SABTU, 26 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Keberatan … filetung pada pasar luar negeri. Catatan Ade...

1
16 SABTU, 26 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA F I LM MARI berlogika. Sebagai pasar yang gemuk dan menggiur- kan bagi industri lm di mana pun berada, Indonesia adalah lahan bisnis. Pun gonjang- ganjing ancaman distribusi film Hollywood disetop ke bioskop Indonesia sangat naif. Lebih sebagai taktik dan perang dagang belaka. Pedagang menggertak pem- beli, karena dibebani aturan yang ribet. Tapi, itu hanya ancaman tak bergigi. Begitu sebagian besar pengamat lm yang punya semangat untuk membesarkan film nasional setelah sekian lama pasar di- dominasi lm asing, terutama produk Hollywood. Tidak mungkin Motion Pic- ture of Association of America (MPAA) akan menyetop im- por filmnya ke Indonesia. Bagaimanapun film adalah urusan bisnis dan yang na- manya pedagang pasti ingin banyak pembelinya. ”Saya yakin nggak bakal me- reka benar-benar memboikot,” ungkap pemerhati lm Ade Irwansyah. Mengutip majalah Economist edisi 17 Februari, Ade meng- ungkapkan ada tulisan ‘Holly- wood Goes Global: Bigger Abroad’ menyebutkan bahwa saat ini pasar utama Hollywood bukan di Amerika Utara, tempat me- reka berkandang, melainkan justru di luar negeri. Menurut Economist lagi, pada dekade lalu pendapatan Hollywood dari box ofce da- lam negeri hanya naik seper- tiga, sedangkan pendapatan dari luar negeri berlipat-lipat (lihat tabel). Misalnya, berkat lm Harry Potter, Sherlock Hol- mes, dan Inception, Warner Bros tahun lalu meraup US$2,93 mi liar dari luar Amerika Utara, memecahkan rekor tahun se- belumnya, US$2,24 miliar. Angka penjualan DVD yang turun di Amerika membuat studio-studio makin bergan- tung pada pasar luar negeri. Catatan Ade menyebutkan film-film yang tak laris di Amerika seperti Prince of Per- sia dan The Chronicles of Narnia: the Voyage of the Dawn Treader mengandalkan pemasukan dari luar negeri. Film Jack Black Gulliver’s Travels pun hanya menghasil- kan US$42 juta di Amerika, tapi dibantu popularitas lm itu di Rusia dan Korea, yang berhasil menyedot angka pen- jualan US$150 juta. Contoh lain, Avatar jadi film paling laris sepanjang sejarah juga berkat pemasukan US$2 mi- liar dari luar Amerika. Pelaku industri lm nasio- nal pun menyambut baik lontaran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang menyata- kan akan memberikan pajak 0% bagi lm-lm nasional. Momentum ini, seperti- nya akan memberi perbaikan berarti bagi film nasional. Asalkan janji tersebut bisa dipegang. Pajak film impor harus jelas larinya akan ke ma- na? Harapannya tentu dikem- balikan untuk pertumbuhan industri perlman nasional. Saatnya pemerintah men- dorong visi yang jelas, ber- buat lebih banyak memajukan perlman nasional. Pemerintah harus aktif membantu perlman nasional seperti membangun sekolah lm, museum lm, komunitas pecinta lm, mendanai proyek lm idealis, atau festival lm yang berkelas. Bisakah? (Eri/ M-1) Keberatan yang tidak Beralasan Pernyataan MPAA yang akan memboikot Indonesia dengan tidak memasukkan film mereka hanyalah gertak sambal. Kedaulatan bangsa menjadi taruhannya. Hollywood Tergantung Pasar Luar Amerika caya MPAA akan benar-benar memboikot Indonesia. “Mak- lum Indonesia dengan jumlah penduduk besar, memang pasar yang menggiurkan. Mereka menggertak, sebenarnya bukan semata soal naiknya pajak. Te- tapi protes atas maraknya lm- lm bajakan di Indonesia yang dari tahun ke tahun pemerintah kurang tegas dalam menindak aksi pembajakan itu. Sehingga mereka bereaksi keras ketika pajak dinaikkan. Pajak naik, tapi pembajakan merajalela. Mereka merasa rugi.” Benarkah para importir me- mang kena pajak terlalu besar? Pengamat lm Ilham Bintang mengatakan sebenarnya pajak itu tidak terlalu besar. Sebagai gambaran, ia meng- ungkapkan, pada 2010 MPAA memasukkan 65 film. Bisnis lm itu menghasilkan Rp765 miliar. Namun, mereka hanya membayar sekitar Rp5 miliar bea masuk. Padahal, sesuai ketentuan yang sudah berlaku (berdasar- kan UU Perpajakan 83), mesti- nya mereka membayar pajak royalti/distribusi sebesar Rp95 miliar. Selain itu, lm impor dike- nai bea masuk, PPN, dan PPh hanya berdasarkan panjang lm, tanpa perhitungan jenis dan harga lm. Hanya dikenai pajak sekitar US$0,43 per meter. Rata-rata per copy hanya seki- tar Rp2 juta. “Jadi beratnya di mana?” ujarnya. ERI ANUGERAH