnya pekarangan tidak lagi menjadi kawasan di sekitar rumah namun sebuah ruang hidup yang akhirnya menyentuh wilayah yang lebih luas: lahan. Maka kemudian kita sebaiknya menerjemahkan kata pekarangan di sini sebagai “lingkungan” sebagai jalan kecil menuju kemerdekaan manusia.

. Maka mengelola pekarangan bukan lagi sebuah aktifitas yang dibaca terpisah dari laku hidup harian namun sudah sertamerta disentuh sebagai bagian dari rasa syukur atas ruang hidup, atau setidaknya tampak di mata sebagai ruang hidup yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusiawi yang penuh.

Jika kesadaran sudah suntuk sampai di situ maka pesan-pesan ekologis, ekomomi humanis dan spiritual akan mudah ditangkap dan dipahami pagi petani lereng merapi, petani umumnya, dan juga kita. [■]

Page 39: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 38 Belajar Bersama Petani Merapi: ”Membangun Mimpi Dari Pekarangan” Oleh: Kristina Wahyu Tri.S.

Keterlibatan saya dalam program ini diawali dengan kesanggupan saya untuk

berbagi tentang budidaya pertanian organik (sejauh saya tau tentu saja). Hanya itu saja alasan utamanya, tanpa saya tahu tentang siapa dan kepentingan apa di balik program yang dinamai Merapi Early Recovery Program ini. Akhirnya saya tahu bahwa sponsor program ini adalah Save the Children- sebuah LSM internasional yang sangat terkenal. Bersama kawan-kawan lain dari Nawakamal (selanjutnya disingkat Nawak) dan Rumah Pelangi (selanjutnya disingkat RP) saya bergabung dalam program ini sejak awal Februari sampai dengan akhir Juni 2011. Bersama kawan yang lain, saya dilibatkan dalam agenda persiapan hingga tindakan pendampingan di lapangan.

Pada saat mempersiapkan program ini saya terlibat dalam beberapa diskusi

dengan kawan-kawan Nawak dan RP. Dari serangkain diskusi itu saya mendapat pemahaman bahwa pertama, program ini merupakan sebuah jawaban bagi masalah kebutuhan pangan yang urgen di kalangan komunitas bencana erupsi Merapi, terutama diperuntukkan bagi keluarga yang memiliki balita dan ibu hamil (yang tentu saja membutuhkan kecukupan gizi yang tinggi). Bagaiamana program ini dapat memberikan sumbangan untuk menyediakan kebutuhan pangan dan gisi yang paling mungkin, baik secara waktu maupun sumber daya, mengingat situasi yang terjadi dalam komunitas bencana secara umum memprihatinkan. Kedua, program ini juga memiliki misi untuk mengembangkan budidaya pertanian yang sehat dan ramah lingkungan, yaitu pertanian organik dikalangan komunitas Merapi. Mengajak mereka untuk mengenal dan mempraktekkan tata kerja pertanian organik di pekarangan mereka. Kawan-kawan, dan juga saya, merasa bahwa momen saat ini sangat tepat untuk memperkenalkan sebuah perubahan.

Pada pertengahan Febuari 2011, saya pertama kali mendatangi komunitas

Merapi. Adalah komunitas di Dusun Tutup Dhuwur dan Ngentak Sumber yang saat itu saya jumpai. Bukan pribadi per pribadi yang saya temui pada saat itu, namun saya ”berjumpa” dengan kelompok-kelompok warga. Saya merasakan bagaimana mereka mengalami sebuah goncangan hidup yang besar karena bencana Merapi pada Oktober-November 2010. Seperti mereka ceritakan kepada saya, bahwa mereka baru saja pulang dari pengungsian. Sisa-sisa kebingungan mereka juga masih sangat tampak, ”…panen Lombok dan kubis kami gagal karena hujan abu, dan ternak kami juga banyak yang mati ..ludes karena peristiwa kemarin… kami sungguh tak tahu mau mulai dari mana….”, begitu ungkap salah seorang warga dengan tidak bersemangat. Sepanjang saya mendengarkan mereka, saya bisa merasakan ungkapan-ungkapan lesu dan nglokro tentang penghidupan mereka yang telah rusak.

Bersama kawan- kawan, saat itu saya datang untuk melakukan koordinasi

dan pemantauan penyaluran bantuan bagi warga Dusun Tutup Dhuwur, Ngentak Sumber (yang berupa uang tunai Rp. 500.000 per KK, Rp. 200.000 untuk pertanian, dan Rp.190.000 untuk kas kelompok) yang distribusikan oleh petugas Kantor Pos Muntilan. Saya melihat bagaimana bantuan itu sangat berarti bagi mereka. Seperti layaknya orang menerima ”rejeki nomplok”, raut wajah mereka menunjukkan harapan dan semangat.

Page 40: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 39 Barangkali uang yang telah mereka terima membuat harapan mereka tumbuh,

pikir saya. Sederhana saja. Tapi sekelebat pikiran di benak saya saat itu justru terbayang bagaimana mereka memanfaatkan bantuan yang mereka terima. Ini intinya. Inilah tugas sebenarnya yang akan saya lakukan bersama teman-teman. Mengkoordinasi dan memantau komunitas menerima bantuan pasti lebih mudah, namun mengajak mereka menggunakan bantuan secara efektif demi kelanjutan hidup mereka yang panjang, justru akan lebih sulit. Uang biasanya mudah menjadi lenyap, tidak sebanding dengan kemungkinan kehidupan mereka yang tentu lebih panjang dan (mungkin) tak pasti.

Belum lagi terbayang betapa sulitnya mengajak mereka mengubah kebiasaan

bertaninya, dari pertanian konvensional menjadi pertanian organic seperti pada diskusi awal program sebelumnya. Ini adalah tantangan magis tersendiri. Seperti diketahui, jika masyarakat Indonesia umumnya, termasuk di Merapi tidak lagi paham pertanian organik. Apapun pikiranku tentang mereka, aku tetap bersama dalam ide semula: menyediakan kebutuhan pangan bergizi, dan memperkenalkan tata kerja pertanian organik kepada mereka.

Ide praktis yang disepakati adalah mengajak mereka mengembangkan

pertanian minimalis berbasis pekarangan dengan menggunakan disiplin organik. Saya bersama kawan-kawan mulai melaksanakan agenda: menyelenggarakan pelatihan gelombang I tentang pengelolaan pekarangan dan pengomposan dilakukan pada 18-19 Maret 2011 di Ngentak , dilanjutkan pada gelombang II pada 21-22 Maret 2011 di Sewukan Tegal. Sekitar 150 kader petani perwakilan dusun-dusun turut serta dalam kegiatan tersebut. Secara umum mereka terlihat bersemangat mengikuti setiap proses tersebut. Beberapa peserta mengaku pernah mengikuti kegiatan serupa sebelumnya, sehingga mereka merasa lebih mudah mencerna pelatihan ini. ”Saya pernah ikut pelatihan organik, tapi saya merasa lebih mudah kali ini, karena lebih gampang, bahan mudah dicari dan tersedia, tak seperti dulu yang hanya penuh rumus dan beberapa bahan harus membeli,” begitu ungkap ibu Sri salah seorang peserta pelatihan berupaya mebandingkan.

Namun juga ada beberapa peserta yang merasa sulit, ”Wah begini ini mumet…

lebih mudah beli obat yang sudah jadi.., gampang”, begitu ungkap salah seorang peserta pelatihan. Saya tidak terkejut, karena pikir saya ungkapan semacam ini pasti akan muncul namaun tidak sedikitpun mengurangi semangat saya untuk berbagi dengan mereka. Saya paham dengan situasi mereka yang sudah terlalu lama dengan budi daya pertanian konvensional (non-organik). Apapun komentar yang kami dapat, saya dan kawan-kawan tetap optimis.

Setelah pelatihan diberikan, maka tahap selanjutnya adalah tahap

memperkenalkan praktek budidaya tanaman secara organik. Tahap pertama adalah mengggunakan tanaman-tanaman berumur pendek (kurang dari 1 bulan) seperti bayam, kangkung darat, sawi yang dipilih sebagai tanaman budidaya. Jenis tanaman itu dipilih mengingat kebutuhan sayur yang mendesak dan supaya dapat segera dinikmati. Selanjutnya tanaman-tanaman yang relatif berdurasi panjang (bisa dipanen berkali-kali) seperti kacang-kacangan, tomat, terung dan lombok menjadi episode budidaya selanjutnya. Mengingat media di lingkungan komunitas sedang mengalami gangguan karena matrial abu Merapi, maka budi daya dikembangkan dengan menggunakan polybag. Bagi yang memiliki pekarangan budidaya dilakukan pada

Page 41: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 40 lahan yang mereka miliki, namun bagi yang tidak memiliki pekarangan maka budidaya dilakukan secara kelompok dalam lahan bersama.

Proses kegiatan budi daya terus berjalan, dan akhirnya menampakkan hasil.

Pada awal bulan Mei 2011 sebagian besar warga komunitas telah merasakan keberhasilan budi daya oragniknya melalui panen perdama. Dalam pertemuan-pertemuan dengan komunitas mereka mengungkapkan bahwa mereka merasa budidaya organik yang dilakukan ini lebih memberikan hasil daripada budi daya yang sebelumnya mereka lakukan. Mereka juga berkomentar tentang bahwa rasa sayuran yang mereka tanam lebih enak. Inilah kelegaan saya. Ungkapan mereka adalah apresiasi bagi saya yang menyembuhkan segala kelelahan lantaran wilayah jajahan dampingan yang begitu luas serta spektrum variasi-variasi yang sangat beragam baik dari sudut individual maupun kelompok.

Dari ungkapan mereka tentang model budi daya ’baru’ dan optimisme yang

terbentuk tergambar sebuan keinginan ke depan, bahwa mereka akan mengembangkan pertanian ini tidak hanya di polybag tetapi juga akan melanjutkan di lahan sawah. Saya menjadi yakin bahwa kerja bersama kawan-kawan dalam pendampingan ini tidak sia sia, dan mulai dar sinilah kerja panjang sesungguhnya akan dimulai! Mereka memiliki pengetahuan dan mungkin kesadaran baru yang lebih sehat bagi kelangsungan hidup mereka. [■]

Page 42: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 41

Bagian 4 Kelompok Petani Perempuan dan

Bayang-Bayang ”Kuasa” Laki-Laki

Di masyarakat lereng pegunungan Dieng sisi Utara, tepatnya di pegunungan Petungkriyono Pekalongan Selatan, masyarakat petani di sana mengenal ”tanduran lanang” (tanaman laki-laki) dan ”tanduran wadon” (tanaman perempuan). Ekonomi utama masyarakat di sana ditopang oleh tanaman bawang merah dan bawang daun. Rupa-rupanya kedua jenis tanaman ini dikategorikan ”tanduran lanang”, lantaran menopang terkuat perekonomian keluarga. Tanaman lain seperti kapri, kacang panjang, jagung, ketela, dll adalah ”tanduran wadon” milik perempuan, yang lebih kecil daya jualnya karena lebih banyak untuk konsumsi internal keluarga. Padahal sumbangan perempuan di semua jenis tanaman sama inten-nya dengan laki-laki.

Saudara dari masyarakat pegunungan Petungkriyono yaitu masyarakat lereng Merapi, nampaknya mempunyai gejala kultural yang sama. Sumbangan tenaga, pikiran, dan energi perempuan tetap saja merupakan materi substitute (pendukung) ”kuasa” laki-laki. Sawah dan tegalan di lereng Merapi menjadi ”arena kuasa” laki-laki, sebab dari situ ekonomi keluarga ditopang kuat. Arena perempuan adalah pekarangan, sebuah wilayah substitusi eknomi pertanian lereng Merapi. Hasil pekarangan dipandang tidak ekonomis, karena kalaupun ada lebih ditujukan untuk urusan konsumsi domestik keluarga.

Pembedaan yang nampak sepele tersebut ternyata memiliki bangunan akar kultural yang kuat, yang mengatur pola relasi perempuan dan laki-laki, mengatur cara pengambilan keputusan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Kelompok perempuan petani pekerangan organik dengan demikian tetap saja di bawah ”bayang-bayang” kuasa laki-laki. Di beberapa kelompok dan individu yang mengendor semangatnya sangat terlihat bahwa mereka ”tidak percaya” bahwa iniatif yang dilakukan perempuan ini akan memperoleh hasil, atau akan diamini secara penuh oleh laki-laki. Pada kelompok dan individu perempuan yang tetap semangat mengembangkan model pertanian pekarangan, maka nampaknya ada dua gejala. Pertama, para perempuan tersebut sampai pada titik kesadaran bahwa pertanian pekarangan ini ”penting”, dia merupakan arena ekspresi perempuan, dan para perempuan ini mampu meyakinkan keluarga mereka bahwa sayuran keparangan ini lebih enak dan mengurangi biaya rumah tangga.

Yang ingin disampaikan dalam beberapa tulisan berikut adalah, bahwa relasi perempuan--pekarangan—laki-laki bukan sekedar relasi teknis program semata. Tahapan program dan hal-hal teknis hanyalah ”pemicu”. Pemicu serangkaian dialog kultural antara perempuan dan laki-laki dengan media pekarangan serta segala ekses rentetannya seperti kepercayaan diri perempuan (self-esteem), sharing pengalaman antar perempuan (shared value), penghargaan laki-laki terhadap ekspresi perempuan (acceptable), dll. Teman-tema yang disebut terakhir itulah yang amat menarik untuk diikuti, dipelajari, dan diperkuat (empoewring) arah perjalanannya.

Page 43: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 42 Hebatnya Daya Lentur Perempuan Merapi Oleh: Guntur Prabawanto

Saya masih ingat benar kejadian waktu itu, suaranya gemuruh, abu tebal menutupi langit, keadaan sangat kacau dan menakutkan. Semua warga sudah berkumpul di lapangan volli. Gema takbir terdengar dari mulut warga yang berkumpul saat itu. Kami dievakuasi pada malam itu juga. Saya menggendong anak saya dan saya menyuruh suami saya menggendong nenek saya untuk masuk ke truk evakuasi yang sudah disediakan. Saat itu, saya hanya berpikir supaya kami bisa selamat. (Dituturkan oleh seorang dampingan Nawak untuk Program Pendampingan Pertanian Organik Erupsi Gunung Merapi).

