Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

13

description

 

Transcript of Rubrik Jendela Keluarga Majalah Hidayatullah

JULI 2013/SYABAN 1434 67

JendelaKeluarga

celah

S eorang anak gadis berusia 22 tahun merasa putus asa. Hanya dalam semalam ia merasakan dunianya yang se mula luar bia sa menjadi be­

rantakan. Ia men dapat informasi bah­wa tu na ngan nya berkhianat. Pa dahal, tinggal be be ra pa minggu lagi mereka akan menjalani pro sesi per ni ka han.

Ia berada dalam kondisi yang sa­ngat mem prihatinkan. Terbaring le­mah di tem pat tidurnya tanpa gairah hi dup. Ia tak mau makan dan minum, bahkan tak mau membuka pintunya. Tidak ada se orang pun yang dapat mem bantu dia ke luar dari problem besar yang sedang di ha dapinya.

Ayahnya kurang berkomunikasi, namun ia paham apa yang sedang terjadi dengan putri bungsunya itu. Ia sa ngat ingin membantu meski ke bi ngu ngan bagaimana cara memulainya. Ini tentu tidak akan me nye nangkan. Ia ber­usaha memberi dukungan untuk masa depan anak nya tapi dengan cara yang tidak me nying gung pe ra saan nya.

Sang ayah mengambil cuti satu hari dan mencoba menjalankan rencananya. Pagi hari sang ayah menyiapkan baki berisi sarapan kesukaan putrinya, dan majalah fa vo­ritnya di depan pintu kamarnya. Ia mengetuk pintu de­ngan nada riang seolah tak ada masalah.

Ketika pintu tak juga dibuka, ia menyetel lagu ke su­kaan anak gadisnya saat SMA yang dulu sering ia suruh ma tikan. Sang anak penasaran, akhirnya ia me ngin tip dari balik pintu, dan menolaknya de ngan ala san tidak lapar.

Sang ayah lalu mencoba cara lain. Ia dengan ramah meminta ijin untuk memeriksa air conditionair­nya. Pu­tri nya tak bisa menolak. Setelah memeriksa alat yang tak ada masalah itu, sang ayah mulai mengajaknya ber­ca kap­cakap. “Sayang, aku sangat sedih dengan apa yang menimpamu. Aku berharap bisa me lin dungimu

dari dunia dan meng hi langkan rasa sakitmu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku di sini untukmu, ka lau­kalau kamu mem butuhkan aku.”

Kata­kata ayahnya itu mem buat­nya luruh dan menangis. Sang ayah pun memeluknya. Ia mencurahkan se gala kesedihannya. Sebelumnya me re ka tak pernah sedekat itu. Ayah­nya bertukar cerita tentang masa la lu nya yang pernah patah hati sebe lum menikahi ibunya. Ia juga menceritakan liku­liku sebelum men­ja di pengusaha yang sukses.

Kisah­kisah yang diceritakan ter ­sebut membuat anaknya me ra sa lebih baik dan bisa berpikir jer nih. La­lu, anaknya dengan tegas mem ba tal­kan pernikahannya. Ia memutuskan

untuk kuliah dan ber usa ha meraih cita­citanya. Beberapa tahun kemudian ia berhasil meraih gelar

sarjana dari sebuah universitas dengan predikat sangat memuaskan. Pada pidato singkatnya ia menuturkan, “Aku rasa, cinta ayahkulah yang ada untukku selama keterpurukan diriku yang membantu menuntun aku pada kesuksesan ini. Terimakasih dan aku mencintaimu, Ayah, dari lubuk hati yang terdalam.”

Kisah itu diceritakan dalam sebuah buku yang ditulis oleh seorang ibu dan anak perempuannya, tentang ba­gai ma na pentingnya dukungan di saat­saat yang sulit bagi anak. Jika sang ayah membiarkan anaknya di saat yang menentukan itu mungkin keadaannya akan lain. Tapi yang dilakukannya justru berempati dan mendu­kung nya, juga meyakinkan bahwa dirinya sangat men cin­tai nya. Itulah yang membuat anaknya mampu memilih keputusan yang tepat untuk masa depannya.

Semoga Allah senantiasa memberikan bim bi­ngan kepada kita dalam menjalankan amanah sebagai orang tua. Penulis buku “Mendidik Karakter dengan Karakter”

Dukungan di Saat SulitOleh Ida S. WIdayantI*

foTo

: Mu

H A

Bdu

S Sy

AK

ur/

SuA

rA H

IdAy

ATu

LLA

H

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com68

Mencairkan Kebekuan dengan Makan Bersama

usrah

Dapat dijadikan sarana membahas persoalan keluarga

K ini, tradisi makan bersama keluarga rasanya sudah jarang ditemukan, meskipun di pedesaan. orang lebih asyik dengan televisi,

anak­anak main game dan handphone­nya, yang remaja sudah keluar rumah bersama teman­temannya. Bahkan, sangat sulit untuk mencari kesempatan guna menghabiskan waktu dengan seluruh anggota keluarga secara bersama­sama.

