SARGA edisi Nopember 2010.

115
SARGA Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang Volume XVII Edisi II Bulan Nopember Tahun 2010 Fakultas Teknik UNTAG Semarang Penerbit : Lembaga Penerbitan Fakultas Teknik UNTAG SEMARANG ISSN : 0853-4748 Foto by, Tim KKL Porsibeta. Lokasi : Forbidden City - BeiJing Pola Tata Ruang Desa Adat di Bali ~ Ir. Anwar, MT. Bentuk “Atap Rumah” Pada Seni Bangunan Jawa~ Ir. Budi Adi Slamet. Eksotika Arsitektur Vernakuler Cina Lasem ~ Ir. Djoko Dharmawan, M.T. Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir ~ Ir. Soemarwanto, MT. Memadukan Potensi Kota dan Sejarah Pada Malaka World Herritage ~ Ir. Eko Nursanty, MT. Proses Perencanaan Desain Taman Kota dan Ruang Publik ~ Ir. Loekman Mohammadi, M.Sc. Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair dalam Kolom Isian ~ Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT. Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum (ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau Berkatekin Tinggi ~ Ir. Mega Kasmiyatun, MT Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif Bio- Etanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve ~ Ir. Retno Ambarwati SL,MT., Santa Monica, Yanastri Putri.D

description

Volume XVII Edisi II Bulan Nopember Tahun 2010SARGAJurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) SemarangPola Tata Ruang Desa Adat di Bali ~Ir. Anwar, MT.Fakultas Teknik UNTAG SemarangBentuk “Atap Rumah” Pada Seni Bangunan Jawa~Ir. Budi Adi Slamet.Penerbit : Lembaga Penerbitan Fakultas Teknik UNTAG SEMARANGEksotika Arsitektur Vernakuler Cina Lasem ~Ir. Djoko Dharmawan, M.T.Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir ~Ir. Soemarwanto, MT.Memadukan Potensi Kota dan S

Transcript of SARGA edisi Nopember 2010.

Page 1: SARGA edisi Nopember 2010.

i

SARGA Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik

Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG)

Semarang

Volume XVII Edisi II Bulan Nopember Tahun 2010 Fakultas Teknik UNTAG Semarang Penerbit : Lembaga Penerbitan Fakultas Teknik UNTAG SEMARANG ISSN : 0853-4748

Foto by, Tim KKL Porsibeta. Lokasi : Forbidden City - BeiJing

Pola Tata Ruang Desa Adat di Bali ~ Ir. Anwar, MT.

Bentuk “Atap Rumah” Pada Seni Bangunan Jawa~ Ir. Budi Adi Slamet.

Eksotika Arsitektur Vernakuler Cina Lasem ~ Ir. Djoko Dharmawan, M.T.

Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir ~ Ir. Soemarwanto, MT.

Memadukan Potensi Kota dan Sejarah Pada Malaka World Herritage ~ Ir. Eko Nursanty, MT.

Proses Perencanaan Desain Taman Kota dan Ruang Publik ~ Ir. Loekman Mohammadi, M.Sc.

Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair

dalam Kolom Isian ~ Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT.

Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum (ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan

Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau Berkatekin Tinggi ~

Ir. Mega Kasmiyatun, MT

Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif Bio-Etanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve ~

Ir. Retno Ambarwati SL,MT., Santa Monica, Yanastri Putri.D

Page 2: SARGA edisi Nopember 2010.

MAJALAH ILMIAH TEKNIK – VOLUME XVII - EDISI 2 - BULAN NOPEMBER 2010

SARGA merupakan Jurnal Teknik yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945

(UNTAG) Semarang, sebagai media publikasi ilmiah. Sajian tulisan dalam Jurnal Teknik ini dimaksudkan agar

komunikasi antar pakar ataupun insane akademik selalu terjadi dan terakomodasi, sehingga akan terwujud

perkembangan IPTEK sesuai dengan tuntutan pembangunan.

Ketentuan penulisan naskah;

1. Tulisan merupakan naskah asli dan belum pernah dimuat atau diterbitkan pada media lain,

2. Naskah ditulis dengan tata bahasa ilmiah menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris,

3. Naskah diketik rapi 1,5 spasi dengan model huruf “Times New Roman 12” atau “Arial 11”,

4. Jumlah halaman naskah minimal 15 halaman termasuk INTISARI atau ABSTRAK sekitar 200 kata,

5. Naskah dilengkapi dengan biodata penulis, yang memuat nama, tempat dan tanggal lahir, pendidikan

tertinggi (S1, S2, dan S3) serta pengalaman pekerjaan,

6. Redaksi berhak untuk menolak atau tidak menebitkan naskah yang kurang memenuhi persyaratan sebagai

tulisan ilmiah,

7. Redaksi dapat menyesuaikan, mengedit penggunaan istilah atau bahasa sepanjang tidak mengubah isi

maupun pengertiannya tanpa memberitahu penulis. Redaksi akan menghubungi penulis jika dipandang

perlu mengubah isi naskah.

R e d a k s i :

Pelindung: Dekan Fakultas Teknik UNTAG Semarang; Pembina: Prof.DR. Sarsintorini, SH.

Mhum: Penanggungjawab: Pembantu Dekan I FT UNTAG Semarang; Pemimpin Umum: Ir. St.

Muryanto, MEng.Sc.Ph.D.

Dewan Redaksi: Ir. FM.Roemiyanto.MS; Ir. Darwati, MSi; Ir. Loekman Mohamadi. MSc, Eko

Nursanty. ST. MT. Distributor: Novi Hendriyanto, Supardi,SH

A l a m a t : Fakultas teknik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Duwur, Telp: 024-8320920 Fax: 024-8310939 Semarang.

Page 3: SARGA edisi Nopember 2010.

i

Dari Redaksi

Pembangunan IPTEK diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan dan

penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan

bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan kualitas, harkat dan

martabat bangsa serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan dan

penerapan IPTEK harus didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas melalui

pendidikan dan pelatihan, penataan sistim kelembagaan serta penyediaan sarana dan

prasarana yang memadai.

Majalah Ilmiah “SARGA” merupakan salah satu sarana yang disediakan bagi para

sivitas akademika Fakultas Teknik UNTAG Semarang dalam upaya mengembangkan

IPTEK, sehingga Kampus sebagai wahana kehidupan masyarakat ilmiah akan selalu

tercipta.

Majalah Ilmiah ‘SARGA” terbit dengan menanmpilkan karya-karya ilmiah yang

diangkat dari berbagai fenomena, sehingga materi yang disajikan pada terbitan kali ini

cukup bermanfaat untuk dibaca dan dijadikan referensi.

1. Ir. Anwar, MT, “Pola Tata Ruang Desa Adat Di Bali.”

2. Ir. Budi Adi Slamet, “Bentuk “Atap Rumah “ Pada Seni Bangunan Jawa”

3. Ir Djoko Darmawan, MT; “Eksotika Arsitektur Vernalular Cina Lasem”.

4. Ir. Eko Nursanty, MT “Memadukan Potensi Kota Dan Sejarah Pada Malaka World

Herritage”.

5. Ir. Sumarwanto. MT. “Penataan Tata Ruang Wilayah Pesisir”.

6. Ir. Loekman Mohamadi. MSc. ”Proses Perencanaan Desain Taman Kota Dan

Ruang Publik”.

7. Dr. Ir. Priyono Kusumo, MT. “Pengaruh Rejim Aliran Terhadap Model Koefisien

Pindah Massa Pada Proses Ekstraksi Cair-cair dalam Kolom Isian”.

8. Ir. Mega Kasmiyatun, MT, ”Rekayasa Proses Pengering Endless Chain Vacuum

(ECV) Sebagai Alternatif Peningkatan Senyawa Polifenol Pada Produksi The Hijau

Berkatekin Tinggi”.

9. Ir. Retno Ambarwati SL, MT.*, Santa Monica**, dan Yanastri Putri**D,

”Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Menjadi Sumber Energi Alternatif Bio-

Etanol Menggunkana Zeolit Sebagai Molecular Sieve”.

Page 4: SARGA edisi Nopember 2010.

ii

Daftar Isi

Dari Redaksi ............................................................................................................................................................... i

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI .......................................................................................... 1

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA ..................................................... 10

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM .............................................................. 18

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE .. 26

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR ............................................................................... 38

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK ............................. 44

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA

PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN............................................................. 67

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI

ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU

BERKATEKIN TINGGI ................................................................................................................................ 81

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI

ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE .. 99

Page 5: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

1

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI Disampaikan Oleh : Ir. Anwar, MT.

ABSTRACT

Sejarah perkembangan peradaban manusia telah membuktikan bahwa sejak jaman dahulu manusia telah menyesuaikan diri terhadap alam lingkungannya , yaitu manusia hidup selaras dengan alam , termasuk didalamnya adalah aspek budaya dan tradisi.

Bentuk penyesuaian diri berupa respons manusia yang membentuk perilaku yang kemudian membentuk budaya. Menurut Koentjoroningrat (1989:186) menyatakan bahwa wujud kebudayaan terbagi menjadi 3 yaitu berbentuk gagasan, perilaku dan wujud fisik / artefak. Salah satu artefak berupa kawasan permukiman / desa adat, dengan pola tata ruang yang memiliki konsep / filosofi yang berakar pada keyakinan masyarakatnya, sehingga hubungan manusia dengan alam benar benar telah menyatu .

Kondisi demikian masih banyak dijumpai didaerah Bali , berupa kompleks permukiman tradisional yang sudah berdiri beberapa abad yang lalu, namun hingga saat ini masih digunakan untuk kehidupan bagi masyarakatnya dengan tanpa merubah pola maupun tata kehidupannya.

Salah satu desa adat tersebut adalah desa bayung Gede yang terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Latar Belakang Sejarah

Dalam istilah yang sangat

umum, Desa di Bali atas 2 type, yaitu

Baliage dan Bali Dataran. Kampung

Baliage lokasinya didaerah

pegunungan atau perbukitan,

sedangkan Bali Dataran berada

ditanah datar bagian selatan Bali.

Jenis Baliage adalah yang paling tua

dan kampung yang paling sedikit

jumlahnya dibandingkan dengan

kampung Bali Dataran. Baliage adalah

masyarakat bali asli yang pada jaman

dahulu adalah masyarakat pelarian

atau tidak mau bergabung dengan

Majapahit yang pada saat itu menjajah

tanah Bali. Sedangkan Bali dataran

adalah masyarakat asli bali yang

bergabung dengan majapahit pada

masa pendudukan Majapahit di Bali

saat itu, adat istiadat dan budaya yang

ada bercampur dengan kebudayaan

jawa. Desa Bayung Gede merupakan

salah satu dari type Baliage. Ciri fisik

yang paling menonjol dari Baliage

adalah ruang terbuka umum bersifat

linear, menuju arah kaja kelod.

Page 6: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

2

Desa Bayung Gede berdiri

sejak zaman pra sejarah, Asal mula

desa Bayung Gede berasal dari kata

Bayu atau Tenaga . Gede atau Besar.

Kemudian dapat diartikan dese

Bayung Gede yaitu Dengan kekuatan

yang besar bisa merombak hutan.

Pada mulanya lokasi desa Bayung

Gede ini adalah hutan yang lebat.

Kemudian orang orang asli dari

pegunungan yang selanjutnya

bersama sama menyusun kekuatan

untuk merombak hutan menjadi

sebuah perkampungan. Penduduk

yang mendiami perkampungan ini

kemudian sepakat menamai

perkampungan ini menjadi sebuah

desa yang dinamakan desa Bayung

Gede.

Desa Bayung Gede terletak

sekitar 30 kilo meter dari kota

Denpasar. Termasuk dalam

kecamatan Kintamani, dan

berkabupaten di Bangli. Bayung Gede

termasuk salah satu desa dimana

kondisi dan adat istiadatnya masih

sangat kuat mempertahankan tata nilai

tradisionalnya. Desa Bayung Gede

merupakan satu komplek perumahan

yang berdiri diatas tanah seluas 1034

ha.

Pada mulanya desa ini

sebagian kemudian setelah dirombak

banyak masyarakatnya. Dalam

perkembangannya Bayung Gede

mana yang kaya mana yang miskin

karena semua masyarakatnya semua

besar wilayahnya merupakan hutan

yang dimanfaatkan untuk perkebunan

oleh sulit untuk membedakan status

penduduk yang rata-rata sama.

Jumlah pekarangan yang ada di desa

ini mencapai 250 pekarangan rumah.

Dalam hal kepemilikan tanah, untuk

tanah desa di Bayung Gede tidak

boleh diperjualbelikan kecuali tanah

milik yang rata-rata letaknya berada

diluar desa baru boleh

diperjualbelikan karena tanah

pekarangan rumah merupakan milik

desa.

Pola Pekarangan Desa.

Pola pemukiman Desa Bayung

Gede terpusat pada poros jalan

utama desa yang berada di tengah

tengah desa, dimana fungsi jalan ini

terlihat jelas sebagai pengikat dari

lingkumgan desa. Jalan utama ini

berpotongan dengan jalan raya

menuju gunung Kintamani. Pada kiri

kanan jalan utama terdapat lorong-

lorong yang merupakan jalan

lingkungan pemukiman yang sedikit

melengkung. Pada sisi jalan ini

terdapat pintu pintu masuk menuju

halaman rumah penduduk.

Orientasi utama lingkungan

desa ini adalah puri Puseh dan balai

desa yang terletak di kanan dan kiri

Page 7: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

3

jalan utama menuju perkampungan.

Dan tempat ini pula yang menjadi

pusat lingkungan seperti pada pusat

desa. Dibeberapa bagian lain dari

desa ini terdapat sarana seperti pada

pusat desa namun tidak seramai

pusat desa. Di Balai Desa ini pun

terdapat sebuah kantor kelurahan

yang menjadi ternpat pelayanan

kependudukan baai masyarakat

Bayung Gede.

Gambar 1.: Site pembagian daerah Desa Adat Bayung Gede Sumber : Data KKL „07

Kepala desa Bayung Gede

mempunyai sebutan Perbekel atau

kepala dusun yang mempunyai tugas

mengatur desa dengan peraturan adat

yang berlaku pada desa tradisional di

Bali.

Fungsi dari pusat lingkungan atau Bale

Banjar desa Bayung Gede ini adalah :

- Wadah komunikasi bagi

masyarakat

KETERANGAN 1 : 1. Pura Bale Agung 2. Pura Puseh 3. Pura Pasek Gel – gel 4. Pura Penyimpanan 5. Pura Panti Kayu Selem 6. Pura Ibu 7. Pura Tangkas 8. Pura Puseh Pingit 9. Pura Pelampuan 10. Pura Dalem

KETERANGAN 2 :

A. Kantor kepala desa B. Bale Masyarakat C. Kantor BPD D. Toilet Umum E. LPD F. Puskesmas G. SDN Bayung Gede H. SMU N I Kintamani I. Lapangan Sepak Bola J. Tegal Siri K. Karang Sisian L. Mata Air Suda Mala

KETERANGAN 3 :

i. Sentra Pengerancab

ii. Sentra Ari – ari

iii. Sentra Gede

iv. Sentra Anak – anak

Page 8: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

4

- Tempat pertemuan antara

penduduk sekitar dengan

pendatang

- Sebagai pengikat seluruh warga

dalam kehidupan sehari-hari

maupun keagamaan.

- Sebagai tempat untuk melak sanakan

upacara adat yang dilaksanakan

setiap 6 bulan sekali.

Diatas tanah seluas 1024 ha dan

berpenduduk kurang lebih 2000 jiwa ini,

mempunyai sistem kepemilikan tanah

yang dibedakan menjadi 4 bagian yaitu

:

o Tanah Labe Pure : yaitu tanah

yang tidak dikenai pajak oleh

pemerintah dan digunakan untuk

bangunan Pure.

o Tanah Ayuhan Desa : yaitu tanah

yang tidak boleh dijual atau dibagi

bagi, karena tanah ini diberikan oleh

kelurahan kepada warganya yang

sudah menikah.

o Tanah milik : tanah milik pribadi

warga yang boleh dijual, dan

kebanyakan tanah ini terletak diluar

wilayah desa.

o Tanah Negara : adalah tanah milik

Negara yang dipakai untuk

penghijauan dan pengelolaanya

dilakukan oleh warga. Kebanyakan

tanah ini adalah tanah perkebunan

jeruk, selain itu kuburan merupakan

tanah milik Negara

o Pembagian lahan di desa Bayung

Gede berdasarkan pada Triangga

yaitu falsafah agama Hindu tentang

tiga tingkatan kehidupan.

Sedangkan pembagianya adalah :

1. Swah loka lahan untuk bangunan

pura

2. Bhur loka lahan untuk kuburan

3. Bwah loka lahan untuk massa

atau pemukiman

Sedangkan pembagian lahan

menurut penggunaanya dibedakan

menjadi 5 bagian sbb :

a. Area untuk pura,

b. 2.Area pemerintahan,

c. Fasilitas umum,

d. Pemukiman penduduk,

e. Area pekuburan.

Hal unik selain adat istiadat yang

masih kental didesa Bayung Gede

ini adalah adanya pekuburan ari-ari

yaitu suatu kuburan tempat

mengubur ari-ari tetapi hal yang

istimewa disini adalah bahwa ari –

ari tersebut tidak dikubur di tanah

melainkan digantung di pepohonan

yang sebelumnya ari- ari tersebut

diletakan di tempurung kelapa.

Page 9: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

5

Gambar . 2 Kuburan Ari – ari Sumber : Data KKL „ 04

Tata Letak Bangunan

Penataan tata letak bangunan

desa Bayung Gede ternyata tidak

sesuai dengan Nawasanga seperti

pada konsep rumah adat di Bali.

Perletakan bangunan terbagi dalam 5

bagian atau type bangunan yaitu :

1 . Bangunan Pura

2 . Bangunan Bale

3 . Bangunan Perumahan

4 . Bangunan Umum

5. Area Pekuburan

1.BANGUNAN PURA.

- Pura Bale Agung

Digunakan untuk memuja nenek

moyang yang mendirikan desa

tersebut.

- Pura Puseh

Digunakan untuk upacara adat yang

diadakan setiap 6 bulan sekali .

Juga untuk memuja nenek moyang

pendiri desa tersebut dan dewa

Wisnu. Pura ini lebih ditinggikan

dari kontur tanah sekitar dan

mempunyai 9 tingkat meru.

- Pura Pasek Gel - gel

Digunakan untuk memperingati

Catur Wangsit dan dapat

digunakan untuk 4 kasta

- Pura Penyimpanan

Mempunyai ruang penerima yang

Iuas dengan bangunan dikiri

kanannya.

- Pura Panti Kayu Selem

Dipakai untuk pacara Usaba

nggung.

- Pura Ibu

Terdapat sebuah pura Ibu yang

merupakan pura pribadi sesepuh desa

ini.

- Pura Tangkas

Digunakan untuk upacara adat

desa mengangkat kedewasaan anak.

- Pura Puseh Pingit

Digunakan untuk melakukan

upacara pingit terhadap penduduk

yang sedang menjalani masa

pingitan.

- Pura Pelampuan

Digunakan untuk upacara adat

desa dalam melakukan

persembahan bumi atas berkah

yang diberikan kepada

masyarakat desa.

- Pure Dalem

Pura yang ada ditiap tiap

rumah.

Page 10: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

6

2. BANGUNAN BALE.

- Bale Desa

Berorientasi kemuka dan

membentuk atap limasan ini

berfungsi sebagai tempat

berkumpulnya warga desa bila

sedang mengadakan rapat desa.

Juga sebagai tempat menerima

tamu dari luar desa untuk urusan

pemerintahan.

- Bale Agung

Fungsinya hampir sama dengan

bale desa namun bale agung ini

cenderung untuk kegiatan adat

atau keagamaan. Juga sebagai

tempat untuk upacara Sasih

Nasa atau upacara

penghormatan terhadap hasil

pananen.

3. BANGUNAN PERUMAHAN.

Bangunan perumahan terletak

memanjang kearah kangin kauh .

Sepanjang lorong sempit ini terletak

bangunan perumahan penduduk

yang tertata berjajar rapi. Namun

lorong jalan ini sedikit melengkung

sehingga ujung yang satu dengan

lainya tidak terlihat. Rumah yang

satu dengan yang lain saling

bertolak belakang menghadap

lorong didepanya .Arah selatan

desa lebih padat perumahannya.

4. BANGUNAN UMUM.

- Sekolah

Didesa Bayung Gede

terdapat dua bangunan

sekolahan yaitu SDN

Bayung Gede dan SMUN 1

Kintamani.

- Kantor Kelurahan

Sebuah bangunan

dengan model yang sederhana

terletak di ujung desa atau

pintu masuk desa. Kepala desa

atau lurah desa ini adalah I

Wayan Polos.Bangunan ini

merupakan pusat

pemerintahan dan pelayanan

terhadap masyarakat dalam

pengurusan surat surat atau

KTP.

- Puskesmas

Puskesmas merupakan tempat

pelayanan kesehatan dari

pemerintah bagi masyarakat

desa.

- Pemandian

Aliran air melalui pancuran

yang terletak di belakang desa

dan digunakan oleh

masyarakat sekitar. Dibedakan

menjadi 2 kelompok, yaitu

untuk pria dan wanita. Bagi

perumahan yang telah memiliki

kamar mandi sendiri

pemandian merupakan milik

pribadi, biasanya bangunan ini

Page 11: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

7

telah tersentuh oleh

modernisasi.

- Kantor BPD

Bank Pemerintah Daerah

terdapat didesa ini sebagai

pelayanan perbankkan bagi

masyarakat desa.

- Toilet umum

Hanya terdapat satu toilet

umum yang letaknya ditengah

tengah desa. Sebagai toilet

bersama untuk semua warga.

5. AREA PEKUBURAN

- Setra Pangerancap

Yaitu area pekuburan bagi

masyarakat desa yang

meninggal secara tidak wajar.

Seperti bunuh diri, kecelakaan,

meninggal karena sakit dan

kematian kematian penduduk

yang bagi masyarakat sekitar

adalah belum saatnya.

- Setra Ari - ari

Adalah area pekuburan yang

paling unik ,karena yang

dikubur adalah Ari ari bayi

yang baru dilahirkan.

Keistimewaan dari pekuburan

ini adalah ari - ari ini tidak

dikuburkan melainkan di

bungkus dengan tempurung

kelapa yang selanjutnya

digantung pada dahan pohon

Bukak.

- Setra Ari – ari

Adalah area pekuburan bagi

masyarakat Bayung Gede yang

meninggal secara wajar dan

telah mencapai kedewasaan

sampai yang berusia lanjut dan

meninggal secara wajar dan

keadaan yang sehat.

- Setra Anak – anak

Area pekuburan ini khusus

bagi anak – anak yang

meninggal pada saat usianya

masih anak anak. Bisa juga

diartikan bahwa area

pekuburan ini adalah area

pekuburan bagi masyarakat

Bayung Gede yang belum

dewasa.

Page 12: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

8

STRUKTUR BANGUNAN.

Struktur pada umumnya terbagi atas

tiga bagian, yaitu kepala ( atap ) ,

badan ( dinding ), dan kaki (pondasi

dan lantai ).

1. BANGUNAN PURA.

- Atap : Atap untuk bangunan

pura dari bahan ijuk atau dari

genteng dan daun kelapa yang

dianam lalu di keringkan.

- Dinding : Sedangkan

untuk dinding menggunakan batu

bata , namun hanya sedikit.

Pemakaian batu bata lebih

banyak untuk pagar karena

bangunan pura kebanyakan

adalah bangunan bukaan yang

tidak memakai dinding.

- Lantai : Bahan untuk lantai

adalah batu alam atau batu kali

demikian pula dengan

pondasinya.

2. BANGUNAN PERUMAHAN.

- Atap : Untuk atap

perumahan memakai bahan

dari ijuk dan bambu yang telah

dikeringkan ataupun dari daun

kelapa yang telah dikeringkan

pula. Sementara untuk

bangunan yang telah tersentuh

modernisasi memakai genteng

dan asbes sebagai atapnya.

- Dinding : Untuk dinding bagi

rumah yang masih kuno

menggunakan bahan dari

bambu atau tembok dari tanah

liat. Sedangkan bangunan yang

telah tersentuh modernisasi

menggunakan bahan dari batu

bata atau papan kayu

- Lantai : Sedangkan untuk

pondasi menggunakan bahan

dari batu kali yang diikat

dengan tanah liat. Lantai pada

umumnya masih dari tanah,

kecuali untuk bangunan bale

lantai dari papan kayu. Bagi

rumah modern menggunakan

tegel atau keramik rumah

berdasarkan konsep Kosale

Kosali dan Aweg - aweg atau

aturan setempat.

POLA PERUMAHAN

1. SKALA

Secara keseluruhan lingkungan

pedesaan cenderung memiliki skala

lingkungan yang kecil, intim dan

menyesuaikan skala tiap-tiap

penghuninya. Lorong-lorong yang

sempit, kusen pintu yang rendah

menegaskan kesan akrab antara

manusia dengan tempat tinggalnya.

2. PROPORSI.

Antar bangunan yang satu

dengan yang lain terdapat

kesatuan yang tidak salaing

menonjol, demikian pula dengan

pemukiman dan bangunan pura.

Bale dan bangunan umum

terdapat kesatuan yang erat.

3. KESAN TAMPAK.

Page 13: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

POLA TATA RUANG DESA ADAT DI BALI

9

Penggunaan bahan bahan alami

menunjukan keserasian

bangunan dengan alam

sekitarnya. Bentuk bentuk

bangunan pada umumnya

sangat sederhana dengan

bentuk dasar segi empat.

POLA PEKARANGAN.

1.PEMBAGIAN HALAMAN.

Pembagian halaman dalam satu

pekarangan rumah mempunyai nilai

sendiri sendiri yaitu :

a. Timur laut (pojok) Untuk

pamerajan. Sanggah atau

sekelompok tempat pemujaan

bagi keluarga.

b. Timur untuk bale kangin atau

tempat persyratan bila ada yang

meninggal disimpan terlebih

dahulu dibale kangin hingga

menunggu datangnya hari baik

untuk upacara pemakaman

selanjutnya.

c. Selatan untuk dapur atau tempat

lain seperti gudang peralatan

dsb. Dapur juga dipakai untuk

upacara adat seperti melahirkan,

pernikahan, dan upacara

sebelum ngaben.

d. Utara untuk bale dafe atau

umah meten. Yaitu tempat untuk

pemersatuan bila ada upacara

adat.

e. Barat untuk bale daun atau

tempat interaksi sosial seperti

menerima tamu tempat istirahat.

f. Barat daya untuk bangunan

bebas.