Peristiwa Traumatis Kata trauma sering kita dengar dari televisi, radio, media cetak bahkan percakapan sehari-hari. Pasca Erupsi Merapi sering kali media massa cetak ataupun televisi memberitakan bahwa banyak warga yang tinggal di sekitar Gunung Merapi mengalami trauma. Ada juga seorang ibu bercerita bahwa ia sempat ‘trauma’ apabila mendengar suara gemuruh.

Pada umumnya, orang mengungkapkan kata ‘trauma’ untuk menjelaskan efek dari peristiwa yang dahsyat seperti Tsuami maupun erupsi Merapi serta bencana alam lainnya. Dalam bahasa ilmiahnya, reaksi yang muncul setelah peristiwa traumatis adalah ‘stress’. Stress menunjukkan sebuah kondisi tertekan setelah terjadi suatu kejadian traumatis. Peristiwa traumatis biasa didefinisikan sebagai kejadian yang mendadak serta diluarbatas kemampuan manusia untuk menghadipinya (Terr dalam Web 2004).

Secara langsung ataupun tidak langsung sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki resiko besar untuk mengalami peristiwa–peristiwa traumatis. Hal ini dipengaruhi letak geografis dan alam Indonesia yang sangat rentan mengalami bencana alam seperti erupsi Merapi. Khusus dalam kasus ini, masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Merapi adalah masyarakat yang sangat rentan mengalami resiko besar peristiwa traumatis. Hal ini dikarenakan sudah diakui banyak pihak bahwa Gunung Merapi adalah termasuk dalam kategori gunung teraktif di dunia. Selain itu, Gunung Merapi juga mengalami siklus erupsi dalam kurun waktu 4 – 5 tahunan. Sejarah mencatat bahwa setiap kali sedang mengalami erupsi, Gunung Merapi pasti akan membawa korban material ataupun nyawa. Reaksi Psikologis Reaksi psikologis masyarakat korban terhadap suatu peristiwa traumatis sangatlah beragam. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, seperti: karateristik individu, sistem sosial yang ada, pengalaman traumatis sebelumnya, dan apakah masyarakat (individu) mengalami langsung atau tidak langsung peristiwa tersebut. Kakteristik individu yang berpengaruh adalah usia, kemampua kognitif, status sosial, dan pengalaman trauma sebelumnnya ( Webb, 2004). Selain itu, sistem sosial yang ada dan berkembang di dalam masyarakat juga sangat berpengaruh. Sistem sosial yang dimaksud adalah karakteristik budaya yang ada, keluarga, pendidikan, dan spiritualitas. Individu yang mengalami peristiwa traumatis secara langsung tentu saja lebih rentan dibanding yang tidak mengalami langsung. Dan, apabila ia sebelumnya mengalami peristiwa traumatis maka ia juga

Page 44: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 43 lebih rentan untuk mengalami trauma berulang. Akan tetapi, ada beberapa hal yang khas yang membuat perempuan lebih tahan mengahadapi peristiwa traumatis dibanding orang dewasa dalam menghadapi peristiwa traumatis. Kekhasan kekuatan perempuan dalam menghadapi peristiwa traumatis dalam tulisan ini saya sebutkan dengan istilah ”kelenturan”. Dalam bahasa psiologisnya disebut sebagai resiliensi atau daya lentur. Resiliensi merupakan kemampuan individu dalam meminimalisir dan mengatasi dampak buruk bencana. Pengertian lain dari resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatte, 2002). Daya Lentur Perempuan Merapi Dari cuplikan cerita seorang ibu di atas kita dapat membayangkan bagaimana situasi pada saat itu yang sangat kacau, panik dan mencekam. Saya sangat yakin bahwa pada kondisi seperti itu pasti banyak orang mengalami histeris dan tidak bisa mengendalikan diri. Biasanya, pada situasi yang seperti itu orang tidak sempat berpikir tentang orang lain karena dalam dirinya sedang terjadi suatu pergolakan ketakutan yang sangat luar biasa. Satu hal yang membuat saya terkesan dari cerita seorang ibu yang mengalami peristiwa itu adalah ia masih bisa berpikir tentang anak dan neneknya. Peristiwa ”tindakan” menggendong anaknya dan menyuruh suaminya untuk menggendong neneknya adalah suatu peristiwa yang menunjukkan bahwa ia masih bisa memikirkan orang lain. Dalam perjalanan waktu hampir 4 bulan berkenalan dengan ibu – ibu korban erupsi Merapi pada program pendampingan pertanian organik polybag bersama Nawakamal, semakin meneguhkan asumsi saya bahwa perempuan lebih memiliki daya lentur dalam mengalami situasi abnormal (kebencanaan). Peneguhan itu dapat saya lihat dari semangat ibu–ibu dalam menjalankan program ini. Mereka selalu bisa meluangkan waktu untuk berkumpul, menyiapkan polybag untuk ditanami sayuran dan merawatnya. Selain itu, para ibu – ibu sangat bersemangat dalam menjalankan program ini. Di saat yang bersamaan saya melihat dan merasakan bahwa para lelaki (suami) mereka masih mengalami down karena lahan mereka yang belum bisa digarap secara optimal.

Diakui ataupun tidak para perempuan tangguh lereng Merapi yang mengikuti program ini sudah menggerakkan roda kehidupan keluarga mereka yang sedang terpuruk. Menurut saya, aktivitas merawat tanaman yang ada di dalam polybag adalah salah satu bentuk terapi yang sangat baik bagi masyarakat korban Merapi. Dikatakan tepat karena program ini sesuai dengan kearifan lokal yang ada dan sesuai dengan kehidupan mereka, yaitu: bertani.

Program pertanian organik dalam polybag di pekarangan yang dilaksanakan

Nawakamal dan diikuti oleh para perempuan korban erupsi Gunung Merapi selama 5 bulan ini (Februari – Juni 2011), bisa berjalan dengan baik adalah salah satu potret dan fakta tentang ”daya lentur dan kekuatan perempuan”. Sekali lagi, sebagai perempuan sekaligus juga petani, pada prinsipnya mereka tidak bisa tinggal diam menunggu saja sampai sawah dan tegalan mereka ”berbuah”. Harus ada yang mereka pertahankan agar dapur tetap ”megepul” meski dalam kondisi trauma (yang mungkin) belum selesai. [■]

Page 45: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 44 Tak Selamanya Statis Oleh: Sanna Sanata

Banyak yang berpendapat bahwa lembaga masyarakat di tingkat desa bentukan pemerintah tidak dinamis, apalagi lembaga itu adalah lembaga yang dikelola oleh dan untuk perempuan. Hal ini disebabkan oleh fakta di lapangan yang menunjukkan lembaga bentukan pemerintah seperti PKK banyak mengalami kemandekan dalam menjalankan program-programnya. Hanya saja perlu dipastikan mengapa hal tersebut dapat terjadi, sehingga kita tidak salah tafsir dalam menilai permasalahan tersebut. Memang sebenarnya tidak semua lembaga buatan pemerintah itu statis. Hal itu tergantung dari kualitas sumberdaya manusia yang ada di dalamnya. Dan ternyata kualitas tersebut sampai saat ini masih belum mencapai harapan.

Alasan dikatakan lembaga di masyarakat statis banyak dikemukakan oleh para agen pemberdaya masyarakat. Menurut mereka pendekatan yang dilakukan oleh pengurus lembaga bentukan pemerintah biasanya sangat bersifat top-down sehingga semua anggota sangat bergantung pada atasan. Selain itu kegiatan yang dilakukan cenderung monoton hanya itu-itu saja.

Kita kadang kala sering terjatuh di lubang yang sama dalam mengatasi masalah ini. Karena kita selalu ingin membentuk lembaga baru di masyarakat, yang lebih baik dari yang sudah ada. Padahal apabila tidak disiapkan kualitas SDM yang matang terlebih dahulu maka hasilnya akan sama saja. Artinya perbaikan secara fisik kelembagaan tidak akan menyelesaikan masalah, yang terpenting adalah kualitas kelembagaan tersebut.

Dalam program pertanian pekarangan yang dikembangkan Nawakamal atas dukungan Save the Children ini, sosialisasi program dan penyuluhan pertanian menggunakan kelompok perempuan yang sudah ada salah satunya kelompok PKK. Lembaga tersebut ternyata menjadi lebih "hidup" setelah adanya program pertanian pekarangan karena kelompok-kelompok perempuan di masing-masing desa di dampingi dalam mengelola kelompoknya. Selain itu juga dilakukan pelatihan yang berkaitan dengan upaya mengelola pertanian di pekarangan. Dalam pelatihan tersebut kelompok wanita dilatih untuk mandiri baik secara teknis pertanian maupun dalam mengelola kelompoknya. Semua itu ditempuh demi menciptakan kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik.

Kelompok perempuan di dusun-dusun dan desa di wilayah Kecamatan Dukun –sebagai lokasi program pertanian pekarangan ini-- sebenarnya telah memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengelola kelompok. Hanya saja mereka tidak memiliki kemauan untuk mengaplikasikannya. Dengan adanya upaya pendampingan yang kontinyu kelompok-kelompok perempuan tersebut jadi memiliki gairah untuk memajukan kelompoknya.

Pemerintah bukan berarti tidak memberikan perhatian terhadap masalah ini. Sebenarnya pemerintah sudah banyak meberikan pelatihan kepada kader bagi kelompok-kelompok perempuan tersebut. Akan tetapi tidak ada pendampingan dan tindak lanjut, akibatnya kelompok-kelompok tersebut akhirnya mengalami staknasi. Oleh karena itu hendaknya semua pihak mampu bekerja sama dalam membangun lembaga di masyarakat desa karena melalui wadah ini lah cita-cita pembangunan masyarakat secara menyeluruh dapat terwujud. [■]

Page 46: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 45 Kenapa Untuk Perempuan! Oleh: Iskandar Lasau

Bencana letusan Gunung Merapi 2010 telah memporak-porandakkan lahan-

lahan pertanian sebagai penopang hidup utama bagi hampir seluruh warga yang bermukim diseputaran lereng Gunung Merapi dalam radius + 20 km dari puncak. Dari sekian banyak pemukiman di lereng Gunung Merapi terdapat beberapa wilayah yang mengalami dampak terparah, salah satu diantaranya adalah wilayah Kecamatan Dukun, terutama pada tujuh desa yang persis masuk dalam lingkaran Kawasan Rawan Bencana 3 (KRB-3) dan satu desa di Kecamatan Salam yang yang masuk dalam wilayah aliran lahar dingin deposit lontaran dari kawah Gunung Merapi. Kedelapan desa yang dimaksud adalah Desa Babadan, Desa Paten, Desa Mangunsuko, Desa Keningar, Desa Ngargomulyo, Desa Sumber, Desa Kalibening, di wilayah Kecamatan Dukun dan beberapa dusun di Desa Gulon Kecamatan Salam.

Berangkat dari permasalahan di atas maka hadirlah Save The Children (StC)

yang bekerja sama dengan Nawakamal, masuk ke wilayah-wilayah KRB-3 tersebut, dengan tujuan utama membantu para korban erupsi Merapi menyediakan pangan sehat melalui kegiatan pertanian pekarangan. Support yang diberikan kepada warga erupsi Merapi antara lain pembagian beasiswa kepada siswa berprestasi dan kurang mampu, upaya untuk mendekatkan sumber air ke pemukiman-pemukiman penduduk, dan pembagian Cash Grant sebanyak Rp. 890.000 yang diberikan kepada 5.700 keluarga yang tersebar di delapan desa yang disebutkan di atas. Cash Grant tersebut masih dibagi lagi dalam tiga bentuk utama yaitu Rp. 500.000 dibawa pulang untuk dikelola langsung oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; Rp. 200.000 untuk kegiatan pengelolaan pertanian pekarangan; dan Rp.190.000;00 yang diperuntukkan bagi peningkatan ekonomi keluarga. Dana untuk pengelolaan pertanian pekarangan dan peningkatan ekonomi keluarga dikelola secara khusus oleh kelompok perempuan.

Kelompok perempuan dipilih sebagai sasaran program dikarenakan beberapa

hal diantaranya, kelompok perempuan adalah kelompok yang paling dekat bersinggungan dengan anak-anak sebagai generasi pelanjut, lebih dari itu kelompok perempuan adalah kelompok yang dirasa paling gampang untuk didekati dan diajak berpikir tentang upaya-upaya peningkatan kapasitas keluarga.

Pada awal-awal kegiatan, ada beberapa dari tokoh dusun yang

mempertanyakan “Kenapa bantuan tersebut dikhususkan kepada perempuan dan atau kelompok perempuan? Kenapa tidak kepada laki-laki saja yang nyata-nyata sebagai tulang punggung penopang keluarga..!!!”. Dari komentar-komentar senada, bisa dipastikan jika sebenarnya terdapat keraguan dari para laki-laki, apakah kelompok perempuan bisa mengemban amanat yang dibebankan tersebut. Tetapi ketika dijelaskan bahwa pangkal dari kegiatan, terutama pertanian dikhususkan kepada kepentingan anak-anak, dan yang paling dekat berurusan dengan hal itu adalah kaum perempuan, dengan demikian maka sebagian para laki-laki (suami) tersebut sedikit banyak bisa dipahami.

Kecamatan Dukun, seperti juga kecamatan lain di lereng Merapi di Magelang,

adalah wilayah dengan asupan pupuk kimia yang luar biasa banyak pada lahan pertaniannya. Tantangannya adalah bahwa kegiatan pertanian di delapan desa yang dimaksud di atas lebih bertujuan untuk memberikan asupan pangan yang sehat

Page 47: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 46 kepada keluarga. Pangan yang sehat hanya bisa didapatkan apabila pertaniannya dikelola dengan cara-cara organik. Sementara itu kegiatan yang dilakukan terfokus pada pengelolaan-pemanfaatan lahan-lahan pekarangan yang notabene selama ini kebanyakan terbengkalai. Bisakah lahan pekarangan diandalkan sebagai penopang pangan keluarga selama menunggu lahan sawah dan tegalan bisa diolah kembali?

Ide yang lebih besar adalah menyuntikkan ide-ide tentang pertanian organik

meskipun dimulai dari pekarangan, kemudian merambah ke ”arena” lebih luas yaitu sawah dan tegalan. Beberapa kasus di setting awal program ini telah mengalami distorsi kesalahpahaman pemaknaan dari bantuan yang diberikan, dimana sejak awal –di sebagian besar dusun—tampak sekali keterlibatan laki-laki terutama para pengurus dusun yang mencoba mengarahkan pendapat para perempuan. Kesan yang kemudian muncul adalah bahwa bantuan tersebut apapun jenisnya, seolah-olah menjadi hibah untuk dusun.

