SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN PERJUANGANNYA DI...

95
SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN PERJUANGANNYA DI WONOSOBO 1864-1943 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora Oleh : Reno Saputra Siregar 216-14-002 JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2018

Transcript of SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN PERJUANGANNYA DI...

  • SAYYID IBRAHIM BAABUD DAN

    PERJUANGANNYA DI WONOSOBO 1864-1943

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Humaniora

    Oleh :

    Reno Saputra Siregar

    216-14-002

    JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

    FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

    2018

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    MOTTO

    Bercengkrama dengan Budaya, Bersahabat dengan Tradisi, Berterimaksih dengan

    Sejarah. Konsepnya sederhana, Bersikap, bertingkah, berusaha sealakadarnya

    mungkin.

  • v

    ABSTRAK

    Wonosobo pada akhir abad ke 19 merupakan wilayah yang dihuni oleh

    masyarakat yang masih menganut tradisi lokal. Hal ini mengindikasikan eksistensi

    para tokoh-tokoh (ulama) dalam menyebarkan Islam di Wonosobo dengan

    menggunakan pendekatan tasawuf (tarekat). Hal ini sesuai dengan kesamaan nilai-

    nilai yang ada di dalam tarekat dengan tradisi lokal yang di anut oleh masyarakat.

    Sayyid Hasyim Baabud merupakan tokoh yang meyebarkan Islam di Wonosobo

    menggunakan pendekatan tarekat Alawiyah dan Shatoriyah. Sayyid Hasyim

    Baabud mengajarkan amalan-amalan tarekat seperti dzikir dan wirid yang

    kemudian dierima dan diamalkan oleh masyarakat Wonosobo. Setelah Sayyid

    Hasyim Baabud wafat kemudian pengembangan Islam melalui tarekat dilanjutkan

    oleh cucunya yaitu Sayyid Ibrahim Baabud. Sayyid Ibrahim Baabud melakukan

    perluasan dakwah hingga ke daerah pedalaman Wonosobo dan berhasil membawa

    pengaruh besar di dalam masyarakat. Hingga awal abad ke 20 Wonosobo

    merupakan daerah dengan basis tarekatnya yang kuat dimana sebelumnya

    masyarakat masih menganut tradisi lokal (kejawen). Kemudian Sayyid ibrahim

    Baabud kembali hadir sebagai pembeda pada tahun 1920-an. Ini ditandai dengan

    masuknya pengaruh modernisme dari bangsa kolonial dimana sayyid Ibrahim

    baabud memperbaharui model dakwahnya dengan mengkolaborasikan tarekat

    dengan organisasi Nahdlatul Ulama yang lebih toleran.

    Dalam hal ini penulis menelusuri sumber kepada Habib Aqil yang

    merupakan cucu Sayyid Ibrahim Baabud. Habib Aqil menceritakan tentang

    kondisi Islam akhir abad 19 hingga awal abad ke 20 di Wonosobo, biografi

    Sayyid Ibrahim Baabud, serta dakwah Sayyid Ibrahim Baabud hingga akhir dari

    peran Sayyid ibrahim Baabud itu sendiri. Kemudian Habib Aqil menunjukkan

    Sanad Tarekat Alawiyah serta kitab Minhajul Mubin tulisan tangan Sayyid

    Ibrahim baabud yang di simpan oleh Ahmad Muzan (Sejarawan lokal wonosobo).

    Naskah tersebut menjelaskan tentang model dakwah yang dilakukan Sayyid

    Ibrahim Baabud dengan mengajarkan dzikir, wirid dan fikih. Disamping itu juga

    ditemukan dokumen Kartu Tanda NU atas nama Muhammad Saiddun dengan

    nomor anggota 1526 yang di tandatangani oleh Sayyid Ibrahim Baabud. Ini

    mengindikasikan bahwa pada saat itu anggota NU sudah berjumlah ribuan

    anggota.

    Dengan adanya bukti-bukti diatas dapat disimpulkan bahwa Sayyid

    Ibrahim Baabud merupakan seorang tokoh pengembang Islam dengan pendekatan

    dakwah yang cukup menarik, yaitu dengan menjadikan masyarakat Wonosobo

    sebagai masyarakat Islam yang berbasis tarekat pada akhir abad ke-19 serta

    mengkolaborasikan tarekat dengan organisasi NU pada awal abad ke 20 dengan

    menjadikan masyarakat yang awalnya bersifat fanatik menjadi masyarakat yang

    lebih toleran.

  • vi

    ABSTRACT

    Wonosobo at the last 19th

    century is a region who lived by society who

    still believed local tradition. This way indicated existence of figures (ulama) about

    spread Islam in Wonosobo with using Sufism approach (tarekat). This way had

    values similarity about tarekat and local tradition who believed by Wonosobo

    society. Sayyid Hasyim Baabud is a figure that spread islam in Wonosobo using

    approach Alawiyah and Shatoriyah tarekat. Sayyid Hasyim Ibrahim teach tarekat

    deeds like dzikir and wirid which then accepted and practiced by Wonosobo

    society. After Sayyid Hasyim Baabud was die then Islam development using

    tarekat continued by his grandchild that is Sayyin Ibrahim Baabud. Sayyid

    Ibrahim Baabud did extension religion missionary until outlying place area in

    Wonosobo and succeed make big influence in society. Until fist 20th

    century

    Wonosobo is the strongest area with tarekat basis which is before being a society

    who believed about local tradition (kejawen). Then Sayyid Ibrahim Baabud came

    back to distinguishment in 1920. This marked by come in modernism influence

    from colonialism people which Sayyid Ibrahim Baabud reorganize his religion

    missionary method with collaborated tarekat with Nahdlatul Ulama organization

    that more tolerate.

    In this case, writer did a research source by Habib Aqil that is Sayyid

    Ibrahim Baabud grandchild. Habib Aqil told about Islma condition at last 19th

    century until first 20th

    century in Wonosobo. Sayyid Ibrahim Baabud biography,

    and also religion missionary‟s Sayyid Ibrahim Baabud until end of the role Sayyid

    Ibrahim Baabud itself. Then Habib Aqil showed Sanad Tarekat Alawiyah and

    Minhajul Mubin holy book who was hand written by Sayyid Ibrahim Baabud that

    saved by Ahmad Muzan (Local Historian Wonosobo). That manuscript explained

    about religion missionary method of Sayyid Ibrahim Baabud was did with teach

    about dzikir, wirid, and fiqh. In addition that is founded Card Document NU‟s

    mark too on behalf of the Muhammad Saiddun with number of member 1526 who

    signed by Sayyid Ibrahim Baabud. That indicated in that time, NU member is

    until thousand members.

    With all of the prove above can conclude that Sayyid Ibrahim Baabud is a

    development Islamic figure with interested religion missionary approach, that is

    make society of Wonosobo became Islamic society that tarekat basis at last 19th

    century and also collaborated tarekat with NU organization at first 20th

    century

    with make society who firstly had a fanatic believed became tolerance society.

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

    rahmat, karunia, dan kehendaknya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

    Sholawat dan salam senantiasa penulis panjatkan pada junjungan kita Nabi

    Muhammad SAW, yang telah menyampakan hidayah kepada kita semua yang

    senantiasa kita nantikan syafaatnya di yaumil kiyamah amin.

    Skripsi ini ditulis untuk memperoleh gelar sarjana Humaniora dari jurusan

    Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushulludin, Adab dan Humaniora IAIN

    Salatiga. Proses penyusunannya telah melibatkan banyak pihak, baik secara

    langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis

    mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

    Pertama-tama rasa terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Benny

    Ridwan, M.Hum selaku Dekan Fakultas Ushulludin, Adab dan Humaniora, Bapak

    Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah Peradaban Islam

    dan selaku pembimbing utama yang telah memberikan banyak masukan kepada

    penulis, Bapak Dr. Sidqon Maesur, Lc., MA. Selaku pembimbing Skripsi yang

    banyak memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini sehingga

  • viii

    membuat skripsi ini menjadi lebih baik, serta seluruh staf pengajar Jurusan

    Sejarah Peradaban Islam yang telah memberi ilmu pengetahuan selama kuliah,

    walaupun namanya tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semua

    ilmu yang didapat.

    Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak

    Raja Luat Siregar dan Ibu Sariyati Siregar yang tanpa lelah telah mendidik dan

    membimbing selama bertahun-tahun, dan terus memberi motivasi kepada penulis

    serta selalu sabar menanti keberhasilan penulis. Tak lupa kepada keluarga besar

    Bani Jaswandi yang selalu memberikan dukungan dari awal penulis aktif

    bersekolah hingga berhasil menyelesaikan skripsi ini.

    Penulis berterima kasih kepada Habib Aqil Baabud, KH Alim, Bapak

    Ahmad Muzan, yang telah memberikan banyak informasi sehingga penelitian ini

    dapat terselesaikan dengan baik.

    penulis berterimakasih pula kepada semua teman-teman Jurusan Sejarah

    Peradaban Islam, teman-teman Keluarga Mahasiswa Wonosobo (KMW) Salatiga,

    teman-teman seperjuangan alumni MAN Wonosobo yang telah memberikan

    semangatnya untuk penulis dalam menyusun laporan penelitian skripsi ini. Serta

    semua pihak yang bersangkutan yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu

    yang telah membantu dari segi moril materil demi kelancaran penyelesaian

    laporan penelitian skripsi ini.

  • ix

    Semoga mereka terbalaskan semua jasa-jasanya dengan balasan yang lebih

    baik lagi. Jazakumullah khoirunahsanajaza. Penulis berharap semoga skripsi ini

    bermanfaat khususnya bagi saya selaku penulis serta penyusun, dan umumnya

    bagi para pembaca.

  • x

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL

    HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………....... i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………............................. ii

    HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………...... iii

    HALAMAN MOTTO …………………………………………………………... iv

    ABSTRAK …………………………………………………………………......... v

    KATA PENGANTAR ………………………………………………………..... vii

    DAFTAR ISI …………………………………………………………...…......... x

    DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………........ xii

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….……... 1

    B. Batasan dan Rumusan Masalah ………………………………………….….... 8

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………………………………....... 9

    D. Kajian Pustaka ……………………………………………………………....... 9

    E. Kerangka Konseptual ……………………………………………………....... 12

    F. Metode Penelitian …………………………………………………..…......... 14

    G. Sistematika Penulisan ………………………………………………..….…... 19

    BAB II : ISLAM DI WONOSOBO

    A. Gambaran umum Masyarakat Wonosobo sampai abad ke-19 ..……….. 22

    B. Jenjaring Ulama di Wonosobo ......……………………………………... 24

    C. Tarekat Alawiyah dan Shatoriyah sebagai media pengembangan Islam di Wonosobo .................................................................................. 30

    BAB III: BIOGRAFI SAYYID IBRAHIM BAABUD

    A. Latar Keluarga …………………………………………………….…..... 37

    B. Riwayat Pendidikan …………………………………………………...... 42

    C. Geneologi Keilmuan ……….…...…………………………………......... 45

    D. Pemikiran Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang Politik dan

    Dakwah Islam .......................................................................................... 46

    BAB IV : SAYYID IBRAHIM BAABUD DALAM PERJUANGAN AGAMA

    DAN POLITIK DI WONOSOBO

    A. Perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang Sosial

    Keagamaan di Wonosobo.......................................................................... 50

    1. Dakwah Islam melalui Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah ............... 50

  • xi

    2. Perjuangan Sosial keagamaan Sayyid Ibrahim baabud

    melalui NU ........................................................................................ 53

