Satu asa untuk indonesia

43
#PenyulutAsa 1

description

 

Transcript of Satu asa untuk indonesia

Page 1: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

1

Page 2: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

2

DAFTAR ISI

Pengantar : Langkah Kecil Kita untk Indonesia #3

Tenun Cinta untuk Rote #5

Pejuang dari Sebatik #9

Play! Let’s Play! #11

Melawan Keterbatasan dengan Sejuta Harapan #16

Senyum Masa Depan Indonesia #19

Sebuah Cerita dari Para Harapan Bangsa #21

Serpihan Surga di Ujung Barat Pulau Jawa #25

Bahagia ala Murid SDN Banyuasih 3 #27

Pejuang itu Bernama Suraidah #31

Inspirasi Itu Bernama Muhammad Asyari #34

Sepucuk Surat dari Anak SD di Pelosok Negeri #36

Cinta dan Harapan dalam Sebuah Kotak Bekal #39

Terima Kasih, Selamat Jalan, Bu Guru Mila #42

Para Kontributor #43

Satu Asa untuk Indonesia

PenulisTim Penyulut Asa KFP-DD

EditorAdhi Kurniawan & Agita Violy

Desain dan Tata LetakAdhi Kurniawan

Foto CoverAlfian Widianto

Page 3: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

3

Sebuah Pengantar

Beberapa waktu yang lalu, kami telah dibuat haru dengan membanjirnya orang baik yang bersedia mewakafkan waktunya untuk berbuat baik. Awalnya kami hanya berniat untuk menyulut asa pendidikan di beberapa daerah terluar Indonesia, yakni Pandeglang, Rote Ndao dan Pulau Sebatik. Namun dari ide sederhana itu, ratusan relawan mendaftar untuk terlibat. Padahal, tak lebih dari 12 orang saja yang kemudian terpilih untuk berangkat bertukar inspirasi dengan anak-anak dan penggiat pendidikan disana. Hal ini membuktikan satu hal, bahwa Ibu Pertiwi tak pernah absen untuk melahirkan generasi hebat yang peduli akan sesamanya.

Di sana, kerja kecil kami dimulai dari membawa buku donasi #GemariBuku ke daerah-daerah tersebut. Mimpi anak-anak Indonesia harus mulai disulut dan kami memulainya dari sisi pengetahuan mereka. Adalah buku yang kami percaya sebagai penyambung nalar paling tepat di saat jaringan seluler pun enggan untuk mampir merapat.

Kerja yang kami gagas tak pernah berjalan sendiri. Bersama anak-anak, relawan dan penggiat pendidikan lokal, kami bahu membahu membuat display kelas untuk menghias ruang belajar mereka. Membuat mereka nyaman kala belajar adalah cara kami untuk berpartisipasi langsung dalam memastikan kualitas kegiatan belajar mengajar (KBM) bagi para generasi penerus terbaik.

Langkah Kecil Kita untuk Indonesia

Bertemu dengan senyum manis anak-anak di pelosok Nusantara, seakan menggaransikan kepada kami akan senyum masa depan Indonesia. Dari semua pengalaman yang menghampiri saat bertukar inspirasi, selalu membuat kami semua percaya, bahwa dari setiap tempat yang kami datangi akan lahir presiden, gubernur, guru, police, combed (gaya penyebutan anak-anak di Sebatik untuk menyebut profesi polisi dan TNI) atau apapun profesi lainnya. Dan satu hal yang pasti, mereka harus menjadi bagian dalam solusi perbaikan Republik ini kedepan.

Bermacam profesi pun ikut ambil bagian dalam rangkaian kegiatan yang kami adakan tempo hari, mulai dari blogger, fotografer, videografer, dosen, wakil bupati hingga camat. Mereka semua ambil bagian dalam menyebarkan semangat kepada anak-anak Ibu Pertiwi hingga ke pelosok negeri.

Memang apa yang telah kami lakukan adalah hal kecil. Namun bisa dibayangkan, ketika setiap orang terinspirasi dan mau bergerak dari apa yang kami lakukan hari ini, maka dampak yang lebih besar adalah konsekuensi logis setelahnya.

Terimakasih banyak untuk semua relawan yang telah mengambil bagian, mempercayakan buku donasi, menyebar luaskan informasi gerakan ini, bahkan hingga ikut bersama-sama ke daerah penerima manfaat di tapal batas negeri.

Terimakasih sudah menjadi #PenyulutAsa bagi Indonesia. Niat baik akan selalu menarik banyak orang baik untuk berbuat baik. Mari bergerak dan menggerakan.

Salam hangat dan jabat tangan selalu,

@AndiAnggerKoordinator @relawan_kfp

Komunitas Filantropi PendidikanDompet Dhuafa

Jalan Raya Parung-Bogor, Km.42,Desa Jampang, Kecamatan KemangKabupaten Bogor, Jawa Barat, 16310relawan.kfp@gmail.comwww.filantropipendidikan.org081284744331

Page 4: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

4

Sarapan pagiKami dihantar dalam gelapDiguncang bagai kacang gorengLantas sampai kelam kami tak larutTemaram jingga mengintip malu malu pada waktuDua rakaat kami lewati dengan anak itikFajar menyingsing hingga nampak terumbuAku dan puteri menerjang pasir untuk bersenda gurauLantas segengam kesederhanaan kami lahap untuk sarapan pagiKami berkumpul untuk menanam sedikitDari sebuah gambaran hidup yang tak hidupAnak itik berkumpul mendekati indukInduk tersenyum kepadanyaSetelah fajar hilang

M. Faruq Abdillah

Foto oleh Alfian Widianto

Page 5: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

5

TENUN CINTA UNTUK

Teks oleh Andi Angger SutawijayaFoto oleh Tres Sutrisno

ROTETak peduli anak Indonesia itu lahir dimana. Di Jakarta atau di Rote. Semua anak Indonesia harus mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi terdidik. Karena hal itu merupakan janji yang kadung disajikan Republik ini untuk rakyatnya.

Itu pula yang kami rasakan di Komunitas Filantropi Pendidikan (@relawan_kfp). Tak peduli kami harus menyambangi pulau terluar sekali pun; jika memang harus kami sambangi untuk memastikan anak Indonesia bisa mendapatkan akses pendidikan, maka itu akan kami lakukan. Ini lah alasan yang sering kali saya bilang ke beberapa teman yang sering bertanya, “kenapa mau sih, Nger, pergi ke pelosok cuma untuk bawa buku?”

Ketika mendengar kisah dari seorang teman yang tengah mengabdi di Pulau Rote Ndao, NTT beberapa bulan lalu, sontak membuat hati saya tergerak untuk mengunjungi pulau paling selatan Indonesia tersebut. Bukan karena keelokan alamnya yang membentang nan menggoda. Tapi karena sebuah kampung di ujung pulau yang masih menyimpan berjuta kegundahan. Disana banyak anak, bahkan orangtua yang masih

buta huruf dan tak menyicipi akses pendidikan.

Desa Tanjung, Pappela Rote Timur merupakan desa terakhir bagi para imigran gelap yang akan menyebrang ke Australia. Disana lah gelapnya harapan akan hidup masih rimbun menutupi mimpi. Bahkan, para ibu tak pernah ingat berapa umur anaknya, karena ia tak pernah tau angka dan huruf yang tersusun dalam penanggalan masehi.

Tak butuh waktu lama, ketika saya ungkapkan niat saya untuk berangkat ke Rote Ndoa dengan membawa buku. Seketika Negeri ini memberi bukti, bahwa orang baik tak pernah hilang. Ibu pertiwi tak pernah alfa melahirkan orang baik yang peduli sesamanya. Gudang #GemariBuku di Parung pun dibanjiri dengan buku donasi yang siap menyulut mimpi anak-anak di Rote.

Gelombang orang baik tak berhenti sampai disini, saat pembukaan pendaftaran untuk merekrut relawan yang akan membantu kegiatan di Rote. Ratusan orang

“Negeri yang tak pernah alpa menghadirkan orang-orang baik”

Page 6: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

6

menyambutnya dengan hangat. Haru menyeruak, saya membayangkan wajah antusias tiap relawan yang mendaftar. Mereka memilih terlibat dalam baris solusi, orang-orang hebat yang tak cuma diam dan mendiamkan saat saudaranya mendapat masalah di ujung negeri.

Semua keajaiban yang terjadi sebelum keberangkatan, semakin meyakinkan saya akan sebuah teori kecil. Sebuah niat baik akan selalu bisa menarik banyak orang baik untuk berbuat baik.

Waktu yang ditunggu pun tiba. Sabtu, 27 Oktober 2014, saya ditemani Mas Sutris, relawan yang terpilih untuk berangkat dan Mas Odie dari @MakmalDD yang akan menghelat pelatihan bagi guru-guru di Rote Ndao pun berangkat. Hiruk pikuk di bandara Soekarno Hatta siang itu menjadi awal perjalanan kami. Bertukar banyak inspirasi dengan anak-anak dan masyarakat Rote.

Air yang tak gratis di tanah surga

Tandus. Itu kesan pertama ketika kapal feri yang kami tumpangi merapat di pulau Rote Ndao setelah perjalanan menyebrang dari Kupang. Matahari rasanya tak ada kompromi siang itu. Debu pasir pantai pun tak mau ketinggalan menjadi pelengkap pengalaman kami yang baru saja turun dari kapal feri.Hiruk pikuk pelabuhan siang itu tak mau kalah. Saling berdesakan antara manusia dan mobil truk besar tak terelakan. Bagaimana tidak, runyamnya pengaturan

pintu keluar membuat kami berhimpit-himpitan, berbagi jalan dengan orang-orang yang mau masuk ke kapal feri dan kendaraan bermotor yang sudah antre sedari tadi.

Di kejauhan, ada seorang yang cukup tegak memperhatikan kami. Kalau di Jakarta, pasti sudah merinding melihatnya. Beliau ternyata seorang pengemudi yang akan mengantar kami ke desa Papela. Sementara itu Mbak Icha (relawan @MakmalDD penempatan Rote), sudah sigap menyiapkan segala keperluan perjalanan kami.

Setelah memasukan bermacam keperluan selama di Rote Ndao, mobil melaju menyusuri bukit tandus khas pesisir NTT. Ada yang lucu sepanjang perjalanan, mas Sutris kala itu kaget ketika melihat babi sebesar kambing menyebrang dengan santai tepat di depan mobil kami. Mungkin ia lupa, kalau ini NTT, dan babi menjadi binatang peliharaan yang berharga disini, tak seperti di Jawa.

Sesampainya di rumah tempat Mbak Icha biasa menginap, lengket badan karena keringat yang mengucur deras memanggil hati untuk segera mandi. Membasuh dengan air segar pasti bisa sangat menyenangkan, pikir saya. Tapi apa daya, Mbak Icha bilang, kalau air sudah dipesan dari kemarin, tapi belum juga datang, dan tak ada air dikamar mandi.Ya, baru saya tahu belakangan. Air di sini barang langka dan harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapatkannya. Masyarakat di sini sangat berhemat dalam memakai air. Jadi merasa berdosa, baru sampai

Page 7: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

7

sudah mau menghambur-hamburkan air. Tapi tetap, Rote Ndao adalah tanah Surga.

Waktunya telah tiba

Buku yang kami himpun kini sudah sampai di tanah Rote. Memang, tujuan kami hadir di sini adalah untuk membawa buku dan membangun taman baca. Namun kami tidak benar-benar membangunnya dari awal, karena mba Icha, relawan dari @MakmalDD telah lebih dulu hadir disini. Beliau telah lebih dahulu merintis taman baca. Beliau pula yang menyulut saya untuk hadir di sini.

Tak sabar rasanya ingin segera berada di tengah anak-anak Tanjung, sebutan untuk anak-anak suku Bajo yang mendiami pesisir Pepela. Karena cerita tentang merekalah saya mengumpulkan harapan datang kemari. Merekalah yang tak pernah mendapat akses untuk sekolah. Seperti lingkaran setan pendidikan, orangtua mereka tak pernah tau pentingnya menyekolahkan anak-anaknya. Alhasil, mereka merasa nyaman tak mengenal huruf dan angka. Estafet kemiskinan pun menunggu untuk diturunkan.

