S2-2015-334455-introduction

47
Bab I Pendahuluan A. Latar belakang Tesis ini meneliti tentang fenomena Pilkada di kota Makassar dari perspektif Dramaturgi. Dramaturgi adalah sebuah teori interaksi sosial yang melihat makna di balik performance seorang aktor dalam panggung yang ia ciptakan. Dalam berbagai kajian-kajian dengan tema pemilihan umum, selalu berangkat dari isu pemilih (hal-hal internal) itu sendiri, menyorot bagaimana perilaku pemilih, isu- isu mengenai faktor-faktor identitas dan sebagainya. Kemudian membuat peneliti ingin melihat dari sisi yang berbeda yaitu pada sisi pribadi sang aktor, pada pendekatan face to face kontestan terlibat dalam pemilihan. Kajian dan isu-isu politik menjelang pemilukada memang sebagian telah membahas aktor di dalamnya, namun lebih sering berisikan tentang kompetisi aktor-aktor kandidat, kinerja aktor, loyalitas aktor terhadap partainya (dalam kerangka pikir demokrasi sebagai mekanisme kompetisi antar calon), kemudian ini membuat peneliti melihat bahwa masih ada yang perlu diperhatikan dalam sebuah pendekatan dan kajian tersebut, lagi sangat jarang disentuh oleh para calon dan aktor politik dalam merebut suara masyarakat dalam pemilu. Yakni performance dari kontestan (yang terbentuk disaat terjadinya interaksi antara aktor dengan masyarakat yang memilih atau yang disebut oleh Erving Goffman sebagai penonton. Perfomance atau penampilan di sini mempunyai makna kesan yang dibawa oleh aktor dalam setiap interaksinya dengan audience atau penonton di setiap panggung bersama dengan atribut dan instrumen yang digunakan pada pertemuan

description

drama

Transcript of S2-2015-334455-introduction

Page 1: S2-2015-334455-introduction

Bab I

Pendahuluan

A. Latar belakang

Tesis ini meneliti tentang fenomena Pilkada di kota Makassar dari perspektif

Dramaturgi. Dramaturgi adalah sebuah teori interaksi sosial yang melihat makna

di balik performance seorang aktor dalam panggung yang ia ciptakan. Dalam

berbagai kajian-kajian dengan tema pemilihan umum, selalu berangkat dari isu

pemilih (hal-hal internal) itu sendiri, menyorot bagaimana perilaku pemilih, isu-

isu mengenai faktor-faktor identitas dan sebagainya. Kemudian membuat peneliti

ingin melihat dari sisi yang berbeda yaitu pada sisi pribadi sang aktor, pada

pendekatan face to face kontestan terlibat dalam pemilihan. Kajian dan isu-isu

politik menjelang pemilukada memang sebagian telah membahas aktor di

dalamnya, namun lebih sering berisikan tentang kompetisi aktor-aktor kandidat,

kinerja aktor, loyalitas aktor terhadap partainya (dalam kerangka pikir demokrasi

sebagai mekanisme kompetisi antar calon), kemudian ini membuat peneliti

melihat bahwa masih ada yang perlu diperhatikan dalam sebuah pendekatan dan

kajian tersebut, lagi sangat jarang disentuh oleh para calon dan aktor politik dalam

merebut suara masyarakat dalam pemilu. Yakni performance dari kontestan (yang

terbentuk disaat terjadinya interaksi antara aktor dengan masyarakat yang memilih

atau yang disebut oleh Erving Goffman sebagai penonton.

Perfomance atau penampilan di sini mempunyai makna kesan yang dibawa

oleh aktor dalam setiap interaksinya dengan audience atau penonton di setiap

panggung bersama dengan atribut dan instrumen yang digunakan pada pertemuan

Page 2: S2-2015-334455-introduction

tatap muka yang diharapkan berdampak positif. Kemudian bisa berpengaruh pada

reaksi masyarakat dalam menentukan pilihan atas informasi yang masyarakat

terima.

Tujuan tesis ini adalah mencoba mengaplikasikan sebuah teori interaksi,

dengan menggunakan pendekatan milik Erving Goffman, yang kemudian oleh

penulis khusus melihat dari penampilan aktor politik. Sehingga tesis ini dapat

menjelaskan bagaimana sebuah dramatisasi terjadi pada panggung kandidat Wakil

Walikota Makassar. Oleh karena melihat banyak kesamaan antara pementasan

teater dengan berbagai jenis peran yang dimainkan dalam berinteraksi, seperti

halnya yang dalam kehidupan politik kita.

Kehidupan sebenarnya yang dimaksud dalam tulisan ini ialah kehidupan

teatrikal yang sengaja dipamerkan kemudian disajikan dalam kehidupan manusia

sehari-hari. Jadi seperti aktor panggung, aktor sosial membawakan peran,

mengasumsikan karakter, dan bermain melalui adegan-adegan beserta atributnya

ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.

Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan

mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain.

Umumnya orang berusaha menyajikan suatu gambaran diri yang diidealkan di

dalam sandiwaranya. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan

sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran

yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi

yang kemudian memberikan makna tersendiri.

Page 3: S2-2015-334455-introduction

Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial

masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu

beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang

tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung

sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup

dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan,

menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang

justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan

masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara

alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka.

Permainan peran akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya.

Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek

psikologis sosial yang melingkupinya.

Permainan peran ini mendukung pertunjukan untuk memberi kesan yang

baik demi mencapai tujuan. Baik pada saat berada di front stage atau back stage

(dalam dramaturgi panggung terbagi menjadi dua wilayah) ini merupakan bagian

dari setting performing. Singkat kata, dramaturgi juga berjalan dalam bentuk

komunikasi hingga lawan komunikasi seorang aktor utama mau menerima sesuatu

yang sebetulnya telah diolah oleh pemilik panggung drama tersebut. Sehingga

penelitian ini dilakukan dangan rmaksud mencari tahu seperti apa dan bagaimana

penampilan drama yang ditampilkan oleh seorang aktor politisi dalam berbagai

situasi dan tempat (dalam dramaturgi, istilah panggung/stage) sehingga

pendekatan ini bisa memberikan jalan bagi penulis dalam melihat antara situasi

Page 4: S2-2015-334455-introduction

yang nyata dan dibuat-buat oleh para pemain (“setting”) yang terlibat pada

kontestasi Pilkada di kota Makassar periode 2014-2019.

Untuk itu penulis mengangkat sebuah kasus Pilkada di kota Makassar

dengan mengambil unsur-unsur internal teori ini dan membandingkannya dari

setiap situasi, bahwa apa yang terjadi dalam dunia politik selama ini adalah

layaknya sebuah drama lengkap dengan rangkaian dramaturginya. Situasi drama

politik dalam penulisan ini, diperankan oleh Syamsu Rizal atau yang akrab disapa

Daeng Ical yang diusung oleh Partai Demokrat sebagai calon Wakil Walikota

berpasangan dengan Mohammad Ramdhan "Danny" Pomanto bakal calon

Walikota untuk Pemilu 18 September 2013.

Performance aktor sangat berperan penting dan menjadi perhatian penulis.

Penampilan seseorang digunakan untuk mempertajam kepribadiannya, perwakilan

dari totalitasnya karakter seorang individu. Goffman memahami bahwa diri aktor

bukan sepenuhnya sebagai milik si aktor itu namun sebagai produk interaksi

dramatis antara aktor dengan audien. Jadi Syamsu Rizal di sini adalah apa yang

diinginkan oleh masyarakat Makassar, dan menjadi suatu kekhasan dari kota

Makassar itu sendiri. Mengapa hal ini sangat penting? Sebab inilah yang pertama

diperhatikan oleh orang lain ketika kita menampilkan sesuatu yang berbeda.

“Kualitas” aktor dapat dilihat dari caranya berinteraksi. Bisa jadi sebenarnya

seorang aktor (Syamsu Rizal) adalah pribadi yang cuek atau angkuh dan santai,

namun tidak membiarkan karakter itu menjadi penghambat kesuksesannya ketika

berinteraksi dengan orang lain apalagi dengan panggung yang berbeda-beda.

Page 5: S2-2015-334455-introduction

Jika dalam lingkungan pekerjaan yang profesional, tentunya aktor itu

diwajibkan tampil profesional. Sama seperti itu, kemudian ketika aktor ini dalam

pergaulan sosial maupun yang ada unsur politiknya, dipastikan dia akan segera

berganti peran untuk memilih penampilan yang berkualitas tersebut.

