Pemanggilan Calon Peserta S2 Linkage Jepang S2 Ln S3 Ln Tahun 2015
S2-2015-334455-introduction
-
Upload
ananda-wahyu-satria -
Category
Documents
-
view
13 -
download
3
description
Transcript of S2-2015-334455-introduction
Bab I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Tesis ini meneliti tentang fenomena Pilkada di kota Makassar dari perspektif
Dramaturgi. Dramaturgi adalah sebuah teori interaksi sosial yang melihat makna
di balik performance seorang aktor dalam panggung yang ia ciptakan. Dalam
berbagai kajian-kajian dengan tema pemilihan umum, selalu berangkat dari isu
pemilih (hal-hal internal) itu sendiri, menyorot bagaimana perilaku pemilih, isu-
isu mengenai faktor-faktor identitas dan sebagainya. Kemudian membuat peneliti
ingin melihat dari sisi yang berbeda yaitu pada sisi pribadi sang aktor, pada
pendekatan face to face kontestan terlibat dalam pemilihan. Kajian dan isu-isu
politik menjelang pemilukada memang sebagian telah membahas aktor di
dalamnya, namun lebih sering berisikan tentang kompetisi aktor-aktor kandidat,
kinerja aktor, loyalitas aktor terhadap partainya (dalam kerangka pikir demokrasi
sebagai mekanisme kompetisi antar calon), kemudian ini membuat peneliti
melihat bahwa masih ada yang perlu diperhatikan dalam sebuah pendekatan dan
kajian tersebut, lagi sangat jarang disentuh oleh para calon dan aktor politik dalam
merebut suara masyarakat dalam pemilu. Yakni performance dari kontestan (yang
terbentuk disaat terjadinya interaksi antara aktor dengan masyarakat yang memilih
atau yang disebut oleh Erving Goffman sebagai penonton.
Perfomance atau penampilan di sini mempunyai makna kesan yang dibawa
oleh aktor dalam setiap interaksinya dengan audience atau penonton di setiap
panggung bersama dengan atribut dan instrumen yang digunakan pada pertemuan
tatap muka yang diharapkan berdampak positif. Kemudian bisa berpengaruh pada
reaksi masyarakat dalam menentukan pilihan atas informasi yang masyarakat
terima.
Tujuan tesis ini adalah mencoba mengaplikasikan sebuah teori interaksi,
dengan menggunakan pendekatan milik Erving Goffman, yang kemudian oleh
penulis khusus melihat dari penampilan aktor politik. Sehingga tesis ini dapat
menjelaskan bagaimana sebuah dramatisasi terjadi pada panggung kandidat Wakil
Walikota Makassar. Oleh karena melihat banyak kesamaan antara pementasan
teater dengan berbagai jenis peran yang dimainkan dalam berinteraksi, seperti
halnya yang dalam kehidupan politik kita.
Kehidupan sebenarnya yang dimaksud dalam tulisan ini ialah kehidupan
teatrikal yang sengaja dipamerkan kemudian disajikan dalam kehidupan manusia
sehari-hari. Jadi seperti aktor panggung, aktor sosial membawakan peran,
mengasumsikan karakter, dan bermain melalui adegan-adegan beserta atributnya
ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan
mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain.
Umumnya orang berusaha menyajikan suatu gambaran diri yang diidealkan di
dalam sandiwaranya. Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan
sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran
yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi
yang kemudian memberikan makna tersendiri.
Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial
masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang mampu
beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan. Masyarakat yang
tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung
sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup
dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan,
menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang
justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan
masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara
alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka.
Permainan peran akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya.
Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek
psikologis sosial yang melingkupinya.
Permainan peran ini mendukung pertunjukan untuk memberi kesan yang
baik demi mencapai tujuan. Baik pada saat berada di front stage atau back stage
(dalam dramaturgi panggung terbagi menjadi dua wilayah) ini merupakan bagian
dari setting performing. Singkat kata, dramaturgi juga berjalan dalam bentuk
komunikasi hingga lawan komunikasi seorang aktor utama mau menerima sesuatu
yang sebetulnya telah diolah oleh pemilik panggung drama tersebut. Sehingga
penelitian ini dilakukan dangan rmaksud mencari tahu seperti apa dan bagaimana
penampilan drama yang ditampilkan oleh seorang aktor politisi dalam berbagai
situasi dan tempat (dalam dramaturgi, istilah panggung/stage) sehingga
pendekatan ini bisa memberikan jalan bagi penulis dalam melihat antara situasi
yang nyata dan dibuat-buat oleh para pemain (“setting”) yang terlibat pada
kontestasi Pilkada di kota Makassar periode 2014-2019.
Untuk itu penulis mengangkat sebuah kasus Pilkada di kota Makassar
dengan mengambil unsur-unsur internal teori ini dan membandingkannya dari
setiap situasi, bahwa apa yang terjadi dalam dunia politik selama ini adalah
layaknya sebuah drama lengkap dengan rangkaian dramaturginya. Situasi drama
politik dalam penulisan ini, diperankan oleh Syamsu Rizal atau yang akrab disapa
Daeng Ical yang diusung oleh Partai Demokrat sebagai calon Wakil Walikota
berpasangan dengan Mohammad Ramdhan "Danny" Pomanto bakal calon
Walikota untuk Pemilu 18 September 2013.
Performance aktor sangat berperan penting dan menjadi perhatian penulis.
Penampilan seseorang digunakan untuk mempertajam kepribadiannya, perwakilan
dari totalitasnya karakter seorang individu. Goffman memahami bahwa diri aktor
bukan sepenuhnya sebagai milik si aktor itu namun sebagai produk interaksi
dramatis antara aktor dengan audien. Jadi Syamsu Rizal di sini adalah apa yang
diinginkan oleh masyarakat Makassar, dan menjadi suatu kekhasan dari kota
Makassar itu sendiri. Mengapa hal ini sangat penting? Sebab inilah yang pertama
diperhatikan oleh orang lain ketika kita menampilkan sesuatu yang berbeda.
“Kualitas” aktor dapat dilihat dari caranya berinteraksi. Bisa jadi sebenarnya
seorang aktor (Syamsu Rizal) adalah pribadi yang cuek atau angkuh dan santai,
namun tidak membiarkan karakter itu menjadi penghambat kesuksesannya ketika
berinteraksi dengan orang lain apalagi dengan panggung yang berbeda-beda.
Jika dalam lingkungan pekerjaan yang profesional, tentunya aktor itu
diwajibkan tampil profesional. Sama seperti itu, kemudian ketika aktor ini dalam
pergaulan sosial maupun yang ada unsur politiknya, dipastikan dia akan segera
berganti peran untuk memilih penampilan yang berkualitas tersebut.
Syamsu Rizal sendiri beranggapan bahwa menjadi Walikota atau hanya
wakilnya, adalah bukan sebuah persoalan. Karena tidak mengejar jabatan saja tapi
dia juga ingin mewakafkan diri untuk masyarakat kota Makassar melalui
programnya yakni “Makassar Super”. Dengan melihat faktor kedekatan emosional
menurutnya yang dia miliki (latar belakang alumni Fisip, Unhas) dengan para
alumni dan mahasiswa Fisip Unhas, sebagai salah satu anggota dari komunitas
yang diberi nama “Mimbar Community”, Daeng Ical yakin hasil terbaik bisa
terwujud apalagi dengan intensitas waktu yang dia miliki dengan para mahasiswa
(pengadaan diskusi-diskusi bertema biasanya berlangsung di warung kopi) dan
timnya, Daeng Ical yakin lebih sukses untuk mewujudkan tujuannya sebagai
kandidat calon Wakil Walikota Makassar. Daeng Ical mengatakan bahwa dari dulu
ia gemar dalam hal berkomunikasi dan mudah dalam bergaul diyakininya tidak
akan menyulitkan saat menjalankan tugas.1
Dimulai dari konsep teorisasi Dramaturgi, dalam buku monumentalnya yang
berjudul “The Presentation of Self In Everyday Life” (1959), Erving Goffman
yang lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922, pertama kali memperkenalkan
sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Ini tentang
analisis perilaku manusia yang menunjukkan hidup adalah 'permainan' dan orang-
1 wawancara penulis dengan Deng Ical secara langsung, tanggal 28 Juni 2014
orang adalah 'aktor'. Bedanya dramaturgi adalah bahwa alih-alih dari interaksi
yang dilatih terlebih dahulu untuk penonton, interaksi kehidupan nyata manusia,
improvisasi, dan ekspresi individualitas orang-orang yang dapat berubah
tergantung pada situasi sosial mereka masuk. Menurut Goffman, dunia adalah
panggung di mana kita semua aktor sosial. Dalam situasi tertentu kita semua
memiliki ide-ide tentang bagaimana untuk bertindak berdasarkan apa yang orang
lain harapkan sehingga mereka mampu menafsirkan tindakan kita dan
menerapkan makna kepada mereka. Sekali lagi, fokus pendekatan dramaturgis
adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau
mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya.
Kemudian bagaimana simbol-simbol yang mengikutinya bisa membantu
menjelaskan performance aktor tersebut.
Dalam sebuah adegan drama kolaborasi antar pemainnya pasti dilakukan
dengan sangat maksimal, khususnya menjelang pemilihan Walikota Makassar ini
tentunya pihak-pihak tertentu juga akan terlibat seperti tim sukses, aktor pembatu
biasanya aktor ini dipercayai oleh aktor utama dan secara tidak langsung
membantu adegan.