Belakangan, muncul budaya baru di kalangan menengah ke atas, yaitu ‘wisata kuliner’. Budaya ini merebak di kota­kota dan tempat wisata untuk menikmati aneka ragam makanan. Bahkan ada sebagian orang yang punya hobi wisata kuliner.

Setiap ada informasi warung baru, dengan menu masakan berbeda, tanpa mempertimbangkan harga, maka mereka segra berburu untuk mendatanginya. Setiap saat, makanan menjadi topik pembicaraan dalam hidupnya. Ada sensasi dan kebanggaan

yang dikejar kalau sudah mencicipi banyak jenis makanan.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan kuliner, karena terkait kebutuhan hidup manusia terhadap makanan. di samping itu, ia menjadi bisnis yang menggoda dan membuka banyak lowongan pekerjaan.

Alhasil, bisnis makanan menjamur di mana­mana. dari warung kecil, kaki lima, restoran, depot, kafe dipadati antrian pengunjung. Sejak pagi hingga malam selalu saja ada warung yang menyediakan berbagai jenis makanan.

Jika keliru, gaya hidup kuliner dapat memantik masalah tersendiri dalam kehidupan rumah tangga. Budaya kuliner bisa merenggangkan keharmonisan hubungan suami istri serta mengesampingkan pertumbuhan mental anak­anak. Secara tidak sadar, jiwa konsumerisme dan pemborosan tumbuh dalam kepribadian anak. Belum lagi ancaman kesehatan yang riskan dari makanan yang tidak diketahui bahan dan cara memasaknya.

Bukan Sekadar TradiSi

Mengganggap remeh serta kesibukan yang padat, seringkali

menjadi alasan keluarga modern menolak “tradisi” makan bersama di keluarganya. Tak sedikit pula yang menganggap buang­buang waktu saja. Padahal banyak hal yang bisa didapatkan dari kebiasaan tersebut.

Pertama, menjalin ikatan emosional antar anggota keluarga. di meja makan, masing­masing anggota keluarga bisa saling melontarkan obrolan­obrolan ringan atau berbagi cerita tentang kegiatan harian. Selain mengenyangkan perut, makan bersama juga bisa mengenyangkan jiwa. Energi positif lalu tumbuh dalam keluarga karena ada interaksi yang erat dan harmonis sesama anggota keluarga.

Kedua, sebagai wahana diskusi membicarakan berbagai hal serius dalam keluarga, misalnya membahas perilaku anak. Teknologi komunikasi tidak bisa menggantikan pertemuan fisik. Saat makan bersama bisa menjadi sarana yang tepat untuk bicara dari hati ke hati antar keluarga. Sehingga makan bersama menjadi media pembelajaran mentransfer pengetahuan dan rapat non formal keluarga.

Ketiga, menjernihkan suasana. Suasana hati yang santai saat makan membuat otak bisa berpikir dengan

Oleh aBdUl GhOFaR hadI*

JULI 2013/SYABAN 1434 69

Jendela keluarga

jernih sehingga rasa emosional bisa dihilangkan. Inilah seninya makan bersama keluarga, semua hal bisa diungkapkan dengan hati terbuka karena semua rileks.

Keempat, mengontrol pola dan porsi makan yang standar. Salah satu faktor munculnya penyakit adalah pola makan yang tidak jelas waktunya dan porsi makan tidak terkontrol. Adanya kegiatan makan bersama bisa menjadi latihan kedisiplinan dari anggota keluarga untuk belajar berkomitmen.

Kelima, melatih kemandirian dan menghindari pemborosan. Secara tidak sadar, memasak sendiri di dapur menjadi sarana belajar mandiri dan melatih keahlian memasak kepada anak­anak. dijamin, makan bersama juga jelas lebih hemat daripada kuliner di luar rumah.

Keenam, jaminan keberkahan dari Allah saat makan bersama. dari Wahsyi bin Harb, “Sesungguhnya para Sahabat rasulullah pernah mengadu, ‘Wahai rasulullah, sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang.’ Nabi bersabda, ‘Mungkin kalian makan sendiri­sendiri?” “Betul”, kata para Sahabat. Nabi lalu bersabda, ‘Makanlah bersama­sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” (riwayat Abu daud no. 3764 dan dinilai shahih oleh al­Albani).

dalam Hadits yang lain, “Berkumpullah ketika makan dan

tentu lebih baik jika memang tidak bisa berkumpul setiap hari. Manfaatnya kian terasa jika jadwalnya disusun teratur dan bukan hanya sekali seumur hidup.