Page 14: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

10

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI

BANGUNAN JAWA Oleh: Ir. Budiadi Slamet

ABSTRAKSI

Bentuk rumah dengan puncak yang rata atau datar banyak sekali

macamnya. Misalnya : bentuk joglo, bentuk limasan, bentuk kampung,

bentuk panggang pe dan lain-lainnya. Bentuk-bentuk atap yang

didasarkan pada puncak yang lancip atau puncak yang rata juga

menggambarkan dunianya orang Jawa. Disini yakni dunia batiniah

dan dunia badaniah yang dilambangkan pada bentuk atap

bangunan.Maka dari itu dengan melihat bentuk atap, kita bisa

menyebutkan apa guna dari masing-masing bangunan tersebut.

Bentuk bangunan di tanah

jawa, bila diteliti, jelas sekali bedanya

antara bangunan yang termasuk

Agung dan Suci dengan bangunan

yang biasa di pakai untuk kebutuhan

sehari-hari.

Bagi bangunan yang termasuk

Agung dan Suci bentuk atapnya

mempunyai bentuk yang puncaknya

lancip, disebut bentuk atap “ Tajug “.

Sedangkan bangunan yang biasa

untuk kebutuhan sehari-hari,

misalnya : rumah, gapura beratap,

lumbung ( gudang padi ), kandang

hewan dan sebagainya. Atapnya

mempunyai bentuk puncak yang

datar atau rata.

Bentuk rumah dengan puncak

yang rata atau datar banyak sekali

macamnya. Misalnya : bentuk joglo,

bentuk limasan, bentuk kampung,

bentuk panggang pe dan lain-lainnya.

Bentuk-bentuk atap yang

didasarkan pada puncak yang lancip

atau puncak yang rata juga

menggambarkan dunianya orang

Jawa. Disini yakni dunia batiniah

dan dunia badaniah yang

dilambangkan pada bentuk atap

bangunan.Maka dari itu dengan

melihat bentuk atap, kita bisa

menyebutkan apa guna dari masing-

masing bangunan tersebut.

Bentuk “ T A J U G “.

Bangunan dengan bentuk tajug

mempunyai sifat yang khusus.

Karena bangunan dengan bentuk

tajug digunakan untuk bangunan

yang kegiatan di dalamnya

berhubungan dengan Yang Maha

Agung dalam hal ini Tuhan. Atau

siapa saja yang telah meninggal,

Page 15: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

11

yang dianggap tokoh / pemimpin

masyarakat.

Oleh karena itu wujud dari

bentuk bangunan diusahakan

supaya dapat mempunyai sifat

yang agung dan suci,

demikian pula bahan

bangunannya tidak boleh

sembarangan. Bentuk

atapnya menjulang keatas /

seperti kerucut, dan tidak

boleh digunakan untuk

sembarang bangunan. Dan

juga tata rakitnya / tata letak

harus sesuai.

Banyak contoh yang bisa di

ketengahkan di sini misalnya :

bentuk atap dari masjid

Demak, masjid Kudus dan

masjid-masjid lainnya ataupun

langgar.

Demikian pula bentuk atap di

makam Bung Karno dan Bung

Hatta, tempat-tempat

pemujaan di Bali. ( lihat

gambar. 1. bentuk atap tajug

).

Kalau bentuk tajug di

belah menjadi dua sama

besar, maka perkembangan

bentuknya berubah seperti

gapura yang disebut : “ Candi

Bentar “. ( lihat gambar. 2.

bentuk candi / gapura bentar ).

Dengan sendirinya

gapura ini pada umumnya

tidak dibangun dari kayu, akan

tetapi dari batu atau dari batu

bata. Mengingat letaknya di

luar dan tidak beratap

Page 16: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

12

sehingga dicarikan bahan

yang tahan cuaca. Di sini

candi bentar mewujudkan

tanda adanya kompleks

bangunan suci yang ada di

belakangnya.

Bentuk “ J O G L O “.

Bentuk atap joglo

merupakan perkembangan

dari bentuk atap tajug yang di

belah dua sama besar, dan

kemudian diantara ke dua

belah diberi bentuk atap lain

yaitu bentuk atap rumah

kampung yang tidak begitu

panjang. ( lihat gambar. 3.

bentuk atap joglo ).

Sedang kemiringan

atap rumah kampung harus

sama dengan kemiringan atap

bentuk tajug yang di belah dua

sama besar. Dari gabungan

antara bentuk tajug yang di

belah dua sama besar dengan

bentuk kampung di tengahnya,

terbentuklah apa yang

dinamakan atap joglo. Bentuk

kampung disini adalah bentuk

rumah yang kebanyakan

dihuni oleh masyarakat

ekonomi rendah.

Bentuk joglo ini

kedudukannya di bawah

bentuk tajug dan masih

termasuk bentuk atap yang

mempunyai sifat agung.

Terbawa dari sifat yang agung

itu maka bentuk joglo tidak

bisa di terapkan pada

sembarang bangunan. Oleh

karena itu kebanyakan hanya

untuk ruangan pendopo atau

bangsal agung di keraton.

Bentuk “ L I M A S A N ”.

Bentuk limasan ini

merupakan perkembangan

dari bentuk joglo, dimana

bentuk atap kampung yang

terletak diantara bentuk tajug

Page 17: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

13

yang dibelah dua sama besar

di perpanjang kurang lebih 3-4

kali dari panjang atap

kampung pada bentuk joglo.

Dari gabungan antara

bentuk tajug yang dibelah dua

sama besar dengan bentuk

kampung yang puncaknya

diperpanjang tadi akan

terbentuk bangunan baru yang

disebut bentuk bangunan

limasan.

Bangunan limasan ini

tingginya tidak melebihi tinggi

atap joglo. Bila melihat dari

panjangnya puncak dari

bentuk limasan, maka

sifatyang suci dan agung

sudah banyak berkurang.

Bahkan yang timbul

mempunyai sifat yang ayom

dan ayem. ( lihat gambar. 4.

bentuk atap limasan ).

Bentuk atap limasan ini

banyak ditemui / di jumpai di

rumah-rumah jawa, gunaya

untuk atap / ngayomi bagian

dalam dari suatu rumah.

Misalnya : ruang keluarga,

kamar-kamar dan sebagainya.

Atau lebih dikenal di

masyarakat Jawa dengan

istilah : ruang keluarga (

ndalem ), kamar-kamar yaitu :

ada sentong kiwa, sentong

tengah, sentong tengen.

Dilihat dari bentuk,

bangunan limasan ini

merupakan bangunan yang

lebih mahal dari bentuk

kampung. Juga bentuk atap

limasan ini secara tidak

langsung dapat dijadikan

tanda bahwa yang mempunyai

rumah termasuk orang yang

mampu / kuat sosial

ekonominya.

.

Bentuk “ K A M P U N G A N “.

Yang disebut bentuk

atap Kampung yaitu : bentuk

atap seperti yang diletakkan di

tenga-tengah belahan dari

bentuk atap tajug. ( lihat

Page 18: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

14

gambar. 5. bentuk atap

kampung ).

Kegunaan bentuk

kampung ini tidak berbeda

dengan bentuk limasan, yaitu

untuk kegiatan badaniah.

Bentuk kampung ini tidak

mempunyai sifat yang agung

dan suci seperti bentuk-bentuk

sebelumnya.

Bentuk “ P A N G G A N G P

E “.

Bentuk yang terakhir yaitu :

bentuk panggang pe. Dimana

bentuknya hanya berujud

separo dari bentuk kampung.

( lihat gambar. 6. bentuk

atap panggang pe ).

Bentuk-bentuk ini waktu

dulu tidak biasa dipakai

sebagai atap rumah. Karena

bentuk panggang pe ini hanya

sebagai atap bangunan yang

tidak mempunyai dinding

misalnya : gubug di sawah,

kandang hewan dan

sebagainya. Karena bentuk

ini bisa digunakan untuk

menambah ruangan atau

emperan, maka sekarang

banyak rumah mempunyai

bentuk panggang pe.

PRALAMBANGNYA “ BENTUK

ATAP “.

Page 19: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

15

Membicarakan masalah

lambang bentuk, yang bisa

mewujudkan manunggalnya

kehidupan rohani dan jasmani

atau batiniah dan badaniah

yang serba selaras, yaitu

bentuk joglo dan limasan.

Pada bangunan bentuk

joglo, bisa dilihat kalau yang

ayomi itu lebih banyak yang

bersifat hidup batiniah, tanpa

meninggalkan sifat hidup

badaniah.

Adanya pertemuan,

rembug desa, perayaan dan

pegelaran-pegelaran yang

diadakan di pendopo berbentuk

joglo, memang sudah sesuai.

Karena semua tadi bersifat olah

rasa, olah keindahan, dan olah

kebudayaan.

Rembug desa itu

merupakan usaha menciptakan

hidup bermasyarakat, walaupun

ujud kegiatannya bersifat

badaniah, tetapi hasilnya

menuju kepada ketentraman

batiniah. Selain itu kegiatan

badaniah yang diadakan di

pendopo,mempunyai : suasana

yang agung, suasana yang

selaras antara hidup batiniah

dan badaniah.

Suasana yang demikian

memang dikehendaki oleh

mempunyai rumah karena disini

mereka tidak hanya bertindak

sebagai Ayah tetapi juga

sebagai Pemimpin yang dapat

memberi pengayoman dan

ketentraman pada para tamu.

Pada bangunan limasan

sudah bisa ditebak bahwa di

sini hiidup badaniah yang lebih

besar pengaruhnya. Adanya

sentong ( kamar ) untuk dan

juga ndalem atau ruang

keluarga yang di gunakan untuk

tempat pertemuan keluarga

setiap harinya. Semua itu tadi

mewujudkan dari perilaku hidup

badaniah, walaupun hidup

bataniahnya tidak di tinggalkan

sama sekali. Hal ini bisa dilihat

dari adanya sentong tengah (

kamar tengah ), ysng disebut

juga krobongan yang di anggap

di hormati, dimana biasanya

tempat meletakkan hasil bumi /

hasil pertanian.

Bentuk limasan tidak

menonjol sekali sifatnya yang

suci dan agung, tetapi

keselarasan hidup badaniah

dan batiniah masih tetap

nampak atau terwujud di tempat

yang di ayominya. Tidak

menonjolnya sifat agung dan

suci, karena di sini gerak hidup

yang bersifat resmi sudah tidak

nampak lagi, hanya ada tata

krama / susila antara Ayah, Ibu

dan Putra-putranya.

Suasana yang intim dan

akrab di bagian badaniah lebih

terasa. Sifat yang ayom dan

tenteram itu semua di

Page 20: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

16

lambangkan dengan puncak

atap bangunan yang rata dan

lebih panjang dari puncak atap

bentuk joglo.

Untuk bentuk Kampung

dan Panggang Pe, memang

tidak banyak yang dapat di

ketengahkan di sini. Kecuali

pada bentuk Panggang Pe

melambangkan hidup badaniah,

dalam hal ini bisa kita lihat dan

banyak di lingkungan kita.

Sedang bentuk kampung

mengandung pra lambang

hidup badaniah yang bersifat

pribadi keluarga.

Semua yang

dilambangkan di atas tadi

mempunyai tingkatan sendiri-

sendiri, seperti ada bentuk tajug

yang paling suci dan agung,

bentuk limasan yang lebih

melambangkan hidup batiniah

dari pada badaniah. Tingkatan

ini juga di lambangkan dengan

wujud bentuk atap yang di olah

dari bentuk poko tadi. ( Tajug,

Joglo, Limasan, Kampung, dan

Panggang Pe ).

Kesimpulannya :

1. Pada jaman dahulu para

leluhur kita sudah mengenal

bentuk bangunan dan

menciptakan / membuat

bentuk atap untuk suatu

bangunan. Semua sudah

mengandung makna /

faedah, untuk apa bangunan

itu di buat. Atau dalam

pengertian lain “ Bentuk

mengikuti fungsi “.

2. Adanya perkembangan

bentuk atap yang bermacam

dan mengandung lambang,

terjadilah fungsi / guna dari

bangunan.

3. Dalam hal membangun

rumah para pendahulu kita /

leluhur sudah mempunyai

pikiran / angan-angan

tentang : cipta, rasa, dan

keras.

4. Masing-masing bentuk

melambangkan :

Tajug

Melambangkan hidup

batiniah, bentuknya

mengarah ke atas seperti

kerucut menuju kepada

Sang Pencipta Alam

Semesta ( Tuhan

Yang Maha Kuasa ).

Joglo

Banyak melambangkan

kehidupan yang bersifat

batiniah tanpa

meninggalkan kehidupan

yang bersifat badaniah.

Limasan

Melambangkan

kehidupan badaniah

lebih besar pengaruhnya,

walaupun hidup

batiniahnya tidak

ditinggalkan sama sekali.

Kampung

Page 21: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

BENTUK “ ATAP RUMAH “ PADA SENI BANGUNAN JAWA

17

Melambangkan hidup

badaniah yang bersifat

pribadi keluarga.

Panggang Pe

Juga melambangkan

hidup badaniah.

Kepustakaan :

1. Arya Ronald, Manusia dan

Rumah Jawa

2. Galih Widjil Pangarsa,

Merah Putih Arsitektur

Nusantara

3. Josef Prijotomo, Arsitektur

Jawa

4. Suchianto Aly : Ngawangun

Ki Nusantara

Page 22: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

18

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR

CINA LASEM Oleh : Ir Djoko Darmawan, MT

Abstrak

Daerah pantai Utara Jawa Tengah sejak abad VIII telah berperan sebagai bandar perdagangan internasional, oleh karena itu dengan terbentuknya permukiman Pecinan di daerah pesisir utara pulau Jawa maka terjadi pula akulturasi budaya Cina dengan budaya setempat. Demikian pula dengan perkembangan arsitekturnya, yang pada awalnya arsitektur rumah tinggal masyarakat pesisir utara hanya didominasi dengan arsitektur tradisional Jawa, maka dengan terbentuknya permukiman Pecinan tersebut ternyata juga memberi warna pada arsitektur rumah tinggalnya.

Kecamatan Lasem adalah salah satu kota tua di pesisir utara pulau Jawa yang dikunjungi bangsa cina pada awal kedatangannya hal ini dapat diketahui dari sejarah kedatangan maupun sejarah pemberontakan masyarakat cina di mana Lasem merupakan benteng pertahanan terakhir dari masyarakat Cina sebelum ditumpas Kumpeni pada tahun 1743. Ramainya perdagangan di Lasem dengan pelabuhan dagangnya pada jaman Kolonial tidak terlepas dari peran masyarakat Cina yang sudah cukup lama bermukim di Lasem.

Pendahuluan

Lasem merupakan salah satu kota

kecamatan di Kabupaten Rembang

Jawa Tengah yang terletak antara

kota Rembang dan kota Tuban.

Menurut data penelitian Lasem

adalah salah satu kota yang

memiliki potensi wisata pecinan

selain Semarang, Rembang,

Welahan, Tegal, Pekalongan,

Cirebon dan Tuban. Kecamatan

Lasem terletak di jalur antara kota

Tuban dan kota Rembang, dengan

batas-batas sebagai berikut :

Sebelah barat : Kecamatan

Rembang

Sebelah selatan : Kecamatan Pancur

Sebelah timur : Kecamatan Sluke

Sebelah utara : Laut Jawa

Keadaan geografi Kecamatan

Lasem terdiri atas dataran tinggi,

dataran rendah dan wilayah pantai.

Di daerah dataran tinggi dengan

wilayah hutan dan perkebunan,

dataran rendah digunakan untuk

persawahan dan tegalan sedangkan

wilayah pantai berupa tambak dan

kolam.

Page 23: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

19

Memasuki kota Lasem kita akan

disambut oleh bangunan-bangunan

tua yang tersembunyi di balik tembok

tinggi. Bentuk atap khas arsitektur

Cina terlihat diantara ketinggian

dinding pagar bumi tersebut. Memang

secara historis Lasem merupakan

kota tua yang dikunjungi bangsa Cina

pada awal kedatangannya dan

lamanya orang Cina bermukim di

Lasem. Jadi tidak heran jika di Lasem

masih banyak terdapat bangunan

dengan arsitektur tradisional Cina.

Gerbang Rumah Tinggal Tradisinal Cina.

Sumber : Data lapangan

Keindahan arsitektur vernakular Cina

terlihat pada desain atap yang

melengkung dengan ujung seperti

ekor walet. Keindahan lain adalah

bentuk struktur kayu yang diekspose

serta simbolisasi yang tersirat pada

ukiran di bangunan ibadahnya.

Cantik, klasik dan sederhana serta

terjaga dari coreng moreng make-up

modern bak gadis desa yang lugu,

itulah ungkapan untuk Lasem.

Sayang pesona klasik ini sekarang

sudah mulai memudar karena adanya

peristiwa G30SPKI dan penerapan

Inpres no 14 tahun 1967. Pada era

reformasi Presiden Abdurahman

Wahid mencabut Inpres no 14 tahun

1967, walaupun demikian Le Petit

Page 24: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

20

Chinois (Cina kecil) ini belum bisa

memancarkan pesonanya seperti

dahulu kala.

Bangunan Arsitektur Vernakular Cina

Bangunan tradisional Cina yang ada

di Lasem yaitu rumah tinggal,

kelenteng, gerbang/Pailous dan

makam. Seperti halnya di Semarang,

Lasem mempunyai 3 buah kelenteng

yaitu Cu An Kiong, Po An Bio dan Gie

Yong Bio dimana 1 diantaranya

mempunyai usia lebih tua

dibandingkan kelenteng yang ada di

Semarang dan sebuah kelenteng

simbol persahabatan serta

nasionalisme dalam melawan

penjajah Belanda.

Kelenteng Cu An kiong yang terletak

di jalan Dasun no 19, klenteng ini

sudah ada sejak abad 16. Selain

kelenteng tertua di Indonesia

kelenteng ini mempunyai kekayaan

ukiran dan dinilai terindah di

Indonesia.

Kelenteng Cu An Kiong. Sumber : Data lapangan

Sedangkan kelenteng Po An Bio

yang terletak di jalan Karangturi

VII/15 Lasem berdiri tahun 1740

(kelenteng tertua Semarang, Sioe

Hok Bio th 1753).

Kelenteng Po An Bio. Sumber : Data lapangan

Page 25: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

21

Kelenteng Gie Yong Bio adalah

kelenteng termuda di Lasem yang

terletak di jalan Babagan no 7 Lasem

yaitu berdiri tahun 1780. Kendati

demikian kelenteng ini dibangun

untuk menghormati para pahlawan

Lasem dan merupakan simbol

persahabatan antara raden Margono,

Oey Ing Kiat dan Tan kee Wie yang

bahu membahu melawan penjajah

Belanda.

Kelenteng Gie Yong Bio. Sumber : Data lapangan

Sementara itu selain kelenteng

bangunan rumah tinggal Cina di

Lasem mempunyai ciri khas yang

berbeda dengan bangunan vernakular

Cina dari asalnya. Menurut Ronald G.

Knapp pada buku China’s Vernacular

Architecture, bahwa bentuk dasar

rumah tinggal arsitektur Cina dapat

dibagi menjadi 5 tipe. Ke 5 tipe itu

adalah bentuk Box, bentuk I horisontal,

bentuk L, bentuk U terbalik dan bentuk

I vertikal.

Page 26: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

22

Bentuk denah I horisontal Sumber Ronald G. Knapp, 1989

Bentuk denah Box Sumber Ronald G. Knapp, 1989

Bentuk denah L Sumber Ronald G. Knapp, 1989

Bentuk denah I vertikal.

Sumber Fletcher Sir, Banister,

Knt,1954

Bentuk denah U terbalik Sumber Ronald G. Knapp, 1989

Page 27: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

23

Dari kelima bentuk tersebut bentuk

arsitektur rumah tinggal Cina di

Lasem adalah menyerupai bentuk I

vertikal. Akan tetapi diduga adanya

akulturasi budaya antara rumah

tinggal masyarakat Cina dengan

masyarakat Jawa pesisiran. Hal ini

terlihat dengan adanya pendopo dan

geladak yang tidak ada pada kelima

tipe rumah arsitektur tradisional Cina.

Maka dari itu pecinan di Indonesia

mempunyai nilai yang berbeda

dengan China Town di negara lain.

Makanan dan Kerajinan Khas Lasem

Untuk kuliner, Lasem mempunyai

sajian khas lontong tuyuhan yaitu

lontong berbentuk segitiga yang

disajikan dengan kuah opor dan

potongan ayam kampung, selain itu

ada mangut khas lasem, sayur

merica, kue kedumbeg atau sate

serepeh yang pasti akan menggugah

selera para penikmatnya.

Sementara itu kerajinan batik tulis

Lasem juga tidak kalah uniknya,

dengan warna yang dominan merah

yang konon tidak bisa ditiru di daerah

lain batik ini adalah sinkronisasi 2

unsur budaya Cina dan Jawa. Oleh

karena itu tata cara pengerjaan batik

Lasem dianggap lebih rumit

dibandingkan batik-batik dari Jogja,

Solo maupun Pekalongan. Sigit

Witjaksono pemilik batik Sekar

Kencono sekaligus salah satu

sesepuh masyarakat Tiong Hoa

Lasem membuat terobosan baru

dengan membubuhi kata-kata mutiara

dengan aksara Tiong Hoa yang

disambut baik oleh pasar. Kata-kata

mutiara yang berarti harapan baik

seperti yang tertulis pada pintu altar

Page 28: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

24

rumah tinggal ataupun pada

kelenteng yang artinya antara lain Di

empat penjuru samudra, semua

adalah saudara , Negara kuat rakyat

tenteram, Nama setinggi gunung

rejeki seluas samudra dan lain lain.

Membatik.

Sumber : Data lapangan

Penduduk

Masyarakat Cina di Lasem

kebanyakan bermukim di daerah

pusat pemerintahan dan

perdagangan seperti di desa

Gedungmulyo, Dasun, Dorokandang,

Sodetan, Karangturi dan Ngemplak.

Dalam kehidupan beragama, di

Kecamatan Lasem terdapat penganut

agama resmi yang berbeda-beda,

yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen

Katolik, Hindu dan Budha. Disamping

itu juga terdapat penganut

kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa atau Tri Dharma.

Untuk masyarakat Cina selain

beragama Protestan maupun Katolik

mereka beragama Budha dan aliran

kepercayaan “Sam Kouw” yang lebih

dikenal dengan nama Tri Dharma.

Pada masyarakat Cina ini ada tiga

kepercayaan pokok yang tidak lepas

dari filsafat Cina sendiri yaitu

Konfusianisme, Taoisme dan

Budhisme. Ketiga ajaran ini saling

berkaitan erat dan sulit dipisahkan.

Upaya Pemerintah Setempat

Dalam upaya mencegah perubahan

fisik bangunan karena perubahan

fungsi, salah satu usahanya dengan

memberikan pengertian tentang

konservasi bangunan kuno. Langkah

ini dapat disosialisasikan pada

masyarakat Lasem atau instansi

pemerintah pada Kabupaten

Rembang khususnya Kecamatan

Lasem.

Dengan adanya otonomi daerah dan

digalakkannya sektor wisata sebagai

PAD (Pendapatan Asli Daerah), maka

kota Lasem mempunyai potensi

pariwisata yang cukup unik yaitu

Page 29: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

EKSOTIKA ARSITEKTUR VERNAKULAR CINA LASEM

25

wisata religi atau wisata arsitektur.

Selain itu kawasan ini bisa dijadikan

tempat studi penelitian tentang

sejarah, arsitektur dan budaya. .

Yang menjadi pertanyaan bagaimana

sikap dan langkah apa yang telah

diambil Pemerintah Daerah setempat

dan Dinas Pariwisata Jawa Tengah

mengenai potensi wisata pecinan di

Lasem tersebut? Kendala apa saja

yang menyebabkan wisata di Lasem

belum bisa maju? Apakah mungkin

kelompok masyarakat Tiong Hoa

yang telah berhasil dapat sebagai

media untuk mempublikasikan potensi

dan prospek wisata pecinan yang

eksotis ini kekalangan investor?

Semoga Siao Chung Kuo (tiongkok

kecil) di Jawa Tengah ini dapat

kembali bersinar seperti dahulu kala.

Daftar Pustaka

Amen Budiman 1978, Semarang

Riwayatmu Dulu, Semarang,

Tunjungsari.

Bukkyo Dendo Kyokai, 1984, Ajaran

Sang Budha, dicetak Kosaido

Printing Co. Ltd. Tokyo, Japan.

Eko Budihardjo,1997, Arsitektur

Sebagai Warisan Budaya,

Penerbit Djambatan, Jakarta.

Fletcher Sir, Banister, Knt,1954, A

History of Architecture,

London, B.T. Batsford LTD

Fung Yu Lan, 1990 Sejarah Ringkas

Filsafat Cina, Liberty,

Yogyakarta

Liem Thian joe, 1933, Riwayat

Semarang, Boekhandel Ho Kim

yoe.

Penjelasan UURI No.4 Th 1992 .

Ronald G. Knapp, 1989, China’s

Vernacular Architecture,

University Of Hawaii Press.

UURI No 4 Th 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman.

Page 30: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

26

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH

PADA MALAKA WORLD HERRITAGE Oleh : Ir. Eko Nursanty, MT

Abstrak : World Herritage City adalah sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO dimana dia berupa tempat (seperti hutan, gunung, danau, gurun, monumen , bangunan , kompleks, atau kota ) yang terdaftar oleh PBB United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) khusus budaya atau fisik penting. Daftar ini dikelola oleh Program Warisan Dunia internasional yang dikelola oleh UNESCO Komite Warisan Dunia , terdiri dari 21 negara yang dipilih oleh Majelis Umum untuk jangka waktu empat- tahun an.

Program katalog, nama, dan

melestarikan situs budaya atau alam

penting bagi warisan kemanusiaan

milik bersama. Dalam kondisi

tertentu, situs yang terdaftar dapat

memperoleh dana dari Dana Warisan

Dunia. Program ini didirikan oleh

Convention Concerning the

Protection of World Cultural and

Natural Heritage, yang diadopsi oleh

Konferensi Umum UNESCO pada 16

November 1972. Sejak itu, pihak 186

negara telah meratifikasi konvensi

tersebut.

Pada tahun 2010 , 911 situs terdaftar

budaya, 180 alami, dan 27

campuran, properti di 151 negara.

Italia adalah negara dengan jumlah

terbesar dari Situs Warisan Dunia

dengan 45 situs tertera pada daftar.

