SARGA edisi Nopember 2010.
-
Upload
sarga-untag-semarang -
Category
Documents
-
view
411 -
download
9
description
Transcript of SARGA edisi Nopember 2010.
i
SARGA Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik
Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG)
Semarang
Volume XVII Edisi II Bulan Nopember Tahun 2010 Fakultas Teknik UNTAG Semarang Penerbit : Lembaga Penerbitan Fakultas Teknik UNTAG SEMARANG ISSN : 0853-4748
Foto by, Tim KKL Porsibeta. Lokasi : Forbidden City - BeiJing
Pola Tata Ruang Desa Adat di Bali ~ Ir. Anwar, MT.
Bentuk “Atap Rumah” Pada Seni Bangunan Jawa~ Ir. Budi Adi Slamet.
Eksotika Arsitektur Vernakuler Cina Lasem ~ Ir. Djoko Dharmawan, M.T.
Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir ~ Ir. Soemarwanto, MT.
Memadukan Potensi Kota dan Sejarah Pada Malaka World Herritage ~ Ir. Eko Nursanty, MT.
Proses Perencanaan Desain Taman Kota dan Ruang Publik ~ Ir. Loekman Mohammadi, M.Sc.
Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair
dalam Kolom Isian ~ Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT.
Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum (ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan
Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau Berkatekin Tinggi ~
Ir. Mega Kasmiyatun, MT
Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif Bio-Etanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve ~
Ir. Retno Ambarwati SL,MT., Santa Monica, Yanastri Putri.D
MAJALAH ILMIAH TEKNIK – VOLUME XVII - EDISI 2 - BULAN NOPEMBER 2010
SARGA merupakan Jurnal Teknik yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945
(UNTAG) Semarang, sebagai media publikasi ilmiah. Sajian tulisan dalam Jurnal Teknik ini dimaksudkan agar
komunikasi antar pakar ataupun insane akademik selalu terjadi dan terakomodasi, sehingga akan terwujud
perkembangan IPTEK sesuai dengan tuntutan pembangunan.
Ketentuan penulisan naskah;
1. Tulisan merupakan naskah asli dan belum pernah dimuat atau diterbitkan pada media lain,
2. Naskah ditulis dengan tata bahasa ilmiah menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris,
3. Naskah diketik rapi 1,5 spasi dengan model huruf “Times New Roman 12” atau “Arial 11”,
4. Jumlah halaman naskah minimal 15 halaman termasuk INTISARI atau ABSTRAK sekitar 200 kata,
5. Naskah dilengkapi dengan biodata penulis, yang memuat nama, tempat dan tanggal lahir, pendidikan
tertinggi (S1, S2, dan S3) serta pengalaman pekerjaan,
6. Redaksi berhak untuk menolak atau tidak menebitkan naskah yang kurang memenuhi persyaratan sebagai
tulisan ilmiah,
7. Redaksi dapat menyesuaikan, mengedit penggunaan istilah atau bahasa sepanjang tidak mengubah isi
maupun pengertiannya tanpa memberitahu penulis. Redaksi akan menghubungi penulis jika dipandang
perlu mengubah isi naskah.
R e d a k s i :
Pelindung: Dekan Fakultas Teknik UNTAG Semarang; Pembina: Prof.DR. Sarsintorini, SH.
Mhum: Penanggungjawab: Pembantu Dekan I FT UNTAG Semarang; Pemimpin Umum: Ir. St.
Muryanto, MEng.Sc.Ph.D.
Dewan Redaksi: Ir. FM.Roemiyanto.MS; Ir. Darwati, MSi; Ir. Loekman Mohamadi. MSc, Eko
Nursanty. ST. MT. Distributor: Novi Hendriyanto, Supardi,SH
A l a m a t : Fakultas teknik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Duwur, Telp: 024-8320920 Fax: 024-8310939 Semarang.
i
Dari Redaksi
Pembangunan IPTEK diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan dan
penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan
bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan kualitas, harkat dan
martabat bangsa serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan dan
penerapan IPTEK harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas melalui
pendidikan dan pelatihan, penataan sistim kelembagaan serta penyediaan sarana dan
prasarana yang memadai.
Majalah Ilmiah “SARGA” merupakan salah satu sarana yang disediakan bagi para
sivitas akademika Fakultas Teknik UNTAG Semarang dalam upaya mengembangkan
IPTEK, sehingga Kampus sebagai wahana kehidupan masyarakat ilmiah akan selalu
tercipta.
Majalah Ilmiah ‘SARGA” terbit dengan menanmpilkan karya-karya ilmiah yang
diangkat dari berbagai fenomena, sehingga materi yang disajikan pada terbitan kali ini
cukup bermanfaat untuk dibaca dan dijadikan referensi.
1. Ir. Anwar, MT, “Pola Tata Ruang Desa Adat Di Bali.”
2. Ir. Budi Adi Slamet, “Bentuk “Atap Rumah “ Pada Seni Bangunan Jawa”
3. Ir Djoko Darmawan, MT; “Eksotika Arsitektur Vernalular Cina Lasem”.
4. Ir. Eko Nursanty, MT “Memadukan Potensi Kota Dan Sejarah Pada Malaka World
Herritage”.
5. Ir. Sumarwanto. MT. “Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir”.
6. Ir. Loekman Mohamadi. MSc. ”Proses Perencanaan Desain Taman Kota Dan
Ruang Publik”.
7. Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT. “Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien
Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair dalam Kolom Isian”.
8. Ir. Mega Kasmiyatun, MT, ”Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum
(ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau
Berkatekin Tinggi”.
9. Ir. Retno Ambarwati SL, MT.*, Santa Monica**, dan Yanastri Putri**D,
”Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif Bio-
Etanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve”.
ii
Daftar Isi
Dari Redaksi ............................................................................................................................................................... i
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI .......................................................................................... 1
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA ..................................................... 10
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM .............................................................. 18
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE .. 26
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR ............................................................................... 38
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK ............................. 44
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA
PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN............................................................. 67
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI
ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI ................................................................................................................................ 81
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI
ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE .. 99
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
1
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI Disampaikan Oleh : Ir. Anwar, MT.
ABSTRACT
Sejarah perkembangan peradaban manusia telah membuktikan bahwa sejak jaman dahulu manusia telah menyesuaikan diri terhadap alam lingkungannya , yaitu manusia hidup selaras dengan alam , termasuk didalamnya adalah aspek budaya dan tradisi.
Bentuk penyesuaian diri berupa respons manusia yang membentuk perilaku yang kemudian membentuk budaya. Menurut Koentjoroningrat (1989:186) menyatakan bahwa wujud kebudayaan terbagi menjadi 3 yaitu berbentuk gagasan, perilaku dan wujud fisik / artefak. Salah satu artefak berupa kawasan permukiman / desa adat, dengan pola tata ruang yang memiliki konsep / filosofi yang berakar pada keyakinan masyarakatnya, sehingga hubungan manusia dengan alam benar benar telah menyatu .
Kondisi demikian masih banyak dijumpai didaerah Bali , berupa kompleks permukiman tradisional yang sudah berdiri beberapa abad yang lalu, namun hingga saat ini masih digunakan untuk kehidupan bagi masyarakatnya dengan tanpa merubah pola maupun tata kehidupannya.
Salah satu desa adat tersebut adalah desa bayung Gede yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Latar Belakang Sejarah
Dalam istilah yang sangat
umum, Desa di Bali atas 2 type, yaitu
Baliage dan Bali Dataran. Kampung
Baliage lokasinya didaerah
pegunungan atau perbukitan,
sedangkan Bali Dataran berada
ditanah datar bagian selatan Bali.
Jenis Baliage adalah yang paling tua
dan kampung yang paling sedikit
jumlahnya dibandingkan dengan
kampung Bali Dataran. Baliage adalah
masyarakat bali asli yang pada jaman
dahulu adalah masyarakat pelarian
atau tidak mau bergabung dengan
Majapahit yang pada saat itu menjajah
tanah Bali. Sedangkan Bali dataran
adalah masyarakat asli bali yang
bergabung dengan majapahit pada
masa pendudukan Majapahit di Bali
saat itu, adat istiadat dan budaya yang
ada bercampur dengan kebudayaan
jawa. Desa Bayung Gede merupakan
salah satu dari type Baliage. Ciri fisik
yang paling menonjol dari Baliage
adalah ruang terbuka umum bersifat
linear, menuju arah kaja kelod.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
2
Desa Bayung Gede berdiri
sejak zaman pra sejarah, Asal mula
desa Bayung Gede berasal dari kata
Bayu atau Tenaga . Gede atau Besar.
Kemudian dapat diartikan dese
Bayung Gede yaitu Dengan kekuatan
yang besar bisa merombak hutan.
Pada mulanya lokasi desa Bayung
Gede ini adalah hutan yang lebat.
Kemudian orang orang asli dari
pegunungan yang selanjutnya
bersama sama menyusun kekuatan
untuk merombak hutan menjadi
sebuah perkampungan. Penduduk
yang mendiami perkampungan ini
kemudian sepakat menamai
perkampungan ini menjadi sebuah
desa yang dinamakan desa Bayung
Gede.
Desa Bayung Gede terletak
sekitar 30 kilo meter dari kota
Denpasar. Termasuk dalam
kecamatan Kintamani, dan
berkabupaten di Bangli. Bayung Gede
termasuk salah satu desa dimana
kondisi dan adat istiadatnya masih
sangat kuat mempertahankan tata nilai
tradisionalnya. Desa Bayung Gede
merupakan satu komplek perumahan
yang berdiri diatas tanah seluas 1034
ha.
Pada mulanya desa ini
sebagian kemudian setelah dirombak
banyak masyarakatnya. Dalam
perkembangannya Bayung Gede
mana yang kaya mana yang miskin
karena semua masyarakatnya semua
besar wilayahnya merupakan hutan
yang dimanfaatkan untuk perkebunan
oleh sulit untuk membedakan status
penduduk yang rata-rata sama.
Jumlah pekarangan yang ada di desa
ini mencapai 250 pekarangan rumah.
Dalam hal kepemilikan tanah, untuk
tanah desa di Bayung Gede tidak
boleh diperjualbelikan kecuali tanah
milik yang rata-rata letaknya berada
diluar desa baru boleh
diperjualbelikan karena tanah
pekarangan rumah merupakan milik
desa.
Pola Pekarangan Desa.
Pola pemukiman Desa Bayung
Gede terpusat pada poros jalan
utama desa yang berada di tengah
tengah desa, dimana fungsi jalan ini
terlihat jelas sebagai pengikat dari
lingkumgan desa. Jalan utama ini
berpotongan dengan jalan raya
menuju gunung Kintamani. Pada kiri
kanan jalan utama terdapat lorong-
lorong yang merupakan jalan
lingkungan pemukiman yang sedikit
melengkung. Pada sisi jalan ini
terdapat pintu pintu masuk menuju
halaman rumah penduduk.
Orientasi utama lingkungan
desa ini adalah puri Puseh dan balai
desa yang terletak di kanan dan kiri
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
3
jalan utama menuju perkampungan.
Dan tempat ini pula yang menjadi
pusat lingkungan seperti pada pusat
desa. Dibeberapa bagian lain dari
desa ini terdapat sarana seperti pada
pusat desa namun tidak seramai
pusat desa. Di Balai Desa ini pun
terdapat sebuah kantor kelurahan
yang menjadi ternpat pelayanan
kependudukan baai masyarakat
Bayung Gede.
Gambar 1.: Site pembagian daerah Desa Adat Bayung Gede Sumber : Data KKL „07
Kepala desa Bayung Gede
mempunyai sebutan Perbekel atau
kepala dusun yang mempunyai tugas
mengatur desa dengan peraturan adat
yang berlaku pada desa tradisional di
Bali.
Fungsi dari pusat lingkungan atau Bale
Banjar desa Bayung Gede ini adalah :
- Wadah komunikasi bagi
masyarakat
KETERANGAN 1 : 1. Pura Bale Agung 2. Pura Puseh 3. Pura Pasek Gel – gel 4. Pura Penyimpanan 5. Pura Panti Kayu Selem 6. Pura Ibu 7. Pura Tangkas 8. Pura Puseh Pingit 9. Pura Pelampuan 10. Pura Dalem
KETERANGAN 2 :
A. Kantor kepala desa B. Bale Masyarakat C. Kantor BPD D. Toilet Umum E. LPD F. Puskesmas G. SDN Bayung Gede H. SMU N I Kintamani I. Lapangan Sepak Bola J. Tegal Siri K. Karang Sisian L. Mata Air Suda Mala
KETERANGAN 3 :
i. Sentra Pengerancab
ii. Sentra Ari – ari
iii. Sentra Gede
iv. Sentra Anak – anak
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
4
- Tempat pertemuan antara
penduduk sekitar dengan
pendatang
- Sebagai pengikat seluruh warga
dalam kehidupan sehari-hari
maupun keagamaan.
- Sebagai tempat untuk melak sanakan
upacara adat yang dilaksanakan
setiap 6 bulan sekali.
Diatas tanah seluas 1024 ha dan
berpenduduk kurang lebih 2000 jiwa ini,
mempunyai sistem kepemilikan tanah
yang dibedakan menjadi 4 bagian yaitu
:
o Tanah Labe Pure : yaitu tanah
yang tidak dikenai pajak oleh
pemerintah dan digunakan untuk
bangunan Pure.
o Tanah Ayuhan Desa : yaitu tanah
yang tidak boleh dijual atau dibagi
bagi, karena tanah ini diberikan oleh
kelurahan kepada warganya yang
sudah menikah.
o Tanah milik : tanah milik pribadi
warga yang boleh dijual, dan
kebanyakan tanah ini terletak diluar
wilayah desa.
o Tanah Negara : adalah tanah milik
Negara yang dipakai untuk
penghijauan dan pengelolaanya
dilakukan oleh warga. Kebanyakan
tanah ini adalah tanah perkebunan
jeruk, selain itu kuburan merupakan
tanah milik Negara
o Pembagian lahan di desa Bayung
Gede berdasarkan pada Triangga
yaitu falsafah agama Hindu tentang
tiga tingkatan kehidupan.
Sedangkan pembagianya adalah :
1. Swah loka lahan untuk bangunan
pura
2. Bhur loka lahan untuk kuburan
3. Bwah loka lahan untuk massa
atau pemukiman
Sedangkan pembagian lahan
menurut penggunaanya dibedakan
menjadi 5 bagian sbb :
a. Area untuk pura,
b. 2.Area pemerintahan,
c. Fasilitas umum,
d. Pemukiman penduduk,
e. Area pekuburan.
Hal unik selain adat istiadat yang
masih kental didesa Bayung Gede
ini adalah adanya pekuburan ari-ari
yaitu suatu kuburan tempat
mengubur ari-ari tetapi hal yang
istimewa disini adalah bahwa ari –
ari tersebut tidak dikubur di tanah
melainkan digantung di pepohonan
yang sebelumnya ari- ari tersebut
diletakan di tempurung kelapa.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
5
Gambar . 2 Kuburan Ari – ari Sumber : Data KKL „ 04
Tata Letak Bangunan
Penataan tata letak bangunan
desa Bayung Gede ternyata tidak
sesuai dengan Nawasanga seperti
pada konsep rumah adat di Bali.
Perletakan bangunan terbagi dalam 5
bagian atau type bangunan yaitu :
1 . Bangunan Pura
2 . Bangunan Bale
3 . Bangunan Perumahan
4 . Bangunan Umum
5. Area Pekuburan
1.BANGUNAN PURA.
- Pura Bale Agung
Digunakan untuk memuja nenek
moyang yang mendirikan desa
tersebut.
- Pura Puseh
Digunakan untuk upacara adat yang
diadakan setiap 6 bulan sekali .
Juga untuk memuja nenek moyang
pendiri desa tersebut dan dewa
Wisnu. Pura ini lebih ditinggikan
dari kontur tanah sekitar dan
mempunyai 9 tingkat meru.
- Pura Pasek Gel - gel
Digunakan untuk memperingati
Catur Wangsit dan dapat
digunakan untuk 4 kasta
- Pura Penyimpanan
Mempunyai ruang penerima yang
Iuas dengan bangunan dikiri
kanannya.
- Pura Panti Kayu Selem
Dipakai untuk pacara Usaba
nggung.
- Pura Ibu
Terdapat sebuah pura Ibu yang
merupakan pura pribadi sesepuh desa
ini.
- Pura Tangkas
Digunakan untuk upacara adat
desa mengangkat kedewasaan anak.
- Pura Puseh Pingit
Digunakan untuk melakukan
upacara pingit terhadap penduduk
yang sedang menjalani masa
pingitan.
- Pura Pelampuan
Digunakan untuk upacara adat
desa dalam melakukan
persembahan bumi atas berkah
yang diberikan kepada
masyarakat desa.
- Pure Dalem
Pura yang ada ditiap tiap
rumah.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
6
2. BANGUNAN BALE.
- Bale Desa
Berorientasi kemuka dan
membentuk atap limasan ini
berfungsi sebagai tempat
berkumpulnya warga desa bila
sedang mengadakan rapat desa.
Juga sebagai tempat menerima
tamu dari luar desa untuk urusan
pemerintahan.
- Bale Agung
Fungsinya hampir sama dengan
bale desa namun bale agung ini
cenderung untuk kegiatan adat
atau keagamaan. Juga sebagai
tempat untuk upacara Sasih
Nasa atau upacara
penghormatan terhadap hasil
pananen.
3. BANGUNAN PERUMAHAN.
Bangunan perumahan terletak
memanjang kearah kangin kauh .
Sepanjang lorong sempit ini terletak
bangunan perumahan penduduk
yang tertata berjajar rapi. Namun
lorong jalan ini sedikit melengkung
sehingga ujung yang satu dengan
lainya tidak terlihat. Rumah yang
satu dengan yang lain saling
bertolak belakang menghadap
lorong didepanya .Arah selatan
desa lebih padat perumahannya.
4. BANGUNAN UMUM.
- Sekolah
Didesa Bayung Gede
terdapat dua bangunan
sekolahan yaitu SDN
Bayung Gede dan SMUN 1
Kintamani.
- Kantor Kelurahan
Sebuah bangunan
dengan model yang sederhana
terletak di ujung desa atau
pintu masuk desa. Kepala desa
atau lurah desa ini adalah I
Wayan Polos.Bangunan ini
merupakan pusat
pemerintahan dan pelayanan
terhadap masyarakat dalam
pengurusan surat surat atau
KTP.
- Puskesmas
Puskesmas merupakan tempat
pelayanan kesehatan dari
pemerintah bagi masyarakat
desa.
- Pemandian
Aliran air melalui pancuran
yang terletak di belakang desa
dan digunakan oleh
masyarakat sekitar. Dibedakan
menjadi 2 kelompok, yaitu
untuk pria dan wanita. Bagi
perumahan yang telah memiliki
kamar mandi sendiri
pemandian merupakan milik
pribadi, biasanya bangunan ini
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
7
telah tersentuh oleh
modernisasi.
- Kantor BPD
Bank Pemerintah Daerah
terdapat didesa ini sebagai
pelayanan perbankkan bagi
masyarakat desa.
- Toilet umum
Hanya terdapat satu toilet
umum yang letaknya ditengah
tengah desa. Sebagai toilet
bersama untuk semua warga.
5. AREA PEKUBURAN
- Setra Pangerancap
Yaitu area pekuburan bagi
masyarakat desa yang
meninggal secara tidak wajar.
Seperti bunuh diri, kecelakaan,
meninggal karena sakit dan
kematian kematian penduduk
yang bagi masyarakat sekitar
adalah belum saatnya.
- Setra Ari - ari
Adalah area pekuburan yang
paling unik ,karena yang
dikubur adalah Ari ari bayi
yang baru dilahirkan.
Keistimewaan dari pekuburan
ini adalah ari - ari ini tidak
dikuburkan melainkan di
bungkus dengan tempurung
kelapa yang selanjutnya
digantung pada dahan pohon
Bukak.
- Setra Ari – ari
Adalah area pekuburan bagi
masyarakat Bayung Gede yang
meninggal secara wajar dan
telah mencapai kedewasaan
sampai yang berusia lanjut dan
meninggal secara wajar dan
keadaan yang sehat.
- Setra Anak – anak
Area pekuburan ini khusus
bagi anak – anak yang
meninggal pada saat usianya
masih anak anak. Bisa juga
diartikan bahwa area
pekuburan ini adalah area
pekuburan bagi masyarakat
Bayung Gede yang belum
dewasa.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
8
STRUKTUR BANGUNAN.
Struktur pada umumnya terbagi atas
tiga bagian, yaitu kepala ( atap ) ,
badan ( dinding ), dan kaki (pondasi
dan lantai ).
1. BANGUNAN PURA.
- Atap : Atap untuk bangunan
pura dari bahan ijuk atau dari
genteng dan daun kelapa yang
dianam lalu di keringkan.
- Dinding : Sedangkan
untuk dinding menggunakan batu
bata , namun hanya sedikit.
Pemakaian batu bata lebih
banyak untuk pagar karena
bangunan pura kebanyakan
adalah bangunan bukaan yang
tidak memakai dinding.
- Lantai : Bahan untuk lantai
adalah batu alam atau batu kali
demikian pula dengan
pondasinya.
2. BANGUNAN PERUMAHAN.
- Atap : Untuk atap
perumahan memakai bahan
dari ijuk dan bambu yang telah
dikeringkan ataupun dari daun
kelapa yang telah dikeringkan
pula. Sementara untuk
bangunan yang telah tersentuh
modernisasi memakai genteng
dan asbes sebagai atapnya.
- Dinding : Untuk dinding bagi
rumah yang masih kuno
menggunakan bahan dari
bambu atau tembok dari tanah
liat. Sedangkan bangunan yang
telah tersentuh modernisasi
menggunakan bahan dari batu
bata atau papan kayu
- Lantai : Sedangkan untuk
pondasi menggunakan bahan
dari batu kali yang diikat
dengan tanah liat. Lantai pada
umumnya masih dari tanah,
kecuali untuk bangunan bale
lantai dari papan kayu. Bagi
rumah modern menggunakan
tegel atau keramik rumah
berdasarkan konsep Kosale
Kosali dan Aweg - aweg atau
aturan setempat.
POLA PERUMAHAN
1. SKALA
Secara keseluruhan lingkungan
pedesaan cenderung memiliki skala
lingkungan yang kecil, intim dan
menyesuaikan skala tiap-tiap
penghuninya. Lorong-lorong yang
sempit, kusen pintu yang rendah
menegaskan kesan akrab antara
manusia dengan tempat tinggalnya.
2. PROPORSI.
Antar bangunan yang satu
dengan yang lain terdapat
kesatuan yang tidak salaing
menonjol, demikian pula dengan
pemukiman dan bangunan pura.
Bale dan bangunan umum
terdapat kesatuan yang erat.
3. KESAN TAMPAK.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI
9
Penggunaan bahan bahan alami
menunjukan keserasian
bangunan dengan alam
sekitarnya. Bentuk bentuk
bangunan pada umumnya
sangat sederhana dengan
bentuk dasar segi empat.
POLA PEKARANGAN.
1.PEMBAGIAN HALAMAN.
Pembagian halaman dalam satu
pekarangan rumah mempunyai nilai
sendiri sendiri yaitu :
a. Timur laut (pojok) Untuk
pamerajan. Sanggah atau
sekelompok tempat pemujaan
bagi keluarga.
b. Timur untuk bale kangin atau
tempat persyratan bila ada yang
meninggal disimpan terlebih
dahulu dibale kangin hingga
menunggu datangnya hari baik
untuk upacara pemakaman
selanjutnya.
c. Selatan untuk dapur atau tempat
lain seperti gudang peralatan
dsb. Dapur juga dipakai untuk
upacara adat seperti melahirkan,
pernikahan, dan upacara
sebelum ngaben.
d. Utara untuk bale dafe atau
umah meten. Yaitu tempat untuk
pemersatuan bila ada upacara
adat.
e. Barat untuk bale daun atau
tempat interaksi sosial seperti
menerima tamu tempat istirahat.
f. Barat daya untuk bangunan
bebas.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
10
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI
BANGUNAN JAWA Oleh: Ir. Budiadi Slamet
ABSTRAKSI
Bentuk rumah dengan puncak yang rata atau datar banyak sekali
macamnya. Misalnya : bentuk joglo, bentuk limasan, bentuk kampung,
bentuk panggang pe dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk atap yang
didasarkan pada puncak yang lancip atau puncak yang rata juga
menggambarkan dunianya orang Jawa. Disini yakni dunia batiniah
dan dunia badaniah yang dilambangkan pada bentuk atap
bangunan.Maka dari itu dengan melihat bentuk atap, kita bisa
menyebutkan apa guna dari masing-masing bangunan tersebut.
Bentuk bangunan di tanah
jawa, bila diteliti, jelas sekali bedanya
antara bangunan yang termasuk
Agung dan Suci dengan bangunan
yang biasa di pakai untuk kebutuhan
sehari-hari.
Bagi bangunan yang termasuk
Agung dan Suci bentuk atapnya
mempunyai bentuk yang puncaknya
lancip, disebut bentuk atap “ Tajug “.
Sedangkan bangunan yang biasa
untuk kebutuhan sehari-hari,
misalnya : rumah, gapura beratap,
lumbung ( gudang padi ), kandang
hewan dan sebagainya. Atapnya
mempunyai bentuk puncak yang
datar atau rata.
Bentuk rumah dengan puncak
yang rata atau datar banyak sekali
macamnya. Misalnya : bentuk joglo,
bentuk limasan, bentuk kampung,
bentuk panggang pe dan lain-lainnya.