    B. Sayyid brahim Baabud dalam perjuangan politik..................................... 60

    1. Perjuangan Politik melalui NU .......................................................... 60

    2. Perlawanan Sayyid Ibrahim Baabud terhadap pemerintah

    Jepang ................................................................................................ 55

    C. Sayyid Ibrahim Baabud dan perlawanan Jepang di Wonosobo ............... 64

    BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 69

    A. Kesimpulan .............................................................................................. 69

    B. Saran ........................................................................................................ 72

    DAFTAR PUSTAKA ………………………………………....…....……….... 73

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • xii

    DAFTAR LAMPIRAN

    NO Lampiran Foto

    1 LAMPIRAN 1 Makam keluarga Sayyid Ibrahim Baabud

    Longkrang Wonosobo

    2 LAMPIRAN 2 Makam Sayyid Ibrahim Baabud Longkrang

    Wonosobo

    3 LAMPIRAN 3 Sayyid Ibrahim Baabud beserta keluarga

    4 LAMPIRAN 4 Foto Sayyid Ibrahim Baabud

    5 LAMPIRAN 5 Lukisan Sayyid Zaini Dahlan

    6 LAMPIRAN 6 Sanad Tarekat Allawiyah

    7 LAMPIRAN 7 Kitab Minhajul Mubin

    8 LAMPIRAN 8 Kantor NU Cabang Wonosobo

    9 LAMPIRAN 9 Kartu tanda NU atas nama Muhammad Sa‟iddun

    dengan nomor anggota 1526

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Ulama merupakan sosok penting yang mewarnai perkembangan sosial

    keagamaan di Indonesia. Mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam

    penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Peran sentral dari para ulama ini

    mempengaruhi corak penyebaran Islam di wilayah negara dengan mayoritas

    muslim terbesar di dunia. Hal tersebut dapat di lihat dari beragamnya saluran

    penyebaran Islam yang dilakukan oleh para ulama seperti perdagangan,

    perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik.1 Dari beragamnya saluran

    penyebaran yang dilakukan oleh para ulama, tasawuf merupakan salah satu

    saluran penyebaran Islam yang cukup dominan. Pengajar-pengajar tasawuf, atau

    para sufi mengajarkan teosofi bercampur dengan ajaran Islam yang sudah dikenal

    luas oleh masyarakat. Dengan tasawuf, ”bentuk” Islam yang diajarkan kepada

    penduduk pribumi mempunyai persamaan dengan alam fikiran mereka yang

    sebelumnya menganut ajaran yang diwarnai Hindu, sehingga ajaran baru mudah

    dimengerti dan diterima.2

    Wonosobo merupakan sebuah daerah di pedalaman Jawa Tengah yang

    terletak di pegunungan Dieng. Wonosobo dan umumnya pegunungan Dieng

    1 Mahdi Fadlullah. 1991. Titik temu Agama dan Politik (Analisa Pemikiran Sayyid Qutub), cet

    I(Surakarta:Ramadhani) Hal 7. 2Fatah Syukur. 2011. Sejarah Peradaban Islam, cet III, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra),

    hal183.

  • 2

    merupakan bagian pedalaman Jawa yang pada masa lalu mayoritas masyarakatnya

    beragama Hindu dan Buddha. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan

    Hindu Budha seperti candi dan beberapa situs peninggalan agama Hindu Budha

    lainnya. Di samping peninggalan fisik, beberapa ajarannya sebagian kini masih

    dianut oleh pemeluknya, dan juga dalam praktek kehidupan sosial masih terdapat

    tradisi peninggalan Hindu-Buddha yang kemudian diisi dengan ajaran-ajaran

    keislaman.3

    Petunjuk yang paling dapat dipercaya mengenai pengembangan Islam di

    Wonosobo adalah temuan Islam kuno yang memiliki prasasti di komplek

    pemakaman desa Ketinggring, kecamatan Wonosobo. Sejumlah makam

    berprasasti telah menunjukkan nama para ulama (penyebar agama Islam) yang

    pernah tinggal dan melakukan kegiatan keagamaan di Wonosobo. Menurut babad

    yang ditulis pada masa Mataram Islam daerah yang sekarang menjadi Wonosobo

    dulu disebut daerah Ledok yang termasuk daerah bawahan Majapahit. Bersamaan

    dengan runtuhnya Majapahit daerah ini kemungkinan sudah menjadi area

    Islamisasi oleh para wali pada abad ke-16 M. Menurut tradisi lisan masyarakat

    Wonosobo sendiri, awal mula berdirinya Wonosobo berhubungan erat dengan tiga

    orang Kyai penyebar Islam yaitu Kyai Walik, Kyai Kolodete dan Kyai Karim.4

    Pada awal abad ke-18 M Islam sudah berkembang di Ledok (Wonosobo).

    Kemudian kesultanan Mataram Islam mengutus Kyai Asmoro Sufi dan Kyai

    Asmoro Gati untuk mengembangkan Islam di Wonosobo. Kyai Asmoro Sufi

    3Di antaranya adalah tradisi cukur rambut anak-anak yang berambut gimbal di daerah pegunungan

    Dieng. 4Kusnin Asa DKK. 2008. Sejarah Wonosobo, cet I (Wonosobo: Pemerintah Kabupaten Wonosobo

    dengan Puslitbang Arkeologi Nasional), Hal 165-168.

  • 3

    meminta izin kepada para bupati-bupati untuk mengembangkan Islam di

    Wonosobo. Setelah mendapat izin akhirnya Kyai Asmoro Sufi aktif

    mengembangkan Islam di Wonosobo bahkan sampai dinikahkan dengan putri dari

    Tumenggung Wiroduto, yang tinggal di Kali Lusi. Beliau menjadi ulama terkenal,

    mengajarkan Islam dan mendirikan masjid di Bendosari, Sapuran Wonosobo. Dari

    Kyai Asmoro Sufi pengembangan Islam dilanjutkan oleh putranya yang dikenal

    debagai Kyai Ali Markamah sampai tahun 1750 M. Setelah Kyai Ali Markamah

    wafat kemudian dlanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Syukur Saleh

    sampai tahun 1775 M. Keduanya masih menetap di Bendosari, Sapuran,

    Wonosobo. Pada tahun 1800-an M atau awal abad ke-19 M ada beberapa ulama

    pengembang Islam di Wonosobo yaitu Kyai Mansyur (di sekitar Wonosobo),

    Kyai Haji Abdul Fatah (di Segedong), dan Kyai Ahmad Ansor (di Leksono). Para

    Kyai tersebut selain mendirikan masjid juga mendirikan pondok pesantren di

    daerah tempat tinggalnya. Para Kyai tersebut merupakan keturunan dari Kyai

    Markamah yang kemudian saling menjalin hubungan pernikahan dengan putra

    dan putri para Kyai lainnya. Kemudian mereka mendirikan pondok pesantren

    sendiri dan mengembangkan Islam di tempat tinggalnya masing-masing. Daerah

    ini (Wonosobo) hingga awal abad ke-19 masih menjadi objek penyebaran Islam

    melalui saluran tarekat.5 Pengaruh tarekat dalam proses pengembangan Islam di

    Wonosobo begitu dominan, Dengan masyarakat yang semula beragama Hindu

    dan Budha, pada perkembangannya kemudian Wonosobo menjadi daerah

    5Dalam tasawuf Islam, Thariqah adalah jalan tertentu bagi seorang sufi untuk mendekatkan diri

    seorang hamba kepada Allah SWT. Setiap karakter sufi berkembang dan mengikuti jalannya

    sendiri. Oleh karena itu tarekat bukan hanya satu jenis, namun terbagi dalam beberapa madzhab-

    madzhab dalam tasawuf. (Kusnin dkk, (2008): Hal. 168)

  • 4

    mayoritas Muslim dengan tradisi Islam yang kuat.6 Hal ini tidak lepas dari peran

    para sayyid Hadhramaut, di antaranya Sayyid Ibrahim Ba'bud.7

    Penyebaran Islam melalui jalur tasawuf, salah satunya ditandai dengan

    ditemukannya makam Sayyid Hasyim bin Idrus bin Muhsin Ba‟abud di

    Wonosobo. Sebenarnya siapakah Sayyid Hasyim? Tokoh yang berasal dari

    Hadramaut tersebut merupakan kawan baik keluarga Bin Yahya.8 Mereka datang

    ke Nusantarapada abad ke-17 dengan tujuan menyebarkan agama Islam.

    Keduanya tiba di Batang, kemudian menyebarkan agama di setiap tempat yang

    disinggahi. Dari Batang, lantas dilanjutkan ke daerah selatan pegunungan Dieng

    yang waktu itu merupakan pemukiman masyarakat Hindu Budha.Kemudian turun

    ke wilayah selatan yang sekarang disebut Wonosobo. Wilayah ini dijadikan

    sebagai tempat tinggal sekaligus pusat penyebaran agama Islam. Mereka

    membangun langgar sebagai cikal bakal masjid9 yang nantinya menjadi tempat

    pengajaran agama Islam di Wonosobo. “Dalam dakwahnya, Sayyid Hasyim

    menggunakan prinsip yang sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dengan ilmu,

    tutur kata dan perilaku yang baik, sehingga memikat hati masyarakat untuk

    mengikuti ajarannya,”ungkap Habib Aqil yang masih keturunan Sayyid Hasyim”.

    Sayyid Hasyim memiliki 3 anak yaitu Ali, Syeh dan Hamzah. Ketiganya

    6Pada awal abad Islam, sufisme atau tarekat belum diketahui dan bukan gerakan terorganisir di

    sekolah-sekolah tertentu. Namun berabad-abad kemudian, ajaran sufi dan contoh kehidupan

    pribadi mulai menarik perhatian banyak orang di masyarakat. Sebagai sebuah gerakan, tarekat

    dengan berbagai organisasinya memasuki Wonosobo membawa kedamaian tersendiri kepada

    komunitas Hindu dan Budha sebagai objek dakwah Islam. 7Wawancara dengan Ahmad Muzan (Sejarawan Wonosobo) pada tanggal 17 Juli 2017 di

    Wonosobo. 8Keluarga Bin Yahya merupakan kalangan ulama yang berasal dari Hadramaut (Yaman).Keluarga

    Bin Yahya menetap dan menyebarkan Islam melalui jalur tasawuf di kawasan pantai utara Jawa

    (Batang, Pekalongan, dan Kendal). 9Masjid Al-Mansyur, Kauman, Wonosobo.

  • 5

    menyebar ke berbagai daerah di Pulau Jawa maupun luar Jawa. Ali menurunkan 3

    anak yakni, Ibrahim, Umar dan Muhamad. Ibrahim inilah yang kelak memberikan

    pengaruh besar dalam pengembangan Islam di Wonosobo. Ibrahim bin Ali

    Baabud dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama di Wonosobo.10

    Pada permulaan abad ke-20, masyarakat Wonosobo merupakan penganut

    ajaran Islam yang sinkretis. Artinya dominasi adat istiadat serta budaya masih

    sangat kental dalam kehidupan sosial keagamaan di Wonosobo. Sebagian dari

    mereka masih menganut warisan leluhur dari kepercayaan animisme yang telah

    lama berkembang di Wonosobo. Bukan hanya itu, unsur kejawen11

    juga masih

    dominan dalam aktifitas keagamaan masyarakat Wonosobo pada umumnya.