Setiap cerita yang menarik, memikat dan menyentuh hati rakyat akan
menjadi semacam “tranding topic” dan mempengaruhi “ratting” karena Daeng
Ical menggunakan semacam “issue” yang kemudian diolah dan dikenal oleh
masyarakat sebagai daya tarik tersendiri dari setiap penampilan panggungnya.
Sepanjang ajang pemilihan kepala daerah ini, pendekatan dramturgi menunjukkan
kepura-puraan yang dilakoni oleh Daeng Ical dengan timnya. Dari yang aslinya
dia ialah seorang yang sopan dan kreatif kemudian semakin menjadi-jadi ketika
berakting. Sehingga cerita akan dilanjutkan dan dikembangkan sehingga makin
menarik. Aktor dengan lihainya ikut berpura-pura, namun dalam beberapa kondisi
terkadang aktor menjadi dirinya sendiri (tidak sepenuhnya lepas dari jabatannya
sebagai pemain utama). Aktor tetap bebas memilih untuk memanipulasi adegan
dengan naskahnya sendiri (melibatkan gestur, intonasi dan atmosfer) saat berada
di atas panggung depan. Sehingga nilai kesungguhan semakin dirasakan oleh
penonton. Bahkan terkadang unsur yang sengaja dihadirkan untuk mendukung
drama ini, masuk ke dalam kehidupan nyata sang aktor.
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Beliau menggali segala
macam perilaku interaksi yang dilakukan dalam pertunjukan kehidupan kita
sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara
seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam panggung pertunjukan
drama. Cara yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada
pertunjukan yang ditampilkan. Pertunjukan yang terjadi di masyarakat untuk
memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan dari presentasi dari diri
Goffman ini adalah penerimaan penonton akan manipulasi.
Selanjutnya dalam pemahaman tersebut, penulis ingin mengulas kembali
teori dramaturgi ini kemudian mencoba untuk mengaitkannya serta membawanya
dalam dunia politik Indonesia pada era kekinian. Bagaimana bila seorang aktor
berhasil, maka penonton akan melihat aktor sesuai sudut yang memang ingin
diperlihatkan oleh aktor tersebut. Dibandingkan dengan beberapa faktor kegagalan
dari seorang calon kepala daerah adalah terletak pada figur calon itu sendiri.2 Pada
Pilkada, sebagian besar rakyat memilih bukan karena faktor calon tersebut
didukung oleh partai. Sebagian rakyat yang menginginkan figur baru serta
bersemangatkan jiwa muda. Namun ketenaran dan figur calon juga berpengaruh
terhadap hasil pemilihan. Kemenangan dalam pemilihan kepala daerah, juga
bergantung pada ketokohan calon yang diusung. Jika calon yang diusung memiliki
kharisma dan diakui ketokohannya, maka kemungkinan menang akan sangat besar
karena disukai dan diinginkan masyarakat.
Sehingga teori interaksi sosial milik Goffman dan interkasi simbolik Mead
dapat membantu penulis menjawab faktor kemenangan seorang calon dalam
pemilihan umum di Makassar. Dalam pertemuan tatap muka antar pribadi maupun
dengan kelompok sosial, ada sebuah kharisma yang ditunjukan dari diri sehingga
dapat memukau setiap orang beserta simbol yang dibawakannya. Penulis
meyakini bahwa Simbol tersebut bermakna bukan karena dapat direspon
melainkan karena mengandung makna untuk orang yang menggunakannya.
Melalui simbol-simbol individu-individu yang ada dalam masyarakat
disosialisasikan, mengenal aturan-aturan, ide-ide dan nilai-nilai bersama di dalam
kelompok dan mempelajari peran-peran masing-masing di dalam hubungan
mereka satu sama lain. Setiap orang belajar tentang bagaimana bertindak di dalam
masyarakat melalui simbol-simbol. Dengan demikian orang dapat menjadi warga
masyarakat melalui simbol-simbol tersebut.
2 Lihat Faktor-Faktor Kekalahan Golkar Pada Beberapa Pilkada, pada web http://younkhendra.wordpress.com/2008/07/17/tulisan-saya/
Selanjutnya simbol-simbol merupakan inti dalam kehidupan masyarakat,
karena budaya masyarakat tergantung pada simbol-simbol itu. Sehubungan
dengan ini Daeng Ical yang menjadi subyek dalam tesis ini tentunya memiliki
simbol-simbol yang diharapkan dalam panggung politiknya sehingga dapat
membantu penelitian ini.
Daeng Ical dalam hal ini menggunakan slogan-slogan akrab untuk
berinteraksi dengan massa pendukungnya. Sesuai dengan dasar dari tesis ini
dengan menggunakan interaksi simbol sebagai pendukung penjelasan dramaturgi,
peneliti pun mendapatkan informasi tentang slogan dari calon nomor urut 8 ini
yaitu “Masa Depan Baru Makassar”, “Dua Kali Tambah Baik”, dan “Ana’
Lorongna Makassar” (bahasa Makassar yang artinya Anak Gang Makassar).
Kasus yang diambil dalam tesis ini menurut penulis sangat menarik karena
di satu sisi Daeng Ical sangat dekat dengan para pemilih khususnya dari kalangan
pemula (pelajar dan mahasiswa) dia juga mempunyai basis psikologi komunikasi
yang kuat. Tagline-nya yang menyebutkan istilah anak lorong ini pun menjadi
tempat sebagai ajang dan trend bersosialisasi dan bertemu langsung dengan
masyarakat. Sesuai dengan yang disampaikan Goffman dalam tulisannya ada yang
dikenal dengan “Situated Identities”. Maksdunya ialah kita memerlukan suatu
identitas sebelum melanjutkan interaksi dengan satu lingkungan, berinteraksi
dengan para masyarakat tradisional yang bervarian, tentu berbeda ketika kita
berada dihadapan para politisi dan kaum intelektual, begitu juga pada saat
membahas perihal merebut dukungan pemilih kota Makassar.
Penyesuaian identitas ini menjelaskan bagaimana Daeng Ical berlakon di
depan masyarakat Makassar dengan tingkat pluralitas yang cukup tinggi, ketika
dia berhadapan dengan sesama rekan partai, pada pengusaha-pengusaha muda di
Makassar dan tim suksesnya, ini adalah tugas inti penulis dalam beberapa bab
nanti.
Dalam karya Erving Goffman lain yang ditulis oleh Greg Smith dengan
judul Key Sociologists, dijelaskan bahwa yang dominan dalam kehidupan sosial
adalah berinteraksi maka studi face to face (tatap muka) sangatlah penting. Dunia
politik sangat memanfaatkan berbagai keadaan untuk menyampaikan maksud dan
tujuan politisnya.
Hal ini akan menjelaskan bahwa lihainya Daeng Ical berperilaku dan
bertutur kata dalam interaksinya sebagai unit dasar, menggunakan atribut dan tim
untuk mendukung panggungnya, dengan ekspresif dan membentuk kharisma
sementara agar situasi sosial menjadi contaminated olehnya. Seakan-akan kesan
sebenarnya yang menjadi asli dari individu itu ditanggalkan demi mempengaruhi
lingkungan sekitar dengan stigma yang diciptakan. Dramaturgi menjelaskan
bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut
merupakan bagian kejiwaan psikologis yang mandiri. Identitas manusia bisa saja
berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgi
masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Interaksi sosial dalam
cara pandang ini dimaknai sama dengan sebuah teatrikal. Manusia adalah aktor
yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada
orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri. Dalam mencapai tujuannya
tersebut menurut konsep dramaturgis manusia akan mengembangkan perilaku-
perilaku yang mendukung perannya tersebut.
Maka sehubungan dengan konsep ini, penulis ingin melihat sejauh mana
konsep dramaturgi dapat dikenal sebabagai salah satu teori yang digunakan untuk
membantu mengetahui dunia interaksi politik. Bagaiamana mengungkap korelasi
antara teorisasi dramaturgi dengan ideologi politik tertentu pada cara dan bentuk
pembawaan karakter seorang aktor, dalam setiap tatap muka dengan masyarakat
atau sesama kalangan elit politik itu sendiri.
Menarik bahwa semua orang yang mencalonkan diri sebagai kandidat
kepala daerah paham dan mengerti bahwa penentu utama kemenangan Pilkada
langsung adalah popularitas kandidat, tapi masalahnya:
1. Mengapa banyak kandidat kepala daerah gagal meraih kemenangan
Pilkada?
2. Mengapa incumbent (kepala daerah yang memimpin) kalah bersaing
dengan new comer (kandidat pendatang baru)?
3. Mengapa kandidat kepala daerah yang sudah menggunakan konsultan
politik dengan biaya yang tidak sedikit, tapi tetap saja gagal meraih
kemenangan?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya bisa dijawab dengan seberapa dekat
para Daeng Ical dan Danny Pomanto dengan masyarakat. Namun pertanyaan ini
lebih dimaksudkan agar sebelumnya kita perlu mengetahui terlebih dulu
bagaiamana seharusnya kita tampil di depan masyarakat. Untuk memimpin kota
Makassar, adakalanya membutuhkan strategi-strategi yang baik serta
menguntungkan. Pendekatan performance diyakini dapat membantu untuk
menghadapi masyarakat kota ini.