Waktu yang dinanti akhirnya tiba, pagi itu saya diajak mba Icha mengunjungi anak-anak Tanjung. Tak butuh waktu lama dari rumah tempat saya menginap, mungkin 5 menit berjalan kaki ke arah pantai. Di

kejauhan, ada segerombolan anak berpakaian lusuh, berambut pirang, dan berkulit hitam legam yang tengah bermain bola. Dan benar saja, mereka lah anak-anak yang kurindukan. Berada ditengah mereka untuk menyulut senyum, mimpi dan harapan adalah moment yang selalu menghiasi tidur sebelum berangkat. Kini, waktunya telah tiba.

Mengajarkan tentang Indonesia

Awal pertemuan saya dengan anak-anak Tanjung terasa hambar. Awalnya, saya membayangkan akan ada pelukan hangat. Tapi, raut curiga yang justru terpancar dari wajah mereka. Baru setelah Mbak Icha mengenalkan dan menyakinkan kalau saya adalah temannya, mereka perlahan mulai bisa menjalin keakraban dengan saya. Tangan saya mulai digandeng, kemudian saya diajaknya berlari untuk ikut bermain bola.

Saya penasaran bagaimana kelas mereka untuk belajar bersama mba Icha. Setelah puas bermain bola, saya bersama anak-anak yang tak pernah habis energinya ini, langsung bergegas ke tengah kampung Tanjung. Mbak Icha menunjukan sebuah rumah sederhana berdinding triplek. Nuansa bersahaja langsung menyeruak. Dari sebuah rumah yang dipinjam ruang tamunya untuk dijadikan ruang belajar ini lah, kami akan mulai menyulut mimpi.

Buku, spidol, kertas berwarna, dan beberapa perlengkapan mengajar telah saya siapkan semalam. Siang itu, selembar papan tulis kecil akan menjadi media saya untuk mengenalkan Indonesia. Dari beberapa pengalaman saya berkunjung ke pelosok, anak-anak disana biasanya belum pernah mengenal peta Indonesia. Papan tulis ini lah yang akan mengenalkan Indonesia. Menggambarkan betapa luasnya Nusantara. Mengenalkan Sumatra, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Papua dan ribuan tempat lain yang tak pernah mereka ketahui sebelumnya.

Saya ingin mengenalkan tanah air tempat mereka lahir begitu luas. Dan saya ingin memberitahu ke mereka, bahwa banyak sekali saudara-saudara yang tak pernah bertatap muka dengan mereka, masih cinta dan sayang kepada mereka. Dari sini, tenun kebangsaan itu saya harap bisa lahir. Kelak saat mereka dewasa, mereka bisa lebih mengerti, alasan mereka untuk tetap menjaga tenun ini agar tidak pernah tercabik.

Pertanyaan mulai bertubi. Mereka bertanya di mana saya tinggal, dan minta ditunjukan titik pada peta rumah saya tinggal. Mereka langsung bisa menebak kalau saya dari Jawa. Tapi mereka belum pernah tahu, di mana Jawa dan bagaimana bentuk pulaunya. Satu persatu saya tunjukan pulau-pulau besar yang menyusun gugusan bernama Indonesia. Tak butuh waktu lama, mereka sudah tahu nama-nama pulau besar yang tersusun dari Sumatera hingga Papua.

Mereka anak cerdas, itu yang terlintas di benak saya.

Page 8: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

8

Mereka hanya butuh ke sekolah untuk tetap bisa merasakan manisnya ilmu pengetahuan. Mereka harus lebih sering berinteraksi dengan orang terdidik. Karena tak mungkin, orang-orang seperti saya dan Mbak Icha terus ada. Sekolahlah jawaban untuk pertanyaan akan masa depan mereka.

Menyematkan kehormatan pada pemuda Papela

Sepulang dari kampung Tanjung, segelas teh hangat sudah disiapkan bibi di tempat kami menginap. Beliau adalah sang pemilik rumah tempat kami berteduh. Wajahnya cantik, khas wanita Timor. Berkat kedermawanannya lah, kami bisa berlindung dari sengatan matahari pulau Rote yang menggelora.

Sambil menyeruput teh, kami berbincang soal apa yang kami temui. Dari perbincangan ringan itu, kami berkesimpulan, harus ada penggerak lokal yang kemudian hadir mendampingi mereka. Dan kami rasa, kehormatan itu harus disematkan ke anak-anak muda setempat. Tak banyak memang, karena kebanyakan dari mereka memilih hijrah ke Kupang atau ke Makassar. Tapi yang ada sekarang sudah lebih dari cukup, mereka bisa jadi motor penggerak di desanya.

Benar saja, antusiasme mereka untuk hadir menjadi penggerak begitu besar. Niat kami disambut hangat, mereka sudah lama ingin bergerak, namun tidak tahu bagaimana memulainya. Malam itu, perbincangan kami dengan para pemuda desa mengalir berirama.

Pendidikan mereka memang tidak sampai sarjana. Kebanyakan hanya lulus SMP dan hanya beberapa saja yang lulusan SMA. Tapi itu tidak jadi soal, kami berkeyakinan mereka mampu mengemban amanah mulia ini dengan terus menjalin komunikasi dengan kami.

Awal amanah yang kami sematkan adalah untuk mengelola taman baca. Ada usul dari mereka untuk membuat sebuah gerobak ilmu yang nantinya akan membawa buku ke penjuru kampung. Ide itu cukup baik, dan tidak butuh waktu lama untuk merealisasikan mimpi itu. Walau saat kami pulang, gerobak itu belum selesai juga dibuat, tapi mereka memberi garansi kalau gerobak itu akan segera hadir dan menjadi pelita ilmu untuk kampung mereka.

Benar saja, selang semingu setelah kepulangan kami, newsfeed Facebook saya dipenuhi foto mereka yang tengah membawa gerobak yang berisi buku bacaan. Mereka hadir ke pelosok kampung, membawa pengetahuan sembari mengajarkan baca bagi anak-anak yang belum mampu membaca. Saat melihat gambar-gambar itu, air mata tak lagi bisa terbendung. Haru. Kini pelita itu telah lahir ditengah-tengah mereka. Merekalah para pemuda yang memilih menyematkan kebanggan pada seragam kehidupan mereka. Pemuda-pemuda hebat yang tak menyerah pada keadaan, dan memilih berbuat dari pada diam dan mendiamkan.

Pulang bukan untuk pergi

Tak terasa sudah hampir seminggu kami berada di pulau paling selatan Nusantara. Banyak sekali cinta yang terajut disini atas nama Indonesia. Berat sekali rasanya langkah kami untuk meninggalkan perjuangan mereka. Kami harus pulang, tetapi bukan untuk pergi, melainkan untuk memberi kabar ke banyak orang tentang perjuangan masyarakat Papela Rote Ndao akan sebuah harapan. Mereka semua berjuang dengan cara mereka sendiri untuk mewujudkan janji yang kadung terlantun dari republik ini, mencerdaskan rakyatnya.

Kami pun berikrar sebelum pergi, untuk terus menjadi bagian dalam keluarga nan hangat di Rote. Semoga kelak, kami bisa kembali bersua untuk melepas rindu, melihat senyum mereka karena pendidikan yang telah mereka enyam merubah kompas hidup mereka ke arah lebih baik. Dan sampai saat itu tiba, saya mengajak kita semua untuk terlibat didalamnya.

Sampai jumpa lagi Rote Ndao, kelak akan kami bawa lebih banyak lagi cinta ke sini. Cinta dari kami yang menamakan diri kami Indonesia. Bersama-sama akan kami rajut tenun cinta untuk Rote.

Page 9: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

9

Pejuang dari Teks oleh Andi Angger SutawijayaFoto oleh Griska Gunara

Sebatik

Indonesia bukan hanya Jakarta

Page 10: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

10

Saya adalah orang yang sangat percaya, bahwa Ibu Pertiwi tak pernah absen melahirkan orang baik di Republik ini. Tak peduli sekali pun, betapa luasnya hamparan pulau berjajar. Atau rerimbunan lebat yang menutupi pelosok. Orang baik pasti ada dan pernah terlahir disana.

Saya adalah orang yang beruntung ketika takdir menghadapkan saya pada sebuah pilihan untuk berangkat ke Pulau Sebatik. Padahal, tak pernah terlintas sedikit pun di benak saya untuk berangkat ke sana. Pulau eksotis yang menyajikan pertunjukan eksistensi dua negara serumpun, Indonesia –Malaysia.Sama seperti proses keberangkatan ke Rote. kami mengajak seorang relawan dari Komunitas Filantropi Pendidikan untuk berangkat. Bukan tanpa alasan, kami ingin semakin banyak orang baik yang menyaksikan kondisi pedidikan Indonesia di daerah. Karena Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya atau Makassar. Sehingga kita semua bisa bercerita ke banyak orang tentang permasalahan bersama ini. Tak sampai di situ, relawan yang berangkat sangat mungkin untuk menularkan inspirasi baik bagi anak-anak di perbatasan Sebatik.

Waktu yang ditentukan tiba, buku donasi dari banyak relawan telah selesai dikemas dalam beberapa kardus dari gudang #GemariBuku di Parung, Bogor. Mbak Griska, relawan “kece” yang tersematkan kehormatan untuk menyul asa anak-anak di Sebatik pun sudah siap untuk berangkat. Mba Griska ini adalah seorang fotografer dan videografer. Dari lensa kameranya, bisa dihasilkan video dokumenter yang hebat dan mengagumkan.

Indonesia vs Malaysia

Pertunjukan orkestra paling menyayat hati pun tersaji saat saya dan Mbak Griska menjejakkan kaki di Pulau Sebatik. Di pulau ini, Indonesia rasa Malaysia amat sulit untuk dipungkiri. Hampir seluruh kebutuhan pokok warga Sebatik di suplay dari Tawaw, Malaysia. Ditengah perjalanan saat saya menuju penginapan, ada hal yang unik. Saya melihat SPBU Pertamina yang sudah amat muram perwajahannya, rumput liar sudah tumbuh amat tinggi, dan pasti sudah lama tak ada aktivitas jual beli di SPBU tersebut. Saat saya coba tanyakan ke orang yang mengantar saya ke penginapan, dan ternyata mobil atau motor di Sebatik tak menggunakan produk dari Pertamina. Sudah dapat ditebak, mereka menggunakan produk dari Petronas. SPBU tersebut tak pernah mendapat pasokan BBM dari Pertamina. Mungkin karena dirasa amat jauh dari pusat ibukota, entah lah.

Belum lagi ketika kami makan, dalam daftar menu tertera pilihan bayar, bisa menggunakan Rupiah atau Ringgit Malaysia. Tahukah minuman yang paling menyegarkan di Sebatik itu apa? Jawabnya adalah es susu Milo buatan Malaysia.

Di Sebatik, anak-anak Indonesia lebih ingin untuk pergi ke Tawaw untuk wisata, ketimbang ke Nunukan atau Tarakan sebagai kota terdekat dari Sebatik. Bahkan ketika saya menanyakan pertanyaan “bagus mana Indonesia atau Malaysia?” ke beberapa anak yang saya temuai, anak-anak itu menjawab dengan spontan “Malaysia”. Ya, inilah realita pahit yang kami temui di awal kedatangan saya ke Sebatik.

Page 11: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

11

//Sebatik dalam Dua Warna

Play!Let’s Play!Berkunjung ke Rumah Andi

Teks dan foto oleh Griska Gunara

Page 12: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

12

Siang terik itu kami berjunjung ke rumah Andi, murid kelas 1 SDN 006 Sebatik Tengah. Andi tinggal di Sungai Pukul, Sebatik Malaysia, tetapi bersekolah di Sebatik, Indonesia.

Setiap hari Andi berangkat menuju sekolah dengan melintasi dua negara. Alhamdulillah kami berkesempatan bermain bersama Andi dan teman-temannya yang ikut kami berkunjung siang itu; saya, Mas Angger, Bang Arizal serta teman-temannya Andi.