    Dalam praktiknya, aktifitas ini dilakukan dengan cara membakar kemenyan,

    menyerahkan sesaji terhadap benda-benda yang diangggap sakral, seperti pohon,

    makam, dan lain sebagainya.12

    Semenjak kecil Sayyid Ibrahim Baabud sudah mulai dikenalkan dengan

    Ilmu keislaman, termasuk ilmu Tasawuf (thoriqoh). Disamping mendapatkan ilmu

    agama dari orangtua serta para ulama Wonosobo, beliau juga berguru kepada

    sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Bin Thalib Alattas

    Pekalongan.Beliau pergi ke daerah Pekalongan bersama KH Hasbullah dengan

    berjalan menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang hendak

    10

    Wawancara denga Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo) pada tanggal 17 Juli 2017, di

    Wonosobo. 11

    Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang dianut di pulauJawa. Kejawen hakikatnya adalah

    suatu filsafat dimana keberadaannya itu ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat

    dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada

    zamannya. 12

    Ahmad Muzan. 2009. Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, (Wonosobo: Pustaka

    Alfa), Hal 23

  • 6

    dihadiahkan kepada guru sekaligus sahabatnya tersebut. Di Pekalongan beliau

    juga berguru kepada Habib Hasyim bin Yahya, kakek dari Rais Aam Jam'iyyah

    Ahlu ath-Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah Habib Luthfi bin Yahya. Selain

    itu beliau juga memperdalam ilmunya dengan belajar fikih kepada Syekh Kholil

    Bangkalan yang merupakan ulama terkemuka pada awal abad ke-20. tidak jauh

    berbeda dengan ayahnya (Sayyid Ali bin Hasyim Baabud) yang juga menuntut

    ilmu di Makkah, Sayyid Ibrahim Baabud juga belajar di Makkah. Ia berguru

    kepada Sayyid Zaini Dahlan serta Syekh Nawawi Al Bantani yang merupakan

    ulama terkemuka pada akhir abad ke-19. Dalam perjalanan menuntut ilmu di

    Mekkah beliau mempelajari ilmu Fikih dan sanad tarekat (Allawiyah dan

    Satoriyah)13

    yang kemudian digunakan dalam pengembangan Islam di

    Wonosobo.Kecintaanya kepada ilmu dan Ulama Ahlussunah Wal Jama‟ah beliau

    tunjukan melalui perjumpaannya dengan Sayid Zaini Dahlan di Makkah.Sayyid

    Zaini Dahlan sendiri adalah Maha guru yang berfaham Ahlussunah wal Jama‟ah

    dari para ulama Islam, dan khususnya Nusantara pada zamannya. Dari Sayyid

    Zaini Dahlan ini, antara lain beliau mendapatkan sanad thariqoh

    Alawiyah. Berbekal ilmu yang telah didapatkan dari para gurunya, Sayyid

    Ibrahim Baabud kemudian mengajarkannya dari satu tempat ke tempat yang lain

    khususnya di wilayah Wonosobo dan pegunngan Dieng. Disamping itu beliau

    juga merupakan seorang saudagar yang sangat terkenal dan mempunyai banyak

    sawah dan tanah yang kemudian dijadikannya tempat mendirikan masjid dan

    pendidikan.Kesempatan berdagang itu pula digunakannya untuk menyampaikan

    13

    Tarekat allawiyah dan shatoriyah yang dibawa oleh keluarga Baabud dan bin Yahya yang

    kemudian diajarkan kepada penduduk Wonosobo dan merupakan bentuk pengislaman yang sesuai

    dengan ajaran Rasulullah SAW.

  • 7

    dakwah Islamiyah dan mengenalkan NU lewat jalur thariqah yang didapatkan dari

    ayahnya, Thariqah Alawiyyah. Beliau mengajarkan Islam dari satu tempat ke

    tempat yang lain. Aktifitas beliau khususnya di daerah pegunungan Dieng tak jauh

    berbeda dengan aktivitas dakwahnya di Wonosobo. Sayyid Ibrahim Baabud yang

    sering bepergian antara Wonosobo dan Pekalongan sudah tak asing lagi dengan

    daerah Dieng, karena Dieng merupakan jalur yang menghubungkan antara kedua

    daerah itu, dan masyarakatnya juga mempunyai corak budaya yang hampir sama

    dengan wonosobo. Masyarakat pegunungan Dieng yang masih menjunjung tinggi

    tradisi lokalnya dengan mudah menerima dakwah Sayyid Ibrahim Baabud yang

    menggunakan pendekatan tasawuf dalam pengembangan Islam di wilayah

    Pegunungan Dieng. Dalam dakwahnya, Sayyid Ibrahim Baabud juga banyak

    mendirikan masjid-masjid di daerah Serang, Kreo, Kejajar, dan Dieng.

    Kesempatan serta keahlian berdagang yang dimiliki Sayyid Ibrahim Baabud

    kemudian digunakannya untuk menyampaikan dakwah Islamiyah dan

    mengenalkan Nahdlatul Ulama melalu jalur Thoriqoh.14

    Sayyid Ibrahim Baabud mendeklarasikan berdirinya NU di Wonosobo

    pada tahun 1931 M pasca Muktamar NU ke 6 di Cirebon. Beliau mengambil dua

    langkah setrategis sebagai bentuk konsolidasi „Ulama Ahlussunnah wal Jama‟ah.

    Pertama adalah mensosialisasikan Jam‟iyah NU di seluruh penjuru Wonosobo.

    Dalam upayanya, langkah yang diambil Sayid Ibrahim adalah melalui jalur

    Thariqoh. Upaya ini dipandang efektif dan terbukti di tahun 1936 NU Wonosobo

    telah memiliki ribuan anggota. Hal ini dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota

    14

    Wawancara dengan Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo), Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.

  • 8

    (KTA) NU atas nama Muhammad Sa‟idun dari Desa Kreo Kecamatan Kejajar

    dengan Rosyidul „Udhwiyah (nomor anggota) 1526. Wilayah ini menjadi awal

    mula basis penyebaran NU di Wonosobo, sebab daerah Kreo pada masa itu

    mayoritas masyarakatnya merupakan pengikut thariqoh Sathoriyah dengan

    mursidnya Sayyid Ibrahim Baabud.15

    B. Batasan dan Rumusan Masalah

    Dalam skripsi ini penulis membatasi dengan batasan Spasial yaitu

    mengenai peran Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang politik dan agama serta

    pengembangan Islam melalui pendekatan tarekat alawiyah dan shatoriyah sampai

    abad ke-19 kemudian dilanjutkan dakwah Islamiyah menggunakan pedekatan

    organisasi (Nahdlatul Ulama) di awal abad ke-20. Kemudian penulis membatasi

    dalam batasan temporal yaitu antara tahun 1864 yang merupakan tahun kelahiran

    Sayyid Ibrahim Baabud selaku tokoh pembaharu Islam di awal abad ke 20 sampai

    tahun 1943 yang merupakan tahun wafatnya Sayyid Ibrahim Baabud serta

    menandai akhir kiprah Sayyid Ibrahim Baabud.

    Selanjutnya setelah dijelaskan ruang lingkup persoalan yang termasuk

    dalam penelitian, maka ditetapkan pokok masalah yang menjadi fokus kajian

    dalam penelitian ini. Sehingga fokus permasalahan akan menjadi lebih jelas dan

    akan lebih mudah merumuskannya.

    1. Bagaimana kondisi Islam di Wonosobo sampai abad ke-19?

    15

    Wawancara dengan Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo), Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.

  • 9

    2. Bagaimana riwayat hidup Sayyid Ibrahim Baabud?

    3. Bagaiman perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang

    politik dan dakwah Islam?

    C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

    Tujuan utama dari penelitian ini yaitu melingkupi beberapa hal, sebagai berikut :

    1. Memahami bagaimana kondisi keagamaan yang ada di Wonosobo pada

    akhir abad ke-19.

    2. Mencermati serta memahami bagaimana riwayat hidup Sayyid Ibrahim

    Baabud.

    3. Memahami bagaimana perjuangan Sayyid Ibrahim Baabud dalam bidang

    politik dan dakwah Islam di Wonosobo.

    D. Tinjauan Pustaka

    Tinjauan pustaka merupakan salah satu cara untuk memperoleh sumber

    yang sudah ada, karena sumber ataupun data merupakan hal yang paling penting

    di dalam ilmu pengetahuan, yaitu menyimpulkan fakta-fakta, mengisi gejala-

    gejala baru yang sudah ada atau sudah terjadi. Pada dasarnya, penelitian

    ilmiahtidak mampu berjalan tanpa adanya penelitian-penelitian sebelumnya yang

    sesuai dengan apa yang akan dikaji.16

    16

    Taufik Abdullah.1991. Metode Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: PT Tiara

    Wacana), Hal 4.

  • 10

    Penelitian L.W.C Van Den Berg yang berjudul Hadramaut dan Koloni

    Arab di Nusantara yang di terbitkan oleh inis Jakarta pada tahun 1989. Dalam

    bukunya ini Berg menjelaskan tentang orang-orang Arab di Nusantara pada abad

    ke 19 serta awal abad ke-20. beberapa penekanan berg dalam bukunya ini adalah

    tentang pengaruh para Sayyid keturunan Arab terhadap penduduk pribumi yaitu

    dalam bidang ekonomi, sosial, dan agama. Sayyid Ibrahim Baabud sendiri

    merupakan salah satu tokoh keturunan Arab yang memiliki pengaruh khususnya

    dalam bidang sosial agama dalam pengembangan Islam di Wonosobo.

    Penelitian M.C Ricklefs yang diterbitkan pada tahun 2012 berjudul

    Mengislamkan Jawa menjelaskan tentang Islamisasi di Jawa pada sekitar tahun

    1930-an. Dalam hal ini Ricklefs menjelaskan tentang sintesis mistik serta

    polarisasi masyarakat Jawa. Selain itu juga di jelaskan mengenai masyarakat Jawa

    di bawah pemerintah kolonial dan Islam. pada awal abad ke-20 masyarakat

    Wonosobo merupakan penganut Islam yang sangat kental oleh tradisi lokalnya

    sehingga Sayyid Ibrahim Baabud muncul sebagai agen perubahan dalam

    pengembangan Islam yang lebih modern.

    Penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Wonosobo yang

    bekerja sama dengan Puslitbang Arkeologi Nasional pada tahun 2008 salah

    satunya menjelaskan tentang pengembangan Islam di Wonosobo yang dilakukan

    oleh para ulama antara lain Kyai Asmoro Sufi, Kyai Asmoro Gati, Kyai Mansyur,

    Kyai Madukoro, Sayyid Hasyim Baabud dan lain sebagainya. Sayyid Ibrahim

    Baabud merupakan tokoh pengembangan Islam di Wonosobo periode setelahnya.

  • 11

    Penelitian skripsi mengenai Kiprah KH Muntaha dalam perpolitikan di

    Wonosobo (1956-2004) yang ditulis oleh Fathul Wachid mahasiswa Sejarah

    Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjelaskan mengenai

    kiprah politik KH Muntaha di wonosobo serta menekankan aspek politik dalam

    perjuangan KH Muntaha.Penelitian ini juga menelaskan mengenai eksistensi

    politik di Wonosobo periode awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial

    politik. Penelitian mengenai Sayyid Ibrahim Baabud dan perjuangannya di

    Wonosobo (1884-1958) juga sedikit disinggung mengenai peran politik pada

    konteks perkembangan Nahdlatul Ulama. Dimana penelitian mengenai Kiprah

    politik KH Muntaha yang menekankan aspek politik merupakan cikal bakal

    perpolitikan yang dipengaruhi oleh periode awal pendirian Nahdlatul Ulama di

    Wonosobo.

