Salam JKM, -...

70

Transcript of Salam JKM, -...

Page 1: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani
Page 2: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

240

Salam JKM,

Alhamdulillah, atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya redaksi Jurnal Kesehatan Malang dapat

menerbitkan Volume 2 Nomor 2, Mei – Agustus 2017. Majalah kita ini dapat terbit atas dukungan semua

pihak, terutama praktisi kesehatan dilingkungan RSUD Dr Saiful Anwar Malang – FKUB yang dengan

sukarela menyumbangkan karya ilmiahnya. Untuk terbitan-terbitan yang berikutnya, kami akan dan selalu

berusaha untuk lebih memperluas jangkauan, dan semakin membuka diri terhadap artikel ilmiah dari luar

RSUD dr Saiful Anwar Malang – FKUB sehingga keberadaan kami semakin dikenal luas dan artikel-artikel

yang disajikan akan semakin lengkap.

Pada Volume 2 Nomor 2, Mei – Agustus 2017, sebagaimana edisi-edisi sebelumnya, kali ini JKM

menyajikan topik-topik penelitian yang menarik. Artikel pertama tentang pilihan terapi obat pada kolik

ureter. Netty dkk membandingkan efikasi tramadol dibandingkan parasetamol pada tatalaksana kolik

ureter dan kaitannya dengan sitokin pro-inflamasi pada 20 pasien yang terdiagnosis kolik ureter. Masing-

masing 10 pasien secara random mendapatkan injeksi intravena tramadol 100 mg atau 1000 mg

paracetamol. Didapatkan hasil tramadol dan paracetamol memiliki efektifitas yang sama dalam

menurunkan tingkat nyeri setelah 60 menit yang diukur menggunakan skala 0-10 numeric rating scale

(NRS). Rasio IL-6 - IL-10 pada 0 dan 60 menit setelah diberikan analgesik tidak ada penurunan bermakna.

Rasio IL-6 - IL-10 pada pasien yang diberikan tramadol (p=0,334) dan yang diberikan paracetamol (p=0,284).

Disimpulkan bahwa tramadol intravena sebagai obat pada kolik ureter sama efektif dengan paracetamol

intravena. Selanjutnya Rizki Amalia dkk meneliti kaitan antara 17-estradiol dengan melasma. Untuk itu

dilakukan penelitian observasional dengan pengambilan data secara potong lintang. Penelitian dilakukan

pada 2 kelompok wanita dengan dan tanpa melasma, masing-masing 20. Didapatkan hasil pada kelompok

melasma kadar 17- estradiol serum terendah 16,27 pg/mL dan kadar 17- estradiol tertinggi 50,91 pg/mL,

sedangkan kadar 17- estradiol terendah pada kelompok non melasma sebesar 5 pg/mL dan kadar 17-

estradiol tertinggi sebesar 26,84 pg/mL. Disimpulakn bahwa kadar 17- estradiol pada melasma lebih tinggi

secara bermakna dibanding dengan non melasma.

Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bogi Pratomo dkk tentang peran kurkumin dalam

kaitannya dengan fibrosis hati, melalui penurunan kadar IL-17 sehingga diperkirakan dapat digunakan

sebagai obat antifibrosis pada hati. Dengan menggunakan tikus yang diinjeksi CCl4 selama 9 minggu untuk

menjadi tikus fibrosis yang selanjutnya dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok yang tidak

diberikan perlakuan, kelompok yang diberikan kurkumin 200,mg/kgbb/hari selama 5 minggu dan hanya

diberikan pelarut kurkumin CMC Na 1%, serta sebagai kontrol yang diberi NaCl 0,9%. Selanjutnya dianalisa

kadar IL-17 serum, ekspresi IL-17 jaringan hati dengan immunohistokimia dan derajat fibrosis hati yang

dinilai dengan kriteria metavir (F0-F4). Didapatkan hasil peningkatan kadar IL-17 serum pada tikus fibrosis

Editorial

Page 3: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

241

pada kelompok kontrol negative dan kelompok kontrol positif serta penurunan IL-17 serum pada kelompok

yang diberi kurkumin (p=0,000), sedangkan tidak didapatkan perubahan yang signifikan pada ekspresi IL-17

jaringan hati (p = 0,069) serta penurunan derajat fibrosis dengan (p > 0,05). Sehingga disimpulkan, bahwa

kurkumin menyebabkan penurunan kadar IL-17 serum setelah diterapi selama 5 minggu secara signifikan,

tetapi tidak terjadi pada ekspresi IL1-7 jaringan hati dan derajat fibrosis.

Penelitian berikutnya adalah oleh Agustin dan Kristin mengenai uji diagnostik presepsin pada sepsis

neonatorum. Penelitian ini dilatar belakangi oleh kesulitan mendiagnosis sepsis pada neonatus secara

klinis, karena beberapa tanda sepsis yang tidak spesifik dan sering didapatkan pemeriksaan fisik yang

normal meskipun telah terjadi bakteremia. Dilain pihak, kultur darah memiliki keterbatasan untuk diagnosis

pada neonatus. Dengan menggunakan baku emas kultur pada 51 neonatus yang memenuhi kriteria SIRS,

dilakukan pemeriksaan presepsin dan prokalsitonin sebagai biomarker pembanding. Didapatkan hasil pada

nilai cut-off presepsin sebesar 706,5 pg/ml didapatkan sensitivitas 85,7%, spesifisitas 68,8%, rasio

kemungkinan positif 2,75, rasio kemungkinan negatif 0,21, dan akurasi 80,4%. Sedangkan pada nilai cut-off

prokalsitonin sebesar 161,33 pg/mL didapatkan sensitivitas 68,6%, spesifisitas 62,5%, rasio kemungkinan

positif 1,83, rasio kemungkinan negatif 0,5, dan akurasi 66,7%. Sehingga disimpulkan, bahwa nilai

diagnostik presepsin lebih tinggi dibandingkan prokalsitonin.

Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindayanti dan Yani Jane yaitu tentang sindroma

vena kava superior sebagai komplikasi dari metastase seminoma testis ke mediastinum dan paru yang

membaik dengan kemoterapi. Dilaporkan seorang pasien laki-laki 32 tahun dengan riwayat seminoma testis

3 tahun lalu post orkidektomi sinistra datang dengan keluhan, gejala dan tanda sindroma vena kava

superior, serta batuk darah. Serum tumor marker menunjukkan peningkatan β-HCG dan LDH. Hasil dari

toraks PA dan CT scan didapatkan tumor mediastinum anterior superior dan nodul metastase pada kedua

paru. Setelah diberikan kemoterapi cisplatin etoposide 4 siklus dan ditambah 2 siklus, pasien mengalami

perbaikan klinis, radiologis, dan penurunan serum tumor marker gradual sehingga mencapai angka normal.

Diangkatnya kasus ini oleh penulis utamanya terkait dengan pentingnya untuk melakukan follow up secara

berkala pada tumor sel germinal.

Makalah yang terakhir adalah tulisan mengenai terapi imunosupresan pada transplantasi ginjal.

Sebagaimana diketahui bahwa obat-obat imunosupresan merupakan faktor penting pada transplantasi

termasuk transplantasi ginjal. Pada makalah ini akan diulas mengenai obat-obat imunosupresan, klasifikasi

obat, mekanisme kerja, cara pemberian dan penggunaannya baik sebagai terapi induksi, pemeliharaan

maupun penyelamatan.

Demikianlah, pada akhirnya pada Volume 2 Nomor 2, Mei – Agustus 2017 ini kami masih dan tetap terus

mengharapkan dukungan dan saran-saran perbaikan untuk penerbitan berikutnya dari semua pihak,

sehingga majalah kita ini akan semakin dapat memberikan manfaat sesuai tujuan dan motto kami yaitu

menyebarluaskan ilmu kesehatan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Selamat membaca

Page 4: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

J K M

Jurnal Kesehatan Malang

Susunan Redaksi

Pelindung : Direktur RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Penasehat : Wakil Direktur Pendidikan dan Pengembangan Profesi

Kepala Bidang Pendidikan dan Penelitian

Ketua Penyunting : Nur Samsu

Wakil Ketua Penyunting : Susanthy Djajalaksana

Sekretaris : Auragustini Ritavipa Djamaris

Penyunting Pelaksana : Ali Haedar

Cholid Tri Tjahyono

Dwi Indriani Lestari

Edi Handoko

Edi Mustamsir

Hani Susianti

Krisni Soebandijah

Sinta Murlistyarini

Siti Masamah

Sri Endah Noviani

Tatit Nurseta

Yuyun Yueniwati P.

Pelaksana Tata Usaha : Hermawan Yuniarto

S a r i

Winda Lestari

Sekretariat Bidang Pendidikan dan Penelitian RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 2 Malang 65111 Tel. (0341) 362101, Fax (0341) 369384

Email : [email protected]

Page 5: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

J K M

Jurnal Kesehatan Malang

Daftar Isi

NUR SAMSU

EDITORIAL ................................................................................................................................. 240

NURNANINGTYAS NETTY, SETIJOWATI NANIK, FREDDY ANTONIUS, BAGIANTO HARI PERBEDAAN PENURUNAN SKALA NYERI ANTARA PEMBERIAN TRAMADOL DAN PARACETAMOL SERTA RASIO INTERLEUKIN-6 - INTERLEUKIN-10 PADA PENANGANAN KOLIK URETER................ 242

RIZKI AMALIA RANGKUTI, TAUFIQ HIDAYAT, HERWINDA BRAHMANTI

PERBANDINGAN KADAR 17-ESTRADIOL SERUM PADA PASIEN WANITA MELASMA DAN NON MELASMA DI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG........................................................................ 250

BOGI PRATOMO, NOR HEDAYANTI, SUPRIONO PERAN KURKUMIN TERHADAP PENURUNAN KADAR IL-17 SERUM, EKSPRESI IL-17 JARINGAN HATI DAN DERAJAT FIBROSIS HATI PADA TIKUS MODEL FIBROSIS............................................... 260

AGUSTIN ISKANDAR, MAIMUN ZULHAIDAH ARTHAMIN, KRISTIN INDRIANA UJI DIAGNOSTIK PRESEPSIN PADA SEPSIS NEONATORUM........................................................... 272

LINDAYANTI SUMALI, YANI JANE SUGIRI SINDROMA VENA KAVA SUPERIOR SEBAGAI KOMPLIKASI DARI METASTASE SEMINOMA TESTIS KE MEDIASTINUM DAN PARU YANG MEMBAIK DENGAN KEMOTERAPI.......................... 282

NUR SAMSU IMUNOSUPRESAN PADA TRANSPLANTASI GINJAL.................................................................. 287

Jurnal Kesehatan Malang diterbitkan oleh RSUD Dr Saiful Anwar Malang dan didistribusikan untuk

Seluruh insan yang berkecimpung pada bidang kesehatan. Artikel-artikel kesehatan pada Jurnal Kesehatan

Malang ditulis oleh para ahli dibidangnya. Informasi, kritik dan saran lebih lanjut dapat melalui email :

[email protected]

ISSN 2502-2342

Page 6: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

J K M

Jurnal Kesehatan Malang

Pedoman Penulisan Naskah Jurnal Kesehatan Malang (JKM) RSUD Dr. Saiful Anwar

Penulisan Naskah

Naskah ditulis dengan bahasa Indonesia menggunakan program Microsoft Word dengan huruf Calibri

ukuran 11 pt dan spasinya 1,5 spasi. Naskah dicetak di atas kertas A4, lima belas halaman, rangkap dua dan

satu soft copy dalam bentuk CD dikirim ke redaksi jurnal disertai surat pengantar dan pernyataan

persetujuan dari semua penulis yang ditandatangani oleh penulis utama.

Sistematika Penulisan

Judul

Ditulis dengan jelas dan menarik dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dengan huruf Calibri 11 pt

tebal (Bold), maksimal dua belas kata dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Nama Penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar, huruf Calibri 10 pt miring (italic), apabila lebih dari dua penulis, hanya tiga

nama penulis saja yang dicantumkan di bawah judul, nama penulis yang lain ditulis dalam catatan kaki.

Institusi asal penulis dapat dicantumkan di bawah nama penulis.

Abstrak dan Kata Kunci

Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam satu paragraf dengan ringkas dan jelas,

terdiri dari: untuk penelitian 200-250 kata, tinjauan pustaka atau laporan kasus maksimal 150 kata dan

diketik menggunakan huruf Calibri ukuran 11 pt dengan spasi tunggal. Memuat secara ringkas gambaran

umum dari masalah yang di bahas di dalam artikel. Kata kunci ditulis di bawah abstrak dengan 3-5 kata.

Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dan tujuan penulisan.

Metode

Berisi desain, metode penelitian dan analisis statistik yang ditulis secara ringkas, jelas beserta rujukannya.

Page 7: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

Hasil

Penggunaan tabel, gambar, grafik atau foto hasil penelitian maksimal enam buah dan diberi judul singkat di

bawahnya dengan mengunakan huruf Calibri 11 pt tebal (bold). Keterangan tabel, gambar, grafik atau foto

ditulis di bawah, huruf Calibri 10 pt dengan spasi tunggal. Hasil yang sudah jelas dan dapat dibaca dengan

mudah dalam tabel tidak perlu diulang dalam teks.

Diskusi

Untuk penelitian, berisi pembahasan tentang hasil penelitian, temuan baru yang ditonjolkan dan

mengaitkan dengan temuan, teori dan pendapat sebelumnya, sedangkan untuk laporan kasus, berisi

pembahasan tentang temuan kasus tersebut yang dikaitkan dengan teori dan pendapat sebelumnya.

Simpulan untuk penelitian, ringkasan untuk laporan kasus dan tinjauan pustaka ditulis di paragraf terakhir,

dalam bentuk narasi satu paragraf ringkas dan jelas.

Daftar Pustaka

Daftar pustaka ditulis menurut sistem Vancouver, jika penulis lebih dari enam selanjutnya ditulis et al.

Jumlah rujukan minimal sepuluh buah, sesuai dengan yang dikutip dalam artikel dan berjangka waktu

maksimal sepuluh tahun terakhir dan lebih dari 80% dari semua rujukan.

Mitra Bestari

Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Malang, Universitas Muhammadiyah Malang

Page 8: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

PERBEDAAN PENURUNAN SKALA NYERI ANTARA PEMBERIAN TRAMADOL DAN PARACETAMOL SERTA RASIO INTERLEUKIN-6 - INTERLEUKIN-10 PADA PENANGANAN KOLIK URETER Nurnaningtyas Netty*, Setijowati Nanik**, Freddy Antonius*, Bagianto Hari*** *Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Saiful Anwar Malang, **Program Ilmu Kesehatan Masyarakat FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang, ***Departemen/SMF Anaesthesiologi dan Reanimasi FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK Latar belakang: Obat golongan nonsteroid anti-infammatory merupakan terapi utama pada penanganan kolik ureter.Tetapi obat tersebut memiliki kontraindikasi pada pasien gangguan ginjal, penyakit saluran cerna dan gangguan koagulasi. Sehingga analgesk lain diperlukan untuk meredakan rasa nyeri. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas analgesik tramadol dan paracetamol pada penanganan kolik ureter serta penurunan rasio interleukin-6 (IL-6) - interleukin-10 (IL-10) di instalasi gawat darurat RSUD dr Saiful Anwar. Metode: Uji klinis tersamar ganda dengan randomisasi dilakukan terhadap pasien dengan tanda dan keluhan kolik ureter. Subyek dilakukan randomisasi untuk menerima injeksi intravena baik tramadol 100 mg ataupun 1000 mg paracetamol. Jumlah total 20 pasien, 10 orang menerima tramadol dan 10 orang menerima paracetamol dan kedua grup dilakukan evaluasi untuk IL-6 dan IL-10 sebelum dan sesudah menerima analgesik. Hasil : Karekteristik pasien termasuk usia dan jenis kelamin semua subyek laki-laki. Tramadol dan paracetamol memiliki efektifitas yang sama dalam menurunkan tingkat nyeri setelah 60 menit yang diukur menggunakan skala 0-10 numeric rating scale (NRS). Rasio IL-6 - IL-10 pada 0 dan 60 menit setelah diberikan analgesik tidak ada penurunan bermakna. Rasio IL-6 - IL-10 pada pasien yang diberikan tramadol (p=0,334) dan yang diberikan paracetamol (p=0,284). Dari hasil semua variabel, tramadol dan paracetamol memiliki efektifas yang sama. Kesimpulan: Tramadol intravena sebagai obat pada kolik ureter sama efektif dengan paracetamol intravena. Kata kunci: Kolik ureter, tramadol, paracetamol, rasio interleukin-6 - interleukin-10. TRAMADOL VS PARACETAMOL IN URETERIC COLIC TO DECREASE PAIN SCALE AND RATIO INTERLEUKIN-6 - INTERLEUKIN-10 ABSTRACT Background: Nonsteroid anti-inflammatory drugs are considered the mainstay in the treatment of ureteric colic. But they are contraindicated in patients with renal failure, gastrointestinal disease and coagulation disturbance. In these case other analgesics shoud be use to relieve the pain. The aim of our study was to compare the analgesic efficacy of tramadol and paracetamol in the treatment of ureteric colic and decreased of rasio interleukin-6 (IL-6) - interleukin-10 (IL-10) in our emergency department. Methods: A double blind randomized clinical trial was conducted in patients with a clinical signs and symptoms of ureteric colic. Subjects were randomized to receive a single intravena injection of either 100 mg tramadol or 1000 mg paracetamol. Twenty patients were included, of these 10 received tramadol and 10 received paracetamol and both of them were examined for IL-6 and IL-10 before and after received the analgesics. Results : Patients characteristics including age and gender are all men. Tramadol was same as paracetamol in reducing the severity of pain at 60 minutes as measured on 0-10 numeric rating scale. The rasio IL-6 – IL-10 in 0 minutes and 60 minutes after giving analgesic were not significant decreased. Rasio IL-6 - IL-10 in patients treated with tramadol (p=0,334) and treated with paracetamol (p=0,284).For all the study variables, tramadol was same effective as paracetamol. Conclusions: Intravena tramadol as single agent for the treatment of ureteric colic is same as effective with intravena paracetamol. Keywords: Ureter colic, tramadol, paracetamol, rasio interleukin-6 - interleukin-10.

Laporan Penelitian

242

Page 9: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

Korespondensi:

dr. Nurnaningtyas Netty

Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017

243

Page 10: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

PENDAHULUAN

Rasa nyeri merupakan salah satu keluhan

utama seorang pasien datang ke unit gawat darurat

di Indonesia maupun luar negeri. Rasa nyeri akan

menyebabkan pasien datang ke unit gawat darurat

untuk segera mendapatkan pertolongan secepatnya

dari tenaga medis dan berharap rasa nyeri tersebut

mereda bahkan hilang sama sekali darinya.

Besarnya harapan pasien tersebut sebanding

dengan rasa ingin mengetahui mengenai penyakit

yang dideritanya, sembuh dan hilangnya segala rasa

tidak nyaman dan nyeri pada tubuhnya.

Kolik ureter merupakan keluhan yang

penting dan sering terjadi dalam praktek

kedokteran emergensi. Penyebab tersering adalah

adanya tersumbatnya saluran kemih oleh kalkuli.

Sitokin adalah mediator (berupa protein

atau glikoprotein dengan berat molekul 8-80kDa)

yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau

imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara

sel-sel untuk membentuk jaringan komunikasi

dalam respon imun. Sitokin interleukin-6 (IL-

6) memiliki sifat sebagai proinflamasi. IL-6 akan

menginduksi kuat dari respon protein fase akut.

Sedangkan fungsi rutin Interleukin-10 (IL-10)

terutama adalah menghambat atau meniadakan

respons peradangan. Setelah melibatkan reseptor

sel 110-kd yang berafinitas tinggi, IL-10

menghambat TNF-α yang dihasilkan

monosit/makrofag, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, granulocyte

colony-stimulating factor. IL-6 dan IL-10 mudah

terukur dalam sirkulasi pada pasien dengan

penyakit sistemik dan berbagai kondisi inflamasi.

Dari beberapa sediaan obat yang

direkomendasikan sebagai analgesik, perlu adanya

pengetahuan yang cukup mengenai efektifitas

terhadap kasus kolik ureter tersebut. Sehingga

tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

perbedaan penurunan skor nyeri pemberian

tramadol dan paracetamol berdasarkan efektifas,

efisien serta efek samping minimal pada

penanganan kolik ureter di IGD RSSA Malang

dengan rasio interleukin-6 (IL-6) - interleukin-10 (IL-

10).

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian pre and

post control experimental group design

menggunakan uji double blind randomized clinical

trial. Subyek adalah 20 pasien kolik ureter laki – laki

dengan rentang usia 20 – 50 tahun yang datang

berobat ke IGD RSUD Dr. Saiful Anwar Malang yang

mengalami kolik ureter akut onset < 72 jam sejak

kejadian dan skor skala nyeri ≥ 6 yang dinilai dengan

Numeric Rating Scale (NRS).

Pemeriksaan dilakukan pada 0 menit sdan

60 menit setelah mendapatkan pengobatan

paracetamol 1000 mg intravena atau tramadol 100

mg intravena serta diperiksa kadar IL-6 dan IL-10

dengan metode enzyme immunosorbent assay

(ELISA) baik pada 0 menit maupun 60 menit dan

dihitung nilai rasio-nya.

Uji analisis yang diakukan apabila distribusi

normal dengan uji independent t – test atau dengan

uji Mann-Whitney dan selisih antara nilai awal dan

akhir skala nyeri dengan uji paired t-test bila

distribusi normal atau menggunakan uji Spearman

bila distribusi tidak normal, dengan derajat

kepercayaan 95%, α = 0,05, bermakna apabila p <

0,05.

244

Page 11: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

HASIL

Selama dalam penelitian didapatkan hasil

gambaran deskriptif berdasarkan umur sampel

yang diberikan paracetamol terbanyak adalah pada

kisaran umur 41 – 50 tahun sebesar 80%,

sedangkan pada umur 31 – 40 tahun dan 21 – 30

masing – masing sebanyak 10%. Sedangkan pada

pasien yang diberikan tramadol terbanyak pada

umur 21 – 30 tahun dan 41 – 50 tahun masing –

masing 50 %. Sedangkan penilaian skala nyeri dari

10 orang sampel yang diberikan paracetamol 1000

mg dan 10 orang sampel yang diberikan tramadol

100 mg didapatkan variasi distribusi penurunan

skala nyeri (Tabel 1, 2 dan 3).

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penurunan Skala Nyeri NRS dengan pemberian Paracetamol dan Tramadol

Penurunan NRS Paracetamol Tramadol

n % n %

4 2 20 1 10 5 0 0 1 10 6 4 40 3 30 7 3 30 4 40 8 0 0 1 10 9 0 0 0 0 10 1 10 0 0

Jumlah 10 100 10 100

Dapat dilihat bahwa penurunan skala nyeri

yang diukur dengan metode Numeric Rating Scale

(NRS) pada 0 menit dan 60 menit setelah

pemberian paracetamol 1000 mg didapatkan yang

terbanyak menurunkan 6 poin dari skala awal yaitu

sebanyak 40%, dan pada 10% pasien yang

mengalami penurunan skala nyeri sampai 10 poin.

Setelah pemberian tramadol 100 mg intravena,

pasien terbanyak mengalami penurunan skala nyeri

7 poin, yaitu sebanyak 40%, selanjutnya pasien yang

mengalami penurunan skala nyeri sebanyak 4 poin,

5 poin dan 8 poin masing – masing 10%.

Dari tabel perbedaan variabel pemberian

paracetamol dan tramadol didapatkan nilai yang

bermakna pada selisih IL-6 (p = 0,35), IL-10 menit

ke-0 (p = 0,037), IL-10 menit ke-60 (p = 0,010), rasio

IL-6 - IL-10 pada menit ke-0 (p = 0,026), dan selisih

IL-6 - IL-10 pada menit ke-0 (p = 0,002).

245

Page 12: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

Tabel 2. Tabel Perbedaan Variabel Pemberian Paracetamol dan Tramadol

Variabel Mean ± SD Med(min–max) p

Pamol Tram Pamol Tram

Skala Nyeri menit-0 8.20±1.54 7.70±1.56 8 (6-10) 7.50(6-10) 0.482 ͣ Skala Nyeri menit-60 1.90±1.10 1.40±1.07 2 (0-2) 2.00(0-3) 0.252b

Selisih nyeri 6.30±1.70 6.30±1.16 6 (4-10) 6.50(4-8) 1,000a

IL-6 menit ke-0 0.90±0.53 0.99±0.84 0.66 (0.37-1.85) 0.84(0.33-3.08) 0.784 ͣ IL-6 menit ke-60 0,59±0.22 0.75±0.45 0.54(0.33-1.09) 0.49(0.33-1.37) 0.705b

Selisih IL-6 0.31±0.41 0.23±0.65 0.12(-0.03-1.15) -0.01(-0.16-1.94) 0.35b

IL-10 menit ke-0 1.93±0.74 1.08±1.17 1.5(1.29-3.22) 0.38(0.28-3.22) 0.037b

IL-10 menit ke-60 1,33±0.31 0.68±0.61 1.22(1.08-2.17) 0.34(0.03-2.06) 0.010b

Selisih IL-10 0.59±0.57 0.40±0.63 0.39(0.06-1.77) 0.04(0.00-1.91) 0,105b

Rasio IL-6-IL-10 mnt ke-0 0.56±0.44 1.57±1.18 0.38(0.15-1.44) 1.33(0.10-3.88) 0.026a

Rasio IL-6-IL-10 mnt ke-60 0.46±0.19 2.54±3.5 0.4(0.23-0.84) 1.24(0.19-12.15) 0.002b

Keterangan :

Pamol : Paracetamol Tram : Tramadol ͣ : Independent t - test b : Mann – Whitney test

Dari tabel korelasi antara skala nyeri dengan

rasio IL-6 - IL-10 pada pemberian paracetamol baik

pada menit ke-0 dengan (p = 0,089) maupun menit

ke-60 (p = 0,133), dan pemberian tramadol setelah

menit ke-60 (p = 0,136) sehingga tidak ada korelasi

bermakna. Sedangkan pada pemberian tramadol

menit ke-0 terdapat korelasi bermakna antara skala

nyeri dengan rasio IL-6 – IL-10 (p = 0,034).

Tabel 3. Korelasi Pemberian Paracetamol dan Tramadol

PARACETAMOL TRAMADOL

p r p r

Rasio IL-6 - IL-10 mnt-0 dan NRS mnt-0 0,089 a -0,464 a 0,034 a

-0,597 a

Rasio IL-6 - IL-10 mnt-60 dan NRS mnt-60 0,133 a -0,465 a 0,136 b

-0,443 b

DISKUSI

Secara keseluruhan pasien yang diteliti

mengalami perbaikan secara signifikan terhadap

penurunan intensitas nyeri yang dirasakan, Dimulai

dari awal pasien datang kemudian dilakukan

intervensi dan dinilai ulang intensitas skala

nyerinya, yang diukur dengan sistem penilaian

Numeric Rating Scale (NRS). Perubahan nilai skala

nyeri NRS akan bertambah seiring dengan

perubahan waktu, dimana perubahan terbanyak

pemberian paracetamol menurunkan 6 poin,

sedangkan pemberian tramadol menurunkan skala

nyeri terbanyak sampai 7 poin.

