Saphara Edisi 3, Januari 2014

40
SAPHARA Sebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan Edisi #3 Januari 2014 TAK BUAS LAGI LAUTKU TEBING SIUNG Surga di Yogyakarta JATINANGOR “Gak” Butuh Sawah CIKONENG Adu Bagong & Anjing KAREUMBI Wisata Alam & Konservasi

description

 

Transcript of Saphara Edisi 3, Januari 2014

Page 1: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARASebuah Perjalanan, Sebuah Kehidupan

Edisi #3 Januari 2014

TAK BUAS LAGI LAUTKU

TEBING SIUNGSurga di Yogyakarta

JATINANGOR“Gak” Butuh Sawah

CIKONENGAdu Bagong & Anjing

KAREUMBIWisata Alam & Konservasi

Page 2: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 2

Page 3: Saphara Edisi 3, Januari 2014

Salam Pemred Tahun 2013 telah berakhir, namun ekploitasi

alam seperti perdagangan sirip hiu, penjualan

binatang secara ilegal, dan pengurangan ruang

terbuka hijau dalam hal pembangunan yang

dilakukan secara berlebihan masih kerap terjadi.

Padahal, alam merupakan sumber daya yang paling

berharga bagi manusia. Bukan hanya itu, ia nantinya

menjadi warisan yang berharga bagi anak cucu kita.

Pada edisi kali ini, Saphara mencoba meng-

ungkapkan berbagai eksploitasi alam yang terjadi di

sekitar Explorer, khususnya di Indonesia. Semoga hal

ini dapat menjadi “Eliksir” yang mampu mengurangi

berbagai eksploitasi alam.

Dimas Jarot Bayu, Pemimpin Redaksi.

SAPHARAPemimpin Umum: Thaariq Basthun Natsi

Pemimpin Redaksi: Dimas Jarot Bayu - Redaktur Opini: Ryan HilmanRedaktur Bahasa: Sri Oktika Amran - Redaktur Perjalanan: Dina Aqmarina Yanuary

Redaktur Desa dan Budaya: M. Rifqy Fadil - Redaktur Acara dan Lingkungan: Alfath AzizRedaktur Foto dan Perwajahan: Panji Arief Sumirat

Reporter: Olfi Fitri Hasanah, Tyas Dwi Pamungkas, Dhanang David Aritonang, Deando Dwi Permana, Hafiyyan, Nelly

Yustika E.B. , Dwi Desilvani, Andhika Soeminta, Nadia Septriani, Mutiara Annisa, Istnaya Ulfathin, Dwy Anggraeni, Wini Selianti, Bonny Rizaldy

Advertising: M. Hanif Izzatullah (08561610062)Email: [email protected]

Daftar Isi

Alamat Redaksi:Gedung Student Centre (SC) Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran

Jl. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

KLUB AKTIVIS PEGIAT DAN PEMERHATI ALAM

@kappafikom

SAPHARA | 3

Salam Pemred 3

Perjalanan 4Lokal

Desa 6

Lintas Kota 8

Laporan 10Utama

Wisata 18Budaya

Halaman 20

Acara 22

Foto 24Essay

Operasi 30

Kata 32Kita

Buah 34Pena

Refleksi 36

Etalase 38

Review 39

Page 4: Saphara Edisi 3, Januari 2014

TEGAL ALUN

Teks: Dimas Jarot Bayu & Dina Aqmarina YanuaryFoto: Dimas Jarot Bayu

PERJALANAN LOKAL

SAPHARA | 4

Taman Buru Masigit-Kareumbi:Wisata Alam, Konservasi, dan Rusa

ebagai satu-satunya taman buru di Sregional Jawa-Bali dari 15 taman buru yang ada di Indonesia,

Kawasan Konservasi Taman Buru Masigit Kareum-bi (TBMK) kini dapat menjadi hiburan alam yang menarik bagi Explorer. Dengan menempuh perjalanan se lama dua jam dar i Bandung menggunakan kendaraan bermotor, pada kawasan di daerah Cicalengka, Kabupaten Bandung ini Explorer dapat melakukan aktivitas outbound di bumi perkemahan atau rumah pohon di tengah hutan pinus.

Explorer juga dapat melakukan aktivitas hiking yang telah direncanakan oleh pihak pengelola menuju kampung wisata Cigumentong atau menuju Curug Sabuk dengan berjalan kaki. Selain itu, terdapat pula aktivitas bersepeda gu-nung, bumi perkemahan, bersampan, ataupun body board/tubing untuk melengkapi kegiatan liburan Explorer.

Aktivitas-aktivitas tersebut

merupakan salah satu program yang

tengah digalakkan dari keenam program

yang lahir atas perjanjian antara Balai

Besar Konservasi Sumber Daya Alam

(BBKSDA) dengan pihak Wanadri untuk

pengelolaan TBMK. Darmanto, Wakil Di-

rektur TBMK menjelaskan bahwa

seluruh program tersebut turut melibat-

kan masyarakat di sekitar Kareumbi.

“Sebagian besar pegawai yang

dipekerjakan di kawasan ini berasal dari

Desa Leuwiliyang. Selain dapat mengu-

rus ladang, mereka juga dapat pengha-

silan tambahan dari bekerja di sini,” ujar

Darmanto.

Selain agar masyarakat mudah

mencari pekerjaan dari kawasan TBMK,

pria yang mulai mengelola TBMK sejak

2009 ini juga menambahkan bahwa

pemberdayaan masyarakat lokal ini pula

ditujukan agar sedikit kemungkinan

masyarakat untuk merusak kawasan

konservasi dan bahkan ikut serta dalam

proses pelestariannya.

Pada kawasan TBMK terdapat

pula program “Wali Pohon Masigit-

Kareumbi” dan “Pemulihan Populasi

Buru dan Wisata Buru”. Program “Wali

Pohon Masigit-Kareumbi” merupakan

program penanaman dan penghutanan

kembali dengan cara mengajak Explorer

untuk melakukan pembibitan pohon.

Dalam program ini, Explorer

dapat membeli bibit seharga Rp50.000,-

per orang atau Rp100.000,- per komu-

nitas dan menanamnya di areal konser-

vasi dengan nama penanam dan garansi

tiga tahun. Hanya saja, program pena-

naman ini hanya diadakan pada bulan

November sampai Maret saat musim

penghujan. Tapi, proses pemesanan dan

pendaftaran Wali Pohon dapat dilaku-

kan kapanpun karena sistem online yang

sudah diterapkan pihak pengelola.

Penanaman dan penghutanan

kembali ini diadakan karena pihak

pengelola melihat bahwa sekitar 750 Ha

lahan yang berada di TBMK berada da-

lam kondisi kritis akibat penebangan.

Pasalnya pada periode 1998 saat dikelo-

la oleh PT Prima Multijasa Sarana, terjadi

penebangan ilegal secara besar-

Teks & Foto: Deando Dwi P. & Wini Selianti

Page 5: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 5

pemindahan tangan pengelolaan kawa-

san kepada Wanadri.

Pada kawasan ini pula terdapat

areal penangkaran rusa. Warman,

Petugas Penjaga Penangkaran menjelas-

kan bahwa rusa yang ditangkarkan di

wilayah TBMK ini dikembangbiakan un-

tuk nantinya diburu atau sebagai ma-

kanan hewan karnivora di kebun bina-

tang. Namun, hal ini belum dilakukan

mengingat usia serta kuota rusa yang

belum layak.

“Saat ini rusa di sini masih tujuh

ekor, nanti kalau sudah memenuhi kuota

baru bisa diburu,” Ujar Warman.

Program penangkaran dan

perburuan rusa ini diadakan karena di-

rasa penting oleh pihak pengelola untuk

direalisasikan mengingat hanya TBMK

lah satu-satunya kawasan taman buru di

regional Jawa-Bali dari 15 taman buru di

Indonesia. Explorer dapat berkunjung

melihat rusa yang ada dalam kawasan

ini. Bahkan, Explore bisa pula ikut

memberi makan rusa atau sekedar

mengelus rusa yang ada di penangkaran

ini.

Bolehkah Rusa Diburu dan Diperda-

gangkan?

Rusa merupakan hewan yang

dilindungi berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999

tentang Pengawetan Tumbuhan dan

Satwa Liar. Berdasarkan peraturan

tersebut, bagi pelaku yang diketahui

melanggar akan diancam hukuman

maksimal 5 tahun penjara dan denda

sebesar Rp100 juta.

Lantas, bagaimana dengan

perburuan dan perdagangan rusa yang

dilakukan di TBMK? Ternyata hal

t e r s e b u t t e t a p d i p e r b o l e h k a n

mengingat rusa yang diburu dan

diperdagangkan di kawasan TBMK

merupakan rusa penangkaran. Menurut

Direktorat Jenderal Peternakan

mengacu pada Peraturan Pemerintah

N o m o r 8 ta h u n 1 9 9 9 te nta n g

Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar,

rusa dibenarkan pemanfaatannya

a p a b i l a m e r u p a ka n r u s a h a s i l

penangkaran pada keturunan kedua,

bukan rusa liar. Dengan kata lain, status

dilindungi yang dimiliki oleh rusa hilang.

M e s k i d i p e r b o l e h k a n ,

Darmanto menjelaskan bahwa tetap

saja ada peraturan yang harus dipatuhi

saat melakukan perburuan rusa di

kawasan TBMK, misalnya membayar

biaya perburuan, tidak menembak rusa

yang masih bayi dan tidak menembak

kaki rusa.

“Bila ketahuan melanggar aturan

tersebut , maka pemburu akan

dikenakan denda oleh pihak pengelola

TBMK,” ujar pria yang pernah menjabat

sebagai Ketua Wanadri. Syarat untuk melakukan

perburuan rusa di TBMK pun juga harus

menjadi anggota Persatuan Penembak

Indonesia (Perbakin) dan memiliki surat

izin kepemilikan senjata pribadi. Hal ini

serupa dengan syarat berburu yang

dimiliki oleh Perbakin. Meki, anggota

Persatuan Penembak Indonesia

(Perbakin) sendiri menjelaskan bahwa

tidak sembarang orang diperbolehkan

untuk berburu. Ada banyak syarat yang

harus dipenuhi untuk bisa melakukan

perburuan secara legal.

“Kalau ingin berburu, harus

mempunyai Kartu Tanda Anggota Per-

bakin dulu. Syarat mendapatkannya

diantaranya harus memiliki izin

kepemilikan untuk senjata pribadi,

tergabung dalam anggota resmi klub

Perbakin dengan memiliki sponsor

anggota Perbakin minimal 5 tahun,”

tuturnya.

Page 6: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 6

Teks dan Foto: Nelly Yustika E.B.

JATINANGOR “GAK” BUTUH SAWAHTeks & Foto: Olfi Fitri Hasanah & Muhammad Rifqy Fadil

“Rumah indekos saya kan pakai pompa air, kedalaman sumurnya 15 meter yang merupakan kedalaman

maksimal untuk kos-kosan biasa. Perhitungannya sih cukup untuk 24 kamar. Ternyata hanya cukup 14 kamar saja.

Apalagi kemarau, susah dapat air. Katanya gara-gara air banyak diambil sama apartemen deket kosan saya di

daerah Jalan Sayang,” ucap Ilman, Mahasiswa Universitas Padjadjaran yang merupakan penghuni salah satu rumah

kos yang terletak tidak jauh dari Apartemen paling besar di Jatinangor.

partemen tersebut hingga saat Ai n i a d a l a h s a t u - s a t u n y a

apartemen yang telah berdiri

tegak di Kecamatan Jatinangor,

Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Sebuah kawasan pendidikan di timur

kota Bandung yang jaraknya hanya

sekitar 7 km dari batas wilayah kota

Bandung dengan Kabupaten Bandung.

Nama Jatinangor sebagai nama

kecamatan baru dipakai sejak lebih dari

satu dekade yang lalu atau sekitar tahun

2000-an. Di masa penjajahan Belanda

silam, Jatinangor merupakan hamparan

perkebunan teh dan karet yang didi-

rikan oleh Willem Abraham Baud pada

tahun 1844. Perusahaan yang bernama

Maatschappij tot Exploitatie der Baud-

Landen ini menguasai tanah seluas 962

hektar yang membentang seluruh

Jat inangor hingga kaki Gunung

Manglayang, yang kini menjadi

pembatas antara Kabupaten Sumedang

dengan Kabupaten Bandung.

Kini, kawasan tersebut berubah

menjadi sebuah kawasan pendidikan

dimana berdiri beberapa institusi

pendidikan tinggi, seperti Institut

Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN),

Institut Koperasi Indonesia (Ikopin),

Universitas Padjadjaran (Unpad), serta

yang terakhir berdiri ialah Institut

Teknologi Bandung (ITB) yang berencana

memindahkan sebagian besar kegiatan

belajar mengajar dari kota Bandung ke

Jatinangor. Dengan luas wilayah mencapai

26,2 Km², serta jumlah penduduk

sebanyak 87.974 Jiwa (belum termasuk

pendatang seperti maha-siswa, staff

pengajar, dan pengusaha dari daerah

lain), Laju Pertumbuhan Penduduk

Kecamatan Jatinangor termasuk tinggi

secara relatif yaitu sebesar 2,04% per

tahun (tahun 2007), melampaui rata rata

Laju pertumbuhan penduduk Kabu-

paten yang hanya sebesar 1,9 % per

tahun. Berdasarkan data yang dirilis

oleh situs Kecamatan Jatinangor, pada

Triwulan Kedua tahun 2009 tercatat

sebagian besar wilayah jatinangor

digunakan sebagai lahan pemukiman

ataupun wilayah pengembangan

kawasan pendidikan. Untuk wilayah

pemukiman dan pengembangan

kawasan pendidikan saja mencapai

1.217 ha atau 54,1% dari luas wilayah

Kecamatan Jatinangor. Sedangkan

sisanya berupa sawah dan kebun 615 ha

atau seluas 27,3% luas wilayah, serta

sisanya terdapat kolam 14 ha, Hutan

akyat 273 Ha, Hutan Negara 130 Ha dan

penggunaan lainnya 125,15 Ha.