    Strategi dakwah KH Muntaha dalam mengembangkan Islam di Indonesia

    yang ditulis oleh Miftahul Haris sarjana Fakultas Dakwah Universitas Sains Al-

    Qur‟an Wonosobo tahun 2004. Dalam skripsi ini dijelaskan mengenai strategi-

    strategi dakwah KH Muntaha dalam mensyiarkan agama Islam ke penjuru

    Indonesia. Pada dasarnya cara-cara para ulama pendahulu yang ada di Wonosobo

    menjadi rujukan KH Muntaha dalam menyebarkan misi dakwahnya, termasuk

    Metode dakwah yang dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud dengan

    menggunakan pendekatan tasawuf.

  • 12

    E. Kerangka Konseptual

    Alwi Shihab dalam teorinya tentang peranan ulama tasawuf (tarekat)

    dalam proses Islamisasi di Nusantara mengatakan bahwa : penyebaran Islam yang

    berkembang secara spektakuler di Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi

    tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas

    sejarawan dan peneliti. Hal ini disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi

    yang lebih kompromis dan penuh kedamaian. Tasawuf memang memiliki

    kecenderungan manusia yang terbuka dan berorientasi kosmopolitan.17

    Teori tersebut dalam kenyataannya dapat ditemukan bahwa penyebaran

    Islam di Jawa khususnya dilakukan dengan cara damai, dan lembut. Ini berbeda

    dengan penyebaran Islam di Timur Tengah ataupun Eropa yang dalam beberapa

    kasus disertai dengan pendudukan wilayah militer Muslim. Islam di Jawa dalam

    batas tertentu di sebarkan oleh para pedagang, kemudian oleh para guru agama

    (ulama) dan para pengembara sufi. Begitupun dengan pengembangan Islam di

    Wonosobo yang di merupakan wilayah pedalaman Jawa yang mendapatkan

    pengaruh Islam dengan jalan damai melalui para ulama tasawuf, salah satunya

    adalah Sayyid Ibrahim Baabud.

    Senada dengan teori yang dikemukakan oleh Alwi Shihab, Martin Van

    Bruineinssen mengatakan: dalam proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Nusantara,

    tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting walaupun dalam proses itu,

    ajaran tasawuf kadang-kadang diubah. Ajaran kosmologi versi Ibn Al-Arabi dan

    17

    Alwi Shihab. 2001. Islam Sufistik: ”Islam Pertama” dan pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia,

    (Bandung: Mizan), Hal 13.

  • 13

    Al-Jili misalnya, diterapkan sebagai legitimasi tatanan masyarakat. Amalan

    tarekat seperti Dzikir, wirid, ratib dan sebagainya juga diterapkan dengan tujuan

    di luar tasawuf. Orang-orang Jawa masa dulu sangat menaruh perhatian kepada

    kemampuan supranatural-kesaktian, kekebalan, kedigdayaan, kanuragan dan

    segala ilmu gaib lainnya. Dapat dimengerti jika pada awalnya mereka

    menganggap amalan tarekat sebagai salah satu cara baru untuk mengembangkan

    kemampuan supranatural itu. Sehingga terkadang sulit membedakan antara

    tasawuf dan magic. Sampai sekarang banyak aliran silat menggunakan amalan

    yang berasal dari tarekat-tarekat guna mengembangkan ”tenaga dalam”, tujuan

    yang sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan agama lagi. Permainan

    debus, yang dulu terkait dengan persilatan, nampak berasal dari amalan tarekat

    Rifa‟iyah dan Qadiriyah. Dalam dunia perdukunan juga dapat ditemukan bacaan-

    bacaan dan cara meditasi (mujahadah, muraqabah, dan sebagainya) yang berasal

    dari amalan tareka, walaupun penerapannya tidak jarang dikritik oleh kalangan

    tarekat masa kini.18

    Masyarakat pedalaman Jawa pada khususnya masih menganut tradisi lokal

    sebagai bagian dari proses pelestarian nilai budaya terhadap leluhur mereka. Ini di

    tandai dengan praktik-praktik adat yang masih dilakukan oleh sebagian besar

    masyarakat. Namun dengan seiring berjalannya waktu hingga permulaan abad ke-

    20 bersamaan dengan era kolonialisme, nilai-nilai tradisi lokal pun perlahan pudar

    dengan datangnya pengaruh modernisme yang dibawa oleh bangsa kolonial.

    Sayyid Ibrahim Baabud salah satu tokoh pengembang Islam di pedalaman Jawa

    18

    Martin Van Bruinessen: Tarekat dan Politik: Amalan untuk Dunia atau

    Akhirat?http://www.let.uu.nl/-martin.vanbruinessen/personal/publication/tarekat_dan_politik.htm

  • 14

    (Wonosobo) hadir membawa perbedaan melalui pengaruh modernisme dalam

    bentuk organisasi sosial keagamaan (NU) dengan tidak meninggalkan tradisi yang

    telah lama ada di tengah-tengah masyarakat.

    F. Metode Penelitian

    Untuk mengkaji suatu penelitian seorang tokoh yang begitu berpengaruh

    baik di tingkat lokal maupun tingkat nasional membutuhkan analisis yang

    mendalam terkait seberapa besar pengaruhnya dalam masyarakat dan juga seperti

    apakah pengaruhnya dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, penulis menggunakan

    metode penelitian sejarah untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan kiprah

    Sayyid Ibrahim Baabud dalam menyebarkan Islam di Wonosobo. Metodologi

    penelitian sejarah merupakan suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang

    dtempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat

    mencapai hakekat sejarah.19

    Dari pengertian tersebut dapat diuraikan bahwa

    metodologi penelitian sejarah adalah sebuah tahapan yang harus ditempuh oleh

    seorang sejarawan dalam menulis karyanya. Hal tersebut merupakan sebuah

    syarat untuk keabsahan sebuah tulisan sejarah yang ilmiah sehingga dapat

    dipertanggungjawabkan.

    Agar mampu menghasilkan sebuah karya yang dapat

    dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan standar penulisan pada umumnya,

    19

    Hasan Usman. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah, (Jakarta: Proyek pembinaan sarana dan

    prasarana perguruan tinggi agama/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal pembinaan kelembagaan

    agama Islam departemen agama RI), Hal 16.

  • 15

    maka penulis berusaha menggunakan metode penelitian sejarah yang telah ada.

    Adapun metode penelitian sejarah yang digunakan oleh penulis adalah sebagai

    berikut :

    1. Heuristik

    Setelah menentukan judul, tahapan selanjutnya yaitu mengumpulkan

    sumber (heurustik). Sumber-sumber yang dikumpulkan berupa sumber primer.

    Adapun Sumber tersebut dapat diperoleh baik dari sumber tulisan berupa arsip

    atau dokumen-dokumen yang berkaitan secara langsung dan tidak langsung,

    sumber lainnya adalah berupa sumber lisan yang dalam penelitian ini masih dapat

    dijangkau. Hal ini dikarenakan tokoh yang akan dikaji merupakan tokoh pada

    abad ke-20 sehingga tokoh-tokoh yang hidup sezaman dengan Sayyid Ibrahim

    Baabud masih ada walaupun Sayyid Ibrahim Baabud telah lama wafat. Adapun

    beberapa Sumber-sumber primer yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut:

    a. Sumber Tulisan :

    1. Sanad tarekat Allawiyah yang merupakan tulisan tangan Sayyid

    Ibrahim Baabud. Sanad tarekat ini didapatkan dari Ahmad Muzan

    seorang sejarawan lokal Wonosobo yang aktif menulis mengenai

    sejarah tokoh-tokoh serta isu politik,sosial maupun budaya di

    Wonosobo serta aktif mengelola yayasan pendidikan yang ia

    dirikan di Wonosobo.

    2. Kitab Minhajul Mubin, merupakan kitab fikih tulisan tangan

    Sayyid Ibrahim Baabud yang beliau dapatkan dari Sayyid Zaini

  • 16

    Dahlan di Mekkah. Kitab ini penulis dapatkan dari Habib Aqil

    Baabud yang merupakan cucu dari Sayyid Ibrahim Baabud.

    3. Kartu tanda NU atas nama Muhammad Saidun yang berasal dari

    Desa Kreo, Kecaamatan Kejajar, kabupaten Wonosobo, yang

    dikeluarkan pada tanggal 23 Dzulqo‟dah 1353 H, sudah bernomor

    1526. Bukti ini mengindikasikan bahwa pada awal pendirian NU

    sudah memiliki ribuan anggota. Sumber ini didapat dari kantor

    cabang NU Wonosobo.

    b. Sumber Lisan

    1. Wawancara dengan Habib Aqil Baabud yang lahir pada tahun 1940

    dan merupakan cucu dari Sayyid Ibrahim Baabud. Beliau

    mengetahui persis mengenai kiprah Sayyid Ibrahim Baabud.

    Meskipun tidak diceritakan langsung oleh Sayyid Ibrahim Baabud,

    namun beliau mengetahuinya dari orang tuanya.

    2. Wawancara dengan KH Alim Bumen, Wonosobo. KH Alim

    Sendiri merupakan tokoh yang hidup sezaman dengan Sayyid

    Ibrahim Baabud. Beliau lahir pada tahun 1920-an masehi dan

    merupakan salah satu anggota NU pada awal periode kepengurusan

    NU di Wonosobo.

    Sementara itu sumber-sumber sekunder diperoleh dari buku, artikel serta

    kajian serupa. Buku-buku serta artikel yang dimaksud sebagian besar ditulis oleh

    sejarawan asal wonosobo yaitu Ahmad Muzan, yang berjudul Diaspora Islam

    Damai, Sejarah Islam di Wonosobo, NU dari masa ke masa, serta Historiografi

  • 17

    Islam Wonosobo. Sementara sumber sekunder lainya yaitu berupa buku-buku

    hasil penelitian dari pemerintah kabupaten Wonosobo yang bekerja sama dengan

    puslitbang arkeologi nasional tahun 2008 yang berjudul sejarah Wonosobo.

    Adapun sumber sekunder lainnya adalah buku hasil penelitian dari Van Den Berg

    yang berjudul Hadhramaut dan Koloni Arab di Indonesia. penelitian ini

    menelaskan tentang orang-orang Arab yang ada di Nusantara (Jawa). Sayyid

    Ibrahim Baabud sendiri merupakan salah seorang tokoh keturunan Arab

    Hadhramaut yang aktif mengembangkan Islam di Wonosobo pada awal abad ke-

    20. Sumber sekunder lainnya adalah buku Mengislamkan Jawa karya Ricklef

    yang menjelaskan tentang Islamisasi yang lebih dalam pada awal abad ke-20.

    Islamisasi yang juga dilakukan oleh Sayyid Ibrahim Baabud dalam

    mengkolaborasikan antara Islam mistik dengan Islam modern.

    2. Kritik Sumber

    Setelah dilakukan pengumpulan data selanjutnya penulis berusaha

    menverivikasi sumber-sumber tersebut agar diperoleh sumber yang benar-benar

    dapat dipertanggungjawabkan. Kritik terdiri atas kritik ektern dan kritik intern.

    Kritik ektern digunakan untuk meneliti otentisitas keaslian sumber. Sedangkan

    kritik intern digunakan untuk meneliti kredibilitas sumber. Dalam penelitian ini

    kritik ektern digunakan untuk mengetahui kredibilitas dari seorang narasumber.

    Narasumber yaitu keluarga Sayyid Ibrahim yang menetap di Kauman, Wonosobo,

    yaitu Habib Aqil Baabud. Perlu diketahui bahwa penelitian yang menggunakan

    wawancara adalah salah satu cara untuk mengumpulkan sumber harus lebih teliti

    sebelum menggali informasi. Dalam hal ini latar belakang dan profil dari seorang

  • 18

    narasumber sedikit banyak mempengaruhi informasi yang ia sampaikan.

