RUU Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

139
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, namun juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana; bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik dan standar internasional, sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang baru; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. 2. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau Transaksi lain yang berhubungan dengan uang. 3. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; atau b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil

description

RUU Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Transcript of RUU Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …TENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASANTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a.

b.

c.

d.

bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, namun juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana;bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik dan standar internasional, sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang baru;bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.

2. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau Transaksi lain yang berhubungan dengan uang.

3. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi

dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; ataub. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk

menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau

c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil

tindak pidana.4. Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas

dan/atau uang logam.5. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang

ini, untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pencucian uang guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

6. Penyelidik adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan Penyelidikan.

7. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

8. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.9. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.10. Pihak Pelapor adalah setiap orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan

kepada PPATK.11. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Pihak Pelapor.12. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun

yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung.13. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan

Korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk melakukan perbuatan tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.

14. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.

15. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, atau benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a. tulisan, suara, atau gambar;b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang

yang mampu membaca atau memahaminya.16. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan,

pengaturan dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor.17. Pengawasan Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur, serta PPATK

untuk memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi.

Pasal 2(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :

a. korupsi;b. penyuapan;c. narkotika;d. psikotropika;e. penyelundupan tenaga kerja;f. penyelundupan imigran;g. di bidang perbankan;h. di bidang pasar modal;i. di bidang perasuransian;j. kepabeanan;k. cukai;l. perdagangan orang;m. perdagangan senjata gelap;n. terorisme;o. penculikan;p. pencurian;q. penggelapan;r. penipuan;s. pemalsuan uang;t. perjudian; u. prostitusi;v. di bidang perpajakan;w. di bidang kehutanan;

2

x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih,

yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perorangan, dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

BAB IITINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pasal 3Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

Pasal 4Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan atas asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 51) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,

sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 6(1) Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh

Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.

(2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian uang:a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dand. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.

Pasal 7(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana

tambahan berupa:a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;c. pencabutan izin usaha; d. pembubaran dan pelarangan Korporasi;e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atauf. pengambilalihan Korporasi oleh negara.

Pasal 8Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 8 (delapan) bulan.

Pasal 9

3

1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.

2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, maka pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Pasal 10Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang turut serta melakukan, percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5.

BAB IIITINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pasal 11Dalam hal PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 121) Setiap orang wajib merahasiakan Dokumen, informasi, atau keterangan yang berkaitan dengan

Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diketahui atau diperolehnya.2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap PPATK, penyidik, penuntut

umum, dan hakim apabila dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban menurut undang-undang yang berlaku atau demi kepentingan umum.

Pasal 13(1) Direksi, Komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna

Jasa atau pihak lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

(2) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.

(3) Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.

(4) Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini.

(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 14Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 8 (delapan) bulan.

BAB IVPELAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN

Bagian KesatuPihak Pelapor

Pasal 151) Pihak Pelapor meliputi:

a. penyedia jasa keuangan:1. bank;2. perusahaan pembiayaan;3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;4. dana pensiun lembaga keuangan;5. perusahaan efek;

4

6. manajer investasi;7. kustodian;8. wali amanat;9. perposan sebagai penyedia jasa giro;10. pedagang valuta asing;11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;12. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet;13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;14. pegadaian;15. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

b. profesi yang terdiri dari advokat, konsultan bidang keuangan, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan akuntan.

c. penyedia barang dan/atau jasa lainnya: 1. perusahaan properti/agen properti;2. dealer mobil;3. pedagang permata dan perhiasan/logam mulia;4. pedagang barang seni dan antik; atau5. balai lelang.

2) PPATK berwenang menetapkan Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian KeduaPenerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa

Pasal 161) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa.2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh masing-

masing Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilakukan pada saat:a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;b. terdapat Transaksi dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing dalam jumlah paling sedikit

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);c. terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang dan

tindak pidana pendanaan kegiatan teroris; ataud. Pihak Pelapor meragukan kebenaran Informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.

(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.

(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa, paling sedikit memuat:a. identifikasi Pengguna Jasa;b. verifikasi Pengguna Jasa; danc. pemantauan transaksi pengguna jasa.

(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.

Pasal 171) Setiap orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan

informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor, dan paling sedikit meliputi identitas diri, sumber dana dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya.

2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, maka setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan Informasi mengenai identitas diri, sumber dana dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut.

Pasal 181) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak

Pelapor, bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain.2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang

lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.

3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut.

5

Pasal 19(1) Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan oleh masing-masing Lembaga Pengawas dan Pengatur.(2) Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima)

tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa tersebut.

Pasal 20(1) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, wajib memutuskan hubungan

usaha dengan Pengguna Jasa jika :a. Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau

b. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa. (2) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melaporkan kepada PPATK mengenai tindakan

pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.

Bagian KetigaPelaporan

Paragraf 1Penyedia Jasa Keuangan

Pasal 211) Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan

laporan kepada PPATK yang meliputi:a. Transaksi Keuangan Mencurigakan;b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500. 000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

atau dengan mata uang asing yang nilainya setara yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau

c. Transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri.2) Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditetapkan

dengan Keputusan Kepala PPATK.3) Besarnya jumlah transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c, ditetapkan dengan Peraturan Kepala PPATK. 4) Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan

terhadap:a. Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank sentral;b. Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan c. Transaksi lain.

5) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk Transaksi yang dikecualikan.

6) Kepala PPATK berwenang menetapkan Transaksi lain yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c.

Pasal 22 1) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(1) huruf a dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Pihak Pelapor mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.

2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.

3) Penyampaian laporan Transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.

4) Penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenakan sanksi administratif.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.

Pasal 231) Penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan terhadap Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja

terhitung sejak penundaan Transaksi dilakukan.

6

2) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam hal Pengguna Jasa: a. melakukan Transaksi yang patut diduga menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);b. memiliki rekening untuk menampung Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atauc. diketahui menggunakan Dokumen palsu.

3) Pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam berita acara penundaan Transaksi.

4) Penyedia jasa keuangan memberikan salinan berita acara penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.

5) Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan penundaan Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita acara penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu penundaan Transaksi dilakukan.

6) Setelah menerima laporan penundaan Transaksi, PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.

7) Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kelima, Penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut.

Pasal 24(1) Penyedia jasa keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang

dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4).(2) Penyedia jasa keuangan yang tidak membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang

dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif .

Paragraf 2Profesi

Pasal 251) Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan kepada PPATK berupa:

a. Transaksi dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara; dan/atau

b. Transaksi Keuangan Mencurigakan yang ditemukan dalam pelaksanaan tugas.2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja

terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.

3) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Pihak Pelapor mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.

4) Profesi yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif.

Paragraf 3Penyedia Barang dan/atau Jasa lainnya

Pasal 261) Penyedia barang dan/atau jasa lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c wajib menyampaikan

laporan Transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara kepada PPATK.

2) Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.

3) Penyedia barang dan/atau jasa lainnya yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif.

Paragraf 4Pelaksanaan Pelaporan

Pasal 27Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor, dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan.

Pasal 28Pihak Pelapor, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban dan wewenang menurut Undang-Undang ini.

7

Pasal 291) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), dan

Pasal 26 ayat (3) dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Dalam hal Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) belum memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur, pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh PPATK.

3) Sanksi administratif yang dikenakan oleh PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:a. peringatan;b. teguran tertulis;c. pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi;dan/ataud. denda administratif.

4) Penerimaan hasil denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dinyatakan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai peraturan perundang-undangan.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.

Bagian KeempatPengawasan Kepatuhan

Pasal 301) Pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi penyedia jasa keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK.

2) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, pengawasan kepatuhan pelaporan dilakukan oleh PPATK.

3) Hasil pelaksanaan pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada PPATK.

4) Tata cara pelaksanaan pengawasan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan PPATK sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 31Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan dan tidak dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, maka Lembaga Pengawas dan Pengatur segera menyampaikan temuan tersebut kepada PPATK.

Pasal 32Lembaga Pengawas dan Pengatur yang berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor, wajib memberitahukan kepada PPATK setiap kegiatan atau Transaksi Pihak Pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik langsung atau tidak langsung dengan tujuan melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

BAB VPEMBAWAAN UANG TUNAI DAN INSTRUMEN PEMBAYARAN LAINNYA KE DALAM ATAU KE LUAR DAERAH PABEAN

INDONESIA

Pasal 331) Setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing,

dan/atau instrumen pembayaran lainnya dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia, wajib memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

2) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan.

3) PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 341) Setiap orang yang tidak memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen

pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai

8

dan/atau instrumen pembayaran lainnya yang dibawa dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2) Setiap orang yang telah memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) tetapi jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lainnya yang dibawa lebih besar dari jumlah yang diberitahukan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari kelebihan jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lainnya yang dibawa dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

3) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang tunai diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kas Negara oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

4) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat laporan mengenai pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak dikenakannya sanksi administrasi.

Pasal 35Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan pembawaan uang tunai, pengenaan sanksi administrasi terhadap instrumen pembayaran lainnya, dan penyetoran ke kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIPUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

Bagian KesatuKedudukan

Pasal 361) PPATK adalah lembaga yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan

bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.2) PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.3) Setiap pihak dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan

kewenangan PPATK.

Pasal 371) PPATK berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. 2) Dalam hal diperlukan dapat dibuka perwakilan PPATK di daerah.

Bagian KeduaFungsi, Tugas dan Wewenang

Pasal 38PPATK mempunyai fungsi melaksanakan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Pasal 39Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, PPATK mempunyai tugas sebagai berikut :a. melakukan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;b. melakukan pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;c. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;d. melakukan analisis laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau

tindak pidana lainnya; dane. melakukan penyelidikan dugaan tindak pidana pencucian uang.

Pasal 401) Dalam melaksanakan tugas upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39

huruf a, PPATK berwenang:a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari badan publik dan/atau lembaga swasta

yang memiliki atau mempunyai kewenangan mengelola data dan informasi;b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengkoordinasikan upaya-upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan

9

instansi terkait;d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan tindak

pidana pencucian uang;e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang

berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian

uang;(2) Penyampaian data dan informasi oleh badan publik dan/atau lembaga swasta kepada PPATK

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh badan publik dan/atau

lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 41Dalam melaksanakan tugas pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi.

Pasal 42Dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf c, PPATK berwenang:

a. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor;b. menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang;c. melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;d. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan

pengawasan terhadap Pihak Pelapor.e. memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan;f. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dang. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang

tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.

Pasal 43Dalam rangka melaksanakan tugas analisis laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf d, PPATK berwenang:

a. meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;b. meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;c. meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;d. meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum

atau mitra kerja di luar negeri;e. meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta baik di dalam atau luar

negeri; danf. memerintahkan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi.

Pasal 44Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dugaan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf e, PPATK berwenang:

a. menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana pencucian uang;

b. meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;

c. mencari dan mengumpulkan bahan keterangan dan barang bukti;d. meminta instansi berwenang untuk melakukan penyelaan informasi terhadap komunikasi yang

dilakukan dalam rangka melakukan tindakan penyelidikan projustisia. e. menghentikan sementara seluruh atau sebagian kegiatan Transaksi atas Harta Kekayaan yang

diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana;f. menghentikan sementara Transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk

menampung hasil tindak pidana pencucian uang;g. memblokir Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana;h. meminta informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal; i. meneruskan hasil penyelidikan kepada penyidik; danj. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

10

Pasal 45Dalam hal melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur tentang kerahasiaan.

Pasal 46Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan PPATK diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.

Bagian KetigaSusunan Organisasi

Pasal 47Susunan organisasi PPATK terdiri dari :

a. Kepala;b. Wakil Kepala;c. Jabatan struktural lainnya; dand. Jabatan fungsional.

Pasal 48Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan huruf b adalah Pejabat Negara.

Pasal 491) Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a mewakili PPATK di dalam dan di luar

pengadilan.2) Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

Wakil Kepala PPATK, dan/atau seorang atau beberapa orang pegawai PPATK, dan/atau pihak lain yang khusus ditunjuk untuk itu.

Pasal 50Kepala PPATK adalah penanggung jawab yang memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK.

Pasal 51Untuk dapat diangkat sebagai Kepala atau Wakil Kepala PPATK, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia; b. berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh)

tahun pada saat pengangkatan; c. sehat jasmani dan rohani; d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik;e. memiliki salah satu keahlian di bidang ekonomi, keuangan, atau hukum dan pengalaman di

bidang tersebut sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun; f. bukan pimpinan partai politik;g. bersedia memberikan informasi mengenai daftar harta kekayaannya;h. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dani. tidak pernah dijatuhi pidana penjara.

Pasal 52(1) Wakil Kepala PPATK bertugas membantu Kepala PPATK dalam pelaksanaan tugas.(2) Wakil Kepala PPATK dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung

jawab kepada Kepala PPATK.(3) Dalam hal Kepala PPATK berhalangan, Wakil Kepala PPATK menjalankan tugas Kepala PPATK.

Pasal 53Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.

Pasal 541) Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji

menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Presiden.2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya untuk menjadi Kepala/Wakil Kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun""Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun".

11

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapapun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan"."Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku Kepala/Wakil Kepala PPATK dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab"."Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Pasal 55Kepala dan Wakil Kepala PPATK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk sekali masa jabatan berikutnya.

Pasal 56Jabatan Kepala atau Wakil Kepala PPATK berakhir karena:

a. meninggal dunia;b. mengundurkan diri; atauc. berakhir masa jabatannya.

Pasal 571) Kepala atau Wakil Kepala PPATK diberhentikan karena:

a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia;b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga Negara Republik Indonesia; c. menderita sakit terus menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan

yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya; d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap;e. merangkap jabatan; f. dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau g. melanggar sumpah atau janji jabatan.

(2) Dalam hal Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK menjadi terdakwa tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatannya, diberhentikan sementara dari jabatannya.

(3) Dalam hal tuntutan terhadap Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK menjadi terdakwa dinyatakan tidak terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan yang bersangkutan dipulihkan kembali.

(4) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.

Pasal 58(1) Kepala dan Wakil Kepala PPATK berhak memperoleh penghasilan, hak-hak lain,

penghargaan dan fasilitas.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghasilan, hak-hak lain, penghargaan dan

fasilitas bagi Kepala dan Wakil Kepala PPATK diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 59Kepala PPATK dapat mengangkat tenaga ahli untuk memberikan pertimbangan mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.

Pasal 60Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian KeempatManajemen Sumber Daya Manusia

Pasal 61Kepala PPATK adalah pejabat pembina kepegawaian di lingkungan PPATK.

Pasal 621) Kepala PPATK selaku pejabat pembina kepegawaian menyelenggarakan manajemen

sumber daya manusia PPATK yang meliputi perencanaan, pengangkatan, pemindahan, pengembangan, pemberhentian, dan pemberian remunerasi.

2) Penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dilaksanakan berdasarkan prinsip meritokrasi.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen sumber daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

12

Bagian KelimaPembiayaan

Pasal 63Biaya untuk pelaksanaan tugas PPATK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB VIIPENANGANAN HARTA KEKAYAAN

Pasal 641) PPATK dapat melakukan pemblokiran Harta Kekayaan sesuai kewenangan berdasarkan Pasal

44 huruf g.2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila PPATK mengetahui

Harta Kekayaan tersebut:a. telah dilakukan penundaan oleh penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23

ayat (1);b. tidak dapat diterangkan asal usul oleh pemilik dan/atau yang menguasai;c. tidak diketahui siapa pemiliknya; d. diduga merupakan hasil tindak pidana; atau e. digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana.

(3) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari.

(4) Selama pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PPATK mengumumkan Harta Kekayaan tersebut sekurang-kurangnya di papan pengumuman resmi untuk penerangan umum atau media elektronik atau internet guna memberikan kesempatan kepada orang yang berhak atau pihak ketiga yang beritikad baik untuk mengajukan keberatan.

(5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 65(1) Dalam hal terdapat keberatan dari pihak ketiga mengenai pemblokiran atas Harta

Kekayaan, pihak ketiga tersebut dapat mengajukan keberatan kepada PPATK dengan melampirkan Dokumen atau bukti pendukung.

(2) PPATK wajib meneliti dan menilai kebenaran Dokumen atau bukti pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 661) Apabila hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) menunjukkan

bahwa Dokumen dan bukti pendukung diyakini kebenarannya, PPATK wajib mencabut keputusan pemblokiran.

2) Apabila hasil penelitian dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) menunjukkan bahwa Dokumen dan bukti pendukung tidak diyakini kebenarannya, PPATK wajib melanjutkan keputusan pemblokiran.

Pasal 67(1) Dalam hal PPATK memutuskan untuk melanjutkan keputusan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 66 ayat (2) maka orang yang berhak atau pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan.(2) Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh orang yang berhak dan/atau pihak ketiga

kepada pengadilan negeri paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman berakhir.(3) Pemeriksaan dilakukan melalui proses acara perdata, dengan mewajibkan pihak yang mengajukan

perlawanan untuk membuktikan bahwa Harta Kekayaan tersebut adalah miliknya atau sah dalam penguasaannya dan bukan berasal dari tindak pidana.

(4) Acara pemeriksaan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara cepat.

(5) Hakim harus sudah menjatuhkan putusan terhadap pemeriksaan perlawanan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 681) Dalam hal hakim berpendapat bahwa Harta Kekayaan tersebut adalah milik atau sah dalam kekuasaan

pihak yang mengajukan perlawanan dan tidak terkait dengan tindak pidana, hakim mengeluarkan putusan

13

untuk mencabut pemblokiran dan memerintahkan PPATK untuk mengembalikan Harta Kekayaan kepada yang berhak.

2) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa pihak yang mengajukan perlawanan tidak dapat membuktikan Harta Kekayaan tersebut milik dan sah dalam kekuasaannya dan tidak terkait dengan tindak pidana, hakim mengeluarkan putusan menolak permohonan dari pihak yang mengajukan perlawanan tersebut.

3) Putusan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.

Pasal 69Dalam hal tidak ada orang yang berhak dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan, PPATK mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk menetapkan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara.

BAB VIIIPENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN

DI SIDANG PENGADILAN

Bagian KesatuUmum

Pasal 70Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 71(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan

Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana.(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis

dengan menyebutkan secara jelas mengenai:a)nama dan jabatan yang meminta penundaan Transaksi; b)identitas setiap orang yang Transaksinya akan dilakukan penundaan; c)alasan penundaan Transaksi; dand)tempat Harta Kekayaan berada.

(3) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja. (4) Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan

Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum atau hakim. (5) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum,

atau hakim yang meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penundaan Transaksi.

Pasal 721) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada Pihak Pelapor

untuk melakukan pemblokiran terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari:

a. setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;b. tersangka; atau c. terdakwa.

2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:

a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau

terdakwa; c. alasan pemblokiran; d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan e. tempat Harta Kekayaan berada.

(3) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

(4) Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.

5) Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal

14

pelaksanaan pemblokiran.6) Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Pihak Pelapor yang bersangkutan.

Pasal 73Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang ialah:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/ataub. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan Dokumen.

Pasal 74Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang, tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Pasal 75(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim

berwenang meminta Pihak Pelapor untuk meminta keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari:a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;b. tersangka; atau c. terdakwa.

(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi keuangan lainnya.

(3) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai:

a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis PPATK, tersangka, atau terdakwa; c. uraian singkat mengenai tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat Harta Kekayaan berada.

(4) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan:a. laporan polisi dan surat perintah penyidikan;b. surat penunjukan sebagai penuntut umum; atauc. surat penetapan majelis hakim.

(5) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:

a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;

b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;

c. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum; atau

d. hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan. (6) Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada PPATK.

Bagian KeduaPenyelidikan

Pasal 761) Penyelidik terdiri atas: a. Penyelidik pada PPATK yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala PPATK; danb. Penyelidik tindak pidana asal.

2) Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 77(1) Dalam hal ditemukan bukti permulaan yang cukup oleh Penyelidik pada PPATK yang melakukan

penyelidikan tindak pidana pencucian uang, Penyelidik pada PPATK wajib menyampaikan laporan mengenai bukti permulaan yang cukup tersebut kepada Kepala PPATK paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditemukannya bukti permulaan yang cukup.2) Kepala PPATK melimpahkan hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

penyidik tindak pidana asal untuk dilakukan penyidikan.3) Penyidik tindak pidana asal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaksanakan penyidikan dan

melakukan koordinasi dengan PPATK.

15

Pasal 78(1) Penghentian sementara mutasi atau pemblokiran terhadap Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 44 huruf f dan huruf g, dapat dilakukan sejak diterimanya laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dari Pihak Pelapor.

(2) Penyelidik pada PPATK melakukan penghentian sementara mutasi atau pemblokiran terhadap Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat perintah penghentian sementara mutasi atau pemblokiran diterima.

(3) Dalam hal dilakukan pengakhiran atas penghentian sementara mutasi atau pemblokiran terhadap Harta Kekayaan, Penyelidik pada PPATK mengeluarkan surat perintah pengakhiran penghentian sementara mutasi atau pemblokiran terhadap Harta Kekayaan.

(4) Penyelidik pada PPATK tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam pelaksanaan pengakhiran penghentian sementara mutasi atau pemblokiran Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Bagian KetigaPenyidikan

Pasal 79Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini.

Pasal 80Dalam hal penyidik tindak pidana asal menemukan indikasi adanya tindak pidana pencucian uang, maka penyidik tindak pidana asal menggabungkan penyidikan tindak pidana pencucian uang tersebut dengan penyidikan tindak pidana asal dan memberitahukannya kepada PPATK.

Pasal 81Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak pidana pencucian uang wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh Harta Kekayaan istri atau suami, anak, dan Harta Kekayaan setiap orang atau Korporasi yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana pencucian uang yang disangkakan kepadanya.

Pasal 821) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penanganan tindak pidana pencucian uang, PPATK

dapat mengusulkan kepada penyidik tindak pidana asal untuk membentuk satuan tugas gabungan yang anggotanya terdiri dari PPATK, penyidik, dan penuntut umum.

2) Pembentukan satuan tugas gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan instansi penyidik tindak pidana asal.

Bagian KeempatPenuntutan

Pasal 831) Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan

negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap.

2) Dalam hal penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan negeri wajib membentuk majelis hakim perkara tersebut paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya berkas perkara tersebut.

Bagian KelimaPemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 84Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pasal 85(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, hakim

memerintahkan agar terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

16

Pasal 2.(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal

atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Pasal 861) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa

alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib

diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.

3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.

4) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana pencucian uang, hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita.

5) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.

6) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 87(1) Dalam hal hakim memutus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3), terpidana in-

absentia dapat mengajukan banding.(2) Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari

setelah pengumuman yang ke-3.

Pasal 88Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan terhadap Harta Kekayaan tersebut.

Pasal 89Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi, maka panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Pasal 901) Dalam hal hakim memutus bahwa Harta Kekayaan dirampas untuk negara, dan putusan tersebut telah

memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka 25% (dua puluh lima perseratus) dari nilai Harta Kekayaan tersebut diberikan untuk lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

BAB IXPERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI

Pasal 911) Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan

pelapor.2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan hak kepada pelapor

atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan.

Pasal 921) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi

perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 93

17

1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.

2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut, mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 941) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib

diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 95(1) Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas laporan dan/atau

kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan. (2) Saksi yang memberikan keterangan palsu di atas sumpah tetap diancam dengan sanksi pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

BAB XKERJASAMA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pasal 961) Kerjasama nasional yang dilakukan PPATK dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa

bentuk kerjasama formal.2) Pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak-pihak yang mempunyai keterkaitan

langsung atau tidak langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Pasal 971) Kerjasama internasional dilakukan oleh PPATK dengan lembaga sejenis yang ada di negara lain dan

lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

2) Kerjasama internasional yang dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas.

Pasal 98(1) Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat

melakukan kerjasama berupa pertukaran informasi dengan pihak-pihak baik dalam lingkup nasional maupun internasional yang meliputi:a. instansi penegak hukum; b. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;c. lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;d. lembaga lainnya yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian

uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana pencucian uang; dane. Financial Intellegent Unit negara lain.

2) Permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dalam pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan pihak yang dapat meminta informasi kepada PPATK.

3) Pemberian informasi oleh PPATK terhadap permintaan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh:

a. hakim ketua majelis;b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau Kepala Kepolisian Daerah.c. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi;d. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh

penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;

18

e. pimpinan, pejabat setingkat direktur, atau pimpinan satuan kerja atau kantor di lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;

f. pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; atau

g. pimpinan dari lembaga lainnya yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

h. pimpinan Financial Intellegent Unit negara lain.

Pasal 991) Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerjasama

bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Kerjasama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerjasama bantuan timbal balik dengan negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.

Pasal 100(1) Untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga terkait dalam pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pencucian uang, dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB XIKETENTUAN LAIN

Pasal 101Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, PPATK dan instansi terkait lainnya dapat melaksanakan ketentuan tersebut menurut Undang-Undang ini.

BAB XIIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 102Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 ditetapkan sebagai PPATK berdasarkan Undang-Undang ini.

b. PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.

c. Struktur organisasi PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tetap berlaku sampai terbentuknya struktur organisasi PPATK yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

d. Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sampai dengan diangkatnya Kepala dan Wakil Kepala yang baru paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 103Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.

BAB XIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 104Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c dilaksanakan paling lama 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

19

Pasal 105Pelaksanaan kewajiban pelaporan transfer dana dari dan ke luar negeri dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 106Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini, dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 107Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 108Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakartapada tanggal ...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

20

PENJELASAN ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR ... TAHUN …TENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

I. UMUM Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 telah membuktikan, bahwa tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, namun juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada umumnya, pelaku tindak pidana pencucian uang berusaha agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.

Dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, maka dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana pencucian uang perlu dilaksanakan secara efektif.

Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme baku yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk dapat melakukan hal ini, lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis yang untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik untuk proses hukum lebih lanjut.

Berkaitan dengan hal itu, lembaga keuangan bukan hanya berperan dalam membantu penegakan hukum tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara baik sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya.

Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks dengan modus yang semakin meluas karena sudah memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan bahkan telah merambah ke berbagai sektor baik yang formal maupun non formal. Untuk mengantisipasi hal ini, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dikenal dengan Revised 40 recommendations dan 9 special recommendations (revised 40+9 FATF), antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup profesi advokat, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, akuntan publik, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia, dealer mobil dan sebagainya.

Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia menunjukkan arah yang positif, hal ini tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang seperti

21

Penyedia Jasa Keuangan dalam pelaksanaan kewajiban pelaporan, regulator dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan hukuman.

Namun demikian, upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya ”loophole”, kurang tegasnya pemberian sanksi (sanksi hukum yang begitu tinggi yang dirasakan tidak memberikan rasa keadilan), belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian (shifting burden of proof), keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang ini.

Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan dengan standar internasional sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai penyempurnaan dan pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003. Adapun materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain:

1. Redefinisi pengertian dari istilah-istilah dalam tindak pidana pencucian uang seperti definisi pencucian uang, Transaksi keuangan mencurigakan, dan Transaksi keuangan tunai;

2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administrasi;4. Perluasan Pihak Pelapor (reporting parties);5. Penetapan mengenai jenis pelaporan untuk profesi dan penyedia barang dan jasa;6. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa (Customer Due Dilligence);7. Penataan mengenai pengawasan atau audit kepatuhan;8. Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda mutasi atau pengalihan Harta Kekayaan;9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen

pembayaran lainnya kedalam dan keluar daerah pabean;10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana

pencucian uang (multi investigator);11. Penataan kembali kelembagaan dan perluasan kewenangan PPATK;12. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang termasuk pengaturan

mengenai pembalikan beban pembuktian secara perdata terhadap Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana; dan

13. Pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana termasuk “asset sharing”.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup jelas.

Pasal 2 Ayat (1)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyuapan” adalah penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelundupan tenaga kerja” adalah penyelundupan tenaga kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Huruf fDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelundupan imigran” adalah penyelundupan imigran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Keimigrasian.

Huruf gCukup jelas.

22

Huruf hCukup jelas.

Huruf iCukup jelas.

Huruf jCukup jelas.

Huruf kCukup jelas.

Huruf lDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “perdagangan orang” adalah perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 297 KUHP dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Huruf mDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “perdagangan senjata gelap” adalah perdagangan senjata gelap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang mengubah "ORDONNANTIETIJDELIJKE BIJZONDERE STRAFBEPALINGEN" (STBL. 1948 NOMOR 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1945.

Huruf nCukup jelas.

Huruf oDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penculikan” adalah penculikan sebagaimana diatur dalam Pasal 328, Pasal 330 dan Pasal 333 KUHP.

Huruf pCukup jelas.

Huruf qCukup jelas.

Huruf rCukup jelas.

Huruf sCukup jelas.

Huruf tCukup jelas.

Huruf uDalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “prostitusi” adalah prostitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 289, Pasal 290, Pasal 296 KUHP, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Huruf vCukup jelas.

Huruf wCukup jelas.

Huruf xCukup jelas.

Huruf yCukup jelas.

Huruf zCukup jelas.

Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan hasil tindak pidana, Undang-Undang ini menganut asas kriminalitas ganda (double criminality).

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 3 Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

Pasal 4Cukup jelas.

23

Pasal 5Cukup jelas.

Pasal 6 Ayat (1)

Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 7Cukup jelas.

Pasal 8 Cukup jelas.

Pasal 9Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Kelebihan hasil penjualan atas Harta Kekayaan yang dirampas, dikembalikan kepada Korporasi yang bersangkutan.

Pasal 10Cukup jelas.

Pasal 11 Cukup jelas.

Pasal 12Ayat (1)

Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan. Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

Pasal 13Ayat (1)

Ketentuan ini dikenal sebagai “anti-tipping off”. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap Pengguna jasa dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Ketentuan ”anti-tipping off” berlaku pula bagi pejabat atau pegawai PPATK serta Penyelidik/penyidik untuk mencegah Pengguna Jasa yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan Harta Kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 14Cukup jelas.

24

Pasal 15 Ayat (1)

Huruf aTermasuk dalam pengertian penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan baik secara formal maupun non formal.

Huruf bYang dimaksud dengan “Advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.Yang dimaksud dengan “Notaris” adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.Transaksi yang harus dilaporkan oleh profesi advokat, konsultan bidang keuangan, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan akuntan adalah Transaksi yang dilakukan menyangkut kegiatan tertentu:

a) jual beli real estate dan properti;b) Pengelolaan uang, surat berharga, atau Harta Kekayaan lainnya dari klien; c) Pengelolaan rekening bank dan perusahaan efek;d) Keikutsertaan di dalam pembentukan, dan/atau pengelolaan perusahaan atau badan

hukum;e) Jual beli perusahaan;f) Khusus untuk advokat dan konsultan keuangan, kegiatan tertentu tersebut di atas

dilakukan “untuk dan atas nama klien”.Yang dimaksud dengan “Transaksi untuk dan atas nama klien” antara lain jual beli real estate dan properti, pengelolaan uang, surat berharga, atau Harta Kekayaan lainnya dari klien, pengelolaan rekening bank dan perusahaan efek, keikutsertaan di dalam pembentukan, pengelolaan perusahaan, pembentukan dan pengelolaan badan hukum, serta jual beli perusahaan.

Huruf cPenyedia barang dan/atau jasa yang dimaksud dalam ketentuan ini meliputi yang berizin maupun yang tidak berizin.

Ayat (2)Kewenangan dimaksud mencakup kewenangan untuk menentukan kriteria Pihak Pelapor yang menyelenggarakan kegiatan pengumpulan dana sosial, yayasan atau charity.

Pasal 16Ayat (1)

Cukup Jelas.Ayat (2)

Cukup Jelas.Ayat (3)

Cukup Jelas.

Ayat (4)Cukup Jelas.

Ayat (5)Cukup Jelas.

Ayat (6)Yang dimaksud dengan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa adalah Customer Due Dilligence (CDD) dan Enhanced Due Dilligence (EDD) sebagaimana dimaksud dalam Rekomendasi 5 Financial Action Task Force (FATF) on money laundering.

Pasal 17Cukup Jelas.

Pasal 18Cukup Jelas.

Pasal 19Cukup Jelas.

Pasal 20

25

Ayat (1) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hubungan usaha” antara lain hubungan rekening koran.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 21Ayat (1)

Huruf a Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut:1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan

secara berulang-ulang di luar kewajaran; atau3) aktivitas Transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Huruf a

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Transaksi dengan pemerintah” adalah Transaksi yang menggunakan rekening pemerintah, dan dilakukan untuk dan atas nama pemerintah yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian atau badan-badan pemerintah lainnya. Tidak termasuk komisi dan badan usaha milik negara/daerah.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cYang dimaksud dengan “Transaksi lain” adalah Transaksi-Transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Selain berdasarkan jenis Transaksi, Kepala PPATK menetapkan Transaksi lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah Transaksi, bentuk penyedia jasa keuangan tertentu, atau wilayah kerja penyedia jasa keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu tertentu (temporer).

Pasal 22Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan agar penyedia jasa keuangan dapat sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku pencucian uang dapat segera dilacak. Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)

26

Cukup jelas.

Pasal 23Cukup jelas.

Pasal 24Ayat (1)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar data atau informasi mengenai Transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis.Rincian daftar Transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada dasarnya sama dengan Transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang dapat dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau rusak.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 25Cukup jelas.

Pasal 26Cukup jelas.

Pasal 27Cukup jelas.

Pasal 28Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata” antara lain adalah tuntutan ganti rugi. Yang dimaksud dengan “dituntut secara pidana” antara lain tuntutan pencemaran nama baik.

Pasal 29Cukup jelas.

Pasal 30Ayat (1)

Dengan demikian, terhadap Pihak Pelapor yang telah memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur ada 2 (dua) pintu pengawasan kepatuhan, yaitu oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK. Pada dasarnya pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur. PPATK melakukan pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan apabila Lembaga Pengawas dan Pengatur menyerahkannya kepada PPATK.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 31Cukup jelas.

Pasal 32Cukup jelas.

Pasal 33Ayat (1)

Cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro yang dikenal sebagai Bearer Negotiable Instruments.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 34

27

Cukup jelas.

Pasal 35Cukup jelas.

Pasal 36Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan” adalah perbuatan atau tindakan dari pihak manapun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya.

Pasal 37 Cukup jelas.

Pasal 38Cukup jelas.

Pasal 39Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

Pengawasan kepatuhan dilakukan terhadap Pihak Pelapor yang belum memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur atau terhadap Pihak Pelapor yang pengawasannya telah diserahkan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur kepada PPATK.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Pasal 40 Cukup jelas.

Pasal 41Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan sistem informasi” antara lain meliputi:

a. membangun, mengembangkan, dan memelihara sistem aplikasi;b. membangun, mengembangkan, dan memelihara infrastruktur jaringan

komputer dan basis data;c. mengumpulkan, mengevaluasi data dan informasi yang diterima oleh

PPATK secara manual dan elektronik;d. menyimpan, memelihara data dan informasi ke dalam basis data;e. menyajikan informasi untuk kebutuhan analisis;f. memfasilitasi pertukaran informasi dengan instansi terkait baik dalam

negeri atau luar negeri; dang. melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi kepada Pihak Pelapor.

Pasal 42 Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

Cukup jelas.Huruf d

Cukup jelas.Huruf e

Cukup jelas.Huruf f

28

Perihal merekomendasikan pengenaan sanksi kewajiban pelaporan diatur dalam Pedoman PPATK.

Huruf gCukup jelas.

Pasal 43Cukup jelas.

Pasal 44Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Yang dimaksud dengan meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dugaan tindak pidana pencucian uang dapat berupa melakukan audit investigatif.

Huruf cCukup jelas.

Huruf d Yang dimaksudkan “tindakan penyelidikan projustisia” adalah tindakan penyelidikan projustisia sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Huruf gCukup jelas.

Huruf hCukup jelas.

Huruf iCukup jelas.

Huruf jCukup jelas.

Pasal 45Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” antara lain rahasia bank, rahasia non-bank dan sebagainya.

Pasal 46Cukup jelas.

Pasal 47Cukup jelas.

Pasal 48Cukup jelas.

Pasal 49 Cukup jelas.

Pasal 50 Cukup jelas.

Pasal 51Huruf a

Cukup jelas.Huruf b

Cukup jelas.Huruf c

Cukup jelas.Huruf d

Cukup jelas.Huruf e

Cukup jelas.

29

Huruf fCukup jelas.

Huruf gCukup jelas.

Huruf hYang dimaksud dengan “pekerjaan lain” adalah pekerjaan yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan tugas dan menimbulkan konflik kepentingan.

Huruf iCukup jelas.

Pasal 52Cukup jelas

Pasal 53 Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.Pasal 55

Cukup jelas. Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57 Cukup jelas.

Pasal 58 Cukup jelas.

Pasal 59 Cukup jelas.

Pasal 60 Cukup jelas.

Pasal 61 Cukup jelas.

Pasal 62 Cukup jelas.

Pasal 63Cukup jelas.

Pasal 64Ayat (1)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pemblokiran” adalah segala upaya untuk tidak mengalihkan kepemilikan, memindahkan, menukarkan terhadap Harta Kekayaan seperti penghentian mutasi atau pengalihan Harta Kekayaan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 65 Cukup jelas.

30

Pasal 66 Cukup jelas.

Pasal 67 Cukup jelas.

Pasal 68 Cukup jelas.

Pasal 69 PPATK dalam ketentuan ini sebagai yang mewakili negara dalam perkara keperdataan.

Pasal 70Cukup jelas.

Pasal 71Cukup jelas.

Pasal 72Ayat (1)

Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.

Ayat (2)Surat permintaan pemblokiran yang dikirimkan kepada penyedia jasa keuangan tersebut harus ditandatangani oleh:a. koordinator penyidik/ketua tim penyidik untuk tingkat penyidikan;

b. Kepala Kejaksaan Negeri untuk tingkat penuntutan;c. hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Cukup jelas.

Pasal 73 Cukup jelas.

Pasal 74 Dalam hal dakwaan tindak pidana asal dan Tindak Pidana Pencucian Uang diajukan secara kumulatif, penuntut umum wajib membuktikan dan hakim wajib mempertimbangkan dan memutuskan kedua dakwaan tersebut.

Pasal 75 Ayat (1)

Cukup jelas.Ayat (2)

Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lainnya.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5) Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah, atau pimpinan instansi atau lembaga atau komisi, atau Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.

Ayat (6)

31

Cukup jelas.

Pasal 76 Ayat (1)

Huruf aCukup jelas.

Huruf bYang dimaksud dengan “Penyelidik tindak pidana asal” adalah penyelidik yang diatur oleh Undang-Undang lain.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 77 Ayat (1)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah memenuhi paling sedikit 1 (satu) alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 Undang-Undang ini.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 78 Cukup jelas.

Pasal 79 Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh Undang-Undang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana asal.Ketentuan ini dimaksudkan agar penyidikan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tindak pidana asalnya.

Pasal 80 Cukup jelas.

Pasal 81 Cukup jelas.

Pasal 82 Ayat (1)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “satuan tugas gabungan” adalah tim khusus yang beranggotakan wakil-wakil dari instansi-instansi terkait dan dibentuk untuk mendukung penyidikan tindak pidana pencucian uang.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 83 Cukup Jelas.

Pasal 84 Cukup jelas.

Pasal 85 Cukup jelas.

Pasal 86Ayat (1)

Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekalipun terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)

32

Cukup jelas.

Ayat (4)Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Disamping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara.

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Cukup jelas.

Pasal 87 Cukup jelas.

Pasal 88 Cukup jelas.

Pasal 89 Cukup jelas.