Ruang Terbuka Semakin Terdesak Semakin bertambahnya jumlah

mahasiswa dari tahun ke tahun, mau tak

mau membuat infrastruktur penunjang

bagi mahasiswa menjadi hal yang logis.

Merambahnya bangunan-bangunan

permanen seperti rumah kos, aparte-

men, dan perumahan menjadikan

daerah bagian di Kabupaten Sumedang

DESA

Page 7: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 7

berkembang pesat dalam perekonomi-

an. Penampakan kios-kios makanan,

penyedia jasa cuci, serta penyewaan

rumah kos di pinggiran jalan besar

hingga gang kecil merupakan hal yang

lazim ditemui. Dijadikannya Jatinangor seba-

gai kawasan pendidikan mendorong pu-

la pesatnya pertumbuhan berbagai sek-

tor. Apalagi ketika keberadaannya

menggantikan fungsi ruang terbuka

hijau termasuk lahan persawahan yang

sebelumnya dengan mudah dapat

ditemui.. Namun, hal ini kerap berimbas

ke berbagai aspek lingkungan di

Jatinangor. Prof. Dr. Udjianto Pawitro,

M.Ars, staff pengajar Jurusan Teknik

Planologi Institut Teknologi Nasional,

menjelaskan terkait impact dari

berkembangnya wilayah Jatinangor, dari

sebuah wilayah perkebunan hingga kini

menjadi wilayah pendidikan dengan

pembangunan yang pesat. “Yang terjadi di wilayah

Jatinangor dapat disebut sebagai

fenomena pembangunan daerah

Kampung Kota. Jumlah pendatang luar

daerah meningkat, kebutuhan akan

tempat tinggal pun mengalami hal yang

sama,” ujarnya saat dihubungi (29/11)

lalu. Ia melanjutkan, lahan-lahan

d imanfaatkan untuk memenuhi

permintaan kebutuhan hunian. Harga

lahan akan meningkat, puncak akibatnya

adalah pembangunan dikuasai oleh “Si

Juragan” yang memil ik i modal .

Beberapa aspek yang harus diperhatikan

seperti sosio-budaya, sosio-politik, dan sosio-ekonomi tidak lagi menjadi

pedoman. Namun, adanya pembangun-

an yang kurang memperhitungkan

aspek-aspek tersebut dapat menyebab-

kan ket idakseimbangan kondis i

lingkungan. “Seharusnya memang feno-

mena pembangunan kampung menjadi

kota tersebut dapat dikontrol oleh pe-

merintah daerah yang berwenang

mengeluarkan Izin Mendirikan Bangu-

nan (IMB),” tutup Udjianto saat dimintai

komentar.

Perlu Ada Perhatian Khusus Hal senada juga diungkapkan

oleh Lioni Beatrix, Government Liaison

Assistant International Organization for

Migration (IOM) Bandung. Organisasi

dunia yang bergerak dalam bidang

transmigrasi bagi penduduk ini, melalui

Lioni, mengatakan bahwa untuk kasus

Jatinangor, dalam memberikan Izin

Mendirikan Bangunan, pemerintah

daerah harus sudah memperhitungkan

seberapa solid tanah di lokasi tersebut

layak didirikan bangunan. Termasuk soal

makin potensi berkurangnya Ruang

Terbuka Hijau (RTH) yang secara

perlahan tapi pasti mulai menggerogoti

wilayah ini. Jawa Barat yang termasuk

daerah rawan bencana menjadi

pandangan lain dalam menyikapi

pembangunan Jatinangor. “Dalam

pembangunan itu ada Rencana Tata

Ruang Wilayah (RTRW) yang menjadi

sebuah landasan. Selain itu, jika

dikaitkan dengan potensi bencana, saya

kira pemerintah daerah sudah memiliki

kebijakan dalam mengeluarkan izin

mendirikan bangunan,” singkatnya saat

menjawab pertanyaan via telepon

seluler kepada Saphara awal Desember

lalu. Banyaknya masalah terkait

sosial dan lingkungan, seperti kasus

dialirkannya limbah apartemen ke

sumur-sumur milik warga, kualitas air

yang dianggap mulai memburuk, jumlah

RTH yang terus berkurang membuat

awal Maret 2013 kemarin dikeluarkan

Peraturan Bupati Nomor 12 tahun 2013.

Salah satu isinya mengatur soal luas

maksimum pemukiman serta luas

minimum RTH. Untuk sisi utara

Jatinangor misalnya, dipatok minimal 40

% luas wilayah harus terdapat daerah

konservasi untuk resapan air. Menanggapi hal-hal tersebut,

Wakil Bupati Sumedang sekaligus

Pelaksana tugas Bupati Sumedang, H.

Ade Irawan mengatakan, semua

bangunan yang berdiri di Jatinangor

telah mendapatkan izin pemerintah

yang sebelumnya sudah dikaji dampak

positif dan negatifnya. Pihaknya

mengakui banyak hal yang diluar dugaan

terjadi saat pembangunan di Jatinangor

kebelakangan ini.

“Kami terus membenahi terkait

permasalahan-permasalahan tersebut.

Tentunya hal ini membutuhkan

dukungan dari berbagai pihak, termasuk

para mahasiswa yang tinggal di

Jatinangor. Intinya, kami akan memulai

pengkajian ulang dan penataan ulang

Jatinangor, terutama soal tata ruang

tersebut. Saya ingin Jatinangor jadi ikon

Kabupaten Sumedang,”singkatnya

kepada Saphara saat ditemui awal

Desember lalu.

Page 8: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 8

LINTAS KOTA

TEBING SIUNG

SURGA PEMANJAT TEBINGDI YOGYAKARTA

Teks: Tyas Dwi P. & Nelly Yustika E.B.Foto: Hafiyyan

eberapa waktu lalu Tim Saphara Bmelakukan perjalanan ke Tebing

Siung. Tim berangkat dari

Bandung dengan menggunakan kereta

malam Kahuripan tujuan Kediri yang

berangkat dari Stasiun Padalarang. Sete-

lah itu, tim turun di Stasiun Lempuyang-

an dan melanjutkan perjalanan pukul

09.30 WIB dari kota Yogyakarta dan tiba

di Tebing Siung yang berlokasi di Ke-

camatan Tepus, Kabupaten Wonogiri

pukul 12.20 WIB. Tidak ada kendaraan

umum yang mampu mengakses tebing

tersebut, jadi Explorer harus menyiap-

kan kendaraan jika ingin berkunjung ke

sana.

Berbeda dengan jenis batuan di

tebing yang tersebar di Jawa Barat, jenis

batuan tebing Pantai Siung adalah

gamping. Jenis batuan ini terbentuk dari

endapan laut dangkal dengan bahan

utama material organik terumbu/cang-

kang hewan yang memiliki kalsium, kan-

dungan kimia CaCo3 karena tektonisme

(pengangkatan). Tinggi tebing beragam,

tapi tebing tertinggi di sini kurang lebih

15 meter.

Tim Saphara menjajal bebera-

pa jalur yang ada, dibuka dengan

“Welcome to Siung” yang legendaris

karena merupakan jalur pertama di

tebing Siung. Jalur ini tidak tinggi, hanya

tiga bolt. Namun tantangan langsung

didapatkan karena di jalur ini terdapat

overhang yang cukup menyulitkan.

Cukup lama kami mengutak-

atik jalur ini dan berusaha melewati

overhang. Bagi Explorer yang biasa

“bermain” di tebing Jawa Barat seperti

Citatah atau Gua Pawon, penyesuaian

diri atas kontur harus dilakukan dengan

cepat. Jenis batuan karang yang ada di

semua jalur terasa mengiris kulit telapak

tangan.

Jalur selanjutnya yang tim jajal adalah sebuah jalur di blok D yang tak bernama. Lokasinya berada di rekahan dua tebing yang cukup sempit. Jalur ini

tak kalah menantangnya dengan

“Welcome to Siung” karena terdapat

belokan yang cukup tajam antar bolt.

Dari semua jalur sebelumnya, jalur yang

paling mudah dilalui terletak di Blok I.

1000 Jalur dan Polemiknya

Saat ini diperkirakan ada 70

sampai 80 jalur permanen atau jalur

sport dan beberapa jalur aid climbing

(jalur yang tidak dipasangi pengaman

hanger permanen) di Tebing Siung.

Beberapa jalur yang ada di Tebing Siung

ternyata termasuk dalam 1000 jalur

yang dipasang oleh Tedi Ixdiana.

“Dari 70-an jalur yang ada di

Siung hampir 60 jalur tim kami yang

membuatnya pada era 2001-2002,” ujar

Tedi Ixdiana.

Pembuatan jalur panjat di Tebing Siung termasuk dalam rangkaian ekspedisi pembuatan 1000 jalur panjat tebing untuk Indonesia. Dalam pem-buatannya sendiri, menurut Tedi relatif ada yang sulit dan ada yang mudah.

Banyak yang mengatakan Yogyakarta adalah surga bagi pencinta budaya. Namun, sebenarnya masih ada surga lain yang tersimpan 70 km di selatan kota budaya ini. Surga itu bernama Tebing Siung, cocok untuk Explorer penikmat tebing alam dengan keindahan dan ratusan jalur yang dimilikinya.

Page 9: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 9

Salah satu kesulitannya datang dari

masyarakat di daerah Tebing Siung itu

sendiri.

Tedi menceritakan, awalnya

ada beberapa penduduk yang kurang

setuju dengan kedatangan mereka

untuk membuat jalur pemanjatan di

sana. Hal ini dikarenakan penduduk

tersebut tidak tahu maksud atau

tujuan dari pembuatan jalur tersebut.

“Namun tim kami pada saat

itu berupaya menyampaikan maksud

dari pembuatan ja lur kepada

masyarakat setempat. Akhirnya

bertahap mereka pun mengerti dan

menyambut baik,” jelas salah satu

pemanjat terbaik Indonesia ini.

Lalu, bagaimana menurut

ahli mengenai pemasangan alat

panjat di tebing? Bombom Rachmat,

salah satu dosen Fakultas Geologi

Universitas Padjadjaran mengatakan

kalau hanya sebatas memasang alat

panjat di tebing tidak akan merusak

tebing begitu saja.

“Pemasangan alat pun hanya

memiliki kedalaman 4 cm. Selama itu

tidak merusak dan mengubah

kestabilan tebing itu sendiri, ya tidak

masalah,” ujar Bombom.

“Berbeda dengan jenis

batuan di tebing yang

tersebar di Jawa Barat,

jenis batuan tebing Pantai

Siung adalah gamping

”Bombom juga menjelaskan,

tidak ada tata cara khusus dalam

memasang sebuah alat di tebing.

Menurut Bombom, pemasangan alat

di tebing menjadi pilihan terakhir para

pamanjat bila di ketinggian tertentu

sudah tidak ada rekahan tebing yang

bisa digunakan lagi.

Berkegiatan di alam me-

nuntut kita untuk lebih arif dan bijak

dalam menggunakannya. Jangan

sampai kegiatan kita di alam bukan

mengeksplorasi alam, tapi malah

mengeksploitasi alam itu sendiri.

Page 10: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 10

LAPORAN UTAMA

Page 11: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 11

TAK BUAS LAGI LAUTKUHewan buas, musuh bagi para peselancar, perenang

cepat, menakutkan, serta berdarah dingin, merupakan gambaran umum hiu, si predator laut di mata sebagian orang. Hiu yang menempati puncak

rantai makanan seakan menjadi ancaman bagi hewan-hewan laut lainnya. Namun, siapa sangka kini si predator laut semakin tidak berdaya, terbelit

jala-jala manusia.

Teks & Foto:Dhanang David Aritonang

Dessy Indah W. Silitonga (Kontributor)

Page 12: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 12

“Perdagangan hiu paling gencar terjadi

di tahun 1998 sampai tahun 2000-an.

Setelah kita sudah turun produksi ikan di

laut dan krisis moneter sedang terjadi,

nelayan mulai menangkap hiu untuk

menutupi biaya melaut yang cukup

besar di masanya,” ujar Alexander M. A.

Khan, S.Pi , M.Si , selaku dosen

Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadja-

ran.

Di dunia tercatat ada 1.044

spesies yang termasuk jenis hiu, 181

diantaranya tercatat dalam daftar

terancam punah atau Red List milik

International Union for Conservation of

Nature (IUCN). Sementara 488 lainnya

tidak memiliki data.