P EMUTARAN film yang punya peluang besar menjadi lm ter- baik di ajang Academy Awards 20011, Black Swan, di Djakarta XXI, Kamis (17/2) silam, berakhir tak biasa. Seusai pemutaran untuk war- tawan tersebut, seorang bule bi- cara di depan hadirin. “Terima kasih sudah datang menonton lm ini. Anda semua termasuk yang beruntung menontonnya di bioskop. Sebab, lm ini tak akan beredar di bioskop (Indo- nesia),” kata pria yang ternyata adalah Frank S Rittman, Vice President Deputy Managing Director Regional Policy Ofce Asia-Pasic MPAA (Motion Pic- ture Association of America). Banyak wartawan yang me- ngira lm ini tidak lolos sensor sehingga tidak bisa tayang di Indonesia. Ternyata, bukan sen- sor yang jadi musababnya. Me- lainkan persoalan pajak. Pun, masalahnya bukan pada Black Swan saja, tetapi semua lm im- por, terutama dari Hollywood. Jadi, pemerintah mengeluarkan regulasi yang membebankan tarif pajak baru pada setiap lm impor mulai tahun ini. Kebijakan ini rupanya yang dirasa memberatkan oleh pihak distributor lm. “Hanya Indo- nesia yang memiliki aturan seperti itu,” kata Rittman. Dia menambahkan, pihaknya ber- harap pemerintah Indonesia akan berubah pikiran. Tidak jadi mengenakan pajak baru. Meski, seperti tersirat dari ucap annya, bahwa besaran nilai pajak belum putus, toh pemberitaan soal dilarangnya lm impor tayang di Indonesia jadi begitu marak. Pro-kontra atas keputusan itu bergulir di mana-mana. Ada yang setuju lm impor tidak masuk, ada pula yang kontra. “Tapi, ba- nyak yang komentar kurang paham benar permasalahan itu. Sebab, kalaupun lm impor dilarang, bukan semuanya kok. Hanya lm Amerika. Itu pun yang bergabung di MPAA. Film impor kan masih banyak, ada lm-lm negara Eropa, Thai- land, Jepang, Iran, India, dan lainnya,” ungkap pemerhati lm Afzan Hasibuan. Afzan mengaku tidak per- MENGHENTIKAN PEREDARAN: Poster film luar negeri terpasang di Djakarta Theater 21, Jakarta, Sabtu (19/2). Produsen film Hollywood menghentikan peredaran film ke Indonesia mulai Kamis 17 Februari 2011. Keputusan itu diambil karena tidak setuju dengan bea masuk retribusi yang ditetapkan pemerintah di awal tahun. MI/RAMDANI Banyak alternatif Ilham menegaskan pernya- taan MPAA akan memboikot Indonesia dengan tidak me- masukkan lm mereka hanya- lah gertak. “Indonesia pasar yang besar, gak mungkin me- reka boikot.” Ia menyesalkan sikap MPAA yang mengesankan pemerintah melarang film Amerika di- putar di sini. Dalam berbagai pernyataannya, kata Ilham, MPPA seolah-olah menuduh pemerintah Indonesia mem- buat aturan baru untuk meme- ras mereka. “Informasi MPAA yang menyesatkan. Film asing tidak hanya lm Amerika, te- tapi ada juga lm Eropa, India, Iran, Mandarin, India, Korea, dan lainnya,” katanya. Tampaknya adanya opini yang menyatakan, adanya boi- kot menyebabkan lm Amerika tidak akan masuk Indonesia tidaklah benar. Maklum, dari data yang didapat pada 2010, lm MPAA yang masuk di sini cuma 65 judul. Jumlah lm Amerika produk- si independen yang beredar di sini lebih banyak ketim- bang film MPAA. Sementara produksi lm Amerika sekitar 500 judul/tahun. Sehingga, sebenarnya MPAA hanya me- nguasai 20%. Garin Nugroho pun angkat bicara. “Sebenarnya memang banyak film dari negara lain berkualitas bagus. Namun, karena kita kebiasaan dicekoki lm Holywood, ketika disodori film negara lain seperti Ero- pa, Jerman, atau Asia yang mempunyai gaya lain, ba- nyak masyarakat yang kurang menyukai. Tetapi sebenarnya film-film negara lain harus tetap diputar agar menjadi al- ternatif bagi penonton bioskop dan sineas muda kita untuk menjadikan referensi.” Sementara, beberapa importir independen yang bertemu de- ngan Ilham siap mengisi keko- songan lm Hollywood yang didistributori MPAA. Jangan sampai terulang ka- sus tahun 1992. Saat itu, MPAA mengancam pemerintah yang membatasi kuota lm mereka yang masuk ke Indonesia. Me- reka mengancam kalau impor dibatasi, mereka akan gunakan super act untuk menolak tekstil dan kayu lapis kita ke Amerika. Ini jelas pemerasan. Kita tidak sangkal butuh lm Amerika, tetapi kedaulatan negara harus tetap dijaga. (M-1) miweekend @mediaindonesia.com Tabel perbandingan pendapatan film Hollywood di Amerika dan di luar Amerika The rise of the rest Worldwide cinema box-office revenues, $bn Rest of world North America 35 30 25 20 15 10 5 0 2001 02 03 04 05 06 07 08 09 10* Source: IHS Screen Digest *Estimate