    Selanjutnya kritik intern pada penelitian ini akan penulis bandingkan informasi

    yang disampaikan dengan fakta-fakta yang ada.

    3. Interpretasi

    Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahapan

    menafsirkan fakta-fakta serta serta menetapkan makna yang saling berhubungan

    daripada fakta yang diperoleh. Terdapat dua macam interpretasi, yaitu analisis

    yang berarti menguraikan serta sintesis yang berarti menyatukan. Analisis yang

    dimaksud dalam penelitian ini adalah menguraikan pernyataan-pernyataan dan

    juga bahan lain berupa foto-foto dan dokumen yang lainnya untuk diuraikan agar

    lebih mudah difahami. Dokumen-dokumen serta foto-foto yang dimaksud adalah

    beberapa sumber-sumber primer yang telah penulis uraikan di tahapan heuristik di

    atas. Selanjutnya sintesis dalam penelitian ini adalah menyatukan bahan-bahan

    yang didapat dari hasil wawancara dari beberapa narasumber seperti Habib Aqil

    dan KH Alim, sehingga menghasilkan fakta bahwa kiprah Sayyid Ibrahim Baabud

    dalam menyebarkan Islam di Wonosobo benar-benar ada.

    4. Historiografi

    Tahapan yang terakhir adalah historiografi. Historiografi merupakan

    rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh

    dengan menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan

    peninggalan masa lampau. Dalam melakukan penulisan sejarah, terdapat beberapa

    hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, penyeleksian atas fakta-fakta,

    untaian fakta-fakta yang dipilihnya berdasakan dua kriteria, yaitu relevansi

  • 19

    peristiwa dan kelayakannya dan imajinasi yang dilakukan untuk merangkai fakta-

    fakta yang dimaksud untuk merumuskan suatu hipotesis.

    Dalam penelitian yang difokuskan terhadap kiprah serta peran Sayyid

    Ibrahim Baabud dalam menyebarkan Islam di Wonosobo ini setidaknya dengan

    menggunakan metode, yaitu pemilihan tema, pengumpulan data, verivikasi,

    interpretasi dan juga penulisan sejarah. Penulis berharap agar penulisan yang

    diperoleh nantinya dapat menghasilkan tulisan yang lebih mudah difahami dan

    dapat dipertanggungawabkan.20

    G. Sistematika Penulisan

    Agar mudah difahami serta mendapatkan pemaparan yang jelas, terkait

    pembahasan pada tulisan ini, maka penulisan ini dibagi menjadi lima bab.

    Bab I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, Tujuan

    serta ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual, metode

    penelitian, dan sistematika penulisan. Bab I menerangkan alasan terkait dan

    selanjutnya memaparkan tektik dan prosedur lpenulisan.

    Bab II membahas deskripsi mengenai Biografi Sayyid Ibrahim Baabud

    mencakup latar belakang dari tokoh tersebut. Seperti halnya latar belang keluarga,

    riwayat pendidikan, geneologi keilmuan, pemikiran dalam bidang dakwah

    Islamnya, serta karya-karya yang dhasilkannya. Bab II ini menarik untuk dikaji

    20

    Helius Sjamsuddin. 2012. Metodologi Sejarah, cet I, (Yogyakarta : ombak), Hal 23-24.

  • 20

    karena peran besar dari apa yang telah beliau hasilkan bermula dari apa yang telah

    beliau dapatkan di lingkungan keluarga, masyarakat serta pendidikannya.

    Bab III membahas tentang bagaimana kondisi sosial keagamaan

    masyarakat Wonosobo pada akhir abad ke-19. Dalam hal ini akan di jelaskan

    secara sistematis mengenai gambaran umum masyarakat Wonosobo. Setelah

    mengetahui tentang bagaimana gambaran umum masyarakat Wonosobo, penulis

    akan membahas mengenai metode penyebaran Islam yang sesuai dengan kondisi

    masyarakat Wonosobo pada waktu itu. Karena dengan metode tasawuf dinilai

    sesuai dengan keadaan Wonosobo pada waktu itu, maka penulis kemudian

    mendeskripsikan tentang tarekat Allawiyyah dan Sathoriyah sebagai media

    pengembangan Islam.

    Bab IV membahas tentang Sayyid Ibrahim Baabud dan perkembangan

    Islam di Wonosobo pada abad ke-20. Pada bab ini akan disinggung bagaimana

    peran Sayyid Ibrahim Baabud dalam tarekat Allawiyyah dan Sathoriyah kemudian

    dijelaskan juga mengenai Nahdlatul Ulama sebagai media perjuangan Sosial

    Keagamaan Sayyid Ibrahim Baabud yang akan dibagi menjadi beberapa kajian,

    yaitu berdirinya cabang Nahdlatul Ulama di Wonosobo, dakwah Islamiyah

    Nahdlatul Ulama di Wonosobo, perjuangan politik Nahdlatul Ulama di

    Wonosobo, dan Nahdlatul Ulama sebagai media pemersatu umat, kemudian pada

    bagian terakhir akan dijelaskan mengenai orientasi perjuangan Sayyid Ibrahim

    Baabud antara fase perjuangan dengan jalur tarekat maupun sosial keagamaan.

  • 21

    Bab V atau bab terakhir merupakan kesimpulan dari pembahasan bab

    sebelumnya, yaitu dari bab I sampai bab IV. Berupa jawaban atas permasalahan

    yang muncul dalam rumusan masalah.

  • 22

    BAB II

    ISLAM DI WONOSOBO

    A. Gambaran Umum Masyarakat Wonosobo Sampai Abad-19

    Pada bagian ini akan ditelusuri mengenai gambaran umum masyarakat

    Wonosobo abad 19 yang masih kental dengan tradisi lokalnya walaupun telah

    mendapat pegaruh Islam dari para ulama putihan. Dalam hal ini adalah Habib atau

    Keturunan Arab (Sayyid Ibrahim Baabud).21

    Masyarakat Wonosobo adalah

    bagian dari masyarakat Jawa pedalaman.Jawa sendiri merupakan kelompok etnik

    terbesar di Nusantara.Kelompok tersebut digolongkan menjadi dua bagian, yaitu

    kelompok sholat dan kelompok tidak solat.22

    Kelompok sholat maksudnya adalah

    mereka yang melakukan sholat wajib, biasanya disebut kelompok putihan atau

    santri, dan yang kedua adalah sebaliknya atau cenderung disebut dengan

    kejawen.23

    Disisi lain, terdapat pandangan bahwa masyarakat Wonosobo sangat

    dipengaruhi oleh budaya animisme, dinamisme, Hindhu dan Budha. Penafsiran ini

    cenderung menjustifikasikan Jawa sebagai kebudayaan yang final. Clifford Geertz

    dalam bukunya yang berjudul Religion Of Java mengklasifikasikan Masyarakat

    Jawa kedalam tiga kategori yaitu Santri, Abangan, dan Priyayi. Setiap kategori

    21

    Ahmad Muzan. 2001. Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di

    Wonosobo serta Sejarah berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, cet I (Wonosobo: Yayasan

    Masjid Al-Mansyur Wonosobo), Hal 82-83. 22

    Niels Mulder. 2009. Mistisisme Jawa : Ideologi di Indonesia, cet III (Yogyakarta: LKiS), Hal 9-

    10. 23

    Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di Wonosobo , Hal 12.

  • 23

    tersebut merepresentasikan peran agama secara benar berdasarkan tatanan

    syariah.Sementara kelompok Priyayi merepresentasikan tradisi mistik yang lebih

    diyakini sebagai warisan dari keagamaan Hindhu dan Buddha sebelum Islam.

    Kelompok abangan adalah kelompok yang dapat disebut sebagai kelompok yang

    secara konsisten mempertahankan kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah

    menjadi tradisi sejak nenek moyang masyarakat Jawa-animisme. Ketiga kategori

    diatas identik dengan apa yang ada di lingkungan masyarakat Wonosobo periode

    akhir abad ke-19. Sebagai masyarakat yang animis dan dinamis, tentu masyarakat

    Wonosobo kental dengan budaya Nyekar, pemujaan terhadap tempat-tempat

    keramat, slametan dengan berbagai macam variasi bentuk, hitungan (numerologi),

    dan konsep ruang dimana slametan tersebut diselenggarakan.24

    Istilah slametan

    dan kenduren merepresentasikan sistem makna tertentu. Praktek-praktek tersebut

    yang menjadi tradisi masyarakat Wonosobo pada akhir abad ke-19 hingga awal

    abad ke-20, terutama di daerah pegunungan (pedalaman) Wonosobo yang hingga

    kini masih terlihat.25

    Dalam perkembangannya, masyarakat Wonosobo merupakan pemeluk

    Islam yang kreatif dalam menghubungkan kebudayaan dan struktur sosial

    terdahulunya dengan Islam sebagai unsur yang „baru‟ dalam sebuah struktur

    kebudayaan. Tradisi intelektual dan spiritual Islam Jawa merupakan tradisi kreatif

    yang mejadi tolak ukur mereka. Akibatnya terdapat kewajaran mengapa Islam

    Jawa sangat berbeda dengan keislaman Timur Tengah atau Jazirah Arab, letak

    24

    Syam Nur. 2007. Madzhab-Madzzhab Antropologi, Cet I (Yogyakarta: LKiS), Hal 98. 25

    Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam penyebaran Islam di Wonosobo serta

    Sejarah berdirinya Masjid Al-Mansyur Wonosobo, Hal 8.

  • 24

    geografis yang sangat menyulitkan komunikasi dan interaksi antar keduanya

    menyebabkan Islam di Wonosobo berkembang dengan model dan coraknya

    sendiri tanpa harus menjadikan Arab sebagai patokan dominan. Masyarakat

    Wonosobo juga mempunyai suatu prinsip yang biasa disebut prinsip harmoni.

    Prinsip harmoni adalah prinsip yang dikedepankan oleh masyarakat Jawa dimana

    setiap perbedaan akan diarahkan pada pencapaian harmoni yang lebih tinggi, yaitu

    harmoni masyarakat.26

    B. Jejaring Ulama Wonosobo

    Setelah Islam berkembang secara pesat hingga memasuki awal abad ke-20,

    Wonosobo kemudian dikenal sebagai wilayah pengembangan Islamnya yang

    beragam.Ini ditandai dengan beragamnya saluran pengembangan Islam pasca

    Sayyid Hasyim Baabud (abad-18) yang berhasil mengislamkan Wonosobo dengan

    metode tasawufnya (tarekat). Demikian juga dengan Sayyid Ibrahim Baabud yang

    disisi lain juga mempunyai peran penting dalam upayanya melanjutkan misi

    dakwah yang dipelopori oleh Sayyid Hasyim Baabud. dalam periode ini, dakwah

    Islam oleh kaum tarekat menggunakan beberapa jalur interaksi sosial sebagai

    berikut :

    1. Pedagang, yaitu mempergunakan sarana pelayaran sehingga kehadiran

    para pedagang ini di beberapa pelabuhan pada tahap awal setidaknya telah

    memperkenalkan kepada penduduk setempat tentang tata cara pelaksanaan

    ibadah.

    26

    Wawancara dengan Ahmad Muzan (sejarawan Wonosobo), Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.

  • 25

    2. Dakwah, yaitu dilakukan oleh mubaligh pesisir yang datang ke Wonosobo

    bersama para pedagang. Para mubaligh tersebut bisa jadi juga para kaum

    sufi pengembara.

