Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.”...
Transcript of Sanksi Pelanggaran Pasal 113 “Panas atau dingin?” “Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.”...
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Kasie West
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Love, Life, and the List
By Kasie West
Copyright © 2017 Kasie West
Published by the arrangement with HarperTeen and Maxima Creative Agency
Love, Life, and the List
Alih Bahasa: Serly Octavia
Penyunting: Grace Situngkir
Penata Letak: Kum@rt
Hak Cipta Terjemahan Indonesia
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali pada tahun 2018 oleh
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta
718031422
ISBN: 978-602-04-8015-2
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
SATU
“Panas atau dingin?”
“Panas. Aku benci dingin. Kau tahu itu.” Hanya memikirkannya saja mem-
buatku merinding meskipun ini pertengahan musim panas—mungkin itulah
maksud pertanyaan Cooper. Panas. Begitu panasnya sampai keringat berbulir-
bulir di balik lututku. Kami telah mengantre untuk menonton film di pantai
selama dua puluh menit, dan aku sedang menanti-nanti matahari terbenam
dan embusan angin datang menerpa.
Dia menggeleng. “Aku tahu itu, tapi maksudku, kau lebih memilih mati
kedinginan atau kepanasan?”
“Sinting.” Aku mengerutkan bibir. “Tapi kau benar, itu per ta nya an yang
berbeda. Kudengar mati kedinginan adalah kebahagiaan.”
“Dari siapa kau mendengarnya? Apa arwah orang-orang yang mati
kedinginan mendatangimu?”
“Ya. Setiap hari. Ngomong-ngomong, kau lebih memilih di ku tuk melihat
hantu atau zombi?”
“Dikutuk? Dikutuk?” Dia mencengkeram bahuku dan meng gun cangnya.
“Tak satu pun dari keduanya merupakan kutukan bagiku. Luar biasa. Aku pilih
dua-duanya.”
2
“Bukan begitu aturannya. Kau mesti memilih salah satu.”
“Hantu. Semoga mereka bisa memberitahuku tentang masa depanku.”
“Hantu tidak bisa membaca masa depan,” ujarku selagi kami bergeser ke
depan antrean, beringsut lebih dekat ke loket. Pasir menyelip di antara kaki
dan sandal jepitku, dan aku mengibas kannya.
“Kata siapa?”
“Kata semua orang, Cooper. Kalaupun ada, hantu hanya me nge tahui masa
lalu.”
“Yah, mungkin tidak untuk hantumu, Abby, tapi hantu-hantuku adalah
hantu peramal masa depan. Itu akan luar biasa.”
Gadis yang berdiri di antrean depan kami berbalik dan ter senyum kepada
Cooper. Mungkin dia pikir Cooper sangat meng gemaskan. Dan begitulah
kenya ta an nya. Gadis itu sebaya dengan kami. Rambutnya ditarik ke atas
membentuk sanggul berantakan yang disengaja dan aku bertanya-tanya
bagaimana orang-orang menganggap penampilan itu tampak disengaja dan
bukannya se kadar berantakan.
“Hei,” Cooper menyapa gadis itu. “Apa kabar?”
“Sekarang lebih baik,” jawabnya sambil cekikikan, lalu berbalik.
Aku menggelengkan kepala. “Jangan pedulikan aku. Kau tahu, cewek yang
berdiri di depan cowok yang menggodanya.”
Aku yakin dari nada bicaraku gadis itu tahu aku sedang bercanda, tapi
Cooper tetap meletakkan tangannya di atas mulutku dan berujar, “Sahabat si
cowok berdiri di sini. Cuma teman. Cowok itu masih jomlo.”
Aku membebaskan mulutku dari tangan Cooper dan tertawa, meskipun
bagian “cuma teman” tadi tidak disengaja. Sebetulnya, aku sudah menyatakan
cintaku pada Cooper tepat satu tahun lalu persis pada bulan ini. Kentara
sekali dari reaksinya bahwa pe ra saanku tidak berbalas. Makanya aku harus
bersandiwara seolah ini lelucon. Lelucon yang tanpa ragu ikut dimainkannya.