Dengan menggunakan dua motor, kami sampai di rumah Andi.

p

Rumah kayu yang berada di lintas batas ini berdiri. Andi tinggal bersama Ibu, Nenek, Kakek, dan satu adiknya yang masih kecil. Tinggal di kebun milik orang Malaysia dan mereka bekerja sebagai pengelola kebun tersebut. q

Page 13: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

13

Siang itu saya tidak punya rencana lain selain memenuhi kesenangan anak-anak ini dengan belajar fotografi bersama. Mas Angger menyiapkan kamera untuk kami foto bersama. Lalu anak-anak yang lain berlarian dan berebut untuk meminjam kamera saya. Ternyata, mereka sangat antusias melihat saya mencontohkan kepada mereka tentang bagaimana mengoperasikan kamera. Beberapa foto ini di ambil oleh salah-satu anak atau di ambil sama Mas Angger ya ?

Atau saya ?

Ah, saya lupa. Semuanya sama bagusnya!

p

Page 14: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

14

Page 15: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

15

..dan tidak lupa foto keluarga di setiap kesempatan!p

Page 16: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

16

Melawan Keterbatasan

Teks dan foto oleh Adhi Kurniawan

dengan Sejuta HarapanBelum meratanya kualitas pendidikan Indonesia adalah sebuah realita. Ketimpangan tersebut tidak hanya terjadi di pelosok-pelosok atau kawasan terluar nusantara. Tak sampai 200 kilometer dari ibu kota negara, masih dapat kita jumpai sekolah dengan fasilitas yang serba minimalis. Ruang kelas yang terbatas, buku-buku pelajaran yang tidak memadai, alat peraga yang seadanya, hingga tenaga pengajar yang masih kurang adalah masalah yang setiap hari harus dihadapi.

Profil seperti itu ada pada SD Banyuasih 3. Sekolah ini terletak di ujung barat Pulau Jawa, tepatnya di Kecamatan Cigeulis, Pandeglang, Banten. Akses jalan raya dari kota kecamatan menuju tempat ini terbilang memprihatinkan. Jalan beraspal hanya ada hingga gerbang masuk kawasan wisata Tanjung Lesung. Selanjutnya, jalan tanah berbatu dengan kontur naik turun sudah menanti. Jalur ini hanya bisa dilewati saat kemarau. Pada musim hujan, warga yang ingin melintas harus memutar mencari jalur lain karena jalanan menjadi berlumpur dan susah dilalui.

Pak Sudirman, sang kepala sekolah, mengisahkan bahwa di tengah segala keterbatasan tersebut, masa depan bagi 120 muridnya berada. SD Banyuasih 3 hanya memiliki tiga ruang kelas yang dipakai bersama-sama oleh siswa kelas I hingga kelas VI serta satu ruangan tambahan yang disekat-sekat menjadi perpustakaan, ruang guru, ruang guru, ruang tamu,

sekaligus gudang. Jumlah guru belum ideal untuk mengajar. Hanya ada tiga guru tetap sehingga Pak Sudirman harus mencari tenaga honorer. Buku-buku teks pelajaran yang mengacu pada kurikulum terbaru pun sangat terbatas. Pihak sekolah harus memfotokopi sendiri buku-buku tersebut agar bisa dipakai bersama oleh para siswa. “Seperti inilah kondisi di sekolah kami. Seadanya”, ujar Pak Sudirman. Pria yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun di pedalaman Pandeglang itu menghadapinya dengan senyuman. Seolah masalah-masalah tersebut sudah lekat dengan kesehariannya.

Menyelenggarakan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara. Pun mendapatkan pendidikan yang layak. Itu adalah hak setiap anak Indonesia. Namun pemerintah memiliki keterbatasan dalam memenuhi hal tersebut. Meski sudah mengalokasikan 20% dana APBN untuk bidang pendidikan, belum semua anak Indonesia memiliki akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Dengan realita tersebut, bisa saja kita

Page 17: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

17

menyalahkan pemerintah atas ketidakmampuannya memenuhi amanat konstitusi. Namun, selalu ada pilihan. Daripada terus mengutuki kegelapan, lebih baik mencari lilin lalu nyalakan api. Daripada terus memaki keadaan, lebih baik turun tangan dan ambil langkah nyata.

Dompet Dhuafa melakukan hal tersebut. Melalui jejaring pendidikan yang dimilikinya, organisasi nirlaba ini memberikan kontribusi nyata bagi pendidikan di tanah air. Di tempat-tempat yang belum terjangkau sepenuhnya oleh pemerintah, Dompet Dhuafa hadir melalui program Sekolah Guru Indonesia (SGI). SGI mengirimkan guru-guru terbaik ke berbagai daerah. Guru-guru itu berasal dari para sarjana perguruan tinggi ternama yang telah melewati proses seleksi ketat. Setelah mendapatkan pelatihan dan melakukan persiapan, sosok-sosok terpilih itu lantas ditugaskan untuk mengajar selama setahun penuh. Tak sebatas mengajar, mereka juga membaur dengan masyarakat sekitar.

Dalam menentukan sekolah tujuan, Dompet Dhuafa telah melakukan profiling yang ketat. Sekolah yang menerima bantuan harus merupakan sekolah yang benar-benar membutuhkan. Dana berasal dari umat sehingga pengelolaan harus transparan dan akuntabel. Khusus untuk program SGI, pendanaan bersumber dari zakat sehingga kriteria sekolah penerima bantuan harus sesuai dengan konsep penerima zakat. Misalnya, 70% siswa berasal dari keluarga tidak mampu. SD Banyuasih 3 memenuhi semua kriteria yang disyaratkan untuk menerima bantuan sehingga program SGI dapat dijalankan di sana.

Beberapa waktu lalu, saya bersama rekan-rekan relawan Komunitas Filantropi Pendidikan (@relawan_

kfp) mendapat kesempatan mengunjungi SD Banyuasih 3. Selama dua hari di sana, kami melakukan berbagai jenis kegiatan bersama murid-murid. Rangkaian kegiatan diawali dengan penyerahan buku-buku donasi dari Asia Foundation. Setiap siswa mendapat satu paket buku yang dikemas dalam tas punggung. Bingkisan sederhana yang mampu memantik keceriaan dan semangat mereka.

Keceriaan berlanjut saat para relawan memperkenalkan diri dan menceritakan profesi masing-masing. Kebanyakan murid berasal dari keluarga petani dan nelayan sehingga dua profesi itu saja yang familiar bagi mereka. Mereka begitu antusias menyimak saat diceritakan mengenai keseharian seorang pegawai negeri, fotografer, blogger, konsultan komunikasi, hingga travel writer. Sesuatu yang barangkali belum mereka kenal. Melalui kisah-kisah itu mereka ditantang agar berani melempar cita-cita jauh ke luar kotak yang selama ini mereka tempati.

Dengan alat peraga pendidikan yang terbatas, para relawan dan guru-guru SGI mengajak murid-murid membuat sendiri instrumen itu. Setiap kelas diberi kesempatan mengkreasikan sendiri ide masing-masing. Didampingi para guru dan relawan, murid-murid asyik membuat alat peraga seperti peta Indonesia, diorama kebun binatang, simulasi bangun datar, hingga membuat origami. Mereka dilatih untuk berproses. Tidak sekedar menerima sesuatu setelah berupa barang jadi. Hasilnya, tampak wajah-wajah penuh kepuasan manakala hasil karya mereka dipajang.

Dari sisi akademis, sebetulnya prestasi murid-murid SD Banyuasih 3 terbilang lumayan. Dalam beberapa tahun terakhir tingkat kelulusan dalam ujian nasional

Page 18: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

18

sudah mencapai 100% meski nilai rata-ratanya belum mencapai 7. Di tengah segala keterbatasan yang ada, tentu pencapaian tersebut adalah sesuatu yang menjanjikan.

Di sisi non akademis, ternyata murid-murid SD Banyuasih 3 telah menorehkan prestasi yang sangat membanggakan. Mereka sanggup meraih juara dalam kompetisi atletik tingkat provinsi dan nasional. Bahkan, pernah suatu ketika salah seorang murid mampu menembus kejuaraan atletik tingkat ASEAN. Mereka adalah atlet-atlet yang didikan alam. Kecepatan, kekuatan, dan ketangkasan mereka adalah berkah yang diperoleh dari beratnya alam di sekitar mereka.

Masalah utama yang terjadi di SD Banyuasih 3 dan juga SD-SD lain di daerah sekitarnya adalah masih rendahnya kesadaran orang tua mengenai pendidikan. Bagi sebagian besar orang tua, setelah lulus sekolah dasar anak-anaknya akan didorong untuk bekerja. Baik sebagai buruh pabrik di kawasan industri berikat yang ada di sekitar Cilegon atau diajak melaut dan bertani. Bagi siswa perempuan, selepas SD adalah

waktu yang jamak untuk dinikahkan. Dengan kondisi tersebut, tentu sulit bagi mereka untuk menjaga asa agar cita-citanya tetap menyala. Ada banyak tantangan yang harus mereka lawan.

Kedatangan para relawan yang hanya dua hari bersama anak-anak itu barangkali tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah yang ada. Mungkin juga bantuan yang diberikan belum dapat menghilangkan beban mereka. Namun kami percaya, semangat mereka harus terus dijaga. Mereka perlu diyakinkan dan dipacu bahwa mereka bisa. Keterbatasan yang ada pada mereka harus dilawan dengan harapan.

Dengan hadir di sekolah mereka dan mengajak mereka bermain, kami ingin memberitahukan bahwa akan selalu ada perhatian untuk mereka, anak-anak yang kurang beruntung. Dengan bercerita tentang profesi, kami ingin berbagi inspirasi bahwa masa depan mereka masih panjang dan begitu menjanjikan.Mencerdaskan kehidupan bangsa memang tugas negara. Namun, kita pun memiliki tanggung jawab serupa. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Berbagi dan terus berupaya. Untuk masa depan anak-anak Indonesia yang lebih cemerlang.

Page 19: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

19

Senyum Masa Depan

INDONESIA

Teks oleh Citra NovitasariFoto oleh Alfian Widianto

“Pak Guru, laper, boleh makan ya?”

“Iya nanti makan sama-sama ya, tapi ini diselesaikan dulu.”

Anak kecil itu kembali menggunting petanya untuk membantu teman sekelasnya, menyelesaikan seluruh prakarya, berharap segera tiba waktu makan. Tak urung datang waktu makan, anak kecil itu kembali merengek tapi bukan untuk makan “Pak Guru makannya nanti aja, aku mau difoto,” secara spontan Pak Guru tertawa dan membalas tawaku sambil berucap “Ternyata foto bisa mengenyangkan ya, Mbak” hahahahaha!!!

Itu sepenggal obrolan saya dengan salah satu relawan pendidikan yang mengabdikan dirinya untuk menjadi guru di ujung barat sana. Biasa disapa Pak Ari. Jauh-jauh merantau dari Lombok Timur hingga begitu menikmati dunianya dipenuhi gelak tawa anak-anak.

“Tau Ujung Kulon gak? Tau Tanjung Lesung gak? Tau Pulau Peucang gak?” Pasti jawabannya “tau” atau mungkin ada yang jawab “gue pernah kesana”. Nah, kalau pertanyaannya saya ubah jadi begini “Tau Pantai

Cigeulis gak? Tau daerah Banyuasih gak? Atau tau daerah Sumur Pandeglang gak?” Pasti sebagian besar menjawab tidak tahu. Jangankan tahu, mendengar namanya pun mungkin ini kali pertama.

“Pak jalannya pelan-pelan aja ya ,yang penting selamat, ini tasnya jatuh terus”, celoteh teman seperjalanan yang kebetulan duduk di belakang.

Sopir yang membawa kami bertolak dari Jakarta pun menurunkan kecepatan mobil. Hanya berlangsung 10-15 menit selebihnya ngebut lagi, mungkin sang sopir sudah lupa dengan fungsi remnya.

Entahlah, saya tak jelas melihat jalan dengan sedikit penerangan lampu mobil. Tanpa melihat pun saya tau kalau jalannya rusak. Sekitar 03.30 waktu setempat, kami sudah merapat dengan kesadaran yang tak penuh, Alhamdulillah langsung disambut hangat oleh rekan-rekan Sekolah Guru Indonesia, Dompet Dhuafa.

Sekitar jam 7 pagi, kami melihat sekeliling sekolah sebelum kegiatan dari KFP (Komunitas Filantropi Pendidikan) dimulai.

“Jangan lupa untuk tersenyum, tersenyum saja sudah bisa menunjukkan tata krama dan sopan santun”

Page 20: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

20

Kami melihat sekitar 5 anak yang asyik bersenda gurau. Kami hampiri mereka dan begitu terkejutnya saya, mereka tanpa sungkan mengucap salam dan mencium tangan kami. Detik itu juga saya terharu.