    3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan

    anak bangsawan. Hal ini mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu

    keluarga Muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkawinan itu secara

    tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan

    sifat kharisma kebangsawanannya. Apalagi jika suatu saat dari

    keturunannya dapat menduduki birokrasi pemerintahan tentu akan

    mempermudah bagi dakwah Islam yang sedang dikembangkan oleh para

    saudagar.

    4. Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai

    kekuatan ekonomi di Bandar-bandar seperti Batang dan Pekalongan.

    Pusat-pusat perekonomian tersebut berkembang menjadi pusat-pusat

    pendidikan dan penyebaran Islam hingga ke pedalaman (Wonosobo).

    Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam berperan sebagai pusat dakwah

    pertama yang didatangi pelajar.

    5. Tasawuf dan tarekat, bersama dengan datangnya pedagang, datang pula

    ulama dan para sufi. Ada yang kemudian diangkat menjadi penasehat dan

    pejabat agama di suatu kerajaan. Seperti halnya para Walisongo.

    Di samping itu pada tahap berikutnya, ketika mulai diperkenalkan

    systempendidikan pesantren, peranan ulama dengan pesantrennya semakin meluas

    ke pedalaman dengan membuka pesantren-pesantren baru, pemukiman-

  • 26

    pemukiman baru dan Islamisasi lebih lanjut. Di samping itu, mereka juga

    mengirimkan murid-murid atau putra-putranya ke Timur Tengah untuk

    memperdalam keagamaannya, sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh

    Sayyid Ibrahim Baabud yang belajar kepada Sayyid Zaini Dahlan di Mekkah. Dan

    ketika mereka pulang kemudian mereka menjadi ulama-ulama muda yang

    membawa pemikiran-pemikiran baru untuk reformasi dan kosmopolitanisme

    Islam.27

    Tentang penyebaran dan pengajaran Islam serta pelembagaannya dalam

    proses Islamisasi di daerah Wonosobo abad-19 sampai awal abad ke-20, terdapat

    beberapa catatan:

    Pertama, pengajaran Fiqh sebagai pelajaran dasar dalam memahami

    syariat Islam serta tertuang dalam ribuan kitab kuning yang ditulis oleh para

    ulama mulai diajarkan para mubaligh. Misalnya pelajaran Fiqh yang tertuang

    dalam bentuk kitab kuning yang berjudul Fatchul Mu‟in karya dari ulama besar

    Al-Syeikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Malibari dalam nemtuk tulisan

    tangan telah diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah pendiri dan pengasuh pondok

    pesantren di daerah Sigedong, Baturono, Kepil, Wonosobo sekitar tahun 1830

    M.28

    kitab Fiqh yang tergolong sebagai kitab standar pengajaran di berbagai

    pesantren ini, didalamnya berisi antara lain tentang masalah Ubudiyah,

    Mu‟amalah, Hudud dan masalah lainnya.

    27

    Slamet Mulyana. 2008. Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam

    di Nusantara, cet I (Jogjakarta: LkiS), Hal 44. 28

    Elis Suyono DKK. 2007. Biografi KH Muntaha Al-Hafidz Ulama Multidimensi, (Wonosobo:

    Kerjasama Unsiq dan PP. Al Asy‟ariah), Hal 20.

  • 27

    Kedua, pendidikan Al-Qur‟an membaca dan menghafal Al-Qur‟an

    (Tahfidzul Qur‟an) telah diajarkan di pesantren Kalibeber, Wonosobo oleh KH

    Abdurrahman (kakek dari KH Muntaha Al-Hafidz) sebagai penerus dari

    ayahandanya R. Hadiwijaya yang menggunakan nama samara KH Muntaha bin

    Nida Muhammad pengasuh sekaligus pendiri Pondok pesantren Al-Asy‟ariyah,

    Kalibeber pada tahun 1870-an M.29

    beliau mempunyai tulisan Al-Quran yang

    beliau tulis sendiri ketika dalam perjalanannya ke Mekkah. Mengingat keberadaan

    Pondok pesantren semenjak dulu mempunyai peran sebagai Lembaga Tafaqquh

    Fi al din. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa Kutubul Mukaromah (kitab-

    kitab rujukan) yang disebut dengan kitab kuning juga diajarkan.

    Ketiga, mengenai Tauhid dan Tasawuf (Akhlak) yang menjadi landasan

    kehidupan dunia dan akhirat nampaknya menjadi prioritas utama bagi para

    mubaligh.Hal itu dibuktikan dengan adanya silsilah atau sanad Tarekat Allawiyah

    dan Shatoriyah dalam bentuk tulisan tangan yang berisi tentang ajaran Tauhid

    serta beberapa Wirid dan Dzikir.Jika diurut, maka tasawuf ini telah diajarkan

    semenjak pertama keluarga Baabud masuk ke Wonosobo abad-18 M.30

    Disamping pengajaran dalam bentuk naskah dan tulisan terdapat juga

    pengajaran yang dilakukan secara lisan dengan menterjemahkan kedalam bahasa

    daerah. Seperti pengajaran tentang rukun Islam yang hingga sekarang masih

    dihafal secara turun temurun seperti :

    Asyhadu an-la ilaaha-illa-allah

    29

    Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp) 30

    Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp)

  • 28

    Nekseni Ingsun ing dalem ati ingsun

    Kelawan I‟tiqod ingkang kukuh,

    Setuhune kelakuwan iku ora ono dzat kang senembah,

    Kelawan sak benere, anging Alloh t‟aala dewe

    Ingkang wajib wujude ingkang mukhal ngadame

    Kang kagungan sifat-sifat semporna ora ono weksane …31

    (Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah)

    (Saya bersaksi dalam hati dengan sepenuh keyakinan, sesungguhnya tidak ada

    sesuatu yang wajib disembah dengan sebenar-benarnya, kecuali Allah ta‟ala

    sendiri,

    Yang wajib adanya dan mustahil tidak adanya,

    Yang mempunyai sifat-sifat sempurna dan tidak ada bandingannya)

    Dari syair di atas dalam bentuk karya Islam klasik menunjukkan bahwa

    para mubaligh mengenal betul karya-karya Islam, namun menuangkannya dalam

    bentuk bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Karya Islam klasik

    tersebut mencerminkan kondisi masyarakat muslim di daerah ini yang bercorak

    legalistik telah mendapatkan pengajaran Islam secara menyeluruh (tidak dalam

    satu aspek, Tasawuf saja misalnya). Namun juga Fiqh yang berisi aturan tentang

    hubungan sesama manusia dan hubungan hamba dengan Allah SWT dalam

    praktek ibadah, serta Al-Qur‟an yang berarti didalamnya terdapat Ulumul Qur‟an

    (Tafsir dan sejenisnya). Dalam naskah yang diajarkan oleh KH. R Abdul Fatah di

    Kepil, Wonosobo sebagai pengajar pertama kitab Fathul Mu‟in karya dari Syekh

    Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari salah seorang pemuka dalam madzhab

    31

    Penelitian lapangan di beberapa daerah di Wonosobo seperti Dieng, Kertek, Kalikajar.Syair ini,

    biasanya dibaca di beberapa daerah di Wonosobo, sebagai pengantar pengajian selapanan atau

    setelah menyelesaikan solat tarawih dan diajarkan secara turun-temurun hingga sekarang.

  • 29

    Syafi‟I, maka dapat disimpulkan bahwa Islam yang berkembang di daerah

    Wonosobo adalah bermadzhab Syafi‟i.32

    tidak jauh dengan madzhab Syafi‟I,

    naskah tulisan tentang Silsilah Tarekat Allawiyah dan Shatoriyah

    mengindikasikan bahwa penyebaran Islam dilakukan juga oleh para Ulama

    Tarekat.33

    Tentang ajaran ketauhidan dalam pemaklnaan kalimah syahadad

    dengan menyebutkan sifat-sifat Allah SWT di atas menunjukkan bahwa faham

    yang dikembangkan di Wonosobo adalah faham Ahlussunah Wal Jama‟ah.

    Upaya-upaya transformasi Islam ke dalam masyarakat Wonosobo, pada

    perjalanannya lambat laun memunculkan lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga-

    lembaga pendidikan yang ada pada masa lalu merupakan proto tipe dari

    pendidikan pesantren dan madrasah yang ada sekarang. Lembaga pendidikan itu

    terus berkembang sesuai degan perubahan zaman dan alur fikir masyarakat

    sehingga berkembang menjadi pesantren dan sekolah dengan beraneka corak yang

    berkembang sekarang.34

    C. Tarekat Alawiya dan Shatoriyah sebaga Media Pengembangan Islam

    di Wonosobo

    Telah diketahui bahwa Islam yang berkembang di Wonosobo pada abad

    ke-19 merupakan Islam yang bercorak tarekat, dalam hal ini adalah tarekat

    alawiyah dan shatoriyah.Tonggak perkembangan tarekat Alawiyah dimulai pada

    32

    Historiografi Islam di Wonosobo Abad XVII-XIX, Hal 28. 33

    Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp). 34

    DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid

    Al-Mansyur Wonosobo, Hal 118-119.

  • 30

    masa Muhammad Ali, atau dikenal dengan sebutan Al-Faqih Al-Muqaddam

    (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Dalam

    periodenya, Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami punyak

    kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki

    kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, diantaranya soal Fiqh dan

    Tawawuf. Disamping itu, ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hinggake

    maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah

    (legalitas kesufian).

    Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan tarekat Alawiyah

    kemudian dikembangkan oleh para Syekh. Diantaranya ada 4 Syekh yang cukup

    terkenal, yaitu Syekh Abd Al-Rahman Al-Saqqaf (739 H), Syekh Umar Al-

    Muhdar bin Abd Al-Rahman Al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah Al-Aidarus bin

    Abu Bakar Al-Sakran (821 H). Sedangkan yang lainnya adalah Habib Husain bin

    Sholeh Al Bahr, Habib Umar As Segaf, Habib Husain Al-Haddad.35

    Bagi Sayyid Ibrahim Baabud sebagai penganut sekaligus penyebar tarekat

    Alawiyah di daerah pedalaman Jawa (Wonosobo), hirarki kesanadan tarekatnya

    sebagai ciri utama tarekat tetap terpelihara hingga generasi sekarang. Ciri utama

    dari pengamal tarekat ini antara lain, tergambar dalam banyaknya masyarakat

    yang membaca ratib dalam segala macamnya dan yang banyak dibaca adalah ratib

    Al-Haddad dan ratib Al-Attos.

    35

    Dokumen Sanad Tarekat, (ttp:ttp)

  • 31

    Selama masa para Syeikh ini, dalam sejarah Alawi, dikemudian hari

    ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri.Dan

    secara umum, hal itu bisa dilihat dari cirri-ciri melalui para tokoh maupun

    berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa Syeikh di Hadhramaut.

    Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap

    mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi,

    seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Wasiy, atau

    keterkaitan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk wasiat dari Rasulullah

    SAW untuk Imam Ali sebagai pengganti nabi Muhammad SAW. Kedua, adanya

    sifat elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok

    ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang

    terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.Ketiga,

    berkembangnya tradisi para sufi kalangan Khawwas (elit), sepeti Al-Jam‟u, Al-

    Farq, Al-Fana‟ bahkan Al-Wahdah, seperti halnya yang dialami Muhammad bin

    Ali (Al-Faqih Al-Muqaddam) dan Syekh Abd Al-Rahman as Saqqaf.Keempat,

    dalam Tarekat Alawiyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam

    mengembalikan tradisi Tarekat sebagai Thariqah (suatu madzab kesufian yang

    dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu meghilangkan formalitas yang

    kaku dalam tradisi tokoh para sufi. Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti

    Hasan Al-Basri dengan zuhud-nya, Rabiah Al-adawiyah dengan Mahabbah dan

    Al-Isyq al-ilahi-nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan fana nya, al-Hallaj dengan

    Wahdah al-wujudnya, maka para tokoh tarekat Alawiyah, selain memiliki

    kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya. Al-

  • 32

    Khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya‟ dan „ujub, yang

    merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara

    vertikal penempatan diri seorang hamba di hadapan Allah sebagai dzat yang

    Ghani (maha kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu

    membutuhkan nikmatnya. Secara horizontal, sikap tersebut difahami dalam

    pengertian komunal bahwa rahmat tuhan akan diberikan bila seseorang

    mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin. Penghayatan ajaran tauhid

    seperti ini menjadikan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas

    bawah maupun kaum tertindas (mustadl‟afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf

    misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri

    Muhammad bin Ali terkenal dengan ummul fuqara-nya.

    Sebagai tarekat yang diajarkan oleh nenek moyangnya, maka tidak

    mengherankan jika proses Islamisasi di pedalaman Jawa, para Sayyid juga

    mengajarkan tarekat alawiyah. Tidak terkecuali Sayyid Ibrahim Baabud yang

    menggunakan pendekatan ini dalam dakwah.Di samping itu para generasi penerus

    beliau juga menyebarkan tarekat di samping alawiyah juga tarekat shatoriyah

    yang didapat dari guru-gurunya sewaktu dalam menuntut ilmu.36

    Pengembangan mistik tarekat shatoriyah ditujukan untuk mengembangkan

    suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan tuhan (Allah SWT) dalam

    hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana‟.Penganut tarekat Shatoriyah percaya

    bahwa jalan menuju Allah SWT itu sejauh gerak nafas makhluk.Tetapi jalan yang

    36

    DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid

    Al-Mansyur Wonosobo, Hal 138-140.

  • 33

    paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh klaum Akhyar,

    Abrar, dan Syattar.Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan syattar, terlebih

    dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih)

    dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia dzikir. Untuk itu ada 10

    aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud,

    tawakkal, qana‟ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah,

    sebagaimana halnyatarekat-tarekat lain. Tarekat Shatoriyah menonjolkan aspek

    dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut diatas, masing-masing

    memiliki metode berdzikr dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan.,

    penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar menjalaninya

    dengan melakukan shalat dan puasa, membaca Al-Qur‟an, melaksanakan haji, dan

    berjihad.Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan atau

    zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan

    berusaha selalu mensucikan hati.Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan

    bimbingan langsung dari arwah para wali.Menurut para tokohnya, dzikir kaum

    Syattar inilah yang merupakan jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.

    Di dalam tarekat Shatoriyah dikenal tujuh macam dzikir muqadimah,

    sebagai tangga untuk masuk ke tarekat Shatoriyah.Ketujuh macam dzikir ini agar

    cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah SWT dapat selamat. Ketujuh

    macam dzikir adalah sebagai berikut :

    a. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari

    bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan llaa ilaha

    sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik

  • 34

    kemudian mengucapkan illallah yang dipukulkan kedalam hati

    yang letaknya kira-kira 2 jari di bawah susu kiri.

    b. Dzikir naïf itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan

    lebih mengeraskan suara, yang diucapkan seperti memasukkan

    suara kedalam asma Allah SWT.

    c. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan illallah, illallah, illallah,

    yang dihujamkan ke dalam hati.

    d. Zikir ismu dzat, dzikir denga Allah, Allah, Allah tang dihujamkan

    ke tengah-tengah dada.

    e. Dzikir taraqqi, yaitu dzikir Allah-hu, Allah-hu. Dzikir Allah

    diambil dari dalam dada dan hu dimasukkan ke dalam fikiran.

    Dzikir ini dimaksudkan agar fikiran selalu tersinari oleh cahaya

    illahi.

    f. Dzikir tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil

    dari dalam fikiran, dan dzikir Allah dimasukkan ke dalam dada.

    Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki

    kesadaran yang tinggi sebagai insane cahaya illahi.

    g. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata

    dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat di

    tengah-tengah dada menuju arah kedalaman rasa.37

    Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan pada firman Allah dalam Al-

    Qur‟an surat Al-mu‟minun ayat 17 : “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan

    37

    Wawancara dengan Habib Aqil Baabud, 17 Juli 2017 di Wonosobo.

  • 35

    di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan kami sama sekali tidak akan lengah

    terhadap kami (terhadap adanya 7 buah jalan tersebut)”.

    Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma‟ al-husna), tarekat

    Shatoriyah membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok, yaitu :

    a) Menyebut nama-nama Allah yang berhubungan dengan

    keagungannya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutaqabbir, dan

    lain-lain.

    b) Menyebut nama Allah yang berhubungan dengan keindahannya

    seperti, al-Malik, al-Quddus, al-Alim, dan lain-lain.

    c) Menyebut nama-nama Allah yang merupakan gabungan dari

    kedua sifat tersebut, seperti al-Mu‟min, al-Muhaimin, dan lain-

    lain.

    Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan sesuai urutan

    yang disebutkan di atas.Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-

    ulang.Sebagaimana juga seperti tarekat-tarekat lainnya, dzikir dalam tarekat

    Alawiyah dan Shatoriyah hanya dapat dikuasai melaluu bimbingan dari seorang

    pembimbing spiritual, guru atau syekh. Di dalam tarekat ini, seorang guru berhak

    dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat yang tidak putus dari

    Nabi Muhammad lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya.38

    38

    DiasporaIslam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Berdirinya Masjid

    Al-Mansyur Wonosobo, Hal 146-150.

  • 36

    BAB III

    BIOGRAFI SAYYID IBRAHIM BAABUD

    A. Latar Keluarga

    Secara geneologi Sayyid Ibrahim Baabud adalah cucu dari Sayyid

    Hasyim Baabud yang merupakan tokoh peletak dasar Islamisasi di Wonosobo

    menggunakan pendekatan tasawuf (tarekat). Sayyid Hasyim Baabud sendiri

    merupakan keturunan dari Muhammad bin Al-Muhadjir (ulama Hadramaut) yang

    bermarga Baabud. Sebagai tradisi bagi keturunan Arab bahwa setiap keturunan

    kemudian dinisbahkan kepada kakek mereka yang mempunyai daerah dakwah

    tersendiri atau spesialisasi dari keilmuan yang dimiliki.Mengenai Baabud ini

    dijelaskan bahwa mereka masih keturunan Kharbasani.39

    Mengenai silsilah dari

    Sayyid Ibrahim Baabud secara geneologis dari jalur leluhurnya dijelaskan bahwa

    Sayyid Ibrahim Baabud merupakan keturunan dari keluarga yang mengikuti

    tarekat Alawiyah. Dalam silsilah Alawiyah terdapat tiga keluarga yang

    menyandang atau memakai gelar Baabud. Mengenai silsilah dari Sayyid Ibrahim

    Baabud secara geneologis dari jalur leluhurnya lebih lengkap dijelaskan:

    Ketika keluarga Baabud ini berasal dari cabang yang berbeda, namun

    menyandang gelar yang sama. Yang pertamakali menyandang gelar

    Baabud ini adalah As-Syeh Al-Iman Abdullah Baabud (wafat di Tarim

    834 H) bin Ali (wafat 775 H) bin As Syech Al-Iman Muhammad

    Mauladawillah (wafat di Tarim 765 H). As Syech Al-Imam Baabud

    39

    Wawancara dengan Habib Aqil Baabud pada tanggal 4 september 2017, di Wonosobo.

  • 37

    mempunyai putra Al-Imam Abdulrahman, Al-Imam Abdulrahman

    mempunyai putra Al-Imam Abubakar. Al-Imam Abubakar inilah yang

    pertama kali masuk ke Kharbasani sehingga keturunannya menyandang

    gelar Baabud Kharbasani. Pada generasi Al-Habib Muchsin bin Abdullah

    bin Abubakar Baabud Kharbasani bin Abdurrahman bin Abdullah Baabud,

    mempunyai empat orang putra yaitu :

    a) Al-Habib Ahmad bin Muchsin Baabud Kharbasani. Al-Habib

    Ahmad datang dari Hadramaut pada awal abad ke 9 M. beliau

    tiba di pekalongan di wilayah desa Wiradesa. Beliau menikah

    dengan putrid Bupati Wirasesa Raden Jayaningrat I. beliau

    mempunya dua orang putra yaitu : Husin yang wafat di

    Wiradesa dan mempunyai 4 orang anak yaitu: Ahmad (Raden

    Suryodiputro), wafat di Wiradesa. Muchsin (Raden

    Suroatdmojo) menjadi Patih Brebes, dan keturunannya sudah

    sangat membaur dan memakai nama-nama Jawa atau Indonesia

    dan keturunannya ada di Wiradesa Pekalongan. Ali (wafat 1334

    H), keturunannya juga ada di Wiradesa Pekalongan. Umar wafat

    di Wiradesa dan mempunyai 3 putra yaitu: Alwi, Abdurrahman

    keturunannya ada di pekalongan, Banjarmasin, dan Balikpapan.

    b) Al-Habib Abdullah bin Muchsin Baabud Kharbasani. Al-Habib

    Abdullah ini mempunyai anak Alwi dan menikah degan janda

    Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I. Al Habib

    Alwi ini mempunyai putra Hasan Al-Munadi wafat di

  • 38

    Temegongan dekat Purworejo dan menikah dengan anak Sultan

    Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono II. Dari sini Habib

    Alwi mempunyai 2 putra yaitu Ibrahim bergelar Madyo Kusumo

    (wafat di Manipa Ambon), yang mempunyai 3 putra yaitu:

    ahmad Wongsodipuro Abbas Kusumo Atmojo, Muhammad

    Irfan (Madyo Wijoyo), yang keturunannya tersebar di Jakarta,

    Tarakan, Wonosobo, Banyumas, Sukabumi, Bandung, Surabaya,

    Purwakarta, Randudongkal Pemlang. Abubakar Puspodipuro

    wafat di Yogyakarta, yang mempunyai 2 putra yaitu: Ishaq

    Pusodipuro, Abdul Kadir, keturunannya ada di Pekalongan,

    Pemalang, dan Purworejo.

    c) Al-Habib Idrus bin Muhsin Baabud Kharbasani. Beliau

    mempunyai seorang putra yaitu Usman. Keturunannya dari

    Habib Usman ini adadi Cirebon dan Semarang, namun tak

    tercatat lagi untuk generasi ke 2. Ada keterangan, salah satu

    keturunanya yaitu Habib Ishaq bin Usman Baabud. Habib Ishaq

    ini mempunyai 3 putra yaitu: Muhammad (keturunannya di

    Cirebon dan tak tercatat lagi), Yusuf dan Hasyim. Sementara

    keturunan dari Habib Hasyim Baabud ada di Wonosobo hingga

    sampai kepada Sayyid Ibrahim Baabud yang berhasil

    mengembangkan Islam melalui NU. Muchsin, keturunan dari

    Habib Muchsin ini ada di Wiradesa Pekalongan dan sudah tak

    tercatat lagi pada generasi ke-2. Abubakar, keturunan dari

  • 39

    Abubakar ini ada di Pekalongan, Jatibarang, Pemalang,

    Indramayu, dan Kendal.40

    Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kakek dari

    Sayyid Ibrahim Baabud yaitu Sayyid Hasyim Baabud merupakan salah satu

    keturunan Rasulullah yang berasal dari Hadramaut.Beliau menyebarkan Islam

    melalui jalur tarekat ke selatan Pekalongan hingga sampai di Wonosobo. Dalam

    perkembangannya kemudian Wonosobo menjadi wilayah dengan masyarakat

    bercorak tasawuf (tarekat).41

    Islam telah ada di Wonosobo pada awal abad ke 18 M atau sekitar tahun

    1700 M. dan boleh jadi Islam telah masuk ke daerah ini jauh sebelum abad ke-17

    M. penyebaran Islam di Wonosobo dilakukan oleh para keturunan Arab (ahlul

    bait) yang berbangsa Arab dengan sebutan Sayyid yang datang dari daerah utara

    pulau Jawa yaitu Batang dan Pekalongan. Pendapat ini didukung oleh keterangan

    sebagai berikut: Pertama, dalam catatan buku Robithoh Alawiyin Indonesia yang

    berada di Jakarta, terdapat catatan bahwa serombongan keluarga Baabud dan bin

    Yahya marga dari keturunan Alawiyyin secara berkelompok pergi ke daerah

    Wonosobo melalui Batang dan Pekalongan untuk menyebarkan dakwah

    Islamiyah. Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa Sayyid Hasyim Baabud