Syamsu Rizal sendiri beranggapan bahwa menjadi Walikota atau hanya

wakilnya, adalah bukan sebuah persoalan. Karena tidak mengejar jabatan saja tapi

dia juga ingin mewakafkan diri untuk masyarakat kota Makassar melalui

programnya yakni “Makassar Super”. Dengan melihat faktor kedekatan emosional

menurutnya yang dia miliki (latar belakang alumni Fisip, Unhas) dengan para

alumni dan mahasiswa Fisip Unhas, sebagai salah satu anggota dari komunitas

yang diberi nama “Mimbar Community”, Daeng Ical yakin hasil terbaik bisa

terwujud apalagi dengan intensitas waktu yang dia miliki dengan para mahasiswa

(pengadaan diskusi-diskusi bertema biasanya berlangsung di warung kopi) dan

timnya, Daeng Ical yakin lebih sukses untuk mewujudkan tujuannya sebagai

kandidat calon Wakil Walikota Makassar. Daeng Ical mengatakan bahwa dari dulu

ia gemar dalam hal berkomunikasi dan mudah dalam bergaul diyakininya tidak

akan menyulitkan saat menjalankan tugas.1

Dimulai dari konsep teorisasi Dramaturgi, dalam buku monumentalnya yang

berjudul “The Presentation of Self In Everyday Life” (1959), Erving Goffman

yang lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922, pertama kali memperkenalkan

sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Ini tentang

analisis perilaku manusia yang menunjukkan hidup adalah 'permainan' dan orang-

1 wawancara penulis dengan Deng Ical secara langsung, tanggal 28 Juni 2014

Page 6: S2-2015-334455-introduction

orang adalah 'aktor'. Bedanya dramaturgi adalah bahwa alih-alih dari interaksi

yang dilatih terlebih dahulu untuk penonton, interaksi kehidupan nyata manusia,

improvisasi, dan ekspresi individualitas orang-orang yang dapat berubah

tergantung pada situasi sosial mereka masuk. Menurut Goffman, dunia adalah

panggung di mana kita semua aktor sosial. Dalam situasi tertentu kita semua

memiliki ide-ide tentang bagaimana untuk bertindak berdasarkan apa yang orang

lain harapkan sehingga mereka mampu menafsirkan tindakan kita dan

menerapkan makna kepada mereka. Sekali lagi, fokus pendekatan dramaturgis

adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau

mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya.

Kemudian bagaimana simbol-simbol yang mengikutinya bisa membantu

menjelaskan performance aktor tersebut.

Dalam sebuah adegan drama kolaborasi antar pemainnya pasti dilakukan

dengan sangat maksimal, khususnya menjelang pemilihan Walikota Makassar ini

tentunya pihak-pihak tertentu juga akan terlibat seperti tim sukses, aktor pembatu

biasanya aktor ini dipercayai oleh aktor utama dan secara tidak langsung

membantu adegan.

Setiap cerita yang menarik, memikat dan menyentuh hati rakyat akan

menjadi semacam “tranding topic” dan mempengaruhi “ratting” karena Daeng

Ical menggunakan semacam “issue” yang kemudian diolah dan dikenal oleh

masyarakat sebagai daya tarik tersendiri dari setiap penampilan panggungnya.

Sepanjang ajang pemilihan kepala daerah ini, pendekatan dramturgi menunjukkan

kepura-puraan yang dilakoni oleh Daeng Ical dengan timnya. Dari yang aslinya

Page 7: S2-2015-334455-introduction

dia ialah seorang yang sopan dan kreatif kemudian semakin menjadi-jadi ketika

berakting. Sehingga cerita akan dilanjutkan dan dikembangkan sehingga makin

menarik. Aktor dengan lihainya ikut berpura-pura, namun dalam beberapa kondisi

terkadang aktor menjadi dirinya sendiri (tidak sepenuhnya lepas dari jabatannya

sebagai pemain utama). Aktor tetap bebas memilih untuk memanipulasi adegan

dengan naskahnya sendiri (melibatkan gestur, intonasi dan atmosfer) saat berada

di atas panggung depan. Sehingga nilai kesungguhan semakin dirasakan oleh

penonton. Bahkan terkadang unsur yang sengaja dihadirkan untuk mendukung

drama ini, masuk ke dalam kehidupan nyata sang aktor.

Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala

macam perilaku interaksi yang dilakukan dalam pertunjukan kehidupan kita

sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara

seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam panggung pertunjukan

drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada

pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk

memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari diri

Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi.

Selanjutnya dalam pemahaman tersebut, penulis ingin mengulas kembali

teori dramaturgi ini kemudian mencoba untuk mengaitkannya serta membawanya

dalam dunia politik Indonesia pada era kekinian. Bagaimana bila seorang aktor

berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin

diperlihatkan oleh aktor tersebut. Dibandingkan dengan beberapa faktor kegagalan

Page 8: S2-2015-334455-introduction

dari seorang calon kepala daerah adalah terletak pada figur calon itu sendiri.2 Pada

Pilkada, sebagian besar rakyat memilih bukan karena faktor calon tersebut

didukung oleh partai. Sebagian rakyat yang menginginkan figur baru serta

bersemangatkan jiwa muda. Namun ketenaran dan figur calon juga berpengaruh

terhadap hasil pemilihan. Kemenangan dalam pemilihan kepala daerah, juga

bergantung pada ketokohan calon yang diusung. Jika calon yang diusung memiliki

kharisma dan diakui ketokohannya, maka kemungkinan menang akan sangat besar

karena disukai dan diinginkan masyarakat.

Sehingga teori interaksi sosial milik Goffman dan interkasi simbolik Mead

dapat membantu penulis menjawab faktor kemenangan seorang calon dalam

pemilihan umum di Makassar. Dalam pertemuan tatap muka antar pribadi maupun

dengan kelompok sosial, ada sebuah kharisma yang ditunjukan dari diri sehingga

dapat memukau setiap orang beserta simbol yang dibawakannya. Penulis

meyakini bahwa Simbol tersebut bermakna bukan karena dapat direspon

melainkan karena mengandung makna untuk orang yang menggunakannya.

Melalui simbol-simbol individu-individu yang ada dalam masyarakat

disosialisasikan, mengenal aturan-aturan, ide-ide dan nilai-nilai bersama di dalam

kelompok dan mempelajari peran-peran masing-masing di dalam hubungan

mereka satu sama lain. Setiap orang belajar tentang bagaimana bertindak di dalam

masyarakat melalui simbol-simbol. Dengan demikian orang dapat menjadi warga

masyarakat melalui simbol-simbol tersebut.

2 Lihat Faktor-Faktor Kekalahan Golkar Pada Beberapa Pilkada, pada web http://younkhendra.wordpress.com/2008/07/17/tulisan-saya/

Page 9: S2-2015-334455-introduction

Selanjutnya simbol-simbol merupakan inti dalam kehidupan masyarakat,

karena budaya masyarakat tergantung pada simbol-simbol itu. Sehubungan

dengan ini Daeng Ical yang menjadi subyek dalam tesis ini tentunya memiliki

simbol-simbol yang diharapkan dalam panggung politiknya sehingga dapat

membantu penelitian ini.

Daeng Ical dalam hal ini menggunakan slogan-slogan akrab untuk

berinteraksi dengan massa pendukungnya. Sesuai dengan dasar dari tesis ini

dengan menggunakan interaksi simbol sebagai pendukung penjelasan dramaturgi,

peneliti pun mendapatkan informasi tentang slogan dari calon nomor urut 8 ini

yaitu “Masa Depan Baru Makassar”, “Dua Kali Tambah Baik”, dan “Ana’

Lorongna Makassar” (bahasa Makassar yang artinya Anak Gang Makassar).

Kasus yang diambil dalam tesis ini menurut penulis sangat menarik karena

di satu sisi Daeng Ical sangat dekat dengan para pemilih khususnya dari kalangan

pemula (pelajar dan mahasiswa) dia juga mempunyai basis psikologi komunikasi

yang kuat. Tagline-nya yang menyebutkan istilah anak lorong ini pun menjadi

tempat sebagai ajang dan trend bersosialisasi dan bertemu langsung dengan

masyarakat. Sesuai dengan yang disampaikan Goffman dalam tulisannya ada yang

dikenal dengan “Situated Identities”. Maksdunya ialah kita memerlukan suatu

identitas sebelum melanjutkan interaksi dengan satu lingkungan, berinteraksi

dengan para masyarakat tradisional yang bervarian, tentu berbeda ketika kita

berada dihadapan para politisi dan kaum intelektual, begitu juga pada saat

membahas perihal merebut dukungan pemilih kota Makassar.

Page 10: S2-2015-334455-introduction

Penyesuaian identitas ini menjelaskan bagaimana Daeng Ical berlakon di

depan masyarakat Makassar dengan tingkat pluralitas yang cukup tinggi, ketika

dia berhadapan dengan sesama rekan partai, pada pengusaha-pengusaha muda di

Makassar dan tim suksesnya, ini adalah tugas inti penulis dalam beberapa bab

nanti.

Dalam karya Erving Goffman lain yang ditulis oleh Greg Smith dengan

judul Key Sociologists, dijelaskan bahwa yang dominan dalam kehidupan sosial

adalah berinteraksi maka studi face to face (tatap muka) sangatlah penting. Dunia

politik sangat memanfaatkan berbagai keadaan untuk menyampaikan maksud dan

tujuan politisnya.

Hal ini akan menjelaskan bahwa lihainya Daeng Ical berperilaku dan

bertutur kata dalam interaksinya sebagai unit dasar, menggunakan atribut dan tim

untuk mendukung panggungnya, dengan ekspresif dan membentuk kharisma

sementara agar situasi sosial menjadi contaminated olehnya. Seakan-akan kesan

sebenarnya yang menjadi asli dari individu itu ditanggalkan demi mempengaruhi

lingkungan sekitar dengan stigma yang diciptakan. Dramaturgi menjelaskan

bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut

merupakan bagian kejiwaan psikologis yang mandiri. Identitas manusia bisa saja

berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi

masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Interaksi sosial dalam

cara pandang ini dimaknai sama dengan sebuah teatrikal. Manusia adalah aktor

yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada

orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri. Dalam mencapai tujuannya

Page 11: S2-2015-334455-introduction

tersebut menurut konsep dramaturgis manusia akan mengembangkan perilaku-

perilaku yang mendukung perannya tersebut.