Ketika program telah berjalan sekitar dua bulan, distorsi pemaknaan tersebut

mulai nyata dimana dana-dana bagi kelompok perempuan tersebut sebagian diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan di luar pertanian. Seperti yang terjadi di Dusun Karanganyar, misalnya, dana bantuan untuk kelompok perempuan akhirnya digunakan untuk membeli sebidang lahan yang kemudian ditanami dengan pohon sengon, dan sisanya digunakan untuk membangun rumah santri, dalam pengelolaannya kemudian diserahkan kepada otoritas dusun. Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa akses kelompok perempuan terhadap aset-aset tersebut menjadi sangat terbatas, alias tidak di tangan ”kuasa” perempuan (kelompok perempuan).

Distorsi pemahaman tersebut juga di beberapa dusun yang lain seperti

Ngandong dan Gemer. Sebenarnya oleh karena dana tersebut adalah milik kelompok perempuan maka perputaran asset seharusnya ada dalam kendali kelompok perempuan, sehingga nantinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tersebut. Kasus di dua dusun yang disebutkan terakhir tampak terjadi pada mekanisme penggaduhan ternak. Sistem bagi hasil yang disepakati adalah sistem maro (bagi sama rata 50%:50%), dimana keuntungan yang diperoleh dibagi rata antara penggaduh dan yang menggaduh setelah dipotong modal awal untuk digulirkan kembali dengan ternak yang baru. Pada sistem ini keuntungan yang diperoleh kelompok tersebut lalu dimasukkan dalam kas dusun, dengan demikian maka akses kelompok perempuan pada asset yang dimasukkan ke kas dusun menjadi sangat minim (untuk tidak mengatakan ”hilang”!).

Terlepas dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas, terdapat juga

banyak respon yang baik terutama yang berkaitan dengan pengelolaan pertanian pekarangan oleh sebagian besar warga di Kecamatan Dukun. Pertanian organik di pekarangan merupakan hal baru sebuah tawaran konsep pengelolaan lahan pertanian yang sehat, aman, murah, dan ramah lingkungan. Sebagai hal baru maka sensasi dari tanaman organik benar-benar merasuk ke hampir semua sasaran program penerima cash grant. Hal ini tercermin ketika ditanyakan tentang rasa dari tanaman yang ditanam di pekarangan misalnya, rata-rata mereka akan menjawab bahwa rasanya enak, gurih, “kriuk-kriuk” (sebuah ungkapan dari ekspresi rasa senang).

Lebih dari itu terdapat beberapa hal yang diluar perkiraan, misalnya yang

terjadi dibeberapa keluarga yang menganggap pertanian pekarangan tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, akan tetapi juga memiliki nilai

Page 48: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 47 estetika. Bahkan beberapa diantaranya menganggapnya sebagai klangenan yang harus dirawat dengan baik. Respon seperti inilah yang diharapkan akan berpengaruh menular pada pengelolaan lahan yang lebih luas yaitu sawah dan tegalan. [■]

Page 49: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 48 Ancaman “Intervensi” Laki-Laki (Sebuah Studi Kasus) Oleh: Maulana Paramitha. Pemikiran Kartini tidak sehidup namanya sampai saat inipun, dimana semua hal bergegas dalam gerak semu kehidupan menuju apa yang dinamai baik, maju, dan berkembang. Banyak orang bilang Kartini lahir berabad-abad lebih awal dari yang seharusnya. Namun ternyata kini kita tahu bahwa waktu tidak linier. Secara sederhana, apa yang terjadi sekarang mempengaruhi apa yang terjadi di masa lampau. Karena konstruksi gender masih menjebak sampai sekarang kartini hadir di masa lalu sebagai inspirasi.

Sekarang kita masih sering menemui perilaku-perilaku yang mengekspresikan peran yang dituntut untuk dilakukan sebagai konsekuensi atas jenis kelamin yang dipunyai. Peran-peran itu bukan keniscayaan kodrat atas jenis kelamin itu namun tak lebih dari harapan-harapan yang dikonstruksi lingkungan yang ditempelkan saat seorang manusia lahir. Simone de Beauvoir bilang bahwa perempuan itu dibuat bukan dilahirkan, one not born as a woman but became one.

Jika bukan kodrat ilahiah berarti peran atas jenis kelamin tertentu itu tidak

mutlak. Kita boleh saja tidak memenuhi harapan-harapan itu. Artinya, jika dengan kesadaran yang lebih tinggi kita merasa peran-peran yang diharapkan itu melanggar eksistensi kita sebagai manusia yang sama maka kita patut menolaknya. Diskriminasi dalam hal memperoleh kesempatan misalnya, harus kita perjuangkan. Stereotip negatif terhadap jenis kelamin tertentu mestinya direduksi. Sebaliknya, jika kita merasa itu tidak perlu maka bisa jadi kita ini cetakan sempurna dari konstruksi gender. Jika demikian, kita yang ada di masa kini harus melihat kebelakang.

Kartini hadir dimasa lampau menjadi mercusuar bagi masa sekarang ini. Ia

serupa sorotan cahaya terang benderang ditengah gulita samudra yang tak tepermanai. Pemikirannya seharusnya menjadi pencerahan dari permasalahan kesetaraan gender yang sampai kini tak juga terurai. Tapi mercusuar itu kian samar jika tidak dilupakan.

Di pelosok Merapi, dan mungkin di banyak tempat lain, masih bisa dijumpai

perilaku-perilaku yang sangat bias gender. Mengawal kegiatan ini, pada pertengahan februari yang lalu saya melakukan penetrasi ke sasaran. Saya mengunjungi kelompok wanita dan perangkat Desa. Disamping kulanuwun saya juga bertujuan untuk memperolah gambaran umum mengenai Dusun dan Desa sasaran dari perangkat Desa ini. Berjumpalah saya dengan Kaur Pembangunan yang juga menjabat sebagai Ketua Gapoktan Desa Sumber. Dia seorang laki-laki, dan menyayangkan mengapa bantuan diberikan kepada ibu-ibu yang menurutnya tidak mengenal pertanian sebaik bapak-bapak.

Ibu-ibu akan melakukan budidaya ala kadarnya, karena pengetahuan yang

kurang dan banyak pekerjaan rumah, sehingga hasilnya tidak maksimal. Akhirnya bantuan modal itu akan bablas begitu saja tanpa jejak. Menurut dia sebaiknya modal diberikan kepada bapak-bapak petani yang sudah memiliki pengetahuan budidaya pertanian lebih baik sehingga modal pasti kembali dan dapat diputar terus. Jika tujuannya adalah untuk anak-anak, modal tersebut juga relevan diberikan ke bapak-bapak. Bapak-bapak pasti berhasil membudidayakan tanaman dengan baik sehingga

Page 50: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 49 hasilnya maksimal. Keuntungannya tentu saja akan dinikmati keluarga, termasuk anak-anak. Intinya bantuan akan lebih bermanfaat jika diberikan ke laki-laki. Begitu pendapat Bapak Kaur tersebut.

Pernyataan tidak mendukung ini dilontarkan secara spontan sebagai pribadi.

Namun demikian cukup menggambarkan sikap rata-rata kaum bapak. Asumsinya, Sang Kaur adalah tokoh yang selalu menjadi wakil masyarakat dalam berbagai diklat dan kegiatan sejenis itu sehingga lebih berwawasan dan lebih terbuka daripada yang lain. Dalam bebatan budaya patriarki yang diingkari, bisa dibayangkan bagaimana masyarakatnya jika pernyataan yang bias gender tersebut dilontarkan oleh Tokoh. Sikap ini kemudian ditunjukan dengan mengesampingkan kegiatan budidaya pertanian yang dilakukan oleh ibu-ibu. Di beberapa kelompok pada awal pelaksanaan program sering terlontar “wah bapaknya masih malas bikin rumah-rumahan buat polybag mbak/mas” atau “masih nunggu bapaknya buat mengambil tanah untuk isi polybag”.

Diskriminasi gender yang paling mengerikan adalah dalam bentuknya yang

paling sederhana. Ia hadir begitu saja tanpa disadari sehingga tak mungkin ditolak. Alih-alih mengemansipasi diri, ibu-ibu tak jarang menyerahkan diri secara sukarela. Beberapa tindakan pengelolaan aset kelompok mencerminkan hal tersebut. Dengan dominasi dan intervensi halus dari pihak di luar kelompok wanita pilihan-pilihan yang dibuat untuk pengelolaan aset ini tidak mendukung semangat berdaya bagi kelompok. Misalnya saja penggunaan uang untuk usaha bersama yang dengan mudahnya disetujui oleh ibu-ibu di kelompok digunakan untuk membangun infrastruktur Dusun seperti pipanisasi di Dusun Sumber.

Pilihan lainnya yaitu jenis usaha gadoh ternak yang bersifat pasif. Kelompok

hanya menerima bagi hasil keuntungan saja, akibat logis dari suatu usaha, tanpa mendapat pengalaman yang menambah ketrampilan mereka untuk lebih berdaya. Usaha ini bersifat sama dengan usaha persewaan yang dipilih beberapa kelompok seperti tratak dan perkakas acara lainnya. Usaha-usaha ini dalam perjalanannya rawan dialih milikan karena melibakan pihak di luar kelompok (baca: perangkat Dusun) bahkan tanpa penolakan. Contoh yang sudah terjadi adalah di Dusun Suruh dan Ngandong, kader di kelompok ini dengan sangat meyakinkan menyampaikan bahwa hasil dari usaha gadoh ternak akan menjadi kekayaan dusun.

Fenomena-fenomena tersebut adalah realitas. Melihat dengan perspektif

gender menjadikannya tidak lagi sederhana. Tindakan tidak menyetarakan bukan hanya oleh laki-laki tetapi juga perempuan itu sendiri. Jelas sekali bahwa mereka belum berdaya sebagai perempuan. Pada akhirnya dapat ditambahkan pada program ini sebuah tema tentang pengarus utamaan gender yang sempat luput pada awal-awal program ini diimplementasikan. Hal ini penting mengingat sasaran program adalah sebuah golongan berdasar jenis kelamin yang didominasi dan dihegemoni oleh lingkungan dan budaya. Sehingga dengan demikian memiliki tantangan dua kali lebih besar yaitu memberdayakan untuk sejajar dan merdeka lalu memberdayakan untuk mandiri dan tangguh menolong dirinya sendiri. [■]

Page 51: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 50

Bagian 5 Dari Tanam Sampai Konsumsi

Kisah ini, kalau boleh kami menyebutkannya kembali, adalah ”Kisah Dari Pekarangan Menuju Meja Makan”. Maka pertanyaannya adalah: (1) Apakah pekarangan menghasilkan sayur-sayuran yang dimaksud; dan (2) Apakah sayur-sayuran dari pekarangan itu sampai terhadir di mejamakan para petani lereng Merapi? Atau malah banyak yang dijual. Hal ini mengingatkan kami pada sebuah kisah ironi petani organik di tempat lain, dimana hasil pertanian organik yang sehat itu dijual sementara petani tetap saja akan hasil-hasil pertanian non organik.

Ternyata 90% dari 920 perempuan (KK) sasaran telah menanam berbagai jenis sayuran.

Daftar keseluruhan jenis tanaman yang ditanam di pekarangan mencapai 30 jenis. Ke 30 jenis tersebut dapat digolongkan ke kelompok ”kacang-kacangan”, ”sayuran daun”, dan kelompok ”sayuran buah”. Minimal setiap perempuan rata-rata menanam 10 jenis tanaman sayuran. Sayur-sayuran berikut merupakan sayuran terfofurit ditanam, yaitu: kacang panjang, buncis, bayam, kangkung, sawi, caisin, terong, tomat, cabe kriting, cabe rawit, daun bawang, dan sledri.

Apa benar sayur-sayuran hasil pertanian organik di pekarangan oleh para perempuan ini

dikonsumsi oleh keluarga Mereka? Untuk menjawab itu maka diterapkan baseline survey (di awal) dan endline survey (diakhir), dengan perangkat pengukuran yang sama yaitu pola konsumsi keluarga. Tujuannya adalah untuk melihat apakah ada perubahan pola konsumsi keluarga. Hasil Baseline (Bl) dan Endline (El) kasus di Desa Sumber dan Ngargomulyo, sebagai contoh saja, menunjukkan untuk konsumsi kacang-kacangan Bl=28% dan EL=40%, konsumsi sayur daun Bl=60% dan El=64%, serta sayur buah Bl=59% dan El=57%.

Jika dilihat secara keseluruhan sumbangan pekarangan terhadap pola konsumsi keluarga-

keluarga sasaran kegiatan, maka hasilnya adalah dalam jenis kacang-kacangan ada peningkatan dari 2% (Bl) menjadi 23% (El), sauran daun meningkat dari 10% (Bl) menjadi 37% (El), dan sayuran buah naik dari 2 % (Bl) menjadi 25% (El). Kita harus curiga dari mana mereka mendapatkan bahan-bahan sayuran tersebut: belikah; dari pekarangankah; dari sawahkah; atau dari lain-lain pemberian misalnya. Mestinya haru dari ”pekarangan”! Hasilnya Baseline dan Endline menunjukkan bahwa pemenuhan bahan sayuran dari beli cenderung menurun, dari pekarangan meningkat tajam, dari sawah berkurang drastis, dan dari lain-lain semakin kecil.

Jadi ringkas ”kisah meja makan” ini bukanlah kisah isapan jempol. Namun sebuah kisah

yang nyata, dilakukan oleh keluarga-keluarga petani itu. Yah...sebuah kisah yang sederhana saja!