Gambar 1: Tabel tentang rincian situs world herritage

Setiap Situs Warisan Dunia adalah

milik negara di situs yang wilayahnya

berada, tetapi dipertimbangkan

dalam kepentingan masyarakat

Page 31: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

27

internasional untuk melestarikan

setiap situs.

Kriteria Seleksi World Herritage Sampai akhir tahun 2004, ada enam

kriteria untuk warisan budaya dan

empat kriteria untuk warisan alam.

Pada tahun 2005, ini dimodifikasi

sehingga hanya ada satu set kriteria

sepuluh.

Kriteria Budaya i. Merupakan karya jenius

kreatif manusia.

ii. Menunjukkan suatu

pertukaran penting dari nilai-

nilai kemanusiaan, selama

rentang waktu, atau dalam

wilayah budaya di dunia, pada

perkembangan arsitektur atau

teknologi, seni monumental,

kota-perencanaan, atau

desain lansekap.

iii. Detemukan kesaksian unik

atau luar biasa untuk sebuah

tradisi budaya atau peradaban

yang hidup atau yang telah

hilang.

iv. Adalah sebuah contoh luar

biasa dari tipe bangunan

ensemble, arsitektur, atau

teknologi atau lanskap yang

menggambarkan suatu tahap

penting dalam sejarah

manusia.

v. Adalah sebuah contoh luar

biasa dari sebuah pemukiman

manusia tradisional,

penggunaan lahan, atau laut

digunakan yang mewakili

budaya, atau interaksi

manusia dengan lingkungan

terutama ketika telah menjadi

rentan dengan dampak

perubahan ireversibel.

vi. Secara langsung atau secara

nyata dikaitkan dengan

peristiwa atau tradisi yang

hidup, dengan ide-ide, atau

dengan keyakinan, dengan

karya-karya artistik dan sastra

signifikansi universal yang

beredar.

Gambar 2: Kuliah Kerja Lapangan Prodi Arsitektur UNTAG Semarang, 2009.

Kriteria Alam

vii. Berisi fenomena alam

superlatif atau daerah

yang keindahan alam yang

luar biasa dan pentingnya

estetika.

viii. Merupakan contoh yang

sangat mewakili tahapan

utama dari sejarah bumi,

termasuk catatan

kehidupan, signifikan pada

Page 32: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

28

proses geologi

berlangsung dalam

pengembangan

bentuklahan, atau fitur

geomorfik atau fisiografi

signifikan.

ix. Merupakan contoh yang

sangat mewakili signifikan

berlangsung proses

ekologi dan biologi dalam

evolusi dan

pengembangan darat, air

tawar, ekosistem pesisir

dan laut, dan komunitas

tumbuhan dan hewan.

x. Berisi habitat alam yang

paling penting dan

signifikan untuk konservasi

situs dari

keanekaragaman hayati,

termasuk spesies-spesies

terancam yang

mengandung nilai

universal yang luar biasa

dari sudut pandang ilmu

pengetahuan atau

konservasi.

Gambar 3 : Daftar Negara yang memiliki lebih dari 10 World Herritage Site

Page 33: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

29

Gambar 4 : Penyebaran World herritage Site.

Arsitektur Pariwisata Kebanyakan orang pergi ke sebuah

liburan atau tujuan wisata dalam

upaya mencari relaksasi, melihat

suasana baru, mungkin belanja dan

umumnya memiliki waktu yang baik.

Umumya wisatawan melihat -melihat

termasuk pergi ke beberapa

monumen dan bangunan yang

penting dan bersejarah atau secara

visual menakjubkan. Hal ini

memberikan kesempatan untuk

melihat dan meneliti bangunan dan

karya arsitektur lebih dekat dan

memiliki kesempatan lebih baik

melihat bangunan-bangunan yang

tadinya hanya menatap di majalah

dan televisi. Budaya dan sejarah

suatu tempat yang dikunjungi dapat

ditelusuri melalui jenis arsitekturnya.

Jadi, ketika berlibur dilakukan

semata-mata untuk melihat

monumen-monumen sejarah dan

studi yang berbeda pada gaya

arsitektur , hal itu disebut wisata

arsitektur. Arsitektur pariwisata

sangat diminati saat ini dan banyak

negara mempromosikan bentuk

pariwisata dalam bentuk arsitektur

khasnya.

Gambar 5: penunjuk spot arsitektur pariwisata.

Page 34: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

30

Spot Arsitektur Pariwisata

Pariwisata merupakan salah satu

sektor yang paling cepat berkembang

dan arsitektur pariwisata telah benar-

benar hadir dalam beberapa tahun

terakhir. Wisatawan yang ingin

mendapatkan nuansa budaya kota,

seperti pergi untuk arsitektur ini pada

perjalanan wisata yang mencakup

monumen bersejarah dan bangunan.

Arsitektur memainkan peran penting

dalam menarik wisatawan ke lokasi

perjalanan tertentu.

Malacca city

Gambar 6 : Peta kota Malaka

Malaka ( Melayu : Melaka, dijuluki

Negara Historis atau Negeri

Bersejarah di kalangan penduduk

setempat) adalah negara bagian

terkecil ketiga negara Malaysia ,

setelah Perlis dan Penang. Terletak

di wilayah selatan dari Semenanjung

Melayu , di Selat Malaka, berbatasan

dengan Negeri Sembilan di utara dan

negara bagian Johor selatan.

Ibukotanya adalah Kota Malaka.

Pusat kota bersejarah ini telah

terdaftar sebagai UNESCO Situs

Warisan Dunia sejak 7 Juli 2008.

Meskipun lokasi dari salah satu

kesultanan Melayu yang paling awal,

monarki dihapuskan ketika Portugis

menaklukkan nya pada tahun 1511.

Sejarah Malacca

Sebelum kedatangan Sultan

pertama, Malaka adalah sebuah

desa nelayan sederhana yang dihuni

oleh Melayu lokal. Malaka didirikan

oleh Parameswara , Raja terakhir

dari Singapura (Singapura hari ini)

setelah Majapahit serangan di 1377.

Ia menemukan jalan ke Malaka c.

1400 di mana ia menemukan sebuah

pelabuhan yang baik diakses di

semua musim dan pada titik

tersempit terletak strategis dari Selat

Malaka. Karena lokasinya yang

strategis, Malaka adalah titik berhenti

penting bagi Zheng He. Untuk

meningkatkan hubungan, Hang Li Po

, diduga seorang putri dari Ming

Page 35: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

31

Kaisar Cina, tiba di Malaka, disertai

dengan 500 petugas, untuk menikah

Sultan Manshur Shah yang

memerintah dari 1456 sampai 1477.

petugas nya menikah penduduk

setempat dan menetap sebagian

besar di Bukit Cina ( Bukit Cina ).

Gambar 3 : Malaka pada tahun 1726

Gambar 4 : Sungai Malaka kondisi saat ini.

Gambar 2 : Peta Kota Malaka th. 1630

Page 36: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

32

Gambar 5 : Peta Arsitektur Pariwisata di Malacca

Page 37: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

33

Arsitektur Pariwisata di Malacca

Fort A Famosa : Dibuat oleh

Portugis pada tahun 1511, itu

mengalami kerusakan struktural

yang parah selama invasi Belanda.

Rencana oleh Inggris untuk

menghancurkannya dibatalkan

sebagai akibat dari intervensi dari

Sir Stamford Raffles pada tahun

1808.

Gambar 6 : Fort of Famousa

St. John's Fort: direkonstruksi oleh

Belanda pada kuartal ketiga abad

ke-18, meriam di benteng ke dalam

menunjuk ke arah daratan karena

pada waktu itu, ancaman terhadap

Malaka terutama dari pedalaman

laut.

Gambar 7 : St John’s Fort

St. Paul's Church: Dibangun pada

tahun 1710 di bawah pemerintahan

Belanda, gereja tertua Gereja

Katolik di Malaysia. Fasad dan

hiasan dekoratif merupakan

campuran dari kedua timur dan

barat arsitektur. St Paul's Church :

Dibuat oleh Portugis kapten , Duarte

Coelho, gereja ini dinamakan "Our

Lady of The Hill", tetapi kemudian

berubah menjadi tanah kuburan

oleh Belanda untuk mati mulia

Page 38: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

34

mereka, dan berganti nama menjadi

"Gereja St Paulus". Saat ini gereja

adalah bagian dari Museum

Malaccan Complex. Tubuh St

Francis Xavier dikebumikan di sini

untuk sementara sebelum dibawa

ke Goa, India.

Gambar 8 : St. Paul Church

Christ Church : Dibangun pada

1753, struktur mencerminkan

arsitektur Belanda asli. Bangunan

rumah kerajinan tangan-bangku

gereja, langit-langit jointless skylight

, sebuah tembaga replika dari

Alkitab , sebuah batu nisan yang

ditulis dalam bahasa Armenia , dan

replika dari " The Last Supper ".

Gambar 9 : Christ Church

Gereja Fransiskus Xaverius : ini

Gothic gereja dibangun oleh

seorang Perancis imam , Rev

Fabre, pada tahun 1849, untuk

memperingati St Francis Xavier

yang juga dikenal sebagai "Rasul

Page 39: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

35

dari Timur". St Francis Xavier

dipersiapkan untuk misionaris

Katoliknya dan bekerja di Asia

Tenggara selama abad ke-16.

Gambar 10 : Gereja Fransiskus Xaverius

Stadthuys : Dibangun tahun 1650

sebagai kediaman Gubernur

Belanda dan wakilnya, struktur

mencerminkan arsitektur Belanda.

Sekarang adalah "Museum Sejarah

dan Etnografi ". Museum pameran

pernikahan tradisional pakaian dan

artefak Melaka, datang kembali ke

masa kejayaannya.

Gambar 11 : Foto Stadhuyst

Cheng Hoon Teng Temple:

Terletak di sepanjang Jalan Tokong

(sebelumnya Temple Street) di zona

inti dari Malaka Situs Warisan Dunia

UNESCO. Ini adalah candi

berfungsi tertua di Malaysia dan

Page 40: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

36

candi termegah di Malaka.

Gambar 12 : Cheng Hoon Teng Temple

Jonker Street (Jalan Hang Jebat):

Jalan ini terkenal karena barang-

barang antik . Hal ini juga terkenal

dengan atmosfer karnaval seperti

saat malam akhir pekan.

Gambar 13 : Jonker Street Night Market

Page 41: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

MEMADUKAN POTENSI KOTA DAN SEJARAH PADA MALAKA WORLD HERRITAGE

37

Portugis Square : Terletak di dalam

Penyelesaian Portugis, alun-alun

adalah puncak dari budaya Portugis

dalam kemegahan penuh dan warna.

Gambar 14: Purtugis Square

Tranquerah Masjid : Masjid tertua di Malaka.

Gambar 15 : Tranquerah Masjid - Malaka

Daftar Pustaka

World Heritage List, UNESCO World

Heritage Sites official sites.

De Witt, Dennis (2010). Melaka from the

Top. Malaysia: Nutmeg Publishing.

ISBN 9789834351922.

De Witt, Dennis (2007). History of the

Dutch in Malaysia. Malaysia: Nutmeg

Publishing. ISBN 9789834351908.

"Popular History of Thailand" by M.L.

Manich Jumsai, C.B.E., M.A

Page 42: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

38

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR Ir. Sumarwanto. MT.

ABSTRAK Tidak beda dengan wilayah daratan, wilayah pesisir pun juga mempunyai berbagai masalah seperti memiliki karakteristik open acces, multi use, dan rentan terhadap kerusakan serta perusakan dimana pengelolaanya mensyaratkan perlunya landasan keterpaduan. Sebagai salah satu unsur pembentuk ruang wilayah, keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir tersebut dapat diselenggarakan dengan memanfaatkan instrument penataan ruang, baik pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten maupun Kota. Adapun tata ruang di wilayah pesisir dimaksudkan untuk memanfaatkan ruang secara harmonis dan optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan pesisir.

I. PENDAHULUAN

1. Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) merupakan

negara kepulauan terbesar di

dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau

dengan garis pantai sepanjang

108.000 km. Berdasarkan Konvensi

Hukum Laut (UNCLOS) 1982,

Indonesia memiliki kedaulatan atas

wilayah perairan seluas 3,2

juta km² yang terdiri dari perairan

kepulauan seluas 2,9 Juta km² dan

laut territorial seluas 0,3 juta km².

Selain itu Indonesia juga mempunyai

hak eksklusif untuk memanfaatkan

sumber daya kelautan dan berbagai

kepentingan terkait seluas 2,7 km²

pada perairan ZEE (sampai dengan

200 mil dari garis pangkal).

2. Sebagai Negara kepulauan, wilayah

pesisir merupakan kawasan

strategis dengan berbagai

keunggulan komparatif dan

kompetitif yang dimilikinya sehingga

berpotensi menjadi primer mover

pengembangan wilayah nasional.

Bahkan secara historis menunjukan

bahwa wilayah pesisir ini telah

berfungsi sebagai pusat kegiatan

masyarakat karena berbagai

keunggulan fisik dan geografis yang

dimilikinya.

3. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat

sumber daya pesisir bagi

pengembangan wilayah secara

berkelanjutan dan menjamin

kepentingan umum secara luas

(public interest), yang diperlukan

intervensi kebijakan dan

penanganan khusus oleh

pemerintah untuk pengelolaan

wilayah pesisir. Hal ini seiring

Page 43: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

39

dengan agenda Kabinet Gotong

Royong untuk menormalisasi

kehidupan ekonomi dan

memperkuat dasar bagi kehidupan

perekonomian rakyat melalui upaya

pembangunan yang didasarkan atas

sumber daya setempat (resource-

based development), dimana

sumberdaya pesisir dan lautan

saat ini didorong pemanfaatannya,

sebagai salah satu andalan bagi

pemulihan perekonomian nasional,

disamping sumberdaya alam darat.

II. PENGERTIAN : Wilayah Pesisir dan

Penataan Ruang

1. Secara sederhana, wilayah pesisir

(coastal zone) dapat dipahami

sebagai wilayah peralihan antara

ekosistem darat dan laut yang saling

berinteraksi, dimana ke arah laut 12

mil dari garis pantai menjadi

kewenangan provinsi dan sepertiga

dari wilayah laut itu untuk

kabupaten/kota dan ke arah darat

batas administrasi kabupaten/kota.

2. Sebagai wilayah yang merupakan

interface antara kawasan laut dan

darat yang saling mempengaruhi

dan dipengaruhi satu sama lainnua,

baik secara biogeofisik maupun

sosial ekonomi, wilayah pesisir

mempunyai kharakteristik yang

khusus sebagai akibat interaksi

antara proses-proses yang terjadi di

daratan dan di lautan. Ke arah darat,

wilayah pesisir meliputi bagian

daratan, baik kering maupun

terendam air, yang masih

dipengaruhi sifat-sifat laut seperti

pasang surut, angin laut dan

perembesan air asin; sedangkan ke

arah laut wilayah pesisir mencakup

bagian laut yang masih dipengaruhi

oleh proses-proses alami yang

terjadi di darat seperti sedimentasi

dan aliran air tawar, maupun yang

disebabkan oleh kegiatan manusia

di darat seperti penggundulan hutan

dan pencemaran.

3. Definisi wilayah pesisir seperti di

atas memberikan suatu pemahaman

bahwa ekosistem pesisir merupakan

ekosistem yang dinamis dan

mempunyai kekayaan habitat yang

beragam, di darat maupun di laut

serta saling berinteraksi antara

habitat tersebut. Selain mempunyai

potensi yang besar, wilayah pesisir

juga merupakan ekosistem yang

paling mudah terkena dampak

kegiatan manusia.

4. UU 24/1992 tentang Penataan

Ruang menyebutkan bahwa ruang

dipahami sebagai suatu wadah yang

meliputi ruang daratan, ruang lautan

dan ruang udar sebagai satu

kesatuan wilayah, tempat manusia

Page 44: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

40

dan mahluk hidup lainnya hidup dan

melakukan kegiatan serta

memelihara kelangsungan hidupnya.

Dalam konteks ini, wilayah pesisir

dapat dipandang sebagai salah satu

unsur pembentuk ruang wilayah.

III. ISSUE dan pemasalahan

pengelolaan wilayah pesisir

1. Potensi konflik kepentingan (conflict

of interest) dan tumpang tindih

antar sektor dan stakeholders

lainnya dalam pengelolaan dan

pemanfaatan wilayah pesisir.

Kondisi ini muncul sebagai

konsekuensi beragamnya seumber

daya pesisir yang ada serta

karakteristik wilayah pesisir yang

“open acces” sehingga mendorong

wilayah pesisir telah menjadi salah

satu lokasi utama bagi kegiatan-

kegiatan beberapa sector

pembangunan (multi-use). Dalam

hal ini, konflik kepentingan tidak

hanya terjadi antar “users”, yakni

sektoral dalam pemerintahan dan

juga masyarakat setempat dan pihak

swasta, namun juga antar

penggunaan antara lain (i) perikanan

budidaya maupun tangkapan (ii)

pariwisata bahari dan pantai (iii)

industry maritime seperti perkapalan

(iv) pertambangan , sperti minyak,

gas, timah dan galian lainnya; (v)

perhubungan laut dan alur pelayaran

dan yang paling utama adalah (vi)

kegiatan konservasi laut dan pesisir

seperti mangrove, terumbu karang

dan biota laut lainnya.

2. Selain itu, terdapat pula potensi

konflik kewenangan (jurisdictional

conflict) dalam pengelolaan dan

pemanfaatan wilayah pesisir.

Kondisi ini muncul sebagi

konsekuensi tidak berhimpitnya

pembagian kewenangan yang

terbagi menurut administrasi

pemerintah provinsi dan

kabupaten/kota dengan kepentingan

wilayah pesisir tersebut yang

seringkali lintas wilayah otonom.

3. Sebagai “interface” antara

ekosistem darat dan laut, wilayah

pesisir (coastal areas) memiliki

keterkaitan antara lahan atas

(daratan) dan laut. Dengan

keterkaitan kawasan tersebut, maka

pengelolaan kawasan di pesisir, laut

dan pulau-pulau kecil tidak terlepas

dari pengelolaan lingkungan yang

dilakukan di kedua wilayah tersbut.

Berbagai dampak lingkungan yang

terjadi pada wilayah pesisir

merupakan akibat dari dampak yang

ditimbulkan oleh kegiatan

pembangunan yang dilaksanakan di

daratan, seperti pertanian,

Page 45: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

41

perkebunan, kehutanan, industri,

permukiman dan sebagainya.

4. Lemahnya kerangka hukum dalam

hal pengaturan sumber daya pesisir

serta perangkat hukum untuk

penegakannya menyebabkan masih

banyaknya pemanfaatan

sumberdaya ini yang tidak

terkendali. Juga tidak adanya

kekuatan hukum dan pengakuan

terhadap system-sistem tradisional

serta wilayah laut dalam

pengelolaan sumber daya pesisir.

Dalam konteks ini, RTRW dalam

berbagai tingkatan yang telah

memiliki aspek legal berikut aturan-

aturan pelaksanaannya seharusnya

dapat dimanfaatkan sebagai

“guidance” dalam pengelolaan

wilayah pesisir.

5. Kenaikan muka air laut (sea level

rise) sebagai akibat fenomena

“global warming” memberikan

dampak yang serius terhadap

wilayah pesisir yang perlu

diantisipasi penanganannya. Secara

umum kenaikan muka air laut akan

mengakibatkan dampak sebagai

berikut : (a) meningkatnya frekuensi

dan intensitas banjir, (b) perubahan

arus laut dan meluasnya kerusakan

mangrove, (c) meluasnya intrusi air

laut, (d) ancaman terhadap kegiatan

sosial-ekonomi masyarakat pesisir,

dan (e) berkurangnya luas daratan

atau hilangnya pulau-pulai kecil.

6. Tingkat kerusakan biofisik

lingkungan wilayah pesisir sangat

mengkhawatirkan. Adapun faktor-

faktor yang turut mempengaruhi

kerusakan biofisik wilayah pesisir

adalah :

Overeksploitasi sumberdaya

hayati laut akibat pengankapan

ikan yang melampaui potensi

(overfishing), pencemaran dan

degradasi fisik hutan mangrove

dan terumbu karang sebagai

sumber makanan biota laut

tropis.

Pencemaran akibat kegiatan

industry, rumah tangga dan

pertanian di darat (land-based

pollution sources) maupun

akibat kegiatan dilaut (marine-

based pollution sources)

termasuk perhubungan laut dan

kapal pengangkut minyak dan

kegiatan pertambangan dan

energy lepas pantai.

Bencana alam seperti tsunami,

banjir erosi dan badai.

Konflik pemanfaatan ruang

seperti antara pertanian dan

kegiatan di daerah hulu lainnya,

aquakultur, perikanan laut,

permukiman. Konflik

pemanfaatan ruang disebabkan

Page 46: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

42

terutama karena tidak adanya

aturan yang jelas tentang

penataan ruang dan alokasi

sumberdaya yang terdapat di

kawasan pesisir dan lautan.

Kemiskinan masyarakat pesisir

yang turut memperberat tekanan

terhadap pemanfaatan

sumberdaya pesisir yang tidak

terkendali.

Salah satunya disebabkan oleh

tidak adanya konsep

pembangunan masyarakat

pesisir sebagai subyek dalam

pemanfaatan sumberdaya

pesisir.

7. Walaupun telah menjadi common

interest, proses pelibatan

masyarakat sebagai subyek utama

dalam pengelolaan wilayah pesisir

masih belum menemukan bentuk

terbaiknya. Persepsi yang berbeda

mengenai hak dan kewajiban dari

masyarakat seringkali menghadirkan

konflik antar kepentingan yang sulit

dicarikan solusinya, serta dilakukan

dengan memperhatikan karakteristik

sosial-budaya setempat (local

unique).

IV. Kebijakan Penataan Ruang Wilayah

Pesisir

Pada dasarnya kebijakan tersebut

ditempuh untuk memenuhi tujuan-

tujuan sebagai berikut :

Mewujudkan pembangunan

berkelanjutan pada kawasaan

pesisir, termasuk kota-kota pantai

dengan segenap penghuni dan

kelengkapannya (prasarana dan

sarana) sehingga fungsi-fungsi

kawasan dan kota sebagai

sumber pangan (source of

nourishment) dapat tetap

berlangsung.

Mengurangi kerentanan

(vulnerability) dari kawasan

pesisir dan para pemukimnya

(inhabitans) dari ancaman

kenaikan muka air laut, banjir,

abrasi, dan ancaman alam

(natural hazards) lainnya.

Mempertahankan

berlangsungnya proses ekologis

esensial sebagai system

pendukung kehidupan dan

keanekaragaman hayati pada

wilayah pesisir agar tetap lestari

yang dicapai melalui keterpaduan

pengelolaan sumber daya alam

dari hulu hingga ke hilir

(integrated coastal zone

management).

Page 47: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PENATAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR

43

Adapun sebagai landasan dari

kebijakan penataan ruang wilayah

pesisir tersebut adalah hasil

Rakernas Badan Koordinasi Tata

Ruang Nasional (BKTRN) di

Surabaya, 13-14 Juli 2003,

ditegaskan pula bahwa penataan

ruang wilayah pesisir merupakan

satu kesatuan ruang yang

terintegrasi dalam RTRWN,

RTRWP dan RTRW

Kabupaten/Kota. Dengan demikian

pengelolaan wilayah pesisir dapat

menggunakan instrument rencana

tata ruang yang ada, baik dalam

skala makro-strategis maupun

mikro-operasional.

DAFTAR PUSTAKA

BKTRN, Proceeding Seminar

Nasional : Pengaruh Global

Warming terhadap Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari

kenaikan permukaan air laut

dan banjir, Jakarta, 30-31

Oktober 2002.

Dokumen Badan Koordinasi

Tata Ruang Nasional (BKTRN)

tentang Rumusan Pokok-Pokok

Hasil RAKERNAS-BKTRN,

Surabaya, 14 Juli 2003.

Dirjen Penataan Ruang –

Depkimpraswil, Antisipasi

Dampak Pemanasan Global

dari Aspek Teknis Penataan

Ruang, Makalah pada Seminar

Nasional tentang Pengaruh

Global Warming, terhadap

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

ditinjau dari Kenaikan Muka Air

Laut dan Banjir, Jakarta 30-31

Oktober 2002.

Biodata Penulis

Ir. Sumarwanto, MT, lahir di

Semarang tanggal 20 Februari 1952.

Pendidikan yang diselesaikannya

adalah S.1 di Universitas Diponegoro

Semarang, dan S.2 di Universitas

Diponegoro Semarang bidang Studi

Urban Design. Bekerja sebagi dosen

di Program Studi Arsitektur Fakultas

Teknik Universitas 17 Agustus 1945

Semarang, dengan jabatan akademik

Lektor, mengajar pada mata kuliah

Perancangan Arsitektur, Tata Ruang

Luar dan Kota dan Permukiman.

Page 48: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

44

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA

DAN RUANG PUBLIK Oleh: Ir. Loekman Mohamadi. MSc.

ABSTRAKSI

Gambaran umum pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau dan

Hutan/ Taman Kota bagi perkembangan wilayah perkotaan.

Tahapan berikutnya adalah untuk mengetahui pentingnya keberadaan

Ruang Terbuka Hijau dan Hutan/ Taman Kota di Kota yang

bersangkutan. Analisa yang dilakukan adalah dengan mengkaji

perkembangan kota yang bersangkutan yang terjadi saat ini terutama

dampak yang ditimbulkan terkait dengan penurunan kualitas

lingkungan. Dari tahapan ini dilakukan juga kajian mengenai

keberadaan ruang hijau kota saat ini dan arahan kebijakan Tata Ruang

terhadap ruang terbuka hijau dikota yang bersangkutan.

1. Pola Pikir

Proses perencanaan desain

Hutan/ Taman Kota dan Ruang

Publik ini dilakukan melalui suatu

kajian ilmiah, dan dilakukan

secara bertahap.

Tahap awal dari rangkaian

kegiatan tersebut adalah mengkaji

wilayah pengamatan berdasarkan

data yang terkumpul. Wilayah

pengamatan tersebut dikaitkan

dengan kebijakan Tata Ruang

yang ada (RTRW, RTRHK,

RTRKP) yang berisi arahan

arahan spatial (keruangan)

terhadap kondisi wilayah

pengamatan. Pada tahapan ini

ditinjau pula Kebijakan

perundangan lain yang terkait

dengan Hutan/ Taman Kota

diantaranya kebijakan Ruang

Terbuka Hijau dan kebijakan

Hutan/ Taman Kota.

Dari tahapan ini dapat dihasilkan

gambaran umum pentingnya

keberadaan Ruang Terbuka Hijau

dan Hutan/ Taman Kota bagi

perkembangan wilayah perkotaan.

