Salat jumat itu mengusik intelektualitas

5
Salat Jumat itu Mengusik Intelektualitas, Jiwa dan Hati Saya

Transcript of Salat jumat itu mengusik intelektualitas

Page 1: Salat jumat itu mengusik intelektualitas

Salat Jumat itu Mengusik

Intelektualitas, Jiwa dan

Hati Saya

Page 2: Salat jumat itu mengusik intelektualitas

Raphael, warga AS keturunan Amerika Latin ini, adalah seorang pemimpin kelompok

keagamaan Saksi Yehova sebelum akhirnya ia mengubah keyakinannya pada Alkitab ke Al-

Quran setelah berkunjung ke sebuah masjid.

Lelaki kelahiran Texas yang berprofesi sebagai dosen dan suka melawak ini mengucapkan

dua kalimat syahadat pada tanggal 1 November 1991. Sebagai mantan pemimpin jamaah

gereja Saksi Yehovah, tak sulit bagi Raphael untuk mendakwahkan Islam, begitu ia menjadi

seorang muslim. Lalu bagaimana ceritanya sampai Raphel mengenal Islam dan akhirnya

memutuskan masuk Islam?

Sejak usia muda, 20 tahun, Raphael sudah dipercaya untuk memimpin sebuah jamaah Saksi

Yehova. Ia mengatakan, gereka Saksi Yehova memiliki sistem kaderisasi berupa program

pelatihan yang sangat canggih, dengan memberlakukan sistem kuota. Seorang kader

pemimpin Saksi Yehova harus mengabdikan dirinya, dengan cara menyediakan waktu 10

sampai 12 jam setiap bulannya, untuk melakukan khutbah dari rumah ke rumah.

“Sistem kerjanya seperti manajemen penjualan. Manajemen penjualan di IBM saja mungkin

kalah dengan para kader Saksi Yehova yang dilatih menjadi pemimpin kelompok,” kata

Raphael memberikan gambaran canggihnya sistem pelatihan kader di Saksi Yehova.

“Maka, ketika saya sudah menjadi seorang kader pelopor, saya mengabdikan hampir seluruh

waktu saya berkunjung dari pintu ke pintu. Saya diwajibkan melakukan khutbah selama 100

jam per bulan, dan harus mempelajari tujuh versi Alkitab,” sambung Raphael.

Tapi lama kelamaan, Raphael merasakan ada kejanggalan dalam ajaran Saksi Yehova,

termasuk konsep sistem kuota. Sepertinya, jika seseorang berhasil memenuhi kuota yang

ditetapkan untuk menyebarkan ajaran Saksi Yehova, maka Tuhan akan mencintai orang itu.

“Jika Anda tidak bisa memenuhi kuota di bulan-bulan berikutnya, Tuhan tidak akan

mencintamu. Hal ini sungguh tidak masuk akal. Bagaimana bisa. di bulan ini Tuhan

mencintai saya dan di bulan lain Tuhan bisa tidak mencintai saya hanya karena tidak

memenuhi kuota yang ditetapkan,” papar Rapahel.

Hal lain yang menurutnya tidak masuk akal adalah, keyakinan ajaran saksi Yehova bahwa

merelah satu-satunya umat yang akan diselamatkan oleh tata baru dunia yang ditetapkan

Tuhan. Mereka yang bukan penganut Saksi Yehova, tidak akan selamat.

“Saya berpikir, Bunda Theresa bukan seorang penganut Saksi Yehova, tapi ia menghabiskan

waktunya untuk melakukan apa yang diajarkan Yesus, melakukan kebaikan; mulai dari

menjaga orang-orang jompo, merawat orang sakit dan anak-anak yatim piatu. Tapi apakah

Tuhan tidak akan menyayanginya hanya karena ia seorang Katolik, agama yang dianggap

musuh oleh jamaah Saksi Yehova?” tanya Raphael heran.

