sains.doc
-
Upload
ferryyanto -
Category
Documents
-
view
12 -
download
0
Transcript of sains.doc
sains
Dialektika Antara Sains dan Agama Menuju Kesatuan KeilmuanOleh : Zainur Rofik
Dunia mengalami kemajuan dengan berbagai penemuan yang diambang batas.
Penemuan-penemuan sains telah menciptakan beragam teknologi canggih yang banyak
memberikan manfaat kepada manusia. Hasil yang telah diraih sains telah membuat decak
kagum bagi manusia yang telah merasakan langsung manfaatnya. Betapa tidak, dengan sains
manusia mampu mengubah segala aspek kehidupan tampak lebih benderang, cepat, mudah,
dan menyenangkan.
Namun, disisi lain dengan sains pula manusia mengalami banyak bencana. Sederet
fenomena besar yang tersebut di atas, terjadi lantaran adanya sains yang kian hari semakin
jauh dari nilai (free value). Sains dan nilai (agama) merupakan dua hal yang terpisah.
Keduanya tidak dapat disatukan karena dianggap dapat mengurangi obyektifitas sains dan
sakralitas agama. Sains berangkat dari keragu-raguan yang menerapkan konsep kebebasan
dalam penjelajahan dunia sains dengan menggunakan metode ilmiah sebagai landasan dalam
pencarian kebenaran, sementara agama berangkat dari sebuah keyakinan yang tidak dapat
diganggu gugat. Agama dimulai dari keyakinan dengan metode yang dogmatis dan
menggunakan teori kebenaran yang doktriner.
Sains dan agama nampaknya semakin jauh berpisah namun. keduanya dapat
dipertemukan kembali. Beberapa ilmuwan tersebut sebut saja misalnya, Ismail Raji Al-Faruqi
dan Naquib Al-Attas muncul dengan gerakan islamisasi ilmu pengetahuan, M. Amin
Abdullah dengan menawarkan konsep integrasi-interkoneksi, A.M. Saefudin, dengan konsep
tauqifi dan ijtihadi dan sebagainya.
Agama versus Sains
Dalam bentangan sejarah, agama dan sains memiliki sejarah kelam, klaim kebenaran
yang didengungkan dua entitas, antara agama dan sains tidak sedikit berimplikasi negatif
dalam ranah pengembangan ilmu pengetahuan. Pembakaran perpustakaan Iskandaria oleh
kaum kristiani akibat dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan sama dengan paganisme.1[1]
Sains dan agama merupakan dua entitas yang sama-sama telah mewarnai sejarah kehidupan
umat manusia. Perdebatan sengit antara agama dan sains bukanlah masalah yang baru
muncul. Kehadirannya telah ada sekitar dua abad silam, tatkala perkembangan ilmu-ilmu
modern terasa semakin “mengancam” kehidupan beragama.2[2]
1[1] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin & Peradaban (Jakarta Selatan: Paramadia, 2008), hlm. xix.
2
Apabila ditelusuri melalui sejarah, para ilmuwan Barat abad pertengahan pernah
terlibat “konfrontasi sengit” dengan kaum agamawan. Hal ini terjadi lantaran dominasi dan
hegemoni Gereja yang demikian kuat terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat Barat,
termasuk aktivitas ilmiah. Semua aktivitas ilmiah harus sepengetahuan, seizin, dan tunduk
pada Gereja. Sanksi hukum bagi ilmuwan yang tidak tunduk pada aturan Gereja sangatlah
berat. Dalam lintasan sejarah tercatat bahwa copernicus pernah dihukum mati lantaran
mengeluarkan teori Heliosentris, yang meyakini bahwa matahari merupakan pusat tata surya.
Teorinya tersebut dianggap menyalahi doktrin Gereja yang mengimani bahwa pusat tata
surya adalah bumi bukan matahari.3[3] Kemudian pasca copernicus Bruno dengan lantang
mengumandangkan teori heliosentrisnya copernicus hingga dia dibakar hidup-hidup oleh
kaum pendeta. Demikian juga dengan Galileo yang dipenjara seumur hidup karena ajarannya
dianggap menyesatkan dan menyimpang dari ajaran gereja.
agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh
indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus
diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-
kebenaran yang lain. Sains dan agama berbeda4[4], karena mungkin mereka berbeda
paradigma.
Pada era pasca-pencerahan, yang sering menjadi tema dalam hubungan antara sains
dan agama adalah otonomi, bukan konflik. Selama berabad-abad, dinamika sekularisasi telah
memindahkan agama dari lingkungan publik ke lingkungan privat dan menekankan
pertentangan antara iman dan agama. Banyak penulis dalam sejarah pemikiran Barat yang
meninjau dikotomi epistemologis antara pengetahuan religius dan pengetahuan ilmiah, yang
?[2] Zainal Abidin Bagir, “kata pengantar” dalam Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. xssi.
3[3] Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama”, dalam Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Jarot Wahyudi, dkk. (ed.), (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 3.