Tahapan berikutnya adalah untuk

mengetahui pentingnya

keberadaan Ruang Terbuka Hijau

dan Hutan/ Taman Kota di Kota

yang bersangkutan. Analisa yang

dilakukan adalah dengan

Page 49: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

45

mengkaji perkembangan kota

yang bersangkutan yang terjadi

saat ini terutama dampak yang

ditimbulkan terkait dengan

penurunan kualitas lingkungan.

Dari tahapan ini dilakukan juga

kajian mengenai keberadaan

ruang hijau kota saat ini dan

arahan kebijakan Tata Ruang

terhadap ruang terbuka hijau

dikota yang bersangkutan.

Dari kajian tersebut dapat

diidentifikasi beberapa lokasi

yang dapat dijadikan Hutan/

Taman Kota. Sesuai kriteria yang

ada di PP 63 tahun 2002 tentang

Hutan Kota, kemudian dilakukan

kajian sehingga didapatkan

konsep kebutuhan luas Ruang

Terbuka dan Hutan/ Taman Kota

serta lokasi Hutan/ Taman Kota

yang diprioritaskan

pembangunannya. Untuk

mencapai rumusan fungsi dan

jenis hutan kota serta program

dan pengelolaan Hutan/ Taman

Kota yang berkelanjutan, lokasi

tersebut dikaji menggunakan

analisa SWOT.

Untuk lebih jelasnya Alur Pikir

penyusunan Studi Pembangunan

Hutan/ Taman Kota yang

bersangkutan dapat dilihat pada

diagram 1.1 berikut.

Page 50: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVII, Edisi 2; Nopember 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

46

Diagram 1.

Pola Pikir Proses Perencanaan Desain Hutan/ Taman Kota dan Ruang Publik Perkotaan

GAMBARAN UMUM PENTINGNYA KEBERADAAN RTH DAN HUTAN KOTA BAGI

PERKEMBANGAN KOTA

KAJIAN PENTINGNYA KEBERADAAN RTH DAN

HUTAN KOTA

KONSEP KEBUTUHAN LUAS RTH, HUTAN KOTA DAN

LOKASI HUTAN KOTA YANG DIPRIORITASKAN

PEMBANGUNANNYA

INPUT PROSES OUTPUT GOAL CITA CITA

Page 51: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

47

2. Pembangunan Hutan/ taman Kota

Beberapa kota besar telah membangun

dan mengembangkan hutan/ taman kota

untuk mengantisipasi masalah penurunan

kualitas lingkungan hidup. Adapun Tahapan

yang perlu dilalui dalam

membangun/mengembangkan hutan/

taman kota adalah:

1). Tahap Perencanaan

Dalam studi kajian perencanaan

aspek yang perlu diteliti meliputi:

lokasi, fungsi dan pemanfaatan,

aspek tehnik silvikultur, arsitektur

lansekap, sarana dan prasarana,

tehnik pengelolaan lingkungan.

Bahan informasi yang dibutuhkan

dalam studi tahap perencanaan

meliputi :

a). Data fisik (letak, wilayah, tanah,

iklim dan lain-lain);

b). Sosial ekonomi (aktivitas di

wilayah bersangkutan dan kondisinya);

c). Keadaan lingkungan (lokasi

dan sekitarnya);

d). Rencana pembangunan

wilayah (RUTR,RTK,RTH), serta

e). Bahan-bahan penunjang

lainnya.

Hasil studi berupa Rencana

Pembangunan Hutan/ taman Kota

yang terdiri dari tiga bagian, yakni:

(1) Rencana jangka panjang, yang

memuat gambaran tentang

hutan/ taman kota yang

dibangun, serta target dan

tahapan pelaksanaannya.

(2) Rencana detail yang memuat

desain fisik atau rancang

bangun untuk masing- masing

komponen fisik hutan/ taman

kota yang hendak dibangun

serta tata letaknya.

(3) Rencana tahun pertama

kegiatan, meliputi rencana fisik

dan biayanya.

2). Tahap Pembentukan Kelembagaan

dan Organisasi Pelaksanaannya

Organisasi pembangunan dan

pengelolaan hutan/ taman kota sangat

bergantung kepada perangkat yang

ada dan keperluannya. Sistem

pengorganisasian di suatu daerah

mungkin berbeda dengan daerah

lainnya. Dalam hal ini Walikota atau

Bupati sebagai kepala wilayah

bertanggung jawab atas pembangunan

dan pengembangan hutan/ taman kota

di wilayahnya. Bidang perencanaan

dan pengendalian dipegang oleh

Bappeda Kabupaten/Kota yang dibantu

oleh tim pembina yang terdiri dari Dinas

Kehutan/ tamanan, Dinas Pertanian

dan Perkebunan, Dinas Pekerjaan

Umum, Dinas Kesehatan, Dinas

Kependudukan dan Lingkungan Hidup

dan yang lainnya menurut kebutuhan

masing- masing kota atau daerah.

Untuk pelaksanaannya dapat ditunjuk

dinas-dinas yang berada di wilayahnya.

Pengelolaan hutan/ taman kota pada

areal yang dibebani hak milik

diserahkan kepada pemiliknya, namun

dalam pelaksanaannya harus

memperhatikan petunjuk dari bidang

perencanaan dan pengendalian. Guna

memperlancar pelaksanaannya kiranya

perlu dipikirkan jasa atau imbalan apa

Page 52: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

48

yang dapat diberikan oleh pemerintah

kepada yang bersangkutan.

3). Pemilihan Jenis

Guna mendapatkan keberhasilan

dalam mencapai tujuan pengelolaan

lingkungan hidup di perkotaan, jenis

yang ditanam dalam program

pembangunan dan pengembangan

hutan/ taman kota hendaknya dipilih

berdasarkan beberapa pertimbangan

agar tanaman dapat tumbuh baik dan

dapat menanggulangi masalah

lingkungan yang muncul di tempat itu.

Beberapa informasi yang perlu

diperhatikan dan dikumpulkan antara

lain:

(1) Persyaratan edaphis: pH, jenis

tanah, tekstur, altitude, salinitas

dan lain-lain.

(2) Persyaratan meteorologis: suhu,

kelembaban udara, kecepatan

angin, radiasi matahari.

(3) Persyaratan silvikultur:

kemudahan dalam hal

penyediaan benih dan bibit serta

kemudahan dalam tingkat

pemeliharaan.

(4) Persyaratan umum tanaman,

antara lain:

- Tahan terhadap hama dan

penyakit,

- Cepat tumbuh,

- Kelengkapan jenis dan

penyebaran jenis,

- Mempunyai umur yang

panjang,

- Mempunyai bentuk yang

indah,

- Ketika dewasa sesuai dengan

ruang yang ada,

- Kompatibel dengan tanaman

lain,

- Serbuk sarinya tidak bersifat

alergis,

(5) Persyaratan untuk pohon

peneduh jalan:

- Dahan dan ranting tidak mudah

patah,

- Pohon tidak mudah tumbang,

- Buah tidak terlalu besar,

- Serasah yang dihasilkan

sedikit,

- Tahan terhadap pencemar dari

kendaraan bermotor dan industri,

- Luka akibat benturan mobil

mudah sembuh,

- Cukup teduh, tetapi tidak terlalu

gelap,

- Kompatibel dengan tanaman

lain,

Page 53: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

49

Tabel 1: Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunan RTH (Purnomohadi, 2001)

JENIS RTH FUNGSI LAHAN TUJUAN KETERANGAN

TAMAN KOTA

(termasuk: Taman

Bermain Anak / Balita),

Taman Bunga, (Lansia)

Ekologis, Rekreatif,

Estetis, Olahraga

(terbatas)

Keindahan (tajuk, tegakan pengarah,

pengaman, pengisi dan pengalas), kurangi

cemaran, meredam bising, perbaiki iklim

mikro, daerah resapan, penyangga sistem

kehidupan, kenyamanan.

Mutlak dibutuhkan bagi kota, keserasian,

rekreasi aktif dan pasif, nuansa rekreatif,

terjadinya keseimbangan mental

(psikologis) dan fisik manusia, habitat,

keseimbangan eko-sistem.

JALUR (tepian)

SEMPADAN SU-NGAI

dan PANTAI

Konservasi,

Pencegah Erosi,

Penelitian

Perlindungan, mencegah okupansi

penduduk, mudah menyebabkan erosi, iklim

mikro, penahan „badai‟.

Perlindungan total tepi kiri-kanan

bantaran sungai (+/- 25-50 meter) rawan

erosi.

Taman Laut.

TAMAN – OLAH RAGA,

BERMAIN, RELAKSASI

Kesehatan, Rekreasi Kenikmatan, pendidikan, kesenangan,

kesehatan, interaksi, kenyamanan.

Rekreasi aktif, sosialisasi, mencapai

prestasi, menumbuhkan kepercayaan diri.

TAMAN PEMAKAMAN

(UMUM)

Pelayanan Publik

(umum), Keindahan

Pelindung, pendukung ekosistem makro,

„ventilasi‟ dan „pemersatu‟ ruang kota.

Dibutuhkan seluruh anggota masyarakat,

menghilangkan rasa „angker‟.

PERTANIAN KOTA Produksi, Estetika,

Pelayanan Public

(umum)

Kenyamanan spasial, visual, audial dan

thermal, ekonomi.

Peningkatan produktivitas budidaya

tanaman pertanian.

TAMAN (HUTAN) KOTA/

PERHUTANAN

Konservasi,

Pendidikan, Produksi

Pelayanan masyarakat dan penyangga

lingkungan kota, wisata alam, rekreasi,

produksi hasil „hutan‟: iklim mikro, oksigen,

ekonomi.

Pelestarian, perlindungan, dan

pemanfaatan plasma nutfah,

keanekaragaman hayati, pendidikan

penelitian.

TAMAN SITU, DANAU,

WADUK, EMPANG

Konservasi,

Keamanan

Keseimbangan ekosistem, rekreasi

(pemancingan).

Pelestarian SD-air, flora & fauna

(budidaya ikan air tawar).

KEBUN RAYA, KEBUN

BINATANG (Nursery)

Konservasi,

Pendidikan,

Penelitian

Keseimbangan ekosistem, rekreasi,

ekonomi.

Pelestarian plasma nutfah, elemen

khusus Kota Besar, Kota Madya.

TAMAN PURBAKALA Konservasi, Reservasi, perlindungan situs, sejarah – „Bangunan‟ sebagai elemen taman.

Page 54: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

50

Preservasi, Rekreasi national character building.

JALUR HIJAU

PENGAMANAN

Keamanan Penunjang iklim mikro, thermal, estetika. Pengaman: Jalur lalu-lintas, Rel KA, jalur

listrik tegangan tinggi, kawasan industri,

dan „lokasi berbahaya‟ lain.

TAMAN RUMAH sekitar

bangunan Gedung -

tingkat „PEKARANGAN‟

Keindahan, Produksi Penunjang iklim mikro, „pertanian

subsistem‟: TOGA (tanaman obat

keluarga)/Apotik Hidup, Karangkitri (sayur

dan buah-buahan).

Pemenuhan kebutuhan pribadi (privacy),

penyaluran „hobby‟ pada lahan terbatas,

mampu memenuhi kebutuhan keluarga

secara berkala dan „subsistent’‟.

Page 55: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

51

3. Kriteria Perencanaan,

Dalam perancangan kota

dikenal adanya tiga kriteria

disain, yakni kriteria terukur,

kriteria tak terukur, dan kriteria

generik. Kriteria terukur adalah

kriteria yang secara kuantitatif

dapat diukur dan biasanya

berhubungan dengan ketinggian,

besar, rasio ukuran luas lantai,

setback, building coverage, dan

sebagainya.

Secara garis besar kriteria terukur

dibagi menjadi dua, yaitu

1)kriteria lingkungan alarn,

2)bentuk dan massa

bangunan, serta intensitas.

Sedangkan kriteria tak terukur

lebih menekankan pada aspek

kualitatif di lapangan. Antara

kriteria terukur dan tak terukur

seharusnya dijaga

kesimbangannya dan bekerja

dalam kerangka kerja dari kriteria

generik.

a. Kriteria desain menurut Urban

Design Plan of San Fransisco,

ada sepuluh prinsip, yaitu

1). Kenyamanan (amenity

comfort)

Prinsip kenyamanan

(amenity comfort)

menekankan pada kualitas

lingkungan kota dengan

mengakomodasikan pola

pedestrian yang dilengkapi

dengan street furniture,

tanam-tanaman, disain

jalan yang terlindung dari

cuaca, menghindari silau,

dan sebagainya.

2). Tampak yang menarik

(visual interest)

Tampak yang menarik

(visual interest)

menekankan pada kualitas

estetis lingkungan, antara

lain karakter arsitektur dan

lingkungan bangunan yang

menyenangkan.

3). Kegiatan (activity)

Menekankan pada

pentingnya pergerakan

dan dimensi kehidupan

jalan di lingkungan kota,

dengan mempromosikan

pedagang kaki lima,

arcade, lobby, dan

menghindari dinding-

dinding yang kosong Berta

ruang parkir yang terlalu

luas.

4). Kejelasan dan kenikmatan

(clarity and convenience)

Untuk menciptakan faktor

kejelasan dan kenikmatan,

dapat dilakukan dengan

cars meningkatkan

kualitas jalur pejalan kaki,

yaitu dengan fasilitas

pedestrian yang memiliki

ciri tertentu.

5). Karakter khusus (character

Page 56: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

52

distinctiveness)

Karakter khusus

(character

distinctiveness)

menekankan pada

identitas individual yang

berpengaruh dalam suatu

struktur ruang kota.

6). Ketajaman (definition)

Prinsip ketajaman

(definition) menitikberatkan

pada interfacing antara

bangunan dan ruang

terbuka suatu kawasan

yang dapat memperjelas

dan memudahkan

persepsi ruang luarnya.

Ketajaman ruang ini

sangat berkaitan dengan

faktor-faktor

pemandangan, karakter,

serta pencapaiannya.

7). Prinsip-prinsip

pemandangan kawasan

(the principle of views

encompasses)

Prinsip – prinsip

pemandangan kawasan

memperhatikan aspek

estetik terhadap vista

lingkungan (pleasing

vistas), atau persepsi

orang pada saat

melakukan orientasi

terhadap lingkungan kota.

Misalnya layout jalan,

penempataii bangunan,

dan massa bangunan

akan memberikan karakter

estetik serta petunjuk

pencapaian bagi

masyarakat.

8). Variasi/kontras

(variely/conlrast)

Prinsip variasi/kontras

diarahkan pada susunan

bentuk model bangunan

yang akan menjadi point of

interest di lingkungannya.

9). Harmoni/kecocokan

(harmony compatibility)

Prinsip

harmoni/kecocokan

menekankan pada aspek

arsitektural dan

kecocokan estetika

yang berkaitan dengan

masalah topograli yang

hares diantisipasi

dalam perencanannya,

baik masalah skala

maupun bentuk massanya.

10). Integrasi skala dan bentuk

(Scale and pattern

integrated)

Prinsip integrasi skala dan

bentuk ini bertujuan untuk

mencapai skala manusia

di lingkungan kota, yang

menekankan pada ukuran,

bestir bangunan dan

massa bangunan,

demikian pula dimensi

Page 57: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

53

estetika yang

berhubungan dengan

kepekaan dan efek

tekstur bangunan dengan

skala pemandangan dari

arch tertentu.

b. Sedangkan konsep Urban

System Research and

Engineering, Inc.(1977) lebih

menekankan pada kualitas

visual yang dikelompokkan

dalam delapan kategori sebagai

berikut.

1). Kelayakan hubungan (fit

with setting)

Kelayakan hubungan.

(fit with setting) ini

menitikberatkan pada

harmoni atau kecocokan

rancangan antara

perumahan dan kota yang

berkaitan dengan faktor

lokasi, kepadatan

perumahan, warna, bentuk

dan material. Di samping

itu aspek lain yang hares

diperhatikan adalah

aspek historis, aspek

budaya, komponen yang

cocok dengan nilai

bangunan, artefak jalan

setapak yang unik

sehingga dapat

mengingatkan kembali

bagi setiap orang.

2). Ekspresi dari identitas

(expression of identity)

Untuk memberikan

ekspresi identitas,

status, dan nilai-nilai

bagi penghuni dan

masyarakat perlu

penekanan disain

terutama peranan warns,

. material bangunan, dan

ekspresi bangunan secara

individual.

3). Pencapaian dan orientasi

(access and orientation)

Faktor penting yang harus

diperhatikan adalah

kejelasan dan keamanan

dari pintu masuk, jalan

setapak, dan ke arah

lokasi fasilitas penting,

sehingga semua orang

tabu akan ke amana dan

spa yang akan dilakukan.

4). Pendukung aktivitas (activity

support)

Kegiatan masyarakat

akan memberi karakter

perilaku mereka melalui

tanda-tanda yang didisain

khusus termasuk elemen

fisik, ukuran, dan lokasi

dari sebuah fasilitas yang

disediakan.

5). Pemandangan (views)

Menekankan pada

pencapaian bangunan-

bangunan ke arah

ruang-ruang publik

Page 58: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

54

(public spaces).

6). Elemen-elemen alam

(natural elements)

Menciptakan disain yang

memanfaatkan unsur-

unsur alam yang ads di

lokasi tapak, misalnya

dengan pemanfaatan

topografi yang terjal,

tanaman penutup,

pemanfaatan smar

matahari, air, dan Tatar

belakang pemandangan

langit.

7). Tampak yang nyaman

(visual comfort)

Pada prinsipnya tampak

yang nyaman (visual

comfort) menghindari

gangguan dari silau, asap,

debu, traffic light yang

membingungkan,

pemandangan yang

menghalangi kendaraan

yang melaju dengan cepat.

8). Kepedulian dan perawatan

(care and maintenance)

Memperhatikan pemilihan

komponen dalam disain

yang mudah perawatan

dan pengelolaannya.

c. Selanjutnya menurut Kevin

Lynch (1981), sebuah ruang

publik harus mempunyai lima

dimensi tampilan (Five

performance dimension), yaitu:

a. Vitalitas (vitality),

Menitik beratkan pada

suatu sistim keamanan,

kecocokan ukuran atau

kelayakan antara tuntutan

manusia dalam hal

temperatur, anatomi tubuh,

dan fungsi tubuh,

b. Kepekaan (sense),

Dimensi kepekaan yang

dimaksud disini meliputi

bentuk, kualitas, dan

identitas lingkungan,

c. Kelayakan (fit),

Menitik beratkan pada

kelayakan antara ruang

dan karakter bentuk yang

ada,

d. Pencapaian (access),

Memperhatikan

kemampuan orang menuju

ketempat satu ke yang lain

melalui ruang publik ini,

e. Pemeriksaan (control),

Diarahkan pada ruang

ruang kegiatan, tempat

rekreasi.

4. Teknis Perencanaan

Dalam rencana pembangunan

dan pengembangan RTH yang

fungsional suatu wilayah

perkotaan, ada 4 (empat) hal

utama yang harus diperhatikan

yaitu

Page 59: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

55

a. Luas RTH minimum yang

diperlukan dalam suatu

wilayah perkotaan ditentukan

secara komposit oleh tiga

komponen berikut ini, yaitu:

1) Kapasitas atau daya dukung

alami wilayah

2) Kebutuhan per kapita

(kenyamanan, kesehatan, dan

bentuk pelayanan lainnya)

3) Arah dan tujuan

pembangunan kota.

RTH berluas minimum

merupakan RTH berfungsi

ekologis yang berlokasi,

berukuran, dan berbentuk

pasti, yang melingkup RTH

publik dan RTH privat. Dalam

suatu wilayah perkotaan maka

RTH publik harus berukuran

sama atau lebih luas dari RTH

luas minimal, dan RTH privat

merupakan RTH pendukung

dan penambah nilai rasio

terutama dalam meningkatkan

nilai dan kualitas lingkungan

dan kultural kota.

b. Lokasi lahan kota yang

potensial dan tersedia untuk

RTH

c. Sruktur dan pola RTH yang

akan dikembangkan (bentuk,

konfigurasi,dan distribusi)

d. Seleksi tanaman sesuai

kepentingan dan tujuan

pembangunan kota.

e. Action Plan

Pembangunan dan

pengelolaan RTH wilayah

perkotaan harus menjadi

substansi yang terakomodasi

secara hierarkial dalam

perundangan dan peraturan

serta pedoman di tingkat

nasional dan daerah/kota.

Untuk tingkat daerah baik

provinsi maupun

kabupaten/kota, permasalahan

RTH menjadi bagian organik

dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah dan subwilayah yang

diperkuat oleh peraturan

daerah.

Dalam pelaksanaannya,

pembangunan dan

pengelolaan RTH juga

mengikut sertakan masyarakat

untuk meningkatkan apresiasi

dan kepedulian mereka

terhadap, terutama, kualitas

lingkungan alami perkotaan,

yang cenderung menurun.

Beberapa action plan yang

dapat dilaksanakan, a.l.:

1). Issues : Suboptimalisasi

RTH

Action plan yang

disarankan:

(a) Penyusunan kebutuhan

luas minimal/ideal RTH

sesuai tipologi kota

Page 60: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

56

(b) Penyusunan indikator

dan tolak ukur

keberhasilan RTH suatu

kota

(c) Rekomendasi

penggunaan jenis-jenis

tanaman dan vegetasi

endemik serta jenis-

jenis unggulan daerah

untuk penciri wilayah

dan untuk

meningkatkan keaneka

ragaman hayati secara

nasional

2). Issues : Lemahnya

kelembagaan pengelola

RTH

Action plan yang

disarankan:

(a) Revisi dan penyusunan

payung hukum dan

perundangan (UU, PP,

dll)

(b) Revisi dan penyusunan

RDTR, RTRTH, dll

(c) Penyusunan Pedoman

Umum : Pembangunan

RTH, Pengelolaan RTH

(d) Penyusunan

mekanisme insentif dan

disinsentif

(e) Pemberdayaan dan

peningkatan peran serta

masyarakat.

3). Issues : Lemahnya peran

stake holders

Action plan yang

disarankan:

(a)Pencanangan Gerakan

Bangun, Pelihara, dan

Kelola RTH (contoh

Gerakan Sejuta Pohon,

Hijau royo-royo, Satu

pohon satu jiwa, Rumah

dan Pohonku, Sekolah

Hijau, Koridor Hijau dan

Sehat, dll)

(b)Penyuluhan dan

pendidikan melalui

berbagai media

(c)Penegasan model

kerjasama antar stake

holders

(d)Perlombaan antar kota,

antar wilayah, antar

subwilayah untuk

meningkatkan apresiasi,

partisipasi, dan

responsibility terhadap

ketersediaan tanaman

dan terhadap kualitas

lingkungan kota yang

sehat dan indah

4). Issues : Keterbatasan

lahan perkotaan untuk

peruntukan RTH

Action plan yang

disarankan:

(a) Peningkatan fungsi

lahan terbuka kota

menjadi RTH

(b) Peningkatan luas RTH

privat

Page 61: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

57

(c) Pilot project RTH

fungsional untuk lahan-

lahan sempit, lahan-

lahan marjinal, dan

lahan-lahan yang

diabaikan.

5. Analisis

Metode yang biasa digunakan

dalam proses penyusunan desain

ruang terbuka hijau/ hutan/ taman

kota adalah metode kuantitatif dan

kualitatif yang penggunaannya

tergantung pada tujuan dan hasil

analisis dan ketersediaan data.

Beberapa alternatif penggunaan

metode analisis nya adalah

sebagai berikut :

a). Metode Superimpose (Sleve

Map Analysis)

Metode ini merupakan

pendekatan analisis yang

mempergunakan beberapa

peta eksisting untuk

mendapatkan tingkat

kesesuaian lahan yang akan

dipergunakan sebagai wilayah

perencanaan.

Analisis ini digunakan untuk

menentukan daerah yang

paling baik untuk Lokasi

Hutan/ Taman Kota. Faktor

penentunya adalah semua

aspek fisik lingkungan dari

daerah perencanaan.

b). Metode Pembobotan

(Skoring Likert)

Metode ini dimaksudkan untuk

menentukan tingkatan dari

data yang ada baik data yang

bersifat kualitatif maupun

kuantitatif. Metode ini

digunakan untuk

mengkompilasi data yang

berjumlah banyak dan

berlainan jenis menjadi data

yang terstruktur sehingga

memiliki kualifikasi yang dapat

digunakan untuk memudahkan

proses analisis.

Metode pembobotan dilakukan

dalam 2 tahapan:

1. Untuk menemukan wilayah

wilayah yang potensial

untuk lokasi Hutan Kota

2. Untuk menentukan ranking

calon Lokasi Hutan Kota

yang akan diprioritasklan

untuk perencanaan

/pembangunan selanjutnya

3. Indikator dalam penentuan

wilayah potensial untuk

Hutan Kota disesuaikan

dengan Ketentuan

berdasarkan Peraturan

Pemerintah No 63 Tahun

2002 tentang Hutan Kota.

Page 62: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

58

c). Metode Analisis Deskriptif

Kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif

merupakan pengamatan

deskriptif dengan sistem

pemikiran interpretasi yang

tidak sekedar berdasarkan

fenomena saja namun diteliti

hubungannya hingga

memunculkan hipotesa serta

adanya prediksi hingga

mendapatkan masalah.

Berdasarkan metoda yang

digunakan analisis ini

mempunyai subyektivitas tinggi

terhadap obyek yang

dianalisis. Untuk itu diperlukan

brainstorming (diskusi umum

dan khusus, rapat koordinasi,

dan presentasi).

d). Metode Mixed Scanning

Comprehensive Approach

Metode ini merupakan

pendekatan perencanaan yang

menyeluruh dan terpadu

serta didasarkan pada potensi

dan permasalahan yang ada di

wilayah perencanaan.

Pendekatan tersebut

menyeluruh, dalam arti bahwa

peninjauan permasalahan

bukan hanya didasarkan pada

kepentingan wilayah

perencanaan saja, tetapi

ditinjau pada kepentingan yang

lebih luas, baik antara wilayah

perencanaan maupun dalam

konstalasi regionalnya.

Sedangkan terpadu

mengindikasikan bahwa untuk

menyelesaikan permasalahan

tidak hanya dipecahkan secara

sektoral saja, tetapi didasari

oleh kerangka perencanaan

yang terpadu antar sektor,

yang dalam implementasinya

dapat berujud koordinasi dan

sinkronisasi antar sektoral.

e). Analisa SWOT

Metode SWOT merupakan

metode yang seringkali

dipergunakan dalam suatu

perencanaan strategik, dan

sangat implikatif di dalam

analisisnya. SWOT akan

mencari faktor-faktor

penghambat dan faktor-faktor

peluang yang dihadapi.