Bentuk-bentuk atap yang
didasarkan pada puncak yang lancip
atau puncak yang rata juga
menggambarkan dunianya orang
Jawa. Disini yakni dunia batiniah
dan dunia badaniah yang
dilambangkan pada bentuk atap
bangunan.Maka dari itu dengan
melihat bentuk atap, kita bisa
menyebutkan apa guna dari masing-
masing bangunan tersebut.
Bentuk “ T A J U G “.
Bangunan dengan bentuk tajug
mempunyai sifat yang khusus.
Karena bangunan dengan bentuk
tajug digunakan untuk bangunan
yang kegiatan di dalamnya
berhubungan dengan Yang Maha
Agung dalam hal ini Tuhan. Atau
siapa saja yang telah meninggal,
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
11
yang dianggap tokoh / pemimpin
masyarakat.
Oleh karena itu wujud dari
bentuk bangunan diusahakan
supaya dapat mempunyai sifat
yang agung dan suci,
demikian pula bahan
bangunannya tidak boleh
sembarangan. Bentuk
atapnya menjulang keatas /
seperti kerucut, dan tidak
boleh digunakan untuk
sembarang bangunan. Dan
juga tata rakitnya / tata letak
harus sesuai.
Banyak contoh yang bisa di
ketengahkan di sini misalnya :
bentuk atap dari masjid
Demak, masjid Kudus dan
masjid-masjid lainnya ataupun
langgar.
Demikian pula bentuk atap di
makam Bung Karno dan Bung
Hatta, tempat-tempat
pemujaan di Bali. ( lihat
gambar. 1. bentuk atap tajug
).
Kalau bentuk tajug di
belah menjadi dua sama
besar, maka perkembangan
bentuknya berubah seperti
gapura yang disebut : “ Candi
Bentar “. ( lihat gambar. 2.
bentuk candi / gapura bentar ).
Dengan sendirinya
gapura ini pada umumnya
tidak dibangun dari kayu, akan
tetapi dari batu atau dari batu
bata. Mengingat letaknya di
luar dan tidak beratap
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
12
sehingga dicarikan bahan
yang tahan cuaca. Di sini
candi bentar mewujudkan
tanda adanya kompleks
bangunan suci yang ada di
belakangnya.
Bentuk “ J O G L O “.
Bentuk atap joglo
merupakan perkembangan
dari bentuk atap tajug yang di
belah dua sama besar, dan
kemudian diantara ke dua
belah diberi bentuk atap lain
yaitu bentuk atap rumah
kampung yang tidak begitu
panjang. ( lihat gambar. 3.
bentuk atap joglo ).
Sedang kemiringan
atap rumah kampung harus
sama dengan kemiringan atap
bentuk tajug yang di belah dua
sama besar. Dari gabungan
antara bentuk tajug yang di
belah dua sama besar dengan
bentuk kampung di tengahnya,
terbentuklah apa yang
dinamakan atap joglo. Bentuk
kampung disini adalah bentuk
rumah yang kebanyakan
dihuni oleh masyarakat
ekonomi rendah.
Bentuk joglo ini
kedudukannya di bawah
bentuk tajug dan masih
termasuk bentuk atap yang
mempunyai sifat agung.
Terbawa dari sifat yang agung
itu maka bentuk joglo tidak
bisa di terapkan pada
sembarang bangunan. Oleh
karena itu kebanyakan hanya
untuk ruangan pendopo atau
bangsal agung di keraton.
Bentuk “ L I M A S A N ”.
Bentuk limasan ini
merupakan perkembangan
dari bentuk joglo, dimana
bentuk atap kampung yang
terletak diantara bentuk tajug
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
13
yang dibelah dua sama besar
di perpanjang kurang lebih 3-4
kali dari panjang atap
kampung pada bentuk joglo.
Dari gabungan antara
bentuk tajug yang dibelah dua
sama besar dengan bentuk
kampung yang puncaknya
diperpanjang tadi akan
terbentuk bangunan baru yang
disebut bentuk bangunan
limasan.
Bangunan limasan ini
tingginya tidak melebihi tinggi
atap joglo. Bila melihat dari
panjangnya puncak dari
bentuk limasan, maka
sifatyang suci dan agung
sudah banyak berkurang.
Bahkan yang timbul
mempunyai sifat yang ayom
dan ayem. ( lihat gambar. 4.
bentuk atap limasan ).
Bentuk atap limasan ini
banyak ditemui / di jumpai di
rumah-rumah jawa, gunaya
untuk atap / ngayomi bagian
dalam dari suatu rumah.
Misalnya : ruang keluarga,
kamar-kamar dan sebagainya.
Atau lebih dikenal di
masyarakat Jawa dengan
istilah : ruang keluarga (
ndalem ), kamar-kamar yaitu :
ada sentong kiwa, sentong
tengah, sentong tengen.
Dilihat dari bentuk,
bangunan limasan ini
merupakan bangunan yang
lebih mahal dari bentuk
kampung. Juga bentuk atap
limasan ini secara tidak
langsung dapat dijadikan
tanda bahwa yang mempunyai
rumah termasuk orang yang
mampu / kuat sosial
ekonominya.
.
Bentuk “ K A M P U N G A N “.
Yang disebut bentuk
atap Kampung yaitu : bentuk
atap seperti yang diletakkan di
tenga-tengah belahan dari
bentuk atap tajug. ( lihat
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
14
gambar. 5. bentuk atap
kampung ).
Kegunaan bentuk
kampung ini tidak berbeda
dengan bentuk limasan, yaitu
untuk kegiatan badaniah.
Bentuk kampung ini tidak
mempunyai sifat yang agung
dan suci seperti bentuk-bentuk
sebelumnya.
Bentuk “ P A N G G A N G P
E “.
Bentuk yang terakhir yaitu :
bentuk panggang pe. Dimana
bentuknya hanya berujud
separo dari bentuk kampung.
( lihat gambar. 6. bentuk
atap panggang pe ).
Bentuk-bentuk ini waktu
dulu tidak biasa dipakai
sebagai atap rumah. Karena
bentuk panggang pe ini hanya
sebagai atap bangunan yang
tidak mempunyai dinding
misalnya : gubug di sawah,
kandang hewan dan
sebagainya. Karena bentuk
ini bisa digunakan untuk
menambah ruangan atau
emperan, maka sekarang
banyak rumah mempunyai
bentuk panggang pe.
PRALAMBANGNYA “ BENTUK
ATAP “.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
15
Membicarakan masalah
lambang bentuk, yang bisa
mewujudkan manunggalnya
kehidupan rohani dan jasmani
atau batiniah dan badaniah
yang serba selaras, yaitu
bentuk joglo dan limasan.
Pada bangunan bentuk
joglo, bisa dilihat kalau yang
ayomi itu lebih banyak yang
bersifat hidup batiniah, tanpa
meninggalkan sifat hidup
badaniah.
Adanya pertemuan,
rembug desa, perayaan dan
pegelaran-pegelaran yang
diadakan di pendopo berbentuk
joglo, memang sudah sesuai.
Karena semua tadi bersifat olah
rasa, olah keindahan, dan olah
kebudayaan.
Rembug desa itu
merupakan usaha menciptakan
hidup bermasyarakat, walaupun
ujud kegiatannya bersifat
badaniah, tetapi hasilnya
menuju kepada ketentraman
batiniah. Selain itu kegiatan
badaniah yang diadakan di
pendopo,mempunyai : suasana
yang agung, suasana yang
selaras antara hidup batiniah
dan badaniah.
Suasana yang demikian
memang dikehendaki oleh
mempunyai rumah karena disini
mereka tidak hanya bertindak
sebagai Ayah tetapi juga
sebagai Pemimpin yang dapat
memberi pengayoman dan
ketentraman pada para tamu.
Pada bangunan limasan
sudah bisa ditebak bahwa di
sini hiidup badaniah yang lebih
besar pengaruhnya. Adanya
sentong ( kamar ) untuk dan
juga ndalem atau ruang
keluarga yang di gunakan untuk
tempat pertemuan keluarga
setiap harinya. Semua itu tadi
mewujudkan dari perilaku hidup
badaniah, walaupun hidup
bataniahnya tidak di tinggalkan
sama sekali. Hal ini bisa dilihat
dari adanya sentong tengah (
kamar tengah ), ysng disebut
juga krobongan yang di anggap
di hormati, dimana biasanya
tempat meletakkan hasil bumi /
hasil pertanian.
Bentuk limasan tidak
menonjol sekali sifatnya yang
suci dan agung, tetapi
keselarasan hidup badaniah
dan batiniah masih tetap
nampak atau terwujud di tempat
yang di ayominya. Tidak
menonjolnya sifat agung dan
suci, karena di sini gerak hidup
yang bersifat resmi sudah tidak
nampak lagi, hanya ada tata
krama / susila antara Ayah, Ibu
dan Putra-putranya.
Suasana yang intim dan
akrab di bagian badaniah lebih
terasa. Sifat yang ayom dan
tenteram itu semua di
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
16
lambangkan dengan puncak
atap bangunan yang rata dan
lebih panjang dari puncak atap
bentuk joglo.
Untuk bentuk Kampung
dan Panggang Pe, memang
tidak banyak yang dapat di
ketengahkan di sini. Kecuali
pada bentuk Panggang Pe
melambangkan hidup badaniah,
dalam hal ini bisa kita lihat dan
banyak di lingkungan kita.
Sedang bentuk kampung
mengandung pra lambang
hidup badaniah yang bersifat
pribadi keluarga.
Semua yang
dilambangkan di atas tadi
mempunyai tingkatan sendiri-
sendiri, seperti ada bentuk tajug
yang paling suci dan agung,
bentuk limasan yang lebih
melambangkan hidup batiniah
dari pada badaniah. Tingkatan
ini juga di lambangkan dengan
wujud bentuk atap yang di olah
dari bentuk poko tadi. ( Tajug,
Joglo, Limasan, Kampung, dan
Panggang Pe ).
Kesimpulannya :
1. Pada jaman dahulu para
leluhur kita sudah mengenal
bentuk bangunan dan
menciptakan / membuat
bentuk atap untuk suatu
bangunan. Semua sudah
mengandung makna /
faedah, untuk apa bangunan
itu di buat. Atau dalam
pengertian lain “ Bentuk
mengikuti fungsi “.
2. Adanya perkembangan
bentuk atap yang bermacam
dan mengandung lambang,
terjadilah fungsi / guna dari
bangunan.
3. Dalam hal membangun
rumah para pendahulu kita /
leluhur sudah mempunyai
pikiran / angan-angan
tentang : cipta, rasa, dan
keras.
4. Masing-masing bentuk
melambangkan :
Tajug
Melambangkan hidup
batiniah, bentuknya
mengarah ke atas seperti
kerucut menuju kepada
Sang Pencipta Alam
Semesta ( Tuhan
Yang Maha Kuasa ).
Joglo
Banyak melambangkan
kehidupan yang bersifat
batiniah tanpa
meninggalkan kehidupan
yang bersifat badaniah.
Limasan
Melambangkan
kehidupan badaniah
lebih besar pengaruhnya,
walaupun hidup
batiniahnya tidak
ditinggalkan sama sekali.
Kampung
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA
17
Melambangkan hidup
badaniah yang bersifat
pribadi keluarga.
Panggang Pe
Juga melambangkan
hidup badaniah.
Kepustakaan :
1. Arya Ronald, Manusia dan
Rumah Jawa
2. Galih Widjil Pangarsa,
Merah Putih Arsitektur
Nusantara
3. Josef Prijotomo, Arsitektur
Jawa
4. Suchianto Aly : Ngawangun
Ki Nusantara
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
18
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR
CINA LASEM Oleh : Ir Djoko Darmawan, MT
Abstrak
Daerah pantai Utara Jawa Tengah sejak abad VIII telah berperan sebagai bandar perdagangan internasional, oleh karena itu dengan terbentuknya permukiman Pecinan di daerah pesisir utara pulau Jawa maka terjadi pula akulturasi budaya Cina dengan budaya setempat. Demikian pula dengan perkembangan arsitekturnya, yang pada awalnya arsitektur rumah tinggal masyarakat pesisir utara hanya didominasi dengan arsitektur tradisional Jawa, maka dengan terbentuknya permukiman Pecinan tersebut ternyata juga memberi warna pada arsitektur rumah tinggalnya.
Kecamatan Lasem adalah salah satu kota tua di pesisir utara pulau Jawa yang dikunjungi bangsa cina pada awal kedatangannya hal ini dapat diketahui dari sejarah kedatangan maupun sejarah pemberontakan masyarakat cina di mana Lasem merupakan benteng pertahanan terakhir dari masyarakat Cina sebelum ditumpas Kumpeni pada tahun 1743. Ramainya perdagangan di Lasem dengan pelabuhan dagangnya pada jaman Kolonial tidak terlepas dari peran masyarakat Cina yang sudah cukup lama bermukim di Lasem.
Pendahuluan
Lasem merupakan salah satu kota
kecamatan di Kabupaten Rembang
Jawa Tengah yang terletak antara
kota Rembang dan kota Tuban.
Menurut data penelitian Lasem
adalah salah satu kota yang
memiliki potensi wisata pecinan
selain Semarang, Rembang,
Welahan, Tegal, Pekalongan,
Cirebon dan Tuban. Kecamatan
Lasem terletak di jalur antara kota
Tuban dan kota Rembang, dengan
batas-batas sebagai berikut :
Sebelah barat : Kecamatan
Rembang
Sebelah selatan : Kecamatan Pancur
Sebelah timur : Kecamatan Sluke
Sebelah utara : Laut Jawa
Keadaan geografi Kecamatan
Lasem terdiri atas dataran tinggi,
dataran rendah dan wilayah pantai.
Di daerah dataran tinggi dengan
wilayah hutan dan perkebunan,
dataran rendah digunakan untuk
persawahan dan tegalan sedangkan
wilayah pantai berupa tambak dan
kolam.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
19
Memasuki kota Lasem kita akan
disambut oleh bangunan-bangunan
tua yang tersembunyi di balik tembok
tinggi. Bentuk atap khas arsitektur
Cina terlihat diantara ketinggian
dinding pagar bumi tersebut. Memang
secara historis Lasem merupakan
kota tua yang dikunjungi bangsa Cina
pada awal kedatangannya dan
lamanya orang Cina bermukim di
Lasem. Jadi tidak heran jika di Lasem
masih banyak terdapat bangunan
dengan arsitektur tradisional Cina.
Gerbang Rumah Tinggal Tradisinal Cina.
Sumber : Data lapangan
Keindahan arsitektur vernakular Cina
terlihat pada desain atap yang
melengkung dengan ujung seperti
ekor walet. Keindahan lain adalah
bentuk struktur kayu yang diekspose
serta simbolisasi yang tersirat pada
ukiran di bangunan ibadahnya.
Cantik, klasik dan sederhana serta
terjaga dari coreng moreng make-up
modern bak gadis desa yang lugu,
itulah ungkapan untuk Lasem.
Sayang pesona klasik ini sekarang
sudah mulai memudar karena adanya
peristiwa G30SPKI dan penerapan
Inpres no 14 tahun 1967. Pada era
reformasi Presiden Abdurahman
Wahid mencabut Inpres no 14 tahun
1967, walaupun demikian Le Petit
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
20
Chinois (Cina kecil) ini belum bisa
memancarkan pesonanya seperti
dahulu kala.
Bangunan Arsitektur Vernakular Cina
Bangunan tradisional Cina yang ada
di Lasem yaitu rumah tinggal,
kelenteng, gerbang/Pailous dan
makam. Seperti halnya di Semarang,
Lasem mempunyai 3 buah kelenteng
yaitu Cu An Kiong, Po An Bio dan Gie
Yong Bio dimana 1 diantaranya
mempunyai usia lebih tua
dibandingkan kelenteng yang ada di
Semarang dan sebuah kelenteng
simbol persahabatan serta
nasionalisme dalam melawan
penjajah Belanda.
Kelenteng Cu An kiong yang terletak
di jalan Dasun no 19, klenteng ini
sudah ada sejak abad 16. Selain
kelenteng tertua di Indonesia
kelenteng ini mempunyai kekayaan
ukiran dan dinilai terindah di
Indonesia.
Kelenteng Cu An Kiong. Sumber : Data lapangan
Sedangkan kelenteng Po An Bio
yang terletak di jalan Karangturi
VII/15 Lasem berdiri tahun 1740
(kelenteng tertua Semarang, Sioe
Hok Bio th 1753).
Kelenteng Po An Bio. Sumber : Data lapangan
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
21
Kelenteng Gie Yong Bio adalah
kelenteng termuda di Lasem yang
terletak di jalan Babagan no 7 Lasem
yaitu berdiri tahun 1780. Kendati
demikian kelenteng ini dibangun
untuk menghormati para pahlawan
Lasem dan merupakan simbol
persahabatan antara raden Margono,
Oey Ing Kiat dan Tan kee Wie yang
bahu membahu melawan penjajah
Belanda.
Kelenteng Gie Yong Bio. Sumber : Data lapangan
Sementara itu selain kelenteng
bangunan rumah tinggal Cina di
Lasem mempunyai ciri khas yang
berbeda dengan bangunan vernakular
Cina dari asalnya. Menurut Ronald G.
Knapp pada buku China’s Vernacular
Architecture, bahwa bentuk dasar
rumah tinggal arsitektur Cina dapat
dibagi menjadi 5 tipe. Ke 5 tipe itu
adalah bentuk Box, bentuk I horisontal,
bentuk L, bentuk U terbalik dan bentuk
I vertikal.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
22
Bentuk denah I horisontal Sumber Ronald G. Knapp, 1989
Bentuk denah Box Sumber Ronald G. Knapp, 1989
Bentuk denah L Sumber Ronald G. Knapp, 1989
Bentuk denah I vertikal.
Sumber Fletcher Sir, Banister,
Knt,1954
Bentuk denah U terbalik Sumber Ronald G. Knapp, 1989
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
23
Dari kelima bentuk tersebut bentuk
arsitektur rumah tinggal Cina di
Lasem adalah menyerupai bentuk I
vertikal. Akan tetapi diduga adanya
akulturasi budaya antara rumah
tinggal masyarakat Cina dengan
masyarakat Jawa pesisiran. Hal ini
terlihat dengan adanya pendopo dan
geladak yang tidak ada pada kelima
tipe rumah arsitektur tradisional Cina.
Maka dari itu pecinan di Indonesia
mempunyai nilai yang berbeda
dengan China Town di negara lain.
Makanan dan Kerajinan Khas Lasem
Untuk kuliner, Lasem mempunyai
sajian khas lontong tuyuhan yaitu
lontong berbentuk segitiga yang
disajikan dengan kuah opor dan
potongan ayam kampung, selain itu
ada mangut khas lasem, sayur
merica, kue kedumbeg atau sate
serepeh yang pasti akan menggugah
selera para penikmatnya.
Sementara itu kerajinan batik tulis
Lasem juga tidak kalah uniknya,
dengan warna yang dominan merah
yang konon tidak bisa ditiru di daerah
lain batik ini adalah sinkronisasi 2
unsur budaya Cina dan Jawa. Oleh
karena itu tata cara pengerjaan batik
Lasem dianggap lebih rumit
dibandingkan batik-batik dari Jogja,
Solo maupun Pekalongan. Sigit
Witjaksono pemilik batik Sekar
Kencono sekaligus salah satu
sesepuh masyarakat Tiong Hoa
Lasem membuat terobosan baru
dengan membubuhi kata-kata mutiara
dengan aksara Tiong Hoa yang
disambut baik oleh pasar. Kata-kata
mutiara yang berarti harapan baik
seperti yang tertulis pada pintu altar
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
24
rumah tinggal ataupun pada
kelenteng yang artinya antara lain Di
empat penjuru samudra, semua
adalah saudara , Negara kuat rakyat
tenteram, Nama setinggi gunung
rejeki seluas samudra dan lain lain.
Membatik.
Sumber : Data lapangan
Penduduk
Masyarakat Cina di Lasem
kebanyakan bermukim di daerah
pusat pemerintahan dan
perdagangan seperti di desa
Gedungmulyo, Dasun, Dorokandang,
Sodetan, Karangturi dan Ngemplak.
Dalam kehidupan beragama, di
Kecamatan Lasem terdapat penganut
agama resmi yang berbeda-beda,
yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen
Katolik, Hindu dan Budha. Disamping
itu juga terdapat penganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa atau Tri Dharma.
Untuk masyarakat Cina selain
beragama Protestan maupun Katolik
mereka beragama Budha dan aliran
kepercayaan “Sam Kouw” yang lebih
dikenal dengan nama Tri Dharma.
Pada masyarakat Cina ini ada tiga
kepercayaan pokok yang tidak lepas
dari filsafat Cina sendiri yaitu
Konfusianisme, Taoisme dan
Budhisme. Ketiga ajaran ini saling
berkaitan erat dan sulit dipisahkan.
Upaya Pemerintah Setempat
Dalam upaya mencegah perubahan
fisik bangunan karena perubahan
fungsi, salah satu usahanya dengan
memberikan pengertian tentang
konservasi bangunan kuno. Langkah
ini dapat disosialisasikan pada
masyarakat Lasem atau instansi
pemerintah pada Kabupaten
Rembang khususnya Kecamatan
Lasem.
Dengan adanya otonomi daerah dan
digalakkannya sektor wisata sebagai
PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka
kota Lasem mempunyai potensi
pariwisata yang cukup unik yaitu
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM
25
wisata religi atau wisata arsitektur.
Selain itu kawasan ini bisa dijadikan
tempat studi penelitian tentang
sejarah, arsitektur dan budaya. .
Yang menjadi pertanyaan bagaimana
sikap dan langkah apa yang telah
diambil Pemerintah Daerah setempat
dan Dinas Pariwisata Jawa Tengah
mengenai potensi wisata pecinan di
Lasem tersebut? Kendala apa saja
yang menyebabkan wisata di Lasem
belum bisa maju? Apakah mungkin
kelompok masyarakat Tiong Hoa
yang telah berhasil dapat sebagai
media untuk mempublikasikan potensi
dan prospek wisata pecinan yang
eksotis ini kekalangan investor?
Semoga Siao Chung Kuo (tiongkok
kecil) di Jawa Tengah ini dapat
kembali bersinar seperti dahulu kala.
Daftar Pustaka
Amen Budiman 1978, Semarang
Riwayatmu Dulu, Semarang,
Tunjungsari.
Bukkyo Dendo Kyokai, 1984, Ajaran
Sang Budha, dicetak Kosaido
Printing Co. Ltd. Tokyo, Japan.
Eko Budihardjo,1997, Arsitektur
Sebagai Warisan Budaya,
Penerbit Djambatan, Jakarta.
Fletcher Sir, Banister, Knt,1954, A
History of Architecture,
London, B.T. Batsford LTD
Fung Yu Lan, 1990 Sejarah Ringkas
Filsafat Cina, Liberty,
Yogyakarta
Liem Thian joe, 1933, Riwayat
Semarang, Boekhandel Ho Kim
yoe.
Penjelasan UURI No.4 Th 1992 .
Ronald G. Knapp, 1989, China’s
Vernacular Architecture,
University Of Hawaii Press.
UURI No 4 Th 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
26
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH
PADA MALAKA WORLD HERRITAGE Oleh : Ir. Eko Nursanty, MT
Abstrak : World Herritage City adalah sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO dimana dia berupa tempat (seperti hutan, gunung, danau, gurun, monumen , bangunan , kompleks, atau kota ) yang terdaftar oleh PBB United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) khusus budaya atau fisik penting. Daftar ini dikelola oleh Program Warisan Dunia internasional yang dikelola oleh UNESCO Komite Warisan Dunia , terdiri dari 21 negara yang dipilih oleh Majelis Umum untuk jangka waktu empat- tahun an.
Program katalog, nama, dan
melestarikan situs budaya atau alam
penting bagi warisan kemanusiaan
milik bersama. Dalam kondisi
tertentu, situs yang terdaftar dapat
memperoleh dana dari Dana Warisan
Dunia. Program ini didirikan oleh
Convention Concerning the
Protection of World Cultural and
Natural Heritage, yang diadopsi oleh
Konferensi Umum UNESCO pada 16
November 1972. Sejak itu, pihak 186
negara telah meratifikasi konvensi
tersebut.
Pada tahun 2010 , 911 situs terdaftar
budaya, 180 alami, dan 27
campuran, properti di 151 negara.
Italia adalah negara dengan jumlah
terbesar dari Situs Warisan Dunia
dengan 45 situs tertera pada daftar.
Gambar 1: Tabel tentang rincian situs world herritage
Setiap Situs Warisan Dunia adalah
milik negara di situs yang wilayahnya
berada, tetapi dipertimbangkan
dalam kepentingan masyarakat
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
27
internasional untuk melestarikan
setiap situs.
Kriteria Seleksi World Herritage Sampai akhir tahun 2004, ada enam
kriteria untuk warisan budaya dan
empat kriteria untuk warisan alam.
Pada tahun 2005, ini dimodifikasi
sehingga hanya ada satu set kriteria
sepuluh.
Kriteria Budaya i. Merupakan karya jenius
kreatif manusia.
ii. Menunjukkan suatu
pertukaran penting dari nilai-
nilai kemanusiaan, selama
rentang waktu, atau dalam
wilayah budaya di dunia, pada
perkembangan arsitektur atau
teknologi, seni monumental,
kota-perencanaan, atau
desain lansekap.
iii. Detemukan kesaksian unik
atau luar biasa untuk sebuah
tradisi budaya atau peradaban
yang hidup atau yang telah
hilang.
iv. Adalah sebuah contoh luar
biasa dari tipe bangunan
ensemble, arsitektur, atau
teknologi atau lanskap yang
menggambarkan suatu tahap
penting dalam sejarah
manusia.
v. Adalah sebuah contoh luar
biasa dari sebuah pemukiman
manusia tradisional,
penggunaan lahan, atau laut
digunakan yang mewakili
budaya, atau interaksi
manusia dengan lingkungan
terutama ketika telah menjadi
rentan dengan dampak
perubahan ireversibel.
vi. Secara langsung atau secara
nyata dikaitkan dengan
peristiwa atau tradisi yang
hidup, dengan ide-ide, atau
dengan keyakinan, dengan
karya-karya artistik dan sastra
signifikansi universal yang
beredar.