Pasal 90 Ayat (1)

Ketentuan ini telah diterapkan di beberapa negara dan bertujuan untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 91Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah setiap orang yang beritikad baik dan secara sukarela menyampaikan laporan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 92 Cukup jelas.

Pasal 93 Cukup jelas.

Pasal 94 Cukup jelas.

Pasal 95 Cukup jelas.

Pasal 96Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kerja sama formal” adalah nota kesepahaman atau memorandum of understanding.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

33

Cukup Jelas.

Pasal 99Ayat (1)

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 100Cukup Jelas

Pasal 101Ketentuan ini dimaksudkan agar PPATK dan instansi terkait lainnya dapat menetapkan ketentuan sesuai dengan perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, antara lain mengeluarkan ketentuan/pedoman mengenai penerapan program anti pencucian uang bagi penyedia jasa keuangan.

Pasal 102Cukup jelas.

Pasal 103Cukup jelas.

Pasal 104Cukup jelas.

Pasal 105Cukup jelas.

Pasal 106Cukup jelas.

Pasal 107Cukup jelas.

Pasal 108Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

34

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASANTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

J A K A R T A2 0 0 6

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASANTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

J A K A R T A2 0 0 6

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANGTENTANG

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASANTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

J a k a r t a2 0 0 6

PENGANTAR

Naskah Akademik ini disusun berdasarkan penelitian hukum normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan-bahan perpustakaan. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan dalam rangka penyusunan Naskah Akademik ini bersifat kualitatif dengan penekanan pada konteks, isi dan kerangka referensi yang diuraikan secara deskriptif-analitis.

Metode pendekatan yang diperkirakan tepat dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah yuridis normatif dan historis komperatif serta menemukan hukum in-concreto. Cara ini dilakukan dengan harapan diperolehnya suatu hasil berupa “kerangka pemikiran” atau “paradigma baru” yang bermanfaat untuk perkembangan hukum yang akan datang (futurologi). Metode penemuan hukum in-concreto digunakan dengan maksud untuk mengetahui aturan dan hukum yang bagaimanakah yang sebaiknya diberlakukan dan tepat untuk diterapkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU di Indonesia. Oleh karena masalah pencucian uang tidak hanya berkaitan dengan hukum, maka diperlukan pula kajian terhadap aspek-aspek terkait lainnya dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang yang kokoh dan efektif, seperti ekonomi dan keuangan, sosialpolitik dan budaya, pertahanan dan keamanan agar materi yang disajikan dalam Naskah Akademik ini bersifat holistik dan komprehensif.

Untuk lebih memberdayakan rezim anti pencucian uang di Indonesia, maka upaya yang harus dilakukan adalah memperkuat empat pilar utama yang satu sama lain sangat erat kaitannya. Pertama, hukum dan peraturan perundang-undangan. Kedua, sistem teknologi informasi dan sumber daya manusia. Ketiga, analisis dan kepatuhan. Keempat, kerjasama domestik dan internasional.

Penguatan pilar pertama dimaksudkan agar tersedianya kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan yang kuat, yaitu yang dapat menciptakan ketegasan dan kejelasan tentang rezim anti pencucian uang sehingga mempermudah proses penegakan hukumnya.

Pilar kedua terutama bertujuan untuk menyediakan sarana informasi dan komunikasi global yang terintegrasi dan terjamin keamanannya, serta menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, terampil dan memiliki moral yang tinggi yang pada gilirannya dapat mengefektifkan dan mengefisienkan rezim anti pencucian uang. Pilar ketiga untuk membangun suatu kondisi yang dapat mendorong reporting parties untuk dapat memahami peranan dan kewajibannya dalam rezim anti pencucian uang khususnya dalam kewajiban penyampaian laporan antara lain laporan suspicious transaction (LTKM) sebagai bahan analisis bagi PPATK yang selanjutnya disampaikan kepada instansi penyidik. Dari hasil analisis atas laporan-laporan suspicious transaction tersebut diharapkan mampu menghasilkan suatu kesimpulan yang memiliki kualitas yang baik sehingga dapat membantu penegakan hukum tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Pilar keempat ditujukan untuk mempererat kerja sama antar instansi domestik dan meningkatkan pertisipasi masyasakat serta memperkuat kerjasama internasional agar kerjasama dan koordinasi lintas sektoral yang efektif dan efisien dapat terwujud. Di samping itu kerjasama yang baik antar sesama FIU dapat

mempercepat terjadinya tukar-menukar informasi tanpa perlu mengorbankan aspek kerahasiaan dan kedaulatan negara.

Sebagai suatu built-in sub systems dalam rezim anti-pencucian uang, maka pilar kedua, pilar ketiga, dan pilar keempat akan dapat ditata dan dikelola menjadi jauh lebih baik apabila pilar pertama (UU TPPU) dapat direvisi atau disempurnakan, sebab dalam penerapan UU TPPU selama 4 tahun ini masih ditemukan beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar antara lain:

(i) kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur dan banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan, sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian;

(ii) kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya;

(iii) masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya;

(iv) perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor;

(v) terbatasnya instrument formal untuk melakukan deteksi dan pentrasiran serta penyitaan aset hasil kejahatan;

(vi) terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan TPPU; dan (vii) keterbatasan kewenangan dari PPATK.

Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut kemungkinan besar akan menjadi sorotan dan perhatian dari komunitas internasional yaitu FATF, APG, IMF, dan World Bank dalam mengevaluasi kepatuhan Indonesia terhadap standar internasional yang telah berubah dan disepakati bersama, yaitu 40 + 9 FATF Recommendations. Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut bernilai negatif, maka akan merusak reputasi Indonesia di mata internacional.

Tidak efektifnya pelaksanaan rezim anti pencucian uang, juga akan mengakibatkan tidak maksimalnya pendekatan anti pecucian uang dalam mendukung upaya penegakan hukum (law enforcement) atas tindak pidana asal seperti korupsi, pembalakan liar, pedagangan dan penggunaan narkoba secara ilegal, serta tindak pidana terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan memberikan insentif atau kemudahan bagi pelaku kejahatan khususnya kejahatan yang melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang signifikan untuk mengulangi bahkan memperluas kejahatannya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya UU TPPU sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang tentunya akan berdampak buruk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka perlu sesegera mungkin dilakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam UU No.15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam ”revised 40+9 FATF recommendations” sebagai best practice yang berlaku secara internasional.

DAFTAR ISI

PENGANTAR ....................................................................................................... iiDAFTAR ISI .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................. 1B. Permasalahan................................................................................... 6C. Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 8D. Metode Pendekatan ......................................................................... 9

BAB II DASAR PEMIKIRAN PERLUNYA REVISIUNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAPENCUCIAN UANG .............................................................................. 12

A. Dasar Filosofis .................................................................................. 12B. Dasar Sosiologis dan Politis ............................................................. 15C. Dasar Yuridis ................................................................................... 19D. Dasar Ekonomi ................................................................................. 21

BAB III RUANG LINGKUP REVISI UNDANG-UNDANGTINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ............................................... 28

A. Redefinisi Pengertian atau Peristilahan .......................................... 281. Tranaksi Keuangan Mencurigakan (TKM)................................... 282. Transaksi keuangan Tunai ......................................................... 29

B. Penyempurnaan Pengaturan TPPU................................................. 291. Penyempurnaan Rumusan Delik TPPU...................................... 292. Kriminalisasi Perbuatan Lain yang Terkait dengan

Pencucian Uang ........................................................................ 30

C. Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan .................... 311. Perluasan Pengertian Pihak Pelapor (ReportingParties) yang Akan MencakupProfesi (Profession)dan Penyedia Barang/Jasa Tertentu (DesignatedNon Financial Business) ................................... 31v2. Pengukuhan Penerapan Prinsip MengenaliPengguna Jasa (Know Your Customer) ............ 333. Penetapan Jenis dan Bentuk PelaporanUntuk Profesi atau Penyedia Barang/Jasa ........ 354. Penambahan Jenis Laporan PJK ke PPATK YaituInternational Fund Transfer Instruction GunaMemantau Transaksi Keuangan Internasional.. 375. Pemberian Kewenangan Kepada Pihak PelaporUntuk Menunda Mutasi atau Pengalihan Aset.. 386. Penyempurnaan Mekanisme PengawasanKepatuhan ......................................................... 39

7. Sanksi Administrasi ........................................... 39D. Pembawaan Uang Tunai Ke Dalam atau Ke LuarWilayah Pabean Indonesia ........................................ 40E. Penataan Kembali Kelembagaan Pusat Pelaporandan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) .............. 42F. Penanganan Aset ....................................................... 461. Pemblokiran, Penyitaan dan Perampasan HartaKekayaan Secara Perdata .................................. 462. Penyelesaian Administratif................................ 483. Pembalikan Beban Pembuktian ........................ 49G. Penataan Kembali Hukum Acara Pemeriksaan TPPU. 531. Pemberian Kewenangan Kepada Penyidik TindakPidana Asal Untuk Menyidik Dugaan TPPU(Multi Investigator) ......................................... 532. Penyelidikan TPPU oleh PPATK ....................... 543. Pembentukan Satuan Tugas GabunganPenyidikan TPPU ............................................... 564. Asset Sharing .................................................... 56H. Perlindungan Bagi Pelapor dan Saksi ....................... 571. Perlindungan Karena Jaminan Undang-undang . 582. Perlindungan Karena Pelaksanaan UU TPPU... 583. Perlindungan Khusus ....................................... 60I. Kerjasama dan Koordinasi Pencegahan danPemberantasan TPPU ............................................... 62BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN........................................ 64KEPUSTAKAAN................................................................................. 66LAMPIRAN ......................................................................................... 71Vi

BAB I

PENDAHULUANA.LATAR BELAKANG

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dengan sangat terang menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembukaan (Preambule) UUD 1945 tersebut mengandung banyak dimensi antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, ekonomi, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan nasional.

Walaupun bangsa Indonesia sudah berdaulat sejak 60 tahun lalu, namun fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai permasalahan mendasar, antara lain tingginya angka kemiskinan1 dan pengangguran2 yang menciptakan kesenjangan sosialekonomi, serta lemahnya penegakan hukum.3 Dalam kondisi seperti ini, apabila praktik pencucian uang tidak segera dicegah dan diberantas maka hampir dapat dipastikan bahwa perekomian nasional di masa mendatang akan semakin terpuruk.

1 Dalam Berita Resmi Statistik No.47/IX/1 September 2006 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan, bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 39,05 juta (17,75%) dari seluruh penduduk Indonesia.

2 Angka pengangguran mencapai 10,3% dari penduduk produktif pada tahun 2006, sementara pada tahun 2000 hanya 6,1%. Sedangkan tingkat perkembangan GDP penduduk Indonesia pada tahun 2006 hanya mencapai 5,1% dibandingkan pada tahun 2005 sebesar 5,6% (http://seputarekonomi. blogspot.com /2006/12/ pertumbuhan-ekonomi-kemiskinan. html).

3 Penegakan hukum di Indonesia masih lemah berdasarkan hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (diakses di http://hukumonline.com/ pada tanggal 17 Januari 2007). Lebih lengkapnya uraian mengenai masalah kemiskinan, pengangguran dan penegakan hukum di Indonesia dapat dilihat dalam “Mari, Kita Sukseskan Program Pro-Rakyat”, Pidato Awal Tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 31 Januari 2007 .

2

Naskah AkademikRUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPUBeberapa tahun belakangan ini, kecenderungan perkembangan ekonomi makro Indonesia menunjukkan perkembangan ke arah perbaikan khususnya di bidang moneter yang ditandai dengan stabilnya nilai tukar dan penurunan tingkat suku bunga. Namun demikian dari sisi ekonomi mikro, kebijakan ini belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku pasar khususnya perbankan sebagai lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan lambannya pertumbuhan di bidang investasi baik domestik maupun internasional. Kondisi seperti ini mengakibatkan sector riil belum bergerak sesuai yang diharapkan.4 Implikasi selanjutnya adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya pendapatan perkapita masyarakat, yang berimplikasi pula pada permasalahan sosialkemasyarakatan seperti meningkatnya tindak pidana.5 Dalam bidang penegakan hukum,6 banyak pihak mengakui bahwa upaya penegakan hukum di negara kita masih belum memenuhi harapan, bukan hanya karena profesionalisme aparat penegak hukum yang masih perlu dipertanyakan tetapi juga, apakah perangkat peraturan perundang-undangan yang ada telah memadai serta tersedianya sarana dan prasarana pendukung.7

Editorial Media Massa Indonesia, “Kelonggaran Kredit”, http://opini.wordpress.com/tag/ekonomi.Pengungkapan secara resmi yang disampaikan Pemerintah Indonesia mengenai masalah pelanggaran

hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran hukum yang telah terjadi di

Indonesia selama ini, sehingga berdampak negatif terhadap eksistensi. Pemerintah. Secara intern menyebabkan terjadinya krisis legitimasi terhadap pemerintahan, sedangkan secara ekstern menimbulkan ketidakpercayaan dunia internasional terhadap kemampuan Indonesia untuk menangani berbagai pelanggaran hukum. Image masyarakat internasional seperti ini, terutama dari negara-negara maju yang terkait langsung dengan pembangunan di Indonesia sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat Indonesia. Sebab kalau image ini tidak dicermati dengan serius, maka bangsa Indonesia akan terus dihujat dan dijauhi serta dianggap tidak memiliki etika (harkat dan martabat) yang baik dan komitmen yang tegas. Padahal, sudah sejak lama bangsa Indonesia memiliki dasar filosofi hidup yang sangat mulia dan luhur sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Joni Emirzon, ”Urgensi Etika (Moral) Dalam Pembangunan Hukum Progresif di Masa Depan”, dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 212-213.

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa dalam penegakan hukum perlu dibedakan antara peraturan (gezetz, wet, rule) dan kaidah (recht, norm). “Apabila kita membaca undang-undang, pertama-tama yang dibaca adalah peraturan, pasal-pasal. Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. Kaídah itu adalah makna spritual, roh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahannya ke dalam kata-kata dan kalimat. ... Membaca kaidah, bukan peraturan, adalah pedoman yang amat baik dalam penegakan hukum. Membaca kaidah adalah menyelam ke dalam roh, asas, dan tujuan hukum. Ini membutuhkan perenungan”. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Oktober 2006), hal. 122-124.

Kompleksnya permasalahan penegakan hukum sudah mulai disadari banyak orang sejak pertengahan abad ke-20, bahwa penegakan hukum bukanlah seperti “menarik garis lurus antara dua titik” karena penegakan hukum tidak hanya semata-mata menyangkut prinsip “peraturan dan logika” (rules and logic). Hasil-hasil penelitian lapangan membuktikan bahwa banyak faktor-faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Misalnya, ketika Polisi dan Kejaksaan melakukan penahanan, ternyata banyak faktor yang terlibat di dalamnya sehingga

3Pendahuluan

Beberapa jenis tindak pidana yang saat ini masih menjadi perhatian utama Pemerintah

adalah tindak pidana korupsi, illegal logging dan terorisme serta narkoba.8 Hal ini tidak terlepas dari dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut antara lain dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut bukan hanya menjadi dominasi aparat penegak hukum tetapi sudah memerlukan peran aktif semua unsur seperti sektor swasta dan pemerintah yang lingkupnya bukan hanya domestik tetapi sudah mengglobal. Kendati berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah baik sendiri maupun bersama-sama dengan negara lain, namun hasilnya masih belum memuaskan.

Sebagian besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi, tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula halnya terorisme, aksi-aksi terorisme tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat pendanaan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.9 Oleh karena itu, menjadi hal yang cukup penting dalam konteks memupus motivasi seseorang melakukan tindak pidana melalui pendekatan pelacakan, pembekuan, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana. Seseorang ataupun kejahatan terorganisir10 dengan sendirinya akan menjadi enggan atau tidak memiliki motivasi untuk melakukan suatu perbuatan pidana apabila hasil perbuatan pidana tersebut dikejar dan dirampas untuk negara. Pendekatan inilah yang sering disebut dengan “strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang” (anti-money laundering strategy).11

memerlukan informasi yang luas mengenai “sosiologi penahanan” (the sociology of arrest). Penelitian di Amerika Serikat membuktikan bahwa faktor ras, stratifikasi sosial, kedekatan hubungan, sikap sopan tersangka dan sebagainya ikut menentukan dalam proses penahanan seseorang. Ibid, hal. 60-61.

Indonesia’s National Report on the Implementation and Follow-Up “the 2000 Vienna Declaration on Crime and Justice: Meeting the Challenges of the Twenty-First Century, and Plan of Action” at The Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Bangkok, Thailand, 18-25 April 2005.

FATF secara tegas menyatakan bahwa, “Terrorism destroys by fear. Terrorists maim and kill; but also attack society in deeper ways. Like a virus, terrorism penetrates and colonies healthy economic and social bodies, propagating itself while destroying them”. FATF-GAFI, The Financial War on Terrorism: A Guide by FATF, (Perancis: FATF Secretariat 2 rue Andre Pascal, 75775 Paris Cedex 16, 2004), hal. 7.

Kejahatan terorganisir (organized crime) adalah “any group of individuals whose primary activity involves violating criminal laws to seeks illegal profits and power engaging in racketeering activities and, appropriate, engaging in intricate financial manipulations...”. National Advisory Committe on Criminal Justice Standards and Goals, Organized Crime: Report of the Task Force on Organized Crime, (Washington D.C.: Law Enforcement Assistance Administration, 1976), hal. 213. Lihat juga Donald R Cressey, The Theft of the Nation: The Strcture and Operation of Organized Crime in America, (New York: Harper and Row, 1969), hal. 319.

Sherman T, “International Efforts to Combat Money Laundering: The Role of the Financial Task Force”, dalam MacQueen L (ed.), Money Laundering, (Edinburgh, 1993), hal. 12.

4Naskah Akademik

Di satu sisi, pelaksanaan rezim anti pencucian uang secara efektif dapat membantu menciptakan stabilitas sistem keuangan karena lembaga keuangan dapat terhindar dari berbagai risiko seperti risiko hukum, reputasi, terkonsentrasinya transaksi dan likuiditas, sehingga mampu melaksanakan fungsinya secara efektif pula.12 Di sisi lain, pelaksanaan rezim anti pencucian uang tersebut juga diyakini dapat menurunkan angka kriminalitas, karena pelaku tindak pidana tidak lagi memiliki motivasi untuk mengulangi perbuatannya, dan hasil perampasan tindak pidana dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pendekatan rezim anti pencucian uang yang dilaksanakan secara efektif, bukanlah suatu hal yang mustahil dilakukan. Sebaliknya, kegagalan dalam mencegah dan memberantas pencucian uang akan berdampak sangat buruk pada sektor keuangan dan penegakan hukum.

Sebagaimana diketahui, bahwa melalui aktifitas pencucian uang, para pelaku kejahatan dapat menyembunyikan asal-usul uang atau harta kekayaan13 dari hasil kejahatan dengan maksud agar mereka dapat menikmati dan menggunakan hasil kejahatan tersebut secara bebas karena uang haram tersebut seolah-olah tampak berasal dari suatu kegiatan yang sah atau “halal”.14 Dalam perkembangannya, modus pencucian uang semakin hari semakin kompleks dan canggih seiring dengan kemajuan teknologi informasi, khususnya di bidang perbankan dan keuangan. Pelaku pencucian uang selalu berusaha untuk menghindari pelacakan harta hasil kejahatannya oleh aparat

Penataan dan pengaturan sektor jasa keuangan dalam kaitannya yang lebih luas dengan kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme, perlu memperhatikan dua hal penting. Pertama, kekhususan suatu negara (country specificity) karena masalah-masalah pencucian uang yang dihadapi oleh setiap negara kemungkinan besar berbeda terutama dalam hal: (i) sumber-sumber; (ii) tipe-tipe institusi yang berperan dalam pencucian uang; dan (iii) konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Kedua, adalah kerangka kerja (framework) harus dibuat dengan mengacu kepada international standard dan best practice. Di samping itu, dalam menata dan mengatur sektor jasa keuangan tidak boleh hanya berfokus semata-mata hanya kepada peraturan dan regulasi karena masalah-masalah lain menyangkut pencucian uang dan pendanaan terorisme mungkin saja lebih luas dari-pada itu. Daniel Kaufmann, “Governance in the Financial Sector: The Broader Context of Money Laundering and Terrorist Financing”, dalam World Bank and IMF Global Dialogue Series, Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism, (The International Bank for Reconstruction and Development and the International Money Fund, 2003), hal. 17-22.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, istilah “harta kekayaan” yang dipergunakan dalam UU TPPU adalah terjemahan dari istilah ”property” yang dipakai dalam berbagai undang-undang tentang money laundering di berbagai negara. Sekalipun undang-undang dan tindak pidananya disebut money laundering (“pencucian uang”),

namun objeknya tidak terbatas hanya pada uang saja. Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiyaan Terorisme, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004), hal. 167-168.

Money Laundering: a Banker;s Guide To Avoiding Problems”, (occ.treas.gov/ launder/ org.htm), hal.2. Bandingkan dengan Paul Allan Scott, Reference Guide to Anti-Money laundering and Combating the Financing of Terrorism (Washington D.C.: Yhe World Bank, 2003), hal. I-8-9, juga dengan Lim Choon Kiat, Kee Leok Soon dan Josef Eby Ruin, Guide to the Management of Anti- Money Laundering and Counter-Financing of Terrorism, (Selangor-Malaysia: Leeds Publication, 2005), hal. 2-4.

5penegak hukum dengan memanfaatkan kelemahan peraturan perundangundangan yang ada.15

Beberapa dampak negatif dari aktifitas pencucian uang seperti tersebut di atas menjadi alasan mengapa praktik pencucian uang perlu dikriminalisasi.16 Bahkan tindak pidana pencucian uang dewasa ini secara universal telah digolongkan sebagai suatu tindak pidana yang biasa disebut kejahatan ”kerah-putih” (white collar crime) dan juga merupakan kejahatan lintas batas negara (transnational crime).17

Indonesia sudah menerapkan pendekatan anti money laundering regime sejak 17 April 2002 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Dalam melaksanakan UU TPPU selama lebih dari 4 tahun ini banyak pelajaran berharga yang diperoleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai salah satu dari pelaksana UU TPPU yang berperan dalam upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan TPPU. Sehubungan dengan itu, bersama-sama dengan instansi terkait, PPATK telah melakukan inventarisasi berbagai kendala dan hambatan yangterjadi untuk efektifitas pelaksanaan UU TPPU di masa mendatang.18 Di Indonesia banyak pelaku korupsi dan tindak pidana lainnya baik yang belum maupun yang sudah diproses secara hukum, tidak diketahui dengan pasti jumlah hasil tindak pidana yang telah disita dan dirampas untuk negara. Lihat Teten Masduki (Koordinator ICW), “Pengembalian Hasil Korupsi: Beberapa Catatan”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Peringatan Ulang Tahun ke- 4 PPATK. Jakarta, 4 April 2006.

Menurut Sarah N. Welling, pencucian uang (money laundering) dimulai dengan adanya dirty money (“uang kotor” atau “uang haram”). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara. Pertama, melalui pengelakan pajak (tax evasion), dan kedua, uang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar hukum. Sarah N. Welling, “Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law”, dalam Brent Fisse, David Frazer & Graeme Coss, The Money Trail (Confiscation of Proceeds of Crime, Money Laundering, ans Cash Transaction Reporting), (Sydney: The Law Book Company Ltd., 1992), hal. 201.

Pemerintah Indonesia yang hingga sekarang masih mengalami banyak masalah dalam menangani “kejahatan jalanan”, “kejahatan tradisional” (predatory crimes), kini harus siap pula menghadapi dan menangani kejahatan yang tercakup dalam White Collar Crime yang erat kaitannya dengan Organized Crime, terutama yang dilakukan dalam lingkup internasional (transnational crime) dengan pemanfaatan teknologi canggih seperti kejahatan di bidang perbankan dan pencucian uang. Karakteristik “kejahatan kerah putih” antara lain: (1) tidak kasat mata (low visibility); (2) sangat kompleks (complexity); (3) ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana (diffusion of responsibility); (4) ketidakjelasan korban (diffusion of victims); (5) aturan hukum yang samar atau tidak jelas (ambiguous criminal law); dan (6) sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution). Lihat Harkristuti Harkrisnowo, “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering)”, makalah disampaikan pada Video Conference Nasional yang diselenggarakan oleh PPATK, BI, UI, UGM, USU, Undip, Unair, dan Elips di Jakarta, tanggal 29 Mei-Oktober 2004, hal. 2-4.

Masalah-masalah urgen yang dibahas dalam Rapat Koordinasi antara PPATK dengan pihakpihak terkait dalam rangka penegakan hukum TPPU antara lain menyangkut: pembukaan rahasia bank, pemblokiran, permintaan keterangan atau informasi mengenai rekening nasabah, penyitaan dana yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, pemeriksaan atau penyelidikan, perlindungan saksi ahli, saksi dan pelapor, tukar-menukar informasi antar instansi terkait, alat bukti, unsur-unsur

Pendahuluan 6Naskah Akademik

Tipologi atau modus-modus TPPU terus berkembang dan cara-cara yang digunakan semakin kompleks dengan melibatkan berbagai lembaga keuangan dan lembaga lainnya yang terkait dengan keuangan. Di pihak lain, beberapa ketentuan yang diatur dalam UU TPPU masih menimbulkan multi interpretasi, banyaknya “celah hukum” (loopholes) dan tidak tegasnya rumusan mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman. Kendala legislasi tersebut diyakini sebagai salah satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau penegakan hukum TPPU. Hal ini menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itulah, kepastian hukum yang konkrit serta penegakan hukum yang berkeadilan dan konsisten sangat diperlukan dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Dari sisi eksternal, faktor-faktor pendorong perlunya dilakukan pembaharuan hukum mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU adalah dikeluarkannya revisi rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) sebagai “standard setter” dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang harus diadopsi oleh semua negara, dan adanya perkembangan international best practice. Salah satu dari rekomendasi tersebut, adalah perlunya memperluas lingkup dari pihak pelapor (reporting parties) yang wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM/STR) kepada lembaga yang berfungsi sebagai Financial Intelligence Unit (FIU) seperti PPATK. Bahkan rekomendasi FATF tersebut tegas menyatakan agar pengacara, notaris atau profesi hukum lainnya dan akuntan serta penyedia barang dan jasa diminta untuk ikut melaporkan LTKM/STR.19

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, diperlukan upaya pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang komprehensif, konsisten, sistemik, dan mampu memberikan kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat.

B. PERMASALAHANBerdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang di atas,

permasalahan yang perlu dikemukakan dalam kerangka pembaharuan hukum mengenai pencegahan dan pemberantasan TPPU telah dirumuskan sebagai berikut:

pembuktian TPPU, proses hukum sanksi administratif, pemberkasan perkara dan tata cara pembuatan dakwaan. Lihat Risalah Rapat Koordinasi Penegakan Hukum TPPU, (Jakarta: Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK, 2006), hal. 2-98.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Rekomendasi FATF No. 12 hingga No. 16 yang telah direvisi tanggal 22 Juni 2003 (Revised 40+9 FAFT Recommendations).

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU7

1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang masih memiliki keterbatasan dalam upaya pendeteksian tindak pidana pencucian uang, sehingga dapat membuka peluang bagi pelaku tindak pidana untuk mencuci hasil kejahatannya.

2. Adanya beragam penafsiran atas beberapa rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan mengenai TPPU yang berlaku sekarang ini, sehingga belum menjamin

kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Karena itu, perlu aturan hukum di bidang TPPU yang tidak menimbulkan berbagai penafsiran atau “celah hukum” (loopholes);

3. Pada umumnya penanganan TPPU tidak terlepas dari tindak pidana asalnya. Penyidikan tindak pidana asal dilakukan oleh penyidik dari berbagai instansi sesuai dengan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan UU TPPU sekarang, penyidikan TPPU hanya dilakukan oleh Polri. Mengingat banyaknya tindak pidana asal yang terkait dengan TPPU, maka penanganannya memerlukan koordinasi dan kerjasama yang baik antar sesama penyidik dari berbagai instansi dimaksud. Untuk menghindari hambatan-hambatan koordinasi dan kerjasama dalam penanganan TPPU tersebut perlu perluasan penyidik yang berwenang melakukan penyidikan TPPU agar pemberantasan TPPU lebih efektif dan efisien;

4. Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini, kewenangan dari pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang belum diatur secara jelas dan tegas. Untuk itu perlu penataan ulang kewenangan dari setiap pelaksana UU TPPU;

5. Peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang berlaku sekarang ini sudah tidak sesuai lagi dengan standar internasional. Oleh karena itu, perlu disusun peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan formulasi perundang-undangan mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dengan menyesuaikan “international best practice”;

6. Ketentuan yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU serta pendanaan terorisme tersebar di beberapa konvensi internasional. Dengan telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional dimaksud maka diperlukan adanya harmonisasi perundang-undangan yang terkait;

7. Peran PPATK dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU belum optimal karena keterbatasan tugas dan kewenangan serta sumber daya manusia yang dimiliki;

Pendahuluan 8Naskah Akademik8. Peraturan perundang-undangan yang mengatur TPPU belum memberikan dasar hukum

yang kuat bagi pentrasiran, penyitaaan dan perampasan aset hasil kejahatan. Untuk itu perlu diperkenalkan mekanisme pentrasiran dan penyitaan serta perampasan aset hasil kejahatan melalui gugatan perdata.

C. TUJUAN DAN KEGUNAANDalam berbagai kesempatan Rapat Kerja antara PPATK dengan Komisi III DPR RI

sepanjang tahun 2005 dan 2006, DPR RI telah menyinggung Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU. No25/2003. DPR telah mencantumkan pembahasan RUU dimaksud dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009 dan merupakan salah satu RUU prioritas yang harus dibahas oleh DPR RI pada tahun 2005 dan 2006.

Menyikapi perkembangan permasalahan pencegahan dan pemberatasan TPPU serta untuk merespons keinginan para wakil rakyat, maka atas usul PPATK, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengambil prakarsa untuk menyusun RUU tentang Pencegahan danPemberantasan TPPU yang disertai dengan penyusunan Naskah Akademik RUU dimaksud sesuai Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Presiden dan Peraturan Presiden Nomor 61Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.

Naskah Akademik ini dibuat dalam rangka memetakan konsep-konsep pemikiran mengenai pentingnya Undang-undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ditinjau dari aspek filosofis, sosiologis-politis, yuridis, psikopolitik masyarakat, dan ekonomi. Isi pokoknya adalah gagasan-gagasan konkrit dan aplikatif tentang ruang lingkup dan materi muatan yang akan dituangkan di dalam RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Bahan dasar/acuan bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU;

2. Bahan pembahasan dalam forum konsultasi pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU;

3. Bahan dasar keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang disiapkan oleh Departemen Hukum dan HAM selaku Pemrakarsa.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU9D. METODE PENDEKATAN

Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini menggunakan pendekatan yuridis normatif20 yang bersifat kualitatif.21 Perumusan norma-norma hukum yang digunakan sebagai acuan penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU berdasarkan pada konstatering fakta-fakta filosofis, sosiologis-politis, yuridis, psikopolitik masyarakat, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU.

Penyusunan Naskah Akademik ini juga didukung oleh studi perbandingan hukum22 dengan mengambil bahan hukum sekunder yang tidak hanya dari bahan pustaka Indonesia maupun asing, tetapi juga bahanbahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan nasional dan ketetentuan-ketentuan internasional yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana pencucian uang antara lain :

� Konvensi PBB Tahun 1988 (the United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Subtances of 1988) yang diikuti dengan dikeluarkannya Undangundang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;

� Konvensi PBB Tahun 2000 tentang Pemberantasan Kejahatan Terorganisir Lintas Negara (the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime).

� Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 20 Tahun 2001;

Yuridis normatif artinya penelitian mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan dan norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Lihat Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Co., 1984), hal. 6-8.

Menurut Valerie J. Janesick, “Qualitative design is holistic. It lokks at the langer picture, the whole picture and begin with asearch for understanding of the whole”. Lihar Valerie J. Janesick, “The Dance of

Qualitative Research Design, Methapor, Methodology and Meaning”, dalam Norman K. Denzin and Yvonne S. Lincoln, (ed), Handbook of Qualitative Research, (California: Sage Publication, Inc., 1994), hal. 212.

Dalam ilmu pengetahuan terdapat tiga konsep pokok yaitu klasifikasi, pengukuran (kuantitatif), dan perbandingan. Perbedaan ketiga konsep tersebut hanya terletak pada cakupan informasi yang tersedia atas suatu objek atau fenomena apapun yang sedang diamati. Di antara ketiga konsep dimaksud, konsep perbandingan (komparatif) adalah konsep yang lebih efektif memberikan informasi karena komparatif memiliki atau terikat oleh suatu struktur hubungan logis yang relatif kompleks dan rumit. Dalam hal ini, konsep perbandingan berperan sebagai perantara antara konsep klasifikasi dan pengukuran. Dengan memakai konsep perbandingan kita dapat mengetahui apa kelebihan dan kekurangan FIU negara lain dibandingkan dengan eksistensi PPATK. Lebih jauh lagi, dengan cara “menggali” pengalaman pemikiran yang berkembang mengenai sistem dan mekanisme penanganan TPPU di negara lain itu kita bisa memahami mengapa dan bagaimana FIU negara lain lebih maju dan efektif jika dibandingkan dengan FIU kita. Yunus Husein, “Kata Pengantar” dalam Tim Penyusun, Sistem dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Lain (Laporan Pelaksanaan Tugas 2003-2006), (Jakarta: PPATK, 2006), hal. iii.

Pendahuluan 10Naskah Akademik

� Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;

� Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003;

� Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai UU;

� Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana;

� Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999);

� Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi);

� Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;� Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9)

FATF , 23 October 2004;� Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/50/KEP/DIR dan Surat Edaran

No. 32/6/UPPB masing-masing tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum;

� Peraturan Bank Indonesia No.4/8/PBI/2002 Tanggal 10 Oktober 2002 tentang pembawaan uang masuk dan keluar wilayah pabean;

� Peraturan Bank Indonesia No. 1/9/PBI/ 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank beserta peraturan pelaksanaannya, dan Surat Edaran No. 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank;

� Ketentuan tentang Know Your Customer Principle (Prinsip Mengenal Nasabah) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yaitu PBI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 2/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 dan PBI No. 5/21/PBI/2003 tanggal 17 Oktober 2003, dan PBI

No. 5/23/PBI/2003 tanggal 23 Oktober 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) bagi BPR. Sedangkan Bapepam dan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan - Departemen Keuangan telah mengeluarkan pula ketentuan KYC yaitu Keputusan Menteri Keuangan No.45/KMK.06/2003 tanggal 30 Januari 2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. KEP-02/PM/2003 tanggal 15 Januari 2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.

Proses penyusunan Naskah Akademik ini melibatkan ahli/pakar dari kalangan industri, teoritisi, akademisi, praktisi hukum, pengusaha, sebagai narasumber melalui penyelenggaraan forum dialog, forum komunikasi, penelitian lapangan, guna menyaring pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan.

BAB IIDASAR PEMIKIRAN PERLUNYA

REVISI UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANAPENCUCIAN UANG

A. DASAR FILOSOFISDasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan

bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar negara adalah Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.23

Batang tubuh UUD 1945 mengatur pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya, dengan kata lain batang tubuh atau pasal-pasal di dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari cita hukum. Pancasila sebagai norma filosofis negara dan merupakan sumber cita hukum yang terumuskan lebih lanjut dalam tata hukum atau hierarki peraturan perundang-undangan yang sekaligus menjadi “kaidah dasar fundamental negara”. Dengan jelas dan terang dinyatakan, bahwa tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan 23

Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan kembali bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan(machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan kekuasaan yang tidak terbatas (absulutisme). Sebagai konsekuensinya terdapat 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara Indonesia yaitu: (i) supremasi hukum; (ii) kesetaraan di hadapan hukum; dan (iii) penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum itu sendiri.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU13umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Butir kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang secara filosofis mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaan dan menjamin tegaknya hukum dan keadilan. Dalam hubungan ini, salah satu bentuk ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri adalah kejahatan. Oleh sebab itu, kejahatan harus dicegah dan diberantas karena sangat bertentangan bahkan dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu bentuk kejahatan dimaksud adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini tidak terlepas dari dampak negatif tindak pidana pencucian uang antara lain dapat meningkatkan motivasi seseorang atau organisasi kejahatan untuk mengembangkan kejahatannya yang pada gilirannya dapat pula menciptakan kemiskinan dan kebodohan, merusak struktur keuangan dan perekonomian serta terganggunya stabilitas pemerintahan.

Dalam kaitan ini, Departement of Justice Canada dalam papernya yang berjudul Electronic Money Laundering: An Environmental Scan (1998) menyebutkan sebagai berikut24 :

1. Aktifitas pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyelundup dan para penjahat lainnya untuk memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya pengobatan dan perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.

2. Aktifitas pencucian uang mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan (financial community) sebagai akibat dari besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar tersebut;

3. Pencucian uang dapat mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayarpajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

Sementara itu, hasil penelitian Komisi Hukum Nasional (KHN) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa implikasi negatif lainnya dari aktifitas pencucian uang antara lain :

24 Department of Justice Canada, Solicitor General Canada, Electronic Money laundering: AnEnvironmental Scan, (October 1998), hal. 4.

Dasar Pemikiran14Naskah Akademik

1. Membiarkan masyarakat menikmati uang haram berarti mengizinkan organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereka menikmati hasil aktifitasnya;

2. Praktik ini bisa menciptakan kondisi persaingan usaha yang tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap money laundering, adalah suatu tindakan keliru yang turut berperan membangun etos persaingan usaha yang tidak jujur, yang pada gilirannya dapat menurunkan moral bisnis dan wibawa hukum secara drastis, serta menguatnya orientasi materialistik menguat dan lain sebagainya;

3. Perkembangan praktik ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya. Angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro menjadi

turun tingkat efektifitasnya karena semakin banyaknya uang yang berjalan di luar kendali sistem perekonomian pada umumnya.

Sistem dan mekanisme penegakan hukum pencucian uang atau rezim anti-pencucian uang, berbeda dengan penegakan hukum tindak pidana konvensional. Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money) atau transaksi keuangan. Dengan kata lain, penelusuranaliran dana melalui transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas dari paradigma pencucian uang bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik terlemah dari mata rantai kejahatan. Upaya memotong mata rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan, juga akan menghilangkan motivasi pelaku untuk mengulangi kejahatan. Hilangnya motivasi tersebut karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya menjadi terhalang atau sulit dilakukan, dan pelaku kejahatan yang terorganisir tidak memiliki kemampuan lagi untuk melanjutkan kegiatannya karena sumbernya telah disita dan dirampas untuk kepentingan negara-bangsa.

Dengan memperhatikan dampak serius yang ditimbulkan sebagaimana telah diuraikan di atas, dan tujuan mulia dibangunannya rezim anti-pencucian uang, maka pembangunan hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang komprehensif, konsisten, sistemik, serta mampu memberikan kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi sangat urgen di masa mendatang.

B. DASAR SOSIOLOGIS DAN POLITISDi dalam masyarakat terdapat suatu kondisi nyata tentang tingkat penerimaan

(acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) terhadap suatu kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan. Untuk itu perlu mengikutsertakan masyarakat sebagai faktor penyeimbang dalam proses pembuatan produk hukum dalam rangka membangun akseptan dan sekaligus mereduksi serendah mungkin tingkat resistensinya, sehingga akan menjadi undang-undang yang efektif ideal.25

Upaya mereduksi resistensi tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan kalangan penyedia jasa keuangan, profesi, dan penyedia barang dan jasa, kalangan akademik dan pemerhati hukum dalam proses pembentukan undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU guna menghindari anggapan bahwa pembentukan UU TPPU ini keliru dan tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia dan hanya akan menimbulkan keguncangan sosial dan ekonomi.

Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan adanya resistensi masyarakat terhadap RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini, maka perlu adanya kegiatan sosialisasi yang terus menerus di semua lapisan masyarakat, agar masyarakat dapat memahami urgensi pencegahan dan pemberantasan TPPU diatur oleh suatu undang-undang. Pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia selama lebih dari 4 (empat) tahun ini, telah banyak memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Sebelum dibangunannya rezim anti pencucian uang, masyarakat tidak dibebani dengan berbagai kewajiban dalam memanfaatkan jasa lembaga keuangan, dan sebaliknya industri keuangan juga tidak dibebani kewajiban untuk melakukan identifikasi transaksi nasabahnya.

Secara politis, pembangunan rezim anti pencucian uang telah menjadi bagian penting dalam pembangunan politik dalam negeri maupun internasional. Pembangunan politik dalam negeri menuntut adanya good

Berdasarkan kajian filsafat diketahui bahwa “tidak semua hukum adalah hukum”, karena terdapat “hukum yang bukan hukum”. Meskipun bentuknya memang berupa hukum (seperti Ketetapan MPR, Undang-undang, Keputusan Menteri, Putusan Pengadilan) namun isinya tidak mencerminkan hukum karena di dalamnya tidak memuat asas-asas hukum seperti kesamaan, keadilan, kegunaan dan sebagainya. Persoalannya memang selama ini terdapat perbedaan pandangan antara hukum dengan ajaran moral (etika). Kaum positivisme memandang hukum sebagai sistem logika yang tertutup, sehingga tidak memasukkan pertimbangan moral ke dalam hukum. Apabila hukum dipandang sebagai keseluruhan perintah, sebagaimana diajarkan oleh John Austin, maka dalam hukum tidak ada norma moral karena antara keduanya kontradiktif. Dengan kata lain tidak ada moralitas dalam kekuasaan.Akan tetapi, meskipun keduanya kontradiktif ternyata dapat berjalan bersama-sama. Sebagai contoh adalah kekuasaan di Amerika Serikat memiliki bentuk check and balance yang transparan sehingga dapat memberi kesempatan kepada semua pihak (termasuk pihak yang tidak berkuasa) untuk menguji apakah cara-cara memperoleh dan menggunakan kekuasaan itu sesuai atau tidak dengan moral rakyat Amerika Serikat. Apabila tidak sesuai, meskipun suatu perbuatan belum tentu merupakan pelanggaran hukum, akan tetapi pelanggaran hukum itu bisa menjadi kendala dalam memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Joni Emirzon, Op.Cit., hal. 259-260.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPUDasar Pemikiran16Naskah Akademikgovernance dalam setiap proses penyelenggaraan negara. Pengawasan pembangunan politik melalui pendekatan rezim anti-pencucian uang, khususnya terhadap isu politik uang, akan memberikan kontribusi yang positif dalam proses pembangunan politik itu sendiri.

Indonesia sebagai bagian integral dari masyarakat internasional senantiasa berupaya melaksanakan tata pergaulan internasional agar dapat secara seimbang dan proporsional duduk bersama dengan negara-negara lain. Sehubungan dengan itu, pembangunan rezim anti pencucian uang merupakan kebutuhan bersama seluruh negara-bangsa untuk diterapkandalam sistem hukum masing-masing.

Dalam konteks pembangunan rezim anti-pencucian uang yang efektif, disadari bahwa tidak cukup dengan hanya melaksanakan kewajiban ini tanpa didukung adanya perbaikan sistem administrasi kependudukan yang “up to date” dan kredibel. Penatausahaan data kependudukan yang informatif dan kredibel, di samping membantu stakeholder dalam melaksanakan tugasnya juga memudahkan bagi pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan.

Secara sosiologis atau dari sudut pandang masyarakat, penerapan rezim anti-pencucian uang masih menghadapi hambatan. Masyarakat pengguna jasa (nasabah) masih memandang bahwa penerapan Prinsip Mengenali pengguna jasa (Know Your Costumer – KYC) oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) menimbulkan keengganan untuk bertransaksi di PJK. Sebaliknya, PJK juga memiliki kekhawatiran akan kehilangan nasabah. Pada awalnya hampir di semua negara, penerapan KYC sebagai bagian dari pembangunan rezim anti-pencucian uang mengalami hambatan serupa. Namun demikian, beberapa tahun kemudian penerapan KYC tersebut lambat laun akan menjadi suatu kebiasaan dan keharusan.

Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat kurangnya perhatian dari nasabah dan tidak serentaknya PJK dalam menerapkan prinsip KYC pada nasabah. Sebagai contoh adanya nasabah yang mengurangi aktifitasnya dalam melakukan transaksi keuangan sejak PJK menerapkan prinsip KYC. Kondisi ini merupakan “potensial problem” karena memberikan peluang kepada nasabah untuk menolak memberikan informasi, dan selanjutnya memindahkan dananya ke PJK yang belum sepenuhnya menerapkan prinsip KYC. Di samping itu, skala usaha PJK khususnya bank juga merupakan salah satu faktor penghambat dalam menerapkan prinsip KYC. Sebagai contoh salah satu bank terbesar di Indonesia memiliki karyawan lebih dari 21.000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di seluruh Indonesia. Dengan skala usaha seperti itu sulit dilakukan langkah-langkah yang dapat menunjang efektivitas penerapan prinsip KYC seperti pendataan profile dari seluruh nasabah yang sudah ada. Sementara itu, pelatihan untuk karyawan dan pengadaan sistem informasi membutuhkan persiapan yang cukup baik dari segi waktu, dana dan keahlian.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU17

Dampak yang dihadapi PJK pada saat menerapkan prinsip KYC antara lain: nasabah tidak mau mengisi formulir KYC yang sudah dikirimkan; nasabah cenderung tidak jujur dalam mengisi data penghasilan (sumber dan jumlah); nasabah sulit ditemui (misalnya berada atau sering di luar negeri); dan nasabah berkeberatan memberikan slip gaji karena mereka beranggapan bahwa mereka adalah nasabah penyimpan dana bukan peminjam dana.

Sementara itu, bagi masyarakat selaku nasabah dari PJK masih dirasakan belum memberikan perhatian penuh terhadap peraturan KYC. Hal ini merupakan kendala utama yang dihadapi seluruh PJK dalam menerapkan prinsip KYC. Selama nasabah belum memiliki kemauan untuk bekerja sama dengan memberikan informasi yang dibutuhkan, maka PJK belum dapat menerapkan seluruh ketentuan KYC. Tidak adanya keinginan nasabah untuk bekerja sama dengan PJK dalam penerapan prinsip KYC antara lain karena: nasabah merasa tidak nyaman dan takut rahasia keuangannya diketahui oleh pihak lain misalnya disalahgunakan sebagai objek pajak; pengisian formulir KYC merepotkan nasabah dan dirasa terlalu berlebihan (misalnya data mengenai jabatan, nama ibu kandung, hobby, pinjaman bank lain); nasabah merasa tidak memperoleh manfaat dari pengisian KYC; nasabah merasa PJK terlalu mau tahu masalah internal nasabah; dan nasabah yang memiliki dana di beberapa PJK tidak bersedia mengisi KYC karena PJK lainnya belum menerapkan prinsip KYC.

Sebagaimana telah disinggung di atas, arti penting pelaksanaan rezim anti pencucian uang melalui penerapan KYC adalah :

1. Bagi PJK, antara lain dapat: menciptakan PJK yang sehat, karena terhindar dari risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi; terhindar dari sanksi pidana baik pidana penjara dan denda, serta sanksi administratif sampai dengan pencabutan izin usaha; membantu penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya; dan dengan adanya kestabilan ekonomi dan sistem keuangan, serta meningkatnya integritas sistim keuangan khususnya perbankan di baik mata nasional dan internasional karena tidak digunakan sebagai sasaran dan saran pencucian uang, maka dengan sendirinya dapat menciptakan industri perbankan yang kompetitif dalam skala internasional;

2. Bagi Nasabah, antara lain dapat: memberikan rasa aman dalam bertransaksi karena tidak memiliki kekhawatiran terhadap PJK yang dipakai bertransaksi dikenai

sanksi sampai penutupan usaha; transaksi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar; tidak adanya kekhawatiran dananya dibekukan karena PJK yang bersangkutan telah menerapkan KYC; memberikan kemudahan dalam bertransaksi antara lain pembukaan Letter of Credit tidak menemui hambatan di bank korespondennya karena adanya kepercayaan dari bank korespondennya di luar negeri; secara tidak langsung telah memberikan edukasi dalam bidang penegakan hukum kepada masyarakat; dengan melaksanakan aturan prinsip mengenal nasabah secara konsisten, di samping jalinan kemitraan dengan PJK semakin meningkat tetapi juga tidak adanya kecurigaan bahwa si nasabah menguasai harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.

Untuk dapat membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif, perlu melibatkan peran serta semua komponen masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa keuangan, industri keuangan dan industri lain yang terkait dengan keuangan, regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari celah dalam upaya menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya.

Menyadari hal ini, FATF dalam rekomendasinya telah menetapkan pihak pelapor lain, selain PJK, seperti lembaga profesi serta penyedia barang dan jasa wajib juga menerapkan prinsip mengenal pengguna jasa dan atau kewajiban untuk melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada FIU. Indonesia, sebagai bagian masyarakat internasional tentu turut berperan aktif dalam mendukung dan melaksanakan sesuatu yang memberikan kemanfaatan nasional. Secara internasional, bagi negara-negara yang tidak memenuhi rekomendasi FATF dan negara yang bersangkutan rentan dengan terjadinya pencucian uang, maka FATF pada waktu yang lalu memasukkannya ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories(NCCTs), atau negara yang tidak kooperatif terhadap pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Terhadap negara-negara yang oleh FATF dimasukkan dalam NCCTs, langsung maupun tidak langsung akan mengganggu eksistensinya dalam pergaulan masyarakat internasional. Dengan kata lain, keengganan negara-negara lain untuk membuka diri dan bergaul dengan negara-negara yang dimasukkan dalam daftar NSSTs, akan berdampak buruksecara politis dan ekonomis bagi negara bersangkutan.

Dalam lingkup domestik, organisasi kejahatan yang biasa melakukan pencucian uang dapat mempengaruhi sistem politik suatu negara. Melalui sumbangan dana terhadap calon kepala pemeritahan pusat dan daerah dalam proses Pemilihan Umum misalnya, organisasi kejahatan dapat mempengaruhi program-program kerja yang akan dilaksanakan oleh kandidat bersangkutan. Apabila kandidat tersebut terpilih, sudah dapat dibayangkan kebijakan apa yang akan dilaksanakan. Besar kemungkinan bahwa kebijakan tersebut akan memberi keuntungan bagi organisasi kejahatan yang telah berjasa tersebut.

Dengan demikian, untuk lebih memberikan dasar pijakan yang kuat dalam penerapannya, maka perlu penyusunan dasar hukum pelaksanaan KYC dan atau kewajiban pelaporan berikut sanksi hukumnya, dan adanya dukungan semua pihak, Pemerintah pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, seperti kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, dan masyarakat pengguna jasa keuangan.

Revisi UU TPPU diharapkan dapat menata dan memastikan pentingnya penerapan KYC dan kepatuhan pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, serta memenuhi komitmen Indonesia dalam pergaulan internasional. Kegagalan dalam membangun rezim anti- pencucian uang melalui penyusunan UU TPPU yang komprehensif, dapat berakibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum nasional dan mempengaruhi penilaian terhadap Indonesia di mata internasional.

C. DASAR YURIDISPenyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dilatarbelakangi

oleh kesadaran adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum UU TPPU. Kendala yuridis tersebut antara lain adanya multi interpretasi terhadap rumusan delik TPPU dalam UU TPPU, banyaknya ”loopholes” dan kurang tegasnya rumusan mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman yang diyakini sebagai salah satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau penegakan hukum TPPU. Hal ini menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat. Dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, maka perlu adanya kepastian hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan yang harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Perlunya revisi atau kaji ulang kebijakan formulasi perundangundangan di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU, juga dipicu oleh perkembangan pembangunan rezim anti-pencucian uang di dunia internasional terutama pasca dikeluarkannya revised 40 recommendations dan 9 special recommendations (revised 40+9) FATF.26

26 FATF dibentuk pada tahun 1989 oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7 Countries. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus

suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan

peraturan perundang-undangan. Ada 3 (tiga) fungsi utama dari FATF yaitu: (i) memonitor kemajuan yang dicapai para anggota FATF dalam melaksanakan

langkah-langkah pemberantasan money laundering; (ii) melakukan kajian mengenai money laundering trends, techniques dan counter measures; dan (iii)

mempromosikan pengadopsian dan pelaksanaan standar anti pencucian uang kepada masyarakat internasional. Pada tahun 1990, FATF untuk pertama kalinya

mengeluarkan 40 recommendations sebagai suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi kejahatan money laundering. Sebagai reaksi atas tragedi WTC

atau yang dikenal dengan peristiwa 11 September 2001, RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPUDasar Pemikiran

20Naskah Akademik

Salah satu dari 40 rekomendasi tersebut, adalah perlunya memperluas lingkup pihak pelapor (reporting parties) yang wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) kepada FIU seperti PPATK. Rekomendasi FATF No. 16 dengan tegas menyatakan agar pengacara, notaris, profesi hukum lainnya, akuntan publik, pedagang barang-barang berharga dan perhiasan, serta lembaga profesi lainnya diminta untuk melaporkan LTKM/STR.

Penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi semakin strategis dan relevan dengan telah diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2006 dan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi) berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006. Dengan telah diratifikasinya kedua konvensi internasional tersebut, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang diatur oleh kedua konvensi dan menyampaikan country report yang memuat upaya tindak lanjut dari ratifikasi kedua konvensi tersebut.

Salah satu kewajiban sesuai Pasal 2 Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Pendanaan Terorisme, adalah penerapan kewajiban bagi lembaga keuangan untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada instansi berwenang serta bekerja sama untuk saling tukar-menukar informasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan aliran dana untuk tindak pidana terorisme. Konvensi PBB mengenai Pencegahan Pendanaan Terorisme juga mewajibkan setiap ”negara pihak” (state party) untuk mengatur pengidentifikasian, pendeteksian, dan pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai

tindak pidana terorisme. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi sebagaimana diuraikan di atas maka pemerintah Indonesia harus memenuhi segala kewajiban yang timbul sebagai “negara pihak” karena telah menandatangani perjanjian internasional tersebut. Salahsatu kewajiban yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sudah tentu terkait erat dengan TPPU.

pada bulan Oktober 2001 FATF mengeluarkan 8 Special Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal dengan counter terrorist

financing. 40+8 recommendations menetapkan prinsip-prinsip untuk penyusunan kebijakan impelementasi oleh setiap negara. Pada tanggal 22 Juni 2003, FATF

mengeluarkan revised 40 recommendations dan pada bulan Oktober 2004 mengeluarkan 9 special recommendations tentang cash couriers. Meskipun revised

40+9recommendations bukan merupakan produk hukum yang mengikat, namun rekomendasi ini dikenal dan diakui secara luas oleh masyarakat dan organisasi

internasional sebagai suatu standar internasional untuk memerangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan terorisme.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU21

D. DASAR EKONOMIBesarnya perhatian masyarakat internasional terhadap aktivitas pencucian uang

terutama karena pengaruh buruk yang ditimbulkannya, antara lain berupa instabilitas sistem keuangan, sistem perekonomian negara dan bahkan dunia secara keseluruhan mengingat aktifitas pencucian uang sebagai suatu kejahatan transnasional (transnational crime) yang modusnya banyak melintasi batas-batas negara (cross border).27

Namun demikian, perhatian masyarakat internasional tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan lahirnya kesadaran mengenai pentingnya pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Karena disadari pula, bahwa berkembangnya aktifitas pencucian pencucian uang memberikan insentif atau kemudahan bagi pelaku pencucian uang untuk meningkatkan kejahatannya (predicate crime) seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, pembalakan liar (illegal logging) dan berbagai kejahatan lainnya. Kejahatan-kejahatan tersebut dapat melibatkan atau menghasilkan uang atau aset (proceeds of crime) yang jumlahnya sangat besar.28

Kegiatan pencucian uang secara langsung memang tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu, atau dengan kata lain sepintas lalu tidak ada korbannya. Tidak seperti halnya perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan sekaligus menimbulkan kerugian bagi korbannya itu sendiri. Oleh sebab itu, Billy Steel29

mengemukakan bahwa money laundering: “it seem to be a victimless crime”.

Kemunculan internet dalam “dunia maya” (cyber space) secara nyata memperlihatkan perkembangan kemajuan yang luar biasa di bidang teknologi-

informasi, sehingga batas-batas negara menjadi hilang, dan sekarang, dunia telah menjadi satu kesatuan tanpa batas. Namun salah satu dampak negatifnya adalah

memberikan kesempatan dan peluang yang jauh lebih banyak dan mudah bagi organisasi-organisasi kejahatan untuk melakukan kejahatan-kejahatan terorganisir

(organized crime) secara lintas batas negara-negara (cross-border) dan dalam perkembangannya sekarang telah bersifat transnasional. Dengan kata lain,

organisasi-organisasi kejahatan dengan mudah dan cepat dapat memindahkan jumlah uang yang sangat besar dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lain. Misalnya,

dengan fasilitas perbankan seperti Automated Teller Machines (ATMs) memungkinkan para penjahat untuk memindahkan dana (to wire funds) ke rekening-

rekening di suatu negara dari negara-negara lain seketika itu juga dan dana tersebut dapat ditarik melalui ATMs di seluruh dunia tanpa diketahui siapa pelakunya.

Setiap harinya, dua International Electronic Funds Transfer System yang cukup terkenal menangani transaksi keuangan lebih dari $ 6 triliun melalui wire

transfers. http://www.moneyLaundering\International.htm. Pada industri perbankan di Indonesia, pengiriman uang melalui wire transfer telah lazim dilakukan.

Credit card dan debit card telah menjadi alat yang biasa digunakan untuk melakukan pembayaran dalam kegiatan bisnis masyarakat perkotaan, antara lain untuk

membayar belanja di mall, supermarket, restoran dan agen-agen penjualan yang menyediakan fasilitas tersebut.

International Monetary Fund (IMF) memperkirakan bahwa besarnya jumlah dana yang dilibatkan dalam kegiatan pencucian uang sekitar 2% sampai

5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Dunia atau menurut angka PDB tahun 1996 tercatat sekitar US$590 milyar sampai US$1,5 triliun. Vito Tanzi, ”Money

Laundering and the International Finance System”, IMF Working Paper No. 96/ 55 (May 1996), at 3 and 4.

Billy Steel, “Laundering-What is Money Laundering”. http://www.laundryman.u- net.com.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPUDasar Pemikiran22Naskah AkademikJohn McDowell dan Gary Novis dari Bureau of International Narcotics and Law Enforcement Affairs, US Department of State mengemukakan, bahwa “Money laundering has potentially devastating economic, security, and social consequences”. Selanjutnya dijelaskan pula beberapa dampak negatif pencucian uang sebagai berikut30 :

a. Undermining the Legitimate Private Sector (merongrong sector swasta yang sah). Untuk menyembunyikan dan mengaburkan hasil-hasil kejahatannya, para pencuci uang seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan tertentu untuk mencampuradukkan uang haram dengan uang yang sah.Perusahaan-perusahaan yang diciptakan untuk melakukan pencucian uang mengelola dana dalam jumlah besar, yang digunakan untuk mensubsidi barang-barang dan jasa-jasa yang akan dijual di bawah harga pasar. Bahkan, perusahaan-perusahaan tersebut dapat menawarkan barang-barang pada harga di bawah biaya poduksi. Dengan demikian perusahaan-perusahaan tersebut memiliki competitive advantage terhadap perusahaanperusahaan sejenis yang bekerja secara sah. Sebagai konsekuensinya bisnis yang sah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan tersebut sehingga dapat mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang sah menjadi bangkrut atau gulung tikar.

b. Undermining the Integrity of Financial Markets (merongrong integritas pasar-pasar keuangan). Likuiditas dari lembagalembaga keuangan (financial institutions) seperti bank akan menjadi buruk apabila dalam operasionalnya cenderung mengandalkan dana hasil kejahatan. Misalnya, hasil kejahatan pencucian uang dalam jumlah besar yang baru saja ditempatkan pada suatu bank, namun tiba-tiba ditarik dari bank tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Akibatnya bank tersebut mengalami masalah likuiditas yang cukup serius (liquidity risk).

c. Loss of Control of Economic Policy (hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi). Michel Camdessus, mantan managing director IMF, memperkirakan bahwa jumlah uang haram yang terlibat dalam kegiatan pencucian uang sekitar 2 hingga 5 persen dari gross domestic product dunia, atau sekurangkurangnya US$ 600.000 juta. Apabila uang haram dalam jumlah besar ini masuk dalam sirkulasi ekonomi dan perdagangan suatu negara, khususnya negara berkembang atau negara ketiga, hal ini akan mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.

John McDowell & Gary Novis, Op.Cit., http://www.usteas.gov.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU23

Selain itu, pencucian uang dapat pula menimbulkan dampak negatif terhadap nilai mata uang dan tingkat suku bunga karena uang haram yang telah diinvestasikan secara cepat ditarik untuk ditempatkan kembali di negara-negara yang tingkat keamanan atau kerahasiaannya cukup ketat. Dana investasi yang bersifat sementara itu akan menyulitkan otoritas dalam mewujudkan nilai mata uang dan suku bunga yang stabil sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pada itu, pencucian uang dapat meningkatkan ancaman terhadap ketidakstabilan moneter sebagai

akibat terjadinya misalokasi sumber daya (misallocation of resources) karena distorsi-distorsi aset dan harga-harga komoditas banyak direkayasa.

Singkatnya, pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial crime) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya terhadap jumlah permintaan terhadap uang (money demand) dan meningkatkan volatilitas dari arus modal internasional (international capital flows), suku bunga, dan nilai tukar mata uang. Sifat pencucian uang yang tidak dapat diduga itu menyebabkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya, sehingga kebijakan ekonomi yang sehat sulit tercapai.

d. Economic Distortion and Instability (timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi). Penanaman dana hasil kejahatan untuk tujuan pencucian uang bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi mereka lebih tertarik untuk melindungi hasil kejahatannya. Pencuci uang tidak mempertimbangkan apakah dana yang diinvestasikan tersebut bermanfaat bagi negara penerima dana atau investasi. Akibat sikap mereka seperti itu mengakibatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat terganggu. Misalnya, industri konstruksi dan perhotelan di suatu negara dibiayai oleh pencuci uang bukan karena adanya permintaan yang nyata (actual demand) di sektor-sektor tersebut, tetapi karena terdorong oleh adanya kepentingan-kepentingan jangka pendek. Dalam hal pencuci uang merasa terganggu kepentingannya, setiap saat mereka dapat menarik investasinya yang pada akhirnya mengakibatkan sektor-sektor usaha tersebut ambruk dan memperparah kondisi ekonomi negara bersangkutan.

e. Loss of Revenue (hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak). Pendapatan pajak pemerintah bisa berkurang karena kaburnya dana hasil kejahatan. Biasanya pemerintah setiap tahun telah mentargetkan pendapatan pajaknya. Dalam hal harta kekayaan yang menjadi objek pajak dipindahkan ke luar yuridiksi mengakibatkan target perolehan pajak tidak tercapai. Untuk memenuhi target ini, pemerintah membuat kebijakan untuk meningkatkan tarif pengenaan pajak yang dapat merugikan wajib pajak lainnya (higher tax rates).

f. Risks to Privatization Efforts (risiko pemerintah dalam melaksanakan program privatisasi). Pelaku pencucian uang dapat mengancam upaya pemerintah dalam melaksanakan program privatisasi. Dengan kepemilikan dana yang cukup besar, mereka dapat membeli saham-saham perusahaan negara yang diprivatisasi meskipun harganya jauh lebih tinggi daripada calon-calon pembeli yang lain. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya, dan bukan untuk memperoleh keuntungan melalui investasi tersebut.

g. Reputation Risk (merusak reputasi negara). Maraknya kegiatan pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial crimes) di suatu negara dapat mengakibatkan terkikisnya kepercayaan pasar terhadap sistem dan institusi keuangan negara yang bersangkutan. Rusaknya reputasi tersebut dapat mengakibatkan hilangnya peluang-peluang bisnis yang sah. Hal tersebut pada gilirannya bisa mengganggu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

h. Social Cost (menimbulkan biaya sosial yang tinggi). Hasil-hasil kejahatan yang telah dicuci oleh pelaku kejahatan, besar kemungkinan akan dimanfaatkan kembali untuk memperluas aksi-aksi kejahatan mereka. Sebagai konsekuensinya, pemerintah akan mengeluarkan biaya tambahan untuk kegiatan penegakan hukum dan damak-dampak lain yang ditimbulkannya. Apabila hasil kegiatan pencucian uang itu jumlahnya besar, dapat dimanfaatkan oleh pelaku pencuci uang

mengalihkan kekuatan ekonomi, bahkan mengendalikan atau mengambil alih pemerintah berkuasa.

Sementara itu International Monetary Fund (IMF)31 juga mencatatkan beberapa implikasi makroekonomi sebagai akibat dari pencucian uang yang dapat menyebabkan terjadinya :

(i) kesalahan kebijakan karena kesalahan pengukuran data statistic makroekonomi;(ii) volatilitas pada nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya transfer dana

secara cross-border;(iii) perkembangan liability base yang tidak stabil dan struktur-struktur asset lembaga

keuangan yang tidak sehat telah menimbulkan resiko sistemik yang pada gilirannya akan mengakibatkan ketidakstabilan moneter;

(iv) dampak buruk dari pengumpulan pajak dan juga dari pembelanjaan publik karena terjadinya pelaporan yang direkayasa dan pelaporan mengenai pendapatan yang dibuat lebih rendah dari yang semestinya;

(v) mis-alokasi sumber-sumber daya karena terjadinya distorsi nilai asset dan harga-harga komoditas;

(vi) dampak-dampak negatif terhadap transaksi-transaksi yang sah karena transaksi-transaksi itu diduga telah terkontaminasi oleh praktik-praktik pencucian uang.

Dalam pendekatan anti rezim anti pencucian uang, pengejaran uang (follow the money) terhadap hasil kejahatan merupakan cara mudah dan efektif dalam mengungkap kejahatan dan pelakunya, karena32 :

(i) pengejaran aset ini bersifat netral atau tidak terlalu beresiko jika dibandingkan dengan pengejaran pelaku kejahatan, yang biasanya memiliki kekuatan (power) atau pengaruh. Pengejaran aset ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan si pemilik aset, sehingga lebih aman dilakukan; dan

Bandingkan dengan Sherman T. yang mengemukakan bahwa pendekatan anti-pencucian uang adalah mengejar uang atau harta kekayaan yang

diperoleh dari hasil kejahatan (follow the money) dengan alasan, antara lain: (i) mengejar pelakunya relatif lebih sulit dan berisiko; (ii) relatif lebih mudah dengan

mengejar hasil dari kejahatan dibandingkan dengan mengejar pelakunya; dan (iii) hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu sendiri

(live bloods of the crime). Sherman T., “International Efforts to Combat Money Laundering: The Role of the Financial Task Force”, dalam MacQueen L (ed.),

Money Laundering, (Edinburgh, 1993), hal. 12. Bandingkan juga dengan R.T. Naylor yang antara lain menyatakan “Such laws have had as their consequence, to

various degrees in various places, the undermining of traditional presumptions in favour of financial privacy, the opening of tax records to police probes with

the danger that the integrity of a fiscal system premised on might be undermined; the muddling of civil and criminal procedures, and, in extreme cases (the U.S.

is the most notorious example) the impairing of the right of an accused to due process. Clearly these new legal initiatives are powerful tools, sufficiently so that

it is reasonable to ask that they not be deployed unless and until their need has been unambiguously established, their objectives clearly delineated, and the

public well informed both of their actual (as distinct from purported) purpose and of any “collateral damage” their use might entail. It should be convincingly

demonstrated that any perceived failure of existing methods of crime control results from deficiencies in existing laws, rather than from deficiencies in the

application of existing laws, that a crisis exists of sufficient order of magnitude to require radical alternatives, and that such alternatives have a good chance of

being effective in rectifying those deficiencies. Yet, despite the rapid spread of such laws across the world, despite the growing popularity of a “proceeds”

approach to crime control, no one really knows how much criminal income and wealth actually exists, how illegal gains are distributed or how harmful their

impact on the legitimate society and the legal economy really is. As a result, no one can say with any degree of confidence what the actual effects of a follow-the-

money strategy has on its intended target, though they can point with considerably more confidence to its pernicious

side-effects. Consequently, it is time for a cold reassessment of the entire approach”. R.T. Taylor, Follow-The-Money Meethods In Crime Control Policy, A

Study prepared for the Nathanson Centre for the Study of Organized Crime and Corruption. Toronto, Desember 1999), hal. 1-2.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPUDasar Pemikiran26

Naskah Akademik(ii) pengejaran aset pada dasarnya mengikuti kecenderungan sifat manusia sebagai

makhluk homo economicus dan karena itu manusia acapkali melakukan tindak pidana dengan alasan mencari keuntungan dalam bentuk materi/uang. Dengan dilakukannya pengejaran aset hasil kejahatan diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan akan berkurang.

Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapatlah ditarik benang merah bahwa penegakan hukum TPPU berbanding lurus dengan perkembangan ekonomi nasional. Diasumsikan bahwa semakin meningkatnya penegakan hukum TPPU akan berpengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi nasional. Dengan meningkatnya penegakan hukum ini, maka kepastian hukum, ketertiban dan keadilan menjadi lebih baik serta tingkat kriminalitaspun menjadi berkurang, dan pada gilirannya stabilitas maupun tingkat kepercayaan masyarakat kepada sistem keuangan menjadi lebih baik.

Bagi PJK yang merupakan salah satu komponen dalam sistem keuangan, akan dapat memberikan manfaat maksimal kepada pemegang saham, karyawan, masyarakat dan pemerintah. Bagi pemegang saham dapat memperoleh keuntungan berupa deviden atau capital gain, sedangkan terhadap karyawan dapat meningkatkan penghasilan. Di sisi lain, masyarakat akan memperoleh manfaat antara lain terbukanya lapangan kerja, secara optimal dapat memanfaatkan fasilitas atau layanan lembaga keuangan seperti kredit atau pembiayaan dan juga membantu memperlancar kegitan ekonomi lainnya. Sedangkan bagi pemerintah, di samping memperoleh manfaat dari pengumpulan pajak untuk membiayai pembangunan nasional, juga dapat membantu dalam melaksanakan kebijakan moneter.

Bagi pelaku ekonomi, situasi yang kondusif tersebut dapat menggerakkan sektor riil berupa kemudahan dalam menjalankan usahanya. Peranan sistem keuangan menjadi sangat penting karena dapat menunjang perkembangan kegiatan ekonomi pun menjadi lebih baik, misalnya kredit dan pembiayaan lebih banyak diberikan. Sistem pembayaran melalui PJK menjadi lancar. Kegiatan dari sektor riil juga menjadi terdorong untuk bergerak dalam kegiatan investasi dan produksinya. Kegiatan produksi ini membuka lapangan kerja, sehingga pengangguran berkurang, keamanan dan ketertiban menjadi lebih baik. Di sisi lain, kegiatan produksi ini melahirkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi di dalam negeri atau diekspor ke luar negeri. Sudah tentu hal ini menimbulkan penghasilan dan devisa yang bermanfaat untuk bangsa dan negara. Dengan meningkatnya produksi barang dan jasa, maka terjadilah pertumbuhan ekonomi yang membuat Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat yang pada gilirannya meningkatkan juga pendapatan perkapita masyarakat.

Bagi pemerintah, dengan adanya kegiatan ekonomi yang baik akan meningkatkan penghasilan dan keuntungan masyarakat dan pengusaha. Hal tersebut menimbulkan konsekuensi positif yaitu meningkatknya penghasilan negara karena meningkatnya pendapatan dari sektor pajak. Pendapatan negara dari sektor pajak ini sangat penting untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang berkesinambungan dan pada akhirnya akan membuat kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia meningkat. Di samping itu, dengana adanya situasi yang aman dan sejahtera akan sangat membantu pemerintah di dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan yang baik dan efektif dengan menerapkan good governance. Dengan penegakan hukum TPPU yang konsisten, maka akan dapat diperoleh harta kekayaan hasil tindak pidana yang disita oleh negara, sehingga negara memperoleh tambahan pendapatan yang cukup berarti untuk kegiatan yang bermanfaat.

Sebagai perbandingan, pembangunan rezim anti pencucian uang di Australia berorientasi untuk meningkatkan pendapatan pajak negara, sehingga terlihat sekali banyak kasus tax evasion yang berhasil diungkap dan penghasilan negara dari perpajakan semakin meningkat. Walaupun latar belakang. UU TPPU tidak sama seperti di Australia, tetapi tindak pidana perpajakan di Indonesia merupakan salah satu tindak pidana asal pencucian uang (predicate crime).33 Dengan demikian diharapkan juga bahwa dengan adanya penegakan hukum pemberantasan pencucian uang, maka penghasilan negara dari sektor pajak menjadi meningkat. Di sisi lain, dengan penegakan hukum yang konsisten yang menurunkan angka kriminalitas, secara mikro kegiatan ekonomi menjadi lebih efisien karena ekonomi biaya tinggi yang ditimbulkan oleh para pelaku kriminal menjadi berkurang.

Begitu luasnya dampak pencucian uang terhadap perekonomian, menuntut adanya upaya pencegahan dan pemberantasan pencucian uang yang serius bagi setiap negara, yang dimulai dari pembangunan kerangka hukum yang komprehensif. Oleh karena itu, evaluasi perundang-undangan melalui amandemen UU TPPU menjadi suatu keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi dalam hal adanya tuntutan perubahan guna penyempurnaan.

Menurut Paul Allan Schott, “a predicate offense is the underlying crime that produces the proceeds that are the subject of money laundering”. Paul

Allan Schott, Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism, (Washington D.C.: The World Bank, 2003),

BAB IIIRUANG LINGKUP REVISI UNDANG-UNDANG

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. REDEFINISI PENGERTIAN ATAU PERISTILAHAN

Untuk menghindari beragam penafsiran perlu dilakukan redefinisi mengenai pengertian atau peristilahan dalam peraturan perundangundangan TPPU sehingga terdapat batasan dan kejelasan makna serta tidak menimbulkan celah hukum (loopholes). Redefinisi pengertian dan peristilahan juga perlu dilakukan sehingga praktek yang berkembang selama ini akan memiliki landasan hukum yang kuat seperti pengertian mengenai :

1. Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM)Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 menyebutkan bahwa :Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :

a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakterisitik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan ;

b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini ; dan

c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana.

Sehubungan dengan itu, redefinisi pengertian mengenai TKM mutlak perlu dilakukan karena adanya tuntutan pengayaan informasi yang diperlukan PPATK dalam kegiatan analisis dan untuk penyesuaian terhadap perluasan pihak-pihak yang harus melaporkan TKM.

Di samping itu, database yang dimiliki dan dikelola oleh PPATK saat ini masih terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut dan dalam mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat yang berwenang, maka PPATK mengambil inisiatif untuk menelusuri dan meminta informasi yang dibutuhkan tersebut langsung kepada PJK. Laporan atau informasi yang diberikan oleh PJK berdasarkan permintaan PPATK kiranya dapat dikualifikasi sebagai TKM.

Dengan demikian transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana masuk dalam pengertian dan atau dikategorikan sebagai TKM.

2. Transaksi Keuangan TunaiPasal 1 angka 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 menyebutkan bahwa :Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan tunai atau

instrument pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.

Pengertian transaksi keuangan tunai dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tersebut perlu dikaji ulang karena mengandung pengertian yang sangat luas, yaitu mencakup instrumen pembayaran (monetary instruments) seperti cek, giro, dan traveller cheque. Pelaksanaan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang yang berlaku sekarang ini membebani PJK karena intensitas transaksinya yang begitu tinggi.

B. PENYEMPURNAAN PENGATURAN TPPU1. Penyederhanaan Rumusan Delik TPPU

Rumusan kriminalisasi perbuatan pencucian uang dinilai oleh berbagai kalangan baik praktisi maupun akademisi sebagai salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum TPPU. Rumusan delik pencucian uang tersebut mengandung terlalu banyak unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan. Selain itu, rumusan tersebut juga terkesan banyak duplikasi yang akhirnya menimbulkan kesulitan dalam hal pembuktian. Salah satunya adalah rumusan delik TPPU menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.25/2003 yang menyebutkan sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)”.

Untuk itu, rumusan delik pencucian uang dimaksud perlu disempurnakan sehingga menjadi lebih sederhana, jelas dan memudahkan dalam pembuktian unsur-unsurnya dengan tetap mengacu pada standar internasional seperti yang ada dalam United Nations Model Law on Money Laundering and Proceed of Crime Bill 2003 (UN Model).34

2. Kriminalisasi Perbuatan Lain yang Terkait dengan Pencucian UangSesuai dengan UN Model tersebut, rumusan delik pencucian uang perlu pula

diperluas hingga mencakup pemidanaan terhadap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukkan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Hal ini dimaksudkan agar ruang gerak pelaku pencucian

Manual on Countering Money Laundering and the Financing of Terrorism, (Manila: Asian Development Bank (ADB), March 2003), hal. 207-209.

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU

uang lebih terbatas dan dapat dikenai sanksi pidana pencucian uang, sejalan dengan ketentuan dalam UN Model yang menyebutkan antara lain35 :

’’… the following shall be regarded as money laundering :(a) ……………………(b) the concealment or disguise of the true nature, source, location, isposition,movement, or ownership of property’’.( c ) ……………………’’.

Sebagai alternatif rumusan delik yang sejalan dengan UN Model tersebut di atas sebagai berikut :

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)36 tahun dan paling lama ... dan denda paling sedikit … dan paling banyak ….

C. PELAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN1. Perluasan Pengertian Pihak Pelapor (Reporting Parties) Yang Akan

Mencakup Profesi (Profession) dan Penyedia Barang/Jasa Tertentu (Designated Non-Financial Business);37

Pihak pelapor yang wajib melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dan/atau transaksi keuangan tunai menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini hanya sebatas Penyedia 35 Ibid, hal. 197.

Dikualifikasikan sebagai “kejahatan serius” sesuai Pasal 2 huruf b Konvensi Palermo 2000 yang bunyinya sebagai berikut: “Serious crime shall

mean conduct constituting an offence punishable by a maximum deprivation of liberty of at least four years or a more serious penalty”. United Nations

Conventions Againts Transnational Organized Crime, 2000.

Kelompok organisasi kejahatan di Amerika Serikat mengakui bahwa kegiatan pencucian uang merupakan bisnis kriminal yang sangat

menguntungkan. Namun untuk membuktikan tindak kejahatan pencucian uang tidaklah mudah dilakukan, sebab dalam kegiatan bisnis tersebut banyak pihak

yang terkait yang lazim disebut “criminal class professional money launderers”. Mereka ini terdiri dari berbagai macam profesi mulai dari pegawai dan

pengelola bank, akuntan, penasihat hukum, para penegak hukum, otoritas pengawas pasar keuangan, hingga anggota dari lembaga-lembaga resmi lainnya.