Maka sehubungan dengan konsep ini, penulis ingin melihat sejauh mana

konsep dramaturgi dapat dikenal sebabagai salah satu teori yang digunakan untuk

membantu mengetahui dunia interaksi politik. Bagaiamana mengungkap korelasi

antara teorisasi dramaturgi dengan ideologi politik tertentu pada cara dan bentuk

pembawaan karakter seorang aktor, dalam setiap tatap muka dengan masyarakat

atau sesama kalangan elit politik itu sendiri.

Menarik bahwa semua orang yang mencalonkan diri sebagai kandidat

kepala daerah paham dan mengerti bahwa penentu utama kemenangan Pilkada

langsung adalah popularitas kandidat, tapi masalahnya:

1. Mengapa banyak kandidat kepala daerah gagal meraih kemenangan

Pilkada?

2. Mengapa incumbent (kepala daerah yang memimpin) kalah bersaing

dengan new comer (kandidat pendatang baru)?

3. Mengapa kandidat kepala daerah yang sudah menggunakan konsultan

politik dengan biaya yang tidak sedikit, tapi tetap saja gagal meraih

kemenangan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya bisa dijawab dengan seberapa dekat

para Daeng Ical dan Danny Pomanto dengan masyarakat. Namun pertanyaan ini

lebih dimaksudkan agar sebelumnya kita perlu mengetahui terlebih dulu

bagaiamana seharusnya kita tampil di depan masyarakat. Untuk memimpin kota

Makassar, adakalanya membutuhkan strategi-strategi yang baik serta

Page 12: S2-2015-334455-introduction

menguntungkan. Pendekatan performance diyakini dapat membantu untuk

menghadapi masyarakat kota ini.

Berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya, strategic interaction

ala Evring Goffman lebih memberi penjelasan bahwa kehadiran setiap individu

akan memancarkan ekspresi mereka dan membutuhkan tempat khusus yang

kemudian memicu kedekatan. Yang dimaksud ini adalah kesan yang ditinggalkan

sebenarnya secara tidak langsung memberikan peluang bagi masyarakat untuk

menaruh harapan pada individu tadi. Dari persiapan dibalik back stage dan ruang

penonton pada saat front stage yang berbeda-beda dengan berbagai simbol yang

ada.

Penelitian ini diharapkan akan memudahkan untuk membaca salah satu

fenomena perpolitikan di kota Makassar tentang bagiamana dramaturgi seorang

politisi, dramaturgi pemimpin, dramaturgi politik kandidat dalam Pilkada (yang

menonjolkan pencitraan di setiap kampanye) serta mempelajari konteks dari

perilaku manusia tersebut dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk

mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Namun yang ingin dilihat oleh

penulis di sini adalah dramaturgi politik kadidat menjelang Pilkada dan sesudah

Pilkada. Apakah dalam interaksi politik ada “kesepakatan” perilaku yang

disetujui (baik antar internal aktor maupun masyarakat yang secara khusus

terlibat) yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud

interaksi tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu

kepada tercapainya kesepakatan tersebut.

Page 13: S2-2015-334455-introduction

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk

menjawab pertanyaan “Bagaimana dramaturgi dapat menjelaskan interaksi sosial

dan fenomena dibalik politik pemilukada di Kota Makassar periode 2014-2019

?”Adapun pertanyaan turunaan untuk menjawab pertanyaan umum tersebut

adalah:

1. Bagaimana performance Daeng Ical sebagai calon Wakil Walikota

Makassar periode 2014-2019 ketika di depan masyarakat berserta

dengan timnya ?

2. Simbol-simbol apa saja yang dibawakan oleh Daeng Ical dalam

mendukung performance nya ?

3. Bagaimana cara Daeng Ical menggunakan dan memanipulasi

simbol-simbol tersebut yang menguntungkan dirinya dalam rangka

memperoleh suara saat Pemilukada ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ingin menjelaskan penggunaan teori dramaturgi dengan

mengaitkan korelasinya dalam kehidupan politik Indonesia. Selain itu ada

beberapa misi yang ingin dicapai yaitu menjelaskan bagaimana seorang aktor

politisi bermain peran dan berinteraksi saat bersama rakyat dan simbol-simbol

yang digunakan untuk meraih dukungan masyarakat dalam ajang pemilihan

Walikota.

Page 14: S2-2015-334455-introduction

D. Literatur review

Yang membedakan penelitian ini dengan yang lain adalah perhatian

sentralnya yang terdapat pada saat sang aktor itu tampil dengan atributnya

layaknya sebuah teatrikal. Hal ini meliputi teknik-teknik yang digunakan para

aktor untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi masalah-masalah

yang mungkin mereka jumpai dan metode-metode yang mereka gunakan untuk

mengatasi masalah tersebut.

Ada beberapa hal yang penulis ambil dari beberapa bacaan karya milik

Goffman diantaranya “The Presentation of Self in Everyday life”, yaitu :

1) Meskipun Goffman benar-benar mendekati bagian depan dari stage

dramaturgi ini dan aspek-aspek lain sistemnya sebagai seorang interaksionis

simbolik, dia benar-benar mendiskusikan karakter strukturnya. Contohnya dia

berargumen bahwa bagian depan itu cenderung terlembaga, dan begitu juga

“representasi kolektif” muncul disekitar apa yang sedang berlangsung di dalam

suatu bagian depan tertentu.3 Sering kali para aktor mengambil peran-peran yang

sudah mapan, mereka menemukan bagian depan tertentu untuk disandiwarakan.

Hailnya Goffman berargumen, ialah bagian depan itu cenderung diseleksi, bukan

diciptakan. Ide tersebut menyampaikan gambaran struktural yang lebih banyak

yang lebih banyak daripada yang akan kita terima dari sebagian besar

interaksionis simbolik.

2) Meskipun ada pandangan struktural demikian, wawasan Goffman yang

paling menarik terletak pada ranah interaksi antara aktor dengan audiensnya. Dia

3Article ‘Backstage And Frontstage’ From Ashley Crossman, former About.comGuide

Page 15: S2-2015-334455-introduction

berargumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan suatu

gambaran diri yang diidealkan dalam sandiwara mereka di panggung bagian

depan, mau tidak mau mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan

berbagai hal di dalam sandiwara mereka.

Teknik lain yang digunakan oleh para pemain sandiwara adalah mistifikasi.

Seperti para aktor pejabat yang sering memistifikasi sandiwara mereka dengan

membatasi kontak di anatara mereka dan masyarakat.4 Dalam dramaturgi dengan

menghasilkan “jarak sosial” di antara diri mereka dan audiens, mereka mencoba

menciptakan suatu rasa kagum pada sang audiens. Jarak peran membahas derajat

ketika para individu memisahkan diri dari peran-peran mereka (Butera, 2008). Hal

itu, sebaliknya membuat audiens tidak mempertanyakan sandiwara itu. Lagi,

menurut Goffman menunjukan bahwa audiens terlibat di dalam proses ini dan

bahkan ia sendiri berusaha mempertahankan kredibilitas sandiwara itu dengan

menjaga jarak dari pemain sandiwara.

3) Salah satu wawasan kunci Goffman ialah bahwa jarak peran atau sosial

adalah suatu fungsi dari status sosial sesorang. Orang berstatus tinggi sering

mewujudkan jarak peran karena alasan-alasan yang lain dari orang yang berstatus

rendah.

Hal ini membawa minat Goffman pada “tim”. Bagi Goffman, sebagai

seseorang interaksionis simbolik, fokus pada para aktor individu mengeburkan

fakta-fakta penting tentang interaksi. Dengan demikian satuan analisis dasar

4Diambil dari artikel yang ditulis oleh Ahmad Olie Sopan tentang Teater dan Politik yang memberi poin tentang dunia politik yang diibaratkan layaknya dunia Teater lengkap dengan pemain dan panggungnya

Page 16: S2-2015-334455-introduction

Goffman bukan tentang individu tapi tim. Suatu tim adalah setiap sekumpulan

individu yang berkerja sama dalam mementaskan rutinitas tunggal.

Namun dari sekian poin Goffman, peneliti ingin memasuki pada celah

performing, penataan diri sang aktor atau penutur pada saat berinteraksi. Satu cara

pandang penutur sebagai konstruksi publik adalah melalui ungkapan “raut muka”

(face), yakni nilai positif sosial sesorang yang secara efektif menguasai dirinya

dengan jalur asumsi orang lain yang dapat diambil selama kontak tertentu.”

Sebagaimana Goffman (1967a:5) mencatat, raut muka dalam hal ini ekspresi

wajah masuk didalamnya mimik adalah sesuatu yang secara panjang dilokasikan

dalam alur peristiwa pertemuan dan menjadi terwujud hanya tatkala peristiwa

tersebut dibaca dan diinterpretasi untuk menghargai ekspresi dalam diri kita.

