SASTRA ISLAM NUSANTARA: GUGURITAN SUNDA...

26
SASTRA ISLAM NUSANTARA: PUISI GUGURITAN SUNDA DALAM TRADISI KEILMUAN ISLAM DI JAWA BARAT Jajang A Rohmana UIN Sunan Gunung Djati Bandung dpk STAI Miftahul Huda Subang Email: [email protected] HP. 081320129296 Abstrak Jaringan Islam Nusantara yang terhubung dengan Haramayn telah merangsang berkembangnya tradisi intelektual Islam di sejumlah wilayah Nusantara. Di wilayah ini, tradisi Islam ditandai beragam kreatifitas lokal keagamaan dalam mengartikulasikan beragam elemen lokal ke dalam tradisi keilmuan Islam. Puisi guguritan Sunda atau dangding merupakan salah satu bentuk elemen lokal yang menghiasi tradisi keilmuan Islam di Jawa Barat. Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme sastra, kajian ini memfokuskan pada penggunaan guguritan sebagai bagian dari eskpresi kreatifitas keilmuan Islam tersebut. Pembahasan diarahkan pada masalah pengaruh Islam terhadap sastra Sunda, perkembangan puisi guguritan, dan posisinya dalam tradisi keilmuan Islam di Jawa Barat. Guguritan digunakan sedikitnya dalam tiga tradisi keilmuan Islam, yakni tasawuf, terjemah dan tafsir Al- Qur‘an, dan catatan tentang perjalanan haji. Guguritan sufistik menghasilkan kreatifitas sufistik Sunda yang menitikberatkan pada citra simbolis lokal. Terjemah dan tafsir Al-Qur‘an berbentuk guguritan mampu menghadirkan sebuah nuansa puitisasi terjemah dan tafsir sufistik yang jauh lebih kompleks dibanding terjemah puitis lainnya. Sedangkan guguritan haji mampu merekam perjalanan historis haji sekaligus mengekspresikan pengalaman spiritual ibadah haji secara individual. Elemen spiritual menjadi pengikat utama dari ketiga tema keislaman tersebut, karena bahasa guguritan lebih dekat dengan eksrepsi pengalaman batin yang suci dan sakral dibanding bernuansa hiburan dan profan. Studi ini menegaskan bahwa beragam tema keislaman tersebut menjadi bukti bahwa sastra keagamaan memiliki pengaruh besar dalam proses indigenisasi Islam dan perkembangan bahasa dan sastra Nusantara. Sebuah warisan keagamaan Islam Nusantara yang menjadi bagian dari kekayaan khasanah keagamaan Islam di dunia. Kata kunci: Islam, sastra, Sunda, guguritan Abstract The network of Islam in Nusantara which connected to Haramayn has stimulated the development of the Islamic intellectual tradition in regional region. In this region, the Islamic tradition was marked diverse local creativity in articulating some local elements into the intellectual tradition of Islam. Guguritan or Sundanese metrical poetry is a form of local elements that marked the intellectual tradition of Islam in West Java. Using a literary structuralism approach, this study focuses on the use of guguritan as part of the expression of the tradition. The discussion is focused on the influence of Islam to Sundanese literature, the development of guguritan, and its position in the intellectual tradition of Islam in West Java. Guguritan was used in at least three intellectual tradition of Islam: sufism, translation of the Qur‘an and its commentaries, and story on the pilgrimage to Mecca. Sufi‘s work in the form of guguritan generated a creativity of Sundanese sufi on local symbolic imagery.

Transcript of SASTRA ISLAM NUSANTARA: GUGURITAN SUNDA...

SASTRA ISLAM NUSANTARA: PUISI GUGURITAN SUNDA DALAM TRADISI KEILMUAN ISLAM DI

JAWA BARAT

Jajang A Rohmana UIN Sunan Gunung Djati Bandung dpk STAI Miftahul Huda Subang

Email: [email protected] HP. 081320129296

Abstrak Jaringan Islam Nusantara yang terhubung dengan Haramayn telah merangsang berkembangnya tradisi intelektual Islam di sejumlah wilayah Nusantara. Di wilayah ini, tradisi Islam ditandai beragam kreatifitas lokal keagamaan dalam mengartikulasikan beragam elemen lokal ke dalam tradisi keilmuan Islam. Puisi guguritan Sunda atau dangding merupakan salah satu bentuk elemen lokal yang menghiasi tradisi keilmuan Islam di Jawa Barat. Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme sastra, kajian ini memfokuskan pada penggunaan guguritan sebagai bagian dari eskpresi kreatifitas keilmuan Islam tersebut. Pembahasan diarahkan pada masalah pengaruh Islam terhadap sastra Sunda, perkembangan puisi guguritan, dan posisinya dalam tradisi keilmuan Islam di Jawa Barat. Guguritan digunakan sedikitnya dalam tiga tradisi keilmuan Islam, yakni tasawuf, terjemah dan tafsir Al-Qur‘an, dan catatan tentang perjalanan haji. Guguritan sufistik menghasilkan kreatifitas sufistik Sunda yang menitikberatkan pada citra simbolis lokal. Terjemah dan tafsir Al-Qur‘an berbentuk guguritan mampu menghadirkan sebuah nuansa puitisasi terjemah dan tafsir sufistik yang jauh lebih kompleks dibanding terjemah puitis lainnya. Sedangkan guguritan haji mampu merekam perjalanan historis haji sekaligus mengekspresikan pengalaman spiritual ibadah haji secara individual. Elemen spiritual menjadi pengikat utama dari ketiga tema keislaman tersebut, karena bahasa guguritan lebih dekat dengan eksrepsi pengalaman batin yang suci dan sakral dibanding bernuansa hiburan dan profan. Studi ini menegaskan bahwa beragam tema keislaman tersebut menjadi bukti bahwa sastra keagamaan memiliki pengaruh besar dalam proses indigenisasi Islam dan perkembangan bahasa dan sastra Nusantara. Sebuah warisan keagamaan Islam Nusantara yang menjadi bagian dari kekayaan khasanah keagamaan Islam di dunia. Kata kunci: Islam, sastra, Sunda, guguritan Abstract The network of Islam in Nusantara which connected to Haramayn has stimulated the development of the Islamic intellectual tradition in regional region. In this region, the Islamic tradition was marked diverse local creativity in articulating some local elements into the intellectual tradition of Islam. Guguritan or Sundanese metrical poetry is a form of local elements that marked the intellectual tradition of Islam in West Java. Using a literary structuralism approach, this study focuses on the use of guguritan as part of the expression of the tradition. The discussion is focused on the influence of Islam to Sundanese literature, the development of guguritan, and its position in the intellectual tradition of Islam in West Java. Guguritan was used in at least three intellectual tradition of Islam: sufism, translation of the Qur‘an and its commentaries, and story on the pilgrimage to Mecca. Sufi‘s work in the form of guguritan generated a creativity of Sundanese sufi on local symbolic imagery.

2

Translations and commentaries of the Quran in the form of guguritan has presented a poetic translation and interpretation which more complex than others. While the hajj story in the form of guguritan has presented recording historical journey and express spiritual experience of hajj individually. Spiritual element would be the main binder of the three themes of the guguritan works, because it is closer to express the inner experience of the holiness and sacred rather than a profane and entertainment. This study suggests that a variety of guguritan themes will be proof that local Islamic literature had great influence in the process of indigenization of Islam in the archipelago. It is an Islamic religious heritage in the archipelago that is part of Islamic religious heritage in the world. Keywords: Islam, literature, Sundanese, metrical verse Pendahuluan

Sejarah Islamisasi di Asia Tenggara tidak menunjukkan adanya keseragaman. Terdapat banyak hubungan sosial keagamaan yang sangat bervariasi di dalamnya. Sebuah keragaman yang tidak bisa dilepaskan dari peran sosial dan budaya masyarakatnya. Waktu dan ruang budaya berbeda menjadi alasan utama sulitnya mencari ukuran yang tepat dalam melakukan generalisasi bagi Islam di Indonesia.1 Keragaman latar budaya tersebut kemudian melahirkan beragam kreatifitas dalam menyerap dan menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam konteks lokal.

Signifikansi latar budaya lokal bisa dipahami karena tradisi intelektual Islam di Nusantara tidak sekedar terkait dengan jaringan antar personal seperti diungkapkan Azra, tetapi juga khazanah tertulis dan ragam model praktik sosial keagamaan yang secara intensif berhubungan dengan konteks artikulasi tradisi lokal.2 Tak sedikit ulama Nusantara yang berhasil memodifikasi dan mereformulasi gagasan dan posisinya dalam masyarakat yang terus berubah hingga membentuk semacam serat halus jejaring lokal Islam.3 Di wilayah ini, tradisi Islam salah satunya ditandai beragam kreatifitas dalam menerjemahkan gagasan keilmuan Islam ke dalam konteks lokal ke arah pembentukan sebuah identitas yang disebut dengan Islam Nusantara.4 Sebuah kreatifitas keagamaan dalam mengartikulasikan beragam corak keilmuan keislaman dengan karakteristik yang khas dan bersifat lokal sebagai respon kreatif dan dinamis dalam menerima Islam.5

Puisi guguritan Sunda atau dangding (Jawa: macapat) merupakan salah satu bentuk elemen lokal yang menghiasi tradisi keilmuan Islam Nusantara di Jawa

1 William R. Roff, Studies on Islam and Society in Southeast Asia, (Singapore: NUS Press,

2009), hlm. 20. 2 Alexander Knysh, ―Ibrāhīm al-Kūrānī (d. 1101/1690), an Apologist for "waḥdat al-

wujūd," Journal of the Royal Asiatic Society, Third Series, Vol. 5, No. 1 (Apr., 1995), h. 40; Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the seventeenth and eighteenth centuries, (Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai‘i Press, 2004), h. 2.

3 Tommy Christomy, Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java, (Canberra: ANU E Press, 2008), h. 91; Julian Patrick Millie, Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java, Dissertation, (Leiden University, 2006), h. 193-194.

4 Tentang Islam Nusantara, lihat misalnya, Akhmad Sahal dan Munawir Aziz ed., Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih hingga Faham Kebangsaan, (Bandung: Mizan, 2015); M. Ishom Yusqi, Mengenal Konsep Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka STAINU, 2015); Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, (Jakarta: Pustaka Afid, 2015).

5 Oman Fathurahman, Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara, (Bandung: Mizan, 2012), h. 52.

3

Barat. Ia merupakan karya sastera tulis berupa lirik tembang dengan pola 17 jenis pupuh yang berisi berbagai hal, baik pengajaran atau uraian agama, pengalaman batin, hingga kekaguman pada alam dan berbagai kejadian.6 Guguritan tidak saja digunakan sebagai ekspresi estetis pengalaman keagamaan orang Sunda,7 tetapi kedudukannya sebagai salah satu bentuk sastra sekaligus tembang Sunda dijadikan sarana pengembangan tradisi keilmuan Islam di tatar Sunda. Ia menandai sebuah proses indigenisasi Islam yang memadukan ajaran Islam dengan kekayaan sastra dan budaya Sunda. Ia dalam bahasa Bowen mencerminkan artikulasi tradisi besar Islam yang merembes ke dalam tradisi kecil keagamaan orang Sunda melalui khasanah sastranya.8

Signifikansi guguritan dalam mengembangan tradisi keilmuan Islam terlihat dalam berbagai literatur Islam Sunda yang disusun dengan menggunakan puisi guguritan sebagai wadahnya. Ragam keilmuan Islam seperti tasawuf, catatan perjalanan haji, terjemah dan tafsir Al-Qur‘an, dan lainnya disusun menggunakan guguritan sehingga mampu menghadirkan nuansa khas tradisi keilmuan Islam Nusantara.

Guguritan sufistik misalnya, menggambarkan kreatifitas sufistik Sunda yang menitikberatkan pada nilai esoterisme Islam lokal yang moderat dengan berpijak pada citra simbolis alam budaya Sunda.9 Sedang guguritan haji mampu merekam sejarah sosial perjalanan haji pada masa silam sekaligus mengekspresikan pengalaman spiritual haji secara mendalam. Begitu juga dengan terjemah dan tafsir Al-Qur‘an berbentuk guguritan, mampu menghadirkan sebuah nuansa puitisasi terjemah dan tafsir sufistik yang secara struktur jauh lebih kreatif dan kompleks dibanding terjemah puitis lainnya.10 Di tengah anggapan ―ketidakpantasan‖ melagukan Al-Qur‘an melalui melodi kesenian lokal seperti langgam Jawa macapatan

6 Ketujuh belas bentuk puisi pupuh tersebut adalah Asmarandana, Balakbak,

Dangdanggula, Durma, Gambuh, Gurisa, Jurudemung, Kinanti, Ladrang, Lambang, Magatru, Maskumambang, Mijil, Pangkur, Pucung, Sinom, dan Wirangrong. Pupuh inilah yang kemudian melahirkan karangan berbentuk wawacan dan guguritan. Pupuh karenanya sangat terikat oleh nama, sifat (karakter), jumlah larik (padalisan) tiap bait (pada), jumlah suku kata (guruwilangan) pada setiap baris, bunyi vokal pada setiap akhir baris (guru lagu). Ma‘mur Danasasmita, Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama (Bandung: STSI Press, 2001), h. 171-172; Yus Rusyana dan Ami Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1980), h. 95.