Seperti kembali kemasa kecil, kami yang selalu mencium tangan guru-guru saat bertemu. Tanpa ragu seperti mereka yang berebut menarik tangan para guru. Tapi kini pemandangan seperti itu hanya saya temui sesekali. Lingkungan sosial yang sudah mulai berubah hingga terlihat nampak acuh. Pendidikan moral itu penting sebagai pondasi hidup bersosial hingga tata karma itu akan selalu terjaga.

Di depan mereka yang saling berebut salim, saya hanya mampu tersenyum dan dalam hati bersyukur. Pelajaran hidup dari anak-anak ini mengingatkan saya kejadian yang lalu. Ibu pernah berpesan “Jangan lupa untuk tersenyum, tersenyum saja sudah bisa menunjukkan tata krama dan sopan santun, Mbak” atau ingat dengan ucapan seorang ustad saat mengaji “Mengucap salam dan bersalaman maka silahturahmi itu akan terjalin dengan erat”

Prinsip hidup itu sebagian besar didapat dari pendidikan keluarga. Pelajaran hidup itu lebih banyak dari kegiatan di luar rumah. Itu salah satu alasan dari banyak alasan kenapa saya suka jalan. Hehehehe

Saya masih berdiri di beranda depan sekolah. Menarik! Di tengah ramainya gelak tawa anak-anak yang berlarian, kejar-kejaran naik sepeda. Beberapa anak sibuk mengambil sampah-sampah depan sekolah, menyiram tanaman.

“Kamu gak ikutan main sama yang lain?”.

Dia menjawab, “Nanti saya ikutan Bu Guru, tapi setelah ini selesai”

“Terima Kasih untuk senyum kalian, terima kasih untuk semua peristiwa yang mengajarkan saya tentang keseder-

hanaan dalam keterbatasan. Pondasi tata krama tidak kalah pentingnya dengan pendidikan, berlari kawan raih mimpi kalian. Tunjukan ada anak-anak Banyuasih yang

berkualitas di ujung Barat Jawa untuk Indonesia”

Page 21: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

21

Sebuah CeritaDARI PARA HARAPAN BANGSA

Teks oleh Dewi PuspitasariFoto oleh Adhi Kurniawan

“Di daerah penempatan saya, tidak ada MCK. Bisa dihitung berapa keluarga yang memilikinya, padahal sebenarnya mereka mampu membuatnya. Kesadaran mereka akan kebersihan dan kesehatan masih kurang,” ujar Ramdhan.

“Kalau di daerah penempatan saya, sulit sekali mendapat sinyal. Kamar mandi pun jarang ditemui. Jadi saya harus bangun pagi-pagi sekali menuju sumur untuk membersihkan badan,” ujar Mila.

“Kalau di sini (SDN Banyuasih 3 Pandeglang), hanya kelasnya saja yang kurang. Selebihnya sudah lumayan bagus dan bersih,” tambahnya.

Selama satu tahun, mereka harus terbiasa dengan kondisi tersebut. Sambil mengabdikan diri mereka sebagai pengajar muda bagi generasi penerus bangsa. Tak ada kenyamanan bagi mereka, tapi lebih jauh dari pada itu, mereka mendapatkan kepuasan karena bisa berkontribusi langsung bagi kemajuan bangsa ini. Bagi mereka, itu adalah pilihan, panggilan, sekaligus kewajiban. Pilihan untuk menjadi pengajar, panggilan untuk mengabdi pada bangsa, dan kewajiban untuk menjadikan bangsa ini lebih baik.

Waktu menunjukkan tepat pukul 04.00 pagi ketika dua mobil APV yang mengantar kami (para Relawan Komunitas Filantropi Pendidikan) tiba di sebuah sekolah di Kecamatan Cigeulis, Pandeglang. Kurang lebih enam jam perjalanan kami tempuh dari Jakarta untuk sampai ke sini. Jalan yang kami lalui pun tak semulus jalanan di perkotaan dan hanya bisa dilewati ketika musim kemarau.

Lima teman kami dari Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa yang sedang ditempatkan di daerah ini, menyambut kedatangan kami dengan ramah. Mereka langsung membawa kami menuju sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari sekolah agar kami dapat beristirahat sejenak sebelum sang surya bersinar.

Pukul 07.30 pagi, adik-adik sudah berkumpul di lapangan sekolah untuk menyambut kami yang mereka sebut “tamu istimewa”. Luar biasa terharu melihat antusias mereka. Tidak semua anak tinggal dekat sekolah. Beberapa dari mereka harus berangkat lebih pagi untuk tiba di sekolah tepat waktu.

Sebelum bergabung dengan adik-adik di lapangan,

Page 22: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

22

kami menyempatkan untuk berbincang dengan Kepala Sekolah SDN Banyuasih 3 dan beberapa guru di sana. “Yah, beginilah kondisi sekolah kami yang seadanya,” ujar Pak Sudirman, Kepala Sekolah SDN Banyuasih 3.

Sekolah ini hanya terdiri dari 3 ruang kelas yang digunakan secara bergantian oleh kelas 1 sampai kelas 6. Bahkan ada 1 ruang kelas yang disekat untuk dipakai oleh 2 rombongan belajar. Hanya ada 3 orang guru PNS ditambah 5 guru honorer di sekolah ini. Itulah yang menjadi salah satu pertimbangan mengapa SDN Banyuasih 3 dipilih menjadi lokasi penempatan guru dari SGI Dompet Dhuafa. Selain memang muridnya yang sebagian besar berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Adik-adik sudah tidak sabar menunggu kami di lapangan sekolah. Semacam apel pagi yang dilaksanakan khusus untuk menyambut kedatangan kami ini dibuka oleh salah seorang guru SGI yang ditugaskan di sekolah ini, yang dikenal adik-adik dengan sebutan Pak Ari. Sambutan dari perwakilan relawan, Kepala Sekolah SDN Banyuasih 3, dan perkenalan dari masing-masing relawan hingga senam otak bersama dengan adik-adik menjadi rangkaian acara apel pagi ini.

Antusiasme adik-adik menjadi semangat bagi kami para relawan yang mendapat kesempatan untuk bermain dan belajar bersama mereka hari ini. Para siswa dan relawan kemudian dibagi ke dalam tiga kelas. Masing-masing kelas akan membuat kreasi display kelas. Dibantu para relawan, adik-adik pun dengan semangat membuat kreasi yang nantinya

akan dipajang di ruang kelas mereka.

Display kelas pun selesai dibuat. Adik-adik keluar dari kelas mereka sambil membawa hasil display kelas yang mereka buat. Tidak lupa kami semua berfoto bersama untuk mengabadikan moment tersebut.

Selesai membuat display kelas, kami makan siang bersama. Adik-adik begitu bersemangat membuka bekal yang mereka bawa dari rumah. Setelah sebelumnya mereka berteriak, “lapar.. lapar.. ayo kita makan sekarang.”

Perut kenyang, saatnya mereka pulang. Pulang untuk istirahat sebentar dan menyiapkan keperluan mereka untuk menginap di sekolah.

Menjelang sore hari, ketika kami para relawan sedang terlelap sejenak melepas lelah, mereka sudah berlari kesana kemari di sekolah. Mereka begitu bersemangat untuk melanjutkan kegiatan bersama kami. Sembari menanti senja sore, kami bermain dan tertawa bersama mereka di tepi pantai. Seperti tak pernah lelah, adik-adik begitu bersemangat mengikuti permainan-permainan yang dibuat oleh para guru SGI.

Senja tenggelam, pertanda kami harus kembali ke sekolah bersama adik-adik untuk menunaikan sholat Maghrib. Selepas sholat, saatnya persiapan untuk kegiatan terakhir bersama adik-adik di hari ini. Ikan yang akan dibakar untuk makan malam telah siap. Kayu bakar untuk acara api unggun pun telah siap. Makan malam sudah. Menyalakan api unggun sudah. Saatnya kegiatan pamungkas bersama adik-adik di hari ini, yaitu menerbangkan lampion. Satu per satu lampion kami terbangkan bersama harapan dan cita-cita adik-adik yang melambung tinggi ke angkasa.

****

Minggu pagi, mereka sudah beramai-ramai mendatangi rumah kami menginap, “Bu guru… Pak guru, ayo kita berenang di kolam,” ajak mereka. “Waah..disini ada kolam juga ?” ujarku. “Iya bu, di

Antusiasme adik-adik menjadi semangat bagi kami, para relawan yang mendapat kesempatan untuk bermain dan belajar

bersama mereka hari ini.

Page 23: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

23

kolamnya juga ada ikan dan buayanya”, tambah mereka. Aku terdiam.

Setelah berjalan selama kurang lebih 15 menit, kami tiba di “kolam” yang begitu luas dan indah. Kolam tersebut tidak lain adalah sebuah danau yang bermuara ke laut. Adik-adik langsung menyeburkan diri ke kolam itu. Sebagian dari kami ada yang ikut berenang bersama mereka, sebagian lagi mengabadikan keceriaan mereka bermain di kolam.Tak jauh dari kolam, terhampar lapangan golf yang luas dengan pemandangan pantai dan pasir putih yang indah. Adik-adik begitu senang bermain disana. Canda tawa mereka pun lepas. Tempat mereka yang terkucil jauh dari perkotaan, ternyata menyimpan sejuta keindahan.

Kami pun tiba di penghujung waktu bersama mereka. Kami harus kembali ke Jakarta. Kembali ke rutinitas kami. “Bu guru, nanti kita main di kolam lagi ya kalau Ibu kemari lagi”, ucap salah seorang murid kepada saya. Insya Allah, waktu akan mempertemukan kami kembali di lain kesempatan. Bermain dan belajar bersama mereka, memberikan energi baru bagi kami. “Terima kasih Pak guru, Bu guru, sudah mau belajar dan bermain bersama kami”, ujar adik-adik. Dalam hatiku berkata, justru kami lah yang berterima kasih karena telah mendapat banyak pelajaran berharga dari mereka. Kesederhanaan, kebahagiaan, keceriaan, yang tak pernah ada habisnya dari mereka.

Teruslah belajar demi cita-citamu, Dik. Jadilah kebanggaan bagi bangsa ini. Kalian adalah mutiara-mutiara harapan bangsa.

Display kelas pun selesai dibuat. Adik-adik keluar dari kelas mereka sambil membawa hasil display kelas yang mereka buat.

Page 24: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

24

LuguHari ini ku teguk paras lugu

Disekolah kecil dengan anak itikSuara gaduh mereka bak pasir laut

Terlihat indah tetapi hambarPerlahan mentari mencoba unjuk rasa

Dahaga membuat kami lupa akan duniaKu seruput wajah lugu nan kelam

Kalian tak punya masa laluMereka meminta kami melihat

Cerahnya esok hari dari cangkir teh pahitLantas ku seruput teh pahit dengan manis

M. Faruq Abdillah

Foto oleh Adhi Kurniawan

Page 25: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

25

SERPIHANSURGA

DI UJUNG BARAT

PULAU JAWA

Teks oleh Intan Deviana SafitriFoto oleh Alfian Widianto

Terlepas dari kegiatan sosial kami di desa Banyuasih, Cigeulis, Pandeglang, saya masih terus merasakan syukur atas perjalanan kami kali ini. Sudah gratis, dapat kaos, eh masih juga dikasih bonus pengalaman menjelajah kecantikan ujung barat pulau Jawa yang belum banyak diketahui oleh wisatawan.

Saat kami tiba di Banyuasih, waktu masih menunjukan pukul empat pagi. Suasana masih gelap, selama di perjalanan pun saya lebih banyak tidur meskipun jalur sepanjang jalan menuju Banyuasih cukup berbatu dan tidak rata. Jadi, begitu Kak Angger menyilakan kami untuk beristirahat di salah satu rumah warga, saya pun langsung pulas terlelap sampai subuh menjelang. Pukul lima pagi, saya bangun untuk solat subuh. Selesai solat subuh, saya tidur lagi. Masih ngantuk soalnya. Hehehe.

Terus, mana cerita tentang surga di ujung barat pulau Jawa itu??? Sabar. Ini lho baru mau saya ceritakan.