Dari hasil uji penurunan skala nyeri pada

kelompok yang diberikan paracetamol setelah 60

menit dibandingkan dengan kelompok yang

diberikan tramadol setelah 60 menit memiliki rerata

penurunan skala nyeri yang sama. Hal ini

menunjukkan bahwa penurunan intensitas nyeri

baik pada pemberian paracetamol maupun

tramadol sama efektif pada kasus kolik ureter pada

intensitas nyeri sedang sampai berat. Terapi

246

Page 13: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

paracetamol dan tramadol juga memiliki efek

samping yang berbeda, yang dapat dijadikan dasar

pertimbangan pemilihan karena kedua sediaan ini

sama efektif menurunkan skala nyeri pada kolik

ureter. Pemberian tramadol secara umum bisa

menimbulkan rasa mual serta muntah, pusing

alergi, bahkan kemungkinan terjadi depresi nafas.

Sedangkan paracetamol relatif aman karena

minimal resiko mual,muntah dan alergi, walaupun

pada beberapa kasus bisa menimbulkan

hepatotoksik.

Dari hasil pengujian rasio IL-6 - IL-10 pada

menit ke – 0 dan menit ke – 60 setelah pemberian

paracetamol tidak ada perbedaan yang bermakna

diantara keduanya. Demikian juga terlihat pada

hasil uji yang melihat rasio IL-6 - IL-10 pada menit ke

– 0 dan menit ke – 60 setelah pemberian tramadol

juga memberikan hasil yang tidak ada perbedaan

yang bermakna. Sehingga dapat dikatakan bahwa

rasio sitokin pro – inflamasi dan anti – inflamasi

pada pasien yang menerima obat paracetamol dan

tramadol memiliki kesamaan atau tidak berbeda

secara signifikan. Hal tersebut bisa saja disebabkan

adanya faktor – faktor lain yang menghambat

pelepasan mediator pro – inflamasi disaat terjadi

proses inflamasi, demikian juga adanya faktor yang

menghambat pelepasan mediator sitokin anti –

inflamasi. Sehingga pemberian analgesik

paracetamol dan tramadol dapat bersifat sebagai

potensiasi penurunan intensitas rasa nyeri tersebut.

Terapi analgesik paracetamol dan tramadol

sama – sama efektif dalam menurunkan intensitas

rasa nyeri sedang sampai berat pada kasus kolik

ureter. Sedangkan rasio IL-6 - IL-10 pada menit ke –

0 dan menit ke – 60 pemberian analgesik

paracetamol dan tramadol tidak ada perbedaan

yang bermakna. Sehingga saran yang dapat

diberikan terhadap penelitian ini adalah dapat

membantu dan dikembangkan sebagai pedoman

penatalaksaan nyeri kolik ureter di IGD RSSA

khususnya dan IGD lainnya pada umumnya. Hal ini

bertujuan agar penatalaksaan nyeri dapat benar –

benar efektif, tepat dan aman dengan menurunkan

pemakaian non-steroid anti-inflammatory drugs

(NSAID) pada kasus – kasus kolik ureter. Pemilihan

jenis obat yang disarankan dari hasil penelitian ini

adalah paracetamol, oleh karena efek samping yang

minimal, aman diberikan pada pasien rawat jalan di

IGD.

Penelitian lain masih sangat diharapkan bisa

dikembangkan melalui penelitian ini, karena masih

banyak hal – hal yang dapat dijelaskan lebih lanjut

tentang penurunan rasa nyeri, faktor – faktor yang

mempengaruhi dan penyebabnya, demi

keselamatan dan kenyamanan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardakani, Y. H. & Rouini, M. R. 2007.

Pharmacokinetics of Tramadol and its Three

Main Metabolites in Healthy Male and Female

Volunteers. Biopharmaceutics & Drug

Disposition, 28, 526–533.

2. Bektas, F., Eken, C.,Karadeniz, O., Goksu, E.,

Cubuk, M., Cete, Y. 2009. Intravenous

Paracetamol or Morphine for the Treatment of

Renal Colic: A Randomized, Placebo-Controlled

Trial. Annals of Emergency Medicine, 54 No.4,

568-574.

3. Bertolini, A., Ferrari, A., Ottani, A., Guerzoni, S.,

Tacchi, R. & Leone, S. 2006. Paracetamol: New

Vistas of an Old Drug. CNS Drug Reviews, 12 (3-

4), 250-275.

247

Page 14: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

4. Bhogal, R., Jeganathan, M., Pierdies, M. &

Rennie, C. 2005. The Emergency Management of

Renal and Ureteric Colic. The Internet Journal of

Urology, 3 (2).

5. Bijjiga, E. & Martino, A. T. 2013. Interleukin 10

(IL-10) Regulatory Cytokine and its Clinical

Consequences. Journal Clinical Cellular

Immunology, S1, 007.

6. Burton, A. B., Wagner, B., Erb, H. N. & Ainsworth,

D. M. 2009. Serum interleukin 6 (IL-6) and IL-10

concentrations in normal and septic neonatal

foals. Veterinary Immunology and

Immunopathology 132, 122-128.

7. Cousins, M. J. & Carr, D. B. 2010. Physiology and

Psychology of Acute Pain. In: Pamela

E.Macintyre, D. A. S., Stephan A. Schug, Eric J.

Visser, Suellen M. Walker (eds.) Acute Pain

Management : Scientific Evidence.

8. Davenport, K. & Waine, E. 2010. The Role of

Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs in Renal

Colic. Pharmaceuticals 3, 1304-1310.

9. Detrick B, Nagineni CN, Hooks J. 2008. Cytokines

: Regulators of Immune Responses and Key

Therapeutic Targets. In : MRG Gorman , AD

Donnenberg. (eds). Handbook of Human

Imunology. 2nd ed. CRC Press.

10. Dizdarevic-Hudic, L., Kulsjugic, Z., Barakovic, F.,

Brkic, S., Sabitovic, D., Jahic, E., Divkovic, K. 2009.

Interleukin 6 and Interleukin 10 Acute

Myocardial Infarction. Bosnian Journal of Basic

Medical Sciences, 9 (4).

11. Falch, C., Vicente, D., Haberle, H., Kirschniak, A.,

Muller, S., Nissan, A. & Brücher, B. L. D. M. 2014.

Treatment of acute abdominal pain in the

emergency room:A systemic review of the

literature. European Journal of Pain, 1-12.

12. Fauci, A. S., Kasper, D. L., Longo, D. L.,

Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J. L. &

Loscalzo, J. 2008. Harrison's Principles of Internal

Medicine. 17.

13. Fillingim, R. B. 2005. Pain Measurement In

Humans. In: S. J. Anita Holdcroft, (eds.) Core

Topic in Pain. Cambridge University Press.

14. Golzari, S. E., Soleimanpour, H., Rahmani, F.,

Mehr, N. Z., Safari, S., Heshmat, Y. & Bakhtavar,

H. E. 2014. Therapeutic Approaches for Renal

Colic in the Emergency Department: A Review

Article. Anesthesia Pain Medical. 2014;

3(3):16222.

15. Grissa, M. H., Claessens, Y.-E., Bouida, W.,

Boubaker, H., Boudhib, L., Kerkeni, W.,Nouira, S.

2009. Paracetamol vs piroxicam to relieve pain in

renal colic. Results of a randomized controlled

trial. American Journal of Emergency Medicine,

1-4.

16. Hamzic, N. 2012. The Role of Interleukin-6 in the

Febrile Response. Faculty of Health Sciences,

Linkoping University, Linkoping, Sweden.

17. Hawker, G. A., Mian, S., Kendzerska, T. & French,

M. 2011. Measures of Adult Pain. American

College of Rheumatology, 63 (11), 240-252.

18. Kasudarman, H. 2012. Perbandingan efektifitas

dan efek samping pemberian metamizole

dengan tramadol sebagai prosedur sedasi dan

analgesia pada pemasangan selang dada kasus

pneumothoraks spontan. Spesialis, Fakultas

Kedokteran Brawijaya.

19. Koneru, A., Satyanarayana, S. & Rizwan, S. 2009.

Endogenous Opioids: Their Physiological Role

and Receptors. Global Journal of Pharmacology,

3 (3), 149-153.

248

Page 15: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

20. Lim, G., Wee, F. & Seow, E. 2006. Pain

Management in the emergency department.

Hong Kong Jounal of Emergency Medicine, 13

(1), 38-45.

21. Marco, C. A., Kanitz, W. & Jolly, M. 2013. Pain

Scores among Emergency Department (ED)

patients : Comparison by ED diagnosis. The

American Journal of Emergency Medicine, 44,

66-52.

22. Marco, C. A., Nagel, J., Klink, E. & Baehren, D.

2012. Factors associated with self-reported pain

scores among ED patients. The American Journal

of Emergency Medicine, 30, 331-337.

23. Masarani, M. & Dinneen, M. 2007. Ureteric colic:

new trends in diagnosis and treatment.

Postgraduate Medical Journal, 83, 469-472.

24. Motov, S. M. & Khan, A. N. 2009. Problems and

barriers of pain management in the emergency

department : Are we ever going to get better?

Journal of Pain Research, 2, 5-11.

25. Osorio, L., Lima, E., Autorino, R. & Marcelo, F.

2008. Emergency management of ureteral

stones : Recent advances. Indian Journal of

Urology, 24, 461-466.

26. Salameh, S., Hiller, N., Antopolsky, M., Ghanem,

F., Abramovitz, Y. & Stalnikowics, R. 2011.

Diclofenac versus Tramadol in the Treatment of

Renal Colic: A Prospective,Randomized Trial. The

Open Emergency Medicine Journal, 4, 9-13.

27. Scheller, J., Chalaris, A., Schmidt-Arras, D. &

Rose-John, S. 2011. The pro- and anti-

inflammatory properties of the cytokine

interleukin-6. Biochimica et Biophysica Acta

1813, 878-888.

28. Singer, A. J., Garra, G., Chohan, J. K., Dalmedo, C.

& Thode, H. C. 2008. Triage Pain scores and the

Desire for Use of Analgesics. the American

Journal of Emergency Physicians, 52 (6), 689-

695.

29. Solimun 2001.Universitas Brawijaya, Diklat

Metodologi Penelitian IKIP & PKM Kelompok

Agrokompleks.

30. Stewart, A. & Joyce, A. 2008. Modern

management of renal colic. Trends in Urology

Gynaecology & Sexual Health [Online],

May/June. Available: www.tugsh.com.

31. Teo, M. & Soo, K.-C. 2004. Management of the

Acute Abdomen. In: H.N Chih, & L. L Ooi, (eds.)

Acute Surgical Management. Singapore: World

Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

32. Todd, K. H., Ducharme, J., Choiniere, M.,

Crandall, C. S., Fosnocht, D. E., Homel, P. &

Tanabe, P. 2007. Pain in the Emergency

Department : Result of the Pain and Emergency

Medicine Initiative (PEMI) Multicenter Study The

Journal of Pain, 6, 460-466.

249

Page 16: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

250

PERBANDINGAN KADAR 17-ESTRADIOL SERUM PADA PASIEN WANITA MELASMA DAN NON MELASMA DI RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG Rizki Amalia Rangkuti, Taufiq Hidayat, Herwinda Brahmanti Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin, FKUB-RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK Latar Belakang : Melasma merupakan kelainan proses pigmentasi berupa hipermelanosis epidermis akibat peningkatan produksi melanin tanpa disertai perubahan jumlah melanosit. Patogenesis melasma masih belum jelas, namun pengaruh genetik dan hormonal yang dikombinasikan dengan paparan radiasi ultraviolet merupakan hal penting pada melasma. Data penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan

kontradiksi perbandingan kadar 17-estradiol pada pasien melasma dibanding non melasma. Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia sangat terbatas,

khususnya di Malang. Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan kadar 17-estradiol serum pada pasien wanita melasma dan non melasma. Metode: Desain penelitian adalah analitik observasional potong lintang. Subyek dikelompokkan menjadi 2 yaitu kelompok melasma dan non melasma, masing-masing kelompok terdiri dari 20 subyek wanita. Analisis data menggunakan uji komparasi independent sample t test. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel independen terhadap variabel dependen dari skala data kategorik dilakukan uji Chi-Square dengan alternatif uji Fisher’s Exact. Hasil: Dari 20 subyek penelitian

pada kelompok melasma didapatkan kadar 17- estradiol serum terendah 16,27 pg/mL dan kadar 17-

estradiol tertinggi 50,91 pg/mL, sedangkan kadar 17- estradiol terendah pada kelompok non melasma

sebesar 5 pg/mL dan kadar 17- estradiol tertinggi sebesar 26,84 pg/mL. Kesimpulan: Kadar 17- estradiol pada pasien melasma lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan pasien non melasma.

Kata kunci : Melasma, 17-estradiol serum, hormon

COMPARISON OF 17-ESTRADIOL SERUM CONSENTRATION ON WOMEN PATIENTS WITH MELASMA AND NON MELASMA IN DR. SAIFUL ANWAR MALANG ABSTRACT Introduction : Melasma is a common pigmentary disorder of epidermal hypermelanosis caused by increase production of melanin without any changes in the amount of melanocytes. The pathogenesis of melasma itself is remains unclear, however genetic and hormonal effects in combination with exposures to ultraviolet (UV) radiation are important part in melasma. Previous research data suggest a contradiction in the ratio of 17β-estradiol in melasma patients compared with non-melasma. As far as searches conducted by the researchers, the limited similar studies conducted in Indonesia, especially in Malang. Objective: To determine the ratio of serum 17β-estradiol levels in melasma and non-melasma female patients. Methods: The study design was analytic observational cross sectional. The subjects were grouped into 2 groups namely melasma and non melasma, each group consisted of 20 female subjects. Data analysis using comparative test independent sample t test. To know is there any correlation between independent and dependent variable of the categorical data scale used Chi-square test with Fisher’s Exact alternative test.

Results: Twenty subjects in melasma group, had the lowest serum 17β- estradiol level as much as 16.27 pg/mL and the highest 17β-estradiol level was 50.91 pg/mL, while the lowest levels of 17β-estradiol in non-melasma group was 5 pg/mL and the highest 17β- estradiol level was 26.84 pg/mL. Conclusion: Levels of 17β-estradiol in female patients with melasma were significantly higher than non-melasma patients Keywords : Melasma, 17-estradiol serum, hormone

Laporan Penelitian

Korespondensi: dr. Rizki Amalia Rangkuti Email : [email protected]

Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017

Page 17: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

251

PENDAHULUAN

Melasma merupakan kelainan

hipermelanosis umum yang biasa didapati pada

permukaan kulit wajah yang terpapar sinar

matahari. Perubahan warna kecoklatan pada

daerah-daerah tersebut merupakan masalah

estetika dan kosmetika bagi para penderitanya.1

Beberapa penelitian menyatakan melasma dapat

memberikan efek negatif yang signifikan terhadap

kualitas hidup penderitanya (terutama wanita),

antara lain frustasi, malu dan depresi akibat

melasma yang diderita.2,3,4 Rigopoulos et al.

menyatakan bahwa sekitar 90% sebaran melasma

adalah pada wanita usia produktif yang sering

terpapar oleh sinar matahari; 10% sisanya dialami

oleh pria.5

Etiologi dan patogenesis melasma sampai

saat ini belum diketahui secara pasti, namun

pengaruh genetik dan hormonal yang

dikombinasikan dengan radiasi ultraviolet

merupakan hal penting pada melasma.1 Beberapa

teori mengidentikan melasma dengan faktor resiko

seperti ras, paparan sinar ultraviolet, faktor genetik,

kehamilan, dan kontrasepsi hormonal.6 Beberapa

penelitian mengenai patogenesis melasma telah

tersedia, tetapi di Indonesia jumlahnya masih

sangat terbatas.7

Fakta bahwa melasma lebih sering dialami

oleh wanita, terutama yang hamil atau

mengonsumsi pil kontrasepsi hormonal

mengindikasikan adanya hubungan langsung antara

estrogen dengan timbulnya melasma.8,9 Lebih

lanjut, regulasi ekspresi reseptor estrogen terbukti

mengalami peningkatan pada lesi melasma.10,11,12

Sayangnya, masih terdapat perdebatan apakah 17ß-

estradiol, estriol, atau estrone yang paling

berpengaruh dalam patofisiologi melasma.

Data penelitian-penelitian sebelumnya

menyatakan terdapat penurunan kadar 17-

estradiol pada pasien melasma dibanding non

melasma, namun beberapa penelitian menyatakan

kadar 17-estradiol meningkat pada pasien

melasma dibanding non melasma, dimana sebagian

dari penelitian tersebut menyatakan peningkatan

17-estradiol tidak signifikan.11,12,15 Sejauh

penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, belum

ada penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia,

khususnya di Malang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui Perbandingan Kadar 17-estradiol

Serum pada Pasien Wanita Melasma dan Non

Melasma di Rumah Sakit Umum Daerah dr Saiful

Anwar Malang

METODE

Rancangan penelitian yang digunakan pada

penelitian ini adalah analitik observasional potong

lintang yang bertujuan untuk mengetahui

perbandingan kadar 17-estradiol serum wanita

dengan melasma dan non melasma. Sampel

penelitian dalam penelitian ini adalah semua

populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan

Kelamin dan Poli Kosmetik Medik RSSA Malang.

Kriteria inklusi kelompok melasma meliputi:

subyek wanita, berusia 20 - 49 tahun, dengan

diagnosis melasma berdasar anamnesis dan

gambaran klinis, memiliki siklus menstruasi teratur,

indeks masa tubuh 18,5 - 24,9 serta bersedia

menjadi subyek penelitian serta menandatangani

informed consent. Kriteria inklusi kelompok non

Page 18: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

252

melasma meliputi: subyek wanita, berusia 20 - 49

tahun, tanpa kelainan kulit, atau kelainan

hiperpigmentasi selain melasma, atau kelainan kulit

yang lain, memiliki siklus menstruasi teratur, indeks

masa tubuh 18,5 - 24,9 dan bersedia menjadi

subyek penelitian serta menandatangani informed

consent. Sedangkan kriteria eksklusi meliputi

subyek yang sedang hamil atau menyusui,

mengkonsumsi obat-obatan yang dapat

mempengaruhi kadar 17-estradiol (misal

antikonvulsan, obat-obatan fototoksik) selama 2

minggu terakhir, menggunakan kosmetik yang

dapat mempengaruhi munculnya melasma selama 1

minggu terakhir, serta subyek yang sedang dalam

terapi sulih hormon dengan estrogen dan

progesteron selama 1 bulan terakhir.

Pasien melasma dan non melasma yang

memenuhi kriteria penerimaan dibuatkan status

secara lengkap dan lembar pengumpul data.

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, peneliti

melakukan dokumentasi. Penegakkan diagnosis

ditentukan oleh 2 orang pemeriksa pada hari yang

sama. Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel

darah pada saat menstruasi hari pertama atau

maksimal sampai hari ke empat menstruasi untuk

dilakukan pemeriksaan kadar 17-estradiol serum

dengan metode ELISA.

Analisis data penelitian dilakukan dengan

menggunakan uji komparasi independent sample t

test dengan alternatif uji Mann-Whitney. Uji Chi-

Square digunakan untuk mengetahui ada tidaknya

hubungan variabel independen terhadap variabel

dependen dari data dengan skala data kategorik

(skala nominal dan/atau ordinal) dengan uji Fisher’s

Exact sebagai uji alternatif. Perbedaan hasil

berbagai pengukuran diuji dengan tingkat

kemaknaan p<0,05 dan interval kepercayaan 95%.

HASIL

Telah dilakukan penelitian pada 40 subyek

penelitian melasma dan non melasma. Pengambilan

data subyek penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit

dan Kelamin dan Poliklinik Kosmetik Medik RSUD.

dr. Saiful Anwar Malang mulai bulan Januari 2017

hingga April 2017. Pasien melasma dan non

melasma yang memenuhi kriteria penerimaan dan

setuju mengikuti penelitian dijadikan sebagai

subyek penelitian. Masing-masing subyek penelitian

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dokumentasi, serta pemeriksaan kadar 17-

estradiol serum pada hari pertama atau maksimal

hari ke empat menstruasi. Data-data yang tersedia

kemudian dilakukan analisis statistik.

1. Hasil Uji Normalitas Data

Dalam penelitian ini hasil analisis data pada

uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji

Shapiro-Wilk (Tabel 1). Data umur pasien, usia

menarche, serta kadar kadar 17β-estrogen pada

pasien melasma dan non melasma menunjukkan

terdistribusi normal. Oleh karena dari ketiga

variabel tersebut pada masing-masing kelompok

pengamatan telah menunjukkan nilai p-value yang

semuanya lebih besar dari taraf signifikansi ∝ =

0.05. Jadi semua data telah memenuhi uji prasyarat

parametrik. Sehingga ketiga variabel tersebut lebih

lanjut digunakan uji t sampel bebas (independent

sample t test).

Page 19: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

253

Tabel 1. Hasil uji normalitas data

Kelompok pengamatan p-value

distribusi melasma Non melasma

Umur 0.231 0.100 normal Usia menarche 0.222 0.212 normal Kadar 17β-estradiol 0.431 0.120 normal

Keterangan: Jika p-value < 0.05 berarti data tidak terdistribusi normal dan jika p-value ≥ 0.05 berarti data terdistribusi normal.

2. Karakteristik Sampel

Pada penelitian ini sampel yang peroleh

sebanyak 20 orang pasien yang didiagnosis

melasma dan 20 orang pasien yang didiagnosis non

melasma. Adapun data yang sudah terkumpulkan

dianalisis dengan menggunakan uji t sampel bebas

(independent sample t test) untuk data umur

(tahun) dan usia menarche (tahun) karena data

berskala rasio dan terbukti terdistribusi normal dan

uji Chi-Square untuk data berskala kategorik

(nominal dan ordinal), dijelaskan pada tabel-tabel di

bawah ini (Tabel 2, 3 )

Tabel 2. Sebaran data umur dan usia menarche

Variabel Kel. Kasus

(n=20) Kel. Kontrol

(n=20) p-value

Umur (tahun)

41.95±4.56 27.90±4.22 0.000

usia menarche

(tahun) 14.10±1.25 13.15±1.90 0.070

Keterangan: Jika p-value ≤ 0.05 berarti ada perbedaan yang bermakna dan jika p-value > 0.05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna

Pada kelompok melasma umur pasien

tersebar antara 37 tahun sampai 47 tahun dan pada

kelompok non melasma umur pasien tersebar

antara 23 tahun sampai 33 tahun. Tampak dari

interval nilai kedua sebaran umur pasien sama

sekali tidak beririsan sehingga kedua kelompok

pengamatan tersebut dapat dikatakan umurnya

sangat berbeda bermakna, sehingga kedua

kelompok sampel pengamatan tidak homogen

dalam hal umur. Umur pasien kelompok melasma

cenderung sekitar 42 tahun dan kelompok non

melasma cenderung sekitar 28 tahun.

Sebaran usia menarche pasien

menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna

(p=0.070) antara kelompok melasma dengan

kelompok non melasma. Jadi kedua kelompok

sampel pengamatan terbukti homogen dalam hal

usia menarche.

Page 20: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

254

Tabel 3. Hasil Karakteristik Sampel Pasien

V a r i a b e l Kejadian melasma

p-value melasma Frekuensi (%)

non melasma Frekuensi (%)

Riwayat keluarga: 0.000

Ada riwayat 15 (75%) 1 (5%)

Tidak ada 5 (25%) 19 (95%)

Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)

Riwayat terapi hormon: -

tidak ada riwayat 20 (100%) 20 (100%)

Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)

Riwayat KB hormonal: 0.000

ada 13 (65%) 0 (0%)

tidak ada 7 (35%) 20 (100%)

Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)

Siklus mens teratur: -

teratur 20 (100%) 20 (100%)

Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)

Riwayat keganasan: -

tidak ada 20 (100%) 20 (100%)

Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)

Riwayat penyakit sistemik: -

tidak ada 20 (100%) 20 (100%)

Total : 20 (50%) 20 (50) = 40 (100%)

Kelainan kulit lain: 0.235

Ya (akne vulgaris) 2 (10%) 6 (30%)

tidak 18 (90%) 14 (70%)

Total : 20 (50%) 20 (50%) = 40 (100%)

Keterangan: Jika p-value ≤ 0.05 berarti ada pengaruh yang bermakna dan jika p-value > 0.05 berarti tidak ada pengaruh yang bermakna

Tampak hasil pada Tabel 3 menjelaskan

bahwa riwayat keluarga ada pengaruh yang

bermakna terhadap kejadian melasma (p=0.000).

Sebaran data pada riwayat terapi hormon semua

pasien menunjukkan tidak ada riwayat terapi

hormon. Jadi dapat dikatakan bahwa riwayat terapi

hormon tidak ada pengaruhnya terhadap kejadian

melasma. Sedangkan pada riwayat KB hormonal

menunjukkan ada pengaruh yang bermakna

terhadap kejadian melasma (p=0.020). Pada siklus

mens teratur semua pasien menunjukkan teratur

mens baik pada kelompok melasma maupun

kelompok non melasma. Jadi dapat dikatakan

bahwa siklus mens teratur tidak ada pengaruhnya

terhadap kejadian melasma, demikian pula dengan

riwayat keganasan, serta kelainan kulit.

3. Hasil Uji Perbandingan

Pada hasil uji perbandingan kelompok

melasma dan kelompok non melasma pada data

kadar 17-estradiol (pg/mL) dengan menggunakan

uji t sampel bebas (independent sample t test)

dijelaskan dan ditunjukkan secara ringkas seperti

tampak tabel di bawah ini.

Page 21: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

255

Tabel 4. Hasil perbandingan kadar 17-estradiol (pg/mL)

Variabel

Kel. Kasus (melasma)

Rerata ± stan.dev

Kel. Kontrol (non melasma)

Rerata ± stan.dev

p-value

kadar

17-estradiol

35.11±10.48 14.90±6.12 0.000<

Keterangan: Jika p-value < ∝=0.05 berarti ada perbedaan yang bermakna dan jika p-value ≥ 0.05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna.

Pada Tabel 5.4 berdasarkan hasil uji t

sampel bebas (independent sample t test)

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang

bermakna (p=0.000) rerata kadar 17-estradiol

antara kelompok melasma (35.11±10.48 pg/mL)

dengan kelompok non melasma (14.90±6.12

pg/mL). Berdasarkan nilai reratanya kadar 17-

estradiol tampak pada kelompok non melasma jauh

lebih kecil nilainya bila dibandingkan dengan rerata

kadar 17-estradiol pada kelompok melasma. Hal

ini berarti bahwa pada pasien dengan melasma

menunjukkan nilai kadar 17-estradiol yang tinggi

bila dibandingkan dengan pasien yang tidak

melasma. Jadi hipotesis penelitian terbukti, yaitu

kadar serum 17-estradiol pada pasien wanita

melasma lebih tinggi dibandingkan dengan pasien

wanita non melasma.

DISKUSI

Melasma merupakan kelainan

hipermelanosis dengan patogenesis yang masih

belum jelas, namun pengaruh genetik dan

hormonal yang dikombinasikan dengan paparan

radiasi ultraviolet (UV) merupakan hal penting pada

melasma. Rigopoulos et al. menyatakan bahwa

sekitar 90% melasma dialami oleh wanita usia

produktif yang sering terpapar oleh sinar matahari,

terutama wanita yang sedang hamil atau

mengonsumsi pil kontrasepsi hormonal, dimana hal

ini mengindikasikan adanya hubungan langsung

antara estrogen dengan timbulnya melasma. 5,8,9

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

perbandingan kadar 17-estradiol serum wanita

pada kelompok pasien melasma dan non melasma

yang dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin dan

Poliklinik Kosmetik Medik RSUD. Dr.Saiful Anwar

Malang dengan menggunakan desain penelitian

potong lintang.