7 Orang Sunda adalah mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda. Orang lain itu berupa baik orang Sunda sendiri maupun orang yang bukan Sunda. Suwarsih Warnaen dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud Bandung, 1987), h. 1.

8 John R. Bowen, ―Islamic Transformations: from Sufi Poetry to Gayo Ritual,‖ Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, eds., Indonesian Religions in Transition, (Tuscon: University of Arizona Press, 1987), h. 113-35.; Martin van Bruinessen, ―Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia,‖ Die Welt des Islams. 38.2 (1998), h. 203.

9 Jajang A Rohmana, ―Sundanese Sufi Literature and Local Islamic Identity: A Contribution of Haji Hasan Mustapa‘s Dangding,‖ Al-Jamiah, Vol. 50, No. 2, 2012, h. 303-327; Jajang A Rohmana, ―Makhtutat Kinanti [Tutur teu Kacatur Batur]: Tasawwuf al-‗Alam al-Sundawi ‗ind al-Hajj Hasan Mustafa (1852-1930),‖ Studia Islamika, Vol. 20, No. 2, 2013: 325-375.

10 Jajang A Rohmana, ―Poetic Translation of the Qur‘an and indonesian Islamic Intellectualism: A Contribution of R.A.A. Wiranatakoesoema‘s Soerat Al-Baqarah,‖ Paper was presented at 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), 21-24 November 2014, Grand Senyiur Hotel, Balikpapan, East Kalimantan, h. 9.

4

atau tembang Sunda—melainkan harus melalui seni bacaan Arab seperti Bayâtî, Shâbâ, dan lainnya—lagu terjemah puitis Al-Qur‘an melalui guguritan menjadi salah satu alternatif.11

Elemen estetis spiritual keagamaan menjadi pengikat utama dari beragam tema keilmuan Islam tersebut. Ini menunjukkan bahwa bahasa guguritan memiliki posisi penting dalam keberagamaan orang Sunda. Ia lebih dekat dengan eksrepsi pengalaman batin yang suci dan sakral dibanding bernuansa hiburan dan profan. Ia menjadi semacam media pengungkapan suasana batinnya ketika merasa dekat dengan Tuhan. Ia merepresentasikan sebagai orang Sunda yang berhasil menyerap dan mengartikulasikan ajaran Islam ke dalam khasanah budaya dan sastranya.

Oleh karena itu, kajian sastra Islam Nusantara dilihat dari aspek sastra lokal khususnya puisi guguritan Sunda ini sangat penting dilakukan. Ia tidak sekedar mencerminkan kesadaran akan pentingnya menangkap pengaruh keluhuran tradisi keilmuan Islam, tetapi juga menunjukkan dialog yang saling mencerahkan (interilumination) antara nilai keislaman dan kesundaan.12 Ia, sebagaimana budaya lainnya di Nusantara, mencerminkan bagaimana ajaran Islam diresepsi dan diartikulasikan ke dalam khasanah budaya lokal Nusantara. Mereka bisa menyalurkan ekspresi estetis lokalnya dalam tradisi keilmuan Islam melalui gubahan kekayaan sastra lokalnya masing-masing sehingga menambah kekayaan khasanah sastra dan budaya Islam Nusantara.

Kajian sastra Islam Nusantara dalam bingkai tradisi sastra lokal ini sangat signifikan untuk memperkuat pandangan tentang besarnya pengaruh tradisi Islam terhadap perkembangan sastra Nusantara, khususnya sastra Sunda. Sebuah periode dalam rentang sejarah panjang yang membentuk corak dan warna yang sangat kuat dalam sastra Sunda. Berbeda dengan para sarjana yang cenderung pada gambaran budaya Sunda dalam khasanah sastra Sunda pra-Islam,13 kajian ini berusaha menunjukkan kontribusi Islam dalam pembentukan identitas Islam Sunda dalam khasanah sastra Sunda. Ia memberi pengaruh besar terhadap kesadaran identitas Islam Sunda yang cenderung semakin merasuk (nyosok jero) ke dalam jantung kebudayaan Sunda.14 Sebuah upaya penyelarasan nilai-nilai Islam dengan kekayaan alam pikiran budaya dan sastra Sunda dalam bingkai identitas Islam Nusantara.

11 Anne K. Rasmussen, Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia,

(Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2010), h. 85. 12 Benjamin G. Zimmer, ―Al-‘Arabiyyah and Basa Sunda: Ideologies of Translation and

Interpretation among the Muslims of West Java‖, Studia Islamika, 7 (3): 2000, h. 38. A.H. Johns, "She desired him and he desired her" (Qur'an 12:24): 'Abd al-Ra'ûf‘s treatment of an episode of the Joseph story in Tarjumânal-Mustafid,‖ Archipel. Volume 57, 1999, h. 109.

13 Saleh Danasasmita et.al., Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan,” (Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan, 1987); Ayatrohaédi dan Munawar Holil, Kawih Paningkes; Alihaksara dan Terjemahan Naskah K. 419 Khasanah Perpustakaan Nasional Jakarta, Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1984; J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, terj. Hawe Setiawan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2009); Aditia Gunawan, Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka (suntingan dan terjemahan), (Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009); dan lainnya.

14 Oyon OS, ―Islam Nyunda & Sunda Ngislam,‖ dalam Wahyu Wibisana dkk., Salumar Sastra, (Bandung: Geger Sunten, 1997), cet. ke-2, h. 175-176.

5

Pengaruh Islam dalam Sastra Sunda Pada paruh akhir abad ke-19, para sarjana Eropa umumnya menolak

kehadiran sastra Sunda. G.J. Grashuis, seorang misionaris Belanda, misalnya mengaku gagal menemukan jenis sastra tertentu dalam tulisan Sunda. Ia melihat puisi Sunda hanyalah tiruan puisi Jawa, kurang orisinal, dan memperlihatkan pengaruh Islam yang begitu kental. Hampir setengah abad kemudian, Memed Sastrahadiprawira, sastrawan dan intelektual Sunda, mencoba menyangkalnya. Baginya, penilaian tersebut menunjukkan ketidakmemadaian pengetahuan sehingga tidak mampu mengapresiasi keindahan sastra Sunda. Terlebih sejak awal tersebar pandangan bahwa bahasa Sunda merupakan dialek Jawa.15

Persoalan keterpengaruhan menjadi salah satu alasan yang menghalangi pandangan sarjana kolonial dalam menilai ada tidaknya literatuur dalam tulisan Sunda. Islam dan Jawa dianggap menjadi bayangan yang menghantui orisinalitas sastra Sunda. Sebuah penilaian tipikal kolonial yang cenderung menganut ideologi kemurnian bahasa dengan berusaha membedakan dan membakukan bahasa antar etnis Nusantara.16

Tak bisa dipungkiri Islam dan pesantren memiliki peran besar dalam membentuk budaya dan sastra Sunda. Ia tercermin dalam beragam kepustakaan sastra Sunda. Dari cerita pantun yang dianggap sebagai sastra lisan warisan leluhur orang Sunda, mantra yang berisi kekuatan magis dan melibatkan makhluk halus, puisi guguritan dan wawacan berupa puisi naratif berbentuk sajak bermatra bertemakan Islam dan tasawuf hingga sastra modern berupa novel, sajak dan drama tak lepas dari penyesuaian akibat pengaruh budaya Islam dan pesantren. Beberapa bentuk sastra Islam seperti pupujian, nadom, dan Cigawiran bahkan juga menghiasi perkembangan sastra Sunda. Terjadi akulturasi timbal-balik antara Islam dan sastra budaya Sunda. Kiranya tidak ada ketegangan antara Islam dan Sunda dalam membentuk apa yang disebut Ricklefs sebagai sintesis mistis di banding Jawa.17

Sejarah sastra Sunda umumnya ditelusuri sampai pada berdirinya Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14. Ia memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan budaya Sunda. Ia dianggap sebagai leluhur orang Sunda dan budayanya. Pada masanya Hindu dan Buddha memainkan peran dominan dalam membentuk sastra Sunda. Sejumlah naskah Sunda ditemukan pada abad ke-16 seperti Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galunggung. Ia berisi semacam ensiklopedi kehidupan dan budaya Sunda beserta kepercayaannya.18 Pada periode ini, terdapat berbagai sastra lisan berupa legenda, mitos, dongeng, fabel, folklore dan berbagai cerita seperti Sangkuriang, Si Kabayan, Lutung Kasarung, Munding Laya Di Kusuma, Ciung Wanara, dan lainnya. Umumnya berbentuk cerita pantun sejenis hikayat yang dikisahkan semalam suntuk dengan iringan kecapi, kadang dengan

15 Mikihiro Moriyama, Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda

Abad ke-19, terj. Suryadi, (Jakarta: KPG, 2005), h. 49-53; Mikihiro Moriyama, Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java, Southeast Asian Studies, Vol. 34, No.1, June 1996, 178-180.

16 Benjamin G. Zimmer, ―Purisme Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia dalam Sejarah Kolonial dan Pascakolonial,‖ Dangiang, Juli 2001, h. 55.

17 M. C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, terj. FX. Dono Sunardi dan Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2013), h. 36-37.

18 Saleh Danasasmita dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat Galunggung, 1987.

6

suling atau tarawangsa.19 Ia biasanya berisi cerita tentang putra raja Pajajaran yang pergi mengembara mencari pengalaman, puteri cantik bakal istri, kesaktian, kerajaan lain untuk ditaklukkan, membuktikan impian dan semacamnya.20 Kebanyakan cerita didasarkan pada figur kepahlawanan dari Kerajaan Pajajaran hingga kekalahannya oleh kekuatan Islam tahun 1579. Pajajaran dan rajanya yang dikenal dengan Prabu Siliwangi dianggap sebagai simbol penguasa Sunda yang paling sempurna.

Seiring perkembangan zaman, beberapa penyesuaian dan perubahan yang dipengaruhi unsur Islam terhadap cerita pantun tak bisa terelakkan. Rajah yang biasanya mengawali cerita pantun yang semula hanya diperuntukkan kepada para leluhur, batara-batari, dan dewa-dewi, kemudian disampaikan pula bagi Allah, Rasulullah, para wali dan para leluhur yang sudah mengislamkan Jawa Barat.21 Beberapa hasil rekaman dan transkripsi yang dilakukan Weinstraub misalnya, juga menunjukkan adanya sejumlah kata dari bahasa Arab dalam teks pantun, yang jarang ditemukan dalam teks pantun Sunda Kuna pra-Islam. Repertoir jurupantun dewasa ini pun mengandung cerita-cerita Islami.22 Pengadaptasian cerita pantun dengan Islam dialami juga dalam seni pertunjukan wayang sebagaimana di Jawa misalnya dalam Wayang Golek Purwa.23

Selain cerita pantun, sejumlah mantra juga mengalami penyesuaian yang sama. Mantra biasanya berupa puisi lisan berkekuatan magis yang dibacakan dalam upacara dan permohonan pada berbagai sesembahan. Ia mencakup jampi-jampi, ajian, jangjawokan, parancah, singlar, asihan, pelet, rajah, dan sejenisnya. Penyesuaian terkait pengaruh Islam tampak pada penggunaan sejumlah kata berbahasa Arab dan identifikasi makhluk halus seperti terdapat dalam sejumlah daftar mantra yang diidentifikasi oleh Rusyana dan Suryani, terlepas sesuai tidaknya dengan ajaran pokok Islam.24

Bentuk sastra Sunda lainnya adalah guguritan atau dangding. Ia merupakan karya sastera tulis yang berisi berbagai hal, baik pengajaran atau uraian agama, pengalaman batin, kekaguman pada alam, berbagai kejadian, hingga ceramah dan surat-menyurat.25 Ia ditulis berbentuk puisi guguritan dengan pola 17 jenis pupuh. Di masyarakat Sunda, puisi naratif atau cerita panjang berbentuk pupuh disebut wawacan biasa dibacakan dengan jalan ditembangkan disebut beluk. Seperti halnya macapat di Jawa, guguritan dan wawacan biasa ditembangkan atau disenandungkan,

19 Ajip Rosidi, ―My Experiences in Recording Pantun Sunda,‖ Indonesia, 16, 1973, h.

106-107; Iskandarwassid, ―Le pantun soundanais. Quelques aspects historiques et culturels,‖ Archipel. Volume 12, 1976. pp. 121-146.