Kata Umi si pemilik rumah tempat kami singgah, pantai di belakang SDN 3 Banyuasih itu namanya pantai “aya”. Maksudnya pantai “saja”, alias tidak punya nama. Beda lagi dengan salah satu murid yang Kak Citra tanyai. Adik itu bilang kalau nama pantainya adalah pantai Cigeulis. Kumaha dong? Adiknya sok

Page 26: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

26

tahu nih.

Apalah arti sebuah nama. Yang pasti pantai “aya” ini mempunyai karang di sepanjang tepinya. Pasirnya putih dan bertekstur kasar. Dari rumah Umi yang berseberangan dengan SDN 3 Banyuasih, pantai “aya” cukup ditempuh dengan berjalan kaki kurang dari lima menit. Dekat sekali kan? Di jalan setapak menuju pantai, ada banyak pohon kelapa tumbuh tinggi menjulang dan rerumputan berwarna kuning kecoklatan. Di salah satu titiknya terdapat sebuah gazebo yang lantai kayunya ada bagian yang bolong.

Lantai yang bolong ini kerap kali dipakai untuk bermain murid-murid SDN 3 Banyuasih. Saya kaget, waktu malam Minggu kami sedang bersiap makan malam di gazebo, tiba-tiba dua buah kepala muncul dari bawah lantai gazebo yang bolong itu. Padahal suasana gelap, cuma disinari lampu senter masjid. Gimana saya nggak kaget plus ngekek coba. Ada-ada saja ya kelakukan bocah-bocah Banyuasih. Eh, iya! Sunset di pantai “aya” ini ga kalah ciamik lho sama sunset di pulau Pari ataupun pulau Derawan.

Tidak hanya dipuaskan dengan suasana pantai “aya”. Kata salah satu murid, di dekat pantai ada danau, dan kata Kak Ari, di dekat danau ada lapangan golf gitu. Lah? Kok ada sih danau dan lapangan golf yang letaknya tetanggaan sama laut? Biar rasa penasaran ini terobati, Minggu pagi sebelum kembali ke Jakarta, kami pun menyempatkan susur pantai untuk mencapai destinasi unik itu. Saya kebetulan sudah mandi dan wangi, tapi karena kena angin pantai dan matahari lagi, badan terasa lengket dan keringeten.Jarak tempuhnya mungkin sekitar 15-20 menit dari

pantai “aya”. Tergantung kamu jalannya sambil menggalau atau tidak. Saat saya sampai, bocah-bocah Banyuasih sudah kecipak-kecipuk main air di danau. Kak Ari dan Kak Shirli juga tidak ketinggalan cebur-ceburan. Beberapa ada yang coba melompat dari dahan pohon yang tidak lumayan tinggi. Water boom-nya Banyuasih ini mah! Selain berenang, anak-anak ini kadang suka mancing ikan juga di danau ini. Ih bahagianya! Anak-anak saya besok mainannya harus kaya mereka gini nih! Di alam bebas! Ga gadget-an melulu! Hehehe.

Kami lalu jalan kaki lagi ke arah selatan, ke lapangan rumput hijau nan luas. Inilah lapangan golf-nya. Kok ya ada ya lapangan golf di tepi laut? Baru sekali ini sih saya lihat. Jadi wajar kan ya kalo saya sempat tertegun melihatnya? Kak Harris memberi info kalau pulau di seberang barat sana namanya Pulau Umang. Sayang ya, kami tidak sempat kemana-mana. Padahal dari Banyuasih, sudah dekat kemana-mana, lho. Sebutlah ke Pulau Umang tadi, ke Tanjung Lesung, ke Pulau Peucang, ke Ujung Kulon! Siapa yang bisa menolak?

Hari sudah cukup siang, sudah saatnya kami kembali ke rumah Umi untuk packing dan bersiap kembali ke Jakarta. Sssttt, badan memang keringetan dan lengket lagi. Tapi saya malas ah mandi lagi. Mendingan saya sudah sempat mandi pagi. Nah Kak Citra, mandi terakhir tuh malam harinya. Dia bilang mandinya nanti aja kalau sudah sampai rumah. Sampai jumpa pantai “aya”. Terima kasih untuk akhir pekan indahnya!

Ada ya lapangan golf di tepi laut? Baru sekali ini sih saya lihat. Jadi wajar kan ya kalo saya sempat tertegun melihatnya?

Page 27: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

27

BAHAGIAALA

MURID SDN BANYUASIH 3

Teks dan foto oleh Adhi Kurniawan

Dunia anak adalah dunia penuh keceriaan dan semangat. Setiap kalimat yang mereka ucapkan selalu diakhiri tanda seru karena senantiasa ada antusiasme di sana. Energi mereka seolah tidak ada habisnya. Fasilitas yang dimiliki SDN Banyuasih 3 tidak selengkap dan sebaik sekolah lain. Peralatan sekolah yang mereka pakai pun seadanya. Namun, mereka memiliki kebahagiaan yang lain. Alam berbaik hati menyediakan lingkungan yang indah untuk mereka.

SDN Banyuasih 3 terletak di Kecamatan Cigeulis, pantai barat Pandeglang. Kawasan ini memang dikenal sebagai destinasi wisata yang menawan. Sebut saja Tanjung Lesung atau Taman Nasional Ujung Kulon. Deretan pantai karang maupun pantai berpasir membentang di sepanjang pesisir Pandeglang. Gradasi air laut dari hijau toska menjadi biru muda membuat mata menjadi manja. Akses jalan yang buruk justru membawa dampak positif tersendiri. Hanya sedikit wisatawan yang mau bersusah payah berkunjung ke sana sehingga kebersihan dan keaslian alam betul-betul terjaga.

Siang itu setelah menyelesaikan beragam kegiatan bersama tim Dompet Dhuafa dan Sekolah Guru Indonesia sejak pagi, kami mengajak murid-murid SDN Banyuasih 3 menginap di sekolah. Mereka

Page 28: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

28

diizinkan pulang sejenak untuk menyiapkan bekal dan perlengkapan lain. Beragam pertanyaan muncul.“Pak Guru, bawa beras nggak?” muncul pertanyaan dari salah satu murid. “Pak Guru, boleh bawa kasur sendiri?” murid lain tidak mau kalah. “Pak Guru, kalau sholat Dhuhur dan Azhar nya dijamak boleh tidak biar mudah?” tanya seorang murid yang rumahnya persis di samping sekolah.

Bersama guru-guru SGI, saya dan rekan-rekan relawan mengajak anak-anak itu bermain di pantai yang ada tepat di halaman belakang sekolah. Beberapa games sudah disiapkan. Salah satunya adalah bermain roleplay di mana murid-murid diminta berperan sebagai penghuni hutan.

Seorang pengajar memberikan instruksi, “Anak-anak, Bu Guru pilih pemeran penghuni hutan, ya. Kamu jadi rusa, kamu jadi harimau, kamu jadi gajah”. Tiba-tiba ada anak yang berseru, “Tapi Bu Guru, ini kan di pantai. Tidak ada binatang-binatang seperti itu”.

Berlanjut permainan lain. Murid-murid dibagi menjadi dua kelompok. Secara bergiliran setiap anak dari masing-masing kelompok ditutup matanya dengan kain. Teman-teman sekelompok lantas memberikan instruksi agar si anak yang ditutup matanya dapat mencapai tempat yang di seberang barisan. Tim yang paling dulu mencapai tujuan itulah yang menang. Ada saja anak yang usil. Dari saling dorong, memasang perangkap untuk membuat teman lain terjatuh, sampai memberi petunjuk yang menyesatkan sehingga anak

yang ditutup matanya bukannya mencapai titik finish tetapi malah jalan terus menuju pantai.Kami bermain hingga petang menjelang. Mentari mulai terbenam. Saya menyiapkan kamera di atas karang mencari komposisi yang bagus untuk slowspeed photography. Senja adalah golden time yang dinanti para pemburu foto. Langit sedikit mendung, tetapi justru membuat suasana makin syahdu. Lamat-lamat adzan berkumandang dari mesjid. Seorang anak menarik tangan saya sembari berkata, “Ayo pulang, Kak. Sudah magrib”. Saya spontan berkata, “Lho ini sebentar lagi sunset. Pemandangannya bagus. Kamu nggak pengen lihat matahari terbenam?”. Dia menjawab singkat, “Bosen”. Ah iya, saya baru ingat. Keindahan laut berlatar senja adalah sesuatu yang dapat mereka nikmati setiap hari. Sejenak saya iri dengan kemewahan yang mereka miliki.

Malam datang, keceriaan berlanjut. Kami menyiapkan api unggun di tepi pantai sembari membakar ikan. Anak-anak berinisiatif membantu mengumpulkan kayu bakar. Api menyala diikuti nyanyian dari anak-anak. Kami menyiapkan kejutan untuk mereka. Lampion. Sekitar dua puluh lampion kami rangkai dan siap diterbangkan. Namun rupanya angin di pantai terlalu kencang. Lampion yang kami terbangkan gagal mengudara. Kami pun memindahkan lokasi api unggun ke halaman sekolah. Tak perlu waktu lama hingga api unggun siap dan anak-anak duduk melingkar di halaman sekolah. Beberapa lampion kami siapkan dan kami biarkan anak-anak menyalakan parafin untuk menerbangkan lampion. Kali ini berhasil. Beberapa lampion terbang menerangi langit malam. Saya berdoa dalam hati, semoga seperti lampion itu, cita-cita anak-anak SDN Banyuasih 3 dapat terbang tinggi menembus langit sembari memancarkan cahaya.

Saat anak-anak mulai istirahat di peraduan, saya dan beberapa rekan masih terjaga. Kami melanjutkan obrolan ringan mengenai kegiatan yang telah kami lakukan sebelumnya. Tingkah polah dan celoteh anak-anak SDN Banyuasih 3 terekam jelas. Kisah mereka membuka mata kami bahwa masih banyak anak yang membutuhkan perhatian dan bantuan untuk pendidikan yang lebih baik.

Esok paginya, anak-anak mengajak kami ke lapangan golf. Ternyata tak jauh dari sekolah mereka ada hamparan lapangan golf dengan rumput yang masih terpelihara dan terpangkas rapi. Dulu lapangan golf itu sering disinggahi para pejabat Orde Baru setelah bertetirah di Pulau Umang yang terletak tepat di seberangnya.

Ada sebuah danau di tepi lapangan golf. Anak-anak segera melepas kaos dan ramai-ramai melompat ke air danau yang bening. Mereka berlomba berenang hingga ujung danau. Ada sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi. Mereka bergantian memanjat pohon itu. Begitu sampai di dahan tertinggi, satu per satu mereka melompat ke air. Lepas dan tanpa beban berbagi tawa. Mereka adalah anak-anak yang tumbuh jauh dari keramaian kota. Mereka bukan

Page 29: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

29

anak-anak yang memiliki kesempatan menonton televisi setiap hari. Mereka tidak memiliki fasilitas internet untuk mengakses game online. Mereka juga tidak menggenggam aneka rupa gadget pintar dengan beragam hiburan. Namun mereka memiliki kebahagiaan yang sesungguhnya. Bermain bersama teman sebaya di ruang terbuka. Sebuah kemewahan yang sudah jarang dimiliki anak-anak saat ini.

Mendadak saya teringat lagu Sahabat Kecil yang dinyanyikan Ipank. Lirik lagu yang menjadi soundtrack dalam film Laskar Pelangi itu begitu tepat menggambarkan keceriaan anak-anak di depan saya.

Tak pernah terlewatkan dan tetap mengagumi-NyaKesempatan seperti iniTak akan bisa dibeliMelawan keterbatasan walau sedikit kemungkinanTakkan menyerah untuk hadapiHingga sedih tak mau datang lagiBersamamu kuhabiskan waktuSenang bisa mengenal dirimuRasanya semua begitu sempurnaSayang untuk mengakhirinya

Saya menepi untuk merekam keceriaan anak-anak itu dalam hati. Mereka memiliki kebahagiaan yang tak akan terganti. Kebahagiaan dalam deretan pantai indah untuk bermain dan berburu ikan karang. Kebahagiaan dalam hamparan lapangan golf yang bebas mereka gunakan untuk bermain sepak bola. Kebahagiaan dalam beningnya air danau untuk saling adu cepat berenang. Ada banyak hal yang tak terbeli tetapi mampu mereka miliki.