4[4] Baca: M. Amin Abdullah,”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari Paradigma Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik)”, dalam Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains (Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta, 2004), hlm. 3. Selain itu, ”banyak pemikir sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membayangkan bagaimana saudara secara jujur juga dapat serentak saleh-beriman, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka bahwa agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas. Sedangkan sains dapat melakukan hal itu, yaitu dapat membuktikan kebenaran temuannya John F. Haught, 1995, ”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York, terj. Fransiskus Borgias, 2004, ”Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik ke Dialog, Mizan, Bandung, hlm.2.
masing-masing memiliki wilayah dan metode sendiri. Gilkey, seorang teolog membuat
pembedaan antara agama dan sains. Sains mengajukan pertanyaan-pertanyaan “bagaimana”
yang bersifat objektif, sedangkan agama mengajukan pertanyaan-pertanyaan “mengapa”
mengenai makna dan tujuan di dunia dan tentang asal usul nasib akhir manusia. Sains
berupaya menjelaskan data yang bersifat publik, objektif, dan bisa diulang-ulang, sedangkan
agama memikirkan eksistensi tatanan dan keindahan dunia serta pengalaman kehidupan
batin. Koherensi logis dan adekuasi eksperimental menjadi landasan otoritas sains, sedangkan
yang menjadi landasan otoritas puncak dalam agama adalah yang-Ilahi dan pewahyuan
melalui pelaku manusia sebagai perantara pencerahan dan wawasan. Sains melakukan
peramalan kuantitatif, sedangkan agama menggunakan bahasa simbolis dan analogis.5[5]
Dalam pemikiran pihak gereja, perdebatan agama dan sains telah berlangsung selama
beberapa fase dan telah menyaksikan lahir dan tenggelamnya sejumlah metodologi. Hampir
tak perlu dikatakan lagi bahwa tidak ada pandangan tunggal dan seperangkat perspektif
tunggal Kristen tentang hubungan antara agama dan sains. Adapun yang tampak hanyalah
pandangan yang konservatis dan liberal. Kaum konservatif menolak jurang yang tak dapat
dijembatani antara sains dan agama Kristen, baik dari segi pandangan umum Kristen tentang
alam maupun dari segi doktrin Kristen tertentu, seperti penciptaan dan pemeliharaan. Akan
tetapi, sejumlah penulis Kristen (terutama pada masa modern), bukannya secara pasif
mempertahankan Kristen dari serangan sains sekuler, justru menunjukkan penolakkan yang
kuat mengenai pandangan saintis tentang alam dan kehidupan yang sangat tidak akurat. Lebih
jauh, mereka menegaskan bahwa ketidakakuratan ini hanya dapat diluruskan malalui
pandangan-dunia keagamaan.6[6]
Hubungan konflik antara agama dan sains tidak berupa peperangan yang berlangsung
secara terus-menerus, melainkan bersifat sporadis, dan biasanya dipicu oleh penemuan ilmiah
yang mengancam dogma religius.7[7] Artinya bahwa perseteruan antara agamawan dan
ilmuan lebih mengarah pada soal pengaruh dan kekuasaan. Ini dapat kita lihat jika
5[5] Audrey R. Chapman, “Sains, Agama dan lingkungan”, dalam Audrey R. Chapman, dkk, Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 23-24.
6[6] Mustansir Mir, “ Perspektif Kristen tentang Agama dan Sains dan Signifikansinya bagi Pemikiran Muslim Modern”, dalam Ted Peters, dkk, Tuhan, Alam, Manusia: Perspektif Sains dan Agama, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 126.
7[7] Dengan beberapa pengecualian, berupa sekelompok kecil kaum literalis alkitabiah, sebagian besar kaum religius zaman modern, setidak-tidaknya yang berada di Barat, sudah tidak lagi mencoba melakukan temuan-temuan ilmiah, Ibid, hlm. 24.
seandainya membuat satu statemen yang keliru maka secara otomatis fatwa gereja tidak akan
lagi dipercaya oleh umat. Maka yang dilakukan Gereja untuk menyelesaikan hal itu adalah
dengan cara menghukum ilmuan.