20 Ajip Rosidi, ―Ciri-ciri Manusia dan Kebudayaan Sunda,‖ dalam Edi S. Ekadjati ed., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, (Bandung: Girimukti Pasaka, 1984), h. 143.

21 Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2010), h. 28. 22 J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, h. 13; Andrew N. Weintraub,

Ngahudang Carita Nu Baheula: An Introduction of to The Stories of Pantun Sunda, (Center for Southeast Asian Studies, University of Hawaii at Manoa, 1991), h. ii; Andrew N. Weintraub, ―Tune, Text, and the Function of Lagu in Pantun Sunda, a Sundanese Oral Narrative Tradition,‖ Asian Music, Vol. 26, No. 1, Musical Narrative Traditions of Asia (Autumn, 1994 - Winter, 1995), h. 175-211.

23 Kathy Foley, ―The Origin of Kala: A Sundanese Wayang Golek Purwa Play by Abah Sunarya and Giri Harja I,‖ Asian Theatre Journal, Vol. 18, No.1, 2001, h. 1-58.

24 Yus Rusyana, Bagbagan Puisi Mantra Sunda, Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda, 1970, h. vi-viii dan 10; Elis Suryani N.S., ―Mantra Lama dalam Tradisi Naskah Lama: Antara Konvensi dan Inovasi,‖ Disertasi, (Program Pascasarjana FIB Universitas Padjadjaran Bandung, 2012).

25 Yus Rusyana dan Ami Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, h. 95.

7

bahkan pada acara yang dihadiri orang banyak seperti melahirkan, mencukur bayi, memperingati Shaykh Abdul Qadir dan lain-lain.26 Guguritan bahkan digunakan untuk melakukan kritik sosial, seperti dilakukan aktifis komunis, Moehamad Sanoesi dalam Garut Genjlong dan Parikesit dalam Meupeus Keuyang sebagai respons terhadap kebijakan kolonial dalam kasus Cimareme atau SI-Afdeeling B tahun 1919.27

Guguritan semula merupakan bagian dari tradisi sastra Jawa. Ia mempengaruhi sastra Sunda setelah Kerajaan Mataram menguasai tatar Sunda pada awal abad ke-17. Meski tidak terlalu lama, tetapi pengaruh budaya Jawa sangat kuat berpengaruh terutama terhadap tarian, musik, bahasa dan sastra Sunda. Bahasa Jawa pada saat itu mampu menggeser posisi bahasa Sunda yang umumnya dipakai oleh rakyat biasa. Bahasa Jawa menjadi bahasa resmi pemerintahan hingga abad ke-19.28 Tingkatan bahasa (speech levels) menjadi umum digunakan dalam bahasa Sunda.29 Dalam bidang sastra, selain guguritan, terdapat sejumlah tembang tradisional Jawa yang digunakan dalam tembang Sunda. Ia biasa dinyanyikan dengan diiringi kecapi, suling dan rebab. Lagu tembang Sunda dibagi ke dalam beberapa kategori, seperti papantunan, jejemplangan, rarancagan, panambih yang dibedakan dari sisi musik, bentuk dan kandungan puisinya.30 Baik puisi guguritan, wawacan, maupun tembang Sunda kemudian menyebar di kalangan menak Sunda. Umumnya mereka mendapatkan pengaruh setelah datang ke Mataram dan belajar berbagai macam budaya Jawa.31

Kekuasaan Jawa Mataram pasca runtuhnya Kerajaan Sunda pada 1579 ternyata juga berpengaruh pada semakin menguatnya arus Islamisasi di tatar Sunda. Orang Sunda mulai bersentuhan dengan tradisi Islam dan pesantren terutama bahasa dan aksara Arab. Sejumlah naskah Sunda kuno abad ke-16, diketahui menggunakan beberapa kosakata Arab seperti pada naskah Carita Parahiyangan dan Sri Ajnyana.32 Bahasa Sunda yang ditulis dalam aksara Arab (pegon) kemudian secara luas digunakan di kalangan orang Sunda, terutama mereka yang belajar di pesantren. Sementara aksara Jawa cacarakan kebanyakan digunakan oleh kalangan menak Sunda. Baik aksara pegon maupun Jawa, secara perlahan kemudian menggantikan aksara Sunda kuna. Katalog naskah Sunda mencatat bahwa naskah pegon ternyata lebih banyak di banding naskah Sunda beraksara lainnya.33

26 Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, h. 30-31 dan 194. 27 Ajip Rosidi, Guguritan, Bandung: Kiblat, 2011, h. 17; Wendy Mukherjee, ―Moh.

Sanoesi‘s Siti Rajati: A Nationalist Novel from West Java.‖ Jurnal Melayu, 2, 2006, h. 179-218. 28 Edi S. Ekadjati, ―Sejarah Sunda,‖ dalam Edi S. Ekadjati ed., Masyarakat Sunda dan

Kebudayaannya, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984), h. 103. 29 Maman Sumantri, Bahasa Sunda, Bahasa Daerah Terbesar Kedua di Indonesia, (Bandung:

Lembaga Bahasa jeung Sastra Sunda, 1992/1993), h. 3; Ayatrohaedi, ―Bahasa Sunda di Daerah Cirebon,‖ Disertasi, (Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia, 1978), h. 11.

30 W. van Zanten, ―The poetry of tembang Sunda,‖ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 140 (1984), no: 2/3, Leiden, h. 289-290; Willem van Zanten, Tembang Sunda, An ethnomucilogical study of the Cianjuran music in West Java. Thesis, (Leiden University, 1987), h. 66; Yus Rusyana dan Ami Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, h. 1.

31 Ajip Rosidi, Guguritan, h. 14. 32 Ajip Rosidi (ed.), Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya, (Jakarta: Pustaka Jaya,

2000), h. 620; J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, h. 83 dan 168. 33 Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A

Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan EFEO, 1999), h. 6; Edi S. Ekadjati, Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan, (Bandung: Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota Foundation, 1988).

8

Dalam bidang sastra, tak hanya carita pantun dan mantra, berbagai tradisi Sunda seperti adat nyawer juga semakin dipengaruhi Islam dari sisi bentuk dan ungkapan sastranya. Nyawer merupakan sastra lisan yang dinyanyikan dalam upacara tertentu, seperti tingkeban, menyambut bayi lahir, sunatan, dan yang populer adalah pernikahan. Bentuk puisinya ada yang berupa guguritan terus disambung dengan bentuk kalimat sawer, tetapi ada pula yang sawer saja. Puisinya berupa empat larik puisi layaknya sya‘ir. Kata sawer sendiri konon berasal dari sya‘ir. Tetapi terdapat pula beberapa bait sawer tertentu beserta lagunya yang diketahui sangat kuna.34

Selain sawer, beberapa bentuk sastra lisan Islam seperti syair pujian kepada Nabi Muhammad beredar luas di masjid-masjid dan pesantren Sunda. Umumnya dikenal dengan nadom atau pupujian. Ia merupakan nyanyian berisi puji-pujian, doa, nasehat dan pengajaran.35 Setiap bait syair pupujian terdiri dari empat larik yang murwakanti, tetapi ada pula yang menggunakan enam atau delapan larik. Pupujian sebagaimana juga nadoman, marhaba, rudat, kasidahan, tagoni, genjring terebang, dan semacamnya merupakan bentuk tradisi sastra Islam yang memperkaya khasanah sastra dan seni pertunjukan Islam Sunda.36 Tak hanya itu, beberapa pesantren terutama di daerah Cigawir Garut mengembangkan sejenis tembang Sunda dengan lirik bernuansa Islam pesantren yang seringkali disebut Cigawiran.37 Sebuah bentuk penyerapan seni dan sastra Sunda yang diinterpretasikan ke dalam nuansa Islam Sunda ala pesantren.

Selain itu, pengaruh Islam juga tampak pada berbagai cerita, legenda, dan sejarah dalam tradisi Islam Nusantara berbahasa Jawa atau Melayu yang disadur dan diterjemah ke dalam bahasa Sunda dengan aksara pegon. R.D. Bratadiwidjaja, Patih Mangunreja, Sukapura di antaranya menyadur karya Abdussamad al-Falimbani menjadi Wawacan Bidajatoessalik (1864).38 Banyak sekali cerita Islam disusun dengan menggunakan bentuk puisi guguritan atau wawacan. Kisah-kisah seperti Wawacan Amir Hamzah, Wawacan Sema’un, Wawacan Rengganis, Wawacan Carita Ibrahim, Wawacan Carita Nurul Komar, Wawacan Nabi Paras, dan masih banyak yang lainnya. Tak hanya cerita, pengajaran Islam pun banyak pula yang disusun dalam bentuk wawacan, seperti Wawacan Hadis, Wawacan Ibadah kalawan Iman, Wawacan Ilmu, Iman reujeung Amal, dan lainnya.39 Islam dengan aksara Arab dan pegon serta berbagai cerita Islam merangsang semangat orang Sunda untuk menulis sastra Sunda berupa wawacan yang digunakan untuk dakwah agama.40 Sebagai sebuah puisi naratif, sejumlah wawacan juga menggunakan setting Islam dan pesantren dalam menyusun cerita fiksi, seperti terdapat pada Wawacan Purnama Alam karya R. Suriadireja. Sebuah wawacan populer yang paling panjang hingga mencapai 6.197 bait (190 pupuh).41

34 Ajip Rosidi, Sawer jeung Pupujian, (Bandung: Kiblat, 2011), h. 11. 35 Yus Rusyana, Bagbagan Puisi Pupujian Sunda, (Bandung: Proyek Penelitian Pantun

dan Folklore Sunda, 1971). 36 Ajip Rosidi, Sawer jeung Pupujian, (Bandung: Kiblat, 2011), h. 90. 37 Willem van Zanten, Tembang Sunda, h. 42-43; Asep Nurjamin, ―Cigawiran: Tembang

Sunda dari Pesantren,‖ dalam Cik Hasan Bisri, dkk., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, (Bandung: Kaki Langit, 2005), h. 158.

38 Ajip Rosidi, Mencari Sosok Manusia Sunda, h. 31. 39 Ajip Rosidi, Guguritan, h. 14. 40 Yus Rusyana, ―Naskah yang Dibelukkan Umumnya Berupa Wawacan,‖ Pikiran

Rakyat, 1 Juni 1983. 41 Ajip Rosidi, Manusia Sunda, (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009), h. 77; Ajip Rosidi,

Ngalanglang Kasusastran Sunda, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,1983), h. 88.

9

Bukan hanya cerita dan pengajaran Islam, berbagai tema tasawuf juga banyak yang menggunakan bentuk guguritan dan wawacan sebagai wadah pengungkapannya. Misalnya Wawacan Jaka Ula Jaka Uli/Wawacan Muslimin Muslimat, Wawacan Dua Pandita/Pandita Sawang/Babad Cirebon, Wawacan Pulan Palin, Wawacan Ganda Sari, Wawacan Nurmuhamad, Wawacan Buana Wisesa dan lainnya. Tema umum pensucian diri diungkapkan ke dalam bentuk narasi berupa tata aturan bertarekat, konsep teosofi tasawuf, pengalaman batin sufistik atau cerita simbolik.42 Salah satu naskah sufistik Sunda yang paling populer adalah guguritan atau guguritan Haji Hasan Mustapa (1852-1930). Ia berisi pengalaman batin sufistik yang berisi perasaan batinnya yang paling dalam. Sebagaimana akan dijelaskan, karya guguritan sufistik dan catatan haji Mustapa menunjukkan pengaruh kuat tradisi Islam yang diungkapkan dengan menggunakan sastra Sunda.