Hiu diburu karena siripnya yang

memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sirip

hiu tersebut diolah menjadi berbagai

hidangan. Dalam kebudayaan Cina, sirip

hiu menjadi sebuah barang yang mewah

dan dapat diolah menjadi sup sirip hiu.

Di luar negeri seperti di Jepang

dan Taiwan, hiu ditangkap dan diperla-

kukan dengan cara yang tidak layak. Sirip

hiu dipotong ketika hiu dalam keadaan

hidup dan hiu yang tanpa sirip tersebut

dibuang kembali ke laut. Alhasil, hiu

yang tanpa sirip tidak mampu berenang,

berburu, maupun bertahan hidup

hingga akhirnya mati tenggelam di dasar

laut karena asfiksia akibat tekanan air

laut yang tinggi.

Di Indonesia, sejak tahun 1970,

hiu sudah menjadi usaha sampingan

nelayan dari usaha perikanan lainnya.

Rata-rata nelayan menggunakan alat

tangkap pancing rawai. Sedangkan

tahun 1987 ketika harga sirip hiu

berkembang cukup pesat, nelayan

menjadikan hiu sebagai ikan komoditi

utama untuk ditangkap dengan meng-

gunakan alat tangkap seperti jaring

insang apung (drift gill net), rawai

permukaan (surface longline), rawai

dasar (bottom longline) dan jaring hiu

(dahulu dikenal sebagai jaring trawl).

Pada tahun 1988 tercatat

perdagangan sirip hiu di Indonesia

sebesar 36.884 ton, dan tahun 2000

meningkat hampir dua kali lipat yaitu

sebesar 68.336 ton. Oleh sebab itu, bisa

dikatakan perdagangan sirip hiu paling

massive terjadi awal tahun 2000

sekaligus menempatkan Indonesia

sebagai negara urutan teratas dalam

pembantaian si predator laut ini.

Indonesia termasuk dalam

Coral Triangle di dunia. Selain Indonesia,

negara seperti Malaysia, Papua Nugini,

Timor Leste, Filipina, Kepulauan

Salomon, Vietnam, dan Fiji masih

menjadi bagian dari kawasan Coral

Triangle tersebut.

Coral Triangle adalah pusat

kehidupan laut di dunia yang luas

wilayahnya mencakup 6 juta kilometer

persegi di beberapa kawasan laut di

enam negara. Coral Triangle memiliki

76% spesies karang, 37% spesies ikan

karang, dan spesies yang bernilai komer-

sil seperti tuna, paus, lumba-lumba,

pari, penyu, dan hiu yang menjadi

predator utama mereka.

(www.oseanografi.lipi.go.id. Oseana,

Volume XXX, Nomor 1, 2005 : 1-8)

Maka, kawasan Coral Triangle

merupakan habitat utama hiu. Hiu

berkembang biak dan mencari makan di

sekitar karang di mana ikan-ikan kecil

sebagai santapannya banyak terdapat di

sana. Tak heran, kurang lebih 400 spesies

hiu dari 1.044 spesies yang ada di dunia

terdapat di Indonesia.

“Hiu diburu karena siripnya

yang memiliki nilai

ekonomis yang tinggi. Sirip

hiu tersebut diolah menjadi

berbagai hidangan

” “Sebenarnya karena h iu

merupakan hasil tangkap sampingan,

tidak ada data-data yang pasti tentang

berapa jumlah hiu yang diekspor

maupun dikonsumsi oleh masyarakat.

Hanya hasil tangkapan utama saja yang

tercatat seperti tuna, cakalang, tenggiri,

tongkol,” kata Alexander.

Tamparan ombak, kerasnya

benturan karang, dan tuntutan hidup

yang semakin mencekik membuat

nelayan semakin buas bahkan lebih buas

daripada si predator laut itu sendiri. Kini,

siapa yang tahu berapa jumlah mereka

yang tersisa di lautan Nusantara. Semua

masih menjadi misteri.

LAPORAN UTAMA

Page 13: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 13

dara gersang khas daerah Upesisir menemani perjalanan

menuju ke Tempat Pelelangan

Ikan (TPI) Karangsong, Indramayu.

Aktivitas rutin dan transaksi antar

nelayan dengan para pengepul ikan

sedang berlangsung pada saat itu.

Berbagai hasil tangkapan seperti

tongkol, tenggiri, dan cakalang menjadi

komoditas utama para nelayan. Selain

ikan-ikan yang menjadi komoditas

utama nelayan, ternyata ada transaksi

yang tidak lazim ditemui sebelumnya

yaitu transaksi sirip hiu.

Spesies hiu kepala martil

(Sphyrna Lewini) merupakan jenis hiu

yang siripnya paling banyak diperjual-

belikan. Selain hiu kepala martil, ada

pula hiu macan (Atelomycterus

M a r m o r a t u s ) , d a n h i u a r o n

(Carcharhinus Amblyrhynchos) di TPI

tersebut. Hiu-hiu berukuran 1-1,5 meter

dikumpulkan ke dalam karung-karung

hingga kemudian di jual kepada

pengepul. Selain hiu dewasa, di tempat

pelelangan tersebut juga menjual daging

bayi hiu yang ukurannya masih 15-30cm.

“Sirip-sirip ini akan dijual lagi ke

daerah Jakarta karena permintaan

terbanyak ada di sana. Harganya

Rp25.000,00 per kilo jika belum diolah,

namun jika sudah diolah bisa mencapai

Rp1.500.000,00 per kilonya,” tutur

Gunawan sebagai pengepul.

Setibanya di daerah Jakarta,

menurut Gunawan sirip-sirip tersebut

akan diekspor lagi ke berbagai negara

seperti Cina, Vietnam, dan Jepang.

Meskipun hiu bukanlah komoditas

utama, namun permintaan akan sirip hiu

cukup besar karena harga jualnya yang

sangat mahal.

“Hiu-hiu ini tidak sengaja

masuk ke jala kami. Sebenarnya jika hiu

tersebut masuk ke jala kami, kami malah

rugi karena jala kami menjadi rusak. Hiu

kan hewan agresif,” keluh Rusman, salah

satu nelayan di TPI tersebut.

Fakta lainnya mengatakan

bahwa hiu-hiu tersebut sengaja

ditangkap untuk memenuhi permintaan

industri. Casim, mengaku sengaja

menangkap hiu tersebut sebagai

tangkapan utama. Ia mengaku adanya

transaksi di tengah laut selain di TPI

tersebut. Biasanya transaksi dengan

orang-orang luar negeri seperti

Singapura dan Filipina.

Sekali berlayar, Casim dan

rekan-rekannya bisa berada di laut satu

hingga dua bulan lamanya. Cara

menangkapnya, Casim menggunakan

pancing rawai untuk menangkap hiu.

Sistemnya ketika kapal berjalan, pancing

dilempar dan hiu mengejar umpan yang

ada di pancing tersebut.

Casim bercerita keluh kesahnya

sebagai nelayan. Ia harus menempuh

perjalanan jauh selama berbulan-bulan

hanya untuk mencari ikan dan harus

terpisah dengan keluarganya di Indra-

mayu. Resiko badai di laut yang meng-

hantam kapal harus dilaluinya sebagai

nelayan.

S e b a ga i n e l aya n , C a s i m

mengaku tidak tahu mengenai populasi

hiu yang terancam dan tidak pernah

tahu kalau hiu adalah hewan yang

dilindungi. Menurutnya belum ada

sanksi tegas yang mengatur perdagang-

an sirip hiu ini. Namun ia tahu kalau di

luar negeri sudah ada larangan tentang

perdagangan sirip hiu yang membuat

omzetnya menjadi menurun.

“Kalau sekarang di Indramayu

sudah mulai mengurangi. Alatnya pun

sudah beda. Kita sekarang mengguna-

kan jala nilon,” ujar Rusmadi selaku

manajer TPI Karangsong.

Sebelum menjadi manajer TPI, Rusmadi mengaku pernah menjadi

nelayan yang menangkap hiu sebagai komoditi utama. Dengan kapal ukuran 15GT (Gross Tonnage), Rusmadi berlayar hingga ke perbatasan Malaysia untuk menangkap hiu. Diakui Rusmadi, populasi hiu banyak di bulan November dan Desember karena banyaknya hiu yang melakukan migrasi.

Sirip hiu harganya kini merosot

karena di Cina sendiri sudah ada

pelarangan. Proses pengolahan sirip hiu

melewati beberapa tahap yaitu dijemur

sampai kering, direbus, kulitnya dikupas,

tulangnya dibuang, dan diambil serat-

seratnya yang berbentuk seperti bihun.

Sebagai nelayan, Casim mengaku tidak tahu

mengenai populasi hiu yang terancam dan tidak pernah

tahu kalau hiu adalah hewan yang dilindungi.

” “Jika dibandingkan dengan

komoditas ikan yang lain, total

penangkapan hiu tidak seberapa. Kalau

di TPI Karangsong ada 80 ton ikan yang

diturunkan dari kapal, paling hiunya

hanya satu ton,” jelas Rusmadi.

Jika dikalkulasikan dalam

sebulan ada satu ton sirip hiu yang

dikumpulkan dan dijual, maka omzetnya

bisa mencapai 1,5 Milyar. Cukup untuk

balik modal sekali berlayar yang

menghabiskan total 400 juta rupiah itu.

Akhir Cerita Predator Laut di Tangan Manusia Indramayu, Kabupaten yang terletak di Pantai Utara (Pantura), Jawa Barat, merupakan daerah yang memiliki armada nelayan terbesar di provinsi ter-sebut. Di balik kebesaran armada nelayannya, Indra-mayu ternyata menyimpan sebuah kisah pilu tentang si predator laut dan puluhan ribu nelayannya.

Page 14: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 14

NUSANTARA BELUM PEDULIPADA HIU“Yang menjadi urusan saya sekarang adalah bagaimana 39.000 nelayan di Indramayu bisa makan. Untuk perdagangan hiu sendiri belum ada kebijakan,” ucap Ir. H. Abdur Rosyid Hakim selaku Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu.

Dengan menggunakan pakaian

santai di kediamannya, Abdur

Rosyid menjelaskan bagai-

mana kepeduliannya terhadap keber-

langsungan hidup nelayan-nelayan di

Indramayu. Di matanya, Indramayu

merupakan jantung perikanan di Jawa

Barat karena hasil tangkapannya

terbesar di provinsi tersebut.

Ketika ditanya mengenai

kebijakan serta peraturan perdagangan

sirip hiu, Abdur Rosyid mengatakan,

belum ada Perda yang mengatur

perdagangan tersebut. Sosialisasi pun

belum dilakukan dan pemahaman

nelayan masih sebatas menangkap ikan

dan menjualnya tanpa memikirkan

dampak ekosistem.

“Tidak ada kapal atau alat

tangkap khusus yang digunakan untuk

menangkap hiu. Jika ada, itu hanya

usaha sampingan karena hiu bukan

komoditas utama,” tutur Abdur Rosyid.

Abdur Rosyid mengaku tidak

masalah jika hiu diperjualbelikan

selama hiu tersebut tidak sengaja

tertangkap oleh nelayan. Ia menjelas-

kan di lautan ada yang disebut rene-

wable resource. Renewable resource

adalah sumber daya alam yang bisa

diperbarui. Jika ikan ditangkap sesuai

kebutuhan, maka populasinya akan

stabil dan tingkat kepunahan bisa

dihindari.

Di Indramayu, tidak ada data

pasti mengenai populasi hiu yang masih

tersisa. Di Indonesia sudah menerapkan

sistem Maximum Sustainable Yield

(MSY) yang dihitung bukan dari per jenis

ikan, namun dari luas wilayah

penangkapan. MSY sendiri terdiri dari

ikan wilayah pantai dan lepas pantai.

Sebenarnya sudah ada Perda

yang mengatur tentang penggunaan

alat tangkap seperti pelarangan

penggunaan pukat harimau dan bom

untuk menangkap ikan. Namun

kebijakan tersebut hanya berlaku untuk

kelestarian terumbu karang, belum

untuk hiu.

“Nelayan kan butuh uang, dan

mengeluarkan modal yang tidak sedikit

untuk melaut. Hal itu yang tidak

diketahui oleh LSM yang menyuarakan

larangan untuk berdagang sirip hiu.

Namun, jika LSM lebih mendominasi

dan nelayan menjadi tidak bekerja, ya

salah,” jelas Abdur Rosyid.

“Di Indramayu, tidak

ada data pasti mengenai populasi

hiu yang masih tersisa

” Menurut Dr. Ir. Sriati, M.Si,

dosen Fisheries Management and

Population Dynamic di Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan Univer-

sitas Padjadjaran memang belum ada

peraturan yang mengatur perdagangan

sirip hiu ini. dari Peraturan Menteri

(Permen) yang ada hanyalah peraturan

perlindungan penuh terhadap Hiu Paus

di Indonesia.

“Pemerintah belum membuat

peraturan yang mengatur regulasi

perdagangan sirip hiu ini. Setiap

nelayan sebenarnya diberikan surat izin

penangkapan, namun jika ada hewan

yang dilindungi sengaja ditangkap,

maka surat izin tersebut akan dicabut,”

tutur Sriati.