Page 52: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 51 Penanaman, Panen Hingga Konsumsi (Sebuah Ringkasan Hasil Baseline dan Endline) Oleh: Baning Prihatmoko

Tulisan ringkas ini merupakan bagian kecil temuan-temuan dari Survei Baseline dan Endline yang sudah dilakukan oleh Nawakamal dalam rangka program budidaya pertanian pekarangan MERP (Merapi Early Recovery Programme)-Pertanian. Secara ringkas metodelogi Baseline dan Endline yang digunakan adalah bahwa Baseline dan Endline ini menggunakan form yang sama, yang disebarkan kepada masyarakat dalam dua periode yang berbeda. Dari form ini ingin dibaca kondisi “perkembangan” pada periode awal proyek dibanding periode akhir proyek dalam beberapa tema seperti: (1) Perkembangan jumlah polybag yang ditanam dan jenis tanamannya; (2) Perkembangan jenis tanaman yang dipanen dan besarannya/jumlahnya; (3) Perkembangan pola pemanfaatan tanaman untuk konsumsi rumah tangga, dari pola konsumsi ini ingin pula direkam sumbernya apakah dari budidaya pertanian pekarangan, sawah, atau sumber lain.

Seperti sudah dipaparkan sebelumnya bahwa program MERP-Pertanian tersebut pertama-tama tujuannya adalah untuk penyediaan pangan sehat (sayuran) oleh dan untuk keluarga dari pekarangan. Media polybag sebagai tempat atau media bertanam digunakan untuk mendekatkan gagasan dalam praktek-praktek yang mudah dilakukan oleh siapapun termasuk perempuan. Sayuran menjadi tema utama dalam kegiatan ini bukan semata-mata alasan praktis dalam pengelolaan pekarangan, tetapi juga soal peran sayuran dalam pemenuhan gizi keluarga terutama gizi anak.

Sayuran dan buah merupakan satu dari empat pilar pangan berimbang selain biji-bijian, protein dan sedikit susu yang dianjurkan dalam pemenuhan gizi keluarga. Peran sayuran dalam gizi keluarga seringkali terabaikan tidak saja dari segi jumlah tetapi juga variasinya. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pangan (sayuran sehat) adalah paparan pestisida yang melekat di lebih dari 90% sayuran yang dikonsumsi masyarakat.

Seluruh rangkaian kegiatan budidaya pertanian (sayutan) di pekarangan oleh perempuan, sampai akhirnya tersaji di meja makan para petani sasaran program, akan tercermin dalam pola konsumsi keluarga. Oleh karena itu capaian penting dalam program ini adalah perubahan pola konsumsi sayuran yang diukur dua kali, yaitu diawal program (Baseline) dan diakhir program (Endline). Pengukuran dilakukan terhadap konsumsi sayuran oleh keluarga yang dikelompokkan menjadi sayuran kacang-kacangan, sayuran daun dan sayuran buah. Pengelompokan ini didasarkan atas kesamaan nutrisi dan kesamaan tumbuh kembang tanaman. Pengukuran dilakukan terhadap konsumsi masing-masing jenis sayuran oleh keluarga selama seminggu sehingga terlihat apakah ada peningkatan jumlah responden yang mengkonsumsi masing-masing jenis sayuran tersebut.

Pengukuran lain yang tidak kalah penting adalah sumber dari mana sayuran tersebut dikonsumsi apakah dari membeli, dari pekarangan, dari sawah atau dari

Page 53: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 52 sumber lainnya. Pengelompokan berdasarkan sumber sayuran dikonsumsi dilakukan untuk melihat peran pekarangan (melalui polybag) dalam pemenuhan kebutuhan sayuran atas dua kriteria, yaitu pemenuhan kebutuhan sendiri (self-sufficiency) dan organik (bebas pestisida). Sumber yang lain tidak memenuhi kedua kriteria tersebut. Besaran peran pekarangan dalam pemenuhan kebutuhan sayuran keluarga menunjukkan tingkat keberhasilan intervensi melalui program tersebut. Hasil dari pengukuran-pengukuran tersebut tersaji dalam kompilasi di bawah ini.

Survei Baseline dan Endline ini dilakukan di 8 desa dengan 60 dusun, diterapkan kepada 92 kelompok dimana masing-masing kelompok diambil 10 responden. Jadi total responden sebanyak 920 KK. Sebagai gambaran hasil-hasil yang telah dicapai dalam tulisan ini tidak disajikan gambaran keseluruhan di 8 desa sasaran, tetapi hanya akan disajikan gembaran kondisi di dua desa saja yaitu Desa Sumber dan Ngargomulyo.

Penggunaan Polybag Dan Jenis Tanaman Terdapat kenaikan yang signifikan dalam

penggunaan polybag di Desa Sumber dan Desa Ngargomulyo. Pengukuran pertama (Baseline) menunjukkan hampir 90% responden telah menanam kurang dari 45 kantung dengan rentang jumlah polybag terbanyak antara 16-30 kantung. Pada pengukuran kedua (Endline), di akhir program, hampir 90% responden telah menanam lebih dari 46 kantung, yaitu dengan rentang jumlah polybag terbanyak antara 46-60 kantung.

Sementara itu jika

dilihat dari jenis tanaman yang dibudidayakan di polybag berdasar kebutuhan nutrisi dan perbedaan masa panen dari masing-masing jenis tanaman serta pemanfaatan-nya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: kacang-kacangan, sayuran daun, sayuran buah, bumbu dan tanaman obat.

Secara kese-luruhan dapat dikatakan ter-dapat rata-rata 53% responden menanam satu jenis atau setidaknya setiap responden menanam 10 jenis tanaman.

Dari tabel persentase jenis-jenis tanaman yang ditanam para responden tersebut dapat terbaca bahwa jenis-jenis tanaman tertentu menjadi tanaman ”faforit” paling banyak ditanam, seperti: kacang panjang, buncis, bayam, kangkung, sawi, caisin, terong, tomat, cabe kriting, cabe rawit, daun bawang, dan sledri.

Tabel 1. Persentase Penggunaan Polybag Di Desa Sumber dan Ngargomulyo

Jumlah Polybag

Baseline (%)

Endline (%)

< 15 26 1 16 - 30 30 5 31 - 45 21 10 46 - 60 12 60 61 -100 7 20 > 100 4 4

Tabel 2. Persentase Penanaman Pada Jenis-Jenis Tanaman

Jenis Tanaman Jumlah Penanam (%) Jenis Tanaman

Jumlah Penanam

(%) 1. Kacang-kacangan 3. Sayuran buah Kacang Panjang 66 Terong 85 Buncis 72 Tomat 88 Kacang Merah 9 Cabe Keriting 61 Kapri 28 Cabe Rawit 76 2. Sayuran daun Pare 32 Bayam 69 4. Bumbu dapur Kangkung 78 Daun bawang 77 Sawi 57 Seledri 84 Caisim 80 Bawang Putih 19 Kobis 32 5. Tanaman obat Bunga kool 16 Jahe, Kunir 19

Page 54: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 53 Adakah Pola Konsumsi Berubah?

Capaian utama dari program budidaya pertanian pekarangan di lereng Merapi ini adalah asupan pangan sehat dalam hal ini yaitu sayuran baik jumlah, variasi dan sumbernya. Berdasarkan penelusuran pola konsumsi sayuran harian dalam satu minggu maka terdapat temuan-temuan sebagai berikut.

Pola konsumsi harian responden dari Desa

Sumber dan Ngargomulyo sebagaimana dalam table berikut menunjukkan bahwa dalam pengukuran 1, setiap hari rata-rata ada 28% responden yang mengonsumsi kacang-kacangan, 60% responden mengonsumsi sayuran daun dan sayuran buah dikonsumsi oleh 59% responden. Pengukuran kedua di akhir program, menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi sayuran harian terutama konsumsi kacang-kacangan yaitu menjadi rata-rata 40%. Konsumsi sayuran daun naik menjadi 64%, sementara konsumsi sayuran buah menurun menjadi 57%.

Berdasarkan pemenuhan kebutuhan

sayuran harian maka setiap keluarga responden, pada Pengukuran 1 (Baseline), kacang-kacangan hanya menyumbang 19% dari seluruh kebutuhan

sayuran keluarga. Pada Pengukuran 2 (Endline) porsi kacang-kacangan meningkat menjadi 25%, namun masih jauh dibawah porsi untuk sayuran daun (40%) dan sayuran buah (35%). Konsumsi yang seimbang merupakan salah satu tujuan dari pemenuhan pangan sehat keluarga karena dalam konsumsi yang seimbang ini variasi mendapat ruang yang cukup dalam upaya pemenuhan gizi keluarga

Sumbangan Pekarangan dan Sumber Lainnya Yang kemudian perlu dijelaskan adalah sajauh mana sumbangan pekarangan

terhadap konsumsi kelurga. Menjadi, katakanlah tidak ada gunanya, jika akhirnya apa yang sudah dibudidayakan di pekarangan ini tidak atau kurang memberikan arti bagi konsumsi ”meja makan” para petani (responden).

Tabel sumbangan pekarangan pada konsumsi sayuran responden menggambarkan bahwa pada pengukuran pertama (Baseline) sebanyak 14% responden setiap hari mengonsumsi setidaknya 1 jenis sayuran yang berasal dari polybag dan pada pengukuran kedua (Baseline) meningkat menjadi 85% responden. Bisa dilihat pula bahwa pada masing-

Pengukuran 1 (Baseline) Tabel 3. Persentase Pola Konsumsi Harian Dalam Satu Minggu

Hari Kacang-

Kacangan (%)

Sayuran Daun (%)

Sayuran Buah (%)

1 40 72 61 2 26 62 64 3 25 63 71 4 25 54 64 5 24 53 48 6 27 57 50 7 27 60 56

Rerata 28 60 59 Pengukuran 2. (Endline) Tabel 4. Persentase Pola Konsumsi Harian Dalam Satu Minggu

Hari Kacang-

Kacangan (%)

Sayuran Daun (%)

Sayuran Buah (%)

1 64 74 68 2 40 67 56 3 41 67 52 4 30 71 54 5 38 60 52 6 36 50 60 7 33 59 53

Rerata 40 64 57

Tabel 5. Persentase Konsumsi Sayuran Dalam Kebutuhan Keluarga

Jenis Sayuran

Baseline (%)

Endline (%)

Kacang-Kacangan

19 25

Sayuran Daun

41 40

Sayuran Buah

40 35

Total 100 100

Tabel 6. Sumbangan Pekarangan Pada Konsumsi Sayuran Responden

Jenis Sayuran

Baseline (%)

Endline (%)

Kacang-Kacangan

2 23

Sayuran Daun

10 37

Sayuran Buah

2 25

Total 14 85

Page 55: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 54 masing jenis sayuran sumbangan pekarangan terhadap pola konsumsi responden juga meningkat.

Survei Baseline dan Endline ini juga dilengkapi dengan upaya untuk melihat

dari mana saja sumber-sumber konsumsi sayuran keluarga responden. Survei ini membagi sumber sayuran menjadi empat sumber, yaitu: Beli; dari Pekarangan (usaha budidaya pertanian pekarangan); dari Sawah; dan Lain-lain. Yang dimaksud lain-lain disini bisa saja pemberian saudara atau tetangga.

Sumbangan pekarangan pada konsumsi sayuran keluarga tampak nyata untuk semua jenis sayuran yang meningkat dari 9% menjadi 53% dari pemenuhan kebutuhan sayuran keluarga. Peningkatan paling besar pada kelompok kacang-kacangan yang

naik sebesar 49% dari pengukuran pertama. Pada akhir program dapat dikatakan bahwa pekarangan menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan sayuran keluarga untuk ketiga jenis sayuran yaitu kacang-kacangan (57%), sayuran daun

(59%) dan sayuran buah (44%). Sayuran yang berasal dari pekarangan merupakan pangan organik yang bebas dari paparan pestisida, sehingga peningkatan konsumsi sayuran yang berasal dari pekarangan berarti juga memastikan semakin tingginya konsumsi pangan yang sehat.

Pada pengukuran pertama responden di Desa Sumber dan Ngargomulyo, konsumsi yang berasal dari membeli (rata-rata 51%) lebih besar dari sayuran yang berasal dari sawah sendiri (rata-rata 34%) untuk semua jenis sayuran. Pada pengukuran kedua ketika sebagian besar responden menggantungkan pemenuhan sayuran dari pekarangan, penurunan persentase konsumsi sayuran dari membeli dan sayuran yang berasal dari sawah sendiriterjadi untuk semua jenis sayuran . Penurunan sumbangan jenis sayuran yang berasal dari membeli (29%) jauh lebih besar dibanding sayuran dari sawah yang rata-rata turun 12%. terutama untuk jenis kacang-kacangan dan sayuran buah yang menjadi lebih kecil dibanding konsumsi sayuran yang berasal dari sawah. Penurunan pemenuhan kebutuhan sayuran yang berasal dari pembelian mempunyai pemenuhan pangan sehat juga mempunyai implikasi ekonomi terutama dalam hal pengeluaran (ekonomi) keluarga. Sumbangan Jenis (Kategori) Tanaman Pada Konsumsi Keluarga

Dari data-data yang diperoleh diketahui bahwa di masing-masing jenis sayuran baik kacang-kacangan, sayuran daun maupun sayuran buah dari polybag, terdapat jenis-jenis tanaman yang banyak di konsumsi responden. Tanaman kacang panjang dan buncis memberi sumbangan lebih dari 90% dari total konsumsi kacang-kacangan yang berasal dari pekarangan. Pada jenis sayuran daun ada empat jenis tanaman di polybag yang banyak dikonsumsi responden dari Desa Sumber dan Ngargomulyo, yaitu caisin (29%), bayam (22%), kangkung (20%) dan sawi (18%). Kubis dan bunga kol yang menjadi tanaman komoditas di sawah tidak terlalu banyak ditanam di polybag sehingga dapat dimengerti apabila sumbangannya pada konsumsi sayuran daun yang

Tabel 7. Persentase Konsumsi Sayuran Harian Responden Berdasarkan Sumber Sayuran Diperoleh

Jenis Sayuran

Beli Dari Pekarangan Dari Sawah Lain-Lain 1 2 1 2 1 2 1 2

Kacang-Kacangan

45 16 8 57 39 25 8 2

Sayuran Daun

56 27 17 59 24 12 4 2

Sayuran Buah

53 23 2 44 40 31 5 2

Rerata 51 22 9 53 34 23 6 2 Catatan: 1=Baseline 2=Endline

Page 56: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 55 berasal dari pekarangan kurang dari 10%. Sementara cabai rawit (39%) dan tomat (25%) merupakan jenis tanaman dari polybag yang memberi sumbangan paling banyak dikonsumsi oleh responden untuk jenis sayuran buah.