Pada era kolonialisme, sastra dan budaya Eropa mulai berpengaruh terhadap kehidupan sastra Sunda. Pada saat itu, Belanda mulai memperkenalkan aksara Latin dalam skala luas yang lambat laun semakin menggeser aksara pegon dan Jawa. Karya sastra Sunda pun kemudian mendapat ‗semangat baru‘ dengan adanya mesin cetak. Moehamad Moesa merupakan sastrawan Sunda pertama yang mencetak karya sastranya dengan bantuan sahabat dekatnya, K.F. Holle. Ia juga menjadi informan kunci bagi Holle dalam masalah keislaman di masyarakat Sunda.43 Karya-karyanya menandai masa transisi sastra Sunda ke arah modernisasi.44 Orang Sunda kemudian mulai menulis berbagai roman, novel, cerpen dan sajak. D.K. Ardiwinata menulis sebuah roman Baruang na Nu Ngarora (1913), sesuatu yang sebelumnya tak dikenal dalam sastra Sunda. Banyak pengarang Sunda lainnya kemudian mengikutinya seperti Joehana, Memed Sastrahadiprawira, Moh. Ambri, Yus Rusamsi, Min Resmana, R.A.F. dan lainnya. Selain itu, karangan berbentuk cerpen juga mulai populer dalam bahasa Sunda. Beberapa pengarang misalnya G.S., Rusman Sutiasumarga, Ki Umbara, Tini Kartini, dan lain-lain. Pada masa sesudah perang, bentuk puisi bebas mulai banyak ditulis seiring pengaruh bahasa Indonesia. Misalnya ditulis oleh Ajip Rosidi, Kis Ws., Surachman RM., Sayudi, Rahmat M. Sas Karana, Edy D. Iskandar, dan lain-lain.45

Berkembangnya sastra Sunda modern tidak membuat pengaruh Islam surut. Setting Islam dan pesantren tidak bisa dinafikan melekat dalam sejumlah karya sastra Sunda. Tidak sedikit roman, novel, cerpen dan sajak yang menonjolkan aspek religiusitas Islam dan latar pesantren dalam karyanya. Misalnya, pada Santri Gagal (1881) karya RH. Muhammad Musa dan Mantri Jero (R. Memed Sastrahadiprawira). Karya-karya sastrawan Sunda lainnya Moh. Ambri, Samsoedi, Tjaraka, Ki Umbara, SA. Hikmat, Ahmad Bakri, RAF (Rachmatulloh Ading Affandie), dan Usep Romli HM umumnya tidak lepas dari kehidupan dunia pesantren Sunda yang wajar, manusiawi dan santai.46 RAF (1929-2008) misalnya dalam Dongéng Énténg ti

42 Kalsum, Wawacan Buana Wisesa Sebuah Karya Tasawuf: Edisi Teks dan Analisis Struktur,

(Bandung: Fakultas Sastra Unpad, 2008), h. 14. 43 Jajat Burhanudin, Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia

(Bandung: Mizan, 2012), h. 162. 44 Mikihiro Moriyama, Semangat Baru, h. 165; Mikihiro Moriyama, ―The Impact of Early

Modern Textbooks on Sundanese Writing in the Nineteenth Century,‖ TAWARIKH: International Journal for Historical Studies, 2(1) 2010, h. 3.

45 Ajip Rosidi, ―Ciri-ciri Manusia dan Kebudayaan Sunda,‖ h. 147. 46 Acep Zamzam Noor, ‗Sunda santai, Islam Santai.‘ Pikiran Rakyat, Sabtu 10 Pebruari

2007.

10

Pasantrén menggambarkan detail kehidupan santri dan kyai selama dirinya mondok di sebuah pesantren Ciamis pada era penjajahan Jepang.47

Uraian di atas menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan zaman, Islam di Nusantara memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sastra Sunda. Tidak hanya melakukan berbagai perubahan dan penyesuaian secara bahasa dan tema terhadap sastra Sunda lama, tetapi juga mempengaruhi tumbuhnya bentuk sastra Islam Sunda yang semula berasal dari khasanah sastra Islam. Tak sedikit sastra Sunda digunakan sebagai wadah dalam mengekspresikan pandangan keagamaan dan pengalaman batinnya seperti akan kita lihat pada penggunaan guguritan dalam tradisi keilmuan Islam. Sebuah kreasi Islam lokal dalam sastra Sunda yang terhubung dengan tradisi Islam Nusantara. Tentang Puisi Guguritan Sunda

Guguritan atau dangding merupakan salah satu bentuk karya sastra yang semula berasal dari tradisi kesusastraan Jawa. Ia semakin berkembang pasca jatuhnya Kerajaan Sunda pada 1579. Penetrasi kekuatan Islam Cirebon dan Banten yang didukung Jawa-Mataram berdampak pada masuknya pengaruh budaya Jawa terhadap tradisi sastra Sunda. Ia bisa dianggap menjadi ciri keterpelajaran orang Sunda dalam menyerap pengaruh budaya Jawa sebagaimana Bujangga Manik, seorang bangsawan Sunda yang melakukan perjalanan ke Jawa dan Bali dalam naskah abad ke-16, dikenal juga ―bisa carék Jawa.‖48 Guguritan merupakan salah satu jenis karangan puisi Sunda yang digubah menurut aturan kaidah pupuh (metrum). Dari 17 jenis pupuh umumnya digunakan empat metrum, yakni Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.49 Berikut rincian kaidah pupuh tersebut:

Pupuh/metrum Jumlah larik dan suku kata setiap bait

Vokal akhir Watak

Kinanti 6 larik, 8 suku kata u – i – a – i – a – i

prihatin, harapan dan penantian

Sinom 9 larik (larik 1– 4: 8 suku kata; 5: 7; 6: 8; 7: 7; 8: 8; 9: 12)

a – i - a – i – i – u – a – i – a

senang dan gembira

Asmarandana 7 larik (8 suku kata (kecuali larik 5: 7 suku kata)

i – a – é/o – a – a –u –a

rasa cinta dan saling menyayangi

Dangdanggula 10 larik (l -2: 10; 3: 8; 4: 7; 5: 9; 3 : 7; 7: 6; 8: 8; 9: 12; 10: 7 atau 8).

i – a – é/o – u – i – a – u – a – i – a

kebahagiaan dan keagungan

Tabel 1: Kaidah Pupuh Secara struktural, puisi guguritan Sunda sangat terikat dengan kaidah pupuh

berupa jumlah larik, jumlah suku kata, ujung vokal akhir, keselarasan antar larik, watak dan pedotan (jeda). Karenanya, membaca karya sastra berbentuk guguritan sastra berarti berusaha mendudukkannya secara otonom (close reading) sesuai dengan tata aturan kaidah bahasa dan sastranya secara struktural. Sebagaimana Saussure, strukturalisme sastra bagaimanapun memandang bahasa sebagai suatu

47 R.A. Affandie, Dongeng Enteng ti Pasantren, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982). 48 J. Noorduyn dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, 2006. 49 M.A. Salmun, Kandaga Kasusastran Sunda, (Bandung: Ganaco, 1958), h. 50-55.

11

sistem tanda yang sempurna secara sinkronis. Ia akan terkonsentrasi pada relasi internal bahasa bukan pada makna.50

Struktur puisi guguritan Sunda yang sangat terikat kaidah metrum, sebagaimana puisi pupujian dan sawér, terkait pula dengan fungsinya sebagai lirik tembang yang biasa dibawakan dalam tembang Sunda dengan diiringi alat musik seperti kacapi-suling.51 Guguritan sebagai tembang umumnya tersebar di masyarakat secara lisan. Seperti halnya macapat di Jawa, guguritan biasa ditembangkan pada acara yang dihadiri orang banyak (mamaos atau beluk), seperti melahirkan, mencukur bayi, manaqiban memperingati Syekh ‗Abdul Qadir Jailani dan lain-lain. Karangan guguritan yang lebih panjang juga digunakan untuk menyampaikan cerita (hikayat, roman), uraian agama dan masalah pertanian, biasanya disebut wawacan.52

Karangan guguritan berisi berbagai hal, misalnya kasih sayang antar manusia, ungkapan tingkah laku manusia, pencaharian, kebudayaan, pendidikan dan pengajaran, kejadian dan keindahan alam. Bahkan guguritan juga digunakan untuk melakukan kritik sosial, seperti dilakukan aktifis komunis, Moehamad Sanoesi dalam Garut Genjlong dan Parikesit dalam Meupeus Keuyang dimuat dalam sk. Padjadjaran (1919) sebagai respons terhadap kebijakan penguasa kolonial dalam kasus Cimarémé atau dikenal SI-Afdeling B.53

Sebagai salah satu karya sastra Sunda tradisional, guguritan banyak dikembangkan oleh kalangan ménak Sunda sejak abad ke-19. R.H. Muhammad Musa (1822-1886), Hoofd Penghulu Limbangan Garut, sastrawan Sunda pertama yang mempublikasikan karya sastra berbentuk wawacan. Begitupun dengan R.A. Bratadiwidjaja dan R. Haji Abdussalam banyak menulis guguritan. R.A.A. Kusumaningrat atau Dalem Pancaniti, Bupati Cianjur (1834-1863) juga menulis surat kepada istrinya dalam bentuk guguritan dan R.A.A. Martanagara, Bupati Bandung (1893-1918) juga banyak menulis wawacan, piwulang dan babad.54 Demikian pula Haji Hasan Mustapa (1852-1930) saling berkirim surat dengan rekannya, Kiai Kurdi, mengenai masalah-masalah agama sebagiannya dalam bentuk guguritan.55 Dari sekian banyak menak Sunda yang menulis guguritan, Mustapa dianggap paling kental dengan tradisi sastra sufistik Sunda melalui guguritan. Ia menulis lebih dari 10.000 bait puisi dangding atau guguritan sufistik, hampir semua dibuat dengan bahasa Sunda beraksara pégon sekitar 1900-1902.56 Sebagian guguritan-nya dihiasi banyak kutipan ayat Al-Qur‘an yang ditempatkan dalam konsep mistisisme filosofis layaknya prosa dan puisi Melayu, Hamzah Fansuri. Selain itu, ia juga menulis tafsir Qur’anul Adhimi Aji Wiwitan Kitab Suci berisi penjelasan makna batin atas 105 ayat yang dirasakan cocok bagi orang Sunda.57

50 Terry Eagleton, Literary Theory: An Introduction, (Minneapolis: Univ. of Minnesota,

1983), h. 84. 51 Willem van Zanten, Tembang Sunda, h. 66; Yus Rusyana dan Ami Raksanegara, Puisi

Guguritan Sunda, h. 1. 52 Ajip Rosidi, ―Perihal Puisi Guguritan Sunda,‖ Pikiran Rakyat, Rabu 20 Juli 1983. 53 Ajip Rosidi, Guguritan, h. 17. Tentang sastrawan Moehamad Sanoesi, lihat Wendy

Mukherjee, ―Moh. Sanoesi‘s Siti Rajati,‖ h. 179-218. 54 Nina H. Lubis, Kehidupan Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi

Kebudayaan Sunda, 1998), h. 240-241. 55 Haji Hasan Mustapa, Bale Bandung (Bandung: Rahmat Cijulang, 1984). 56 Ajip Rosidi ed., Ensiklopedi Sunda, h. 263. 57 Jajang A Rohmana, ―Ekspresi Lokalitas Tafsir Sufistik di Tatar Sunda: Qur’anul

Adhimi Aji Wiwitan Kitab Suci Haji Hasan Mustapa (1852-1930),‖ International Conference on Qur‘anic Studies, PSQ, Ciputat 15-16 Februari 2014.

12

Pada abad ke-20, terutama sebelum Perang Dunia II, muncul pula nama pengarang guguritan seperti Kalipah Apo, Toebagus Djajadilaga, Méméd Sastrahadiprawira, M.A. Salmun dan lainnya. Pada masa pasca kemerdekaan pun hingga sekarang lahir pengarang guguritan seperti Rahmatullah Ading Affandi (RAF), Wahyu Wibisana, Apung S.W., Dédy Windyagiri, Yus Rusyana, Dyah Padmini, Etti R.S., Dian Hendrayana dan lainnya.58 Bentuk karangan guguritan sebetulnya bukan hanya dikenal dalam lingkungan sastra Sunda atau Jawa, tetapi juga sastra Indonesia. Sastrawan Pujangga Baru, Sanusi Pane misalnya, menggunakan bentuk guguritan dalam karyanya seperti Dangdanggula dalam Sandyakala Ning Majapahit (1932) dan Sinom dalam Kertajaya (1932). Begitupun Ramadhan K.H. menggunakan metrum Kinanti dalam Priangan Si Jelita (1956).59 Tema Keislaman dalam Puisi Guguritan Sunda

Sejak abad ke-17, guguritan menjadi bagian penting dalam kehidupan keseharian lisan dan tulisan masyarakat Sunda terutama kaum menak. Guguritan menjadi salah satu cerminan bagaimana sastra Sunda saat itu berada di bawah bayang-bayang keluhuran sastra Jawa. Namun, tidak seperti Jawa yang lebih didominasi budaya Jawa kraton, orang Sunda merasa tidak memiliki pusat kekuasaan tradisional pasca runtuhnya Kerajaan Sunda pada 1579, sehingga pengaruh Islam cenderung semakin dominan dan kemudian mengambil alih peran itu.60 Semakin menguatnya pengaruh Islam di tatar Sunda salah satunya tercermin dalam karangan guguritan Sunda berupa wawacan yang banyak menggunakan tema-tema keislaman, di antaranya cerita para nabi dan orang-orang suci (hagiografi), cerita kepahlawanan, iman-ilmu-amal, kehidupan setelah kematian, pengajaran hadis, akhlak, mistisisme Islam, terjemah Al-Qur‘an, cerita perjalanan haji dan lain-lain.61 Tulisan ini akan memfokuskan pada tiga tema keislaman, yaitu tasawuf Sunda, terjemah Al-Qur‘an dan catatan perjalanan haji. 1. Tasawuf Sunda

Salah satu tesis masuknya Islam ke Nusantara menyatakan bahwa sufi pengembara memegang peranan besar dalam misi damai penyebaran Islam di Nusantara. Jasa besar para mistikus Islam tersebut tidak bisa dinafikan dalam mengembangkan tradisi intelektual Islam, termasuk di dalamnya tradisi sastra sufistik Nusantara.62 Di tatar Sunda misalnya, banyak naskah keagamaan (Islam) bertemakan tasawuf yang disusun ke dalam bentuk narasi berupa tata aturan bertarekat, konsep teosofi tasawuf, pengalaman batin sufistik atau cerita simbolik.63 Umumnya disusun dalam bentuk wawacan atau puisi guguritan yang terikat aturan kaidah pupuh. Di sini estetika bahasa dan sastra Sunda bertemu dengan ungkapan spiritualitas mistikus yang dibingkai ke dalam narasi cerita tertentu.