Terkumpul sebanyak 40 subjek penelitian

yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi

penelitian. Dengan pasien pada kelompok melasma

20 orang dan pasien kelompok non melasma

sebanyak 20 orang (1:1). Dari hasil seleksi inklusi

dan ekslusi diperoleh bahwa semua subjek

penelitian adalah wanita dengan rentang usia 20

sampai dengan 49 tahun, baik subjek penelitian

melasma maupun non melasma mempunyai siklus

mentruasi teratur, serta IMT yang normal yaitu

antara 18,5 – 24,9. Hal ini perlu ditentukan untuk

meminimalisir terjadinya hasil pengukuran dan

pengamatan terhadap kedua kelompok subjek

penelitian yang tidak valid terutama terhadap

penentuan kadar estradiol yang merupakan

prediktor utama yang ingin ditelaah dalam

penelitian ini. Kriteria inklusi dan ekslusi penelitian

sudah terpenuhi, terlihat dengan hasil distribusi

subjek penelitian 100 % adalah pasien dengan

kondisi tidak sedang hamil atau menyusui dan 100%

subjek penelitian mempunyai riwayat menstruasi

yang teratur. Penentuan subjek penelitian semua

wanita adalah didasarkan atas referensi penelitian

penelitian sebelumnya, bahwa kejadian melasma

lebih banyak terjadi pada wanita.13,14,15

Page 22: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

256

Pada karakteristik dasar subyek penelitian

semua variabel dengan jenis data numerik yaitu

umur, usia menarche dan kadar 17β-estradiol

dilakukan uji normalitas menggunakan uji Shapiro-

Wilks, diperoleh hasil bahwa semua variabel

tersebut mempunyai data yang terdistribusi normal,

dengan nilai p Shapiro-Wilks lebih dari 0,05.

Berdasarkan hal tersebut peneliti kemudian

melanjutkan analisis menggunakan uji t sampel

bebas (independent sample t test).

Hasil analisis yang tertera pada tabel 2

menyatakan terdapat perbedaan rata – rata umur

subjek penelitian pada kelompok pasien melasma

dibandingkan dengan pasien non melasma, dimana

diperoleh hasil bahwa pasien melasma mempunyai

rata – rata umur yang lebih tua dibandingkan

kelompok subjek penelitian non melasma (p <

0,0001). Hal ini menunjukan bahwa kejadian

melasma pada penelitian ini terjadi pada wanita

yang berusia lebih tua.

Pada hasil analisis terhadap usia menarche,

terlihat pada tabel 2 bahwa tidak terdapat

perbedaan rata – rata usia menarche antara

kelompok subjek melasma dengan subjek non

melasma (p=0,070). Usia menarche pada penelitian

ini tidak berhubungan terhadap kejadian melasma,

baik pada kelompok yang melasma maupun non

melasma mempunyai rata – rata usia menarche

yang sama besar.

Adanya riwayat melasma dalam keluarga

yang tampak pada hasil Tabel 3 menjelaskan bahwa

riwayat keluarga ada pengaruh yang bermakna

terhadap kejadian melasma (p< 0.0001). Dengan

kata lain adanya riwayat melasma dalam keluarga

akan memicu terjadinya melasma pada seseorang.

Demikian pula sebaliknya, tidak adanya riwayat

melasma dalam keluarga maka kecil kemungkinan

terjadinya melasma pada seseorang.

Sebaran data pada riwayat terapi hormon

semua pasien menunjukkan tidak ada riwayat terapi

hormon. Pada siklus menstruasi semua pasien

menunjukkan siklus menstruasi yang teratur baik

pada kelompok melasma maupun kelompok non

melasma. Demikian pula riwayat keganasan dan

riwayat penyakit sistemik menunjukkan semua

pasien tidak ada riwayat keganasan maupun

penyakit sistemik baik pada kelompok melasma

maupun kelompok non melasma.

Riwayat penggunaan KB hormonal

menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna

terhadap kejadian melasma (p=0.020). Seseorang

yang memiliki riwayat menggunakan KB hormonal

memungkinkan munculnya kejadian melasma,

sebaliknya bila seseorang tidak memiliki riwayat

menggunakan KB hormonal maka kemungkinan

kecil muncul kejadian melasma. Progesteron

merupakan hal yang cukup penting, yang biasanya

mendorong terjadinya melasma pada usia wanita

pada masa menopause. Estrogen akan menstimulasi

proses melanogenesis, dimana estrogen dalam

proses ini bertindak sebagai reseptor pembentukan

melanosit yang mempunyai peran penting terhadap

terjadinya pigmentasi pada bagian tubuh, sehingga

jika berlebihan akan menimbulkan kejadian

melasma. Kejadian ketidakseimbangan hormon

pada kondisi disfungsi ovarium banyak dilaporkan

salah satunya menyebabkan terjadinya melasma.9

Selain itu, produksi endogenesis selama

kehamilan atau setelah melahirkan dan ketika

menggunakan alat kontrasepsi pil menimbulkan

stimulasi berlebih terhadap estrogen dan

Page 23: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

257

progesteron yang mengakibatkan terjadinya

melasma.

Gambaran riwayat kelainan kulit lainnya

terhadap kejadian melasma seperti terlhat pada

Tabel 3 menjelaskan bahwa kelainan kulit lain tidak

ada pengaruh yang bermakna terhadap kejadian

melasma (p=0.235).

Perbandingan kadar 17-estradiol terhadap

kejadian melasma berdasarkan hasil uji t sampel

bebas (independent sample t test) menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

(p=0.000) rerata kadar 17-estradiol antara

kelompok melasma ([35.11±10.48]):([14.90±6.12])

pg/mL. Hal ini berarti bahwa pada pasien dengan

melasma menunjukkan nilai kadar 17-estradiol

yang tinggi bila dibandingkan dengan pasien yang

tidak melasma. Jadi hipotesis penelitian terbukti,

yaitu kadar serum 17-estradiol pada pasien wanita

melasma lebih tinggi dibandingkan dengan pasien

wanita non melasma.

Pada penelitian ini, terdapat rata – rata

kadar estradiol sebesar 56,9 ± 77,6 pada kelompok

non melasma dan 72,4 ± 29,2 pada kelompok

melasma. Penelitian yang dilakukan oleh Andi

Miranti et al menyatakan bahwa estradiol

meningkat lebih tinggi pada wanita melasma

dibandingkan dengan wanita non melasma (

13811,7 vs 12820,5), walaupun hasil ini tidak

bermakna secara statistik.11 Perubahan hormonal

pada wanita meningkat secara simultan oleh

meningkatnya estradiol. Melasma terjadi karena

adanya stimulasi yang berlebih dari sel melanosit

yang dipicu oleh meningkatnya hormon estrogen

dan progesteron. Peningkatan kedua hormon

tersebut memicu terjadinya produksi berlebih

pigmen melanin, dimana pada kondisi bagian tubuh

tersebut terkena paparan matahari dan ultraviolet,

memicu peningkatan pigmen melanin dan

menimbulkan bercak kecoklatan dan kehitaman

pada daerah tertentu yang terpapar sinar matahari

tersebut. Penelitian secara invitro, banyak

menyatakan bahwa melanosit merupakan reseptor

yang dapat meningkatkan estrogen, dengan

meningkatnya estrogen diiringi meningkatnya

estradiol yang menyebabkan meningkat pula pada

kadar tirosinase dan tyrosinase-related-protein1

serta tyrosinase-related-protein 2 yang merupakan

enzim yang terlibat dalam proses melanogenesis.9,11

Dijelaskan bahwa melagonesis merupakan

proses yang cukup berperan dalam penempelan

melanosit yang menstimulasi hormon melanocortin

reseptor 1 (MC-1R) dengan meningkatnya estradiol,

sehingga menentukan pigmentasi pada kulit, dan

pada beberapa kondisi kelainan pigmentasi

menyebabkan terjadinya melasma.10

Pigmentasi melasma merupakan kejadian

akibat meningkatnya produksi melanin atau

meningkatnya proliferasi dari melanosit aktif.

Meningkatnya produksi melanin menjadi pemicu

untuk terjadinya melasma.9

Jasuja et al. menyatakan bahwa kadar

estradiol meningkat seiring dengan meningkatnya

usia. Usia 30 – 39 thn mempunyai rata – rata kadar

estradiol sebesar 25,1 ± 7,4, sedangkan subjek

penelitian yang berusia > 60 thn mempunyai rata –

rata 27,1 ± 9,0. Meningkatnya kadar FSH seiring

dengan bertambahnya usia, juga mempengaruhi

peningkatan kadar estrogen.16

Ringkasan berdasarkan hasil analisis

menjelaskan bahwa munculnya melasma

ditunjukkan dengan kadar 17-estradiol yang tinggi.

Selain itu diduga pula ada faktor yang

Page 24: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

258

mempengaruhi terjadinya melasma, yaitu umur

pasien. Semakin tua umur seseorang maka resiko

munculnya melasma akan semakin besar. Demikian

pula penggunaan KB hormonal yang juga diduga

turut memicu munculnya melasma.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kadar

17- estradiol pada pasien melasma lebih tinggi

secara bermakna dibanding dengan pasien non

melasma.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lapeere Hilde. Boone Barbara. Schepper Sofie

De, Verhaeghe Evelien, Gele Mireille Van,

Ongenae Katia, Geel Nanja Van, Lambert Jo,

Brochez Lieve. 2012. Hypomelanoses and

hypermelanoses, in Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K (eds)

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

8th edition. McGraw-Hill. 14: 819

2. Yalamanchili Ravali, Shastry Veeranna,

Betkerur Jayadev. 2015. Clinico-

epidemiological study and quality of life

assessment in melasma. Indian J Dermatol,

60(5): 1-13.

3. Safizade Hossein, Meymandi-Shamsi Simin,

Hashemi-Bani Yalda. 2010. Quality of life in

women with melasma. Dermatology and

cosmetic, 1(4) : 179-86.

4. Ali Raafia, Aman Shahbaz, Nadeem

Muhammad, Kazmi Hasnain Atif. 2013. Quality

of life in patients of melasma. JPAD, 23(2): 143-

8.

5. Rigopoulos D, Gregoriou, Katsambas. 2007.

Hyperpigmentation and melasma. J Cosmet

Dermatol, 6(3): 195-202.

6. Kang, H.Y. and Ortonne, J.-P. 2010. What

should be considered in treatment of melasma.

Ann Dermatol, 22(4): 373-8

7. Udiani, A.A. 2012. Hubungan Penggunan

Kontrasepsi Oral Dengan Kejadian Melasma Di

Desa Ngebrak Kecamatan Gentan. thesis,

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

8. Handel AC, Lima PB, Tonolli VM, Miot LD, Miot

HA. 2014a. Risk factors for facial melasma in

women: a case–control study. Br. J. Dermatol,

171(3): 588-94

9. Varma K, Kumare Kiran, Sharma Harsh, Sharma

Megha. 2015. A role of estrogen in

etiopathogenesis of melasma in female

patients- a prospective observational study in a

tertiary care hospital. IJCED, 1(1): 21-24

10. Kim NH, Cheong KA, Lee TR, Lee AY. 2012.

PDZK1 upregulation in estrogen-related

hyperpigmentation in melasma. J. Invest

Dermatol, 132(11): 2622-31

11. Miranti Andi, Anwar Irawan Anis, Djawad

Khairuddin, Patellongi Ilhamjaya, Wahab

Siswanto, Abdullah Nasratuddin. 2016. Analysis

Level of Serum Estradiol Hormone of Pregnant

Women with Melasma. AJCEM, 4(2): 26-9

12. Gopichandani Kiran, Arora Pooja, Garga

Umesh, Minakshi Bhardwaj, Sharma Neera,

Gautam Krishan Ram. 2015. Hormonal profile

of melasma in Indian females. Pigment Int, 2:

85-90

13. Monteiro Rochelle C, Kishore B Nanda, Bhat

Ramesh M, Sukumar D, Martis Jacintha,

Ganesh H Kamath. 2013. A comparative study

of the efficacy of 4% hydroquinone vs 0,75%

kojic acid cream in the treatment of facial

melasma. IJD, 58(2): 157

Page 25: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

259

14. KrupaShankar Devasthanam Sundara Rao,

Somani Kumar Vijay, Kohli Malvika, Sharad

Jaishree, Ganjoo Anil, Kandhari Sanjiv, Mysore

Venkat Ram, et al. 2014. A cross-sectional,

Multicentric Clinico-Epidemiological Study of

Melasma in India. Dermatol Ther, 4: 71-81

15. Ali Sharique, Bali Suraj, Sharma R.P. 2015.

Hormonal evaluation in females having

melasma. JEMDS, 4(76): 13240-7

16. Jasuja Guneet Kaur, Travison Thomas G, Davda

Maithili, Murabito Joanne M, Basaria Shehzad,

Zhang Anqi, Kushnir Mark M. 2012. Age Trends

in Estradiol and Estrone Levels Measured Using

Liquid Chromatography Tandem Mass

Spectrometry in Community-Dwelling Men of

the Framingham Heart Study. J Gerontol A Biol

Sci Med Sci, 216: 1-8.

Page 26: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

260

PERAN KURKUMIN TERHADAP PENURUNAN KADAR IL-17 SERUM, EKSPRESI IL-17 JARINGAN HATI DAN DERAJAT FIBROSIS HATI PADA TIKUS MODEL FIBROSIS Bogi Pratomo, Nor Hedayanti, Supriono Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK Latar belakang : Injury hati yang disebabkan oleh virus, alkohol, zat toksik ataupun autoimun merupakan suatu respons inflamasi yang dapat menyebabkan fibrosis maupun sirosis hati dikemudian hari. IL-17 merupakan salah satu sitokin yang secara langsung menginduksi produksi kolagen tipe I pada HSC (Hepatic Stellate Cell) sehingga terjadi degenerasi matriks ekstraseluler, proliferative HSC yang menyebabkan terjadinya fibrosis hati. Kurkumin diduga dapat menurunkan kadar IL-17 sehingga dapat digunakan sebagai agen antifibrosis pada hati. Tujuan: Untuk mengetahui peran kurkumin dalam terapi kuratif untuk menurunkan kadar IL-17 serum, ekspresi jaringan hati sebagai salah satu respon inflamasi yang meningkat pada fibrosis hati dan mengetahui hubungannya dengan perbaikan derajat fibrosis. Metode: Penelitian eksperimental pada tikus jantan Rattus novergicus stain wistar completely randomized design yang diinjeksi CCl4 selama 9 minggu untuk menjadi tikus fibrosis yang kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok : kontrol positive ( tidak diberikan perlakuan), kelompok yang diberikan kurkumin 200,mg/kgbb/hari selama 5 minggu dan hanya diberikan pelarut kurkumin CMC Na 1%, kontrol negative (NaCl 0,9%) juga diamati sebagai kontrol. Sebanyak 16 tikus dianalisa baik kadar IL-17 serum dengan ELISA, ekspresi IL-17 jaringan hati dengan immunohistokimia dan derajat fibrosis hati yang dinilai dengan kriteria metavir (F0-F4). Hasil: Terjadi peningkatan kadar IL-17 serum pada tikus fibrosis pada kelompok kontrol negative dan kelompok kontrol positif. Terjadi penurunan IL-17 serum pada kelompok yang diberi kurkumin (p=0,000), sedangkan tidak didapatkan perubahan yang signifikan pada ekspresi IL-17 jaringan hati (p = 0,069) serta penurunan derajat fibrosis dengan (p > 0,05). Ada korelasi yang kuat antara IL-17 serum & ekspresi IL-17 jaringan hati (r = 0,758) dan tidak ada korelasi antara IL-17 serum dan ekspresi jaringan dengan derajat fibrosis. Kesimpulan : Kurkumin menyebabkan penurunan kadar IL-17 serum setelah diterapi selama 5 minggu secara signifikan, tetapi tidak terjadi pada ekspresi IL1-7 jaringan hati dan derajat fibrosis. Kata kunci : Kurkumin, IL-17 serum, ekspresi IL-17 jaringan hati, derajat fibrosis hati, tikus model fibrosis ABSTRACT ROLE OF CURCUMIN IN THE DECREASING OF IL-17 SERUM LEVELS, EXPRESSION OF IL-17 IN THE LIVER, AND GRADING OF FIBROSIS IN THE RAT MODEL OF LIVER FIBROSIS Background : Liver injury that was caused by virus, alcohol, toxic agents, or autoimmune was an inflammatory response that caused fibrosis and liver cirrhosis in the future. IL-17 was a cytokine that could induce production of type I collagen on hepatic stellate cell (HSC) and lead to extracellular matrix degeneration and liver fibrosis. Curcumin was hypothetically could decrease IL-17 levels thus could be used as an anti-fibrotic agent on liver. Aims : To know the rule of curcumin as a therapeutic agent that could decrease IL-17 serum and expression on liver as one kind of inflammatory responses that increased in the liver fibrosis and to know the correlation with the improvement of fibrosis. Methods : Experimental design on male Rattus covergicus rats strain Wistar with completely randomized design that injected with CCl4 for 9 weeks to induce fibrosis. Then, they were divided into several groups: positive control (no treatment), given curcumin 200 mg/kgbw/day for 5 weeks, and only curcumin solution with CMC Na 1%. Control negative (NaCl 0.9%) group was also used as a control. Sixteen rats were analyzed for serum IL-17 with ELISA, expression of IL-17 on liver with immunohistochemical, and grading for liver fibrosis with metavir criteria (F0-F4). Results : There was an increase of IL-17 serum in the control positive compared to negative control, IL-17 serum was decreased in the group given curcumin with p value p=0.000. From expression of IL-17 from the liver, there was no significantly different comparison between group (p=0.069) and there was no decreasing of the grading of liver fibrosis (p>0.05). There was a strong correlation between IL-17

Laporan Penelitian

Page 27: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

261

serum and IL-17 expression in the liver with r=0.758 but there was no correlation between IL-17 serum and expression in the liver with grading of fibrosis. Conclusion : Curcumin could decrease IL-17 serum after treated for 5 weeks significantly, however there was no difference in the expression of IL-17 in the liver and grading of fibrosis. Keywords : curcumin, IL-17 serum, expression of IL-17 in the liver, grading of fibrosis, the rat model of liver fibrosis.

Korespondensi:

dr. Bogi Pratomo, SpPD-KGEH

Email: [email protected]

Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017

Page 28: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

262

PENDAHULUAN

Fibrosis hati dahulu dianggap sebagai

sebuah proses yang irreversibel karena kolapsnya

parenkim hati dan adanya jaringan yang kaya akan

kolagen.1 Sejak tahun 1970an pada sebuah laporan

klinis menunjukkan bahwa fibrosis hati berpotensi

reversible. Sejak diketahui bahwa fibrosis

merupakan problem utama yang menyebabkan

morbiditas dan mortalitas pada penyakit hati kronis,

penentuan derajat fibrosis sangat diperlukan untuk

memberikan pengobatan yang dini dan secara

tepat. 2. Standar baku yang digunakan untuk

menentukan derajat fibrosis adalah dengan biopsy

hati untuk melihat adanya microinflamasi serta

menilai staging menggunakan metavir (F0-F4).3

Inflamasi merupakan sesuatu yang penting

dan bersifat kompleks dalam perkembangan dari

fibrosis hati, dalam proses injuri hati terjadi

akumulasi dari perekrutan sel-sel inflamasi ke

jaringan hati yang mengalami injuri. Sel dari innate

immune respons termasuk trombosit, neutrofil,

makrofag, cell mast dan natural killer (NK) cells, dan

yang berasal dari respon imun adaptif seperti sel B

dan sel T yang berpartisipasi dalam proses

fibrogenesis hati.6 Hepatic Stellate Cells (HSC) yang

teraktivasi, fibroblast portal, dan miofibroblas yang

berasal dari sumsum tulang merupakan sel-sel

penghasil kolagen terbesar pada injury hati. IL-17

secara langsung meginduksi produksi kolagen tipe I

pada HSC melalui aktivasi dari Stat3 signaling

pathway.7

Perbaikan substansial dalam pengobatan

penyakit hati kronis telah dipercepat dengan

mengungkap mekanisme yang mendasari fibrosis

hati dan resolusi sel hati. Kurkumin salah satu

bahan bahan natural dapat berperan sebagai

antioksidan yang bekerja sebagai hepatoprotektif

salah satunya yang merupakan pigmen berwarna

kuning yang terkandung di dalam kunyit yang

merupakan family dari Curcuma Longa Lnn.12

Sebagai antioksidan dan anti inflamasi kurkumin

diindikasikan untuk pengobatan yang potensial

untuk fibrosis hati dari berbagai jalur sinyal, dimana

kurkumin menurunkan ekspresi dari mediator

proinflamasi. Kurkumin juga mengurangi kerusakan

fibrosis hati akibat CCL4 melalui penghambatan

jalur TGF-β1/SMAD dan ekspresi CTGF selain itu

penurunan agiogenesis sinusoid dan kapilarisasi

melalui aktivitas PPAR dalam hal mencegah fibrosis

hati dan fungsi kurkumin lainnya juga merangsang

aktivitas peroksisom proliferator-activated receptor

Gamma (PPARγ) di dalam activated HSC yang

diperlukan untuk mengurangi proliferasi sel,

induced apoptosis dan menekan ECM. 14

METODOLOGI

Penelitian ekspreimental dilakukan selama

6 bulan, pada tikus jantan Rattus covergicus stain

wistar dengan BB 150-250gr dengan metode

completely randomized design, terbagi 4 kelompok

yaitu kontrol (positif dan negative), pemberian

pelarut kurkumin selama 5 minggu (KK5) serta yang

diberi pelarut kurkumin (KK5). Kelompok kontrol

diberikan injeksi NaCl 0,9%, sedangkan kelompok

perlakuan diberi CCL4 selama 9 minggu untuk

mencapai derajat fibrosis F3. Kelompok KP (CCl4

saja ) tidak dilakukan pemberian terapi. Sedangkan

untuk KK5 diberi pelarut kurkumin berupa CMC Na

1%. Kelompok perlakuan kurkumin KP5 diberikan

kurkumin MERCK-Schuchardt kemurnian 94%.

sebanyak 200mg/kgbb/hari selama 5 minggu.

Page 29: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

263

Penelitian ini telah mendapatkan

persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan

Universitas Brawijaya. Pemeriksaan IL-serum

dilakukan dengan metode ELISA, sedangkan

pemeriksaan ekspresi IL-17 jaringan hati

menggunakan immunohistokimia dengan antibody

dari IL-17 rat baik primer dan sekunder. Pewarnaan

slide patologi Anatomi dengan HE (hematoxylin

eosin).

Analisa ANOVA digunakan pada

perhitungan IL-17 serun dan jaringan sedangkan

derajat fibrosis dengan analisa Kruskal Wallis,

dengan nilai α: 95%. Untuk mencari hubungan

ketinganya menggunakan korelasi Spearman.

Analisis dengan bantuan SPSS 16.0

HASIL

Setelah paparan CCL4 selama 9 minggu,

diharapkan terjadi fibrosis F3 (septal fibrosis),

dimana terjadi peningkatan kadar IL-17 serum,

ekspresi IL-17 jaringan dan perubahan derajat hati.

kemudian kelompok KK5 dan KP5 dilakukan

pemberian kurkumin atau pelarut kurkumin

sebanyak 200mg/kgBB/hari selama 5 minggu

setelah itu tikus dikorbankan sesuai aturan yang

berlaku. Dari kelompok perlakuan didapatkan nilai

rata rata untuk masing masing kelompok sesuai

dengan tabel 1.

Table 1. Nilai Rata-rata setiap kelompok.

KN KP KK5 KP5

BB awal (gr)

186.25+25.27

187.25+ 16.21

178.75 + 10.5

177.75 + 14.38

BB akhir (gr)

238.75+23.7

257.25+35.9

214.5 + 31.1

219.25+ 39.8

Kadar IL-17 serum (pg/ml)

168.13 + 15.39

238.75+ 60.19

191.38 +17.99

139.25+ 16.6

Ekspresi IL-17 (%)

16,44 ± 2,65

30,92 ± 17,1

30,6 ± 6,13

18,03 ± 8,76

Derajat fibrosis

0 3 2.5 2

Proses pengujian hipotesis pada variabel

kadar IL-17 serum dan ekspresi IL-17 hati dilakukan

dengan menggunakan ANOVA, sebelumnya

dilakukan normalitas dan homogenitas data, sesuai

dengan gambar 1 & 2.

Gambar 1. Histogram pada kelompok tanpa pemberian kurkumin (resolusi spontan)

Gambar 2. Histogram pada kelompok pemberian kurkumin

Page 30: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

264

Gambar 3. Histogram perbandingan derajat fibrosis

Table 2. Perbandingan pada derajat fibrosis

Perlakuan Median p-value

KN 0.0 a

0.021 KP 3.0 b

KK5 2.5 b

KP5 2.0 b

Keterangan: Pada rata-rata ± sd jika memuat huruf yang berbeda berarti ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05) dan jika memuat huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0.05)

Untuk mengetahui hubungan antara Kadar

IL-17 Serum dengan Ekspresi IL-17 hati dengan uji

Pearson sedangkan sengan derajat fibrosis dengan

uji korelasi Spearman.

Tabel 3. Korelasi antara IL-17 serum, ekspresi IL-17 jaringan dan fibrosis hati.

Hubungan Koefisien Korelasi p-value

Kadar IL-17 Serum dengan Ekspresi IL-17 Hati 0.758 0.001 Kadar IL-17 Serum dengan Derajat Fibrosis 0.365 0.164 Ekspresi IL-17 Hati dengan Derajat Fibrosis 0.316 0.234

Gambar 4. Grafik Scatter Plot antara IL-17 serum dan IL-17 jaringan hati

PEMBAHASAN

Peran IL-17 pada fibrosis hati

Dari hasil penelitian didapatkan

peningkatan kadar IL-17 serum dari 168.13 + 15.39

pg/ml menjadi 238.75 + 60.19 pg/ml (p =0,009).

CCl4 bersifat hepatotoksok, dengan

metabolisme dihati oleh sitokrom P-450 di

retikulum endoplasma hati menyebabkan ikatan

lipid peroksidase, nekrosis sel, endapan kolagen

pada hati. selain itu sel Kupffer diaktifkan oleh

radikal bebas dan menghasilkan mediator

proinflamasi, yang memicu kaskade inflamasi.