Kedua, komunikasi efektif. Apalah arti makan bersama jika ternyata suasana hanya diam dan kaku. Makanan selezat apapun jadinya tidak terasa nikmat. dibutuhkan suasana kebersamaan yang utuh, tidak sekadar fisik saja. Tapi fikiran dan konsentrasi hendaknya menyatu semua saat makan bersama. Kalau perlu tidak ada yang pegang HP, mengobrol sendiri, televisi dimatikan, tidak main game, atau terlambat datang.

Ketiga, kompetensi istri dalam memasak dan menghidangkan makanan yang bergizi dan bervariasi. Inilah kemampuan dasar dari seorang ibu rumah tangga untuk bisa merangsang anggota keluarganya menjadi penikmat kuliner di rumah, tidak di warung, atau rumah makan.

Mungkin bagi wanita karir, berpendidikan dan kemampuan ekonomi menengah ke atas bisa terbantu dengan adanya pembantu. Tapi pasti ada perbedaan tersendiri ketika saat­saat tertentu seorang ibu memasak dan menghidangkan makanan untuk anggota keluarganya.

Sisi positif dari gaya hidup kuliner bisa memperkaya kemampuan seorang ibu rumah tangga dalam memasak makanan dengan variasi yang lebih banyak. Citra rasa makanan yang sedap tentu semakin mengakrabkan suasana. Sesekali ada kejutan dengan menu yang berbeda. Kuliner bukan sekedar konsumtif atau menjadi komentator masakan ini dan itu.

Sebagai penutup, Nabi Muhammad sebagai panutan kita ternyata juga

punya kebiasaan makan bersama. Abdullah bin Sa’ad menceritakan, “Aku bertanya kepada Nabi tentang menemani makan istri yang haidh, Nabi bersabda, ‘Temanilah makan istri yang sedang haid.” (riwayat at­Turmudzi, Abu daud, dan Ibn Majah, hadits hasan). Dosen tinggal di Balikpapanfo

To: d

ATA

STo

rErE

dIf

f

bacalah nama Allah, maka Allah akan memberkati kalian dalam makanan itu.” (riwayat Abu daud dan Ahmad).

TipS MeMulai Makan BerSaMa

Berikut ini beberapa langkah untuk menjadikan makan bersama di rumah sebagai tradisi. Pertama, komitmen dan konsisten dari seluruh anggota keluarga yang tentu dikomandani oleh ayah dan ibu. Komitmen sebagai awal kesepakatan penting bagi keluarga besar. Jumlah anggota keluarga yang tidak sedikit tentu berbeda dengan keluarga kecil, yang relatif lebih mudah mengaturnya. Komitmen untuk makan bersama pada hari­hari yang disepakati,

“Berkumpullah ketika makan dan bacalah nama Allah,

maka Allah akan memberkati kalian dalam makanan itu.”

(Riwayat Abu Daud dan Ahmad).

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com70

Ketika  Istri Harus Memilih Bekerja 

mar’ah

Islam membolehkan istri bekerja asal memenuhi syarat.

B iaya hidup untuk memenuhi beragam kebutuhan saat ini kian tahun selalu meningkat. Karena alasan inilah banyak istri turut membantu suami

mencari nafkah.Berkaitan dengan hal ini kemudian

muncul pertanyaan, apakah Islam membolehkannya?

Islam tidak melarang seorang istri be kerja. Bukankah putri rasulullah

, fa timah, mendapatkan upah dari hasil menumbuk gandum? Kisah istri Nabi Ayub yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga ketika Nabi Ayub tengah sakit, juga contoh bagaimana istri mengambil peran dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Namun tentunya Islam sebagai agama yang sempurna dan komplit memberikan petunjuk dan arahan apa dan bagaimana sebaiknya Muslimah bekerja. Tidak hanya batasan mengenai pekerjaan apa yang baik dan apa yang harus dihindari, tetapi Islam pun memberikan panduan tentang penghasilan serta harta seorang Muslimah yang bekerja.

Tugas atau peran utama yang harus dijalankan oleh seorang Muslimah

yang telah menjadi istri dan ibu adalah mengurus rumah tangga, mendidik anak, menjaga harta suami, menyelesaikan pekerjaan­pekerjaan rumah yang tak kalah beratnya dari pekerjaan suami.

Seorang istri tidak memiliki kewajiban mencari nafkah, karena kewajiban ini telah dibebankan kepada suami.

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (Al­Baqarah [2] : 233)

yang berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak­anak seperti yang diperintahkan dalam ayat di atas adalah suami. dan kewajiban tersebut tetap berlaku meski suami miskin atau istri dalam keadaan kaya/berkecukupan.