Salah satu karya guguritan sufistik yang paling populer hingga saat ini adalah karya Haji Hasan Mustapa (1852-1930). Ia adalah sastrawan sekaligus mistikus

58 Ajip Rosidi, Guguritan, h. 18. 59 Yus Rusyana dan dan Ami Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, h. 3-4. 60 Jullian Millie dalam transkripsi wawancara radio di

http://sundanesecorner.org/2011/12/06/ abc-radio-to-air-sundanese-mustapa. Diakses 24 Maret 2012.

61 Tentang wawacan, lihat misalnya Iskandarwassid dkk. Tinjauan Terhadap Transkripsi Naskah Wawacan di Jawa Barat, (Bandung: Sundanologi, 1989).

62 A.H. Johns, ―Sufism as a Category in Indonesian Literature and History,‖ Journal of Southeast Asian History, Vol. 2, No. 2, Indonesia: 10-23.

63 Kalsum, Wawacan Buana Wisesa, h. 14.

13

Sunda terbesar dengan lebih dari 10.000 bait puisi dangding atau guguritan sufistik.64 Guguritan sufistik Mustapa lahir dari proses pencarian spiritualitas seorang mistikus saat menembangkan dan menuliskannya. Ia menjadi semacam media pengungkapan suasana batinnya ketika merasa dekat dengan Tuhan. Ia merepresentasikan sebagai orang Sunda yang berhasil menyerap dan mengartikulasikan ajaran Islam ke dalam khasanah budaya dan sastranya.

Dalam salah satu puisinya yang paling populer, Mustapa memainkan siklus turun-naik dari gradasi wujud dalam martabat rohani dengan menggunakan metafor tangtung-aing, saha-aing, beja-yakin, kidul-kaler, kulon-wetan, maneh-aing, atau aya-euweuh. Ini misalnya tampak dalam puisi Kinanti Puyuh Ngungkung dina Kurung: Ngalantung néangan tangtung

Aing deui aing deui Sapanjang néangan saha Aing deui aing deui Sapanjang néangan beja Yakin deui yakin deui

Mencari-cari pijakan eksistensi hanya Aku kujumpa Sepanjang mencari siapa hanya Aku kujumpa Sepanjang mencari berita hanya yakin kujumpa

Sapanjang néangan kidul

kalér deui kalér deui sapanjang néangan wétan kulon deui kulon deui sapanjang néangan aya euweuh deui euweuh deui65

Sepanjang mencari selatan hanya utara kujumpa sepanjang mencari timur hanya barat kujumpa sepanjang mencari ada hanya tiada kujumpa66

Mustapa membedakan diri dan Tuhan dalam konteks wahdat al-wujûd, yakni

sebagai gambaran pertemuan aspek manusia (nasût) dan aspek ketuhanan (lahût) dalam dirinya. Jarak keduanya dianggap tak terbatas. Suluk merupakan sebuah perjalanan dari nasût ke lahût. Ia menggambarkan percariannya dari nasut ke lahut, dari eksistensi ke Aku, dari siapa ke Aku, dari selatan ke utara, dari timur ke barat, dan dari ada ke tiada. Proses kembali diri ke tempat beranjaknya semula. Ia merasakan sudah sampai pada tempat itu. Ia ibarat siklus, dari Ahadiyat ke insan kamil, dari insan kamil ke ahadiyat.

Dirinya (yang terselang) menjadi manusia disadari berasal dari Tuhan dan harus kembali ke Tuhan. Ia harus mengalami penyatuan eksistensi kembali (wahdat al-wujûd) sehingga mampu memancarkan mutiara eksistensi-Nya yang tersembunyi di dunia (kanzan makhfiyyan), menunjukkan kebesaran-Nya, dan mengemban sifat-sifat Ilahi. Kehendaknya harus menyatu dengan kehendak Tuhan. Inilah pencarian lahût dalam nasût. Layaknya logika paradoksal antara bentuk (form) dan isi (essence). Pada aspek ketuhanan terdapat aspek manusia, dan demikian pula sebaliknya.67

64 Ajip Rosidi, ―Menjejaki Karya-karya Haji Hasan Mustapa‖, dalam Ahmad Rifa‘i

Hassan ed., Warisan Intelektual Islam Indonesia Telaah atas Karya-Karya Klasik (Bandung: Mizan, 1992), h. 84.

65 Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A, (Bandung: Jajasan Kudjang, 1976), h. 140; Ajip Rosidi, Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 96-97.

66 Terjemah bait terakhir dipinjam dari Teddy AN Muhtadin. 67 Jajang Jahroni, ―The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),‖

(The Master of Arts Degree in Islamic Studies, INIS Leiden University, 1999), h. 62-63.

14

Baginya ketika ekstase terjadi tidak pernah sampai kehilangan aspek manusia atau pun kehilangan aspek ketuhanan. Tidak ada yang lenyap, masih manusia dan masih Tuhan. Penyatuan eksistensial inilah yang seringkali disalahpahami oleh para ulama zahir dengan menuding secara panteistik bahwa ia betul-betul melebur dan lenyap. Dalam guguritan ini, ia menggambarkannya dengan perasaan hilangnya objek, yang ditemukan hanya aku sang ego (aing) yang sudah tiada lagi jarak, bukan lagi hamba (‘abd).

Hingga saat ini, guguritan sufistik Mustapa terus dikaji dan diapresiasi. Sekumpulan pengagum Mustapa di Bandung sempat membuat kaos bertuliskan puisi Mustapa tersebut. Para sastrawan Sunda juga berkali-kali mendiskusikan sekaligus menikmati lantunan puisi-puisinya dalam bentuk tembang. Belakangan puisi Mustapa juga diapresiasi ke dalam bentuk seni teater Sunda, Sinom Barataning Rasa. Mustapa masih akan terus membuat para pembacanya kagum sekaligus takjub untuk menikmati gubahan karya-karyanya. 2. Terjemah Al-Qur’an

Selain tema sufistik, guguritan juga digunakan sebagai media terjemah Al-Qur‘an ke dalam bahasa Sunda. Terjemah merupakan salah satu topik penting dalam kajian Al-Qur‘an. Ini terkait dengan kenyataan bahwa hal pertama yang digunakan para penutur non-Arab yang berusaha memahami Islam adalah membaca terjemah Al-Qur‘an.68 Meskipun umumnya kaum Muslim meyakini bahwa bacaan yang valid hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan teks Al-Qur‘an berbahasa Arab, bukan terjemah, tetapi bukan berarti menafikan pandangan lain yang memperkenankan penggunaan terjemah non-Arab.69

Di tatar Sunda, sejak awal abad ke-20 hingga saat ini, setidaknya terdapat hampir dua puluh karya terjemah Sunda dengan beragam bentuk (aksara maupun metodologi), tujuan dan latar penulisan. Data tersebut tidak termasuk tafsir Al-Qur‘an berbahasa Sunda yang bisa dipastikan juga mengandung terjemah.70 Ini menunjukkan terdapat begitu banyak keragaman bentuk terjemah dan latar belakang penulisnya. Publikasi terjemah tidak lagi dilakukan individu atau kelompok secara swasta, tetapi sejak tahun 1970-an muncul kecenderungan pelibatan tim (ulama dan ahli bahasa Sunda) seperti proyek terjemah versi Kanwil Depag dan Pemprov Jawa Barat. Namun, dari sekian banyak terjemah, secara alamiah hanya terjemah tertentu saja yang terus mengalami cetak ulang dan sering dijadikan rujukan oleh masyarakat Sunda. Salah satu bentuk terjemah di atas adalah menggunakan puisi guguritan Sunda sebagai wadahnya sebagaimana tampak pada buku Soerat Al-Baqarah karya R.A.A. Wiranatakoesoema dan Nur Hidayah karya R. Hidayat Suryalaga.

Dilihat dari segi materi atau kandungan pesan, terjemah guguritan Al-Qur‘an tidak jauh berbeda dengan terjemah lain pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk puisi keduanya yang digunakan sebagai wadah terjemah Al-

68 Abdullah Saeed, The Qur’an An Introduction, (London and New York: Routledge,

2008), h. 119. 69 Hartmut Bozbin, ―Translations of the Qur‘an,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe,

Encyclopaedia of the Qur’an, Vol. 3, (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001), h. 340; Mohamed Ali Mohamed Abou Sheishaa, ―Muslim Discourse in the Early Twentienth Century on the Translation of the Qur‘an,‖ Journal of the Society for Qur’anic Studies, Number 1, Volume 1, October 2001.

70 Tentang tafsir Al-Qur‘an berbahasa Sunda, lihat Jajang A Rohmana, Sejarah Tafsir Al-Qur’an di tatar Sunda, (Bandung: Diktis Kemenag RI-Mujahid, 2014), h. 83-92; Jajang A Rohmana, ―Kajian Al-Qur‘an di Tatar Sunda: Sebuah Penelusuran Awal,‖ Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 1, 2013, h. 206.

15

Qur‘an. Bentuk karangannya didasarkan pada bentuk guguritan yang menekankan pada keindahan bahasa dengan aturan sajak bermatra.

Selain itu, dilihat dari rancang bangun guguritan yang digunakan, terjemah guguritan Al-Qur‘an hampir tidak jauh berbeda dengan karangan guguritan Sunda pada umumnya. Ini terlihat terutama dari sisi jenis dan kaidah puisi yang digunakan serta kedudukannya sebagai lirik tembang Sunda. Namun, karya guguritan Al-Qur‘an ini memiliki perbedaan bila melihat isi atau pesan puisi yang hendak disampaikannya. Bagaimanapun ia merupakan guguritan yang mengandung pesan firman Tuhan. Karenanya, ia tidak hanya menekankan pada kaidah puisi tetapi juga kandungan pesan yang hendak disampaikan. Ia juga bukan hanya menerjemah layaknya terjemah Al-Qur‘an biasa, tetapi juga merupakan puisi yang terikat dengan kaidah puisi sekaligus tembang Sunda.71

Oleh karena itu, di sini kita bisa menilai bahwa sebagai sebuah karya guguritan sekaligus tembang, buku Soerat Al-Baqarah karya Wiranatakoesoema dan Nur Hidayah karya R. Hidayat Suryalaga sangat memperhatikan kaidah guguritan atau pupuh (jenis metrum). Ini misalnya tampak pada aturan jumlah larik (padalisan) dalam setiap bait (pada), guru lagu (vokal akhir di setiap ujung larik) dan guru wilangan (jumlah suku kata). Meskipun dalam pilihan watak pupuh, pedotan (randegan atau pemenggalan suku kata dalam larik umumnya), dan perpaduan larik cenderung lebih fleksibel, meski secara prinsip tetap dijadikan acuan.72 Berikut contoh terjemah atas QS. Al-Baqarah [2]: 19 di mana Wiranatakoesoema menggunakan kaidah pupuh Kinanti dan Suryalaga menggunakan kaidah pupuh Sinom:

بلكافرينميط واللالموتحذراعقالصومنآذانمفأصابعهميعلونوب رق ورعد ظلمات فيهالسماءمنكصيب أو

No. Ayat

Pupuh Kinanti (Wiranatakoesoemah)

Suku kata

& vokal akhir

Pedotan Terjemah (pen.)

19. Misilna deui kaseboet Hoedjan gedé redjeung angin Poék mongkléng dor-dar gelap Sieun torék noetoep tjeuli Malah sieuneun koe adjal Eta siksaan noe kafir 73

8u 8i 8a 8i 8a 8i

3+2+3 2+2+2+2 2+2+2+2 2+2+2+2 2+3+1+2 2+3+1+2

Umpama juga disebut Hujan besar serta angin Gulita guntur gelegar Tutup telinga tak tuli Takut pula pada ajal Siksaan bagi yang kafir

Pupuh Sinom (Suryalaga) Terjemah (pen.)