Dan aku membiarkannya, karena aku tidak mau kehilangan dirinya sebagai
teman. Dia adalah sahabat terbaik di dunia.
3
Terdengar suara dari belakang kami. “Yang menerbitkan per tanyaan, kau
lebih memilih menghabiskan waktu bersama sa ha bat mu satu malam lagi atau
berkemas semalaman untuk per ja lanan yang dipaksakan orangtuamu selama
musim panas?”
Aku berputar, senyuman menghiasi wajahku. “Jangan gunakan istilah
menerbitkan, Rachel. Kakekku yang berusia delapan puluh tahun menggunakan
istilah itu,” ujarku.
Rachel berdiri di sana dengan tangan di atas pinggang dan mata gelapnya
berkilat-kilat. “Dari situlah aku mengambilnya. Dan usianya baru enam puluh
delapan tahun.”
Aku menubrukkan pinggangku ke pinggangnya, lalu meme luk nya. “Dari
mana kau tahu kami sedang bermain kau pilih yang mana?”
“Bukankah kita selalu melakukannya?”
“Kukira kau takkan sempat malam ini,” ujarku.
Ada empat orang dalam kelompok persahabatan kami: Cooper, Rachel,
Justin, dan aku. Justin sudah bertolak minggu lalu dan akan pergi selama musim
panas untuk sebuah misi ke Amerika Selatan bersama gerejanya. Rachel
akan pergi besok untuk sebuah tur keliling Eropa bersama orangtuanya. Jadi
selama sisa musim panas hanya akan ada aku dan Cooper.
“Kukira juga begitu. Sekarang, kembali ke pertanyaanku tadi,” ujar Rachel.
“Berkemas atau sahabat?”
“Itu pertanyaan yang sulit, Rach,” ujar Cooper. “Mungkin ber kemas.”
Rachel menyikut lengan Cooper. “Lucu.”
Akhirnya kami mencapai bagian depan antrean. Cooper me lang kah ke
meja tertutup yang berfungsi sebagai stan tiket setiap Jumat malam sepanjang
musim panas. Seorang pria yang berdiri di balik kotak uang berkata, “Apa kau
Cooper?”
“Yaaaa,” jawab Cooper lambat-lambat.
“Gadis itu membayar bagianmu.” Pria itu mengangguk ke arah si Sanggul
Berantakan, yang berdiri di depan kami dan saat ini sedang berjalan menuju
pintu masuk. Dia pasti telah men dengarku menyebut nama Cooper barusan.
4
“Bagaimana dengan kami?” aku memanggilnya seraya meng gandeng
lengan Rachel.
Gadis itu melemparkan senyum dari balik bahunya lalu me lambai.
“Kau brengsek,” ucapku pada Cooper. “Di mana orang-orang yang
bersedia membayarkan hiburan Jumat malamku?” Aku mengaduk-aduk
isi tas pantaiku, melewatkan handuk dan sweter, sampai aku menemukan
dompetku. Aku mengulurkan uang pada kasir dan menerima tiket. Rachel
melakukan hal yang sama.
“Kau harus mengasah pesonamu,” ujar Cooper.
“Aku orang yang paling memesona di sini.” Aku menyandang tasku
kembali dan tasku bergoyang maju mundur seperti pendulum. “Pesona
memancar keluar dari pori-poriku.”
“Jorok,” ujarnya. “Kalau begitu maksudmu, caramu salah.”
“Ayo dapatkan pancaran pesona kalian, cowok-cowok!” Aku berteriak
pada barisan di belakang kami.
“Minggir dari sana,” seseorang menyahut.
Rachel menarikku menjauhi antrean, mungkin dia malu. Coo per pergi ke
kiri, menuju stan makanan, persis di sebelah pem batas.
“Kita makan makanan mewah malam ini?” tanyaku.
“Sepertinya aku punya uang lebih. Aku bisa membeli popcorn sepuluh
dolar sekarang.”
“Aku benci kau. Aku akan makan semua popcorn-mu,” ujarku.