Adanya kadar IL-17 serum lebih tinggi ini

menunjukkan adanya respon inflamasi yang

meningkat.27

IL-17 adalah sitokin proinflamasi yang

disekresikan oleh subtipe dari limfosit T helper,

Th17. Fibrosis pada hati yang berasal dari berbagai

penyebab penyakit hati kronik antara lain hepatitis

B (HBV), Hepatitis C (HCV), penggunaan alkohol, dan

nonalcoholic fatty liver disease, zat toksik seperti

CCL4 dan lain sebagainya.2

Pada beberapa penelitian menunjukkan

terjadinya peningkatan kadar IL-17 serum akibat

induksi virus hepatitis. Penelitian yang telah

0

10

20

30

40

50

60

0 100 200 300 400

Eksp

resi

IL-

17

Hat

i (%

)

Kadar IL-17 Serum (pg/ml)

r : 0.758

p=0,001

Page 31: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

265

dilakukan oleh Wen-Jun Du dan kawan-kawan pada

tahun 2013 menyatakan bahwa kadar serum

protein IL-17 lebih tinggi pada kelompok yang

memiliki penyakit hati. Rata rata kadar protein IL-17

pada keempat grup yaitu hepatitis B kronik 38.9 ±

11.34 pg/ml, sirosis hepatis 63.9 ± 18.82 pg/ml,

primary hepatic carcinoma 46.8 ± 14.39 pg/ml dan

chronic liver failure 44.0 ± 3.78 pg/ml, dengan

perbandingan kelompok kontrol 28.2 ± 7.78 pg/ml.

dimana terjadi peningkatan IL-17 sebesar 37,9%

pada hepatitis B kronik, 56% pada chronic liver

failure dan 63% pada primary hepatic carcinoma

dan tertinggi pada pasien sirosis hepatis yaitu

sebesar 126%.8

Pada sebuah penelitian yag dilakukan oleh

Hasan et.al pada tahun 2014 tentang serum IL-17

pada penyakit hepatitis C kronis dan gejala yang

terjadi, dikatakan bahwa kadar IL-17 serum

signifikan meningkat pada pasien dengan hepatitis

C kronik dan lebih tinggi kadar IL-17 serum pada

pasien dengan sirosis hati.24

Penelitian lain pada tahun 2015 oleh Ayman

F Elsayed di Mesir tentang jalur IL17 didalam

perkembangan hepatocellular carcinoma pada

pasien dengan hepatitis C dan sirosis hepatis.

Didalam 81 subjek penelitian dibagi didalam tiga

group yaitu sirrosis hepatis karena hepatitis C tanpa

HCC, group kedua adalah sirrosis hepatis dengan

HCC dan yang ketiga adalah kelompok kontrol.

Dimana didapatkan kadar IL-17 yang meningkat di

kedua kelompok dengan infeksi hepatitis C dengan

p < 0,001, kadar IL-17 meningkat pada penyakit hati

yang bersifat progresif dan kronik, IL-17 berperan

didalam immunopatogenesis dari infeksi hepatitis C.

dengan nilai kontrol 79.81 ± 12.38, pada kelompok

hepatitis C tanpa HCC meningkat sebesar 197.15 ±

71.36 pg/ml dan lebih tinggi pakda kelompok HCC

akibat hepatitis C 296.96 ± 99.22 pg/ml.11

Dari hasil perhitungan terjadi peningkatan

ekspresi IL-17 jaringan hati pada kelompok KN dan

KP yaitu dari 16,44+ 2.65 30,92 + 17,1 dengan p

= 0,068. Jadi tidak ada perbedaan yang signifikan

untuk terjadinya perubahan ekspresi IL-17 setelah

dipapar CCl4 selama 9 minggu, walaupun secara

deskriptif terjadi peningkatan.

Ekspresi dari IL-17R (reseptor dari IL-17)

telah terdeteksi pada seluruh tipe sel di hati,

termasuk hepatosit, sel Kupffer, HSC, sel epithel

biliary, dan sel endothel sinusoidal. Aktivasi dari

reseptor ini dapat terjadi saat adanya injuri pada

hati dan akan memicu ekspresi dari berbagai sitokin

pro inflamasi ataupun kemokin kemokin pada sel

sel tersebut.25

Peran IL-17 dalam infeksi, pada infeksi

bakteri akibat Klebsiella Pneumonia dikatakan

bahwa tikus yang telah terinfeksi bakteri maka

resptor IL-17 telah berkurang sehingga produksi

kemokin menurun, rekuitment neutrofil berkurang

dan terjadi peningkatan jumlah bakteri dan

timbulnya kematian.38 Pada infeksi jamur

disebutkan IL-17AR pada tikus mengalami

penurunan resistensi secara sistemik akibat candida

albicans, yang menyebabkan kerusakan ginjal dan

penurunan kelangsungan hidup pada tikut tesebut

yang berhubungan dengan penurunan mobilisasi

neutrofil dijaringan perifer.39 Sedangkan regulasi IL-

17 pada immunitas virus dan parasit. IL-17

terdeteksi pada kornea dari tikus akibat infeksi HSV-

1 dan terdapat IL-17R (reseptor) yang berkurang

sehingga terjadi penurunan infliftrasi neutrofil.40

Hal diatas sesuai dengan penelitian ini

dimana pada kerusakan reseptor IL-17, maka dapat

Page 32: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

266

terjadi penurunan kadar neutrofil sehingga

kerusakan jaringan hati belum dapat terlihat, tanda

inflamasi belum muncul secara maksimal

ditunjukkan dengan limfosit yang terwarnai dengan

antibody juga tidak banyak sehingga IL-17 jaringan

tidak signifikan akibat induksi CCl4.

Sehingga dapat diambil kesimpulan apapun

etiologinya baik karena infeksi virus, zat toksik

seperti CCL4, alkohol atau metabolic disorder, IL-17

memiliki peran dalam terjadinya fibrosis hati.

Resolusi Fibrosis Hati Secara Spontan

Pada penelitian ini membandingkan kadar

IL-17 serum kelompok KP dengan KK5 dari hasil ini

238.75+ 60.19pg/ml 191.38 +17.99 dengan

p=0.011, dan ekspresi IL-17 jaringan hati yaitu KP

30,92 ± 17,1 turun tetapi sangat sedikit yaitu

sebesar 30,6 ± 6,13 pada kelompok KK5 dengan p =

0,084.

Berdasarkan penelitian Issa,et al (2004),

tikus yang di berikan CCL4 selama 4-8 minggu, akan

berkembang menjadi fibrosis, tetapi setelah injury

dihentikan maka dapat kembali ke gambaran

morphology awal. 41 Dan berdasarkan penelitian

Kwoen et al (2001), pasien hepatitis B kronis telah

berhasil dalam pengobatan dengan lamivudine,

terjadi penurunan ekspresi smooth muscle actin

yang merupakan salah satu marker dari aktivasi

HSC. 42

Hasil dari kadar IL-17 serum meningkat

sedangkan di jaringan juga meningkat tetapi tidak

signifikan hal ini dapat terjadi karena di serum tidak

ada reseptor yang mengikat IL-17 jika berada di

serum sedangkan pada jaringan IL-17 terikat oleh

reseptor, sehingga dari nilai diserum lebih tinggi

dibandingkan di jaringan.

Untuk penilaian derajat fibrosis yaitu pada

penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan

derajat yaitu dari 3 menjadi 2,5 (dalam median).

Sebuah studi di 2012, metode standarisasi liver

fibrosis pada hewan coba berupa tikus Sparague-

Dawley yang diberi perlakuan dengan injeksi

peritoneal CCL4 diberikan selama 9-12 minggu akan

terbentuk S3 dimana tampak septum fibrosa

disertai kerusakan struktur intralobular, tetapi

belum terlihat sirosis. 15

Pada peneltian pendahulan disampaikan

bahwa fibrosis F3 dapat dicapai dalam 9 minggu,

dengan penghentian CCl4 dapat menurunkan

derajat fibrosis. 9 Pada penelitian lain yaitu oleh

Bravo et al ,2012 percobaan pada kelinci diperlukan

waktu sampai 21 minggu untuk mencapai jaringan

hati menjadi seperti normal setelah paparan CCl4, 17

sehingga dapat dikatakan bahwa pengobatan

fibrosis hati menghilangkan sumber penyebab

adalah cara terbaik untuk mencegah progresivitas

dari fibrosis hati. 2

Hubungan Antara IL-17 Serum dengan Ekspresi IL-7

Jaringan Hati

Berdasarkan hasil pengujian korelasi

Pearson antara Kadar IL-17 Serum dengan Ekspresi

IL-17 Hati, didapatkan koefisien korelasi sebesar

0.758 dengan p-value sebesar 0.001. Peningkatan

kadar IL-17 serum, juga akan diikuti peningkatan

pada ekspresi IL-17 hati. Demikian juga sebaliknya,

penurunan kadar IL-17 serum, juga akan diikuti

penurunan pada ekspresi IL-17 hati.

Hal ini sejalan dengan dua penelitian

sebelumnya, penelitian tahun 2013 oleh Wen-Ju Du

et al. didapatkan kadar IL-17 serum meningkat pada

Page 33: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

267

pasien dengan hepatitis B kronik yaitu sebesar 38.9

± 11.34 pg/ml, dan lebih tinggi lapi pada pasien

dengan liver sirrosis dan HCC, dimana peningkatan

mencapai 37,9% pada infeksi hepatitis B kronik,

dan 56% pada chronic liver failure.8 Penelitian lain

ditahun yang sama oleh Zhongming Tan et al

menunjukkan adanya peningkatan IL-17 serum

sebesar 160 pg/ml dan ekspresi IL-17 jaringan hati

yang tampak pada sel kupffer, HSC, lymphoid dan

neutrofil pada pasien dengan kronik hepatitis B.10

Hubungan IL-17 Dengan Derajat Fibrosis

Tidak didapatkan hubungan antara Kadar IL-

17 Serum dengan derajat fibrosis. Fungsi utama dari

sel Th 17 mensekresikan IL-17 adalah untuk

memediasi inflamasi dengan menstimulasi produksi

dari sitokin inflamasi, seperti TNF-α, IL-1β dan IL-6,

serta kemokin proinflamasi yang membantu

pemanggilan neutrofil dan makrofag. Adanya proses

inflamasi yang ada di darah tidak secara langsung

membuat perubahan derajat fibrosis, banyak hal

yang mempengaruhi untuk terjadi gambaran

patologis dari fibrosis hati antara lain dosis CCL4,

berat badan , usia dan lingkungan serta faktor yang

mempengaruhi berkembanganya jaringan menjadi

fibrosis adalah keseimbangan antara fibrogenik dan

fibrolitik proses.15,17

Pada hubungan ekspresi IL-17 jaringan hati

dengan derajat fibrosis dengan p=0.234. Dengan

gambaran adanya peningkatan ekspresi IL17, tidak

didapatkan adanya gambaran fibrosis yang

signifikan hal ini dapat terjadi karena pada biopsi

memiliki kelemahan dalam mendiagnosis kelainan

berupa distribusi fibrosis yang tidak merata di

seluruh bagian hati. Biopsi hanya mengambil

1/50.000 hati sehingga sejumlah ke salahan dalam

pengambilan sampel tidak dapat dihindari.4

Kurkumin Dan IL-17 Serum

Efek kurkumin pada IL-17 serum

ditunjukkan pada kelompok KP dan KK5 dengan p

=0.084.

Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian

oleh Bravo et al (2012) sebuah penelitian yang

menyatakan bahwa perlu waktu 21 minggu untuk

mencapai perbaikan struktur hati secara komplit 17

sehingga 5 minggu yang diamati dalam penelitian

ini menunjukkan belum adanya penurunan yang

signifikan terhadap penurunan kadar IL-17 sebagai

salah satu proinflamasi yang meningkat saat adanya

injury hati.

Untuk perbandingan KP dengan KP5 dimana

kadar IL-17 serum pada kelompok KP meningkat

sebesar 238.75 + 60.19 setelah diterapi kurkumin

turun melebihi kelompok kontrol yaitu sebesar

139.25+16.6 pg/ml, dengan p <0,001.

Kurkumin diindikasikan untuk pengobatan

yang potensial untuk fibrosis hati dari berbagai

jalur sinyal, dimana kurkumin menurunkan ekspresi

dari mediator proinflamasi seperti tumor necrosis

factor alpha (TNF-α), interleukelin-6 (IL-6) and

monocyte chemotactic protein 1 (MCP-1) through

down regulation of high mobility group box-1

protein (HMGB1), toll-like receptor 4 (TLR4) and

TLR2 expression pada tikus yang diinduksi dengan

CCL4. 14

Selain itu, kurkumin melemahkan stress

oksidatif dengan meningkatkan komponen dari

glutathione hati, dan menurunkan lipid peroksidase.

Kurkumin secara dramatis menekan peradangan

dengan mengurangi tingkat inflamasi sitokin,

Page 34: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

268

termasuk interferon-Ɣ, tumor necrosis factor-α, dan

interleukin-6.12

Kurkumin dan Ekspresi IL-17 Jaringan Hati

Pada penelitian ini efek kurkumin pada

kelompok KP dan KK5 tidak mendapatkan hasil yang

signifikan dengan nilai p value sebesar 0,0793 ,

begitu pula pada kelompok KP dan KP5 dengan p

=0.069, walaupun terjadi penurunan secara angka

yaitu dari 30,92 ± 17,13 menjadi 18,03 ± 8,76

Sebuah penelitian oleh Yumin Fu pada

tahun 2007, Pada pemberian kurkumin oral selama

8 minggu signifikan meningkatkan reduksi dari

makro dan mikrovesikular steatosis dan menekan

fibrogenesis dengan menghambat terjadinya

bridging antar septa.12

Di dalam penelitian oleh Jin et al tahun

2016 menunjukkan bahwa kurkumin menginduksi

ekspresi P53 melalui aktivasi PPAR di aktifkan HSC.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa

ekspresi dari PPAR berkurang ketika quiescent HSC

menjadi diaktifkan. Pada saat yang sama, aktivasi

PPAR diperlukan oleh kurkumin untuk mengurangi

proliferasi sel, menginduksi apoptosis dan menekan

ekspresi gen ekstra selular matriks.32

Selain itu, Kurkumin juga dapat

menghambat jalur aktivasi Janus Kinase– Signal

Transducer and Activator of Transcription (JAK-

STAT) yang distimulasi oleh IL–12 yang dihasilkan

oleh sel dendritik atau makrofag. Dengan

penghambatan tersebut, maka akan berefek pada

tidak terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel T-

Helper 1 (Th1), tidak terproduksinya IFN-γ, dan

salah satunya adalah IL–17 yang dihasilkan oleh

Th17. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan

menurunnya produksi IL–17 yang dihasilkan oleh

Th17.36

Pada penelitian ini ekspresi IL-17 jaringan

hati menunjukkan hasil yang tidak signifikan

signifikan , hal ini dapat terjadi karena IL-17 serum

merupakan IL-17 yang bebas atau tidak terikat

dengan reseptor sehing kadar IL-17 dijaringan hati

lebih mudah terdeteksi sedangankan dijaringan

hati, IL-17 terikat dengan reseptor yang dapat di

lihat ekspresinya , sehingga kadarnya dihati lebih

rendah dibanding dengan yang kadar IL-17 di

serum.

Peran Kurkumin dalam Menurunkan Derajat

Fibrosis

Sebuah studi di 2012, metode standarisasi

liver fibrosis pada hewan coba berupa tikus

Sparague-Dawley yang diberi perlakuan dengan

injeksi peritoneal CCL4 diberikan selama 9-12

minggu akan terbentuk S3 dimana tampak septum

fibrosa disertai kerusakan struktur intralobular,

tetapi belum terlihat sirosis. 15

Penelitian Khedr 2014, Pemberian CCl4 1cc

selama 12 minggu lalu CCl4 dihentikan, kemudian

dilakukan pemberian kurkumin 300mg/kgbb selama

4 minggu menunjukkan penurunan derajat fibrosis

dimana fibrosis hanya terjadi di lobulus atau sesuai

dengan derajat S2,43 sehingga kurkumin

menurunkan derajat fibrosis lebih banyak

dibandingkan dengan hanya menunggu proses

fibrolisis.

Kekuatan dan Kelemahan Penelitian

• Kekuatan

– Sebagai salah satu penelitian dalam proses

fibrolisis (resolusi spontan)

Page 35: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

269

– Penelitian tentang terapi kuratif kurkumin

– Peran IL-17 pada resolusi spontan

– Sebagai penelitian dasar tentang hubungan

antara IL-17 serum dan ekspresi IL-17 jaringan

hati (Dapat dilakukan pemeriksaan IL-17 serum

tanpa memeriksa ekspresi pada hati).

• Kelemahan

– Pemeriksaan yang kurang spesifik pada IL-17

jaringan hati.

KESIMPULAN

Terjadi peningkatan kadar IL-17 serum pada tikus

fibrosis tetapi tidak terjadi pada ekspresi IL-17

jaringan hati. Pemberian kurkumin selama 5 minggu

memperbaiki penurunan kadar IL-17 serum tetapi

tidak menurunkan ekspresi IL-17 jaringan hati dan

derajat fibrosis, namun tetap ada korelasi positif

kuat antara IL-17 serum dan ekspresi IL-17 jaringan

hati, sedangkan antara IL-17 serum ataupun

ekspresi IL-17 jaringan hati dengan derajat fibrosis

hati tidak didapatkannya hubungan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman,Scot, L. 2008 .Mechanisms of hepatic

fibrogenesis. Gastroenterology 134 (6):1655–

1669.

2. Bataller R, Brenner DA. 2005 Liver fibrosis. The

journal of clinical investigation. 115 (2) : 209-

218.

3. Braticevici,Fierbinteanu C , Papacocea R, Tribus

L, Badarau A . 2011. Can we replace liver biopsy

with non-invasive procedures?.Liver Biopsy.

Chap 14 p. 225-240

4. Lumongga F, Interpretasi Mikroskopis jaringan

dari biopsi hati, 2008. Departemen

Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatra Utara Medan.

5. Iredale JP, Benyon RC, Pickering J, McCullen M,

M. Northrop SP, Hovell C, et al. 1998.

Mechanisms of spontaneous resolution of rat

liver fibrosis hepatic stellate cell apoptosis and

reduced hepatic expression of metalloproteinase

inhibitors. J Clinical Invest. 102(3): 538–49.

6. Duval F, Jorge E, Moreno C, Teresa M Gonzála,

Maldona C, Vega C. 2015. Liver fibrosis

and mechanisms of the protective action of

medicinal plants targeting inflammation and the

immune response. International Journal of

Inflammation. 102 (3); 1-14.

7. Meng F, Wang K, Aoyama T, Grivennikov SI, Paiki

Y, Scholten D. 2012. IL-17 signaling

in inflammatory cells, kupffer cells and hepatic

stellate cells exacerbates liver fibrosis.

Gastroenterology. NIH Public Access. 143:765-

776.

8. Du W-J, Zhen J-H, Zeng Z-Q, Zheng Z-M, Xu2 Y,

Qin L-Y, et al. 2013. Expression of Interleukin-17

associated with disease progression and liver

fibrosis with hepatitis B virus infection: IL-17 in

HBV infection. Diagnostic Pathology 8(40):7.

9. Ernest JP, Supriono, Kulsum U. Perbandingan

ekspresi IL-17 di jaringan hati dan kadar il-17 di

serum pada tikus model fibrosis yang dipapar

dengan karbon tetraklorida (CCL4). Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Indonesia.

10. Tan Z, Qian X, Jiang R, Liu Q, Wang Y, Chen C, et

al. 2013. IL-17A Plays a Critical Role in the

Pathogenesis of Liver Fibrosis through Hepatic

Stellate Cell Activation. The American

Association of Immunologists. 191:1835-1844

Page 36: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

270

11. Elsayed AF, Mohammed EN, Ali NA, Ibrahim AM.

2015. Role of interleukin-17 in the development

of hepatocellular carcinoma in hepatitis C virus

liver cirrhosis. ZUMJ. 21(3): 248-256

12. Yumei Fu SZ, Jianguo Lin, Jan Ryerse, and Anping

Chen. 2008. Curcumin Protects the Rat Liver

from CCl4-Caused Injury and Fibrogenesis by

Attenuating Oxidative Stress and Suppressing

Inflammation. The American Society for

Pharmacology and Experimental Therapeutics.73

(2); 399-409

13. Dulbecco P, Savarino V. 2013. Therapeutic

potential of curcumin in digestive diseases.

World Journal Gastroenterology. 19(48): 9256-

9270

14. Zhao Y, Ma X, Wang J, He X, Hu Y, Zhang P, et al.

2014. Curcumin Protects against CCl4-Induced

Liver Fibrosis in Rats by Inhibiting HIF-1α

Through an ERK-Dependent Pathway. Molecules.

19, 18767-18780

15. Li L, Hu Z, Li W, Hu M, Ran J, Chen P, et al. 2012.

Establishment of a standardized liver fibrosis

model with different pathological stages in rats.

Hindawi Publishing Corporation

Gastroenterology Research and Practice. 2012 ;

1-6.

16. Shuhart. MC. 2016. Evaluation and Staging of

Liver Fibrosis. Hepatitis C Online. November

2016 ; 1-21.

17. Bravo E, D’Amore E, Ciaffoni F, Mammola CL.

2012. Evaluation of the spontaneous reversibility

of carbon tetrachloride-induced liver cirrhosis in

rabbits. Laboratory Animals. 46:122–128

18. Park H, Li Z, Yang XO, Chang SH, Nurieva R, Wang

Y-H, et al. 2005. A distinct lineage of cd4 t

cells regulates tissue inflammation by producing

interleukin 17. Natural Immunology. 6(11):

1133–1141.

19. Wang L, Chen S, Xu1 K. 2011. IL-17 Expression is

Correlated With Hepatitis B Related Liver

Diseases and Fibrosis. International Journal of

Molecular Medicine.27:385-392.

20. Mills Kingston, H G. 2008. Induction, function

and regulation of IL-17-producing T cells.

European Journal Immunology 38:2636-2649.

21. Pappu R, Ramirez,Carrozzi V, Sambandam

A.2011. The Interleukin-17 cytokine family:

critical players in host defence and inflammatory

diseases. Immunology, The Journal of Cells ,

Moleculer, System and Tecnology. 134:8-16

22. Ioana Agache, Ciobanu C, Agache C, Anghel M.

2010. Increased Serum IL-17 is an independent

risk factor for severe asthma. Respiratory

Medicine 104:1131-1137.

23. Lemmers A, Moreno C, Gustot T, Marechal R,

Degre D, Demetter P, et al. 2009. The

Interleukin-17 pathway is involved in human

alcoholic liver disease. Hepatology. 49 (2); 646-

657

24. Hassan Elham A, El-Rehim Abeer Sharaf EL-Din,

Ahmed Asmaa Omar, Elsherbiny Nahla

Mohamed, El-Rehim Noha Abd, 2014. The

impact of serum Interleukin-17 on chronic

hepatitis C and its sequelae. Liver. 3(163):2-5

25. Lafdil F, Miller AM, Ki Sung Hwan, Gao B. 2010.

Th17 cells and their associated cytokines in liver

diseases. Cellular & Molecular Immunology. 7:

250-254.

26. Abe M, Hiasa Y, Onji M. 2013. T helper 17 cells in

autoimmune liver diseases. Clinical and

Developmental Immunology. 2013.(10):1-7.

Page 37: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

271

27. Boll M, Lutz W. D. Weber, Becker E, Stampfl A.

2001. Mechanism of carbon tetrachloride-

induced hepatotoxicity. hepatocellular damage

by reactive carbon tetrachloride metabolites.

Verlag der Zeitschrift für Naturforschung,

Tübingen.2001 ; 649-659

28. Panjaitan RGP, Handharyani E, Chairul, Masriani,

Zakiah Z, Manalu W. 2007. Pengaruh pemberian

karbon tetraklorida terhadap fungsi hati dan

ginjal tikus. Makara Kesehatan. 11(1):11-16.

29. Alrawaiq NS, Abdullah A.2016. A review of

antioxidant polyphenol curcumin and its role in

detoxification. International Journal of

PharmTech Research 6(1): 280-289.

30. Mario Pulido-Moran,Jorge Moreno-Fernandez,

Cesar Ramirez-Tortosa. 2016.Curcumin and

health. Molecules. 21(264);1-22

31. Yan He ,Yue Y, Zheng X, Zhang K ,Chen S Du Z,

2015. Curcumin, Inflammation, and Chronic

Diseases: How Are They Linked? Molecules 20;

9183-9213

32. Ravichandran R. 2013. Pharmacokinetic Study of

Nanoparticulate Curcumin: Oral Formulation for

Enhanced Bioavailability Journal of Biomaterials

and Nanobiotechnology. 20(4):291-299

33. Jin H, Lian N, Zhang F, Chen L, Chen Q, Lu1 C, et

al. 2016. Activation of PPARγ/P53 signaling is

required for curcumin to induce hepatic stellate

cell senescence. Cell Death and Disease 7(2189);

1-11.

34. Lin J, Chen A. 2008. Activation of peroxisome

proliferator-activated receptor-g by curcumin

blocks the signaling pathways for PDGF and EGF

in hepatic stellate cells. Laboratory Investigation

. 88(20):529–540.

35. Bright JJ. 2007. Curcumin and Autoimmune

Disease. In: The Molecular Targets and

Therapeutic Uses of Curcumin in Health and

Disease. New York: Spinger. p435

36. Gruys E, Toussaint M.J.M, Niewold T.A,

Koopmans S.J. 2005. Acute phase reaction and

acute phase proteins. Journal of Zhejiang

University SCIENCE. 6B(11):1045-56.

Page 38: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

272

UJI DIAGNOSTIK PRESEPSIN PADA SEPSIS NEONATORUM Agustin Iskandar, Maimun Zulhaidah Arthamin , Kristin Indriana Departemen/SMF Patologi Klinik FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK Latar belakang: Sepsis neonatorum masih menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi aterm maupun prematur. Tingkat kematian akan menurun apabila kasus terdeteksi lebih dini, dan inisiasi terapi antibiotik empiris dilakukan lebih awal. Diagnosis sepsis pada neonatus secara klinis merupakan hal yang sulit, karena beberapa tanda sepsis yang tidak spesifik dan sering didapatkan pemeriksaan fisik yang normal meskipun telah terjadi bakteremia. Kultur darah sebagai pemeriksaan baku emas untuk sepsis memiliki keterbatasan untuk diagnosis pada neonatus sehingga biomarker sepsis memegang peran penting dalam hal tersebut. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai diagnostik presepsin pada sepsis neonatorum. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel dari lima puluh satu neonatus yang memenuhi kriteria SIRS dengan kultur sebagai baku emas. Kadar presepsin diperiksa dengan metode CLEIA, dan prokalsitonin sebagai biomarker pembanding dengan metode ELISA. Nilai diagnostik dianalisis menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), dan ditentukan nilai cut-off. Sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, dan akurasi dihitung dengan tabel 2x2. Hasil: Pada nilai cut-off presepsin sebesar 706,5 pg/ml didapatkan sensitivitas 85,7%, spesifisitas 68,8%, nilai duga positif 85,7%, nilai duga negatif 68,8%, rasio kemungkinan positif 2,75, rasio kemungkinan negatif 0,21, dan akurasi 80,4%. Dan pada nilai cut-off prokalsitonin sebesar 161,33 pg/mL didapatkan sensitivitas 68,6%, spesifisitas 62,5%, nilai duga positif 80%, nilai duga negatif 47,6%, rasio kemungkinan positif 1,83, rasio kemungkinan negatif 0,5, dan akurasi 66,7%. Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa nilai diagnostik presepsin lebih tinggi dibandingkan prokalsitonin.