Pada tahun 1984, sebuah komisi Vatikan mengakui bahwa para pejabat gereja pada
abad ke-17 telah melakukan kesalahan besar karena mengutuk Galileo. Kemudian, pada
tahun 1988, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan pernyataan yang menggaris bawahi
pentingnya upaya mencari “wilayah bersama” dalam bidang sains dan agama. Menurut Paus,
pencarian bersama yang didasarkan atas keterbukaan kritis dan pertukaran pendapat
merupakan satu hal yang sangat penting dan harus dilakukan pengembangan yang mendalam
secara terus-menerus, baik dalam bentuk maupun cakupannya.8[8]
Pergulatan Etika dalam Sains
Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan
istilah aksiologi. Selain etika yang termasuk dalam kajian aksiologis adalah estetika atau teori
mengenai keindahan. Etika sering disamakan dengan moralitas. Moralitas adalah nilai-nilai
perilaku-perilaku orang atau masyarakat yang bisa ditemukan dalam kehidupan real manusia
sehari-hari, namun belum disestimatisasi sebagai suatu teori. Ketika perilaku-perilaku moral
dirumuskan menjadi teori-teori, maka ia disebut etika. Etika mencakup persoalan-persoalan
tentang hakikat kewajiban moral, prinsip-prinsip moral dasar apa yang harus manusia ikuti,
dan apa yang baik bagi manusia.9[9]
Dalam kebanyakan agama di dunia, konsep tentang hukum moral dikaitkan dengan
tujuan penciptaan alam semesta, dan kebenaran suatu kegiatan manusia ditentukan atas dasar
kesesuainnya dengan tujuan tersebut. Dalam dunia yang tidak memiliki tujuan, nilai-nilai
tidak memiliki kerangka rujukan dan hanya merupakan sarana temporer untuk menangani
urusan manusia. Landasan yang sebenarnya dari perilaku moral adalah keyakinan kepada
sebuah alam semesta yang memiliki tujuan dan tata moral yang mendasarinya.10[10]
Sains berurusan dengan kajian tentang alam melalui eksperimentasi, observasi, dan
kerja intelektual. Etika digunakan sebagai aturan-aturan perilaku, atau yang disebut nilai-nilai
moral. Sains berurusan dengan fakta-fakta empiris, sementara etika berkaitan erat dengan apa
yang seharusnya. Atas dasar logika saja, orang tidak bisa menderivasi pernyataan-pernyataan
8[8] Ibid., hlm. 24-25.
9[9] Bachri Ghazali, dkk, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pokja Akademik Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 120.
10[10] Mehdi Golshani, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 86.
normatif dari pernyataan-pernyataan faktual. Sekalipun demikian, kita yakin bahwa para
ilmuwan tidak bisa mengabaikan isu etika, sebab sains dan etika berkaitan baik pada level
metafisik maupun level praktis. Jadi, klaim bagi netralitas moral dalam penelitian ilmiah dan
penerapan-penerapannya hanyalah ilusi.11[11]
Pada masa sekarang, dua pertimbangan utama dalam mengejar sains yaitu; “sains
demi sains” dan “sains demi tujuan material dan kekuasaan”. Pandangan materealistik yang
dominan, yang mereduksi segala sesuatu ke level materi dan mengecap apapun yang berada
di luar sains sebagai tak ilmiah, memandang alam semesta sebagai suatu kebetulan kosmik
semata yang tak memiliki makna dan tujuan. Tetapi, pengembangan sains dan teknologi demi
sains dan teknologi itu sendiri, dan bebas dari dampaknya terhadap masyarakat dan
lingkungan, telah melahirkan krisis serius bagi umat manusia. Akar krisis ini terletak pada
penafsiran sekuler yang merata mengenai status manusia di kosmos; pada hubungan yang
diasumsikan antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya, yakni ilmu pengetahuan dari
aturan perilaku. Dengan demikian, sains perlu ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas,
dalam suatu metafisika yang mendasari, yang memperhatikan semua aspek kehiduapan
manusia. Kepedulian ini mencakup hubungan manusia dengan Tuhan dan kosmos, dan pada
gilirannya memuculkan isu kebijaksanaan dan nilai-nilai moral, dan mengimplikasikan
bahwa harus ada orientasi etika dalam kegiatan ilmiah. Sehingga sains dan teknologi akan
menjadi pelayan bagi perkembangan integral umat manusia.12[12]
Hubungan antara etika dan ilmu sangat lekat dengan pandangan ilmu bebas nilai (free
value) atau tidak bebas nilai (value bond). Mengenai hubungan antara ilmu dan nilai,
setidaknya memiliki tiga pandangan. Pertama, berpendapat bahwa ilmu merupakan suatu
system yang saling berhubungan dan konsisten dengan sifat bermakna atau tidak bermakna
(meaningfull or meaningless) dapat ditentu,kan. Ilmu dipandang semata-mata berupa
aktivitas ilmiah, logis, dan berbicara tentang fakta semata. Prinsip yang dipakai adalah
science for science. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa etika berperan dalam
pembentukan tingkah laku ilmuwan seperti pada bidang penyelidikan, putusan-putusan
mengenai baik tidaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu,
tetapi tidak dapat berpengaruh terhadap ilmu itu sendiri. Dengan kata lain, ada tanggung
jawab dalam diri ilmuwan, namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri tidak ada petunjuk-
petunjuk untuk putusan-putusan yang secara etis dipertanggungjawabkan. Etika baru mulai
11[11] Ibid., hlm. 87-88.