Gambar 2: Kuliah Kerja Lapangan Prodi Arsitektur UNTAG Semarang, 2009.
Kriteria Alam
vii. Berisi fenomena alam
superlatif atau daerah
yang keindahan alam yang
luar biasa dan pentingnya
estetika.
viii. Merupakan contoh yang
sangat mewakili tahapan
utama dari sejarah bumi,
termasuk catatan
kehidupan, signifikan pada
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
28
proses geologi
berlangsung dalam
pengembangan
bentuklahan, atau fitur
geomorfik atau fisiografi
signifikan.
ix. Merupakan contoh yang
sangat mewakili signifikan
berlangsung proses
ekologi dan biologi dalam
evolusi dan
pengembangan darat, air
tawar, ekosistem pesisir
dan laut, dan komunitas
tumbuhan dan hewan.
x. Berisi habitat alam yang
paling penting dan
signifikan untuk konservasi
situs dari
keanekaragaman hayati,
termasuk spesies-spesies
terancam yang
mengandung nilai
universal yang luar biasa
dari sudut pandang ilmu
pengetahuan atau
konservasi.
Gambar 3 : Daftar Negara yang memiliki lebih dari 10 World Herritage Site
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
29
Gambar 4 : Penyebaran World herritage Site.
Arsitektur Pariwisata Kebanyakan orang pergi ke sebuah
liburan atau tujuan wisata dalam
upaya mencari relaksasi, melihat
suasana baru, mungkin belanja dan
umumnya memiliki waktu yang baik.
Umumya wisatawan melihat -melihat
termasuk pergi ke beberapa
monumen dan bangunan yang
penting dan bersejarah atau secara
visual menakjubkan. Hal ini
memberikan kesempatan untuk
melihat dan meneliti bangunan dan
karya arsitektur lebih dekat dan
memiliki kesempatan lebih baik
melihat bangunan-bangunan yang
tadinya hanya menatap di majalah
dan televisi. Budaya dan sejarah
suatu tempat yang dikunjungi dapat
ditelusuri melalui jenis arsitekturnya.
Jadi, ketika berlibur dilakukan
semata-mata untuk melihat
monumen-monumen sejarah dan
studi yang berbeda pada gaya
arsitektur , hal itu disebut wisata
arsitektur. Arsitektur pariwisata
sangat diminati saat ini dan banyak
negara mempromosikan bentuk
pariwisata dalam bentuk arsitektur
khasnya.
Gambar 5: penunjuk spot arsitektur pariwisata.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
30
Spot Arsitektur Pariwisata
Pariwisata merupakan salah satu
sektor yang paling cepat berkembang
dan arsitektur pariwisata telah benar-
benar hadir dalam beberapa tahun
terakhir. Wisatawan yang ingin
mendapatkan nuansa budaya kota,
seperti pergi untuk arsitektur ini pada
perjalanan wisata yang mencakup
monumen bersejarah dan bangunan.
Arsitektur memainkan peran penting
dalam menarik wisatawan ke lokasi
perjalanan tertentu.
Malacca city
Gambar 6 : Peta kota Malaka
Malaka ( Melayu : Melaka, dijuluki
Negara Historis atau Negeri
Bersejarah di kalangan penduduk
setempat) adalah negara bagian
terkecil ketiga negara Malaysia ,
setelah Perlis dan Penang. Terletak
di wilayah selatan dari Semenanjung
Melayu , di Selat Malaka, berbatasan
dengan Negeri Sembilan di utara dan
negara bagian Johor selatan.
Ibukotanya adalah Kota Malaka.
Pusat kota bersejarah ini telah
terdaftar sebagai UNESCO Situs
Warisan Dunia sejak 7 Juli 2008.
Meskipun lokasi dari salah satu
kesultanan Melayu yang paling awal,
monarki dihapuskan ketika Portugis
menaklukkan nya pada tahun 1511.
Sejarah Malacca
Sebelum kedatangan Sultan
pertama, Malaka adalah sebuah
desa nelayan sederhana yang dihuni
oleh Melayu lokal. Malaka didirikan
oleh Parameswara , Raja terakhir
dari Singapura (Singapura hari ini)
setelah Majapahit serangan di 1377.
Ia menemukan jalan ke Malaka c.
1400 di mana ia menemukan sebuah
pelabuhan yang baik diakses di
semua musim dan pada titik
tersempit terletak strategis dari Selat
Malaka. Karena lokasinya yang
strategis, Malaka adalah titik berhenti
penting bagi Zheng He. Untuk
meningkatkan hubungan, Hang Li Po
, diduga seorang putri dari Ming
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
31
Kaisar Cina, tiba di Malaka, disertai
dengan 500 petugas, untuk menikah
Sultan Manshur Shah yang
memerintah dari 1456 sampai 1477.
petugas nya menikah penduduk
setempat dan menetap sebagian
besar di Bukit Cina ( Bukit Cina ).
Gambar 3 : Malaka pada tahun 1726
Gambar 4 : Sungai Malaka kondisi saat ini.
Gambar 2 : Peta Kota Malaka th. 1630
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
32
Gambar 5 : Peta Arsitektur Pariwisata di Malacca
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
33
Arsitektur Pariwisata di Malacca
Fort A Famosa : Dibuat oleh
Portugis pada tahun 1511, itu
mengalami kerusakan struktural
yang parah selama invasi Belanda.
Rencana oleh Inggris untuk
menghancurkannya dibatalkan
sebagai akibat dari intervensi dari
Sir Stamford Raffles pada tahun
1808.
Gambar 6 : Fort of Famousa
St. John's Fort: direkonstruksi oleh
Belanda pada kuartal ketiga abad
ke-18, meriam di benteng ke dalam
menunjuk ke arah daratan karena
pada waktu itu, ancaman terhadap
Malaka terutama dari pedalaman
laut.
Gambar 7 : St John’s Fort
St. Paul's Church: Dibangun pada
tahun 1710 di bawah pemerintahan
Belanda, gereja tertua Gereja
Katolik di Malaysia. Fasad dan
hiasan dekoratif merupakan
campuran dari kedua timur dan
barat arsitektur. St Paul's Church :
Dibuat oleh Portugis kapten , Duarte
Coelho, gereja ini dinamakan "Our
Lady of The Hill", tetapi kemudian
berubah menjadi tanah kuburan
oleh Belanda untuk mati mulia
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
34
mereka, dan berganti nama menjadi
"Gereja St Paulus". Saat ini gereja
adalah bagian dari Museum
Malaccan Complex. Tubuh St
Francis Xavier dikebumikan di sini
untuk sementara sebelum dibawa
ke Goa, India.
Gambar 8 : St. Paul Church
Christ Church : Dibangun pada
1753, struktur mencerminkan
arsitektur Belanda asli. Bangunan
rumah kerajinan tangan-bangku
gereja, langit-langit jointless skylight
, sebuah tembaga replika dari
Alkitab , sebuah batu nisan yang
ditulis dalam bahasa Armenia , dan
replika dari " The Last Supper ".
Gambar 9 : Christ Church
Gereja Fransiskus Xaverius : ini
Gothic gereja dibangun oleh
seorang Perancis imam , Rev
Fabre, pada tahun 1849, untuk
memperingati St Francis Xavier
yang juga dikenal sebagai "Rasul
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
35
dari Timur". St Francis Xavier
dipersiapkan untuk misionaris
Katoliknya dan bekerja di Asia
Tenggara selama abad ke-16.
Gambar 10 : Gereja Fransiskus Xaverius
Stadthuys : Dibangun tahun 1650
sebagai kediaman Gubernur
Belanda dan wakilnya, struktur
mencerminkan arsitektur Belanda.
Sekarang adalah "Museum Sejarah
dan Etnografi ". Museum pameran
pernikahan tradisional pakaian dan
artefak Melaka, datang kembali ke
masa kejayaannya.
Gambar 11 : Foto Stadhuyst
Cheng Hoon Teng Temple:
Terletak di sepanjang Jalan Tokong
(sebelumnya Temple Street) di zona
inti dari Malaka Situs Warisan Dunia
UNESCO. Ini adalah candi
berfungsi tertua di Malaysia dan
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
36
candi termegah di Malaka.
Gambar 12 : Cheng Hoon Teng Temple
Jonker Street (Jalan Hang Jebat):
Jalan ini terkenal karena barang-
barang antik . Hal ini juga terkenal
dengan atmosfer karnaval seperti
saat malam akhir pekan.
Gambar 13 : Jonker Street Night Market
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE
37
Portugis Square : Terletak di dalam
Penyelesaian Portugis, alun-alun
adalah puncak dari budaya Portugis
dalam kemegahan penuh dan warna.
Gambar 14: Purtugis Square
Tranquerah Masjid : Masjid tertua di Malaka.
Gambar 15 : Tranquerah Masjid - Malaka
Daftar Pustaka
World Heritage List, UNESCO World
Heritage Sites official sites.
De Witt, Dennis (2010). Melaka from the
Top. Malaysia: Nutmeg Publishing.
ISBN 9789834351922.
De Witt, Dennis (2007). History of the
Dutch in Malaysia. Malaysia: Nutmeg
Publishing. ISBN 9789834351908.
"Popular History of Thailand" by M.L.
Manich Jumsai, C.B.E., M.A
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
38
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR Ir. Sumarwanto. MT.
ABSTRAK Tidak beda dengan wilayah daratan, wilayah pesisir pun juga mempunyai berbagai masalah seperti memiliki karakteristik open acces, multi use, dan rentan terhadap kerusakan serta perusakan dimana pengelolaanya mensyaratkan perlunya landasan keterpaduan. Sebagai salah satu unsur pembentuk ruang wilayah, keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir tersebut dapat diselenggarakan dengan memanfaatkan instrument penataan ruang, baik pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten maupun Kota. Adapun tata ruang di wilayah pesisir dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang secara harmonis dan optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan pesisir.
I. PENDAHULUAN
1. Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan
negara kepulauan terbesar di
dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau
dengan garis pantai sepanjang
108.000 km. Berdasarkan Konvensi
Hukum Laut (UNCLOS) 1982,
Indonesia memiliki kedaulatan atas
wilayah perairan seluas 3,2
juta km² yang terdiri dari perairan
kepulauan seluas 2,9 Juta km² dan
laut territorial seluas 0,3 juta km².
Selain itu Indonesia juga mempunyai
hak eksklusif untuk memanfaatkan
sumber daya kelautan dan berbagai
kepentingan terkait seluas 2,7 km²
pada perairan ZEE (sampai dengan
200 mil dari garis pangkal).
2. Sebagai Negara kepulauan, wilayah
pesisir merupakan kawasan
strategis dengan berbagai
keunggulan komparatif dan
kompetitif yang dimilikinya sehingga
berpotensi menjadi primer mover
pengembangan wilayah nasional.
Bahkan secara historis menunjukan
bahwa wilayah pesisir ini telah
berfungsi sebagai pusat kegiatan
masyarakat karena berbagai
keunggulan fisik dan geografis yang
dimilikinya.
3. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat
sumber daya pesisir bagi
pengembangan wilayah secara
berkelanjutan dan menjamin
kepentingan umum secara luas
(public interest), yang diperlukan
intervensi kebijakan dan
penanganan khusus oleh
pemerintah untuk pengelolaan
wilayah pesisir. Hal ini seiring
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
39
dengan agenda Kabinet Gotong
Royong untuk menormalisasi
kehidupan ekonomi dan
memperkuat dasar bagi kehidupan
perekonomian rakyat melalui upaya
pembangunan yang didasarkan atas
sumber daya setempat (resource-
based development), dimana
sumberdaya pesisir dan lautan
saat ini didorong pemanfaatannya,
sebagai salah satu andalan bagi
pemulihan perekonomian nasional,
disamping sumberdaya alam darat.
II. PENGERTIAN : Wilayah Pesisir dan
Penataan Ruang
1. Secara sederhana, wilayah pesisir
(coastal zone) dapat dipahami
sebagai wilayah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12
mil dari garis pantai menjadi
kewenangan provinsi dan sepertiga
dari wilayah laut itu untuk
kabupaten/kota dan ke arah darat
batas administrasi kabupaten/kota.
2. Sebagai wilayah yang merupakan
interface antara kawasan laut dan
darat yang saling mempengaruhi
dan dipengaruhi satu sama lainnua,
baik secara biogeofisik maupun
sosial ekonomi, wilayah pesisir
mempunyai kharakteristik yang
khusus sebagai akibat interaksi
antara proses-proses yang terjadi di
daratan dan di lautan. Ke arah darat,
wilayah pesisir meliputi bagian
daratan, baik kering maupun
terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin; sedangkan ke
arah laut wilayah pesisir mencakup
bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran.
3. Definisi wilayah pesisir seperti di
atas memberikan suatu pemahaman
bahwa ekosistem pesisir merupakan
ekosistem yang dinamis dan
mempunyai kekayaan habitat yang
beragam, di darat maupun di laut
serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Selain mempunyai
potensi yang besar, wilayah pesisir
juga merupakan ekosistem yang
paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia.
4. UU 24/1992 tentang Penataan
Ruang menyebutkan bahwa ruang
dipahami sebagai suatu wadah yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan
dan ruang udar sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
40
dan mahluk hidup lainnya hidup dan
melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
Dalam konteks ini, wilayah pesisir
dapat dipandang sebagai salah satu
unsur pembentuk ruang wilayah.
III. ISSUE dan pemasalahan
pengelolaan wilayah pesisir
1. Potensi konflik kepentingan (conflict
of interest) dan tumpang tindih
antar sektor dan stakeholders
lainnya dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir.
Kondisi ini muncul sebagai
konsekuensi beragamnya seumber
daya pesisir yang ada serta
karakteristik wilayah pesisir yang
“open acces” sehingga mendorong
wilayah pesisir telah menjadi salah
satu lokasi utama bagi kegiatan-
kegiatan beberapa sector
pembangunan (multi-use). Dalam
hal ini, konflik kepentingan tidak
hanya terjadi antar “users”, yakni
sektoral dalam pemerintahan dan
juga masyarakat setempat dan pihak
swasta, namun juga antar
penggunaan antara lain (i) perikanan
budidaya maupun tangkapan (ii)
pariwisata bahari dan pantai (iii)
industry maritime seperti perkapalan
(iv) pertambangan , sperti minyak,
gas, timah dan galian lainnya; (v)
perhubungan laut dan alur pelayaran
dan yang paling utama adalah (vi)
kegiatan konservasi laut dan pesisir
seperti mangrove, terumbu karang
dan biota laut lainnya.
2. Selain itu, terdapat pula potensi
konflik kewenangan (jurisdictional
conflict) dalam pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir.
Kondisi ini muncul sebagi
konsekuensi tidak berhimpitnya
pembagian kewenangan yang
terbagi menurut administrasi
pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dengan kepentingan
wilayah pesisir tersebut yang
seringkali lintas wilayah otonom.
3. Sebagai “interface” antara
ekosistem darat dan laut, wilayah
pesisir (coastal areas) memiliki
keterkaitan antara lahan atas
(daratan) dan laut. Dengan
keterkaitan kawasan tersebut, maka
pengelolaan kawasan di pesisir, laut
dan pulau-pulau kecil tidak terlepas
dari pengelolaan lingkungan yang
dilakukan di kedua wilayah tersbut.
Berbagai dampak lingkungan yang
terjadi pada wilayah pesisir
merupakan akibat dari dampak yang
ditimbulkan oleh kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan di
daratan, seperti pertanian,
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
41
perkebunan, kehutanan, industri,
permukiman dan sebagainya.
4. Lemahnya kerangka hukum dalam
hal pengaturan sumber daya pesisir
serta perangkat hukum untuk
penegakannya menyebabkan masih
banyaknya pemanfaatan
sumberdaya ini yang tidak
terkendali. Juga tidak adanya
kekuatan hukum dan pengakuan
terhadap system-sistem tradisional
serta wilayah laut dalam
pengelolaan sumber daya pesisir.
Dalam konteks ini, RTRW dalam
berbagai tingkatan yang telah
memiliki aspek legal berikut aturan-
aturan pelaksanaannya seharusnya
dapat dimanfaatkan sebagai
“guidance” dalam pengelolaan
wilayah pesisir.
5. Kenaikan muka air laut (sea level
rise) sebagai akibat fenomena
“global warming” memberikan
dampak yang serius terhadap
wilayah pesisir yang perlu
diantisipasi penanganannya. Secara
umum kenaikan muka air laut akan
mengakibatkan dampak sebagai
berikut : (a) meningkatnya frekuensi
dan intensitas banjir, (b) perubahan
arus laut dan meluasnya kerusakan
mangrove, (c) meluasnya intrusi air
laut, (d) ancaman terhadap kegiatan
sosial-ekonomi masyarakat pesisir,
dan (e) berkurangnya luas daratan
atau hilangnya pulau-pulai kecil.
6. Tingkat kerusakan biofisik
lingkungan wilayah pesisir sangat
mengkhawatirkan. Adapun faktor-
faktor yang turut mempengaruhi
kerusakan biofisik wilayah pesisir
adalah :
Overeksploitasi sumberdaya
hayati laut akibat pengankapan
ikan yang melampaui potensi
(overfishing), pencemaran dan
degradasi fisik hutan mangrove
dan terumbu karang sebagai
sumber makanan biota laut
tropis.
Pencemaran akibat kegiatan
industry, rumah tangga dan
pertanian di darat (land-based
pollution sources) maupun
akibat kegiatan dilaut (marine-
based pollution sources)
termasuk perhubungan laut dan
kapal pengangkut minyak dan
kegiatan pertambangan dan
energy lepas pantai.
Bencana alam seperti tsunami,
banjir erosi dan badai.
Konflik pemanfaatan ruang
seperti antara pertanian dan
kegiatan di daerah hulu lainnya,
aquakultur, perikanan laut,
permukiman. Konflik
pemanfaatan ruang disebabkan
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
42
terutama karena tidak adanya
aturan yang jelas tentang
penataan ruang dan alokasi
sumberdaya yang terdapat di
kawasan pesisir dan lautan.
Kemiskinan masyarakat pesisir
yang turut memperberat tekanan
terhadap pemanfaatan
sumberdaya pesisir yang tidak
terkendali.
Salah satunya disebabkan oleh
tidak adanya konsep
pembangunan masyarakat
pesisir sebagai subyek dalam
pemanfaatan sumberdaya
pesisir.
7. Walaupun telah menjadi common
interest, proses pelibatan
masyarakat sebagai subyek utama
dalam pengelolaan wilayah pesisir
masih belum menemukan bentuk
terbaiknya. Persepsi yang berbeda
mengenai hak dan kewajiban dari
masyarakat seringkali menghadirkan
konflik antar kepentingan yang sulit
dicarikan solusinya, serta dilakukan
dengan memperhatikan karakteristik
sosial-budaya setempat (local
unique).
IV. Kebijakan Penataan Ruang Wilayah
Pesisir
Pada dasarnya kebijakan tersebut
ditempuh untuk memenuhi tujuan-
tujuan sebagai berikut :
Mewujudkan pembangunan
berkelanjutan pada kawasaan
pesisir, termasuk kota-kota pantai
dengan segenap penghuni dan
kelengkapannya (prasarana dan
sarana) sehingga fungsi-fungsi
kawasan dan kota sebagai
sumber pangan (source of
nourishment) dapat tetap
berlangsung.
Mengurangi kerentanan
(vulnerability) dari kawasan
pesisir dan para pemukimnya
(inhabitans) dari ancaman
kenaikan muka air laut, banjir,
abrasi, dan ancaman alam
(natural hazards) lainnya.
Mempertahankan
berlangsungnya proses ekologis
esensial sebagai system
pendukung kehidupan dan
keanekaragaman hayati pada
wilayah pesisir agar tetap lestari
yang dicapai melalui keterpaduan
pengelolaan sumber daya alam
dari hulu hingga ke hilir
(integrated coastal zone
management).
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR
43
Adapun sebagai landasan dari
kebijakan penataan ruang wilayah
pesisir tersebut adalah hasil
Rakernas Badan Koordinasi Tata
Ruang Nasional (BKTRN) di
Surabaya, 13-14 Juli 2003,
ditegaskan pula bahwa penataan
ruang wilayah pesisir merupakan
satu kesatuan ruang yang
terintegrasi dalam RTRWN,
RTRWP dan RTRW
Kabupaten/Kota. Dengan demikian
pengelolaan wilayah pesisir dapat
menggunakan instrument rencana
tata ruang yang ada, baik dalam
skala makro-strategis maupun
mikro-operasional.
DAFTAR PUSTAKA
BKTRN, Proceeding Seminar
Nasional : Pengaruh Global
Warming terhadap Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari
kenaikan permukaan air laut
dan banjir, Jakarta, 30-31
Oktober 2002.
Dokumen Badan Koordinasi
Tata Ruang Nasional (BKTRN)
tentang Rumusan Pokok-Pokok
Hasil RAKERNAS-BKTRN,
Surabaya, 14 Juli 2003.
Dirjen Penataan Ruang –
Depkimpraswil, Antisipasi
Dampak Pemanasan Global
dari Aspek Teknis Penataan
Ruang, Makalah pada Seminar
Nasional tentang Pengaruh
Global Warming, terhadap
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
ditinjau dari Kenaikan Muka Air
Laut dan Banjir, Jakarta 30-31
Oktober 2002.
Biodata Penulis
Ir. Sumarwanto, MT, lahir di
Semarang tanggal 20 Februari 1952.
Pendidikan yang diselesaikannya
adalah S.1 di Universitas Diponegoro
Semarang, dan S.2 di Universitas
Diponegoro Semarang bidang Studi
Urban Design. Bekerja sebagi dosen
di Program Studi Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas 17 Agustus 1945
Semarang, dengan jabatan akademik
Lektor, mengajar pada mata kuliah
Perancangan Arsitektur, Tata Ruang
Luar dan Kota dan Permukiman.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
44
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA
DAN RUANG PUBLIK Oleh: Ir. Loekman Mohamadi. MSc.
ABSTRAKSI
Gambaran umum pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau dan
Hutan/ Taman Kota bagi perkembangan wilayah perkotaan.
Tahapan berikutnya adalah untuk mengetahui pentingnya keberadaan
Ruang Terbuka Hijau dan Hutan/ Taman Kota di Kota yang
bersangkutan. Analisa yang dilakukan adalah dengan mengkaji
perkembangan kota yang bersangkutan yang terjadi saat ini terutama
dampak yang ditimbulkan terkait dengan penurunan kualitas
lingkungan. Dari tahapan ini dilakukan juga kajian mengenai
keberadaan ruang hijau kota saat ini dan arahan kebijakan Tata Ruang
terhadap ruang terbuka hijau dikota yang bersangkutan.
1. Pola Pikir
Proses perencanaan desain
Hutan/ Taman Kota dan Ruang
Publik ini dilakukan melalui suatu
kajian ilmiah, dan dilakukan
secara bertahap.
Tahap awal dari rangkaian
kegiatan tersebut adalah mengkaji
wilayah pengamatan berdasarkan
data yang terkumpul. Wilayah
pengamatan tersebut dikaitkan
dengan kebijakan Tata Ruang
yang ada (RTRW, RTRHK,
RTRKP) yang berisi arahan
arahan spatial (keruangan)
terhadap kondisi wilayah
pengamatan. Pada tahapan ini
ditinjau pula Kebijakan
perundangan lain yang terkait
dengan Hutan/ Taman Kota
diantaranya kebijakan Ruang
Terbuka Hijau dan kebijakan
Hutan/ Taman Kota.
Dari tahapan ini dapat dihasilkan
gambaran umum pentingnya
keberadaan Ruang Terbuka Hijau
dan Hutan/ Taman Kota bagi
perkembangan wilayah perkotaan.
Tahapan berikutnya adalah untuk
mengetahui pentingnya
keberadaan Ruang Terbuka Hijau
dan Hutan/ Taman Kota di Kota
yang bersangkutan. Analisa yang
dilakukan adalah dengan
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
45
mengkaji perkembangan kota
yang bersangkutan yang terjadi
saat ini terutama dampak yang
ditimbulkan terkait dengan
penurunan kualitas lingkungan.
Dari tahapan ini dilakukan juga
kajian mengenai keberadaan
ruang hijau kota saat ini dan
arahan kebijakan Tata Ruang
terhadap ruang terbuka hijau
dikota yang bersangkutan.
Dari kajian tersebut dapat
diidentifikasi beberapa lokasi
yang dapat dijadikan Hutan/
Taman Kota. Sesuai kriteria yang
ada di PP 63 tahun 2002 tentang
Hutan Kota, kemudian dilakukan
kajian sehingga didapatkan
konsep kebutuhan luas Ruang
Terbuka dan Hutan/ Taman Kota
serta lokasi Hutan/ Taman Kota
yang diprioritaskan
pembangunannya. Untuk
mencapai rumusan fungsi dan
jenis hutan kota serta program
dan pengelolaan Hutan/ Taman
Kota yang berkelanjutan, lokasi
tersebut dikaji menggunakan
analisa SWOT.
Untuk lebih jelasnya Alur Pikir
penyusunan Studi Pembangunan
Hutan/ Taman Kota yang
bersangkutan dapat dilihat pada
diagram 1.1 berikut.
SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
46
Diagram 1.