Sebagian besar kerja goffman terakhir pada penutur (1974; 1979) terbangun

atas pembagian awalnya (1959) yaitu antara karakter dan performer. Goffman

membedakan empat posisi, atau status partisipasi: animator, author, figure, dan

prinsipal. Walaupun posisi tersebut dapat disandang oleh orang yang berbeda,

individu tunggal dapat juga menyandang slot partisipasi berbeda: agar sederhana,

animator memproduk tuturan, author menciptakan tuturan, figur dipotret lewat

tuturan, dan prinsipal merespons tuturan. Setiap posisi di dalam kerangka kerja

partisipasi diasosiasikan dengan kodifikasi dan secara normatif dikhususkan pada

tingkah laku (Goffman, 1981a:3), hal seperti itu menjadikan kita mengakui

Page 17: S2-2015-334455-introduction

pergantian di antara animator, figur, author, dan prinsipal difasilitasi oleh

pengharapan normatif kita tentang ketepatan tingkah laku pada setiap posisi.5

Dalam Teori Sosiologis Modern, “Diri” mengutip (Bruder, 1998) merupakan

suatu konsep yang sangat penting bagi para interaksionis simbolik. Dalam

faktanya, Rock berargumen bahwa diri “membentuk bagian paling pusat kegiatan

skema intelektual para interaksionis. Semua proses sosiologis lainnya dan

peristiwa-peristiwa berputar di sekitar pusat kegiatan itu, mengambil darinya

makna analitis dan organisasinya” (1979 : 102). Dalam usaha memahami konsep

itu di luar formulasi meadiannya yang semula, pertama kita harus memahami ide

diri-cermin yang dikembangkan oleh Chares Horton Cooley (Franks dan Gecas,

1992). Cooley mendefinisikan konsep tersebut sebagai :

Suatu imajinasi yang cukup pasti mengenai bagaimana diri seseorang, yakni

ide apapun yang sesuai dengan dirinya tampak dalam suatu pikiran khusus

dan jenis perasaan diri yang dimiliki seseorang ditentukan oleh sikap ke arah

ide tersebut yang ditunjukan ke pikiran orang lain. Jadi di dalam imajinasi

kita merasakan di dalam pikiran orang lain suatu pemikiran atas penampilan

kita, kelakuan kita, tujuan-tujuan kita, perbuatan kita, karakter kita, teman-

teman kita, dan seterusnya, dan dipengaruhi olehnya secara bervariasi.

(Cooley, 1902/1964: 169)6

5Performing the state, menjelaskan bahwa ada distinguishes antara ‘state system’ dari ‘state idea’ Philip Abrams (1988), hal ini berkaitan dengan posisi yang berbeda-beda dari sebuah unit dan bergantung pada kita memperlakukannya. 6Lihat teori sosiology edisi kedelapan karya George Ritzer,hal.633 tentang diri dan karya Erving Goffman.

Page 18: S2-2015-334455-introduction

Selain itu sebuah karya Mead yang paling terkenal berjudul Mind, Self, and

Society (Mead:1934), menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam

menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal pertama

yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama

lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan

interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan

dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Makna berasal dari

interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama, “pikiran” dan “diri”

timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal-balik antara

masyarakat, pengalaman individu, dan interaksi menjadi bahan bagi penelaahan

dalam tradisi interaksionisme simbolik seperti ringkasan Holstein dan Gubrium

berikut ini (Elvinaro, 2007:136) :

“Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-

orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi

satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial,

yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia

menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat, dan

hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka”.

Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk

menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial.

Contohnya Mead berbicara tentang simbol signifikan (significant symbols) dengan

makna yang sama dalam diri sebuah masyarakat. Tanpa sistem penyimbolan yang

sama, aksi yang terkoordinasi adalah tidak mungkin.

Page 19: S2-2015-334455-introduction

Konsep Cooley atas “diri-cermin” dan konsep Mead tentang “diri” penting

dalam pengembangan konsepsi interaksionis simbolik modern mengenai diri.7

Blumer mendefiniskan diri dalam istilah-istilah yang sangat sederhana: “tidak ada

yang esoterik yang dimaksud dengan ungkapan ini (diri)”.

Ide mengenai diri-cermin dapat dipecah menjadi tiga komponen. Pertama,

kita membayangkan bagaimana kita tampak dihadapan orang lain. Kedua, kita

membayangkan apa yang mereka pertimbangkan atas yang seharusnya. Ketiga,

kita mengembangkan suatu perasaan diri, seperti kebanggan atau rasa malu,

sebagai hasil dari imajinasi kita atas pertimbangan-pertimbangan orang lain.

Hal itu hanya berarti bahwa manusia dapat menjadi objek dari tindakannya

sendiri. Dia bertindak ke arah dirinya sendiri dan menuntun dirinya di dalam

tindakan-tindakannya ke arah orang lain berdasarkan jenis objek apakah dia bagi

dirinya sendiri (Perinbanayagam, 1985)”. Seperti halnya Clifford Geertz yang

menyebut Bali sebagai Negara Teater bukan mengenai seperangkat struktur

birokrasi, feodal, maupun patrimonal dan lain-lain. Namun merupakan seremoni,

pesta adat, dan arak-arakkan yang mengandung unsur kemewahan. Negara teater

diperintah bukan melalui kekuatan maupun paksaan, namun melalui ritual dan

simbol-simbol.

Sedangkan dalam pengertian Goffman (bentuk perbandingan) mengenai diri

dibentuk oleh pendekatan dramatugisnya (Alieva, 2008). Bagi Goffman dalam

karyanya (seperti halnya Mead dan sebagian besar interaksionis simbolik), diri

adalah:

7http://www.sitronspost.com/edu/soc/Goffman/goffman6.html

Page 20: S2-2015-334455-introduction

Bukan suatu hal organik yang mempunyai lokasi spesifik.. dalam

menganilisis diri kita ditarik dari pemiliknya, dari orang yang paling banyak

mendapat keuntungan atau kerugian olehnya, karena dia dan tubuhnya

(Goffman, 1959 : 252-253)8

Goffman menyadari bahwa diri bukan milik sang aktor, tetapi lebih tepatnya

sebagai produk dari interaksi dramatik antara aktor dan audiens. Mengutip tulisan

George Ritzer, Diri “adalah suatu efek dramatik yang sedang muncul.. dari suatu

adegan yang disajikan” (Goffman, 1959 : 25).9 Karena diri adalah suatu produk

interaksi dramatik, diri rapuh terhadap kekacauan yang terjadi selama

berlangsungnya sandiwara (Misztal, 2001).

Sehingga penulis melihat hal yang mempengaruhi masyarakat adalah bukan

tentang kuasa, materi, maupun jejaring sosial akan tetapi apa saja simbol yang

mendukungnya pada saat sandiwaranya di panggung. Namun, sebagaimana

tertuang dalam Schiffrin (1990c), konsep kerangka (Goffman, 1974) dan footing

memerhatikan “penjajaran kisaran kita dan orang lain menyajikan sebagai

ekspresi dengan cara kita mengolah produksi atau represi turunan” (Goffman

1981c:128;) penekanan saya.

Dramaturgi Goffman berkenaan dengan proses pencegahan dan

penanggulangan gangguan-gangguan semacam itu. Meskipun himpunan besar

diskusinya berfokus pada kontingensi-kontingensi dramaturgis, Goffman

menunjukkan bahwa sebagaian besar sandiwara berhasil. Hasilnya ialah bahwa di

8Lihat teori sosiology edisi kedelapan karya George Ritzer,hal.636 tentang karya Erving Goffman 9teori sosiology edisi kedelapan karya George Ritzer,hal.637.

Page 21: S2-2015-334455-introduction

dalam suasana sehari-hari, diri seseorang selaras dengan para pemain sandiwara,

dan ia “tampak” berasal dari sang pemain sandiwara.

Sebagai seorang performer Daeng Ical memerlukan atribut tertentu agar

theatrical performance dapat berhasil. Atribut tersebut diolah dalam, apa yang

disebut Goffman, seni “mengelola kesan” (impression management). Artinya

performer dituntut harus menampilkan kesan yang bertanggung jawab. Seperti

yang dijelaskan oleh Goffman bahwa tindakan yang kurang berhati-hati, misalnya

dengan isyarat-isyarat yang tidak diharapkan (unmeant gestures), gangguan yang

mengacaukan (inopportune intrusions) atau langkah yang salah (faux pas) akan

memberikan tidak pantas pada saat pertunjukkan (Goffman, 1959: 208-210).

Saat individu menampilkan dirinya dia tahu dan secara sadar

mendefinisikan dirinya berada dalam bagian situasi penting. Ketika terjadi

ketidakseimbangan atau hambatan, akan membuat situasi tidak bisa lagi

didefinisikan dan tidak dapat diatur (Goffman, 1959: 242-243).

Dalam perspektif sosiologis, menurut Newcomb (1985: 119), perubahan

sikap suatu masyarakat pada umumnya dipengaruhi oleh adanya informasi baru

yang dipandang relevan dengan tuntutan kondisional, kapan dan di mana

informasi baru itu diterima. Berbeda dengan Apter pandangan James Anderson

(1984 :13-15), mengatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi dasar ukuran

seseorang dalam pengambilan keputusan seseorang adalah nilai-nilai (ideological

values) yang diyakini oleh suatu kebutuhan masyarakat tertentu.

Kaitannya dengan tesis ini, ingin membuktikan bahwa ketika Daeng Ical

selaku aktor berinteraksi, ia ingin menyajikan suatu pengertian diri tertentu yang

Page 22: S2-2015-334455-introduction

akan diterima oleh orang lain. Apakah di sini ada sebuah kesepakatan tertentu

pada saat dia bersama timnya di panggung belakang. Akan tetapi, bahkan selagi

menyajikan diri itu, para aktor sadar bahwa para anggota audience dapat

mengganggu sandiwara para aktor ini. Demikian, suasana sandiwara Pilkada di

kota Makassar ini memang sewaktu-waktu dapat mengalami ketidaksesuaian

cerita (manajemen kesan), untuk membuat kampanyenya benar-benar hidup

dimata masyarakat.

E. Kerangka Teori

Sebelumnya penulis telah sepakat menggunakan teori interaksionisme

simbolik dari Herbert Mead agar kemudian dapat membantu menjelaskan

pendekatan Goffman tentang dramaturgi sehingga penulis bisa merincikan unsur-

unsur apa saja dalam interaksi dramaturgi dan simbol seperti apa yang digunakan

dalam memanipulasi adegan Daeng Ical serta dapat dimaknai bersama, baik saat

di depan masyarakat yang merupakan panggung sebenarnya atau saat berada di

panggung belakang yakni tempat merekayasa penampilannya.