 “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah “ berikan kepadanya. “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath­Thalaq [65] :7)

Mengenai besaran nafkah yang harus diberikan suami untuk keluarga, menurut beberapa ulama disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan

kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Hal ini sesuai dengan Hadits, “Ambilah nafkah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (riwayat Bukhari)

Standar minimal bagi seorang suami dalam memberikan nafkah kepada keluarga adalah batas kecukupan. Tidak ada jumlah yang pasti untuk nafkah karena perbedaan waktu, kebiasaan, murah dan mahalnya barang kebutuhan.

Jika istri terbiasa dengan adanya khadimah (pembantu rumah tangga), suami pun dianjurkan untuk dapat memenuhinya. Namun hal ini tentu kembali kepada kemampuan dari suami.

“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya (pula).” (Al­Baqarah [2]: 236)

Boleh Bekerja, aSal…

Para ulama berpendapat bahwa melakukan pekerjaan rumah bukan kewajiban istri. Namun, hal itu dianjurkan sebagaimana kebiasaan yang berlaku dan istri mendapat pahala dengan mengerjakan pekerjaan rumah secara ikhlas.

Muslimah, ketika telah berkeluarga, tugas utamanya adalah melayani suami, melahirkan dan merawat serta mendidik anak­anak, dan menjaga

Oleh ShOlIh haSyIM*

JUlI 2013/SyaBan 1434 7171

Jendela keluarga

rumah, harta dan kehormatan suami.Namun dalam kondisi tertentu,

Islam tidak melarang seorang istri untuk bekerja di luar rumah. yang terpenting, seorang istri yang memutuskan bekerja di luar bukan untuk mengejar karir. Sebab bila tujuannya ini, dampak yang ditimbulkan tidak kecil. Biasanya, karena salah niat maka sebuah keluarga akan berantakan karena istri bekerja di luar.

Sebelum seorang istri memutuskan untuk bekerja di luar rumah, ada baiknya melihat beberapa faktor yang dibolehkan syar’i.

Pertama, suami kesulitan memberi nafkah istri dan keluarganya. dalam hal ini syariat memberi pilihan bagi istri antara mengajukan fasakh atau tetap bertahan. Jika ingin bertahan, istri boleh membantu suaminya bekerja. Kedua, istri memiliki utang yang harus dilunasi sehingga ia dibolehkan bekerja untuk menutupi utang tersebut.

Selain kedua hal tersebut, ada kaidah­kaidah bagi seorang istri yang perlu diperhatikan ketika bekerja di luar rumah untuk menghindari berbagai sisi negatif. di antara kaidah tersebut yaitu, mengenakan pakaian syar’i dan tidak berbaur dengan kaum lelaki yang bisa menimbulkan kerusakan. Suami juga tahu tempat kerja istrinya dan telah memberikan izin. Terlebih ketika suami tergolong kaya dan mampu memberi nafkah. Lain soal ketika suami miskin dan tidak mampu memberi nafkah, maka suami

istri lalai dalam menunaikan hak suami, misalnya tidak pulang dalam jangka waktu lama saat suami berada di rumah. Khususnya ketika suami sangat memerlukan keberadaannya. dan yang tak kalah penting, tetap bertakwa kepada Allah dalam melakukan pekerjaan dengan menunaikannya secara baik karena pekerjaan yang ditugaskan merupakan amanat.

Jika syarat­syarat yang disebutkan di atas telah terpenuhi, maka sah­sah saja seorang istri bekerja di luar rumah tanpa risiko apapun. dan jika ada kesepakatan antara suami­istri untuk turut bersama memenuhi kebutuhan keluarga di atas, prinsip saling kasih sayang (tawashau bil marhamah) adalah solusi yang terbaik.

Penting diperhatikan bagi seorang istri yaitu mengutamakan pemenuhan kebutuhan keluarga dan rumah tangga, bukan hanya menuntut nafkah kepada suami untuk hal­hal yang sifatnya cuma pelengkap dan untuk penampilan atau kesenangan semata. Wallahu a’lam.

Dai, pengasuh pesantren, tinggal di Kudus

tidak boleh melarang istrinya bekerja.Selain itu, seorang Muslimah yang

bekerja harus mengindahkan etika­etika islami dalam berinteraksi dengan orang lain. Misalnya menjawab salam, menundukkan pandangan, tidak menggunjing orang lain, menghindari berduaan dengan lelaki yang bukan mahram. Juga saat bicara harus tegas tanpa dibuat­buat atau dengan tutur kata lembut saat berbicara dengan lelaki.

Selain itu, sebelum keluar meninggalkan rumah harus memastikan makanan untuk anak­anak dan penjaga mereka. Misalnya, dititipkan pada keluarga atau orang yang bisa dipastikan anak­anak aman selama si ibu bekerja. Atau dititipkan pada pembantu dengan catatan si pembantu bisa dipercaya dan amanah. Bisa juga menitipkan ke lembaga pendidikan dan tempat­tempat pengasuhan anak yang terpercaya. Hal tersebut untuk menghindari apa yang dikatakan rasulullah , “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan menyia­nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”

Meski bekerja, istri harus menunaikan hak suami di rumah. Bekerja di luar tidak boleh membuat

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan

pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.”