Pola Pikir Proses Perencanaan Desain Hutan/ Taman Kota dan Ruang Publik Perkotaan
GAMBARAN UMUM PENTINGNYA KEBERADAAN RTH DAN HUTAN KOTA BAGI
PERKEMBANGAN KOTA
KAJIAN PENTINGNYA KEBERADAAN RTH DAN
HUTAN KOTA
KONSEP KEBUTUHAN LUAS RTH, HUTAN KOTA DAN
LOKASI HUTAN KOTA YANG DIPRIORITASKAN
PEMBANGUNANNYA
INPUT PROSES OUTPUT GOAL CITA CITA
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
47
2. Pembangunan Hutan/ taman Kota
Beberapa kota besar telah membangun
dan mengembangkan hutan/ taman kota
untuk mengantisipasi masalah penurunan
kualitas lingkungan hidup. Adapun Tahapan
yang perlu dilalui dalam
membangun/mengembangkan hutan/
taman kota adalah:
1). Tahap Perencanaan
Dalam studi kajian perencanaan
aspek yang perlu diteliti meliputi:
lokasi, fungsi dan pemanfaatan,
aspek tehnik silvikultur, arsitektur
lansekap, sarana dan prasarana,
tehnik pengelolaan lingkungan.
Bahan informasi yang dibutuhkan
dalam studi tahap perencanaan
meliputi :
a). Data fisik (letak, wilayah, tanah,
iklim dan lain-lain);
b). Sosial ekonomi (aktivitas di
wilayah bersangkutan dan kondisinya);
c). Keadaan lingkungan (lokasi
dan sekitarnya);
d). Rencana pembangunan
wilayah (RUTR,RTK,RTH), serta
e). Bahan-bahan penunjang
lainnya.
Hasil studi berupa Rencana
Pembangunan Hutan/ taman Kota
yang terdiri dari tiga bagian, yakni:
(1) Rencana jangka panjang, yang
memuat gambaran tentang
hutan/ taman kota yang
dibangun, serta target dan
tahapan pelaksanaannya.
(2) Rencana detail yang memuat
desain fisik atau rancang
bangun untuk masing- masing
komponen fisik hutan/ taman
kota yang hendak dibangun
serta tata letaknya.
(3) Rencana tahun pertama
kegiatan, meliputi rencana fisik
dan biayanya.
2). Tahap Pembentukan Kelembagaan
dan Organisasi Pelaksanaannya
Organisasi pembangunan dan
pengelolaan hutan/ taman kota sangat
bergantung kepada perangkat yang
ada dan keperluannya. Sistem
pengorganisasian di suatu daerah
mungkin berbeda dengan daerah
lainnya. Dalam hal ini Walikota atau
Bupati sebagai kepala wilayah
bertanggung jawab atas pembangunan
dan pengembangan hutan/ taman kota
di wilayahnya. Bidang perencanaan
dan pengendalian dipegang oleh
Bappeda Kabupaten/Kota yang dibantu
oleh tim pembina yang terdiri dari Dinas
Kehutan/ tamanan, Dinas Pertanian
dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Kesehatan, Dinas
Kependudukan dan Lingkungan Hidup
dan yang lainnya menurut kebutuhan
masing- masing kota atau daerah.
Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk
dinas-dinas yang berada di wilayahnya.
Pengelolaan hutan/ taman kota pada
areal yang dibebani hak milik
diserahkan kepada pemiliknya, namun
dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan petunjuk dari bidang
perencanaan dan pengendalian. Guna
memperlancar pelaksanaannya kiranya
perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
48
yang dapat diberikan oleh pemerintah
kepada yang bersangkutan.
3). Pemilihan Jenis
Guna mendapatkan keberhasilan
dalam mencapai tujuan pengelolaan
lingkungan hidup di perkotaan, jenis
yang ditanam dalam program
pembangunan dan pengembangan
hutan/ taman kota hendaknya dipilih
berdasarkan beberapa pertimbangan
agar tanaman dapat tumbuh baik dan
dapat menanggulangi masalah
lingkungan yang muncul di tempat itu.
Beberapa informasi yang perlu
diperhatikan dan dikumpulkan antara
lain:
(1) Persyaratan edaphis: pH, jenis
tanah, tekstur, altitude, salinitas
dan lain-lain.
(2) Persyaratan meteorologis: suhu,
kelembaban udara, kecepatan
angin, radiasi matahari.
(3) Persyaratan silvikultur:
kemudahan dalam hal
penyediaan benih dan bibit serta
kemudahan dalam tingkat
pemeliharaan.
(4) Persyaratan umum tanaman,
antara lain:
- Tahan terhadap hama dan
penyakit,
- Cepat tumbuh,
- Kelengkapan jenis dan
penyebaran jenis,
- Mempunyai umur yang
panjang,
- Mempunyai bentuk yang
indah,
- Ketika dewasa sesuai dengan
ruang yang ada,
- Kompatibel dengan tanaman
lain,
- Serbuk sarinya tidak bersifat
alergis,
(5) Persyaratan untuk pohon
peneduh jalan:
- Dahan dan ranting tidak mudah
patah,
- Pohon tidak mudah tumbang,
- Buah tidak terlalu besar,
- Serasah yang dihasilkan
sedikit,
- Tahan terhadap pencemar dari
kendaraan bermotor dan industri,
- Luka akibat benturan mobil
mudah sembuh,
- Cukup teduh, tetapi tidak terlalu
gelap,
- Kompatibel dengan tanaman
lain,
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
49
Tabel 1: Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunan RTH (Purnomohadi, 2001)
JENIS RTH FUNGSI LAHAN TUJUAN KETERANGAN
TAMAN KOTA
(termasuk: Taman
Bermain Anak / Balita),
Taman Bunga, (Lansia)
Ekologis, Rekreatif,
Estetis, Olahraga
(terbatas)
Keindahan (tajuk, tegakan pengarah,
pengaman, pengisi dan pengalas), kurangi
cemaran, meredam bising, perbaiki iklim
mikro, daerah resapan, penyangga sistem
kehidupan, kenyamanan.
Mutlak dibutuhkan bagi kota, keserasian,
rekreasi aktif dan pasif, nuansa rekreatif,
terjadinya keseimbangan mental
(psikologis) dan fisik manusia, habitat,
keseimbangan eko-sistem.
JALUR (tepian)
SEMPADAN SU-NGAI
dan PANTAI
Konservasi,
Pencegah Erosi,
Penelitian
Perlindungan, mencegah okupansi
penduduk, mudah menyebabkan erosi, iklim
mikro, penahan „badai‟.
Perlindungan total tepi kiri-kanan
bantaran sungai (+/- 25-50 meter) rawan
erosi.
Taman Laut.
TAMAN – OLAH RAGA,
BERMAIN, RELAKSASI
Kesehatan, Rekreasi Kenikmatan, pendidikan, kesenangan,
kesehatan, interaksi, kenyamanan.
Rekreasi aktif, sosialisasi, mencapai
prestasi, menumbuhkan kepercayaan diri.
TAMAN PEMAKAMAN
(UMUM)
Pelayanan Publik
(umum), Keindahan
Pelindung, pendukung ekosistem makro,
„ventilasi‟ dan „pemersatu‟ ruang kota.
Dibutuhkan seluruh anggota masyarakat,
menghilangkan rasa „angker‟.
PERTANIAN KOTA Produksi, Estetika,
Pelayanan Public
(umum)
Kenyamanan spasial, visual, audial dan
thermal, ekonomi.
Peningkatan produktivitas budidaya
tanaman pertanian.
TAMAN (HUTAN) KOTA/
PERHUTANAN
Konservasi,
Pendidikan, Produksi
Pelayanan masyarakat dan penyangga
lingkungan kota, wisata alam, rekreasi,
produksi hasil „hutan‟: iklim mikro, oksigen,
ekonomi.
Pelestarian, perlindungan, dan
pemanfaatan plasma nutfah,
keanekaragaman hayati, pendidikan
penelitian.
TAMAN SITU, DANAU,
WADUK, EMPANG
Konservasi,
Keamanan
Keseimbangan ekosistem, rekreasi
(pemancingan).
Pelestarian SD-air, flora & fauna
(budidaya ikan air tawar).
KEBUN RAYA, KEBUN
BINATANG (Nursery)
Konservasi,
Pendidikan,
Penelitian
Keseimbangan ekosistem, rekreasi,
ekonomi.
Pelestarian plasma nutfah, elemen
khusus Kota Besar, Kota Madya.
TAMAN PURBAKALA Konservasi, Reservasi, perlindungan situs, sejarah – „Bangunan‟ sebagai elemen taman.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
50
Preservasi, Rekreasi national character building.
JALUR HIJAU
PENGAMANAN
Keamanan Penunjang iklim mikro, thermal, estetika. Pengaman: Jalur lalu-lintas, Rel KA, jalur
listrik tegangan tinggi, kawasan industri,
dan „lokasi berbahaya‟ lain.
TAMAN RUMAH sekitar
bangunan Gedung -
tingkat „PEKARANGAN‟
Keindahan, Produksi Penunjang iklim mikro, „pertanian
subsistem‟: TOGA (tanaman obat
keluarga)/Apotik Hidup, Karangkitri (sayur
dan buah-buahan).
Pemenuhan kebutuhan pribadi (privacy),
penyaluran „hobby‟ pada lahan terbatas,
mampu memenuhi kebutuhan keluarga
secara berkala dan „subsistent’‟.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
51
3. Kriteria Perencanaan,
Dalam perancangan kota
dikenal adanya tiga kriteria
disain, yakni kriteria terukur,
kriteria tak terukur, dan kriteria
generik. Kriteria terukur adalah
kriteria yang secara kuantitatif
dapat diukur dan biasanya
berhubungan dengan ketinggian,
besar, rasio ukuran luas lantai,
setback, building coverage, dan
sebagainya.
Secara garis besar kriteria terukur
dibagi menjadi dua, yaitu
1)kriteria lingkungan alarn,
2)bentuk dan massa
bangunan, serta intensitas.
Sedangkan kriteria tak terukur
lebih menekankan pada aspek
kualitatif di lapangan. Antara
kriteria terukur dan tak terukur
seharusnya dijaga
kesimbangannya dan bekerja
dalam kerangka kerja dari kriteria
generik.
a. Kriteria desain menurut Urban
Design Plan of San Fransisco,
ada sepuluh prinsip, yaitu
1). Kenyamanan (amenity
comfort)
Prinsip kenyamanan
(amenity comfort)
menekankan pada kualitas
lingkungan kota dengan
mengakomodasikan pola
pedestrian yang dilengkapi
dengan street furniture,
tanam-tanaman, disain
jalan yang terlindung dari
cuaca, menghindari silau,
dan sebagainya.
2). Tampak yang menarik
(visual interest)
Tampak yang menarik
(visual interest)
menekankan pada kualitas
estetis lingkungan, antara
lain karakter arsitektur dan
lingkungan bangunan yang
menyenangkan.
3). Kegiatan (activity)
Menekankan pada
pentingnya pergerakan
dan dimensi kehidupan
jalan di lingkungan kota,
dengan mempromosikan
pedagang kaki lima,
arcade, lobby, dan
menghindari dinding-
dinding yang kosong Berta
ruang parkir yang terlalu
luas.
4). Kejelasan dan kenikmatan
(clarity and convenience)
Untuk menciptakan faktor
kejelasan dan kenikmatan,
dapat dilakukan dengan
cars meningkatkan
kualitas jalur pejalan kaki,
yaitu dengan fasilitas
pedestrian yang memiliki
ciri tertentu.
5). Karakter khusus (character
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
52
distinctiveness)
Karakter khusus
(character
distinctiveness)
menekankan pada
identitas individual yang
berpengaruh dalam suatu
struktur ruang kota.
6). Ketajaman (definition)
Prinsip ketajaman
(definition) menitikberatkan
pada interfacing antara
bangunan dan ruang
terbuka suatu kawasan
yang dapat memperjelas
dan memudahkan
persepsi ruang luarnya.
Ketajaman ruang ini
sangat berkaitan dengan
faktor-faktor
pemandangan, karakter,
serta pencapaiannya.
7). Prinsip-prinsip
pemandangan kawasan
(the principle of views
encompasses)
Prinsip – prinsip
pemandangan kawasan
memperhatikan aspek
estetik terhadap vista
lingkungan (pleasing
vistas), atau persepsi
orang pada saat
melakukan orientasi
terhadap lingkungan kota.
Misalnya layout jalan,
penempataii bangunan,
dan massa bangunan
akan memberikan karakter
estetik serta petunjuk
pencapaian bagi
masyarakat.
8). Variasi/kontras
(variely/conlrast)
Prinsip variasi/kontras
diarahkan pada susunan
bentuk model bangunan
yang akan menjadi point of
interest di lingkungannya.
9). Harmoni/kecocokan
(harmony compatibility)
Prinsip
harmoni/kecocokan
menekankan pada aspek
arsitektural dan
kecocokan estetika
yang berkaitan dengan
masalah topograli yang
hares diantisipasi
dalam perencanannya,
baik masalah skala
maupun bentuk massanya.
10). Integrasi skala dan bentuk
(Scale and pattern
integrated)
Prinsip integrasi skala dan
bentuk ini bertujuan untuk
mencapai skala manusia
di lingkungan kota, yang
menekankan pada ukuran,
bestir bangunan dan
massa bangunan,
demikian pula dimensi
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
53
estetika yang
berhubungan dengan
kepekaan dan efek
tekstur bangunan dengan
skala pemandangan dari
arch tertentu.
b. Sedangkan konsep Urban
System Research and
Engineering, Inc.(1977) lebih
menekankan pada kualitas
visual yang dikelompokkan
dalam delapan kategori sebagai
berikut.
1). Kelayakan hubungan (fit
with setting)
Kelayakan hubungan.
(fit with setting) ini
menitikberatkan pada
harmoni atau kecocokan
rancangan antara
perumahan dan kota yang
berkaitan dengan faktor
lokasi, kepadatan
perumahan, warna, bentuk
dan material. Di samping
itu aspek lain yang hares
diperhatikan adalah
aspek historis, aspek
budaya, komponen yang
cocok dengan nilai
bangunan, artefak jalan
setapak yang unik
sehingga dapat
mengingatkan kembali
bagi setiap orang.
2). Ekspresi dari identitas
(expression of identity)
Untuk memberikan
ekspresi identitas,
status, dan nilai-nilai
bagi penghuni dan
masyarakat perlu
penekanan disain
terutama peranan warns,
. material bangunan, dan
ekspresi bangunan secara
individual.
3). Pencapaian dan orientasi
(access and orientation)
Faktor penting yang harus
diperhatikan adalah
kejelasan dan keamanan
dari pintu masuk, jalan
setapak, dan ke arah
lokasi fasilitas penting,
sehingga semua orang
tabu akan ke amana dan
spa yang akan dilakukan.
4). Pendukung aktivitas (activity
support)
Kegiatan masyarakat
akan memberi karakter
perilaku mereka melalui
tanda-tanda yang didisain
khusus termasuk elemen
fisik, ukuran, dan lokasi
dari sebuah fasilitas yang
disediakan.
5). Pemandangan (views)
Menekankan pada
pencapaian bangunan-
bangunan ke arah
ruang-ruang publik
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
54
(public spaces).
6). Elemen-elemen alam
(natural elements)
Menciptakan disain yang
memanfaatkan unsur-
unsur alam yang ads di
lokasi tapak, misalnya
dengan pemanfaatan
topografi yang terjal,
tanaman penutup,
pemanfaatan smar
matahari, air, dan Tatar
belakang pemandangan
langit.
7). Tampak yang nyaman
(visual comfort)
Pada prinsipnya tampak
yang nyaman (visual
comfort) menghindari
gangguan dari silau, asap,
debu, traffic light yang
membingungkan,
pemandangan yang
menghalangi kendaraan
yang melaju dengan cepat.
8). Kepedulian dan perawatan
(care and maintenance)
Memperhatikan pemilihan
komponen dalam disain
yang mudah perawatan
dan pengelolaannya.
c. Selanjutnya menurut Kevin
Lynch (1981), sebuah ruang
publik harus mempunyai lima
dimensi tampilan (Five
performance dimension), yaitu:
a. Vitalitas (vitality),
Menitik beratkan pada
suatu sistim keamanan,
kecocokan ukuran atau
kelayakan antara tuntutan
manusia dalam hal
temperatur, anatomi tubuh,
dan fungsi tubuh,
b. Kepekaan (sense),
Dimensi kepekaan yang
dimaksud disini meliputi
bentuk, kualitas, dan
identitas lingkungan,
c. Kelayakan (fit),
Menitik beratkan pada
kelayakan antara ruang
dan karakter bentuk yang
ada,
d. Pencapaian (access),
Memperhatikan
kemampuan orang menuju
ketempat satu ke yang lain
melalui ruang publik ini,
e. Pemeriksaan (control),
Diarahkan pada ruang
ruang kegiatan, tempat
rekreasi.
4. Teknis Perencanaan
Dalam rencana pembangunan
dan pengembangan RTH yang
fungsional suatu wilayah
perkotaan, ada 4 (empat) hal
utama yang harus diperhatikan
yaitu
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
55
a. Luas RTH minimum yang
diperlukan dalam suatu
wilayah perkotaan ditentukan
secara komposit oleh tiga
komponen berikut ini, yaitu:
1) Kapasitas atau daya dukung
alami wilayah
2) Kebutuhan per kapita
(kenyamanan, kesehatan, dan
bentuk pelayanan lainnya)
3) Arah dan tujuan
pembangunan kota.
RTH berluas minimum
merupakan RTH berfungsi
ekologis yang berlokasi,
berukuran, dan berbentuk
pasti, yang melingkup RTH
publik dan RTH privat. Dalam
suatu wilayah perkotaan maka
RTH publik harus berukuran
sama atau lebih luas dari RTH
luas minimal, dan RTH privat
merupakan RTH pendukung
dan penambah nilai rasio
terutama dalam meningkatkan
nilai dan kualitas lingkungan
dan kultural kota.
b. Lokasi lahan kota yang
potensial dan tersedia untuk
RTH
c. Sruktur dan pola RTH yang
akan dikembangkan (bentuk,
konfigurasi,dan distribusi)
d. Seleksi tanaman sesuai
kepentingan dan tujuan
pembangunan kota.
e. Action Plan
Pembangunan dan
pengelolaan RTH wilayah
perkotaan harus menjadi
substansi yang terakomodasi
secara hierarkial dalam
perundangan dan peraturan
serta pedoman di tingkat
nasional dan daerah/kota.
Untuk tingkat daerah baik
provinsi maupun
kabupaten/kota, permasalahan
RTH menjadi bagian organik
dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah dan subwilayah yang
diperkuat oleh peraturan
daerah.
Dalam pelaksanaannya,
pembangunan dan
pengelolaan RTH juga
mengikut sertakan masyarakat
untuk meningkatkan apresiasi
dan kepedulian mereka
terhadap, terutama, kualitas
lingkungan alami perkotaan,
yang cenderung menurun.
Beberapa action plan yang
dapat dilaksanakan, a.l.:
1). Issues : Suboptimalisasi
RTH
Action plan yang
disarankan:
(a) Penyusunan kebutuhan
luas minimal/ideal RTH
sesuai tipologi kota
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
56
(b) Penyusunan indikator
dan tolak ukur
keberhasilan RTH suatu
kota
(c) Rekomendasi
penggunaan jenis-jenis
tanaman dan vegetasi
endemik serta jenis-
jenis unggulan daerah
untuk penciri wilayah
dan untuk
meningkatkan keaneka
ragaman hayati secara
nasional
2). Issues : Lemahnya
kelembagaan pengelola
RTH
Action plan yang
disarankan:
(a) Revisi dan penyusunan
payung hukum dan
perundangan (UU, PP,
dll)
(b) Revisi dan penyusunan
RDTR, RTRTH, dll
(c) Penyusunan Pedoman
Umum : Pembangunan
RTH, Pengelolaan RTH
(d) Penyusunan
mekanisme insentif dan
disinsentif
(e) Pemberdayaan dan
peningkatan peran serta
masyarakat.
3). Issues : Lemahnya peran
stake holders
Action plan yang
disarankan:
(a)Pencanangan Gerakan
Bangun, Pelihara, dan
Kelola RTH (contoh
Gerakan Sejuta Pohon,
Hijau royo-royo, Satu
pohon satu jiwa, Rumah
dan Pohonku, Sekolah
Hijau, Koridor Hijau dan
Sehat, dll)
(b)Penyuluhan dan
pendidikan melalui
berbagai media
(c)Penegasan model
kerjasama antar stake
holders
(d)Perlombaan antar kota,
antar wilayah, antar
subwilayah untuk
meningkatkan apresiasi,
partisipasi, dan
responsibility terhadap
ketersediaan tanaman
dan terhadap kualitas
lingkungan kota yang
sehat dan indah
4). Issues : Keterbatasan
lahan perkotaan untuk
peruntukan RTH
Action plan yang
disarankan:
(a) Peningkatan fungsi
lahan terbuka kota
menjadi RTH
(b) Peningkatan luas RTH
privat
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
57
(c) Pilot project RTH
fungsional untuk lahan-
lahan sempit, lahan-
lahan marjinal, dan
lahan-lahan yang
diabaikan.
5. Analisis
Metode yang biasa digunakan
dalam proses penyusunan desain
ruang terbuka hijau/ hutan/ taman
kota adalah metode kuantitatif dan
kualitatif yang penggunaannya
tergantung pada tujuan dan hasil
analisis dan ketersediaan data.
Beberapa alternatif penggunaan
metode analisis nya adalah
sebagai berikut :
a). Metode Superimpose (Sleve
Map Analysis)
Metode ini merupakan
pendekatan analisis yang
mempergunakan beberapa
peta eksisting untuk
mendapatkan tingkat
kesesuaian lahan yang akan
dipergunakan sebagai wilayah
perencanaan.
Analisis ini digunakan untuk
menentukan daerah yang
paling baik untuk Lokasi
Hutan/ Taman Kota. Faktor
penentunya adalah semua
aspek fisik lingkungan dari
daerah perencanaan.
b). Metode Pembobotan
(Skoring Likert)
Metode ini dimaksudkan untuk
menentukan tingkatan dari
data yang ada baik data yang
bersifat kualitatif maupun
kuantitatif. Metode ini
digunakan untuk
mengkompilasi data yang
berjumlah banyak dan
berlainan jenis menjadi data
yang terstruktur sehingga
memiliki kualifikasi yang dapat
digunakan untuk memudahkan
proses analisis.
Metode pembobotan dilakukan
dalam 2 tahapan:
1. Untuk menemukan wilayah
wilayah yang potensial
untuk lokasi Hutan Kota
2. Untuk menentukan ranking
calon Lokasi Hutan Kota
yang akan diprioritasklan
untuk perencanaan
/pembangunan selanjutnya
3. Indikator dalam penentuan
wilayah potensial untuk
Hutan Kota disesuaikan
dengan Ketentuan
berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 63 Tahun
2002 tentang Hutan Kota.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
58
c). Metode Analisis Deskriptif
Kualitatif
Analisis deskriptif kualitatif
merupakan pengamatan
deskriptif dengan sistem
pemikiran interpretasi yang
tidak sekedar berdasarkan
fenomena saja namun diteliti
hubungannya hingga
memunculkan hipotesa serta
adanya prediksi hingga
mendapatkan masalah.
Berdasarkan metoda yang
digunakan analisis ini
mempunyai subyektivitas tinggi
terhadap obyek yang
dianalisis. Untuk itu diperlukan
brainstorming (diskusi umum
dan khusus, rapat koordinasi,
dan presentasi).
d). Metode Mixed Scanning
Comprehensive Approach
Metode ini merupakan
pendekatan perencanaan yang
menyeluruh dan terpadu
serta didasarkan pada potensi
dan permasalahan yang ada di
wilayah perencanaan.
Pendekatan tersebut
menyeluruh, dalam arti bahwa
peninjauan permasalahan
bukan hanya didasarkan pada
kepentingan wilayah
perencanaan saja, tetapi
ditinjau pada kepentingan yang
lebih luas, baik antara wilayah
perencanaan maupun dalam
konstalasi regionalnya.
Sedangkan terpadu
mengindikasikan bahwa untuk
menyelesaikan permasalahan
tidak hanya dipecahkan secara
sektoral saja, tetapi didasari
oleh kerangka perencanaan
yang terpadu antar sektor,
yang dalam implementasinya
dapat berujud koordinasi dan
sinkronisasi antar sektoral.
e). Analisa SWOT
Metode SWOT merupakan
metode yang seringkali
dipergunakan dalam suatu
perencanaan strategik, dan
sangat implikatif di dalam
analisisnya. SWOT akan
mencari faktor-faktor
penghambat dan faktor-faktor
peluang yang dihadapi.
Sehingga seringkali disebut
sebagai metode analisis
situasi.
Adapun Analisa dan Kajian
menyangkut beberapa factor
untuk menilai kondisi,
kebutuhan, fungsi dan manfaat
Hutan Kota secara:
Ekologis
Analisis ekologis yang
dilakukan mencakup:
kualitas air tanah, bencana
alam (banjir, tanah
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
59
longsor), polusi udara dan
suhu udara.
Sosial Budaya
Analisis sosial budaya
mencakup interaksi sosial,
sarana rekreasi, dan
tetenger (landmark) kota.
Arsitektural
Analisis arsitektural
menyangkut nilai
keindahan dan
kenyamanan
Ekonomi
Analisis ekonomi
menyangkut pemanfaatan
lahan kosong menjadi
lahan budidaya (urban
agricultur) dan kontribusi
sarana wisata Hutan Kota
Regulasi / Peraturan
Analisa regulasi/peraturan
untuk mendapatkan hasil
rekomendasi Rencana
Hutan Kota yang kuat
secara yuridis.
f). Analisa Perhitungan Luas
RTH Kota
Terdapat beberapa macam
cara untuk menetapkan
keluasan RTH kota, ditinjau
dari berbagai kebutuhan
penduduk kota.