Teori Interaksionisme Simbolik oleh Herbert Mead

Dalam menganalisa teori dramaturgi, akan dibantu oleh teori dari orang

yang diidentifikasikan sebagai Bapak Teori Interaksionisme Simbolik yaitu

George Herbert Mead. Usahanya telah mempengaruhi banyak sarjana yang

menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang

diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial.

Page 23: S2-2015-334455-introduction

Simbol, jika kita menggunakan simbol berarti kita telah mengetahui apa

yang akan dilakukan, apa yang diungkapkan oleh simbol tersebut dan percaya

bahwa orang-orang yang diajak berkomunikasi (interaksi) juga mengertinya.

Interaksi yang dilakukan antar-individu itu berlangsung secara sadar.

Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal,

gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut

dengan “simbol”. Teori interaksi simbolik sering disebut juga sebagai teori

sosiologi interpretatif. Selain itu, teori ini ternyata sangat dipengaruhi oleh ilmu

psikologi, khususnya psikologi sosial. Teori ini juga didasarkan pada persoalan

diri.

Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang

lain yang signifikan (significant others), yaitu “orang yang berpengaruh dalam

kehidupan anda”, lalu orang lain yang digeneralisasikan (generalized others)

yakni konsep Anda tentang bagaimana orang lain merasakan Anda, dan “tata cara

yang dipakai” (role taking) yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang

lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk

menyediakan sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan

kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam

sebuah konstruksi sosial masyarakat.

Oleh karenanya teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan

kepada defenisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan

definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk

yang cocok, menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan

Page 24: S2-2015-334455-introduction

juga pola interaksinya dibimbing oleh defenisi bersama yang sedemikian itu dan

dikonstruksikan melalui proses interaksi.

Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi

simbolik, yaitu: (1) perilaku manusia mempunyai makna di balik yang

menggejala; (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada inteaksi sosial

manusia; (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak

terpisah, tidak linear, dan tidak terduga; (4) lalu perilaku manusia itu berlaku

berdasar penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan,

dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis; (5) konsep

mental manusia itu berkembang dialektik; dan (6) perilaku manusia itu wajar dan

kostruktif reaktif.

Blummer (1969 : 2) mengemukakan tiga buah premis sederhana yang

menjadi dasar interaksionisme simbolik, ketiganya berfungsi sebagai ringkasan

tentang filosofis teoritis dari interaksionisme simbolik. Pertama, manusia

bertindak terhadap hal-hal atas dasar makna yang dimiliki oleh hal-hal tersebut.

Kedua, makna itu berkaitan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan

seseorang dengan teman-temannya. Ketiga, makna ini diciptakan, dipertahankan,

dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang-orang

tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia hadapi. Hal yang paling dasar

dari interaksionisme simbolik adalah dua karakteristik yang sangat penting.

Perilaku manusia berbeda dengan yang lain, bersifat “sosial” dan terdiri dari

“tindakan”. Oleh karena itu, manusia secara inheren adalah organisme yang aktif

Page 25: S2-2015-334455-introduction

secara sosial yang proses penafsirannya, yakni kemampuan simbolisnya

membuatnya menjadi makhluk yang unik (Ritzer, 2004:341).

Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam

suatu perkembangan yang bersifat proses dalam komunikasi manusia.

Dimungkinkan implikasi yang paling penting dari perspektif interaksionisme

simbolik bagi studi komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan

pemberian penekanan pada metodologi penelitian, implikasinya yang pertama

mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang dijalankan oleh

peneliti. Daripada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya

berat sebelah, tidak bias, dan tidak tertarik atas fenomena empiris, peneliti

interaksional menjalankan perannya sebagai seorang pengamat partisipan dalam

melaksanakan penelitiannya. Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar

dapat menemukan sudut pandang subjek penelitian.

Sebelum membahas kasus perpolitikan di Indonesia khususnya pada Pemilu

di kota Makassar, penulis akan memaparkan lebih dalam tentang teori dramaturgi,

bagaimanakah cara kerja pendekatan dari teori ini, poin-poin apa sajakah yang

penting dan membantu menjelaskan penulis dalam menyelesaikan tesis ini, serta

mengapa penulis mengambil kasus di Makassar sebagai contoh dalam

menggunakan teori dramaturgi ini.

Teori Dramaturgi

Dramaturgi ala Goffman

Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil

dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi

Page 26: S2-2015-334455-introduction

yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi

dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana cara kita menguasai

interaksi tersebut (Littlejohn, 1996 : 165).

Menurut Goffman dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak secara

sengaja maupun tidak membuat pernyataan (expression) kemudian pihak lain

memperoleh (imperssion) kesan. Goffman membedakan dua pernyataan

(expression), pertama tentang pernyataan yang diberikan (expression given) dan

yang kedua pernyataan yang dilepaskan. Pernyataan yang diberikan merupakan

pernyataan yang dimaksud memberikan informasi sesuai dengan apa yang

lazimnya berlaku. Pernyataan terlepas atau dilepaskan. Pada sisi lain mengandung

informasi yang menurut orang lain memperlihatkan ciri si pembuat pernyataan,

misalnya pada seseorang yang menyampaikan terima kasih dengan wajah yang

masam, dengan begitu ucapan terima kasih merupakan hal yang seharusnya dan

pernyataan masam merupakan pernyataan yang keluar dari perasaannya yang asli.

Pernyataan yang diberikan dan yang dilepas dapat saling mendukung misalnya

pernyataan sedih yang diberikan dan pernyataan yang dilepaskan adalah

bagaimana menangis dan berwajah murung.

Dikala menyajikan penampilan di kawasan depan, tim berusaha menjaga

solidaritas dan menutupi kesalahan anggota tim. Dalam interaksi para pelaku

berusaha menonjolkan kesapakatan, tempat kegiatan yang sedang berlangsung

dikeliling hambatan terhadap persepsi dinamakan social estabilisment.

Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton yang melihat kita dan

kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk

Page 27: S2-2015-334455-introduction

memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari

perilaku kita. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di

belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga para

aktor dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang

harus mereka bawakan.

Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan

mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain.

Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking

character”. Dengan konsep dramaturgi dan permainan peran yang dilakukan oleh

manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian

memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada

latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat

yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan.

Dramaturgi, menjelaskan bagaimana orang ber-performance sehari-hari

seperti sebuah teater, dan mengutamakan seseorang melakukan berbagai

theatrical performance di “front stage” (wilayah publik) atau “back stage”

(wilayah privat) dalam rangka resistensi, adaptasi, atau negosiasi.

Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah

realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang

berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai

kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam

permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.

Page 28: S2-2015-334455-introduction

Performance sang aktor

Satu cara pandang penutur sebagai konstruksi publik adalah melalui

ungkapan “raut muka” (face), yakni “nilai positif sosial sesorang yang secara

efektif menguasai dirinya dengan jalur asumsi orang lain yang dapat diambil

selama kontak tertentu.” Sebagaimana Goffman (1967a:5) mencatat, raut muka

dalam hal ini ekspresi wajah masuk di dalamnya mimik adalah sesuatu yang

secara panjang dilokasikan dalam alur peristiwa pertemuan dan menjadi terwujud

hanya tatkala peristiwa tersebut dibaca dan diinterpretasi untuk menghargai

ekspresi dalam diri kita.

Kontribusi untuk perawatan raut muka (face) adalah ritual interpersonal,

ritual peghindaran (“bentuk-bentuk perbedaan tersebut yang menuntun aktor

memlihara jarak dari penerima”; Goffman (1967b:62) dan ritual presentasional

(“tindak melalui individual memberikan pengesahan khusus untuk penerima

memperhatikan bagaimana dia peduli pada mereka”; Goffman 1967b:71).

Kesimpulan dari semuanya bermula dari raut muka, ekspresi, dan simbol adalah

Penampilan. Peneliti dalam kasus ini akan melihat suasana pertunjukan saat

interaksi politik itu terjadi. Hal yang belum dijelaskan secara detail oleh Goffman.

Benar ada jarak, kesan, pertunjukkan, dan lainnya. Namun bagaimana jika itu

berkumpul membentuk kesatuan dan terjadi di saat bersamaan dalam panggung

depan dan belakang. Peneliti akan mencoba memilah antar setiap event. Dan

mengelompokkannya menjadi performing disaat back maupun front stage. Dan

cara aktor melakukannya dengan simbol yang digunakan untuk membawa

kekuatan politiknya dan mempengaruhi perilaku pemilih khususnya.

Page 29: S2-2015-334455-introduction

Kemudian pada penyajiannya seseorang bisa mengubah fashion (gaya ,

penampilan : pakaian, benda yang melekat di tubuh manusia) sebagai simbol/

lambang, menjadi lebih modern atau merakyat (kasus Deeng Ical), atau

pengaturan panggung sehingga dikenal lebih intelektual, atau tetap stylish saat di

depan publik.

Dalam salah satu buku yang telah dibaca penulis yang berjudul

“Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan B.J. Habibie”, menjelaskan bahwa

dalam pertemuan tatap muka antarpribadi, kharisma yang memukau setiap orang.