Dia tertawa. “Kau benar-benar memancarkan pesona, Abby Turner.
Banyak sekali.”
Aku mendaratkan ciuman padanya. “Kami akan mencari tem pat. Kau
carilah makanan.”
“Siap.”
Aku baru saja berniat untuk melangkah pergi bersama Rachel saat aku
melihat gadis yang membelikan tiket untuk Cooper se karang sedang meng-
antre di depan food truck. Aku hampir saja berubah pikiran dan meminta
5
Rachel untuk pergi duluan mencari tempat agar aku bisa bergabung dengan
Cooper. Tapi aku membatalkannya. Aku tidak ingin menyaksikan seluruh
rayuan gombalnya. Sudah cukup aku melihatnya.
“Jadi kau tidak akan pernah menebak apa yang orangtuaku putuskan,”
ujar Rachel ketika aku mengeluarkan beberapa buah handuk dari dalam tas
dan kami membentangkannya di sisi kanan pembatas.
“Bahwa kau tidak perlu pergi bersama mereka dan sebagai gantinya kau
akan tinggal bersamaku sepanjang musim panas?” tebakku.
“Kuharap begitu.”
“Kau tahu betapa menyebalkannya dirimu mengeluhkan perja lanan ke
Eropa selama sembilan minggu?”
“Bersama orangtuaku. Orangtuaku. Ini bukan seperti per ja lanan back-
packing ala anak muda bersama teman-teman. Kami akan pergi mengunjungi
makam-makam leluhur dan sembarang petak tanah yang mereka pikir pernah
dipipisi saudara kakek buyutku atau semacam itu.”
“Tunggu, leluhurmu orang Eropa?”
“Beberapa. Kau kira di Eropa tidak ada orang kulit hitam? Oh, Abby.”
“Bukannya aku tidak mengira … kau benar, aku bodoh. Jadi, ngomong-
ngomong, apa keputusan orangtuamu?”
“Ini adalah perjalanan bebas teknologi.”
“Apa maksudnya?” Aku duduk di atas handuk dan melepaskan sandal
jepitku. “Tanpa Google Maps?”
“Tanpa ponsel.”
Mataku melebar. “Kau tidak boleh membawa ponsel?”
“Mereka bilang itu detoks.”
“Itu penyiksaan.”
“Aku setuju!” Dia menjatuhkan diri di sampingku. “Kau tidak diizinkan
melakukan hal-hal yang menyenangkan musim panas ini, karena aku takkan
bisa mendengarnya.”
“Jangan khawatir. Saat kau kembali, semuanya akan kembali sama,” ujarku.
Persis. Sama.
6
“Sebaiknya begitu.”
Aku menggali pasir dengan jari-jari kakiku dan mengamati Cooper ber-
jalan menuju ke arah kami sambil membawa popcorn dan sebotol air. Rambut
pirangnya sedikit berombak malam ini dan memantulkan secercah cahaya
terakhir bagaikan sebuah halo. Mata birunya, diterangi oleh senyumnya, ber-
temu dengan mata ku dan aku tidak bisa menahan senyum yang menjalar di
wajahku.
“Bagaimana truk konsesinya?” tanyaku.
“Konsesi? Dan kau mengolok-olok Rachel karena menggunakan istilah
kakek-kakek?”
“Bla bla bla, terserah.”
Dia duduk di atas handuk bergaris-garis kuning dan putih di sebelah
kananku dan mengulurkan botol air kepadaku.
“Apa ini sampah? Aku mau kafein.”
“Baru kemarin kau bilang padaku kau tidak minum soda lagi. Bahkan kau
mengatakannya dengan cukup dramatis. Lalu kau bilang, jaga aku agar tetap
berada di jalan yang benar, Cooper.”
“Apa?” tanya Rachel dari sisi kiriku. “Kau menghabiskan satu setengah liter
Mountain Dew di rumahku kemarin malam.”
“Sttt.” Aku menekankan jariku pada bibirnya. “Kita tidak sedang
membicarakan hal itu.”
Copper bersungut-sungut dan Rachel menepis tanganku.