(Al­Baqarah [2] : 233)

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com72

Memupuk Percaya Diri Anak

tarbiyah

Mulanya dari mau menerima dan menghargai, lalu berlanjut pada membangkitkan mimpi.

R emaja kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu diam. fasilitator materi yang berdiri di hadapannya menatap seolah tak percaya.

dengan bahu yang bersandar, remaja itu menatap ke arah lain. Mungkin karena merasa tak nyaman dengan kebekuan yang diciptakannya, murid sebuah sekolah ternama itu kemudian berkata, “Bener deh Kak... saya nggak tahu apa kelebihan saya.”

Belum sempat fasilitator itu menjawab, tawa pecah membahana di dalam ruang pelatihan tersebut. Ternyata ada murid lain tak sengaja menjatuhkan handphone (hp) miliknya. Bukan jatuhnya hp itu yang membuat teman­temannya tertawa riuh­rendah, melainkan hp itu ternyata adalah sebuah hp cdma tanpa kamera bermodel jadul (jaman dahulu). Maka, jadilah murid ber­hp jadul itu menjadi bahan olok­olok teman­temannya.

Sang fasilitator tercenung, menghadapi kondisi yang di luar dugaannya tersebut. Kenyataan tentang seorang murid yang tak tahu

apa yang dapat dibanggakan dari dirinya, meski ia bersekolah di sekolah swasta ternama. Hingga mereka yang menertawai ramai­ramai temannya yang membawa hp yang menurut mereka nggak keren. Padahal, sejatinya mereka adalah aset umat yang akan menjadi “hari esok” bagi Din ini. Mereka yang dengan segala kelebihan finansial mampu mendapatkan apa yang mereka inginkan.

MeMpeSona Bak MuSh’aB

Namun, Islam memang tidak pernah mencatat sejarah orang­orang yang “besar maknanya” hanya karena kaya. Bahkan mereka yang kaya pun tidak lantas menjadi orang yang dicintai Allah dan rasul­Nya hanya karena harta. Mereka justru menemukan kepercayaan diri dan kebanggaan ketika mereka dapat melepaskan diri dari kungkungan harta.

Tengoklah catatan sejarah tentang seorang anak muda bernama Mush’ab bin umair. Pemuda Quraisy yang besar dalam limpahan harta. yang membuat setiap pemuda Makkah bermimpi untuk dapat hidup sepertinya. dialah pemuda yang menjadi buah bibir semua orang karena kecerdasannya, kemuliaan di mata kaumnya, ketampanan, dan keanggunannya.

Namun, demi iman pada Allah dan rasul­Nya, Mush’ab dengan

mudah meninggalkan semua itu dan memilih untuk berhijrah ke Habasyah. Saat ia kembali dari Habasyah dan berkumpul kembali dengan rasulullah

, para sahabat tak kuasa menanahan tangis karena haru. Anak muda yang sebelumnya dikenal sebagai pujaan kota Makkah, yang selalu tampil necis dan mempesona, sekarang hanya mengenakan kain kasar yang penuh tambalan dan berdebu.

Namun, dia tetaplah Mush’ab yang cerdas dan menawan. dengan jiwa yang telah bertambah matang dan langkahnya yang semakin tegap karena iman, ia pun tampil sebagai duta rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada penduduk yatsrib. Menghadapi para pembesar yatsrib. Meski banyak di antara para sahabat yang lebih senior dan berasal dari keluarga rasulullah , Mush’ab tetaplah yang terpilih untuk menjadi duta rasulullah , di negeri yang diprospek sebagai tempat tumbuh suburnya Islam. dengan penampilan dan kekayaan yang sangat bersahaja, Mush’ab justru menjelma menjadi orang yang besar dalam sejarah manusia.

kenali FungSi orangTua

Maka, karena tak diizinkan untuk berandai­andai, sekaranglah tugas kita untuk mempersiapkan generasi

Oleh KaRtIKa tRIMaRtI*

JULI 2013/SYABAN 1434 73

Jendela keluarga

semenawan Mush’ab bin umair. Langkah pertama adalah mengenali diri kita sendiri sebagai orangtua.

Masih dalam suasana pelatihan di SMP ternama tadi, sang fasilitator sempat bertanya pada para peserta pelatihan, dengan siapa mereka biasa belajar di rumah. Si fasilitator bertanya, apakah mereka belajar dengan guru privat, sebagian menjawab iya. Sebagian diam. Ketika ditanya, apakah mereka belajar dengan orangtua? Maka, jawabannya pun kompak, tidak.