Transcript of SABTU, 26 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Keberatan … filetung pada pasar luar negeri. Catatan Ade...

16 SABTU, 26 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIAFILM

MARI berlogika. Sebagai pasar yang gemuk dan menggiur-kan bagi industri fi lm di mana pun berada, Indonesia adalah lahan bisnis. Pun gonjang-ganjing ancaman distribusi film Hollywood disetop ke bioskop Indonesia sangat naif. Lebih sebagai taktik dan perang dagang belaka.

Pedagang menggertak pem-beli, karena dibebani aturan yang ribet. Tapi, itu hanya an caman tak bergigi. Begitu sebagian besar pengamat fi lm yang punya semangat untuk membesarkan film nasional setelah sekian lama pasar di-dominasi fi lm asing, terutama produk Hollywood.

Tidak mungkin Motion Pic-ture of Association of America (MPAA) akan menyetop im-por filmnya ke Indonesia. Ba gaimanapun film adalah urus an bisnis dan yang na-manya pedagang pasti ingin banyak pembelinya.

”Saya yakin nggak bakal me-

reka benar-benar memboikot,” ungkap pemerhati fi lm Ade Irwansyah.

Mengutip majalah Economist edisi 17 Februari, Ade meng-ungkapkan ada tulisan ‘Holly-wood Goes Global: Bigger Abroad’ menyebutkan bahwa saat ini pasar utama Holly wood bukan di Amerika Utara, tempat me-reka berkandang, melainkan justru di luar negeri.

Menurut Economist lagi, pada dekade lalu pendapat an Hollywood dari box offi ce da-lam negeri hanya naik seper-tiga, sedangkan pendapatan dari luar negeri berlipat-lipat (lihat tabel). Misalnya, berkat fi lm Harry Potter, Sherlock Hol-mes, dan Inception, Warner Bros tahun lalu meraup US$2,93 mi liar dari luar Amerika Utara, memecahkan rekor tahun se-belumnya, US$2,24 miliar.

Angka penjualan DVD yang turun di Amerika membuat studio-studio makin bergan-tung pada pasar luar negeri.

Catatan Ade menyebutkan film-film yang tak laris di Ame rika seperti Prince of Per-sia dan The Chronicles of Narnia: the Voyage of the Dawn Treader mengandalkan pemasukan dari luar negeri.