Kata kunci: sepsis neonatorum, presepsin, prokalsitonin. DIAGNOSTIC TEST OF PRESEPSIN ON SEPSIS NEONATORUM ABSTRACT Background: Neonatal sepsis remains one of the major causes of morbidity and mortality in both term and premature infants. The mortality rate will decrease if cases are detected earlier, and initiation of empirical antibiotic therapy is done earlier. The diagnosis of sepsis in the neonate is clinically difficult, as some of the signs of sepsis are not specific and often obtained normal physical examination despite bacteremia. Blood cultures as a gold standard examination for sepsis have limitations for diagnosis in neonates so that sepsis biomarkers play an important role in that. Aim: The aim of study was to determine the value of presepsin diagnostics in neonatal sepsis. Methods: This study used a sample of fifty-one neonates who met SIRS criteria with culture as gold standard. Presepsin levels were examined by CLEIA, and procalcitonin as comparative biomarkers by ELISA method. Diagnostic values were analyzed using the Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, and determined the cut-off value. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and accuracy were calculated by 2x2 tables. Results: At the presepsin cut-off level of 706.5 pg / ml obtained 85.7% sensitivity, 68.8% specificity, 85.7% positive predictive value, negative predictive value 68.8%, positive likelihood ratio of 2.75 , a negative likelihood ratio of 0.21, and an accuracy of 80.4%. And at 161,33 pg / mL cut-off value of procalcinonin was 68,6%, specificity 62,5%, positive guess 80%, negative value 47,6%, possibility ratio 1.83, negative 0.5, and 66.7% accuracy. Conclusion: From this study it can be concluded that presepsin diagnostic value is higher than procalcinonin. Keywords: neonatal sepsis, presepsin, procalcitonin.

Laporan Penelitian

Page 39: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

273

LATAR BELAKANG

Sepsis neonatorum masih menjadi salah

satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas

pada bayi aterm maupun prematur. Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa

setiap tahun 4 juta bayi yang baru lahir di seluruh

dunia meninggal selama periode neonatal. Sebesar

25% sampai 45% terjadi hari pertama kehidupan

dengan penyebab infeksi berat (36%), prematuritas

(28%), dan kelainan kongenital (7%).1 Di Amerika

Serikat, 1-5 neonatus dari setiap 1000 kelahiran

hidup mengalami infeksi neonatal. Centers for

Disease Control and Prevention memperkirakan

bahwa setiap 141 bayi yang lahir di Amerika Serikat

setiap tahun, seorang bayi meninggal karena infeksi

pada tahun pertama kehidupannya.2 Di Indonesia,

berdasarkan survey Riskesdas 2007 menunjukkan

bahwa sepsis menjadi penyebab kematian utama

pada neonatus dengan angka kejadian 20% dari

seluruh penyebab kematian neonates. 3 Sebelum

penggunaan antibiotik, angka kematian bayi baru

lahir dengan infeksi maupun sepsis berkisar antara

95% sampai 100% dan setelah penggunaan

antibiotik angka kematian menurun hingga 13% -

45%. Tingkat kematian akan menurun apabila kasus

terdeteksi lebih dini, dan inisiasi terapi antibiotik

empiris dilakukan lebih awal. Dalam

penatalaksanaan infeksi pada neonatus

membutuhkan waktu yang tepat dalam diagnosis

dan terapi, adanya keterlambatan akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas.2 Namun,

tanda-tanda sepsis yang tidak spesifik, dan sindrom

inflamasi non-infeksi yang menyerupai sepsis

neonatorum menimbulkan tantangan untuk

mengidentifikasi secara dini neonatus dengan

kemungkinan tinggi mengalami sepsis dan memulai

terapi antimikroba serta menghentikan terapi

antimikroba pada kasus sindrom inflamasi non

infeksi.4

Diagnosis sepsis pada neonatus secara klinis

merupakan hal yang sulit, karena beberapa tanda

sepsis yang tidak spesifik dan sering didapatkan

pemeriksaan fisik yang normal meskipun telah

terjadi bakteremia. 5 Sedangkan kultur darah

sebagai pemeriksaan baku emas untuk sepsis juga

memiliki keterbatasan untuk diagnosis pada

neonatus karena volume sampel sedikit, densitas

bakteri rendah, kontaminasi kultur, atau supresi

pertumbuhan bakteri akibat pemberian antibiotik

sebelumnya.6 Hasil pemeriksaan kultur darah pada

25% bayi dengan sepsis memiliki jumlah koloni

bakteri yang rendah (≤4 CFU/mL), dan dua pertiga

dari bayi dengan usia kurang dari 2 bulan memiliki

jumlah koloni kurang dari 10 CFU/mL. Sehingga

pemeriksaan kultur darah dianggap kurang handal

dalam diagnosis dini sepsis neonatorum dan

biomarker sepsis memegang peran penting dalam

hal tersebut.4

Ada beberapa biomarker yang terkait

dengan kondisi sepsis antara lain: prokalsitonin

(PCT), interleukin, pro-vasopressin, C-reaktif protein

(CRP) dan myeloid cells expressing triggering

receptor-1 (TREM-1).5 Meskipun prokalsitonin telah

dianggap sebagai biomarker sepsis dan sangat

berkaitan dengan infeksi, namun biomarker ini juga

memiliki sejumlah keterbatasan. Beberapa

keterbatasan prokalsitonin yaitu: adanya

peningkatan konsentrasi prokalsitonin secara

fisiologis yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah

lahir, dan dapat terjadi peningkatan konsentrasi

dalam serum pada kondisi non infeksi misalnya

pada respiratory distress syndrome, sehingga

Page 40: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

274

menyebabkan prokalsitonin menjadi kurang spesifik

pada kasus neonatus dengan sepsis. 4

Pada tahun 2004 telah ditemukan suatu

petanda baru yang berkaitan dengan sepsis berupa

suatu fragmen molekul yang dihasilkan oleh

aktivitas protease plasma selama proses inflamasi

yang disebut soluble CD14 fragments. Salah satu

dari fragmen tersebut ada yang disebut sebagai

sCD14 subtype (sCD14-ST) atau presepsin. Untuk

saat ini presepsin masih dalam penelitian untuk

mengetahui peranannya sebagai petanda sepsis

pada pasien dewasa maupun neonatus. Hasil

penelitian oleh Ulla et al. menyatakan bahwa

presepsin dan prokalsitonin menunjukkan hasil yang

signifikan dalam diagnosis sepsis pasien dewasa

dengan areas under the curve (AUC) untuk

presepsin sebesar 0.70 (P <0.001) dan prokalsitonin

sebesar 0.87 (P <0.001). 7 Namun, suatu penelitian

lainnya di Italia pada 21 pasien dewasa yang

dirawat di ruang perawatan intensif menunjukkan

bahwa dalam evaluasi respons pengobatan,

presepsin lebih unggul dibandingkan prokalsitonin

dalam menilai kondisi pasien dengan sepsis.8

Penelitian oleh Hendrianingtyas, dkk 2014 pada 32

pasien dewasa dengan SIRS menunjukkan nilai

diagnostik kadar presepsin terhadap kultur darah

berdasarkan nilai cut off 1134,5 pg/mL yaitu

kepekaan 90%, kekhasan 68,18%, nilai duga positif

56,25%, nilai duga negatif 93,75%, likelihood ratio

positif 2,83 dan likelihood ratio negatif 0,15.9

Beberapa penelitian tentang peranan presepsin

dalam diagnosis, monitoring terapi dan prognosis

pada sepsis dilakukan pada subyek penelitian

dengan kelompok umur dewasa. Namun penelitian

tentang peranan presepsin dalam diagnosis sepsis

pada neonatus hingga saat ini masih terbatas. Oleh

karena itu, masih diperlukan suatu penelitian

tentang peranan presepsin dalam diagnosis pasien

neonatus dengan sepsis dibandingkan dengan

petanda sepsis lainnya. Penelitian ini bertujuan

untuk menentukan nilai diagnostik presepsin yang

terdiri dari sensitifitas, spesifisitas, nilai duga positif,

nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, rasio

kemungkinan negatif, dan akurasi pada sepsis

neonatorum. sehingga apabila memiliki nilai

diagnostik yang lebih baik dibandingkan petanda

rutin pembanding, maka petanda ini dapat

digunakan untuk membantu klinisi dalam deteksi

dini sepsis neonatorum.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian

observasional analitik dengan rancangan cross

sectional. Subyek penelitian adalah neonates

terduga sepsis neonatorum dengan tanda-tanda

SIRS sesuai dengan kriteria SIRS pada neonatus

yand dirawat di Ruang Perinatologi dalam kurun

waktu Mei 2015 - Juli 2015 yang memenuhi kriteria

inklusi serta bersedia mengikuti penelitian dengan

menandatangani informed consent.

Kriteria inklusi meliputi usia 0 - 30 hari dan

memenuhi kriteria SIRS untuk neonatus. SIRS pada

neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria

berikut, dengan salah satu diantaranya kelainan

suhu atau leukosit.

Kultur darah merupakan hasil

membenihkan darah pasien yang ditanam di media

agar. Bila hasil positif dinyatakan sebagai sepsis

bacterial dan negatif dinyatakan sebagai nonsepsis

bakterial. Kadar presepsin diukur dengan metode

chemiluminescent enzyme immunoassay

menggunakan immunoassay analyser PATHFAST.

Page 41: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

275

Kadar prokalsitonin diukur dengan metode enzyme

linked immunosorbent assay (ELISA).

Seluruh subjek penelitian diminta

memberikan persetujuan dengan menandatangani

surat persetujuan tindakan tertulis. Izin penelitian

dengan mengajukan kejelasan kepatutan tindakan

terlebih dahulu yang kemudian diberikan

persetujuan pelaksanaan kegiatan berdasarkan

surat keterangan dari Komisi Etik Penelitian

Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya/RSUD dr. Saiful Anwar, Malang.

HASIL

Pada penelitian yang dilakukan bulan Mei

2015 - Juli 2015 jumlah subyek penelitian yang

berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 51

neonatus dengan rentang usia 0 – 28 hari. Hasil

kultur darah subyek penelitian menunjukkan hasil

positif pada 35 pasien dan 16 pasien dengan kultur

darah negatif. Berdasarkan awitan sepsis

didapatkan hasil 65,7% subyek penelitian dengan

kultur darah positif adalah pasien dengan sepsis

awitan lambat.

Kuman penyebab sepsis neonatorum yang

didapatkan dari kultur darah antara lain:

Tabel 1. Analisis Receiver Operating Characteristic

Staphyloccus coagulase negative 30,5%

Klebsiella pneumonia 25% Enterobacter gergoviae 22,1% S. arizonae 5,6% Serratia marcescens 5,6% Serratia rubidoea 2,8% E. coli 2,8% Yeast like fungi 5,6 %

ROC pada kadar presepsin menunjukkan

nilai Area Under Curve (AUC), yaitu luas wilayah

yang dihasilkan oleh kurva ROC, sebesar 75,8%

dengan 95% confident interval adalah 60,4% - 91,2%

(p = 0,003).

Gambar 1. Kurva ROC untuk kadar presepsin.

Gambar 2. Kurva sensitivitas dan spesifisitas presepsin. (garis merah = sensitivitas, garis biru = spesifisitas)

Titik potong pada gambar 5.3 menunjukkan

sensitivitas sebesar 85,7% dan spesifisitas sebesar

68,7% pada kadar presepsin 706,5 pg/mL.

Tabel 2. Tabel 2x2 untuk kadar presepsin.

Kultur Darah

Positif Negatif Positif (≥706,5 pg/mL)

30 5 35

Negatif (<706,5 pg/mL)

5 11 16

35 16 51

0,000

0,200

0,400

0,600

0,800

1,000

1,200

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

kadar 706,5 pg/mL

Page 42: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

276

-

0,50

1,00

1,50

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

kadar: 161,33 pg/mL

Adapun perhitungan nilai diagnostik untuk

presepsin berdasarkan tabel 2x2 tersebut adalah:

Sensitivitas : 85,7%

Spesifisitas : 68,8% Nilai duga positif (NDP) : 85,7% Nilai duga negatif (NDN) : 68,8% Rasio kemungkinan positif : 2,75 Rasio kemungkinan negatif : 0,21 Akurasi : 80,4%

Analisis ROC pada kadar prokalsitonin

menunjukkan nilai area under curve (AUC), yaitu

luas wilayah yang dihasilkan oleh kurva ROC,

sebesar 59,9% dengan 95% confident interval

adalah 42,9% - 76,9% (p = 0,260).

Gambar 3. Kurva ROC untuk kadar prokalsitonin.

Gambar 4. Kurva sensitivitas dan spesifisitas prokalsitonin. (garis merah = sensitivitas, garis biru = spesifisitas)

Titik potong pada gambar 5.5 menunjukkan

sensitivitas sebesar 68,6% dan spesifisitas sebesar

62,5 % pada kadar prokalsitonin 161,33 pg/mL.

Tabel 3. Tabel 2x2 untuk kadar prokalsitonin.

Kultur Darah

Positif Negatif Positif (≥161,33 pg/mL)

24 6 30

Negatif (<161,33 pg/mL)

12 9 21

36 15 51

Perhitungan nilai diagnostik untuk presepsin

berdasarkan tabel 2x2 tersebut adalah:

Sensitivitas : 68,6%

Spesifisitas : 62,5%

Nilai duga positif (NDP) : 80%

Nilai duga negatif (NDN) : 47,6%

Rasio kemungkinan positif : 1,83

Rasio kemungkinan negatif

: 0,50

Akurasi : 66,7%

PEMBAHASAN

Penelitian ini diikuti subyek penelitian

sebanyak 51 neonatus yang terdiri dari 35

nenonatus dengan hasil kultur darah positif dan 16

neonatus dengan hasil kultur darah negatif. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah neonatus

dengan sepsis neonatorum awitan lambat (late

onset neonatal sepsis) sebesar 65,7% dari seluruh

subyek penelitian dengan hasil kultur positif. Jumlah

subyek penelitian dengan sepsis neonatorum

awitan lambat (SAL) lebih banyak dibandingkan

dengan sepsis neonatorum awitan dini (early onset

neonatal sepsis). Suatu studi epidemiologi di awal

1980 telah mengamati terjadi penurunan secara

umum untuk sepsis awitan dini (SAD) yang

kemungkinan disebabkan oleh kemajuan dalam

perawatan kebidanan dan penggunaan profilaksis

antibiotik untuk mencegah infeksi intrapartum.

Sementara itu, kejadian SAL meningkat secara

paralel dengan peningkatan kelangsungan hidup

neonatus prematur, terutama pada neonatus

Page 43: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

277

dengan berat badan lahir rendah (VLBW). Hal

tersebut menunjukkan adanya peran rawat inap

dan penggunaan peralatan medis selama rawat inap

dalam patogenesis sepsis neonatorum awitan

lambat. 10

Kuman yang ditemukan dalam kultur darah

subyek penelitian ini yang terbanyak adalah

Staphyloccus coagulase negative sebesar 30,5% dari

hasil kultur darah positif. Staphyloccus coagulase

negative dan enterobacter gergoviae merupakan

bakteri yang paling banyak ditemukan pada subyek

penelitian dengan SAD. Sedangkan pada subyek

penelitian dengan SAL, bakteri yang paling banyak

dijumpai pada kultur darah adalah Klebsiella

pneumonia diikuti oleh staphyloccus coagulase

negative. Suatu literatur menyatakan bahwa

staphylococcus coagulase negative merupakan

bakteri yang paling sering dijumpai pada penderita

sepsis neonatorum.2 Staphyloccus coagulase

negative juga merupakan sebagai patogen dominan

pada SAL, yang merupakan agen penyebab pada

53,2% - 77,9% dari SAL di negara maju dan 35,5% -

47,4% di beberapa negara berkembang. Bakteri

batang gram negatif yang juga bertanggung jawab

dalam terjadinya SAL meliputi Escherichia coli,

Klebsiella spp., Enterobacter spp. dan Pseudomonas

spp. Jamur terutama Candida spp., juga dilaporkan

menjadi salah satu patogen utama pada SAL di

beberapa negara. Pola distribusi patogen penyebab

bervariasi di berbagai daerah dan dapat berubah

dari waktu ke waktu dalam suatu rumah sakit yang

sama. Hal tersebut tergantung dari karakteristik

demografi pasien, kolonisasi mikroorganisme di

lingkungan rumah sakit dan kebijakan penggunaan

antibiotik .10

Uji diagnostik biomarker sepsis pada

penelitian ini dianalisis menggunakan ROC (Receiver

Operator Curve) yang merupakan cara untuk

menentukan cut off kadar biomarker berupa grafik

yang menggambarkan tawar-menawar antara

sensitivitas dan spesifitas. Makin tinggi sensitivitas,

makin rendah spesifitas, dan sebaliknya. Arti dari

nilai cut off tersebut adalah menentukan nilai

terbaik suatu petanda biologi dengan nilai

sensitivitas dan spesifisitas tertinggi.11 Pada

penelitian ini didapatkan nilai AUC (Area Under the

Curve) untuk presepsin sebesar 75,8%. Hal tersebut

menunjukkan bahwa presepsin mempunyai nilai

diagnostik yang cukup baik dalam mendiagnosis

sepsis neonatorum. Apabila kadar presepsin

digunakan untuk menentukan diagnosis sepsis

neonatorum atau bukan sepsis neonatorum pada

100 orang pasien, maka kesimpulan yang tepat akan

diperoleh pada 75 orang pasien. Sedangkan dari

hasil analisis kadar prokalsitonin pada penelitian ini

didapatkan nilai AUC sebesar 59,9% yang termasuk

AUC lemah. Jika nilai AUC dari kedua petanda sepsis

neonatorum pada penelitian ini dibandingkan maka

presepsin memiliki nilai AUC yang lebih baik

daripada prokalsitonin. Hasil tersebut sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan di Critical Care and

Emergency Center of Iwate Medical University,

Jepang pada Agustus 2009 sampai Juni 2010 untuk

mengetahui peran presepsin dalam mendiagnosis

sepsis pada pasien dewasa dengan SIRS didapatkan

hasil AUC presepsin (84,5%) lebih baik dibandingkan

AUC prokalsitonin (65,2%).12

Sensitivitas adalah kemampuan suatu

pemeriksaan untuk menghasilkan hasil positif pada

pasien yang benar-benar positif menderita suatu

penyakit, sedangkan spesifisitas adalah kemampuan

Page 44: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

278

suatu pemeriksaan untuk menghasilkan hasil

negatif pada pasien yang tidak sakit. Namun bagi

klinisi nilai duga positif (NDP) dan nilai duga negatif

(NDN) mempunyai arti yang lebih penting daripada

sensitivitas dan spesifisitas.11 NDP merupakan

probabilitas seseorang benar-benar menderita

penyakit bila hasil uji diagnostiknya positif, dan

sebaliknya NDN menggambarkan probabilitas

seseorang tidak menderita penyakit bila hasil ujinya

negatif. Dalam praktik sehari-hari nilai duga positif

merupakan statistik yang paling penting bagi klinisi

dalam uji diagnostic. 11 Pada penelitian ini diperoleh

nilai sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN untuk

presepsin dengan cut-off 706,5 pg/mL berturut-

turut adalah 85,7%, 68,8%, 85,7%, 68,8%,

sedangkan untuk prokalsitonin dengan cut-off

161,33 pg/mL berturut-turut adalah 68,6%, 62,5%,

80%, 47,6%. Hasil diatas menunjukkan bahwa

presepsin memiliki nilai diagnostik yang lebih baik

untuk diagnosis sepsis neonatorum bila

dibandingkan dengan prokalsitonin. Namun,

presepsin dan prokalsitonin sama-sama memiliki

nilai duga positif yang baik untuk diagnosis sepsis

neonatorum. Hasil penelitian Liu et al. menunjukkan

bahwa presepsin memiliki nilai diagnostik yang

lebih baik dibandingkan prokalsitonin dalam

mendiagnosis sepsis. Dalam penelitian tersebut nilai

diagnostik presepsin dengan nilai cut-off 317 pg/ml

didapatkan sensitivitas 70.8%, spesifisitas 85.8%,

NDP 93.2%, NDN 51.6%, akurasi 74.8%, RK (+) 4.99,

dan RK (-) 0.34. Nilai diagnostik prokalsitonin

dengan nilai cut-off 0,25 ng/ml didapatkan

sensitivitas 60,0%, spesifisitas 77,7%, NDP 92,9%,

NDN 28,4%, akurasi 63,0%, RK (+) 2,69, dan RK (-)

0.51. 13.

Penelitian ini menunjukkan bahwa

presepsin memiliki nilai diagnostik yang lebih baik

dibandingkan dengan prokalsitonin seperti pada

beberapa penelitian sebelumnya. Hal tersebut

kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan

proses sintesis kedua biomarker tersebut. Presepsin

dihasilkan oleh kompleks LPS/LBP-CD14 yang

dilepaskan ke sirkulasi dan mengalami hidrolisis

oleh protease plasma dan disekresikan dari monosit

setelah fagositosis. Namun sekresi presepsin tidak

terinduksi setelah stimulasi dengan physiologic

activating agent yaitu peptidoglycan (PGN),

lipopolysaccharide (LPS), maupun tumor necrosis

factor (TNF)-α. 8,14 Hasil penelitian dengan

menggunakan sel granulosit kelinci menunjukkan

bahwa sekresi presepsin (sCD14-ST) tidak terinduksi

setelah stimulasi oleh lipopolysaccharide (LPS),

interferon (IFN)-γ, N-formyl-methionine-leucine-

phenylalanine (fMLP), dan Phorbol Myristate

Acetate (PMA). 15

Sedangkan, prokalsitonin (PCT) dapat

distimulasi secara langsung oleh toksin dan

lipopolisakarida yang dilepas oleh mikroba maupun

diinduksi oleh sitokin proinflamasi seperti

interleukin (IL)-1b, IL-6, tumor necrosis factor (TNF)-

secara tidak langsung.16 Peningkatan kadar PCT

yang tidak spesifik tanpa adanya infeksi bakteri

dapat dijumpai dalam kondisi massive stress,

misalnya setelah trauma berat ataupun operasi.

Dalam kondisi tersebut, terjadi peningkatan PCT

yang moderat dan menunjukkan penurunan cepat

dalam follow-up. Sebaliknya, kadar PCT rendah

palsu, dapat dijumpai pada awal infeksi maupun

infeksi lokal, dan dapat menunjukkan peningkatan

dalam follow-up bila terjadi progresivitas. 17

Page 45: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

279

Penelitian pada 41 pasien dewasa yang

memenuhi kriteria SIRS oleh Shozushima T et al.,

2011 menunjukkan bahwa presepsin memiliki area

under the curve (AUC) sebesar 0,845, yang lebih

baik daripada prokalsitonin dengan AUC sebesar

0,652. 12 Dalam penelitian tersebut, kadar presepsin

diperiksa dengan metode chemiluminescent

enzyme immunoassay menggunakan PATHFAST

analyser, sedangkan prokalsitonin diperiksa

menggunakan automated electrochemi -

luminescence immunoanalyzer (Elecsys reagent,

BRAHMS PCT; Roche Diagnostics, Japan). Sedangkan

penelitian yang dilakukan di Beijing Chao-yang

Hospital pada 859 subyek penelitian dan 100

kontrol sehat yang dibedakan menjadi kelompok

kontrol sehat, SIRS, sepsis, severe sepsis, dan septic

shock menunjukkan bahwa presepsin dengan cut-

off 317 pg/ml memiliki sensitivitas 70.8%,

spesifisitas 85.8%, NDP 93.2%, NDN 51.6%, dan

akurasi 74.8%. Sedangkan prokalsitonin dengan cut-

off 0.25 ng/mlmemiliki sensitivitas 60,0%,

spesifisitas 77,7%, NDP 92,9%, NDN 28,4%, serta

akurasi 63,0%. Adapun pemeriksaan kedua

biomarker tersebut menggunakan PATHFAST

analyser untuk presepsin dan VIDAS BRAHMS PCT

assay untuk prokalsitonin.13

Pada penelitian ini, kadar presepsin diukur

secara kuantitatif dengan metode

chemiluminescent enzyme immunoassay (CLEIA)

dan menggunakan antibodi poliklonal dan

monoklonal anti presepsin.18 Sedangkan

pengukuran kadar prokalsitonin secara kuantitatif

dengan metode sandwich-ELISA (Enzyme-linked

immunosorbent assay) menggunakan antibodi

spesifik human-PCT.19 Walaupun kedua metode

tersebut sama-sama meng-gunakan metode

immunoassay, akan tetapi dibutuhkan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui adanya kemungkinan

perbedaan metode pemeriksaan tersebut dapat

memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena itu,

untuk penelitian lebih lanjut disarankan

pemeriksaan prokalsitonin dengan menggunakan

alat analyser otomatis dengan metode

chemiluminescent enzyme immunoassay (CLEIA).

Keterbatasan pada penelitian ini adalah

beberapa sampel darah yang diambil untuk

pemeriksaan kultur darah, kadar presepsin maupun

prokalsitonin tidak diambil secara simultan. Hal

tersebut disebabkan oleh adanya batasan volume

darah flebotomi pada neonatus.

KESIMPULAN DAN SARAN

Nilai diagnostik presepsin pada sepsis

neonatorum adalah baik dengan sensitivitas 85,7%,

spesifisitas 68,8%, nilai duga positif 85,7%, nilai

duga negatif 68,8%, rasio kemungkinan positif 2,75,

rasio kemungkinan negatif 0,21, dan akurasi 80,4%.

Sedangkan nilai diagnostik prokalsitonin pada sepsis

neonatorum tergolong sedang dengan sensitivitas

68,6%, spesifisitas 62,5%, nilai duga positif 80%,

nilai duga negatif 47,6%, rasio kemungkinan positif

1,83, rasio kemungkinan negatif 0,5, dan akurasi

66,7%. Berdasarkan uji diagnosis yang dibandingkan

dengan kultur darah presepsin mempunyai nilai

diagnostik yang baik sehingga dapat digunakan

untuk membantu menegakkan diagnosis dini sepsis

neonatorum. Namun, disarankan penelitian lebih

lanjut untuk memeriksa kadar prokalsitonin dengan

metode chemiluminescent enzyme immunoassay

(CLEIA) menggunakan analyzer otomatis.

Page 46: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

280

DAFTAR PUSTAKA

1. Shah AB. and Padbury JF. 2014. Neonatal

Sepsis: An old problem with new insight.

Virulence. 5(1):170-178.

2. Gardner SL. 2009. Sepsis in the Neonate. Crit

Care Nurs Clin N Am. 21: 121–141.

3. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007.

Desember 2008. Laporan Nasional 2007. Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. p:

114 & 156.

4. Polin RA and the Committee on Fetus and

Newborn. 2012. Management of Neonates

with Suspected or Proven Early-Onset Bacterial

Sepsis. Pediatrics. 129 (5): 1006-1015.

5. Kibe S, Adams K and Gavin Barlow G. 2011.

Diagnostic and prognostic biomarkers of sepsis

in critical care. J Antimicrob Chemother. 66 (2):

ii33–ii40.

6. Melvan JN, Bagby GJ, Welsh DA, Nelson S, and

Zhang P. 2010. Neonatal Sepsis and Neutrophil

Insufficiencies. Int Rev Immunol. 29(3):315-

348.

7. Ulla M, Pizzolato E, Lucchiari M, Loiacono M,

Soardo F, Forno D, Morello F, Lupia E, Moiraghi

C, Mengozzi G and Battista S. 2013. Diagnostic

and prognostic value of presepsin in the

management of sepsis in the emergency

department: a multicenter prospective study.

Critical Care. 30(17): R168.

8. Ramana KV, Pinnelli VB, Kandi S, Asha G,

Jayashankar CA, Bhanuprakash, Raghavendra

DS, and Sanjeev DR. 2014. Presepsin: A novel

and Potential Diagnostic Marker for Sepsis.