Berbeda dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya, strategic interaction
ala Evring Goffman lebih memberi penjelasan bahwa kehadiran setiap individu
akan memancarkan ekspresi mereka dan membutuhkan tempat khusus yang
kemudian memicu kedekatan. Yang dimaksud ini adalah kesan yang ditinggalkan
sebenarnya secara tidak langsung memberikan peluang bagi masyarakat untuk
menaruh harapan pada individu tadi. Dari persiapan dibalik back stage dan ruang
penonton pada saat front stage yang berbeda-beda dengan berbagai simbol yang
ada.
Penelitian ini diharapkan akan memudahkan untuk membaca salah satu
fenomena perpolitikan di kota Makassar tentang bagiamana dramaturgi seorang
politisi, dramaturgi pemimpin, dramaturgi politik kandidat dalam Pilkada (yang
menonjolkan pencitraan di setiap kampanye) serta mempelajari konteks dari
perilaku manusia tersebut dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk
mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Namun yang ingin dilihat oleh
penulis di sini adalah dramaturgi politik kadidat menjelang Pilkada dan sesudah
Pilkada. Apakah dalam interaksi politik ada “kesepakatan” perilaku yang
disetujui (baik antar internal aktor maupun masyarakat yang secara khusus
terlibat) yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud
interaksi tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu
kepada tercapainya kesepakatan tersebut.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan “Bagaimana dramaturgi dapat menjelaskan interaksi sosial
dan fenomena dibalik politik pemilukada di Kota Makassar periode 2014-2019
?”Adapun pertanyaan turunaan untuk menjawab pertanyaan umum tersebut
adalah:
1. Bagaimana performance Daeng Ical sebagai calon Wakil Walikota
Makassar periode 2014-2019 ketika di depan masyarakat berserta
dengan timnya ?
2. Simbol-simbol apa saja yang dibawakan oleh Daeng Ical dalam
mendukung performance nya ?
3. Bagaimana cara Daeng Ical menggunakan dan memanipulasi
simbol-simbol tersebut yang menguntungkan dirinya dalam rangka
memperoleh suara saat Pemilukada ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ingin menjelaskan penggunaan teori dramaturgi dengan
mengaitkan korelasinya dalam kehidupan politik Indonesia. Selain itu ada
beberapa misi yang ingin dicapai yaitu menjelaskan bagaimana seorang aktor
politisi bermain peran dan berinteraksi saat bersama rakyat dan simbol-simbol
yang digunakan untuk meraih dukungan masyarakat dalam ajang pemilihan
Walikota.
D. Literatur review
Yang membedakan penelitian ini dengan yang lain adalah perhatian
sentralnya yang terdapat pada saat sang aktor itu tampil dengan atributnya
layaknya sebuah teatrikal. Hal ini meliputi teknik-teknik yang digunakan para
aktor untuk memelihara kesan-kesan tertentu dalam menghadapi masalah-masalah
yang mungkin mereka jumpai dan metode-metode yang mereka gunakan untuk
mengatasi masalah tersebut.
Ada beberapa hal yang penulis ambil dari beberapa bacaan karya milik
Goffman diantaranya “The Presentation of Self in Everyday life”, yaitu :
1) Meskipun Goffman benar-benar mendekati bagian depan dari stage
dramaturgi ini dan aspek-aspek lain sistemnya sebagai seorang interaksionis
simbolik, dia benar-benar mendiskusikan karakter strukturnya. Contohnya dia
berargumen bahwa bagian depan itu cenderung terlembaga, dan begitu juga
“representasi kolektif” muncul disekitar apa yang sedang berlangsung di dalam
suatu bagian depan tertentu.3 Sering kali para aktor mengambil peran-peran yang
sudah mapan, mereka menemukan bagian depan tertentu untuk disandiwarakan.
Hailnya Goffman berargumen, ialah bagian depan itu cenderung diseleksi, bukan
diciptakan. Ide tersebut menyampaikan gambaran struktural yang lebih banyak
yang lebih banyak daripada yang akan kita terima dari sebagian besar
interaksionis simbolik.
2) Meskipun ada pandangan struktural demikian, wawasan Goffman yang
paling menarik terletak pada ranah interaksi antara aktor dengan audiensnya. Dia
3Article ‘Backstage And Frontstage’ From Ashley Crossman, former About.comGuide
berargumen bahwa karena orang pada umumnya berusaha menyajikan suatu
gambaran diri yang diidealkan dalam sandiwara mereka di panggung bagian
depan, mau tidak mau mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan
berbagai hal di dalam sandiwara mereka.
Teknik lain yang digunakan oleh para pemain sandiwara adalah mistifikasi.
Seperti para aktor pejabat yang sering memistifikasi sandiwara mereka dengan
membatasi kontak di anatara mereka dan masyarakat.4 Dalam dramaturgi dengan
menghasilkan “jarak sosial” di antara diri mereka dan audiens, mereka mencoba
menciptakan suatu rasa kagum pada sang audiens. Jarak peran membahas derajat
ketika para individu memisahkan diri dari peran-peran mereka (Butera, 2008). Hal
itu, sebaliknya membuat audiens tidak mempertanyakan sandiwara itu. Lagi,
menurut Goffman menunjukan bahwa audiens terlibat di dalam proses ini dan
bahkan ia sendiri berusaha mempertahankan kredibilitas sandiwara itu dengan
menjaga jarak dari pemain sandiwara.
3) Salah satu wawasan kunci Goffman ialah bahwa jarak peran atau sosial
adalah suatu fungsi dari status sosial sesorang. Orang berstatus tinggi sering
mewujudkan jarak peran karena alasan-alasan yang lain dari orang yang berstatus
rendah.
Hal ini membawa minat Goffman pada “tim”. Bagi Goffman, sebagai
seseorang interaksionis simbolik, fokus pada para aktor individu mengeburkan
fakta-fakta penting tentang interaksi. Dengan demikian satuan analisis dasar
4Diambil dari artikel yang ditulis oleh Ahmad Olie Sopan tentang Teater dan Politik yang memberi poin tentang dunia politik yang diibaratkan layaknya dunia Teater lengkap dengan pemain dan panggungnya
Goffman bukan tentang individu tapi tim. Suatu tim adalah setiap sekumpulan
individu yang berkerja sama dalam mementaskan rutinitas tunggal.
Namun dari sekian poin Goffman, peneliti ingin memasuki pada celah
performing, penataan diri sang aktor atau penutur pada saat berinteraksi. Satu cara
pandang penutur sebagai konstruksi publik adalah melalui ungkapan “raut muka”
(face), yakni nilai positif sosial sesorang yang secara efektif menguasai dirinya
dengan jalur asumsi orang lain yang dapat diambil selama kontak tertentu.”
Sebagaimana Goffman (1967a:5) mencatat, raut muka dalam hal ini ekspresi
wajah masuk didalamnya mimik adalah sesuatu yang secara panjang dilokasikan
dalam alur peristiwa pertemuan dan menjadi terwujud hanya tatkala peristiwa
tersebut dibaca dan diinterpretasi untuk menghargai ekspresi dalam diri kita.
Sebagian besar kerja goffman terakhir pada penutur (1974; 1979) terbangun
atas pembagian awalnya (1959) yaitu antara karakter dan performer. Goffman
membedakan empat posisi, atau status partisipasi: animator, author, figure, dan
prinsipal. Walaupun posisi tersebut dapat disandang oleh orang yang berbeda,
individu tunggal dapat juga menyandang slot partisipasi berbeda: agar sederhana,
animator memproduk tuturan, author menciptakan tuturan, figur dipotret lewat
tuturan, dan prinsipal merespons tuturan. Setiap posisi di dalam kerangka kerja
partisipasi diasosiasikan dengan kodifikasi dan secara normatif dikhususkan pada
tingkah laku (Goffman, 1981a:3), hal seperti itu menjadikan kita mengakui
pergantian di antara animator, figur, author, dan prinsipal difasilitasi oleh
pengharapan normatif kita tentang ketepatan tingkah laku pada setiap posisi.5
Dalam Teori Sosiologis Modern, “Diri” mengutip (Bruder, 1998) merupakan
suatu konsep yang sangat penting bagi para interaksionis simbolik. Dalam
faktanya, Rock berargumen bahwa diri “membentuk bagian paling pusat kegiatan
skema intelektual para interaksionis. Semua proses sosiologis lainnya dan
peristiwa-peristiwa berputar di sekitar pusat kegiatan itu, mengambil darinya
makna analitis dan organisasinya” (1979 : 102). Dalam usaha memahami konsep
itu di luar formulasi meadiannya yang semula, pertama kita harus memahami ide
diri-cermin yang dikembangkan oleh Chares Horton Cooley (Franks dan Gecas,
1992). Cooley mendefinisikan konsep tersebut sebagai :
Suatu imajinasi yang cukup pasti mengenai bagaimana diri seseorang, yakni
ide apapun yang sesuai dengan dirinya tampak dalam suatu pikiran khusus
dan jenis perasaan diri yang dimiliki seseorang ditentukan oleh sikap ke arah
ide tersebut yang ditunjukan ke pikiran orang lain. Jadi di dalam imajinasi
kita merasakan di dalam pikiran orang lain suatu pemikiran atas penampilan
kita, kelakuan kita, tujuan-tujuan kita, perbuatan kita, karakter kita, teman-
teman kita, dan seterusnya, dan dipengaruhi olehnya secara bervariasi.