Film Jack Black Gulliver’s

Travels pun hanya menghasil-kan US$42 juta di Amerika, tapi dibantu popularitas fi lm itu di Rusia dan Korea, yang berhasil menyedot angka pen-jualan US$150 juta. Contoh lain, Avatar jadi film paling laris sepanjang sejarah juga

berkat pemasukan US$2 mi-liar dari luar Amerika.

Pelaku industri fi lm nasio-nal pun menyambut baik lon taran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata yang menyata-kan akan memberikan pajak 0% bagi fi lm-fi lm nasional.

Momentum ini, seperti-nya akan memberi perbaikan berarti bagi film nasional. Asalkan janji tersebut bisa dipegang. Pajak film impor harus jelas larinya akan ke ma-na? Harapannya tentu dikem-balikan untuk pertumbuhan industri perfi lman nasional.

Saatnya pemerintah men-dorong visi yang jelas, ber-buat lebih banyak memajukan perfi lman nasional.

Pemerintah harus aktif mem bantu perfi lman nasional seperti membangun sekolah fi lm, museum fi lm, komunitas pecinta fi lm, mendanai proyek fi lm idealis, atau festival fi lm yang berkelas. Bisakah? (Eri/M-1)

Keberatan yang tidak BeralasanPernyataan MPAA yang akan memboikot Indonesia dengan tidak memasukkan film mereka hanyalah gertak sambal. Kedaulatan bangsa menjadi taruhannya.

Hollywood Tergantung Pasar Luar Amerika

caya MPAA akan benar-benar memboikot Indonesia. “Mak-lum Indonesia dengan jumlah penduduk besar, memang pasar yang menggiurkan. Mereka menggertak, sebenarnya bukan semata soal naiknya pajak. Te-tapi protes atas maraknya fi lm-fi lm bajakan di Indonesia yang dari tahun ke tahun pemerintah kurang tegas dalam menindak aksi pembajakan itu. Sehingga mereka bereaksi keras ketika pa jak dinaikkan. Pajak naik, ta pi pembajakan merajalela. Me reka merasa rugi.”

Benarkah para importir me-mang kena pajak terlalu besar? Pengamat fi lm Ilham Bintang mengatakan sebenarnya pajak itu tidak terlalu besar.

Sebagai gambaran, ia meng-ungkapkan, pada 2010 MPAA memasukkan 65 film. Bisnis fi lm itu menghasilkan Rp765 miliar. Namun, mereka hanya membayar sekitar Rp5 miliar bea masuk.

Padahal, sesuai ketentuan yang sudah berlaku (berdasar-kan UU Perpajakan 83), mesti-nya mereka membayar pajak royalti/distribusi sebesar Rp95 miliar.

Selain itu, fi lm impor dike-nai bea masuk, PPN, dan PPh hanya berdasarkan panjang fi lm, tanpa perhitungan jenis dan harga fi lm. Hanya dikenai pajak sekitar US$0,43 per meter. Rata-rata per copy hanya seki-tar Rp2 juta. “Jadi beratnya di mana?” ujarnya.

ERI ANUGERAH

PE M U TA R A N f i l m yang punya peluang besar menjadi fi lm ter-baik di ajang Academy

Awards 20011, Black Swan, di Djakarta XXI, Kamis (17/2) silam, berakhir tak biasa.

Seusai pemutaran untuk war-tawan tersebut, seorang bule bi-cara di depan hadirin. “Terima kasih sudah datang menonton fi lm ini. Anda semua termasuk yang beruntung menontonnya di bioskop. Sebab, fi lm ini tak akan beredar di bioskop (Indo-nesia),” kata pria yang ternyata adalah Frank S Rittman, Vice President Deputy Managing Director Regional Policy Offi ce Asia-Pasifi c MPAA (Motion Pic-ture Association of America).

Banyak wartawan yang me-ngira fi lm ini tidak lolos sensor sehingga tidak bisa tayang di Indonesia. Ternyata, bukan sen-sor yang jadi musababnya. Me-lainkan persoalan pajak. Pun, masalahnya bukan pada Black Swan saja, tetapi semua fi lm im-por, terutama dari Hollywood. Jadi, pemerintah mengeluarkan regulasi yang membebankan tarif pajak baru pada setiap fi lm impor mulai tahun ini.