Masih banyak lagi hal-hal yang ia lihat dan ia dengar, yang membuatnya justru jadi

mempertanyakan ajaran Saksi Yehova yang sedang disebarluaskannya. Secara spiritual,

Raphael mengaku ia tidak lagi merasa nyaman. Tahun 1979, Raphael memutuskan untuk

keluar dari jamaah Saksi Yehovah, sambil menggerutu karena baru saat itu ia sadar bahwa

selama ini ia telah banyak membuang waktunya dengan mengabdikan diri pada gereja.

“Problemnya, saya tidak mengabdikan diri pada Tuhan. Tapi pada organisasi buatan

manusia,” tukas Raphael.

Page 3: Salat jumat itu mengusik intelektualitas

Lepas dari Saksi Yehova, ia bingung mau kemana. Ajaran Yehova mendoktrinnya untuk

meyakini bahwa semua ajaran agama adalah salah, kecuali ajaran Saksi Yehova, bahwa

menyembah berhala itu perbuatan buruk dan konsep Trinitas tidak berlaku.

“Saya seperti lelaki tanpa agama. Saya bukan seorang lelaki, tanpa keyakinan pada Tuhan.

Tapi ketika itu saya tidak tahu harus pergi kemana,” ujar Raphael.

Mengenal I-S-L-A-M

Tahun 1985, ia pindah ke Los Angeles dan mendatanagi gereka Katolik yang berlokasi tak

jauh dari rumahnya. Raphael ingin mencoba ajaran Katolik, tapi itu hanya bertahan selama

dua sampai tiga bulan. Raphael kemudian menjalani kembali kehidupan tanpa agamanya,

sembari bekerja dengan membintangi beberapa film dan menjadi bintang iklan.

Suatu hari di sebuah mall menjelang perayaan Natal, Raphel melihat seorang perempuan

melintas di hadapannya. Ia mencoba menyapa perempuan itu dan ingin mengajak mengobrol,

tapi ia tidak mendapat respon. Dari si perempuan itu pula Raphael tahu bahwa ia seorang

muslimah dan tidak bisa sembarangan bicara dengan seorang lelaki, kecuali betul-betul ada

keperluan khusus.

Kata “Muslim” benar-benar asing di telinga Raphael, ia pun meminta si muslimah tadi

mengeja huruf-huruf dari kata Islam, agama orang Muslim. Ketika itu, yang Raphael tahu

semua Muslim adalah teroris. Tapi Raphael terus bertanya pada muslimah tadi tentang

bagaimana awal munculnya agama Islam. Si muslimah lalu menceritakan bahwa agama Islam

diturunkan pada Nabi Muhammad Saw dan disebarkan oleh nabi terakhir pada umat manusia.

Setelah mendengar cerita tentang Islam dan Nabi Muhammad, Raphael mulai melakukan

riset. Niatnya waktu itu cuma ingin mencari tahu, dan tidak punya keinginan untuk menjadi

seorang muslim.

Meski tak menganut agama apapun, Raphel terus berdoa. Namun ia merasa doa-doanya tak

dijawab Tuhan. Hingga suatu hari, saat membereskan laci meja pamannya yang akan pulang

setelah dirawat di rumah sakit, Raphael menemukan Injil Gideon di dalam laci itu, dan ia

merasa Tuhan menjawab doanya bahwa ia harus menjadi seorang penganut Kristen. Raphael

pun berdoa lagi, meminta pada Tuhan agar ia bisa menjadi seorang Kristen. Bukan menjadi

menjadi seorang penganut Saksi Yehova lagi, dan bukan penganut Katolik.

Suatu ketika, saat sedang membaca Kitab Perjanjian Lama, Raphael teringat perkataan

muslimah yang ia jumpai di mall bahwa kaum Muslimin punya seorang nabi, Nabi

Muhammad Saw. “Tapi mengapa nama Nabi itu tidak ada dalam kitab ini?” Raphael

bertanya-tanya dalam hati.

Ia pun mulai memikirkan tentang kaum Muslimin, berapa jumlahnya di seluruh dunia?