Ternyata, ketidakhadiran orangtua terutama ibu sebagai madrasah pertama bagi anak ini pun tak hanya datang dari faktor orangtua tetapi sekarang didukung oleh sebuah program sekolah: “Tak Perlu dibantu di rumah”. dan, salah satu sekolah yang mendidik anak­anak usia dini ini pun dengan bangga menyatakan, program itu dicanangkan berdasarkan fenomena bahwa orangtua seringkali tidak sabar menghadapi anak karena “kesibukan”. Lalu siapa yang sebenarnya disebut sebagai orangtua?

Padahal anak lahir dengan berjuta keajaiban yang dibekalkan Allah

kepada kehendak Pencipta­Nya. Maka, cukupkanlah diri kita hanya sebagai orangtua Muslim yang mencukupkan Islam saja sebagai barometer kehidupan kita dan anak­anak kita.

WaSiaT raSulullah

Ingatlah wasiat rasulullah SAW yang mulia, bahwa menjadi Muslim atau tidak anak­anak kita kelak, di tangan kitalah awalnya. “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?” (Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, dan Imam Malik).

Selanjutnya, bangunlah kepercayaan diri mereka dengan mimpi­mimpi karena Ilaahi. Layaknya seorang Muhammad Al­fatih II yang semenjak dini telah bermimpi untuk menghancurkan Konstantinopel. Kakeknyalah yang telah melakukan itu semenjak Al­fatih masih dalam gendongannya. Setiap hari, kakeknyalah yang membisikkan bahwa suatu hari kelak, Al­fatih­lah yang akan menghancurkan benteng ibukota imperium romawi tersebut. Impian itu kelak terwujud di kemudian hari dengan strategi yang belum pernah terpikirkan oleh siapapun sebelumnya. Hanya orang­orang dengan iman penuh dan kepercayaan diri luar­biasalah yang dapat menemukan cara brilian untuk mewujukan mimpinya.

Maka, kerja besar itupun dimulai dari sekarang. dari sejauhmana kita mau mengenali anugerah amanah kita saat ini sebagai orangtua, hingga anak­anak kita mengenali berbagai kebaikan dan kelebihan mereka. Lalu, setulus apa kita bangkitkan mimpi­mimpi terindah mereka agar terwujud menjadi persembahan terbaik pada rabbnya. Ibu rumah tangga tinggal di Bekasi, Jawa Barat

kepada mereka. Mereka sangat antusias, percaya diri, dan tak kenal lelah untuk belajar. Hati mereka penuh dengan cita­cita, keinginan, dan kegembiraan. Hanya saja terkadang, kitalah yang tak mengenali keistimewaan yang diberikan Allah

kepada kita. Keistimewaan sebagai orang yang paling memahami anak kita dan – sebenarnya – sebagai orang yang paling mau menerima anak­anak kita apa­adanya. Namun, karena mendengar kata orang, maka kita pun berubah menjadi orangtua yang ingin anak kita menjadi “mereka”.

Kenalilah diri kita saat ini sebagai orangtua. Maka, anak­anak kita pun akan tumbuh mengenali diri mereka sebagai ciptaan terbaik­Nya dengan berbagai kelebihan. Kenalilah diri kita sebagai orangtua Muslim yang harus mencukupkan diri dengan kebanggaan mendidik mereka dengan cara­cara Islam. Maka, anak­anak kita pun akan tumbuh menjadi pemuda­pemuda yang dadanya penuh dengan ruh kebanggaan mereka menjadi Muslim. Pemuda yang potensinya dibaktikan bagi kemaslahatan, sekaligus tunduk fo

To: d

Ad

AN

G K

uSM

AyA

dI/

SuA

rA H

IdAy

ATu

LLA

H

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com74

Segenggam Iman Anak Kita

A pakah yang dapat ki ta renungkan dari ki sah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘ ? Ke­duanya adalah nabi yang Allah Ta’ala

berikan kemuliaan amat tinggi. Ke­duanya adalah rasul, orang yang diutus Allah ‘ untuk menyampaikan risalah agar orang­orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala menjadi manusia beriman. dan seorang nabi, akhlaknya pasti terjaga, imannya sudah jelas luar biasa dan ibadahnya tak perlu kita ragukan.

Mereka berdua adalah manusia pilihan sepanjang zaman. Jangan tanya kesungguhan keduanya bermunajat kepada Allah. Tetapi itu semua tak mencukupi untuk mengantarkan anak­anak agar menjadi manusia beriman. Kita belajar dari sejarah agama ini betapa putra kedua nabi ini justru termasuk ahli neraka dengan siksa yang kekal. Na’udzubillahi min dzaalik.