(Cooley, 1902/1964: 169)6
5Performing the state, menjelaskan bahwa ada distinguishes antara ‘state system’ dari ‘state idea’ Philip Abrams (1988), hal ini berkaitan dengan posisi yang berbeda-beda dari sebuah unit dan bergantung pada kita memperlakukannya. 6Lihat teori sosiology edisi kedelapan karya George Ritzer,hal.633 tentang diri dan karya Erving Goffman.
Selain itu sebuah karya Mead yang paling terkenal berjudul Mind, Self, and
Society (Mead:1934), menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam
menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Hal pertama
yang harus dicatat adalah bahwa tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama
lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan
interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan
dan memediasi masyarakat (society) dimana kita hidup. Makna berasal dari
interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama, “pikiran” dan “diri”
timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal-balik antara
masyarakat, pengalaman individu, dan interaksi menjadi bahan bagi penelaahan
dalam tradisi interaksionisme simbolik seperti ringkasan Holstein dan Gubrium
berikut ini (Elvinaro, 2007:136) :
“Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-
orang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi
satu sama lain. Setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial,
yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia
menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat, dan
hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka”.
Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk
menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial.
Contohnya Mead berbicara tentang simbol signifikan (significant symbols) dengan
makna yang sama dalam diri sebuah masyarakat. Tanpa sistem penyimbolan yang
sama, aksi yang terkoordinasi adalah tidak mungkin.
Konsep Cooley atas “diri-cermin” dan konsep Mead tentang “diri” penting
dalam pengembangan konsepsi interaksionis simbolik modern mengenai diri.7
Blumer mendefiniskan diri dalam istilah-istilah yang sangat sederhana: “tidak ada
yang esoterik yang dimaksud dengan ungkapan ini (diri)”.
Ide mengenai diri-cermin dapat dipecah menjadi tiga komponen. Pertama,
kita membayangkan bagaimana kita tampak dihadapan orang lain. Kedua, kita
membayangkan apa yang mereka pertimbangkan atas yang seharusnya. Ketiga,
kita mengembangkan suatu perasaan diri, seperti kebanggan atau rasa malu,
sebagai hasil dari imajinasi kita atas pertimbangan-pertimbangan orang lain.
Hal itu hanya berarti bahwa manusia dapat menjadi objek dari tindakannya
sendiri. Dia bertindak ke arah dirinya sendiri dan menuntun dirinya di dalam
tindakan-tindakannya ke arah orang lain berdasarkan jenis objek apakah dia bagi
dirinya sendiri (Perinbanayagam, 1985)”. Seperti halnya Clifford Geertz yang
menyebut Bali sebagai Negara Teater bukan mengenai seperangkat struktur
birokrasi, feodal, maupun patrimonal dan lain-lain. Namun merupakan seremoni,
pesta adat, dan arak-arakkan yang mengandung unsur kemewahan. Negara teater
diperintah bukan melalui kekuatan maupun paksaan, namun melalui ritual dan
simbol-simbol.
Sedangkan dalam pengertian Goffman (bentuk perbandingan) mengenai diri
dibentuk oleh pendekatan dramatugisnya (Alieva, 2008). Bagi Goffman dalam
karyanya (seperti halnya Mead dan sebagian besar interaksionis simbolik), diri
adalah:
7http://www.sitronspost.com/edu/soc/Goffman/goffman6.html
Bukan suatu hal organik yang mempunyai lokasi spesifik.. dalam
menganilisis diri kita ditarik dari pemiliknya, dari orang yang paling banyak
mendapat keuntungan atau kerugian olehnya, karena dia dan tubuhnya
(Goffman, 1959 : 252-253)8
Goffman menyadari bahwa diri bukan milik sang aktor, tetapi lebih tepatnya
sebagai produk dari interaksi dramatik antara aktor dan audiens. Mengutip tulisan
George Ritzer, Diri “adalah suatu efek dramatik yang sedang muncul.. dari suatu
adegan yang disajikan” (Goffman, 1959 : 25).9 Karena diri adalah suatu produk
interaksi dramatik, diri rapuh terhadap kekacauan yang terjadi selama
berlangsungnya sandiwara (Misztal, 2001).
Sehingga penulis melihat hal yang mempengaruhi masyarakat adalah bukan
tentang kuasa, materi, maupun jejaring sosial akan tetapi apa saja simbol yang
mendukungnya pada saat sandiwaranya di panggung. Namun, sebagaimana
tertuang dalam Schiffrin (1990c), konsep kerangka (Goffman, 1974) dan footing
memerhatikan “penjajaran kisaran kita dan orang lain menyajikan sebagai
ekspresi dengan cara kita mengolah produksi atau represi turunan” (Goffman
1981c:128;) penekanan saya.
Dramaturgi Goffman berkenaan dengan proses pencegahan dan
penanggulangan gangguan-gangguan semacam itu. Meskipun himpunan besar
diskusinya berfokus pada kontingensi-kontingensi dramaturgis, Goffman
menunjukkan bahwa sebagaian besar sandiwara berhasil. Hasilnya ialah bahwa di
8Lihat teori sosiology edisi kedelapan karya George Ritzer,hal.636 tentang karya Erving Goffman 9teori sosiology edisi kedelapan karya George Ritzer,hal.637.
dalam suasana sehari-hari, diri seseorang selaras dengan para pemain sandiwara,
dan ia “tampak” berasal dari sang pemain sandiwara.
Sebagai seorang performer Daeng Ical memerlukan atribut tertentu agar
theatrical performance dapat berhasil. Atribut tersebut diolah dalam, apa yang
disebut Goffman, seni “mengelola kesan” (impression management). Artinya
performer dituntut harus menampilkan kesan yang bertanggung jawab. Seperti
yang dijelaskan oleh Goffman bahwa tindakan yang kurang berhati-hati, misalnya
dengan isyarat-isyarat yang tidak diharapkan (unmeant gestures), gangguan yang
mengacaukan (inopportune intrusions) atau langkah yang salah (faux pas) akan
memberikan tidak pantas pada saat pertunjukkan (Goffman, 1959: 208-210).
Saat individu menampilkan dirinya dia tahu dan secara sadar
mendefinisikan dirinya berada dalam bagian situasi penting. Ketika terjadi
ketidakseimbangan atau hambatan, akan membuat situasi tidak bisa lagi
didefinisikan dan tidak dapat diatur (Goffman, 1959: 242-243).
Dalam perspektif sosiologis, menurut Newcomb (1985: 119), perubahan
sikap suatu masyarakat pada umumnya dipengaruhi oleh adanya informasi baru
yang dipandang relevan dengan tuntutan kondisional, kapan dan di mana
informasi baru itu diterima. Berbeda dengan Apter pandangan James Anderson
(1984 :13-15), mengatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi dasar ukuran
seseorang dalam pengambilan keputusan seseorang adalah nilai-nilai (ideological
values) yang diyakini oleh suatu kebutuhan masyarakat tertentu.
Kaitannya dengan tesis ini, ingin membuktikan bahwa ketika Daeng Ical
selaku aktor berinteraksi, ia ingin menyajikan suatu pengertian diri tertentu yang
akan diterima oleh orang lain. Apakah di sini ada sebuah kesepakatan tertentu
pada saat dia bersama timnya di panggung belakang. Akan tetapi, bahkan selagi
menyajikan diri itu, para aktor sadar bahwa para anggota audience dapat
mengganggu sandiwara para aktor ini. Demikian, suasana sandiwara Pilkada di
kota Makassar ini memang sewaktu-waktu dapat mengalami ketidaksesuaian
cerita (manajemen kesan), untuk membuat kampanyenya benar-benar hidup
dimata masyarakat.
E. Kerangka Teori
Sebelumnya penulis telah sepakat menggunakan teori interaksionisme
simbolik dari Herbert Mead agar kemudian dapat membantu menjelaskan
pendekatan Goffman tentang dramaturgi sehingga penulis bisa merincikan unsur-
unsur apa saja dalam interaksi dramaturgi dan simbol seperti apa yang digunakan
dalam memanipulasi adegan Daeng Ical serta dapat dimaknai bersama, baik saat
di depan masyarakat yang merupakan panggung sebenarnya atau saat berada di
panggung belakang yakni tempat merekayasa penampilannya.
Teori Interaksionisme Simbolik oleh Herbert Mead
Dalam menganalisa teori dramaturgi, akan dibantu oleh teori dari orang
yang diidentifikasikan sebagai Bapak Teori Interaksionisme Simbolik yaitu
George Herbert Mead. Usahanya telah mempengaruhi banyak sarjana yang
menekankan sebuah pemahaman dunia sosial berdasarkan pentingnya makna yang
diproduksi dan diinterpretasikan melalui simbol-simbol dalam interaksi sosial.
Simbol, jika kita menggunakan simbol berarti kita telah mengetahui apa
yang akan dilakukan, apa yang diungkapkan oleh simbol tersebut dan percaya
bahwa orang-orang yang diajak berkomunikasi (interaksi) juga mengertinya.
Interaksi yang dilakukan antar-individu itu berlangsung secara sadar.
Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal,
gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut
dengan “simbol”. Teori interaksi simbolik sering disebut juga sebagai teori
sosiologi interpretatif. Selain itu, teori ini ternyata sangat dipengaruhi oleh ilmu
psikologi, khususnya psikologi sosial. Teori ini juga didasarkan pada persoalan
diri.