Walaupun mereka tidak terlibat dalam kejahatan pencucian uang secara langsung, namun yang bersangkutan ikut aktif membantu melakukan berbagai kegiatan

seperti menyembunyikan data atau informasi, melakukan transfer atau pemindahan hasil-hasil kejahatan, melakukan kegiatan administrasi dan sebagainya. Esensi

kegiatan pencucian uang bukanlah hal sederhana seperti misalnya hanya ingin menyembunyikan hasil-hasil kejahatannya, tetapi lebih jauh dari itu adalah

bagaimana memanfaatkan kembali hasil-hasil kejahatan tersebut melalui berbagai proses yang begitu rumit dan kompleks sehingga akhirnya seakan-akan telah

menjadi sumber keuangan yang sah. Penggunaan badan usaha atau lembaga terselubung untuk menyembunyikan hasil-hasil kejahatan tersebut di bank-bank luar

negeri dan mendaur-ulangnya melalui sistem keuangan untuk berspekulasi dalam bentuk uang atau barang merupakan pilihan atau metode yang lazim digunakan

oleh para pencuci uang. Lihat Rijanto Sastroatmodjo, Memerangi Kegiatan Pencucian Uang dan Pemdanaan/Pembiayaan Terorisme, (Juli 2004, tanpa penerbit),

hal. 72-73

RUU Pencegahan dan Pemberantasan TPPURuang Lingkup32Naskah Akademik

Jasa Keuangan (PJK). Di negara-negara seperti Perancis38 , Romania39 , Canada40 , Eropah (Belgia, Belanda, Spanyol)41 , Italia42 , dan Australia 43 Pihak Pelapor yang wajib menyampaikan LTKM telah diperluas hingga mencakup profesi (profession) dan penyedia barang/jasa (designated non-financial business).

UU TPPU menyatakan bahwa PJK adalah ”setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos”.44

Sekalipun pengertian PJK sebagaimana dimaksud oleh UU TPPU sudah cukup luas, namun dalam pelaksanaannya tidak bisa serta merta diterapkan terhadap penyedia jasa yang terkait dengan keuangan, kecuali yang telah secara tegas disebutkan dalam pengertian PJK di atas, seperti lembaga profesi (profession) dan penyedia barang/jasa (designated non-financial business). Perluasan pengertian PJK tidak bisa mencakup lembaga profesi dan penyedia barang/jasa antara lain karena masing-masing memiliki kharakteristik kegiatan usaha yang berbeda.

Merujuk pada Rekomendasi FATF No. 16, profesi-profesi tertentu seperti advokat, notaris, akuntan publik, kurator kepailitan, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan konsultan bidang keuangan pada saat mempersiapkan atau melakukan transaksi untuk

dan/atau atas nama kliennnya harus menyampaikan LTKM kepada Financial Intelligence Unit (FIU). Begitu pula halnya dengan penyedia barang/jasa.Berdasarkan Rekomendasi FATF No. 12, penyedia barang dan jasa harus menyampaikan transaksi keuangan tunai yang dilakukan oleh pengguna jasa dalam kegiatan-kegiatan antara lain45 :

Laporan Pelaksanaan Tugas Studi Banding, Praktik Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang di Perancis, Paris, 7-14 Desember 2003.

Laporan Pelaksanaan Tugas Studi Banding ke Romania, Bucharest, 11-14 Oktober 2004.

Laporan Singkat Studi Banding ke FINTRAC Canada, Ottawa, 20-25 September 2004.

Laporan Pelaksanaan Tugas Study Visit ke European FIU’s Program, Eropah, 3-12 November 2004.

Laporan Pelaksanaan Tugas Studi Banding Praktek Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Italy, Roma, 14-18 Februari 2005.

Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing Act 2006, No. 169, 2006, An Act to combat money laundering and the financing of

terrorism, and for other purposes.

Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.

25 Tahun 2003.

Lihat Revised 40+9 FATF Recommendations, 22 Juni 2003 dan 24 Oktober 2004.

(i) jual beli real estate dan properti;(ii) pengelolaan uang, surat berharga, atau harta kekayaan lainnya dari klien;(iii) pengelolaan rekening bank dan perusahaan efek;(iv)keikutsertaan di dalam pembentukan, pengelolaan perusahaan,

pembentukan dan pengelolaan badan hukum; serta(v) jual beli perusahaan.Mengingat luasnya cakupan pihak pelapor berdasarkan Rekomendasi FATF,

maka perlu dirumuskan kembali pengertian pihak pelapor dalam revisi UU TPPU, sehingga cakupannya meliputi PJK, profesi serta penyedia barang dan jasa.

Di samping itu, pengertian PJK yang ditetapkan sebagai PJK pelapor dalam UU TPPU belum mencakup seluruh PJK yang ada dan atau belum mengakomodir perkembangan bisnis keuangan. Oleh karena itu dalam rangka mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan TPPU, maka PJK seperti perusahaan pialang asuransi, perposan sebagai penyedia jasa giro, penyelenggara kartu kredit dan/ atau kartu debit, penyelenggara E-Money dan/atau E-Wallet, koperasi yang melakukan kegiatan simpan-pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan berjangka komoditi, dan usaha jasa pengiriman uang, perlu dimasukkan sebagai PJK pelapor.

Dengan dimasukkannya lembaga profesi ( seperti advokat, notaris, akuntan publik, kurator kepailitan, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan konsultan bidang keuangan) dan penyedia barang dan/atau jasa lainnya (seperti perusahaan properti/agen properti, dealer mobil, pedangan permata dan perhiasan/logam mulia, pedagang barang seni dan antik, atau balai lelang) sebagai PJK sebagai pihak pelapor, akan memberikan landasan hukum dan kejelasan mengenai peran dari pihak-pihak yang memiliki kewajiban hukum berikut sanksi yang dapat dikenakan. Disamping itu, adanya perluasan pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan akan semakin memperbanyak jumlah pelaporan, volume data base bertambah, dan bahan analisis semakin “kaya”, yang akhirnya hasil analisis secara optimal dapat dimanfaatkan oleh penegak hukum untuk pencegahan dan pemberantasan TPPU.

2. Pengukuhan Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer);Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer) merupakan

instrumen terpenting yang mendukung penerapan Undang-undang TPPU. Substansi dari prinsip ini mengatur kebijakan dan prosedur mengenai:

(i) identifikasi pengguna jasa;(ii) penerimaan pengguna jasa;(iii) pemantauan transaksi;(iv)pelatihan pegawai;(v) pengendalian intern; serta(vi)audit internal dan eksternal yang dilaksanakan secara independen.

Dengan penerapan KYC, perbankan memiliki peranan yang sangat penting dalam penanggulangan TPPU, baik dari aspek preventif maupun aspek represif. Dari aspek preventif (pencegahan), semakin komprehensif dan efektif penerapan KYC oleh bank, maka semakin sempit ruang gerak para pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang melalui bank. Sedangkan dari aspek represif (penghukuman), dengan terjadinya transaksi keuangan mencurigakan maka akan mudah diidentifikasi dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang (PPATK), sehingga dapat menjadi sumber informasi yang memungkinkan langkah penegakan hukum terhadap TPPU. Dengan kata lain, keberhasilan penerapan KYC dan pemenuhan kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya merupakan penentu awal dari keberhasilan penanganan TPPU.46

Pada saat ini pengaturan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer) ditetapkan melalui peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan seperti Bank Indonesia, Bapepam dan Departemen Keuangan.47

Rosalia Suci H, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer/KYC) Di Perbankan”, dalam Laporan Pelaksanaan Seminar KYC

dan Undang-undang Tindak PidanaPencucian Uang, (KBI Kendari, Mei 2005), hal. 3-4. The 1997 Core Principles for Effective Banking Supervision yang

dikeluarkan oleh Basel Committe mengharuskan setiap bank memiliki kebijakan yang cukup dan prosedur yang jelas, termasuk ketentuan yang tegas mengenai

know your customer rules (KYC standar). Karena itu pengawas perbankan harus menerima rekomendasi FATF, yaitu semua ketentuan yang terkait erat dengan

customer identification dan record-keeping. PJK diwajibkan untuk meningkatkan diligence dalam pendeteksian dan pelaporan transaksi keuangan yang

mencurigakan, dan tindakan-tindakan lain harus pula diambil sehubungan dengan negara-negara yang tidak memiliki aturan-aturan anti pencucian uang yang

tidak lengkap. Selanjutnya, untuk merinci lebih jauh The Core Principles dengan cara mencantumkan sejumlah kriteria dalam suatu daftar, Basel Committee

kemudian mengeluarkan The 1999 Core Principles Methodology. Bank for International Settlements, Customer Due Diligence for Bank, (Oct. 2001),

www.imolin.org.

Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan prinsip mengenal nasabah yaitu PBI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan

Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) bagi Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 2/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 dan PBI No. 5/21/PBI/

2003 tanggal 17 Oktober 2003, dan PBI No. 5/23/PBI/2003 tanggal 23 Oktober 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) bagi BPR. Sedangkan Bapepam

dan Direktorat Jenderal

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, prinsip tersebut

belum diatur secara eksplisit sehingga dirasakan kurang memberikan landasan hukum yang kuat bagi otoritas yang berwenang dalam mengeluarkan peraturan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer). Oleh karena itu, perlu adanya

landasan hukum yang jelas bagi otoritas (pengawas dan pengatur pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan) dalam mengeluarkan peraturan mengenai prinsip-prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer).

Disadari bahwa dalam penerapan prinsip tersebut bersinggungan lansung dengan masyarakat pengguna jasa keuangan atau terkait dengan keuangan yang memiliki implikasi hukum, sehingga perlu adanya pengaturan secara jelas terhadap kewajiban pengguna jasa keuangan atau terkait dengan keuangan dalam UU TPPU agar pelaksanaan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (Know Your Customer) lebih efektif.

Ketentuan tersebut penting untuk dapat menguraikan kewajibankewajiban pokok apa saja yang harus dipenuhi seperti kewajiban memberikan informasi yang benar, yang sekurang-kurangnya meliputi identitas diri, sumber dana dan tujuan dilakukannya transaksi termasuk kewajiban melampirkan dokumen pendukungnya. Sebaliknya, pengaturan tersebut juga perlu diberlakukan terhadap pihak lain apabila transaksi dilakukan untuk dan atas nama pihak lain tersebut. Untuk memenuhi prinsip keseimbangan maka kewajiban tersebut berlaku juga terhadap pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan untuk meminta informasi dan dokumen pendukung tersebut, sekaligus memberikan kewajiban untuk menolak transaksi (menolak melakukan hubungan usaha) apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi oleh pengguna jasa.

3. Penetapan Jenis dan Bentuk Pelaporan Untuk Profesi Atau Penyedia Barang dan Jasa Tertentu;

Dengan diperluasnya pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK, maka revisi UU TPPU perlu menetapkan jenis laporan yang diharapkan dari profesi dan penyedia barang dan jasa sebagai pihak pelapor baru. Berdasarkan revised 40+9 FATF recommendations, hanya satu jenis laporan yang diwajibkan, yaitu laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM/STR). Sedangkan pengaturan

Lembaga Keuangan - Departemen Keuangan telah mengeluarkan pula ketentuan KYC yaitu Keputusan Menteri Keuangan No.45/KMK.06/2003 tanggal 30

Januari 2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No.KEP-

02/PM/2003 tanggal 15 Januari 2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.

mengenai penyampaian laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) bersifat melengkapi atau memperkaya sumber informasi dalam rangka deteksi pencucian uang, sekaligus sebagai upaya untuk mencegah terjadinya instabilitas sistem keuangan.

Berdasarkan rekomendasi No.16 dan 12 FATF di atas, transaksi yang harus laporkan oleh profesi seperti advokat, notaris, akuntan publik, kurator kepailitan, Pejabat Pembuat Akta Tanah dan konsultan bidang keuangan adalah:

a. transaksi yang dilakukan menyangkut kegiatan tertentu, yaitu:(i) Jual beli real estate dan properti;(ii) Pengelolaan uang, surat berharga, atau harta kekayaan lainnya dari

klien;(iii) Pengelolaan rekening bank dan perusahaan efek;

(iv)Keikutsertaan di dalam pembentukan, dan/atau pengelolaan perusahaan atau badan hukum;

(v) Jual beli perusahaan;b. Khusus untuk advokat, konsultan keuangan, dan Kurator Kepailitan,

kegiatan tertentu tersebut di atas dilakukan “untuk dan atas nama klien”.

Agar laporan transaksi keuangan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, perlu juga pengaturan dalam UU TPPU nanti dapat memberikan batasan transaksi (threshold).

Sesuai dengan rekomendasi FATF di atas, transaksi yang harus dilaporkan oleh penyedia barang dan jasa adalah transaksi keuangan tunai dalam jumlah tertentu (threshold) yang dilakukan oleh pengguna jasa, sesuai lingkup kegiatan dari penyedia barang dan jasa antara lain:

(i) Perusahaan properti/agen properti apabila melakukan transaksi jual beli real estate;

(ii) Dealer mobil apabila melakukan jual beli mobil;(iii) Pedagang permata dan perhiasan/logam mulia apabila melakukan jual beli

permata dan perhiasan/logam mulia;(iv)Pedagang barang seni dan antik apabila melakukan jual beli barang seni

dan antik; atau(v) Balai lelang apabila melaksanakan pelelangan umum.

Agar cakupannya lebih luas, perlu juga lembaga profesi dan penyedia barang/jasa menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK, seperti yang dilakukan oleh pengguna jasa yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan, atau transaksi yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; serta memenuhi pelaporan transaksi yang diminta oleh PPATK karena diduga melibatkan harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.

4. Penambahan Jenis Laporan PJK Ke PPATK yaitu International Fund Transfer Instruction Guna Memantau Transaksi Keuangan Internasional;

Dalam praktek, perpindahan dana antar yurisdiksi yang berbeda, sudah sedemikian mudah dan cepat yang dapat melibatkan dana yang jumlahnya tidak terbatas, baik transfer dana dari maupun ke luar negeri (incoming and outgoing transfer). Fasilitas transfer dana internasional ini memungkinkan pelaku kejahatan untuk secepat mungkin memindahkan hasil kejahatannya ke negara lain.

Pada saat ini beberapa negara seperti Australia48 dan Kanada49 telah mengatur pelaporan transfer dana tersebut. Beberapa negara lain seperti Amerika Serikat tengah melakukan kajian untuk menerapkan pelaporan transfer dana luar negeri.

Pelaporan transfer dana dari dan ke luar negeri sangat bermanfaat di dalam mendeteksi aliran dana dari dan ke luar negeri, mengingat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh FATF, transfer dana dari dan ke luar negeri menggunakan sarana wire transfer merupakan modus operandi yang dominan dilakukan oleh para pelaku pencucian uang. Di samping itu, pelaporan transfer dana dari dan ke luar negeri akan sangat membantu proses asset tracing dan asset recovery karena langkah-langkah

lanjutan penegak hukum akan semakin cepat, yang pada akhirnya tujuan dari pendekatan rezim anti pencucian uang dapat tercapai yaitu mengejar hasil kejahatan.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, peraturan perundangundangan yang ada saat ini mewajibkan PJK menyampaikan dua jenis laporan ke PPATK, yaitu Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan Tunai. Setelah mempertimbangkan kebutuhan PPATK dalam memperkaya database dan pemantauan

Berdasarkan Anti-Money Laundering and Counter Terrorism Financing Act 2006 No. 169, mengukuhkan pengaturan mengenai kewajiban pelaporan IFTI kepada FIU Australia (AUSTRAC) sebagaimana diatur dalam Section 45 Division 4, antara lain menyebutkan : “The person must, within 10 business days after the day on which the instruction was sent or received by the person, give the AUSTRAC CEO a report about the instruction” (paragraf 2).

FIU Kanada (FINTRAC) menerima 4 (empat) jenis pelaporan, salah satunya adalah Electronics Funds Transfer Reports (EFTR). Lihat Laporan Studi Banding Ke FINTRAC Di Canada. Ottawa, 20-25 September 2004.

transaksi keuangan internasional, serta memperhatikan praktek dan kegunaan di negara yang telah menerapkannya, perlu ditetapkan penambahan jenis laporan dari PJK mengenai transaksi transfer dana elektronis internasional (International Fund Transfer Instruction).

5. Pemberian Kewenangan Kepada Pihak Pelapor Untuk Menunda Mutasi atau Pengalihan Aset;

Kedudukan Pihak Pelapor sangat penting dalam melakukan deteksi awal atas transaksi keuangan mencurigakan melalui penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle). Peran penting ini sekaligus menempatkan Pihak Pelapor sebagai mitra strategis di dalam penerapan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini memungkinkan terjadinya pengalihan dana yang diduga berasal dari hasil tindak pidana ketika PJK menemukan adanya transaksi mencurigakan dan melaporkannya ke PPATK, dan PPATK melakukan analisis terhadap transaksi keuangan mencurigakan. Proses tersebut menimbulkan jeda waktu (time lag) yang panjang, sekaligus memberi peluang terbuka kepada pemilik dana untuk mengalihkan harta kekayaan.

Kelemahan tersebut hanya akan bisa diatasi apabila kepada PJK dalam UU TPPU nanti diberikan kewenangan untuk menunda mutasi atau pengalihan aset apabila transaksi patut diduga menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana, dilakukan tidak sesuai dengan pembukaan rekening, atau diketahui menggunakan dokumen palsu. Di samping kriteria tersebut, penetapan jangka waktu selama 5 (lima) hari bagi Pihak Pelapor untuk menunda transaksi dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Pihak Pelapor melakukan koordinasi dengan PPATK. Tanggung jawab yuridis penundaan transaksi akan beralih kepada PPATK seketika PJK menyampaikan LTKM.

Pengaturan penundaan transaksi telah dilakukan oleh Swiss50 yang memberi kewenangan PJK untuk menunda transaksi selambatlambatnya selama 5 (lima) hari.

Lihat Federal Act on the Prevention of Money Laundering in the Financial Sector (Money Laundering Act Swiss), 10 October 1997. Article 10

Freezing of assets: (1) A financial intermediary shall immediately freeze assets entrusted to him if they are linked to the reporting; (2) He shall continue to freeze

the assets until receipt of a decision by the competent prosecuting authority, but for a maximum of five working days from notification of the Reporting Office;

(3) For so long as assets are frozen by himself, he shall not notify the persons concerned or third parties of the reporting.

6. Penyempurnaan Mekanisme Pengawasan Kepatuhan;

Efektifitas pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewajiban pelaporan kepada PPATK seperti STR, CTR, Transfer Dana Elektronis, laporan oleh profesi dan laporan oleh penyedia barang dan jasa, merupakan salah satu prasyarat terbangunnya rezim anti pencucian uang yang handal, karena dari laporan itulah PPATK melakukan analisis untuk mengetahui adanya dugaan pencucian uang. Di samping itu, laporan-laporan tersebut juga akan memperkaya database PPATK yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hasil analisis. Oleh karena itu, dalam menunjang efektifitas pelaporan perlu adanya pengaturan yang menegaskan tugas dan kewenangan pengawasan kepatuhan pihak pelapor atas kewajiban pelaporan yang dilakukan oleh lembaga yang berkepentingan langsung terhadap kewajiban pelaporan dimaksud.

Apabila mencermati tugas dan kewenangan yang dimiliki, maka PPATK seyogiyanya juga melaksanakan tugas pengawasan kepatuhan pihak pelapor atas amanat Undang-undang. Namun demikian lembaga pengawas dan pengatur tetap memiliki kewajiban untuk mengawasi kepatuhan dari lembaga yang diawasinya terkait dengan peraturan yang dikeluarkannya, seperti penerapan prinsip mengenali nasabah. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan umum terhadap lembaga yang diawasi, perlu juga lembaga pengawas dan pengatur menyampaikan informasi kepada PPATK terhadap temuannya mengenai transaksi keuangan yang memenuhi kriteria transaksi keuangan yang mencurigakan serta transaksi yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik langsung atau tidak langsung dengan tujuan pencucian uang.

7. Sanksi Administrasi;

Peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini telah mengatur penjatuhan sanksi pidana bagi PJK yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan. Sanksi ini, disamping tidak efektif dalam pelaksanaannya juga dinilai terlalu memberatkan PJK.

Oleh karena itu, perlu dirumuskan suatu bentuk sanksi sesuai klasifikasi pelanggaran yang dilakukan oleh PJK atau pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan. Mengingat pelanggaran tersebut lebih bersifat administratif dan sulit untuk dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, maka dalam rumusan UU TPPU nanti jenis sanksi-nya adalah administratif. Penjatuhan sanksi administratif ini diperlukan dalam upaya mendorong pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Bentuk sanksi administratif karena pelanggaran kewajiban pelaporan antara lain berupa peringatan, teguran tertulis, pengumuman kepada publik, denda administratif, rekomendasi pembatasan kegiatan usaha hingga rekomendasipencabutan izin usaha. Untuk itu, UU TPPU nanti juga perlu menegaskan pihak mana yang berwenang menjatuhkan sanksi.

D. PENGATURAN PEMBAWAAN UANG TUNAI KE DALAM ATAU KE LUAR WILAYAH PABEAN INDONESIA

1. Penyempurnaan ketentuan mengenai pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah pabean Indonesia

Perjalanan 4 (empat) tahun pelaksanaan rezim anti pencucian uang telah memberikan pelajaran betapa pentingnya kontrol terhadap pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah pabean Indonesia, bukan hanya dalam konteks menjaga stabilitas nilai tukar mata uang rupiah dan mencegah internasionalisasi mata uang rupiah, tetapi juga sangat penting dalam konteks pencegahan dan pemberantasan TPPU serta pendanaan terorisme.

Pengaturan mengenai pembawaan uang tunai dalam undang-undang yang berlaku sekarang ini masuk dalam Bab Pelaporan dan tidak dipisahkan dari pengaturan kewajiban pelaporan PJK kepada PPATK. Walaupun keduanya mengatur mengenai kewajiban pelaporan tetapi substansi dan materi serta subyeknya berbeda. Pelaporan STR dan CTR adalah dari PJK ke PPATK, sedangkan terhadap pembawaan uang tunai laporannya adalah dari setiap orang kepada Ditjen Bea Cukai.

Mengenai pengaturan sanksi atas pelanggaran ketentuan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah pabean Republik Indonesia, UUTPPU yang berlaku sekarang ini telah mengaturnya. Namun demikian, secara teknis penerapannya mengalami kendala, antara lain karena:

a. adanya penafsiran yang berbeda dalam membaca ketentuan pasal 16 UU TPPU yaitu kalimat “Rp100 juta atau lebih atau dalam mata uang asing yang setara dengan itu”. Di satu pihak, menafsirkan bahwa jumlah Rp 100 juta adalah penggabungan (kombinasi) uang, baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing sehingga secara keseluruhan jumlahnya setara Rp100 juta atau lebih (bersifat kumulatif). Pihak ini berpendirian bahwa esensi dari pengaturan di atas dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) bagi setiap orang yang membawa harta kekayaan dalam bentuk uang baik keluar maupun masuk wilayah Negara Republik Indonesia, untuk dilaporkan kepada Ditjen Bea dan Cukai. Sementara pihak lain berpendapat bahwa jumlah Rp 100 juta dihitung dari setiap mata uang dan bukan komulatif. Hal ini untuk memudahkan dalam pelaksanaannya khususnya dalam menghitung sejumlah uang yang dibawa dengan berbagai mata uang yang berbeda.

b. dalam praktek di lapangan, baik bagi masyarakat sebagai pelapor maupun pejabat Ditjen Bea dan Cukai, pengaturan tersebut menjadi beban tambahan karena harus menghitung dengan cara mengkonversi jenis mata uang asing ke dalam mata uang rupiah sehingga diperoleh angka Rp 100 juta atau lebih yang menjadi obyek pelaporan. Di samping itu, untuk menghitung kurs mata uang asing tersebut diperlukan ketetapan nilai kurs tertentu yang dapat dijadikan pedoman standar dalam perhitungan. Ketegasan ini sangat diperlukan bukan hanya untuk mempermudah baik aparat maupun pelapor, tetapi juga kejelasan dalam pengenaan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU TPPU.

c. sanksi terhadap pembawaan uang tunai rupiah, disamping diatur dalam UU TPPU juga diatur dalam Peraturan Bank Indonesia, namun jenis

sanksinya adalah sanksi administratif. Hal ini sangat memberatkan bagi orang yang melanggar peraturan pembawaan uang tunai dimaksud karena dapat dibebani dua sanksi secara sekaligus, yaitu sanksi pidana denda dan sanksi administratif berupa benda.

d. prosedur pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal 9 Undang-undang TPPU, pengenaannya harus melalui keputusan pengadilan dengan menggunakan hukum acara pidana yang berlaku. Proses ini akan memakan waktu cukup lama, sementara si pelanggar harus sudah meneruskan perjalanannya. Sehingga secara teknis akan menyulitkan, bukan hanya bagi si pelanggar juga bagi bea cukai dan aparat penegak hukum itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, peraturan perundang-undangan yang ada sekarang menyatakan hal tersebut sebagai suatu perbuatan pidana yang sanksinya bersifat pidana yang dalam prakteknya, ketentuan tersebut sulit dilaksanakan secara efektif. Menyikapi permasalahan ini, maka dalam UU TPPU nanti perlu dirumuskan suatu sanksi yang mudah dalam penerapannya, cepat dalam prosesnya dan final pengenaan sanksinya.

Untuk itu perlu dipertimbangan penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan pembawaan uang tunai yang langsung dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai - Departemen Keuangan sebagai instansi pemerintah yang berkompeten mengawasi lalulintas barang.

Di samping itu, dalam revisi UU ini perlu ditegaskan kewenangan dan tanggung jawab Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengawasi pembawaan uang tunai dari dan ke luar wilayah pabean Indonesia.

Dalam hal terdapat kekhawatiran bahwa pembawaan uang tersebut sebenarnya adalah praktik pencucian uang, maka Ditjen Bea dan Cukai selaku penyidik tindak pidana di bidang kepabeanan maka dapat melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut.

E. PENATAAN KEMBALI KELEMBAGAAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK)Momentum revisi UU TPPU perlu dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi fungsi,

tugas dan kewenangan PPATK sehingga keberadaan dan peranan PPATK selaku ”focal point” dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Format kelembagaan yang dirancang harus tetap mengacu pada ”international best practice” yang dalam masyarakat internasional dikenal dengan sebutan ”Financial Intelligence Unit” (FIU). Adapun fungsi, tugas dan kewenangannya juga harus memenuhi ”standar minimum” yang telah ditentukan oleh 40+9 FATF recommendations. Pengembangan organisasi PPATK harus disesuaikan dengan kebutuhan domestik dalam mencegah dan memberantas TPPU serta membantu penegakan hukum lainnya.

Kebijakan formulasi perundang-undangan yang baru harus dapat merumuskan secara jelas dan tegas fungsi PPATK, yaitu melaksanakan upayaupaya pencegahan dan pemberantasan TPPU. Sehubungan dengan hal tersebut perlu pula dirumuskan dengan jelas tugas-tugas yang diemban PPATK dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga intelijen di bidang keuangan.

Pada hakikatnya, ada 5 (lima) tugas utama PPATK yang terkait dengan fungsinya, yaitu:

1. melakukan upaya pencegahan TPPU;2. melakukan pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;

3. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;4. melakukan analisis laporan dan informasi serta menyampaikan hasil analisis transaksi

keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lainnya kepada penyelidik; dan

5. melakukan penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal.

Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana tersebut diatas, perlu dirumuskan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh PPATK sehingga tugas-tugas tersebut dapat dilaksankan secara efektif, diantaranya:

1.Untuk melaksanakan tugas pencegahan TPPU, PPATK perlu diberikan kewenangan antara lain untuk:(i) mengoordinasikan upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dengan

instansi terkait;(ii) memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan

dan pemberantasan TPPU;(iii) mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum

internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU;(iv) menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan(v) menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan TPPU.

2. Untuk melaksanakan tugas pengelolaan data dan informasi, PPATK perlu diberi kewenangan untuk menyelenggarakan sistem informasi yang antara lain meliputi:

(i) membangun, mengembangkan dan memelihara sistem aplikasi;(ii) membangun, mengembangkan dan memelihara infrastruktur jaringan

komputer dan basis data;(iii) mengumpulkan, mengevaluasi data dan informasi yang diterima oleh

PPATK secara manual dan elektronik;(iv) menyimpan, memelihara data dan informasi ke dalam basis data;(v) menyajikan informasi untuk kebutuhan analisis;(vi) memfasilitasi pertukaran informasi dengan instansi terkait baik dalam negeri

atau luar negeri; dan(vii) melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi kepada Pihak Pelapor.

3. Untuk melaksanakan tugas pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor, PPATK perlu diberi kewenangan untuk antara lain:(i) menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor; (ii) menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak

pidana pencucian uang;(iii) melakukan audit kepatuhan terhadap Pihak Pelapor;(iv) menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang

melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;(iv) memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban

pelaporan;(v) merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha

Pihak Pelapor; dan(vii) menetapkan ketentuan pelaksanaan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa bagi

Pihak Pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.

4. Untuk melaksanakan tugas analisis laporan dan informasi, PPATK perlu diberi kewenangan untuk antara lain:(i) meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;(ii) meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;(iii) meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil

analisis PPATK;(iv) meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari

instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;(iv) meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta baik di

dalam atau luar negeri; dan(vi) memerintahkan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi.

5. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan TPPU, PPATK perlu diberi kewenangan untuk antara lain:(i) menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya

dugaan tindak pidana pencucian uang;(ii) meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait

dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;(iii) mencari keterangan dan barang bukti;(iv) melakukan penyadapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam rangka

melakukan analisis terhadap Transaksi keuangan yang diterima melalui berbagai media;

(v) menghentikan sementara seluruh atau sebagian kegiatan Transaksi atas Harta Kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana;51

(vi) menghentikan sementara Transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk menampung hasil tindak pidana pencucian uang;

(vii) memblokir Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana;(viii) meminta informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh

penyidik tindak pidana asal;(ix) meneruskan hasil penyelidikan kepada penyidik; dan(x) mengadakan tindakan lain yang secara hukum dapat dipertanggung

jawabkan.

Dalam konteks penataan kelembagaan ini pula, perlu ditetapkan dasar dan arah “restrukturisasi atau reorganisasi“ kelembagaan PPATK sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangan yang akan berkembang. Sebagai lembaga yang melaksanakan kegiatan inteligen di bidang keuangan, maka perlu diperjelas kedudukan dan status Kepala sebagai penanggung jawab lembaga yang memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Sementara Wakil Kepala bertugas membantu Kepala dan menjalankan tugas sebagai Kepala apabila Kepala berhalangan. Oleh karena itu jumlah Wakil Kepala cukup 1 (satu) orang dengan tugas utama membantu Kepala dalam mengkoordinasikan kegiatan seluruh deputi.

Revisi UU TPPU juga diharapkan dapat mendorong penyelesaian berbagai persoalan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak kunjung tuntas karena adanya kendala perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan tersebut seperti belum ditetapkannya Kepala PPATK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang berwenang untuk mengangkat pegawai PPATK. Sementara itu, mengingat pelaksanaan tugas PPATK yang bersifat khusus, perlu dikembangkan manajemen SDM yang berbasis meritokrasi. Penjabaran lebih lanjut mengenai pengembangan manajemen SDM tersebut perlu diamanatkan oleh UU dengan

menyebutkan secara langsung jenis peraturan perundang-undangannya. Begitupun dengan susunan organisasi dan tata kerja PPATK perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perlaksanaan.

Beberapa FIU negara lain telah menerapkan ketentuan “Freeze Accounts” antara lain Barbados (5 hari) dan Thailand (90 hari). Sedangkan ketentuan

“Block Transactions” antara lain diterapkan oleh Barbados (72 jam), Belgium (2 hari kerja), Croatia (2 jam), Perancis (12 jam), Thailand (3-10 hari), Polandia

(48 jam. Lihat Paul Gleason dan Glenn Gottselig (ed), Financial Intelligence Unit: An Overview, (Washington D.C.: IMF, 2004 ), hal. 78.

F. PENANGANAN ASET

1. Pemblokiran, Penyitaan dan Perampasan Harta Kekayaan Secara Perdata

Penanganan Harta Kekayaan yang dimaksud di dalam bab ini merupakan upaya yang dapat dilakukan oleh PPATK untuk mengambil langkah-langkah strategis yang bertujuan mengamankan harta kekayaan yang diduga diperoleh, dikuasai atau dimiliki secara melawan hukum. Upaya ini bersifat mencegah pihak yang menguasai harta kekayaan untuk mengalihkan atau memindahkan kepemilikan secara tidak sah yang pada akhirnya dapat menyulitkan proses penegakan hukum dan menghambat pengembalian hasil kejahatan. Langkah-langkah strategis meliputi aktivitas-aktivitas yang terdiri dari pemblokiran dan penyitaan52 serta perampasan asset; penyelesaian secara administratif, serta pembalikan beban pembuktian (reverse of burden of proof).

Pada prinsipnya, upaya ini merupakan “in rem forfeiture”sebagaimana dikenal di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia. Upaya ini merupakan gugatan negara terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana, bukan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana. Upaya ”in rem forfeiture” ini dapat dilakukan bersamaan atau terpisah dari dengan proses pidana yang akan dikenakan.

Di dalam 18 US Code Section 981 diatur hasil kejahatan yang dapat dilakukan penyitaan secara perdata yaitu harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana terorisme, perdagangan illegal narkotika dan obat terlarang lainnya, money laundering, fraud (penipuan), korupsi, perampokan dan lainnya. Dalam 18 US Code Sections 981 (a) (1) (C); 1956 (c) (7) (B) diatur juga proses penyitaan perdata terhadap hasil kejahatan dari tindak pidana yang dilakukan di luar negeri (crimes committed overseas) seperti perdagangan illegal narkotika dan obat terlarang lainnya, penyuapan, penipuan, tindak pidana di bidang perbankan, pembunuhan, perdagangan manusia, atau extraditable

Menyangkut tindakan pemblokiran dan penyitaan dana yang ada pada rekening tersangka di bank, selama ini para pelaksana di lapangan memiliki persepsi yang

salah atau rancu dalam menerapkan upaya paksa. Pemblokiran tidak diatur dalam KUHAP, tetapi diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, PERPU No. 1 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Terorisme, UU TPPU dan Surat Keputusan Bersama Jaksa Agung RI, Kepala

kepolisian RI dan Gubernur Bank Indonesia tertanggal 6 November 1997. Pemblokiran adalah upaya paksa agar uang yang ada pada rekening di bank tidak

dipindahkan atau ada mutasi, sedangkan uangnya tetap berada di bank. Sedangkan penyitaan adalah upaya paksa sementara untuk mengambil alih penguasaan

atas sejumlah uang atau dana yang ada pada suatu rekening di bank. Berdasarkan ketentuan yang ada, dalam hal terjadi penyitaan uang maka uang yang disita

tersebut harus dititipkan pada bank yang memelihara rekening dimaksud. Yunus Husein, Rahasia Bank: Privasi Versus Kepentingan Umum, (Jakarta: Program

Pascasarja Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 11-12.

offences. Tidak dikenal substitute assets sehingga yang dapat diajukan penyitaannya adalah hanya harta kekayaan yang berasal atau terlibat di dalam tindak pidana. Dalam hal harta kekayaan berada di luar negeri dan pengadilan di luar negeri telah melakukan

pemeriksaan atas harta kekayaan tersebut atas pengadilan Amerika Serikat, maka pengadilan Amerika Serikat harus melakukan kontrol terhadap harta kekayaan tersebut. Setiap harta kekayaan yang akan dilakukan penyitaan dan perampasan secara perdata dapat diblokir dan harus diumumkan kepada publik berdasarkan perintah pengadilan. Keuntungan dari penyitaan secara perdata adalah tidak diharuskan adanya putusan pidana terlebih dahulu. Mekanisme ini juga digunakan untuk menyita harta kekayaan dari orang dalam status buronan dan telah meninggal dunia.53

Pengaturan materi ini di dalam Rancangan Undang-undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU) merupakan hal yang baru dan langkah terobosan yang patut didukung mengingat rumitnya proses di dalam pengembalian hasil kejahatan dan rendahnya tingkat pengembalian kerugian tersebut.

Sistem hukum Indonesia saat ini baru mengenal gugatan perdata untuk menyita hasil kejahatan dari suatu tindak pidana yang telah terbukti sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 C UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999. Sistem hukum Indonesia belum mengenal mekanisme/prosedur untuk melindungi harta kekayaan yang diambil alih, melikuidasi atau mencairkan harta kekayaan yang disita, dan mengamankan hasil yang diperoleh dari penyitaan itu untuk kepentingan Pemerintah. Oleh karena itu beberapa ketentuan di dalam RUU baru ini mengintrodusir penyitaan secara perdata termasuk aspek pembalikan beban pembuktian dalam konteks ini.

Revisi UU TPPU perlu mempertimbangkan pencantuman pemberian kewenangan kepada PPATK untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang tidak dapat diterangkan oleh pemilik atau yang menguasainya, tidak terang siapa pemiliknya atau diduga diperoleh secara tidak sah. Pemblokiran harta kekayaan tersebut dilakukan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Namun demikian untuk memberikan kesempatan para pihak yang merasa berhak atas harta kekayaan yang disita atau beritikad baik mengajukan keberatan,

Lihat U.S. Code Collection, Cornell Law School. http://www4.law.cornell.edu/ uscode/ html/ uscode18/usc_sec_18_00000981——000-.html. Di Kanada,

kerjasama antar lembaga merupakan kekuatan yang sangat baik dalam upaya memerangi praktik pencucian uang karena masing-masing instansi sangat

mendukung penanganan Anti-Money Laundering (AML). Hal ini didorong oleh adanya share hasil sitaan proceeds of crime dengan pihak yang terlibat dalam

penanganan kasus pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tim Penyusun, Sistem dan Mekanisme Penanganan TPPU di Negara Lain, Op.Cit. hal. 168.

PPATK mengumumkan harta kekayaan tersebut sekurang-kurangnya di papan pengumuman resmi untuk penerangan umum atau media elektronik atau internet. Pengumuman dilakukan 3 (tiga) kali dalam waktu 15 (limabelas) hari. Selanjutnya PPATK wajib meneliti dan menilai kebenaran dokumen atau bukti pendukung yang dilampirkan oleh orang yang berhak atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan.

Dalam hal berdasarkan penelitian dan penilaian atas dokumen dan bukti pendukung yang diberikan oleh orang atau pihak yang mengajukan perlawanan diyakini kebenarannya, maka PPATK wajib mencabut keputusan pemblokiran. Dalam hal sebaliknya, maka melanjutkan keputusan pemblokiran. Perlawanan (verzet) atas keputusan pemblokiran dapat diajukan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman berakhir. Pemeriksaan atas perlawanan ini dilakukan dengan menggunakan proses acara perdata, dengan mewajibkan pihak yang mengajukan perlawanan untuk membuktikan bahwa harta kekayaan tersebut adalah miliknya atau sah dalam penguasaannya dan bukan berasal dari tindak pidana. Proses acara perdata dilakukan secara cepat dan paling lambat 30 (tiga puluh) hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.

Terkait dengan putusan pengadilan, dalam hal hakim berpendapat harta kekayaan tersebut adalah milik atau sah dalam kekuasaan pihak yang mengajukan perlawanan dan tidak terkait dengan tindak pidana, hakim mengeluarkan putusan untuk mencabut pemblokiran dan memerintahkan PPATK untuk mengembalikan harta kekayaan kepada yang berhak. Dalam hal hakim berpendapat bahwa pihak yang mengajukan perlawanan tidak dapat membuktikan harta kekayaan tersebut milik dan sah dalam kekuasaannya dan tidak terkait dengan tindak pidana, maka hakim mengeluarkan putusan harta kekayaan tersebut dirampas untuk negara. Putusan hakim tersebut bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum selanjutnya.