19. Mungguh anu munapék mah, Ibarat nu leumpang peuting, Hujan angin dor-dar gelap, Terus nyarocokan ceuli, Sieun ngemasi pati, Kitu kersaning Nu Weruh, Nu Kawasa saéstuna, Alloh Nu Maha Tingali,

8a 8i 8a 8i 7i 8u 8a 8i

2+2+3+1 3+1+2+2 2+2+2+2

2+4+2 2+3+2

2+3+1+2 1+2+3

2+1+2+3

Sungguh munafik lakunya, Bak malam jalan sendiri, Badai kilat menggelegar, Telinga pun ditutupi, Takut rasakan mati, Itu kehendak Yang Tahu, Sungguh Yang Maha

71 Karenanya, untuk mengapresiasi karya guguritan Al-Qur‘an ini sedikitnya bisa

melibatkan qari’ al-Qur‘an, pemain musik (kacapi-suling), penembang dan ahli tafsir. Iip Zulkifli Yahya, ―Saritilawah Nur Hidayah, Karya Besar Miskin Apresiasi,‖ Pikiran Rakyat, 20 Desember 2002.

72 M.A. Salmun, Kandaga Kasusastran Sunda, h. 50; Yus Rusyana dan dan Ami Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, h. 1.

73 R.A.A. Wiranatakoesoema, Soerat Al-Baqarah, (Bandung: ―Poesaka,‖ t.th.), h. 6.

16

Nu ngamurba ngawengku ogé nu kapir. 74

12i 1+3+3+2+1+2 Kuasa, Allah Maha Lihat pasti, Yang kuasa meliputi orang kafir.

Tabel 2: Kaidah pupuh dalam terjemah Penggunaan guguritan dalam kedua karya tersebut menunjukkan terjemah

ayat yang berpijak pada aturan kaidah pupuh yang ketat. Wiranatakoesoema menggunakan pupuh Kinanti dan Suryalaga menggunakan pupuh Sinom. Dalam pupuh Kinanti terdapat enam larik dalam satu bait. Setiap larik terdiri dari delapan suku kata (guru wilangan) dengan huruf vokal (u-i-a-i-a-i) di akhir setiap larik (guru lagu). Sedang pupuh Sinom menggunakan sembilan larik dengan aturan larik berikut: 8a-8i-8a-8i-7i-8u-8a-8i-12a.

Ketika ia ditembangkan, maka keselarasan lirik dengan nada lagu akan bisa dirasakan keindahannya. Karenanya, menerjemah Al-Qur‘an dengan guguritan dianggap cukup rumit dan kompleks. Layaknya memasang puzzle, penulis tidak sekedar mengejar ketepatan makna sesuai ayat dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran, tetapi juga harus mempertimbangkan kaidah pupuh, watak pupuh, pedotan, dan perpaduan antar larik. Selain itu, ketepatan diksi puitis akan sangat mempengaruhi keindahan lirik dan nada ketika dijadikan tembang guguritan Sunda.

Dalam terjemah guguritan karya Wiranatakoesoema dan Suryalaga di atas, keduanya tampak melakukan kompromi dengan mengatur panjang pendeknya kalimat dalam larik. Keduanya berusaha memaksa untuk meringkas terjemah satu ayat ke dalam satu bait sesuai kaidah pupuh Kinanti atau Sinom. Wiranatakoesoema misalnya, menggunakan kalimat ―Sieun torék noetoep tjeuli (tutup telinga, tak tuli) untuk menerjemahkan kalimat yaj’alûn ashâbi’ahum fî âdzânihim (mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya). Begitu juga, Suryalaga menggunakan kalimat singkat ―Terus nyarocokan ceuli‖ (lalu menutupi telinga). Keduanya mereduksi terjemah ayat dengan sama sekali tidak menyebut kata ―jari‖ (ashâbi’) yang sangat eksplisit digunakan dalam bahasa sumber.

Selain itu, keduanya tampak justru memperluas makna dengan menambah redaksi kalimat lain demi mengejar bait pupuh Kinanti atau Sinom meski tidak sesuai dengan bahasa sumber. Hal ini tentu saja berakibat pada sejumlah perluasan makna yang sangat berbeda dari bahasa sumber. Wiranatakoesoema misalnya, menggunakan kata ―kaseboet, angin, siksaan‖ yang tidak ada sama sekali dalam bahasa sumber. Begitu pun, Suryalaga menggunakan kalimat tambahan ―mungguh anu munapék mah, ibarat nu leumpang peuting, kitu kersaning Nu Weruh, Nu Kawasa saéstuna, Alloh Nu Maha Tingali.‖ Suryalaga tampak lebih ketat dalam mengejar makna dari bahasa sumber dibanding Wiranatakoesoema. Namun, baik Wiranatakoesoema maupun Suryalaga, keduanya sama-sama menambahkan kata atau kalimat tertentu untuk menyampaikan makna ayat dalam bahasa sasaran sekaligus mengejar kesesuaian dengan kaidah pupuh. Akibatnya terasa banyak ketidaksesuaian terjemah antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Penyempitan dan perluasan makna tersebut bisa dipahami mengingat kompleksitas terjemah guguritan yang menuntut ketepatan kaidah pupuh ke dalam bahasa sasaran. Menjadi tugas penerjemah menyampaikan pesan yang terdapat dalam bahasa sumber (source language) secara efektif melalui bahasa sasaran (target

74 R. Hidayat Suryalaga, Nur Hidayah, Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun Pupuh

Juz 1, (Bandung: Yayasan Nur Hidayah, 2000), h. 17.

17

language) di tengah kemustahilan terjemah secara mutlak.75 Karenanya, dilihat dari sisi jenis terjemah, maka tidak mungkin terjemah guguritan Al-Qur‘an menggunakan pendekatan terjemah harfiah sesuai urutan kata bahasa sumber. Penerjemah guguritan Al-Qur‘an bisa dipastikan hampir selalu menggunakan pendekatan terjemah tafsiriyah atau ma’nawiyah dengan tanpa terikat pada urutan kata dalam bahasa sumber. Ia mengutamakan keutamaan makna dan maksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan urutan kata atau susunan kalimat.76

Dengan kata lain, ia sama sekali tidak bisa terlepas dari pemahaman dan penafsiran atas teks bahasa (sumber). Ia dalam teori hermeneutik Gracia sangat terkait dengan tahapan komprehensif pemaknaan, yakni fungsi historis (historical function), fungsi makna (meaning function), dan fungsi penerapan (implicative function). Makna dalam terjemah puitis guguritan dan pupujian sangat terkait dengan latar historis penulis dan pembaca di mana teks terjemah tersebut muncul. Teks itu kemudian mengalami perkembangan fungsi makna di benak penerjemah sebagai pembaca teks kitab suci, dari teks bahasa sumber berbahasa Arab ke dalam bahasa sasaran berbahasa Sunda. Akhirnya pemaknaan teks kitab suci berujung pada penerapan penerjemah sebagai audiens atas teks Al-Qur‘an.77

Oleh karena itu, dalam proses menjembatani antara bahasa sumber dan sasaran tersebut, terjemah guguritan memiliki kompleksitas yang tidak ditemukan dalam terjemah lainnya misalnya dalam kasus terjemah puitis Al-Qur‘an karya H.B. Jassin, Bacaan Mulia yang sangat kontroversial.78 Kaidah pupuh sebagai aturan susunan kalimat dalam terjemah menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi penerjemah untuk mencari cara agar bisa menjembatani kandungan makna dari bahasa sumber dengan bahasa sasaran. Oleh karena itu, bisa dipahami bila para penulisnya umumnya menggunakan semacam kompromi-kompromi menghadapi kompleksitas aturan puisi tersebut. Beragam kompromi yang pada akhirnya mengarah pada terjemah tafsiriyah atau maknawiyah. 3. Catatan Perjalanan Haji

Selain sebagai media ungkapan pengalaman spiritual sufistik dan terjemah Al-Qur‘an, guguritan juga digunakan dalam cerita catatan perjalanan haji orang Sunda. Van Dijk dan Chambert-Loir sudah menjelaskan tentang catatan perjalanan haji beberapa menak Sunda lainnya pada masa kolonial, seperti Radén Demang Panji Nagara, Moehammad-hoesen, dan R.A.A. Wiranatakoesoema.79 Sayang sekali Chambert-Loir tidak menelusuri cerita pengalaman haji orang Sunda lainnya yang

75 Douglas Robinson, Becoming A Translator: An Introduction to the Theory and Practice of

Translation, (London and New York, Routledge, 2002), h. 164; J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, (London: Oxford University Press, 1978), h. 93.

76 Manna‘ Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Manthurat al-‗Asr al-Hadith, t.th.), h. 313.

77 Jorge J.E. Gracia, A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology, (State University of New York Press, 1995), h. 153-154.

78 Yusuf Rahman, ―The controversy around H.B. Jassin: a study of his al-Qur’anu’l-Karim Bacaan Mulia and al-Qur’an al-Karim Berwajah Puisi,‖ dalam Abdullah Saeed, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, (New York: Oxford University Press, 2005), h. 85-105.

79 R.A.A. Wiranatakoesoema, Mijn reis naar Mekka, Bandung: Vorkink, 1925. Lihat Kees van Dijk, ―Perjalanan Jemaah Haji Indonesia,‖ dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein (ed.), Indonesia dan Haji, terj. Soedarso Soekarno, (Jakarta: INIS, 1997), h. 119; Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam, Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji, Jilid I (1482-1890), (Jakarta: KPG-EFEO-Forum Jakarta Paris-Perpusnas RI, 2013), h. 157-168, 369-383.

18

ditulis dalam bahasa lokal-daerah terutama bahasa Sunda. Ia terlalu yakin dengan informasi Ajip Rosidi bahwa tidak dikenal kisah haji lain dalam bahasa Sunda, demikian juga Jawa dan Bugis. Ia juga hanya menginventarisasi catatan haji berbahasa Melayu-Indonesia sampai tahun 1964.80

Sejauh pengamatan penulis, terdapat beberapa publikasi cerita pengalaman haji, baik yang lengkap ataupun tidak, yang ditulis dalam bahasa Sunda. Cerita perjalanan haji orang Sunda seperti Haji Hasan Mustapa misalnya, termasuk yang tidak lengkap. Ia melaksanakan ibadah haji dan belajar di Mekah selama belasan tahun lalu menuangkan cerita pengalaman hajinya yang tersebar dalam sejumlah puisi guguritan.

Mustapa melakukan perjalanan haji sebanyak tiga kali (1860-1862, 1869-1873, 1880-1885), ketika kecil, remaja dan sesudah dewasa.81 Sebagaimana ratusan catatan haji orang Nusantara lainnya, Mustapa menuliskan pula pengalamannya tetapi dalam bentuk guguritan Sunda. Karyanya menunjukkan apa yang disebut sebagai sebagai perasaan ―internal‖ sekaligus proses sosial berupa keterlibatan emosi dan antusiasme keagamaan dalam menempuh perjalanan ke tempat yang penuh berkah.82 Pelukisannya tentang rute perjalanan haji dan berbagai kesulitan yang dialaminya menunjukkan gambaran sejarah sosial-keagamaan orang Nusantara dalam menunaikan ibadah haji di penghujung abad 19.

Mustapa menyebut serpihan ceritanya itu sebagai ―panyambung catur babad indit ka haji‖ (penyambung cerita babad naik haji) yang diceritakan olehnya sebagaimana dalam puisi guguritan Kinanti Jung Indung Turun Ngalayung: 30 Tah ieu pasambung tjatur

Djeung babad indit ka hadji Heug urang dibangbalikan Kinanti ngoraan deui Ajeuna komo ngagugudag Napsu kumaha pamanggih83

Inilah penyambung tutur Dan babad naik haji Baik kita ulangi Kinanti muda kembali Sekarang menyala-nyala Nafsu sejauh yang ditemukan

Mustapa berangkat ke Mekah sebanyak tiga kali. Perjalanan pertama ditempuh

saat ia berusia sekitar sembilan tahun. Saat itu, ia diajak ayahnya, R. Mas Sastramanggala, yang bekerja sebagai camat perkebunan Cikajang. Saat di Mekah ia kabarnya disunat. Perjalanan hajinya yang kedua ditempuh ketika sudah hidup mandiri. Tidak sebagaimana perjalanan haji pertama saat masih anak-anak, haji kedua kalinya ini sudah cukup dewasa. Wangsaatmaja menyebut saat itu usianya sekitar 17 tahun. Ia menyebutnya sudah macakal, bisa hidup mandiri dan berpisah dari orangtua.84 Ia sudah menikah dengan istri pertamanya, Nyimas Liut, dan memiliki anak satu. Ia tinggal di Mekah sekitar tiga sampai empat tahun atau sekitar tahun 1869-1873.85 Perjalanan ketiga kalinya ditempuh selama sekitar lima tahun.

80 Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam, Jilid I (1482-1890), h. 3. 81 Jajang Jahroni, ―The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),‖

h. 15. 82 Eric Tagliacozzo, The Longest Journey: Southeast Asians and the Pilgrimage to Mecca,

(New York: Oxford University Press, 2013), h. 8. 83 Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding Sunda Birahi, h. 61. 84 Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda, Kamus Umum Basa Sunda, Bandung:

Penerbit Tarate, 1985, h. 296. Matjakal: zelfstandig een beroep uitoefenen. S. Coolsma, Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek. (Leiden: A. W. Sijthoff‘s Uitgevers-Maatschappij, 1913), h. 372.