Sehingga seringkali disebut

sebagai metode analisis

situasi.

Adapun Analisa dan Kajian

menyangkut beberapa factor

untuk menilai kondisi,

kebutuhan, fungsi dan manfaat

Hutan Kota secara:

Ekologis

Analisis ekologis yang

dilakukan mencakup:

kualitas air tanah, bencana

alam (banjir, tanah

Page 63: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

59

longsor), polusi udara dan

suhu udara.

Sosial Budaya

Analisis sosial budaya

mencakup interaksi sosial,

sarana rekreasi, dan

tetenger (landmark) kota.

Arsitektural

Analisis arsitektural

menyangkut nilai

keindahan dan

kenyamanan

Ekonomi

Analisis ekonomi

menyangkut pemanfaatan

lahan kosong menjadi

lahan budidaya (urban

agricultur) dan kontribusi

sarana wisata Hutan Kota

Regulasi / Peraturan

Analisa regulasi/peraturan

untuk mendapatkan hasil

rekomendasi Rencana

Hutan Kota yang kuat

secara yuridis.

f). Analisa Perhitungan Luas

RTH Kota

Terdapat beberapa macam

cara untuk menetapkan

keluasan RTH kota, ditinjau

dari berbagai kebutuhan

penduduk kota.

1). Pendekatan Gerakis

melalui Perhitungan

Kebutuhan Oksigen (O2):

Sebagai contoh, hasil

penelitian di sebuah kota

dengan luas 431 km2,

jumlah penduduk 2,6 juta

jiwa, jumlah kendaraan

bermotor 200.000 bh,

maka:

Kebutuhan O2 = 5,352

X 10 gram atau setara

5.709 X 10 gram berat

kering tanaman,

Untuk memproduksi

oksigen oleh kelompok

tanaman sebesar jumlah

tersebut perlu dibuat:

(5.709 X 10) : 24 = 105.7

km2 atau 24.6% luas kota

adalah RTH

Dengan catatan asumsi

bahwa setiap meter persegi

(m2) tanaman

menghasilkan 54 gram

bahan kering.

2). Perhitungan Berdasar

Kebutuhan Air:

Kebutuhan air dalam kota

tergantung dari faktor:

a. Kebutuhan air bersih

per tahun

b. Jumlah air yang

dapat disediakan oleh

PAM

c. Potensi air saat ini

d. Kemampuan hutan

menyimpan air

Page 64: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

60

berdasarkan UU Tata Ruang No: 26 tahun 2007.

g). Analisa Ekologis

1). Ekologi dan Ekosistem

Makhluk hidup dalam perkembangan

dan pertumbuhannya tidak dapat

hidup sendiri, selalu memerlukan

makhluk lainnya dalam menjalani

hidup dan kehidupannya. Antara

makhluk yang satu dengan makhluk

yang lain selalu berhubungan dan

mengadakan kontak yang saling

menguntungkan. Tetapi ada juga

sebagian kecil mahkluk hidup yang

selalu merugikan makhluk lain,

biasanya makhluk ini disebut dengan

parasit.

Ekologi adalah kajian mengenai

interaksi timbal-balik jasad individu, di

antara dan di dalam populasi spesies

yang sama, atau di antara komunitas

populasi yang berbeda-beda dan

berbagai faktor non hidup (abiotik)

yang banyak jumlahnya yang

merupakan lingkungan yang efektif

tempat hidup jasad, populasi atau

komunitas itu. Lingkungan efektif itu

mencakup keterkaitan pada interaksi

antara jasad hidup itu sendiri. Kaji

ekologi itu memungkinkan kita

memahami komunitas itu secara

keseluruhan (Ewusie, 1990).

Adapun ekologi sendiri mencakup

suatu keterkaitan antara segenap

unsur lingkungan hidup yang saling

mempengaruhi, sepeti tumbuhan dan

sinar matahari, tanah dengan air,

RUANG TERBUKA

RUANG TERBUKA HIJAU

(MIN 30% LUAS KOTA)

RTH PRIVAT

RUANG TERBUKA NON HIJAU

RUANG TERBUKA NON HIJAU PUBLIK

RTH PUBLIK

(20% LUAS KOTA)

RUANG TERBUKA

NON HIJAU PRIVAT

Ps. 29 ayat (1) Ps. 29 ayat (2)

Ps. 29 ayat (3)

PENGATURAN PROPORSI RUANG TERBUKA HIJAU PADA WILAYAH KOTA

Page 65: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

61

yang pada umumnya dikatakan

sebagai hukum alam yang berimbang

dan biasa disebut ekosisitem.

Komponen-komponen dalam

ekosistem telah dikelola oleh alam

dan mereka saling berinteraksi. Ada

komponen yang bersifat netral,

bekerjasama, menyesuaikan diri,

bertentangan bahkan saling

menguasai. Akan tetapi pada

akhirnya antara kekuatan-kekuatan

tersebut terjadi keseimbangan (Arief,

1994).

Satu ciri mendasar pada ekosistem

adalah bahwa ekosistem itu bukahlah

suatu sistem yang tertutup, tetapi

terbuka dan dari padanya energi dan

zat terus-menerus keluar dan

digantikan agar sistem itu terus

berjalan. Sejauh yang berkenaan

dengan struktur, ekosistem secara

khas mempunyai tiga komponen

biologi, yaitu; produsen (jasad

autotrof) atau tumbuhan hijau yang

mampu menambat energi cahaya;

hewan (jasad heterotrof) atau

kosumen makro yang menggunakan

bahan organik; dan pengurai, yang

terdiri dari jasad renik yang

menguraikan bahan organik dan

membebaskan zat hara terlarut

(Ewusie, 1990).

2). Tanam-tanaman dalam

Lingkungan Kota

Penghijauan di lingkungan kota dapat

meningkatkan kualitas kehidupan

dalam kota, karena manusia dapat

hidup erat dengan alam (melihat

tumbuhan tanaman, burung dan

binatang lain serta dapat mengerti

fungsi ekosistem). Kota yang memiliki

keteduhan dengan banyak pohon

besar yang rindang dapat

mengurangi lalu lintas bermotor

(karena penduduk lebih bersedia

berjalan kaki, dan berkurang untuk

mencari tempat beristirahat di luar

kota atau ditempat hiburan besar).

(Heinz Frick, 1998)

Disamping hal tersebut penghijauan

di lingkungan kota meningkatkan

produksi oksigen yang

menguntungkan kehidupan sehat

bagi manusia, mengurangi

pencemaran udara, serta

meningkatkan kualitas iklim mikro.

Tanam – tanaman menerima air

hujan, mengikatnya didalam tanah,

dan kemudian menguapkannya

kembali. Dengan demikian tanaman

tersebut ikut dalam pengolahan air

hujan dan melindungi tanah lereng

dari longsor.

Page 66: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

62

Tabel 1: Tanaman Sebagai Peningkat Kualitas Lingkungan Kota

1 Pohon berumur ±

100 tahun

Tanam tanaman

seluas 1 Ha

Produksi oksigen (O2) 1,7 kg/jam 600 kg/hari

Penerimaan karbondioksida

(CO2)

2,35 kg/jam 900 kg/hari

Zat arang yang terikat 6 ton -

Penyaring debu - sampai 85%

Penguapan air 500 liter/hari -

Penurunan suhu - Sampai 40 C

Selain tanaman dapat memperbaiki

kualitas kehidupan, peningkatan

pendapatan (daun, kayu, akar, buah),

penanaman tanaman dan semak

dapat berfungsi juga sebagai

penahan erosi, mencegah banjir,

menjaga sumber air, sumber bahan

bangunan dan sumber pangan.

Disamping itu tanaman juga dapat

mengurangi pencemaran debu.

3). Penelusuran Jejak Ekologis

Dalam kaitannya dengan analisa

ekologis penyusunan studi

Pembangunan Hutan Kota

Kebumen dilakukan kajian

dengan menelusuri jejak

ekologis.

Jejak ekologis adalah mengukur

konsumsi manusia pada sumber-

sumber alam dalam kaitannya

dengan keberlanjutan lingkungan.

Jejak ini harus dipertimbangkan

dengan kemampuan alam untuk

memperbaharui sumber

sumbernya (Living Planet Report,

2004, hal 10).

h). Analisa Teknis

Sebagaimana yang tertuang

dalam pasal 8 PP Nomor 63

Tahun 2002 Tentang Hutan

Kota disebutkan bahwa

besaran luas Hutan Kota

dalam satu hamparan yang

kompak paling sedikit 0,25 Ha.

Persentase luas hutan kota

paling sedikit 10% dari wilayah

perkotaan atau disesuaikan

dengan kondisi setempat.

Hutan kota merupakan bagian

dari keseluruhan RTH Kota

dan RTH merupakan bagian

dari Ruang Terbuka (open

space) wilayah perkotaan.

Dalam rencana pembangunan

dan pengembangan RTH yang

fungsional suatu wilayah

perkotaan, ada 4 (empat) hal

Page 67: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

63

utama yang harus diperhatikan

yaitu:

(a) Luas RTH minimum yang

diperlukan dalam suatu wilayah

perkotaan ditentukan secara

komposit oleh tiga komponen

berikut ini, yaitu:

1) Kapasitas atau daya

dukung alami wilayah

2) Kebutuhan per kapita

(kenyamanan, kesehatan,

dan bentuk pelayanan

lainnya)

3) Arah dan tujuan

pembangunan kota

RTH berluas minimum merupakan

RTH berfungsi ekologis yang

berlokasi, berukuran, dan berbentuk

pasti, yang melingkup RTH publik

dan RTH privat. Dalam suatu wilayah

perkotaan maka RTH publik harus

berukuran sama atau lebih luas dari

RTH luas minimal, dan RTH privat

merupakan RTH pendukung dan

penambah nilai rasio terutama dalam

meningkatkan nilai dan kualitas

lingkungan dan kultural kota.

(b) Lokasi lahan kota yang

potensial dan tersedia untuk RTH

(c) Sruktur dan pola RTH yang akan

dikembangkan (bentuk,

konfigurasi, dan distribusi)

(d) Seleksi tanaman sesuai

kepentingan dan tujuan

pembangunan kota.

Standart kebutuhan RTH diatas

berlaku umum di wilayah perkotaan,

dengan luasan RTH minimal yang

dibutuhkan di wilayah perkotaan.

Perhitungan diatas berdasarkan

kebutuhan per unit lingkungan dan

jenis ruang terbuka yang dibutuhkan

serta lokasinya.

Page 68: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

64

i). Analisa Sosial Budaya

Tingginya tingkat kriminalitas dan

konflik horizontal diantara kelompok

masyarakat perkotaan secara tidak

langsung juga dapat disebabkan oleh

kurangnya ruang-ruang kota yang

dapat menyalurkan kebutuhan

interaksi sosial untuk pelepas

ketegangan yang dialami oleh

masyarakat perkotaan. Rendahnya

kualitas lingkungan perumahan dan

penyediaan ruang terbuka

publik,secara psikologis telah

menyebabkan kondisi mental dan

kualitas sosial masyarakat yang

makin buruk dan tertekan

RTH kota merupakan sub-ordinat

ruang terbuka yang ada dalam

konstelasi perencanaan ruang kota

secara keseluruhan. Ditinjau dari

sudut manusia, maka konsepsi

pengelolaan LH menjadi kompleks. Di

satu pihak, dengan berbagai

pandangan dan latar belakang,

manusia itu berbudaya (cultural

contemplation), berperilaku sosial

(social behaviour), pertimbangan

ekonomi (economicconsiderations),

dan bersikap politik (political

Tabel 2

STANDART RTH: KRITERIA UNIT UNIT LINGKUNGAN

Tabel 3. KEBUTUHAN AKAN RTH

Page 69: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

65

attitudes), semua terpadu sebagai

salah satu komponen pendukung

pengembangan lingkungan hidup

(Haeruman, et.al.1980).

Manusia akan selalu memandang,

bahwa sumber daya itu akan

menghasilkan barang dan jasa

berupa materi, informasi, dan energi,

dalam siklusnya masing-masing,

termasuk perhitungan antara daya

dukung atau kemampuan asimilasi

serta dampak negatif lingkungan.

Sekarang, tergantung pada diri kita

masing-masing, bagaimana

menyadari eksistensi sumberdaya itu

dan pemanfaatannya, terutama di

lingkungan perkotaan, sehingga

dapat bermanfaat bagi kehidupan

warga kota secara berkelanjutan.

Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil

yaitu keluarga, maka ruang luar yang

ada sebenarnya dapat dimanfaatkan

secara optimal, dengan tanaman pot

bunga, buah, sayuran, apotik hidup

minimal untuk kebutuhan keluarga.

Kota akan selalu menghadapi

perobahan akibat akselerasi

pembangunan secara menyeluruh,

sehingga terjadi degradasi kualitas

fungsi alami lingkungan. Kemacetan

lalu-lintas yang semakin parah di

seluruh bagian kota, pencemaran

udara, air, tanah dan suara, banjir,

kebakaran, dan krisis air bersih,

berakibat penurunan kualitas

kesehatan, produktivitas, dan kinerja

warga kota.

Perencanaan tata ruang kota selalu

tertinggal dengan laju kebutuhan fisik

dan psikis penduduk yang semakin

meningkat, baik dalam jumlah

maupun kualitas. Ekspansi ruang

kota ke segala penjuru tanpa

terkendali. Penanganan masalah

lingkungan hidup kota, termasuk

eksistensi RTH, masih bersifat parsial

dan temporal.

j). Analisa Arsitektur

Secara arsitektural RTH dapat

meningkatkan nilai keindahan

dan kenyamanan kota melalui

keberadaan taman-taman

kota, kebun-kebun bunga, dan

jalur-jalur hijau dijalan-jalan

kota.

Berdasarkan PP Nomor 63

Tahun 2002 Tentang Hutan

Kota Pasal 14 dan 15 tentang

type dan bentuk hutan kota

dengan fungsi yang ditetapkan

dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah Perkotaan atau

Page 70: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PROSES PERENCANAAN DESAIN TAMAN KOTA DAN RUANG PUBLIK

66

Rencana Tata Ruang Wilayah

adalah:

Tipe hutan kota antara lain:

a. tipe kawasan permukiman;

b. tipe kawasan industri;

c. tipe rekreasi;

d. tipe pelestarian plasma

nutfah;

e. tipe perlindungan; dan

f. tipe pengamanan.

Bentuk hutan kota antara lain:

a. jalur;

b. mengelompok; dan

c. menyebar.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony J. Catanese, dkk (1989),

”Pengantar Sejarah

Perencanaan Perkotaan,

sebuah kumpulan karangan

(terjemahan)”, Intermatra,

Bandung.

Arthur B. Gallion dan Simon Eisener

(1992), ”Pengantar

Perancangan Kota, Desain dan

Perencanaan Kota

(terjemahan)”, Penerbit Erlangga,

Jakarta.

Diana Conyer and Peter Hills (1984),

”An Introduction to

Development in the Third

World”, John Wiley & Sons, New

York.

Direktorat Pembinaan Jalan Kota

(1992), “Petunjuk Praktis

Penataan Penghijauan Jalan

dan Lingkungannya” Direktorat

Jenderal Bina Marga.

Ir M. Robinson (1993), ”Urban

Planning Methods and

Techniques”, Human Settlement

Development, Asian Institute of

Technology, Bangkok.

Melville C. Branch (1985),

”Comprehensive City

Planning; Introduction and

Explanation”, The Planners

Press of The American Planning

Association, Chicago.

Menno S. dan Mustamin Alwi (1991),

”Antroplogi Perkotaan”,

Rajawali Pers, Jakarta.

Paul D. Spreiregen (1981), ”Urban

Design; The Architecture of

Towns and Cities”,Robert E.

Kreiger Publishing Company,

Florida.

Rob Krier (1991), ”Urban Space”,

Academy Editions, London.

Page 71: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

67

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL

KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES

EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

Priyono Kusumo

email : [email protected]

Abstrak

Ekstraksi cair-cair merupakan salah satu metode pemisahan campuran yang melibatkan proses pemindahan massa solut antara fasa cair yang tidak saling melarut. Dalam proses ekstraksi cair-cair secara kontinyu salah satu cairan didispersikan ke cairan lainnya agar terjadi kontak yang intim antara kedua cairan tersebut. Perpindahan massa solut dari satu fasa cair ke fasa cair lainnya sangat dipengaruhi oleh karakteristik isian, luas permukaan kontak serta diameter gelembung. Untuk keperluan perancangan atau evaluasi unjuk kerja kolom isian, diperlukan informasi besarnya harga koefisien pindah massa baik di fasa dispersi maupun di fasa kontinyu. Saat ini korelasi untuk meramalkan besarnya harga koefisien pindah massa baik di fasa dispersi maupun di fasa kontinyu diturunkan untuk gelembung tunggal baik pada kondisi gelembung bersirkulasi atau tak bersirkulasi. Untuk dapat mengetahui korelasi yang dapat digunakan untuk meramalkan besarnya koefisien pindah massa proses ekstraksi cair-cair dalam kolom isian, dilakukan pengamatan ekstraksi sistem air–MEK–n-heksan. Dalam sistem ini air sebagai fasa kontinyu, MEK sebagai solut, dan n-heksan sebagai fasa dispersi. Pengamatan ekstraksi pada temperatur dan tekanan ruang, dilakukan dalam sebuah kolom berdiameter 5 cm, tinggi 126 cm yang berisi bola kaca. Hasil pengamatan menunjukan bahwa gabungan korelasi model Handloss-Baros (HB) – dan model Garner-Foord-Tayeban (GFT) memberikan hasil yang cukup sesuai pada rentang gelembung bersirkulasi (pada harga Re : 10-200). Berdasarkan model tersebut, penyimpangan terbesar dalam peramalan tinggi isian mencapai harga 1,53 kali dari tinggi sebenarnya.

Kata kunci: ekstraksi cair-cair, kolom isian, koefisien pindah massa

Pendahuluan

Ekstraksi cair-cair merupakan

salah satu cara pemisahan campuran

cair yang pada kondisi tertentu

memiliki beberapa keunggulan bila

dibandingkan dengan menggunakan

cara pemisahan lain, seperti distilasi

atau adsorpsi. Keunggulan tersebut

antara lain ialah proses pemisahan

dapat berjalan pada kondisi ruang

dengan kebutuhan energi yang relatif

kecil. Ekstraksi cair-cair saat ini telah

digunakan pada skala komersial

misalnya pada industri petroleum

dimana proses ini dimanfaatkan untuk

penghilangan senyawa-senyawa

aromatik, sulfur, lilin dan resin pada

pembuatan minyak pelumas.

Pemisahan campuran fasa cair

dapat terjadi akibat perpindahan

salah satu senyawa dalam campuran

ke fasa cair lain yang kontak dengan

Page 72: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

68

campuran cair tersebut. Agar proses

pemisahan berlangsung dengan

cepat dan sempurna, kontak antara

kedua cairan tersebut harus intim

yaitu memiliki luas area permukaan

kontak sangat luas serta hambatan

perpindahan massa antar fasa cair-

cair sangat rendah. Hal ini dapat

dicapai bila salah satu cairan

terdispersi di dalam cairan yang

lainnya. Cairan yang terdispersi

dalam bentuk tetesan disebut fasa

terdispersi, sedangkan cairan yang

lainnya yang mendispersi disebut

fasa kontinyu.

Dinamika tetesan tersebut

sangat berpengaruh terhadap

besarnya luas area permukaan

kontak serta besarnya hambatan

pindah massa yang dinyatakan dalam

besaran koefisien pindah massa.

Besaran koefisien pindah massa

tersebut akan menggambarkan

mudah tidaknya senyawa yang akan

diekstraksi (solute) berpindah dari

salah satu cairan ke cairan yang

lainnya.

Tinjauan Pustaka

Ekstraksi cair-cair atau

ekstraksi solven adalah ekstraksi dari

larutan fasa cair dengan

menggunakan pelarut fasa cair lain

sebagai media pemisah. Secara

sederhana peristiwa ekstraksi cair-

cair dapat digambarkan dalam skema

sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Proses Ekstraksi Cair-Cair

Pelarut I Zat Terlarut

Pelarut II Ekstrak

Rafinat

Page 73: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

69

Proses pemisahan zat yang

ada dalam larutan asal ke dalam

pelarut merupakan proses pindah

massa yang memerlukan luas

permukaan kontak yang besar, oleh

sebab itu pelarut didispersikan dalam

bentuk tetesan-tetesan kecil ke dalam

larutan asal, atau sebaliknya pelarut

asal yang didispersikan kedalam

pelarut. Dengan demikian dalam

proses ekstraksi cair-cair dikenal dua

fasa saling kontak yaitu fasa

terdispersi yang merupakan cairan

yang didispersikan dan fasa yang

merupakan cairan yang bertindak

sebagai medium dispersi.

Mekanisme pemisahan

digambarkan secara sederhana

dalam Gambar 2, dengan ekstraksi

cair-cair terjadi berdasarkan pindah

massa akibat kontak antara larutan

yang dialirkan secara kontinyu (fasa

kontinyu) dengan pelarut yang

dialirkan secara terdispersi (fasa

terdispersi). Fasa kontinyu dialirkan

dari bagian atas kolom isian yang

kemudian mengalir turun. Selama

mengalir di sepanjang kolom, cairan

mengisi celah-celah kosong dan

membentuk lapisan tipis pada

permukaan bahan isian. Fasa

terdispersi dialirkan dari bagian

bawah kolom isian yang selama

mengalir di sepanjang kolom

dimungkinkan mengalami proses-

proses berikut :

Melewati celah-celah kosong

Menembus bahan isian

Mengalami perpecahan

menjadi gelembung dengan ukuran

yang lebih kecil akibat bertumbukan

dengan bahan isian

Gambar 2. Ekstraksi Cair-Cair dalam Kolom Isian

Pelarut/fasa

terdispersi

Larutan/fasa

kontinyu

Ekstrak

Rafinat

Page 74: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

70

Melalui berbagai proses

tersebut terjadilah kontak dengan

fasa kontinyu yang mengalir

kebawah, kontak yang terjadi

menyebabkan zat terlarut berpindah

dari fasa kontinyu ke fasa terdispersi.

Zat terlarut dapat berpindah karena

adanya driving force antara pelarut

yang satu dengan pelarut yang lain.

Laju perpindahan zat terlarut yang

terjadi antar larutan dibatasi oleh

adanya tahanan (resistance) yang

menghalangi proses perpindahan

yang terjadi secara molekuler. Proses

perpindahan zat terlarut antar larutan

dapat dirumuskan secara sederhana

dalam persamaan sebagai berikut :

resistance

rcedriving fo Massan PerpindahaLaju (1.)

Driving force pada laju perpindahan

massa zat terlarut adalah perbedaan

konsentrasi antar larutan, sedangkan

resistance yang menghambat proses

perpindahan adalah invers dari

difusivitas zat terlarut dalam larutan.

Neraca massa zat terlarut dalam fasa kontinyu

Gambar 3. Neraca massa zat terlarut dalam fasa kontinyu

Melalui Gambar 3

diilustrasikan proses terjadinya

pindah massa dari fasa kontinyu ke

fasa terdispersi dalam kolom isian.

Uc adalah kecepatan zat terlarut di

fasa kontinyu yang mengalir masuk

dari atas melalui luas penampang

melintang kolom (m3/jam.m2), Ccin

konsentrasi zat terlarut. Ud kecepatan

fasa terdispersi mengalir melintang

kolom pada tiap luas penampang

melintang kolom (m3/jam.m2), Cdout

konsentrasi zat terlarut di fasa

terdispersi. Sedangkan a adalah luas

kontak antar fasa (interfacial area)

antara fasa terdispersi dan fasa

kontinyu per satuan volum kolom.

Bila diambil segmen kolom setinggi

Fasa Kontinyu

Fasa Terdispersi

Uc

Ccout

Ud

Cdin

Ud

Cdout

Uc

Ccin

Z

Cdi

Cd

Cci

Cc

Z+?z

Page 75: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

71

Δz, maka dapat disusun neraca

massa pada segmen volum A.Δz

sebagai berikut:

Laju alir masuk – laju alir keluar + laju perpindahan massa = akumulasi (2.)

(3.)

Apabila sistem mencapai keadaan tunak maka akumulasi atau 0dt

dCc , dievaluasi untuk Δz -> 0

diperoleh persamaan (4.)

Perssamaan (4) merupakan

persamaan yang menggambarkan

perubahan konsentrasi zat terlarut di

fasa kontinyu sepanjang kolom z.

Laju perpindahan massa tergantung

dari luas pindah massa (ai) dan

koefisien pindah massa (kc). Dengan

cara yang sama untuk fasa

terdispersi dapat dituliskan

(5.) Apabila persamaan (5) ini diintegrasikan maka akan dapat diperoleh tinggi kolom Z (6.)

Untuk memperoleh tinggi kolom Z,

dipengaruhi oleh laju alir fasa

terdispersi Ud, konsentrasi zat terlarut

dalam fasa terdispersi Cd, luas

terjadinya kontak untuk pindah massa

ai dan koefidien pindah massa fasa

terdispersi kd. Koefisien pindah

massa fasa terdispersi kd diperoleh

korelasinya dari para peneliti

terdahulu.

dt

dCzAdZCCakCAUCAU c

cicczzcczcc )(

ddiidd

d CCakdz

dCU

cicicc

c CCakdz

dCU

din

dout

c

C ddi

d

id

d

CC

dC

ak

UZ

Page 76: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

72

Model koefisien pindah massa

Model koefisien pindah massa

sangat dipengaruhi oleh rejim aliran.

Rejim aliran dipengaruhi oleh

bilangan Reynoldnya. Ada tiga

keadaan bilangan Reynold yang

menyebabkan perbedaan rejim aliran

khususnya di fasa terdispersi yang

juga mempengaruhi pergerakan

tetesan didalam kolom isian.

Perbedaan itu dinyatakan dengan

1. Gelembung diam

bilangan reynold gelembung

kurang dari 10

gelembung bergerak di bawah

kecepatan turbulennya.

Pergerakan gelembung ke

atas diam tidak bergerak baik

berotasi maupun berosilasi.

2. Gelembung bersirkulasi

Bilangan reynold gelembung

antara 10-200.

Laju pergerakannya di bawah

kecepatan maksimum

Gelembung bergerak sambil

berotasi terhadap porosnya

3. Gelembung berosilasi

Bilangan reynold gelembung

lebih dari 200

Di dalam pergerakannya ke

atas, gelembung mengalami

kembang kempis.