Dalam hal tidak ada orang yang berhak dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan terhadap harta kekayaan tersebut, maka perlu diatur mekanisme yang memungkinkan PPATK mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menetapkan harta kekayaan sebagai aset negara.2. Penyelesaian administratif

Peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini belum mengatur secara sistematis masalah penjatuhan sanksi sebagai suatu instrumen penting dalam melaksanakan dan menegakan UUTPPU. Pengaturan yang ada juga belum secara tegas menyebutkan klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi dan bentuk-bentuk sanksinya. Pengaturan masalah sanksi harus jelas dan efektif untuk dilaksanakan. Sebagai contoh, penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan yang sebaiknya berbentuk sanksi administratif yang dapat berupa peringatan, teguran tertulis, pengumuman kepada publik, denda administratif, rekomendasi pembatasan kegiatan usaha hingga rekomendasi pencabutan izin usaha. UU juga perlu menegaskan pihak mana yang berwenang menjatuhkan sanksi.

Begitu juga halnya mengenai sanksi terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan pembawaan uang tunai ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang ada sekarang menyatakan hal tersebut sebagai suatu perbuatan pidana yang sanksinya bersifat pidana. Dalam prakteknya, ketentuan tersebut sulit dilaksanakan secara efektif. Untuk itu perlu dipertimbangan penjatuhan sanksi administratif terhadap pelanggaran kewajiban pelaporan pembawaan uang tunai yang langsung dilakukan oleh PPATK sebagai lembaga yang bertugas menerima laporan dan mengawasi kepatuhan pihak pelapor.

3. Pembalikan beban pembuktianDalam penegakan hukum dan UU TPPU, yang selalu menjadi pertanyaan

banyak pihak adalah apakah kejahatan asal (predicate crime) perlu dibuktikan terlebih dahulu sebelum dapat dilakukannya penyidikan tindak pidana pencucian uang ? Dalam hal ini perlu dipahami bahwa pencucian uang merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri. Pencucian uang memang merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti-pencucian uang di hampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan pencucian uang.

Pertanyaan lain yang sering muncul dalam konteks yang sama: bagaimana apabila kejahatan asalnya tidak terbukti, apakah hal itu akan mempengaruhi proses hukum tindak pidana pencucian uang? Untuk hal ini, kembali kepada pemahaman bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. Dengan demikian hal tersebut tidak akan menghalangi proses hukum atas tindak pidana pencucian uang.

Barda Nawawi Arief dan Mardjono Reksodiputro men-contohkan Pasal 480 KUHP tentang pidana penadahan sebagai analogi dari tindak pidana pencucian uang.54 Dalam hal tindak penadahan terjadi maka proses hukum atas tindak pidana penadahan tidak perlu menunggu putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht) dari perkara pencuriannya. Penjelasan Pasal 3 UU TPPU menegaskan bahwa terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

Pembuktian dalam proses perkara pidana berbeda dengan proses perkara perdata. Biasanya pembuktian dalam perkara pidana “lebih ketat” dibandingkan dengan pembuk-tian dalam perkara perdata. Dalam perkara pidana yang mencari kebenaran materiil dianut pembuktian dengan stelsel negative, artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup berdasarkan alat bukti saja tetapi juga diperlukan adanya keyakinan hakim apakah terdakwa bersalah atau tidak, dan pembuktian dilakukan oleh jaksa penuntut umum.

Dalam sistem common law standar pembuktian yang dipakai adalah “beyond reasonable doubt”, tidak ada keraguan atas kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada. Dalam perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal berdasarkan alat bukti yang ada. Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang menyatakan atau menuntut atau mengklaim suatu hak. Beban pembuktian seperti itu berlaku negara dengan sistem civil law (continental), seperti Indonesia dan negara dengan sistem common law seperti Inggris. Jadi jelas berbeda standar pembuktian dalam perkara pidana dan perdata baik pada sistem civil law dan common law. 55

Dalam Pasal 35 UU TPPU diatur pembuktian terbalik dengan rumusan, bahwa dalam sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Namun, di sini tidak jelas maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks pidana untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan.56 Hukum acara yang

Mardjono Reksodiputro, “Money Laundring, Bank Secrecy Acts”, (Desember 2003), http:// www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?

mode=detil&id=25

Yunus Husein, “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, makalah disampaikan dalam ceramah Program

Pascasarjana (S2) Bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Padjadjaran. Jakarta, 8 Mei 2004.

Undang-undang Tindak Pidana Korupsi menyediakan dua instrumen hukum dalam hal pemulihan kerugian negara (asset recovery) akaibat perbuatan

korupsi, yaitu melalui instrument pidana dan perdata. Mekanisme melalui instrument pidana diatur berdasarkan: (i) putusan pengadilan yang menyatakan bahwa

barang bukti dirampas untuk negara, baik dalam bentuk uang, tanah, gedung dan sebagainya yang merupakan aset terpidana; dan (ii) pembayaran uang pengganti

yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sedangkan mekanisme melalui instrumen perdata

menggunakan ketentuan gugat perdata biasa sebagaimana

mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam pelaksanaannya bisa menimbulkan kesulitan dalam penanganan kasus TPPU.

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, pembuktian dakwaan jaksa tetap merupakan beban penuntut umum (Pasal 37 A ayat 3). Walaupun demikian, untuk setiap orang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, wajib membuktikan, sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana

korupsi, maka hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Pembuktian dilakukan terdakwa pada waktu membacakan pembelaannya dan dapat diulangi lagi pada memori banding dan memori kasasi. Untuk itu Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim (Pasal 37 B).

Walaupun demikian, menurut Pasal 32 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat, satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terbukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Demikian juga halnya apabila tersangka dan terdakwa meninggal di dalam proses peradilan pidana, dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli wariss terdakwa (Pasal 33 dan 34).

Dalam Undang-undang tersebut di atas, jelas terlihat bahwa pembuktian terbalik oleh terdakwa dilakukan dalam proses perkara pidana dan dikaitkan dengan proses pidana itu sendiri. Dalam perkara pidana setelah terdakwa dihukum barulah harta kekayaannya dapat disita kalau terdakwa tidak dapat membuktikan asal-usul yang sah dari kekayaannya. Di sinilah kelemahan Undang-undang korupsi ini yang selalu mengaitkan proses penyitaan harta kekayaan hasil korupsi

diatur dalam Hukum Acara Perdata berdasarkan Pasal 30 ayat 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Abdul Rahman

Saleh, “Peran Kejaksaan Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, makalah disampaikan dalam Seminar Sinergi Pemberantasan Korupsi:

Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery dalam rangka peringatan Ulang Tahun PPATK ke-4. Jakarta, 4 April 2006, hal. 2-7.

dengan proses pidana terhadap yang bersangkutan. Jika perbuatan korupsi terdakwa tidak dapat dibuktikan, dalam perkara pidana, maka hampir tidak ada alasan untuk melakukan gugatan perdata. Untuk mempercepat penyitaan harta kekayaan hasil korupsi hendaknya dilakukan pendekatan perdata yang terpisah dari pendekatan pidana. Dengan demikian walaupun terpidananya sakit, hilang atau meninggalkan proses perdata untuk menyita harta kekayaan hasil korupsi tetap dapat dilakukan karena yang berperkara adalah negara dengan harta kekayaan hasil korupsi, bukan dengan koruptornya. Inilah yang dikenal dengan in rem for feitiure atau civil forfeiture di beberapa negara yang menganut sistem common law. Jadi pembuktian terbalik ini dilakukan bukan untuk menghukum terdakwa, tetapi untuk menyita harta kekayaan hasil korupsi.57

Jika pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum terdakwa, maka akan bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan non-self incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum Indonesia dan sekarang diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia. Asas praduga tak berrsalah berbunyi, bahwa ”setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam sidang pengadilan”. Sementara itu asas non self incrimination ditemui dalam praktik dan dalam peraturan tertulis di Indonesia, seperti dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.58

Dalam sistem common law, asas non self incrimination dikenal dengan istilah the previlege againts self-incrimination, yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekwensinya tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan. Oleh karena hal dianggap tidak baik oleh hakim, sehingga terdapat kecenderungan seorang terdakwa untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya yang pada akhirnya dapat merugikan dirinya. Untuk mengejar hasil-hasil kejahatan pencucian uang seperti aset hasil korupsi perlu diperkenalkan suatu aturan yang mengatur penyitaan aset secara perdata atau pidana dengan hukum acara khusus atau luar biasa, misalnya dengan memberikan beban pembuktian mengenai harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang kepada terdakwa. Hukum acara luar biasa (extraordinary) ini diperlukan karena tindakpidana yang dihadapi juga bersifat luar biasa.59

Pembuktian terbalik jelas bukan untuk memberikan hukuman badan kepada pelaku tindak pidananya. Secara khusus dalam perkara pencucian uang, jika penyelesaian dilakukan secara perdata, maka penyelesaiannya harus dilakukan terpisah dari penyelesaian pidana. Hal ini memang masalah baru, sehingga yang diperlukan bukan saja Undang-undang baru tetapi juga mindset pemikiran yang juga baru yang berbeda dengan yang lama.60

G. PENATAAN KEMBALI HUKUM ACARA PEMERIKSAAN TPPU

Untuk lebih meningkatkan efektifitas dan keberhasilan penegakan hukum TPPU, maka ketentuan yang mengatur mengenai hukum acara TPPU atau pemeriksaan dalam setiap tingkatan perlu lebih diperjelas dan diperkuat. Kedudukan dan hubungan antara UU TPPU dengan peraturan perundang-undangan terkait lainnya harus jelas dan harmonis. Dengan demikian, setiap tindakan pemeriksaan TPPU termasuk tindakan untuk melakukan pemblokiran dan/atau penundaan transaksi memiliki landasan hukum yang kuat. Prosedur atau mekanisme untuk melakukan pemblokiran dan/atau penundaan transaksi perlu diatur secara lebih jelas dan lengkap agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda sehingga timbul keragu-raguan dari para aparat penegakan hukum dalam mengambil tindakan.

1. Pemberian Kewenangan Kepada Penyidik Tindak Pidana Asal Untuk Menyidik Dugaan TPPU (Multi Investigator)Peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku menetapkan penyidik Polri

sebagai penyidik satu-satunya yang berwenang melakukan penyidikan TPPU. Meningkatnya intensitas pelaporan PJK ke PPATK dan penyampaian laporan hasil analisis transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK ke penyidik Polri, memberi beban tambahan kepada penyidik Polri. Sementara itu, Polri memiliki keterbatasan jumlah penyidik TPPU dan anggaran operasional.61

Masalah lain, laporan analisis transaksi keuangan yang mencurigakan tidak hanya dibuat oleh PPATK berdasarkan LTKM dari PJK atau pihak pelapor melainkan juga berdasarkan permintaan

Ibid.

Ibid.

Lihat Laporan Tahunan Tahun 2006 PPATK, hal. 16-17.

(inquiry) dari penyidik tindak pidana asal. Permasalahan mulai timbul jika kemudian dari laporan hasil analisis transaksi keuangan oleh PPATK ditemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, sedangkan penyidik tindak pidana asal ternyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan TPPU. Jika berdasarkan dugaan ternjadinya TPPU tersebut kemudian laporan analisis transaksi keuangan diserahkan juga kepada POLRI untuk melakukan penyidikan TPPU, sementara untuk penyidikan tindak pidana asal dilanjutnya oleh penyidik sebelumnya, maka hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip penanganan perkara yang harus dilaksanakan secara sederhana,cepat, dan biaya ringan.

Kedua permasalahan tersebut di atas menjadi salah satu pertimbangan mengapa perlunya diberi wewenangan untuk melakukan penyidikan TPPU kepada penyidik tindak pidana asal. Pertimbangan lain adalah beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya perluasan kewenangan penyidik tindak pidana asal untuk melakukan penyidikan TPPU.

Secara teknis, penyidikan TPPU oleh penyidik tindak pidana asal akan mempercepat penanganan dugaan TPPU sekaligus tindak pidana asalnya. Penyidik dapat memanfaatkan kelebihan yang tercantum di dalam UUTPPU seperti penerobosan prinsip kerahasiaan transaksi keuangan, sistem pembuktian terbalik dan skim perlindungan saksi dan pihak pelapor. Di sisi lain, pemberian kewenangan penyidikan TPPU kepada penyidik tindak pidana asal akan menciptakan multi investigators system yang diharapkan menumbuhkan semangat kompetisi yang positif diantara institusi penyidik yang akan bermanfaat untuk penegakan hukum. Multi Investigators System diterapkan di Amerika Serikat dengan adanya beberapa lembaga penyidik TPPU seperti DEA (Drugs Enforcement Administration), IRS (Internal Revenue Services), Customs, Immigration dan FBI (Federal Bureau Investigation).62

2. Penyelidikan TPPU oleh PPATKPerjalanan 4 (empat) tahun menunjukan bahwa sekalipun dalam beberapa kasus

laporan hasil analisis transaksi keuangan PPATK telah sangat membantu Penyidik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang, ternyata masih banyak Laporan Hasil Analisis (LHA) yang belum dapat digunakan secara maksimal oleh Penyidik. Keinginan Penyidik agar laporan hasil analisis tersebut diperkaya dengan analisis

Lihat CO-CHAIRS’ REPORT ON THE CONFERENCE ON COMBATING MONEY LAUNDERING AND TERRORIST FINANCING, Nusa Dua, Bali, 17-18

December 2002.

hukum disamping analisis transaksi keuangan perlu dicermati dan direspon secara positif. Hal itu menjadi salah satu pertimbangan mengapa PPATK perlu diberi tambahan kewenangan untuk melakukan penyelidikan TPPU di samping pertimbangan kemampuan teknis dan sumber informasi keuangan yang cukup luas yang dimiliki oleh PPATK. Namun demikian, PPATK tetap tidak perlu diberi wewenang melakukan penyidikan. Sebab, apabila kewenangan penyidikan juga diberikan kepada PPATK, maka mekanisme “check and balances” menjadi lemah akibat hampir seluruh proses, mulai dari menerima laporan, melakukan audit kepatuhan, menganalisa, menyelidik dan menyidik TPPU dilakukan oleh PPATK.

Sebagaimana telah diungkapkan dimuka, wewenang melakukan penyidikan TPPU diberikan kepada penyidik tindak pidana asal. Peran PPATK adalah mencari bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya TPPU berdasarkan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan, dan selanjutnya berdasarkan bukti

permulaan yang cukup tersebut PPATK menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik tindak pidana asal untuk ditindaklanjuti dengan melakukan penyidikan.

Dalam rangka pelaksanaan tugas PPATK untuk melakukan penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal, PPATK perlu diberi kewenangan untuk antara lain:

a. menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana pencucian uang;

b. meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;

c. mencari keterangan dan barang bukti;d. melakukan penyadapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam rangka

melakukan analisis terhadap Transaksi keuangan yang diterima melalui berbagai media;

e. menghentikan sementara seluruh atau sebagian kegiatan Transaksi atas Harta Kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana;

f. menghentikan sementara Transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk menampung hasil tindak pidana pencucian uang;

g. memblokir Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana;h. meminta informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik

tindak pidana asal;i. meneruskan hasil penyelidikan kepada penyidik; danj. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

3. Pembentukan Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPUProf. Romli Atmasasmita, SH, LLM mengutarakan bahwa salah satu masalah

mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan dalam pembangunan hukum nasional adalah masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif, sehingga melahirkan berbagai ekses. Antara lain, egoisme sektoral dan menurunnya kerjasama antara-aparatur hukum secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh karena miskinnya visi dan misi aparatur hukum antara lain tentang pengertian due process of law, impartial trial, transparency, accountability, the right to counsel.63

Upaya meningkatkan kerjasama antara aparatur hukum sekaligus menekan sikap egoisme sektoral antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas komunikasi dan menjalin kerjasama yang lebih sering antara para penegak hukum. Salah satu alternatif usaha tersebut adalah dengan membentuk satuan tugas gabungan sebagaimana telah terbukti dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana Pemilu yang lalu.

Mengingat TPUU merupakan kejahatan yang berdimensi lintas sektoral, multi disipliner, berlapis, dan seringkali terjalin dalam suatu jaringan yang rumit, sehingga seringkali menyulitkan bagi penyidik untuk melakukan tugas-tugasnya tanpa meminta bantuan dari lembaga atau badan lain yang lebih berkompeten dalam bidangnya, maka pembentukan Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU secara efektif dan efisien.

4. Asset SharingDalam upaya untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum TPPU diperlukan

dukungan financial yang cukup memadai, antara lain untuk peningkatan capacity building dan biaya operasional aparat. Oleh karena itu, dalam revisi UU TPPU ini

perlu pengaturan mengenai pembagian aset hasil perampasan untuk lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang memiliki andil dalam pengungkapan kasus, pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset hasil rampasan. Sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) aset dari hasil perampasan diserahkan kepada negara, sedangkan sisanya sebasar 25% (dua puluh

Romli Atmasasmita, “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional”, kumpulan artikel di web-site http://www.hukumonline.com dalam Analisis

Hukum 2002, Jangan

Tunggu Langit Runtuh, cetakan pertama, (Jakarta: PT. Justika Siar Publika, 2003), hal: 30-31.

lima per seratus) dibagikan kepada lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang besarnya tergantung dari andil atau peranan masing-masing pihak dalam proses perampasan aset dimaksud.

H. PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSISalah satu akibat dari lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya

pengaturan mengenai perlindungan saksi dan pelapor, adalah keengganan saksi dan pelapor untuk melaksanakan kewajibannya. Saksi akan enggan untuk memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Demikian pula halnya dengan Pelapor, juga akan enggan untuk melaporkan mengenai apa yang diketahui terkait dugaan terjadinya tindak pidana meskipun Undnag-undang mewajibkan untuk melaporkannya kepada instansi yang berwenang.

Kekhawatiran di atas dapat dimaklumi ketika saksi dan pelapor telah nyata-nyata melaksanakan kewajibannya namun yang didapat bukanlah suatu prestasi melainkan sebuah ancaman baik ancaman karena sanksi hukum maupun fisik dan mental. Terlebih lagi apabila kasus yang sedang diproses merupakan kejahatan terorganisir, sudah tentu ancaman yang mungkin muncul akan semakin besar bukan hanya terhadap saksi dan pelapor saja tetapi juga bisa melebar terhadap harta dan keluarganya, yang kesemuanya bisa dalam wujud ancaman fisik maupun teror mental.

Di sisi lain, ancaman sanksi hukum berupa tuntutan pidana atas kesaksian atau laporan yang diberikannya, tidak tertutup kemungkinan saksi dan pelapor menjadi tersangka, bahkan terpidana. Dalam kondisi lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya pengaturan tentang saksi dan pelapor ini, yang menjadi pokok persoalan adalah banyaknya saksi dan pelapor yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai terutama jaminan atas perlindungan ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi dan melaporkan tindak kejahatan.

Oleh karena itu, walaupun UU TPPU yang berlaku telah mengatur mengenai perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi, namun dalam penyempurnaan UU TPPU nanti pengaturan mengenai perlindungan khusus ini tetap harus diatur lagi. Pengaturan tersebut paling tidak adanya pernyataan bahwa terhadap saksi dan pelapor diberikan perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Karena dengan pengaturan ini, paling tidak dapat menjadi dasar dalam menyusun peraturan pelaksanaan pemberian perlindungan khusus ini. Lebih lanjut pengaturan mengenai perlindungan yang sudah diatur dan tetap dipertahankan dengan perluasan cakupan, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1. Perlindungan karena jaminan Undang-undang

Perlindungan karena jaminan undang-undang mengangdung arti bahwa perlindungan yang diberikan telah secara tegas diatur dalam Undang-undang TPPU berupa pelepasan dari tuntutan pidana maupun perdata terhadap pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, saksi dan pelapor sebagai berikut:

a. Lembaga atau pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan (seperti Pasal 15 UU TPPU).

b. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan (seperti Pasal 43 UUTPPU). Pelapor yang dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.

Dengan demikian, pihak-pihak yang memperoleh perlindungan secara hukum dalam UU TPPU adalah :

~ Lembaga yang memiliki kewajiban pelaporan (PJK, profesi, serta penyedia barang dan jasa)

~ Pejabat PJK~ Pegawai PJK~ Pelapor dugaan TPPU~ Saksi TPPU

Kekebalan hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan secara pidana terhadap pihak-pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang yang bersangkutan dalam melaksanakan pelaporan dan memberikan kesaksian dilakukan dengan iktikad baik atau yangbersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.

2. Perlindungan karena pelaksanaan UU TPPUMunculnya perlindungan apabila pelaksanaan kewajiban oleh pelapor dan pihak

lain diterapkan secara konsisten. Dalam beberapa Pasal UU TPPU, diatur mengenai kewajiban untuk tidak mengungkap identitas pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor dengan ancaman pidana bagi yang melanggarnya. Pengertian pelapor di sini adalah pihak pelapor karena melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur UU TPPU.

Perlindungan yang diberikan karena pelaksanaan UU TPPU sebagai berikut:a. Direksi, pejabat, atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan

kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK (seperti Pasal 17 A ayat 1 UUTPPU)

b. Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun (seperti Pasal 17A ayat 2 UUTPPU).

c. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, wajib merahasiakan dokumen dan/atau

keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang (seperti Pasal 10A UUTPPU). Selanjutnya diatur pula bahwa sumber keterangan dan laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.

d. PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti Pasal 39)

e. PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti pasal 10)

f. Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor (seperti Pasal 41). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut.

3. Perlindungan KhususSetiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang

dan setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Selanjutnya dalam ayat berikutnya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam sebuah peraturan pemerintah mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus dimaksud.

Pengaturan mengenai hal tersebut dalam UU TPPU telah diatur dalam Pasal 40 dan 42 UU TPPU dan peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Disadari bahwa terbatasnya cakupan pihak-pihak yang akan memperoleh perlindungan khusus yang hanya pelapor dugaan tindak pidana pencucian uang dan saksi tindak pidana pencucian uang, dalam PP No.57 tersebut tersebut telah memperluas cakupan pelapor sehingga menjadi :

a. Pelapor karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang;

b. Pelapor karena secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.

Sedangkan pengertian saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.

Lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan KAPOLRI No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam peraturan ini diuraikan mengenai beberapa hal.

Pertama, perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental. Kedua, perlindungan terhadap harta. Ketiga, perlindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas. Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap muka

(konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara.

Adapun bentuk-bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan bagi saksi dan pelapor adalah perlindungan atas keamanan pribadi, dan atau keluarga Pelapor dan Saksi dari ancaman fisik atau mental.

Perlindungan Khusus terhadap Pelapor, Saksi dan Keluarganya meliputi:(i) perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental

terhadap:~ orang yaitu pribadi pelapor, saksi dan keluarganya;~ tempat/lokasi, yaitu: rumah/penginapan/tempat tinggal; tempat

kerja/kantor/tempat persidangan; rute dan sarana transaportasi; dan tempat-tempat kegiatan lainnya.

~ kegiatan, meliputi : sebelum, pada saat, dan sesudah proses pemeriksaan perkara. Perlindungan Khusus ini diberikan terhadap kegiatan yang diperkirakan mendapat gangguan dan/atau ancaman:(a) fisik, antara lain: unjuk rasa, demonstrasi dan kerusuhan massa;

penghadangan, perampokan, penculikan, penganiayaan dan pembunuhan; gangguan kendaraan, tempat/rumah/kantor dan tempat kegiatan lainnya; dan sabotase.

(b) mental, antara lain: teror; dan intimidasi/ancaman terhadap keselamatan jiwa dan harta benda.

(ii) perlindungan terhadap harta Pelapor dan Saksi meliputi harta bergerak dan tidak bergerak yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku. Sasaran perlindungan didasarkan atas permohonan Pelapor/Saksi serta penilaian dari pejabat Polri.

(iii) perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor dan Saksi dilaksanakan dengan merahasiakan dan menyamarkan nama, tempat/tanggal lahir (usia), jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama, status, pendidikan/gelar, kewarganegaraan, suku bangsa. Perahasiaan dan penyamaran identitas dilakukan dengan membuat berita acara penyamaran identitas berdasarkan permohonan penyamaran dari Pelapor/Saksi dan menyimpan berita acara penyamaran tersebut. Selanjutnya berita acara penyamaran tersebut diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum setelah perkara dinyatakan lengkap (P21).

(iv) pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara meliputi tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

I. KERJASAMA DAN KOORDINASI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TPPU

Kerjasama dan koordinasi yang baik antar pihak-pihak terkait merupakan salah satu pilar terpenting di dalam pembangunan rezim anti pencucian uang yang efektif dan sekaligus merupakan prasyarat utama di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU. Hingga saat ini, kerjasama dan koordinasi yang baik dimaksud belum dapat diwujudkan sebagaimana yang diharapkan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena masih kuatnya ego sektoral antar penegak hukum. Hal ini perlu menjadi perhatian dan pemikiran bersama secara sungguh-sunggguh untuk menemukan jalan keluar yang tepat guna menyelesaikan masalah ini.

Pengaturan kerjasama dan koordinasi dalam Rancangan Undangundang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU) tidak berbeda dengan pengaturan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Beberapa materi penting yang diatur antara lain penegasan pentingnya kerjasama dengan pihak terkait di dalam lingkup nasional maupun internasional, bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis, pertukaran staf, dan pendidikan/pelatihan, bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters), serta Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU).

Hingga saat ini kerjasama pencegahan dan pemberantasan TPPU telah dilakukan dengan baik, meskipun kuantitas dan kualitasnya masih dapat ditingkatkan di masa mendatang. PPATK sebagai financial intelligence unit (FIU), focal point dan regulator pencegahan dan pemberantasan TPPU telah melakukan kerjasama domestik dan internasional dengan berbagai pihak, baik melalui penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding) maupun tanpa nota kesepahaman. Kerjasama internasional telah dilakukan dengan 19 FIU negara lain seperti Australia, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Italia, Spanyol, Jepang, Korea, dan Cayman Island. Sedangkan kerjasama domestik dilakukan antara lain dengan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Kehutanan, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Bapepam, dan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.

Berkaitan dengan bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters), RUU tetap memuat materi ini meskipun uraiannya disederhanakan sehubungan dengan telah disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana yang menjadi undang-undang induk (umbrella act) daripengaturan masalah bantuan timbal balik.

Sementara itu, pengaturan Komite TPPU di dalam RUU masih perlu dilakukan sebagai landasan hukum dibentuknya Komite TPPU disamping Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2004. Komite TPPU sendiri merupakan suprastruktur penting dari rezim anti-pencucian uang Indonesia yang berfungsi merumuskan arah kebijakan pembangunan rezim anti pencucian uang. Di beberapa negara seperti Australia dan Malaysia, lembaga ini dikenal sebagai National Coordination Committee (NCC) yang beranggotakan berbagai pihak yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian penjelasan dalam bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut:1. Undang-Undang No.15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang No.25/2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar antara lain :

~ kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur dan banyaknya unsure yang harus dipenuhi atau dibuktikan, sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian;

~ kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya;

~ masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya;

~ perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor;

~ terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan pentrasiran serta penyitaan aset hasil kejahatan;

~ terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan TPPU; dan~ keterbatasan kewenangan dari PPATK.

Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan dan perhatian dari komunitas internasional yaitu FATF, APG, IMF, dan World Bank dalam mengevaluasi kepatuhan Indonesia terhadap standar internasional yang disepakati bersama yaitu 40 + 9

FATF Recommendations. Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas

internasional tersebut bernilai negatif, maka akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali dianggap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan TPPU

2. Tidak efektifnya pelaksanaan rezim anti pencucian uang, juga akan mengakibatkan tidak maksimalnya pendekatan anti pecucian uang dalam mendukung upaya penegakan hukum (law enforcement) atas tindak pidana asal seperti korupsi, pembalakan liar, pedagangan dan penggunaan narkoba secara ilegal, serta tindak pidana terorisme di Indonesia. Hal ini tentunya akan memberikan insentif atau kemudahan bagi pelaku kejahatan khususnya kejahatan yang melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang signifikan untuk mengulangi bahkan memperluas kejahatannya.

3. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya UU TPPU sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang tentunya akan berdampak buruk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk segera melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam UU No.15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/20003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam ”revised 40+9 FATF recommendations” serta ketentuan anti-money laundering regime yang berlaku secara internasional (international best practice).

KEPUSTAKAAN

Abdul Rahman Saleh, “Peran Kejaksaan Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”, makalah disampaikan dalam Seminar Sinergi Pemberantasan Korupsi:Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery dalam rangka peringatan Ulang Tahun PPATK ke-4. Jakarta, 4 April 2006.Andreas Rneda, “International Money Laundering Law Enforcement and the USA Patriot Act of 2001”, 10 Michigan State University – DCL Journal of International Law (Summer, 2001).Andrew de Lotbinere Mc Dougall, “International Arbitration and Money Laundering”, 20 American University International Law Review (2005).APG, “History and Background”, http://www.apgml.org/content/history and back-groud.jsp.Berita Resmi Statistik No.47/IX/1 September 2006, Badan Pusat Statistik (BPS). Billy Steel, “Laundering-What is Money Laundering”. http://www.laundryman.unet.com.

Daniel Kaufmann, “Governance in the Financial Sector: The Broader Context of Money Laundering and Terrorist Financing”, dalam World Bank and IMF Global Dialogue Series, Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism. The International Bank for Reconstruction and Development and the International Money Fund, 2003.Department of Justice Canada, Solicitor General Canada, Electronic Money laundering: An Environmental Scan, October 1998.Donald R Cressey, The Theft of the Nation: The Strcture and Operation of Organized Crime in America. New York: Harper and Row, 1969.Editorial Media Massa Indonesia, “Kelonggaran Kredit”, tanggal 17 Januari 2007, http://opini.wordpress.com/tag/ekonomi.FATF-GAFI, The Financial War on Terrorism: A Guide by FATF. Perancis: FATF Secretariat 2 rue Andre Pascal, 75775 Paris Cedex 16, 2004.Harkristuti Harkrisnowo, “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering)”, makalah disampaikan pada Video Conference Nasional yang diselenggarakan oleh PPATK, BI, UI, UGM, USU, Undip, Unair, dan Elips di Jakarta, tanggal 29 Mei-Oktober 2004.

http://hukumonline.com/ tanggal 17 Januari 2007.http://seputarekonomi.blogspot.com/2006/12/pertumbuhan-ekonomikemiskinan. htmlIndonesia’s National Report on the Implementation and Follow-Up “the 2000 Vienna Declaration on Crime and Justice: Meeting the Challenges of the Twenty-First Century, and Plan of Action” at The Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Bangkok, Thailand, 18- 25 April 2005.Joni Emirzon, ”Urgensi Etika (Moral) Dalam Pembangunan Hukum Progresif di Masa Depan”, dalam Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.Laporan Tahunan Tahun 2006 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).Lim Choon Kiat, Kee Leok Soon dan Josef Eby Ruin, Guide to the Management of Anti-Money Laundering and Counter-Financing of Terrorism. Selangor- Malaysia: Leeds Publication, 2005.Manual on Countering Money Laundering and the Financing of Terrorism, (Manila: Asian Development Bank (ADB), March 2003. Mardjono Reksodiputro, “Money Laundring, Bank Secrecy Acts”, (Desember 2003), http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=25

Money Laundering: a Banker;s Guide To Avoiding Problems”, occ.treas.gov/ launder/org.htm.National Advisory Committe on Criminal Justice Standards and Goals, OrganizedCrime: Report of the Task Force on Organized Crime. Washington D.C.: Law Enforcement Assistance Administration, 1976.Paul Allan Schott, Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combating the Financing of Terrorism. Washington D.C.: The World Bank, 2003.Pidato Awal Tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mari, Kita Sukseskan Program Pro-Rakyat, tanggal 31 Januari 2007.R.T. Taylor, Follow-The-Money Meethods In Crime Control Policy, A Study prepared for the Nathanson Centre for the Study of Organized Crime and Corruption.Toronto, Desember 1999.Republik Indonesia, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No: KEP-02/PM/2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah.Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 1/9/PBI tahun 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank beserta peraturan pelaksanaannya, Surat Edaran No. 1/ 9/DSM tanggal 28 Desember 1999 tentang

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank yang mewajibkan bank untuk melaporkan laporan transaksi dan laporan posisi.Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 1/9/PBI/ 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank beserta peraturan pelaksanaannya, dan Surat Edaran No. 1/9/DSM tanggal 28 Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank;Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No.4/8/PBI/2002 Tanggal 10 Oktober 2002 pembawaan uang masuk dan keluar wilayah pabean. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Presiden.Republik Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/50/KEP/DIR dan Surat Edaran No. 32/6/UPPB masing-masing tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum yang mengatur bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian saham Bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering). Dalam pada itu, ketentuan mengenai setoran modal bank secara spesifik juga mengatur larangan sumber dana yang berasal dari kegiatan money laundering.Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.Republik Indonesia, Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai UU.Republik Indonesia, Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dalam Pasal 31 ayat (1) yang mengatur mengenai pembatasan jumlah uang rupiah yang dapat dibawa keluar atau masuk wilayah pabean RI dalam upaya antara lain mencegah terjadinya transaksi uang palsu dan transaksi lainnya seperti pencucian uang.Republik Indonesia, Undang-undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang mewajibkan setiap penduduk untuk memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999).Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi).Republik Indonesia, Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003Revised 40+9 FAFT Recommendations, FATF, 22 Juni 2003 dan 22 October 2004.Rijanto Sastroatmodjo, Memerangi Kegiatan Pencucian Uang dan Pemdanaan/ Pembiayaan Terorisme, Juli 2004, tanpa penerbit.

Romli Atmasasmita, “Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional”, kumpulan artikel di web-site http://www.hukumonline.com dalam Analisis Hukum 2002, Jangan Tunggu Langit Runtuh, cetakan pertama, Jakarta: PT. Justika Siar Publika, 2003.Rosalia Suci H., “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer/ KYC) Di Perbankan”, dalam Laporan Pelaksanaan Seminar KYC dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, (KBI Kendari, Mei 2005).Sarah N. Welling, “Smurfs, Money Laundering, and the United States Criminal Federal Law”, dalam Brent Fisse, David Frazer & Graeme Coss, The Money Trail (Confiscation of Proceeds of Crime, Money Laundering, ans Cash Transaction Reporting). Sydney: The Law Book Company Ltd., 1992.Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Komas, Oktober 2006Sherman T, “International Efforts to Combat Money Laundering: The Role of the Financial Task Force”, dalam MacQueen L (ed.), Money Laundering, Edinburgh, 1993.Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiyaan Terorisme. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2004. Teten Masduki (Koordinator ICW), “Pengembalian Hasil Korupsi: Beberapa Catatan”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Sinergi Pemberantasan Korupsi: Peranan PPATK dan Tantangan Asset Recovery” dalam rangka Peringatan Ulang Tahun ke-4 PPATK. Jakarta, 4 April 2006. Tim Penyusun, Risalah Rapat Koordinasi Penegakan Hukum TPPU, Jakarta: Direktorat Hukum dan Regulasi, PPATK, 2006. Tim Penyusun, Sistem dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang Di Negara Lain, Jakarta: Direktorat Hukum dan Regulasi, PPATK, 2006.U.S. Code Collection, Cornell Law School.http://www4.law.cornell.edu/uscode/ html/uscode18/usc_sec_18_00000981——000-.html.Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design, Methapor, Methodology and Meaning”, dalam Norman K. Denzin and Yvonne S. Lincoln, (ed), Handbook of Qualitative Research, (California: Sage Publication, Inc., 1994.Vito Tanzi, ”Money Laundering and the International Finance System”, IMF Working Paper No. 96/55 (May 1996).Yunus Husein, “Kata Pengantar” dalam Tim Penyusun, Sistem dan Mekanisme Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang di Negara Lain (Laporan Pelaksanaan Tugas 2003-2006). Jakarta: PPATK, 2006.“Kata Sambutan” dalam Risalah Rapat Koordinasi Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Direktorat Hukum dan Regulasi PPATK, 2006.“Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, makalah disampaikan dalam ceramah Program Pascasarjana (S2) Bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Padjadjaran. Jakarta, 8 Mei 2004.Rahasia Bank: Privasi Versus Kepentingan Umum. Jakarta: Program Pascasarja Fakultas Hukum UI, 2003.

LAMPIRANFATF ~ GAFIFinancial Action Task Force on Money LaunderingGraupe d’action FinanciereThe FortyRecommendationsRevised, 22 June 2003&Special RecommendationsOn Terrorist FinancingRevised, 22 October 2004sur le blanchiment de capitaux1The FATF is an inter-governmental body which sets standards, and develops and promotes policiesto combat money laundering and terrorist financing. It currently has 33 members: 31 countriesand governments and two international organisations; and more than 20 observers: five FATF-styleregional bodies and more than 15 other international organisations or bodies. A list of all members andobservers can be found on the FATF website at http://www.fatf-gafi.org/Members_en.htm.2 The FATF Forty and Eight Special Recommendations have been recognised by the InternationalMonetary Fund and the World Bank as the international standards for combating money launderingand the financing of terrorism.

INTRODUCTION

Money laundering methods and techniques change in response to developing counter-measures. In recent years, the Financial Action Task Force (FATF)1 has noted increasingly sophisticated combinations of techniques, such as the increased use of legal persons to disguise the true ownership and control of illegal proceeds, and an increased use of professionals to provide advice and assistance in laundering criminal funds. These factors, combined with the experience gained through the FATF’s Non-Cooperative Countries and Territories process, and a number of national and international initiatives, led the FATF to review and revise the Forty Recommendations into a new comprehensive framework for combating money laundering and terrorist financing. The FATF now calls upon all countries to take the necessary steps to bring their national systems for combating money laundering and terrorist financing into compliance with the new FATF Recommendations, and to effectively implement these measures.

The review process for revising the Forty Recommendations was an extensive one, open to FATF members, non-members, observers, financial and other affected sectors and interested parties.

This consultation process provided a wide range of input, all of which was considered in the review process.

The revised Forty Recommendations now apply not only to money laundering but also to terrorist financing, and when combined with the Eight Special Recommendations on Terrorist Financing provide an enhanced, comprehensive and consistent framework of measures for combating money laundering and terrorist financing. The FATF recognises that countries have diverse legal and financial systems and so all cannot take identical measures to achieve the common objective, especially over matters of detail. The Recommendations therefore set minimum standards for action for countries to implement the detail according to their particular circumstances and constitutional frameworks. The Recommendations cover all the measures that national systems should have in place within their criminal justice and regulatory systems; the preventive measures to be taken by financial institutions and certain other businesses and professions; and international co-operation.

The original FATF Forty Recommendations were drawn up in 1990 as an initiative to combat the misuse of financial systems by persons laundering drug money. In 1996 the Recommendations were revised for the first time to reflect evolving money laundering typologies. The 1996 Forty Recommendations have been endorsed by more than 130 countries and are the international antimony laundering standard.

In October 2001 the FATF expanded its mandate to deal with the issue of the financing of terrorism, and took the important step of creating the Eight Special Recommendations on Terrorist Financing.These Recommendations contain a set of measures aimed at combating the funding of terrorist acts and terrorist organizations, and are complementary to the Forty Recommendations.2A key element in the fight against money laundering and the financing of terrorism is the need for countries systems to be monitored and evaluated, with respect to these international standards. The mutual evaluations conducted by the FATF and FATF-style regional bodies, as well as the assessments conducted by the IMF and World Bank, are a vital mechanism for ensuring that the FATF Recommendations are effectively implemented by all countries.