Begitulah gambaran ringkas bahwa program MERP-Pertanian ini telah memberi

warna pada pola konsumsi keluarga petani (responden) di lereng Merapi. Dengan perspektif yang lain hendak dikatakan bahwa budidaya pertanian pekarangan telah memberikan perubahan perilaku pada pemanfaatan pekarangan menjadi salah satu sumber pangan sehat bagi keluarga. Menjaga ”perubahan perilaku” ini ke depan agar menjadi ”budaya” tentu membutuhkan pendampingan yang lebih strategis. [■]

Page 57: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 56

Bagian 6 Beberapa Catatan (Reflektif)

Pendampingan

Merefkesi proses pendampingan atas sebuah program, disebagian besar buku-buku tentang proses program, biasanya berisi uraian-uraian teknis mengenai kendala program, capaian-capaiannya, rumusan lesson learned dari berbagai tahap kegiatan. Namun tidakseperti itu yang ingin disampaikan dalam Bagian 6 buku ini. Kami bermaksud membebaskan sidang pembaca memetik capaian, kendala, atau lesson learned yang bisa diraih dengan membaca tulisan-tulisan yang disajikan di dakam buku ini.

Dalam kesempatan ini ijinkan kami menyajikan catatan reflektif tersebut dalam bentuk yang lain. Tulisan-tulisan yang tersaji di bawah judul Bagian 6 beberapa Catatan (Reflektif) Pendampingan ini, justru hendak menghadirkan ”refleksi pribadi” atau katakanlah catatan-catatan pribadi para pendamping (fasilitator), mengenai perjumpaan-perjumpaan mereka dengan masyarakat. Fasilitator yang terlibat di dalam pendampingan ini berasal dari beragam latar belakang dan pengalaman. Masing-masing mereka mendampingi terhadap masyarakat di desa dengan beragam rupa kondisi ekonomi, energi komunitas, tingkat keterbukaan (acceptance), dll.

Keberagaman dan kekayaan perbedaan yang terjadi di ”luar” sana, sepertinya sayang

jika hanya diendapkan kedalam rumusan-rumusan teknis mengenai program kegiatan. Proses pendampingan, atau proses fasilitasi, terkadang merupakan proses yang amat pribadi sifatnya. Kadang justru fasilitator yang mengunduh banyak sekali ”pembelajaran” diri. Bahkan proses ”pendewasaan” diri. Ada fasilitator yang mengatakan ”bersyukur” karena lebih tahu bagaimana orang desa hidup, sehingga dia bisa mengerti bagiamana cara mensyukuri kehidupan dia yang lebih beruntung. Ada pula fasilitator yang ”bercermin diri” dan kemudian malu lantaran terlalu banyak menyianyiakan waktu sementara para petani desa itu justru ”amat disiplin” sebab jika tidak hancurlah perekonomian keluarganya.

Uang bukanlah satu-satunya ”dewa” dalam proses pemberdayaan. Begitu kira-kira

refeleksi dari fasilitator lain. Uang tidak jaminan serta-serta merubah pemikiran orang desa, tetapi kepercayaan (trust), perhatian (compassion), kebersamaan sosial (brotherhood), dan saling berbagi pengetahuan (sharing), justru menjadi kunci perubahan. Ada banyak sekali ibu-ibu di desa berkata ”jangan berhenti (selesai) disini”! Maknanya luas. Yang berpikir teknis-programatik, menyimpulkan bahwa program berjalan baik. Tapi ada pula makna lain: ”bahwa fasilitator sudah dianggap keluarga sendiri, saudara sendiri...yang mungkin menumbuhkan rasa kangen dan kehilangan jika segera pergi dari desa”.

Semoga refleksi program dengan sudut pandang lain ini, memberikan makna baru bagi

sidang pembaca.

Page 58: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 57 Hidup Itu Kerja Keras (Sebuah Refleksi) Oleh: Guntur Prabawanto

Suatu pengalaman yang sangat berharga bagi saya bisa terlibat dan diberi kesempatan dalam program pendampingan pertanian organik di pekarangan bagi ibu-ibu yang terkena dampak dari erupsi Gunung Merapi di Desa Ngargomulyo dan Kalibening, Kecamatan Dukun, Magelang. Secara pribadi, saya mendapatkan banyak pengalaman dan pengetahuan baru dalam hal bertani organik juga dalam hal pendampingan kepada ibu–ibu. Lebih dari itu, saya sangat gembira karena diberi kesempatan untuk bisa mengenal dengan lebih dekat kehidupan masyarakat desa di sekitar lereng Gunung Merapi.

Bagi saya, perjumpaan dengan masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi

adalah suatu anugerah karena setiap kali saya bertemu dengan mereka jiwa saya menjadi segar, dan saya menjadi lebih mengenal ”mensyukuri hidup”. Semangat kerja keras mereka sangat hebat. Hidup mereka sederhana dan tulus. Kesederhanaan dan ketulusan itu saya rasakan ketika setiap kali saya berkunjung di rumah warga pasti disambut dengan hangat. Tentu tidak ketinggalan seruputan teh hangat atau kopi, bahkan tidak jarang disuguhi makan sederhana.

Setiap kali saya berangkat ataupun pulang dari pendampingan, di perjalanan

sepanjang Desa Ngargomulyo dan Kalibening saya selalu disuguhi pemandangan yang unik yaitu: petani yang sedang membawa tlethong (kotoran ternak) ataupun rumput dengan cara disunggi ataupun digendhong. Pemandangan seperti itu tentu saja sudah tidak dapat kita temui ditempat lain di kota.

Dalam proses mendampingi program ini, saya mempunyai pengalaman yang

begitu mengesankan dimana suatu sore hampir malam, waktu itu saya sepulang dari pertemuan di Dusun Tanen, Ngargomulyo. Di jalan saya berpapasan dengan petani tua, dengan terseok-seok ia membawa pakan ternak yang disunggi (diusung) di atas kepalanya. Dengan nafas yang tersendat–sendat ia tetap berjalan sangat pelan menuruni jalan yang cukup curam. Pada saat itu secara spontan yang muncul dalam pikiran saya adalah figur kakek saya. Perasaan yang berkecamuk dalam diri saya pada waktu itu adalah rasa kasian, bangga, namun juga rasa malu bercampur aduk menjadi satu.

Rasa malu muncul karena saya sering menyianyiakan waktu hanya untuk

melakukan hal–hal yang tidak berguna dan sering menunda pekerjaan. Dari pengalaman selama mendampingi program pertanian pekarangan organik di Desa Ngargomulyo dan Kalibening ini, saya mendapatkan pemahaman bahwa ”hidup adalah kerja keras”. [■]

Page 59: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 58 Dilema ”Uang” Dalam Pemberdayaan Oleh : Sanna Sanata

Banyak kelompok dadakan muncul ketika bantuan berupa uang tunai di sosialisasikan kepada masyarakat Dukun, Magelang. Seakan-akan kelompok tersebut di bentuk dan memiliki fungsi ketika ada bantuan datang. Karena praktis kelompok-kelompok tersebut ”sepi” kegiatan ketika bantuan tidak ada. Termasuk dalam kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat. Migrasi yang ekstrim dilakukan masyarakat dalam hal cara bercocok tanam. Awalnya mereka selalu memakai bahan-bahan kimia, lalu banting stir meninggalkannya meskipun hanya di tataran pekarangan. Dalam konteks ini masyarakat kemudian menjadi terdikte dalam merubah cara bercocok tanamnya ketika di beri bantuan.

Memang sudah tugas para pemberdaya masyarakat untuk memberikan cara-cara yang tepat dalam bercocok tanam. Akan tetapi tanpa bantuan uang apakah mereka dapat merubah perilaku masyarakat dengan mudah? Sulit menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Karena pada prakteknya uang memang dapat merubah perilaku manusia dengan relatif lebih cepat.

Itulah kekuatan uang, dimana yang dulunya bercocok tanam organik bisa berubah menjadi non-organik begitu pula sebaliknya dimana yang dulunya gandrung kimia bisa menjadi organik. Dimana kesemerawutan menjadi keteraturan. Dimana derita bisa menjadi bahagia dan dimana kebebasan berpendapat menjadi bungkam. Ya, masyarakat seakan seperti robot yang dengan mudah dikendalikan seenaknya saja oleh ”pembawa uang”. Keterpaksaan (mungkin) kemudian mewarnai kegiatan yang mereka lakukan di pekarangan.

Masyarakatlah yang seharusnya memegang kendali atas apa saja yang mengintervensi wilayah mereka. Ibarat sebuah negara yang merdeka, mereka berhak atas kedaulatan mereka sendiri. Akan tetapi rasa tidak enak terhadap outsider sebagai pemberi bantuan justru mendominasi asertifitas mereka, untuk bertindak menjaga perasaan sang pemberi bantuan. Mereka tidak bisa bilang “tidak” meskipun dalam hatinya “iya”, dan tidak bisa bilang “iya” meskipun dalam hatinya “tidak”.

Memang sangat efektif untuk melakukan ”mobilisasi” masyarakat yang banyak jumlahnya dengan strategi pemberian cash grant. Dalam ilmu penyuluhan pertanian banyak strategi yang di gunakan untuk merubah perilaku petani. Apabila yang akan dirubah aspek pengetahuan petani maka gunakanlah transmisi informasi. Apabila aspek keterampilan petani maka bisa menggunakan sebuah pelatihan. Dan apabila aspek perilaku maka dapat diselenggarakan sebuah dialog. Namun yang terakhir ini tampaknya tidak perlu dilakukan secara susah-susah, cukup dengan memberikan uang tunai semuanya sudah berubah.

Tetapi apa dampak pemberian bantuan berupa uang tunai terhadap aktivitas pertanian. Ketidakjujuran dalam bercocok tanam, kemampuan untuk melakukan pertanian ramah lingkungan secara organik muncul dari masyarakat. Memang secara fisik program pertanian pekarangan sekilas berhasil, paling tidak dari sudut jumlah sasaran program yang berpartisipasi dalam penanaman tanaman di pekarangan. Tapi coba bayangkanlah apabila mereka tidak mendapatkan uang, apakah bisa sebanyak itu yang mau melakukan pertanian organik?

Page 60: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 59 Pemberian bantuan uang tunai memberikan dampak ketergantungan pada

masyarakat termasuk dalam hal pengadaan sarana produksi untuk bercocok tanam. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa mereka masih saja meminta alat-alat untuk bercocok tanam, padahal kalau dikelola dengan baik uang yang mereka peroleh melalui kelompok dapat untuk pengadaan alat bercocok tanam tersebut. Itulah dampaknya mereka menjadi memiliki mental meminta.

Hampir tidak ada masyarakat yang menolak pemberian bantuan berupa uang tunai tersebut. Itu menunjukkan bahwa petani kita belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dari sekian ribu orang sasaran program yang menerima bantuan uang tunai hanya satu orang yang menolak. Yakni Sri Rohani di Kalibening Kulon. Dia menegaskan bahwa keluarganya sudah mampu maka tidak pantas menerima bantuan tersebut. Padahal hidupnya cukup sederhana.

Kesadaran tampaknya menjadi sesuatu yang lazim di dengar akan tetapi sangat sulit untuk ditunjukkan. Itulah yang harusnya dilakukan oleh masyarakat, bahwa mereka harus menyadari kalau mereka sendiri yang berhak menentukan apapun sesuai budaya mereka sendiri. Life is not changing if you are not change by your self. [■]

Page 61: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 60 Atap Plastik Pelindung (Sebuah Lesson Learned) Oleh: Hermanus Wahyoko

Proses program pertanian pekarangan di wilayah lereng Merapi, tepatnya di dusun-dusun di Desa Paten, Kecamatan Dukun adalah hal yang sangat baru. Sebelumnya tanah-tanah pekarangan di dudun ini cenderung dibiarkan, dan pengelolaan pekarangan tidak pernah terpikirkan akan seintensif seperti program yang ditawarkan Save the Children bekerja sama dengan Nawakamal ini. Pengelolaan pekarangan pada pada umunya hanyalah bersifat feriferal dan pekarangan lebih dimanfaatkan untuk penanaman tanaman non konsumsi seperti bunga dan tanaman perindang.

Program ini dimulai pada minggu pertama bulan Februari 2011, diawali dengan pembentukan kelompok rencana aksi (KRA) pada tingkat kelompok. Perencanaan ini meliputi penanganan dana yang akan terkumpul, perencanaan lokasi tanam, pemeliharaan, perawatan, pemupukan, dan keberlanjutan. Setelah tahap perencanaan maka kemudian dilakukan eksekusi implementasi program.

Kegiatan awal adalah penanaman pekarangan tahap pertama seusai terlaksananya distribusi polybag tahap pertama di semua titik dampingan. Kegiatannya antara lain penyiapan lahan, media tanam, dan penyediaan bibit tanaman. Proses ini dapat dikatakan berlangsung cepat. Satu minggu setelah distribusi polybag, semua kelompok secara serentak namun terjadwal melakukan penanaman tanaman sayur-mayur untuk pemenuhan gizi keluarga. Fasilitator lapangan membantu proses ini, terutama pada masalah-masalah teknisnya seperti takaran tanah, pupuk, sekam padi, pengisian polybag, dll.

Pasca kegiatan penanaman, fasilitator lapangan kemudian memberikan pelatihan pembuatan pupuk cair dan pestisida organik untuk membantu pemeliharaan tanaman dan sustainabilitas program pengelolaan lahan pekarangan ini. Setelah itu,fasilitator juga melakukan pelatihan pembuatan pupuk kompos yang bersumber dari sampah organik sisa kegiatan rumah tangga (dapur).

Atap Pelindung Plastik Dari kegiatan-kegiatan pertanian pekarangan yang dilakukan, ternyata hasilnya

tidak seperti yang diharapkan. Sebagian besar tanaman yang ditanam tidak tumbuh dengan baik, apalagi tanaman yang diletakkan pada tempat terbuka, misalnya di kebun kelompok atau emperan rumah dan tidak terlindung atap.

Saat program berlangsung, cuaca memang tidak bersahabat. Hampir setiap hari

hujan turun dan bahkan tidak jarang dari pagi hingga malam terjadi hujan deras. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hujan terus-menerus membuat unsur hara pada media tanam tercuci atau larut. Pupuk organik buatan sendiri juga tidak banyak menolong karena tidak teraplikasi dengan baik pada media tanam. Akibatnya tanaman tidak dapat tumbuh secara optimal. Hujan deras dengan intensitas tinggi dan kabut tebal ini juga berpengaruh terhadap kesehatan tanaman. Banyak tanaman mati dan tumbuhnya jelek karena mudah terserang hama dan penyakit, terutama kutu dan jamur.