1). Pendekatan Gerakis
melalui Perhitungan
Kebutuhan Oksigen (O2):
Sebagai contoh, hasil
penelitian di sebuah kota
dengan luas 431 km2,
jumlah penduduk 2,6 juta
jiwa, jumlah kendaraan
bermotor 200.000 bh,
maka:
Kebutuhan O2 = 5,352
X 10 gram atau setara
5.709 X 10 gram berat
kering tanaman,
Untuk memproduksi
oksigen oleh kelompok
tanaman sebesar jumlah
tersebut perlu dibuat:
(5.709 X 10) : 24 = 105.7
km2 atau 24.6% luas kota
adalah RTH
Dengan catatan asumsi
bahwa setiap meter persegi
(m2) tanaman
menghasilkan 54 gram
bahan kering.
2). Perhitungan Berdasar
Kebutuhan Air:
Kebutuhan air dalam kota
tergantung dari faktor:
a. Kebutuhan air bersih
per tahun
b. Jumlah air yang
dapat disediakan oleh
PAM
c. Potensi air saat ini
d. Kemampuan hutan
menyimpan air
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
60
berdasarkan UU Tata Ruang No: 26 tahun 2007.
g). Analisa Ekologis
1). Ekologi dan Ekosistem
Makhluk hidup dalam perkembangan
dan pertumbuhannya tidak dapat
hidup sendiri, selalu memerlukan
makhluk lainnya dalam menjalani
hidup dan kehidupannya. Antara
makhluk yang satu dengan makhluk
yang lain selalu berhubungan dan
mengadakan kontak yang saling
menguntungkan. Tetapi ada juga
sebagian kecil mahkluk hidup yang
selalu merugikan makhluk lain,
biasanya makhluk ini disebut dengan
parasit.
Ekologi adalah kajian mengenai
interaksi timbal-balik jasad individu, di
antara dan di dalam populasi spesies
yang sama, atau di antara komunitas
populasi yang berbeda-beda dan
berbagai faktor non hidup (abiotik)
yang banyak jumlahnya yang
merupakan lingkungan yang efektif
tempat hidup jasad, populasi atau
komunitas itu. Lingkungan efektif itu
mencakup keterkaitan pada interaksi
antara jasad hidup itu sendiri. Kaji
ekologi itu memungkinkan kita
memahami komunitas itu secara
keseluruhan (Ewusie, 1990).
Adapun ekologi sendiri mencakup
suatu keterkaitan antara segenap
unsur lingkungan hidup yang saling
mempengaruhi, sepeti tumbuhan dan
sinar matahari, tanah dengan air,
RUANG TERBUKA
RUANG TERBUKA HIJAU
(MIN 30% LUAS KOTA)
RTH PRIVAT
RUANG TERBUKA NON HIJAU
RUANG TERBUKA NON HIJAU PUBLIK
RTH PUBLIK
(20% LUAS KOTA)
RUANG TERBUKA
NON HIJAU PRIVAT
Ps. 29 ayat (1) Ps. 29 ayat (2)
Ps. 29 ayat (3)
PENGATURAN PROPORSI RUANG TERBUKA HIJAU PADA WILAYAH KOTA
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
61
yang pada umumnya dikatakan
sebagai hukum alam yang berimbang
dan biasa disebut ekosisitem.
Komponen-komponen dalam
ekosistem telah dikelola oleh alam
dan mereka saling berinteraksi. Ada
komponen yang bersifat netral,
bekerjasama, menyesuaikan diri,
bertentangan bahkan saling
menguasai. Akan tetapi pada
akhirnya antara kekuatan-kekuatan
tersebut terjadi keseimbangan (Arief,
1994).
Satu ciri mendasar pada ekosistem
adalah bahwa ekosistem itu bukahlah
suatu sistem yang tertutup, tetapi
terbuka dan dari padanya energi dan
zat terus-menerus keluar dan
digantikan agar sistem itu terus
berjalan. Sejauh yang berkenaan
dengan struktur, ekosistem secara
khas mempunyai tiga komponen
biologi, yaitu; produsen (jasad
autotrof) atau tumbuhan hijau yang
mampu menambat energi cahaya;
hewan (jasad heterotrof) atau
kosumen makro yang menggunakan
bahan organik; dan pengurai, yang
terdiri dari jasad renik yang
menguraikan bahan organik dan
membebaskan zat hara terlarut
(Ewusie, 1990).
2). Tanam-tanaman dalam
Lingkungan Kota
Penghijauan di lingkungan kota dapat
meningkatkan kualitas kehidupan
dalam kota, karena manusia dapat
hidup erat dengan alam (melihat
tumbuhan tanaman, burung dan
binatang lain serta dapat mengerti
fungsi ekosistem). Kota yang memiliki
keteduhan dengan banyak pohon
besar yang rindang dapat
mengurangi lalu lintas bermotor
(karena penduduk lebih bersedia
berjalan kaki, dan berkurang untuk
mencari tempat beristirahat di luar
kota atau ditempat hiburan besar).
(Heinz Frick, 1998)
Disamping hal tersebut penghijauan
di lingkungan kota meningkatkan
produksi oksigen yang
menguntungkan kehidupan sehat
bagi manusia, mengurangi
pencemaran udara, serta
meningkatkan kualitas iklim mikro.
Tanam – tanaman menerima air
hujan, mengikatnya didalam tanah,
dan kemudian menguapkannya
kembali. Dengan demikian tanaman
tersebut ikut dalam pengolahan air
hujan dan melindungi tanah lereng
dari longsor.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
62
Tabel 1: Tanaman Sebagai Peningkat Kualitas Lingkungan Kota
1 Pohon berumur ±
100 tahun
Tanam tanaman
seluas 1 Ha
Produksi oksigen (O2) 1,7 kg/jam 600 kg/hari
Penerimaan karbondioksida
(CO2)
2,35 kg/jam 900 kg/hari
Zat arang yang terikat 6 ton -
Penyaring debu - sampai 85%
Penguapan air 500 liter/hari -
Penurunan suhu - Sampai 40 C
Selain tanaman dapat memperbaiki
kualitas kehidupan, peningkatan
pendapatan (daun, kayu, akar, buah),
penanaman tanaman dan semak
dapat berfungsi juga sebagai
penahan erosi, mencegah banjir,
menjaga sumber air, sumber bahan
bangunan dan sumber pangan.
Disamping itu tanaman juga dapat
mengurangi pencemaran debu.
3). Penelusuran Jejak Ekologis
Dalam kaitannya dengan analisa
ekologis penyusunan studi
Pembangunan Hutan Kota
Kebumen dilakukan kajian
dengan menelusuri jejak
ekologis.
Jejak ekologis adalah mengukur
konsumsi manusia pada sumber-
sumber alam dalam kaitannya
dengan keberlanjutan lingkungan.
Jejak ini harus dipertimbangkan
dengan kemampuan alam untuk
memperbaharui sumber
sumbernya (Living Planet Report,
2004, hal 10).
h). Analisa Teknis
Sebagaimana yang tertuang
dalam pasal 8 PP Nomor 63
Tahun 2002 Tentang Hutan
Kota disebutkan bahwa
besaran luas Hutan Kota
dalam satu hamparan yang
kompak paling sedikit 0,25 Ha.
Persentase luas hutan kota
paling sedikit 10% dari wilayah
perkotaan atau disesuaikan
dengan kondisi setempat.
Hutan kota merupakan bagian
dari keseluruhan RTH Kota
dan RTH merupakan bagian
dari Ruang Terbuka (open
space) wilayah perkotaan.
Dalam rencana pembangunan
dan pengembangan RTH yang
fungsional suatu wilayah
perkotaan, ada 4 (empat) hal
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
63
utama yang harus diperhatikan
yaitu:
(a) Luas RTH minimum yang
diperlukan dalam suatu wilayah
perkotaan ditentukan secara
komposit oleh tiga komponen
berikut ini, yaitu:
1) Kapasitas atau daya
dukung alami wilayah
2) Kebutuhan per kapita
(kenyamanan, kesehatan,
dan bentuk pelayanan
lainnya)
3) Arah dan tujuan
pembangunan kota
RTH berluas minimum merupakan
RTH berfungsi ekologis yang
berlokasi, berukuran, dan berbentuk
pasti, yang melingkup RTH publik
dan RTH privat. Dalam suatu wilayah
perkotaan maka RTH publik harus
berukuran sama atau lebih luas dari
RTH luas minimal, dan RTH privat
merupakan RTH pendukung dan
penambah nilai rasio terutama dalam
meningkatkan nilai dan kualitas
lingkungan dan kultural kota.
(b) Lokasi lahan kota yang
potensial dan tersedia untuk RTH
(c) Sruktur dan pola RTH yang akan
dikembangkan (bentuk,
konfigurasi, dan distribusi)
(d) Seleksi tanaman sesuai
kepentingan dan tujuan
pembangunan kota.
Standart kebutuhan RTH diatas
berlaku umum di wilayah perkotaan,
dengan luasan RTH minimal yang
dibutuhkan di wilayah perkotaan.
Perhitungan diatas berdasarkan
kebutuhan per unit lingkungan dan
jenis ruang terbuka yang dibutuhkan
serta lokasinya.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
64
i). Analisa Sosial Budaya
Tingginya tingkat kriminalitas dan
konflik horizontal diantara kelompok
masyarakat perkotaan secara tidak
langsung juga dapat disebabkan oleh
kurangnya ruang-ruang kota yang
dapat menyalurkan kebutuhan
interaksi sosial untuk pelepas
ketegangan yang dialami oleh
masyarakat perkotaan. Rendahnya
kualitas lingkungan perumahan dan
penyediaan ruang terbuka
publik,secara psikologis telah
menyebabkan kondisi mental dan
kualitas sosial masyarakat yang
makin buruk dan tertekan
RTH kota merupakan sub-ordinat
ruang terbuka yang ada dalam
konstelasi perencanaan ruang kota
secara keseluruhan. Ditinjau dari
sudut manusia, maka konsepsi
pengelolaan LH menjadi kompleks. Di
satu pihak, dengan berbagai
pandangan dan latar belakang,
manusia itu berbudaya (cultural
contemplation), berperilaku sosial
(social behaviour), pertimbangan
ekonomi (economicconsiderations),
dan bersikap politik (political
Tabel 2
STANDART RTH: KRITERIA UNIT UNIT LINGKUNGAN
Tabel 3. KEBUTUHAN AKAN RTH
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
65
attitudes), semua terpadu sebagai
salah satu komponen pendukung
pengembangan lingkungan hidup
(Haeruman, et.al.1980).
Manusia akan selalu memandang,
bahwa sumber daya itu akan
menghasilkan barang dan jasa
berupa materi, informasi, dan energi,
dalam siklusnya masing-masing,
termasuk perhitungan antara daya
dukung atau kemampuan asimilasi
serta dampak negatif lingkungan.
Sekarang, tergantung pada diri kita
masing-masing, bagaimana
menyadari eksistensi sumberdaya itu
dan pemanfaatannya, terutama di
lingkungan perkotaan, sehingga
dapat bermanfaat bagi kehidupan
warga kota secara berkelanjutan.
Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil
yaitu keluarga, maka ruang luar yang
ada sebenarnya dapat dimanfaatkan
secara optimal, dengan tanaman pot
bunga, buah, sayuran, apotik hidup
minimal untuk kebutuhan keluarga.
Kota akan selalu menghadapi
perobahan akibat akselerasi
pembangunan secara menyeluruh,
sehingga terjadi degradasi kualitas
fungsi alami lingkungan. Kemacetan
lalu-lintas yang semakin parah di
seluruh bagian kota, pencemaran
udara, air, tanah dan suara, banjir,
kebakaran, dan krisis air bersih,
berakibat penurunan kualitas
kesehatan, produktivitas, dan kinerja
warga kota.
Perencanaan tata ruang kota selalu
tertinggal dengan laju kebutuhan fisik
dan psikis penduduk yang semakin
meningkat, baik dalam jumlah
maupun kualitas. Ekspansi ruang
kota ke segala penjuru tanpa
terkendali. Penanganan masalah
lingkungan hidup kota, termasuk
eksistensi RTH, masih bersifat parsial
dan temporal.
j). Analisa Arsitektur
Secara arsitektural RTH dapat
meningkatkan nilai keindahan
dan kenyamanan kota melalui
keberadaan taman-taman
kota, kebun-kebun bunga, dan
jalur-jalur hijau dijalan-jalan
kota.
Berdasarkan PP Nomor 63
Tahun 2002 Tentang Hutan
Kota Pasal 14 dan 15 tentang
type dan bentuk hutan kota
dengan fungsi yang ditetapkan
dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Perkotaan atau
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK
66
Rencana Tata Ruang Wilayah
adalah:
Tipe hutan kota antara lain:
a. tipe kawasan permukiman;
b. tipe kawasan industri;
c. tipe rekreasi;
d. tipe pelestarian plasma
nutfah;
e. tipe perlindungan; dan
f. tipe pengamanan.
Bentuk hutan kota antara lain:
a. jalur;
b. mengelompok; dan
c. menyebar.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony J. Catanese, dkk (1989),
”Pengantar Sejarah
Perencanaan Perkotaan,
sebuah kumpulan karangan
(terjemahan)”, Intermatra,
Bandung.
Arthur B. Gallion dan Simon Eisener
(1992), ”Pengantar
Perancangan Kota, Desain dan
Perencanaan Kota
(terjemahan)”, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Diana Conyer and Peter Hills (1984),
”An Introduction to
Development in the Third
World”, John Wiley & Sons, New
York.
Direktorat Pembinaan Jalan Kota
(1992), “Petunjuk Praktis
Penataan Penghijauan Jalan
dan Lingkungannya” Direktorat
Jenderal Bina Marga.
Ir M. Robinson (1993), ”Urban
Planning Methods and
Techniques”, Human Settlement
Development, Asian Institute of
Technology, Bangkok.
Melville C. Branch (1985),
”Comprehensive City
Planning; Introduction and
Explanation”, The Planners
Press of The American Planning
Association, Chicago.
Menno S. dan Mustamin Alwi (1991),
”Antroplogi Perkotaan”,
Rajawali Pers, Jakarta.
Paul D. Spreiregen (1981), ”Urban
Design; The Architecture of
Towns and Cities”,Robert E.
Kreiger Publishing Company,
Florida.
Rob Krier (1991), ”Urban Space”,
Academy Editions, London.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
67
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL
KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES
EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
Priyono Kusumo
email : [email protected]
Abstrak
Ekstraksi cair-cair merupakan salah satu metode pemisahan campuran yang melibatkan proses pemindahan massa solut antara fasa cair yang tidak saling melarut. Dalam proses ekstraksi cair-cair secara kontinyu salah satu cairan didispersikan ke cairan lainnya agar terjadi kontak yang intim antara kedua cairan tersebut. Perpindahan massa solut dari satu fasa cair ke fasa cair lainnya sangat dipengaruhi oleh karakteristik isian, luas permukaan kontak serta diameter gelembung. Untuk keperluan perancangan atau evaluasi unjuk kerja kolom isian, diperlukan informasi besarnya harga koefisien pindah massa baik di fasa dispersi maupun di fasa kontinyu. Saat ini korelasi untuk meramalkan besarnya harga koefisien pindah massa baik di fasa dispersi maupun di fasa kontinyu diturunkan untuk gelembung tunggal baik pada kondisi gelembung bersirkulasi atau tak bersirkulasi. Untuk dapat mengetahui korelasi yang dapat digunakan untuk meramalkan besarnya koefisien pindah massa proses ekstraksi cair-cair dalam kolom isian, dilakukan pengamatan ekstraksi sistem air–MEK–n-heksan. Dalam sistem ini air sebagai fasa kontinyu, MEK sebagai solut, dan n-heksan sebagai fasa dispersi. Pengamatan ekstraksi pada temperatur dan tekanan ruang, dilakukan dalam sebuah kolom berdiameter 5 cm, tinggi 126 cm yang berisi bola kaca. Hasil pengamatan menunjukan bahwa gabungan korelasi model Handloss-Baros (HB) – dan model Garner-Foord-Tayeban (GFT) memberikan hasil yang cukup sesuai pada rentang gelembung bersirkulasi (pada harga Re : 10-200). Berdasarkan model tersebut, penyimpangan terbesar dalam peramalan tinggi isian mencapai harga 1,53 kali dari tinggi sebenarnya.
Kata kunci: ekstraksi cair-cair, kolom isian, koefisien pindah massa
Pendahuluan
Ekstraksi cair-cair merupakan
salah satu cara pemisahan campuran
cair yang pada kondisi tertentu
memiliki beberapa keunggulan bila
dibandingkan dengan menggunakan
cara pemisahan lain, seperti distilasi
atau adsorpsi. Keunggulan tersebut
antara lain ialah proses pemisahan
dapat berjalan pada kondisi ruang
dengan kebutuhan energi yang relatif
kecil. Ekstraksi cair-cair saat ini telah
digunakan pada skala komersial
misalnya pada industri petroleum
dimana proses ini dimanfaatkan untuk
penghilangan senyawa-senyawa
aromatik, sulfur, lilin dan resin pada
pembuatan minyak pelumas.
Pemisahan campuran fasa cair
dapat terjadi akibat perpindahan
salah satu senyawa dalam campuran
ke fasa cair lain yang kontak dengan
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
68
campuran cair tersebut. Agar proses
pemisahan berlangsung dengan
cepat dan sempurna, kontak antara
kedua cairan tersebut harus intim
yaitu memiliki luas area permukaan
kontak sangat luas serta hambatan
perpindahan massa antar fasa cair-
cair sangat rendah. Hal ini dapat
dicapai bila salah satu cairan
terdispersi di dalam cairan yang
lainnya. Cairan yang terdispersi
dalam bentuk tetesan disebut fasa
terdispersi, sedangkan cairan yang
lainnya yang mendispersi disebut
fasa kontinyu.
Dinamika tetesan tersebut
sangat berpengaruh terhadap
besarnya luas area permukaan
kontak serta besarnya hambatan
pindah massa yang dinyatakan dalam
besaran koefisien pindah massa.
Besaran koefisien pindah massa
tersebut akan menggambarkan
mudah tidaknya senyawa yang akan
diekstraksi (solute) berpindah dari
salah satu cairan ke cairan yang
lainnya.
Tinjauan Pustaka
Ekstraksi cair-cair atau
ekstraksi solven adalah ekstraksi dari
larutan fasa cair dengan
menggunakan pelarut fasa cair lain
sebagai media pemisah. Secara
sederhana peristiwa ekstraksi cair-
cair dapat digambarkan dalam skema
sebagai berikut:
Gambar 1. Skema Proses Ekstraksi Cair-Cair
Pelarut I Zat Terlarut
Pelarut II Ekstrak
Rafinat
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
69
Proses pemisahan zat yang
ada dalam larutan asal ke dalam
pelarut merupakan proses pindah
massa yang memerlukan luas
permukaan kontak yang besar, oleh
sebab itu pelarut didispersikan dalam
bentuk tetesan-tetesan kecil ke dalam
larutan asal, atau sebaliknya pelarut
asal yang didispersikan kedalam
pelarut. Dengan demikian dalam
proses ekstraksi cair-cair dikenal dua
fasa saling kontak yaitu fasa
terdispersi yang merupakan cairan
yang didispersikan dan fasa yang
merupakan cairan yang bertindak
sebagai medium dispersi.
Mekanisme pemisahan
digambarkan secara sederhana
dalam Gambar 2, dengan ekstraksi
cair-cair terjadi berdasarkan pindah
massa akibat kontak antara larutan
yang dialirkan secara kontinyu (fasa
kontinyu) dengan pelarut yang
dialirkan secara terdispersi (fasa
terdispersi). Fasa kontinyu dialirkan
dari bagian atas kolom isian yang
kemudian mengalir turun. Selama
mengalir di sepanjang kolom, cairan
mengisi celah-celah kosong dan
membentuk lapisan tipis pada
permukaan bahan isian. Fasa
terdispersi dialirkan dari bagian
bawah kolom isian yang selama
mengalir di sepanjang kolom
dimungkinkan mengalami proses-
proses berikut :
Melewati celah-celah kosong
Menembus bahan isian
Mengalami perpecahan
menjadi gelembung dengan ukuran
yang lebih kecil akibat bertumbukan
dengan bahan isian
Gambar 2. Ekstraksi Cair-Cair dalam Kolom Isian
Pelarut/fasa
terdispersi
Larutan/fasa
kontinyu
Ekstrak
Rafinat
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
70
Melalui berbagai proses
tersebut terjadilah kontak dengan
fasa kontinyu yang mengalir
kebawah, kontak yang terjadi
menyebabkan zat terlarut berpindah
dari fasa kontinyu ke fasa terdispersi.
Zat terlarut dapat berpindah karena
adanya driving force antara pelarut
yang satu dengan pelarut yang lain.
Laju perpindahan zat terlarut yang
terjadi antar larutan dibatasi oleh
adanya tahanan (resistance) yang
menghalangi proses perpindahan
yang terjadi secara molekuler. Proses
perpindahan zat terlarut antar larutan
dapat dirumuskan secara sederhana
dalam persamaan sebagai berikut :
resistance
rcedriving fo Massan PerpindahaLaju (1.)
Driving force pada laju perpindahan
massa zat terlarut adalah perbedaan
konsentrasi antar larutan, sedangkan
resistance yang menghambat proses
perpindahan adalah invers dari
difusivitas zat terlarut dalam larutan.
Neraca massa zat terlarut dalam fasa kontinyu
Gambar 3. Neraca massa zat terlarut dalam fasa kontinyu
Melalui Gambar 3
diilustrasikan proses terjadinya
pindah massa dari fasa kontinyu ke
fasa terdispersi dalam kolom isian.
Uc adalah kecepatan zat terlarut di
fasa kontinyu yang mengalir masuk
dari atas melalui luas penampang
melintang kolom (m3/jam.m2), Ccin
konsentrasi zat terlarut. Ud kecepatan
fasa terdispersi mengalir melintang
kolom pada tiap luas penampang
melintang kolom (m3/jam.m2), Cdout
konsentrasi zat terlarut di fasa
terdispersi. Sedangkan a adalah luas
kontak antar fasa (interfacial area)
antara fasa terdispersi dan fasa
kontinyu per satuan volum kolom.
Bila diambil segmen kolom setinggi
Fasa Kontinyu
Fasa Terdispersi
Uc
Ccout
Ud
Cdin
Ud
Cdout
Uc
Ccin
Z
Cdi
Cd
Cci
Cc
Z+?z
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
71
Δz, maka dapat disusun neraca
massa pada segmen volum A.Δz
sebagai berikut:
Laju alir masuk – laju alir keluar + laju perpindahan massa = akumulasi (2.)
(3.)
Apabila sistem mencapai keadaan tunak maka akumulasi atau 0dt
dCc , dievaluasi untuk Δz -> 0
diperoleh persamaan (4.)
Perssamaan (4) merupakan
persamaan yang menggambarkan
perubahan konsentrasi zat terlarut di
fasa kontinyu sepanjang kolom z.
Laju perpindahan massa tergantung
dari luas pindah massa (ai) dan
koefisien pindah massa (kc). Dengan
cara yang sama untuk fasa
terdispersi dapat dituliskan
(5.) Apabila persamaan (5) ini diintegrasikan maka akan dapat diperoleh tinggi kolom Z (6.)
Untuk memperoleh tinggi kolom Z,
dipengaruhi oleh laju alir fasa
terdispersi Ud, konsentrasi zat terlarut
dalam fasa terdispersi Cd, luas
terjadinya kontak untuk pindah massa
ai dan koefidien pindah massa fasa
terdispersi kd. Koefisien pindah
massa fasa terdispersi kd diperoleh
korelasinya dari para peneliti
terdahulu.
dt
dCzAdZCCakCAUCAU c
cicczzcczcc )(
ddiidd
d CCakdz
dCU
cicicc
c CCakdz
dCU
din
dout
c
C ddi
d
id
d
CC
dC
ak
UZ
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
72
Model koefisien pindah massa
Model koefisien pindah massa
sangat dipengaruhi oleh rejim aliran.
Rejim aliran dipengaruhi oleh
bilangan Reynoldnya. Ada tiga
keadaan bilangan Reynold yang
menyebabkan perbedaan rejim aliran
khususnya di fasa terdispersi yang
juga mempengaruhi pergerakan
tetesan didalam kolom isian.
Perbedaan itu dinyatakan dengan
1. Gelembung diam
bilangan reynold gelembung
kurang dari 10
gelembung bergerak di bawah
kecepatan turbulennya.
Pergerakan gelembung ke
atas diam tidak bergerak baik
berotasi maupun berosilasi.
2. Gelembung bersirkulasi
Bilangan reynold gelembung
antara 10-200.
Laju pergerakannya di bawah
kecepatan maksimum
Gelembung bergerak sambil
berotasi terhadap porosnya
3. Gelembung berosilasi
Bilangan reynold gelembung
lebih dari 200
Di dalam pergerakannya ke
atas, gelembung mengalami
kembang kempis.
Mekanisme pergerakan
gelembung yang berosilasi
disebabkan oleh adanya
vortex, yaitu ada gerakan ke
arah .
Osilasi yang normal tidak
menyebabkan gelembung
pecah.
Kecepatan jatuhnya
gelembung berosilasi tidak
berdampak pada frekuensi
osilasi.
Fasa dispersi mempunyai
pengaruh yang kecil terhadap
osilasi, kecuali jika
viskositasnya sangat tinggi.
Osilasi oblate-prolate tidak
menyebabkan gelembung
pecah ketika ukuran
gelembung di bawah
maksimum.