PENDAHULUANMetode dan teknik pencucian uang berubah-ubah mengikuti perkembangan sanksi

yang dibebankan. Dalam tahun-tahun terakhir, the Financial Action Task Force (FATF) telah mencatat meningkatnya kombinasi teknik-teknik canggih misalnya meningkatnya pemanfaatan orang perorangan guna menyamarkan asal-usul kepermilikan dan penguasaan atas harta haram, dan meningkatnya pemanfaatan tenaga professional guna memberikan advis dan bantuan dalam mencuci dana-dana hasil kejahatan. Faktor-faktor tersebut, dikombinasikan dengan pengalaman yang diperoleh melalui proses Non-Cooperative Countries and Territories FATF, dan sejumlah inisiatif dari negara-negara dan internasional, mengakibatkan FATF mengkaji dan merevisi Rekomendasi Empat Puluh ke dalam ketentuan baru yang komprehensif untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris. FATF saat ini meminta kepada negara-negara untuk mengambil tindakan yang perlu ke dalam sistem nasionalnya guna memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris agar sesuai dengan Rekomendasi FATF yang baru, dan melaksanakannya secara efektif.

Proses kajian untuk merevisi Rekomendasi Empat Puluh adalah menyeluruh terbuka bagi anggota FATF, non anggota, pengamat, sector keuangan dan lainnya. Proses konsultasi ini menyediakan sejumlah masukan, dimana semuanya dipertimbangkan dalam proses kajian.Rekomendasi Empat Puluh yang direvisi saat ini tidak hanya berlaku atas pencucian uang tetapi juga pendanaan teroris, dan jika dikombinasikan dengan Delapan Rekomendasi Khusus tentang Pendanaan Teroris memberikan suatu ketentuan tentang upaya pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris yang berkembang, komprehensif dan konsisten. FATF memahami bahwa Negara-negara memiliki sistem hukum dan keuangan yang berbeda-beda dan semua negara tidak bisa mengambil tindakan yang sama guna memperoleh tujuan yang sama, terutama dalam masalah-masalah detail. Dengan demikian, Rekomendasi memberikan standard minimum bagi negara-negara untuk menerapkannya sesuai dengan peraturan dan kondisi masing-masing. Rekomendasi meliputi semua tindakan dimana sistem nasional harus berlaku dalam hukum acara pidana dan system perundang-undangannya; upaya preventif dilakukan oleh lembaga keuangan dan lembaga tertentu lain serta profesi; dan kerjasama internasional.

Rekomendasi Empat Puluh FATF pertama kali disusun pada tahun 1990 sebagai inisiatif untuk memberantas penyalahgunaan sistem keuangan oleh pihak-pihak yang mencuci uang hasil penjualan narkotika. Pada tahun 1996, Rekomendasi dirubah untuk pertama kali untuk merefleksikan tipologi pencucian uang yang berkembang. Rekomendasi Empat Puluh tahun 1996 didukung oleh lebih dari 130 negara dan merupakan standar anti pencucian uang internasional.

Bulan Oktober 2001 FATF memperluas mandatnya meliputi masalah pendanaan terorisme, dan mengambil langkah penting dengan menyusun Delapan Rekomendasi Khusus tentang Pendanaan Teroris. Rekomendasi ini berisikan sejumlah upaya yang dimaksudkan untuk memberantas pendanaan kegiatan-kegiatan teroris dan organisasi teroris, dan sebagai pelengkap atas Rekomendasi Empat Puluh.Unsur utama dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah kebutuhan akan sistem di negara-negara untuk dimonitor dan dievaluasi guna memenuhi standar internasional tersebut. Evaluasi timbal balik yang dilakukan FATF dan badan-badan reigional FATF berikut penilaian yang dilakukan IMF dan Bank Dunia adalah mekanisme penting guna menjamin bahwa Rekomendasi FATF diterapkan secara efektif oleh semua negara.

THE FORTY RECOMMENDATIONS

A. LEGAL SYSTEMSScope of the criminal offence of money laundering

1. Countries should criminalize money laundering on the basis of the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (the Vienna Convention) and the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, 2000 (the Palermo Convention).

Countries should apply the crime of money laundering to all serious offences, with a view to including the widest range of predicate offences. Predicate offences may be described by reference to all offences, or to a threshold linked either to a category of serious offences or to the penalty of imprisonment applicable to the predicate offence (threshold approach), or to a list of predicate offences, or a combination of these approaches.

Where countries apply a threshold approach, predicate offences should at a minimum comprise all offences that fall within the category of serious offences under their national law or should include offences which are punishable by a maximum penalty of more than one year’s imprisonment or for those countries that have a minimum threshold for offences in their legal system, predicate offences should comprise all offences, which are punished by a minimum penalty of more than six months imprisonment.

Whichever approach is adopted, each country should at a minimum include a range of offences within each of the designated categories of offences.3

Predicate offences for money laundering should extend to conduct that occurred in another country, which constitutes an offence in that country, and which would have constituted a predicate offence had it occurred domestically.

Countries may provide that the only prerequisite is that the conduct would have constituted a predicate offence had it occurred domestically.

Countries may provide that the offence of money laundering does not apply to persons who committed the predicate offence, where this is required by fundamental principles of their domestic law.

2. Countries should ensure that:

a) The intent and knowledge required to prove the offence of money laundering is consistent with the standards set forth in the Vienna and Palermo Conventions, including the concept that such mental state may be inferred from objective factual circumstances.

b) Criminal liability, and, where that is not possible, civil or administrative liability, should apply to legal persons. This should not preclude parallel criminal, civil or administrative proceedings with respect to legal persons in countries in which such forms of liability are available. Legal persons should be subject to effective, proportionate and dissuasive sanctions. Such measures should be without prejudice to the criminal liability of individuals.

Provisional measures and confiscation3. Countries should adopt measures similar to those set forth in the Vienna and

Palermo Conventions, including legislative measures, to enable their competent

authorities to confiscate property laundered, proceeds from money laundering or predicate offences, instrumentalities used in or intended for use in the commission of these offences, or property of corresponding value, without prejudicing the rights of bona fide third parties.

3 See the definition of “designated categories of offences” in the Glossary.

Lampiran

REKOMENDASI EMPAT PULUH

A. SISTEM HUKUMRuang lingkup tindak pidana pencucian uang

1. Negara-negara harus mengkriminalisasi pencucian uang berdasarkan Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika, tahun 1988 (Konvensi Vienna), dan Konvensi PBB tentang Tindak Pidana Terorganisir Transnasional, tahun 2000 (Konvensi Palermo).

Negara-negara harus memberlakukan tindak pidana pencucian uang atas semua tindak pidana serius yang merupakan sejumlah tindak pidana asal (predicate crime). Tindak pidana asal dapat ditentukan meliputi semua tindak pidana, atau terbatas pada tindak pidana dengan kategori tindak pidana serius atau berdasarkan lamanya hukuman penjara yang dibebankan atas tindak pidana asal (pendekatan threshold), atau berdasarkan daftar tindak pidana asal, atau kombinasi antara pendekatan-pendekatan ini.

Jika negara-negara memberlakukan pendekatan threshold, maka tindak pidana asal sebaiknya minimum meliputi semua tindak pidana dengan kategori tindak pidana serius menurut hukum nasional masing-masing atau mencakup tindak pidana dengan hukuman penjara maksimum lebih dari satu tahun atau bagi negara-negara yang memiliki batasan minimum untuk tindak pidana dalam system hukumnya masing-masing, tindak pidana asal sebaiknya mencakup semua tindak pidana dengan hukuman penjara minimum lebih dari enam bulan.

Pendekatan apapun yang diadopsi, setiap negara setidaknya harus memasukkan sejumlah tindak pidana ke dalam setiap kategori tindak pidana yang ditentukan.

Tindak pidana asal untuk pencucian uang seharusnya mencakup tindakan yang terjadi di negara lain yang merupakan tindak pidana menurut negara lain tersebut dan dimana tindak pidana asal telah terjadi di negara asal. Negaranegara dapat mensyaratkan hanya tindakan yang merupakan tindak pidana asal terjadi di negaranya.

Negara-negara dapat menentukan bahwa tindak pidana pencucian uang tidak berlaku terhadap pelaku tindak pidana asal dimana hal ini disyaratkan menurut prinsip-prinsip dasar hukum domestik yang berlaku di masing-masing negara.

2. Negara-negara harus menjamin agar:a) Unsur maksud dan diketahui yang wajib dibuktikan dalam tindak pidana

pencucian uang konsisten dengan standar yang ditetapkan dalam Konvensi

Vienna dan Palermo, termasuk konsep dimana pernyataan mental (adanya niat) tersebut terlibat dari situasisituasi fakta yang objektif.

b) Sanksi pidana, dan, jika hal ini tidak mungkin, sanksi perdata atau administrasi harus berlaku terhadap legal person. Hal ini tidak menghindari proses hukum pidana, perdata atau administrasi paralel terhadap legal person di negara-negara dimana bentuk sanksi-sanksi tersebut berlaku. Legal person harus dibebankan sanksi yang efektif, proporsional dan dissuasive. Tindakan tersebut harus tidak merugikan sanksi pidana terhadap individu.

Upaya-upaya provisional (sementara) dan Penyitaan3. Negara-negara harus mengadopsi upaya-upaya sebagaimana diatur dalam

Konvensi Vienna dan Palermo, termasuk upaya membuat undangundang, agar pihak berwenang dapat menyita harta kekayaan yang dicuci, kekayaan hasil pencucian uang atau tindak pidana asal, bendabenda yang digunakan dalam atau dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana tersebut, atau harta kekayaan ikutan, tanpa merugikan pihak ketiga secara hukum.Such measures should include the authority to: (a) identify, trace and evaluate property which is subject to confiscation; (b) carry out provisional measures, such as freezing and seizing, to prevent any dealing, transfer or disposal of such property; (c) take steps that will prevent or void actions that prejudice the State’s ability to recover property that is subject to confiscation; and (d) take any appropriate investigative measures.4

Countries may consider adopting measures that allow such proceeds or instrumentalities to be confiscated without requiring a criminal conviction, or which require an offender to demonstrate the lawful origin of the property alleged to be liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the principles of their domestic law.

B. MEASURES TO BE TAKEN BY FINANCIAL INSTITUTIONS AND NONFINANCIAL BUSINESSES AND PROFESSIONS TO PREVENT MONEY LAUNDERING AND TERRORIST FINANCING

4. Countries should ensure that financial institution secrecy laws do not inhibit implementation of the FATF Recommendations.

Customer due diligence and record-keeping5.* Financial institutions should not keep anonymous accounts or accounts in

obviously fictitious names. Financial institutions should undertake customer due diligence measures, including identifying and verifying the identity of their customers, when:• establishing business relations;• carrying out occasional transactions: (i) above the applicable designated

threshold; or (ii) that are wire transfers in the circumstances covered by the Interpretative Note to Special Recommendation VII;

• there is a suspicion of money laundering or terrorist financing; or• the financial institution has doubts about the veracity or adequacy of previously

obtained customer identification data.

The customer due diligence (CDD) measures to be taken are as follows:

a) Identifying the customer and verifying that customer’s identity using reliable, independent source documents, data or information4.

b) Identifying the beneficial owner, and taking reasonable measures to verify the identity of the beneficial owner such that the financial institution is satisfied that it knows who the beneficial owner is. For legal persons and arrangements this should include financial institutions taking reasonable measures to understand the ownership and control structure of the customer.

c) Obtaining information on the purpose and intended nature of the business relationship.

d) Conducting ongoing due diligence on the business relationship and scrutiny of transactions undertaken throughout the course of that relationship to ensure that the transactions being conducted are consistent with the institution’s knowledge of the customer, their business and risk profile, including, where necessary, the source of funds.

Financial institutions should apply each of the CDD measures under (a) to (d) above, but may determine the extent of such measures on a risk sensitive basis depending on the type of customer, business relationship or transaction. The measures that are taken should be consistent with any guidelines issued by competent authorities. For higher risk categories, financial institutions should perform enhanced due diligence. In certain circumstances, where there are low risks, countries may decide that financial institutions can apply reduced or simplified measures.

4 Reliable, independent source documents, data or information will hereafter be referred to as “identification data”.

Tindakan-tindakan tersebut harus termasuk wewenang untuk: (a) mengidentifikasi, melacak dan mengevaluasi harta kekayaan yang dapat disita; (b) melakukan upaya-upaya provisional misalnya memblokir dan menyita, mencegah terjadinya setiap transaksi, transfer atau pemindahan atas harta kekayaan tersebut; (c) mengambil tindakan untuk mencegah atau menghindari terjadinya tindakan-tindakan yang merugikan kemampuan Negara mengembalikan harta kekayaan yang disita; dan (d) melakukan setiap tindakan investigasi yang tepat.Negara-negara dapat mempertimbangkan mengadopsi tindakan-tindakan yang membolehkan harta kekayaan atau benda-benda hasil tindak pidana tersebut disita tanpa harus ada putusan pidana, atau yang mewajibkan si pelaku membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diduga keras wajib disita, dengan syarat bahwa persyaratan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing.

B. TINDAKAN-TINDAKAN YANG DILAKUKAN LEMBAGA KEUANGAN DAN LEMBAGA NON-KEUANGAN SERTA LEMBAGA PROFESI UNTUK MENCEGAH PENCUCIAN UANG DAN PENDANAAN TERORIS

4. Negara-negara harus menjamin agar undangundang tentang kerahasiaan lembaga keuangan tidak menghambat pelaksanaan Rekomendasi FATF.

Pemeriksaan terhadap nasabah dan penyimpanan data5.* Lembaga keuangan tidak boleh menerima rekening anonim atau rekening yang

jelas-jelas menggunakan nama fiktif. Lembaga keuangan harus melakukan upaya

pemeriksaan terhadap nasabah, termasuk mengidentifikasi dan memeriksa identitas nasabahnya, pada saat:• membuka rekening;• melakukan transaksi-transaksi tertentu: (i) dengan jumlah diatas batas yang

ditentukan; atau (ii) yaitu transfer wire dengan ketentuan termasuk dalam catatan interpretasi Rekomendasi Khusus VII;

• terdapat dugaan terjadinya pencucian uang atau pendanaan teroris; atau• lembaga keuangan memiliki keraguan atas autentikasi atau kecukupan data

identifikasi nasabah yang diperoleh sebelumnya.

Tindakan pemeriksaan terhadap nasabah (CDD) dilakukan berikut ini:a) mengidentifikasi nasabah dan memeriksa identitas nasabah dari sumber

dokumen, data atau informasi tersendiri yang dapat dipercaya.b) mengidentifikasi pihak penerima, dan mengambil tindakan yang beralasan

untuk memeriksa identitas pihak penerima agar lembaga keuangan meyakini bahwa ia mengetahui siapa pihak penerima. Untuk legal person dan legal arrangement, pemeriksaan oleh lembaga keuangan termasuk mengambil tindakan yang beralasan untuk mengetahui kepemilikan dan struktur pengawasan nasabah.

c) mendapatkan informasi tentang tujuan dan maksud hubungan usaha.d) melakukan pemeriksaan terus-menerus terhadap hubungan usaha dan analisis

transaksi-transaksi yang dilakukan secara menyeluruh dalam hubungan usaha tersebut guna menjamin bahwa transaksi yang dilakukan konsisten dengan apa yang diketahui lembaga keuangan atas nasabah, kegiatan usahanya dan profil resiko, termasuk sumber dana jika diperlukan.

Lembaga keuangan harus menerapkan masingmasing pemeriksaan terhadap nasabah menurut poin (a) dan (b) diatas, tetapi dapat menentukan sampai sejauhmana tindakan dilakukan berlandaskan pada sensitivitas risiko, tergantung pada jenis nasabah, hubungan usaha atau transaksi. Tindakan yang diambil harus konsisten dengan setiap petunjuk yang dikeluarkan oleh pihak berwenang. Untuk kategori berisiko tinggi, lembaga keuangan harus melakukan pemeriksaan lebih mendalam. Dalam situasi tertentu, jika terdapat risiko rendah, negara-negara dapat memutuskan bahwa lembaga keuangan dapat menerapkan tindakan-tindakan yang disederhanakan.

Financial institutions should verify the identity of the customer and beneficial owner before or during the course of establishing a business relationship or conducting transactions for occasional customers.

Countries may permit financial institutions to complete the verification as soon as reasonably practicable following the establishment of the relationship, where the money laundering risks are effectively managed and where this is essential not to interrupt the normal conduct of business.

Where the financial institution is unable to comply with paragraphs (a) to (c) above, it should not open the account, commence business relations or perform the transaction; or should terminate the business relationship; and should consider making a suspicious transactions report in relation to the customer.

These requirements should apply to all new customers, though financial institutions should also apply this Recommendation to existing customers on the basis of materiality and risk, and should conduct due diligence on such existing relationships at appropriate times.

6.* Financial institutions should, in relation to politically exposed persons, in addition to performing normal due diligence measures:a) Have appropriate risk management systems to determine whether the customer

is a politically exposed person.b) Obtain senior management approval for establishing business relationships

with such customers.c) Take reasonable measures to establish the source of wealth and source of

funds.d) Conduct enhanced ongoing monitoring of the business relationship.

7. Financial institutions should, in relation to crossborder correspondent banking and other similar relationships, in addition to performing normal due diligence measures:a) Gather sufficient information about a respondent institution to understand

fully the nature of the respondent’s business and to determine from publicly available information the reputation of the institution and the quality of supervision, including whether it has been subject to a money laundering or terrorist financing investigation or regulatory action.

b) Assess the respondent institution’s antimony laundering and terrorist financing controls.

c) Obtain approval from senior management before establishing new correspondent relationships.

d) Document the respective responsibilities of each institution.e) With respect to “payable-through accounts”, be satisfied that the respondent

bank has verified the identity of and performed ongoing due diligence on the customers having direct access to accounts of the correspondent and that it is able to provide relevant customer identification data upon request to the correspondent bank.

8. Financial institutions should pay special attention to any money laundering threats that may arise from new or developing technologies that might favor anonymity, and take measures, if needed, to prevent their use in money laundering schemes. In particular, financial institutions should have policies and procedures in place to address any specific risks associated with nonface to face business relationships or transactions.

* Recommendations marked with an asterisk should be read in conjunction with their Interpretative

Note.

Lembaga keuangan harus memeriksa identitas nasabah dan pihak penerima atau selama berlangsungnya hubungan usaha atau selama melakukan transaksi untuk nasabah tertentu.Negara-negara dapat mengijinkan lembaga keuangan melengkapi pemeriksaan selama dapat dilaksanakan secara sewajarnya karena pembukaan rekening,

dimana risiko-risiko pencucian uang secara efektif diantisipasi dan jika hal ini penting untuk tidak menginterupsi kegiatan usaha normal.

Jika lembaga keuangan tidak dapat memenuhi ketentuan ayat (a) sampai (c), maka sebaiknya tidak menerima pembukaan rekening, tidak melakukan hubungan usaha atau tidak melakukan transaksi; atau sebaiknya memutuskan hubungan usaha; dan mempertimbangkan untuk membuat laporan transaksi yang mencurigakan atas nasabah.

Persyaratan ini harus berlaku terhadap semua nasabah baru, akan tetapi, lembaga keuangan juga harus memberlakukan Rekomendasi ini terhadap nasabah yang telah ada atas dasar materialitas dan risiko, dan harus melakukan pemeriksaan atas hubungan usaha yang ada pada saat diperlukan.

6.* Terhadap pihak-pihak yang dieksploitasi secara politik, lembaga keuangan dalam hal melakukan tindakan pemeriksaan normal harus:a) memiliki sistem manajemen yang tepat untuk menentukan apakah nasabah

adalah orang yang dieksploitasi secara politik.b) mendapatkan persetujuan manajemen senior dalam membuka hubungan usaha

dengan nasabah tersebut.c) mengambil tindakan yang beralasan untuk mendapatkan sumber kekayaan dan

sumber dana.d) melakukan monitoring terus-menerus secara seksama atas hubungan usaha.

7. Terhadap bank koresponden lintas batas Negara dan hubungan-hubungan usaha sejenis lainnya, lembaga keuangan dalam hal melakukan tindakan pemeriksaan normal harus:a) mengumpulkan informasi memadai tentang lembaga koresponden untuk

memahami secara menyeluruh sifat usaha lembaga koresponden dan untuk menentukan reputasi lembaga serta kualitas pengawasannya dari informasi umum yang tersedia, termasuk apakah lembaga dibebankan investigasi pencucian uang atau pendanaan teroris atau diatur dalam undang-undang.

b) menilai pengawasan atas anti pencucian uang dan pendanaan teroris terhadap lembaga koresponden.

c) mendapatkan persetujuan dari manajemen senior sebelum membuka hubungan usaha dengan koresponden baru.

d) mendokumentasi pertanggungjawaban masing-masing lembaga.e) berkaitan dengan “payable-through account”, meyakini bahwa bank

koresponden telah memeriksa identitas dan melakukan pemeriksaan terus-menerus atas nasabah yang memiliki akses langsung dengan rekening koresponden dan dapat menyediakan data identifikasi nasabah terkait atas dasar permintaan kepada bank koresponden.

8. Lembaga keuangan harus memberi perhatian khusus atas setiap ancaman pencucian uang yang mungkin terjadi dari teknologi baru atau teknologi berkembang yang memungkinkan timbulnya hubungan usaha anonim, dan jika perlu mengambil tindakan untuk mencegah digunakan dalam skema pencucian uang.

Secara khusus, lembaga keuangan harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk mengatasi setiap risiko tertentu akibat hubungan usaha atau transaksi tanpa tatap muka.

9.* Countries may permit financial institutions to rely on intermediaries or other third parties to perform elements (a) – (c) of the CDD process or to introduce business, provided that the criteria set out below are met. Where such reliance is permitted, the ultimate responsibility for customer identification and verification remains with the financial institution relying on the third party.

The criteria that should be met are as follows:a) A financial institution relying upon a third party should immediately obtain

the necessary information concerning elements (a) – (c) of the CDD process. Financial institutions should take adequate steps to satisfy themselves that copies of identification data and other relevant documentation relating to the CDD requirements will be made available from the third party upon request without delay.

b) The financial institution should satisfy itself that the third party is regulated and supervised for, and has measures in place to comply with CDD requirements in line with Recommendations 5 and 10.It is left to each country to determine in which countries the third party that meets the conditions can be based, having regard to information available on countries that do not or do not adequately apply the FATF Recommendations.

10.* Financial institutions should maintain, for at least five years, all necessary records on transactions, both domestic or international, to enable them to comply swiftly with information requests from the competent authorities. Such records must be sufficient to permit reconstruction of individual transactions (including the amounts and types of currency involved if any) so as to provide, if necessary, evidence for prosecution of criminal activity.

Financial institutions should keep records on the identification data obtained through the customer due diligence process (e.g. copies or records of official identification documents like passports, identity cards, driving licenses or similar documents), account files and business correspondence for at least five years after the business relationship is ended.

The identification data and transaction records should be available to domestic competent authorities upon appropriate authority.

11.* Financial institutions should pay special attention to all complex, unusual large transactions, and all unusual patterns of transactions, which have no apparent economic or visible lawful purpose. The background and purpose of such transactions should, as far as possible, be examined, the findings established in writing, and be available to help competent authorities and auditors.

12.* The customer due diligence and record-keeping requirements set out in Recommendations 5, 6, and 8 to 11 apply to designated non-financial businesses and professions in the following situations:

a) Casinos – when customers engage in financial transactions equal to or above the applicable designated threshold.

b) Real estate agents - when they are involved in transactions for their client concerning the buying and selling of real estate.

c) Dealers in precious metals and dealers in precious stones - when they engage in any cash transaction with a customer equal to or above the applicable designated threshold.

d) Lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants when they prepare for or carry out transactions for their client concerning the following activities:

9.* Negara-negara dapat mengijinkan lembaga keuangan untuk menguasakan

perusahaaan perantara atau pihak ketiga lainnya dalam melaksanakan ayat (a) – (c) atas proses pemeriksaan terhadap nasabah atau menciptakan usaha semacam ini, sepanjang criteria yang ditentukan berikut terpenuhi. Jika kuasa tersebut dibolehkan, tanggung jawab mutlak atas identifikasi dan verifikasi nasabah tetap pada lembaga keuangan dengan dikuasakan kepada pihak ketiga.

Kriteria yang harus dipenuhi adalah:a) Suatu lembaga keuangan yang menguasakan pihak ketiga harus segera

mendapatkan informasi penting tentang unsur-unsur (a) – (c) proses pemeriksaan terhadap nasabah. Lembaga keuangan harus mengambil langkah-langkah memadai untuk memenuhi persyaratan akan tersedianya salinan data identifikasi dan dokumen terkait lainnya dalam rangka pemeriksaan terhadap nasabah dari pihak ketiga berdasarkan permintaan tanpa penundaan.

b) Lembaga keuangan harus memenuhi persyaratan bahwa pihak ketiga diatur dan diawasi, dan melakukan tindakan untuk mematuhi syarat-syarat pemeriksaan terhadap nasabah sesuai dengan Rekomendasi 5 dan 10. Setiap negara diberikan kebebasan untuk menentukan di negara mana pihak ketiga yang memenuhi persyaratan berlokasi, berdasarkan ketersediaan informasi tentang negara-negara yang tidak memberlakukan atau memberlakukan secara tidak memadai Rekomendasi FATF.

10.* Lembaga keuangan harus menyimpan, setidaknya selama lima tahun, semua data transaksi penting baik domestik maupun internasional, untuk menjadikan mereka dengan cepat memenuhi permintaan akan informasi dari pihak berwenang. Data tersebut harus memadai dalam rangka rekonstruksi transaksitransaksi individu (termasuk jumlah dan jenis mata uang yang digunakan jika ada) untuk disediakan, jika perlu, bukti untuk penuntutan aktivitas pidana.

Lembaga keuangan harus menyimpan data tentang data identifikasi yang diperoleh melalui proses pemeriksaan nasabah (misalnya salinan atau data tentang dokumen identifikasi resmi seperti paspor, kartu identitas, surat ijin mengemudi atau dokumen sejenis), data rekening serta koreponden usaha untuk setidaknya selama lima tahun setelah hubungan usaha berakhir.

Data identifikasi dan data transaksi harus tersedia bagi pihak berwenang berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.

11.* Lembaga keuangan harus memberikan perhatian khusus atas semua transaksi yang kompleks, tidak biasa dalam jumlah besar, dan semua pola transaksi tidak biasa,

yang tidak memiliki alasan ekonomis yang jelas atau tidak ada tujuan yang sah. Latar belakang dan tujuan transaksi tersebut harus, sejauh mungkin diperiksa, temuan-temuan yang didapat dibuat tertulis, dan tersedia untuk membantu pihak berwenang dan auditor.

12.* Syarat pemeriksaan terhadap nasabah dan penyimpanan data yang diatur dalam Rekomendasi 5, 6, dan 8 sampai 11 berlaku atas lembaga non-keuangan dan profesi yang ditentukan berikut ini:a) Perjudian – jika konsumen melakukan transaksi keuangan dalam jumlah yang

sama dengan atau diatas jumlah yang ditentukan.b) Agen real estate – jika mereka terlibat dalam transaksi untuk kliennya dalam

hal jual beli real estate.c) Penjual barang-barang berharga dan perhiasan – jika mereka melakukan

transaksi secara tunai dengan konsumen dalam jumlah yang sama dengan atau diatas jumlah yang ditentukan.

d) Pengacara, notaris, profesi hukum mandiri lainnya dan akuntan jika mereka mempersiapkan atau melakukan transaksi untuk kliennya tentang kegiatan-kegiatan berikut ini:

• buying and selling of real estate;• managing of client money, securities or other assets;• management of bank, savings or securities accounts;• organization of contributions for the creation, operation or management of

companies;• creation, operation or management of legal persons or arrangements, and

buying and selling of business entities.e)Trust and company service providers when they prepare for or carry out

transactions for a client concerning the activities listed in the definition in the Glossary.

Reporting of suspicious transactions and compliance13.* If a financial institution suspects or has reasonable grounds to suspect that funds

are the proceeds of a criminal activity, or are related to terrorist financing, it should be required, directly by law or regulation, to report promptly its suspicions to the financial intelligence unit (FIU).

14.* Financial institutions, their directors, officers and employees should be:a) Protected by legal provisions from criminal and civil liability for breach of any

restriction on disclosure of information imposed by contract or by any legislative, regulatory or administrative provision, if they report their suspicions in good faith to the FIU, even if they did not know precisely what the underlying criminal activity was, and regardless of whether illegal activity actually occurred.

b) Prohibited by law from disclosing the fact that a suspicious transaction report (STR) or related information is being reported to the FIU.

15.* Financial institutions should develop programmes against money laundering and terrorist financing. These programmes should include:a) The development of internal policies, procedures and controls, including

appropriate compliance management arrangements, and adequate screening procedures to ensure high standards when hiring employees.

b) An ongoing employee training programme.

c) An audit function to test the system.16.* The requirements set out in Recommendations 13 to 15, and 21 apply to all

designated nonfinancial businesses and professions, subject to the following qualifications:a) Lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants

should be required to report suspicious transactions when, on behalf of or for a client, they engage in a financial transaction in relation to the activities described in Recommendation 12(d). Countries are strongly encouraged to extend the reporting requirement to the rest of the professional activities of accountants, including auditing.

b) Dealers in precious metals and dealers in precious stones should be required to report suspicious transactions when they engage in any cash transaction with a customer equal to or above the applicable designated threshold.

c) Trust and company service providers should be required to report suspicious transactions for a client when, on behalf of or for a client, they engage in a transaction in relation to the activities referred to Recommendation 12(e). Lawyers, notaries, other independent legal professionals, and accountants acting as independent legal professionals, are not required to report their suspicions if the relevant information was obtained in circumstances where they are subject to professional secrecy or legal professional privilege.

• jual beli real estate;• mengelola uang, saham atau asset lainnya milik klien;• manajemen bank, tabungan atau saham;• organisasi kontribusi untuk pendirian, operasional atau manajemen

perusahaan;• pendirian, operasional atau manajemen legal person atau legal

arrangement dan jual beli badan usaha.

e) Wali amanat dan penyedia jasa perusahaan jika mereka menyiapkan atau melakukan transaksi untuk seorang klien tentang kegiatan yang terdaftar dalam definisi di Daftar Istilah.

Pelaporan transaksi yang mencurigakan dan kepatuhan13.* Jika suatu lembaga keuangan menduga atau memiliki alasan kuat untuk menduga

bahwa dana merupakan kekayaan hasil tindak pidana, atau terkait dengan pendanaan teroris, maka diwajibkan, berdasarkan peraturan perundangundangan, melaporkan langsung dugaandugaan tersebut kepada financial intelligence unit (FIU).

14.* Lembaga keuangan, direktur, pejabat dan karyawannya harus:a) dilindungi oleh ketentuan undang-undang dari tuntutan pidana dan perdata

karena melanggar ketentuan membocorkan informasi yang terdapat dalam kontrak, atau peraturan, perundang-undangan atau ketentuan administrasi, jika mereka melaporkan dugaan-dugaan dengan itikad baik kepada FIU, bahkan jika mereka tidak tahu persis tindak pidana apa yang dilakukan, dan tanpa menghiraukan apakah kegiatan haram benar-benar terjadi.

b) dilarang menurut undang-undang membocorkan bahwa laporan transaksi yang mencurigakan (STR) atau informasi terkait sedang dilaporkan kepada FIU.

15.* Lembaga keuangan harus mengembangkan program tentang pencucian uang dan pendanaan teroris. Program ini harus meliputi:a) pengembangan kebijakan, prosedur dan pengawasan internal, termasuk

pengaturan manajemen kepatuhan yang tepat, dan prosedur screening yang memadai guna menjamin standar yang tinggi dalam merekruit karyawan.

b) program pelatihan untuk karyawan yang ada.c) ungsi audit untuk menguji sistem.

16.* Syarat-syarat yang diatur dalam Rekomendasi 13 sampai 15, dan 21 berlaku terhadap semua lembaga non keuangan dan profesi, tunduk pada kualifikasi berikut ini:a) Pengacara, notaris, profesi hukum lainnya dan akuntan diwajibkan untuk

melaporkan transaksi yang mencurigakan jika, atas nama atau untuk klien, mereka melakukan suatu transaksi keuangan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang diatur dalam Rekomendasi 12(d). Negara-negara sangat dianjurkan untuk memperluas persyaratan pelaporan kepada seluruh aktivitas professional daripada akuntan, termasuk auditing.

b) Pedagang barang-barang berharga dan perhiasan diwajibkan untuk melaporkan transaksi-transaksi yang mencurigakan ketika mereka melakukan transaksi tunai dengan konsumen dalam jumlah yang sama dengan atau diatas jumlah yang ditentukan.

c) Wali amanat dan penyedia jasa perusahaan diwajibkan untuk melaporkan transaksitransaksi yang mencurigakan untuk klien jika, atas nama atau untuk klien, mereka melakukan transaksi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dimaksud dalam Rekomendasi 12(e). Pengacara, notaris, professional hukum mandiri lainnya, dan akuntan yang bertindak sebagai profesi hukum mandiri, tidak diwajibkan untuk melaporkan dugaan-dugaan jika informasi terkait didapat karena menjalankan kerahasiaan profesi atau hak istimewa profesi hukum.

Other measures to deter money laundering and terrorist financing17. Countries should ensure that effective, proportionate and dissuasive sanctions,

whether criminal, civil or administrative, are available to deal with natural or legal persons covered by these Recommendations that fail to comply with anti-money laundering or terrorist financing requirements.

18. Countries should not approve the establishment or accept the continued operation of shell banks. Financial institutions should refuse to enter into, or continue, a correspondent banking relationship with shell banks. Financial institutions should also guard against establishing relations with respondent foreign financial institutions that permit their accounts to be used by shell banks.

19. Countries should consider the feasibility and utility of a system where banks and other financial institutions and intermediaries would report all domestic and international currency transactions above a fixed amount, to a national central agency with a computerized data base, available to competent authorities for use in money laundering or terrorist financing cases, subject to strict safeguards to ensure proper use of the information.

20. Countries should consider applying the FATF Recommendations to businesses and professions, other than designated non-financial businesses and professions, that pose a money laundering or terrorist financing risk. Countries should further encourage the development of modern and secure techniques of money management that are less vulnerable to money laundering.

Measures to be taken with respect to countries that do not or insufficiently comply with the FATF Recommendations21. Financial institutions should give special attention to business relationships and

transactions with persons, including companies and financial institutions, from countries which do not or insufficiently apply the FATF Recommendations. Whenever these transactions have no apparent economic or visible lawful purpose, their background and purpose should, as far as possible, be examined, the findings established in writing, and be available to help competent authorities.Where such a country continues not to apply or insufficiently applies the FATF Recommendations, countries should be able to apply appropriate countermeasures.

22. Financial institutions should ensure that the principles applicable to financial institutions, which are mentioned above are also applied to branches and majority owned subsidiaries located abroad, especially in countries which do not or insufficiently apply the FATF Recommendations, to the extent that local applicable laws and regulations permit. When local applicable laws and regulations prohibit this implementation, competent authorities in the country of the parent institution should be informed by the financial institutions that they cannot apply the FATF Recommendations.

Regulation and supervision23.* Countries should ensure that financial institutions are subject to adequate

regulation and supervision and are effectively implementing the FATF Recommendations.Competent authorities should take the necessary legal or regulatory measures to prevent criminals or their associates from holding or being the beneficial owner of a significant or controlling interest or holding a management function in a financial institution.

Tindakan lain dalam mendeteksi pencucian uang dan pendanaan teroris17. Negara-negara harus menjamin tersedianya sanksi yang efektif, proporsional dan

dissuasive, baik pidana, perdata maupun administratif untuk dibebankan kepada legal person sebagaimana diatur dalam Rekomendasi ini yang gagal memenuhi persyaratan anti pencucian uang atau pendanaan teroris.

18. Negara-negara seharusnya tidak menyetujui pendirian atau menerima kegiatan bank-bank rekayasa. Lembaga keuangan harus menolak untuk melakukan kerjasama, atau melanjutkan hubungan perbankan koresponden dengan bank-bank rekayasa. Lembaga keuangan juga harus menjaga pembukaan hubungan dengan lembaga keuangan asing responden yang membolehkan rekening-rekeningnya digunakan oleh bank-bank rekayasa.

19. Negara-negara harus mempertimbangkan kelayakan dan pemanfaatan sistem dimana bank-bank dan lembaga keuangan lain dan perusahaan perantara dapat melaporkan semua transaksi mata uang domestik dan internasional diatas jumlah yang ditentukan kepada badan pusat nasional dengan suatu database berbasis komputer, tersedia bagi pihak berwenang untuk digunakan dalam kasus pencucian uang dan pendanaan teroris, tunduk pada perlindungan yang ketat untuk menjamin penggunaan informasi secara benar.

20. Negara-negara harus mempertimbangkan memberlakukan Rekomendasi FATF terhadap pelaku usaha dan profesi selain lembaga non keuangan dan profesi yang ditentukan, yang memiliki risiko pencucian uang atau pendanaan teroris.Negara-negara harus mendukung lebih jauh perkembangan teknik-teknik manajemen uang yang modern dan aman yang kurang rentan atas pencucian uang.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Negara-negara yang tidak memenuhi atau secara tidak memadai memenuhi Rekomendasi FATF

21. Lembaga keuangan harus memberi perhatian khusus atas hubungan usaha dan transaksi dengan orang perorangan, termasuk perusahaan dan lembaga keuangan, dari negara-negara yang tidak mematuhi atau secara tidak memadai mematuhi Rekomendasi FATF. Kapanpun transaksi tersebut tidak memiliki alasan ekonomis atau hukum yang jelas, latar belakang dan tujuannya harus sebisa mungkin diperiksa, temuan-temuan dibuat secara tertulis, dan tersedia untuk membantu pihak berwenang. Jika Negara tersebut tetap tidak mematuhi atau secara tidak memadai mematuhi Rekomendasi FATF, negara-negara harus dapat memberlakukan sanksi.

22. Lembaga keuangan harus menjamin bahwa prinsip-prinsip yang berlaku bagi lembaga keuangan, yang disebutkan diatas juga berlaku terhadap kantor-kantor cabang dan kantorkantor cabang tambahan mayoritas yang berlokasi di luar negeri, terutama di Negara-negara yang tidak mematuhi atau tidak memadai menerapkan Rekomendasi FATF, dengan catatan hal ini dibolehkan menurut peraturan dan perundangan-undangan setempat. Jika peraturan dan perundang-undangan setempat melarang pelaksanaan ketentuan ini, pihak berwenang di Negara dimana perusahaan induk berada harus diberitahukan oleh lembaga keuangan bahwa mereka tidak tunduk pada Rekomendasi FATF.

Regulasi dan pengawasan23.* Negara-negara harus menjamin bahwa lembaga keuangan tunduk pada regulasi

dan pengawasan yang memadai dan menerapkan Rekomendasi FATF secara efektif.Pihak berwenang harus mengambil tindakan berupa membuat peraturan guna mencegah pelaku kejahatan atau pihak-pihak yang membantunya memegang jabatan atau menjadi pihak penerima dengan kekuasaan yang luas atau memegang fungsi manajerial dalam suatu lembaga keuangan.

For financial institutions subject to the Core Principles, the regulatory and supervisory measures that apply for prudential purposes and which are also relevant to money laundering, should apply in a similar manner for anti-money laundering and terrorist financing purposes.Other financial institutions should be licensed or registered and appropriately regulated, and subject to supervision or oversight for antimony laundering purposes, having regard to the risk of money laundering or terrorist financing in that sector. At a minimum, businesses providing a service of money or value transfer, or of money or currency changing should be licensed or registered, and subject to effective systems for monitoring and ensuring compliance with national requirements to combat money laundering and terrorist financing.