85 Jajang Jahroni, ―The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa,‖ h. 15.

19

Kemungkinan sekitar tahun 1879-1885 ketika ia berusia sekitar 27 tahun atau lebih. Perhatikan bagaimana Mustapa menceritakan kegetiran saat menghadapi bahaya di tengah lautan ketika kapal yang ditumpangi Mustapa melewati laut Ceylon dan Sokotra. Cerita semacam ini umumnya disampaikan oleh orang tua dahulu saat berhaji melalui jalur laut: 67 Panyana ari cilaka,

ditampanan diusuman méméh indit, sumawon di tengah laut, Sélong atawa Saketra, jedur lambak powék angin hujan ribut, kapareng kapal pal-palan, mapag angin sarta miring.

Kiranya akan celaka, Diperingatkan sebelum berangkat, Begitu di tengah laut, Ceylon atau Sokotra, Gelegar ombak, gelap, angin, hujan ribut, Kebetulan kapal ribuan kilometer, Menyambut angin serta miring.

68 Satriman mah suka-suka reujeung Mendir,

lunjang-linjing balawiri, nu ngaradu nu nyaratu, anggur nambahan layar, didésturan paréngkétan, agri wala pancer wala, jatri walacip palancip.

Satriman suka-suka dengan Mendir, Hilir-mudik, kesana kemari, Yang main judi, yang makan, Bukannya menambah layar, Dipasang destur, parengketan, Agri wala, pancer wala, Jatri walancip palancip.

69 Gawénjéng téwéngkét séwa,

anu hurip ngan pangarti jeung kamudi, pangaweruh dipatung, nyiar karahayuan, nu dipambrih ngalajur napsu nu hirup, lalayaran lalautan, ti basisir ka basisir.

Gawénjéng téwéngkét séwa, yang hidup ilmu dan kemudi, Pengetahuan dikumpulkan, Mencari keselamatan, Dikhawatirkan melayani nafsu hidup, Berlayar, melaut, Dari pesisir ke pesisir.

70 Sapanjang kapal balayar,

nu dipikir ngan haluan jeung kamudi, sieuneun sasab kasarung, loba nu katambias, lamun wéya ka anu dijugjug laku, bongkar jangkar labuh jangkar, ti basisir ka basisir.

Sepanjang kapal berlayar, Yang dipikir haluan dan kemudi, Takut tersesat, Banyak yang tersesat, Kalau main-main menempuh tujuan, Bongkar jakar, labuh jangkar, Dari pesisir ke pesisir.

71 Kapal congklang teuteuleuman,

lambak mancat ka kapal pating jungkiring, lauk hiyu ting salebrut, angin gegelebugan, ari aing di kapal bapa ngajentul, ngagerendeng babacaan, qulhu jeung ayat kursi. 86

Kapal melaju timbul tenggelam, Ombak tinggi naik ke kapal, Ikan hiu lalu-lalang, Angin besar menderu, Sedang aku di kapal, ayah pun diam, Berdampingan baca doa,

86 Haji Hasan Mustapa, Gendingan Dangding Sunda Birahi, h. 55.

20

Qulhu dan ayat Kursi.

Mustapa dalam guguritan tersebut menggambarkan situasi saat badai besar di Laut Ceylon atau Sokotra. Ia melihat gelombang ombak sangat tinggi disertai hujan badai yang hebat. Kapal layar yang ditumpanginya terombang-ambing, timbul-tenggelam hingga miring. Gelombang laut Samudera Hindia yang sangat tinggi itu naik memenuhi kapal. Angin menderu sangat kencang. Ikan hiu lalu-lalang menambah situasi penuh ketegangan. Mustapa dan ayahnya, Mas Sastramanggala, hanya bisa membaca doa. Ia membaca Al-Qur‘an seperti surah Al-Ikhlas dan ayat kursi (QS. Al-Baqarah/2: 255). Dua ayat yang umum dibaca dalam situasi terancam sebagai bentuk permohonan perlindungan kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa bacaan al-Qur‘an sudah dekat dengan kehidupan orang Sunda terutama dalam ritual siklus kehidupan.87

Pengalaman berada dalam situasi menakutkan di tengah laut semacam ini hampir mirip dengan Abdullah Munsyi (1796-1854) dalam kisah perjalanannya yang terkenal, saat ia menempuh rute Singapura-Mekah pada 1854:

―Gelombang besar bolak-balik dari kiri ke kanan, rasanya hendak masuk ke dalam perut ibu kembali, barang-barang berpelantingan, air bersemburan, tiada lagi di pikiran melainkan mati, kapal besar pun seakan hilang, rasanya gelombang lebih tinggi dari pucuk tiang kapal, terdengar tali kapal berdengung, layar pun pecah dan tali kapal putus…‖ demikian cerita Munsyi.88 Sweeney menilai cerita penuh ketegangan dalam perjalanan laut Abdullah

Munsyi sebagai bagian paling menarik dari sisi sastra. Ini benar-benar memberi kesan sebuah lukisan dan rekaman kata-kata sehingga kita seolah-olah dapat melihat serta mendengar apalagi merasa percikan air dari ombak yang begitu mengerikan.89 Kisah semacam ini juga menjadi bagian menarik dalam guguritan Mustapa.

Ketiga tema keislaman di atas mencerminkan pandangan kalangan menak kaum di Priangan tentang pentingnya guguritan sebagai wadah pengajaran Islam. Bagi mereka, guguritan menjadi wadah penting dalam pengungkapan pengalaman keagamaan Islam. Sebagai karya seni tembang yang penuh penghayatan batin, guguritan menjadi efektif ketika digunakan dalam pengungkapan spiritual Islam. Baginya, keluhuran spiritualitas Islam hanya bisa diapresiasi dengan nilai keluhuran bahasa dan sastra guguritan Sunda yang beredar di kalangan menak Sunda yang diharapkan bisa menyamai keluhurannya, dibanding bahasa prosa biasa. Di sini, terjadi keterkaitan erat antara bahasa luhur Sunda dengan ajaran Islam dan Al-Qur‘an dan status sosial menak di masyarakat. Terjadi dialog saling mencerahkan sekaligus ―penundukan‖ Islam ke dalam tradisi sastra Sunda. Kesimpulan

Jaringan Islam Nusantara yang terhubung dengan Haramayn telah merangsang berkembangnya tradisi intelektual Islam di sejumlah wilayah Nusantara. Di wilayah ini, tradisi Islam ditandai beragam kreatifitas lokal

87 Tentang peran bacaan Al-Qur‘an dalam adat istiadat orang Sunda, lihat Hadji Hasan

Moestapa, Over de Gewoonten en Gebruiken der Soendaneezen, uit het Soendaasch vertaald en van aanteekeningen voorzien door R.A. Kern, S-G Ravenhage, (Martinus Nijhoff, 1946), h. 38.

88 Henri Chambert-Loir, Naik Haji di Masa Silam, Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji, Jilid 1, h. 393-394.

89 Amin Sweeney, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 1, (Jakarta: KPG-EFEO, 2005), h. 269.

21

keagamaan ke arah pembentukan sebuah identitas yang disebut dengan Islam Nusantara. Sebuah kreatifitas keagamaan dengan mengartikulasikan beragam elemen lokal ke dalam khasanah budaya dan tradisi keilmuan Islam. Puisi guguritan Sunda atau dangding merupakan salah satu bentuk elemen lokal yang menghiasi tradisi keilmuan Islam di Jawa Barat. Ia tidak saja digunakan sebagai ekspresi pengalaman keagamaan, tetapi kedudukannya sebagai salah satu bentuk sastra Sunda dijadikan sarana pengembangan tradisi keilmuan Islam di tatar Sunda yang berpijak pada kreatifitas lokal.

Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme sastra, kajian ini menunjukkan bahwa penggunaan guguritan sebagai bagian dari eskpresi kreatifitas Islam Sunda memiliki kedudukan sangat penting dalam proses indigenisasi Islam di wilayah ini. Signifikansinya terlihat dalam berbagai literatur keislaman yang disusun dengan menggunakan guguritan sebagai wadahnya, di antaranya: tasawuf, terjemah dan tafsir Al-Qur‘an, dan catatan perjaanan haji. Ia menghadirkan nuansa khas tradisi keilmuan Islam lokal di Nusantara.

Guguritan sufistik menghasilkan kreatifitas sufistik Sunda yang menitikberatkan pada citra simbolis lokal. Terjemah dan tafsir Al-Qur‘an berbentuk guguritan mampu menghadirkan sebuah nuansa puitisasi terjemah dan tafsir sufistik yang jauh lebih kompleks dibanding terjemah puitis lainnya. Sedangkan guguritan haji mampu merekam perjalanan historis haji sekaligus mengekspresikan pengalaman spiritual ibadah haji secara individual. Elemen spiritual menjadi pengikat utama dari ketiga tema keislaman tersebut. Ini menunjukkan bahwa bahasa guguritan lebih dekat dengan eksrepsi pengalaman batin yang suci dan sakral dibanding bernuansa hiburan dan profan. Beragam tema keislaman tersebut juga menjadi bukti bahwa sastra keagamaan memiliki pengaruh besar dalam perkembangan bahasa dan sastra Nusantara. Ia juga menunjukkan bahwa artikulasi Islam lokal memliki peran besar dalam proses indigenisasi Islam dalam jaringan Islam Nusantara. Sebuah warisan keagamaan Islam Nusantara yang menjadi bagian dari kekayaan khasanah keagamaan Islam di dunia. Referensi Abou Sheishaa, Mohamed Ali Mohamed. ―Muslim Discourse in the Early

Twentienth Century on the Translation of the Qur‘an,‖ Journal of the Society for Qur’anic Studies, Number 1, Volume 1, October 2001.

Affandie, R.A. Dongeng Enteng ti Pasantren, Jakarta: Balai Pustaka, 1982. Ayatrohaedi, ―Bahasa Sunda di Daerah Cirebon,‖ Disertasi, Jakarta: Pascasarjana

Universitas Indonesia, 1978. Ayatrohaédi dan Munawar Holil, Kawih Paningkes; Alihaksara dan Terjemahan Naskah

K. 419 Khasanah Perpustakaan Nasional Jakarta, Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1984.

Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the seventeenth and eighteenth centuries, Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai‘i Press, 2004.

Baso, Ahmad. Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, Jakarta: Pustaka Afid, 2015.

Bowen, John R. ―Islamic Transformations: from Sufi Poetry to Gayo Ritual,‖ Rita Smith Kipp and Susan Rodgers, eds., Indonesian Religions in Transition, Tuscon: University of Arizona Press, 1987.

Bozbin, Hartmut. ―Translations of the Qur‘an,‖ dalam Jane Dammen McAuliffe, Encyclopaedia of the Qur’an, Vol. 3, Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001.

22

Burhanudin, Jajat. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan, 2012.

Catford, J.C. A Linguistic Theory of Translation, London: Oxford University Press, 1978.

Chambert-Loir, Henri. Naik Haji di Masa Silam, Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji, Jilid I (1482-1890), Jakarta: KPG-EFEO-Forum Jakarta Paris-Perpusnas RI, 2013.

Christomy, Tommy. Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Canberra: ANU E Press, 2008.

Coolsma, S. Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A. W. Sijthoff‘s Uitgevers-Maatschappij, 1913.

Danasasmita, Ma‘mur. Wacana Bahasa dan Sastra Sunda Lama, Bandung: STSI Press, 2001.

Danasasmita, Saleh. et.al., Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632): Transkripsi dan Terjemahan”. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Dep. Pendidikan Dan Kebudayaan, 1987.

Eagleton, Terry. Literary Theory: An Introduction. Minneapolis: Univ. of Minnesota, 1983.

Ekadjati, Edi S. ―Sejarah Sunda,‖ dalam Edi S. Ekadjati ed., Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Jakarta: Girimukti Pasaka, 1984.

_______. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan, Bandung: Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota Foundation, 1988.

Ekadjati, Edi S. & Undang A. Darsa, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan EFEO, 1999.

Fathurahman, Oman. Ithaf Al-Dhaki, Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara, Bandung: Mizan, 2012.

Foley, Kathy. ―The Origin of Kala: A Sundanese Wayang Golek Purwa Play by Abah Sunarya and Giri Harja I,‖ Asian Theatre Journal, Vol. 18, No.1, 2001: 1-58.

Gracia, Jorge J.E. A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology, State University of New York Press, 1995.

Gunawan, Aditia. Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka (suntingan dan terjemahan), Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2009.

Iskandarwassid dkk. Tinjauan Terhadap Transkripsi Naskah Wawacan di Jawa Barat, Bandung: Sundanologi, 1989.