Secara keseluruhan model pindah
massa berdasarkan bilangan
Reynoldnya ditabelkan berikut ini
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
73
Tabel 1. Model koefisien pindah massa berdasar pada bilangan Reynold
Pada penelitian ini dipilih
koefisien pindah massa gabungan
HB-GFT (Handloss-Baros – Garner
Foord Tayeban), difasa terdispersi
dan fasa kontinyu. Pemilihan ini atas
dasar kenyataan bahwa tetesan
tidaklah stagnant tapi terus bergerak
sepanjang kolom isian. Dengan
memvariasikan laju alir fasa
terdispersi diharapkan model
gabungan ini mampu untuk
menghitung koefisien pindah massa
dikedua fasa tersebut. Untuk
menghitung tinggi kolom Z
diperhitungkan dengan koefisien
pindah massa secara keseluruhan.
Koefisien pindah massa keseluruhan
(Ko, over all) diperoleh dengan
menggabungkan kedua koefisien
pindah massa dikedua fasa.
Koefisien pindah massa keseluruhan
bisa dinyatakan dengan basis fasa
kontinyu maupun basis fasa
terdispersi. Untuk basis fasa kontinyu
dinyatakan dengan persamaan
(7.)
Keadaan tetesan
Reynold tetesan
Model koefisien perpindahan massa
fasa terdispersi
Model koefisien perpindahan massa fasa kontinyu
Stagnan (diam)
Re < 10
Treybal
d
Dkd d
3
2 2
Rowe
5,05,0076,2 cec SRSh
Sirkulasi
10 < Re < 200
Kroning dan Brink (KB)
dd Dk 9,17
Handlos dan Baron (HB)
c
d
d
Uk
1
.00375,0
Garner Foord Tayeban (GFT)
5,05,08,112645,0 cec SRSh
Higbie
4 cc
c
D Uk
d
Osilasi
Re > 200
Rose Kintner (RK)
5,045,0 dd Dk
Angelo – Lightfoot
014
d
d
Dk
Garner – Tayeban (GT)
7,00085,050 cec SRSh
dcoc mkkK
111
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
74
Sedangkan untuk fasa terdispersi dengan perssamaan (8.) dengan
(9.) Eksperimen
Eksperimen untuk validasi
model yang diusulkan, dilakukan
dalam kolom berbentuk silinder yang
diisi dengan bola kaca sebagai bahan
isian. Kolom memiliki sampling port
pada jarak ketinggian yang pendek,
sehingga dimungkinkannya diperoleh
profil konsentrasi zat terlarut baik di
fasa dispersi maupun di fasa
kontinyu. Dalam eksperimen ini,
divariasikan laju alir cairan fasa
terdispersi dan fasa kontinyu
(pengamatan pada berbagai rejim
aliran). Variasi laju alir ditabelkan
berikut ini
Tabel 2. Variasi laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi
Jenis Packing No Fc Fd
Run (cm3/s) (cm
3/s)
1 1,929 4,545
2 3,858 4,545
3 5,787 4,545
Bola Kaca 4 1,929 9,09
5 3,858 9,09
6 5,787 9,09
7 1,929 13,635
8 3,858 13,635
9 5,787 13,635
cdod k
m
kK
11
ddi
cci
CC
CCm
*
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
75
Hasil dan pembahasan Koefisien pindah massa fasa kontinyu kc Gambar 4. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah
massa fasa kontinyu kc
Koefisien perpindahan massa
fasa kontinyu diambil dari model yang
dikembangkan oleh Garner Foord
Tayeban dengan penghertian bahwa
di dalam kolom isian fasa kontinyu
akan mengalir mememenuhi kolom
beserta isiannya dan mengalir
kebawah. Selama dalam perjalanan
mengalir kebawah dalam kolom
bertemu dengan fasa terdispersi yang
mengalir naik dengan bentuk tetes-
tetes fasa terdispersi. Saat
bertemunya fasa kontinyu dan fasa
dispersi disitulah terjadinya
perpindahan massa. Perpindahan
massa dari fasa terdispersi ke fasa
kontinyu dipengaruhi oleh waktu
kontak yang terjadi. Pengaruh laju alir
kedua fasa dalam peristiwa pindah
massa fasa kontinyu disampaikan
dalam Gambar 4.
Koefisien pindah massa fasa
kontinyu lebih dominan dipengaruhi
oleh laju alir fasa kontinyu.
Perubahan laju alir kedua fasa
menyebabkan perubahan pada
koefisien pindah massanya.
Perubahan yang terjadi senantiasa
sama (berimpit). Keadaan ini
disebabkan pada fasa terdispersi
tidak atau sedikit sekali mengandung
sat yang bisa berpindah dari fasa
terdispersi ke fasa kontinyu.
0.0400
0.0450
0.0500
0.0550
0.0600
0.0650
0.0700
0.0750
0.0800
0.0850
0.0900
1 2.25 3.5 4.75 6
kc c
m/s
Fc cm3/s
Fd = 4,54 cm3/s Fd = 9,09 cm3/s Fd = 13,63 cm/s
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
76
Koefisien pindah massa fasa terdispersi
Gambar 5. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah
massa fasa terdispersi kd
Koefisien pindah massa fasa
terdispersi diambil dari model yang
dikembangkan oleh Handlos-Baron
dengan asumsi bahwa di dalam tetes
terjadi sirkulasi penuh, yaitu kondisi
tetes mendekati tetes berosilasi. Oleh
karena itu perpindahan massa secara
difusi jauh lebih besar daripada
perpindahan secara molekuler.
Korelasi ini memperhitungkan
parameter viskositas dan kecepatan
tetesan sehingga keberlakuan model
ini lebih tepat pada gelembung
bersirkulasi dengan rentang bilangan
Reynold, Re :10-200.
Pada Gambar 5 menunjukkan
perubahan laju alir kedua fasa
menyebabkan perubahan pada
koefisien pindah massa fasa
terdispersi. Koefisien pindah massa
fasa terdispersi sangat dipengaruhi
oleh laju alir kedua fasa dalam kolom
isian. Semakin tinggi laju alir salah
satu fasa atau bahkan keduanya
membuat koefisien pindah massanya
menurun. Sebab pada laju alir yang
tinggi terjadi turbulensi pada aliran
yang menyebabkan perubahan
bilangan Reynold. Perubahan
bilangan Reynold berarti terjadi
perubahan rejim aliran, perubahan
rejim aliran menyebabkan model
koefisien perpindahan massa dari
Handlos-Baron tidak akurat lagi,
sebab model ini hanya bisa akurat
pada rentang bilangan Reynold 10 –
200 saja. Laju alir yang lebih lambat
menyebabkan aliran yang laminer,
0.0206
0.0208
0.0210
0.0212
0.0214
0.0216
0.0218
0.0220
0.0222
0.0224
1 2.25 3.5 4.75 6
kd
cm
/s
Fc cm3/s
Fd = 4,54 cm3/s Fd = 9,09 cm3/s Fd = 13,63 cm3/s
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
77
aliran laminer bilangan Reynoldnya
kecil.
Koefisien pindah massa
keseluruhan Kod
Koefisien pindah massa
keseluruhan dapat dinyatakan dalam
basis fasa kontinyu ataupun fasa
terdispersi. Pada penelitian ini
dinyatakan dalam basis fasa
terdispersi, Kod. Koefisien
perpindahan massa keseluruhan
merupakan gabungan model HB-GFT
(Handloss Baros – Garner Foord
Tayeban). Model ini berlaku akurat
pada rentang bilangan Reynold 10 –
200. Koefisien pindah massa
keseluruhan dapat didefinisikan
berdasarkan teori dua lapisan.
Berdasarkan teori dua lapisan, fluks
perpindahan massa zat terlarut dari
fasa kontinyu ke lapisan batas sama
dengan perpindahan massa zat
terlarut dari lapisan batas ke fasa
terdispersi. Keadaan ini bisa diikuti
pada Gambar 6 Pada laju alir fasa
kontinyu yang lebih rendah koefisien
pindah massa mempunyai nilai
besar, namun pada laju alir yang
lebih cepat koefisien pindah
massanya menurun. Perubahan nilai
kosfisien pindah massa karena
perubahan laju alir fasa terdispersi
hampir selalu berimpit hal ini
disebabkan karena perpindahan
massa zat terlarut dari fasa kontinyu
ke lapisan batas sama dengan
perpindahan massa zat terlarut dari
lapisan batas ke fasa terdispersi
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
78
Gambar 6. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah massa keseluruhan Kod
Perhitungan tinggi kolom, Z
Gambar 7. Tinggi kolom Z pada berbagai bilangan Reynold
Tinggi kolom dihitung dengan
menggunakan model koefisien pindah
massa keseluruhan gabungan dari
model HB-GFT (Handloss-Baros –
Garner Foord Tayeban) untuk
berbagai rejim aliran yang dinyatakan
dengan bilangan Reynold. Gambar 7
menjelaskan perihal perbandingan
0.0160
0.0170
0.0180
0.0190
0.0200
0.0210
0.0220
0.0230
0.0240
0.0250
1 2.25 3.5 4.75 6
Ko
d c
m/s
Fc cm3/s
Fd = 4,5 cm3/s Fd = 9,09 cm3/s Fd = 13,63 cm3/s
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
0 0.02 0.04 0.06
Zh
itu
ng
/Zn
yata
K(od)
Re = 35 ; Run 1, 4, 7 Re = 70 ; Run 1, 4, 7 Re = 175 ; Run 1, 4, 7
Re = 350 ; Run 1, 4, 7 model Re = 35 model Re = 70
model Re = 175 model Re = 350
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
79
tinggi kolom perhitungan
menggunakan model koefisien pindah
massa gabungan HB-GFT (Handloss-
Baros – Garner Foord Tayeban)
dengan tinggi nyata. Perubahan
bilangan Reynold atau rejim aliran
menyebabkan perubahan pada
koefisien pindah massa fasa
terdispersi dan kontinyu serta koefisien
pindah massa keseluruhan. Sebagai
akibatnya pada perhitungan tinggi
kolom memberikan hasil yang tidak
akurat. Pada bilangan Reynold
berkisar 35 sampai 175 masih
memberikan hasil yang sesuai namun
pada bilangan Reynold 375
perhitungan sudah melambung tinggi,
ini menunjukkan model gabungan HB-
GFT (Handloss-Baros – Garner Foord
Tayeban) tidak cocok bila digunakan
pada bilangan Reynold diatas 200.
Kesimpulan
Untuk meramalkan atau
mernghitung tinggi kolom dengan rejim
aliran yang relatif laminer model
koefisien pindah massa gabungan HB-
GFT (Handloss-Baros – Garner Foord
Tayeban) lebih cocok digunakan.
Untuk rejim yang lebih turbulen perlu
model koefisien pindah massa yang
lain.
Daftar notasi
d = diameter tetesan, mm
dvs = diameter rata-rata tetesan,
mm
Re = bilangan Reynold.
Sc = bilangan Schmidt.
Sh = bilangan Sherwood.
U = laju alir, cm3/dtk
ε = fraksi kosong packing dalam
model angelo-light foot.
kc = koefisien pindah masssa fasa
kontinu, cm/dtk
kd = koefisien pindah masssa fasa
dispersi, cm/dtk
m = koefisien distribusi
kesetimbangan.
Koc = koefisien pindah massa
keseluruhan basis fasa kontinyu,
cm/dtk
Kod = koefisien pindah massa
keseluruhan basis fasa terdispersi,
cm/dtk
ω = kecepatan angular.
v = kecepatan fasa kontinu.
cm/dtk
ρ = massa jenis fasa kontinu,
g/cm3
μ = viskositas cairan, cP
σ = tegangan antar muka,
dyne/cm
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN
80
c = fasa kontinu.
d = fasa dispersi.
Z = tinggi kolom, m
Bn = konstanta model kronig-brink.
g = percepatan gravitasi.
Daftar Pustaka
Laddha, G.S. , Degaleesan, T.E.
“Transport Phenomena ini Liquid
Extraction”, Mc Graw Hill, New York,
1978.
Mansyur, Y. dan Hervianto, B.C.
“Hidrodinamika Kolom Isian untuk
Proses Ekstraksi Cair-Cair”,
Thesis ITB, 2004.
Putranto, Aditya, “Kajian
Hidrodinamika Ekstraksi Cair-Cair
pada kolom Isian”, Thesis ITB,
2004.
Treyball, “Liquid-liquid Extraction”, Mc
Graw Hill, New York, 1950.
Treyball, “Mass Transfer Operations”,
Mc Graw Hill, New York, 1980
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
81
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM
(ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN
SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU
BERKATEKIN TINGGI
Mega Kasmiyatun Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Untag Semarang
Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Dhuwur Semarang, tilp. (024)8310920
ABSTRAK
Katekin (C6H6O2) dalam teh adalah komponen utama yang menentukan mutu, baik cita rasa, kenampakan, maupun warna air seduhan. Katekin merupakan kerabat tanin terkondensasi yang sering disebut polifenol, mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia. Untuk menghasilkan teh hijau dengan kadar katekin tinggi perlu proses pengeringan pada suhu rendah supaya senyawa polifenol tidah berubah menjadi theaflavin dan isomer-isomernya. Jenis pengering Endless Chain Vacuum (ECV) merupakan alat yang dapat dipakai untuk tujuan ini. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Membuat rancang bangun alat pengering ECV yang dapat mereduksi kandungan air, menginaktivasi enzimatis, dan menghindari peristiwa epimerisasi katekin untuk produksi teh hijau berkatekin tinggi; (2) Uji eksperimetal alat pengering ECV untuk mengkaji pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap kandungan air dan katekin dalam teh hijau yang dihasilkan; dan (3) Menyusun model empirik laju pengeringan dari pengering ECV. Langkah penelitian meliputi: Perancangan dan pabrikasi alat pengering ECV; Uji eksperimental alat pengering untuk mengetahui seberapa jauh kinerja pengering EVC melalui pengkajian pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap kandungan air dan katekin yang dihasilkan; pemodelan dan uji model. Hasilnya menunjukkan bahwa rancang bangun alat pengering ECV mampu mengeringkan teh hijau dengan kadar katekin 14,57%. Temperatur dan lajualir udara pengering berpengaruh pada kurve laju pengeringan atau waktu pengeringan, sedangkan waktu tinggal berpengaruh pada proses pengeringan ECV dan hasil katekin yang didapat. Disamping itu, dihasilkan model matematis yang menunjukkan hubungan antara berat daun teh sebagai fungsi waktu pengeringan, dimana dari uji validasi model menunjukkan tingkat ketepatan yang cukup baik. Kata kunci : Endless Chain Vacuum, katekin, pengeringan, teh hijau.
I. PENDAHULUAN
Teh sebagai bahan minuman
penyegar dan menyehatkan
merupakan salah satu komoditi
unggulan perkebunan Indonesia. Areal
teh Indonesia seluas 157.000 ha terdiri
atas 54% perkebunan rakyat, 24%
perkebunan besar negara, dan 22%
perkebunan besar swasta. Pasar teh
dunia dibayangi gejala kelebihan
pasokan dan biaya produksi yang
cenderung meningkat, mengharuskan
para produsen teh untuk meningkatkan
daya saing dan nilai tambah. Akhir-
akhir ini, aspek kesehatan teh disorot
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
82
tajam sejalan dengan kecenderungan
masyarakat mengkonsumsi makanan
atau minuman substitusi sebagai
imbangan diet kaya lemak dan
kolesterol (Yulianto dkk., 2005; Utami
dkk., 2005).
Senyawa Katekin (C6H6O2) dalam teh
merupakan komponen utama dalam
teh yang mendominasi sekitar 30%
berat kering. (Bokuchava dan
Skobeleva, 1969; Lunder, 1989;
Graham, 1992; Price dan Spitzer,
1993; Wang dan Helliwell, 2000).
Katekin adalah kerabat tanin
terkondensasi yang sering disebut
polifenol karena banyaknya gugus
fungsi hidroksil yang dimilikinya.
Katekin merupakan senyawa utama
yang menentukan mutu, baik cita rasa,
kenampakan, maupun warna air
seduhan (Graham, 1992).
Kandungan katekin pada pucuk
tanaman teh (Camellia sinensis)
varietas assamica lebih banyak
dibandingkan varietas sinensis
(Yamanashi, 1995). Namun demikian,
varietas sinensis memiliki aroma yang
lebih baik karena memiliki kandungan
asam amino lebih tinggi. Tanaman teh
yang dibudidayakan di Indonesia
hampir 100% merupakan varietas
assamica. Pucuk teh yang dihasilkan
80% diolah menjadi teh hitam,
sedangkan sisanya diolah menjadi teh
hijau. Teh hitam lebih sedikit
mengandung katekin daripada teh
hijau karena dalam proses pengolahan
teh hitam dirancang agar katekin
mengalami oksidasi untuk
memperbaiki warna, rasa, dan
aromanya.
Efek menyehatkan pada teh terletak
pada senyawa katekin yang
dikandungnya (Copeland et al., 1998;
Wanasundara dan Shahidi, 1998;
Zandi dan Gordon, 1999; Nwuha et al.,
1999; Wang dan Helliwell, 2000; dan
Sava et al., 2001). Penelitian dengan
teh hijau Jepang menunjukkan bahwa
katekin mempunyai banyak manfaat
yaitu dapat mengurangi resiko
terjangkitnya kanker, menjaga
kesehatan jantung, bersifat anti
oksidan, anti mikroba, dan bahkan
mampu memperpanjang masa
menopouse (Oguni, 1993; Bruneman,
1991; Chen, 1991; Fujiki, 1991; Fung,
1991; Hayatsu, 1991). Menurut
Bambang (1995, 1996) kandungan
katekin pada daun teh Indonesia lebih
banyak dibanding katekin daun teh
Jepang, sehingga teh Indonesia
diduga mempunyai daya potensi
menyehatkan lebih tinggi. Keunggulan
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
83
ini membuka peluang bagi industri teh
Indonesia untuk memproduksi teh
hijau berkatekin tinggi sebagai bahan
baku preparat katekin dan functional
food yang mulai populer
pemakaiannya dewasa ini.
Pengolahan teh hijau pada prinsipnya
dilakukan dengan menginaktifkan
enzim polifenol oksidase, yaitu dengan
cara steaming (pemberian uap panas)
dan cara panning (penggarangan).
Teknologi inaktivasi enzim polifenol
dengan pemberian uap panas lebih
banyak memiliki keunggulan.
Meskipun demikian, untuk
menghasilkan teh hijau yang siap
dikonsumsi dengan kadar katekin
tinggi dan kadar air sekitar 2 – 3%,
masih diperlukan tahapan proses
lanjut yaitu pengeringan, di mana
selain mengurangi kadar air juga untuk
menghentikan proses oksidasi
enzimatik polifenol apabila masih
terdapat enzim yang masih aktif (Utami
dkk., 2005).
Selama ini untuk pengolahan teh hijau,
menggunakan jenis pengering
fluidized bed drier (FBD). Pengering ini
masih bersifat konvensional, karena
memerlukan kecepatan udara
pengering cukup tinggi (0,5 – 0,75
m/s), ukuran dan densitas bahan
terbatas, tidak cocok untuk bahan
yang mudah menggumpal (lengket),
dan produk teh hijau yang dihasilkan
memiliki kadar air relatif tinggi. Kadar
air yang masih tinggi ini,
memungkinkan terjadinya proses
oksidasi enzimatik polifenol, yang
mengakibatkan kadar katekin teh hijau
yang dihasilkan relatif rendah. Untuk
itu perlu dicari alternatif jenis
pengering lain, yaitu dengan
menggunakan Endless Chain Pressure
(ECP) Drier.
Studi fundamental tentang ECP telah
dilakukan pada skala laboratorium
dengan kajian perpindahan panas dan
massa. Hasil telaah menunjukkan
bahwa ECP sangat potensial dalam
menginaktifkan enzim polifenol
oksidase dan mereduksi kandungan
air, sehingga dihasilkan teh hijau
berkatekin tinggi (Utami dkk., 2005;
Setiawan dkk., 2007). Meskipun
demikian, ternyata masih ada masalah
yaitu terjadinya peristiwa epimerisasi
katekin menjadi isomer-isomer seperti
produk intermediet theaflavin dan
degradasi termal katekin. Hal ini terjadi
karena temperatur pengering yang
relatif tinggi, sehingga menyebabkan
senyawa-senyawa polifenol berubah
menjadi theaflavin dan isomer-
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
84
isomernya. Akibatnya, kadar katekin
(senyawa polifenol) teh hijau yang
dihasilkan relatif berkurang. Atas dasar
itulah proses pengeringan sebaiknya
dilakukan pada temperatur yang relatif
rendah dengan cara pemvakuman
atau merendahkan tekanan operasi
alat pengering, sebagaimana yang
bterjadi pada alat pengering jenis ECV.
Keunggulan pengering ECV adalah:
luas permukaan kontak bahan dengan
udara panas lebih besar, laju
perpindahan panas dan massa lebih
besar, medium pengering besar
sehingga kapasitas pengeringannya
besar, suhu sepanjang hamparan
seragam sehingga peristiwa case
hardening pada teh jarang terjadi, dan
gesekan antar partikel teh relatif
kecil.Selain itu, peristiwa epimerisasi
katekin dan degradasi termal
kemungkinan dapat dihindari (Utami
dkk., 2005; Setiawan dkk., 2007).
Atas dasar keunggulan-keunggulan
tersebut, maka perlu penelaahan
pengering ECV dalam mereduksi
kandungan air, menginaktivasi enzim
polifenol, dan mencegah peristiwa
epimerisasi katekin serta degradasi
termal, agar diperoleh produk teh hijau
berkatekin tinggi. Kajian dititikberatkan
pada perancangan pengering ECV dan
kondisi proses yang optimum, yaitu:
(1) Membuat rancang bangun alat
pengering ECV ; (2) Uji eksperimetal
alat pengering ECV untuk mengkaji
pengaruh temperatur, laju alir udara
panas, dan waktu tinggal terhadap
kandungan air dan katekin dalam teh
hijau yang dihasilkan; (3) Menyusun
model empirik laju pengeringan dari
pengering ECV.
Model Perpindahan Panas dan
Massa pada Pengeringan Daun Teh
Perpindahan panas dalam proses
pengeringan terjadi karena perbedaan
tekanan uap air dari tempat yang
berbeda. Proses tersebut mirip dengan
pindah panas akibat perbedaan
temperatur (Hall, 1971). Hasil
penelitian pada proses pengeringan
dalam pengolahan tembakau
menunjukkan bahwa untuk bahan
berstruktur seluler seperti daun
tembakau, kadar air kritis dimulai pada
periode laju pengeringan menurun
cukup tinggi, sehingga seluruh
penelitian mengenai pengeringan
hanya dilakukan pada periode laju
menurun, dengan perpindahan massa
yang dikendalikan oleh mekanisme
difusi (Legros, et al., 1994). Proses
pengolahan teh hijau menggunakan
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
85
bahan dasar daun teh yang juga
berstruktur seluler, sehingga
diperkirakan fenomena yang akan
terjadi pada proses pengeringan teh
hijau juga akan didominasi oleh
mekanisme difusi.
Dalam penelitian ini, teh
diasumsikan berbentuk slab (lempeng
dengan panjang tak berhingga) karena
tebal teh jauh lebih kecil dari
diameternya. Pengeringan bahan
berbentuk lempeng tak berhingga
dapat diterangkan dengan persamaan
kontinuitas (1) dari benda berbentuk
lempeng dengan kerapatan dan
koefisien difusivitas yang konstan
(Incropera dan DeWitt, 1990; dan
Sanjuan et al., 1999).
2
2
2
2
2
2
z
M
y
M
x
MD
t
M
(1)
Jika bentuk lempeng tak berhingga,
difusi air hanya dianggap terjadi
kearah sumbu x, berarti 0
z
M
y
M ,
sehingga Pers.(1) dapat disederhana-
kan menjadi:
2
2
x
MD
t
M
(2)
(2)
Persamaan 2 adalah persamaan
diferensial parsial yang memerlukan
kondisi awal dan kondisi batas.
Berdasarkan fenomena yang terjadi,
syarat batas dapat ditetapkan sebagai
berikut:
Kondisi awal, M(x, 0) = Mo
(3)
Kondisi batas
0,2
t
LM
(4)
M(-x, t) = M(x, t)
(5)
Dengan menggunakan metode
pemisahan variabel, diperoleh
penyelesaian persamaan difusi:
12
222
1
212exp
12
18
n
n
eo
et
L
Dtn
nMM
MM
(6)
Penyelesaian persamaan (6) dalam
bentuk deret dinyatakan oleh Crank,
1975; Henderson dan Perry, 1976; Mc-
Cabe et al., 1993; Bird et al., 1994
sebagai berikut:
..........25
1
9
18 .25.9.
2
222
tL
DtL
DtL
D
eo
et eeeMM
MM
(7)
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
86
Suku yang dominan dari Pers (7)
adalah suku pertama. Suku-suku lain
hanya akan berpengaruh pada nilai t
yang sangat kecil, [ 1,0 4
2
L
Dt ] (Mc-
Cabe, et al., 1993). Dengan demikian,
hampir seluruh nilai t Persamaan 16
dapat disederhanakan menjadi,
tk
eo
et eMM
MM .
2
8
(8)
(18)
dengan :
k = D(/L)2
(9)
Persamaan (8) diselesaikan dengan
cara numerik dan dapat digunakan
untuk menghitung nilai difusivitas
massa D.
II. EKSPERIMENTAL
2.1 Kerangka Penelitian
Penelitian tentang inaktivasi enzim
polifenol oksidase dan studi de-
epimeriasasi katekin melalui proses
pengering untuk menghasilkan teh
hijau berkatekin tinggi diinvestigasi
baik secara eksperimen maupun
pemodelan, meliputi :
Perancangan dan pabrikasi prototipe
pengering ECV.