24. Designated non-financial businesses and professions should be subject to regulatory and supervisory measures as set out below.a) Casinos should be subject to a comprehensive regulatory and supervisory

regime that ensures that they have effectively implemented the necessary antimony laundering and terrorist-financing measures. At a minimum:• casinos should be licensed;• competent authorities should take the necessary legal or regulatory

measures to prevent criminals or their associates from holding or being the beneficial owner of a significant or controlling interest, holding a management function in, or being an operator of a casino.

• competent authorities should ensure that casinos are effectively supervised for compliance with requirements to combat money laundering and terrorist financing.

b) Countries should ensure that the other categories of designated non-financial businesses and professions are subject to effective systems for monitoring and ensuring their compliance with requirements to combat money laundering and terrorist financing.This should be performed on a risk-sensitive basis. This may be performed by a government authority or by an appropriate selfregulatory organization, provided that such an organization can ensure that its members comply with their obligations to combat money laundering and terrorist financing.

25.* The competent authorities should establish guidelines, and provide feedback which will assist financial institutions and designated nonfinancial businesses and professions in applying national measures to combat money laundering and terrorist financing, and in particular, in detecting and reporting suspicious transactions.

C. INSTITUTIONAL AND OTHER MEASURES NECESSARY IN SYSTEMS FOR COMBATING MONEY LAUNDERING AND TERRORIST FINANCING

Competent authorities, their powers and resources26.* Countries should establish a FIU that serves as a national centre for the receiving

(and, as permitted, requesting), analysis and dissemination of STR and other information regarding potential money laundering or terrorist financing. The FIU should have access, directly or indirectly, on a timely basis to the financial, administrative and law enforcement information that it requires to properly undertake its functions, including the analysis of STR.Untuk lembaga keuangan yang tunduk pada Prinsip-prinsip Dasar, tindakan pembuatan peraturan dan pengawasan yang berlaku untuk tujuan kehati-hatian dan yang juga terkait dengan pencucian uang, harus berlaku dengan cara-cara yang sama untuk tujuan anti pencucian uang dan pendanaan teroris.Lembaga keuangan lainnya harus memiliki ijin atau terdaftar dan diatur dengan baik, serta tunduk pada pengawasan untuk tujuan anti pencucian uang, guna mengantisipasi risiko pencucian uang atau pendanaan teroris in sektor tersebut. Setidaknya, pelaku usaha yang menyediakan jasa transfer uang atau dana, atau pertukaran uang atau mata uang harus memiliki ijin atau terdaftar dan tunduk pada sistem yang efektif untuk memonitor dan menjamin kepatuhan dengan peraturan nasional dalam rangka memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris.

24. Lembaga non-keuangan dan profesi yang ditentukan harus diatur dan diawasi sebagaimana ditentukan berikut ini.

a) Perjudian harus diberlakukan atas rejim regulasi dan pengawasan yang komprehensif untuk menjamin agar mereka telah melaksanakan tindakan anti pencucian uang dan pendanaan teroris.Setidaknya:• perjudian harus memiliki ijin;• pihak berwenang harus mengambil tindakan penting berupa membuat

peraturan untuk mencegah pelaku kejahatan dan para pembantunya memegang jabatan atau menjadi pihak penerima dengan kekuasaan yang luas, memegang fungsi manajerial di, atau menjadi operator suatu perjudian (kasino).

• pihak berwenang harus menjamin agar perjudian secara efektif diawasi atas kepatuhannya terhadap persyaratan/ketentuan untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris.

b) Negara-negara harus menjamin agar jenis lembaga non-keuangan dan profesi lainnya yang ditentukan tunduk pada sistem yang efektif untuk memonitor dan menjamin kepatuhannya terhadap persyaratan/ketentuan untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris.Hal ini harus dilakukan berdasarkan sensitivitas risiko. Hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah atau oleh organisasi selfregulatory yang tepat, mengingat organisasi semacam ini dapat menjamin agar para anggotanya mematuhi kewajiban-kewajibannya untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris.

25.* Pihak berwenang harus membuat petunjuk, dan memberikan umpan balik yang akan membantu lembaga keuangan dan lembaga non-keuangan dan profesi yang ditentukan dalam melakukan upaya-upaya nasional memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris, dan khususnya dalam mendeteksi dan melaporkan transaksi yang mencurigakan.

C. TINDAKAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN PENTING LAIN DALAM SISTEM PEMBERANTASAN PENCUCIAN UANG DAN PENDANAAN TERORIS

Pihak berwenang, wewenang dan sumber26.* Negara-negara harus mendirikan FIU sebagai suatu lembaga nasional yang

menerima (dan, jika diijinkan, meminta), menganalisis dan mendistribusi STR dan informasi lainnya tentang pencucian uang dan pendanaan teroris yang berpotensi. FIU harus memiliki akses baik langsung maupun tidak, atas dasar tepat waktu, terhadap informasi keuangan, administrasi dan penegakan hukum yang diperlukan dalam rangka menjalankan fungsifungsinya termasuk menganalisis STR.

27.* Countries should ensure that designated law enforcement authorities have

responsibility for money laundering and terrorist financing investigations. Countries are encouraged to support and develop, as far as possible, special investigative techniques suitable for the investigation of money laundering, such as controlled delivery, undercover operations and other relevant techniques. Countries are also encouraged to use other effective mechanisms such as the use of permanent or temporary groups specialized in asset investigation, and co-operative investigations with appropriate competent authorities in other countries.

28. When conducting investigations of money laundering and underlying predicate offences, competent authorities should be able to obtain documents and information for use in those investigations, and in prosecutions and related actions. This should include powers to use compulsory measures for the production of records held by financial institutions and other persons, for the search of persons and premises, and for the seizure and obtaining of evidence.

29. Supervisors should have adequate powers to monitor and ensure compliance by financial institutions with requirements to combat money laundering and terrorist financing, including the authority to conduct inspections. They should be authorized to compel production of any information from financial institutions that is relevant to monitoring such compliance, and to impose adequate administrative sanctions for failure to comply with such requirements.

30. Countries should provide their competent authorities involved in combating money laundering and terrorist financing with adequate financial, human and technical resources.Countries should have in place processes to ensure that the staff of those authorities are of high integrity.

31. Countries should ensure that policy makers, the FIU, law enforcement and supervisors have effective mechanisms in place which enable them to co-operate, and where appropriate coordinate domestically with each other concerning the development and implementation of policies and activities to combat money laundering and terrorist financing.

32. Countries should ensure that their competent authorities can review the effectiveness of their systems to combat money laundering and terrorist financing systems by maintaining comprehensive statistics on matters relevant to the effectiveness and efficiency of such systems.This should include statistics on the STR received and disseminated; on money laundering and terrorist financing investigations, prosecutions and convictions; on property frozen, seized and confiscated; and on mutual legal assistance or other international requests for co-operation.

Transparency of legal persons and arrangements33. Countries should take measures to prevent the unlawful use of legal persons by

money launderers.Countries should ensure that there is adequate, accurate and timely information on the beneficial ownership and control of legal persons that can be obtained or accessed in a timely fashion by competent authorities. In particular, countries that have legal persons that are able to issue bearer shares should take appropriate measures to ensure that they are not misused for money laundering and be able to demonstrate the adequacy of those measures.Countries could consider measures to facilitate access to beneficial ownership and control information to financial institutions undertaking the requirements set out in Recommendation5.

34. Countries should take measures to prevent the unlawful use of legal arrangements by money launderers. In particular, countries should ensure that

there is adequate, accurate and timely information on express trusts, including information on the settlor, trustee and beneficiaries, that can be obtained or accessed in a timely fashion by competent authorities.

27.* Negara-negara harus menjamin bahwa penegak hukum yang berwenang memiliki tanggung jawab atas investigasi pencucian uang dan pendanaan teroris. Negara-negara dianjurkan agar mendukung dan mengembangkan, selama dimungkinkan, teknik-teknik investigasi khusus yang sesuai dengan investigasi pencucian uang, misalnya controlled delivery, kegiatan penyamaran dan teknik-teknik lainnya. Negara-negara juga dianjurkan agar menggunakan mekanisme yang efektif lainnya misalnya penggunaan kelompok-kelompok khusus permanen dan temporer dalam investigasi aset, dan investigasi gabungan dengan pihak berwenang di negara-negara lain.

28. Ketika menginvestigasi pencucian uang dan tindak pidana asalnya, pihak berwenang harus dapat memperoleh dokumen dan informasi untuk digunakan dalam investigasi tersebut, dan dalam penuntutan serta tindakan terkait.Hal ini termasuk wewenang untuk menggunakan upaya-upaya yang diwajibkan dalam memproduksi data oleh lembaga keuangan dan perorangan lainnya, guna menggeledah seseorang dan gedung, dan untuk menyita serta mendapatkan bukti.

29. Pengawas harus memiliki wewenang yang memadai untuk memonitor dan menjamin kepatuhan lembaga keuangan terhadap persyaratan/ ketentuan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris, termasuk wewenang melakukan inspeksi.Pengawas harus diberi wewenang untuk mendapatkan setiap informasi secara paksa dari lembaga keuangan dimaha hal ini terkait dengan monitoring terhadap kepatuhan tersebut, dan untuk membebankan sanksi administratif bila tidak patuh terhadap persyaratan/ketentuan tersebut.

30. Negara-negara harus menyediakan sumber finansial, SDM dan teknis yang memadai kepada pihak berwenang terkait dalam pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris.Negara-negara harus memiliki proses yang menjamin bahwa staf pihak berwenang tersebut memiliki integritas tinggi.

31. Negara-negara harus menjamin bahwa pembuat kebijakan, FIU, penegak hukum dan pengawas memiliki mekanisme yang efektif yang membolehkan mereka bekerjasama, dan jika dimungkinkan koordinasi secara domesik antara satu dengan yang lainnya dalam hal pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan aktivitas untuk memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris.

32. Negara-negara harus menjamin bahwa pihak berwenang dapat mereview efektivitas system pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris yang dimilikinya dengan mempertahankan statistik komprehensif tentang hal-hal yang terkait dengan efektivitas dan efisiensi sistem tersebut. Hal ini harus termasuk statistik tentang STR yang diterima dan didistribusikan; investigasi, penuntutan dan pemidanaan pencucian uang dan pendanaan teroris;

pemblokiran, penyitaan dan perampasan harta kekayaan; dan bantuan timbal balik atau permintaan untuk bekerjasama internasional lainnya.

Transparency of legal persons and arrangements

33. Negara-negara harus mengambil tindakan untuk mencegah penggunaan tidak sah atas legal person oleh pelaku pencucian uang. Negara-negara harus menjamin bahwa terdapat informasi yang memadai, akurat dan tepat waktu tentang pihak penerima dan pihak yang menguasai legal person yang dapat diperoleh atau diakses secepatnya oleh pihak berwenang.Secara khusus, negara-negara yang memiliki legal person yang dapat menerbitkan saham atas bawa harus mengambil tindakan tepat untuk menjamin agar mereka tidak disalahgunakan untuk pencucian uang dan dapat mendemonstrasikan kecukupan upayaupaya tersebut.

Countries could consider measures to facilitate access to beneficial ownership and control information to financial institutions undertaking the requirements set out in Recommendation 5.

D. INTERNATIONAL CO-OPERATION

35. Countries should take immediate steps to become party to and implement fully the Vienna Convention, the Palermo Convention, and the 1999 United Nations International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism. Countries are also encouraged to ratify and implement other relevant international conventions, such as the 1990 Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime and the 2002 Inter-American Convention against Terrorism.

Mutual legal assistance and extradition36. Countries should rapidly, constructively and effectively provide the widest

possible range of mutual legal assistance in relation to money laundering and terrorist financing investigations, prosecutions, and related proceedings. In particular, countries should:

a) Not prohibit or place unreasonable or unduly restrictive conditions on the provision of mutual legal assistance.

b) Ensure that they have clear and efficient processes for the execution of mutual legal assistance requests.

c) Not refuse to execute a request for mutual legal assistance on the sole ground that the offence is also considered to involve fiscal matters.

d) Not refuse to execute a request for mutual legal assistance on the grounds that laws require financial institutions to maintain secrecy or confidentiality.

Countries should ensure that the powers of their competent authorities required under Recommendation 28 are also available for use in response to requests for mutual legal assistance, and if consistent with their domestic framework, in response to direct requests from foreign judicial or law enforcement authorities to domestic counterparts.

To avoid conflicts of jurisdiction, consideration should be given to devising and applying mechanisms for determining the best venue for prosecution of defendants in the interests of justice in cases that are subject to prosecution in more than one country.

37. Countries should, to the greatest extent possible, render mutual legal assistance notwithstanding the absence of dual criminality. Where dual criminality is required for mutual legal assistance or extradition, that requirement should be deemed to be satisfied regardless of whether both countries place the offence within the same category of offence or denominate the offence by the same terminology, provided that both countries criminalize the conduct underlying the offence.Negara-negara bisa mempertimbangkan upaya-upaya untuk menfasilitasi akses tentang kepemilikan pihak penerima dan menguasai informasi dari lembaga keuangan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Rekomendasi 5.

34. Negara-negara harus mengambil tindakan untuk mencegah penggunaan tidak sah atas usaha-usaha sah oleh pelaku pencucian uang.Secara khusus, negara-negara harus menjamin tersedianya informasi yang memadai, akurat dan tepat waktu tentang wali amanat termasuk informasi tentang penyelesai, pihak yang menerima amanat dan pihak penerima yang dapat diperoleh atau diakses secepatnya oleh pihak berwenang.Negara-negara dapat mempertimbangkan upaya-upaya memfasilitasi akses atas kepemilihan penerima dan penguasaan informasi dari lembaga keuangan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Rekomendasi 5.

D. KERJASAMA INTERNASIONAL35. Negara-negara harus mengambil tindakan secepatnya untuk menjadi pihak dan

melaksanakan sepenuhinya ketentuan Konvensi Vienna, Konvensi Palermo dan Konvensi Internasional PBB tahun 1999 tentang the Suppression of the Financing of Terrorism.Negara-negara juga dianjurkan untuk meratifikasi konvensi-konvensi internasional terkait lainnya, misalnya Konvensi Council of Europe tahun 1990 tentang Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime dan the 2002 Inter-American Convention against Terrorism.

Bantuan Hukum Timbal Balik dan Ektradisi

36. Negara-negara harus secepatnya, secara konstruktif dan efektif memberikan peluang besar terciptanya bantuan hukum timbal balik berkaitan dengan investigasi, penuntutan dan persidangan pencucian uang dan pendanaan teroris. Secara khusus, negara-negara seharusnya:a) tidak melarang atau tidak memberlakukan syarat-syarat yang tidak layak

atau sangat membatasi, ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik.b) menjamin bahwa mereka memiliki proses yang jelas dan efisien untuk

mengeksekusi permohonan bantuan hukum timbal balik.c) tidak menolak untuk mengeksekusi suatu permohonan bantuan hukum

timbal balik yang hanya didasarkan bahwa tindak pidana juga dipertimbangkan berkaitan dengan masalah-masalah fiskal.

d) tidak menolak untuk mengeksekusi suatu permohonan bantuan hukum timbal balik atas dasar bahwa undang-undang mewajibkan lembaga keuangan menjaga kerahasiaan.

Negara-negara harus menjamin bahwa kewenangan pihak berwenang yang diwajibkan menurut Rekomendasi 28 juga tersedia guna mengajukan permohonan bantuan timbal balik, dan jika konsisden dengan peraturan setempat, merespon permohonan-permohonan langsung dari pengadilan di luar negeri atau penegak hukum berwenang untuk disampaikan kepada lembaga domestik.

Guna menghindari konflik antar negara, perlu dibuat perencanaan dan menerapkan mekanisme penentuan nilai-nilai terbaik dalam proses penuntutan terhadap terdakwa demi kepentingan keadilan atas kasus-kasus yang tunduk pada penuntutan di lebih dari satu negara.

37. Sedapat mungkin, negara-negara harus menyediakan bantuan hukum timbal balik meskipun tidak terdapat kriminalitas ganda (dual criminality). Jika kriminalitas ganda diwajibkan untuk bantuan hukum timbal balik atau ektradisi, persyaratan tersebut harus dipenuhi tanpa memperhatikan apakah kedua negara menetapkan tindak pidana ke dalam kategori tindak pidana yang sama atau menggabungkan tindak pidana melalui terminologi yang sama, mengingat bahwa kedua negara mengkriminalisasi tindakan sebagai tindak pidana.

38.* There should be authority to take expeditious action in response to requests by foreign countries to identify, freeze, seize and confiscate property laundered, proceeds from money laundering or predicate offences, instrumentalities used in or intended for use in the commission of these offences, or property of corresponding value. There should also be arrangements for coordinating seizure and confiscation proceedings, which may include the sharing of confiscated assets.

39. Countries should recognize money laundering as an extraditable offence. Each country should either extradite its own nationals, or where a country does not do so solely on the grounds of nationality, that country should, at the request of the country seeking extradition, submit the case without undue delay to its competent authorities for the purpose of prosecution of the offences set forth in the request. Those authorities should take their decision and conduct their proceedings in the same manner as in the case of any other offence of a serious nature under the domestic law of that country. The countries concerned should cooperate with each other, in particular on procedural and evidentiary aspects, to ensure the efficiency of such prosecutions.

Subject to their legal frameworks, countries may consider simplifying extradition by allowing direct transmission of extradition requests between appropriate ministries, extraditing persons based only on warrants of arrests or judgments, and/or introducing a simplified extradition of consenting persons who waive formal extradition proceedings.

Other forms of co-operation

40.* Countries should ensure that their competent authorities provide the widest possible range of international co-operation to their foreign counterparts. There should be clear and effective gateways to facilitate the prompt and constructive exchange directly between counterparts, either spontaneously or upon request, of information relating to both money laundering and the underlying predicate offences. Exchanges should be permitted without unduly restrictive conditions. In particular:a) Competent authorities should not refuse a request for assistance on the sole

ground that the request is also considered to involve fiscal matters.b) Countries should not invoke laws that require financial institutions to

maintain secrecy or confidentiality as a ground for refusing to provide co-operation.

c) Competent authorities should be able to conduct inquiries; and where possible, investigations; on behalf of foreign counterparts.

Where the ability to obtain information sought by a foreign competent authority is not within the mandate of its counterpart, countries are also encouraged to permit a prompt and constructive exchange of information with noncounterparts.Co-operation with foreign authorities other than counterparts could occur directly or indirectly. When uncertain about the appropriate avenue to follow, competent authorities should first contact their foreign counterparts for assistance.Countries should establish controls and safeguards to ensure that information exchanged by competent authorities is used only in an authorized manner, consistent with their obligations concerning privacy and data protection.

38.* Diperlukan wewenang untuk mengambil tindakan cepat guna merespon permohonan yang diajukan oleh negara-negara asing untuk mengidentifikasi, memblokir, menyita dan merampas harta kekayaan yang dicuci, kekayaan hasil tindak pidana atau tindak pidana asal, benda-benda yang digunakan dalam atau dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana, atau harta kekayaan ikutan. Perlu juga adanya pengaturan-pengaturan untuk mengkoordinasi proses penyitaan dan perampasan yang dapat meliputi pembagian asset hasil sitaan.

39. Negara-negara harus memperlakukan pencucian uang sebagai suatu tindak pidana yang dapat diekstradisi. Setiap Negara sebaiknya mengektradisi warga negaranya sendiri, atau jika suatu negara tidak menerapkan demikian dengan hanya alasan kewarganegaraan, maka melalui permohonan ektradisi, negara tersebut sebaiknya mengirimkan perkara tanpa perlu penundaan kepada pihak berwenangnya untuk tujuan penuntutan tindak pidana yang dimaksud dalam permohonan. Pihak berwenang tersebut harus mengambil keputusan dan melaksanakan persidangannya dengan cara yang sama dalam penanganan suatu tindak pidana sebagai kejahatan serius menurut perundang-undangan negara tersebut. Negara-negara tersebut harus bekerjasama satu sama lain, terutama dalam aspek hukum acara dan pembuktian, guna menjamin efisiensi penuntutannya.

Dengan tunduk pada perundangundangannya, negara-negara dapat mempertimbangkan menyederhanakan ekstradisi dengan mengijinkan pengiriman pemohonan ekstradisi langsung antara menteri yang berwenang, mengekstradisi orang hanya berdasarkan surat penangkapan atau putusan hakim, dan/atau melakukan ekstradisi sederhana atas orang yang menyetujui siapa yang menyerahkan proses ekstradisi formal.

Bentuk-bentuk kerjasama lainnya

40.* Negara-negara harus menjamin bahwa pihak berwenang memberikan peluang besar terciptanya kerjasama internasional dengan negara-negara sahabatnya. Diperlukan terobosan yang jelas dan efektif untuk memfasilitasi pertukaran informasi berkaitan pencucian uang dan tindak pidana asal dengan cepat dan konstruktif langsung diantara negaranegara, baik secara spontanitas maupun atas dasar permohonan. Pertukaran harus diijinkan tanpa persyaratan-persyaratan yang membatasi. Secara khusus:a) Pihak berwenang seharusnya tidak menolak suatu permohonan bantuan

dengan hanya berdasarkan alasan bahwa permohonan juga dirasa berkaitan dengan masalah fiskal.

b) Negara-negara seharusnya tidak memberlaku-kan undang-undang yang mewajibkan lembaga keuangan menjaga kerahasiaan sebagai dasar untuk menolak melakukan kerjasama.

c) Pihak berwenang harus dapat mengajukan permohonan; dan jika memungkinkan, melakukan investigasi; atas nama negaranegara asing.

Jika wewenang mendapatkan informasi yang dicari pihak berwenang negara asing tidak termasuk wewenang counterpart-nya, negaranegara juga dianjurkan untuk mengijinkan pertukaran informasi yang cepat dan konstruktuf dengan non-counterpart. Kerjasama dengan pihak berwenang asing selain counterpart bisa dilakukan secara langsung maupun tidak. Jika tidak ada kepastian tentang tempat yang tepat untuk pelaksanaan, pihak berwenang harus pertama kali menghubungi counterpart asing atas bantuan.Negara-negara harus memiliki pengawasan dan perlindungan untuk menjamin bahwa informasi yang ditukar oleh pihak berwenang hanya digunakan dengan cara yang dibolehkan, konsisten dengan kewajiban-kewajibannya tentang perlindungan privasi dan data.

GLOSSARY

In these Recommendations the following abbreviations and references are used:“Beneficial owner” refers to the natural person(s) who ultimately owns or controls a

customer and/or the person on whose behalf a transaction is being conducted. It also incorporates those persons who exercise ultimate effective control over a legal person or arrangement.

“Core Principles” refers to the Core Principles for Effective Banking Supervision issued by the Basel Committee on Banking Supervision, the Objectives and Principles for Securities Regulation issued by the International Organization of Securities Commissions, and the Insurance Supervisory Principles issued by the International Association of Insurance Supervisors.

“Designated categories of offences” means:• participation in an organized criminal group and racketeering;• terrorism, including terrorist financing;• trafficking in human beings and migrant smuggling;• sexual exploitation, including sexual exploitation of children;• illicit trafficking in narcotic drugs and psychotropic substances;• illicit arms trafficking;• illicit trafficking in stolen and other goods;• corruption and bribery;• fraud;• counterfeiting currency;• counterfeiting and piracy of products;• environmental crime;• murder, grievous bodily injury;• kidnapping, illegal restraint and hostage-taking;• robbery or theft;• smuggling;• extortion;• forgery;• piracy; and• insider trading and market manipulation.

When deciding on the range of offences to be covered as predicate offences under each of the categories listed above, each country may decide, in accordance with its domestic law, how it will define those offences and the nature of any particular elements of those offences that make them serious offences.

“Designated non-financial businesses and professions” means:a) Casinos (which also includes internet casinos).b) Real estate agents.c) Dealers in precious metals.d) Dealers in precious stones.

DAFTAR ISTILAH

Berikut singkatan dan istilah yang digunakan dalam Rekomendasi ini:“Pihak Penerima” berarti orang perorangan yang jelas-jelas memiliki atau menguasai

seorang nasabah dan/atau orang yang atas namanya suatu transaksi sedang dilakukan. Berarti juga menggabungkan orang-orang tersebut yang melakukan penguasaan mutlak atas suatu perusahaan perseorangan (legal person) atau legal arrangement.

“Prinsip Dasar” berarti Prinsip Dasar Pengawasan Perbankan yang dikeluarkan oleh the Basel Committee on Banking Supervision, Tujuan dan Prinsip Regulasi Perusahaan Efek yang dikeluarkan oleh the International Organization of Securities Commissions, dan Prinsip-prinsip Pengawasan Asuransi yang dikeluarkan oleh the International Association of Insurance Supervisors.

“Kategori tindak pidana yang ditentukan” berarti:• berpartisipasi dalam suatu kelompok kejahatan dan pemerasan terorganisir;• terorisme, termasuk pendanaan teroris;

• perdagangan gelap manusia dan penyelundupan migran;• eksplitasi seksual termasuk eksploitasi seksual terhadap anak-anak;• perdagangan gelap narkotika dan psikolopika;• perdagangan gelam senjata api;• perdagangan gelap barang-barang curian dan lain-lain;• korupsi dan penyuapan;• penipuan;• pemalsuan mata uang;• pemalsuan dan pembajakan produk;• tindak pidana lingkungan hidup;• pembunuhan, penganiayaan;• penculikan, penahanan dan penyanderaan tidak sah;• perampokan atau pencurian;• penyelundupan;• pemerasan;• pemalsuan;• pembajakan; dan• perdagangan orang dalam dan manipulasi pasar.

Ketika memutuskan sejumlah tindak pidana sebagai tindak pidana asal berdasarkan masing-masing kategori diatas, setiap negara dapat memutuskan, sesuai dengan hukum nasionalnya masing-masing, bagaimana negara akan mendefinisikan tindak pidana tersebut dan sifat setiap unsur tertentu daripada tindak pidana tersebut yang menjadikannya sebagai tindak pidana serius.

“Lembaga non-keuangan dan profesi” berarti:a) perjudian (yang juga termasuk perjudian internet).b) Agen real estate.c) Penjual perhiasan.d) Penjual barang berharga.e) Lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants – this

refers to sole practitioners, partners or employed professionals within professional firms. It is not meant to refer to ‘internal’ professionals that are employees of other types of businesses, nor to professionals working for government agencies, who may already be subject to measures that would combat money laundering.

f) Trust and Company Service Providers refers to all persons or businesses that are not covered elsewhere under these Recommendations, and which as a business, provide any of the following services to third parties:• acting as a formation agent of legal persons;• acting as (or arranging for another person to act as) a director or secretary of a

company, a partner of a partnership, or a similar position in relation to other legal persons;

• providing a registered office; business address or accommodation, correspondence or administrative address for a company, a partnership or any other legal person or arrangement;

• acting as (or arranging for another person to act as) a trustee of an express trust;• acting as (or arranging for another person to act as) a nominee shareholder for

another person.“Designated threshold” refers to the amount set out in the Interpretative Notes.“Financial institutions” means any person or entity who conducts as a business one

or more of the following activities or operations for or on behalf of a customer:

1. Acceptance of deposits and other repayable funds from the public.52. Lending.63. Financial leasing.74. The transfer of money or value.85. Issuing and managing means of payment (e.g. credit and debit cards, cheques,

traveller’s cheques, money orders and bankers’ drafts, electronic money).6. Financial guarantees and commitments.7. Trading in:

(a) money market instruments (cheques, bills, CDs, derivatives etc.);(b) foreign exchange;(c) exchange, interest rate and index instruments;(d) transferable securities;(e) commodity futures trading.

8. Participation in securities issues and the provision of financial services related to such issues.

5 This also captures private banking.

6 This includes inter alia: consumer credit; mortgage credit; factoring, with or without recourse; and finance of commercial transactions (including

forfaiting).

7 This does not extend to financial leasing arrangements in relation to consumer products.

8 This applies to financial activity in both the formal or informal sector e.g. alternative remittance activity. See the Interpretative Note to Special

Recommendation VI. It does not apply to any natural or legal person that provides financial institutions solely with message or other support systems for

transmitting funds. See the Interpretative Note to Special Recommendation VII.

e) Pengacara, notaris, profesi hukum mandiri lainnya dan akuntan – mengacu pada

praktisi perorangan, rekan (partner) atau professional yang bekerja di perusahaan profesi. Hal ini bukan termasuk profesional ‘internal’ yang merupakan karyawan jenis usaha lainnya atau profesional yang bekerja di lembaga pemerintahan, yang mungkin sudah tunduk pada tindakan-tindakan memberantas pencucian uang.

f) Wali amanat dan Penyedia jasa Perusahaan berarti semua orang atau perusahaan yang tidak diatur di tempat lain berdasarkan Rekomendasi ini, dan yang sebagai perusahaan, menyediakan setiap jasa berikut ini:• bertindak sebagai agen formasi legal person;• bertindak sebagai (atau mengatur orang lain bertindak sebagai) seorang direktur

atau sekretaris perusahaan, rekanan perusahaan kemitaaan atau jabatan yang sejenis berkaitan dengan legal person lainnya;

• menyediakan kantor terdaftar; alamat atau akomodasi perusahaan, koresponden atau alamat administrasi untuk suatu perusahaan, perusahaan kemitraan atau legal person atau legal arrangement lainnya;

• bertindak sebagai (atau mengatur orang lain bertindak sebagai) wali sebuah perusahaan wali amanat;

• bertindak sebagai (atau mengatur orang lain bertindak sebagai) pemegang saham nominee untuk orang lain.

“Designated threshold” berarti jumlah tertentu yang ditetapkan dalam Catatan Interpretasi.“Lembaga keuangan” berarti setiap orang atau badan usaha yang melakukan satu kegiatan usaha atau lebih berikut ini untuk atau atas nama nasabah:1. Penerimaan setoran dan dana yang dapat dibayarkan kembali dari masyarakat.

2. Pemberian Kredit.3. Sewa Beli.4. Pengiriman uang atau barang berharga (value).5. Menerbitkan dan mengelola alat-alat pembayaran (misalnya kartu kredit, kartu

debit, cek, traveller’s cheque, money order dan bankers’ draft, electronic money).6. Penjaminan dan komitmen pembiayaan.7. Penjualan:

(a) instrumen pasar uang (cek, tagihan, CD, derivatif, dll);(b) pertukaran mata uang asing;(c) instrumen bursa, suku bunga dan indeks;(d) surat-surat berharga yang dapat dialihkan;(e) perdagangan saham komoditas.

8. Partisipasi dalam penerbitan surat-surat berharga dan penyediaan jasa keuangan terkait dengan penerbitan tersebut.

9. Individual and collective portfolio management.10. Safekeeping and administration of cash or liquid securities on behalf of other

persons.11. Otherwise investing, administering or managing funds or money on behalf of other

persons.12. Underwriting and placement of life insurance and other investment related

insurance.913. Money and currency changing.

When a financial activity is carried out by a person or entity on an occasional or very limited basis (having regard to quantitative and absolute criteria) such that there is little risk of money laundering activity occurring, a country may decide that the application of anti-money laundering measures is not necessary, either fully or partially.

In strictly limited and justified circumstances, and based on a proven low risk of money laundering, a country may decide not to apply some or all of the Forty Recommendations to some of the financial activities stated above.“FIU” means financial intelligence unit.“Legal arrangements” refers to express trusts or other similar legal arrangements.“Legal persons” refers to bodies corporate, foundations, anstalt, partnerships, or associations, or any similar bodies that can establish a permanent customer relationship with a financial institution or otherwise own property.“Payable-through accounts” refers to correspondent accounts that are used directly by third parties to transact business on their own behalf.“Politically Exposed Persons” (PEPs) are individuals who are or have been entrusted with prominent public functions in a foreign country, for example Heads of State or of government, senior politicians, senior government, judicial or military officials, senior executives of state owned corporations, important political party officials. Business relationships with family members or close associates of PEPs involve reputational risks similar to those with PEPs themselves. The definition is not intended to cover middle ranking or more junior individuals in the foregoing categories.“Shell bank” means a bank incorporated in a jurisdiction in which it has no physical presence and which is unaffiliated with a regulated financial group.“STR” refers to suspicious transaction reports. “Supervisors” refers to the designated competent authorities responsible for ensuring compliance by financial institutions with requirements to combat money laundering and terrorist financing.

“the FATF Recommendations” refers to these Recommendations and to the FATF Special Recommendations on Terrorist Financing.

9 This applies both to insurance undertakings and to insurance intermediaries (agents and brokers).

9. Manajemen portfolio individu dan kolektif.10. Penyimpanan dan pengelolaan uang tunai atau surat-surat berharga likuid atas

nama orang lain.11. Menginvestasikan, mengelola atau mengadministrasikan dana atau uang atas

nama orang lain.12. Penjaminan dan penempatan asuransi jiwa dan investasi lain terkait dengan

asuransi.13. Pertukaran uang dan mata uang. Jika suatu aktivitas keuangan dilakukan oleh

seseorang atau badan hukum berdasarkan syaratsyarat yang sangat terbatas atau tidak rutin (berkenaan kriteria kuantitatif dan mutlak) sedemikian rupa sehingga terdapat risiko kecil terjadinya aktivitas pencucian uang, maka Negara dapat memutuskan bahwa penerapan tindakantindakan anti pencucian uang tidak diperlukan baik keseluruhan maupun sebagian.

Dengan kondisi yang sangat dibatasi dan dibenarkan, dan dengan adanya bukti risiko rendah terjadinya pencucian uang, negara dapat memutuskan untuk tidak menerapkan sebagian atau seluruh Rekomendasi Empat Puluh kepada beberapa kegiatan keuangan yang disebutkan diatas.

“FIU” berarti financial intelligence unit .“Legal arrangement” berarti wali amanat atau legal arrangement sejenis lainnya.“Legal person” berarti perusahaan perseorangan, yayasan, anstalt, kemitraan, atau perseorangan sejenis lainnya yang dapat menciptakan hubungan konsumen permanen dengan suatu lembaga keuangan atau selain itu memiliki harta kekayaan.“Payable-through account” berarti rekening koresponden yang digunakan langsung oleh pihak ketiga untuk melakukan transaksi bisnis atas namanya sendiri.“Orang-orang yang dieksploitasi secara politik”(PEP) adalah individu yang merupakan atau dipercayakan dengan fungsi-fungsi yang dikenal umum di suatu negara asing, misalnya Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan, politisi senior, pejabat pemerintahan senior, petugas pengadilan atau militer, eksekutif senior BUMN, partisan partai politik besar. Hubungan usaha dengan anggota keluarga atau sejawat terdekat PEP melibatkan risiko reputasi nama baik yang sama dengan dirinya sendiri. Definisi ini tidak termasuk ranking menengah atau individu yang lebih junior dalam kategori-kategori sebelumnya.“Bank rekayasa” berarti bank inkorpoasi di suatu negara yang keberadaannya secara fisik tidak tersedia dan yang tidak terafiliasi dengan kelompok lembaga keuangan yang diatur.“STR” berarti laporan transaksi yang mencurigakan.“Pengawas” berarti pihak berwenang yang bertanggung jawab untuk menjaga kepatuhan lembaga keuangan terhadap ketentuan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris.

“Rekomendasi FATF” berarti Rekomendasi ini dan juga Rekomendasi Khusus FATF tentang Pendanaan Teroris.

ANNEX

INTERPRETATIVE NOTES TO THE FORTY RECOMMENDATIONS

INTERPRETATIVE NOTES

General1. Reference in this document to “countries” should be taken to apply equally to “territories”

or “jurisdictions”.2. Recommendations 5-16 and 21-22 state that financial institutions or designated non-

financial businesses and professions should take certain actions. These references require countries to take measures that will oblige financial institutions or designated non-financial businesses and professions to comply with each Recommendation. The basic obligations under Recommendations 5, 10 and 13 should be set out in law or regulation, while more detailed elements in those Recommendations, as well as obligations under other Recommendations, could be required either by law or regulation or by other enforceable means issued by a competent authority.

3. Where reference is made to a financial institution being satisfied as to a matter, that institution must be able to justify its assessment to competent authorities.

4. To comply with Recommendations 12 and 16, countries do not need to issue laws or regulations that relate exclusively to lawyers, notaries, accountants and the other designated non-financial businesses and professions so long as these businesses or professions are included in laws or regulations covering the underlying activities.

5. The Interpretative Notes that apply to financial institutions are also relevant to designated non financial businesses and professions, where applicable.

Recommendations 5, 12 and 16The designated thresholds for transactions (under Recommendations 5 and 12) are as follows:• Financial institutions (for occasional customers under Recommendation 5) - USD/EUR

15,000.• Casinos, including internet casinos (under Recommendation 12) - USD/EUR 3000• For dealers in precious metals and dealers in precious stones when engaged in any cash

transaction (under Recommendations 12 and 16) - USD/EUR 15,000.Financial transactions above a designated threshold include situations where the transaction is carried out in a single operation or in several operations that appear to be linked.

Recommendation 5Customer due diligence and tipping off1. If, during the establishment or course of the customer relationship, or when conducting

occasional transactions, a financial institution suspects that transactions relate to money laundering or terrorist financing, then the institution should:a) Normally seek to identify and verify the identity of the customer and the

beneficial owner, whether permanent or occasional, and irrespective of any exemption or any designated threshold that might otherwise apply.

b) Make a STR to the FIU in accordance with Recommendation 13.

LAMPIRANCATATAN INTERPRETASI ATAS REKOMENDASI EMPAT PULUH

CATATAN INTERPRETASIUmum

1. Istilah “negara-negara” dalam dokumen disamakan dengan istilah “teritori” atau “jurisdiksi”.

2. Rekomendasi 5-16 dan 21-22 menyatakan bahwa lembaga keuangan atau lembaga nonkeuangan dan lembaga profesi harus mengambil tindakan tertentu. Pengertian ini mewajibkan negara-negara untuk mengambil tindakan yang akan mewajibkan lembaga keuangan atau lembaga nonkeuangan dan lembaga profesi tunduk pada setiap ketentuan Rekomendasi. Kewajiban utama menurut Rekomendasi 5, 10 dan 13 harus diatur dalam peraturan dan perundang-undangan, sementara unsur-unsur yang lebih terinci sebagaimana terdapat dalam Rekomendasi berikut kewajiban-kewajibannya dapat diatur dalam peraturan dan perundang-undangan maupun bentuk-bentuk lainnya yang disahkan oleh pihak berwenang.

3. Jika istilah lembaga keuangan disepakati sebagaimana mestinya, lembaga tersebut harus dapat memberikan alasan atas penilaiannya kepada pihak berwenang.

4. Dalam mematuhi Rekomendasi 12 dan 16, negara-negara tidap perlu mengeluarkan peraturan dan perundang-undangan yang khusus mengatur pengacara, notaris, akuntan dan lembaga nonkeuangan lainnya serta lembaga profesi selama kegiatan usaha dan profesi tersebut diatur dalam peraturan dan perundang-undangan yang juga mengatur kegiatan-kegiatan tersebut.

5. Catatan Interpretasi yang berlaku terhadap lembaga keuangan juga berkaitan dengan lembaga non-keuangna dan lembaga profesi, jika dapat diberlakukan.

Rekomendasi 5, 12 dan 16Batasan jumlah yang ditentukan (designated threshold) untuk transaksi (menurut Rekomendasi 5 dan 12) adalah:• bagi lembaga keuangan (untuk konsumen tertentu menurut Rekomendasi 5) - 15.000 US

Dolar/EUR.• Perjudian (casino), termasuk perjudian internet (menurut Rekomendasi 12) - 3000 US

Dolar/EUR.• Pedagang perhiasan atau barang-barang berharga dimana transaksi dilakukan secara tunai

(menurut Rekomendasi 12 dan 16) – 15.000 US Dolar/EUR. Transaksi keuangan diatas batasan jumlah yang ditentukan diatas termasuk situasi dimana transaksi dilakukan dalam satu kali kegiatan atau beberapa kegiatan yang terlihat saling berkaitan.