Page 30: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

30

SenjaKu nikmati secangkir senja dipantaiLantas kalian tertawakan masaBermain bersama para guruLupa akan kakak berbaju hitamPerlahan temaram hingga senja bermuramMenikmati senja hingga larutDalam gelapnya selimut malamKita bersenda gurau dengan lampionIndahnya membuat lupa kerasnya malamSenja telah pergi bersama masa laluEntah masa depan kan semanis tehAtau sepahit kopi tanpa gula

M. Faruq Abdillah

Foto oleh Alfian Widianto

Page 31: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

31

Pejuang itu Bernama

Suraidah Ditulis oleh Siti Dwi Arini – Pengajar Sekolah Guru Indonesia di Sebatik

Foto oleh Griska Gunara

Page 32: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

32

Inilah alasan saya begitu ingin pergi ke Sebatik. Sekolah tapal batas adalah tujuan kami ke sini. Sekolah yang berdiri tak jauh dari perbatasan Indonesia – Malaysia. Muridnya pun adalah anak-anak TKI yang tinggal di kawasan Sebatik Malaysia.

Nama wanita itu Suraidah. Kami memanggilnya Bunda Suraidah. Yang lebih mengharukan, dia tak hanya mendirikan Sekolah Tapal Batas. Dia langsung turun tangan menjadi pengajar disana, memastikan pendidikan tersulut hingga batas negeri.

Perjuangan dia begitu luar bisa, membuat saya tertampar dengan pengabdiannya. Dia punya banyak prasyarat untuk hidup berkecukupan di Makassar sebagai dosen. Namun, dia memilih meninggalkan rumahnya yang nyaman, memilih tinggal di tepi batas negeri, di tengah senyum harap anak negeri.

Tak ada iming-iming yang memayungi. Bu Suraidah berangkat ke Sebatik karena panggilan hati. Haru saya menyeruak ketika bertemu dengannya. Saya beruntung bisa belajar banyak dari dia soal arti nasionalisme. Pengabdian beliau setulus hati untuk negeri. Bu Suraidah adalah pejuang sejati di era kini.

Menginjakkan kaki bahkan hingga bermukim di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Ibu Suraidah. Profesi yang digeluti Ibu kelahiran Rappang, 2 Desember 1954 ini tergolong pada zona nyaman, seorang dosen Akademi Keperawatan/Akademi Kebidanan di Makassar.

Bu Suraidah kali pertama menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Nunukan. Dia mulai merintis PAUD menggunakan yayasan keluarganya, Yayasan Ar-Rasyid. Tidak hanya Pendidikan Anak Usia Dini, dia juga membuat kelompok belajar paket A. Kini sekolah PAUD binaannya menjadi salah satu sekolah unggulan di Nunukan. Untuk itulah dia berani menyerahkan pengelolaannya kepada anak

perempuannya yang juga telah berkeluarga.

Ibu Suraidah kemudian datang ke Sebatik Tengah. Dia merasa sangat prihatin terhadap nasib para TKI yang bekerja di kebun kelapa sawit di Sebatik, Malaysia. Dia mulai membuka PAUD yang kebanyakan siswanya adalah anak TKI. Aktivitasnya sebagai bidan juga tetap dia jalani di rumah tempatnya bermukim. Rumah itu adalah tumpangan sukarela yang diberikan warga. Di rumah sederhana itu, dia tinggal bersama ibundanya.

Rasa keingintahuannya yang sangat terhadap nasib para TKI di Bergusung, Malaysia, membuatnya berani memasuki kawasan lintas batas. Ibu Suraidah ingin melihat langsung kondisi masyarakat di sana. Walaupun konsekuensinya, dia harus berurusan dengan polisi yang menjaga di perbatasan. Petualangannya membuahkan hasil, dia mendapat banyak informasi terkait keadaan yang sebenarnya dari para TKI yang kerja di perusahaan kelapa sawit milik Malaysia.

Informasi yang diperoleh dari para TKI, dijadikan bahan acuan untuk Ibu Suraidah membuka ladang perjuangan baru. Ia mulai membuka kelompok belajar Paket A, pemberantasan buta aksara termasuk Kelompok Usaha Mandiri. Kesehariannya kini diisi dengan aktivitas yang tidak hanya bergerak di bidang pendidikan, sosial juga di ekonomi kreatif. Sejak tahun 2014 ini setidaknya ia telah mengelola PAUD, Paket A lima kelompok, pemberantasan buta aksara di 4 Desa di Kecamatan Sebatik Tengah dan Kelompok Usaha Mandiri.

Kelompok Usaha Mandiri yang dirintis Ibu Suraidah berupa olahan makanan yang semuanya menggunakan bahan dasar pisang. Seperti kripik jantung, kulit pisang dan tepung pisang. Kini ia tengah mencoba penganan baru yang berbahan dasar durian seperti kripik Durian dan selei Durian. Walaupun alat yang digunakan masih sederhana dan terbatas, tetapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk terus berkreasi. Ia mulai membenahi dari segi packing kripiknya dengan menempelkan label di kemasannya.

Apa yang dilakukan oleh Ibu Suraidah dengan

Page 33: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

33

memotivasi dan menginspirasi masyarakat untuk sadar bahwa pendidikan atau menuntut ilmu adalah sebuah perjuangan. Usaha Mandiri yang dilakukannya juga sebagai langkah untuk berjuang membudayakan kearifal lokal berupa penganan pisang.

Ibu Suraidah, dengan usia yang tak lagi muda dengan kondisi yang dulunya berada di zona nyaman, berani keluar dari semua keadaan yang menyenangkan. Dia berhijrah ke temapat yang menuntut perjuangan yang tidak mudah, kehidupan yang serba terbatas. Hal itu tidak menjadikannya patah semangat malah hal ini dianggap sebagai lahan dakwah bagi dirinya. Lalu pertanyaannya, bagaimana kita yang mengaku sebagai kaum muda? Sudah kah kita ambil bagian dalam berkontribusi positif untuk republik yang kita cintai?

Nasib anak Indonesia di negeri tetangga

Foto ini adalah saat saya mengunjungi anak-anak TKI yang berada berada di tengah perkebunan sawit di wilayah Malaysia. Saya masuk kesana secara ilegal. Sempat takut, tapi sirna ketika melihat senyum mereka menyambut kami. Seketika berubah menjadi bersemangat unt menghadirkan pendidikan unt mereka karena di sana tak ada sekolah. Kalau pun ada mereka harus berjalan kaki 1-2 jam menembus perkebunan sawit dan kakao unt sampai ke sekolah tapal batas yang didirikan atas inisiatif Ibu Suraidah dan beberapa relawan di wilayah Indonesia. Kalau mau yang dekat, ada. Sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak Malaysia. Tapi, mereka harus merogoh kocek 1000RM per semester (sekitar Rp 3,5 juta) ditambah 35 RM per bulan (sekitar Rp 123.000) Itu pun hanya boleh sampai SD saja. Karena mereka dilarang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di kawasan itu. Hanya satu alasannya, mereka berkewarganegaraan Indonesia. Itu sekelumit cerita dari saudara-saudara kita yang tergadai masa depannya karena tak bisa mendapatkan fasilitas untuk bisa terdidik di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia (Pulau Sebatik). Akankah kita diam dan mendiamkan?

Page 34: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

34

Inspirasi ItuBernama

MUHAMMADASYARI

Teks dan fotooleh Adhi Kurniawan

Jika kebanyakan sarjana ingin segera mendapatkan pekerjaan tetap dengan penghasilan mantap begitu lulus, tidak demikian dengan Muhammad Asyari. Setelah menyelesaikan kuliah di Universitas Mataram pada Maret 2013, dia memilih menjadi relawan di bidang pendidikan. Ari, demikian dia biasa disapa, memutuskan menjadi pendidik, sesuai dengan cita-cita masa kanak-kanaknya. Bagi Ari kecil, guru adalah sosok yang mengagumkan karena sanggup menjadi sumber ilmu bagi orang lain. Lantas dia ingin mengajar di tempat jauh nan terpencil. Gayung pun bersambut. Secara kebetulan Ari menemukan informasi di media sosial mengenai open recruitment program Sekolah Guru Indonesia (SGI) yang diselenggarakan Dompet Dhuafa. Di detik-detik terakhir periode pendaftaran, dia mengirimkan aplikasi keikutsertaan dalam program tersebut. Setelah melewati serangkaian tahapan seleksi yang ketat, pria asal Lombok Timur ini terpilih menjadi pengajar SGI. Keberuntungan memang selalu menyertai orang-orang dengan niat baik.

Bersama empat pengajar SGI Angkatan V yang lain, Ari mendapat amanah untuk mengabdi di pedalaman Pandeglang, Banten. Mereka adalah Azizah, Jamilah Sampara, dan Muhammad Ramadhan Tahir yang ketiganya berasal dari Makassar serta Rionardo Chaniago yang berasal dari Padang. Sebelum memulai program mengajar pada Desember 2013, mereka mendapat berbagai macam pelatihan dan

Page 35: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

35

melakukan persiapan di asrama Dompet Dhuafa di Bogor. Selama setahun penuh mereka ditempatkan di sekolah-sekolah penerima bantuan. Ari mengajar di SDN Banyuasih 3 sementara rekan-rekannya mengajar di sekolah-sekolah lain di wilayah yang sama.

Meskipun diajak tinggal bersama kepala sekolah di kampung sebelah, Ari memilih tinggal di perpustakaan sekolah. Dengan tinggal di ruangan yang juga merangkap sebagai pojok baca, ruang kelas, ruang kepala sekolah, juga ruang tamu itu Ari lebih leluasa mengerjakan hal-hal untuk sekolah di sela-sela kesibukan mengajar. Pagi hari sebelum guru lain dan murid-murid datang, Ari sudah sibuk membersihkan lingkungan sekolah dan menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar mengajar. Ari segera mendapat sambutan hangat dari murid-murid SDN Banyuasih 3. Pada malam pertama dia tinggal di perpustakaan, anak-anak itu langsung datang berkunjung.

Ari mengajar mata pelajaran Agama Islam untuk murid kelas III hingga kelas VI. Selama bertahun-tahun rupanya SDN Banyuasih 3 tidak memiliki guru agama. Ketika tim SGI melakukan assessment ke sekolah ini, pihak sekolah meminta bantuan tenaga pengajar untuk pelajaran agama. Latar belakang sebagai mahasiswa pendidikan Fisika tidak lantas mengurangi kesungguhan Ari untuk membimbing murid-muridnya mempelajari ilmu agama.

Pagi hingga siang Ari mengajar di SDN Banyuasih 3. Dia juga membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan administratif untuk pihak sekolah. Laporan berkala mengenai perkembangan pelaksanaan program SGI dia siapkan untuk kemudian disampaikan kepada tim Dompet Dhuafa. Siang hingga sore Ari mengajar di madrasah diniyah yang ada di kampung setempat. Petang menjelang, Ari meluangkan waktu untuk mendampingi anak-anak mengaji. Aktivitas Ari memang padat. Namun semua lelah dan peluh akan hilang manakala anak-anak itu menemaninya menginap di perpustakaan sambil bermain dan bercakap-cakap.

Bagi Ari, dunia anak-anak adalah dunia penuh keceriaan dan kebahagiaan. Kebersamaan dengan mereka adalah berkah tersendiri. Dari anak-anak itu Ari belajar tentang memaafkan kesalahan orang lain. Seringkali murid-muridnya itu bandelnya minta ampun dan bertengkar satu sama lain. Namun tidak lama kamudian, mereka sudah akur dan bermain bersama lagi. Dari mereka, Ari juga belajar makna solidaritas dan berbagi. Sebagian besar muridnya berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah. Namun begitu mengetahui persediaan beras Ari di dapur mulai menipis, mereka berinisiatif memberikan beras untuk guru yang mereka sayangi itu. Setiap anak membawa dua cangkir beras dari rumah sehingga jika dikumpulkan menjadi banyak. Dalam keterbatasan, anak-anak itu tetap memiliki kepedulian. Pernah suatu ketika Ari jatuh sakit. Tak lama kemudian datang seorang murid bersama orang tuanya untuk

menjenguk sembari membawakan obat dan makanan. Ari menempatkan diri tidak hanya sebagai seorang guru bagi murid-muridnya. Terkadang dia menjadi teman bermain bagi mereka. Sekedar bermain bola bersama atau mengajak berenang ke danau tak jauh dari sekolah. Ari juga bisa berperan sebagai kakak bagi anak didiknya itu saat mereka ada masalah. Kedekatan macam itu membuat murid-muridnya terus membujuk agar Ari terus bersama mereka saat program SGI berakhir. Bahkan, ada murid yang pernah mengancam akan bunuh diri kalau Pak Guru Ari pergi meninggalkan mereka. Ah, anak-anak. Sebandel apapun mereka selalu memiliki sisi manis yang meluluhkan hati.