Ucapannya jelas dan dipertegas dengan bahasa non-verbal, khususnya bahasa

wajah atau yang mempesona dengan sorot mata yang memancarkan kejujuran,

keyakinan, antusiasme, dan wibawa. Bila orang berbicara dengannya, ia diam

mendengarkan dengan penuh perhatian dan terkadang memberikan tanggapan,

tidak bedanya seperti mengikuti buku instruksi tentang “active listening”, sampai

orang itu selesai. Dari pengalaman beberapa orang yang bertemu dengannya untuk

pertama kali, dapat disimpulkan bahwa mereka dapat belajar banyak dari Habibie

bukan saja dari kata-kata yang diucapkan yang diperkuat dengan bahasa non-

verbal tetapi juga cara dia memperlakukan orang lain dengan santun, penuh

perhatian dan iklim suportif. Dengan begitu, mereka bertambah percaya diri, serta

memiliki kesan dan kepercayaan yang makin mendalam tentang ‘kharisma’

Habibie.

Seperti juga yang dikemukakan Mead tentang komunikasi, bentuk paling

sederhana dan paling pokok dalam komunikasi dilakukan melaui isyarat. Hal ini

disebabkan karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendirinya dan

Page 30: S2-2015-334455-introduction

melihat tindakan-tindakannya sebagaimana orang lain dapat melihatnya. Lebih

khususnya lagi, komunikasi simbolis manusia itu tidak terbatas pada isyarat-

isyarat fisik. Sebaliknya, ia menggunakan kata-kata, yakni simbol suara yang

mengandung arti dan dipahami bersama dan bersifat standar.

Suatu konsep yang memandang masyarakat dibentuk oleh suatu pertukaran

gerak tubuh dan bahasa (simbol) yang mewakili proses mental. Simbol atau tanda

yang diberikan oleh manusia dalam melakukan interaksi mempunyai makna-

makna tertentu, sehingga akan dapat menimbulkan komunikasi. Menurut Mead,

komunikasi secara murni baru terjadi bila masing-masing pihak tidak saja

memberikan makna terhadap perilaku mereka sendiri, tetapi memahami atau

berusaha memahami makna yang diberikan pihak lain.

Interaksi manusia milik Goffman tidak serta merta melihat dari sisi sosiologi

namun telah bermakna politik dan dimanfaatkan sebagai cara berpolitik

‘meaning’. Terdapat penggunaan simbol-simbol (ekspresi, slogan, atribut partai,

gaya berpenampilan, cara berkomunikasi (gaya bahasa), dan tim sukses) untuk

pemilihan Walikota Makassar nanti. Inilah cara tim Daeng Ical beserta

pasangannya “DIA” menggunakan simbol-simbol tersebut, dan merepresentasikan

apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya dan

dengan masyarakat.

Dalam kapasitas manusia, proses penyimbolan yang terjadi: (i) melihat hal-

hal tidak sebagai adanya melainkan sebagai sesuatu yang mungkin telah berada di

masa lalu dan mungkin akan ada di masa depan; (ii) menggunakan suara atau

gambar di atas kertas sebagai tanda konvensional dan dengan begitu

Page 31: S2-2015-334455-introduction

berkomunikasi dengan orang-orang lain; (iii) melalui fungsi-fungsi penciptaan

dunia tidak pernah ada dalam relitas fisik. Singkat kata, kemampuan menciptakan

lambang, menggunakan lambang, dan pertukaran lambang merupakan inti dari

hakikat manusia.

Pada bagian belakang penulis akan menjelaskan bagaimana Daeng Ical

sebagai Daeng merancang desain awal aktor tersebut bersama Timnya bekerja

pada saat performing.

Kemudian fokus panggung depan yaitu penampilan Daeng Ical itu sendiri

pada event-event yang berbeda dan respon masyarakat dengan adanya penampilan

tersebut. Ini yang kemudian menjadi alasan mengapa penulis mengambil metode

etnografi dalam penelitiannya. Etnografi selalu menggunakan hal yang dikatakan

oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan orang tersebut.

Kebudayaan yang implisit maupun yang eksplisit, terungkap melalui perkataan,

baik dalam komentar sederhana maupun dalam wawancara panjang. Wawancara

etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara mengenai hal

yang mereka ketahui. Bahasa, tingkah laku, gerak-gerik ini secara tidak langsung

menjadi penilaian penting dalam penelitian etnografi melalui wawancara.

Dalam performance ada tiga hal yang dilihat:

a. Aktor : Daeng Ical, sang aktor memainkan perannya sesuai skenario

diikuti dengan beberapa daya tarik yang menjadi ciri khas aktor tersebut.

Daya tarik inilah yang penulis kategorikan sebagai simbol Mead, dapat

berupa kostum yang ia kenakan, perilaku, gerak tubuh, benda yang

digunakan.

Page 32: S2-2015-334455-introduction

b. Panggung : panggung dianalogikan dengan wilayah kota Makassar yang

menjadi lokasi pertunjukkan sang aktor.

c. Back Stage : menjadi simbol dimana sang aktor melepas kostumnya,

atributnya, skenarionya dan kembali menjadi dirinya yang asli (bersama

keluarga dan jabatannya sebagai ketua PMI.

Sejumlah “Theatrical Performance” yang menjadi unsur penting dan telah

diperankan oleh Daeng Ical :

• Pertama, menggunakan kostum yang selalu menarik perhatian,

berbeda dan kesannya kadang tidak terlalu formal, dengan atribut, tim

sobat muda, komunitas motor, serta seragam warna yang mencolok

dengan masyarakat kota Makassar.

• Kedua, Daeng Ical memperlihatkan bahasa tubuhnya yang dinamis.

Kadang sangat bermakna politis, sebagai simbol negosiasi dan calon

seorang pemimpin.

• Ketiga, sebagai seorang kandidat Wakil Walikota Makassar, Daeng Ical

memperlihatkan pesonanya sebagai salah satu daya tarik. Kharisma

yang dimiliki layaknya kontestasi kharisma dalam mengikat

konstituennya.

• Keempat, kematangan berpikir dan cara berkomunikasi (linguistik)

sehingga meninggalkan kesan bersahabat dengan masyarakat.

• Kelima, Daeng Ical mengekspresikan diri melalui wajahnya

(ekspresif).

Page 33: S2-2015-334455-introduction

• Keenam, settingan yang dilakukan oleh Daeng Ical yang sangat

Makassar (Makassari), mencerminkan kesimbolannya “diri”.

Berikut skema setiap performing politiknya Daeng Ical yang dirancang

untuk diteliti pada setiap kegiatan calon Wakil dan Walikota Makassar menuju

Pemilu September 2013 nanti.

Misal: Event X

Back Stage

simbol simbol simbol

stage 1 stage 2 stage 3

Front Stage

Performance

Gambar 1

Tim sukses dan rekan politik

Tim sukses dan rekan politik

Tim sukses dan rekan politik

Calon Wakil Walkot Makassar (Daeng Ical)

Calon Wakil Walkot Makassar (Daeng Ical)

Calon Wakil Walkot Makassar (Daeng Ical)

Audience III (masyarakat

Makassar (warga

lorong))

Audience II

(anak muda Makassar)

Audience I (para

Mahasiswa dan alumni Fisip,Unhas)

Page 34: S2-2015-334455-introduction

Perlu diketahui bahwa dalam memerankan cerita dalam pangungnya Daeng

Ical, ia memanfaatkan beberapa panggung yang merupakan lokasi hasil seleksi

dari timnya. Hal-hal yang diciptakan oleh Daeng Ical selaku penentu tujuan cerita

antara lain : gestur, intonasi dan atmosfir. Semuanya akan disesuaikan ketika

Daeng Ical bertemu dengan masyarakat yang berbeda-beda.

Prinsip metodologi interaksi simbolik (dikaitkan dengan performance

Daeng Ical) sebagai berikut; (1) simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila

kita hanya merekam fakta. Peneliti harus mencari yang lebih jauh dari itu, yakni

mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan makna sebenarnya yang

terjadi pada saat berhadapan dengan masyarakat Makassar beserta timnya. (2)

Karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subyek

perlu “ditangkap”. Pemahaman mengenai konsep jati diri subyek yang demikian

itu adalah penting. (3) Peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dan jati

diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. Konsep jati diri terkait

dengan konsep sosiologis tentang struktur sosial, dan lainnya. (4) Hendaknya

direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya

merekam fakta sosial. (5) Metode-metode yang digunakan hendaknya mampu

merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. (6) Metode yang dipakai hendaknya

mampu menangkap makna di balik interaksi. (7) Sensitizing, yaitu sekedar

mengarahkan pemikiran, itu yang cocok dengan interaksionalise simbolik, dan

ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih

operasional, menjadi scientific concepts.

Page 35: S2-2015-334455-introduction

Pernyataan Erving Goffman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

interaksi. Pendekatan dramaturgi yang menggunakan bahasa dan khayalan teater

untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari suatu interaksi sosial.

Dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak, secara sengaja maupun tidak,

salah satu pihak membuat pernyataan atau ekspresi dan pihak lainnya memperoleh

kesan tertentu dari perjumpaan itu.

F. Metode Penelitian

Sebelumnya penulis akan menjelaskan mengapa penelitian ini mengambil

teknik etnografi untuk mengambil data di lapangan. Mengingat penulisan ini

adalah untuk menggunakan sekaligus membuktikan teori dramaturgi yang

didalamnya terdapat teori interaksi simbolik milik Mead, maka semua kata yang

digunakan informan dalam menjawab pertanyaan bagi penulis adalah simbol-

simbol. Cara informan berpakaian juga merupakan simbol, sebagaimana juga

ekspresi wajahnya serta gerakan tangannya. Simbol adalah objek atau peristiwa

apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur, yakni

simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan

rujukan. Simbol yang dibahas dalam tesis ini adalah penampilan meliputi bahasa,

tingkah laku/tindakan, dan aktivitas Daeng Ical.