Hal berbeda dapat ditemukan pada tanaman yang terlindung atap yang diletakkan pada teras rumah. Demikian juga pada tanaman yang diletakkan pada

Page 62: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 61 kebun tetapi diberi atap plastik. Atap ini biasanya dibuat agak tinggi sehingga tetap memungkinkan sinar matahari masuk dan mengenai tanaman. Atap pelindung ini sangat membantu menjaga kondisi lahan tanam tetap pada kondisi ideal yang memungkinkan tanaman tumbuh dengan baik karena zat-zat hara pada media tanam tetap terjaga.

Pembuatan atap plastik ini mudah dan tidak membutuhkan biaya mahal karena tidak harus menggunakan plastik ultra violet. Selain itu atap plastik ini bisa diaplikasikan di tempat lain dengan program serupa. Hal terpenting yang harus diperhatikan berkaitan dengan atap plastik ini adalah bahwa sinar matahari harus bisa mengenai tanaman secara memadai.

Pengadaan plastik untuk atap tanaman ini berbeda-beda caranya dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Ada petani-petani yang membeli sendiri atap plastik ini karena kelompok tidak menganggarkan pembelian atap plastik dari kas keuangan kelompok. Dalam hal yang demikian kemungkinan kas keuangan kelompok sudah dialokasikan untuk kebutuhan lain, misalnya saja ada yang kas keuangan kelompok dialokasikan untuk sewa lahan, ada pula yang untuk membeli kotoran ternak guna pembuatan kompos bersama, ada pula yang dibelanjakan untuk membeli ”tratag”12

12 Tratag yaitu semacam atap buatan terbuat dari kain terpal atau plastik tebal yang dilengkapi dengan pasangan keranga besi. Biasanya digunakan untuk kepentingan hajatan baik hajatan perkawinan, khitanan, upacara desa, dll. Persewaan tratag ini relatif cukup laku dipedesaan.

. Namun ada pula yang pengadaannya dikelola oleh kelompok baru kemudian dibagi-bagikan ke anggota. [■]

Page 63: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 62 Pupuk Organik Pabrikan Lebih Praktis Oleh: A. Gandung Indarto Pertanian organik selalu identik dengan pengelolaan lahan pertanian dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang bersifat alamiah, terutama dalam penggunaan pupuk dan pestisida baik dengan lahan skala besar maupun kecil. Penggunaan faktor-faktor alamiah tersebut merupakan hal mutlak yang tak dapat ditawar lagi sehingga mensyaratkan kemampuan petani dalam pembuatan pupuk ataupun pestisida secara mandiri.

Dalam pengelolaan pertanian pekarangan rumah secara organik, yang diinisiasi oleh lembaga Save The Children bekerja sama dengan Yayasan Nawakamal, warga Dusun Bendo juga dibekali dengan kemampuan untuk membuat pupuk kompos dan pestisida secara alamiah dengan memanfaatkan potensi yang ada di sekitarnya. Sumber pupuk dapat diperoleh dari limbah ternak, limbah rumah tangga, dan juga limbah pertanian. Demikian juga untuk bahan pestisida alamiah diperoleh dari sekitar mereka, seperti kunir, akar jenu, daun mindhi, bawang putih, cabe, buah maja, dan lain-lainnya.

Tujuan dari pembekalan kemampuan tersebut adalah supaya warga mampu mengurangi ketergantungannya terhadap faktor produksi di luar dirinya. Ketika warga mampu menyediakan secara mandiri faktor produksi tersebut diharapkan akan berbanding lurus dengan pengurangan biaya produksi pertanian. Selain itu juga mampu menyediakan secara mandiri bahan pangan yang sehat untuk keluarga.

Pembekalan pengetahuan mengenai bertani organik tersebut tidak hanya semata-mata untuk budidaya pertanian pekarangan mereka, tetapi juga sebagai bekal warga ketika berminat mengaplikasikannya di lahan yang lebih luas seperti sawah atau kebun mereka. Dengan kata lain budidaya pertanian organik di lahan pekarangan dapat dipakai sebagai sarana pembelajaran menuju lahan yang lebih luas.

Kegiatan warga bercocok tanam secara organik ini ternyata ditanggapi oleh produsen pabrik pupuk organik sebagai ”pasar” yang cukup menjanjikan. Mereka mengadakan promosi produknya kepada warga. Secara persuasif, bahkan dari rumah ke rumah, mereka menawarkan pupuk mereka sebagai pupuk yang berkualitas dengan segala keunggulannya dan kemudahan dalam mengaplikasikannya. Selain itu juga berfungsi sebagai pestisida.

Tanggapan warga terhadap produk tersebut ternyata cukup positif. Sebagian besar warga rela merogoh kocek mereka untuk sebotol, kurang lebih 1 liter, pupuk tersebut. Alasan mereka adalah bahwa tidak ada salahnya mencoba pupuk yang ditawarkan, siapa tahu hasilnya bagus ketika diaplikasikan di lahan. Mereka percaya dengan informasi dari penjual bahwa pupuk tersebut telah melalui serangkaian ujicoba di lahan pertanian dan hasilnya memuaskan. Ironisnya, warga tahu bahwa proses pembuatan, kandungan, serta aplikasinya sama seperti yang telah diajarkan oleh Nawakamal dan Save The Children.

Page 64: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 63 Alasan lainnya adalah pupuk tersebut sangat praktis penggunaanya. Tinggal dicampur dengan larutan molase, kemudia dicampur dengan air, langsung dapat diaplikasikan dengan cara disemprotkan ke tanaman. Penggunaannya sangat instan, tidak perlu melakukan pengadukan, pencacahan, penumbukan bahan, serta menunggu proses penguraian ataupun fermentasi. Sangat efisien dalam segi waktu. Dan waktu tersebut dapat dipakai untuk merawat tanaman di lahan yang lebih utama, yaitu sawah atau tegalan.

Terdapat dua alasan mengapa warga tertarik dengan penawaran pupuk organik pabrik tersebut. Pertama, keyakinan mereka akan hasil yang menjanjikan dari pupuk tersebut. Pupuk buatan pabrik –menurut pendapat para perempuan tersebut--jelas lebih berkualitas karena telah melalui serangkaian penelitian serta ujicoba. Sedangkan pupuk organik buatan mereka sendiri belum teruji di lahan. Harapan utama warga adalah pada hasil panen yang lebih baik. Mereka tidak peduli apakah pupuk tersebut organik atau tidak, yang penting hasil panen mereka di lahan menjadi optimal sehingga pendapatan mereka lebih baik.

Kedua, penggunaan pupuk tersebut sangat praktis dan mudah sehingga menghemat waktu yang mereka gunakan dari pada membuat pupuk sendiri. Mereka dapat mengalokasikan selisih waktu tersebut untuk aktifitas lain di lahan untuk mempercepat proses produksi.

Alasan tersebut merupakan hal riil yang dihadapi petani dalam hidupnya. Kebutuhan hidup yang semakin tinggi dan cepat memaksa mereka untuk mengimbanginya. Konsekuensi logis yang diinginkan adalah produktifitas yang optimal serta proses produksi yang efisien. Bagaimanapun caranya, mereka selalu berupaya mengejar peningkatan produktifitas dengan alokasi waktu seefisien mungkin.

Saya kira disinilah salah satu letak tantangan yang berat ke depan dari program pertanian pekarangan bagi kaum perempuan yang ingin dikembangkan dengan cara organik ini. Jebakan bahwa para perempuan petani ini akan berpaling ke pupuk organik pabrikan, dan tidak sabar membuat sendiri pupuk dan petisida organik, selalu menghadang di depan mata. Terus menerus meng-advokasi manfaat membuat pupuk dan pestisida organik demi kelestarian lingkungan, adalah cara yang mesti harus ditempuh sambil menunggu ”pembuktian” nyata bahwa pupuk dan pestisida organik buatan sendiri tersebut memberikan hasil nyata. [■]

Page 65: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 64 Pendampingan di Desa Pathen: ”Sebuah Refleksi Pengalaman” Oleh: Hermanus Wahyoko

Titik dampingan saya adalah di Desa Paten, tepatnya di lima dusun, yaitu Dusun Paten, Dusun Gondang I, Dusun Gondang II, Dusun Jombong, Dusun Babadan I, dan Dusun Babadan II. Kelima dusun ini kemudian dibentuk menjadi 12 kelompok dampingan. Keduabelas kelompok tersebut memiliki karakteristik yang cukup berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dusun Paten, dengan ketujuh kelompoknya, juga sudah berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lainnya. Ada yang kelihatan cukup semangat melaksanakan program pertanian pekarangan secara organik ini tetapi ada juga yang biasa-biasa saja.

Yang terlihat cukup antusias (sejak awal hingga program selesai) dengan beragam kegiatan program Save the Children-Nawakamal, untuk dusun Paten, adalah kelompok KRA (Kelompok Rencana Aksi) Pathen RT 4, RT 6, dan RT 7. Sementara di dusun lain yaitu KRA Dusun Babadan II.

Sebagai fasilitator, saya belajar cukup banyak dari pelaksanaan program ini. Terus terang saja saya bukanlah praktisi pertanian meskipun saya dari salah satu desa di lereng Merapi. Tetapi saya menaruh minat dan mencintai kegiatan pertanian, karena banyak dari saudara-saudara saya adalah petani. Hal-hal yang dapat saya pelajari antara lain adalah bagimana berinteraksi dengan efektif dengan sasaran program (beneficiaries). Selain itu juga akhirnya saya memehami, meskipun secara superfisial, mengenai karakteristik para petani penerima manfaat program ini.

Interaksi yang saya bangun adalah komunikasi yang sederhana, yaitu fasilitator datang ke lapangan, menemui para pengurus atau anggota, dan bertanya jawab seputar program yang sedang dilaksanakan. Dari situ dapat saya eksplorasi tentang permasalahan yang muncul, baik berkaitan dengan teknis penanaman, perlakuan terhadap media tanam dan pemeliharaan tanaman, pemupukan, pengendalian hama, dll maupun yang berkaitan dengan dinamika kelompok. Saya sering mengikuti pertemuan di tingkat kelompok yang melibatkan semua anggota kelompok. Selama empat bulan belakangan (sampai Mei 2011), per kelompok rata-rata sudah mengadakan pertemuan semacam itu sebanyak dua kali.

Yang selalu kami garis bawahi dalam setiap pendampingan adalah bagaimana mengkomunikasikan tentang program ini secara keseluruhan (holistik), yaitu sustainabilitas program, subsistensi pangan, pengolahan pekarangan secara organik, kesehatan keluarga, dan pengembangan ekonomi kelompok secara mandiri, terutama kelompok perempuan. Pada saat didiskusikan, memang semua orang sangat setuju dengan program ini dan menyatakan sanggup untuk meneruskan program ini lebih lama lagi secara mandiri. Tetapi pada kenyataannya pernyataan-pernyataan kesanggupan itu belum terealisasi secara maksimal.

Sejak Mei 2011 akhir, banyak warga yang sudah mengetahui bahwa program ini akan segera berakhir padahal fasilitator belum pernah membicarakan hal tersebut. Hal ini membawa sedikit dampak, yaitu bahwa setelah program ini berakhir warga akan merasa terbebas dari kewajiban-kewajiban program. Hal demikian memang sangat berpengaruh terhadap antusiasme warga, termasuk pengurus, untuk tetap melanjutkan program ini secara mandiri.

Page 66: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 65 Bulan Juni 2011 yang lalu, saya mencoba beberapa kali datang ke kelompok-

kelompok, selain untuk mengurus kelengkapan laporan, juga untuk mengetahui sejauh mana ”greget” warga dan pengurus sampai saat ini. Kebanyakan dari mereka melakukan penanaman dan perawatan tanaman hanya sekadarnya saja. Pengurus yang terlibat sudah mulai ”iren-irenan” (males-malesan) karena hanya mereka yang terus-menerus melakukan itu. Bahkan ada diantara kelompok (di Dusun Paten) meminta ada penggajian bagi para pengurusnya. Uang gaji diambil dari uang kelompok yang masih tersisa. Terus terang ini bagi saya menjadi ”aneh” sebab dalam sejarah kelompok di desa-desa tidak ada pengurus yang minta gaji.

Di Dusun Paten, dimana semua kelompok memiliki kebun kelompok, nampaknya hanya akan menghabiskan masa kontrak kebun kelompok dan setelah itu masing-masing warga akan menanam di pekarangan mereka masing-masing. Memang setiap KK juga menanam di pekarangannya namun dalam jumlah kapasitas yang sedikit. Sesungguhnya ide disepakatinya pembuatan kebun kelompok adalah untuk memfasilitasi anggota kelompok yang tidak memiliki pekarangan.

Kini program secara resmi sudah berakhir. Namun demikian saya ”merasa gagal” melaksanakan tugas pendampingan di Desa Paten ini. Sebagian besar penerima manfaat program memang mampu mengerti isi program yang ditawarkan namun pada tingkat realisasi, mereka masih lemah. Pelaksanaan berbagai kegiatan (penanaman, pemeliharaan, pemupukan, komposting, dll) lebih terasa sebagai kewajiban daripada sebagai kesukarelaan karena memahami program yang dijalankan.

Menurut pengamatan saya untuk kasus Desa Paten, kegiatan pengelolaan pekarangan ini kurang menarik bagi warga karena mereka lebih tertarik dengan pengolahan lahan utama yang lebih menguntungkan secara ekonomi, yaitu sawah atau tegalan. Kegiatan pengolahan pekarangan dianggap sebagai kegiatan tambahan yang kadang dirasakan sebagai ‘ngebot-boti’ atau memberatkan. [■]

Page 67: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 66 Pentingnya Sinergisitas Antar Mitra (Sebuah Lesson Learn) Oleh: A. Gandung Indarto

MERP merupakan program yang diampu oleh Save The Children bekerja sama dengan Nawakamal dalam merespon bencana erupsi Merapi. Program tersebut dijabarkan dalam bebarapa aktifitas seperti pemberian bantuan cash grant, pertanian pekarangan dengan menggunakan wadah polybag, penguatan ekonomi, penyediaan infrastruktur air bersih, beasiswa, dan juga peningkatan gizi keluarga.