Ari begitu mengagumi sosok Muhammad Al Fatih. Sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmani yang sanggup menaklukan Konstantinopel untuk dijadikan pusat kebudayaan itu merupakan figur pemimpin ideal bagi Ari. Para penjelajah macam Ibnu Battuta dan Laksamana Cheng Ho juga diidolakan Ari. Sebagai seseorang yang gemar sejarah, Ari merasa bahwa menjelajahi dunia seperti tokoh-tokoh itu adalah perjalanan menghimpun ilmu. Dengan bekal itu, seseorang dapat menjadi guru yang hebat. Untuk hal ini, Ari belajar banyak dari Andrea Hirata. Penulis tetralogi Laskar Pelangi itu telah mengubah perspektif Ari tentang jalan-jalan. Traveling bukanlah kegiatan menghambur-hamburkan uang. Traveling adalah proses untuk memaknai hidup dan membentuk pribadi seseorang.

Sepuluh purnama sudah Ari mengabdi di Pandeglang. Dalam dua bulan ke depan program SGI akan berakhir. Banyak hal yang harus diselesaikan. Mempersiapkan anak-anak didiknya agar bisa dilepas setelah ditinggal menjadi tantangan tersendiri bagi Ari. Keakraban dengan mereka selama berbulan-bulan tentu tidak mudah diakhiri. Ari telah menentukan pilihan untuk masa depannya. Dia sudah mantap untuk mewakafkan diri di bidang pendidikan. Menjadi guru bukanlah pilihan yang mudah. Pekerjaan sebagai pendidik barangkali belum bisa menjanjikan kesejahteraan sebesar profesi lain. Namun bagi sebagian orang, keputusan dalam memilih jalan hidup bukanlah didasari pada pertimbangan seberapa banyak yang akan dia terima. Seberapa banyak yang sanggup dia berikan untuk orang lain lah yang menjadi alasan utama.

Pak Guru Ari kembali mengingatkan kepada kita bahwa republik ini tidak pernah kekurangan inspirasi. Sosok-sosok pencerah macam itu tersebar di berbagai penjuru negeri. Para militan itu ada di tapal batas negeri di Nunukan, di tengah belantara Sambas, di pulau-pulau mungil di perairan Halmahera Utara, atau di ujung selatan Rote Ndao. Mereka berjuang di jalan yang sepi tepuk tangan. Namun itulah pilihan. Dalam segera keterbatasan, mereka telah melakukan kerja nyata. Semoga kisah itu senantiasa menginspirasi kita untuk berbuat sesuatu. Semoga kebaikan terus mengalir untuk mereka.

Page 36: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

36

Hari ini kami kedatangan tamu teman-temannya Pak Ari, guru kami tercinta. Mereka datang dari kota menggunakan 2 mobil bagus untuk mengunjungi sekolah kami.

Seharusnya hari sabtu ini libur, tapi karena kedatangan mereka kami harus masuk. Senang juga sih bisa bertemu dengan teman-teman, termasuk temannya Pak Ari. Bahkan kami akan diajak menginap bersama mereka di sekolah. Dan akhirnya saat tadi subuh mereka datang. Kebetulan mereka menginap di rumahku yang berada disamping sekolah.

Saat mereka sudah siap, kami dikumpulkan oleh Pak Ari di lapangan. Seperti upacara di hari senin. Pak Sudirman kepala sekolah kami mengucapkan selamat datang. Mereka memperkenalkan diri satu per satu. Ada yang jadi guru seperti Pak Ari. Ada yang sudah bekerja sebagai pegawai dan ada juga yang masih sekolah. Tapi persamaan mereka semua membawa kamera untuk foto-foto. Ada yang bawa kamera kecil, besar dan ada yang pakai tongkat. Kemudian kami juga ditanya cita-cita. Teman-teman ada yang ingin jadi presiden, polisi dan tentara. Aku sendiri ingin jadi pemain bola. Tapi rasanya sulit, sepatu bola saja aku nggak punya.

Setelah upacara, kami semua diberi tas dan buku. Katanya sumbangan dari orang-orang yang sayang dengan kami. Aku senang sekali masih ada yang sayang dengan kami selain bapak dan emak.Selesai pembagian buku, kami masuk kelas masing-masing. Aku sendiri masuk ke kelas 3-4. Jadi sekolah kami itu terdiri dari 3 kelas dan 1 ruang kepala sekolah termasuk ruangan Pak Ari dan guru-guru lainnya.

Sepucuk Surat dari Anak SD di Pelosok NegeriTeks oleh Harris Maulana

Foto oleh Adhi Kurniawan

Satu Asa untuk Indonesia

Page 37: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

37

Tiga kelas itu kelas 1-2, 3-4, dan 5-6. Tiap kelas dibagi 2. Jadi kami bisa mendengar ketika kelas lain sedang belajar. Bisa ngintip-ngintip juga. Tapi seringnya terganggu, jadi belajarnya nggak konsentrasi. Dalam kelas, kami disuruh membuat prakarya. Pak Ari meminta kami memotong-motong kertas dan membentuk sebuah pulau. Kemudian dilem dan ditempelkan ke dalam kertas karton yang besar. Kami dibantu oleh Kak Citra dan Kak Harris yang suka foto-foto pake tongkat.

Tidak lama prakarya kami selesai. Kakak-kakak menjelaskan bahwa prakarya ini adalah pulau-pulau di Indonesia dan diberi judul “Indonesiaku”. Kami juga ditunjukkan di mana kami tinggal, yaitu di ujung barat Pulau Jawa. Sebenarnya aku ingin bertanya katanya Indonesia itu kaya, kaya itu seperti apa sih kak? Apakah mereka juga seperti kami?

Tapi aku lebih memilih menempelkan sisa-sisa lem pada kerudungnya Ani yang mengadu kepada Kak Citra. Setelah selesai, kami semua dikumpulkan lagi di lapangan. Dengan prakaryanya masing-masing dan kembali difoto. Disuruh panas-panasan lagi, padahal perut aku sudah lapar.Dan waktu yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Makan bersama. Kami disuruh membawa bekal dari rumah karena akan diadakan makan siang bersama. Hari ini lauknya tempe dan sayuran. Teman-teman ada yang membawa mie, tapi ada juga yang tidak membawa bekal karena entah lupa atau tidak ada makanan dirumahnya.

Setelah selesai Pak Ari menjelaskan bahwa kita boleh pulang dulu untuk membawa bekal untuk menginap. Dengan sabar Pak Ari selalu menjawab pertanyaan yang aneh-aneh dari teman-teman. Boleh bawa bantal nggak pak? Bawa sarung nggak pak? Dan pertanyaan macam-macam lainnya.

Pak Ari selalu sabar menghadari kenakalan teman-teman, termasuk aku. Sejak kedatangan Pak Ari 10 bulan lalu semangat belajar kami meningkat. Tadinya banyak teman-teman yang malas belajar dan jarang masuk. Tapi sejak Pak Ari datang mereka menjadi rajin. Cara mengajar Pak Ari berbeda. Pak Ari memberi pelajaran sambil bermain. Tidak selalu harus menulis dan banyak PR. Bagaimana mau mengerjakan PR, lampu seringnya mati saat malam hari.

Jadi kami semua sangat sayang dengan Pak Ari. Jangan tinggalkan kami ya, Pak. Pak Ari harus tetap menjadi guru kami. Beberapa teman bahkan akan berhenti sekolah kalau Pak Ari pindah. Dengan Pak Ari kami bisa bermain dan bercanda. Kadang kami bersama main ke laut, memancing atau berenang di danau tepi lapangan golf. Kegiatan yang menyenangkan yang selama ini tidak kami dapatkan.

Sore ini kami bersama teman-teman berkumpul di pantai belakang sekolah. Bermain bersama teman-teman termasuk bersama kakak-kakak temannya Pak Ari. Sepertinya kakak-kakak itu semuanya senang bermain di pantai. Aku sendiri hampir tiap hari bermain di pantai. Menangkap ikan, kepiting, mengumpulkan kerang, dll. Bahkan kadang-kadang Pak Ari juga ikutSetelah makan malam kami semua berkumpul kembali. Membentuk lingkaran di depan sekolah dan membuat api unggun. Kemudian Kak Andy mengeluarkan barang yang menyerupai balon. Mereka menyebutnya lampion. Kami diajarkan untuk menyalakannya dan menerbangkannya. Senang sekali bisa bermain lampion yang bisa terbang ke angkasa. Kata kakak-kakak sebelum menerbangkan lampion sebutkan cita-citamu dan berharap bisa tercapai. Seperti lampion yang

#PenyulutAsa

Page 38: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

38

terbang tinggi menuju langit. Kalau lampionnya nabrak pohon kelapa gimana kak? Kamu buat lampion lagi dan terbangkan lagi. Begitu kata kakak menyemangati.

Keesokan harinya kakak-kakak kami ajak ke danau tempat rahasia kami bermain. Di sini kami bisa berenang sepuasnya tanpa takut tersapu ombak atau terkena batu. Teman-teman semua langsung masuk ke dalam danau. Termasuk kakak-kakak. Lucu juga ada kakak yang ternyata tidak bisa berenang. Dia hanya basah-basahan dan berendam ditepi danau.

Setelah berenang, kakak-kakak kami ajak ke lapangan golf tempat kami biasa bermain bola, perosotan, petak umpet, dan lain-lain. Namun kadang kami harus kabur ketika ada pegawai golf yang mengusir kami. Beruntung bapak salah seorang teman kami bekerja di sana, jadi jika bapak tersebut yang jaga, kami masih boleh bermain.

Kemudian kami semua kembali ke sekolah. Kakak-kakak bersiap untuk pulang kembali ke Jakarta. Sesungguhnya aku masih ingin bermain bersama mereka. Rasanya belum puas. Aku masih ingin bermain bola dengan Kak Andi dan Kak Shirli. Masih ingin belajar memotret dengan Kak Aan dan Kak Adhi. Belajar prakarya dengan Kak Citra.

Aku hanya bisa melambaikan tangan ketika mereka pergi. Entah bisa bertemu lagi atau tidak dengan mereka. Tapi yang jelas mereka sudah mengajarkan banyak hal kepada kami. Tentang indahnya Indonesia. Luasnya negeri, bukan hanya sebatas Banyuasih. Tentang cita-cita yang harus dicapai. Bukan hanya sekedar keinginan, tapi harus diwujudkan dengan belajar, usaha dan doa. Setinggi langit. Setinggi lampion yang mengangkasa.

Beruntung kami masih punya Pak Ari yang akan selalu mendampingi kami. Membimbing dan memberikan pelajaran. Juga menjadi teman bermain kami.

Aku berjanji tidak akan nakal lagi. Aku akan tekun belajar. Sekolah terus sampai cita-cita tercapai. Menjadi kebanggaan bapak dan emak. Kebanggaan Banyuasih. Juga menjadi kebanggaan Pak Ari dan kakak-kakak semua.

Salam,

HafitKelas 4, SD Banyuasih 3 Pandeglang, Banten.

Satu Asa untuk Indonesia

Page 39: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

39

Cerita Pendek

Malam terasa begitu cepat. Sampai adzan subuh terdengar, mata milik seorang murid kelas lima masih saja terjaga. Namanya Sukari. Padahal ia harus berangkat pagi-pagi ke sekolah. Kata Pak Guru, sekolah akan kedatangan tamu dari Jakarta. Tamu yang akan mengajak teman-temannya di SDN Banyuasih 03 bermain seharian sampai malam.