Sriati mengatakan bahwa baru

ada Keputusan Menteri (Kepmen)

mengenai Rencana Aksi Nasional

Pencegahan Dan Penanggulangan

Illegal, Unreported, And Unregulated

Fishing tahun 2012-2016. Kepmen ter-

sebut berisi pencegahan terhadap

kegiatan melaut yang melanggar aturan

seperti penangkapan ilegal, tidak ada

laporan penangkapan, dan tidak ada

regulasi penangkapan.

Sementara, di Raja Ampat

sudah terdapat Perda yang mengatur

tentang penangkapan hiu spesies

apapun. Hal tersebut tercatat dalam

Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2012

tentang Larangan Penangkapan Hiu,

Pari Manta, Jenis-Jenis Ikan Tertentu di

Perairan Laut Kabupaten Raja Ampat.

Diakui Sriati bahwa Raja

Ampat memiliki potensi pariwisata laut

yang nilai ekonomisnya lebih tinggi

dibanding perdagangan sirip hiu. Wajar

saja, di sana pemerintahnya sangat

peduli terhadap ekosistem laut.

Majunya pariwisata di Raja Ampat akan

menjadi pemasukan sendiri untuk

keuangan daerah.

Kenyataannya, masih banyak

pemerintah baik pusat maupun daerah

yang masih lalai dan kecolongan

mengenai hal ini. Adanya polisi laut

hanya sanggup melarang nelayan dari

luar negeri untuk menangkap ikan di

perairan Indonesia. Hal tersebut

membantu ekosistem ikan laut

khususnya hiu di Indonesia tidak dijarah

oleh negara tetangga.

LAPORAN UTAMA

Page 15: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 15

Page 16: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 16

Kemampuan reproduksi yang rendah, pertumbuhan yang lambat, serta resiko kematian yang tinggi di setiap umur membuat hiu tidak dapat dieksploitasi secara sembarangan. Perlu adanya manajemen yang apik serta pengawasan yang ketat agar anak cucu kita kelak bisa melihat si predator laut

ini berenang di laut.

LAPORAN UTAMA

Foto: Reza Rahmandito

Page 17: Saphara Edisi 3, Januari 2014

“Tingkat permintaan industri tidak

sebanding dengan tingkat reproduksi

h i u . Pe r l u a d a n y a p e n e k a n a n

permintaan di sini,” tutur Alexander M.

A. Khan, S.Pi, M.Si, selaku dosen Penang-

kapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Padjadjaran.

Alexander mengatakan bahwa

prinsip ekonomi “di mana ada permin-

taan, di situ ada penawaran” berlaku

dalam perdagangan sirip hiu ini. Jika

masyarakat Indonesia bisa menahan diri

untuk tidak mengonsumsi sirip hiu,

maka produksi nelayan khususnya di

Indramayu bisa berkurang.

Masalah yang sedang dihadapi

sekarang adalah ada beberapa nelayan

yang tidak sengaja menangkap hiu dan

minimnya informasi tentang angka

populasi hiu tersebut. Sumber maupun

jumlah produksi hiu yang masuk dalam

perdagangan internasional sangat sulit

terdeteksi. Publikasi tentang identifikasi

hiu di Indramayu juga menyulitkan

nelayan untuk mengenali jenis-jenis hiu

yang hampir punah.

“Dunia internasional sudah

membentuk Shark Specialist Group

(SSG) di tahun 1991 sebagai mediator

untuk usaha konservasi hiu,” jelas

Alexander.

Menanggapi makin gencarnya

konservasi hiu di dunia, pemerintah

Indonesia seperti Departemen Kelautan

dan Perikanan (DKP), serta LIPI mulai

concern terhadap konservasi hiu di

negara ini. Pemerintah bekerjasama

dengan pemerintah Australia melaku-

kan penelitian dan diharapkan dari ker-

jasama tersebut muncul sebuah rencana

aksi untuk mengelola sumber daya hiu

se-Indonesia.

“Masyarakat harus ikut ambil

bagian dalam kepedulian terhadap hiu ini

” Pemerintah sebenarnya sudah

membuat program. Seperti sensus biota

laut yang dilakukan oleh pusat pene-

litian Oseanografi LIPI, Institut Pertanian

Bogor, Akuarium Air Tawar Taman Mini,

serta pembudidayaan hiu gergaji di

beberapa daerah.

“Konservasi adalah masalah

manajemen dan memerlukan waktu.

Kepala Dinas Indramayu harusnya

berpikir bahwa penangkapan hiu adalah

fast money in the short term. Sampai

berapa lama hiu tersebut dapat dieks-

ploitasi untuk menampung kehidupan

para nelayan,” ucap Riyanni Djangkaru,

pendiri DiveMagz, serta pencetus

program SaveShark di Indonesia.

Ketika ditemui di Seminar

Jalanesia di Kampus Unpad Dipati Ukur,

Bandung, Riyanni Djangkaru menutur-

kan bahwa tidak ada salahnya jika

nelayan menangkap hiu untuk kebu-

tuhannya sehari-hari. Namun, jika sudah

masuk industri dan sirip hiu tersebut

disalahgunakan melalui regulasi yang

kacau, keserakahan, serta birokrasi yang

rumit, maka semuanya akan kembali lagi

kepada keuntungan pribadi.

Terkadang orang sering berpikir

jika ada kampanye yang dilakukan oleh

LSM, seakan-akan LSM menghambat

penghasilan nelayan yang menangkap

hiu. Namun jika disadari sudah banyak

kapal-kapal asing di tengah lautan yang

siap untuk membeli sirip hiu dari nelayan

kita. Sebuah kejahatan bisnis yang

menakutkan.

Selain ketegasan dari pemerin-

tah, masyarakat harus ikut ambil bagian

dalam kepedulian terhadap hiu ini. Tidak

ada salahnya jika kepandaian ilmu yang

dimiliki dapat berbanding lurus dengan

kepedulian lingkungan yang sudah

memberikan kehidupan sekarang, esok,

dan seterusnya. Jangan sampai nantinya

anak cucu kita tidak dapat merasakan

buasnya laut Nusantara.

SAPHARA | 17

Foto

: Rez

a R

ahm

and

ito

Page 18: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 18

ADU BAGONG,

PERGESERAN BUDAYAPEMUSNAHAN HAMATeks & Foto: Dwy Anggraeni & Bonny Rizaldy

abi Hutan (Sus scrofa), atau yang akrab disebut BBagong oleh masyarakat Jawa Barat, adalah

salah satu jenis hewan liar yang mudah ditemui

di hutan-hutan yang terdapat di seluruh negeri ini.

Jumlah bagong cukup banyak serta mudah ditemui di

seluruh bagian negeri ini. Tetapi, binatang ini diangap

sebagai salah satu organisme yang dianggap

merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan sehari-

hari manusia, alias hama, sehingga seringkali merusak

sawah dan perkebunan warga.

Hal yang sama juga diamini masyarakat di

Cikoneng, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dianggap

kerap mengganggu perkebunan dan sawah milik

warga, sejak beberapa dekade yang lalu muncul tradisi

adu anjing dengan bagong, seperti yang terlihat pada

Minggu, 8 Desember yang lalu. Kegiatan yang sudah

mendarah daging sejak tahun 1960an tersebut telah

menjadi tradisi bagi masyarakat Sunda setempat, dan

secara umum oleh masyarakat Sunda di wilayah

Bandung timur.

Setiap akhir pekan di Cikoneng, Explorer akan

dengan mudah mendengar suara menyalak anjing-

anjing petarung yang datang dari berbagai daerah,

seperti Bandung, Sumedang, Garut, dan Tasikmalaya.

Kalau dihitung-hitung, setiap pekannya terdapat

sekitar 40 ekor anjing petarung datang ke Cikoneng

untuk “mengadu nasib” melawan para bagong.

Secara historis, adu bagong dengan anjing ini

awalnya bertujuan membunuh para bagong yang

seringkali merusak tanaman di perkebunan dan sawah

milik warga. Dan juga awalnya anjing-anjing yang

diikutsertakan adalah anjing-anjing yang dipelihara

oleh warga.

Sekarang, tujuan dari permainan adu anjing

dengan bagong telah bergeser, bukan lagi untuk saling

membunuh, tetapi dikembangkan untuk melatih

anjing agar lebih tangkas terhadap sesuatu yang

dianggapnya sebagai lawan. Dan juga, anjing-anjing

yang diikutsertakan bukan lagi jenis anjing kampung,

tetapi kebanyakan anjing ras, yaitu anjing-anjing hasil

biakan, seperti American Pit Bull Terrier misalnya, atau

lebih umum disebut anjing Pitbull. Biasanya, pemilik anjing

tersebut menginginkan untuk melatih si anjing agar lebih

tangkas terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai

lawan.

Bagong yang diadu dengan anjing pun kini tidak lagi

dibiarkan sampai mati. Seiring berkembangnya zaman,

bagong-bagong itu dipelihara di kandang. Apabila dalam

prosesi permainan bagong terdapat luka-luka, maka

pertandingan dihentikan serta bagong yang terluka ditarik

masuk ke kandang diganti dengan bagong yang masih

sehat.

Teknis permainan ini pun dibuat cukup simple.

Umumnya, setiap minggunya para pengelola kegiatan ini

menyediakan tiga ekor bagong untuk diadu. Saat

pengocokan nomor urut, pengelola mendapatkan 20

anjing pertama yang akan diadu dan saat itulah anjing

dimasukkan satu persatu untuk melawan bagong

WISATA BUDAYA

Page 19: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 19

yang sudah disiapkan. Batas lamanya anjing

melawan bagong itu hanya gigitan selama 5 detik.

Hal ini terus berlanjut sampai keadaan bagong

mulai sangat melemah dan sudah terdapat banyak

luka di badannya, lalu diganti dengan bagong yang

lain

Sempat ada kecurigaan potensi timbulnya

perjudian dengan diadakan permainan ini. Tetapi

ternyata kecurigaan tersebut tidak terbukti. Dalam

permainan ini tidak ada unsur judi sama sekali.

“Pengadu hanya perlu membayar Rp50.000,-. Uang

yang terkumpul akan digunakan untuk membeli

bagong yang harganya berkisar Rp1.000.000,- per

ekor dan upah kepada para pengelola kegiatan ini,”

ujar Acu, salah seorang panitia permainan

mingguan ini.

Bagi masyarakat setempat, kegiatan ini

memang sekadar hiburan. Untuk sebagian orang,

ini merupakan penyalur hobi bagi yang memiliki ketertarikan

dalam kegiatan adu anjing dan bagong ini. Bagi warga

setempat, permainan ini memberi-kan banyak dampak positif

bagi mereka. Adu anjing dengan bagong dianggap

memberikan warga seki-tar lapangan pekerjaan, seperti

membuka usaha makan di wilayah permainan, membuka

lapangan parkir yang bisa menjadi bahan pemasukan warga.

Uang yang masuk dari lahan parkir nantinya akan dimasukkan

ke dalam kas RW yang suatu saat dapat berguna untuk warga.

Sekarang, tujuan dari permainan adu anjing dengan bagong telah

bergeser, bukan lagi untuk saling membunuh.

”Pro dan Kontra: Budaya vs Perikehewanan

Tentang seni adu anjing dengan bagong ini, ada

kritikan terkait dari International Animal Rescue (IAR). IAR

beranggapan hal ini melanggar prinsip kesejahteraan satwa

atau yang biasa disebut Animal Welfare. Adapun pengertian

Animal Welfare ialah suatu usaha untuk memberikan kondisi

lingkungan yang sesuai bagi satwa sehingga berdampak ada

peningkatan sistem psikologi dan fisiologi satwa.

Hal tersebut juga berkaitan dengan Animal Rights atau

Hak Asasi Hewan, yang ditafsirkan sebagai hak-hak dasar

hewan untuk hidup layak serta bebas dari intervensi manusia.

Hewan juga mempunyai hak mendapatkan perlindungan dan

perlakuan baik oleh manusia seperti dalam perawatan,

tempat tinggal, pengangkutan, pemanfaatan, cara

pemotongan, juga cara euthanasia (suntik mati).

“Tidak semua budaya bagus, tidak semua budaya bisa

dihilangkan, tapi hal yang melanggar prinsip AW memang

harus dihilangkan” tegas Indah Winarni, seorang Primatolo-

gist yang juga anggota IAR.

Menurut dia, hal seperti ini kembali pada dasarnya

kepekaan manusia terhadap satwa yang seharusnya dirawat

dan diperlakukan secara layak. “Jika memang tidak bisa

menghentikan budaya dan tradisi seperti ini, mencoba lah

untuk tidak menonton pertunjukkan yang melanggar prinsip-

prinsip Hak Asasi Hewan tersebut,” pungkasnya menutup

perbincangan singkat melalui telepon seluler saat dihubungi

pertengahan Desember lalu.