12[12] Ibid., hlm. 92.
ketika ilmu berhenti. Sementara pendapat yang ketiga adalah bahwa aktivitas ilmiah tidak
dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah
untuk kesejahteraan manusia. Ilmu hanya merupakan instrument bagi manusia untuk
mencapai tujuan yang lebih hakiki, yakni kebahagiaan umat manusia. Prinsip yang berlaku
bukan science for science, melainkan science for mankind, ilmu ditujukan untuk kebaikan
umat manusia.13[13]
Hubungan antara Sains dan Agama dalam Pandangan Islam
Al-Qur’an bukanlah menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tapi tujuannya adalah
memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagiaan hidupnya di akhirat kelak. Ada
sekian banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan oleh al-Qur’an, tetapi tujuan pemaparan
ayat-ayat tersebut adalah untuk menunjukkan kebesaran Tuhan dan Ke-Esa-an-Nya, serta
mendorong manusia untuk mengadakan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan
iman dan kepercayaan kepada-Nya. Mengenai ini, Mahmud Syaltut mengatakan dalam
tafsirnya: “Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkn a-Qur’an untuk menjadi satu kitab yang
menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni, serta aneka
warna pengetahuan”.14[14] Akan tetapi, al-Qur’an memperingatkan kepada kita bahwa kajian
tentang alam hanya bisa membawa kita dari penciptaan kepada Sang Pencipta jika telah
memiliki modal iman kepada Tuhan:15[15]È@è% (#rã�ÝàR$# #sŒ$tB ’Îû ÅVºu »q yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur 4 $tBur
ÓÍ_øóè? àM»tƒFy$# â‘ä‹– 9Y $#ur `tã 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÊÈ
Artinya: “Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-
orang yang tidak beriman".
Menurut M. Quraish Shihab, membahas hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan
bukan dinilai dari banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya,
13[13] Bachri Ghazali, dkk, Filsafat Ilmu, hlm. 124-125.
14[14] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 51
15[15] Mehdi Golshani, Melacak Jejak…, hlm. 8.
bukan pula menunjukkan teori-teori ilmiah yang ada di dalamnya. Tetapi pembahasan
hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian
al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.16[16] Dalam
pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama, dan tujuan
pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah
mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifatnya kepada umat manusia. Jadi, kita bisa
mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagi bagian dari kewajiban agama, dengan catatan
bahwa ia memiliki metodologi dan bahasanya sendiri.17[17]
Jadi, jika seorang ilmuwan mendekati alam dengan iman kepada Tuhan, imannya
akan diperkuat oleh kegiatan ilmiahnya. Jika tidak demikian, kajian tentang alam tidak
dengan sendirinya akan membawa kepada Tuhan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ilmiah
selalu disertai dengan praanggapan-praanggapan metafisik dari si ilmuwan meskipun dia
mungkin tidak menyadarinya. Jadi, kajian kealaman hanya bisa membawa orang kepada
Tuhan jika kerangka kerja metafisiknya bersesuaian.
Seorang ahli fisika juga ahwa persinggungan antara sains dan agama juga dapat
dicermati dari adanya persinggungan antara iman sebagai elemen agama dan akal sebagai
elemen utama sains. Pengadilan yang dilakukan pihak gereja terhadap Galileo Galilei.
Padahal, menurut Barbour, titik pokok persoalan ini berpangkal dari penafsiran terhadap al-
Kitab, maka kitab Suci ipni harus ditafsirkan secara qiyas. Menurutnya masalah yang perlu
dikaji lagi adalah persoalan antara pengalaman dan interpretasi dalam agama. Beberapa hal
yang dapat ditarik dari tema itu adalah bahwasanya dalam pandangan Barbour struktur dasar
pengalaman dan interpretasi dalam agama dapat disejajarkan dengan yang ada dalam sains. 18[18]
Jika kita tarik kesimpulan dengan memakai pemahaman Barbour, sangat mungkin
sekali mendialogkan antara sains dan agama. Kemudian langkah selanjutnya adalah
membangun teori baru yang sesuai dengan kemajuan sains tetapi juga harus berpijak pada
teologi yang ada pada masa klasik yang syarat dengan nilai. Integrasi yang lahir dari rahim
agama akan menghasilkan suatureformasi sains yang sangat bijak.
Sains Islami
16[16] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung; Mizan, 2007), hlm. 41.
17[17] Mehdi Golshani, Melacak Jejak…, hlm. 8.
18[18] Maftukhin dkk, Nuansa Study Islam Sebuah Pergulatan Pemikiran, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 215.
Disisi lain keberadaan sains modern memiliki keberadaan yang jelas dan gamblang.
Tanpa sains modern, pabrik-pabrik tidak akan dapat berproduksi, tentara tidak akan dapat
berperang dan penyakit tidak dapat dibasmi. Pesawat-pesawat jet mampu menembus jantung
benua satu dengan yang lainnya. Sains sangat meungkinkan adanya penhubung antara planet
yang satu dengan yang lain. Diciptakannya jenis varietas baru dari tumbuan maupun
binatang. Dalam masyarakat industri, sains menentukan kehidupan penduduknya.
Membentuk cara pandang dan kebiasaan berpikir mereka dan bahkan mempengaruhi
hubungan antar manusia. Sebagian diantaranya disesalkan dan sebagian lagi diterima lagi
dengan baik. Tetapi tidak ada seorangpun yang membantah bahwa kekuatan sains modern
adalah nyata dan sangat besar. 19[19]
Sedangkan sains Islam, meskipun selama beberapa abad telah beredar argumen-
argumen bersemangat yang menjelaskan mengapa sains Islam itu harus ada dan meskipun
konferensi besar telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut namun usaha itu belum
menampakkan keberhasilannya.20[20]banyaknya kontroversi dengan sains islam melingkupi
masalah paradigm dan para saintis muslim yang nampaknya meletakkan sains mengarahkan
penelitiannya pada masalah yang ada di luar sains, menjadi penyebab belum munculnya sains
islam.