Rekomendasi 5Pemeriksaan terhadap konsumen dan tipping off1. Jika, selama membuka rekening pertama kali atau selama melakukan transaksi, atau

ketika membuat transaksi tertentu, lembaga keuangan menduga keras bahwa transaksi terkait dengan pencucian uang atau pendanaan teroris, maka lembaga keuangan harus:a) biasanya berusaha mengidentifikasi dan memeriksa identitas nasabah dan pihak

penerima, baik permanen atau insidental, dan tidak diberlakukan pengecualian atau dikecualikan dari batasan jumlah tertentu yang mungkin berlaku sebaliknya.

b) membuat STR kepada FIU sesuai dengan ketentuan Rekomendasi 13. 2. Recommendation 14 prohibits financial institutions, their directors, officers and

employees from disclosing the fact that an STR or related information is being reported to the FIU. A risk exists that customers could be unintentionally tipped off when the financial institution is seeking to perform its customer due diligence (CDD) obligations in these circumstances. The customer’s awareness of a possible STR or investigation could compromise future efforts to investigate the suspected money laundering or terrorist financing operation.

3. Therefore, if financial institutions form a suspicion that transactions relate to money laundering or terrorist financing, they should take into account the risk of tipping off when performing the customer due diligence process. If the institution reasonably believes that performing the CDD process will tip-off the customer or potential customer, it may choose not to pursue that process, and should file an STR. Institutions should ensure that their employees are aware of and sensitive to these issues when conducting CDD.

CDD for legal persons and arrangements4. When performing elements (a) and (b) of the CDD process in relation to legal persons or

arrangements, financial institutions should:a) Verify that any person purporting to act on behalf of the customer is so authorized, and

identify that person.b) Identify the customer and verify its identity - the types of measures that would be

normally needed to satisfactorily perform this function would require obtaining proof of incorporation or similar evidence of the legal status of the legal person or arrangement, as well as information concerning the customer’s name, the names of trustees, legal form, address, directors, and provisions regulating the power to bind the legal person or arrangement.

c) Identify the beneficial owners, including forming an understanding of the ownership and control structure, and take reasonable measures to verify the identity of such persons. The types of measures that would be normally needed to satisfactorily perform this function would require identifying the natural persons with a controlling interest and identifying the natural persons who comprise the mind and management of the legal person or arrangement. Where the customer or the owner of the controlling interest is a public company that is subject to regulatory disclosure requirements, it is not necessary to seek to identify and verify the identity of any shareholder of that company.

The relevant information or data may be obtained from a public register, from the customer or from other reliable sources.

Reliance on identification and verification already performed5. The CDD measures set out in Recommendation 5 do not imply that financial institutions

have to repeatedly identify and verify the identity of each customer every time that a customer conducts a transaction. An institution is entitled to rely on the identification and verification steps that it has already undertaken unless it has doubts about the veracity of that information. Examples of situations that might lead an institution to have such doubts could be where there is a suspicion of money laundering in relation to that customer, or where there is a material change in the way that the customer’s account is operated which is not consistent with the customer’s business profile.

Timing of verification6. Examples of the types of circumstances where it would be permissible for verification to

be completed after the establishment of the business relationship, because it would be essential not to interrupt the normal conduct of business include:

• Non face-to-face business. 2. Rekomendasi 14 melarang lembaga keuangan, direktur, pejabat dan karyawannya untuk

membocorkan bahwa suatu lapran transaksi yang mencurigakan atau informasi terkaid

sedang dilaporkan kepada FIU. Risiko yang timbul bahwa nasabah bisa dengan tidak sengaja melakukan tipped off ketika lembaga keuangan berupaya melakukan kewajiban pemeriksaan terhadap nasabah (CDD) dalam situasi-situasi ini. Dengan diketahuinya oleh nasabah atas kemungkinan STR atau investigasi maka hal ini dapat membahayakan upaya-upaya investigasi atas dugaan pencucian uang atau pendanaan teroris dimasa mendatang.

3. Oleh karenanya, jika lembaga keuangan memiliki dugaan bahwa transaksi terkait dengan pencucian uang atau pendanaan teroris, mereka harus mempertimbangkan terjadinya risiko tipping off pada saat melakukan proses pemeriksaan terhadap nasabah. Jika lembaga menduga keras bahwa dengan melakukan proses pemeriksaan terhadap nasabah akan memberikan petunjuk kepada nasabah atau calon nasabah, dapat memilih untuk tidak melaksanakan proses tersebut, atau harus melaporkan STR. Lembaga keuangan harus menjaga agar karyawannya sadar akan dan sensitive terhadap isu-isu ini ketika melakukan pemeriksaan terhadap nasabah.

Pemeriksaan terhadap nasabah berupa legal person dan legal arrangement4. Ketika melakukan unsur (a) dan (b) dalam pemeriksaan terhadap nasabah berupa legal

person atau legal arrangment, lembaga keuangan harus:a) Memeriksa bahwa setiap orang yang mengaku bertindak atas nama nasabah memang

pihak yang diberi wewenang dan mengidentifikasi orang tersebut.b) Identifikasi nasabah dan memeriksa identitasnya – jenis tindakan yang umumnya

diperlukan untuk melakukan fungsi ini dengan benar perlu memdapatkan bukti inkorporasi atau bukti serupa atas status hukum legal person atau legal arrangement, termasuk informasi tentang nama nasabah, nama penerima wali amanat, bentuk hukum, alamat, direktur, dan ketentuan tentang kewenangan untuk mengikat legal person atau legal arrangement.

c) Identifikasi pihak penerima, termasuk penyusunan kesepakatan kepemilikan dan struktur pengawasan, dan mengambil tindakan yang layak guna memeriksa identitas orang-orang tersebut. Jenis tindakan yang umumnya diperlukan untuk melakukan fungsi ini dengan benar perlu melakukan identifikasi orang-orang dengan fungsi pengawasan dan orang-orang yang termasuk dalam manajemen legal person dan legal arrangement. Jika nasabah atau pihak dengang fungsi pengawasan adalah perusahaan publik yang tunduk pada ketentuan tentang kewajiban pengungkapan informasi, maka tidka perlu mengidentifikasi dan memeriksa identitas setiap pemeganga saham perusahaan tersebut. Informasi atau data terkait dapat diperoleh dari petugas pendaftaran publik atau dari sumber terpercaya lainnya.

Kebenaran terhadap identifikasi dan pemeriksaan yang telah dilakukan5. Pemeriksaan terhadap nasabah menurut Rekomendasi 5 tidak secara langsung termasuk

bahwa lembaga keuangan harus mengidentifikasi dan memeriksa nasabah berulang-ulang setiap kali melakukan transaksi. Lembaga keuangan berhak mengandalkan langkah-langkah identifikasi dan pemeriksaan yang telah dilakukan kecuali terdapat keraguan terhadap kebenaran informasi tersebut.

Contoh situasi dimana lembaga keuangan menjadi ragu yaitu dimana terdapat dugaan keras akan pencucian uang berkaitan dengan nasabah tersebut, atau jika terdapat perubahan jumlah saldo yang terdapat dalam rekening nasabah yang tidak konsisten dengan profil kegiatan usaha nasabah.

Waktu melakukan pemeriksaan

6. Contoh jenis-jenis situasi yang dibolehkan agar pemeriksaan dilakukan setelah pembukaan rekening selesai, karena hal ini sangatlah penting untuk menginterupsi kegiatan usaha normal, meliputi:• Kegiatan usaha tanpa tatap muka.• Securities transactions. In the securities industry, companies and intermediaries may be

required to perform transactions very rapidly, according to the market conditions at the time the customer is contacting them, and the performance of the transaction may be required before verification of identity is completed.

• Life insurance business. In relation to life insurance business, countries may permit the identification and verification of the beneficiary under the policy to take place after having established the business relationship with the policyholder. However, in all such cases, identification and verification should occur at or before the time of payout or the time where the beneficiary intends to exercise vested rights under the policy.

7. Financial institutions will also need to adopt risk management procedures with respect to the conditions under which a customer may utilize the business relationship prior to verification.These procedures should include a set of measures such as a limitation of the number, types and/or amount of transactions that can be performed and the monitoring of large or complex transactions being carried out outside of expected norms for that type of relationship.Financial institutions should refer to the Basel CDD paper10 (section 2.2.6.) for specific guidance on examples of risk management measures for non-face to face business.

Requirement to identify existing customers8. The principles set out in the Basel CDD paper concerning the identification of existing

customers should serve as guidance when applying customer due diligence processes to institutions engaged in banking activity, and could apply to other financial institutions where relevant.

Simplified or reduced CDD measures

9. The general rule is that customers must be subject to the full range of CDD measures, including the requirement to identify the beneficial owner. Nevertheless there are circumstances where the risk of money laundering or terrorist financing is lower, where information on the identity of the customer and the beneficial owner of a customer is publicly available, or where adequate checks and controls exist elsewhere in national systems. In such circumstances it could be reasonable for a country to allow its financial institutions to apply simplified or reduced CDD measures when identifying and verifying the identity of the customer and the beneficial owner.

10. Examples of customers where simplified or reduced CDD measures could apply are:• Financial institutions – where they are subject to requirements to combat money

laundering and terrorist financing consistent with the FATF Recommendations and are supervised for compliance with those controls.

• Public companies that are subject to regulatory disclosure requirements.• Government administrations or enterprises.

11. Simplified or reduced CDD measures could also apply to the beneficial owners of pooled accounts held by designated non financial businesses or professions provided that those businesses or professions are subject to requirements to combat money laundering and terrorist financing consistent with the FATF Recommendations and are subject to effective systems for monitoring and ensuring their compliance with those requirements.

Banks should also refer to the Basel CDD paper (section 2.2.4.), which provides specific guidance concerning situations where an account holding institution may rely on a customer that is a professional financial intermediary to perform the customer due diligence on his or its own customers (i.e. the beneficial owners of the bank account). Where relevant, the CDD Paper could also provide guidance in relation to similar accounts held by other types of financial institutions.

10 “Basel CDD paper” refers to the guidance paper on Customer Due Diligence for Banks issued by the Basel Committee on Banking Supervision in October 2001.

• Transaksi surat-surat berharga. Dalam industri surat berharga, perusahaan dan

perusahaan intermediasi dapat diwajibkan melakukan transaksi dengan cepat, tergantung pada kondisi pasar pada saat nasabah menghubunginya, dan kinerja transaksi dapat diwajibkan sebelum pemeriksaan identitas selesai.

• Kegiatan usaha asuransi jiwa. Berkaitan dengan usaha asuransi jiwa, Negara-negara dapat membolehkan identifikasi dan pemeriksaan oleh pihak penerima berdasarkan kebijakan yang berlaku setelah terjadi transaksi dengan pemilik polis asuransi. Namun, dalma semua kasus tersebut, identifikasi dan pemeriksaan harus terjadi pada saat atau sebelum pembayaran tanggungan atau pada saat dimana si penerima bermaksud melakukan hakhak tetapnya berdasarkan kebijakan yang berlaku.

7. Lembaga keuangan juga perlu mengadopsi prosedur manajemen risiko berkaitan dengan syaratsyarat yang membolehkan seorang nasabah membuka rekening sebelum dilakukan pemeriksaan.Prosedur ini harus meliputi sejumlah tindakan misalnya pembatasan jumlah uang, jenis dan/atau jumlah transaksi yang dapat dibolehkan dan memonitor transaksi-transaksi dalam jumlah besar dan kompleks yang dilakukan diluar norma-norma yang berlaku.Lembaga keuangan harus mentaati ketntuan pemeriksaan terhadap nasabah Basel (Basel CDD paper) (pasal 2.2.6.) sebagai petunjuk khusus contoh-contoh tindakan manajemen risiko bagi kegiatan usaha tanpa tatap muka.

Kewajiban mengidentifikasi nasabah yang ada8. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam Basel CDD paper tentang identifikasi nasabah-

nasabah yang ada harus diberlakukan sebagai petunjuk ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap nasabah oleh lembaga keuangan yang bergerak di bidang perbankan, dan dapat berlaku terhadap lembaga keuangan lain jika terkait.

Pemeriksaan terhadap nasabah yang disederhanakan atau dikurangi

9. Aturan umum yang berlaku adalah bahwa nasabah harus tunduk pada semua tindakan pemeriksaan termasuk persyaratan mengidentifikasi pihak penerima. Akan tetapi, terdapat beberapa situasi dimana risiko pencucian uang atau pendanaan terrors rendah, ketika informasi tentang identitas nasabah dan pihak penerima transaksi dari nasabah tersedia secara umum, atau ketika fungsi pengujian dan pengawasan yang memadai tersedia dalam sistem nasional.Dalam situasi tersebut, beralasan bagi Negara mengijinkan lembaga keuangan untuk memberlakukan pemeriksaan terhadap nasabah yang disederhanakan atau dikurangi ketika mengidentifikasi dan memeriksa identitas nasabah dan pihak penerima.

10. Contoh-contoh nasabah diberlakukan atas pemeriksaan yang disederhanakan atau dikurangi:

• Lembaga keuangan – jika mereka tunduk pada persyaratan pemberatasan pencucian uang dan pendanaan teroris sesuai dengan Rekomendasi FATF dan kepatuhan terhadap fungsi pengawasan tersebut diawasi

• Perusahaan publik yang tunduk pada peratuah tentang persyaratan pengungkapan informasi.

• Perusahaan milik negara dan pemerintahan.

11. Pemeriksaan terhadap nasabah yang disederhanakan atau dikurangi juga berlaku terhadap pihak penerima atas sejumlah rekening yang dilakukan oleh lembaga non-keuangan atau lembaga profesi tertentu dimana kegiatan usaha lembaga tersebut berlaku persyaratan pemberantasan pencucian uang atau pendanaan teroris sebagaimana diatur dalam Rekomendasi FATF dan tunduk pada system yang berlaku untuk memonitor dan menjamin kepatuhannya terhadap rekomendasi tersebut.Bank-bank juga harus tunduk pada Basel CDD paper (bagian 2.2.4.), yang memberikan petunjuk khusus tentang situasi-situasi dimana lembaga pemegang rekening dapat percaya terhadap nasabah yang telah diperiksa oleh perusahaan intermediasi keuangan professional (misalnya pihak pemilik daripada rekening bank). Selain itu CDD Paper juga menyediakan petunjuk tentang rekening-rekening yang sama yang dipegang oleh jenis-jenis lembaga keuangan lain.

12. Simplified CDD or reduced measures could also be acceptable for various types of products or transactions such as (examples only):• Life insurance policies where the annual premium is no more than USD/EUR 1000 or

a single premium of no more than USD/EUR 2500.• Insurance policies for pension schemes if there is no surrender clause and the policy

cannot be used as collateral.• A pension, super-annuation or similar scheme that provides retirement benefits to

employees, where contributions are made by way of deduction from wages and the scheme rules do not permit the assignment of a member’s interest under the scheme.

13. Countries could also decide whether financial institutions could apply these simplified measures only to customers in its own jurisdiction or allow them to do for customers from any other jurisdiction that the original country is satisfied is in compliance with and has effectively implemented the FATF Recommendations. Simplified CDD measures are not acceptable whenever there is suspicion of money laundering or terrorist financing or specific higher risk scenarios apply.

Recommendation 6Countries are encouraged to extend the requirements of Recommendati on 6 to individuals who hold prominent public functions in their own country.

Recommendation 9This Recommendation does not apply to outsourcing or agency relationships. This Recommendation also does not apply to relationships, accounts or transactions between financial institutions for their clients. Those relationships are addressed by Recommendations 5 and 7.

Recommendations 10 and 11In relation to insurance business, the word “transactions” should be understood to refer to the insurance product itself, the premium payment and the benefits.

Recommendation 131. The reference to criminal activity in Recommendation 13 refers to:

a) all criminal acts that would constitute a predicate offence for money laundering in the jurisdiction; or

b) at a minimum to those offences that would constitute a predicate offence as required by Recommendation 1.

Countries are strongly encouraged to adopt alternative (a). All suspicious transactions, including attempted transactions, should be reported regardless of the amount of the transaction.

2. In implementing Recommendation 13, suspicious transactions should be reported by financial institutions regardless of whether they are also thought to involve tax matters. Countries should take into account that, in order to deter financial institutions from reporting a suspicious transaction, money launderers may seek to state inter alia that their transactions relate to tax matters.

Recommendation 14 (tipping off)Where lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants acting as independent legal professionals seek to dissuade a client from engaging in illegal activity, this does not amount to tipping off. 12. Pemeriksaan terhadap nasabah yang disederhanakan atau dikurangi juga dibolehkan

untuk berbagai jenis produk atau transaksi misalnya (hanya contoh):• Polis asuransi jiwa dimana premi tahunaan tidak lebih dari 1000 US Dolar/EUR atau

satu premi dengan nilai tidak lebih dari 2500 US Dolar/EUR.• Polis asuransi dengan skema pensiun jika tidak ada klausul penyerahan dan polis •

Tidak bisa dijadikan sebagai jaminan.• Skema pensiun, super-annuation atau sejenisnya yang memberikan tunjangan pensiun

kepada karyawan, dimana kontribusi dibuat dengan cara mengurangi gaji dan aturan skema tidak membolehkan dialihkan.

13. Negara-negara dapat juga memutuskan apakah lembaga keuangan menerapkan pemeriksaan yang disederhanakan ini terhadap nasabah di dalam jurisdiksinya sendiri atau membolehkannya terhadap nasabah dari jurisdiksi lain dimana negara asal telah memenuhi kepatuhan dengan dan melaksanakan Rekomendasi FATF yang berlaku. Pemeriksaan yang disederhanakan tidak boleh dilakukan jika terdapat dugaan keras pencucian uang atau pendanaan teroris atau adanya skenario risiko tinggi tertentu.

Rekomendasi 6Negara-negara dianjurkan untuk memperluas persyaratan Rekomendasi 6 terhadap individu yang memegang fungsi yang dikenal umum di negaranya.

Rekomendasi 9Rekomendasi ini tidak berlaku terhadap perusahaan out outsourcing atau keagenan. Rekomendasi ini juga tidak berlaku terhadap hubungan, rekening atau transaksi antara lembaga keuangan dengan klien. Hubungan-hubungan ini diatur dalam ketentuan Rekomendasi 5 dan 7.

Rekomendasi 10 and 11

Untuk usaha perasuransian, kata “transaksi” diartikan sebagai produk asuransi itu sendiri, pembayaran premi dan tanggungan.

Rekomendasi 131. Referensi atas aktivitas pidana menurut Rekomendasi 13 berarti:

a) semua tindak pidana yang berupakan tindak pidana asal pencucian uang di jursdiksi; atau

b) minimum, tindak pidana-tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal sebagaimana diatur dalam Rekomendasi 1.Negara-negara sangat dianjurkan mengadopsi alternatif (a). Semua transaksi yang mencurigakan, termasuk percobaan melakukan transaksi, harus dilaporkan tidak terkait dengan jumlah transaksi.

2. Dalam melaksanakan Rekomendasi 13, transaksi yang mencurigakan harus dilaporkan oleh lembaga keuangan tanpa mengindahkan apakah mereka juga dipertimbangkan terlibat masalah pajak. Negara-negara harus mengambil tindakan yang, dengan maksud mencegah lembaga keuangan dari pelaporan transaksi yang mencurigakan, pelaku pencucian uang dapat mencari segala cara dengan menyatakan inter alia bahwa transaksinya terkait dengan masalah pajak.

Rekomendasi 14 (tipping off)Ketika pengacara, notaries, profesi hukum mandiri lainnya dan akuntan yang bertindak sebagai profesi hukum mandiri berusaha mencegah klien dari upaya melakukan kegiatan illegal, hal ini termasuk tipping off. Recommendation 15The type and extent of measures to be taken for each of the requirements set out in the Recommendation should be appropriate having regard to the risk of money laundering and terrorist financing and the size of the business.For financial institutions, compliance management arrangements should include the appointment of a compliance officer at the management level.

Recommendation 161. It is for each jurisdiction to determine the matters that would fall under legal professional

privilege or professional secrecy. This would normally cover information lawyers, notaries or other independent legal professionals receive from or obtain through one of their clients: (a) in the course of ascertaining the legal position of their client, or (b) in performing their task of defending or representing that client in, or concerning judicial, administrative, arbitration or mediation proceedings. Where accountants are subject to the same obligations of secrecy or privilege, then they are also not required to report suspicious transactions.

2. Countries may allow lawyers, notaries, other independent legal professionals and accountants to send their STR to their appropriate self-regulatory organizations, provided that there are appropriate forms of cooperation between these organizations and the FIU.

Recommendation 23Recommendation 23 should not be read as to require the introduction of a system of regular review of licensing of controlling interests in financial institutions merely for anti-money laundering purposes, but as to stress the desirability of suitability review for controlling shareholders in financial institutions (banks and non-banks in particular) from a FATF point

of view. Hence, where shareholder suitability (or “fit and proper”) tests exist, the attention of supervisors should be drawn to their relevance for anti-money laundering purposes.

Recommendation 25When considering the feedback that should be provided, countries should have regard to the FATF Best Practice Guidelines on Providing Feedback to Reporting Financial Institutions and Other Persons.

Recommendation 26Where a country has created an FIU, it should consider applying for membership in the Egmont Group. Countries should have regard to the Egmont Group Statement of Purpose, and its Principles for Information Exchange Between Financial Intelligence Units for Money Laundering Cases.These documents set out important guidance concerning the role and functions of FIUs, and the mechanisms for exchanging information between FIU.

Recommendation 27Countries should consider taking measures, including legislative ones, at the national level, to allow their competent authorities investigating money laundering cases to postpone or waive the arrest of suspected persons and/or the seizure of the money for the purpose of identifying persons involved in such activities or for evidence gathering. Without such measures the use of procedures such as controlled deliveries and undercover operations are precluded. Rekomendasi 15Jenis tindakan dan perluasannya yang dilakukan atas setiap persyaratan yang diatur dalam Rekomendasi harus tepat dengan mempertimbangkan risiko pencucian uang dan pendanaan teroris dan besaran usaha. Untuk lembaga keunangan, pengaturan manajemen kepatuhan harus termasuk pengangkatan seorang compliance officer di tingkat manajemen.

Rekomendasi 161. Ini untuk setiap jurisdiksi gunakan menentukan hal-hal yang termasuk dalam kerahasiaan

jabatan atau keistimewaan profesi hukum. Hal ini biasanya mencakup informasi yang diterima atau didapat pengacara, notaris atau profesi hukum mandiri lainnya dari salah satu klien: (a) dalam hal menentukan posisi hukum klien, atau (b) dalam menjalankan tugasnya mewakili atau membela klien di, atau tentang persidangan di pengadilan, pengadilan tata usaha, arbitrasi atau mediasi. Jika akuntan tunuk pada kewajiban-kewajiban yang sama tentang kerahasiaan jabatan dan keistimewaan profesi, maka mereka juga tidak diwajibkan untuk melaporkan laporan transaksi yang mencurigakan.

2. Negara-negara dapat mengijinkan pengacara, notaris, profesi hukum mandiri lainnya dan akuntan untuk mengirimkan STR-nya kepada organisasi self-regulatory yang membawahinya, mengingat bahwa terhadap beberapa bentuk kerjasama yang tepat antara organisasi ini dengan FIU.

Rekomendasi 23Rekomendasi 23 seharusnya tidak dibaca yang mengharuskan pemberlakuan suatu sistem kajian regular atas perijinan controlling interest dalam lembaga keuangan khusus untuk tujuan anti pencucian uang, tetapi untuk menekankan keinginan untuk melakukan kajian secara berkelanjutan atas controlling shareholder di lembaga keuangan (terutama bank dan non-bank) dari sudut pandang FATF.

Oleh karenanya, ketika pengujian terhadap keberlanjutan pemegang saham ada (atau “fit and proper test”), perhatian pengawas harus ditujukan kepada relevansinya untuk tujuan anti pencucian uang.

Rekomendasi 25Ketika mempertimbangkan umpan balik yang harus disediakan, negara-negara harus mempertimbangkan FATF Best Practice Guidelines tentang Providing Feedback to eporting Financial Institutions and Other Persons.

Rekomendasi 26Ketika suatu negara telah mendirikan FIU, maka negara tersebut harus mempertimbangkan untuk menjadi anggota Egmont Group. Negara-negara harus mempertimbangkan Egmont Group Statement of Purpose, serta Prinsip Pertukaran Informasi antara Financial Intelligence Unit untuk penanganan kasus-kasus pencucian uang.Dokumen-dokumen ini berisikan petunjuk tentang fungsi dan peranan FIU, dan mekanisme pertukaran informasi antar FIU.

Rekomendasi 27Negara-negara harus mempertimbangkan untuk mengambil tindakan termasuk membuat undang-undang di tingkat nasional untuk menjadikan pihak berwenang dapat mengivestigasi kasus-kasus pencucian uang untuk menunda atau menolak penangkapan orang-orang yang diduga dan atau menyita uang dengan maksud mengidentifikasi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut atau untuk mengumpulkan bukti. Tanpa tindakantindakan tersebut, penggunaan prosesur misalnya controlled delivery dan kegiatan penyamaran tidak dapat dilakukan. Recommendation 38Countries should consider:a) Establishing an asset forfeiture fund in its respective country into which all or a portion of

confiscated property will be deposited for law enforcement, health, education, or other appropriate purposes.

b) Taking such measures as may be necessary to enable it to share among or between other countries confiscated property, in particular, when confiscation is directly or indirectly a result of coordinated law enforcement actions.

Recommendation 401. For the purposes of this Recommendation:

• “Counterparts” refers to authorities that exercise similar responsibilities and functions.• “Competent authority” refers to all administrative and law enforcement authorities

concerned with combating money laundering and terrorist financing, including the FIU and supervisors.

2. Depending on the type of competent authority involved and the nature and purpose of the cooperation, different channels can be appropriate for the exchange of information.Examples of mechanisms or channels that are used to exchange information include: bilateral or multilateral agreements or arrangements, memoranda of understanding, exchanges on the basis of reciprocity, or through appropriate international or regional organizations.However, this Recommendation is not intended to cover co-operation in relation to mutual legal assistance or extradition.

3. The reference to indirect exchange of information with foreign authorities other than counterparts covers the situation where the requested information passes from the foreign authority through one or more domestic or foreign authorities before being received by the requesting authority.The competent authority that requests the information should always make it clear for what purpose and on whose behalf the request is made.

4. FIUs should be able to make inquiries on behalf of foreign counterparts where this could be relevant to an analysis of financial transactions. At a minimum, inquiries should include:• Searching its own databases, which would include information related to suspicious

transaction reports.• Searching other databases to which it may have direct or indirect access, including law

enforcement databases, public databases, administrative databases and commercially available databases. Where permitted to do so, FIUs should also contact other competent authorities and financial institutions in order to obtain relevant information.

Rekomendasi 38Negara-negara harus mempertimbangkan:a) melakukan perampasan atas asset di Negara dimana semua atau sebagaian harta kekayaan

yang disita disetorkan untuk tujuan-tujuan penegakan hukum, kesehatan, pendidikan atau tujuan lainnya.

b) mengambil tindakan yang diperlukan agar dapat saling membagi harga kekayaan yang disita antar negara atau diantara negara, terutama ketika penyitaan secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil koordinasi antara penegak hukum.

Rekomendasi 401. Untuk tujuan-tujuan Rekomendasi ini:

• “Counterpart” menunjuk pada pihak berwenang yang melaksankana tanggung jawab dan fungsi yang sama.

• “Pihak Berwenang” menunjuk pada semua pihak berwenang administrasi dan penegak hukum yang bersangkutan dengan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan teroris, termasuk FIU danbadan pengawas.

2. Berdasarkan bentuk pihak berwenang yang terlibat dan sifat serta tujuan kerjasama, jaringan yang berbeda dapat digunakan untuk pertukaran informasi. Contoh mekanisme atau jaringan yagn digunakan untuk pertukaran informasi meliputi: perjanjian atau kerjasama, nota kesepakatan, pertukaran atas dasar prinsip resiprositas, baik bilateral atau multilaral, atau melalui organisasi internasional atau regional. Akan tetapi, Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk mencakup kerjasama untuk bantuan hukum timbal balik atau ektradisi.

3. Referensi atas pertukaran informasi tidak langsung dengan pihak berwenang di luar negeri selain counterpart mencakup situasisituasi dimana informasi yang dimohon melewati dari pihak berwenang asing ke pihak berwenang asing lainnya sebelum diterima oleh pihak berwenang akhir yang memohon. Pihak berwenang yang memohon informasi harus selalu memberikan pernyataan yang jelas tentang tujuan dan atas nama siapa permohonan dibuat.

4. FIU harus dapat membuat permohonan atas nama counterpart asing asalnya dimana hal ini bisa terkait dengan analisis transaksi keuangan. Sedikitnya, permohonan harus memuat:

• menggeledah database sendiri yang meliputi informasi terkait dengan laporan transaksi yang mencurigakan.

• Menggeledah database lainnya dimana hal ini dapat mungkin memiliki akses langsung atau tidak, termasuk database penegakan hukum, database publik, database administratif dan database swasta yang tersedia. Jika hal ini dibolehkan, FIU juga harus menghubungi pihak berwenang lainnya dan lembaga keuangan guna mendapatkan informasi terkait.

FATF Special Recommendations on Terrorist FinancingRecognizing the vital importance of taking action to combat the financing of terrorism, the FATF has agreed these Recommendations, which, when combined with the FATF Forty Recommendations on money laundering, set out the basic framework to detect, prevent and suppress the financing of terrorism and terrorist acts.

I. Ratification and Implementation of the UN InstrumentsEach country should take immediate steps to ratify and to implement fully the 1999 United Nations International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism. Countries should also immediately implement the United Nations resolutions relating to the prevention and suppression of the financing of terrorist acts, particularly United Nations Security Council Resolution 1373.

II. Criminalizing the Financing of Terrorism and Associated Money LaunderingEach country should criminalize the financing of terrorism, terrorist acts and terrorist organizations.Countries should ensure that such offences are designated as money laundering predicate offences.

III. Freezing and Confiscating Terrorist AssetsEach country should implement measures to freeze without delay funds or other assets of terrorists, those who finance terrorism and terrorist organizations in accordance with the United Nations resolutions relating to the prevention and suppression of the financing of terrorist acts.Each country should also adopt and implement measures, including legislative ones, which would enable the competent authorities to seize and confiscate property that is the proceeds of, or used in, or intended or allocated for use in, the financing of terrorism, terrorist acts or terrorist organizations.

IV. Reporting Suspicious Transactions Related to TerrorismIf financial institutions, or other businesses or entities subject to anti-money laundering obligations, suspect or have reasonable grounds to suspect that funds are linked or related to, or are to be used for terrorism, terrorist acts or by terrorist organizations, they should be required to report promptly their suspicions to the competent authorities.

V. International Co-operationEach country should afford another country, on the basis of a treaty, arrangement or other mechanism for mutual legal assistance or information exchange, the greatest possible measure of assistance in connection with criminal, civil enforcement, and administrative investigations, inquiries and proceedings relating to the financing of terrorism, terrorist acts and terrorist organizations.

Countries should also take all possible measures to ensure that they do not provide safe havens for individuals charged with the financing of terrorism, terrorist acts or terrorist organizations, and should have procedures in place to extradite, where possible, suchindividuals. Rekomendasi Khusus FATF tentang Pendanaan TerorisMengingat pentingnya dilakukan upaya pemberantasan terhadap pendanaan terorisme, FATF menyepakati beberapa Rekomendasi berikut ini, dimana, jika digabungkan dengan Empat Puluh Rekomendasi FATF tentang pencucian uang, mengatur tentang kerangka dasar untuk mendeteksi, mencegah dan memberantas pendanaan terorisme dan kegiatan teroris.

I. Ratifikasi dan Pelaksanaan Ketentuanketentuan PBBSetiap negara harus mengambil tindakan sesegera mungkin meratifikasi dan melaksanakan ketentuan the 1999 United Nations International Convention tentang the Suppression of the Financing of Terrorism secara menyeluruh. Negara-negara juga harus secepatnya melaksanakan berbagai resolusi PBB berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan teroris, terutama ketentuan United Nations Security Council Resolution 1373.

II. Kriminalisasi Pendanaan Terorisme dan Pencucian UangSetiap negara harus mengkriminalisasi pendanaan terhadap terorisme, kegiatan teroris dan organisasi teroris. Negaranegara juga harus menjamin agar tindak pidana tersebut diperlakukan sebagai tindak pidana asal pencucian uang.

III. Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan TerorisSetiap negara harus melakukan berbagai upaya untuk memblokir secepatnya dana atau harta kekayaan lainnya milik teroris yang membiayai terorisme dan organisasi teroris menurut berbagai resolusi PBB berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan teroris.Setiap negara juga harus mengadopsi dan melakukan berbagai upaya, termasuk membuat undang-undang, yang menjadikan pihak berwenang dapat memblokir dan menyita kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana, atau digunakan dalam, atau dimaksudkan atau dialokasikan untuk digunakan dalam kegiatan teroris atau organisasi teroris.

IV. Pelaporan Transaksi-transaksi yang Mencurigakan Terkait dengan TerorismeJika lembaga keuangan, atau badan usaha atau perusahaan lainnya yang tunduk terhadap kewajiban anti pencucian uang, menduga atau memiliki alasan kuat untuk menduga bahwa dana terkait atau terhubung dengan, atau digunakan untuk terorisme, kegiatan teroris atau organisasi teroris, maka mereka wajib melaporkan dugaan-dugaan tersebut segera kepada pihak berwenang.

V. Kerjasama InternasionalSetiap negara harus mendukung negara lain berdasarkan suatu perjanjian, kesepakatan atau mekanisme lain dalam hal bantuan hukum timbal balik atau pertukaran informasi, berbagai bantuan lain yang dimungkinkan berkaitan dengan penanganan tindak pidana, penegakan hukum perdata, dan investigasi administratif, permohonan dan persidangan berkaitan dengan pendanaan terorisme, kegiatan teroris dan organisasi teroris.Negara-negara juga harus mengambil segala upaya untuk menjamin agar mereka tidak menyediakan safe havens kepada perorangan yang dituduh melakukan pendanaan terorisme,

kegiatan teroris dan organisasi teroris, serta harus memiliki tata cara mengektradisi orang tersebut, jika dimungkinkan. VI. Alternative RemittanceEach country should take measures to ensure that persons or legal entities, including agents, that provide a service for the transmission of money or value, including transmission through an informal money or value transfer system or network, should be licensed or registered and subject to all the FATF Recommendations that apply to banks and non-bank financial institutions. Each country should ensure that persons or legal entities that carry out this service illegally are subject to administrative, civil or criminal sanctions.

VII. Wire TransfersCountries should take measures to require financial institutions, including money remitters, toinclude accurate and meaningful originator information (name, address and account number) on funds transfers and related messages that are sent, and the information should remain with the transfer or related message through the payment chain.Countries should take measures to ensure that financial institutions, including money remitters, conduct enhanced scrutiny of and monitor for suspicious activity funds transfers which do not contain complete originator information (name, address and account number).

VIII. Non-profit OrganizationsCountries should review the adequacy of laws and regulations that relate to entities that can be abused for the financing of terrorism. Non-profit organizations are particularly vulnerable, and countries should ensure that they cannot be misused: (i) by terrorist organizations posing as legitimate entities; (ii) to exploit legitimate entities as conduits for terrorist financing, including for the purpose of escaping asset freezing measures; and (iii) to conceal or obscure the clandestine diversion of funds intended for legitimate purposes to terrorist organizations.

IX. Cash CouriersCountries should have measures in place to detect the physical cross-border transportation of currency and bearer negotiable instruments, including a declaration system or other disclosure obligation.Countries should ensure that their competent authorities have the legal authority to stop or restrain currency or bearer negotiable instruments that are suspected to be related to terrorist financing or money laundering, or that are falsely declared or disclosed.Countries should ensure that effective, proportionate and dissuasive sanctions are available to deal with persons who make false declaration(s) or disclosure(s). In cases where the currency or bearer negotiable instruments are related to terrorist financing or money laundering, countries should also adopt measures, including legislative ones consistent with Recommendation 3 and Special Recommendation III, which would enable the confiscation of such currency or instruments. VI. Jasa Penerimaan Uang AlternatifSetiap negara harus mengambil segala upaya untuk menjamin agar setiap orang atau badan usaha, termasuk agen, yang menyediakan jasa pengiriman uang atau dana, termasuk melalui sistem atau jaringan pengiriman uang atau dana informal, harus memiliki ijin atau terdaftar dan tunduk terhadap semua Rekomendasi FATF yang diberlakukan terhadap bank dan lembaga keuangan non bank. Tiap negara harus menjamin agar setiap orang atau badan usaha yang menyediakan jasa tersebut secara tidak sah dibebankan sanksi administratif, perdata atau pidana.

VII. Wire TransfersSetiap negara harus mengambil segala upaya mewajibkan lembaga keuangan termasuk jasa pengiriman uang, untuk meminta informasi akurat dan asli (nama, alamat dan nomor rekening) tentang transfer dana dan pesan-pesan terkait yang dikirim, dan informasi harus sama dengan transfer dan pesan terkait melalui jaringan pembayaran. Tiap negara harus mengupayakan guna menjamin agar lembaga keuangan, termasuk jasa pengiriman uang, melakukan pemeriksaan seksama atas kegiatan transfer dana yang mencurigakan dengan informasi yang tidak lengkap (nama, alamat dan nomor rekening) serta memonitornya.

VIII. Organisasi Non-profitNegara-negara harus mengkaji kecukupan atas peraturan perundang-undangan mengatur tentang badan usaha yang dapat disalahgunakan untuk pendanaan terorisme. Organisasi non-profit terutama sekali rentan, dan negara-negara harus menjamin agar mereka tidak dapat disalahgunakan: (i) oleh organisasi teroris untuk digunakan sebagai badan usaha sah; (ii) untuk mengeksploitasi badan usaha yang sah sebagai medium untuk pendanaan teroris, termasuk untuk tujuan menghidari asset dari upaya-upaya pemblokiran; dan (iii) untuk menyembunyikan atau menyamarkan pengiriman dana gelap yang dimaksudkan untuk tujuan-tujuan sah untuk kepentingan organisasi teroris.

IX. Jasa Kurir Uang TunaiNegara-negara harus berupaya mendeteksi pengiriman mata uang dan alat pembayaran atas bawa lintas negara secara fisik, termasuk sistem membuat deklarasi atau kewajiban pelaporan lainnya. Negara-negara harus menjamin bahwa pihak yang berwenang memiliki kewenangan untuk menghentikan atau menahan mata uang atau alat pembayaran atas bawa yang diduga kuat terkait dengan pendanaan teroris atau pencucian uang, atau yang dilaporkan atau dideklarasi secara tidak benar. Negara-negara harus menjamin bahwa sanksi yang efektif, proporsional dan dissuasive tersedia untuk dibebankan kepada orang-orang yang membuat deklarasi atau pelaporan yang tidak benar.Dalam kasus jika mata uang atau alat pembayaran atas bawa terkait dengan pendanaan teroris atau pencucian uang, negara-negara juga harus mengambil berbagai tindakan termasuk pembuatan undang-undang yang sesuai dengan Rekomendasi Khusus III yang menjadikan mata uang atau alat pembayaran atas bawa tersebut dapat disita. 9 Recommendations