“Memangnya kalian pikir aku siapa? Wonder Woman? Oh, ya ampun.”
Aku membuka tutup botol dan meminum isinya.
“Namanya Iris,” Cooper mengangguk ke arah food truck dan gadis yang
sudah membelikannya tiket.
“Oh tidak,” ujar Rachel.
Aku mendengungkan simpati palsu. “Kegagalan telak—nama yang tidak
bisa disingkat. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memberitahukan namanya
padamu akan menjadi akhir baginya.”
7
“Itu tidak bisa disingkat sama sekali. I. Apa seharusnya ku panggil dia I?”
tanya Cooper.
“Kau bisa mengatasi sifat pemalasmu dan panggil saja dia dengan nama
lengkapnya.”
“Ini bukan tentang malas. Ini tentang harapan percintaanku. Aku ingin bisa
memanggil pacarku dengan versi singkat namanya.”
Aku mendengkus. “Aku tahu kau berpikir bahwa itu mem buatmu tampak
seksi atau apa pun, tapi sungguh itu tidak seksi.”
Dia mencomot segenggam popcorn dan mengangkat bahu. “Masa bodoh.”
Aku berpikir sejenak. “Bagaimana kalau Ris?” Aku tidak yakin kenapa aku
berusaha membantunya dengan gadis baru ini ter le pas dari fakta bahwa hal
itu membuat perasaanku remuk. Perasaan yang tidak diketahui orang lain
selain aku … dan ibuku … dan mungkin Cooper, meskipun aku cukup yakin
telah meyakinkan dia bahwa aku hanya bercanda musim panas lalu.
“Ris kedengarannya imut,” Rachel mengambil segenggam penuh popcorn
bagiannya dari ember Cooper.
“Huh,” ujarnya. “Boleh juga. Untung aku punya nomornya.”
“Harusnya dia membelikan aku tiket nonton. Aku baru saja me nye-
lamatkan peluangnya.” Aku menyaksikan matahari ber teng ger di atas tepi
lautan sebelum ia mencelupkan diri ke ba wah nya.
“Bagaimana dengan kalian berdua?” tanya Cooper. “Apa ha rap an
percintaan kalian?”
“Harapanku dalam waktu dekat ini,” ujar Rachel, “adalah ber temu
seorang cowok Italia dengan rambut panjang berombak dan aksen yang
kental sampai-sampai aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya, tapi dia
memiliki bibir yang luar biasa, jadi itu bukan masalah.”
Aku tertawa. “Apakah ini sebelum atau sesudah kau dan orang tuamu
menemukan petak tanah yang dipipisi paman buyutmu?”
“Pastinya sebelum … dan sesudahnya juga. Bagaimana dengan mu, Abby?”
tanya Rachel. “Harapan percintaanmu?”
8
Aku duduk dan mulai menggambar di atas pasir dengan jari telunjukku.
“Pastinya seorang seniman. Seseorang yang bisa melukis atau menggambar
sesuatu.”
“Tapi bagaimana kalau dia lebih baik darimu? Kenapa kau menginginkan
seseorang yang memiliki bakat yang sama seperti dirimu?” tanya Rachel.
Ya,” Cooper setuju. “Itu akan berubah menjadi kompetisi.”
“Hanya karena kau mengubah segalanya menjadi sebuah kompetisi,
Coop, bukan berarti orang lain juga melakukannya.”
“Lihat, namaku sempurna. Bisa disingkat dengan hasil yang epik.”
“Aku tidak tahu itu bisa disebut epik atau tidak, tapi itu manis,” ujarku.
“Sebenarnya, itu mengingatkanku,” ucap Rachel. “Seseorang menanyakan
tentang salah satu karyamu baru-baru ini. Dia ingat pernah melihatnya di
ruang seni sebelum sekolah bubar dan belum bisa menghilangkannya dari
kepalanya.”
“Siapa yang menanyakannya?”
“Aku tidak mengenalnya. Dia menghentikanku di Starbucks. Kurasa dia
tahu kita berteman.”
“Keren,” ujar Cooper.