Usaha yang harus dilakukan adalah melakukan dialog. Dialog sebagai model untuk
menghubungkan sains dan agama mencakup pertanyaan-pertanyaan seputar batas dab
kesejajaran metodologi, walau sains mengungkapkan kepada kita banyak hal tentang dunia,
ada beberapa pertanyaan yang terletak diujung atau batas sains yaitu pertanyaan yang
ditimbulkan sains, tetapi ia sendiri tidak pernah mampu menjawabnya. Apabila alam semesta
memiliki awal, apakah yang terjadi sebelum itu? Mengapa kita merasakan belas kasihan
altruisme? Mengapa alam semesta itu ada? Pihak lain mengklaim, cara-cara yang digunakan
sains untuk menguji teorinya tidak seluruhnya berbeda dari yang digunakan teologi.
Keduanya menggunakan data (fakta-fakta empiris untuk sains; kitab suci, pengalaman
religius, liturgi untuk agama), keduanya melibatkan komunitas cendekiawan yang
bekerjasama untuk menemukan apa yang benar, keduanya menggunakan akal dann juga nilai-
nilai estetika untuk memilih dari sekian banyak teori yang bersaing satu dengan yang lain
( dalam teologi, teori disebut “doktrin”) dan seterusnya.21[21]
19[19] Perves Hodboy, ikhtiar menegakkan Rasionalitas antara Sains dan ortodoksi Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 139.
20[20] Ibid.,140
Dalam menjembatani antara agama dan sains Barbour, mencoba memetakan empat
mazhab tentang hubungan sains dan agama yaitu Konflik, Independensi, Dialog dan
Integrasi.22[22] Penjabaran hal tersebut terbukti cukup memadai untuk membaca lengkap isu,
gagasan, usulan solusi yang terbentang dalam wacana seputar hubungan agama dan sains.
Barbour dalam langkah selanjutnya, menerapkan tipologi empat kategori ini ke dalam
disiplin-disiplin keilmuan yang sering memunculkan isu-isu krusial dalam konteks hubungan
sains dan agama: evolusi, kosmologi, fisika kuantum, genetika dan neurosains.23[23]
Ian G. Barbour melihat bahwa pada beberapa abad terakhir telah terjadi pergeseran
paradigma dalam memberi penilaian hubungan keduanya tidak lagi setegang dahulu, tetapi
telah terjadi persentuhan antara keduanya, persentuhan agama dan sains dalam beberapa
dekade terakhir seiring perkembangan paradigma ilmu pengetahuan dan agama menyepakati
bahwa kedua entitas ini mampu saling meneguhkan, mendukung, menghidupkan satu dengan
lainnya.
Pentingnya topik penelitian yang dilakukan Ian G Barbour adalah mampu
menyuguhkan suatu paparan yang menarik tentang metode-metode sains, dalam upaya
melakukan ‘dialog’ antara sains dan agama, karena menurutnya, studi sains tidak selamanya
bersifat obyektif, dan memandang metode-metode dalam agama ternyata bersifat lebih
rasional daripada bersifat dogmatis. Artinya bahwa sains dan agama akan menjadi saudara
yang satu dapat menguatkan yang lain. Sehingga konflik yang selama ini muncul akan hilang
dengan mencari titik temu antara sains dan agama. Pada bagian akhir, Barbour menjelaskan
pola relasi antara konsep ilmiah dengan realitas, dengan menelaah pandangan paham
positivisme, instrumentalisme, idealisme, dan realisme.24[24]
Realitas pendidikan Islam menuju integrasi keilmuan
Paradigma ilmu yang diikuti masyarakat Indonesia yang dikotomik ternyata
berdampak pada terjadinya ketimpangan pengembangan keilmuan yang mengarah pada ilmu
yang sekularistik dan ilmu yang fundamentalistik. Konsekwensi logis yang harus diambil
21[21] Eko Muliadi, Metode-Metode dalam Penyelidikan Ilmiah dan Agama, disampaikan pada diskusi kelas pada tgl 20 januari 2013.
22[22]Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama,terj. E. R. Muhammad (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 40-42.
23[23] Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan dalam Sains Kontemporer dan Agama, terj. Fransiskus Borgias. M (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 33.
24[24] Ian G Barbour, Isu Dalam Sains Dan Agama, terj. Damayanti & Ridwan (Yogyakarta: UIN Suka, 2006), hlm. 187-237.
dengan adanya hal ini terbentuknya karakter pendidikan yang mendua. Untuk menyatukan
ilmu agama dan umum supaya membentuk sebuah kesatuan dibutuhkan paradigma baru.
Memang, apabila di telisik kebelakang, pendidikan Islam yang ada di Indonesia lahir dari,
dan untuk masyarakat Indonesia. Lembaga pendidikan Islam tidak dapat digantikan oleh
lembaga pendidikan lain, karena mempunyai visi, misi dan karakteristik yang sangat spesifik.