Konsep penting lainnya dalam teori interaksionisme simbolik adalah orang
lain yang signifikan (significant others), yaitu “orang yang berpengaruh dalam
kehidupan anda”, lalu orang lain yang digeneralisasikan (generalized others)
yakni konsep Anda tentang bagaimana orang lain merasakan Anda, dan “tata cara
yang dipakai” (role taking) yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang
lain. Konsep ini disusun bersama dalam teori interaksionisme simbolik untuk
menyediakan sebuah gambaran kompleks dari pengaruh persepsi individu dan
kondisi psikologis, komunikasi simbolik, serta nilai sosial dan keyakinan dalam
sebuah konstruksi sosial masyarakat.
Oleh karenanya teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan
kepada defenisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan
definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk
yang cocok, menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan
juga pola interaksinya dibimbing oleh defenisi bersama yang sedemikian itu dan
dikonstruksikan melalui proses interaksi.
Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi
simbolik, yaitu: (1) perilaku manusia mempunyai makna di balik yang
menggejala; (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada inteaksi sosial
manusia; (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak
terpisah, tidak linear, dan tidak terduga; (4) lalu perilaku manusia itu berlaku
berdasar penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan,
dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis; (5) konsep
mental manusia itu berkembang dialektik; dan (6) perilaku manusia itu wajar dan
kostruktif reaktif.
Blummer (1969 : 2) mengemukakan tiga buah premis sederhana yang
menjadi dasar interaksionisme simbolik, ketiganya berfungsi sebagai ringkasan
tentang filosofis teoritis dari interaksionisme simbolik. Pertama, manusia
bertindak terhadap hal-hal atas dasar makna yang dimiliki oleh hal-hal tersebut.
Kedua, makna itu berkaitan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan
seseorang dengan teman-temannya. Ketiga, makna ini diciptakan, dipertahankan,
dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang-orang
tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia hadapi. Hal yang paling dasar
dari interaksionisme simbolik adalah dua karakteristik yang sangat penting.
Perilaku manusia berbeda dengan yang lain, bersifat “sosial” dan terdiri dari
“tindakan”. Oleh karena itu, manusia secara inheren adalah organisme yang aktif
secara sosial yang proses penafsirannya, yakni kemampuan simbolisnya
membuatnya menjadi makhluk yang unik (Ritzer, 2004:341).
Perspektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam
suatu perkembangan yang bersifat proses dalam komunikasi manusia.
Dimungkinkan implikasi yang paling penting dari perspektif interaksionisme
simbolik bagi studi komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan
pemberian penekanan pada metodologi penelitian, implikasinya yang pertama
mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang dijalankan oleh
peneliti. Daripada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya
berat sebelah, tidak bias, dan tidak tertarik atas fenomena empiris, peneliti
interaksional menjalankan perannya sebagai seorang pengamat partisipan dalam
melaksanakan penelitiannya. Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar
dapat menemukan sudut pandang subjek penelitian.
Sebelum membahas kasus perpolitikan di Indonesia khususnya pada Pemilu
di kota Makassar, penulis akan memaparkan lebih dalam tentang teori dramaturgi,
bagaimanakah cara kerja pendekatan dari teori ini, poin-poin apa sajakah yang
penting dan membantu menjelaskan penulis dalam menyelesaikan tesis ini, serta
mengapa penulis mengambil kasus di Makassar sebagai contoh dalam
menggunakan teori dramaturgi ini.
Teori Dramaturgi
Dramaturgi ala Goffman
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil
dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi
yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
dengan orang lain. Disinilah dramaturgi masuk, bagaimana cara kita menguasai
interaksi tersebut (Littlejohn, 1996 : 165).
Menurut Goffman dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak secara
sengaja maupun tidak membuat pernyataan (expression) kemudian pihak lain
memperoleh (imperssion) kesan. Goffman membedakan dua pernyataan
(expression), pertama tentang pernyataan yang diberikan (expression given) dan
yang kedua pernyataan yang dilepaskan. Pernyataan yang diberikan merupakan
pernyataan yang dimaksud memberikan informasi sesuai dengan apa yang
lazimnya berlaku. Pernyataan terlepas atau dilepaskan. Pada sisi lain mengandung
informasi yang menurut orang lain memperlihatkan ciri si pembuat pernyataan,
misalnya pada seseorang yang menyampaikan terima kasih dengan wajah yang
masam, dengan begitu ucapan terima kasih merupakan hal yang seharusnya dan
pernyataan masam merupakan pernyataan yang keluar dari perasaannya yang asli.
Pernyataan yang diberikan dan yang dilepas dapat saling mendukung misalnya
pernyataan sedih yang diberikan dan pernyataan yang dilepaskan adalah
bagaimana menangis dan berwajah murung.
Dikala menyajikan penampilan di kawasan depan, tim berusaha menjaga
solidaritas dan menutupi kesalahan anggota tim. Dalam interaksi para pelaku
berusaha menonjolkan kesapakatan, tempat kegiatan yang sedang berlangsung
dikeliling hambatan terhadap persepsi dinamakan social estabilisment.
Kondisi akting di front stage adalah adanya penonton yang melihat kita dan
kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk
memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari
perilaku kita. Sedangkan back stage adalah keadaan dimana kita berada di
belakang panggung, dengan kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga para
aktor dapat berperilaku bebas tanpa mempedulikan plot perilaku bagaimana yang
harus mereka bawakan.
Sebelum berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan
mempersiapkan perannya dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain.
Kondisi ini sama dengan apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking
character”. Dengan konsep dramaturgi dan permainan peran yang dilakukan oleh
manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian
memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada
latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat
yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan.
Dramaturgi, menjelaskan bagaimana orang ber-performance sehari-hari
seperti sebuah teater, dan mengutamakan seseorang melakukan berbagai
theatrical performance di “front stage” (wilayah publik) atau “back stage”
(wilayah privat) dalam rangka resistensi, adaptasi, atau negosiasi.
Apa yang dilakukan masyarakat melalui konsep permainan peran adalah
realitas yang terjadi secara alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang
berlangsung dalam diri mereka. Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai
kondisi dan waktu berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam
permainan peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
Performance sang aktor
Satu cara pandang penutur sebagai konstruksi publik adalah melalui
ungkapan “raut muka” (face), yakni “nilai positif sosial sesorang yang secara
efektif menguasai dirinya dengan jalur asumsi orang lain yang dapat diambil
selama kontak tertentu.” Sebagaimana Goffman (1967a:5) mencatat, raut muka
dalam hal ini ekspresi wajah masuk di dalamnya mimik adalah sesuatu yang
secara panjang dilokasikan dalam alur peristiwa pertemuan dan menjadi terwujud
hanya tatkala peristiwa tersebut dibaca dan diinterpretasi untuk menghargai
ekspresi dalam diri kita.
Kontribusi untuk perawatan raut muka (face) adalah ritual interpersonal,
ritual peghindaran (“bentuk-bentuk perbedaan tersebut yang menuntun aktor
memlihara jarak dari penerima”; Goffman (1967b:62) dan ritual presentasional
(“tindak melalui individual memberikan pengesahan khusus untuk penerima
memperhatikan bagaimana dia peduli pada mereka”; Goffman 1967b:71).
Kesimpulan dari semuanya bermula dari raut muka, ekspresi, dan simbol adalah
Penampilan. Peneliti dalam kasus ini akan melihat suasana pertunjukan saat
interaksi politik itu terjadi. Hal yang belum dijelaskan secara detail oleh Goffman.
Benar ada jarak, kesan, pertunjukkan, dan lainnya. Namun bagaimana jika itu
berkumpul membentuk kesatuan dan terjadi di saat bersamaan dalam panggung
depan dan belakang. Peneliti akan mencoba memilah antar setiap event. Dan
mengelompokkannya menjadi performing disaat back maupun front stage. Dan
cara aktor melakukannya dengan simbol yang digunakan untuk membawa
kekuatan politiknya dan mempengaruhi perilaku pemilih khususnya.
Kemudian pada penyajiannya seseorang bisa mengubah fashion (gaya ,
penampilan : pakaian, benda yang melekat di tubuh manusia) sebagai simbol/
lambang, menjadi lebih modern atau merakyat (kasus Deeng Ical), atau
pengaturan panggung sehingga dikenal lebih intelektual, atau tetap stylish saat di
depan publik.
Dalam salah satu buku yang telah dibaca penulis yang berjudul
“Komunikasi dan Identitas Kepemimpinan B.J. Habibie”, menjelaskan bahwa
dalam pertemuan tatap muka antarpribadi, kharisma yang memukau setiap orang.
Ucapannya jelas dan dipertegas dengan bahasa non-verbal, khususnya bahasa
wajah atau yang mempesona dengan sorot mata yang memancarkan kejujuran,
keyakinan, antusiasme, dan wibawa. Bila orang berbicara dengannya, ia diam
mendengarkan dengan penuh perhatian dan terkadang memberikan tanggapan,
tidak bedanya seperti mengikuti buku instruksi tentang “active listening”, sampai
orang itu selesai. Dari pengalaman beberapa orang yang bertemu dengannya untuk
pertama kali, dapat disimpulkan bahwa mereka dapat belajar banyak dari Habibie
bukan saja dari kata-kata yang diucapkan yang diperkuat dengan bahasa non-
verbal tetapi juga cara dia memperlakukan orang lain dengan santun, penuh
perhatian dan iklim suportif. Dengan begitu, mereka bertambah percaya diri, serta
memiliki kesan dan kepercayaan yang makin mendalam tentang ‘kharisma’
Habibie.