American Journal of Medical and Biological

Research. 2(4): 97-100.

9. Hendrianingtyas, Banundari RH, Indranila KS,

Imam Budiwiyono. 2014. Serum Procalcitonin,

CRP and Presepsin in SIRS. Indonesian Journal

of Clinical Pathology and Medical Laboratory.

20 (3): 180–182.

10. Dong Y, and Speer CP. 2014. Late-onset

neonatal sepsis: Recent developments. Arch

Dis Child Fetal Neonatal Ed. 0:F1–F7.

11. Pusponegoro H, Wila Wirya IGN, Pudjiadi AH,

Bisanto J, dan Zulkarnain SZ. 2011. Uji

Diagnostik. Dalam: Sastroasmoro S dan Ismael

S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis

edisi ke-4. CV. Sagung Seto. Jakarta. Hal: 219-

244.

12. Shozushima T, Takahashi G, Matsumoto N,

Kojika M, Okamura Y, and Endo S. 2011.

Usefulness of presepsin (sCD14-ST)

measurements as a marker for the diagnosis

and severity of sepsis that satisfied diagnostic

criteria of systemic inflammatory response

syndrome. J Infect Chemother. 17(6): 764-769.

13. Liu B, Chen Y, Yin Q, Zhao Y and Li C. 2013.

Diagnostic value and prognostic evaluation of

Presepsin for sepsis in an emergency

department. Critical Care. 17(R244): 1-12.

14. Arai Y, Mizugishi K, Nonomura K, Naitoh K,

Takaori-Kondo A, Yamashita K. 2015.

Phagocytosis by human monocytes is required

for the secretion of presepsin. Journal

Infection and Chemotherapy. 21 (2015): 564-

569.

15. Shirakawa K, Naitou K, Hirose J, Nakamura M,

Takeuchi T, Hosaka Y, Furosako S. 2010. The

new sepsis marker, sCD14-ST, induction

mechanism in the rabbit sepsis models. Crit

Care.14:P19.

Page 47: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

281

16. Chaudhury A, Sumant GL, Jayaprada R, Kalawat

U, Ramana BV. 2013. Procalcitonin in sepsis

and bacterial infections. J Clin Sci Res. 2: 216-

224.

17. Schuetz P, Christ-Crain M, Müller B. 2009.

Procalcitonin and other biomarkers to improve

assessment and antibiotic stewardship in

infections. Swiss Med Wkly. 139 (23–24): 318 –

326.

18. Mitsubishi Chemical Medience Corporation.

2011. Pathfast-Presepsin. Tokyo: Mitsubishi

Chemical Medience Corporation.

19. Elabscience Biotechnology Corporation. 2015.

Human Procalcitonin ELISA Kit. Wuhan:

Guandong Science and Technology Industry

Park.

Page 48: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

283

SINDROMA VENA KAVA SUPERIOR SEBAGAI KOMPLIKASI DARI METASTASE SEMINOMA TESTIS KE MEDIASTINUM DAN PARU YANG MEMBAIK DENGAN KEMOTERAPI Lindayanti Sumali, Yani Jane Sugiri Departemen/SMF Pulmonologi dan kedokteran Respirasi FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK Tumor sel germinal merupakan 2% penyebab keganasan pada manusia, tetapi insidennya meningkat lebih dari 2 kali lipat dalam 40 tahun ini. Serum tumor marker memiliki peranan penting dalam menegakkan diagnosa, prognosa, dan menilai hasil terapi. Penderita laki-laki umur 32 tahun dengan riwayat seminoma testis 3 tahun lalu post orkidektomi sinistra datang dengan keluhan, gejala dan tanda sindroma vena kava superior, serta batuk darah. Serum tumor marker menunjukkan peningkatan β-HCG dan LDH. Hasil dari Toraks PA dan CT scan didapatkan tumor mediastinum anterior superior dan nodul metastase pada kedua paru. Berdasarkan pemeriksaan tersebut, pasien didiagnosa metastasis seminoma testis pada paru dan dinding dada dengan komplikasi sindroma vena kava superior. Setelah diberikan kemoterapi cisplatin etoposide 4 siklus dan ditambah 2 siklus, pasien mengalami perbaikan klinis, radiologis, dan penurunan serum tumor marker gradual sehingga mencapai angka normal. Kasus ini sebagai salah satu ilustrasi pentingnya follow up berupa pemeriksaan fisik, radiologi, serum tumor marker secara berkala pada tumor sel germinal. Kata Kunci: Sindroma Vena Kava Superior, Seminoma Testis, Metastasis, Kemoterapi VENA KAVA SUPERIOR SINDROMA AS COMPLICATIONS FROM METASTATIC OF SEMINOMA TESTICS TO MEDIASTINUM AND LUNG THAT IMPROVED WITH CHEMOTHERAPY ABSTRACT Germ Cell tumors constitute only 2% of all human malignancies, but the worldwide incidence of these tumors has more than doubled in the past 40 years. Serum tumor markers are critical in diagnosing GCTs, determining prognosis, and assessing treatment outcome. A 32-year-old male with history of seminoma testis 3 years before, post sinistra orchidectomy, came to Saiful Anwar Malang Hospital because of symptoms and signs of superior vena cava syndrome and hemoptoe grade III. Serum tumor marker showed increased level of β-HCG dan LDH. Chest X-ray and Thorakal CT-scan revealed tumor mediastinum anterior superior and nodul metastaste to both of the lungs. Based on these examinations, the patient was diagnosed metastatic seminoma testis to the lung and mediastinum with complication vena cava superior syndrome. After given four plus two cycles of cisplatin-etoposide chemotherapy, he got clinical appearance improvement, radiologic features, and gradually decreased of serum tumor marker (β-HCG dan LDH). This case illustrates the importance of long term follow-up and examination in patients with germ cell tumors. Keywords: Vena Cava Superior Syndrome, Seminoma Testis, Metastasis, Chemotherapy

Laporan Kasus

Korespondensi:

dr. Lindayanti Sumali

Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017

Page 49: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

284

PENDAHULUAN

Tumor mediastinum dapat terjadi pada usia

berapa saja, tetapi yang paling sering adalah pada

dekade tiga sampai lima. Insiden tumor mediastinum

di setiap kompartemen anatomi bervariasi menurut

usia. Pada 54% orang dewasa tumor mediastinum

terjadi di anterior, 20% di medial, 26% di posterior.1

Pada tumor mediastinum sel germinal penanda

tumor bermanfaat untuk membantu diagnosis,

penentuan stadium tumor, monitor respons

pengobatan dan sebagai indikator prognosis tumor.

Penanda tumor ini ditemukan pada 90% tumor

germinal. Kebanyakan seminoma tidak menunjukkan

peningkatan tumor marker saat diagnosa ataupun

relapse, tetapi dapat juga ditemuka peningkatan β-

HCG (5-10% kasus). Peningkatan AFP mengarahkan

diagnosa pada nonseminoma sel tumor germinal.2,3

LAPORAN KASUS

Pada kasus ini dilaporkan seorang penderita

laki-laki usia 32 tahun dengan keluhan utama bengkak

pada wajah, leher, dan lengan kanan sejak 2 minggu

sebelum masuk rumah sakit dan memberat dalam 3

hari, disertai sesak 3 hari yang tidak berkurang

dengan istirahat. Batuk darah selama 2 hari sekitar

150 cc/ 24jam. Riwayat seminoma testis yang

dilakukan orkidektomi 3 tahun lalu.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya

edema wajah dan leher, vena-vena kolateral pada

dinding dada. Penurunan pergerakan dan suara napas

pada bagian kanan atas dan tengah dengan

keredupan pada perkusi. Tidak didapatkan ronki

ataupun wheezing. Pemeriksaan laboratorium

menunjukkan peningkatan β-HCG (591,4 mIU/ml) dan

LDH (676 IU/L).

Foto toraks PA tampak tumor mediastinum

superior anterior terutama sisi kanan dengan

silhouette sign dan gambaran pneumonia diferential

diagnosis dengan proses metastasis pada lapangan

bawah paru kanan (Gambar 1). CT scan toraks

menunjukkan adanya tumor mediastinum anterior

superior terutama kanan hingga medius yang

mendesak jantung dan trakea ke kiri, serta

menyempitkan trakea hingga bronkus utama kanan

dan kiri dengan gambaran metastasis pada paru

(Gambar 2).

Gambar 3. Hasil Patologi Anatomi dengan pembesaran 100x

Gambar 1. Foto toraks PA

Hasil Patologi Anatomi dari biopai jarum halus

dengan tuntunan USG didapatkan pada pe-meriksaan

mikroskopik hapusan tampak kelompok sel epitel

dengan inti bulat oval relatif uniform dan kromatin

kasar dengan kesimpulan adeno-karsinoma, seperti

ditunjukkan pada Gambar 3.

Page 50: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

285

Gambar 2. CT Scan Toraks

Pada pasien ini dilakukan kemoterapi 1 siklus dengan

6x pemberian menggunakan cisplatin 100 mg dan

etoposide 170 mg dengan selang waktu 21 hari.

Selama kemoterapi, pasien mengalami perbaikan

klinis dan pengurangan keluhan serta tidak

didapatkan efek samping kemoterapi yang

menganggu. Hasil foto toraks setelah kemoterapi

massa menghilang dengan didapatkan gambaran sisa

berupa infiltrat dan kavitas samar.

Gambar 4. Foto Toraks PA (A) sesudah kemoterapi 4x (B) sesudah kemoterapi 6x

DISKUSI

Tumor testis merupakan keganasan

terbanyak pada pria yang berusia diantara 15-35

tahun, dan merupakan 1-2% semua neoplasma pada

pria. Akhir-akhir ini terdapat perbaikan usia harapan

hidup pasien yang mendapatkan terapi jika

dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu, karena

sarana diagnosis yang lebih baik, ditemukannya

penanda tumor, regimen kemoterapi dan radiasi,

serta teknik pembedahan yang lebih baik.2,4

Gambaran klinis pada penderita menunjukkan

sindroma vena kava superior yang disebabkan

penekanan tumor mediastinum pada vena kava

superior sehingga menimbulkan gejala sesak,

pembengkakan kepala dan leher, batuk, nyeri dada,

vena-vena kolateral pada dinding dada. Pada

penderita diberikan terapi konservatif dengan elevasi

tempat tidur, oksigenasi, diuretik, dan

A

B

Page 51: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

286

kortikosteroid.5,6 Terjadi perbaikan klinis sesudahnya

sehingga dapat dikerjakan tata laksana lanjut untuk

penegakan diagnosa.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan

peningkatan beta HCG dan LDH disertai gambaran

tumor mediastinum dengan riwayat seminoma testis.

Serum tumor marker sangat membantu dalam

penegakan diagnosa tumor germinal karena

didapatkan meningkat pada 90% kasus. Seminoma

murni biasanya tidak menunjukkan peningkatan

serum tumor marker, tetapi 5-10% dapat terjadi

peningkatan β-HCG, dimana menunjukkan terdapat

elemen sinsitiotrofoblas dalam tumor ini.2,3 Apabila

ditemukan peningkatan AFP pada penderita dengan

tumor germinal, maka dapat dipastikan itu bukanlah

suatu seminoma murni, dapat berupa campuran atau

suatu nonseminoma.7 Pada penderita didapatkan nilai

AFP normal sehingga diagnosa pada penderita suatu

tumor germinal jenis seminoma.

Seminoma berbeda sifat-sifatnya dengan non

seminoma, antara lain sifat keganasannya, respon

terhadap radioterapi, dan prognosis tumor. Lebih

dari 50% tumor germinal memiliki tipe sel yang lebih

dari satu atau dikenal dengan tumor germinal

gabungan. Sel germinal berasal dari sel pluripotensial,

sehingga banyak elemen dapat didapatkan, baik pada

tumor germinal primer ataupun sekunder metastase-

nya.2,4

Biopsi jarum halus dengan tuntunan

ultrasonografi memberikan gambaran

adenokarsinoma. Hal ini sempat menjadi keraguan

apakah diagnosa pada pasien tumor germinal ataukah

adenokarsinoma bronkongenik, tetapi

adenokarsinoma tidak menunjukkan peningkatan

serum tumor marker.

Pada tahun 1974 Ray dkk mencatat bahwa

95% tumor primer karsinoma embrional dan

seminoma dapat bermetastase sebagai karsinoma

embrional murni atau menjadi campuran dengan

elemen lain, tetapi sangat jarang yang bermetastase

sebagai seminoma murni (±3%). Meskipun insiden

klinis menyatakan bahwa gambaran metastase

nonseminoma dari suatu seminoma murni hanyalah

kurang dari 10%, tetapi pada studi post mortem

menunjukkan 30-45% pasien dengan seminoma

murni memberikan gambaran metastase sebagai

nonseminoma.4

Pada 90% kasus, gambaran metastase

memberikan histologi yang sama dengan tumor

primer, sedangkan sisanya tidak memberikan

histologi yang sama. Hal ini dapat disebabkan adanya

kesalahan dalam pengambilan jaringan tumor primer

atau metastase telah berdiferensiasi ada subtipe

histologi yang lain.3

Penatalaksanaan yang diberikan sesuai

National Comprehensive Cancer Network (NCCN)

2012, yakni diberikan kemoterapi EP (Etoposide dan

Cisplatinum) sebanyak 4 siklus.8,9 Sesudah satu kali

kemoterapi didapatkan perbaikan klinis dan radiologis

yang signifikan. Kadar Beta HCG dalam serum

didapatkan peningkatan dari 591,4 menjadi 2302. Hal

ini dapat disebabkan oleh karena proses lisis dari

tumor. Kemoterapi dilanjutkan hingga siklus keempat

dan terjadi penurunan kadar beta HCG secara gradual

hingga menunjukkan angka normal pada akhir siklus.

Evaluasi CT scan toraks sesudah 4 siklus

kemoterapi menunjukkan pengurangan massa yang

signifikan dengan residu di mediastinum antero

superior kiri 5x5x6 cm dan nodul multiple dikedua

paru dengan jumlah dan ukuran berkurang, sehingga

diberikan tambahan kemoterapi 2 siklus pada

Page 52: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

287

penderita. Hasil CT scan terakhir menunjukkan

pengurangan massa yang signifikan, tetapi masih ada

sekuele di mediastinum 5,5x3,5x4 cm dan nodul di

kedua paru yang berkurang.

Pada umumnya, keputusan terapi diambil

haruslah menunggu hasil histopatologi.

Bagaimanapun juga, pada kasus yang jarang dimana

membutuhkan terapi segera dengan kadar β-HCG dan

AFP yang tinggi, dengan massa testis dan perjalanan

metastase atau gambaran radiologi stadium lanjut

kanker pada garis tengah yang sesuai dengan tumor

sel germinal, merupakan bukti yang cukup untuk

menegakkan diagnosa dan memberikan kemoterapi.10

RINGKASAN

Telah dilaporkan suatu kasus seorang laki-laki

berusia 32 tahun dengan diagnosa metastase

seminoma testis post orkidektomi sinistra 3 tahun lalu

ke mediastinum dan paru dengan komplikasi

sindroma vena kava superior. Pasien mendapatkan

terapi kortikosteroid dan diuretik untuk penanganan

awal sindroma vena cava superior dan kemoterapi

cisplatin-etoposide 6 siklus. Pasien mengalami

perbaikan klinis, penurunan serum tumor marker,

perbaikan gambaran radiologis dengan sekuele massa

di mediastinum sebesar 5,5x3,5x4 cm dan nodul di

paru kanan dan kiri, tetapi serum tumor marker

dalam batas normal dan penderita tidak mengalami

keluhan apapun, sehingga selanjutnya hanya

dilakukan surveilans klinis, radiologis, dan serum

tumor marker secara berkala pada penderita tanpa

dilanjutkan dengan terapi khusus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Roberts K. Fishman’s Pulmonary Diseases and

Disorders, 4th edition: Acquired Lesions of the

Mediastinum: Benign and Malignant;The

McGraw-Hill Companies, 2008, p.1583-1612

2. Purnomo B. Dasar-dasar Urologi. Malang, 2011;

267-273

3. Needles B., Cuevas D. The Washington Manual of

Oncology: Testicular Cancer & Germ Cell Tumors.

Lippincott Williams & Wilkins, 2002, p.349-363

4. Richie J., Steele G. Campbell’s Urology, 8th

Edition: Neoplasms of the Testis, 2002, p.2876-

2885

5. Pokja Kanker PDPI. Pedoman Nasional untuk

Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2005,

hal. 21-4

6. Yahalom J. 2008. Devita, Hellman & Rosenberg’s

Cancer: Principles & Practice of Oncology, 8th

Edition: Superior Vena Cava Syndrome, p.242

7. Murphy, Douglas, Thompson. Original Research:

Application of the International Germ Cell

Consensus Classification to the Nova Scotia

population of patiens with germ cell tumours.

Canadian Urology Association Journal 2009; 3(2):

120-4.

8. Motzer, Agrawal, Beard, Bhayani, Bolger,

Buyyounouski, et al. Testicular Cancer. Journal of

the National Comprehensive Cancer Network,

2012; 10: 502-535.

9. American Cancer Society. Testicular Cancer,

2011, p.1-43.

10. Gilligan, Hayes, Seidenfeld, Temin. ASCO Clinical

Practice Guideline on Uses of Serum Tumor

Markers in Adult Males with Germ Cell Tumors.

Journal of Oncology Practice, 2010; 6(4): 199-202

Page 53: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

287

IMUNOSUPRESAN PADA TRANSPLANTASI GINJAL

Nur Samsu Divisi Ginjal dan Hipertensi, Departemen/SMF Ilmu Penyakit Dalam FKUB-RSUD dr. Saiful Anwar Malang

ABSTRAK Pada saat transplantasi ginjal, rejimen terapi supresi imun merupakan salah satu faktor penentu yang penting terhadap terjadinya rejeksi akut atau terlambatnya fungsi ginjal cangkok.1 Meskipun faktor penentu penting, strategi yang optimal rejimen supresi imun sebagai terapi induksi profilaksis untuk mencegah rejeksi cangkok masih kontroversi.1,2 Pengertian terapi supresi imun induksi adalah pemberian rejimen supresi imun intensif selama periode perioperatif 3 atau yang lebih spesifik merujuk pada penggunaan antibodi antilimfosit pada saat transplantasi.1,4 Dasar rasional yang melatarbelakangi pendekatan ini adalah bahwa risiko terjadinya rejeksi akut paling besar dalam minggu atau bulan-bulan pertama setelah transplantasi.4 Dengan pemberian terapi induksi dimungkinkan untuk memodifikasi sistem imun resipien pada saat presentasi antigen donor.1 Jadi tujuan terapi induksi adalah menghasilkan deplesi limfosit di perifer untuk mengeblok aktifasi sel T dan atau fungsi sel imun lain pada post-transplantasi dini.1 Keuntungan lain dari terapi induksi ini adalah dapat menghindari, membatasi atau menunda pemakaian penghambat calcineurin segera setelah transplantasi sehingga tidak terjadi vasokonstriksi ginjal terutama pada pasien yang berisiko untuk terjadi keterlambatan berfungsinya cangkok (delayed graft function, DGF).5,6 Efek kombinasi diatas diharapkan dapat memperbaiki fungsi yang dini ginjal cangkok, memperlambat atau mencegah rejeksi dan memperbaiki survival cangkok jangka panjang.6 Kata kunci : imunosupresan, transplan ginjal, terapi induksi, rejeksi akut.

IMMUNOSUPPRESSANTS IN KIDNEY TRANSPLANTATION ABSTRACT At the time of renal transplantation, immune suppression therapy regimens are an important determinant of acute reinjection or delayed kidney transplant function.1 Despite important determinants, the optimal strategy of immune suppression regimens as prophylactic induction therapy to prevent graft rejection is controversial. 1,2 The definition of induced immune suppression therapy is the provision of intensive immune suppression regimens during the perioperative period 3 or more specifically refers to the use of antilymphocyte antibodies at the time of transplantation.1,4 The rationale behind this approach is that the risk of acute rejection is greatest in weeks or the first months after transplantation.4 With the provision of induction therapy it is possible to modify the immune recipient system at the time of presentation of donor antigen.1 So the purpose of induction therapy is to produce peripheral lymphocyte depletion to block activation of T cells and / or other immune cell function in early post-transplantation.1 Another advantage of induction therapy is to avoid, limit or delay the use of calcineurin inhibitors immediately after transplantation so that renal vasoconstriction does not occur especially in patients at risk for delayed function of the graft function (DGF).5.6 The above combined effects are expected to improve the early functioning of the transplanted kidneys, slow or prevent rejection and improve long-term graft survival.6 Keywords : immunosuppressant, kidney transplant, induction therapy, acute rejection

Tinjauan Pustaka

Korespondensi:

dr. Nur Samsu, SpPD-KGH

Email: [email protected]

Vol 2, No. 2, Mei - Ags 2017

Page 54: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

288

PENDAHULUAN

Berdasar data transplan tahunan di AS, dari

tahun 2000 sampai 2004 terdapat sekitar 63,6%

resipien cangkok ginjal yang menerima terapi

induksi menggunakan antibodi, baik poliklonal atau

monoklonal.7,8 Dari sejarahnya, penggunaan terapi

induksi berbasis antibodi mengalami pasang-surut,

tergantung pada efikasi terapi pemeliharaan yang

tersedia, kemungkinan risiko terapi induksi itu

sendiri dan tujuan terapi.3 Pada era awal

transplantasi ginjal (sekitar tahun 1960 sampai

1970-an), pilihan terapi supresi imun terbatas pada

penggunaan azathioprine dan prednison. Dengan

terapi tersebut, kejadian kehilangan fungsi cangkok

dalam satu tahun sekitar 50%, yang terjadi

terutama akibat rejeksi. Kemudian pada tahun

1970-an digunakan globulin antilymphocyte, tetapi

masih menimbulkan kontroversi terkait efikasi,

produksi dan standarisasinya. Baru pada tahun

1980-an sejak diperkenalkannya penggunaan

siklosporin, terjadi perubahan yang bermakna

dalam bidang transplantasi ginjal. Angka rejeksi

turun dan survival cangkok dalam satu tahun

mencapai 72 sampai 89,5%. Pada tahun 1985

diperkenalkan OKT3 sebagai terapi induksi. Karena

efektifitasnya, OKT3 pada awalnya banyak

digunakan, tetapi karena pertimbangan efek

samping yang ditimbulkannya serta penggunaan

siklosporin yang memberikan hasil yang jauh lebih

baik dibanding azathioprine dan prednison, maka

penggunaan OKT3 sebagai terapi induksi secara

umum mengalami penurunan. Kemudian, pada

akhir tahun 1990-an, dengan dikembangkannya

antibodi anti reseptor IL-2, antusiasme terapi

induksi berbasis antibodi timbul kembali.3

Sampai saat ini, terapi berbasis antibodi

yang digunakan untuk induksi meliputi antibodi

antithymocyte (baik yang berasal dari serum kuda,

Atgam atau serum kelinci, ATG), basiliximab (suatu

chimeric human-murine anti-CD25 atau antibodi

anti reseptor interleukin-2, IL-2), daclizumab (suatu

humanized antibodi anti reseptor IL-2) OKT3

(muromonab-CD3, suatu antibodi anti CD-3 tikus)

dan alemtuzumab (suatu antibodi anti-CD52 pada

sel B dan sel T).1,3 Dampak penggunaan obat-obat

ini pada transplantasi jangka panjang masih

kontroversi, tetapi dari bukti-bukti penelitian pada

subkelompok risiko tinggi menunjukkan hasil yang

lebih baik dalam hal survival ginjal cangkok.9

Pembahasan pada tulisan ini difokuskan

pada terapi induksi berbasis antibodi, rekomendasi

protokol terapi induksi berdasar pada penelitian-

penelitian yang ada serta akan diulas pula secara

singkat mekanisme kerja obat-obat yang digunakan

termasuk kortikosteroid, yang merupakan

komponen penting terapi induksi, baik yang

konvensional maupun berbasis antibodi.

KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid memiliki posisi sentral dalam

transplantasi klinik sejak pertama kali digunakan

untuk terapi penolakan pada tahun 1960-an.10

Dibandingkan dengan sebagian besar

imunosupresan pada umumnya yang menurunkan

reaktifitas imun melalui mekanisme yang spesifik,

maka steroid bekerja pada bermacam-macam

tempat dalam respon imun dan mempunyai

kemampuan imunosupresan yang multifaktorial.

Efek kortikosteroid yang difus ini merefleksikan

kenyataan bahwa sebagian besar jaringan mamalia

mempunyai reseptor glukokortikoid dalam

Page 55: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

289

sitoplasma dan dapat bertindak sebagai target

terhadap efek kortikosteroid. Kerja imunosupresif

dari kortikosteroid dapat dibagi berdasar kerja

spesifiknya pada makrofag dan sel T, efek supresi

imun non-spesifik dan antiinflamasi.10

Mekanisme Kerja

Meskipun steroid telah lama digunakan,

mekanisme pasti supresi imun belum jelas benar.

Pada awalnya diasumsikan bahwa steroid

menyebabkan supresi imun terutama melalui

mediasi peradangan. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk dapat memperbaiki pemahaman

secara lebih jelas mekanisme supresi imun steroid.

Pada awalnya berhasil ditunjukkan terjadinya

limfolisis lalu limfopenia setelah diberi steroid dosis

tinggi. Berikutnya pada tahun 1975-an dibuktikan

adanya sekuestrasi limfosit dalam sistem

retikuloendotelial setelah pemberian steroid dosis

tinggi (redistribusi limfosit dari kompartemen

vaskuler kembali ke jaringan limfoid).11

Pada awal 1999-an berhasil dibuktikan

bahwa komponen utama fungsi steroid adalah

melalui blokade ekspresi gen terhadap limfokin dan

sitokin yang sangat penting untuk mengawali

respon imun. Steroid menghambat fungsi sel

dendritik, yang merupakan sel yang

mempresentasikan antigen terpenting. Steroid

bersifat hidrofobik dan dapat berdifusi kedalam sel.

Didalam sel berikatan dengan reseptor sitoplasmik

dan bergabung dengan HSP 90. Gabungan dengan

Heat Shock Protein (HSP) menyebabkan disosiasi

HSP dan kompleks steroid-reseptor mengalami

translokasi kedalam nukleus selanjutnya berikatan

dengan sekuen DNA yang dikenal sebagai

glucocorticoid response elements (GREs). Sekuen

GRE telah ditemukan dalam region promoter

beberapa gen-gen sitokin, sehingga diduga bahwa

ikatan kompleks steroid-reseptor pada GRE

menghambat transkripsi gen-gen sitokin.

Kortikosteroid juga menghambat translokasi

kedalam nukleus dari NF-kB, suatu faktor transkripsi

yang berperan utama dalam menginduksi gen yang

mengkode bermacam-macam sitokin.

Kortikosteroid menghambat ekspresi IL-1, IL-2, IL-3,

IL-6, TNF-α dan IFN-γ, sehingga menyebabkan

semua stadium pada proses aktifasi sel T menjadi

terhambat.10,12,13 Karena hambatan ekpsresi IL-1

dan IL-6 oleh makrofag dan monosit, maka steroid

juga mampu menekan sistem imun, baik seluler

maupun humoral, karena IL-1 adalah ko-stimulus

terhadap aktifasi sel T, sedangkan IL-6 adalah

penginduksi utama sel B. 11,12

Sediaan dan Cara Pemberian

Dalam bidang transplantasi klinik,

kortikosteroid biasanya diberikan dengan 3 cara,

sebagai pulse dosis tinggi IV atau oral yang

diberikan selama 3 - 5 hari; sebagai siklus steroid

atau taper dengan penurunan dosis oral secara

gradual selama beberapa hari atau minggu; atau

sebagai dosis rendah harian atau rejimen

pemeliharaan setiap dua hari sekali.10 Sediaan

kortikosteroid yang paling sering digunakan dalam

transplantasi ginjal adalah metilprednisolon.