Aku menggigit bibirku dan tersenyum. Aku ingin berteriak, lihat, Cooper,
aku punya kemampuan. Aku cewek yang tidak buruk-buruk amat. Aku seorang
seniman.
“Jadi soal harapan percintaan barusan,” ujar Rachel. “Apakah mengagumi
senimu sebanding dengan menjadi seorang seniman? Karena jika demikian,
kau harus mengajak cowok misterius itu kencan.”
“Ya! Harus,” ujar Cooper.
“Mengagumi karya seni adalah nomor dua setelah menjadi seniman.
Untunglah kau punya begitu banyak informasi terperinci tentang siapa dia,
Rachel.”
“Itu masalah kecil.”
Film dimulai pada layar lebar di hadapan kami, musik yang memekakkan
telinga terdengar dari pelantang suara.
9
Rachel mendekat ke telingaku. “Aku harus ke kamar mandi. Aku akan
segera kembali.” Dia bergegas pergi.
Cooper bergerak tengkurap, memosisikan dirinya di sampingku sehingga
pundak kami saling bersentuhan. Dia mulai menggambar manusia-manusia
tongkat di pasir di sebelah gambar yang kubuat. “Hanya kau dan aku musim
panas ini,” ujarnya.
Jantungku melonjak mendengar kata-kata itu. Kita sudah sele sai dengan
Cooper, aku mengingatkan jantungku. Bagai manapun juga, dia adalah salah
satu sahabat baikmu. Kita bisa mengatasi musim panas sendirian bersama
Cooper Wells. “Yap.” Aku men jangkau dan menambahkan roda pada bagian
bawah salah satu manusia tongkatnya. “Kau balapan di bukit pasir minggu ini?”
Cooper membalapkan ATV-nya di sebuah liga amatir yang diben tuk oleh
beberapa pecinta ATV.
“Hari Rabu nanti. Aku mengharapkan kehadiranmu di sana dengan
spanduk besar bertuliskan, ‘Cooper nomor satu’.”
“Tapi bagaimana kalau kau jadi nomor dua? Pasti rasanya akan canggung.”
Dia membenturkan bahunya ke bahuku.
“Aku akan datang. Memangnya aku pernah tidak datang?”
“Yah, kau biasanya datang bersama Rachel dan Justin, jadi aku tidak yakin.”
“Aku biasa datang tanpa mereka selama ini.” Aku bertemu dengan
Cooper lebih dulu saat kelas delapan. Kami berteman sejak saat itu. Rachel
dan Justin bergabung bersama kami di tahun pertama SMA.
“Itu benar. Dan aku memutuskan bahwa kau adalah jimat keberuntunganku,
jadi kau harus terus datang selamanya.”
“Pasti.” Selamanya aku akan menjadi penggemar setia Cooper. Gagasan
menyedihkan itu hampir membuatku kabur saat itu juga dan mendapatkan
kembali sedikit martabatku. Tapi kemudian dia tersenyum kepadaku.
DUA
Selama musim panas, aku biasa tidur selama yang kubisa. Tetapi pagi berikutnya
segaris cahaya dari jendela merayap ke dalam kamarku melalui kerai yang
terbuka sebagian dan tak mau pergi. Aku berdiri, melintasi kamarku, dan
menutup kerainya. Aku me nyusup kembali ke balik selimutku, menariknya
sampai ke te linga. Hal tersebut tidak menghentikanku mendengar dengung
ponsel di atas meja di sampingku. Aku bermaksud menga bai kan nya, tapi saat
benda itu berdengung lagi, aku tidak dapat me nahan rasa penasaranku. Pesan
dari Rachel menerangi layar ponselku.
Ini akan menjadi pesan terakhir yang kukirimkan selama sembilan
minggu.
Pesan itu diikuti oleh: Apa yang akan kau lakukan tanpaku?
Mungkin lebih banyak tidur.
Benar. Aku juga. Apa yang terjadi kalau aku suka hidup tanpa ponsel?
Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Bahkan kalaupun aku menyukainya, aku
takkan pernah membiarkan orangtuaku mengetahuinya. Mereka ba
kal ke le wat senang.