Dalam buku“A Hand Book of Methodologies For Mass Communication

Research”, Jensen dan Jankowski menempatkan etnografi sebagai sebuah

pendekatan. Sehingga peneliti menggunakan Etnografi sebagai merode penelitian.

Metode etnografi adalah suatu metode penelitian yang mengamati, mengobservasi

tingkah laku konsumen dan prospek langsung dalam keseharian mereka

Page 36: S2-2015-334455-introduction

berinteraksi. Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data tetapi

sebuah cara untuk mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi. Menurut

Hammersley dan Atkinson (1983: 2 dalam Jansen and jankowski, 1991: 153),

etnografi dapat dipahami sebagai sebuh metode sosial. Etnografi merupakan suatu

pernyataan teoretis tentang orang-orang yang diteliti, sebuah teori sebuah

budaya. Etnografi dirancang untuk menjadi bagian dari kumpulan pengetahuan

komparatif mengenai hubungan masyarakat.

Sebagai metode penelitian, etnografi memiliki beberapa teori dasar yang

dapat dijadikan pijakan untuk memperkuat posisi etnografis secara metodis. Teori-

teori dimaksud adalah teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi,

termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi. Keberadaan teori tersebut dapat

dijadikan penopang etnografi karena perhatiannya pada aspek budaya dalam

kehidupan individu dan masyarakat.10 Teori interaksionisme simbolik misalnya

lebih melihat budaya sebagai sistem simbolik dimana makna tidak berada dalam

benak manusia, tapi makna dan simbol itu terbagai actor sosial di antara, bukan di

dalam dan mereka adalah umum tidak mempribadi. Budaya merupakan lambang-

lambang makna yang terbagi secara bersama. Budaya juga merupakan

pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan pengalaman dan

menyimpulkan perilaku sosial (Spradley, 1979).

10Dalam studi tingkah laku, etnografi mempunyai peranan yang penting, beberapa sumbangannya yang khas yaitu : - menginformasikan teori-teori ikatan budaya,- memahami masyarakat yang kompleks,- menemukan Grounded Theory,- memahami perilaku manusia (yang menjadi titik fokus penelitian)

Page 37: S2-2015-334455-introduction

Etnografi secara alami dipandang sebagai penyelidikan mengenai aktivitas

hidup manusia. Oleh Greetz disebut sebagai “informal logic of actual life”.

Berbasis pandangan ini, seharusnya etnografi mampu menghasilkan deskripsi

secara detail dari pengalaman kongkrit dengan latar budaya dan aturan sosial

tertentu, pola-pola yang ada di dalamnya bukan berpatokan pada hukum yang

universal.11

Dalam kajian sosiologi, etnografi digunakan untuk meneliti kelompok atau

komunitas relasi-interaksi manusia individu atau masyarakat berkaitan dengan

perkembangan sosial dan budaya tertentu yang didasarkan atas kajian-kajian dan

teori yang dipakai, misalnya penelitian mengenai anak-anak jalanan, pengamen

dan lain sebagainya.

Mengambil contoh penelitian Amalinda Savirani yang juga menggunakan

metode Etnografi yang berjudul “Praktek Etika Bisnis Di Kalangan Pengusaha

Batik Muslim”, metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi

secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory

participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena

mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau

komunitas sosial tertentu. Sehingga hal ini membuat peneliti mengangkat

etnografi sebagai metode pengambilan data.Dalam karyanya, terlihat betapa salah

satu dosen Fisipol UGM ini menggunakan kata-kata yang mendeskripsikan

masalah dengan detail yang amat jelas dan terkesan dan memang menggunakan

high level definition. Dalam penulisannya, Amalinda mencoba menjelaskan

11 Ibid, 8 etnografi selalu mendeskripsikan hal yang bersifat umum

Page 38: S2-2015-334455-introduction

tentang konsep sosial budaya yang luas dari hasil penelitiannya, dan dengan baik

pembaca mudah memahami rangakain kalimanya.

Penulis dapat simpulkan bahwa dalam penelitian etnografi, peneliti berusaha

untuk mempelajari suatu kelompok budaya selama periode waktu yang lama

dengan mengumpulkan data melalui observasi. Proses penelitian bisa fleksibel

dan berkembang secara kontekstual sesuai dengan realita yang ditemui di

lapangan. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku,

kebiasaan, dan cara hidup. Karena penulis yang berada di lapangan berproses dan

menghasilkan sebuah kesimpulan akhir dari sebuah penelitian. Sebagai proses,

penulis melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok,

dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup

responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok

tersebut. Penulis yang waktu itu sebagai peneliti mempelajari arti atau makna dari

setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok kandidat nomor 8.

Mengapa peneliti mengambil etnografi, karena peneliti sehubungan dengan

studi kasus yang ada ingin mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku,

bahasa, dan interaksi Daeng Ical dalam masyarakat kota Makassar. Dalam

pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau

melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. (Participant

observation, life history), yang kemudian diperdalam dengan indepth interview

terhadap masing-masing individu dalam kelompok tersebut.

Namun tidak seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama

ini belum banyak buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi,

Page 39: S2-2015-334455-introduction

khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi oleh

para peneliti dalam kajian komunikasi, sosiologi dan keilmuan lain walaupun

diakui sumbangsihnya dalam menyediakan refleksi mengenai masyarakat dan

perkembangan budaya masyarakat terhitung tidak sedikit. Beberapa keunikan dan

fenomena yang mengikuti eksistensi metode penelitian etnografi dalam sosiologi

ini membuat peneliti meliriknya sebagai salah satu metode yang laik dikenalkan,

dikembangkan, dan dirujuk dalam penelitian.

Etnografi bukanlah penelitian yang semata-mata pekerjaan lapangan,

etnografi juga bukan semata-mata sebuah deskripsi kisah,12 atau laporan tertulis

mengenai individu atau satu kelompok masyarakat yang dihasilkan oleh peneliti

yang melewatkan periode waktu tertentu guna membenamkan diri dalam konteks

individu dan kelompok atau komunitas yang diteliti, dengan tujuan

menggambarkan realitas sosial dan budaya individu dan kelompok sehingga dapat

dipahami oleh pembaca etnografi. Akan tetapi dalam studi etnografi dalam

penelitian ini, peneliti akan menemukan gejala, faktor dan tingkah laku seperti apa

yang menjadi dampak oleh interaksi sang aktor/tokoh masyarakat dengan

masyarakatnya.

Adapun unit analisis utama penulis dalam tesis ini adalah masyarakat dan

aktor, tindakan dan interaksi mereka. Tekniknya adalah teknik kualitatif melalui

tahap-tahap pengkajian data, mereduksi data dan memeriksa keabsahan data.

Setelah data dikumpulkan, dianalisis, kemudian dilakukan interpretasi data.

12 James P. Spradley, “Metode Etnografi” hal. 88 menjelaskan mengenai sifat dari metode etnografi

Page 40: S2-2015-334455-introduction

Tujuan interpretasi data adalah mendeskripsikan fakta yang ada, mendeskripsikan

data secara analitik dan menyusun teori subtantif atau teori yang disusun dari

dasar atau dari data (Moleong, 1994).

F. 1. Lokasi dan Subyek Penelitian

F.1.1 Lokasi Penelitian

Studi ini dilakukan di kota Makassar mengingat lokasi penelitian

mengambil setting pada tempat diadakannya Pemilu. Sedangkan penentuan

subyek penelitian didasarkan pada aktor yang diyakini memang secara tidak

langsung berpengaruh pada pemilih-pemilih pemula. Sehingga bagaimana Daeng

Ical ini berhadapan dengan kategori selain pemilih pemula. Menarik ditelusuri

settingan, performance, panggung, dan interaksi yang terjadi melibatkan informan

ini.

Alasan peneliti memilih lokasi penelitian di kota Makassar dikarenakan:

1. Pilkada berlangsung di Kota Makassar

2. Semua informan dalam penelitian ini berada dan berdomisili di Kota Makassar.

Selain itu, alasan peneliti memilih kota Makassar sebagai lokasi penelitian

dikarenakan kota Makassar cenderung menjadi sentral perpolitikan di Sulawesi

Selatan.

Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini meliputi:

1. Calon Wakil Walikota Kota Makassar 2014-2019 “Syamsu Rizal”.

2. Tim sukses Syamsu Rizal.

3. Anggota partai politik pengusung Syamsu Rizal.

Page 41: S2-2015-334455-introduction

4. Pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan

yang diadakan oleh calon Wakil Walikota.

F.2. Teknik pengumpulan data

F.2.1 Alur Penelitian

Secara prosedural, alur penelitian etnografi cukup beragam, namun alur

penelitian etnografi yang digunakan oleh penulis ialah yang cukup baik

disampaikan oleh Spradley. Alur ini dikenal dengan nama siklus penelitian

etnografi sehingga peneliti mengambil alur ini sebagai pemandu peneliti di

lapangan nanti.

Pertama, pemilihan suatu proyek etnografi. Siklus ini dimulai dengan

memilih suatu proyek penelitian etnografi dengan mempertimbangkan ruang

lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dapat berjarak sepanjang satu

kontinum dari etnografi makro ke etnografi mikro. Makro etnografi dalam

konteks ini dapat berupa: kompleksitas masyarakat, multipleksitas komunitas,

studi komunitas tunggal, multipleksitas institusi-institusi sosial, institusi sosial

tunggal, dan multipleksitas situasi sosial. Sementara mikro etnografi berupa

situasi sosial tunggal. Penelitian makro etnografi biasanya memerlukan waktu

yang panjang dan melibatkan banyak etnografer. Sementara etnografi mikro bisa

dilakukan dalam waktu yang singkat. Untuk memandu bagaimana pemilihan suatu

fokus proyek etnografi, Hymes mengidentifikasi tiga model penelitian etnografi,

yaitu (1) Etnografi koprehensif, mencari dokumen suatu jalan total kehidupan.