Prednisolon merupakan kortikosteroid

imunosupresif sirkulasi yang paling aktif.

Metilprednisolon merupakan kortikosteroid

intravena yang paling sering digunakan. Waktu

paruh obat ini terukur dalam jam, tetapi

kapasitasnya untuk menghambat produksi limfokin

dapat persisten selama 24 jam, sehingga pemberian

sekli sehari sudah adekuat.10

Page 56: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

290

Umumnya metilprednisolon diberikan

secara intraoperatif dengan dosis sampai 1 g.

Kemudian dosis diturunkan secara cepat dari 150

mg pada hari ke-1 menjadi 20 sampai 30 mg pada

hari ke-14. Beberapa program transplantasi tanpa

memberikan steroid sama sekali, memodifikasinya

atau memulai dengan dosis 30 mg setiap hari atau

bahkan kurang. Dosis prednison oral maksimal pada

bulan ke-1 adalah 20 mg dan bulan ke-3 sebesar 15

mg. Setelah setahun, banyak pasien toleran dengan

rejimen pemeliharaan setiap dua hari sekali. Dosis

pemeliharaan jangka panjang biasanya sekitar 5

sampai 7,5 mg perhari.10

ANTIBODI POLIKLONAL DAN MONOKLONAL

Antibodi poliklonal dihasilkan oleh imunisasi

kuda atau kelinci dengan jaringan limfoid manusia

untuk mendapatkan fraksi globulin gamma.

Beragam antibodi poliklonal, yaitu ALG

(antilimfoblas serum) dan ATG telah dipakai diklinik

sejak tahun 1970-an. Saat ini antibodi poliklonal

yang dipakai secara luas dalam klinik hanya

antithymocyte globulin, Atgam dan

Thymoglobulin.10 Atgam merupakan larutan

globulin gamma yang telah dimurnikan yang

dihasilkan melalui imunisasi kuda dengan timosit

manusia. Atgam mengandung antibodi terhadap

bermacam-macam antigen permukaan sel T,

termasuk antigen MHC. Thymoglobulin merupakan

antibodi poliklonal yang berasal dari kelinci. Seperti

halnya Atgam, Thymoglobulin juga mengandung

antibodi terhadap bermacam-macam antigen sel T

dan MHC.11,12 Sedangkan antibodi monoklonal

muromonab-CD3 telah dipakai dalam klinik sejak

tahun 1987, serta antibodi monoklonal humanized

anti-Tac (HAT), daclizumab dan basiliximab sejak

tahun 1998. Antibodi monoklonal lain, rituximab

dan alemtuzumab (campath 1H) juga telah

dikembangkan dalam transplan klinik.

Imunosupresan biologi dapat digunakan untuk

induksi dan untuk terapi rejeksi akut, tidak

digunakan sebagai imunosupresan pemeliharaan

(tabel 1). Antibodi poliklonal, OKT3 dan

alemtuzumab menyebabkan deplesi sel T sehingga

disebut antibodi depleting, sedangkan antibodi

monoklonal HAT menyebabkan disfungsi sel T tetapi

nondepleting.10

Tabel 1. Sediaan Antibodi untuk Imunosupresan

Transplan Ginjal

Terapi

Indikasi Mekanisme kerja

Induksi Rejeksi Deplesi Limfosit

Monoclonal - OKT3 - Basiliximab - Daclizumab

+

+* +*

+ - -

Ya

Tidak Tidak

Poliklonal - Atgam - Thymoglo-

bulin

+

(+)

+ +

Ya Ya

+, sudah disetujui FDA; (+) belum disetujui tetapi sudah biasa digunakan

* direkomendasikan untuk diberikan bersamaan dengan CNI

Antibodi Poliklonal

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja antibodi poliklonal secara

pasti belum dipahami sepenuhnya. Antibodi

poliklonal mengandung antibodi sitotoksik terhadap

beragam petanda sel T.10 Antibodi poliklonal

menghambat limfosit T dan menyebabkan lisis sel

melalui interaksi dengan bermacam-macam

petanda permukaan sel. Lisis sel yang dimediasi

komplemen dan opsonisasi sel oleh antibodi akan

diikuti dengan removal sel-sel retikuloendotelial

dari sirkulasi kedalam limfa dan hati. Antibodi

Page 57: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

291

poliklonal menghambat reaksi imun yang dimediasi

sel, termasuk penolakan cangkok, hipersensitifitas

lambat dan penyakit graft-versus-host (GFD), tetapi

efeknya pada produksi antibodi yang tergantung

timus hanya kecil.10

Antibodi polikonal bekerja secara non-

spesifik pada semua limfosit dan menyebabkan

supresi imun yang bersifat menyeluruh. Oleh karena

banyaknya sistem imun, spesifisitas antibodi

poliklonal menghasilkan induksi yang lebih efektif

dibandingkan antilimfosit monoclonal.14 Setelah

pemberian, segera akan terjadi deplesi limfosit

perifer serta dapat terjadi limfopenia yang berat

dengan pemulihan secara perlahan-lahan. Dengan

menggunakan Thymoglobulin, dapat terjadi

limfopenia yang berkepanjangan, dan subset CD4

dapat tersupresi selama beberapa tahun. Efek

imunosupresif yang berkepanjangan dari obat-obat

ini mungkin berperan terhadap relatif lebih

jarangnya episode rejeksi berulang jika

dibandingkan dengan OKT3.10

Cara Pemberian dan Efek Samping

Dosis Thymoglobulin standar adalah 1,5

mg/kg dalam kur 4 sampai 10 hari. Pemberian

terapi induksi secara intraoperatif lebih efektif

dalam mengurangi kejadian kelambatan fungsi

cangkok dan mengurangi lamanya perawatan

dirumah sakit.10,15 Thymoglobulin dicampur dengan

D5% atau NS 500 mL dan diinfuskan dalam 4 sampai

8 jam melalui vena sentral atau fistula. Melalui vena

perifer terkadang dapat terjadi trombosis vena atau

tromboplebitis. Untuk mencegah terjadinya reaksi

alergi, pasien diberikan premedikasi berupa

metylprednisolone 30 mg dan dipenhydramine

hydrochloride 50 mg secara IV 30 menit sebelum

terapi. Parasetamol diberikan sebelum dan 4 jam

setelah terapi. Tanda-tanda vital dimonitor setiap

15 menit dalam jam pertama infus kemudian setiap

jam sampai infus selesai. Azathioprine,

mycophenolate mofetil (MMF) dan sirolimus

sebaiknya dihentikan selama kur terapi untuk

mencegah memberatnya efek samping hematologi.

Siklosporin atau tacrolimus dapat dihentikan atau

diberikan dalam dosis rendah selama kur terapi.10

Sebagian besar efek samping antibodi poliklonal

terkait dengan protein asing antibodi itu sendiri

(antibodi poliklonal sangat imunogen). Disamping

itu, kondisi supresi imun yang menyeluruh akibat

antibodi poliklonal ini dapat menyebabkan

terjadinya gangguan limfoproliferatif post-transplan

atau infeksi yang serius, terutama oleh CMV. Oleh

karena itu terapi antibodi poliklonal harus dilakukan

dirumah sakit dengan tersedianya fasilitas isolasi

terhadap infeksi. Reaksi akut terjadi pada hampir

semua pasien dalam beberapa hari terapi, yang

ditandai oleh panas, menggigil bahkan anafilaksis.10

Dapat juga terjadi serum sickness atau

glomerulonefritis yang diinduksi kompleks imun.

Serum sickness terjadi antara 7 sampai 14 hari

setelah dimulainya terapi.10 Semua antibodi

poliklonal dapat menyebabkan trombositopenia

dan lekopenia. Lekopenia sering pada terapi dengan

Thymoglobulin dan terjadi sampai ½ pasien. Dosis

biasanya diturunkan setengahnya pada pasien

dengan hitung platelet 50.000 sampai 100.000

sel/mL atau lekosit kurang dari 3.000 sel/mL dan

dihentikan bila lebih rendah dari nilai tersebut.10

Efek toksik dapat diminimalkan dengan

menggunakan fraksi serum yang kemurniannya

tinggi, diberikan secara intravena dan dikombinasi

dengan imunosupresan lain seperti siklosporin dan

Page 58: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

292

kortikosteroid.10 Strategi lain sebagai metode

alternatif pemberian Thymoglobulin adalah dengan

kur 3 hari. Thymoglobulin diberikan dengan dosis 3

mg/kg secara intraoperatif, lalu post-operatif pada

hari ke-1 dan ke-2.16

Antibodi Monoklonal

1. Antibodi Monoklonal OKT3

Mekanisme Kerja

Antibodi monoklonal immunoglobulin (Ig) G

mempunyai spesifisitas terhadap tempat antigenik

tunggal. Antibodi monoklonal yang pertama

diaplikasikan di klinik adalah anti-CD3 (OKT3). OKT3

adalah antibodi monoklonal yang dihasilkan dari

hibridisasi limfosit B murine antibody-secreting

dengan line sel mieloma non-secreting yang

potensial neoplastik yang memungkinkan sekresi

antibodi untuk selama-lamanya. Berbeda dengan

antibodi monoklonal humanized, maka OKT3 adalah

xenogeneic karena keseluruhan antibodi adalah

berasal dari murine. OKT3 bereaksi dengan sel T

manusia melalui ikatan dengan salah satu dari

subunit kompleks CD3, yang merupakan bagian

intrinsic reseptor sel T. Akibat lanjut dengan

deaktifasi kompleks CD3 menyebabkan TCR

mengalami endositosis dan hilang dari permukaan

sel. Sel T menjadi tidak memberi efek dan dalam 1

jam akan mengalami opsonisasi dan dibuang dari

sirkulasi masuk dalam sistem retikuloendotelial.

OKT3 juga mengeblok fungsi sel T killer, yang

berperan penting dalam membangkitkan respon

rejeksi. 10

Bersamaan dengan deplesi sel-sel CD3+,

juga terjad deplesi sel T dengan petanda-petanda

permukaan lain (CD4, CD8, CD11). Dalam beberapa

hari, sel T yang mengemban CD4, CD8 dan CD11

muncul lagi dalam sirkulasi tetapi tanpa CD3. Sel-sel

CD3+ fungsional akan muncul lagi kemudian setelah

pemberian OKT3, kemungkinan karena produksi

antibodi netralisasi.10

Cara Pemberian dan Efek Samping

Dosis standar OKT3 adalah 5 mg diberikan

secara bolus IV melalui filter Millipore. Kur standar

terdiri atas dosis harian selama 10 hari (terkadang

lebih singkat, 5 – 7 hari atau lebih lama, 14 hari).

Protokol pemberian dengan dosis lebih kecil,

kemungkinan juga sama efektifnya. Beberapa dosis

pertama OKT3 harus diberikan di rumah sakit. Dosis

pertama diberikan saat operasi dengan

berpedoman pada protokol yang

direkomendasikan. Jika obat dapat ditoleransi

dengan baik, maka dosis selanjutnya dapat

diberikan secara rawat jalan.10 Dalam 24 sampai 48

jam setelah kur pertama CD3+, menurun dari 60%

menjadi 5% dan semakin rendah jika diberikan kur

yang kedua. Jika CD3+ tidak menurun atau menurun

diikuti peningkatan yang cepat menandakan adanya

blocking antibodi. Pemberian secara bersamaan

dengan calcineurine inhibitor (CNI), MMF atau

azathioprine dapat meminimalkan respon

antibodi.10

Page 59: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

293

Tabel 2. Protokol Rekomendasi Penggunaan OKT310

1. Sebelum pemberian dosis pertama, pasien kondisi tidak edema, dalam 3% berat kering dan foto

thoraks negatif

2. Pada pasien edema (volume berlebih) gunakan diuretik dosis tinggi, dialisis atau ultrafiltrasi untuk

mencapai euvolemia.

3. Berikan premedikasi 10-60 menit sebelum dosis pertama dan kedua. Premedikasi terdiri atas

metilprednisolon 5-8 mg/kg, dipenhidramin hidroklorid 50 mg IV dan asetaminofen 500 mg PO.

4. Sebelum dosis pertama dan kedua, monitor tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 2 jam

kemudian setiap 30 menit selama 2 jam.

5. Premedikasi tidak diperlukan untuk dosis berikutnya, gunakan asetaminofen 500 mg bila ada

panas.

6. Jika OKT3 dihentikan selama lebih dari satu dosis, ulangi tindakan pencegahan dosis pertama.

7. Lanjutkan dengan CNI, azathioprin atau MMF dosis rendah selama kur terapi.

8. Jika dilanjutkan CNI, gunakan setengah dosis, kembali ke dosis penuh 2 hari sebelum selesai kur

dan pastikan kadar terapeutiknya.

9. Setelah dua dosis pertama, lanjutkan prednison berdasar protokol.

10. Gunakan profilaksis antivirus dan antibakterial

11. Dalam kur kedua OKT3, monitor kadar CD3 minimal dua kali seminggu.

12. Setelah dua dosis pertama, dorong diuresis pasien.

13. Pertimbangkan pemberian secara rawat jalan setelah dosis ketiga pada pasien yang stabil.

Efek samping serius yang potensial fatal

dapat terjadi dalam hari-hari pertama terapi, yang

disebut sindroma release sitokin yang terjadi akibat

sel T yang ’plummets’ dan sitokin yang dihasilkan

sel T dilepaskan dalam sirkulasi (termasuk TNF, IL-2

dan IFN-γ). Aktifasi segera komplemen juga

berperan penting terhadap timbulnya sindroma ini.

Efek samping lain berupa panas dan menggigil, yang

terjadi 45 menit sampai beberapa jam setelah

injeksi. Terjadi setelah dosis pertama dan biasanya

berkurang pada dosis kedua. Edema paru dapat

terjadi setelah dosis pertama atau kedua jika pasien

tidak dalam keadaan euvolemik pada saat

penyuntikan. Nefrotoksisitas yang ditandai oleh

peningkatan kreatinin serum dapat terjadi dalam

hari-hari pertama terapi, tetapi biasanya bersifat

sementara. Terjadi akibat perubahan hemodinamik

terkait release sitokin. Efek samping neurologi

dapat berupa sakit kepala ringan sampai

ensepalopati yang berat. Biasanya dapat terjadi

pada pasien dengan kelambatan fungsi cangkok dan

pasien diabetes. Infeksi terutama CMV, merupakan

efek samping yang terjadinya lambat, yang

tergantung pada jumlah kur dan keseluruhan obat

imunosupresan yang diberikan.10

2. Antibodi Monoklonal Anti-CD25

HumanizedMekanisme Kerja

Antibodi monoklonal anti-CD25 basiliximab

dan daclizumab target sasarannya pada rantai alfa

(disebut juga CD25 atau Tac) dari reseptor IL-2.

Reseptor IL-2 mengalami upregulated hanya pada

Page 60: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

294

sel T yang teraktifasi. Akibat ikatan reseptor dengan

antibodi, maka respon yang dimediasi oleh IL-2

diblok.12,17 Antibodi monoklonal anti-CD25

merupakan pelengkap efek CNI, yang menurunkan

produksi IL-2.10

Basiliximab (Simulect) dan daclizumab

(Zenapax) merupakan chimeric (human/murine)

antibodi monoklonal yang relatif baru, yang dapat

digunakan sebagai terapi induksi yang efektif

dengan efek samping yang minimal. Keduanya

berasal dari antibodi monoklonal murine, yang

secara genetik sebagian besar dari molekul diganti

oleh IgG manusia. Sehingga dihasilkan senyawa

yang mempunyai immunogenicity yang rendah oleh

karena tidak menginduksi produksi human

antimurine antibody dalam jumlah yang bermakna.

Akibat lanjut kedua senyawa ini mempunyai waktu

paruh yang panjang dalam darah tepi dan tidak

menginduksi reaksi dosis pertama. Kedua senyawa

berbeda dengan OKT3 yang murni xenogeneic, yang

mempunyai waktu paruh pendek, membangkitkan

respon antimurine yang kuat dan menimbulkan

reaksi dosis pertama yang berat.10

Pada basiliximab, keseluruhan variable

region antibodi murine tetap intak, sedangkan

constant region berasal dari IgG manusia,

menghasilkan senyawa dianggap chimeric (75%

human dan 25% murine). Sedangkan daclizumab,

hanya tempat ikatan antibodi yang berasal dari

murine dan menghasilkan senyawa yang dianggap

humanized (90% human dan 10% murine).

Perbedaan ciri-ciri antar senyawa ini berperan

terhadap perbedaan afinitasnya terhadap reseptor

IL-2. Afinitas basiliximab terhadap reseptor IL-2

lebih besar dibanding daclizumab. Perbedaan ini

hanya mempunyai arti klinik yang kecil tetapi dapat

menjelaskan lebih besarnya dosis yang diberikan

pada daclizumab dibanding basiliximab.10

Cara Pemberian dan Efek Samping

Potensi supresi imun kedua obat diduga

terkait dengan kapasitasnya yang dapat berikatan

secara konsisten dan lengkap dengan reseptor IL-2α

pada sel T. Keduanya mempunyai waktu paruh lebih

dari 7 hari, sehingga dapat diberikan dengan

interval yang lama.10,12 Protokol dosis yang

digunakan untuk uji klinik dalam transplantasi

didesain untuk dapat menyebabkan ikatan pada

tempat reseptor dalam periode post-tranplan dini,

yang merupakan periode dengan insiden rejeksi

akut paling tinggi.10 Basiliximab diberikan dua dosis

masing-masing 20 mg secara IV, dosis pertama saat

operasi dan dosis kedua 4 hari setelah operasi.

Rejimen ini menyebabkan terjadinya saturasi pada

tempat reseptor IL-2α selama 30 sampai 45 hari.

Untuk daclizumab, diberikan 5 dosis masing-masing

1 mg/kg, dimulai saat operasi kemudian dengan

interval 2 minggu. Rejimen ini menyebabkan

saturasi pada tempat reseptor IL-2α sampai 12

minggu.10

Efek samping kedua obat tersebut hampir

tidak ada. Anafilaksis atau reaksi dosis pertama

tidak ditemukan pada pemberian daclizumab,

hanya kadang-kadang dengan basiliximab. Pada uji

klinik, kejadian efek samping yang khas terkait

transplan tidak lebih besar pada kelompok terapi

dibanding kelompok kontrol.10

3. Antibodi Monoklonal Alemtuzumab

Alemtuzumab (Campath-1H) adalah

antibodi monoklonal anti-CD52 humanized

panlimfositik (pada sel B dan T) yang secara masif

Page 61: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

295

mendeplesi jumlah limfosit. Alemtuzumab sudah

disetujui untuk terapi leukemia limfositik kronik

refrakter yang potensial bermanfaat dalam

transplantasi. Meskipun demikian dibeberapa pusat

transplan alemtuzumab telah banyak dipakai untuk

terapi induksi.17 Sebagai terapi induksi,

alemtuzumab menyebabkan deplesi sel-sel limfoid

baik sentral maupun perifer secara cepat dan efektif

yang memerlukan waktu beberapa bulan untuk

dapat kembali seperti pada kadar pre-transplan.

Penggunaan sebagai obat tunggal tidak

menginduksi toleransi dan dapat terjadi episode

rejeksi akut meskipun pada keadaan tidak ada sel T.

Alemtuzumab digunakan untuk meminimalkan

protokol imunosupresif pemeliharaan dan steroid

sparing dengan monoterapi menggunakan sirolimus

atau CNI dosis rendah.10 Dosis dan frekuensi

pemberian alemtuzumab serta rejimen

imunosupresan pemeliharaan yang optimal jika

menggunakan obat ini masih perlu penelitian lebih

lanjut.

Efek samping alemtuzumab meliputi reaksi

dosis pertama, netropenia, anemia, dan yang lebih

jarang pansitopenia dan autoimunitas.18

EFIKASI RELATIF TERAPI INDUKSI BERBASIS

ANTIBODI

Terapi induksi antibodi merujuk pada

penggunaan antibodi depleting, yaitu OKT3 atau

Thymoglobulin, atau salah satu dari antibodi

monoklonal nondepleting yaitu anti-CD25 dalam 2

minggu pertama transplantasi.10 Secara umum,

pada penggunaan antibodi depleting, CNI

dihentikan atau dosisnya dipertahankan minimal

sampai 2 - 3 hari sebelum kur antibodi lengkap.10

Protokol induksi menggunakan OKT3 atau antibodi

poliklonal merupakan alternatif utama terhadap

penggunaan CNI pada periode awal transplan. Hal

ini berbeda dengan penggunaan antibodi

monoklonal HAT, yang direkomendasikan untuk

menggunakan CNI secara bersamaan. Dengan terapi

sekuensial, diberikan OKT3 atau antibodi poliklonal

sedangkan CNI diberikan hanya jika kadar kreatinin

mencapai kadar sebelumnya (misal kadar plasma 3

mg/dL). Antibodi dihentikan segera setelah kadar

CNI yang adekuat tercapai. Sehingga pasien dengan

fungsi cangkok yang baik hanya menerima

beberapa hari terapi antibodi. Tabel 3 dibawah

merangkum keuntungan dan kerugian

menggunakan induksi antibodi depleting.10 Uraian

yang menjadi dasar terhadap keuntungan dan

kerugian penggunaan terapi induksi berbasis

antibodi diuraikan lebih lanjut.

ANTIBODI POLIKLONAL.

Antibodi poliklonal terutama digunakan

untuk terapi induksi. Karena berlebihnya sistem

imun, maka secara teoritis antibodi poliklonal yang

mempunyai spesifisitas luas lebih efektif dalam

terapi induksi dibanding antilimfosit monoklonal

(misal OKT3). Pada suatu penelitian menunjukkan,

bahwa pada penggunaan Atgam atau

Thymoglobulin intravena intraoperatif, kejadian

terlambatnya fungsi cangkok hanya 1 %. Lalu

setelah satu tahun, pada kelompok Thymoglobulin

kejadian rejeksi akut lebih rendah (4% vs. 25%) dan

survival cangkok lebih tinggi (98% vs. 83%). Lebih

rendahnya kejadian rejeksi pada Thymoglobulin

antara lain karena limfopenia pada kelompok

Thymoglobulin yang tetap terjadi, sedangkan

rendahnya angka terlambatnya fungsi cangkok

karena pada penggunaan ATG intraoperatif mampu

Page 62: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

296

mengeblok molekul adesi, sitokin dan kemokin dan

reseptornya yang berkontribusi terhadap jejas

iskemia reperfusi dan lambatnya fungsi cangkok.19

Pada follow-up jangka lama, pada tahun ke-2,

hitung CD4+ lebih rendah pada kelompok

Thymoglobulin, sedangkan hitung CD8+ tidak ada

perbedaan. Sedangkan pada tahun ke-5, survival

cangkok bermakna lebih baik pada kelompok

Thymoglobulin (77% vs. 57%).20

Tabel 3. Potensi Keuntungan dan Kerugian Induksi Antibodi Depleting10

Potensi keuntungan

- Memperbaiki survival cangkok pada pasien

risiko tinggi

- Periode terlambatnya fungsi cangkok dapat

diperpendek

- Onset penolakan pertama menjadi lambat

- Meniadakan penggunaan CNI secara dini

Potensi kerugian

- Risiko reaksi dosis pertama

- Mungkin memperlama masa rawat inap

- Biaya yang lebih mahal

- Kejadian infeksi CMV lebih tinggi

- Meningkatnya mortalitas jangka pendek dan

jangka panjang

Thymoglobulin juga dapat diberikan dengan

kur 3 hari. Telah dilakukan penelitian yang

membandingkan Thymoglobulin kur 3 hari dengan

kur 7 hari. Dengan kur 3 hari, Thymoglobulin

diberikan dengan dosis 3 mg/kg secara

intraoperatif, lalu post-operatif pada hari ke-1 dan

ke-2, sedangkan kur 7 hari, Thymoglobulin diberikan

dengan dosis 1,5 mg/kg secara intraoperatif,

dilanjutkan setiap hari sampai 6 hari. Hasilnya pada

1 tahun, episode rejeksi akut tidak ada perbedaan

(5% pada kur 3 hari vs. 4,2% pada kur 7 hari),

survival cangkok (95 vs 98%), survival pasien (95 vs

98%), tetapi lama rawat inap secara bermakna lebih

singkat pada kelompok kur 3 hari (6,1 vs 8 hari).

Disamping itu pada kelompok kur 3 hari, durasi

deplesi limfopenia lebih lama serta lebih berat.21

Disamping itu Thymoglobulin dapat diberikan

dengan dosis rendah (0,5 mg/kg) dikombinasi

dengan basiliximab. Dibanding dosis standar, dosis

rendah yang dikombinasi dengan basiliximab, tidak

ada perbedaan dalam hal survival pasien maupun

cangkok tetapi kejadian efek sampingnya lebih

rendah secara bermakna. 22

OKT3.

Terapi induksi dengan OKT3 tampaknya

paling efektif pada kelompok resipien transplan

yang berisiko tinggi, yaitu donor kadaver,

mengalami sensitisasi, mempunyai ketidakcocokan

2 HLA-DR atau cold ischemic time yang lama.

Penggunaan OKT3 dan induksi segera dengan

siklosporin dapat menyebabkan fungsi cangkok

yang lambat karena vasokonstriksi akibat

siklosporin pada kondisi release sitokin akibat

OKT3.22 Laporan dari The Collaborative Transplant

Study secara jelas menunjukkan bahwa pemberian

sekuensial OKT3 dilanjutkan dengan siklosporin

dapat memberikan hasil angka survival cangkok 3

tahun secara bermakna lebih tinggi dibanding

siklosporin saja, baik pada resipien transplan yang

pertama kali (75% vs. 71%) maupun transplan ulang

(68% vs. 62%). Hal seperti ini tidak ditemui jika

OKT3 dan siklosporin diberikan secara simultan.

Keuntungan terapi sekuensial paling besar pada

pasien dengan risiko tinggi, yaitu pasien dengan

panel antibodi reaktif limfositotoksik lebih dari 50%

serta pada resipien transplan kulit hitam dan

Page 63: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

297

pediatrik. Pada pasien yang sensitisasinya tinggi,

angka survival 3 tahun lebih tinggi pada transplan

yang pertama kali (80 vs 63%) dan transplan ulang

(73 vs. 58%).23,24

ANTIBODI RESEPTOR IL-2

Suatu meta-analisis yang melibatkan 38

penelitian dengan hampir 5.000 pasien dilakukan

untuk menilai efek antibody reseptor IL-2 terhadap

loss cangkok ginjal dan angka rejeksi. Dibandingkan

dengan plasebo (ada 14 penelitian, dengan 2.410

pasien), antagonis reseptor IL-2 menurunkan angka

penolakan akut pada 6 bulan (RR 0.66, CI 0.59 -

0.74) dan 1 tahun (RR 0.67, CI 0.60 - 0.75), tetapi

kejadian loss cangkok tidak ada perbedaan.