Page 20: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 20

Foto

: M. A

nd

ika P

utra

HARIMAU SUMATERA

ELANG

KUKANG

LUTUNG JAWA

KERA EKOR PANJANG

Asal : Pulau Sumatra

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan pasar gelap

hewan ke luar negeri

Asal : Jawa, Sumatra, Kalimantan

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan sekitarnya

Asal : Jawa Barat

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa

Asal : Jawa Timur

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan Sumatra

Asal : Jawa Timur

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa dan Sumatra

HALAMAN

Page 21: Saphara Edisi 3, Januari 2014

Foto: google.com

SAPHARA | 21

LUMBA - LUMBA

KAKATUA PUTIH

KASTURI TERNATE

NURI KEPALA HITAM

HIUAsal : Di seluruh perairan di Indonesia

Bentuk eksploitasi : Dijadikan hewan sirkus

Tempat tujuan eksploitasi : Arena atraksi Lumba - lumba

Asal : Di seluruh perairan di Indonesia

Bentuk eksploitasi : Dijual siripnya

Tempat tujuan eksploitasi : Pulau Jawa, Sumatra, Indonesia

Timur

Asal : Maluku

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa, Filipina

Asal : Ternate, Papua

Bentuk eksploitasi : Diperdagangkan

Tempat tujuan perdagangan : Pulau Jawa

Asal : Indonesia timur (Papua dan

Maluku)Bentuk eksploitasi :

DiperdagangkanTempat tujuan perdagangan :

Pulau Jawa

Page 22: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 22

kspedisi tersebut ialah ekspedisi ERafflesia (Eksplorasi fauna flora

dan ekowisata Indonesia) dan

ekspedisi Surili (Studi konservasi

lingkungan), yang memang dilakukan

Himakova tiap tahunnya. Ekspedisi

Rafflesia dilaksanakan di Cagar Alam

Bojonglarang Jayanti, Jawa Barat

sedangkan Ekspedisi Surili dilaksanakan

di Taman Nasional Manuela, Maluku.

Ekspedis i Raff les ia yang

dilaksanakan pada tanggal 23 Januari - 1

Februari 2013 itu mendapatkan hasil

penemuan. Hasil penemuan tersebut

adalah 13 jenis mamalia, 44 jenis burung

dari 19 famili di camp selatan dan 47

jenis di camp utara, 21 jenis herpeto-

fauna dari 8 famili (4 famili reptilia dan 4

famili amfibi), 75 jenis kupu-kupu dari 5

famili, dan Kelompok Pemerhati (KP)

flora memperoleh hasil indeks keaneka-

ragaman spesies (H') 3.854 (tergolong

tinggi). Melalui Ekspedisi ini pula, KP

Flora berhasil menemukan 49 bunga

Rafflesia Patma Blume. baik berupa

kenop (kuncup), mekar, maupun yang

sudah membusuk. Penemuan ini meru-

pakan catatan baru untuk Cagar Alam

Bojonglarang Jayanti dan ilmu botani.

Selain data hasil dari flora dan

fauna ada pula KP ekowisata yang mem-

peroleh beberapa lokasi yang berpoten-

si untuk ekowisata, yaitu: Batu Kukum-

bang, Gua Landak dan Sodong Karnan,

Gua Cisela, Gua Sodong Parat. Batu

Kukumbang merupakan potensi utama

yang menjadi daya tarik, karena

sepanjang jalan menuju lokasi dapat

dijumpai batu-batu yang mempunyai

ketinggian hingga tiga meter dan

terdapat bekas jejak kaki Prabu Kian

Santang di salah satu batu.

Lalu, Ekspedisi Surili dilakukan

pada tanggal 22 Juli- 15 Agustus 2013,

dengan tema “Memahami Perubahan

Iklim dalam Konteks Keanekaragaman

Hayati dan Pengetahuan Lokal di TN.

Manusela, Maluku”.

“Surili tahun ini istimewa

terkait lokasi dan tema. Maluku adalah

lokasi kegiatan Surili terjauh selama satu

dekade (Surili 2013 merupakan Surili ke-

11) kegiatan Surili. Pemilihan perubahan

iklim sebagai tema juga memberikan

tantangan tersendiri, karena di Indo-

nesia isu-isu perubahan iklim jarang

dikaitkan dengan keanekaragaman

hayati maupun kawasan konservasi,”

ucap salah satu dosen DKSHE, Fakultas

Kehutan IPB yang akrab dipanggil Bu Ina.

Ekspedisi Surili mendapatkan

hasil penemuan. Diantaranya KP flora

berhasil menemukan 16 spesies tingkat

pohon, 3 spesies tingkat tiang, 16

spesies tingkat pancang, dan 19 spesies

tingkat semai, dan 3 spesies tumbuhan

bawah. KP Mamalia berhasil menemu-

kan 10 jenis mamalia, yang paling mena-

rik adalah ditemukannya satwa khas

wilayah peralihan, Kuskus belang

(Spilocuscus maculatus) dan kuskus

kelabu (Phalanger orientalis). KP burung

Himakova juga berhasil menemukan 64

jenis burung.

KP herpetofauna menemukan 18 jenis

yang terdisi dari 5 jenis amfibi dari 4

famili dan 13 jenis reptil dari 6 famili. KP

kupu-kupu yang berada di camp utara

menemukan 43 jenis kupu-kupu dari 5

famili dan camp selatan menemukan 16

jenis dari 3 famili. Berdasarkan kajian

etnobiologi (etno-botani dan etnozoo-

logi) yang dilakukan oleh KP flora

menunjukkan masyarakat memanfaat-

kan 33 jenis tumbuhan sebagai obat, 54

jenis tumbuhan yang dimanfaatkan

sebagai bahan kontruksi bangunan, dan

13 jenis tumbuhan lain dikategorikan

sebagai tumbuhan bermanfaat. Ber-

dasarkan kajian kondisi sosial ekonomi

masyarakat, diketahui juga adanya sasi,

yaitu berupa peraturan tidak tertulis di

masyarakat yang turut menjaga keles-

tarian hasil hutan. Selanjutnya, KP gua,

berhasil menemukan 12 gua yang

tersebar di Resort Sawai-Maihulan dan

Resort Kan ike Taman Nas iona l

Manusela.

Nah, Explorer, hasil penemuan-

penemuan dari ekspedisi Himakova

inilah yang dipublikasikan lewat seminar

nasional ini. Diakui Agung Gunadi

Andrian selaku ketua pelaksana seminar,

publikasi penemuan hasil ekspedisi ini

sangat penting karena harus diketahui

teman-teman kampus dalam mengenal

lingkungan.

Seminar Nasional

Ekspedisi Himakova IPB

ACARA

Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova), salah satu himpunan profesi di Institut Pertanian Bogor mengadakan kegiatan Seminar Hasil Ekspedisi

Himakova. Seminar nasional yang dihadiri 302 orang ini diadakan pada Sabtu, 30 November 2013 lalu di Auditorium Andi Hakim Nasution (AHN), kampus IPB Dramaga.

Teks & Foto: Dwi Desilvani

Page 23: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 23

eluncur sungai atau River-Sboarding kini tengah menjadi

salah satu cabang olahraga eks-

trim yang mencuri perhatian melalui

diadakannya The First Riverboarding

World Competition. Indonesian River-

boarding Association (IRA) dan Face

Level Industries menggelar ke-juaraan

dunia pertama tersebut di Sungai

Citarum, daerah Bantar Caringin,

Rajamandala, Kabupaten Bandung Ba-

rat, 6-10 November 2013 lalu. Perhelat-

an diadakan sekaligus sebagai kampanye

agar pemerintah serius membersihkan

sungai yang disebut terkotor di dunia itu.

" I n i ya n g p e r ta m a b i s a

kumpulkan riverboarder sedunia dari

lima benua," kata Rahim Asik BS, ketua

panitia acara. Ia mengharapkan acara

tersebut dapat memajukan olahraga

selancar sungai di Indonesia dan kondisi

sungai Citarum.

Tercatat ada 60 peselancar

sungai dari 10 negara, seperti Indonesia,

Prancis, Amerika Serikat, Kanada, Afrika

Selatan, Selandia Baru, dan Australia.

Mereka kebanyakan para pemegang

gelar juara nasional selancar sungai di

negaranya, termasuk peselancar

legendaris. Ajang kali ini menggelar

empat nomor, yaitu slalom, boarder-

cross, freestyle surfing, dan endurocross

dengan total hadiah Rp 50 juta.

Kejuaraan dunia pertama pada

pengujung tahun 2013 ini menjadi

pembuktian kemampuan para river-

boarder dunia. Peserta asal Prancis

menguasai lomba tersebut. Pada juara

umum kategori lelaki, peselancar muda

Bob Lataste menjadi kampiun dengan

nilai 300. Juara umum kedua Gaultier

Lebegue yang mengantongi nilai 210,

sedangkan juara umum ketiga diperoleh

Tristan Guyard dengan nilai 200. Semua

peselancar asal Prancis itu merupakan

juara sejumlah lomba riverboarding di

negaranya.

Di peringkat bawah, tercatat

nama peselancar asal Indonesia yaitu

Yudi Nurdiyanto di peringkat ke-4 deng-

an nilai 100, lalu Edi "Buaya" Haryanto di

posisi ke-5 dengan nilai 75, dan Yvan

Kopczynski dari Prancis di posisi ke-6

yang mengantongi nilai 50.

Peselancar wanita asal Prancis

pun menguasai jalannya lomba. Gelar

juara umum pada posisi pertama diraih

Marine Schmitt, kedua Adeline Hachet,

dan juara umum ketiga Leonard Aude.

Sama seperti rekan lelaki senegaranya,

mereka menyapu bersih juara nomor

slalom, boardercross, dan endurocross.

Khusus Adeline Hatchet dan Marine

Schmitt, mereka juga melengkapi pres-

tasinya dengan juara kedua dan ketiga di

nomor gaya bebas (free style) di kategori

wanita.

"Slalom dan boardercross itu

nomor favorit di Prancis, peselancar

Indonesia dan negara lain masih sulit

bersaing," kata tim ofisial dari kelompok

Banyoo Woong, Tri Haryanto.

Adapun peselancar sungai asal

Indonesia, sebagai empunya hajat,

secara mengejutkan berjaya di nomor

gaya bebas (free style). Seluruh juara di

nomor itu disapu bersih oleh Yudi Nurdi-

yanto sebagai juara pertama, Edi

"Buaya" Haryanto juara kedua, dan Her-

mawan Sutanto di posisi ketiga.

"Teknik peselancar kita di free

style lebih bagus, menguasai medan,

dan dapat banyak dukungan penonton,"

jelas Rahim.

Indonesia juga menoreh juara

umum di peselancar kategori junior.

Melki Oktavian menjadi kampiun

dengan nilai 300, Luki Hidayat di posisi

kedua setelah mengumpulkan nilai 185,

dan juara ketiga M. Ramdhan Rudiana

dengan skor nilai 120.

Tak lupa jargon yang selama 5

hari senantiasa digaungkan para lakon

riverboarding di Citarum “Salam

Sejajar!”.

The First World Riverboarding Championship

Unjuk Gigi Riverboarder DuniaTeks: Olfi Fitri Hasanah

Foto

: Dim

as E

. Sem

bad

a

Page 24: Saphara Edisi 3, Januari 2014

FOTO ESSAY

Page 25: Saphara Edisi 3, Januari 2014

Prolog: Foto-foto setelah ini akan sedikit menceritakan bagaimana kisah mereka dibantai.

Lokasi: Tempat Pelelangan Ikan Karangsong, Indramayu.

Page 26: Saphara Edisi 3, Januari 2014

FOTO ESSAY

Page 27: Saphara Edisi 3, Januari 2014

Memakan sirip hiu, dulunya tradisi, kini menjadi industri. Atas dasar itu,

hiu mulai dikupas habis.

Page 28: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 28

FOTO ESSAYFOTO ESSAY

Nantinya, sirip mereka akan dibawa ke tengkulak-tengkulak pengepul sirip hiu. Dengan harga Rp25 ribu per kilo, pengolah masakan sirip hiu

mampu mendapat untung puluhan kali lipat.

Page 29: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 29

Inilah akhir cerita si predator laut di tangan manusia. Kerasnya tamparan ombak dan tuntutan hidup yang semakin mencekik,

membuat nelayan semakin buas, bahkan lebih buasdari si predator laut ini sendiri. Sekian.

Foto: Dhanang David Aritonang

Page 30: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 30

7 PRINCIPAL OF LEAVE NO TRACE

Dalam berkegiatan di alam bebas, alangkah baiknya bila kita mengikuti etika-etika yang ada. Seven principal of leave no trace merupakan prinsip etika yang lebih menekankan pada sikap dan kesadaran terhadap lingkungan dan sosial dibandingkan pada peraturan yang mengikat. Berikut ini adalah penjabaran prinsip tersebut:

OPERASI

Teks & Foto: Dimas Jarot Bayu

Page 31: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 31

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Masterplan: Perencanaan dan persiapan yang matang.

Travel and camp on durable surface: Tempat berkemah yang baik ditemu-

kan, bukan dibuat, berjalan pada jalur yang sudah ada.

Dispose of waste properly: Kurangi penggunaan barang yang menimbulkan

sampah.

Leave what you find: Jangan membawa barang yang ditemukan di hutan

seperti binatang atau tumbuhan, jangan melakukan vandalisme.

Respect wildlife: Menghormati kehidupan alam dengan tidak merusaknya.

Minimize campfire impacts: Menggunakan api unggun berdasarkan prinsip-

nya sehingga meminimalisir kebakaran.

Be considerate of other visitors: Sopan santun saat melakukan perjalanan

dan mematuhi adat istiadat yang berlaku di sebuah lokasi.