Kebijakan ini rupanya yang dirasa memberatkan oleh pihak distributor fi lm. “Hanya Indo-nesia yang memiliki aturan se perti itu,” kata Rittman. Dia menambahkan, pihaknya ber-harap pemerintah Indonesia akan berubah pikiran. Tidak jadi mengenakan pajak baru. Meski, seperti tersirat dari ucap annya, bahwa besaran ni lai pajak belum putus, toh pem beritaan soal dilarangnya fi lm impor tayang di Indonesia jadi begitu marak. Pro-kontra atas keputusan itu bergulir di mana-mana. Ada yang setuju fi lm impor tidak masuk, ada pula yang kontra. “Tapi, ba-nyak yang komentar kurang paham benar permasalahan itu. Sebab, kalaupun fi lm impor dilarang, bukan semuanya kok. Hanya fi lm Amerika. Itu pun yang bergabung di MPAA. Film impor kan masih banyak, ada fi lm-fi lm negara Eropa, Thai-land, Jepang, Iran, India, dan lainnya,” ungkap pemerhati fi lm Afzan Hasibuan.

Afzan mengaku tidak per-

MENGHENTIKAN PEREDARAN: Poster film luar negeri terpasang di Djakarta Theater 21, Jakarta, Sabtu (19/2). Produsen film Hollywood menghentikan peredaran film ke Indonesia mulai Kamis 17 Februari 2011. Keputusan itu diambil karena tidak setuju dengan bea masuk retribusi yang ditetapkan pemerintah di awal tahun.

MI/RAMDANI

Banyak alternatifIlham menegaskan per nya-

taan MPAA akan memboikot Indonesia dengan tidak me-masukkan fi lm mereka hanya-lah gertak. “Indonesia pasar yang besar, gak mungkin me-

reka boikot.”Ia menyesalkan sikap MPAA

yang mengesankan pemerin tah melarang film Amerika di-putar di sini. Dalam berbagai pernyataannya, kata Ilham, MPPA seolah-olah menuduh

pemerintah Indonesia mem-buat aturan baru untuk meme-ras mereka. “Informasi MPAA yang menyesatkan. Film asing tidak hanya fi lm Amerika, te-tapi ada juga fi lm Eropa, India, Iran, Mandarin, India, Korea,

dan lainnya,” katanya.Tampaknya adanya opini

yang menyatakan, adanya boi-kot menyebabkan fi lm Amerika tidak akan masuk Indonesia tidaklah benar. Maklum, dari data yang didapat pada 2010,

fi lm MPAA yang masuk di sini cuma 65 judul.

Jumlah fi lm Amerika produk-si independen yang beredar di sini lebih banyak ketim-bang film MPAA. Sementara produksi fi lm Ame rika sekitar 500 judul/tahun. Sehingga, sebenarnya MPAA hanya me-nguasai 20%.

Garin Nugroho pun angkat bicara. “Sebenarnya memang banyak film dari negara lain berkualitas bagus. Namun, karena kita kebiasaan dicekoki fi lm Holywood, ketika disodo ri film negara lain seperti Ero-pa, Jerman, atau Asia yang mempunyai gaya lain, ba-nyak masyarakat yang kurang menyukai. Tetapi sebenarnya film-film negara lain harus tetap diputar agar menjadi al-ternatif bagi penonton bioskop dan sineas muda kita untuk menjadikan referensi.”

Sementara, beberapa importir independen yang bertemu de-ngan Ilham siap mengisi keko-songan fi lm Hollywood yang didistributori MPAA.

Jangan sampai terulang ka-sus tahun 1992. Saat itu, MPAA mengancam pemerintah yang membatasi kuota fi lm mereka yang masuk ke Indonesia. Me-reka mengancam kalau impor dibatasi, mereka akan gunakan super act untuk menolak tekstil dan kayu lapis kita ke Amerika. Ini jelas pemerasan. Kita tidak sangkal butuh fi lm Amerika, tetapi kedaulatan negara harus tetap dijaga. (M-1)

[email protected]

Tabel perbandingan pendapatan film Hollywood di Amerika dan di luar Amerika

The rise of the restWorldwide cinema box-office revenues, $bn

Rest of world

North America

35

30

25

20

15

10

5

02001 02 03 04 05 06 07 08 09 10*

Source: IHS Screen Digest *Estimate