Sedangkan dibandingkan dengan terapi antibodi

yang lain (ada 9 penelitian dengan 778 pasien),

angka kejadian rejeksi akut (dengan biopsi), loss

cangkok dan kematian, semua penyebab mortalitas

serta kelambatan fungsi cangkok lebih tinggi pada

penggunaan antagonis reseptor IL-2, tetapi dengan

efek samping yang secara bermakna lebih rendah.25

Kedua antibodi resptor IL-2 telah disetujui FDA

untuk terapi induksi pada transplantasi ginjal.

Basiliximab.

Dari 8 penelitian uji acak terkontrol yang

membandingkan basiliximab dengan plasebo atau

obat induksi yang lain (ATG atau OKT3), basiliximab

secara bermakna memperbaiki insiden rejeksi akut

berdasar biopsi pada 6 bulan atau 1 tahun

dibanding plasebo, tetapi tidak berbeda dibanding

OKT3atau ATG. Insiden efek samping dengan

basiliximab sama dengan OKT3 atau ATG.26

Penelitian buta-ganda pada 376 pasien yang

menjalani transplan kadaver primer dan menerima

siklosporin dan steroid dibagi secara acak menjadi

kelompok plasebo dan kelompok basiliximab 20 mg

pada hari ke-0 dan ke-4 post-transplan. Pada

kelompok basiliximab tidak didapatkan sindroma

release sitokin, kejadian infeksi dan efek samping

yang lain sama antar kelompok. Pada kelompok

basiliximab, kejadian rejeksi akut dengan bukti

biopsi lebih rendah (30 vs. 40%).21 Penelitian lain

placebo-controlled pada 348 pasien yang

mengevaluasi efektifitas basiliximab dengan waktu

observasi sedikit lebih lama menunjukkan hasil yang

mirip.27 Analisa lebih lanjut menunjukkan pada

pasien diabetes basiliximab secara bermakna

memperbaiki survival 1 tahun dibanding plasebo

(96 vs 86%), tetapi tidak bermakna pada yang non-

diabetes. Profil keamanan basiliximab dibanding

plasebo pada diabetes maupun non-diabetes tidak

ada perbedaan.27 Penelitian lain yang

membandingkan basiliximab dan ATG sebagai terapi

induksi tambahan pada regimen 3 obat (siklosporin,

MMF dan kortikosteroid) menunjukkan, bahwa,

angka rejeksi akut sama antara kedua kelompok

tetapi kejadian efek samping dalam 1 tahun lebih

rendah pada basiliximab.28

Dibandingkan dengan Thymoglobulin, pada pasien

dengan risiko tinggi untuk terjadi rejeksi akut,

basiliximab tampaknya kurang efektif untuk

mencegah penolakan. Hal ini tampak pada hasil

penelitian acak prospektif multisenter yang

dilakukan pada 278 resipien transplan donor

kadaver dengan membandingkan keamanan dan

efikasi Thymoglobulin kur 5 hari dengan dua dosis

basiliximab. Resipien dan donor dipilih berdasar

karakteristik yang dapat memprediksi risiko normal

atau tinggi untuk rejeksi atau terlambatnya fungsi

cangkok. Kedua kelompok pasien juga

Page 64: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

298

mendapatkan siklosporin, MMF dan prednisone

untuk terapi pemeliharaan. Keluaran primer adalah

rejeksi akut, lambatnya fungsi cangkok, loss cangkok

dan kematian. Setelah satu tahun, antara

Thymoglobulin dan basiliximab tidak didapat

adanya perbedaan keluaran dalam hal kejadian

lambatnya fungsi cangkok, loss cangkok dan

kematian, tetapi angka rejeksi akut serta rejeksi

akut yang memerlukan terapi antibodi lebih tinggi

pada kelompok basiliximab (16 vs 26% dan 1,4 vs

8%). Kejadian efek samping serius tidak ada

perbedaan, tetapi pada Thymoglobulin kejadian

infeksinya lebih tinggi (86 vs 75%) dengan angka

kejadian CMV lebih rendah (8 vs 18%).29

Pada kelompok resipien risiko rendah,

terapi induksi basiliximab dibanding Thymoglobulin

tidak ada perbedaan hasil dalam hal survival

cangkok dan pasien serta angka kejadian penolakan

akut, tetapi dengan insiden efek samping termasuk

infeksi CMV yang lebih rendah pada kelompok

basiliximab.30

Daclizumab.

Berdasar hasil dari beberapa penelitian acak

terkontrol yang membandingkan daclizumab

dengan plasebo atau obat induksi yang lain (OKT3),

maka pada kelompok daclizumab secara bermakna

menurunkan insiden rejeksi akut yang dibuktikan

dengan biopsi dan survival pasien yang lebih baik

pada 6 bulan atau 1 tahun dibandingkan dengan

plasebo, tetapi tidak bermakna dibanding dengan

OKT3. Insiden efek samping dengan daclizumab

berkurang dibandingkan OKT3.26 Penelitian yang

mengevaluasi kejadian rejeksi akut dan survival

pada satu dan tiga tahun diantara pasien yang

mendapatkan daclizumab atau plasebo ditambah

terapi imunosupresif tripel (siklosporin,

azathioprine dan steroid) atau dobel (siklosporin

dan steroid) didapatkan hasil, pada bulan ke-12,

pemberian daclizumab menurunkan insiden rejeksi

(28 vs 43%). Pada tahun ke-3, survival cangkok

antara kelompok daclizumab dan plasebo hasilnya

sama.31

ALEMTUZUMAB

Alemtuzumab (Campath-1H) adalah

antibodi monoklonal anti-CD52 humanized

panlimfositik (pada sel B dan T) yang sampai saat ini

disetujui FDA hanya untuk terapi leukemia limfositik

kronik.10 Meskipun demikian, alemtuzumab telah

banyak dipakai untuk terapi induksi. Penelitian oleh

Ciancio et al menunjukkan, bahwa pemberian

alemtuzumab dapat menyebabkan kurang

intensifnya kebutuhan untuk terapi imunosupresan

pemeliharaan pada beberapa resipien transplan,

seperti dengan rejimen dosis sangat rendah

siklosporin, sirolimus atau hanya dengan tacrolimus

atau tanpa steroid. Sebanyak 90 pasien transplan

secara acak dialokasikan untuk mendapat

Thymoglobulin (kelompok A), alemtuzumab

(kelompok B) atau daclizumab (kelompok C). Semua

kelompok mendapatkan tacrolimus dan MMF,

tetapi untuk terapi steroid pemeliharaan hanya

diberikan pada pasien kelompok A dan C. Kadar

target tacrolimus dan MMF juga lebih rendah pada

kelompok B. Pada periode median 15 bulan, angka

survival pasien, cangkok serta rejeksi akut pada

semua kelompok tidak ada perbedaan.32

Penelitian lain dengan melibatkan 126

pasien transplan yang diberikan alemtuzumab

sebagai terapi induksi (dosis 30 mg diberikan dua

dosis pada hari ke-0 dan ke-1) dikombinasi dengan

Page 65: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

299

rejimen pemeliharaan konvensional, siklosporin

atau tacrolimus, MMF dan steroid dosis rendah.

Sebagai pembanding adalah pasien transplan yang

mendapatkan antibodi anti CD25 (799 pasien),

Thymoglobulin (160 pasien) atau terapi antibodi lain

(156 pasien). Meskipun ada keterbatasan analisis,

karena ada perbedaan masa, perbedaan profil risiko

serta follow-up yang lebih lama dibanding

kelompok alemtuzumab, pada kelompok

alemtuzumab angka rejeksi menurun secara

bermakna dibanding 3 kelompok yang lain.33

STRATEGI TERAPI SUPRESI IMUN INDUKSI

Secara umum strategi induksi yang

digunakan dipusat-pusat transplan adalah salah

satu dari dua kategori seperti pada tabel 4 dibawah.

Strategi pertama menggunakan imunosupresan

konvensional dosis tinggi sedangkan strategi kedua

menggunakan antibodi terhadap antigen sel T yang

dikombinasi dengan imunosupresan konvensional

tetapi dengan dosis yang lebih rendah. Umumnya

terapi induksi berbasis antibodi lebih disukai dan

memberikan manfaat yang lebih jika diberikan pada

kelompok resipien dengan risiko tinggi untuk

terjadinya DGF, yaitu resipien dengan donor

kadaver, waktu cold-ischemia yang lama, donor

tanpa heartbeat, donor tua dan donor dengan

kegagalan ginjal akut pada saat matinya.3 Hal ini

didukung oleh penelitian-penelitian seperti pada

uraian diatas yang umumnya menunjukkan bahwa

induksi menggunakan antibodi tampaknya lebih

superior dibandingkan dengan rejimen berbasis

non-antibodi, bahkan pada kelompok dengan risiko

yang rendah. Meskipun demikian, sebagian besar

penelitian hanya menekankan pada beberapa faktor

saja yang menjadi pertimbangan dalam penentuan

protokol terapi induksi, belum terbukti bila dengan

mempertimbangkan faktor-faktor lain.34

Adapun faktor-faktor yang menjadi

pertimbangan dalam menentukan pilihan protokol

induksi terhadap hasil-hasil penelitian adalah

menilai insiden dan beratnya keterlambatan fungsi

cangkok atau non-fungsi primer, termasuk

kebutuhan untuk dan durasi dialisis setelah

transplan; kejadian rejeksi akut; kejadian, tipe dan

beratnya infeksi yang terkait; survival dan fungsi

cangkok jangka panjang; mortalitas dan morbiditas

termasuk lama perawatan dirumah sakit; biaya;

kejadian dan tipe keganasan selama follow-up

jangka panjang.34

Tabel 4. Strategi Terapi Supresi Imun Induksi pada Transplantasi Ginjal

Konvensional Dosis Tinggi

Induksi Antibodi

Inhibitor calcineurin: cyclosporine atau tacrolimus

Inhibitor calcineurin: cyclosporine atau tacrolimus (dosis lebih rendah dibanding konvensional)

Kortikosteroid Kortikosteroid Antimetabolit: MMF atau Azathioprine

Antimetabolit: MMF atau Azathioprine (dosis lebih rendah dibanding konvensional)

Ditambah dengan salah satu berikut:

ALG

ATG

OKT3

Anti-Tac: Daclizumab atau Basiliximab

REKOMENDASI TERAPI SUPRESI IMUN INDUKSI

Sampai sekarang belum ada konsensus

berkenaan dengan terapi induksi pada transplantasi

ginjal. Pada dasarnya terdapat perbedaan rejimen

terapi induksi tergantung pada kategori risiko

resipien.

Page 66: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

300

Resipien Transplan Risiko Normal

Pada kelompok resipien risiko normal,

rekomendasi terapi induksi umumnya berdasar

pada dua strategi, yaitu:

Diberikan siklosporin emulsi (8 sampai 10

mg/kg), MMF (1 g dua kali sehari), dan

prednison segera setelah pasien diruang

pemulihan. Dosis prednison sangat bervariasi

antar pusat transplan, dapat diberikan 1

sampai 2 mg/kg perhari dan diturunkan cepat

menjadi 30 mg/hari dalam 2 minggu.

Diberikan metilprednisolon IV (7 mg/kg) dan

thymoglobulin (1.5 mg/kg) secara intraoperatif,

diikuti dengan thymoglobulin 1,5 mg/kg

perhari selama 3 sampai 6 hari. Terapi

pemeliharaan dimulai pada hari pertama post-

operasi dengan siklosporin (mulai dengan 4

mg/kg dua kali sehari, yang selanjutnya dosis

disesuaikan untuk mempertahankan kadar

lembah (trough) 12 jam 200 – 300 ng/mL untuk

3 bulan pertama dan diturunkan untuk

mempertahankan kadar lembah antara 100 –

200 ng/mL), azathioprine (2.5 mg/kg) atau

MMF (1000 mg dua kali sehari, yang

diturunkan menjadi 500 mg dua kali sehari

setelah 5 hari), dan prednisone (1 mg/kg dalam

minggu pertama, yang diturunkan dalam 2

sampai 3 bulan sampai 5 mg/hari).

Selain mengukur kadar lembah siklosporin, sebagai

alternatif dapat digunakan kadar C2 atau kadar 2

jam setelah pemberian. Umumnya dosis siklosporin

disesuaikan untuk mencapai kadar target C2 800 -

1000 ng/mL dalam 3 bulan pertama post-transplan

setelah itu diturunkan menjadi 400 - 600 ng/mL.

Sebagai alternatif siklosporin dapat digunakan

tacrolimus dengan dosis awal 0,05 mg/kg dua kali

sehari, selanjutnya disesuaikan untuk

mempertahankan kadar lembah 8 – 10 ng/mL pada

3 bulan pertama, lalu menjadi 3 – 8 ng/mL pada

bulan berikutnya.34

Resipien Transplan Risiko Tinggi

Terapi induksi agresif lebih bermanfaat

pada kelompok pasien dengan risiko tinggi terhadap

terjadinya rejeksi. Kelompok risiko tinggi meliputi

pasien pediatri, African-American, resipien ginjal

dengan cold ischemia time yang lama, risiko

imunologik, terutama pasien yang presensitized dan

resipien dengan DGF. Disebut DGF bila ginjal masih

belum berfungsi dalam 24-48 jam pertama yang

membutuhkan dialisis. Pasien dengan risiko tinggi

ini, direkomendasikan untuk diberikan terapi

induksi sekuensial dengan thymoglobulin (atau

OKT3) lalu diikuti dengan siklosporin atau

tacrolimus. Thymoglobulin mulai diberikan dalam

kamar operasi biasanya sebelum anastomosis

pembuluh darah atau dalam ruang pemulihan dan

dilanjutkan terus sampai ginjal berfungsi dan

dihentikan dalam 7 sampai 10 hari. Penggunaan

antibodi anti reseptor IL-2 pada pasien risiko tinggi

ternyata tidak lebih efektif dengan rejimen ini.34

DAFTAR PUSTAKA

1. Matas AJ, Gillingham KJ, Payne WD et al. The

Impact of an acute rejection episode on long-

term renal allograft survival (t1/2).

Transplantation 1994;57:857-859.

2. Kahan, BD. Individuality: the barrier to optimal

immunosuppression. Nat Rev Immunol

2003;3:831.

Page 67: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

301

3. Josephson MA, M. D. Rabbit Antithymocyte

Globulin or Basiliximab for Induction Therapy?

N Eng J Med 2006; 355: 2033-2035.

4. Brennan DC, Flavin K, Lowell JA, Howard TK,

Shenoy S, Burgess S, Dolan S, Kano JN, Mahon

M, Schnitzler MA, Woodward R, Irish W, Singer

GG. A Randomized, Double-Blinded Comparison

of Thymoglobulin Versus Atgam for Induction

Immunosuppressive Therapy in Adult Renal

Transplant Recipients. Transplantation 1999;

67: 1011-1018.

5. Perico N, Cattaneo D, Sayegh M, Remuzzi G.

Delayed graft function in kidneytransplantation.

Lancet 2004;364:1814 – 1827.

6. Norman DJ, Kahana L, Stuart FP Jr. A

randomized clinical trial of induction therapy

with OKT3 in kidney transplant. Transplantation

1993;55:44.

7. 2005 Annual report of the US. Organ

Procurement and Transplantation Network and

the Scientific Registry of Transplant Recipient:

transplant data 1995-2004. Rockville, MD:

Health Resources and Services Administration,

2006.

8. Brennan, DC, Daller, JA, Lake, KD, et al. Rabbit

antithymocyte globulin versus basiliximab in

renal transplantation. N Engl J Med 2006;

355:1967

9. Meier-Kriesche HU, Arndorfer JA, Kaplan B.

Association of Antibody Induction with Short-

and Long- Term Cause-Specific Mortality in

Renal Transplant Recipients. J Am Soc Nephrol

2002;13: 769-772.

10. Danovitch GM. Immunosuppressive

medications and protocols for kidney

transplantation. In: Handbook of kidney

transplantation. 4th edn. Danovitch GM ed,

Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia

2005:99-102.

11. Ghahramani N. Role of immunospppression

minimization in renal transplantation, A review.

IJI 2004; 1: 78-96.

12. Carpenter CB. Immunosuppression. Nephrology

Rounds 2004;2.

13. Turk Rhen T, Cidlowski JA. Antiinflammatory

Action of Glucocorticoids- New Mechanisms for

Old Drugs. N Engl J Med 2005;353:1711-23.

14. Shaffer D, Ubhi CS, Simpson MA et al.

Prevention of graft-versus-host disease

following small bowel transplantation with

polyclonal and monoclonal antilymphocyte

serum. The effect of timing and route of

administration. Transplantation 1991; 52:948-

952.

15. Goggins, WC, Pascual, MA, Powelson, JA, et al.

A prospective, randomized, clinical trial of

intraoperative versus postoperative

Thymoglobulin in adult cadaveric renal

transplant recipients. Transplantation 2003;

76:798

16. Shapiro, R, Jordan, ML, Basu, A, et al. Kidney

transplantation under a tolerogenic regimen of

recipient pretreatment and low-dose

postoperative immunosuppression with

subsequent weaning. Ann Surg 2003; 238:520.

17. Morris, PJ, Russell, NK. Alemtuzumab (Campath-

1H): a systematic review in organ

transplantation. Transplantation 2006; 81:1361

18. Halloran P. Immunosuppressive drugs for

kidney transplantation. N Engl J Med

2004;351:2715-29

Page 68: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

302

19. Brennan, DC, Flavin, K, Lowell, JA, et al. A

randomized double-blinded comparison of

Thymoglobulin versus Atgam for induction

immunosuppressive therapy in adult renal

transplant recipients. Transplantation 1999;

67:1011.

20. Hardinger, KL, Schnitzler, MA, Miller, B, et al.

Five-year follow up of thymoglobulin versus

ATGAM induction in adult renal transplantation.

Transplantation 2004; 78:136.

21. Agha, IA, Rueda, J, Alvarez, A, et al. Short course

induction immunosuppression with

thymoglobulin for renal transplant recipients.

Transplantation 2002; 73:473.

22. Ruggenenti P, Codreanu I, Cravedi P, et al.

Basiliximab Combined with Low-Dose Rabbit

Anti-Human Thymocyte Globulin: A Possible

Further Step toward Effective and Minimally

Toxic T Cell-Targeted Therapy in Kidney

Transplantation. Clin J Am Soc Nephrol 2006;1:

546-554.

23. Schroeder, TJ, First, MR, Mansour, ME, et al.

Prophylactic use of OKT3 in immunologic high

risk cadaver renal transplant recipients. Am J

Kidney Dis 1989; 14:14

24. Norman, DJ, Kahana, L, Stuart, FP Jr, et al. A

randomized clinical trial of induction therapy

with OKT3 in kidney transplantation.

Transplantation 1993; 55:44.

25. Webster, AC, Playford, EG, Higgins, G, et al.

Interleukin 2 receptor antagonists for renal

transplant recipients: a meta-analysis of

randomized trials. Transplantation 2004;

77:166.

26. Woodroffe R, Yao GL, Meads C et al. Clinical and

cost-effectiveness of newer immunosuppressive

regimens in renal transplantation: a systematic

review and modelling study. Health Technology

Assessment 2005;9:21

27. Nashan, B, Moore, R, Amlot, P, et al.

Randomised trial of basiliximab versus placebo

for control of acute cellular rejection in renal

allograft recipients. Lancet 1997; 350:1193.

28. Sollinger, H, Kaplan, B, Pescovitz, MD,

Philosophe, B. Basiliximab versus antithymocyte

globulin for prevention of acute renal allograft

rejection. Transplantation 2001; 72:1915.

29. Brennan, DC, Daller, JA, Lake, KD, et al. Rabbit

antithymocyte globulin versus basiliximab in

renal transplantation. N Engl J Med 2006;

355:1967.

30. Mourad, G, Rostaing, L, Legendre, C, et al.

Sequential protocols using basiliximab versus

antithymocyte globulins in renal-transplant

patients receiving mycophenolate mofetil and

steroids. Transplantation 2004; 78:584.

31. Bumgardner, GL, Hardie, I, Johnson, RW, Lin, A.

Results of 3-year phase III clinical trials with

daclizumab prophylaxis for prevention of acute

rejection after renal transplantation.

Transplantation 2001; 72:839.

32. Ciancio, G, Burke, GW, Gaynor, JJ, et al. A

randomized trial of three renal transplant

induction antibodies: early comparison of

tacrolimus, mycophenolate mofetil, and steroid

dosing, and newer immune-monitoring.

Transplantation 2005; 80:457

33. Knechtle, SJ, Fernandez, LA, Pirsch, JD, et al.

Campath-1H in renal transplantation: The

University of Wisconsin experience. Surgery

2004; 136:754.

Page 69: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

303

34. Vella J, Brennan DC. Induction

immunosuppressive therapy in renal

transplantation. UpToDate, 2007

35. Watson, CJ, Bradley, JA, Friend, PJ, et al.

Alemtuzumab (CAMPATH 1H) induction therapy

in cadaveric kidney transplantation--efficacy

and safety at five years. Am J Transplant 2005;

5:1347.

36. Stratta RJ. Use of Induction Agents with

Calcineurin Inhibitors to Maximize Outcomes in

Kidney Transplantation. Transplantation

2005:6(2)

37. Tatjana R. Immunosuppression in the past and

today. Acta Medica Lituanica 2005;12: 10-17

38. Adu D, Coclwell P, Ives NJ, Shaw J, Wheatley K.

Interleukin-2 receptor monoclonal antibodies in

renal transplantation: meta-analysis of

randomized trials. BMJ 2003; 326: ----------

39. Webster AC. The addition of anti-CD25 antibody

induction to standard immunosuppressive

therapy for kidney transplant recipients.

NEPHROLOGY 2007; 12: S75-S84.

40. Szczech LA, MD, MS; Berlin JA, ScD; Feldman HI,

MD, MS. The Effect of Antilymphocyte

Induction Therapy on Renal Allograft Survival A

Meta-Analysis of Individual Patient-Level Data.

41. Kahan, BD. Drug therapy: Cyclosporine. N Engl J

Med 1989; 321:1725.

42. Vincenti, F, Kirkman, R, Light, S, et al.

Interleukin-2-receptor blockade with

daclizumab to prevent acute rejection in renal

transplantation. N Engl J Med 1998; 338:161.

43. Starzl, TE, Murase, N, Abu-Elmagd, K, et al.

Tolerogenic immunosuppression for organ

transplantation. Lancet 2003; 361:1502.

44. Szczech, LA, Berlin, JA, Aradhye, S, et al. Effect

of anti-lymphocyte induction therapy on renal

allograft survival: a meta-analysis. J Am Soc

Nephrol 1997; 8:1771.

45. Ruggenenti, P, Codreanu, I, Cravedi, P, et al.

Basiliximab combined with low-dose rabbit anti-

human thymocyte globulin: A possible further

step toward effective and minimally toxic T cell-

targeted therapy in kidney transplantation. Clin

J Am Soc Nephrol 2006; 1:546.

46. Nashan, B, Moore, R, Amlot, P, et al.

Randomised trial of basiliximab versus placebo

for control of acute cellular rejection in renal

allograft recipients. Lancet 1997; 350:1193.

47. Kahan, BD, Rajagopalan, PR, Hali, M, for the

United States Simulect Renal Study Group.

Reduction of the occurrence of acute cellular

rejection among renal allograft recipients

treated with basiliximab, a chimeric anti-

interleukin-2-receptor monoclonal antibody.

Transplantation 1999; 67:276.

48. Thistlethwaite, JR Jr, Nashan, B, Hall, M, et al.

Reduced acute rejection and superior 1-year

renal allograft survival with basiliximab in

patients with diabetes mellitus. The Global

Simulect Study Group. Transplantation 2000;

70:784.

49. Lawen, JG, Davies, EA, Mourad, G, et al.

Randomized double-blind study of

immunoprophylaxis with basiliximab, a chimeric

anti-interleukin-2 receptor monoclonal

antibody, in combination with mycophenolate

mofetil-containing triple therapy in renal

transplantation. Transplantation 2003; 75:37.

50. Sollinger, H, Kaplan, B, Pescovitz, MD,

Philosophe, B. Basiliximab versus antithymocyte

Page 70: Salam JKM, - rsusaifulanwar.jatimprov.go.idrsusaifulanwar.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2017/11/JKM-VOL...Untuk laporan kasus pada edisi ini dilaporkan oleh Lindaya nti dan Yani

304

globulin for prevention of acute renal allograft

rejection. Transplantation 2001; 72:1915.

51. Knight, RJ, Kerman, RH, Schoenberg, L, et al.

The selective use of basiliximab versus

thymoglobulin in combination with sirolimus for

cadaveric renal transplant recipients at low risk

versus high risk for delayed graft function.

Transplantation 2004; 78:904.

52. Bumgardner, GL, Hardie, I, Johnson, RW, Lin, A.

Results of 3-year phase III clinical trials with

daclizumab prophylaxis for prevention of acute

rejection after renal transplantation.

Transplantation 2001; 72:839.

53. Webster, AC, Playford, EG, Higgins, G, et al.

Interleukin 2 receptor antagonists for renal

transplant recipients: a meta-analysis of

randomized trials. Transplantation 2004;

77:166.

54. Tran, HT, Acharya, MK, McKay, DB, et al.

Avoidance of cyclosporine in renal

transplantation: effects of daclizumab,

mycophenolate mofetil, and steroids. J Am Soc

Nephrol 2000; 11:1903.

55. Murray JE, Merrill JP, Harrison JH, et al.

Prolonged survival of human kidney homografts

by immunosuppressive drug therapy. N Engl J

Med 1963; 268:1315-23.

56. Hariharan S, Johnson CP, Bresnahan BA, et al.

Improved graft survival after renal

transplantations in recipient in the United

States, 1988 to 1996. N Engl J Med 2000;

342(9):605-12.

57. Pascual M, Theruvath T, Kawai T, et al.

Strategies to improve long-term outcomes after

renal transplantation. N Engl J Med 2002;

346(8):580-90.

58. Tran HT, Acharya MK, McKay DB, et al.

Avoidance of cyclosporine in renal

transplantation: effects of daclizumab,

mycophenolate mofetil, and steroids. J Am Soc

Nephrol 2000; 11(10):1903-9.

59. Swanson SJ, Hale DA, Mannon RB, et al. Kidney

transplantation with rabbit antithymocyte

globulin induction and sirolimus monotherapy.

Lancet 2002; 360(9346):1662-4.

60. Podder H, Stepkowski SM, Napoli KL et al.

Pharmacokinetic interactions augment toxicities

of sirolimus/cyclosporine combinations. J Am

Soc Nephrol 2001; 12(5):1059-71.

61. Bonnefoy-Berard N, Revillard JP. Mechanisms of

immunosuppression induced by antithymocyte

globulins and OKT3. J Heart Lung Transplant

1996;15:435-42.

62. Swinnen LJ, Costanzo-Nordin MR, Fisher SG, et

al. Increased incidence of lymphoproliferative

disorder after immunosuppression with the

monoclonal antibody OKT3 in cardiac-transplant

recipients. N Engl J Med 1990;323:1723-8.

63. Scandling JD, Busque S, Dejbakhsh-Jones S, et

al. Tolerance and chimerism after renal and

hematopoietic-cell transplantation. N Engl J

Med 2008;358:362-8.

64. Alexander SI, Smith N, Hu M, et al. Chimerism

and tolerance in a recipient of a deceased-

donor liver transplant. N Engl J Med

2008;358:369-74.