Jahroni, Jajang. ―The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930),‖ The Master of Arts Degree in Islamic Studies, INIS Leiden University, 1999.

Johns, A.H. ―Sufism as a Category in Indonesian Literature and History,‖ Journal of Southeast Asian History, Vol. 2, No. 2, Indonesia: 10-23.

_______. "She desired him and he desired her" (Qur'an 12:24): 'Abd al-Ra'ûf‘s treatment of an episode of the Joseph story in Tarjumânal-Mustafid,‖ Archipel. Volume 57, 1999.

Kalsum, Wawacan Buana Wisesa Sebuah Karya Tasawuf: Edisi Teks dan Analisis Struktur, Bandung: Fakultas Sastra Unpad, 2008.

Knysh, Alexander. ―Ibrāhīm al-Kūrānī (d. 1101/1690), an Apologist for "waḥdat al-wujūd," Journal of the Royal Asiatic Society, Third Series, Vol. 5, No. 1. Apr., 1995.

Lubis, Nina H. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942 (Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.

Millie, Julian Patrick. Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java, Dissertation, Leiden University, 2006.

23

_______. ―ABC Radio to Air Sundanese Mustapa,‖ Wawancara radio di http://sundanesecorner.org/2011/12/06/ abc-radio-to-air-sundanese-mustapa. Diakses 24 Maret 2012.

Moriyama, Mikihiro. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, terj. Suryadi, Jakarta: KPG, 2005.

_______. Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java, Southeast Asian Studies, Vol. 34, No.1, June 1996.

_______. ―The Impact of Early Modern Textbooks on Sundanese Writing in the Nineteenth Century,‖ TAWARIKH: International Journal for Historical Studies, 2(1) 2010.

Mukherjee, Wendy. ―Moh. Sanoesi‘s Siti Rajati: A Nationalist Novel from West Java.‖ Jurnal Melayu, 2, 2006: 179-218.

Moestapa, Hadji Hasan. Over de Gewoonten en Gebruiken der Soendaneezen, uit het Soendaasch vertaald en van aanteekeningen voorzien door R.A. Kern, S-G Ravenhage, Martinus Nijhoff, 1946.

Mustapa, Haji Hasan. Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A, Bandung: Jajasan Kudjang, 1976.

_______. Bale Bandung, Bandung: Rahmat Cijulang, 1984. Noor, Acep Zamzam. ‗Sunda santai, Islam Santai.‘ Pikiran Rakyat, Sabtu 10 Pebruari

2007. Noorduyn, J. dan A. Teeuw, Tiga Pesona Sunda Kuna, terj. Hawe Setiawan, Jakarta:

Pustaka Jaya, 2009. Nurjamin, Asep. ―Cigawiran: Tembang Sunda dari Pesantren,‖ dalam Cik Hasan

Bisri, dkk., Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, Bandung: Kaki Langit, 2005.

Oyon OS, ―Islam Nyunda & Sunda Ngislam,‖ dalam Wahyu Wibisana dkk., Salumar Sastra, Bandung: Geger Sunten, 1997, cet. ke-2.

Panitia Kamus Lembaga Basa & Sastra Sunda, Kamus Umum Basa Sunda, Bandung: Penerbit Tarate, 1985.

Al-Qattan, Manna‘ Khalil. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Manthurat al-‗Asr al-Hadith, t.th.

Rahman, Yusuf. ―The controversy around H.B. Jassin: a study of his al-Qur’anu’l-Karim Bacaan Mulia and al-Qur’an al-Karim Berwajah Puisi,‖ dalam Abdullah Saeed, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, New York: Oxford University Press, 2005: 85-105.

Rasmussen, Anne K. Women, the Recited Qur’an and Islamic Music in Indonesia, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 2010.

Ricklefs, M. C. Mengislamkan Jawa, terj. FX. Dono Sunardi dan Satrio Wahono, Jakarta: Serambi, 2013.

Robinson, Douglas. Becoming A Translator: An Introduction to the Theory and Practice of Translation, London and New York, Routledge, 2002.

Roff, William R. Studies on Islam and Society in Southeast Asia, Singapore: NUS Press, 2009.

Rohmana, Jajang A. ―Sundanese Sufi Literature and Local Islamic Identity: A Contribution of Haji Hasan Mustapa‘s Dangding,‖ Al-Jamiah, Vol. 50, No. 2, 2012, hlm. 303-327.

_______. ―Makhtutat Kinanti [Tutur teu Kacatur Batur]: Tasawwuf al-‗Alam al-Sundawi ‗ind al-Hajj Hasan Mustafa (1852-1930),‖ Studia Islamika, Vol. 20, No. 2, 2013: 325-375.

24

_______. ―Kajian Al-Qur‘an di Tatar Sunda: Sebuah Penelusuran Awal,‖ Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 1, 2013.

_______. ―Poetic Translation of the Qur‘an and indonesian Islamic Intellectualism: A Contribution of R.A.A. Wiranatakoesoemah‘s Soerat Al-Baqarah,‖ Paper was presented at 14th Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), 21-24 November 2014, Grand Senyiur Hotel, Balikpapan, East Kalimantan.

_______. ―Ekspresi Lokalitas Tafsir Sufistik di Tatar Sunda: Qur’anul Adhimi Aji Wiwitan Kitab Suci Haji Hasan Mustapa (1852-1930),‖ International Conference on Qur‘anic Studies, PSQ, Ciputat 15-16 Februari 2014.

_______. Sejarah Tafsir Al-Qur’an di tatar Sunda, Bandung: Diktis Kemenag RI-Mujahid, 2014.

Rosidi, Ajip. ―My Experiences in Recording Pantun Sunda,‖ Indonesia, 16, 1973, hlm. 106-107; Iskandarwassid, ―Le pantun soundanais. Quelques aspects historiques et culturels,‖ Archipel. Volume 12, 1976: 121-146.

_______. ―Perihal Puisi Guguritan Sunda,‖ Pikiran Rakyat, Rabu 20 Juli 1983. _______. Ngalanglang Kasusastran Sunda, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,1983. _______. ―Ciri-ciri Manusia dan Kebudayaan Sunda,‖ dalam Edi S. Ekadjati ed.,

Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, Bandung: Girimukti Pasaka, 1984. _______. ―Menjejaki Karya-karya Haji Hasan Mustapa‖, dalam Ahmad Rifa‘i Hassan

ed., Warisan Intelektual Islam Indonesia Telaah atas Karya-Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1992.

_______ ed. Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000. _______. Manusia Sunda, Bandung: Kiblat Buku Utama, 2009. _______. Mencari Sosok Manusia Sunda, Jakarta: Pustaka Jaya, 2010. _______. Guguritan, Bandung: Kiblat, 2011. _______. Sawer jeung Pupujian, Bandung: Kiblat, 2011. Rusyana, Yus. Bagbagan Puisi Mantra Sunda, Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan

Folklore Sunda, 1970. _______. Bagbagan Puisi Pupujian Sunda, Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan

Folklore Sunda, 1971. _______. ―Naskah yang Dibelukkan Umumnya Berupa Wawacan,‖ Pikiran Rakyat, 1

Juni 1983. Rusyana, Yus. dan Ami Raksanegara, Puisi Guguritan Sunda, Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1980. Saeed, Abdullah. The Qur’an An Introduction, London and New York: Routledge,

2008. Sahal, Akhmad. dan Munawir Aziz ed., Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqih hingga

Faham Kebangsaan, Bandung: Mizan, 2015. Salmun, M.A. Kandaga Kasusastran Sunda, Bandung: Ganaco, 1958. Sumantri, Maman. Bahasa Sunda, Bahasa Daerah Terbesar Kedua di Indonesia, Bandung:

Lembaga Bahasa jeung Sastra Sunda, 1992/1993. Suryalaga, R. Hidayat. Nur Hidayah, Saritilawah Basa Sunda Al-Qur’an Winangun

Pupuh Juz 1, Bandung: Yayasan Nur Hidayah, 2000. Suryani N.S., Elis. ―Mantra Lama dalam Tradisi Naskah Lama: Antara Konvensi dan

Inovasi,‖ Disertasi, Program Pascasarjana FIB Universitas Padjadjaran Bandung, 2012.

Sweeney, Amin. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Jilid 1, Jakarta: KPG-EFEO, 2005.

Tagliacozzo, Eric. The Longest Journey: Southeast Asians and the Pilgrimage to Mecca, New York: Oxford University Press, 2013.

25

Van Bruinessen, Martin. ―Studies of Sufism and the Sufi Orders in Indonesia.‖ Die Welt des Islams. 38.2 (1998).

Van Dijk, Kees. ―Perjalanan Jemaah Haji Indonesia,‖ dalam Dick Douwes dan Nico Kaptein (ed.), Indonesia dan Haji, terj. Soedarso Soekarno, Jakarta: INIS, 1997.

Van Zanten, Willem. ―The poetry of tembang Sunda,‖ Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 140 (1984), no: 2/3, Leiden.

_______. Tembang Sunda, An ethnomucilogical study of the Cianjuran music in West Java. Thesis Leiden University, 1987.

Warnaen, Suwarsih. dkk. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Depdikbud Bandung, 1987.

Weintraub, Andrew N. Ngahudang Carita Nu Baheula: An Introduction of to The Stories of Pantun Sunda, Center for Southeast Asian Studies, University of Hawaii at Manoa, 1991.

_______. ―Tune, Text, and the Function of Lagu in Pantun Sunda, a Sundanese Oral Narrative Tradition,‖ Asian Music, Vol. 26, No. 1, Musical Narrative Traditions of Asia (Autumn, 1994 - Winter, 1995): 175-211.

Wiranatakoesoema, R.A.A. Soerat Al-Baqarah, Bandung: ―Poesaka,‖ t.th. Yahya, Iip Zulkifli. ―Saritilawah Nur Hidayah, Karya Besar Miskin Apresiasi,‖

Pikiran Rakyat, 20 Desember 2002. Yusqi, M. Ishom. Mengenal Konsep Islam Nusantara, Jakarta: Pustaka STAINU, 2015. Zimmer, Benjamin G. ―Al-‘Arabiyyah and Basa Sunda: Ideologies of Translation and

Interpretation among the Muslims of West Java‖, Studia Islamika, 7 (3): 2000. _______. ―Purisme Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia dalam Sejarah Kolonial dan

Pascakolonial,‖ Dangiang, Juli 2001.

26

Biodata Penulis Jajang A Rohmana, lahir di Subang, Jawa Barat, 9 Juni 1976. Ia adalah dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dpk STAI Miftahul Huda Subang. Pendidikan Doktor ditempuh di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Minatnya adalah dalam bidang Studi Al-Qur‘an dan Kesundaan. Pernah menjadi pembicara di sejumlah konferensi nasional dan internasional. Publikasi terakhirnya di antaranya: ―Sundanese Sufi Literature and Local Islamic Identity: A Contribution of Haji Hasan Mustapa‘s Dangding (1852-1930),‖ Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, Vol. 50, No. 2, 2013: 303-327; ―Kajian Al-Qur‘an di Tatar Sunda: Sebuah Penelusuran Awal,‖ Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 1, 2013; ―Makhtutat Kinanti [Tutur teu Kacatur Batur]: Tasawwuf al-‗Alam al-Sundawi ‗ind al-Hajj Hasan Mustafa (1852-1930),‖ Studia Islamika, Vol. 20, No. 2, 2013: 325-375; Sejarah Tafsir Al-Qur’an di tatar Sunda, Bandung: Diktis Kemenag RI-Mujahid, 2014; ―Al-Qur‘ān wa al-Isti‗mār: Radd al-Shaykh al-Ḥājj Ahmad Sanusi (1888-1950) ‗alá al-Isti‗mār min Khilāl Tafsīr Mal’ja’ al-Ṭālibīn, Studia Islamika, Vol. 22,

No. 2, 2015: 297-332; “A Sundanese Story of Hajj in the Colonial Period: Haji Hasan

Mustapa’s Dangding on the Pilgrimage to Mecca,” Heritage of Nusantara, Vol. 4,

No. 2, 2015: 273-312. Pelatihan

Shortcourse Gender, PSKW UI-Diktis Kemenag RI, Agustus-Desember 2010.

Shortcourse Filologi, Manassa-PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-Diktis Kemenag RI, Juli-September 2012.

Sekolah Pengelolaan Keragaman VII Jawa Barat yang diselenggarakan oleh CRCS UGM-HIVOS Belanda, 23 November-4 Desember 2015 di Kuningan Jawa Barat.

Penghargaan

Best Presented Paper pada acara Annual International Conference of Islamic Studies (AICIS) Manado, Sulawesi Selatan, 3-6 September 2015.

Peraih penghargaan Dosen Teladan Nasional Tahun 2015, Juara I dalam Bidang Islamic Studies, Jakarta, Jumat 11 Desember 2015.

Ia bisa dihubungi di alamat e-mail: [email protected]. Nomor kontak: 081320129296