Page 32: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 32

Teks: Ariel Driantoro & Andhika Soeminta P

KATA KITA

Di tahun 2013 banyak sekali eksploitasi hewan dan

lingkungan yang terjadi di tanah air ini, Indonesia.

Tentunya eksploitasi tersebut memberikan dampak negatif untuk kelangsungan hidup ekosistem. Lalu, apa kata

mereka mengenai eksploitasi hewan dan lingkungan ini?

Berikut Saphara merangkumnya dalam

Kata Kita.

“Jika saya diposisikan sebagai pebisnis dengan kondisi yang ada saat ini, saya mungkin akan

setuju-setuju saja dengan eksploitasi tersebut. Sebab realistis saja, itu menguntungkan. Tetapi

saat ini saya adalah seorang rakyat biasa, tentu saja saya menentang para pelaku eksploitasi tersebut,”

Dezky Oka, Sekolah Bisnis Manajemen ITB

“Untuk kasus satwa langka, seperti pembasmian Orangutan karena dianggap hama, semestinya

perlu disadari bahwa mereka juga ciptaan Tuhan. Terkadang manusia memang suka memikirkan diri

sendiri. Semestinya mereka bisa bertindak lebih bijak, seperti jika ada satwa-satwa liar yang

tergolong langka menyerang pemukiman, mengapa tidak ditangkap lalu dibius, atau diamankan

terlebih dahulu. Hukum yang mengatur, saya rasa memang sudah ada tetapi pemerintah belum

bersikap tegas,”

Fikri Maulana, Aktivis BEM Unpad

“Tindakan eksploitasi satwa dan lingkungan semestinya tidak dilakukan oleh manusia. Untuk

eksploitasi satwa langka misalnya, perlu dibangun kesadaran kepada masyarakat bahwa satwa-satwa

tersebut adalah makhluk yang perlu diproteksi keberadaannya,”

Wiraditma Prananta, Hubungan Internasional Fisip Unpad

Page 33: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 33

“Menurut saya perlu dibedakan antara eksploitasi hewan dan lingkungan sebatas untuk budaya, dan

yang untuk kepentingan komersil. Misalnya, budaya perburuan ikan Hiu di Papua tentu tak mengganggu

ekosistem tersebut. Tetapi yang justru berbahaya ialah eksploitasi massal. Pasti kita bisa

membedakan mana yang bertujuan melestarikan kebudayaan, mana yang untuk keuntungan pribadi,”

Aris Arianto, Jurnalistik Fikom Unpad

“Masih melakukan eksploitasi hewan dan lingkungan, karena dengan alasan melestarikan

budaya misalnya, menurut saya sudah sangat tidak relevan untuk saat ini. Misal untuk budaya berburu rusa untuk dikonsumsi, kalau sekarang kan sudah

banyak daging-daging yang dikonsumsi secara masal seperti sapi, kambing, ayam, dan lain-lain. Mengapa masih melakukan eksploitasi terhadap

hewan hewan yang dilindungi?”

Nur Khansa Ranawati, Jurnalistik Fikom Unpad

“Untuk Eksploitasi Satwa Langka, ya pemerintah masih kurang tegas dan masih banyak oknum-

oknum yang memanfaatkan satwa langka untuk keuntungan pribadi. Jelas disini pemerintah harus

tegas. Untuk eksploitasi lingkungan sendiri, itu sudah sangat basi. Banyak lembaga-lembaga

berkedok aktivis pemerhati alam tapi tak lebih dari mengejar keuntungan semata, bukan karena hati

yang bersih,”

Mochamad Dwi, Teknologi Pangan FTIP Unpad

“Eksploitasi baik satwa langka maupun lingkungan telah benar-benar merugikan negara. Apalagi

eksploitasi lingkungan seperti pembalakan liar, jelas-jelas hanya menguntungkan pengusaha saja. Dampak negatifnya ujung-ujungnya berimbas ke masyarakat tempatan. Pemerintah juga seolah

acuh tak acuh. Untuk eksploitasi hewan misalnya, jika terus-terusan tak ada tindak tegas dari

pemerintah, bisa-bisa makin banyak yang punah,” Yudhanto Dewo Giribowo, Agribisnis Faperta Unpad

“Di Indonesia sendiri hukum pembalakan hutan sudah ada, tapi pelaksanaannya belum efektif. Padahal negara berkembang kayak Indonesia tingkat eksploitasi hutannya tinggi. Organisasi internasional yang fokus sama masalah ini ada WWF. Saya rasa perlu ada hukum internasional

sendiri tentang illegal logging karena udah melibatkan banyak aktor dan bisa menyebabkan

masalah global, climate change atau global warming contohnya. Sulit ditangani kalo negara

cuma bertindak sendiri-sendiri,”

Ziya Pranandia,Hubungan Internasional Fisip Unpad

Foto: Dok. Pribadi

Page 34: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 34

BUAH PENA

Lebih Indah dari Diskon di MallOleh : Nadia Septriani

andung, kota yang sudah banyak memiliki perubahan. Bangunan sudah menjulang tinggi di sisi kota. Suara klakson mobil Bdan motor terdengar dimana-mana. Tapi masih asyik untuk dikunjungi. Para pelancong dengan plat nomor B, E, Z, dan

lainnya sering datang ke Kota Kembang untuk berwisata. Entah wisata kuliner maupun wisata budaya.

Sudah merupakan hal yang lumrah jika akhir minggu dipadati dengan kendaraan bermotor. Plat nomor polisi B yang

paling mendominasi. Ya, mereka dari Jakarta yang mungkin datang ke Bandung untuk melepas penat dari hiruk pikuk Ibu Kota

Negara Indonesia. Aku salah satunya, maksudku kami.

Aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi ke Bandung dengan tujuan mengeksplorasi kuliner di Bandung. Di

jalan-jalan protokol Bandung banyak sekali yang menjual aneka jenis makanan. Uniknya, makanan disini seperti sebuah seni yang

lezat di mata, dan lezat di mulut. Para seniman kuliner ini mampu menciptakan makanan yang mungkin orang-orang awam tidak

pernah pikirkan. Risol pelangi, sale pisang dengan berbagai rasa, keripik singkong pedas dengan tingkat kepedasan yang

bervariasi, dan masih banyak lagi.

Tapi untuk wisata kuliner kali ini, kami akan mengeksplorasi makanan khas Bandung. Bajigur, batagor, karedok, es lilin, es

goyobod, mie kocok, mie yamin, memikirkannya saja perutku langsung berbunyi keras.

“Laper neng? Keras amat bunyinya hahaha,” celetuk Vira yang kemudian membuat semua orang di mobil ini tertawa. Oh

Tuhan, aku malu.

Kami sudah sampai. Aku tidak tahu pasti ini dimana. Sepanjang perjalanan mataku asyik melirik kota ini. Tapi yang aku

tahu, di sini dingin, saking dinginnya setiap kali aku bernapas, aku mengeluarkan uap.

Pintu mobil terbuka dari berbagai sisi, satu persatu dari kami turun. Selamat datang di.....

“Lembang!” teriak Icha. “Ke kebun stroberi tante gue dulu ya. Kapan lagi coba makan stroberi langsung dari pohonnya.”

“Gak jadi wisata kuliner bajigur blablabla?” ujar Diana.

“Nanti malem aja. Nikmatin dulu nih stroberi fresh from the oven.”

Ini, menakjubkan. Hanya gunung dan pepohonan sejauh mata memandang. Tuhan, ini lebih dari luar biasa.

Tidak asyik jika memetik stroberi langung dari kebunnya tapi tidak foto-foto. Pose ini itu. Angle sana sini. Yap, langsung

kami unggah ke instagram. Tak lama mengunggah, like berdatangan. Berbagai Comment terlihat. “Ini di mana?” “Seru banget!”

“Mau dong dibawain.”

Scroll scroll timeline. Terpaku pada satu foto dengan pemandangan lautan bintang. Ini Gunung Batu. Bandung?

“Cha, cha!” teriakku keras. Icha tidak kunjung menengok. Kalau sudah begini, gak lain gak bukan, harus disenggol

makhluk Tuhan yang satu ini.

“Plis kesini. Ini di Bandung juga, di Gunung Batu katanya.”

“Apaan, Lid? Apaan? Lihat dong lihat!” Satu persatu mulai berdatangan ke arahku, Diana, Oliv, Tiara, dan Sasa. Gadgetku

yang satu ini ditarik paksa. Dioper kesana kemari.

“Wah, ini keren banget! Kita harus kesini!” Oliv berkomentar.

“Oh iya itu Gunung Batu, memang bisa liat lautan bintang sih disitu................” Icha menjelaskan ada apa saja di Gunung

Batu, apa yang bisa dilihat dan dinikmati. Terdengar seru.

.....

Page 35: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 35

Dari Utara ke Selatan, macet sana sini, nyasar kesana kemari. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB. Dingin. Hanya ini

yang ada di pikiran dan yang kami rasa.

“Ini dia, Gunung Batu, Wanita Jakarta. A good place to enjoy the night with a thousand stars. Eh tapi, mendaki dulu, baru

bisa liat deh tuh lautan bintang,” ucap Icha pasrah.

Mendaki gunung? Dengan outfit flat shoes, hot pants, tanpa jaket dengan udara sedingin ini?

“Guys, gue anak mal. Bukan anak gunung. Ngerusak sepatu gue nih. Baru beli kemarin,” ujar Tiara dengan nada sebal.

“Kita udah kesini ya guys. Balik lagi ke Lembang? Udah nyasar dan nanya sana-sini? Cuma buat liat 'Oke ini gunung batu'.

Oke kita pulang. Mind taking my place and driving that car?” jawab Icha ketus.

“Gak ada salahnya nyoba kan. Ini kan pilihan kita tadi guys,” jawab Diana.

“Ya gue kira kan gak harus mendaki gunung seperti anak gunung. Gue kira langsung sampai ke atas gitu. Kalau tau gitu

mah mending gausah kesini,” Tiara segera melanjutkan dengan nada kesal. “Gue di mobil aja deh.”

“Gak jamin deh ya lo bakalan aman di dalam mobil. Kena rampok gue angkat tangan ya. Sampe mobil gue dirampok, lo

yang ganti, Tir. Enak banget nyuruh kesana kemari giliran udah dianterin malah minta balik. Dikira gak capek apa bawa 6 cewe yang

badannya pada kayak babon. Hargain gue kek.”

Ini bukan suasana yang bagus. Icha yang sudah tampak lelah mengendarai mobil dari Jakarta ke Lembang lalu dari

Lembang Utara ke Lembang Selatan dengan jalan yang berliku-liku mulai memuncak emosinya.

“Hah, apaan? Babon? Idih sadar diri lo,” Tiara membalas dengan emosi.

Ini benar-benar bukan suasana yang bagus.

“Yaudah deh ya. Mending kita naik ke atas. Ada yang lagi kemah di atas kayaknya,” lanjutku.

“Lidya bener. Plis ini bakalan seru kalau sudah naik ke atas. Lecet dikit tidak apa-apa lah. Sepatu rusak beli lagi. Jangan

kaya orang susah deh. Beli sepatu tinggal beli. Kasian Icha juga kan udah bawa mobil,” Sasa melanjutkan.

Sejenak kedua orang tadi mereda emosinya. Kami tetap memutuskan untuk pergi mendaki. Tidak tinggi sebenarnya tapi

tetap saja ini namanya mendaki.

Banyak bebatuan. Hanya suara jangkrik yang kami dengar. Ilalang menemani pendakian kami. Gunung Batu sebenarnya

tidak tinggi, tapi medannya cukup membuat kami lecet di sekujur kaki dan lengan. Ditambah dengan udara dingin dan kami

berpakaian seperti ini. Tiara dan Icha terus menyindir satu sama lain. Siapa yang tidak lelah mendengar itu. Aku, Diana, Oliv, dan

Sasa terus memisahkan mereka, mencoba meredakan mereka.

Hanya dibekali satu senter membuat kami sering terpeleset. Kotor sudah pasti. Keluhan sudah terdengar dimana-mana.

Ini dia puncak Gunung Batu.

Oh Tuhan. Ini surga dunia.

Kami berenam hanya diam ternganga. Udara dingin sudah kami abaikan. Pemandangan ini lebih indah daripada diskon

dan cuci gudang di mal. Kerlap-kerlip lampu Bandung ada di mata kami. Langit menyambut kami dengan kerlap-kerlip bintang.

Lautan bintang dari Bandung dan langit menyatu. Ini lebih dari night with a thousand stars.

Tiara dan Icha tertawa sejenak. Mereka terlihat bodoh dengan menatap satu sama lain.

“Gue gak tau ternyata bayaran baju kotor, sepatu rusak, kaki lecet, rambut lepek, bau ketek dimana-mana, itu kayak gini.”

Tiara sambil menunjuk kota Bandung di bawah kami. Kota Bandung terlihat kecil dari atas sini. “Indah banget. Sorry ya Cha yg tadi.

Kaya anak kecil banget gue.”

Kami berempat hanya tertawa mengingat kelakuan mereka 30 menit yang lalu. Mereka berdua pun ikut tertawa,

mungkin malu dengan tingkahnya tadi. Tak lama kemudian udara dingin menyergap tubuh kami. Sebenarnya sudah daritadi,

hanya saja kami tahan-tahan.