    (Kakek Sayyid Ibrahim Baabud) sebagai pemimpin rombongan wafat dan

    dimakamkan di daerah Wonosobo tahun 1212 H. atau sekitar tahun 1791 M. hal

    itu diperkuat dengan adanya makam yang merupakan tempat pemakaman para

    40

    Alidien Hasan Ali bin Abdullah “Keturunan Baabud di Indonesia” dikutip sari

    http://algembira.blog.com/acceased 25-6-2007. 41

    Diaspora Islam Damai Tarekat dan Perannya dalam Penyebaran Islam serta Sejarah berdirinya

    Masjid Al Mansyur Wonosobo.Hal 131.

    http://algembira.blog.com/acceased

  • 40

    Sayyid, diantaranya terdapat makam Sayyid Hasyim bin Idrus beserta istri dan

    keluarga, serta pengikutnya yang terlletak di sebelah barat makam umum Dusun

    Ketinggring dan makam Candimulya (mangunkusuman). Kedua, dalam artefak

    batu nisan tersebut terdapat salah seorang pengikut Sayyid Hasyim yang berasal

    dari daerah Batang bernama Mu‟minah binti Zakaria Al-Qodli yang berangka

    tahun 1260, Walid Hasyim 1262 H, serta batu nisan yang lain dengan angka

    antara 1262 H dan 1264 H. Ketiga, di daerah Kauman, Wonosobo terdapat

    keturunan Arab dari Sayyid Hasyim yang merupakan cucu buyut dari Sayyid

    Hasyim Baabud, salah satunya termasuk Sayyid Ibrahim Baabud yang menempati

    daerah Wonosobo sejak berabad-abad yang lalu. Kuat dugaan jika Sayyid Hasyim

    menyebarkan Islam dan bermukim di daerah Kauman dengan mendirikan masjid

    serta tempat pengajaran agama Islam.42

    Keempat, ditemukan pula artefak nisan

    yang berangka tahun 1260-an sampai dengan 1280-an H yang menunjukkan tahun

    wafat para Sayyid dan pengikut dari Sayyid Hasyim. Kelima, ditemukannya

    catatan tentang sanad tarekat Allawiyah dan Shatoriyah yang diajarkan secara

    turun-temurun oleh keluarga Baabud.43

    Sayyid Ibrahim Baabud diperkirakan lahir tahun 1864 M sebagai putra

    ketiga dari tiga bersaudara dari ayah yang bernama Ali bin Hasyim Baabud dan

    ibu bernama Syarifah Khotijah di Kauman Wonosobo. Menurut tradisi lisan yang

    berkembang di keturunan keluarga Baabud yang ada di Wonosobo, kakek dari

    Sayyid Ibrahim Baabud yaitu Sayyid Hasyim Baabud lahir tahun 1192 H (1671

    42

    Ahmad Muzan. 2003. NU Wonosobo dari Masa ke Masa( Sejarah dan Wacana Pemikiran

    Keislaman), (Wonosobo: Fatanugraha), Hal 4. 43

    Dokumen Silsilah Sanad Tarekat.

  • 41

    M) dan wafat tahun 1212 H (1791 M) di Wonosobo. Konon beliau adalah seorang

    tokoh penyebar agama Islam di Wonosobo.44

    Dengan demikian Sayyid Hasyim

    Baabud di klaim wafat dalam usia 120 tahun. Klaim ini tentu perlu dikaji ulang,

    selain karena usianya yang sangat panjang juga karena jarak masa hidup antara

    Sayyid Hasyim Baabud dengan Sayyid Ibrahim Baabud sebagai cucunya terlalu

    jauh. Jika mengacu pada informasi dari L.W.C Van Den Berg gelombang migrasi

    orang-orang Arab Hadramaut secara masal ke Nusantara baru dimulai pada tahun-

    tahun terakhir abad ke-18 M. Lebih masuk akal jika kakek dari Sayyid Ibrahim

    Baabud ini termasuk dalam gelombang migrasi massal orang Arab Hadramaut

    tersebut yang datang ke Wonosobo - bukan wafat - pada akhir abad ke-18 M atau

    bahkan awal abad ke-19. Adapula kemungkinan lain bahwa Sayyid Hasyim

    Baabud bukanlah kakek langsung dari Sayyid Ibrahim Baabud, melainkan leluhur

    beberapa generasi diatas Sayyid Ibrahim Baabud.45

    B. Riwayat Pendidikan

    Semenjak kecil Sayyid Ibrahim Baabud sudah mulai dikenalkan dengan

    Ilmu keislaman, termasuk ilmu Tasawuf (thoriqoh). Disamping mendapatkan ilmu

    agama dari orangtuanya dan juga para ulama Wonosobo, beliau juga belajar

    kepada guru sekaligus sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin Abdullah Bin Thalib

    Alattas Pekalongan. Hal ini diketahui setiap beliau pergi ke daerah Pekalongan

    senantiasa dititipkan oleh KH. Hasbullah Bumen, Mojotengah dengan berjalan

    menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang akan dihadiahkan kepada

    44

    Ibid, Hal 127. 45

    Van Den Berg (1989) : p 74.

  • 42

    guru sekaligus sahabatnya itu. Di Pekalongan Sayyid Ibrahim Baabud juga

    berguru kepada Habib Hasyim bin Yahya.46

    Perjalanan Sayyid Ibrahim Baabud menuntut ilmu di Pekalongan kepada

    para ulama keturunan Arab di sana tidak lain karena pada abad ke-19

    Pekalongan telah menjadi daerah kantong pemukiman orang-orang Arab

    di Jawa.

    Menurut catatan van den Berg Orang-orang Arab yang pertama menetap di

    Pekalongan datang pada awal abad ini (abad ke-19, pen). Sebagian besar

    diantaranya adalah golongan Sayyid yang menikah dengan anak

    perempuan para pemimpin pribumi dan merupakan inti dari koloni besar

    yang ada sekarang.Mereka adalah keturunan Sayyid dan anggota

    keluarganya yang datang dari Hadramaut dan membentuk mayoritas

    penduduk Arab di Pekalongan.

    Selain itu beliau juga memperdalam ilmunya dengan belajar fikih kepada

    Syekh Kholil Bangkalan yang merupakan ulama terkemuka pada awal abad ke-

    20. Selain itu beliau juga pernah memperdalam ilmu agamanya di pondok

    pesantren Tremas Pacitan meskipun tak diketahui kurun wakrunya. Di perkirakan

    di Pacitan ini pula Sayyid Ibrahim belajar tarekat syatoriyah karena ada diantara

    46Beliau merupakan Kakek dari Rais Aam Jam'iyyah Ahlu ath-Tariqah al-Mu'tabarah an-

    Nahdliyyah yaitu Habib Luthfi bin Yahya. Tidak ada penjelasan yang jelas ketika Sayyid Ibrahim

    Baabud belajar dengan para ulama di Pekalongan, sehingga tidak diketahui kapan tepatnya dia

    pergi dan belajar di sana.

  • 43

    mursyid tarekat syatoriyah di Jawa yang tinggal di Pacitan.47

    Tak jauh berbeda

    dengan ayahnya (Sayyid Ali bin Hasyim Baabud) yang juga menuntut ilmu di

    Makkah, Sayyid Ibrahim Baabud juga belajar di Makkah. Ia berguru antara lain

    kepada Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan serta Syekh Nawawi Al Bantani yang

    merupakan ulama terkemuka pada periode akhir abad ke-19. Dalam perjalanan

    menuntut ilmu di Mekkah beliau mempelajari ilmu Fikih dan sanad tarekat

    (Allawiyah dan Satoriyah)48

    yang kemudian digunakan dalam pengembangan

    Islam di Wonosobo.Kecintaanya kepada ilmu dan Ulama Ahlussunah Wal

    Jama‟ah beliau tunjukan melalui perjumpaannya dengan Sayid Zaini Dahlan di

    Makkah Al Mukarromah. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan sendiri adalah Maha

    guru yang berfaham Ahlussunah wal Jama‟ah dari para ulama Islam, dan

    khususnya Nusantara pada zamannya.49

    Dari Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan ini,

    antara lain beliau mendapatkan sanad thariqoh Alawiyah.50

    47

    Mursyid tarekat Syatoriyah yang tinggal di Pacitan adalah Kyai Ageng Aliman dan Kyai Ageng

    Ahmadiya. Kyai Ageng Aliman adalah mursyid ke-32 sedangkan Kyai Ageng Ahmadiya adalah

    mursyid ke 33 di sanad toriqoh Syatoriyah. (Ahmad Muzan, 2011, hal 152) 48

    Tariaqah allawiyah dan thariqah shatoriyah dibawa oleh keluarga Baabud dan bin Yahya yang

    kemudian diajarkan kepada masyarakat Wonosobo dan merupakan bentuk hukum Islam yang

    sesuai dengan ajaran Nabi.

    49Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan adalah seorang mufti yang bermadzhab Syafi'i di Makkah.

    Beliau merupakan sosok yang sangat berpengaruh bagi masyarakat Jawa (Muslim Asia Tenggara)

    di sana. Peran pentingnya bagi masyarakat Jawa tercermin dalam fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini

    Dahlan dalam bukunya yang berjudul Muhimmatun Nafa'is - sebuah buku koleksi fatwa yang

    berasal dari pertanyaan masyarakat Jawa kepada ulama Mekkah - bahkan mayoritas fatwa di buku

    itu berasal darinya. (Kaptein diLaffan, Michael (2007), Bangsa Islam dan Indonesia Kolonial.

    Umma di bawah angin, Hal. 63)

    50Wawancara dengan Ahmad Muzan (Sejarawan Wonosobo)Tanggal 17 Juli 2017 di Wonosobo.

  • 44

    C. Geneologi Keilmuan

    Dalam menjalankan dakwah islamiyah, Sayyid Ibrahim senantiasa

    mengikuti apa yang dilakukan oleh orangtuanya, seperti halnya mengajak orang

    yang ditemuinya untuk beriman kepada Allah. Ajakan beliau banyak menarik

    simpati masyarakat yang sepenuhnya belum mengenal Islam. Hal itu disebabkan

    oleh cara dan metode yang beliau gunakan selalu beradaptasi dengan masyarakat

    setiap harinya. Islam tidak dikesankan sebagai sesuatu yang baru dan menyalakan

    segala bentuk peribadatan masyarakat yang tidak sesuai degan syara‟. Di tangan

    beliau dan pengikutnya Islam disampaikan d