Pada masa pemerintah kolonial, sesuai dengan misi kolonial pendidikan Islam
dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai sekolah liar. Bahkan, pemerinltah
kolonial telah melahirkan peraturan-peraturan yang membatasi bahkan mematikan sekolah-
sekolah partikuler dengan mengeluarkan peraturan yang terkenal wide schoolen ordonantie
tahun 1933.25[25] Akibat dari perlakuan yang negatif dari pemerintah kolonial, maka
pendidikan Islam mengahadapi kesulitan dan terisolasi dari arus modern. Selanjutnya dimasa
kemerdekaan, tidak sendirinya pendidikan Islam dimasukkan kedalam system pendidikan
nasional. Organisasi penddikan Islam terus hidup tetapi tidak memperoleh perhatian
sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan Islam terus hidup meski dalam
keadaan yang sangat sederhana dan apa adanya.26[26]
Perhatian pemerintah mulai ditunjukkan pemerintah setelah adanya SKB 3 menteri
pada tanggal 24 maret 1975 yang mengatakan bahwa kedudukan madrasah sama dengan
kedudukan sekolah formal lain.27[27] Kemudian diikuti dengan UU. No. 2 Tahun 1989
tentang sistem pendidikan nasional. Didalam UU tersebut madrasah diakui sebagai sub sistem
pendidikan nasional sebagaimana di dalam PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar
dan PP No. 29 tentang pendidikan menengah. Masuknya madrasah sebagai sub- pendidikan
mempunyai berbagai konskwensi. Antara lain dimulainya suatu pola pembinanan yang
mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah. Madrasah
mengikuti kurikulum nasional serta ikut dalam UNAS dan berbagai peraturan yang diatur
oleh Diknas.28[28]
Dualisme yang terjadi dalam tubuh lembaga pendidikan Indonesia melaju begitu saja.
Hampir disemua lini pendidikan, kesemerawutan dalam bidang menejemen berdampak pada
25[25] H.A.R. Tilaar,Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 169.
26[26]Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) , hlm. 67-68.
27[27]A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, cet II, (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 7.
28[28] Abdul Rahman Saleh, Madrasah.,hlm. 69.
mpembinaan sekolah yang ada pada naungan Depag. pembinaan yang bersifat dualistik
sangat merugikan sekolah-sekolah yang berada dibawah naungan Depag. dapat dikatakan
integrasi yang ada pada madrasah dengan sekolah umum hanya terbatas pada keseteraan
dalam bidang struktur dan muatan kurikulum. Usaha menegerikan madrasah merupakan
jembatan untuk memajukan lembaga pendidikan dibawah naungan Depag. Bantuan guru-
guru negeri yang diperbantukan di Madrasah adalah faktor penopang untuk menjadikan
madrasah lebih maju dan tetap eksis.
Namun integrasi lembaga pendidikan Islam hendaknya tetap mempertimbangan tiga
kepentingan.pertama, kebijakan itu harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi
utama umat Islam. Yakni, sebagai wahana untuk membangun ruh dan praktik hidup islami.
Kedua, kebijakan itu harus memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sebagai
ajang membina warga negara yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian dan produktif
setara dengan sistem sekolah. Ketiga, kebijakan itu harus dapat menjadikan madrasah mampu
merespons tuntutan masa depan.29[29]
Maraknya kenakalan remaja dari tawuran hingga kasus terakhir di Situbondo (arisan
PSK), semakin memantapkan langkah Lembaga Pendidikan Islam untuk menunjukkan
pilarnya sebagai Lembaga yang mengintegrasikan antara ilmu sekuler dan agama. Pendidikan
Islam dituntut bertanggung jawab terhadap generasi masa kini. Muhtar Buchori melihat
perlunya pendidikan membekali peserta didik dengan the basics (kemampuan dasar) yang
ditandai dengan tiga keseimbangan yaitu (1) keseimbangan antara jasmani dan rohani, (2)
keseimbangan antara pengetahuan alam, eksakta dengan pengetahuan sosial budaya, (3)
keseimbangan antara pengetahuan tentang masa kini dan masa yang akan datang. 30[30]
Peranan guru, merupakan faktor yang sangat penting. Dalam tradisi Islam, peserta
didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa dalam belajar pada sembarang guru. Tapi, perlu
dicermati dalam lembaga paendidikan, faktor keluarga seringkali di dahulukan dalam
perekrutan tenaga pengajar. Hal ini bukan hanya terjadi pada masa sekarang namun, telah
menjalar di zaman abad pertengahan, di Kairo sendiri terjadi (family connection) hubungan
kekerabatan mempunyai kaitan dengan perekrutan tenaga administrasi dan pengajar.31[31]
Sisi negatif dari perekrutan ini adalah terjadinya pengesampingan profesional seorang guru
29[29] A. Malik Fajar, Reorientasi PendidikanIslam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hlm. 95-96.