Sukari gelisah. Akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya, kemudian mengambil wudhu. Usai menunaikan ibadah salat shubuh, ia lantas menyiapkan seragam terbaiknya dan membantu Emak menyiapkan bekal. Kata Pak Guru lagi, nanti di sekolah akan ada makan siang bersama. Ia tidak pernah seantusias ini sebelumnya. Sambil memperhatikan tangan Emak yang begitu cekatan membuat sambal, ia memberanikan diri untuk bertanya, “Mak, Eneng bawa apa untuk bekal?”

“Nggak ada lauk, Neng. Tangkapan ikan Bapak cuma sedikit, dijual semua. Nasi sama sambal aja nggak papa, yah?” Ujar Emak lirih. Sukari nampak kecewa atas jawaban Emak, kemudian mengambil handuk dan menyeret langkahnya ke kamar mandi, meninggalkan Emak sendirian di dapur.

********

Cinta dan Harapandalam sebuah kotak bekal

oleh Agita Violy

“Sukariiii, Ayo berangkat! Nanti terlambat!” Teriak Saroh, teman sekelasnya dari luar rumah. Sukari segera merapikan kotak bekalnya yang hanya berisi nasi dan sambal. Ia berniat akan membeli kerupuk di warung untuk tambahan bekal. “Ayo, buruan!” Mereka mengayuh pedal sepeda dengan sangat cepat. Rasa penasaran akan tamu yang datang dari Jakarta begitu meletup-letup di dada. Tak sampai sepuluh menit, mereka telah sampai di sekolah. Teman-teman juga sudah banyak yang hadir dan berebut salim dengan kakak-kakak berseragam hitam. Seorang kakak bermain sulap dengan trik tipuan yang asyik sekali. Kakak laki-laki dengan perawakan kurus dan tinggi tersebut memanggil dirinya dengan julukan Bos Shirly. “Siapa yang mau sulap lagi?” Ujar Bos Shirly kepada murid-murid SDN Banyuasih 03. “Sayaaaa!!” Teriak murid-murid bersamaan. “Nanti, ya. Sekarang kalian baris di lapangan, kita kenalan sama kakak-kakak yang lainnya.” “Yaaaah...” Murid-murid lantas membubarkan diri dari kerumunan, kemudian berbaris rapi di lapangan. Disusul langkah semangat dari kakak-kakak berseragam hitam yang satu persatu memasuki ruangan Pak Sudirman, kepala sekolah yang mereka banggakan. “Jadi begini yah, keadaan sekolah kami, SDN Banyuasih 03. Mohon maaf kalau kurang layak. Mohon maaf kalau penyambutan kepada para relawan kurang memuaskan.” Ujar Pak Sudirman membuka sambutan kepada kakak-kakak relawan. Mereka kompak menggelengkan kepala, merasa tidak setuju dengan kalimat Pak Sudirman barusan. “Enggak kok, Pak. Kita justru yang alhamdulillah banget sudah diberi

Page 40: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

40

Cerita Pendek

kesempatan untuk datang kesini, bermain sama adik-adik.” Sanggah Kak Angger, salah satu penggerak komunitas filantropi pendidikan Dompet Dhuafa. “Yah, syukurlah kalau begitu. Semoga nyaman, yah. Seperti yang sudah kalian lihat. Sekolah kami ini hanya ada tiga ruang kelas. Tiap kelasnya diberi sekat. Kelas satu digabung dengan kelas dua, kelas tiga dengan kelas empat, kemudian kelas lima dengan kelas enam. Nah, ruang kantor ini sendiri juga dibagi dengan perpustakaan, ruang guru, ruang rapat, sampai gudang pun dipaksakan disini. Memang sempit, tapi mau bagaimana lagi.” Tutur Pak Sudirman dengan logat sundanya yang khas. “Berarti kalau kelasnya hanya diberi sekat, murid-muridnya bisa intip-intipan dong, Pak?” Celetuk salah satu dari kakak relawan. Beberapa dari mereka tertawa kecil. “Iya, benar. Kadang ada yang suka iseng. Tapi ya begitu lah, namanya juga anak-anak.” Pak Sudirman menghela napas, masih terlihat agak canggung dengan kakak relawan. “Jadi bagaimana, mau ada kegiatan apa saja hari ini?” Lanjutnya kemudian. “Hari ini paling kita bikin display kelas aja, Pak. Selanjutnya makan siang bersama, lalu anak-anak boleh pulang untuk istirahat dan menyiapkan pakaian untuk menginap. Boleh kan, pak?” Jelas Kak Angger mewakili kakak relawan. “Oh, tentu boleh. Justru positif sekali kegiatan ini, yah. Tapi maaf, saya nggak bisa menemani, nanti biar didampingi sama Pak Guru Ari saja, ya?” “Iyah, nggak papa, Pak” Tiba-tiba kakak relawan keluar satu-persatu dan berbaris di depan bersama guru-guru. Mata Sukari begitu berbinar melihat kamera besar yang dipegang oleh kakak-kakak itu. Ia tak memperdulikan keringat yang mulai menetes di dahinya karena siang semakin terik. Baru kali ini ia merasa upacara di sekolahnya tidak membosankan seperti biasanya. Kakak-kakak memperkenalkan dirinya dengan permainan dan tebak-tebakan yang unik. Ada yang bilang masih kuliah, ada juga kakak yang tidak kerja tapi bisa jalan-jalan keliling Indonesia hanya dengan kamera yang dibawanya. Sukari heran bukan main. Sampai pada saat Kak Angger berkata, “Kalian akan mengerti pada waktunya.” Barulah Sukari sadar bahwa cita-citanya menjadi Presiden bukan hanya sekedar impian anak desa. Tapi memang sesuatu yang harus dikejar. “Kalau mau jadi Presiden, mau jadi dokter, sekolah yang rajin! Siapa yang mau sekolah sampai kuliah?” Teriak Kak Angger. Sukari mengangkat tangan setinggi-tingginya. Setinggi cita-citanya yang menyentuh langit di ujung barat Pulau Jawa.

************

Page 41: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

41

Cerita Pendek

“Aku mau bikin terong!” “Aku mau bikin cabe!” “Aku kentang sama wortel!” “Heeey, jangan rebutaaan! Sini kakak bagi-bagi tugasnya. Kamu yang gambar sayuran, kamu yang mewarnai, kamu yang menggunting, kamu yang tempel di karton. Bisa?” Ujar Kak Agit sambil menunjuk murid kelas lima satu per-satu. Sesekali ia membantu menggambar. Suasana kelas begitu riuh namun menyenangkan. Setiap murid terlihat antusias membuat display kelas dengan tema yang beragam. Ada peta Indonesia, kebun binatang, kebun sayuran, profesi impian dan banyak lagi. Mereka bersemangat menghias dinding kelas yang tadinya hanya polos dengan cat mengelupas disana-sini, hingga menjadi indah berwarna-warni. Sampai akhirnya mereka kelelahan dan lupa bahwa waktu istirahat sudah tiba. Seketika bel berbunyi. Murid-murid berhamburan dan membeli jajanan favoritnya di warung sekolah. Sukari datang ke murid kelas enam yang katanya menjual gorengan. Kak Angger mengikutinya. “Harganya berapa?” Tanya Kak Angger sambil menatap sebuah tampah berisi bakwan yang nampaknya sudah lembek. Hal ini mengingatkannya pada si Euis dari Keluarga Cemara yang berjualan opak ke sekolah. Kak Angger memborong gorengan tersebut, dan membagi-bagikannya ke murid yang ingin beli, tapi tidak memiliki uang jajan. Ternyata, di jaman modern seperti ini masih ada murid yang berjualan di sekolah. Betapa kemajuan di daerah terpencil sangat berbanding terbalik dengan di kota-kota besar. Sementara kakak relawan yang lain sudah menyiapkan makan siangnya. Melihat hal itu, murid-murid bergegas menyapu koridor sekolah agar bersih dan nyaman untuk duduk lesehan. Mereka juga kompak melepas alas kaki dan meletakkan kotak bekalnya di hadapan. Sukari sedih karena isi kotak bekalnya hanya nasi dan sambal. Ia bahkan lupa tidak membeli kerupuk karena terlalu semangat tadi pagi. “Kok makannya ditutupin, kenapa?” Tanya Kak Agit menyadari Sukari yang makan dengan lesu. Beberapa murid juga terlihat kebingungan karena tidak membawa bekal. Entah karena lupa, atau memang tidak ada makanan yang bisa dibawa dari rumahnya. Kakak relawan berbagi makanan dengan mereka. Sukari makan dengan lahap. Tumis cumi dan sayur santan siang itu, melengkapi nasi dan sambal yang disiapkan ibunya pagi tadi. Ada cinta dan harapan dalam sebuah kotak bekal, yang mengantar Sukari menjemput impian ke sekolah yang lebih tinggi.

************

Page 42: Satu asa untuk indonesia

Satu Asa untuk Indonesia

42

Terima KasihSelamat Jalan

Ibu Guru Mila

Rasanya belum lama kita berjumpa dan bersua. Tapi dini hari ketika terbagun dari tidur, aku tersentak mendapat berita bahwa kamu telah berpulang. Mbak Mila, begitu sapaan kami saat pertama kali di bulan Oktober lalu bertemu di SD Banyuasih 03, Pandeglang, Banten. Padahal saat itu kau sedang kurang sehat, tapi tak sedikit pun kau terlihat lelah. Takjub dengan pancaran mata kalian guru-guru SGI, termasuk kamu, Mbak. Seru mendengar cerita-cerita darimu tentang kelakuan anak-anak dan aktivitas keseharian kalian. Bahkan kesulitan yang kau hadapi pun diceritakan sambil tertawa, penuh ketulusan.

Sungguh saat itu aku terkesan pada kalian semua.Mbak Mila, Mbak Cicha, Mas Ari, Mas Ramdan, Mas Rio. Hanya dua hari kita bersama, tapi kesan kalian begitu mendalam. Seperti hari ini, kepergianmu membuat kami terdiam, terdiam kehilangan dan iri. Ya, kami kehilangan sosok guru yang dinanti oleh bangsa ini, yang kelak akan mengajarkan anak-anak kami arti bakti pada orangtua, agama, dan negeri ini. Ya, kami iri melihatmu disambut oleh-Nya lebih dulu dalam kondisi sedang berjihad di jalan-Nya. Mungkin Allah sedang merentangkan tangan-Nya, menyambut dan memelukmu untuk dihantarkan ke surga.

Doa kami mengiringimu, Mbak Mila. Semoga telah terhapus semua dosa karena segala kebaikan yang telah kamu berikan. Semoga kelak kamu

mau menunggu kami kembali, seperti malam itu, menunggu kami datang dan menyambut dengan senyum kehangatan, menunggu kami di gerbang Surga-Nya.

OBITUARI

Teks oleh Siti NurjanahFoto oleh Adhi Kurniawan

Selamat jalan Mbak Mila.....

(Tulisan ini dipersembahkan untuk Bu Guru Mila yang berpulang ke rahmatullah pada

saat menjalankan amanah sebagai pengajar di Banyuasih, Pandeglang)

Page 43: Satu asa untuk indonesia

#PenyulutAsa

43

// Para Kontributor

Adhi KurniAwAnpegawai

www.adhikurniawan.com@adhikurniawan

[email protected]

AGiTA ViOLYblogger

www.menujujauh.com@agitavio

[email protected]

ALfiAn widiAnTOfotografer

www.aansmile.wordpress.com@aansmile27

[email protected]

Andi AnGGer suTAwijAYApenggiat kemanusiaan

@[email protected]

inTAn deViAnA sAfiTripegawai

www.travelingneverdies.com@intanintuntun

[email protected]

dewi PusPiTAsAripenggiat pendidikan marjinal

www.wiediesta.wordpress.com@wiediesta

[email protected]

CiTrA nOViTAsArikaryawan swasta

www.pejalanwanita.com@citno

[email protected]

GrisKA GunArAmedia kreatif, fotografer

www.griskiw.blogspot.com@griskiw

[email protected]

m. fAruq AbdiLLAhverifikator impor

www.faruqalakhfiya.blogspot.com

@[email protected]

siTi nurjAnAhpengelola program beasiswa

enungctnurjanah.blogspot.com@enun99

[email protected]

hArris mAuLAnAblogger

www.harrismaul.com@harrismaul

[email protected]

Tres suTrisnOfotografer, sinematografer

@[email protected]