Di ujung sana ada anak-anak pecinta alam. Bermaksud meminta sesuatu untuk menghangatkan tubuh kami. Entah

berapa suhu yang ada di sini. Dinginnya membuat gigi kami bergetar.

Dengan gaya yang jagger, anak-anak pecinta alam itu membuat kami takut. Mereka tampak tidak bersahabat.

Setelah melihat keadaan kami yang seperti ini, salah satu dari mereka mengahampiri kami. Mungkin tahu kalau kami

sudah kedinginan. Dengan hangat kami diajak untuk bergabung bersama mereka. Minuman hangat, jaket, sleeping bag, mereka

menyambut kami dengan ramah. Badan Security tapi hati Hello Kitty, begitu anak gaul zaman sekarang menyebutnya. Ucapan

terima kasih dan obrolan malam yang hangat menyertai kami berenam dan anak-anak pecinta alam tersebut. Kami diizinkan tidur

di dalam tenda mereka. Malam terasa lebih mengagumkan.

Malam ini jauh lebih indah dari apapun itu. Mulai dari pemandangannya hingga pengalamannya. Satu, buat menye-

garkan mata itu tidak harus di mall dan menghabiskan banyak uang, uang orang tua. Dua, jangan pernah pakai hot pants ke

gunung. Ya meski di film-film banyak terlihat orang-orang luar naik gunung dengan hot pants. Tiga, jangan pernah pakai flatshoes

ke gunung, sepatu rusak sudah tentu dan kaki tentu pegal. Empat, jangan pernah menyerah sama keadaan yang belum dilewati,

coba dulu. Kalau masih bisa berkeluh kesah, berarti masih bisa berusaha. Lima, awalnya aku mengira anak gunung itu brutal.

Ternyata mereka baik dan hangat. Don't jugde the book by its cover, ever.

Page 36: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 36

REFLEKSI

HIU,

SI SERAM YANG (MUNGKIN) AKAN TINGGAL KENANGANOleh: Herlina Agustin, MTKetua Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad dan Anggota Dewan Penasihat Profauna

iu, hewan pemakan daging Hyang hidup di laut lepas. Di-anggap sebagai pemangsa

manusia yang berenang atau berse-lancar di laut, menghabiskan ikan-ikan milik nelayan, dan hewan ber-gigi tajam yang menakutkan. Namun sesungguhnya hewan laut yang dita-kuti itu menjadi incaran nelayan pemburu di seluruh dunia. Mereka diburu untuk suatu menu masakan bernama sop hisit, menu yang dibuat untuk memuaskan selera manusia, sebagai spesies teratas dalam rantai makanan.

Hiu, mamalia besar yang ditakuti manusia, yang telah hidup jutaan tahun lamanya melawan ke-punahan di jaman dinosaurus, kini menghadapi suramnya masa depan. Diburu oleh manusia yang hanya mengejar siripnya saja. Sepertiga dari 468 jenis hiu diketahui meng-hadapi isu kepunahan.

Perburuan hiu biasanya hanya dilakukan oleh kapal ikan minimal berukuran 10 ton. Mereka

umumnya menggunakan alat tang-kap muroami, sejenis jaring besar yang dapat memerangkap segala je-nis ikan, termasuk hiu. Jaring sejenis ini kini mulai dilarang oleh peme-rintah, dan tentu saja menuai protes dari kalangan nelayan.

Hiu yang ditangkap di Indo-nesia umumnya berjenis hiu kepala martil, hiu asap, dan hiu macan tutul. Yang terbesar dalam jenis ini adalah hiu kepala martil. Dalam sebuah penangkapan di Tanjung Pandan, Belitung, pernah ditangkap seekor hiu martil dengan berat 200 kilogram.

Sekali lagi, dalam perburu-an ikan hiu, yang paling banyak di-incar hanyalah siripnya saja. Harga sirip hiu memang mahal. Harga sirip mentah sebelum diolah tergantung besarnya. Ukuran 6 cm hingga 14 cm dihargai Rp. 375.000,- sementara yang sudah diproses berharga Rp. 950.000 per kilogram. Semakin be-sar sirip hiu ini semakin mahal harga-nya. Harga paling mahal bisa menca-

pai Rp. 2.100.000 per kg untuk sirip hiu yang sudah dimasak berukuran 45 cm. Bayangkan berapa puluh ekor ikan hiu harus mati untuk siripnya karena dijual per kilogram.

Harga dagingnya sendiri sangat murah. Untuk seekor hiu macan tutul dengan berat sekitar 20 hingga 25 kg tanpa sirip punggung, dada dan ekor hanya dihargai Rp 30.000,- Karena murahnya daging ikan hiu, maka banyak nelayan mengiris sirip hiu dalam kondisi hidup-hidup dan membuang tubuh hiu hidup tanpa sirip ini ke dalam laut. Mereka malas membawa tubuh hiu ke darat karena harganya dianggap tidak sebanding dengan energi yang mereka keluarkan untuk mengangkutnya.

Bila sudah dimasak harga seporsi sirip hiu ( ingat seporsi itu adalah semangkuk kecil) dihargai sebesar Rp. 200.000,- hingga Rp. 350.000,- Sungguh suatu harga yang luar biasa untuk semangkuk kecil makanan yang mungkin tidak mem-

Page 37: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 37

buat kenyang. Sementara dagingnya

tidak berada di restoran itu tetapi lebih

banyak dipakai sebagai umpan ikan lain.

Sementara di Amerika Serikat, sop sirip

hiu dihargai sebesar US$ 100,- per

mangkok. Harap diingat, Amerika adalah

penyantap sop hisit terbesar kedua

setelah Asia. Mereka mengimpor-nya

dari Hongkong, dan Hongkong merupa-

kan tempat sirip ikan hiu terbesar dari

Indonesia. Dan World Wildlife Fund me-

nyatakan bahwa Indonesia adalah

pengekspor sirip ikan hiu terbesar di

dunia.

Apakah sebagai pengekspor

sirip ikan hiu, kemudian nelayan kita

menjadi makmur? Jawabannya sudah

jelas di depan mata kita. Tidak. Nelayan

kita tidak menjadi makmur walaupun

mereka mengeksplorasi hasil laut habis

habisan. Mengapa? karena mereka

kalah harga melawan pengepul ikan.

Nelayan kini menjadi buruh bagi industri

perikanan. Mereka hanya mencari ikan,

semen-tara pengusaha menyediakan

kapal, bahan bakar, logistik dan perleng-

kapan lainnya dalam menangkap ikan.

Akibatnya mereka dibayar murah dalam

penangkapan ikan, sementara sang

penguasa meraup keuntungan yang

sangat besar dalam perdagangan ikan-

ikan eksotis termasuk hiu.

Kementerian Kelautan Indo-

nesia menyatakan bahwa setiap tahun

nelayan Indonesia mengirimkan 73 juta

sirip hiu ke seluruh dunia, sementara

WWF menyatakan Indonesia menyum-

bangkan sebesar 100 juta sirip hiu. Jum-

lah yang sungguh luar biasa.

Pada tahun 2010, Shark

Conservation Act di Amerika serikat te-

lah memberlakukan larangan bagi

perburuan hiu. Sayangnya, aturan ini

mengalami hambatan di beberapa

negara bagian. Delapan negara bagian

telah sepakat untuk melarang penjualan

sirip ikan hiu. Termasuk melarang

restoran-restoran memperdagangkan

masakan sop hisit yang legendaris ini.

Negara-negara itu adalah : California,

Delaware, Hawaii, Illinois, Maryland,

New York, Oregon dan Washington. Hal

yang sama juga berlaku di negara pasifik

seperti American Samoa, the Common-

wealth of Northern Mariana Islands dan

Guam. Negara bagian lain yang belum

menyepakati undang-undang ini adalah

Florida dan Texas, tempat banyak warga

Amerika keturunan Cina masih menye-

diakan sop hisit dalam pesta perkawinan

dan perayaan upacara tradisional

lainnya.

Di Indonesia, perburuan hiu

masih belum masuk dalam kegiatan

illegal. Namun tahun 2013 yang lalu,

pada pertemuan 177 negara pendukung

Convention on International Trade in

Endangered Species (CITES), di Thailand,

perdagangan hiu lintas negara akan

dilarang. Bahkan Hongkong sebagai

negara pengimpor terbesar juga diminta

untuk mulai mengurangi permintaan.

Begitu pula Cina, negeri leluhur sop sirip

hiu ini, bersepakat untuk tidak menye-

diakan sop hisit dalam menu kenegara-

an. Indonesia termasuk yang sepakat

dengan peraturan tersebut, dan

Kementrian Kelautan akan membuat

ratifikasi dari kesepakatan tersebut

dalam bentuk Peraturan Menteri yang

akan segera ditetapkan pada 2014.

Masalahnya adalah bagai-

mana pengawasan peraturan ini akan

diberlakukan? Garuda Indonesia, mas-

kapai penerbangan terbesar di Indo-

nesia telah menyatakan, tidak akan

mengangkut ekspor produk ikan hiu

dalam kargonya. Kebijakan ini berlaku

efektif sejak Oktober 2013. Ini merupa-

kan langkah awal yang harus diapresiasi,

namun di pihak lain pemerintah perlu

meningkatkan kewaspadaan akan ter-

jadinya perdagangan hiu ilegal yang

dilakukan di tengah laut.

Bisa saja nelayan tidak mem-

bawa sirip hiu ke darat namun langsung

bertransaksi dengan kapal lain di tengah

laut yang susah dijangkau oleh penga-

matan patroli laut. Hal semacam ini ke-

rap terjadi dalam penyelundupan satwa-

satwa dilindungi yang semakin langka.

Selain pemerintah, saatnya lah

media massa dan media sosial memain-

kan peran yang besar dalam kampanye

penyelamatan hiu ini. Binatang yang

susah bereproduksi ini ( hanya beranak

2-3 tahun sekali) perlu mendapatkan

perhatian khusus. Karena terbukti

mereka memiliki pengaruh besar dalam

menjaga kelangsungan hidup ekosistem

di laut. Mitos-mitos bahwa hiu bisa men-

jadi obat kanker harus diluruskan, kare-

na hiu sendiri diketahui dapat terserang

bakteri dan virus yang menyerupai kan-

ker. Selain itu ingatlah bahwa sirip hiu

sesungguhnya tidak memiliki rasa apa-

pun. Yang enak adalah kuah yang

menjadi dasar dari sop tersebut, yang

umumnya dibuat dari kaldu ayam.

Media massa tidak boleh lagi

menayangkan kelezatan masakan

apapun jika masakan itu berasal dari

produk hiu dan satwa dilindungi lainnya.

Sebaliknya, media massa harus menjadi

bagian terdepan dari perlindungan

satwa dan kelestarian lingkungan hidup,

agar ekosistem di bumi ini tetap terjaga.

Page 38: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 38

ETALASE

Amphibian Waterproof Hard Case iPhone 4

Belum lengkap rasanya bila berkegiatan di alam bebas namun tak mendokumen-

tasikan perjalanan. Explorer pasti banyak membawa berbagai macam gadget untuk mendoku-

mentasikan setiap kegiatan, entah Kamera Digital, Kamera DSLR, hingga Smartphone yang

multifungsi. Namun masih banyak pula kendala yang akan dialami Explorer, misalnya gadget

yang dibawa ternyata tidak tahan air.

Tapi tenang saja, bagi Explorer yang menggunakan iPhone 4, Proporta, Produsen

casing ponsel, sudah mengeluarkan Amphibian Waterproof Hardcase for iPhone 4. Hard Case

ini sudah diuji dan dijamin bakal tahan air sampai 3 meter. Explorer bisa mengambil foto dari

bawah air namun tetap bisa membuat dan menerima panggilan saat ponsel memakai Hard

Case . Hard Case ini Berbahan polikarbonat keras dan kulit silikon luar yang terlindung

terhadap air, kotoran, dan pasir. Harga yang dibandrol oleh produsen Hard Case ini adalah

$37,95 atau sekitar Rp455.400,-

Waterproof Case for Canon EOS 600D, Kiss X5, Rebel T3i

Mau mengabadikan momen video saat diving, Snorkeling, surfing, dan berbagai

kegiatan lainnya, tapi takut kamera rusak karena kemasukan air? Keep it Calm, Explorer!

Sekarang ada Waterproof Case untuk Canon EOS 600D. Tahan air sampai kedalaman 50

meter. Terbuat dari polikarbonat, plastik ABS, Clear plate glass, Stainless Steel, dan karet

EPDM, Waterproof Case ini tahan air sampai kedalaman 50 meter. Waterproof Case ini

juga bisa melindungi kamera Explorer dari air, pasir, salju, dan goresan. Waterproof Case

ini dibandrol dengan harga $398 atau sekitar Rp4.776.000,-. Wow! harga yang fantastis.

Tertarik untuk membeli, Explorer?

Waterproof Marine Camera HousingCase For Canon EOS DSLR

Hobi berkegiatan di air? Kali ini Dicapack berhasil meraih Korean Consumer

Award to Best New Product pada tahun 2005 karena produknya, Waterproof Marine

Camera Housing Case For Canon EOS DSLR, yang dijual dengan harga yang terjangkau.