Seperti juga yang dikemukakan Mead tentang komunikasi, bentuk paling
sederhana dan paling pokok dalam komunikasi dilakukan melaui isyarat. Hal ini
disebabkan karena manusia mampu menjadi objek untuk dirinya sendirinya dan
melihat tindakan-tindakannya sebagaimana orang lain dapat melihatnya. Lebih
khususnya lagi, komunikasi simbolis manusia itu tidak terbatas pada isyarat-
isyarat fisik. Sebaliknya, ia menggunakan kata-kata, yakni simbol suara yang
mengandung arti dan dipahami bersama dan bersifat standar.
Suatu konsep yang memandang masyarakat dibentuk oleh suatu pertukaran
gerak tubuh dan bahasa (simbol) yang mewakili proses mental. Simbol atau tanda
yang diberikan oleh manusia dalam melakukan interaksi mempunyai makna-
makna tertentu, sehingga akan dapat menimbulkan komunikasi. Menurut Mead,
komunikasi secara murni baru terjadi bila masing-masing pihak tidak saja
memberikan makna terhadap perilaku mereka sendiri, tetapi memahami atau
berusaha memahami makna yang diberikan pihak lain.
Interaksi manusia milik Goffman tidak serta merta melihat dari sisi sosiologi
namun telah bermakna politik dan dimanfaatkan sebagai cara berpolitik
‘meaning’. Terdapat penggunaan simbol-simbol (ekspresi, slogan, atribut partai,
gaya berpenampilan, cara berkomunikasi (gaya bahasa), dan tim sukses) untuk
pemilihan Walikota Makassar nanti. Inilah cara tim Daeng Ical beserta
pasangannya “DIA” menggunakan simbol-simbol tersebut, dan merepresentasikan
apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya dan
dengan masyarakat.
Dalam kapasitas manusia, proses penyimbolan yang terjadi: (i) melihat hal-
hal tidak sebagai adanya melainkan sebagai sesuatu yang mungkin telah berada di
masa lalu dan mungkin akan ada di masa depan; (ii) menggunakan suara atau
gambar di atas kertas sebagai tanda konvensional dan dengan begitu
berkomunikasi dengan orang-orang lain; (iii) melalui fungsi-fungsi penciptaan
dunia tidak pernah ada dalam relitas fisik. Singkat kata, kemampuan menciptakan
lambang, menggunakan lambang, dan pertukaran lambang merupakan inti dari
hakikat manusia.
Pada bagian belakang penulis akan menjelaskan bagaimana Daeng Ical
sebagai Daeng merancang desain awal aktor tersebut bersama Timnya bekerja
pada saat performing.
Kemudian fokus panggung depan yaitu penampilan Daeng Ical itu sendiri
pada event-event yang berbeda dan respon masyarakat dengan adanya penampilan
tersebut. Ini yang kemudian menjadi alasan mengapa penulis mengambil metode
etnografi dalam penelitiannya. Etnografi selalu menggunakan hal yang dikatakan
oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan kebudayaan orang tersebut.
Kebudayaan yang implisit maupun yang eksplisit, terungkap melalui perkataan,
baik dalam komentar sederhana maupun dalam wawancara panjang. Wawancara
etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara mengenai hal
yang mereka ketahui. Bahasa, tingkah laku, gerak-gerik ini secara tidak langsung
menjadi penilaian penting dalam penelitian etnografi melalui wawancara.
Dalam performance ada tiga hal yang dilihat:
a. Aktor : Daeng Ical, sang aktor memainkan perannya sesuai skenario
diikuti dengan beberapa daya tarik yang menjadi ciri khas aktor tersebut.
Daya tarik inilah yang penulis kategorikan sebagai simbol Mead, dapat
berupa kostum yang ia kenakan, perilaku, gerak tubuh, benda yang
digunakan.
b. Panggung : panggung dianalogikan dengan wilayah kota Makassar yang
menjadi lokasi pertunjukkan sang aktor.
c. Back Stage : menjadi simbol dimana sang aktor melepas kostumnya,
atributnya, skenarionya dan kembali menjadi dirinya yang asli (bersama
keluarga dan jabatannya sebagai ketua PMI.
Sejumlah “Theatrical Performance” yang menjadi unsur penting dan telah
diperankan oleh Daeng Ical :
• Pertama, menggunakan kostum yang selalu menarik perhatian,
berbeda dan kesannya kadang tidak terlalu formal, dengan atribut, tim
sobat muda, komunitas motor, serta seragam warna yang mencolok
dengan masyarakat kota Makassar.
• Kedua, Daeng Ical memperlihatkan bahasa tubuhnya yang dinamis.
Kadang sangat bermakna politis, sebagai simbol negosiasi dan calon
seorang pemimpin.
• Ketiga, sebagai seorang kandidat Wakil Walikota Makassar, Daeng Ical
memperlihatkan pesonanya sebagai salah satu daya tarik. Kharisma
yang dimiliki layaknya kontestasi kharisma dalam mengikat
konstituennya.
• Keempat, kematangan berpikir dan cara berkomunikasi (linguistik)
sehingga meninggalkan kesan bersahabat dengan masyarakat.
• Kelima, Daeng Ical mengekspresikan diri melalui wajahnya
(ekspresif).
• Keenam, settingan yang dilakukan oleh Daeng Ical yang sangat
Makassar (Makassari), mencerminkan kesimbolannya “diri”.
Berikut skema setiap performing politiknya Daeng Ical yang dirancang
untuk diteliti pada setiap kegiatan calon Wakil dan Walikota Makassar menuju
Pemilu September 2013 nanti.
Misal: Event X
Back Stage
simbol simbol simbol
stage 1 stage 2 stage 3
Front Stage
Performance
Gambar 1
Tim sukses dan rekan politik
Tim sukses dan rekan politik
Tim sukses dan rekan politik
Calon Wakil Walkot Makassar (Daeng Ical)
Calon Wakil Walkot Makassar (Daeng Ical)
Calon Wakil Walkot Makassar (Daeng Ical)
Audience III (masyarakat
Makassar (warga
lorong))
Audience II
(anak muda Makassar)
Audience I (para
Mahasiswa dan alumni Fisip,Unhas)
Perlu diketahui bahwa dalam memerankan cerita dalam pangungnya Daeng
Ical, ia memanfaatkan beberapa panggung yang merupakan lokasi hasil seleksi
dari timnya. Hal-hal yang diciptakan oleh Daeng Ical selaku penentu tujuan cerita
antara lain : gestur, intonasi dan atmosfir. Semuanya akan disesuaikan ketika
Daeng Ical bertemu dengan masyarakat yang berbeda-beda.
Prinsip metodologi interaksi simbolik (dikaitkan dengan performance
Daeng Ical) sebagai berikut; (1) simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup bila
kita hanya merekam fakta. Peneliti harus mencari yang lebih jauh dari itu, yakni
mencari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan makna sebenarnya yang
terjadi pada saat berhadapan dengan masyarakat Makassar beserta timnya. (2)
Karena simbol dan makna itu tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subyek
perlu “ditangkap”. Pemahaman mengenai konsep jati diri subyek yang demikian
itu adalah penting. (3) Peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dan jati
diri dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. Konsep jati diri terkait
dengan konsep sosiologis tentang struktur sosial, dan lainnya. (4) Hendaknya
direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya
merekam fakta sosial. (5) Metode-metode yang digunakan hendaknya mampu
merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. (6) Metode yang dipakai hendaknya
mampu menangkap makna di balik interaksi. (7) Sensitizing, yaitu sekedar
mengarahkan pemikiran, itu yang cocok dengan interaksionalise simbolik, dan
ketika mulai memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi yang lebih
operasional, menjadi scientific concepts.
Pernyataan Erving Goffman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
interaksi. Pendekatan dramaturgi yang menggunakan bahasa dan khayalan teater
untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari suatu interaksi sosial.
Dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak, secara sengaja maupun tidak,
salah satu pihak membuat pernyataan atau ekspresi dan pihak lainnya memperoleh
kesan tertentu dari perjumpaan itu.
F. Metode Penelitian
Sebelumnya penulis akan menjelaskan mengapa penelitian ini mengambil
teknik etnografi untuk mengambil data di lapangan. Mengingat penulisan ini
adalah untuk menggunakan sekaligus membuktikan teori dramaturgi yang
didalamnya terdapat teori interaksi simbolik milik Mead, maka semua kata yang
digunakan informan dalam menjawab pertanyaan bagi penulis adalah simbol-
simbol. Cara informan berpakaian juga merupakan simbol, sebagaimana juga
ekspresi wajahnya serta gerakan tangannya. Simbol adalah objek atau peristiwa
apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur, yakni
simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara simbol dengan
rujukan. Simbol yang dibahas dalam tesis ini adalah penampilan meliputi bahasa,
tingkah laku/tindakan, dan aktivitas Daeng Ical.
Dalam buku“A Hand Book of Methodologies For Mass Communication
Research”, Jensen dan Jankowski menempatkan etnografi sebagai sebuah
pendekatan. Sehingga peneliti menggunakan Etnografi sebagai merode penelitian.