Mekanisme pergerakan

gelembung yang berosilasi

disebabkan oleh adanya

vortex, yaitu ada gerakan ke

arah .

Osilasi yang normal tidak

menyebabkan gelembung

pecah.

Kecepatan jatuhnya

gelembung berosilasi tidak

berdampak pada frekuensi

osilasi.

Fasa dispersi mempunyai

pengaruh yang kecil terhadap

osilasi, kecuali jika

viskositasnya sangat tinggi.

Osilasi oblate-prolate tidak

menyebabkan gelembung

pecah ketika ukuran

gelembung di bawah

maksimum.

Secara keseluruhan model pindah

massa berdasarkan bilangan

Reynoldnya ditabelkan berikut ini

Page 77: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

73

Tabel 1. Model koefisien pindah massa berdasar pada bilangan Reynold

Pada penelitian ini dipilih

koefisien pindah massa gabungan

HB-GFT (Handloss-Baros – Garner

Foord Tayeban), difasa terdispersi

dan fasa kontinyu. Pemilihan ini atas

dasar kenyataan bahwa tetesan

tidaklah stagnant tapi terus bergerak

sepanjang kolom isian. Dengan

memvariasikan laju alir fasa

terdispersi diharapkan model

gabungan ini mampu untuk

menghitung koefisien pindah massa

dikedua fasa tersebut. Untuk

menghitung tinggi kolom Z

diperhitungkan dengan koefisien

pindah massa secara keseluruhan.

Koefisien pindah massa keseluruhan

(Ko, over all) diperoleh dengan

menggabungkan kedua koefisien

pindah massa dikedua fasa.

Koefisien pindah massa keseluruhan

bisa dinyatakan dengan basis fasa

kontinyu maupun basis fasa

terdispersi. Untuk basis fasa kontinyu

dinyatakan dengan persamaan

(7.)

Keadaan tetesan

Reynold tetesan

Model koefisien perpindahan massa

fasa terdispersi

Model koefisien perpindahan massa fasa kontinyu

Stagnan (diam)

Re < 10

Treybal

d

Dkd d

3

2 2

Rowe

5,05,0076,2 cec SRSh

Sirkulasi

10 < Re < 200

Kroning dan Brink (KB)

dd Dk 9,17

Handlos dan Baron (HB)

c

d

d

Uk

1

.00375,0

Garner Foord Tayeban (GFT)

5,05,08,112645,0 cec SRSh

Higbie

4 cc

c

D Uk

d

Osilasi

Re > 200

Rose Kintner (RK)

5,045,0 dd Dk

Angelo – Lightfoot

014

d

d

Dk

Garner – Tayeban (GT)

7,00085,050 cec SRSh

dcoc mkkK

111

Page 78: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

74

Sedangkan untuk fasa terdispersi dengan perssamaan (8.) dengan

(9.) Eksperimen

Eksperimen untuk validasi

model yang diusulkan, dilakukan

dalam kolom berbentuk silinder yang

diisi dengan bola kaca sebagai bahan

isian. Kolom memiliki sampling port

pada jarak ketinggian yang pendek,

sehingga dimungkinkannya diperoleh

profil konsentrasi zat terlarut baik di

fasa dispersi maupun di fasa

kontinyu. Dalam eksperimen ini,

divariasikan laju alir cairan fasa

terdispersi dan fasa kontinyu

(pengamatan pada berbagai rejim

aliran). Variasi laju alir ditabelkan

berikut ini

Tabel 2. Variasi laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi

Jenis Packing No Fc Fd

Run (cm3/s) (cm

3/s)

1 1,929 4,545

2 3,858 4,545

3 5,787 4,545

Bola Kaca 4 1,929 9,09

5 3,858 9,09

6 5,787 9,09

7 1,929 13,635

8 3,858 13,635

9 5,787 13,635

cdod k

m

kK

11

ddi

cci

CC

CCm

*

Page 79: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

75

Hasil dan pembahasan Koefisien pindah massa fasa kontinyu kc Gambar 4. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah

massa fasa kontinyu kc

Koefisien perpindahan massa

fasa kontinyu diambil dari model yang

dikembangkan oleh Garner Foord

Tayeban dengan penghertian bahwa

di dalam kolom isian fasa kontinyu

akan mengalir mememenuhi kolom

beserta isiannya dan mengalir

kebawah. Selama dalam perjalanan

mengalir kebawah dalam kolom

bertemu dengan fasa terdispersi yang

mengalir naik dengan bentuk tetes-

tetes fasa terdispersi. Saat

bertemunya fasa kontinyu dan fasa

dispersi disitulah terjadinya

perpindahan massa. Perpindahan

massa dari fasa terdispersi ke fasa

kontinyu dipengaruhi oleh waktu

kontak yang terjadi. Pengaruh laju alir

kedua fasa dalam peristiwa pindah

massa fasa kontinyu disampaikan

dalam Gambar 4.

Koefisien pindah massa fasa

kontinyu lebih dominan dipengaruhi

oleh laju alir fasa kontinyu.

Perubahan laju alir kedua fasa

menyebabkan perubahan pada

koefisien pindah massanya.

Perubahan yang terjadi senantiasa

sama (berimpit). Keadaan ini

disebabkan pada fasa terdispersi

tidak atau sedikit sekali mengandung

sat yang bisa berpindah dari fasa

terdispersi ke fasa kontinyu.

0.0400

0.0450

0.0500

0.0550

0.0600

0.0650

0.0700

0.0750

0.0800

0.0850

0.0900

1 2.25 3.5 4.75 6

kc c

m/s

Fc cm3/s

Fd = 4,54 cm3/s Fd = 9,09 cm3/s Fd = 13,63 cm/s

Page 80: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

76

Koefisien pindah massa fasa terdispersi

Gambar 5. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah

massa fasa terdispersi kd

Koefisien pindah massa fasa

terdispersi diambil dari model yang

dikembangkan oleh Handlos-Baron

dengan asumsi bahwa di dalam tetes

terjadi sirkulasi penuh, yaitu kondisi

tetes mendekati tetes berosilasi. Oleh

karena itu perpindahan massa secara

difusi jauh lebih besar daripada

perpindahan secara molekuler.

Korelasi ini memperhitungkan

parameter viskositas dan kecepatan

tetesan sehingga keberlakuan model

ini lebih tepat pada gelembung

bersirkulasi dengan rentang bilangan

Reynold, Re :10-200.

Pada Gambar 5 menunjukkan

perubahan laju alir kedua fasa

menyebabkan perubahan pada

koefisien pindah massa fasa

terdispersi. Koefisien pindah massa

fasa terdispersi sangat dipengaruhi

oleh laju alir kedua fasa dalam kolom

isian. Semakin tinggi laju alir salah

satu fasa atau bahkan keduanya

membuat koefisien pindah massanya

menurun. Sebab pada laju alir yang

tinggi terjadi turbulensi pada aliran

yang menyebabkan perubahan

bilangan Reynold. Perubahan

bilangan Reynold berarti terjadi

perubahan rejim aliran, perubahan

rejim aliran menyebabkan model

koefisien perpindahan massa dari

Handlos-Baron tidak akurat lagi,

sebab model ini hanya bisa akurat

pada rentang bilangan Reynold 10 –

200 saja. Laju alir yang lebih lambat

menyebabkan aliran yang laminer,

0.0206

0.0208

0.0210

0.0212

0.0214

0.0216

0.0218

0.0220

0.0222

0.0224

1 2.25 3.5 4.75 6

kd

cm

/s

Fc cm3/s

Fd = 4,54 cm3/s Fd = 9,09 cm3/s Fd = 13,63 cm3/s

Page 81: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

77

aliran laminer bilangan Reynoldnya

kecil.

Koefisien pindah massa

keseluruhan Kod

Koefisien pindah massa

keseluruhan dapat dinyatakan dalam

basis fasa kontinyu ataupun fasa

terdispersi. Pada penelitian ini

dinyatakan dalam basis fasa

terdispersi, Kod. Koefisien

perpindahan massa keseluruhan

merupakan gabungan model HB-GFT

(Handloss Baros – Garner Foord

Tayeban). Model ini berlaku akurat

pada rentang bilangan Reynold 10 –

200. Koefisien pindah massa

keseluruhan dapat didefinisikan

berdasarkan teori dua lapisan.

Berdasarkan teori dua lapisan, fluks

perpindahan massa zat terlarut dari

fasa kontinyu ke lapisan batas sama

dengan perpindahan massa zat

terlarut dari lapisan batas ke fasa

terdispersi. Keadaan ini bisa diikuti

pada Gambar 6 Pada laju alir fasa

kontinyu yang lebih rendah koefisien

pindah massa mempunyai nilai

besar, namun pada laju alir yang

lebih cepat koefisien pindah

massanya menurun. Perubahan nilai

kosfisien pindah massa karena

perubahan laju alir fasa terdispersi

hampir selalu berimpit hal ini

disebabkan karena perpindahan

massa zat terlarut dari fasa kontinyu

ke lapisan batas sama dengan

perpindahan massa zat terlarut dari

lapisan batas ke fasa terdispersi

Page 82: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

78

Gambar 6. Pengaruh laju alir fasa kontinyu dan fasa terdispersi terhadap koefisien pindah massa keseluruhan Kod

Perhitungan tinggi kolom, Z

Gambar 7. Tinggi kolom Z pada berbagai bilangan Reynold

Tinggi kolom dihitung dengan

menggunakan model koefisien pindah

massa keseluruhan gabungan dari

model HB-GFT (Handloss-Baros –

Garner Foord Tayeban) untuk

berbagai rejim aliran yang dinyatakan

dengan bilangan Reynold. Gambar 7

menjelaskan perihal perbandingan

0.0160

0.0170

0.0180

0.0190

0.0200

0.0210

0.0220

0.0230

0.0240

0.0250

1 2.25 3.5 4.75 6

Ko

d c

m/s

Fc cm3/s

Fd = 4,5 cm3/s Fd = 9,09 cm3/s Fd = 13,63 cm3/s

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

4.50

0 0.02 0.04 0.06

Zh

itu

ng

/Zn

yata

K(od)

Re = 35 ; Run 1, 4, 7 Re = 70 ; Run 1, 4, 7 Re = 175 ; Run 1, 4, 7

Re = 350 ; Run 1, 4, 7 model Re = 35 model Re = 70

model Re = 175 model Re = 350

Page 83: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

79

tinggi kolom perhitungan

menggunakan model koefisien pindah

massa gabungan HB-GFT (Handloss-

Baros – Garner Foord Tayeban)

dengan tinggi nyata. Perubahan

bilangan Reynold atau rejim aliran

menyebabkan perubahan pada

koefisien pindah massa fasa

terdispersi dan kontinyu serta koefisien

pindah massa keseluruhan. Sebagai

akibatnya pada perhitungan tinggi

kolom memberikan hasil yang tidak

akurat. Pada bilangan Reynold

berkisar 35 sampai 175 masih

memberikan hasil yang sesuai namun

pada bilangan Reynold 375

perhitungan sudah melambung tinggi,

ini menunjukkan model gabungan HB-

GFT (Handloss-Baros – Garner Foord

Tayeban) tidak cocok bila digunakan

pada bilangan Reynold diatas 200.

Kesimpulan

Untuk meramalkan atau

mernghitung tinggi kolom dengan rejim

aliran yang relatif laminer model

koefisien pindah massa gabungan HB-

GFT (Handloss-Baros – Garner Foord

Tayeban) lebih cocok digunakan.

Untuk rejim yang lebih turbulen perlu

model koefisien pindah massa yang

lain.

Daftar notasi

d = diameter tetesan, mm

dvs = diameter rata-rata tetesan,

mm

Re = bilangan Reynold.

Sc = bilangan Schmidt.

Sh = bilangan Sherwood.

U = laju alir, cm3/dtk

ε = fraksi kosong packing dalam

model angelo-light foot.

kc = koefisien pindah masssa fasa

kontinu, cm/dtk

kd = koefisien pindah masssa fasa

dispersi, cm/dtk

m = koefisien distribusi

kesetimbangan.

Koc = koefisien pindah massa

keseluruhan basis fasa kontinyu,

cm/dtk

Kod = koefisien pindah massa

keseluruhan basis fasa terdispersi,

cm/dtk

ω = kecepatan angular.

v = kecepatan fasa kontinu.

cm/dtk

ρ = massa jenis fasa kontinu,

g/cm3

μ = viskositas cairan, cP

σ = tegangan antar muka,

dyne/cm

Page 84: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGARUH REJIM ALIRAN TERHADAP MODEL KOEFISIEN PINDAH MASSA PADA PROSES EKSTRAKSI CAIR-CAIR DALAM KOLOM ISIAN

80

c = fasa kontinu.

d = fasa dispersi.

Z = tinggi kolom, m

Bn = konstanta model kronig-brink.

g = percepatan gravitasi.

Daftar Pustaka

Laddha, G.S. , Degaleesan, T.E.

“Transport Phenomena ini Liquid

Extraction”, Mc Graw Hill, New York,

1978.

Mansyur, Y. dan Hervianto, B.C.

“Hidrodinamika Kolom Isian untuk

Proses Ekstraksi Cair-Cair”,

Thesis ITB, 2004.

Putranto, Aditya, “Kajian

Hidrodinamika Ekstraksi Cair-Cair

pada kolom Isian”, Thesis ITB,

2004.

Treyball, “Liquid-liquid Extraction”, Mc

Graw Hill, New York, 1950.

Treyball, “Mass Transfer Operations”,

Mc Graw Hill, New York, 1980

Page 85: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

81

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM

(ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN

SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU

BERKATEKIN TINGGI

Mega Kasmiyatun Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Untag Semarang

Jl. Pawiyatan Luhur, Bendan Dhuwur Semarang, tilp. (024)8310920

ABSTRAK

Katekin (C6H6O2) dalam teh adalah komponen utama yang menentukan mutu, baik cita rasa, kenampakan, maupun warna air seduhan. Katekin merupakan kerabat tanin terkondensasi yang sering disebut polifenol, mempunyai manfaat bagi kesehatan manusia. Untuk menghasilkan teh hijau dengan kadar katekin tinggi perlu proses pengeringan pada suhu rendah supaya senyawa polifenol tidah berubah menjadi theaflavin dan isomer-isomernya. Jenis pengering Endless Chain Vacuum (ECV) merupakan alat yang dapat dipakai untuk tujuan ini. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Membuat rancang bangun alat pengering ECV yang dapat mereduksi kandungan air, menginaktivasi enzimatis, dan menghindari peristiwa epimerisasi katekin untuk produksi teh hijau berkatekin tinggi; (2) Uji eksperimetal alat pengering ECV untuk mengkaji pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap kandungan air dan katekin dalam teh hijau yang dihasilkan; dan (3) Menyusun model empirik laju pengeringan dari pengering ECV. Langkah penelitian meliputi: Perancangan dan pabrikasi alat pengering ECV; Uji eksperimental alat pengering untuk mengetahui seberapa jauh kinerja pengering EVC melalui pengkajian pengaruh temperatur, laju alir udara panas, dan waktu tinggal terhadap kandungan air dan katekin yang dihasilkan; pemodelan dan uji model. Hasilnya menunjukkan bahwa rancang bangun alat pengering ECV mampu mengeringkan teh hijau dengan kadar katekin 14,57%. Temperatur dan lajualir udara pengering berpengaruh pada kurve laju pengeringan atau waktu pengeringan, sedangkan waktu tinggal berpengaruh pada proses pengeringan ECV dan hasil katekin yang didapat. Disamping itu, dihasilkan model matematis yang menunjukkan hubungan antara berat daun teh sebagai fungsi waktu pengeringan, dimana dari uji validasi model menunjukkan tingkat ketepatan yang cukup baik. Kata kunci : Endless Chain Vacuum, katekin, pengeringan, teh hijau.

I. PENDAHULUAN

Teh sebagai bahan minuman

penyegar dan menyehatkan

merupakan salah satu komoditi

unggulan perkebunan Indonesia. Areal

teh Indonesia seluas 157.000 ha terdiri

atas 54% perkebunan rakyat, 24%

perkebunan besar negara, dan 22%

perkebunan besar swasta. Pasar teh

dunia dibayangi gejala kelebihan

pasokan dan biaya produksi yang

cenderung meningkat, mengharuskan

para produsen teh untuk meningkatkan

daya saing dan nilai tambah. Akhir-

akhir ini, aspek kesehatan teh disorot

Page 86: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

82

tajam sejalan dengan kecenderungan

masyarakat mengkonsumsi makanan

atau minuman substitusi sebagai

imbangan diet kaya lemak dan

kolesterol (Yulianto dkk., 2005; Utami

dkk., 2005).

Senyawa Katekin (C6H6O2) dalam teh

merupakan komponen utama dalam

teh yang mendominasi sekitar 30%

berat kering. (Bokuchava dan

Skobeleva, 1969; Lunder, 1989;

Graham, 1992; Price dan Spitzer,

1993; Wang dan Helliwell, 2000).

Katekin adalah kerabat tanin

terkondensasi yang sering disebut

polifenol karena banyaknya gugus

fungsi hidroksil yang dimilikinya.

Katekin merupakan senyawa utama

yang menentukan mutu, baik cita rasa,

kenampakan, maupun warna air

seduhan (Graham, 1992).

Kandungan katekin pada pucuk

tanaman teh (Camellia sinensis)

varietas assamica lebih banyak

dibandingkan varietas sinensis

(Yamanashi, 1995). Namun demikian,

varietas sinensis memiliki aroma yang

lebih baik karena memiliki kandungan

asam amino lebih tinggi. Tanaman teh

yang dibudidayakan di Indonesia

hampir 100% merupakan varietas

assamica. Pucuk teh yang dihasilkan

80% diolah menjadi teh hitam,

sedangkan sisanya diolah menjadi teh

hijau. Teh hitam lebih sedikit

mengandung katekin daripada teh

hijau karena dalam proses pengolahan

teh hitam dirancang agar katekin

mengalami oksidasi untuk

memperbaiki warna, rasa, dan

aromanya.

Efek menyehatkan pada teh terletak

pada senyawa katekin yang

dikandungnya (Copeland et al., 1998;

Wanasundara dan Shahidi, 1998;

Zandi dan Gordon, 1999; Nwuha et al.,

1999; Wang dan Helliwell, 2000; dan

Sava et al., 2001). Penelitian dengan

teh hijau Jepang menunjukkan bahwa

katekin mempunyai banyak manfaat

yaitu dapat mengurangi resiko

terjangkitnya kanker, menjaga

kesehatan jantung, bersifat anti

oksidan, anti mikroba, dan bahkan

mampu memperpanjang masa

menopouse (Oguni, 1993; Bruneman,

1991; Chen, 1991; Fujiki, 1991; Fung,

1991; Hayatsu, 1991). Menurut

Bambang (1995, 1996) kandungan

katekin pada daun teh Indonesia lebih

banyak dibanding katekin daun teh

Jepang, sehingga teh Indonesia

diduga mempunyai daya potensi

menyehatkan lebih tinggi. Keunggulan

Page 87: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

83

ini membuka peluang bagi industri teh

Indonesia untuk memproduksi teh

hijau berkatekin tinggi sebagai bahan

baku preparat katekin dan functional

food yang mulai populer

pemakaiannya dewasa ini.

Pengolahan teh hijau pada prinsipnya

dilakukan dengan menginaktifkan

enzim polifenol oksidase, yaitu dengan

cara steaming (pemberian uap panas)

dan cara panning (penggarangan).

Teknologi inaktivasi enzim polifenol

dengan pemberian uap panas lebih

banyak memiliki keunggulan.

Meskipun demikian, untuk

menghasilkan teh hijau yang siap

dikonsumsi dengan kadar katekin

tinggi dan kadar air sekitar 2 – 3%,

masih diperlukan tahapan proses

lanjut yaitu pengeringan, di mana

selain mengurangi kadar air juga untuk

menghentikan proses oksidasi

enzimatik polifenol apabila masih

terdapat enzim yang masih aktif (Utami

dkk., 2005).

Selama ini untuk pengolahan teh hijau,

menggunakan jenis pengering

fluidized bed drier (FBD). Pengering ini

masih bersifat konvensional, karena

memerlukan kecepatan udara

pengering cukup tinggi (0,5 – 0,75

m/s), ukuran dan densitas bahan

terbatas, tidak cocok untuk bahan

yang mudah menggumpal (lengket),

dan produk teh hijau yang dihasilkan

memiliki kadar air relatif tinggi. Kadar

air yang masih tinggi ini,

memungkinkan terjadinya proses

oksidasi enzimatik polifenol, yang

mengakibatkan kadar katekin teh hijau

yang dihasilkan relatif rendah. Untuk

itu perlu dicari alternatif jenis

pengering lain, yaitu dengan

menggunakan Endless Chain Pressure

(ECP) Drier.

Studi fundamental tentang ECP telah

dilakukan pada skala laboratorium

dengan kajian perpindahan panas dan

massa. Hasil telaah menunjukkan

bahwa ECP sangat potensial dalam

menginaktifkan enzim polifenol

oksidase dan mereduksi kandungan

air, sehingga dihasilkan teh hijau

berkatekin tinggi (Utami dkk., 2005;

Setiawan dkk., 2007). Meskipun

demikian, ternyata masih ada masalah

yaitu terjadinya peristiwa epimerisasi

katekin menjadi isomer-isomer seperti

produk intermediet theaflavin dan

degradasi termal katekin. Hal ini terjadi

karena temperatur pengering yang

relatif tinggi, sehingga menyebabkan

senyawa-senyawa polifenol berubah

menjadi theaflavin dan isomer-

Page 88: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

84

isomernya. Akibatnya, kadar katekin

(senyawa polifenol) teh hijau yang

dihasilkan relatif berkurang. Atas dasar

itulah proses pengeringan sebaiknya

dilakukan pada temperatur yang relatif

rendah dengan cara pemvakuman

atau merendahkan tekanan operasi

alat pengering, sebagaimana yang

bterjadi pada alat pengering jenis ECV.

Keunggulan pengering ECV adalah:

luas permukaan kontak bahan dengan

udara panas lebih besar, laju

perpindahan panas dan massa lebih

besar, medium pengering besar

sehingga kapasitas pengeringannya

besar, suhu sepanjang hamparan

seragam sehingga peristiwa case

hardening pada teh jarang terjadi, dan

gesekan antar partikel teh relatif

kecil.Selain itu, peristiwa epimerisasi

katekin dan degradasi termal

kemungkinan dapat dihindari (Utami

dkk., 2005; Setiawan dkk., 2007).

Atas dasar keunggulan-keunggulan

tersebut, maka perlu penelaahan

pengering ECV dalam mereduksi

kandungan air, menginaktivasi enzim

polifenol, dan mencegah peristiwa

epimerisasi katekin serta degradasi

termal, agar diperoleh produk teh hijau

berkatekin tinggi. Kajian dititikberatkan

pada perancangan pengering ECV dan

kondisi proses yang optimum, yaitu:

(1) Membuat rancang bangun alat

pengering ECV ; (2) Uji eksperimetal

alat pengering ECV untuk mengkaji

pengaruh temperatur, laju alir udara

panas, dan waktu tinggal terhadap

kandungan air dan katekin dalam teh

hijau yang dihasilkan; (3) Menyusun

model empirik laju pengeringan dari

pengering ECV.

Model Perpindahan Panas dan

Massa pada Pengeringan Daun Teh

Perpindahan panas dalam proses

pengeringan terjadi karena perbedaan

tekanan uap air dari tempat yang

berbeda. Proses tersebut mirip dengan

pindah panas akibat perbedaan

temperatur (Hall, 1971). Hasil

penelitian pada proses pengeringan

dalam pengolahan tembakau

menunjukkan bahwa untuk bahan

berstruktur seluler seperti daun

tembakau, kadar air kritis dimulai pada

periode laju pengeringan menurun

cukup tinggi, sehingga seluruh

penelitian mengenai pengeringan

hanya dilakukan pada periode laju

menurun, dengan perpindahan massa

yang dikendalikan oleh mekanisme

difusi (Legros, et al., 1994). Proses

pengolahan teh hijau menggunakan

Page 89: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

85

bahan dasar daun teh yang juga

berstruktur seluler, sehingga

diperkirakan fenomena yang akan

terjadi pada proses pengeringan teh

hijau juga akan didominasi oleh

mekanisme difusi.

Dalam penelitian ini, teh

diasumsikan berbentuk slab (lempeng

dengan panjang tak berhingga) karena

tebal teh jauh lebih kecil dari

diameternya. Pengeringan bahan

berbentuk lempeng tak berhingga

dapat diterangkan dengan persamaan

kontinuitas (1) dari benda berbentuk

lempeng dengan kerapatan dan

koefisien difusivitas yang konstan

(Incropera dan DeWitt, 1990; dan

Sanjuan et al., 1999).

2

2

2

2

2

2

z

M

y

M

x

MD

t

M

(1)

Jika bentuk lempeng tak berhingga,

difusi air hanya dianggap terjadi

kearah sumbu x, berarti 0

z

M

y

M ,

sehingga Pers.(1) dapat disederhana-

kan menjadi:

2

2

x

MD

t

M

(2)

(2)

Persamaan 2 adalah persamaan

diferensial parsial yang memerlukan

kondisi awal dan kondisi batas.

Berdasarkan fenomena yang terjadi,

syarat batas dapat ditetapkan sebagai

berikut:

Kondisi awal, M(x, 0) = Mo

(3)

Kondisi batas

0,2

t

LM

(4)

M(-x, t) = M(x, t)

(5)

Dengan menggunakan metode

pemisahan variabel, diperoleh

penyelesaian persamaan difusi:

12

222

1

212exp

12

18

n

n

eo

et

L

Dtn

nMM

MM

(6)

Penyelesaian persamaan (6) dalam

bentuk deret dinyatakan oleh Crank,

1975; Henderson dan Perry, 1976; Mc-

Cabe et al., 1993; Bird et al., 1994

sebagai berikut:

..........25

1

9

18 .25.9.

2

222

tL

DtL

DtL

D

eo

et eeeMM

MM

(7)

Page 90: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

86

Suku yang dominan dari Pers (7)

adalah suku pertama. Suku-suku lain

hanya akan berpengaruh pada nilai t

yang sangat kecil, [ 1,0 4

2

L

Dt ] (Mc-

Cabe, et al., 1993). Dengan demikian,

hampir seluruh nilai t Persamaan 16

dapat disederhanakan menjadi,

tk

eo

et eMM

MM .

2

8

(8)

(18)

dengan :

k = D(/L)2

(9)

Persamaan (8) diselesaikan dengan

cara numerik dan dapat digunakan

untuk menghitung nilai difusivitas

massa D.