Uji eksperimental alat pengering ECV
Pengembangan model empirik dan
validasi model
Perancangan dan Pabrikasi
pengering ECV.
Perancangan dan pabrikasi alat
pengering ECV dikerjakan di
Workshop Teknik Mesin UNDIP
Semarang. (Gambar 1). Rangkaian
alat pengering yang digunakan untuk
proses inaktivasi enzim polifenol
oksidase dan de-epimerisasi katekin.
Rangkaian alat ini terdiri dari
pengering dengan pompa vakum, yang
dilengkapi dengan termokopel,
manometer yang terhubung dengan
komputer dan alat pencatat waktu.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
87
Gambar 5. Alat pengering tipe
Endless Chain Vacuum (ECV)
n panas dan massa proses
pengeringan berdasarkan kajian
teoritis, studi fundamental pada
banyak penelitian sebelumnya, yang
dilakukan di Laboratorium Komputasi
Proses Teknik Kimia Fakultas Teknik
UNTAG. Model yang dipostulasi,
kemudian diturunkan untuk
memperoleh persamaan yang nantinya
akan diuji dengan menggunakan data
yang diperoleh dari eksperimental.
2.2 Bahan Penelitian
Bahan utama untuk penelitian berupa
daun teh yang diperoleh dari Kebun
Teh PT. Rumpun Sari Medini-
Limbangan Kendal. Bahan bakar solar
dibeli dari pom bensin di Semarang.
Bahan-bahan kimia untuk keperluan
analisa diperoleh dari PT. Bratachem
Semarang.
2.3 Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian adalah pengering tipe ECV,
yang karakteristiknya tersaji pada
Tabel 1. Alat ini dilengkapi dengan
termokopel yang dihubungkan dengan
pencatat (multipoint recorder) serta
alat pencatat waktu.
Tabel 1. Lubang trays pada pengering
ECV
Mesh
ayakan
basah
LUBANG TRAYS
(mm)
Tray
atas
Tray
tenga
h
Tray
bawa
h
No. 4 3,0 2,8 2,2
No. 5 dan
6
2,2 2,0 1,8
No. 6 dan
7
2,0 2,0 1,8
Peralatan yang digunakan untuk
analisa kadar air adalah oven. Alat
High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) digunakan
untuk keperluan analisa katekin.
Higrometer digunakan untuk mengukur
kelembaban sistem. Peralatan lain
yang digunakan adalah cawan kecil,
erlen meyer, pipet, buret, labu ukur,
serta timbangan analitis.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
88
2.4 Variabel Proses
Variabel penelitian yang divariasikan
adalah suhu (80, 85 dan 90oC), laju alir
udara panas (15, 20, dan 30 l/menit).
Suhu divariasikan pada rentang
tersebut, karena merupakan suhu
inaktivasi enzim polifenol oksidase.
Tekanan ditetapkan, 60 mmHg, karena
merupakan kondisi tidak terjadi
epimerisasi katekin dan degradasi
termal katekin. Kecepatan belt
pengering ECV divariasi antara 4,2
sampai 9,2 cm/menit.
2.5 Prosedur Penelitian
Daun teh yang berasal dari proses
steaming serta penggilingan,
dimasukkan kedalam pengering ECV
dan dipanaskan dengan udara panas
dalam keadaan vakum dengan tujuan
mengurangi kadar air, menginaktifkan
enzim polifenol oxidase, de-
epimerisasi katekin dan mencegah
degradasi katekin pada berbagai
variabel. Proses pengeringan
berlangsung selama 20 menit. Sampel
tiap interval 2 menit diambil, dan
diukur kadar katekin serta kadar
airnya. Hasil pengukuran digunakan
sebagai data untuk memvalidasi model
yang telah disusun. Dari data-data
yang telah diukur, digunakan sebagai
input untuk membangun model dalam
bentuk persamaan empiris dengan
menggunakan program Matlab.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengeringan adalah penurunan kadar
air bahan sampai batas tertentu
sehingga bahan tersebut bebas dari
serangan mikrobia, enzim, dan insekta
yang merusak. Sebagai media
pembawa panas dan massa uap
biasanya digunakan udara dengan
entalpi dan tekanan uap tertentu.
Udara yang dipanaskan menyediakan
panas untuk memenuhi kebutuhan
panas sensibel dan panas latent
penguapan air dari bahan. Panas yang
dibutuhkan dalam pengeringan
bertujuan untuk menaikkan suhu
bahan (panas sensibel) dan untuk
penguapan massa uap air (panas
latent penguapan). Panas dipasok dari
udara panas dengan entalpi tertentu,
dan uap dihantarkan ke udara dengan
tekanan uap parsial tertentu, kemudian
dibawa oleh aliran udara secara
konveksi.
3.1 Pengaruh Lama Pengeringan
Gambar 2. menunjukkan hubungan
waktu pengeringan terhadap kadar air
teh hijau pada berbagai suhu. Semakin
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
89
lama pengeringan, kadar air teh hijau
semakin menurun. Hal ini terjadi,
karena semakin lama waktu
pengeringan menyebabkan kontak
udara panas dengan teh hijau lebih
lama, sehingga laju perpindahan
panas meningkat, akibatnya air yang
berada dalam daun teh relatif banyak
yang menguap. Begitu pula dengan
suhu pengeringan, semakin besar
suhu menyebabkan persentase kadar
air semakin menurun. Hal ini sesuai
pernyataan Leniger dkk (1975), yang
menyebutkan bahwa laju pengeringan
teh dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
suhu, kelembaban dan kecepatan
aliran udara.
Gambar 2. Grafik perubahan kadar air
terhadap waktu pada berbagai suhu
3.2 Kurve Laju Pengeringan
Kurve laju pengeringan merupakan
hubungan antara laju pengeringan (N)
dan fraksi moisture (X) dalam bahan
(dalam basis kering). Laju pengeringan
adalah berat air (kg) yang diuapkan
setiap satuan waktu (jam), setiap
satuan luas (m2). Gambar 3
menunjukkan hasil kurve laju
pengeringan dari daun teh hijau pada
suhu 80, 85, dan 90 oC, dengan laju
alir udara tetap sebesar 15 liter/menit.
Ketiga kurve tersebut mempunyai pola
yang sama yaitu mempunyai constant
drying rate dan falling drying rate
periods. Makin tinggi temperatur
pengeringan, makin besar harga laju
pengeringan konstan, makin pendek
periodenya, dan makin besar harga
critical moisture content nya. Hal ini
dapat dipahami karena makin tinggi
suhu media pengering maka lebih
kalor atau panas sensibel yang
dikandungnya, sehingga lebih banyak
panas yang dipindahkan ke bahan
basah untuk menguapkan airnya
(sebanyak panas latennya). Akibatnya
harga laju pengeringannya menjadi
besar.
0
10
20
30
40
50
60
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Pengeringan (menit)
Ka
da
r a
ir (
%)
80 oC
85 oC
90 oC
0
1
2
3
4
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Kadar moisture (X)
La
ju p
en
ge
rin
ga
n
(kg
/ja
m.m
2)
80 oC 85 oC 90 oC
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
90
Gambar 3. Kurve laju pengeringan pada berbagai temperatur (laju alir udara pengering 15 liter/menit)
Dari kurve laju pengeringan ini juga
dapat diketahui kadar air pada kondisi
kesetimbangan (equilibrium moisture
content) untuk daun teh hijau sebesar
0,02 %, di mana harga ini sama untuk
ketiga temperatur percobaan.
Perbedaan kurve laju pengeringan
untuk suhu 80 oC dan 85 oC cukup
signifikan, sedangkan untuk suhu 85
oC dan 90 oC perbedaannya tidak
begitu nyata. Oleh karena itu suhu 85
oC merupakan suhu yang optimal.
Gambar 4 menunjukkan hasil kurve
laju pengeringan dari daun teh hijau
pada laju alir udara pengering 15, 20,
dan 30 liter/menit, dengan suhu tetap
85 oC. Sebagaimana seperti Gambar
5.3, ketiga kurve juga mempunyai pola
yang sama yaitu mempunyai constant
drying rate dan falling drying rate
periods. Makin tinggi laju alir udara
pengering, makin besar harga laju
pengeringan konstan, makin pendek
periodenya, dan makin besar harga
critical moisture content nya. Hal ini
dapat dipahami karena makin tinggi
laju alir udara pengering pada suhu
yang sama, maka makin besar
massanya panas sensibel yang
dikandungnya juga semakin tinggi.
Kurve laju pengeringan untuk laju
udara 20 liter/menit dan 30 liter/menit
hampir berimpit, sehingga laju alir
udara 20 liter/menit merupakan laju alir
yang optimum.
Gambar 4. Kurve laju pengeringan pada berbagai laju alir udara pengering (temperatur 85 oC).
3.3. Kadar Katekin dan Kadar Air
Gambar 5 menunjukkan hubungan
antara waktu tinggal bahan di dalam
pengering ECV terhadap kadar katekin
dan kadar air teh hijau yang dihasilkan.
Kadar katekin terbesar dicapai pada
waktu tinggal 3000 detik yaitu sebesar
14,6 %. Makin lama waktu tinggal,
kadar katekin mengalami kenaikan,
dan sampai batas waktu tertentu
mencapai harga maksimum dimana
apabila waktu tinggal ditambah maka
kadar katekinnya justru mengalami
penurunan.
0
1
2
3
4
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Kadar moisture (X)L
aju
pe
ng
eri
ng
an
(kg
/ja
m.m
2)
15 l/menit 20 l/menit 30 l/menit
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
91
Gambar 5. Pengaruh waktu tinggal di pengering ECV terhadap kadar katekin dan moisture pada teh yang dihasilkan.
Dengan makin lamanya waktu tinggal
akan menyebabkan pemanasan lanjut
sehingga sebagian katekin akan
mengurai. Namun tidak demikian
dengan kadar airnya, yang
menunjukkan kalau waktu tinggal
diperbesar maka kadar air teh hijau
akan turun.
3.4 Model Matematis Laju Pengeringan Teh Hijau
Nilai koefisien pengeringan dan faktor
bentuk bahan diperoleh berdasarkan
nilai kadar air awal bahan (%bk), kadar
air keseimbangan bahan (%bk), kadar
air bahan selama proses pengeringan
(%bk), dan waktu pengeringan (menit)
dengan menggu-nakan metode
kuadrat terkecil, sehingga model laju
pengeringan seperti pada persamaan
(8) dapat terbentuk.
Nilai koefisien pengeringan, faktor
bentuk bahan, dan model matematis
laju pengeringan teh dapat dilihat pada
Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa
model matematis memiliki nilai
koefisien pengeringan dan faktor
bentuk bahan yang berbeda pada
masing-masing perlakuan. Hal ini
disebabkan faktor suhu dan
kelembaban udara selama
pengeringan sangat berpengaruh pada
desorpsi teh sehingga terjadi
perbedaan nilai tersebut.
0
4
8
12
16
20
0 1000 2000 3000 4000
Waktu tinggal (detik)
Ka
da
r (%
w/w
)
KATEKIN
H2O
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
92
Tabel 2. Model matematika laju pengering-an teh hijau dengan pengering ECV
SUHU
(OC)
KOEFISIEN
PENGERINGAN
FAKTOR BENTUK
BAHAN
MODEL MATEMATIS
80 0,6767 3,6451 t
eo
et eMM
MM 6767.0.6451.3
85 0,6905 3,8318 t
eo
et eMM
MM 6905.0.8318.3
90 0,8655 4,6776 t
eo
et eMM
MM 8655.0.6776.4
Pengujian Terhadap Model
Pengujian terhadap model laju
pengeringan teh, dimaksudkan untuk
mengetahui keabsahan (kesahihan)
model dalam kaitannya sebagai
formula untuk memprediksi laju
pengeringan teh pada alat pengering
tipe ECP drier Hasil pengujian dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian terhadap
model
SUH
U
(OC)
MODUL
US
DEVIASI
TINGKAT
KETEPATA
N *)
R2
90 5,78 Tepat 0,95
95 4,34 Sangat tepat 0,96
100 6,12 Tepat 0,94
Keterangan: *) 0 – 5 = sangat tepat, 5
– 10 = tepat, 0 = tidak tepat
Dari hasil pengujian, terlihat bahwa
model matematik yang diperoleh,
dapat memberi gambaran pengeringan
yang sesungguhnya pada alat
pengering ECV, sehingga dapat
digunakan untuk mengevaluasi setiap
proses pengeringan teh hijau memakai
alat pengering yang sejenis.
V. KESIMPULAN
Temperatur dan lajualir udara
pengering berpengaruh pada kurve
laju pengeringan atau waktu
pengeringan, sedangkan waktu tinggal
berpengaruh pada proses pengeringan
ECV dan hasil katekin yang didapat.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
93
Secara Matematis laju pengeringan
teh hijau dengan alat pengering ECV
dapat diformulasikan sebagai berikut:
t
eo
et eMM
MM 6767.0.6451.3
untuk suhu 80
oC t
eo
et eMM
MM 6905.0.8318.3
;untuk suhu 85
oC t
eo
et eMM
MM 8655.0.6776.4
;untuk suhu 90
oC
Model matematis ini cukup tepat dalam
menggambarkan laju pengeringan teh
hijau dengan ECV dan dapat dipakai
untuk mengevaluasi setiap proses
pengeringan teh hijau memakai alat
pengering sejenis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini Penulis
menyampaikan terima kasih kepada
Direktorat Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat (DP2M) Ditjen Dikti
Depdiknas yang telah memberi hibah
untuk biaya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Safety data for
catechin.
http://phschem.ox.ac.uk./MSDS/.
Ariahu, C. C., Adekunle, D. E., &
NKPA, N. N. 1997. Kinetics of
heat/enzymic degradation of
ascorbic acid in fluted pumpkin
(Telfairia occidentalis) leaves.
Journal of Food Processing and
Preservation, 21. 21-32.
Ariwibowo, D.,Yulianto, M.E., & Arifan,
F. 2005, Kajian perpindahan panas
proses steaming inaktivasi enzim
dalam pengolahan teh hijau.
Majalah Teknik, ke XXVII, ISSN :
0852 – 1697.
Bambang, K., dan T. Suhartika. 1995.
Potensi teh Indonesia ditinjau dari
aspek kesehatan. Lap. Hasil
Penelitian dan Pengembangan
Teknik Produksi dan Pasca Panen
Teh dan Kina. TA. 1994/1995.
Bambang, K., T. Suhartika., Supria,
dan Tanjung, S. 1996. Katekin
pucuk teh segar dan perubahannya
selama pengolahan. Hasil
Penelitian dan Pengembangan
Teknik Produksi dan Pasca Panen
Teh dan Kina. TA. 1995/1996.
Bambang,K., Abas, T., Affandi, A.,
Sumantri, S., dan Suryatmo, F. A.
2000. Rancang bangun proses teh
hijau berkadar katekin tinggi.
Laporan Akhir. Proyek Pengkajian
Teknologi Pertanian Partisipatif.
Gambung.
Bhirud, P. R., & Sosulski, F. W. 1993.
Thermal inactivation kinetics of
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
94
wheat germ Lipoxygenase. Journal
of Food Science, 58. 1095-1098.
Bird, R. B., Stewart, W. E., & Lighfoot,
E. N. 1994. Transport phenomena.
John Wiley & Sons, Inc., London.
Brodkey, R. S., & Hershey, H. C. 1988.
Transport phenomena: A unified
approach. McGraw-Hill
International Editions. New York.
Bruneman, K. 1991. Teas and tea
components as inhibibitors of
carcinogen formation in model
system and man. Symp. Phs. And
Pahrm. Effects of Camellia
Sinensis. New York 3-5 March
1991.
Copeland, E. I., Clifford, M. N., &
Williams, C. M. 1998. Preparation
of (-)-epigallocatechin gallate from
commercial green tea by caffeine
precipitation and solvent partition.
Food Chemistry, 61. 81-87.
Crank, J. 1975. The mathematics of
diffusion. Clarendon Press. Oxford.
Daemen, A. L. H. 1981. The
destruction of enzymes and
bacteria during spray drying of milk
and whey. 1. The thermoresistance
of some enzymes and bacteria in
milk and whey with various total
solids contents. Neth. Milk Dairy J.,
35. 133-44.
Daemen, A. L. H. 1983. The
destruction of enzymes and
bacteria during spray drying of milk
and whey. 3. Analysis of the drying
process according to the stages in
which the destruction occurs. Neth.
Milk Dairy J., 37. 213-28.
Daemen, A. L. H., & van der Stege.
1982. The destruction of enzymes
and bacteria during spray drying of
milk and whey. 2. The effect of the
drying conditions . Neth. Milk Dairy
J., 36. 211-29.
Erkmen, O. 2000. Inactivation kinetics
of Listeria monocytogenes in
Turkish White cheese during the
ripening period. Journal of Food
Engineering, 46. 127-131.
Ganthavorn, C., Nagel, C. W., &
Powers, J. R. 1991. Thermal
inactivation of asparagus
lipoxygenase and peroxidase.
Journal of Food Science, 56. 47-49.
Geankoplis, C. J. 1983. Transport
processes: Momentum, heat, and
mass. Allyn and Bacon, Inc.
London.
Graham, H. N. 1992. Green tea
composition, consumption, and
polyphenol chemistry. Preventative
Medicine, 21. 334-350.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
95
Gregory, R., & Bendall, D. 1966. The
purification and some properties of
polyphenol oxidase from tea.
Biochem. J. 101. 569-581.
Hall, C. W. 1971. Farm drying crops.
The Avi Publ. Comp., Inc. Westport.
Connecticut.
Hanna, O. T., dan Sandal, O.C. 1995.
Computational methods in chemical
engineering. Prentice Hall. New
Jersey.
Incropera, F. P., & DeWitt, D.I. 1990.
Fundamentals of heat and mass
transfer. New York. Wiley.
Kerkhof, P. J. A. M. & Schoeber, W. J.
A. H. 1974. Theoretical modelling
of the drying behaviour of droplets
in spray driers. In Advances in
Preconcentration and Dehydration
of Foods, ed. A. Spicer, Applied
Science Publishers. London. 349-
97.
Kerkhof, P. J. A. M., & Coumans, W. J.
1990. Drying of foods: Transferring
inside insights to outside outlooks.
Paper Prensented at the 7th Int.
Drying Symp., Praque.
Kieviet, F. 1997. Modelling quality in
spray drying. PhD Thesis.
Eindhoven University of
Technology. The Netherlands.
Legros, R., Millington, M. A., & Clift, R.
1994. Drying of tobacco particles in
a mobilized bed. Drying
Technology, 12(3). 517-544.
Lievense, L. C., Verbeek, M. A. M.,
Taekema, T., Meerdink, G., & Riet,
K. V. 1992. Modelling the
inactivation of Lactobacillus
Plantarum during a drying process.
Chemical Engineering Science,
47(1). 87-97.
Luyben, K. Ch. A. M., Liou, J. K., &
Bruin, S. 1982. Enzyme
degradation during drying.
Biotechnology and Bioengineering,
XXIV. 533-552.
Martens, M., Scheerlinck, N., Belie, N.
D., & Baerdemaeker, J. D. 2001.
Numerical model for the combined
simulation of heat transfer and
enzyme inactivation kinetics in
cylindrical vegetables. Journal of
Food Engineering, 47. 185-193.
McCabe, W. L., Smith, C. S., &
Harriott, P. 1993. Unit operation of
chemical engineering. Mc. Graw-
Hill. Int. Book Co.
Meerdink, G. 1993. Drying of liquid
food droplets: Enzyme inactivation
and multicomponent diffusion. PhD
Thesis. Agricultural University
Wageningen. The Netherlands.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
96
Meerdink, G., & Riet, K. V. 1991.
Inactivation of a thermostable -
Amylase during drying. Journal of
Food Engineering, 14. 83-102.
M. J., Sokhansanj, S., & Tutek, Z.
1992. Determination of heat and
mass transfer coefficients in thin
layer drying of grain. American
Society of Agricultural Engineers,
35(6). 1853-1858.
Nunes, R. V., Swartzel, K. R., & Ollis,
D. F. 1993. Thermal evaluation of
food processes: the role of a
reference temperature. Journal of
Food Engineering, 20. 1-15.
Owusu, R. K., & Makhzoum, A. 1992.
Heat inactivation of lipase from
psychrotrophic Pseudomonas
fluore-scens P38: Activation
parameters and enzyme stability at
low or ultra-high temperatures.
Food Chemistry, 44. 261-268.
Popov, V. P. 1956. Oxidation of amino
acids in the presence of tannins
and polyphenols of tea. Biokhimiya.
21. 383-387.
Press., W. H., Flannery, B. P.,
Teukolsky, S. A., & Vetterling, W. T.
1989. Numerical recipes in Pascal.
Cambridge Univ. Press.
Price, W. E., & Spitzer, J. C. 1993.
Variations in the amount of
individual flavanol in a range of
green tea. Food Chemistry. 47.
Riggs, J. B. 1988. An introduction to
numerical methods for chemical
engineers. Texas Tech University
Press. USA.
Roberts, E. A. H. 1961. The nature of
the phenolic oxidation products in
manufactured black tea. Tea Quart.
33. 190-200.
Ruan, J. 2005. Quality related
constituents in tea (Camellia
sinensis(L) O. kuantze) as effected
by the form and concenttration of
nitrogen and the supply of chloride.
Disertation.
Saguy, I. 1983. Computer-aided
techniques in food technology.
Marcel Dekker, Inc. New York and
Basel.
Sanderson, G. W. 1965a. On the
chemical basis of quality in black
tea. Tea Qouart., 36. 172-181.
Sanderson, G. W. 1965b. On the
nature of the enzyme catechol
oxidase in Tea Plants. UART. 36.
103-111.
Sanjuan, N., Simal, S., Bon, J., &
Mulet, A. 1999. Modelling of
broccoli stems rehydration process.
Journal of Food Engineering, 42.
27-31.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
97
Sava, V. M., Yang, S. M., Hong, M. Y.,
Yang, P. C., & Huang, G. S. 2001.
Isolation an characterization of
melanic pigments derived from tea
and tea polyphenols. Food
Chemistry, 73. 177-184.
Senin. Yulianto, M. E. & Ariwibowo, D.
2006. Model Perpindahan Panas
Teknologi Steaming Proses
Inaktivasi Enzim Polifenol Oksidase
Dalam Pengolahan Teh Hijau
Berkatekin Tinggi, Laporan
Penelitian Fundamental DIKTI.
Setiawan, J.D. Yulianto, M.E. & Arifan,
F. 2007. Model Perpindahan Panas
Dan Massa Pada Pengering
Endless Chain Pressure (ECP)
Untuk Inaktivasi Enzim Polifenol
Oksidase, Laporan Sementara
Penelitian Fundamental DIKTI
Sriwatanapongse, A., Balaban, M., &
Teixera, A. 2000. Thermal
inactivation kinetics of bromelain in
pineapple juice. Transaction of the
ASAE, 43. 1703-1708.
Trautner, E. M. & Roberts, E. A. H.
1950. The chemical mechanism of
the oxidative deamination of amino
acids by catechol and
polyphenolase. Aust. J. Sci. Res.
Ser. B. 3. 356-380.
Verhey, J. P. G. 1973. Vacoule
formation in spray powder particles.
3. Atomization and droplet drying.
Neth. Milk Dairy J., 27. 3-18.
Wijlhuizen, A. E., Kerkhof, P. J. A. M. &
Bruin, S. 1979. Theoritical study of
the inactivation of phosphatase
during spray drying of skim milk.
Chemical Engineering Science. 34.
651-60.
Yamamoto, S., & Sano, Y. 1992.
Drying of enzymes: enzyme
retention during drying of a single
droplet. Chemical Engineering
Science, 47(1). 177-183.
Yulianto, M.E., Ariwibowo, D., dan
Hartati, I.,2006. Model Perpindahan
Panas dan Massa Pada Pengering
Endless Chain Pressure (ECP)
Untuk Inaktivasi Enzim Polifenol
Oksidase, Majalah Ilmiah Dinamika
Sains Universitas Pandanaran
Semarang, Volume 3 No. 5,
Agustus 2006, hal 35 -50, ISSN :
1412-8489.
Yulianto, M.E., Handayani, D., dan
Setiawan, J.D.,2007.
Pengembangan Proses Inaktivasi
Enzim Polifenol Oksidase Melalui
Teknologi Steaming Untuk
Produksi Teh Hijau Berkatekin
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI
98
Tinggi. Laporan Sementara
Penelitian Terapan Ristek.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
99
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA
MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-
ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI
MOLECULAR SIEVE Retno Ambarwati SL
*, Santa Monica
**, dan Yanastri Putri**D
*) Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik **) Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas 17 Agustus 1945 Semarang; Jl. Pawiyatan Luhur, Bendhan Dhuwur Semarang
Telp. (024)8310920, Email [email protected]
Abstrak
Pada industri Tapioka yang banyak terdapat di daerah Pati Jawa Tengah, selama ini air dari proses pengendapan langsung dialirkan ke selokan yang selanjutnya mengalir ke sungai. Padahal dengan masih adanya kandungan pati yang terdapat di dalam limbah cair tersebut, seharusnya dapat diolah kembali menjadi produk yang lebih bermanfaat , salah satunya adalah Bioetanol, yang mempunyai nilai ekonomis dan juga dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber energi alternatif. Pengolahan limbah cair Tapioka menjadi bioetanol dilakukan pada berbagai kadar gula dengan cara memfermentasi limbah yang telah disterilkan dengan bantuan khamir atau yeast di dalam alat fermentor. Hasilfermentasi selanjutnya dipisahkan dari residu dengan cara destilasi I pada suhu 100o C. Bioetanol hasil destilasi ini selanjutnya ditingkatkan kadarnya dengan destilasi menggunakan alat HETP yang berlangsung pada suhu 80o C. Untuk meningkatkan kadar alkohol yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses dehidrasi menggunakan zeolit. Dari hasil penelitian pengolahan limbah cair tapioka dari hasil fermentasi dan destilasi I diperoleh bioetanol dengan kadar tertinggi 35 % yang diperoleh dari limbah dengan kadar gula 17 %. Sedangkan dari pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol tersebut dengan destilasi menggunakan alat HETP diperoleh peningkatan bioetanol dari 35% menjadi 93 %. Dengan pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol hasil dengan cara dehidrasi menggunakan zeolit diperoleh bioetanol dengan kadar 97 %. Kata kunci : limbah cair Tapioka. Bioetanol, energi alternatif, zeolit,molekuler- sieve
Latar Belakang
Tapioka adalah tepung yang dibuat
dengan menggunakan singkong
sebagai bahan baku . Secara
sederhana, dapat diartikan bahwa
tapioka ini dibuat dengan cara
mengekstrak sebagian umbi dari
singkong tersebut kemudian diambil
patinya sehingga diperoleh tepung
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
100
tapioka. Tapioka ini merupakan salah
satu bahan untuk keperluan industri
makanan, industri farmasi, industri
tekstil, industri perekat, dan lain-lain.