Metode etnografi adalah suatu metode penelitian yang mengamati, mengobservasi
tingkah laku konsumen dan prospek langsung dalam keseharian mereka
berinteraksi. Etnografi tidak dilihat sebagai alat untuk mengumpulkan data tetapi
sebuah cara untuk mendekati data dalam meneliti fenomena komunikasi. Menurut
Hammersley dan Atkinson (1983: 2 dalam Jansen and jankowski, 1991: 153),
etnografi dapat dipahami sebagai sebuh metode sosial. Etnografi merupakan suatu
pernyataan teoretis tentang orang-orang yang diteliti, sebuah teori sebuah
budaya. Etnografi dirancang untuk menjadi bagian dari kumpulan pengetahuan
komparatif mengenai hubungan masyarakat.
Sebagai metode penelitian, etnografi memiliki beberapa teori dasar yang
dapat dijadikan pijakan untuk memperkuat posisi etnografis secara metodis. Teori-
teori dimaksud adalah teori interaksionisme simbolik dan teori fenomenologi,
termasuk konstruksi sosial dan etnometodologi. Keberadaan teori tersebut dapat
dijadikan penopang etnografi karena perhatiannya pada aspek budaya dalam
kehidupan individu dan masyarakat.10 Teori interaksionisme simbolik misalnya
lebih melihat budaya sebagai sistem simbolik dimana makna tidak berada dalam
benak manusia, tapi makna dan simbol itu terbagai actor sosial di antara, bukan di
dalam dan mereka adalah umum tidak mempribadi. Budaya merupakan lambang-
lambang makna yang terbagi secara bersama. Budaya juga merupakan
pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan pengalaman dan
menyimpulkan perilaku sosial (Spradley, 1979).
10Dalam studi tingkah laku, etnografi mempunyai peranan yang penting, beberapa sumbangannya yang khas yaitu : - menginformasikan teori-teori ikatan budaya,- memahami masyarakat yang kompleks,- menemukan Grounded Theory,- memahami perilaku manusia (yang menjadi titik fokus penelitian)
Etnografi secara alami dipandang sebagai penyelidikan mengenai aktivitas
hidup manusia. Oleh Greetz disebut sebagai “informal logic of actual life”.
Berbasis pandangan ini, seharusnya etnografi mampu menghasilkan deskripsi
secara detail dari pengalaman kongkrit dengan latar budaya dan aturan sosial
tertentu, pola-pola yang ada di dalamnya bukan berpatokan pada hukum yang
universal.11
Dalam kajian sosiologi, etnografi digunakan untuk meneliti kelompok atau
komunitas relasi-interaksi manusia individu atau masyarakat berkaitan dengan
perkembangan sosial dan budaya tertentu yang didasarkan atas kajian-kajian dan
teori yang dipakai, misalnya penelitian mengenai anak-anak jalanan, pengamen
dan lain sebagainya.
Mengambil contoh penelitian Amalinda Savirani yang juga menggunakan
metode Etnografi yang berjudul “Praktek Etika Bisnis Di Kalangan Pengusaha
Batik Muslim”, metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi
secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas. Dengan teknik “observatory
participant”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena
mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau
komunitas sosial tertentu. Sehingga hal ini membuat peneliti mengangkat
etnografi sebagai metode pengambilan data.Dalam karyanya, terlihat betapa salah
satu dosen Fisipol UGM ini menggunakan kata-kata yang mendeskripsikan
masalah dengan detail yang amat jelas dan terkesan dan memang menggunakan
high level definition. Dalam penulisannya, Amalinda mencoba menjelaskan
11 Ibid, 8 etnografi selalu mendeskripsikan hal yang bersifat umum
tentang konsep sosial budaya yang luas dari hasil penelitiannya, dan dengan baik
pembaca mudah memahami rangakain kalimanya.
Penulis dapat simpulkan bahwa dalam penelitian etnografi, peneliti berusaha
untuk mempelajari suatu kelompok budaya selama periode waktu yang lama
dengan mengumpulkan data melalui observasi. Proses penelitian bisa fleksibel
dan berkembang secara kontekstual sesuai dengan realita yang ditemui di
lapangan. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku,
kebiasaan, dan cara hidup. Karena penulis yang berada di lapangan berproses dan
menghasilkan sebuah kesimpulan akhir dari sebuah penelitian. Sebagai proses,
penulis melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok,
dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup
responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok
tersebut. Penulis yang waktu itu sebagai peneliti mempelajari arti atau makna dari
setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok kandidat nomor 8.
Mengapa peneliti mengambil etnografi, karena peneliti sehubungan dengan
studi kasus yang ada ingin mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku,
bahasa, dan interaksi Daeng Ical dalam masyarakat kota Makassar. Dalam
pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau
melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. (Participant
observation, life history), yang kemudian diperdalam dengan indepth interview
terhadap masing-masing individu dalam kelompok tersebut.
Namun tidak seberuntung analisis wacana, studi kasus dan semiotik, selama
ini belum banyak buku-buku khusus yang membahas metode penelitian etnografi,
khususnya di Indonesia. Pun metode ini juga belum terlalu banyak diadaptasi oleh
para peneliti dalam kajian komunikasi, sosiologi dan keilmuan lain walaupun
diakui sumbangsihnya dalam menyediakan refleksi mengenai masyarakat dan
perkembangan budaya masyarakat terhitung tidak sedikit. Beberapa keunikan dan
fenomena yang mengikuti eksistensi metode penelitian etnografi dalam sosiologi
ini membuat peneliti meliriknya sebagai salah satu metode yang laik dikenalkan,
dikembangkan, dan dirujuk dalam penelitian.
Etnografi bukanlah penelitian yang semata-mata pekerjaan lapangan,
etnografi juga bukan semata-mata sebuah deskripsi kisah,12 atau laporan tertulis
mengenai individu atau satu kelompok masyarakat yang dihasilkan oleh peneliti
yang melewatkan periode waktu tertentu guna membenamkan diri dalam konteks
individu dan kelompok atau komunitas yang diteliti, dengan tujuan
menggambarkan realitas sosial dan budaya individu dan kelompok sehingga dapat
dipahami oleh pembaca etnografi. Akan tetapi dalam studi etnografi dalam
penelitian ini, peneliti akan menemukan gejala, faktor dan tingkah laku seperti apa
yang menjadi dampak oleh interaksi sang aktor/tokoh masyarakat dengan
masyarakatnya.
Adapun unit analisis utama penulis dalam tesis ini adalah masyarakat dan
aktor, tindakan dan interaksi mereka. Tekniknya adalah teknik kualitatif melalui
tahap-tahap pengkajian data, mereduksi data dan memeriksa keabsahan data.
Setelah data dikumpulkan, dianalisis, kemudian dilakukan interpretasi data.
12 James P. Spradley, “Metode Etnografi” hal. 88 menjelaskan mengenai sifat dari metode etnografi
Tujuan interpretasi data adalah mendeskripsikan fakta yang ada, mendeskripsikan
data secara analitik dan menyusun teori subtantif atau teori yang disusun dari
dasar atau dari data (Moleong, 1994).
F. 1. Lokasi dan Subyek Penelitian
F.1.1 Lokasi Penelitian
Studi ini dilakukan di kota Makassar mengingat lokasi penelitian
mengambil setting pada tempat diadakannya Pemilu. Sedangkan penentuan
subyek penelitian didasarkan pada aktor yang diyakini memang secara tidak
langsung berpengaruh pada pemilih-pemilih pemula. Sehingga bagaimana Daeng
Ical ini berhadapan dengan kategori selain pemilih pemula. Menarik ditelusuri
settingan, performance, panggung, dan interaksi yang terjadi melibatkan informan
ini.
Alasan peneliti memilih lokasi penelitian di kota Makassar dikarenakan:
1. Pilkada berlangsung di Kota Makassar
2. Semua informan dalam penelitian ini berada dan berdomisili di Kota Makassar.
Selain itu, alasan peneliti memilih kota Makassar sebagai lokasi penelitian
dikarenakan kota Makassar cenderung menjadi sentral perpolitikan di Sulawesi
Selatan.
Adapun informan atau responden yang menjadi target dari studi ini meliputi:
1. Calon Wakil Walikota Kota Makassar 2014-2019 “Syamsu Rizal”.
2. Tim sukses Syamsu Rizal.
3. Anggota partai politik pengusung Syamsu Rizal.
4. Pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan
yang diadakan oleh calon Wakil Walikota.
F.2. Teknik pengumpulan data
F.2.1 Alur Penelitian
Secara prosedural, alur penelitian etnografi cukup beragam, namun alur
penelitian etnografi yang digunakan oleh penulis ialah yang cukup baik
disampaikan oleh Spradley. Alur ini dikenal dengan nama siklus penelitian
etnografi sehingga peneliti mengambil alur ini sebagai pemandu peneliti di
lapangan nanti.
Pertama, pemilihan suatu proyek etnografi. Siklus ini dimulai dengan
memilih suatu proyek penelitian etnografi dengan mempertimbangkan ruang
lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dapat berjarak sepanjang satu
kontinum dari etnografi makro ke etnografi mikro. Makro etnografi dalam
konteks ini dapat berupa: kompleksitas masyarakat, multipleksitas komunitas,
studi komunitas tunggal, multipleksitas institusi-institusi sosial, institusi sosial
tunggal, dan multipleksitas situasi sosial. Sementara mikro etnografi berupa
situasi sosial tunggal. Penelitian makro etnografi biasanya memerlukan waktu
yang panjang dan melibatkan banyak etnografer. Sementara etnografi mikro bisa
dilakukan dalam waktu yang singkat. Untuk memandu bagaimana pemilihan suatu
fokus proyek etnografi, Hymes mengidentifikasi tiga model penelitian etnografi,
yaitu (1) Etnografi koprehensif, mencari dokumen suatu jalan total kehidupan.