Mengapa bisa demikian? Mari sejenak kita renungi fi rman Allah, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafi r. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); ‘Masuklah ke neraka bersama orang-

orang yang masuk (neraka)’.” (At­Tahriim [66]: 10)

Apa yang dapat kita renungkan dari ayat ini? Ada beberapa hal. Sebagian di antaranya betapa kita amat perlu bersungguh­sungguh mendidik anak­anak kita dan menghindarkan mereka sejauh­jauhnya dari siksa neraka. Jika hari ini kita tak tega melihat penderitaan mereka di dunia, lalu merasa amat khawatir dengan “masa depan mereka” sesudah dewasa nanti, maka tegakah kita membiarkan wajahnya melepuh dibakar api neraka? Sedangkan seorang nabi pun tak sanggup mengelakkan anaknya dari siksa neraka jika tak ada iman di hati orang yang amat dicintai tersebut.

Ayat ini secara jelas menunjukkan kepada kita betapa khianatnya seorang istri akan meruntuhkan bangunan iman di rumah kita, meski kita tak putus berdakwah dan tak lelah menyam pai­kan risalah­Nya. Segenggam iman anak kita akan terlepas begitu saja jika istri tak satu kata dengan suami. Ayahnya memang beriman, tapi ibu yang setiap saat mendekap dan mengasuhnya terlepas dari iman, sehingga anak pun tak sanggup menggenggam iman kepada Allah Ta’ala.

Jelas, ketika ayah dan ibu sudah tidak sejalan, maka segenggam iman di hati anak tak dapat tumbuh mengakar dengan kuat. Maka, apakah yang dapat kita renungkan untuk kita hari ini? Apakah yang dapat kita renungkan

Oleh FaUZIl adhIM | FOtO MUh. aBdUS SyaKUR

kolom parenting

JUlI 2013/SyaBan 1434 75

tentang anak­anak kita?Cara paling aman yang dapat

kita lakukan agar anak tak terpapar pengaruh dari luar adalah mendidik sendiri anak kita di rumah. Tidak mengirim mereka ke sekolah. Tetapi ada syaratnya.

Pertama, kita memang harus be­nar­benar mengilmui apa yang kita akan ajarkan sekaligus mengilmui ba­gai mana mengajarkannya kepada anak.

Kedua, kita harus dapat menjamin bahwa orang­orang yang tinggal serumah dengan kita juga harus sejalan dan sepaham dengan kita.

Ketiga, kita mendidik mereka secara total sehingga

anak­anak memperoleh bekal yang mencukupi.

Nah, pertanyaannya,

siapkah kita untuk itu

semua? Jika tidak, maka pilihan kita adalah secara sengaja mengizinkan orang lain mempengaruhi anak kita melalui sekolah. Merekalah guru­guru yang memang secara khusus belajar bagai mana mendidik anak. Tetapi ini pun tidak cukup. Jika guru hanya me­ngajarkan materi pelajaran, sementara mereka tak punya komit men yang tinggi dan kepedulian terhadap iman anak­anak kita, maka jangan terkejut jika anak­anak fasih berbicara tetapi hampa imannya. Mereka pandai berbicara tentang agama, tapi tak meyakininya sepenuh jiwa.

Selain guru, ada sumber pengaruh lainnya yang potensial. Anak pasti akan bergaul dengan teman­temannya. Mereka berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda­beda. Maka ketika datang ke sekolah, mereka juga membawa kebiasaan, budaya, cara pandang, dan bahkan keyakinan keluarga ke sekolah. Nilai­nilai yang mereka dapatkan dari rumah, akan mereka tawarkan kepada teman­temannya di sekolah. Saling pengaruh akan terjadi. Pertanyaannya, kita­kira anak kita termasuk yang mudah terpengaruh ataukah yang paling banyak mempengaruhi temannya? Kira­kira, pengaruh baik ataukah buruk?

Pergaulan anak dengan temannya boleh jadi menguatkan atau sebaliknya melemahkan nilai­nilai yang kita tanamkan dari rumah maupun yang dibekalkan oleh guru di kelas. Kita dapat menyalahkan teman­temannya, bahkan orangtua mereka, manakala anak kita menjadi buruk setelah bergaul dengan teman­temannya. Tapi ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab dengan pikiran jernih dan hati yang bersih, mengapa teman­temannya dapat meruntuhkan apa yang telah kita tanamkan? Apakah yang menyebabkan anak lebih mempercayai temannya? dan apa pula yang menjadikan perkataan kita lebih dipegangi dengan penuh rasa hormat.