Dengan beberapa kegunaan itulah,
peranan singkong di Indonesia
menjadi sangat besar baik pada
industri skala kecil/ rumah tangga
maupun industri dengan skala besar/
pabrik.
Industri tapioka di Indonesia mulai
marak pada tahun 1980-an. Teknologi
yang digunakan pada industri tepung
tapioka, dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu tradisional, semi modern,
dan full otomate. Secara tradisional,
pengolahan tapioka mengandalkan
sinar matahari dan produksinya sangat
tergantung pada musim. Sementara
secara semi modern, di dalam
pengolahannya menggunakan mesin
pengering (oven) dalam melakukan
proses pengeringan. Sedangkan full
otomate pengolahannya
menggunakan mesin dari proses awal
sampai produk jadi.
Namun seiring dengan semakin
pesatnya produksi tapioka seperti
sekarang ini, semakin banyak pula
dikeluhkan tentang proses
penanganan limbah dari tapioka.
Beberapa limbah yang sering
dikeluhkan keberadaannya antara lain
limbah padat, limbah gas dan limbah
cair. Limbah cair industri tapioka
dihasilkan dari proses pembuatan, baik
dari pencucian bahan baku sampai
pada proses pemisahan pati dari
airnya atau proses pengendapan.
Penanganan yang kurang tepat
terhadap hasil buangan limbah padat
dan limbah cair akan menghasilkan
gas yang dapat mencemari udara.
Limbah industri tapioka apabila tidak
diolah dengan baik dan benar dapat
menimbulkan berbagai masalah yaitu :
timbulnya penyakit gatal-gatal, bau
yang tidak sedap, dan bila masuk
tambak menyebabkan ikan mati.
Pada industri Tapioka yang banyak
terdapat di daerah Pati Jawa Tengah,
selama ini air dari proses
pengendapan langsung dialirkan ke
selokan yang selanjutnya mengalir ke
sungai. Padahal dengan masih
adanya kandungan pati yang terdapat
di dalam limbah cair tersebut,
seharusnya dapat diolah kembali
menjadi produk yang lebih bermanfaat
, salah satunya adalah Bioetanol, yang
mempunyai nilai ekonomis dan juga
dapat menjadikannya sebagai salah
satu sumber energi alternatif. Dari
hasil pengolahan limbah cair tapioka
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
101
menjadi bioetanol dimungkinkan
bioetanol yang diperoleh kadarnya
rendah, sehingga belum memenuhi
standart pasar. Untuk itu diperlukan
suatu teknologi untuk memperoleh
bioetanol dengan konsentrasi tinggi
dengan menggunakan penyerap air
berupa zeolit.
Tapioka
Tapioka adalah tepung yang
dibuat dengan menggunakan singkong
sebagai bahan baku pembuatannya.
Secara sederhana, dapat diartikan
bahwa tapioka ini dibuat dengan cara
mengekstrak sebagian umbi dari
singkong tersebut kemudian
memisahkan patinya sehingga
diperoleh tepung tapioka.
Teknologi pembuatan tapioka pada
industri kecil adalah sebagai berikut:
Pengupasan kulit dengan tenaga
manusia, dengan menggunakan pisau.
Pencucian dengan cara
menyemprotkan air bersih.
Pemarutan dilakukan secara mekanis
yang digerakkan dengan mesin diesel.
Hasil parutan adalah bubur ketela.
Pada tahap ini air ditambahkan agar
proses pemarutan lebih lancar.
Pemerasan dan penyaringan
(pengekstrakan), dapat dilakukan
dengan cara mekanis, yaitu
menggunakan saringan bergetar.
Saringannya berupa kasa halus.
Diatas saringan bergetar tersebut air
disemprotkan melalui pipa-pipa kecil.
Untuk memberikan tekanan yang tinggi
digunakan pompa yang digerakkan
dengan mesin diesel.
Pengendapan pati dilakukan di dalam
bak-bak pengendapan. Bak
pengendapan biasanya terbuat dari
kayu, pasangan batu bata yang dilapisi
porselin, pasangan batu bata biasa
atau beton, bahkan ada bak
pengendap yang dasarnya diberi alas
kaca atau kayu. Lama pengendapan
yang baik adalah empat jam dan
pembuangan air tidak boleh lebih dari
satu jam, karena setelah lima jam
sudah mulai terjadi pembusukan.
Setelah pengendapan dianggap
cukup, air yang di atas dibuang
sebagai limbah cair dan tepung
tapioka basah diambil. Beberapa
pengrajin menambah bak pengendap
lagi untuk mengendapkan limbah cair
sebelum dibuang. Hasil endapannya
dinamakan lindur atau elot yaitu pati
yang kualitasnya jelek. Cara ini dapat
menekan beban pencemaran.
Setelah pati diambil, diletakkan pada
tampi-tampi bambu, atau ditaruh di
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
102
atas lantai yang diplester untuk
dijemur di bawah sinar matahari.
Pati hasil pengeringan masih kasar,
sehingga perlu digiling dan dilakukan
penngayaan untuk menghasilkan
tapioka halus. Rendemen pati
biasanya berkisar antara 19% - 25%.
(www.bppt.com/pengolahan tepung
tapioka.htm)
Selain menghasilkan tepung,
pengolahan tapioka juga menghasilkan
limbah, padat maupun limbah cair.
Limbah padat seperti kulit singkong
dapat dimanfaatkan untuk pakan
ternak dan pupuk, sedangkan onggok
(ampas) yang berkualitas baik selama
ini diambil oleh industri lain untuk
diolah menjadi saos makanan. Limbah
cair dapat dimanfaatkan untuk
pengairan sawah dan ladang.
Bioetanol
Bioetanol merupakan cairan hasil
proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat (pati) menggunakan
bantuan mikroorganisme (Anonim,
2007) dan dilanjutkan proses distilasi.
Produksi bioetanol dari tanaman yang
mengandung pati atau karbohidrat,
dilakukan melalui proses konversi
karbohidrat menjadi gula (glukosa)
dengan beberapa metode diantaranya
dengan hidrolisis asam dan secara
enzimatis. Metode hidrolisis secara
enzimatis lebih sering digunakan
karena lebih ramah lingkungan
dibandingkan dengan katalis asam.
Glukosa yang diperoleh selanjutnya
dilakukan proses fermentasi atau
peragian dengan menambahkan yeast
atau ragi sehingga diperoleh bioetanol
sebagai sumber energi.
Bahan baku pembuatan bioetanol ini
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Bahan sukrosa, yaitu bahan - bahan
seperti nira, tebu, nira nipati, nira
sargum manis, nira kelapa, nira aren,
dan sari buah mete.
Bahan berpati, yaitu bahan - bahan
yang mengandung pati atau
karbohidrat, antara lain tepung –
tepung ubi ganyong, sorgum biji,
jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi
jalar, dan lain - lain.
Bahan berselulosa (lignoselulosa ),
yaitu bahan tanaman yang
mengandung selulosa (serat), antara
lain kayu, jerami, batang pisang, dan
lain-lain.
Proses destilasi dapat menghasilkan
etanol dengan kadar 95% volume,
bietanol ini biasa digunakan untuk
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
103
industri. Sedangkan untuk keperluan
sebagai bahan bakar (biofuel) perlu
lebih dimurnikan lagi hingga mencapai
99% yang lazim disebut fuel grade
ethanol (FGE). Proses pemurnian
dengan prinsip dehidrasi umumnya
dilakukan dengan metode Molecular
Sieve, untuk memisahkan air dari
senyawa etanol. Dalam penelitian ini
digunakan zeolit sebagai molecular
sieve. ( Musanif J). Bioetanol yang
digunakan sebagai bahan bakar
mempunyai beberapa kelebihan,
diantaranya lebih ramah lingkungan,
karena bahan bakar tersebut memiliki
nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium
nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan
94. Hal ini menyebabkan bioetanol
dapat menggantikan fungsi zat aditif
yang sering ditambahkan untuk
memperbesar nilai oktan. Zat aditif
yang banyak digunakan seperti metal
tersier butil eter dan Pb, namun zat
aditif tersebut sangat tidak ramah
lingkungan dan bisa bersifat toksik.
Bioetanol juga merupakan bahan
bakar yang tidak mengakumulasi gas
karbon dioksida (CO2) dan relatif
kompetibel dengan mesin mobil
berbahan bakar bensin. Kelebihan lain
dari bioetanol ialah cara
pembuatannya yang sederhana yaitu
fermentasi menggunakan
mikroorganisme tertentu (Mursyidin,
2007).
Fermentasi
Proses fermentasi sering
didefinisikan sebagai proses
pemecahan karbohidrat dan asam
amino secara aerobik, yaitu tanpa
memerlukan oksigen. Senyawa yang
dapat dipecah dalam proses
fermentasi terutama adalah
karbohidrat, sedangkan asam amino
hanya dapat difermentasi oleh
beberapa jenis bakteri tertentu
(Fardiaz, 1992). Prinsip dasar
fermentasi adalah mengaktifkan
kegiatan mikroba tertentu dengan
tujuan mengubah sifat bahan agar
dihasilkan suatu yang bermanfaat
(Widayati dan Widalestari, 1996).
Perubahan tersebut karena dalam
proses fermentasi jumlah mikroba
diperbanyak dan digiatkan
metabolismenya didalam bahan
tersebut dalam batas tertentu
(Santoso, 1989).
Tahap proses fermentasi untuk
mengkonversi glukosa (gula) yang
terdapat di dalam limbah cair tapioka
tersebut menjadi etanol dan CO2. Pada
proses fermentasi ini, khamir yang
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
104
digunakan adalah Saccaromyces
cerevisiae. Dan pada proses ini,
dilakukan proses pemeraman atau
penyimpanan selama 3 hari pada suhu
kamar ± 25oC – 32oC. Sesuai dengan
reaksi berikut ini :
Reaksi : C6H1206 ---------
2C2H5OH + 2CO2
khamir
Yeast merupakan fungsi uniseluler
yang melakukan reproduksi secara
pertunasan (budding) atau
pembelahan (fission). Yeast tidak
berklorofil, tidak berflagella, berukuran
lebih besar dari bakteri, tidak dapat
membentuk miselium berukuran bulat,
bulat telur, batang, silinder seperti
buah jeruk, kadang-kadang dapat
mengalami diforfisme, bersifat saprofit,
namun ada beberapa yang bersifat
parasit (Van Rij, 1984).
Saccharomyces cerevisiae merupakan
yeast yang termasuk dalam kelas
Hemiascomycetes, ordo
Endomycetales, famili
Saccharomycetaceae, Sub famili
Saccharoycoideae, dan genus
Saccharomyces (Frazier dan Westhoff,
1978). Saccharomyces cerevisiae
merupakan organisme uniseluler yang
bersifat makhluk mikroskopis dan
disebut sebagai jasad sakarolitik, yaitu
menggunakan gula sebagai sumber
karbon untuk metabolisme
(Alexopoulus dan Mims, 1979).
Saccharomyces cerevisiae mampu
menggunakan sejumlah gula,
diantaranya sukrosa, glukosa,
fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa
dan maltotriosa (Lewis dan Young,
1990). Saccharomyces cerevisiae
merupakan mikrobia yang paling
banyak digunakan pada fermentasi
alkohol karena dapat berproduksi
tinggi, tahan terhadap kadar alkohol
yang tinggi, tahan terhadap kadar gula
yang tinggi dan tetap aktif melakukan
aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC
(Kartika et.al.,1992). Pembentukan
alkohol dari gula dilakukan oleh khamir
penghasil alkohol. Gula yang
ditambahkan pada sari buah bertujuan
untuk memperoleh kadar alkohol yang
lebih tinggi, tetapi bila kadar gula
terlalu tinggi aktifitas khamir dapat
terhambat. (Galih, 2010)
Dehidrasi Air dalam Alkohol
Zeolit adalah senyawa alumino-silikat
hidrat. Secara umum, zeolit memiliki
melekular sruktur yang unik, dimana
atom silikon dikelilingi oleh 4 atom
oksigen sehingga membentuk
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
105
semacam jaringan dengan pola yang
teratur.
Zeolit juga sering disebut sebagai
'molecular sieve'/ 'molecular mesh'
(saringan molekuler) karena zeolit
memiliki pori-pori berukuran melekuler
sehingga mampu
memisahkan/menyaring molekul
dengan ukuran tertentu. Zeolit
mempunyai beberapa sifat antara lain :
mudah melepas air akibat pemanasan,
tetapi juga mudah mengikat kembali
molekul air dalam udara lembab. Oleh
sebab sifatnya tersebut maka zeolit
banyak digunakan sebagai bahan
pengering. Disamping itu zeolit juga
mudah melepas kation dan diganti
dengan kation lainnya, misal zeolit
melepas natrium dan digantikan
dengan mengikat kalsium atau
magnesium. Sifat ini pula
menyebabkan zeolit dimanfaatkan
untuk melunakkan air. Zeolit dengan
ukuran rongga tertentu digunakan pula
sebagai katalis untuk mengubah
alkohol menjadi hidrokarbon sehingga
alkohol dapat digunakan sebagai
bensin. Zeolit di alam banyak
ditemukan di India, Siprus, Jerman dan
Amerika Serikat.(www.wikipedia.org)
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan :
1. Limbah cair tapioka, diambil dari
industri Tapioka di daerah Pati Jawa
Tengah
2. Ragi/ yeast, dibeli di toko Miskasari
Semarang
3. Glukosa, dibeli di toko Indrasari
Semarang
4. Zeolit, dibeli di toko Indrasari
Semarang
Alat :
Alat Sterilisasi , dari bahan Stainlis Stell
dengan kapasitas 10 Liter.
Alat Destilasi dari bahan gelas
diameter 3 cm, tinggi 1 m dengan
bahan isian plastik
Alat Fermentasi , berupa stoples dari
bahan plastik, yang bagian tutupnya
diberi lubang kecil dan diberi selang
untuk keluarnya karbondioksida hasil
reaksi fermentasi
Alat ukur kadar gula dan alat ukur
kadar alkohol
Termometer
Ph meter
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
106
Cara Penelitian
Tahap Awal Proses Penelitian
Memanaskan limbah cair sampai suhu
100oC sambil diaduk ,
mempertahankan suhu pada
temperatur tersebut selama 60 menit.
Kemudian didinginkan larutan hingga
mencapai suhu 34oC.
Membuat starter dari limbah cair
tapioka yang telah steril ( 10 % dari
volume limbah cair yang akan diproses
dengan kadar gula tertentu ditambah
ragi dengan jumlah tertentu, dicampur
kemudian didiamkan selama 24 jam
4. Menghitung jumlah mikrobia
dari starter ( mengatur supaya jumlah
mikroorganisme minimal 6 juta/ml)
Langkah-langkah proses
fermentasi:
Setelah suhu larutan mencapai 34oC,
memasukkan larutan kedalam tangki
fermentor. Melakukan test pH larutan
dan pH larutan yang diharapkan
sekitar 4,5 sampai 5.
Menambahkan larutan ragi ( yang
memiliki konsentrasi 106
mikroorganisme/ml ) ke dalam tangki
fermentor dan diaduk hingga merata.
Membiarkan larutan di dalam
fermentor selama 40-58 jam, agar ragi
bekerja. Selama proses fermentasi
berlangsung, kondisi operasi harus
dijaga sekitar 35o C, dengan pH= 4.5
– 5.5. Selama 6 – 24 jam akan muncul
gas CO2 dengan ditandai adanya
gelembung di dalam larutan tersebut,
ini berarti bahwa proses fermentasi
sudah mulai terjadi. Apabila
gelembung gas CO2 sudah habis atau
larutan tersebut sudah tidak
bergelembung, ini berarti bahwa
proses fermentasi telah selesai dan
larutan tersebut sudah siap untuk
didestilasi.
Proses ditilasi I:
Memasukkan larutan hasil fermentasi
ke dalam evaporator.
Memanaskan evaporator hingga
mencapai suhu 100oC.
Setelah mencapai suhu yang
diinginkan, maka air dan alkohol akan
menguap keatas selanjutnya melewati
pendingin hingga mengembun dan
menetes sebagai destilat.
Dari proses distilasi ini akan diperoleh
etanol dengan kadar yang masih
rendah
Mengetes kadar alkohol yang
diperolah dengan alat alkoholmeter
Dan untuk mendapatkan high purity
ethanol product atau Bioetanol, maka
kita lakukan proses dehidrasi dengan
menggunakan zeolit.
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
107
Proses ditilasi II:
1. Memasukkan larutan hasil destilasi
I ke dalam evaporator.
Memanaskan evaporator hingga
mencapai suhu 100oC, dan suhu
puncak 80 o C.
Setelah mencapai suhu yang
diinginkan, alkohol menguap keatas
selanjutnya melewati pendingin hingga
mengembun dan menetes sebagai
destilat, sedangkan air tetap di bawah
Untuk mendapatkan high purity
ethanol product atau Bioetanol,
selanjutnya dilakukan proses dehidrasi
dengan menggunakan zeolit.
Dehidrasi Bioetanol
Bioetanol yang diperoleh dari proses
destilasi II dengan alat HETP
selanjutnya dimurnikan dengan
dehidrasi menggunakan zeolit.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Kadar Gula Air Limbah
terhadap Kadar Alkohol
Dari penelitian pembuatan
bioetanol dari limbah cair Tapioka
yang diambil dari pengrajin Tapioka di
daerah Pati Jawa Tengah, yang
selanjutnya diatur kadar gulanya
dengan cara menambahkan glukosa
anhidrous, setelah dilakukan
fermentasi menggunakan yeast
dengan perbandingan tertentu dan
dilanjutkan pemurnian dengan destilasi
I diperoleh hasil sebagai berikut
seperti pada tabel 1:
Tabel 1. Kadar Alkohol hasil Fermentasi dan Distilasi I
Kadar Gula
Air Limbah
%
Kadar Alkohol
Hasil Destilasi
I
%
11 2
14 3
16 15
17 35
18 14
20 4
23 2
GRAFIK HASIL FERMENTASI DAN DISTILASI I
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5 6 7
KADAR GULA AIR LIMBAH
KA
DA
R A
LK
OH
OL
HA
SIL
DE
ST
ILA
SI
I
Series1
Series2
Gambar 1. Grafik Hubungan
Kadar Gula dengan Kadar
Alkohol
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
108
Dari tabel 1dan gambar 1, nampak
bahwa pada kadar gula 11 % hingga
17 % diperoleh alkohol dengan dengan
kadar yang meningkat, hal ini
dikarenakan semakin tinggi kadar gula
dalam air limbah akan diperoleh
alkohol yang besar pula. Tetapi dari
tabel 1 dan gambar 1 juga nampak
bahwa pada kadar gula air limbah
lebih dari 17 % , alkohol yang
diperoleh kadarnya menurun, hal ini
dikarenakan pada air limbah dengan
kadar gula yang tinggi dapat
menghambat pertumbuhan khamir
atau yeast sebagai mikroorganisme
pengurai, sehingga alkohol yang
dihasilkan sedikit. Kadar gula optimal
dicapai pada 17%, pada saat ini
diperoleh alkohol dengan kadar 35%
hal ini dikarenakan pada kondisi ini
kadar gula air limbah pada kondisi
optimal untuk proses peruraian
aldehid menjadi keton oleh khamir.
B. Kadar Bioetanol setelah Proses Destilasi II
dengan HETP
Bioetanol yang dihasilkan dari
distilasi I, selanjutnya dimurnikan lagi dengan
destilasi II menggunakan alat HETP, dan dari
penelitian pada berbagai kadar alkohol yang
diproses diperoleh peningkatan alkohol
sebagai berikut seperti pada tabel 2.
Tabel 2. Hasil Destilasi II dengan HETP
Kadar Alkohol
Hasil Destilasi
I
Kadar Alkohol
Hasil Destilasi II
3 21
4 24
14 93
15 93
30 93
Dari Tabel 2 dan gambar 2, nampak
bahwa kanikan kadar alkohol yang
masuk proses destilasi tahap 2
dengan alat HETP menunjukkan
GRAFIK HASIL DESTILASI II DENGAN HETP
0
20
40
60
80
100
1 2 3 4 5
KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI I
KA
DA
R A
LK
OH
OL
HA
SIL
DE
ST
ILA
SI
II
Series1
Series2
Gambar 2
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
109
bahwa kenaikan kadar alkohol
memberikan hasil output yang
eksponensial, yaitu meskipun kadar
alkohol yang masuk proses destilasi
HETP semakin tinggi , kadar alkohol
output setelah mencapai 93 % akan
konstan dan tidak naik lagi, hal ini
dikarenakan kemampuan alat HETP
hanya dapat memprose pemurnian
maksimum sampai memperoleh kadar
93 %.
C. Kadar Bioetanol setelah Proses
Dehidrasi dengan Zeolit
Bioetanol yang diperoleh dari hasil
destilasi II dengan alat HETP
selanjutnya ditingkatkan kadar
alkoholnya dengan cara dehidrasi
menggunakan zeolit, dan dari hasil
penelitian dari bioetanol yang memiliki
kadar 93 % setelah didehidrasi pada
berbagai waktu diperoleh hasil
sebagai berikut seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil Alkohol setelah Proses Dehidrasi dengan Zeolit
Kadar Alkohol
Hasil Destilasi
I
Waktu
Dehidrasi
menit
Kadar Alkohol
Hasil Destilasi
II
93 60 95
93 120 95
93 180 96
93 240 97
93 300 97
Gambar 3. Grafik Hasil Alkohol Setelah Proses Dehidrasi dengan Zeolit
GRAFIK HASIL ALKOHOL SETELAH PROSES
DEHIDRASI ZEOLIT
0
50
100
150
200
250
300
350
1 2 3 4 5
WAKTU DEHIDRASI MENIT
KA
DA
R A
LK
OH
OL
HA
SIL
DE
ST
ILA
SI
II
Series1
Series2
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
110
Dari tabel 3 dan gambar 3, nampak
bahwa pada dehidrasi pada bioetanol
menggunakan zeolit dari kadar alkohol
93 % dapat ditingkatkan kadarnya
menjadi 97 %, hal ini menunjukkan
bahwa proses peningkatan kadar
bioetanol diatas 95 % dapat dilakukan
dengan dehidrasi menggunakan zeolit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian
pengolahan limbah cair Tapioka
menjadi Bioetanol yang dilakukan
dengan fermentasi air limbah yang
diatur kadarnya dengan
menambahkan glukosa kering , dan
dlanjutkan proses pemurnian secara
destilasi I, destilasi II dengan HETP,
dan dehidrasi menggunakan zolit
diperoleh hasil sebagai berikut :
Limbah cair Tapioka dapat diolah
menjadi Bioetanol
Semakin tinggi kadar gula pada air
limbah, maka semakin tinggi pula
konsentrasi bioetanol yang dihasilkan,
hingga mencapai kondisi optimum,
tetapi bila kadar gula melebihi
optimum, kadar alkohol kan menurun
Konsentrasi maksimal bioetanol yang
diperoleh dar pengolahan air limbah
tanpa dehidrasi adala 35 % dengan
destilasi I, dan 93 % dengan destilasi II
(HETP)
Dengan penggunaan zeolit sebagai
penyerap hasil destilasi dapat
meningkatkan konsentrasi bioetanol
hingga 97 %
DAFTAR PUSTAKA
Suprapti, M. Lies, 2005. Tepung
Tapioka: Pembuatan dan
Pemanfaatannya. Kanisius.
Yogyakarta.
www.bppt.com/pengolahan tepung
tapioka.htm
www.bppt.com/Departemen
Lingkungan hidup(limbah tapioka).htm
Balai Besar Teknologi Pati-BPPT,
2005. Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-
Ethanol Sebagai BahanBakar Alternatif
Terbarukan.
Galih,A.R., 2010, Pengaruh
Penambahan Gula Pasir Terhadap
Kadar Alkohol Dan Kadar Vitamin C
Pada Pembuatan Sari Buah Belimbing
Manis (Averrhoa Carambola) Yang
Difermentasikan
SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE
111
Alexopoulus, C.J and C.W. Mims.
1979. Introductory Technology. John
Wiley and Sons. New York. 632 PP.
Anonim. 2008. Bioetanol Bahan baku
Singkong. The Largest Aceh
Community. Aceh.
Assegaf F.2009, Prospek Produksi
Bioetanol Bonggol Pisang
(MusaParadisiacal) Menggunakan
Metode Hidrolisis Asam danEnzimatis,
makalah Lomba Karya Tulis.