Peneliti melakukan penelitian sebuah desa yang diinginkan melalui observasi

partisipan, dan mencoba mendeskripsikan rentangan luas tentang adat istiadat. (2)

Page 42: S2-2015-334455-introduction

Etnografi berorientasi topik, peneliti mempersempit fokus pada satu atau lebih

aspek kehidupan yang diketahui ada dalam suatu masyarakat, misalnya hubungan

keluarga, perilaku peminum dan lain-lain, (3) Etnografi berorientasi hipotesis,

ditujukan untuk menggali pengaruh budaya pada kehidupan manusia.

Kedua, pengajuan pertanyaan etnografi. Mengajukan pertanyaan

etnografi menunjukkan bukti yang cukup referensial ketika hendak melakukan

wawancara, termasuk ketika etnografer sedang melakukan observasi dan membuat

catatan lapangan. Dalam penelitian etngrafi, peneliti dapat mengajukan

pertanyaan yang berhubungan dengan (1) suatu diskripsi tentang konteks, (2)

analisis tentang tema-tema utama, (3) interpretasi perilaku yang cultural.

Ketiga, pengumpulan data etnografi. Tahap berikutnya dari siklus

penelitian etnografi adalah mengumpulkan data lapangan. Melalui observasi

partisipan, peneliti akan mengamati aktivitas orang, karakteristik fisik situasi

sosial dan apa yang akan menjadi bagian dari tempat kejadian. Singkatnya semua

data tentang kehidupan sehari-hari subjek penelitian perlu digali dan dipahami

oleh seorang peneliti melalui instrument penggali data.

Keempat, pembuatan rekaman etnografi. Tahap ini memberikan

penekanan kepada kemampuan peneliti untuk mencatat dan merekam semua

kegiatan penelitian yang sedang dan telah dilakukan. Mulai dari mencatat hasil

wawancara dan observasi, mengambil gambar/foto, membuat peta situasi. Ini

semua dilakukan agar tidak terjadi gap antara hasil observasi dengan analisis.

Kelima, analisis data etnografi. Dalam penelitian etnografi, analisis data

tidak dilakukan diakhir pekerjaan, tapi dilakukan pada saat melakukan pekerjaan.

Page 43: S2-2015-334455-introduction

Karena analisis data tidak perlu menunggu data terkumpul banyak. Analisis data

yang diilakukan pada saat penelitian akan memperkaya peneliti untuk menemukan

pertanyaan baru terkait data yang diperoleh, sehingga dengan munculnya

pertanyaann baru ini, akan memperkaya dan memperdalam penelitian yang

dilakukan.

Keenam, penulisan sebuah etnografi. Sebagai akhir dari pekerjaan

etnografi, menjadi kewajiban peneliti menyampaikan atau memaparkan hasil

penelitiannya. Mengingat sifat etnografi yang natural, maka pemaparan yang

dilakukan harus dilakukan secara natural, seperti layaknya proses alami yang

dialami seorang manusia ketika berada dalam sebuah lingkungan budaya.

Kemudian untuk pengumpulan dan pemaparan data mempunyai instrumen

tersendiri.

F.2.2 Instrumen Pengumpul dan Paparan Data

Dalam rangka pengumpulan data sebagaimana layaknya penelitian kualitatif

yang mengedepankan naturalitik dalam mendapatkan data yang sifat deskriptif,

maka penelitian etnografi juga memafaatkan teknik pengumpulan data yang

digunakan penelitian kualitatif pada umumnya, namun ada beberapa teknik yang

khas. Adapun instrumen pengumpul data pada penelitian etnografi sebagai

berikut:

Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Mengingat karakter

etnografi yang naturalistik, maka bentuk pertanyaan atau wawancara yang

dilakukan pada masyarakat kota Makassar merupakan pertanyaan terbuka dan

sifatnya mengalir sehingga peneliti bisa mengetahui anggapan dan kesan yang

Page 44: S2-2015-334455-introduction

ditinggalkan oleh sang aktor usai tampil dalam setiap kegiatannya.Meski

demikian untuk menjaga fokus penelitian ada baiknya seorang peneliti memiliki

panduan wawancara yang sifatnya fleksibel.

Kedua, observasi partisipan (participant observation). Peneliti

membutuhkan teknik ini karenaperlu mengetahui dan memahami apa saja yang

dilakukan subyek penelitian, prilaku keseharian, kebiasaan-kebiasaan yang

dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap simbol-simbol kehidupan

subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa

sebenarnya simbol itu.

Ketiga, diskusi kelompok terarah (focus group discussion), merupakan

kegiatan diskusi bersama antara peneliti dengan subjek penelitian secara terarah.

Dengan penetapan ini, merupakan langkah untuk menghindari ketimpangan atau

dominannya satu kelompok atau individu dalam sebuah diskusi. Kemudian

dilanjutkan dengan tema yang akan diusung peneliti, dan diskusikan secara

bersama. Proses inilah yang kemudian oleh peneliti dicatat secara rinci untuk

kemudian dijadikan dasar pijak untuk memperdalam dan memperkaya data

etnografi. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari kelompok tim

sukses DIA berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan

tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari

seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti (Afriani, 2009).

Dalam metode etnografi, yang diambil oleh penelitipada kasus di Makassar

FGD dapat memberikan fokus terhadap penelitian dari pengembangan hipotesis

penelitian yang relevan dengan mengeksplorasi secara lebih mendalam masalah

Page 45: S2-2015-334455-introduction

untuk diselidiki dan kemungkinan penyebabnya, dapat merumuskan pertanyaan

yang tepat untuk lebih terstruktur, membantu memahami dan memecahkan

masalah tak terduga diintervensi, mengembangkan pesan yang tepat untuk

program atau kebijakan yang ingin dicapai dan disampaikan oleh calon Wakil

Walikota Makassar ini pada saat berinteraksi dihadapan masyarakat.

Keempat, analisis dokumen (document analysis).

Dalam penelitian etnografi, analisis data tidak dilakukan diakhir penelitian

tapi dilakukan pada saat sebelum melakukan penelitian. Karena analisis data tidak

perlu menunggu data terkumpul banyak. Analisis data yang dilakukan pada saat

memulai penelitian akan memperkaya peneliti untuk menemukan pertanyaan-

pertanyaan baru terkait data yang diperoleh, sehingga dengan munculnya

pertanyaan baru, akan memperkaya dan memperdalam penelitian yang dilakukan.

F.3. Metode Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif

dengan mengkombinasikan metode live-in dalam pelacakan data dan metode

analisis wacana dalam analisis data. Analisis wacana dipilih karena dua

pertimbangan. Pertama, terbatasnya jangka waktu peneliti untuk melakukan live-

in, yakni pengamatan terlibat/partisipatif. Kedua, analisis wacana berguna untuk

menangkap makna interaksi, simbol/makna dari interaksi, performance (back

stage dan front stage). Wacana menurut Goffman merupakan ide, gagasan, opini,

konsep dan pandangan hidup yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu

sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Analisis wacana

Page 46: S2-2015-334455-introduction

yang digunakan penelitian ini memakai perspektif Goffman dalam melihat

bagaimana interaksi sosial yang terjadi.

Untuk itu, mutlak diperlukan dalam analisis wacana guna melihat

bagaimana setiap kelompok termasuk yang berkuasa mereproduksi kebenaran atas

suatu wacana, termasuk bagaimana reproduksi kebenaran-kebenaran itu

disebarluaskan dan diamini kebenarannya oleh khalayak.

G. Sistematika Penulisan

Pada Bab I, yang merupakan pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang,

kemudian merumuskan masalah berdasarkan teori dan membuat kerangka teori

yang digunakan dengan mengaitkan dengan kasus yang diambil oleh penulis,

kemudian dilengkapi dengan tujuan penelitian.

Pada Bab II, ini memberikan gambaran tentang subyek atau pelaku utama dalam

drama kampanye pemilihan kota Makassar. Penulis akan menguraikan

pendukung-pendukung dari jalannya cerita dan menjelaskan pemetaan instrumen

simbolik seorang calon Wakil Walikota Makassar menjelang Pemilu.

Pada Bab III, adalah pembagian panggung, tentang persiapan tim ( tim suskes dan

pihak yang secara tidak langsung terlibat) untuk mengemas kesan, trik yang

digunakan ketika berhadapan dengan tipe-tipe masyarakat.

Pada Bab IV, berisikan kesan yang merupakan hasil dari pertunjukkan Daeng Ical.

Pada bab ini penulis menjabarkan secara rinci gestur,intonasi,atmosfer yang

dilakukan oleh Daeng Ical dalam pertemuan tatap muka setiap orang baik secara

personalistik maupun formalistik.

Page 47: S2-2015-334455-introduction

Pada Bab V, merupakan respon dari masyarakat kota Makassar dan reflektif yang

diberikan adalah jawaban atas tujuan dramaturgi kandidat Wakil Walikota

Makassar ini.

Pada bab VI merupakan kesimpulan dan pernyataan atas konektivitas kajian awal

studi dramaturgi Erving Goffman dalam kasus perpolitikan di Indonesia

khususnya di kota Makassar.