II. EKSPERIMENTAL

2.1 Kerangka Penelitian

Penelitian tentang inaktivasi enzim

polifenol oksidase dan studi de-

epimeriasasi katekin melalui proses

pengering untuk menghasilkan teh

hijau berkatekin tinggi diinvestigasi

baik secara eksperimen maupun

pemodelan, meliputi :

Perancangan dan pabrikasi prototipe

pengering ECV.

Uji eksperimental alat pengering ECV

Pengembangan model empirik dan

validasi model

Perancangan dan Pabrikasi

pengering ECV.

Perancangan dan pabrikasi alat

pengering ECV dikerjakan di

Workshop Teknik Mesin UNDIP

Semarang. (Gambar 1). Rangkaian

alat pengering yang digunakan untuk

proses inaktivasi enzim polifenol

oksidase dan de-epimerisasi katekin.

Rangkaian alat ini terdiri dari

pengering dengan pompa vakum, yang

dilengkapi dengan termokopel,

manometer yang terhubung dengan

komputer dan alat pencatat waktu.

Page 91: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

87

Gambar 5. Alat pengering tipe

Endless Chain Vacuum (ECV)

n panas dan massa proses

pengeringan berdasarkan kajian

teoritis, studi fundamental pada

banyak penelitian sebelumnya, yang

dilakukan di Laboratorium Komputasi

Proses Teknik Kimia Fakultas Teknik

UNTAG. Model yang dipostulasi,

kemudian diturunkan untuk

memperoleh persamaan yang nantinya

akan diuji dengan menggunakan data

yang diperoleh dari eksperimental.

2.2 Bahan Penelitian

Bahan utama untuk penelitian berupa

daun teh yang diperoleh dari Kebun

Teh PT. Rumpun Sari Medini-

Limbangan Kendal. Bahan bakar solar

dibeli dari pom bensin di Semarang.

Bahan-bahan kimia untuk keperluan

analisa diperoleh dari PT. Bratachem

Semarang.

2.3 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam

penelitian adalah pengering tipe ECV,

yang karakteristiknya tersaji pada

Tabel 1. Alat ini dilengkapi dengan

termokopel yang dihubungkan dengan

pencatat (multipoint recorder) serta

alat pencatat waktu.

Tabel 1. Lubang trays pada pengering

ECV

Mesh

ayakan

basah

LUBANG TRAYS

(mm)

Tray

atas

Tray

tenga

h

Tray

bawa

h

No. 4 3,0 2,8 2,2

No. 5 dan

6

2,2 2,0 1,8

No. 6 dan

7

2,0 2,0 1,8

Peralatan yang digunakan untuk

analisa kadar air adalah oven. Alat

High Performance Liquid

Chromatography (HPLC) digunakan

untuk keperluan analisa katekin.

Higrometer digunakan untuk mengukur

kelembaban sistem. Peralatan lain

yang digunakan adalah cawan kecil,

erlen meyer, pipet, buret, labu ukur,

serta timbangan analitis.

Page 92: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

88

2.4 Variabel Proses

Variabel penelitian yang divariasikan

adalah suhu (80, 85 dan 90oC), laju alir

udara panas (15, 20, dan 30 l/menit).

Suhu divariasikan pada rentang

tersebut, karena merupakan suhu

inaktivasi enzim polifenol oksidase.

Tekanan ditetapkan, 60 mmHg, karena

merupakan kondisi tidak terjadi

epimerisasi katekin dan degradasi

termal katekin. Kecepatan belt

pengering ECV divariasi antara 4,2

sampai 9,2 cm/menit.

2.5 Prosedur Penelitian

Daun teh yang berasal dari proses

steaming serta penggilingan,

dimasukkan kedalam pengering ECV

dan dipanaskan dengan udara panas

dalam keadaan vakum dengan tujuan

mengurangi kadar air, menginaktifkan

enzim polifenol oxidase, de-

epimerisasi katekin dan mencegah

degradasi katekin pada berbagai

variabel. Proses pengeringan

berlangsung selama 20 menit. Sampel

tiap interval 2 menit diambil, dan

diukur kadar katekin serta kadar

airnya. Hasil pengukuran digunakan

sebagai data untuk memvalidasi model

yang telah disusun. Dari data-data

yang telah diukur, digunakan sebagai

input untuk membangun model dalam

bentuk persamaan empiris dengan

menggunakan program Matlab.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengeringan adalah penurunan kadar

air bahan sampai batas tertentu

sehingga bahan tersebut bebas dari

serangan mikrobia, enzim, dan insekta

yang merusak. Sebagai media

pembawa panas dan massa uap

biasanya digunakan udara dengan

entalpi dan tekanan uap tertentu.

Udara yang dipanaskan menyediakan

panas untuk memenuhi kebutuhan

panas sensibel dan panas latent

penguapan air dari bahan. Panas yang

dibutuhkan dalam pengeringan

bertujuan untuk menaikkan suhu

bahan (panas sensibel) dan untuk

penguapan massa uap air (panas

latent penguapan). Panas dipasok dari

udara panas dengan entalpi tertentu,

dan uap dihantarkan ke udara dengan

tekanan uap parsial tertentu, kemudian

dibawa oleh aliran udara secara

konveksi.

3.1 Pengaruh Lama Pengeringan

Gambar 2. menunjukkan hubungan

waktu pengeringan terhadap kadar air

teh hijau pada berbagai suhu. Semakin

Page 93: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

89

lama pengeringan, kadar air teh hijau

semakin menurun. Hal ini terjadi,

karena semakin lama waktu

pengeringan menyebabkan kontak

udara panas dengan teh hijau lebih

lama, sehingga laju perpindahan

panas meningkat, akibatnya air yang

berada dalam daun teh relatif banyak

yang menguap. Begitu pula dengan

suhu pengeringan, semakin besar

suhu menyebabkan persentase kadar

air semakin menurun. Hal ini sesuai

pernyataan Leniger dkk (1975), yang

menyebutkan bahwa laju pengeringan

teh dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu

suhu, kelembaban dan kecepatan

aliran udara.

Gambar 2. Grafik perubahan kadar air

terhadap waktu pada berbagai suhu

3.2 Kurve Laju Pengeringan

Kurve laju pengeringan merupakan

hubungan antara laju pengeringan (N)

dan fraksi moisture (X) dalam bahan

(dalam basis kering). Laju pengeringan

adalah berat air (kg) yang diuapkan

setiap satuan waktu (jam), setiap

satuan luas (m2). Gambar 3

menunjukkan hasil kurve laju

pengeringan dari daun teh hijau pada

suhu 80, 85, dan 90 oC, dengan laju

alir udara tetap sebesar 15 liter/menit.

Ketiga kurve tersebut mempunyai pola

yang sama yaitu mempunyai constant

drying rate dan falling drying rate

periods. Makin tinggi temperatur

pengeringan, makin besar harga laju

pengeringan konstan, makin pendek

periodenya, dan makin besar harga

critical moisture content nya. Hal ini

dapat dipahami karena makin tinggi

suhu media pengering maka lebih

kalor atau panas sensibel yang

dikandungnya, sehingga lebih banyak

panas yang dipindahkan ke bahan

basah untuk menguapkan airnya

(sebanyak panas latennya). Akibatnya

harga laju pengeringannya menjadi

besar.

0

10

20

30

40

50

60

0 10 20 30 40 50 60

Waktu Pengeringan (menit)

Ka

da

r a

ir (

%)

80 oC

85 oC

90 oC

0

1

2

3

4

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

Kadar moisture (X)

La

ju p

en

ge

rin

ga

n

(kg

/ja

m.m

2)

80 oC 85 oC 90 oC

Page 94: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

90

Gambar 3. Kurve laju pengeringan pada berbagai temperatur (laju alir udara pengering 15 liter/menit)

Dari kurve laju pengeringan ini juga

dapat diketahui kadar air pada kondisi

kesetimbangan (equilibrium moisture

content) untuk daun teh hijau sebesar

0,02 %, di mana harga ini sama untuk

ketiga temperatur percobaan.

Perbedaan kurve laju pengeringan

untuk suhu 80 oC dan 85 oC cukup

signifikan, sedangkan untuk suhu 85

oC dan 90 oC perbedaannya tidak

begitu nyata. Oleh karena itu suhu 85

oC merupakan suhu yang optimal.

Gambar 4 menunjukkan hasil kurve

laju pengeringan dari daun teh hijau

pada laju alir udara pengering 15, 20,

dan 30 liter/menit, dengan suhu tetap

85 oC. Sebagaimana seperti Gambar

5.3, ketiga kurve juga mempunyai pola

yang sama yaitu mempunyai constant

drying rate dan falling drying rate

periods. Makin tinggi laju alir udara

pengering, makin besar harga laju

pengeringan konstan, makin pendek

periodenya, dan makin besar harga

critical moisture content nya. Hal ini

dapat dipahami karena makin tinggi

laju alir udara pengering pada suhu

yang sama, maka makin besar

massanya panas sensibel yang

dikandungnya juga semakin tinggi.

Kurve laju pengeringan untuk laju

udara 20 liter/menit dan 30 liter/menit

hampir berimpit, sehingga laju alir

udara 20 liter/menit merupakan laju alir

yang optimum.

Gambar 4. Kurve laju pengeringan pada berbagai laju alir udara pengering (temperatur 85 oC).

3.3. Kadar Katekin dan Kadar Air

Gambar 5 menunjukkan hubungan

antara waktu tinggal bahan di dalam

pengering ECV terhadap kadar katekin

dan kadar air teh hijau yang dihasilkan.

Kadar katekin terbesar dicapai pada

waktu tinggal 3000 detik yaitu sebesar

14,6 %. Makin lama waktu tinggal,

kadar katekin mengalami kenaikan,

dan sampai batas waktu tertentu

mencapai harga maksimum dimana

apabila waktu tinggal ditambah maka

kadar katekinnya justru mengalami

penurunan.

0

1

2

3

4

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

Kadar moisture (X)L

aju

pe

ng

eri

ng

an

(kg

/ja

m.m

2)

15 l/menit 20 l/menit 30 l/menit

Page 95: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

91

Gambar 5. Pengaruh waktu tinggal di pengering ECV terhadap kadar katekin dan moisture pada teh yang dihasilkan.

Dengan makin lamanya waktu tinggal

akan menyebabkan pemanasan lanjut

sehingga sebagian katekin akan

mengurai. Namun tidak demikian

dengan kadar airnya, yang

menunjukkan kalau waktu tinggal

diperbesar maka kadar air teh hijau

akan turun.

3.4 Model Matematis Laju Pengeringan Teh Hijau

Nilai koefisien pengeringan dan faktor

bentuk bahan diperoleh berdasarkan

nilai kadar air awal bahan (%bk), kadar

air keseimbangan bahan (%bk), kadar

air bahan selama proses pengeringan

(%bk), dan waktu pengeringan (menit)

dengan menggu-nakan metode

kuadrat terkecil, sehingga model laju

pengeringan seperti pada persamaan

(8) dapat terbentuk.

Nilai koefisien pengeringan, faktor

bentuk bahan, dan model matematis

laju pengeringan teh dapat dilihat pada

Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa

model matematis memiliki nilai

koefisien pengeringan dan faktor

bentuk bahan yang berbeda pada

masing-masing perlakuan. Hal ini

disebabkan faktor suhu dan

kelembaban udara selama

pengeringan sangat berpengaruh pada

desorpsi teh sehingga terjadi

perbedaan nilai tersebut.

0

4

8

12

16

20

0 1000 2000 3000 4000

Waktu tinggal (detik)

Ka

da

r (%

w/w

)

KATEKIN

H2O

Page 96: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

92

Tabel 2. Model matematika laju pengering-an teh hijau dengan pengering ECV

SUHU

(OC)

KOEFISIEN

PENGERINGAN

FAKTOR BENTUK

BAHAN

MODEL MATEMATIS

80 0,6767 3,6451 t

eo

et eMM

MM 6767.0.6451.3

85 0,6905 3,8318 t

eo

et eMM

MM 6905.0.8318.3

90 0,8655 4,6776 t

eo

et eMM

MM 8655.0.6776.4

Pengujian Terhadap Model

Pengujian terhadap model laju

pengeringan teh, dimaksudkan untuk

mengetahui keabsahan (kesahihan)

model dalam kaitannya sebagai

formula untuk memprediksi laju

pengeringan teh pada alat pengering

tipe ECP drier Hasil pengujian dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengujian terhadap

model

SUH

U

(OC)

MODUL

US

DEVIASI

TINGKAT

KETEPATA

N *)

R2

90 5,78 Tepat 0,95

95 4,34 Sangat tepat 0,96

100 6,12 Tepat 0,94

Keterangan: *) 0 – 5 = sangat tepat, 5

– 10 = tepat, 0 = tidak tepat

Dari hasil pengujian, terlihat bahwa

model matematik yang diperoleh,

dapat memberi gambaran pengeringan

yang sesungguhnya pada alat

pengering ECV, sehingga dapat

digunakan untuk mengevaluasi setiap

proses pengeringan teh hijau memakai

alat pengering yang sejenis.

V. KESIMPULAN

Temperatur dan lajualir udara

pengering berpengaruh pada kurve

laju pengeringan atau waktu

pengeringan, sedangkan waktu tinggal

berpengaruh pada proses pengeringan

ECV dan hasil katekin yang didapat.

Page 97: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

93

Secara Matematis laju pengeringan

teh hijau dengan alat pengering ECV

dapat diformulasikan sebagai berikut:

t

eo

et eMM

MM 6767.0.6451.3

untuk suhu 80

oC t

eo

et eMM

MM 6905.0.8318.3

;untuk suhu 85

oC t

eo

et eMM

MM 8655.0.6776.4

;untuk suhu 90

oC

Model matematis ini cukup tepat dalam

menggambarkan laju pengeringan teh

hijau dengan ECV dan dapat dipakai

untuk mengevaluasi setiap proses

pengeringan teh hijau memakai alat

pengering sejenis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini Penulis

menyampaikan terima kasih kepada

Direktorat Penelitian dan Pengabdian

Masyarakat (DP2M) Ditjen Dikti

Depdiknas yang telah memberi hibah

untuk biaya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Safety data for

catechin.

http://phschem.ox.ac.uk./MSDS/.

Ariahu, C. C., Adekunle, D. E., &

NKPA, N. N. 1997. Kinetics of

heat/enzymic degradation of

ascorbic acid in fluted pumpkin

(Telfairia occidentalis) leaves.

Journal of Food Processing and

Preservation, 21. 21-32.

Ariwibowo, D.,Yulianto, M.E., & Arifan,

F. 2005, Kajian perpindahan panas

proses steaming inaktivasi enzim

dalam pengolahan teh hijau.

Majalah Teknik, ke XXVII, ISSN :

0852 – 1697.

Bambang, K., dan T. Suhartika. 1995.

Potensi teh Indonesia ditinjau dari

aspek kesehatan. Lap. Hasil

Penelitian dan Pengembangan

Teknik Produksi dan Pasca Panen

Teh dan Kina. TA. 1994/1995.

Bambang, K., T. Suhartika., Supria,

dan Tanjung, S. 1996. Katekin

pucuk teh segar dan perubahannya

selama pengolahan. Hasil

Penelitian dan Pengembangan

Teknik Produksi dan Pasca Panen

Teh dan Kina. TA. 1995/1996.

Bambang,K., Abas, T., Affandi, A.,

Sumantri, S., dan Suryatmo, F. A.

2000. Rancang bangun proses teh

hijau berkadar katekin tinggi.

Laporan Akhir. Proyek Pengkajian

Teknologi Pertanian Partisipatif.

Gambung.

Bhirud, P. R., & Sosulski, F. W. 1993.

Thermal inactivation kinetics of

Page 98: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

94

wheat germ Lipoxygenase. Journal

of Food Science, 58. 1095-1098.

Bird, R. B., Stewart, W. E., & Lighfoot,

E. N. 1994. Transport phenomena.

John Wiley & Sons, Inc., London.

Brodkey, R. S., & Hershey, H. C. 1988.

Transport phenomena: A unified

approach. McGraw-Hill

International Editions. New York.

Bruneman, K. 1991. Teas and tea

components as inhibibitors of

carcinogen formation in model

system and man. Symp. Phs. And

Pahrm. Effects of Camellia

Sinensis. New York 3-5 March

1991.

Copeland, E. I., Clifford, M. N., &

Williams, C. M. 1998. Preparation

of (-)-epigallocatechin gallate from

commercial green tea by caffeine

precipitation and solvent partition.

Food Chemistry, 61. 81-87.

Crank, J. 1975. The mathematics of

diffusion. Clarendon Press. Oxford.

Daemen, A. L. H. 1981. The

destruction of enzymes and

bacteria during spray drying of milk

and whey. 1. The thermoresistance

of some enzymes and bacteria in

milk and whey with various total

solids contents. Neth. Milk Dairy J.,

35. 133-44.

Daemen, A. L. H. 1983. The

destruction of enzymes and

bacteria during spray drying of milk

and whey. 3. Analysis of the drying

process according to the stages in

which the destruction occurs. Neth.

Milk Dairy J., 37. 213-28.

Daemen, A. L. H., & van der Stege.

1982. The destruction of enzymes

and bacteria during spray drying of

milk and whey. 2. The effect of the

drying conditions . Neth. Milk Dairy

J., 36. 211-29.

Erkmen, O. 2000. Inactivation kinetics

of Listeria monocytogenes in

Turkish White cheese during the

ripening period. Journal of Food

Engineering, 46. 127-131.

Ganthavorn, C., Nagel, C. W., &

Powers, J. R. 1991. Thermal

inactivation of asparagus

lipoxygenase and peroxidase.

Journal of Food Science, 56. 47-49.

Geankoplis, C. J. 1983. Transport

processes: Momentum, heat, and

mass. Allyn and Bacon, Inc.

London.

Graham, H. N. 1992. Green tea

composition, consumption, and

polyphenol chemistry. Preventative

Medicine, 21. 334-350.

Page 99: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

95

Gregory, R., & Bendall, D. 1966. The

purification and some properties of

polyphenol oxidase from tea.

Biochem. J. 101. 569-581.

Hall, C. W. 1971. Farm drying crops.

The Avi Publ. Comp., Inc. Westport.

Connecticut.

Hanna, O. T., dan Sandal, O.C. 1995.

Computational methods in chemical

engineering. Prentice Hall. New

Jersey.

Incropera, F. P., & DeWitt, D.I. 1990.

Fundamentals of heat and mass

transfer. New York. Wiley.

Kerkhof, P. J. A. M. & Schoeber, W. J.

A. H. 1974. Theoretical modelling

of the drying behaviour of droplets

in spray driers. In Advances in

Preconcentration and Dehydration

of Foods, ed. A. Spicer, Applied

Science Publishers. London. 349-

97.

Kerkhof, P. J. A. M., & Coumans, W. J.

1990. Drying of foods: Transferring

inside insights to outside outlooks.

Paper Prensented at the 7th Int.

Drying Symp., Praque.

Kieviet, F. 1997. Modelling quality in

spray drying. PhD Thesis.

Eindhoven University of

Technology. The Netherlands.

Legros, R., Millington, M. A., & Clift, R.

1994. Drying of tobacco particles in

a mobilized bed. Drying

Technology, 12(3). 517-544.

Lievense, L. C., Verbeek, M. A. M.,

Taekema, T., Meerdink, G., & Riet,

K. V. 1992. Modelling the

inactivation of Lactobacillus

Plantarum during a drying process.

Chemical Engineering Science,

47(1). 87-97.

Luyben, K. Ch. A. M., Liou, J. K., &

Bruin, S. 1982. Enzyme

degradation during drying.

Biotechnology and Bioengineering,

XXIV. 533-552.

Martens, M., Scheerlinck, N., Belie, N.

D., & Baerdemaeker, J. D. 2001.

Numerical model for the combined

simulation of heat transfer and

enzyme inactivation kinetics in

cylindrical vegetables. Journal of

Food Engineering, 47. 185-193.

McCabe, W. L., Smith, C. S., &

Harriott, P. 1993. Unit operation of

chemical engineering. Mc. Graw-

Hill. Int. Book Co.

Meerdink, G. 1993. Drying of liquid

food droplets: Enzyme inactivation

and multicomponent diffusion. PhD

Thesis. Agricultural University

Wageningen. The Netherlands.

Page 100: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

96

Meerdink, G., & Riet, K. V. 1991.

Inactivation of a thermostable -

Amylase during drying. Journal of

Food Engineering, 14. 83-102.

M. J., Sokhansanj, S., & Tutek, Z.

1992. Determination of heat and

mass transfer coefficients in thin

layer drying of grain. American

Society of Agricultural Engineers,

35(6). 1853-1858.

Nunes, R. V., Swartzel, K. R., & Ollis,

D. F. 1993. Thermal evaluation of

food processes: the role of a

reference temperature. Journal of

Food Engineering, 20. 1-15.

Owusu, R. K., & Makhzoum, A. 1992.

Heat inactivation of lipase from

psychrotrophic Pseudomonas

fluore-scens P38: Activation

parameters and enzyme stability at

low or ultra-high temperatures.

Food Chemistry, 44. 261-268.

Popov, V. P. 1956. Oxidation of amino

acids in the presence of tannins

and polyphenols of tea. Biokhimiya.

21. 383-387.

Press., W. H., Flannery, B. P.,

Teukolsky, S. A., & Vetterling, W. T.

1989. Numerical recipes in Pascal.

Cambridge Univ. Press.

Price, W. E., & Spitzer, J. C. 1993.

Variations in the amount of

individual flavanol in a range of

green tea. Food Chemistry. 47.

Riggs, J. B. 1988. An introduction to

numerical methods for chemical

engineers. Texas Tech University

Press. USA.

Roberts, E. A. H. 1961. The nature of

the phenolic oxidation products in

manufactured black tea. Tea Quart.

33. 190-200.

Ruan, J. 2005. Quality related

constituents in tea (Camellia

sinensis(L) O. kuantze) as effected

by the form and concenttration of

nitrogen and the supply of chloride.

Disertation.

Saguy, I. 1983. Computer-aided

techniques in food technology.

Marcel Dekker, Inc. New York and

Basel.

Sanderson, G. W. 1965a. On the

chemical basis of quality in black

tea. Tea Qouart., 36. 172-181.

Sanderson, G. W. 1965b. On the

nature of the enzyme catechol

oxidase in Tea Plants. UART. 36.

103-111.

Sanjuan, N., Simal, S., Bon, J., &

Mulet, A. 1999. Modelling of

broccoli stems rehydration process.

Journal of Food Engineering, 42.

27-31.

Page 101: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

97

Sava, V. M., Yang, S. M., Hong, M. Y.,

Yang, P. C., & Huang, G. S. 2001.

Isolation an characterization of

melanic pigments derived from tea

and tea polyphenols. Food

Chemistry, 73. 177-184.

Senin. Yulianto, M. E. & Ariwibowo, D.

2006. Model Perpindahan Panas

Teknologi Steaming Proses

Inaktivasi Enzim Polifenol Oksidase

Dalam Pengolahan Teh Hijau

Berkatekin Tinggi, Laporan

Penelitian Fundamental DIKTI.

Setiawan, J.D. Yulianto, M.E. & Arifan,

F. 2007. Model Perpindahan Panas

Dan Massa Pada Pengering

Endless Chain Pressure (ECP)

Untuk Inaktivasi Enzim Polifenol

Oksidase, Laporan Sementara

Penelitian Fundamental DIKTI

Sriwatanapongse, A., Balaban, M., &

Teixera, A. 2000. Thermal

inactivation kinetics of bromelain in

pineapple juice. Transaction of the

ASAE, 43. 1703-1708.

Trautner, E. M. & Roberts, E. A. H.

1950. The chemical mechanism of

the oxidative deamination of amino

acids by catechol and

polyphenolase. Aust. J. Sci. Res.

Ser. B. 3. 356-380.

Verhey, J. P. G. 1973. Vacoule

formation in spray powder particles.

3. Atomization and droplet drying.

Neth. Milk Dairy J., 27. 3-18.

Wijlhuizen, A. E., Kerkhof, P. J. A. M. &

Bruin, S. 1979. Theoritical study of

the inactivation of phosphatase

during spray drying of skim milk.

Chemical Engineering Science. 34.

651-60.

Yamamoto, S., & Sano, Y. 1992.

Drying of enzymes: enzyme

retention during drying of a single

droplet. Chemical Engineering

Science, 47(1). 177-183.

Yulianto, M.E., Ariwibowo, D., dan

Hartati, I.,2006. Model Perpindahan

Panas dan Massa Pada Pengering

Endless Chain Pressure (ECP)

Untuk Inaktivasi Enzim Polifenol

Oksidase, Majalah Ilmiah Dinamika

Sains Universitas Pandanaran

Semarang, Volume 3 No. 5,

Agustus 2006, hal 35 -50, ISSN :

1412-8489.

Yulianto, M.E., Handayani, D., dan

Setiawan, J.D.,2007.

Pengembangan Proses Inaktivasi

Enzim Polifenol Oksidase Melalui

Teknologi Steaming Untuk

Produksi Teh Hijau Berkatekin

Page 102: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

REKAYASA PROSES PENGERING ENDLESS CHAIN VACUUM (ECV) SEBAGAI ALTERNATIF PENINGKATAN SENYAWA POLIFENOL PADA PRODUKSI TEH HIJAU BERKATEKIN TINGGI

98

Tinggi. Laporan Sementara

Penelitian Terapan Ristek.