Camera Housing ini mampu bertahan hingga kedalaman 5 meter. Desainnya yang

menarik dan simpel memudahkan Explorer berfoto dan mengambil video karena ada

tali leher dan beratnya hanya 0,8 Pound. Camera Housing ini juga tahan terhadap

berbagai cuaca. Dengan Camera Housing ini, lensa mampu memanjang hingga 3,7'' dan

diameter 82mm. Camera Housing ini dibandrol dengan harga $88,95 atau sekitar

Rp1.067.400,-

Foto: google.com

Page 39: Saphara Edisi 3, Januari 2014

SAPHARA | 39

REVIEW

“Memahat sendi lutut dengan

pahat kayu dan martil”, “Operasi Sesar

dengan Silet”, dan “Kasus Luka Tusuk

Panah” menjadi sebagian pengalaman

tak terlupakan bagi John Manangsang,

dokter muda jebolan FKUI yang bertugas

selama dua tahun di Puskesmas Tanah

Merah Boven Digul,Kecamatan Man-

dobo, Kabupaten Merauke, Papua.

Pengalaman ini pun ia tuliskan dalam

bukunya pada BagianII: Kasus-kasus

medis sulit dalam dilema.

Seorang bapak setengah baya

dari RT Mariam, sebuah RT dari Desa

Sokanggo yang dapat ditempuh

menggunakan perahu motor sekitar 4

jam melawan arus Sungai Digul datang

ke Puskemas Tanah Merah. Dari peme-

riksaan, diketahui sang bapak menderita

artrodesis (kekakuan sendi dalam istilah

kedokteran) di bagian lutut kanan . Tidak

ada jalan keluar selain operasi. Sang

bapak yang sangat menginginkan kaki-

nya berfungsi normal pun diminta dr.

John untuk mempersiapkan diri.

Awal April 1991, operasi

dilakukan. Pasien diberikan anestesi lo-

kal, sehinga tubuh bagian bawahnya

tidak berasa. John melakukan pembe-

dahan pada bagian lipatan antara paha

dan betis. Sayangnya, tulang dan sendi

pasien sudah menyatu bagaikan sepo-

tong besi. Mau ditutup kembali, tetapi

John kemudian merasa sangat prihatin.

Pertimbangannya antara lain: pertama,

keinginan pasien untuk sembuh tidak

tercapai, dan kedua, John dan timnya

merasa telah menyakiti pasien dengan

proses pembedahan yang ternyata tidak

menghasilkan.

Dengan dua pertimbangan

utama tersebut, John memutar akal un-

tuk mengobati pasien. Ia pun meminta

salah seorang perawat untuk meminjam

obeng, pahat kayu, dan martil. Tujuan-

nya, pemahatan akan berguna memberi-

kan ruang-ruang agar sendi dan tulang

dapat bergerak seperti umumnya. Puji

syukur, operasi yang dipenuhi rasa

improvisasi, intuisi, dan keinginan besar

sang dokter menyembuhkan pasiennya

pun dapat berhasil. Enam minggu sete-

lah perawatan, pasien mulai belajar

menginjakan kaki ke tanah. Dengan se-

mangat dan dukungan dari keluarga ser-

ta pihak puskesmas, sang bapakpun da-

pat kembali ke kampung halamannya.

Selain 13 kisah yang men-

cengangkan, masih ada pula petualang-

an John dan timnya sebagai dokter ter-

bang. Hal ini dilakukan dalam rangka

pelaksanaan program “Puskesmas Keli-

ling” ke semua desa di Kecamatan Man-

dobo. Perjalanan menjelajah rimba

berhari-hari meraka lakukan. Membuat

semur ayam hutan, mendirikan bifak,

berjuang melawan serangan pacet

menjadi warna petualangan ini, disam-

ping misi utama memberikan pelayanan

kesehatan. Sekumpulan kisah ini

menghabiskan sekitar 50 halaman buku.

Menurut Penulis, buku ini

memiliki banyak keunggulan. Pertama,

John mampu memberikan gambaran

kondisi alam dan sosial-masyarakat

masyarakat pedalaman Digul melalui

kacamata seorang ahli medis. Hal ini

tentu tidak akan sahabat Explorer temui

dalam buku perjalanan ataupun gam-

baran sosial-masyarakat umumnya.

Kedua, berbagai pendapat dari ahli

kesehatan, ahli hukum, sastrawan,

budayawan Papua semakin menguatkan

kualitas buku bagi pembaca. Dari sudut

pandang ahli inilah sahabat Explorer

juga dapat memberikan penilaian.

Ketiga, John menuliskan dengan detail

setiap kronologi kejadian yang ia alami.

Contohnya, saat bercerita mengenai

operasi sesar, maka ia menuliskan

proses mulai dari adanya laporan, run-

tutan tindakan medis yang dilakukan,

apa yang ia dan timnya rasakan, sampai

pada tahap akhir kesembuhan pasien.

Hal ini tentu membuat sahabat Explorer

memiliki gambaran mengenai peristiwa

yang terjadi. Keempat, terdapat foto-

foto dokumentasi rekam medis ataupun

perjalanan. Walaupun beberapa foto

terlihat agak mengerikan (foto-foto

operasi), tetapi hal ini penting sebagai

penguat data dalam buku.

Tiada gading yang tak retak.

Ternyata ungkapan tersebut juga

berlaku bagi buku ini. Walaupun karya

indah John sangat bagus dan orisinil,

tetapi terdapat beberapa kekurangan

yang dapat mengganggu pembaca

“bertualang” dengan kisah di dalam

buku. Pertama, dalam 1 halaman, John

sering hanya menggunakan 2 atau 3

pragraf. Malah ada 1 halaman hanya

untuk menulis 1 paragraf. Hal ini dapat

membuat sahabat Explorer lelah akibat

struktur penulisan dalam paragraf yang

kurang menarik. Kedua, gaya bercerita

penulis buku yang kurang memikat. Hal

ini menurut Penulis sangat wajar karena

John memang bukan jebolan sekolah

sastra ataupun komunikasi. Walaupun

begitu, gaya bercerita John menjadi

sangat khas.

Buku yang mengantarkan John

Manansang menjadi “Pemenang

Peneliti Muda LIPI – TVRI bidang Sosial,

Kebudayaan dan Kemanusiaan 1995 –

1996” ini cocok untuk semua sahabat

Explorer yang tertarik pada dunia medis

dan sosial-budaya. Kisah-kisah di dalam-

nya akan memberikan pengalaman dan

wawasan baru bagi pembaca mengenai

dua dunia tersebut. Karya ini pun cocok

bagi sahabat Explorer yang tertarik

dengan kehidupan di belantara Papua,

yang menurut John tidak banyak

berubah sejak 15 tahun semenjak

pengabdiannya pada awal 1990-an.

Jadi, apakah sahabat Explorer tertarik

meyaksikan kisah seorang dokter di

pedalaman Papua?

“Memahat sendi lutut dengan

pahat kayu dan martil”, “Operasi Sesar

dengan Silet”, dan “Kasus Luka Tusuk

Panah” menjadi sebagian pengalaman

tak terlupakan bagi John Manangsang,

dokter muda jebolan FKUI yang bertugas

selama dua tahun di Puskesmas Tanah

Merah Boven Digul,Kecamatan Man-

dobo, Kabupaten Merauke, Papua.

Pengalaman ini pun ia tuliskan dalam

bukunya pada BagianII: Kasus-kasus

medis sulit dalam dilema.

Seorang bapak setengah baya

dari RT Mariam, sebuah RT dari Desa

Sokanggo yang dapat ditempuh

menggunakan perahu motor sekitar 4

jam melawan arus Sungai Digul datang

ke Puskemas Tanah Merah. Dari peme-

riksaan, diketahui sang bapak menderita

artrodesis (kekakuan sendi dalam istilah

kedokteran) di bagian lutut kanan . Tidak

ada jalan keluar selain operasi. Sang

bapak yang sangat menginginkan kaki-

nya berfungsi normal pun diminta dr.

John untuk mempersiapkan diri.

Awal April 1991, operasi

dilakukan. Pasien diberikan anestesi lo-

kal, sehinga tubuh bagian bawahnya

tidak berasa. John melakukan pembe-

dahan pada bagian lipatan antara paha

dan betis. Sayangnya, tulang dan sendi

pasien sudah menyatu bagaikan sepo-

tong besi. Mau ditutup kembali, tetapi

John kemudian merasa sangat prihatin.

Pertimbangannya antara lain: pertama,

keinginan pasien untuk sembuh tidak

tercapai, dan kedua, John dan timnya

merasa telah menyakiti pasien dengan

proses pembedahan yang ternyata tidak

menghasilkan.

Dengan dua pertimbangan

utama tersebut, John memutar akal un-

tuk mengobati pasien. Ia pun meminta

salah seorang perawat untuk meminjam

obeng, pahat kayu, dan martil. Tujuan-

nya, pemahatan akan berguna memberi-

kan ruang-ruang agar sendi dan tulang

dapat bergerak seperti umumnya. Puji

syukur, operasi yang dipenuhi rasa

improvisasi, intuisi, dan keinginan besar

sang dokter menyembuhkan pasiennya

pun dapat berhasil. Enam minggu sete-

lah perawatan, pasien mulai belajar

menginjakan kaki ke tanah. Dengan se-

mangat dan dukungan dari keluarga ser-

ta pihak puskesmas, sang bapakpun da-

pat kembali ke kampung halamannya.

Selain 13 kisah yang men-

cengangkan, masih ada pula petualang-

an John dan timnya sebagai dokter ter-

bang. Hal ini dilakukan dalam rangka

pelaksanaan program “Puskesmas Keli-

ling” ke semua desa di Kecamatan Man-

dobo. Perjalanan menjelajah rimba

berhari-hari meraka lakukan. Membuat

semur ayam hutan, mendirikan bifak,

berjuang melawan serangan pacet

menjadi warna petualangan ini, disam-

ping misi utama memberikan pelayanan

kesehatan. Sekumpulan kisah ini

menghabiskan sekitar 50 halaman buku.

Menurut Penulis, buku ini

memiliki banyak keunggulan. Pertama,

John mampu memberikan gambaran

kondisi alam dan sosial-masyarakat

masyarakat pedalaman Digul melalui

kacamata seorang ahli medis. Hal ini

tentu tidak akan sahabat Explorer temui

dalam buku perjalanan ataupun gam-

baran sosial-masyarakat umumnya.

Kedua, berbagai pendapat dari ahli

kesehatan, ahli hukum, sastrawan,

budayawan Papua semakin menguatkan

kualitas buku bagi pembaca. Dari sudut

pandang ahli inilah sahabat Explorer

juga dapat memberikan penilaian.

Ketiga, John menuliskan dengan detail

setiap kronologi kejadian yang ia alami.

Contohnya, saat bercerita mengenai

operasi sesar, maka ia menuliskan

proses mulai dari adanya laporan, run-

tutan tindakan medis yang dilakukan,

apa yang ia dan timnya rasakan, sampai

pada tahap akhir kesembuhan pasien.

Hal ini tentu membuat sahabat Explorer

memiliki gambaran mengenai peristiwa

yang terjadi. Keempat, terdapat foto-

foto dokumentasi rekam medis ataupun

perjalanan. Walaupun beberapa foto

terlihat agak mengerikan (foto-foto

operasi), tetapi hal ini penting sebagai

penguat data dalam buku.

Tiada gading yang tak retak.

Ternyata ungkapan tersebut juga

berlaku bagi buku ini. Walaupun karya

indah John sangat bagus dan orisinil,

tetapi terdapat beberapa kekurangan

yang dapat mengganggu pembaca

“bertualang” dengan kisah di dalam

buku. Pertama, dalam 1 halaman, John

sering hanya menggunakan 2 atau 3

pragraf. Malah ada 1 halaman hanya

untuk menulis 1 paragraf. Hal ini dapat

membuat sahabat Explorer lelah akibat

struktur penulisan dalam paragraf yang

kurang menarik. Kedua, gaya bercerita

penulis buku yang kurang memikat. Hal

ini menurut Penulis sangat wajar karena

John memang bukan jebolan sekolah

sastra ataupun komunikasi. Walaupun

begitu, gaya bercerita John menjadi

sangat khas.

Buku yang mengantarkan John

Manansang menjadi “Pemenang

Peneliti Muda LIPI – TVRI bidang Sosial,

Kebudayaan dan Kemanusiaan 1995 –

1996” ini cocok untuk semua sahabat

Explorer yang tertarik pada dunia medis

dan sosial-budaya. Kisah-kisah di dalam-

nya akan memberikan pengalaman dan

wawasan baru bagi pembaca mengenai

dua dunia tersebut. Karya ini pun cocok

bagi sahabat Explorer yang tertarik

dengan kehidupan di belantara Papua,

yang menurut John tidak banyak

berubah sejak 15 tahun semenjak

pengabdiannya pada awal 1990-an.

Jadi, apakah sahabat Explorer tertarik

meyaksikan kisah seorang dokter di

pedalaman Papua?

Kisah Dokter di Pedalaman PapuaTeks & Foto: Hafiyyan

Judul buku:

Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa

Penulis: dr. John Manangsang

Penerbit: Yayasan Obor, Jakarta

Tahun terbit: 2007 (cetakan II)

Tebal buku: 477 halaman

Page 40: Saphara Edisi 3, Januari 2014