Berdasarkan karakteristik aktifitas tersebut secara garis besar dapat dikategorisasikan menjadi dua jenis, yaitu aktifitas yang bersifat perberdayaan dan yang bersifat bantuan langsung. Pembeda kedua aktifitas tersebut adalah pada proses pelaksanaannya dan kemanfaatannya. Aktifitas pemberdayaan membutuhkan pendampingan secara intensif dan terdapat intervensi nilai secara sosial, dimana kemanfataannya tidak dapat dirasakan secara langsung dalam jangka pendek. Sedang bantuan langsung, relatif tanpa pendampingan intensif serta dapat langsung segera dirasakan kemanfataannya.

Aktifitas yang termasuk ranah pemberadayaan adalah pertanian pekarangan serta penguatan ekonomi masyarakat sedangkan lainnya merupakan bantuan langsung. Implementasi dari aktifitas pemberdayaan tersebut adalah pengorganisasian di tingkat masyarakat. Karena sasaran aktifitas tersebut adalah perempuan, maka kelompok yang dibentuk adalah kelompok perempuan.

Pelaksanaan program pemberdayaan tersebut dilakukan Save The Children bermitra dengan beberapa lembaga, yaitu Yayasan Nawakamal untuk ranah pertanian dan Rumah Pelangi untuk ranah penguatan ekonomi masyarakat. Program dimulai dengan sosilalisasi, pembentukan kelompok, dan pembuatan rencana kerja kelompok yang diampu oleh Rumah Pelangi. Rencana kerja tersebut menjadi acuan kelompok dalam melakukan aktifitas pertanian pekarangan dan penguatan ekonomi masyarakat di tahap berikutnya.

Permasalahan mulai muncul ketika aktifitas dalam kelompok masyarakat yang sama diampu oleh dua lembaga. Terjadi pergesekan antara konsep dan nilai yang akan disebarkan dalam kelompok. Pergesekan tersebut karena kurangnya komunikasi dan koordinasi antara pemangku kepentingan sehingga terjadi perbedaan frame aktifitas di antara pemangku kepentingan. Pemahaman yang berbeda ternyata sangat berpengaruh dalam ”orientasi” pelaksanaan program di lapangan.

Imbasnya adalah rencana aksi bersama yang dibuat kelompok bersama Rumah Pelangi menjadi, sedikit banyak, berbeda dengan nilai yang coba ditawarkan oleh Nawakamal. Muncul perbedaan pemahaman kelompok terhadap maksud dan tujuan aktifitas pertanian pekarangan. Kondisi tersebut menyebabkan kerja koordinator lapangan bidang pertanian pekarangan menjadi agar mundur selangkah ke belakang. Sosialisasi ulang mengenai maksud dan tujuan pertanian pekarangan, serta nilai-nilai

Page 68: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 67 yang terkandung dalamnya mesti dilakukan kembali. Pelaksanaan progam dalam kelompok yang idealnya terintegrasi menjadi relatif kabur. Aktifitas yang dilaksanakan seolah-olah merupakan program yang berbeda dan berjalan sendiri-sendiri.

Pembelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut adalah pentingnya koordinasi dan komunikasi diantara pemangku kepentingan sejak awal. Komunikasi yang intensif akan membawa pada pemahaman yang sama tentang tujuan dan maksud aktifitas. Persamaan persepsi tersebut akan mendukung ketersesuaian aktifitas-aktifitas di lapangan. Pemahaman yang integratif di antara kelompok pemangku kepentingan akan memberi kemudahan dalam komunikasi dengan warga. Informasi yang diterima warga menjadi tidak multi interpretasi. Warga sasaran program tentu tidak mau repot-repot membedakan masing-masing implementator program. Jika koordinasi antar mitra ini berjalan baik tentu tiap lembaga dapat menjawab dengan valid ketika muncul pertanyaan dari warga seputar kegiatan yang diampu oleh lembaga lainnya. Sehingga tidak mengakibatkan kebingungan di tingkat komunitas atau memberi jawaban yang abu-abu alias ”tidak tahu”.

Selain itu, komunikasi yang intensif juga memudahkan koordinasi antar pemangku kepentingan. Pengorganisasian menjadi lebih tertata dan tidak saling tumpang tindih ataupun kontraproduktif. Kegiatan pengorganisasian dapat dilakukan terintegrasi antar pemangku kepentingan. Misalnya, membuat jadwal bersama sehingga tidak terjadi tabrakan acara atau kalau memungkinkan bisa dijadikan satu sehingga lebih efisien dan tidak memberatkan warga. Ketika terjalin komunikasi yang baik antar mitra pelaksana program akan mereduksi persepsi atau kesan warga bahwa program dilaksanakan terpisah dengan pengampu yang terpisah pula.

Sekali lagi, komunikasi memiliki peran vital dalam pengorganisasian yang melibatkan beberapa lembaga. Komunikasi intensif akan membantu pelaksanakan program yang integratif sehingga seluruh aktifitas menjadi tertata dan tidak kontraproduktif. [■]

Page 69: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 68 Kata Mereka: “Sayang Jika Berhenti Di Sini” Oleh: A. Gandung Indarto

Perjalanan poyek MERP telah membawa saya terlibat secara intensif dalam dinamika kehidupan kelompok-kelompok perempuan Desa Mangunsuka. Saya harus masuk -keluar dusun mendampingi sekitar 10 kelompok di desa tersebut. Walaupun pada awalnya masuk dengan tergagap-gagap karena kurangnya informasi lengkap mengenai kondisi sosial ekonomi mereka, akhirnya saya sedikitdemi sedikit dapat diterima dalam masyarakat. Relasi yang terjalin semakin hari menjadi semakin akrab, bahkan lebih dari sekedar ”tamu”.

Segala formalitas yang ada sengaja saya tanggalkan dalam berinteraksi dengan mereka. Tidak hanya melulu target-target program yang saya perbincangkan dalam perjumpaan-perjumpaan dengan mereka, tetapi juga hal-hal di luar itu, seperti kondisi pertanian mereka, harga sayuran yang naik turun, biaya sekolah anak-anak, ataupun kondisi anak mereka. Bahkan kadang tentang keluh kesah mereka terhadap kondisi pertanian yang serba tidak menentu dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Perbincangan-perbincangan semacam itu ternyata mampu mempercepat penerimaan mereka terhadap saya. Pernah terlontar dari salah satu warga bahwa teman-teman dari Nawakamal orangnya senang guyon, akrab, sudah seperti saudara sendiri. Berbeda dengan lembaga lainnya yang dipandang sangat formal ketika berinteraksi dengan mereka.

Saat ini, interaksi saya yang paling intensif memang dengan pengurus kelompok perempuan. Tentu ini tidak berarti bahwa saya membatasi diri untuk berinteraksi dengan ”bukan pengurus” atau anggota-anggota kelompok. Oleh karena alasan waktu atau durasi program yang sangat pendeklah yang nenbatasi saya tidak mampu membangun relasi yang lebih luas, lebih dekat dan intensif dengan sebagian besar anggota kelompok.

Hubungan yang erat dengan pengurus ternyata memudahkan saya dalam menyebarkan nilai baru mengenai pertanian (organik) pekarangan. Banyak pengurus kelompok yang bersemangat dalam pelaksanaan program ini. Bahkan setelah adanya informasi bahwa program secara resmi segera akan selesai mereka menyatakan ”sayang jika program ini berhenti sampai di sini”. Bayangan saya jika durasi program cukup panjang serta jumlah pendamping lapangan proporsional tentunya akan lebih mengintensifkan interaksi dengan warga sehingga program dapat berjalan dengan lebih optimal. Program yang ada bukan lagi merupakan intervensi kita tetapi merupakan kebutuhan mereka. Mereka menjalankan aktifitas tersebut bukan karena paksaan ’program’ tetapi lebih karena kebutuhan akan manfaatnya

Mereka ingin terus melanjutkan program yang sudah ada. Pengorbanan mereka dalam mengurus kelompok tanpa adanya honor apapun merupakan sebuah nilai pengorbanan tersendiri. Semangat mereka merupakan bara yang bisa menjadi api

Page 70: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 69 atau bahkan mati jika hanya didiamkan. Tugas kita lah yang harus menjaga agar bara tersebut tetap menyala.[■]

Page 71: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 70

P e n u t u p

Sebagai program recovery pasca erupsi Merapi 2010 kegiatan MERP-Pertanian sesungguhnya sudah ”lunas” terselesaikan dengan terdistribusikannya cash grant untuk mensupport kebutuhan hidup sehari-hari, cash grant untuk upaya peningkatan ekonomi, cash grant mendukung berjalannya kegiatan pertanian, terdistribusikannya polybag, keterlibatan sebagian besar KK sasaran kegiatan, sebagian besar KK tersebut sudah memetik hasil panennya serta telah mengkonsumsi untuk keluarganya.

Namun sebagai sebuah fragmen pemberdayaan yang dilukiskan melalui kisah ”Dari Pekarangan Menuju Meja Makan” program ini tidak bisa dipaksa berhenti sampai di sini saja. Proses pemberdayaan budidaya pertanian pekarangan secara organik untuk kaum perempuan di lereng Merapi ini setidaknya mengandung beberapa ranah besar yang di dalamnya penuh pergulatan. Pertama, gerakan budidaya pertanian pekarangan secara organik ini akan berhadapan dengan, dan sekaligus melawan kepada, pola budidaya pertanian non-organik yang telah membudaya di kalangan petani lereng Merapi wilayah sasaran program. Budidaya pertanian non-organik sudah merasuk selama hampir 40 tahun sejak masuknya pupuk-kimia sekitar Tahun 1970-an. Namun isu-isu tentang ”pertanian organik” mulai dikenal luas di kalangan petani lereng Merapi akhir-akhir ini. Meskipun isu pertanian organik ini memiliki potret yang ”bermacam-macam”, tetapi setidaknya isu ini sedikit banyak bisa membantu mendorong masuknya pertanian pekarangan yang organik.

Melalui serangkaian pelatihan teknis budidaya pertanian pekarangan, pelatihan

pembuatan kompos, maupun diskusi di pertemuan-pertemuan pendampingan di kelompok-kelompok, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar ibu-ibu tidak ingat lagi bagaimana membuat pupuk dan pestisida organik. Bertani ”cara-cara lama” yang ramah lingkungan (organik) jelas telah lama terkubur, hilang dalam lintasan ingatan mereka. Hampir satu generasi cara-cara bertani ramah lingkungan itu tidak dipraktekkan dari generasi ke genarasi. Pendampingan yang intens dan berkelanjutan terhadap perempaun dan kelompoknya, sesungguhnya menjaga ”bara” agar para perempuan ”sabar” melalui proses ini semua.

Kedua, budaya pengelolaan pekarangan wilayah sasaran program ini

nampaknya sudah terfragmentasi begitu rupa. Dari pengamatan di lapangan di berbagai tempat, nampak sekali bahwa pekarangan tidak terkelola atau termanfaatkan dengan baik. Biasanya dibiarkan saja, atau ditanami bunga-bungaan, kurang termanfaatkan dengan tujuan produktivitas tertentu. Bisa sangat dimaklumi, bahwa sudah beberapa dekade petani tercurah total waktunya ke arena dominan ekonomi-pertanian yang konotasinya uang, yaitu di sawah atau tegalan. Curahan waktu tenaga anggota rumah tangga (keluarga) teralokasikan seharian di sawah dan tegalan demi mengejar produksi. Dengan demikian pekarangan menjadi wilayah ”minor”, sekunder, dianggap tidak mendukung ekonomi-pertanian produktif (baca: uang).

Page 72: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 71 Pekarangan, sebagai wilayah atau arena yang paling dekat dengan rumah (keluarga atau rumah tangga), ternyata juga ”asing” bagi kaum perempuan.

Namun di sisi lain, ”pekarangan”, jika didudukkan dalam konteks upaya

ketersediaan pangan sehat untuk keluarga dan anak-anak yang dalam hal ini tidak bisa tidak harus dimulai dengan cara pertanian organik, nampaknya menjadi satu-satunya ”lorong” yang paling memungkinkan. ”Penuhi meja makan dulu dengan sesuatu yang sehat, baru surplusnya dijual”, itulah salah satu mimpi dari kisah pemberdayaan ”Dari Pekarangan Menuju Meja Makan”. Sawah dan tegalan adalah ”pasar”, pekarangan adalah subsisten, begitu maunya. Sawah dan tegalan adalah arena dominasi laki-laki, maka beri kesempatan pekarangan menjadi arena untuk perempuan dan kelompok-kelompok petani perempuan. Tentu ini tidak dimaksudkan hendak mencabut perempuan dari alokasi perannya di sawah dan tegalan. Makna baru atas peran pekarangan dan peran perempuan mesti dirumuskan ke depan.

Ketiga, pangan yang sehat apalagi yang berpihak kepada anak-anak seperti

menjadi ”kisah mimpi” yang absurd diwujudkan di ”meja makan” keluarga-keluarga petani lereng Merapi. Apalagi dalam sejarahnya masyarakat ini selalu terlanda bencana Merapi secara periodik, dimana kala itu terjadi mereka diserbu makanan instant berminggu-minggu. Pemberdayaan yang diusung oleh Nawakamal sekali lagi bukan persoalan mensuplai ”ketersediaan pangan” atau pengamanan pangan (food security approach) namun lebih dari itu adalah ”hak-hak pangan” (rights to food approach) termasuk pangan yang sehat. Lantas dari mana lagi bisa menyediakan hak-hak pangan sehat bagi keluarga khususnya anak-anak lereng Merapi?! PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu-Dusun) memang sering ada kegiatan PMT (Pemberian Makanan Tambahan), tapi tidak semua Posyandu mampu menyediakan PMT. Sementara disinyalir banyak lembaga-lembaga PKK di wilayah program yang melempem. Haruskah untuk menyediakan lauk dan sayur-mayur sehat bagi anak-anak, para ”petani” itu pergi ke kios-kios atau toko-swalayan sayuran organik. Maka pendidikan warga yang mengkaitkan bertani organik—pekarangan—perempuan (ibu)—ketersediaan pangan sehat harus menjadi agenda.