Page 103: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

99

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA

MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-

ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI

MOLECULAR SIEVE Retno Ambarwati SL

*, Santa Monica

**, dan Yanastri Putri**D

*) Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik **) Mahasiswa Teknik Kimia, Fakultas Teknik

Universitas 17 Agustus 1945 Semarang; Jl. Pawiyatan Luhur, Bendhan Dhuwur Semarang

Telp. (024)8310920, Email [email protected]

Abstrak

Pada industri Tapioka yang banyak terdapat di daerah Pati Jawa Tengah, selama ini air dari proses pengendapan langsung dialirkan ke selokan yang selanjutnya mengalir ke sungai. Padahal dengan masih adanya kandungan pati yang terdapat di dalam limbah cair tersebut, seharusnya dapat diolah kembali menjadi produk yang lebih bermanfaat , salah satunya adalah Bioetanol, yang mempunyai nilai ekonomis dan juga dapat menjadikannya sebagai salah satu sumber energi alternatif. Pengolahan limbah cair Tapioka menjadi bioetanol dilakukan pada berbagai kadar gula dengan cara memfermentasi limbah yang telah disterilkan dengan bantuan khamir atau yeast di dalam alat fermentor. Hasilfermentasi selanjutnya dipisahkan dari residu dengan cara destilasi I pada suhu 100o C. Bioetanol hasil destilasi ini selanjutnya ditingkatkan kadarnya dengan destilasi menggunakan alat HETP yang berlangsung pada suhu 80o C. Untuk meningkatkan kadar alkohol yang diperoleh selanjutnya dilakukan proses dehidrasi menggunakan zeolit. Dari hasil penelitian pengolahan limbah cair tapioka dari hasil fermentasi dan destilasi I diperoleh bioetanol dengan kadar tertinggi 35 % yang diperoleh dari limbah dengan kadar gula 17 %. Sedangkan dari pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol tersebut dengan destilasi menggunakan alat HETP diperoleh peningkatan bioetanol dari 35% menjadi 93 %. Dengan pemurnian lebih lanjut terhadap bioetanol hasil dengan cara dehidrasi menggunakan zeolit diperoleh bioetanol dengan kadar 97 %. Kata kunci : limbah cair Tapioka. Bioetanol, energi alternatif, zeolit,molekuler- sieve

Latar Belakang

Tapioka adalah tepung yang dibuat

dengan menggunakan singkong

sebagai bahan baku . Secara

sederhana, dapat diartikan bahwa

tapioka ini dibuat dengan cara

mengekstrak sebagian umbi dari

singkong tersebut kemudian diambil

patinya sehingga diperoleh tepung

Page 104: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

100

tapioka. Tapioka ini merupakan salah

satu bahan untuk keperluan industri

makanan, industri farmasi, industri

tekstil, industri perekat, dan lain-lain.

Dengan beberapa kegunaan itulah,

peranan singkong di Indonesia

menjadi sangat besar baik pada

industri skala kecil/ rumah tangga

maupun industri dengan skala besar/

pabrik.

Industri tapioka di Indonesia mulai

marak pada tahun 1980-an. Teknologi

yang digunakan pada industri tepung

tapioka, dapat dikelompokkan menjadi

tiga yaitu tradisional, semi modern,

dan full otomate. Secara tradisional,

pengolahan tapioka mengandalkan

sinar matahari dan produksinya sangat

tergantung pada musim. Sementara

secara semi modern, di dalam

pengolahannya menggunakan mesin

pengering (oven) dalam melakukan

proses pengeringan. Sedangkan full

otomate pengolahannya

menggunakan mesin dari proses awal

sampai produk jadi.

Namun seiring dengan semakin

pesatnya produksi tapioka seperti

sekarang ini, semakin banyak pula

dikeluhkan tentang proses

penanganan limbah dari tapioka.

Beberapa limbah yang sering

dikeluhkan keberadaannya antara lain

limbah padat, limbah gas dan limbah

cair. Limbah cair industri tapioka

dihasilkan dari proses pembuatan, baik

dari pencucian bahan baku sampai

pada proses pemisahan pati dari

airnya atau proses pengendapan.

Penanganan yang kurang tepat

terhadap hasil buangan limbah padat

dan limbah cair akan menghasilkan

gas yang dapat mencemari udara.

Limbah industri tapioka apabila tidak

diolah dengan baik dan benar dapat

menimbulkan berbagai masalah yaitu :

timbulnya penyakit gatal-gatal, bau

yang tidak sedap, dan bila masuk

tambak menyebabkan ikan mati.

Pada industri Tapioka yang banyak

terdapat di daerah Pati Jawa Tengah,

selama ini air dari proses

pengendapan langsung dialirkan ke

selokan yang selanjutnya mengalir ke

sungai. Padahal dengan masih

adanya kandungan pati yang terdapat

di dalam limbah cair tersebut,

seharusnya dapat diolah kembali

menjadi produk yang lebih bermanfaat

, salah satunya adalah Bioetanol, yang

mempunyai nilai ekonomis dan juga

dapat menjadikannya sebagai salah

satu sumber energi alternatif. Dari

hasil pengolahan limbah cair tapioka

Page 105: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

101

menjadi bioetanol dimungkinkan

bioetanol yang diperoleh kadarnya

rendah, sehingga belum memenuhi

standart pasar. Untuk itu diperlukan

suatu teknologi untuk memperoleh

bioetanol dengan konsentrasi tinggi

dengan menggunakan penyerap air

berupa zeolit.

Tapioka

Tapioka adalah tepung yang

dibuat dengan menggunakan singkong

sebagai bahan baku pembuatannya.

Secara sederhana, dapat diartikan

bahwa tapioka ini dibuat dengan cara

mengekstrak sebagian umbi dari

singkong tersebut kemudian

memisahkan patinya sehingga

diperoleh tepung tapioka.

Teknologi pembuatan tapioka pada

industri kecil adalah sebagai berikut:

Pengupasan kulit dengan tenaga

manusia, dengan menggunakan pisau.

Pencucian dengan cara

menyemprotkan air bersih.

Pemarutan dilakukan secara mekanis

yang digerakkan dengan mesin diesel.

Hasil parutan adalah bubur ketela.

Pada tahap ini air ditambahkan agar

proses pemarutan lebih lancar.

Pemerasan dan penyaringan

(pengekstrakan), dapat dilakukan

dengan cara mekanis, yaitu

menggunakan saringan bergetar.

Saringannya berupa kasa halus.

Diatas saringan bergetar tersebut air

disemprotkan melalui pipa-pipa kecil.

Untuk memberikan tekanan yang tinggi

digunakan pompa yang digerakkan

dengan mesin diesel.

Pengendapan pati dilakukan di dalam

bak-bak pengendapan. Bak

pengendapan biasanya terbuat dari

kayu, pasangan batu bata yang dilapisi

porselin, pasangan batu bata biasa

atau beton, bahkan ada bak

pengendap yang dasarnya diberi alas

kaca atau kayu. Lama pengendapan

yang baik adalah empat jam dan

pembuangan air tidak boleh lebih dari

satu jam, karena setelah lima jam

sudah mulai terjadi pembusukan.

Setelah pengendapan dianggap

cukup, air yang di atas dibuang

sebagai limbah cair dan tepung

tapioka basah diambil. Beberapa

pengrajin menambah bak pengendap

lagi untuk mengendapkan limbah cair

sebelum dibuang. Hasil endapannya

dinamakan lindur atau elot yaitu pati

yang kualitasnya jelek. Cara ini dapat

menekan beban pencemaran.

Setelah pati diambil, diletakkan pada

tampi-tampi bambu, atau ditaruh di

Page 106: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

102

atas lantai yang diplester untuk

dijemur di bawah sinar matahari.

Pati hasil pengeringan masih kasar,

sehingga perlu digiling dan dilakukan

penngayaan untuk menghasilkan

tapioka halus. Rendemen pati

biasanya berkisar antara 19% - 25%.

(www.bppt.com/pengolahan tepung

tapioka.htm)

Selain menghasilkan tepung,

pengolahan tapioka juga menghasilkan

limbah, padat maupun limbah cair.

Limbah padat seperti kulit singkong

dapat dimanfaatkan untuk pakan

ternak dan pupuk, sedangkan onggok

(ampas) yang berkualitas baik selama

ini diambil oleh industri lain untuk

diolah menjadi saos makanan. Limbah

cair dapat dimanfaatkan untuk

pengairan sawah dan ladang.

Bioetanol

Bioetanol merupakan cairan hasil

proses fermentasi gula dari sumber

karbohidrat (pati) menggunakan

bantuan mikroorganisme (Anonim,

2007) dan dilanjutkan proses distilasi.

Produksi bioetanol dari tanaman yang

mengandung pati atau karbohidrat,

dilakukan melalui proses konversi

karbohidrat menjadi gula (glukosa)

dengan beberapa metode diantaranya

dengan hidrolisis asam dan secara

enzimatis. Metode hidrolisis secara

enzimatis lebih sering digunakan

karena lebih ramah lingkungan

dibandingkan dengan katalis asam.

Glukosa yang diperoleh selanjutnya

dilakukan proses fermentasi atau

peragian dengan menambahkan yeast

atau ragi sehingga diperoleh bioetanol

sebagai sumber energi.

Bahan baku pembuatan bioetanol ini

dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

Bahan sukrosa, yaitu bahan - bahan

seperti nira, tebu, nira nipati, nira

sargum manis, nira kelapa, nira aren,

dan sari buah mete.

Bahan berpati, yaitu bahan - bahan

yang mengandung pati atau

karbohidrat, antara lain tepung –

tepung ubi ganyong, sorgum biji,

jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi

jalar, dan lain - lain.

Bahan berselulosa (lignoselulosa ),

yaitu bahan tanaman yang

mengandung selulosa (serat), antara

lain kayu, jerami, batang pisang, dan

lain-lain.

Proses destilasi dapat menghasilkan

etanol dengan kadar 95% volume,

bietanol ini biasa digunakan untuk

Page 107: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

103

industri. Sedangkan untuk keperluan

sebagai bahan bakar (biofuel) perlu

lebih dimurnikan lagi hingga mencapai

99% yang lazim disebut fuel grade

ethanol (FGE). Proses pemurnian

dengan prinsip dehidrasi umumnya

dilakukan dengan metode Molecular

Sieve, untuk memisahkan air dari

senyawa etanol. Dalam penelitian ini

digunakan zeolit sebagai molecular

sieve. ( Musanif J). Bioetanol yang

digunakan sebagai bahan bakar

mempunyai beberapa kelebihan,

diantaranya lebih ramah lingkungan,

karena bahan bakar tersebut memiliki

nilai oktan 92 lebih tinggi dari premium

nilai oktan 88, dan pertamax nilai oktan

94. Hal ini menyebabkan bioetanol

dapat menggantikan fungsi zat aditif

yang sering ditambahkan untuk

memperbesar nilai oktan. Zat aditif

yang banyak digunakan seperti metal

tersier butil eter dan Pb, namun zat

aditif tersebut sangat tidak ramah

lingkungan dan bisa bersifat toksik.

Bioetanol juga merupakan bahan

bakar yang tidak mengakumulasi gas

karbon dioksida (CO2) dan relatif

kompetibel dengan mesin mobil

berbahan bakar bensin. Kelebihan lain

dari bioetanol ialah cara

pembuatannya yang sederhana yaitu

fermentasi menggunakan

mikroorganisme tertentu (Mursyidin,

2007).

Fermentasi

Proses fermentasi sering

didefinisikan sebagai proses

pemecahan karbohidrat dan asam

amino secara aerobik, yaitu tanpa

memerlukan oksigen. Senyawa yang

dapat dipecah dalam proses

fermentasi terutama adalah

karbohidrat, sedangkan asam amino

hanya dapat difermentasi oleh

beberapa jenis bakteri tertentu

(Fardiaz, 1992). Prinsip dasar

fermentasi adalah mengaktifkan

kegiatan mikroba tertentu dengan

tujuan mengubah sifat bahan agar

dihasilkan suatu yang bermanfaat

(Widayati dan Widalestari, 1996).

Perubahan tersebut karena dalam

proses fermentasi jumlah mikroba

diperbanyak dan digiatkan

metabolismenya didalam bahan

tersebut dalam batas tertentu

(Santoso, 1989).

Tahap proses fermentasi untuk

mengkonversi glukosa (gula) yang

terdapat di dalam limbah cair tapioka

tersebut menjadi etanol dan CO2. Pada

proses fermentasi ini, khamir yang

Page 108: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

104

digunakan adalah Saccaromyces

cerevisiae. Dan pada proses ini,

dilakukan proses pemeraman atau

penyimpanan selama 3 hari pada suhu

kamar ± 25oC – 32oC. Sesuai dengan

reaksi berikut ini :

Reaksi : C6H1206 ---------

2C2H5OH + 2CO2

khamir

Yeast merupakan fungsi uniseluler

yang melakukan reproduksi secara

pertunasan (budding) atau

pembelahan (fission). Yeast tidak

berklorofil, tidak berflagella, berukuran

lebih besar dari bakteri, tidak dapat

membentuk miselium berukuran bulat,

bulat telur, batang, silinder seperti

buah jeruk, kadang-kadang dapat

mengalami diforfisme, bersifat saprofit,

namun ada beberapa yang bersifat

parasit (Van Rij, 1984).

Saccharomyces cerevisiae merupakan

yeast yang termasuk dalam kelas

Hemiascomycetes, ordo

Endomycetales, famili

Saccharomycetaceae, Sub famili

Saccharoycoideae, dan genus

Saccharomyces (Frazier dan Westhoff,

1978). Saccharomyces cerevisiae

merupakan organisme uniseluler yang

bersifat makhluk mikroskopis dan

disebut sebagai jasad sakarolitik, yaitu

menggunakan gula sebagai sumber

karbon untuk metabolisme

(Alexopoulus dan Mims, 1979).

Saccharomyces cerevisiae mampu

menggunakan sejumlah gula,

diantaranya sukrosa, glukosa,

fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa

dan maltotriosa (Lewis dan Young,

1990). Saccharomyces cerevisiae

merupakan mikrobia yang paling

banyak digunakan pada fermentasi

alkohol karena dapat berproduksi

tinggi, tahan terhadap kadar alkohol

yang tinggi, tahan terhadap kadar gula

yang tinggi dan tetap aktif melakukan

aktivitasnya pada suhu 4 – 32oC

(Kartika et.al.,1992). Pembentukan

alkohol dari gula dilakukan oleh khamir

penghasil alkohol. Gula yang

ditambahkan pada sari buah bertujuan

untuk memperoleh kadar alkohol yang

lebih tinggi, tetapi bila kadar gula

terlalu tinggi aktifitas khamir dapat

terhambat. (Galih, 2010)

Dehidrasi Air dalam Alkohol

Zeolit adalah senyawa alumino-silikat

hidrat. Secara umum, zeolit memiliki

melekular sruktur yang unik, dimana

atom silikon dikelilingi oleh 4 atom

oksigen sehingga membentuk

Page 109: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

105

semacam jaringan dengan pola yang

teratur.

Zeolit juga sering disebut sebagai

'molecular sieve'/ 'molecular mesh'

(saringan molekuler) karena zeolit

memiliki pori-pori berukuran melekuler

sehingga mampu

memisahkan/menyaring molekul

dengan ukuran tertentu. Zeolit

mempunyai beberapa sifat antara lain :

mudah melepas air akibat pemanasan,

tetapi juga mudah mengikat kembali

molekul air dalam udara lembab. Oleh

sebab sifatnya tersebut maka zeolit

banyak digunakan sebagai bahan

pengering. Disamping itu zeolit juga

mudah melepas kation dan diganti

dengan kation lainnya, misal zeolit

melepas natrium dan digantikan

dengan mengikat kalsium atau

magnesium. Sifat ini pula

menyebabkan zeolit dimanfaatkan

untuk melunakkan air. Zeolit dengan

ukuran rongga tertentu digunakan pula

sebagai katalis untuk mengubah

alkohol menjadi hidrokarbon sehingga

alkohol dapat digunakan sebagai

bensin. Zeolit di alam banyak

ditemukan di India, Siprus, Jerman dan

Amerika Serikat.(www.wikipedia.org)

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan :

1. Limbah cair tapioka, diambil dari

industri Tapioka di daerah Pati Jawa

Tengah

2. Ragi/ yeast, dibeli di toko Miskasari

Semarang

3. Glukosa, dibeli di toko Indrasari

Semarang

4. Zeolit, dibeli di toko Indrasari

Semarang

Alat :

Alat Sterilisasi , dari bahan Stainlis Stell

dengan kapasitas 10 Liter.

Alat Destilasi dari bahan gelas

diameter 3 cm, tinggi 1 m dengan

bahan isian plastik

Alat Fermentasi , berupa stoples dari

bahan plastik, yang bagian tutupnya

diberi lubang kecil dan diberi selang

untuk keluarnya karbondioksida hasil

reaksi fermentasi

Alat ukur kadar gula dan alat ukur

kadar alkohol

Termometer

Ph meter

Page 110: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

106

Cara Penelitian

Tahap Awal Proses Penelitian

Memanaskan limbah cair sampai suhu

100oC sambil diaduk ,

mempertahankan suhu pada

temperatur tersebut selama 60 menit.

Kemudian didinginkan larutan hingga

mencapai suhu 34oC.

Membuat starter dari limbah cair

tapioka yang telah steril ( 10 % dari

volume limbah cair yang akan diproses

dengan kadar gula tertentu ditambah

ragi dengan jumlah tertentu, dicampur

kemudian didiamkan selama 24 jam

4. Menghitung jumlah mikrobia

dari starter ( mengatur supaya jumlah

mikroorganisme minimal 6 juta/ml)

Langkah-langkah proses

fermentasi:

Setelah suhu larutan mencapai 34oC,

memasukkan larutan kedalam tangki

fermentor. Melakukan test pH larutan

dan pH larutan yang diharapkan

sekitar 4,5 sampai 5.

Menambahkan larutan ragi ( yang

memiliki konsentrasi 106

mikroorganisme/ml ) ke dalam tangki

fermentor dan diaduk hingga merata.

Membiarkan larutan di dalam

fermentor selama 40-58 jam, agar ragi

bekerja. Selama proses fermentasi

berlangsung, kondisi operasi harus

dijaga sekitar 35o C, dengan pH= 4.5

– 5.5. Selama 6 – 24 jam akan muncul

gas CO2 dengan ditandai adanya

gelembung di dalam larutan tersebut,

ini berarti bahwa proses fermentasi

sudah mulai terjadi. Apabila

gelembung gas CO2 sudah habis atau

larutan tersebut sudah tidak

bergelembung, ini berarti bahwa

proses fermentasi telah selesai dan

larutan tersebut sudah siap untuk

didestilasi.

Proses ditilasi I:

Memasukkan larutan hasil fermentasi

ke dalam evaporator.

Memanaskan evaporator hingga

mencapai suhu 100oC.

Setelah mencapai suhu yang

diinginkan, maka air dan alkohol akan

menguap keatas selanjutnya melewati

pendingin hingga mengembun dan

menetes sebagai destilat.

Dari proses distilasi ini akan diperoleh

etanol dengan kadar yang masih

rendah

Mengetes kadar alkohol yang

diperolah dengan alat alkoholmeter

Dan untuk mendapatkan high purity

ethanol product atau Bioetanol, maka

kita lakukan proses dehidrasi dengan

menggunakan zeolit.

Page 111: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

107

Proses ditilasi II:

1. Memasukkan larutan hasil destilasi

I ke dalam evaporator.

Memanaskan evaporator hingga

mencapai suhu 100oC, dan suhu

puncak 80 o C.

Setelah mencapai suhu yang

diinginkan, alkohol menguap keatas

selanjutnya melewati pendingin hingga

mengembun dan menetes sebagai

destilat, sedangkan air tetap di bawah

Untuk mendapatkan high purity

ethanol product atau Bioetanol,

selanjutnya dilakukan proses dehidrasi

dengan menggunakan zeolit.

Dehidrasi Bioetanol

Bioetanol yang diperoleh dari proses

destilasi II dengan alat HETP

selanjutnya dimurnikan dengan

dehidrasi menggunakan zeolit.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

A. Pengaruh Kadar Gula Air Limbah

terhadap Kadar Alkohol

Dari penelitian pembuatan

bioetanol dari limbah cair Tapioka

yang diambil dari pengrajin Tapioka di

daerah Pati Jawa Tengah, yang

selanjutnya diatur kadar gulanya

dengan cara menambahkan glukosa

anhidrous, setelah dilakukan

fermentasi menggunakan yeast

dengan perbandingan tertentu dan

dilanjutkan pemurnian dengan destilasi

I diperoleh hasil sebagai berikut

seperti pada tabel 1:

Tabel 1. Kadar Alkohol hasil Fermentasi dan Distilasi I

Kadar Gula

Air Limbah

%

Kadar Alkohol

Hasil Destilasi

I

%

11 2

14 3

16 15

17 35

18 14

20 4

23 2

GRAFIK HASIL FERMENTASI DAN DISTILASI I

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1 2 3 4 5 6 7

KADAR GULA AIR LIMBAH

KA

DA

R A

LK

OH

OL

HA

SIL

DE

ST

ILA

SI

I

Series1

Series2

Gambar 1. Grafik Hubungan

Kadar Gula dengan Kadar

Alkohol

Page 112: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

108

Dari tabel 1dan gambar 1, nampak

bahwa pada kadar gula 11 % hingga

17 % diperoleh alkohol dengan dengan

kadar yang meningkat, hal ini

dikarenakan semakin tinggi kadar gula

dalam air limbah akan diperoleh

alkohol yang besar pula. Tetapi dari

tabel 1 dan gambar 1 juga nampak

bahwa pada kadar gula air limbah

lebih dari 17 % , alkohol yang

diperoleh kadarnya menurun, hal ini

dikarenakan pada air limbah dengan

kadar gula yang tinggi dapat

menghambat pertumbuhan khamir

atau yeast sebagai mikroorganisme

pengurai, sehingga alkohol yang

dihasilkan sedikit. Kadar gula optimal

dicapai pada 17%, pada saat ini

diperoleh alkohol dengan kadar 35%

hal ini dikarenakan pada kondisi ini

kadar gula air limbah pada kondisi

optimal untuk proses peruraian

aldehid menjadi keton oleh khamir.

B. Kadar Bioetanol setelah Proses Destilasi II

dengan HETP

Bioetanol yang dihasilkan dari

distilasi I, selanjutnya dimurnikan lagi dengan

destilasi II menggunakan alat HETP, dan dari

penelitian pada berbagai kadar alkohol yang

diproses diperoleh peningkatan alkohol

sebagai berikut seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Destilasi II dengan HETP

Kadar Alkohol

Hasil Destilasi

I

Kadar Alkohol

Hasil Destilasi II

3 21

4 24

14 93

15 93

30 93

Dari Tabel 2 dan gambar 2, nampak

bahwa kanikan kadar alkohol yang

masuk proses destilasi tahap 2

dengan alat HETP menunjukkan

GRAFIK HASIL DESTILASI II DENGAN HETP

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5

KADAR ALKOHOL HASIL DESTILASI I

KA

DA

R A

LK

OH

OL

HA

SIL

DE

ST

ILA

SI

II

Series1

Series2

Gambar 2

Page 113: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

109

bahwa kenaikan kadar alkohol

memberikan hasil output yang

eksponensial, yaitu meskipun kadar

alkohol yang masuk proses destilasi

HETP semakin tinggi , kadar alkohol

output setelah mencapai 93 % akan

konstan dan tidak naik lagi, hal ini

dikarenakan kemampuan alat HETP

hanya dapat memprose pemurnian

maksimum sampai memperoleh kadar

93 %.

C. Kadar Bioetanol setelah Proses

Dehidrasi dengan Zeolit

Bioetanol yang diperoleh dari hasil

destilasi II dengan alat HETP

selanjutnya ditingkatkan kadar

alkoholnya dengan cara dehidrasi

menggunakan zeolit, dan dari hasil

penelitian dari bioetanol yang memiliki

kadar 93 % setelah didehidrasi pada

berbagai waktu diperoleh hasil

sebagai berikut seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Alkohol setelah Proses Dehidrasi dengan Zeolit

Kadar Alkohol

Hasil Destilasi

I

Waktu

Dehidrasi

menit

Kadar Alkohol

Hasil Destilasi

II

93 60 95

93 120 95

93 180 96

93 240 97

93 300 97

Gambar 3. Grafik Hasil Alkohol Setelah Proses Dehidrasi dengan Zeolit

GRAFIK HASIL ALKOHOL SETELAH PROSES

DEHIDRASI ZEOLIT

0

50

100

150

200

250

300

350

1 2 3 4 5

WAKTU DEHIDRASI MENIT

KA

DA

R A

LK

OH

OL

HA

SIL

DE

ST

ILA

SI

II

Series1

Series2

Page 114: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

110

Dari tabel 3 dan gambar 3, nampak

bahwa pada dehidrasi pada bioetanol

menggunakan zeolit dari kadar alkohol

93 % dapat ditingkatkan kadarnya

menjadi 97 %, hal ini menunjukkan

bahwa proses peningkatan kadar

bioetanol diatas 95 % dapat dilakukan

dengan dehidrasi menggunakan zeolit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian

pengolahan limbah cair Tapioka

menjadi Bioetanol yang dilakukan

dengan fermentasi air limbah yang

diatur kadarnya dengan

menambahkan glukosa kering , dan

dlanjutkan proses pemurnian secara

destilasi I, destilasi II dengan HETP,

dan dehidrasi menggunakan zolit

diperoleh hasil sebagai berikut :

Limbah cair Tapioka dapat diolah

menjadi Bioetanol

Semakin tinggi kadar gula pada air

limbah, maka semakin tinggi pula

konsentrasi bioetanol yang dihasilkan,

hingga mencapai kondisi optimum,

tetapi bila kadar gula melebihi

optimum, kadar alkohol kan menurun

Konsentrasi maksimal bioetanol yang

diperoleh dar pengolahan air limbah

tanpa dehidrasi adala 35 % dengan

destilasi I, dan 93 % dengan destilasi II

(HETP)

Dengan penggunaan zeolit sebagai

penyerap hasil destilasi dapat

meningkatkan konsentrasi bioetanol

hingga 97 %

DAFTAR PUSTAKA

Suprapti, M. Lies, 2005. Tepung

Tapioka: Pembuatan dan

Pemanfaatannya. Kanisius.

Yogyakarta.

www.bppt.com/pengolahan tepung

tapioka.htm

www.bppt.com/Departemen

Lingkungan hidup(limbah tapioka).htm

Balai Besar Teknologi Pati-BPPT,

2005. Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-

Ethanol Sebagai BahanBakar Alternatif

Terbarukan.

Galih,A.R., 2010, Pengaruh

Penambahan Gula Pasir Terhadap

Kadar Alkohol Dan Kadar Vitamin C

Pada Pembuatan Sari Buah Belimbing

Manis (Averrhoa Carambola) Yang

Difermentasikan

Page 115: SARGA edisi Nopember 2010.

SARGA, Volume XVI, Edisi 3; November 2010

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA MENJADI SUMBER ENERGI ALTERNATIF BIO-ETANOL MENGGUNAKAN ZEOLIT SEBAGAI MOLECULAR SIEVE

111

Alexopoulus, C.J and C.W. Mims.

1979. Introductory Technology. John

Wiley and Sons. New York. 632 PP.

Anonim. 2008. Bioetanol Bahan baku

Singkong. The Largest Aceh

Community. Aceh.

Assegaf F.2009, Prospek Produksi

Bioetanol Bonggol Pisang

(MusaParadisiacal) Menggunakan

Metode Hidrolisis Asam danEnzimatis,

makalah Lomba Karya Tulis.