Peneliti melakukan penelitian sebuah desa yang diinginkan melalui observasi
partisipan, dan mencoba mendeskripsikan rentangan luas tentang adat istiadat. (2)
Etnografi berorientasi topik, peneliti mempersempit fokus pada satu atau lebih
aspek kehidupan yang diketahui ada dalam suatu masyarakat, misalnya hubungan
keluarga, perilaku peminum dan lain-lain, (3) Etnografi berorientasi hipotesis,
ditujukan untuk menggali pengaruh budaya pada kehidupan manusia.
Kedua, pengajuan pertanyaan etnografi. Mengajukan pertanyaan
etnografi menunjukkan bukti yang cukup referensial ketika hendak melakukan
wawancara, termasuk ketika etnografer sedang melakukan observasi dan membuat
catatan lapangan. Dalam penelitian etngrafi, peneliti dapat mengajukan
pertanyaan yang berhubungan dengan (1) suatu diskripsi tentang konteks, (2)
analisis tentang tema-tema utama, (3) interpretasi perilaku yang cultural.
Ketiga, pengumpulan data etnografi. Tahap berikutnya dari siklus
penelitian etnografi adalah mengumpulkan data lapangan. Melalui observasi
partisipan, peneliti akan mengamati aktivitas orang, karakteristik fisik situasi
sosial dan apa yang akan menjadi bagian dari tempat kejadian. Singkatnya semua
data tentang kehidupan sehari-hari subjek penelitian perlu digali dan dipahami
oleh seorang peneliti melalui instrument penggali data.
Keempat, pembuatan rekaman etnografi. Tahap ini memberikan
penekanan kepada kemampuan peneliti untuk mencatat dan merekam semua
kegiatan penelitian yang sedang dan telah dilakukan. Mulai dari mencatat hasil
wawancara dan observasi, mengambil gambar/foto, membuat peta situasi. Ini
semua dilakukan agar tidak terjadi gap antara hasil observasi dengan analisis.
Kelima, analisis data etnografi. Dalam penelitian etnografi, analisis data
tidak dilakukan diakhir pekerjaan, tapi dilakukan pada saat melakukan pekerjaan.
Karena analisis data tidak perlu menunggu data terkumpul banyak. Analisis data
yang diilakukan pada saat penelitian akan memperkaya peneliti untuk menemukan
pertanyaan baru terkait data yang diperoleh, sehingga dengan munculnya
pertanyaann baru ini, akan memperkaya dan memperdalam penelitian yang
dilakukan.
Keenam, penulisan sebuah etnografi. Sebagai akhir dari pekerjaan
etnografi, menjadi kewajiban peneliti menyampaikan atau memaparkan hasil
penelitiannya. Mengingat sifat etnografi yang natural, maka pemaparan yang
dilakukan harus dilakukan secara natural, seperti layaknya proses alami yang
dialami seorang manusia ketika berada dalam sebuah lingkungan budaya.
Kemudian untuk pengumpulan dan pemaparan data mempunyai instrumen
tersendiri.
F.2.2 Instrumen Pengumpul dan Paparan Data
Dalam rangka pengumpulan data sebagaimana layaknya penelitian kualitatif
yang mengedepankan naturalitik dalam mendapatkan data yang sifat deskriptif,
maka penelitian etnografi juga memafaatkan teknik pengumpulan data yang
digunakan penelitian kualitatif pada umumnya, namun ada beberapa teknik yang
khas. Adapun instrumen pengumpul data pada penelitian etnografi sebagai
berikut:
Pertama, wawancara mendalam (indepth interview). Mengingat karakter
etnografi yang naturalistik, maka bentuk pertanyaan atau wawancara yang
dilakukan pada masyarakat kota Makassar merupakan pertanyaan terbuka dan
sifatnya mengalir sehingga peneliti bisa mengetahui anggapan dan kesan yang
ditinggalkan oleh sang aktor usai tampil dalam setiap kegiatannya.Meski
demikian untuk menjaga fokus penelitian ada baiknya seorang peneliti memiliki
panduan wawancara yang sifatnya fleksibel.
Kedua, observasi partisipan (participant observation). Peneliti
membutuhkan teknik ini karenaperlu mengetahui dan memahami apa saja yang
dilakukan subyek penelitian, prilaku keseharian, kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan keseharian, hingga pada pemahaman terhadap simbol-simbol kehidupan
subjek penelitian dalam keseharian yang bisa jadi orang lain tidak memahami apa
sebenarnya simbol itu.
Ketiga, diskusi kelompok terarah (focus group discussion), merupakan
kegiatan diskusi bersama antara peneliti dengan subjek penelitian secara terarah.
Dengan penetapan ini, merupakan langkah untuk menghindari ketimpangan atau
dominannya satu kelompok atau individu dalam sebuah diskusi. Kemudian
dilanjutkan dengan tema yang akan diusung peneliti, dan diskusikan secara
bersama. Proses inilah yang kemudian oleh peneliti dicatat secara rinci untuk
kemudian dijadikan dasar pijak untuk memperdalam dan memperkaya data
etnografi. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari kelompok tim
sukses DIA berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan
tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari
seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti (Afriani, 2009).
Dalam metode etnografi, yang diambil oleh penelitipada kasus di Makassar
FGD dapat memberikan fokus terhadap penelitian dari pengembangan hipotesis
penelitian yang relevan dengan mengeksplorasi secara lebih mendalam masalah
untuk diselidiki dan kemungkinan penyebabnya, dapat merumuskan pertanyaan
yang tepat untuk lebih terstruktur, membantu memahami dan memecahkan
masalah tak terduga diintervensi, mengembangkan pesan yang tepat untuk
program atau kebijakan yang ingin dicapai dan disampaikan oleh calon Wakil
Walikota Makassar ini pada saat berinteraksi dihadapan masyarakat.
Keempat, analisis dokumen (document analysis).
Dalam penelitian etnografi, analisis data tidak dilakukan diakhir penelitian
tapi dilakukan pada saat sebelum melakukan penelitian. Karena analisis data tidak
perlu menunggu data terkumpul banyak. Analisis data yang dilakukan pada saat
memulai penelitian akan memperkaya peneliti untuk menemukan pertanyaan-
pertanyaan baru terkait data yang diperoleh, sehingga dengan munculnya
pertanyaan baru, akan memperkaya dan memperdalam penelitian yang dilakukan.
F.3. Metode Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif deskriptif
dengan mengkombinasikan metode live-in dalam pelacakan data dan metode
analisis wacana dalam analisis data. Analisis wacana dipilih karena dua
pertimbangan. Pertama, terbatasnya jangka waktu peneliti untuk melakukan live-
in, yakni pengamatan terlibat/partisipatif. Kedua, analisis wacana berguna untuk
menangkap makna interaksi, simbol/makna dari interaksi, performance (back
stage dan front stage). Wacana menurut Goffman merupakan ide, gagasan, opini,
konsep dan pandangan hidup yang dibentuk dalam suatu konteks tertentu
sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu. Analisis wacana
yang digunakan penelitian ini memakai perspektif Goffman dalam melihat
bagaimana interaksi sosial yang terjadi.
Untuk itu, mutlak diperlukan dalam analisis wacana guna melihat
bagaimana setiap kelompok termasuk yang berkuasa mereproduksi kebenaran atas
suatu wacana, termasuk bagaimana reproduksi kebenaran-kebenaran itu
disebarluaskan dan diamini kebenarannya oleh khalayak.
G. Sistematika Penulisan
Pada Bab I, yang merupakan pendahuluan yaitu terdiri dari latar belakang,
kemudian merumuskan masalah berdasarkan teori dan membuat kerangka teori
yang digunakan dengan mengaitkan dengan kasus yang diambil oleh penulis,
kemudian dilengkapi dengan tujuan penelitian.
Pada Bab II, ini memberikan gambaran tentang subyek atau pelaku utama dalam
drama kampanye pemilihan kota Makassar. Penulis akan menguraikan
pendukung-pendukung dari jalannya cerita dan menjelaskan pemetaan instrumen
simbolik seorang calon Wakil Walikota Makassar menjelang Pemilu.
Pada Bab III, adalah pembagian panggung, tentang persiapan tim ( tim suskes dan
pihak yang secara tidak langsung terlibat) untuk mengemas kesan, trik yang
digunakan ketika berhadapan dengan tipe-tipe masyarakat.
Pada Bab IV, berisikan kesan yang merupakan hasil dari pertunjukkan Daeng Ical.
Pada bab ini penulis menjabarkan secara rinci gestur,intonasi,atmosfer yang
dilakukan oleh Daeng Ical dalam pertemuan tatap muka setiap orang baik secara
personalistik maupun formalistik.
Pada Bab V, merupakan respon dari masyarakat kota Makassar dan reflektif yang
diberikan adalah jawaban atas tujuan dramaturgi kandidat Wakil Walikota
Makassar ini.
Pada bab VI merupakan kesimpulan dan pernyataan atas konektivitas kajian awal
studi dramaturgi Erving Goffman dalam kasus perpolitikan di Indonesia
khususnya di kota Makassar.