30[30] Muhtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 40-41
31[31] Jonathan Berkey,The transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education , (Pricenton: Princenton University Press, 1992), hlm. 120.
dan lebih mengutamakan relasi. Keadaan seperti ini sering ditemuai pada lembaga pendidikan
termasuk Depag. Sudah saatnya para pengelola lembaga ini bersikap amanah dalam
menjalankan tugasnya demi tercapainya tujuan yang dicita-citakan.
kesimpulan
Dengan melihat pembacaan diatas maka tampak dengan jelas bahwa antara sains dan
agama akan dapat di dialogkan merupakan hal sangat mungkin sehingga antara satu dan yang
lainnya tidak menimbulkan konflik. Pandangan yang mengagungkan ilmu pengetahuan dan
merendahkan agama merupakan sebuah kesalahpahaman yang harus dihilangkan. Agama
tidak hanya mengatur hubungan dengan hal-hal yang gaib saja. Melainkan agama di gunakan
untuk mengatasi realitas. Orang-orang Barat kadang kurang menyadari bahwa sains yang
mereka temukan adalah bersumber dari Tuhan yaitu berangkat dari mimpi, imajinasi. Tapi,
mereka kurang menyadarinya dan mengatasnamakan akal saja yang menjadi faktor utama.
Untuk mengakhiri konflik yang terjadi antara sains dan agama jalan yang terbaik
adalah melakukan dialog. Dialektika antara sains dan agama tidak hanya untuk mendamaikan
antara kedua belah pihak, melainkan untuk mencapai etika, dan ketika etika itu muncul dari
sains maka kehidupan akan terpelihara dengan baik. Dalam hubungannya dengan pendidikan
ke-Islaman padangan yang menyatakan hanya ilmu-ilmu keislaman saja yang perlu dikaji
merupakan sebuah kekeliruan besar. Maka jalan yang harus ditempuh adalah mempelajari
semua keilmuan agar tercapai keseimbangan antara Agama dan sains.
Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Pinterest
No comments:
Post a Comment
14 February 2007
Fakta Perbedaan Paradigma
Ketika timbul keadaan tertentu yang mengarah kepada suatu diskusi tentang agama atau kepercayaan diantara beberapa orang, maka bisa dipastikan akan muncul banyak sekali situasi, kondisi atau pendapat dan pandangan di antara tiap-tiap individu yang terlibat dalam diskusi tersebut. Saat ini telah begitu banyak mailing list atau group discussion dan situs-situs yang dirancang khusus untuk berkumpulnya para peminat dan pengamat agama-agama di dunia ini. Saya kadang memperhatikan di dalam beberapa forum diskusi (milis) ada yang cukup berbobot serta kritis, ada pula yang berisi obrolan tak bermutu dan cenderung hanya berupa ajang perdebatan sengit tak menentu yang bertujuan untuk menang debat saja.
Kelompok orang berdasarkan reaksi dan pandangan hidupDalam pengamatan saya selama ini memang ada begitu beragam reaksi orang-orang jika dihadapkan kepada diskusi tentang kepercayaan atau agama. Ada yang alergi jika berdiskusi tentang agama, ada yang tidak peduli dengan hal-hal apapun yang bersifat rohani, banyak orang yang lebih senang diskusi tentang politik, teknologi, ekonomi, manajemen dll, diskusi soal agama benar-benar dianggap tidak populer dan bahkan cenderung dianggap bodoh oleh beberapa orang, ada yang bersikap skeptis atau bahkan acuh tak-acuh terhadap agama dan lebih fokus pada hal-hal duniawi seperti mengejar karir dan harta kekayaan materi, ada yang atheis atau agnostic, bahkan ada yang sinis terhadap keberadaan agama, ada juga orang yang berprinsip bahwa agama tidak terlalu perlu dianut seseorang karena agama hanyalah label saja yang penting cukup berbuat baik dan bertingkah laku patut terhadap orang lain itu saja tidak harus beragama, ada yg takut terjadi perdebatan atau perbantahan jika berdiskusi dan mengatakan bahwa agama tidak perlu didiskusikan tidak perlu diperbandingkan ataupun diselidiki, ada yang mengatakan bahwa berdiskusi tentang agama sangat sensitif sifatnya, di sisi lain ada yang bersifat dogmatis terhadap ajarannya dan bahkan cenderung fanatik, ada juga yang pasrah menerima agama warisan yang telah dianut sejak lahir dari orang tuanya dan merasa bahwa agamanya tersebut tidak perlu lagi dikaji ulang atau diteliti kembali kebenarannya ataupun diperdebatkan, ada yang menggantungkan sepenuhnya iman dan kepercayaan mereka kepada pendetanya, pastornya atau biksunya, uztadnya sehingga tidak berani untuk didiskusiakan sebab tidak mempunyai modal pengetahuan sama sekali, andaikatapun mereka memiliki kitab suci namun itu hanya merupakan pajangan saja di atas rak buku, ada juga yang bersikap fanatisme buta, fundamentalistis & radikal, ada juga yang berpandangan liberal
dan pluralism, beberapa berpandangan bahwa segala sesuatu bersifat relatif, menurut orang yang berpandangan ini tidak ada kebenaran absolute termasuk kebenaran agama, segalanya tergantung perspektif seseorang atau cara kita memandang, dan oleh karena itu tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak, beberapa berpandangan bahwa dogma atau doktrin agama tidak perlu dikritisi atau diteliti kebenarannya, jangan “mengusik” keberadaan ribuan jenis agama di dunia ini biarkan masing-masing kepercayaan berjalan sendiri-sendiri tidak usah diselidiki kebenarannya, biarkan saja berjalan apa adanya.