Keempat, dari artikel-artikel dalam buku ini terbaca sangat kental bahwa

”dominasi kuasa” laki-laki tidak hanya terjadi di dalam sebuah keluarga petani, dimana peran perempuan yaitu membantu laki-laki di sawah dan tegalan. Oleh karena itu ketika perempuan melalui program ini diberi ”arena peran” (baru) di pekarangan, tidak sedikit laki-laki yang meragukan. Sikap itu tidak hanya meragukan kemampuan dan kemauan perempuan terlibat melalui metode organik di pekarangan mereka sendiri, namun juga agak ”sinis” terhadap daya kreasi inisiatif perempuan untuk berkelompok-berorganisasi. Itu sebabnya mengapa di banyak kelompok kebijakan mengenai alokasi dana usaha kelompok perempuan ini di-”intervensi” kebijakan-kebijakan dusun yang nota bene adalah kebijakan laki-laki.

Memang dalam praktik banyak ditemukan para lelaki (suami) membantu

membuat para-para (semacam rak-rak dari bambu untuk menaruh polybag) dan sibuk membuat kerangka atap plastik bagi budidaya pekarangan milik perempuan. Banyak pula kaum laki-laki yang menyatakan ”sangat mendukung” program ini. Hal ini bisa saja (mungkin) diintepretasikan sebagai awalan yang baik respek kaum laki-laki. Tetapi itu saja tidak cukup. Masih membutuhkan bukti yang panjang seiring berjalannya waktu pendampingan terhadap kegiatan tersebut. Dalam musim-musim

Page 73: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 72 sibuk pertanian di sawah dan tegalan, masihkah laki-laki memberikan waktu bagi perempuan untuk terlibat mengurus tanaman pekarangannya? Jangan-jangan ada agenda ”tersembunyi” dari kaum laki-laki untuk memberi makna baru orientasi yang condong komersial, yaitu: Dijual!!!

Kelima, tantangan ”komersialisasi”. Pertanian organik kini sedang menjadi ikon

diperbincangkan oleh para akademisi, praktisi pemberdayaan, bahkan juga di kalangan petani termasuk petani-petani di lereng Merapi wilayah program ini. Memang jadi nggemeske (menggemaskan)! Banyak diobrolkan di kalangan petani, tapi praktiknya tetap non-organik murni atau organik setengah matang. Jangan lupa, banyak juga diperoleh informasi bahwa banyak petani lereng Merapi yang menyatakan sudah melakukan pertanian organik. Tidak sedikit pula bakul pengepul produk organik ini yang keluar masuk dusun berburu hasil pertanian organik. Jangan salah, produk pertanian organik ini harganya relatif baik, bahkan lebih baik dari produk pertanian non-organik.

Berkaitan dengan pupuk dan pestisida organik, sudah banyak penjual pupuk dan pestisida organik ”pabrikan” yang menembus dusun-dusun di sana. Tidak sedikit petani yang ”tergoda membeli” produk-produk tersebut. Padahal content isinya sama saja dengan pupuk dan pestisida organik yang dibuat sendiri dengan memanfaatkan apa yang tersedia di alam sekitar kita. Katanya yang pabrikan itu lebih praktis dan tidak menghabiskan waktu. Inilah jebakan komersialisasi yang pertama, menjadi petani organik setengah matang. Ini pula yang menjadi salah satu tantangan program ini, bagimana menjaga para perempuan tetap ”percaya dan sabar” menyediakan pupuk dan pestisida organik buatannya sendiri untuk tanaman pekarangan mereka.

Tantangan jebakan komersialisasi berikutnya yaitu bahwa produk sayur-mayur harganya relatif lebih baik. Dengan jebakan ini maka mimpi kisah ”Dari Pekarangan Menuju Meja Makan” dengan pangan yang sehat, bisa berubah menjadi kisah ”Dari Pekarangan Menuju Pasar”. Dalam hal ini ada sebuah diskusi menarik yang menyatakan, bahwa jika kita bicara pertanian organik dan sejak hulu sudah mengkaitkan dengan ”uang” (alias pasar) maka sudah gagallah kita sejak awal. Ini setali tiga uang dengan petani yang bertani organik tetapi dijual di pasar, sementara dia makan dari produk non organik. Jebakan jenis ini tentu sangat membayangi usaha budidaya pertanian pekarangan secara organik, yang asumsi awalnya adalah untuk pemenuhan pangan sehat di dalam keluarga. Budidaya pertanian pekarangan secara organik demi pemenuhan hak pangan sehat di dalam keluarga mengasumsikan orientasi awal pada ”subsistensi” (untuk pemenuhan kebutuhan sendiri). Jika itu sudah relatif terpenuhi, sisa surplusnya baru dijual.

Agenda-Agenda Ke Depan

Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa program pemberdayaan budidaya pertanian pekarangan secara organik melalui kaum perempuan ini, yang diikuti oleh sekitar 5.700 perempuan (KK) di 60 dusun di 8 desa dengan melibatkan 92 kelompok perempuan, bukanlah program kecil. Orientasi arah program yang sudah dipaparkan

Page 74: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 73 melalui tulisan-rulisan dalam buku ini, melukiskan bahwa daya dorong akan suatu perubahan di wilayah lereng Merapi sangatlah besar. Perubahan-perubahan besar itu paling tidak mengarah ke dalam beberapa hal: (1) memberikan orientasi baru dalam pertanian organik khususnya di pekarangan; (2) memberikan makna baru perlakuan terhadap pekarangan sebagai bagian integral dalam ekonomi-pertanian; (3) menawarkan peran baru yang partisipatoris kepada petani perempuan sebagai penopang kesehatan keluarga melalui pekarangan, baik secara individual maupun berkelompok, bahkan berjejaring dengan kelompok-kelompok lain; (4) memberikan edukasi baru kepada makna hak-hak pangan yang sehat; Dll.

Beberapa ”pembelajaran” penting dan agenda yang kiranya perlu dilakukan ke

depan dalam upaya memenuhi arah orientasi program itu antara lain: Pertama, bahwa budidaya pertanian pekarangan secara organik melalui media polybag bisa diterapkan di tempat lain sebagai program recovery jangka pendek bagi para petani pada kondisi yang relatif sama dengan masyarakat lereng Merapi. Kedua, secara berkelanjutan melalui strategi-strategi yang tidak menubuhkan ”ketergantungan” tetap mengembangkan content dan model ”pendidikan-pendidikan” tentang teknis budidaya pertanian organik di pekarangan, pembuatan kompos dan pestisida organik, lingkungan, hak-hak pangan sehat keluarga dan anak. Sharing pembelajaran antar mereka dan kelompok (komunitas) menjadi salah satu kata kunci untuk menguatkan kepercayaan diri (self esteem) para petani perempuan tersebut. Ketiga, memperkuat keorganisasian kelompok dan mengembangkan simpul-simpul jaringan antar kelompok petani perempuan, yang bisa dimanfaatkan sebagai wadah tukar pengalaman dan informasi, media advokasi bersama, dll. Keempat, melakukan mainstreaming (pengarusutamaan) isu-isu budidaya pertanian pekarangan secara organik ke dalam tema-tema lain seperti isu ramah lingkungan, isu kesehatan dan pangan sehat untuk anak, dll melalui PKK, Posyandu, LSM lain, instansi pemerintah terkait, lembaga-lembaga keagamaan, dll. [■]

Page 75: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 74

Daftar Bacaan

Buku Referensi: Bernard, Bonnie 2004 Resiliency: What We Have Learn; West Ed : Sanfransisco Poerwandari, Kristi 2010 Psikologi Untuk Transformasi Sosial; Yayasan Pulih: Jakarta Nawakamal 2011 Proposal MERP-Pertanian Nawakamal 2011 Laporan Akhir Kegiatan MERP-Pertanian Juni 2011. Nawakamal & Save the Children 2011 ”Dari Pekarangan Sampai Ke Meja Makan” - Panduan Budidaya Pertanian

Pekarangan MERP-Pertanian (Save the Children – Nawakamal, Juni 2011). Sumber Internet: http://www.wacananusantara.org/99/23/menelusuri-kebenaran-letusan-gunung-merapi. http://beye-beyeblog.blogspot.com/2010/10/sejarah-letusan-gunung-merapi-sepanjang.html http://www.pikiran-rakyat.com/node/128171 http://pks-jateng.or.id/index.php/read/news/detail/40/Bahaya-kekeringan-dan-krsis-air-

bersih-ancam-warga-Merapi http://merapi.peduli.org/2011/06/dampak-kemarau-enam-desa-terancam-kekeringan/ http://kabutinstitut.blogspot.com, "Orang Jawa Ilang Pekarangane" (Heri Priyatmoko, 2009) http://id.wikipedia.org; “Pekarangan” (Anonim,2011); “Manfaatkan Pekarangan untuk

Tanaman Pertanian” (Anonim, 2011); “Pemberdayaan Lumbung Pangan Masyarakat” (Anonim, 2011)

Page 76: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 75

Para Kontributor

Maula Paramitha Wulandaru: Biasa dipanggil Mita, kelahiran Mojokerto- Jawa Timur. Mahasiswi tingkat akhir Fak. Pertanian-UGM ini kerap beraktivitas dibidang tulis menulis. Kini menekuni isu perempuan di bidang pertanian.

Kristina Wahyu S.: Praktisi pertanian organik di Sleman. Penggarak PKK di

beberapa dusun di Kec. Dukun. Dalam sela-sela kesibukannya suka hobi ”memasak”

apa saja.

Iskandar Lasau: Berasal dari Wawonii sebuah pulau di perairan Banda di Sulawesi Tenggara. Berkenalan dengan pertanian organik dari beberapa praktisi di Jawa. Hingga kini aktif di salah satu kelompok sosial yang concern pada penanganan bencana alam. Tugasnya di 12 kelompok di Desa Keningar dan Ngargomulyo.

Johan Dwi Bowo: Praktisi pertanian organik dan peternak ikan ”bawal”.

Bertugas mendampingi 11 kelompok di Desa Sewukan. Di sela waktu luangnya ”nyambi” penterjemah bahasa Inggris.

Hermanus Wahyoko: Lelaki hitam ini biasa dipanggil Yoko. Berdomisi di Dusun Candi-Sumber, Dukun, Magelang. Tugas pendampingannya di 12 kelompok di Desa Paten. Sedang berjuang menjadi guru yang baik.

Bowo Nugroho: Praktisi

pertanian organik setidaknya di lahannya sendiri di daerah Sleman.

sedang mengembangan usaha ”cacing”. Tugas pendampingannya di

Gulon dan Kalibening.

Guntur Prabawanto: Lelaki berjenggot lebat ini sedang berusaha menyelesaikan kuliahnya di Sanata Dharma. Bertugas pendampingan di Kalibening dan Argomulyo. Dia adalah usahawan ayam, rumah kayu limasan, dll.

Page 77: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Refleksi Pendampingan Budidaya Pekarangan di Lereng Merapi

Page | 76 Henu Pramujaka: Lelaki tambun asli Gulon-

Muntilan ini juga praktisi pertanian organik. Hobinya olah raga, bertani,

beternak, dan makan enak.

A. Gandung Indarto: laki-laki gondrong berkacamata tebal ini adalah praktisi pertanian organik. Betugas di kelompok-kelompok di Desa Mangunsuko.

TA. Kuncoro: Adalah koordinator Tim Nawakamal untuk MERP-Pertanian.

Berpengalaman panjang sebagai praktisi pertanian organik di Sleman. Sangat

bersemangat jika berbincang soal pertanian organik.

Budi Setiawan: Bergiat di Nawakamal, penjaga gawang devisi audio-visual. Membuat naskah drama, menggubah puisi-puisi ”pemberdayaan” adalah hobi lamanya.

Sanna Sanata: Pemuda asal Bantul yang bercita-cita jadi petani. Sedang

menyelesaikan studinya di Fakultas Petanian-UGM. Saat ini giat memproduksi

film-film dokumenter tentang pertanian dan lingkungan. Mendampingi di Desa

Sumber dan Kalibening.

Agung Haryanto: ”Juragannya” Nawakamal. Juga salah seorang pendirinya. Alumnus Antropologi-UGM. Berpengalaman panjang dalam penelitian sosial-budaya dan penelitian evaluasi.

Baning Prihatmoko: Berpengalaman panjang sebagai praktisi pertanian organik

di Sleman. Bergiat di Nawakamal. Bergabung di proyek MERP-Pertanian Save

the Children sebagai Project Officer. Kini sedang menunggu sapi beranak-pinak….

Emil E. Elip: Salah seorang pendiri Nawakamal. Alumnus Antropologi-UGM. Minat kegiatannya antara lain penelitian sosial-budaya, kerja pemberdayaan, bermusik, dan kadang-kadang melukis.

Page 78: Sebuah Kisah: "Dari Pekarangan Menuju Meja Makan"

Buku ini dipersembahkan untuk rekan kami Edi Tanto (almarhum), yang hampir separoh waktu hidupnya berkarya di arena melawan model pertanian non-organik. Model pertanian non-organik yang diyakininya, tidak hanya diterapkan di tanah dan pekarangan pribadinya, namun juga dipersembahkannya bagi kerja-kerja gerakan pertanian organik mulai dari Sumatera sampai NTT.

Kesempatan Nawakamal mengimplementasi program MERP (Merapi Early Recovery Programme)-Pertanian di lereng Merapi di wilayah Magelang ini, diawali pula oleh saudara Edi Tanto. Sayang dia tidak “berkesempatan” mengawal proses program ini.

Buku dihadapan para pembaca ini adalah hasil refleksi pengalaman pendampingan pertanian pekarangan organik bagi para perempuan pasca bencana erupsi Merapi 2010. Berproses bersama para (petani) perempuan, di wilayah pekarangan, dengan cara organik, lalu memberinya ”kuasa” mengelola kelompok tani perempuan ternyata bukan perkara sepele. Apalagi jika semangat itu diletakkan dalam upaya menuju hak-hak pangan sehat bagi anak dan keluarga. Pengalaman bertani non-organik di lereng Merapi yang panjang telah ”membudaya”, sementara bayang-bayang dominasi laki-laki (ternyata) tetap saja kental dikehidupan mereka. Bisakah perempuan menembus batas-batas itu? Semoga refleksi yang dihadirkan melalui bukui ini memberikan makna baru bagi kita semua.

Diterbitkan oleh: Lembaga Nawakamal

Jl. STM Pembangunan No. 6-A Mrican, Yogyakarta 55281 Telp/Fax : 0274 – 552890

Email: [email protected] www.nawakamalfoundation.wordpress.com