Raphel pun memutuskan untuk mulai membaca terjemahan Al-Quran. Ia lalu pergi ke sebuah

toko buku bahasa Arab. Pada penjaga toko, Raphael mengatakan bahwa ia membeli Quran

karena cuma ingin membaca isinya, bukan ingin menjadi orang Islam.

Sesampainya di rumah, Raphael mulai membaca Al-Quran, mulai dari Surat Al-Fatihah dan

seterusnya, mata Raphael seolah tidak mau lepas dari Al-Quran yang dibacanya. Ia terkesima

Page 4: Salat jumat itu mengusik intelektualitas

begitu mengetahui bahwa Al-Quran juga menceritakan tentang nabi-nabi lainnya yang

Raphael kenal dalam ajaran Kristen, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, dan lain-lain.

Ke Masjid

Setelah membaca Quran, Raphael berpikir, apa lagi yang akan ia lakukan selanjutnya? Ia lalu

membuka buku halaman kuning, dan akhirnya menemukan apa yang ia cari, sebuah Islamic

Center di Vermont, California Selatan. Setelah menelpon ke Islamic Center itu, pihak Islamic

Center memintanya datang pada hari Jumat.

“Saya betul-betul grogi waktu itu. Saya berpikir bahwa saya akan pergi menemui seorang

habib bersenjata AK-47,” ungkap Raphael membayangkan “teroris muslim” yang kerap ia

baca dan dengar dari media massa.

Akhirnya, ia sampai juga ke Islamic Center di Vermont. Saat datang, sedang berlangsung

khutbah Jumat, kemudian Raphael melihat orang-orang di Islamic Center melaksanakan salat

Jumat bersama.

“Sesuatu mulai merasuki intelektualitas saya, bahkan rasanya sampai ke otot, tulang, hati dan

jiwa saya,” tutur Raphael mengingat perasaannya saat itu.

Usai salat, beberapa jamaah menyapanya dengan ucapan “assalamualaikum” yang oleh

Raphael seperti terdengar kata “Salt and Bacon”. Raphael heran ketika banyak orang yang

mengucapkan “Salt and Bacon” padanya dengan senyum, seolah orang-orang itu sudah

mengenalnya.

Tak tahu apa yang harus dilakukan, Raphael pergi ke perpustakaan dan di sana ia bertemu

dengan anak muda bernama Omar, asal Mesir. Omar bertanya, apakah ini pertama kalinya

Raphael datang ke tempat itu. Raphael menjawab “Ya”.

“Oh, selamat datang. Apakah kamu muslim?” tanya Omar.

“Bukan. Saya cuma pernah sedikit membaca tentang Muslim,” jawab Raphael.

“Oh, apakah kamu sedang belajar? Ini pertama kalinya kamu berkunjung ke masjid?” tanya

Omar lagi.

“Ya,” jawab Raphael.

Ia lalu diajak berkeliling masjid oleh Omar, yang menggandeng tangannya. Seorang lelaki

lain, kemudian bergabung dengan mereka. “Orang-orang Muslim sangat ramah dan

bersahabat,” kata Raphael dalam hati.

Raphael di ajak melihat tempat salat, diberitahu mengapa alas kaki harus dilepas saat masuk

ke tempat salat, lalu ke tempat wudu. “Apa? Voodoo (ilmu sihir), saya tidak tahu apa-apa

soal Voodoo,” kata Raphael terperanjat mendengar kata “wudu” yang terdengar seperti kata

“Voodoo” di telinganya.

“Bukan … Bukan Voodoo, tapi Wudu!” kata Omar yang kemudian menjelaskan apa itu

Wudu.

Page 5: Salat jumat itu mengusik intelektualitas

Selesailah acara kunjungan Raphael hari itu. Ia pamit pulang dan meminta pada pustakawan

buklet tentang salat. Di rumah, Raphael mempelajari dan mempraktekan petunjuk salat di

buklet itu.

Akhirnya, pada tanggal 1 November 1991, Raphael bertekad bulat untuk menjadi seorang

muslim dan hari itu ia mengikrarkan dua kalimat syahadat. (In/IslamicBulletin)