Itulah situasi dan paradigma berpikir yang mungkin akan kita dapati dari berbagai macam orang apabila anda dihadapkan pada suatu diskusi agama, dan mungkin bisa jadi ada seribu satu macam situasi lain yang berbeda apabila kita terlibat dalam situasi tersebut. Manakah diantara pandangan-pandangan tersebut di atas yang benar-benar cocok? itu semua berpulang kepada anda masing-masing, pendapat adalah hak prerogatif seseorang silahkan anda putuskan sendiri pilihan anda, atau mungkin anda mengatakan bahwa tidak satupun di antara konsep yang disebutkan di atas anda pegang, yah silahkan juga. Sementara itu Jika kita lihat fakta lain yang lebih ekstrim dari sisi yang berbeda ada sekelompok orang yang bahkan rela mati demi agamanya, atau rela “mematikan” orang lain atau membunuh orang lain demi agamanya pula sehingga hal ini telah mengakibatkan banyak orang di dunia ini menjadi “terganggu” atau bahkan “takut” terhadap eksistensi dari banyaknya agama-agama yang saling bertikai satu sama lain.
Apa sebenarnya definisi dari agama? Terjemahan dari agama dalam bahasa Inggris adalah "religion", sebuah kamus menjelaskan arti dari kata Religion: “religion is a beliefs and worship: people’s beliefs and opinions concerning the existence, nature, and worship of a deity or
deities, and divine involvement in the universe and human life”, sedangkan arti kata worship adalah “treat somebody or something as deity: to treat somebody or something as divine and show respect by engaging in acts of prayer and devotion”
(Microsoft® Encarta® Reference Library 2003. © 1993-2002 Microsoft Corporation). Jadi di dalam kata religion terkandung makna “pengabdian”, “penyerahan diri”, “pengorbadan diri” terhadap sesuatu, bisa terhadap satu oknum atau pribadi yang berkuasa seperti Tuhan (agama-agama monoteisme), atau bisa juga terhadap kekuatan alam atau dewa-dewa dan dewi-dewi (kepercayaan polyteisme). Memang tak dapat dipungkiri bahwa sepanjang sejarah eksistensi agama di dunia ini, tatacara dari ibadat agama-agama tersebut diatur oleh suatu lembaga atau organisasi, dan organisasi tersebut dijalankan dengan berlandaskan pada hukum-hukum yang digariskan secara fundamental di dalam kitab suci dari masing-masing agama tersebut. Di dalam tiap-tiap organisasi agama hampir selalu ada struktur hirarki kepemimpinan yang akan berperan dalam mengatur tatanan organisasi dalam mengurus tatacara ibadat bagi umatnya. Tidak sedikit organisasi agama yang melibatkan dirinya dengan organisasi politik guna bertujuan untuk mendapat dukungan dari pemerintahan negara. Agama seolah-olah "kawin" dengan politik dengan motivasi utk memperoleh wewenang dan kekuatan, itulah sebabnya dulu pernah muncul pernyataan dari pemerintah negara tentang agama yang "diakui" dan "tidak diakui" negara, setiap agama yang hanya berupaya untuk tunduk secara vertikal terhadap Tuhan sang pencipta tanpa melibatkan diri dengan politik negara akan dianggap tidak menghormati pemerintah dan oposisi sehingga masuk kategori agama tidak diakui negara, ironis memang, tapi itulah faktanya. Di sisi lain ada juga agama yg tidak memiliki organisasi, namun demikian apabila suatu agama tidak memiliki hirarki kepemimpinan dan organisasi tetap saja terdapat tokoh-tokoh cendikiawan atau guru-guru agama yang berkuasa dan bertanggungjawab untuk mengajarkan serta membimbing umatnya agar tetap dalam koridor hukum fundamental dari kitab sucinya, dan biasanya kebanyakan umatnya akan tunduk, respek dan mengikuti arahan sang tokoh atau guru agama tersebut. Itu semua adalah fakta yang kita bisa lihat sendiri dari eksistensi agama-agama di dunia ini.
Akhir kata timbul pertanyaan, apakah agama atau kepercayaan perlu didiskusikan? apakah agama perlu dikaji ulang? perlukah kita mendalami agama kita atau agama orang lain? perlukan kita mengkritisi agama kita maupun agama orang lain? tidakkah sebaiknya kita pasrah saja menerima agama yg sudah kita anut sejak lahir atau agama wariwan? apakah kebenaran absolute itu memang ada? tidakkah segala hal bersifat relatif? atau mungkin pertanyaan paling mendasar, apakah memang perlu beragama atau terikat dengan organisasi agama tertentu? mari kita merenungkan pertanyaan itu semua.