Secara sederhana, jika anak­anak memiliki kedekatan emosi yang kuat

dengan kita dan melihat kita sebagai sosok yang jujur, maka anak akan lebih mendengar perkataan kita. Nasehat kita akan mereka perhatikan. Bahkan jika anak melihat orangtua sebagai sosok yang mengagumkan, mereka akan berusaha meniru dan menjadikan kita sebagai panutan. Pun demikian dengan guru, jika anak melihat guru sebagai fi gur yang layak dipercaya dan dihormati, pengaruh guru akan kuat. Karenanya, orangtua dan guru memiliki tugas untuk saling menguatkan kepercayaan anak terhadap keduanya. orangtua menumbuhkan kepercayaan, penghormatan dan ikatan emosi anak terhadap guru. Sementara guru semenjak awal menanamkan kepercayaan, kecintaan dan keinginan untuk senantiasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua (birrul walidain).

Ada tiga kebutuhan psikis anak yang harus kita perhatikan. Jika kebutuhan ini tak terpenuhi, maka temannya akan lebih berpengaruh daripada orangtua maupun guru. Jika kebutuhan tersebut hanya terpenuhi di rumah, maka orangtua akan menjadi fi gur yang berpengaruh, tetapi anak masih cukup mengkhawatirkan di sekolah. Pengaruh orangtua akan melekat lebih kuat jika mampu membangun kedekatan emosi yang kuat sekaligus memenuhi tiga kebutuhan anak tersebut.

Sebaliknya, jika anak tak memperoleh pemenuhan atas kebutuhannya di sekolah saja, maka guru akan berperan sangat penting dalam membentuk kepribadian anak.

Lalu apa tiga kebutuhan yang perlu kita perhatikan tersebut? Pertama, anak perlu menyadari dan meyakini bahwa ia memiliki kemampuan yang bermanfaat. Kedua, anak mampu menjalin hubungan yang nyaman dan bermartabat dengan orangtua dan/atau guru. Ketiga, anak memiliki kebutuhan untuk memiliki peran atau sumbangsih yang berharga, baik di rumah maupun di sekolah.

Nah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Jendela keluarga

Kedua, kita harus dapat menjamin bahwa orang­orang yang tinggal serumah dengan kita juga harus sejalan dan sepaham dengan kita.

Ketiga, kita mendidik mereka secara total sehingga

anak­anak memperoleh bekal yang mencukupi.

Nah, pertanyaannya,

siapkah kita untuk itu

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com76

profi l

“Saat Anda berbaring dirawat, saya dan jenazah

suami saya tepat di bawah kaki Anda,” kata Cigdem

Topcuoglu, janda dari Cetin Topcuoglu, salah satu

syuhada Mavi Marmara yang diserang komando Angkatan

Laut Zionis Israel pada 31 Mei 2010.

Hal itu diutarakan Cigdem saat mengawali wawancara dengan Surya fachrizal, wartawan Suara

Hidayatullah yang berkesempatan hadir untuk bersaksi dan meliput sidang ketiga kasus serangan Mavi Marmara di Istanbul, Turki, 20 ­ 21 Mei 2013 lalu.

Jika Surya mendapat satu peluru di dada kanan, Cetin tertembus tiga peluru. Satu di kepala, satu di badan, dan satu di perut. Berikut kisahnya untuk Anda.

di persidangan itu Cigdem berkata tegas kepada hakim, “Pak Hakim, sekarang Anda kapten kapalnya.” Cigdem menjelaskan, kalimat itu menegaskan kepada hakim bahwa tanggung jawab membebaskan Gaza

dari blokade Zionis kini ada padanya.“Apakah dia akan mengarahkan

kapal tersebut (pengadilan) ke tujuan yang semestinya: kebebasan bagi rakyat Gaza, atau tidak,” jelas Cigdem yang bersama suaminya semasa hidup, adalah atlet dan pelatih tim nasional taekwondo Turki. Bisa jadi, mental sebagai atlet taekwondo ini yang membuatnya bisa berkata tegar di muka hakim dan membuat sang hakim serius mendengarkan kesaksiannya. Bukan cuma mental, ingatan Cigdem juga kuat. Buktinya, dia mampu mengingat dengan detil serangan brutal Israel di Laut Tengah tiga tahun lalu itu, termasuk mengingat wajah Surya.

Meski demikian, Cigdem yang juara Kejuaran Taekwondo Eropa 2008 ini tetaplah istri yang berusaha taat kepada

Ridha Suami

di Mavi Marmara

Cigdem Topcuoglu

JUlI 2013/SyaBan 1434 77

Jendela keluarga

suaminya. Kata Cigdem, sebelum suaminya ditolong relawan lain di kapal Mavi Marmara, dialah yang pertama kali menemukan Cetin terkapar tak bergerak usai menolong aktivis­aktivis lain yang terluka. dia bahkan sempat melakukan bantuan nafas buatan atau CPr.

“Saat melakukan CPr kedua, saya mera sakan sesuatu di tangan saya. Ter­nyata ada peluru yang menembus ke pa­lanya. Setelah itu darah keluar dari mu lut dan hidungnya,” tutur ibu satu putra ini.

Karena Cetin masih bernafas, dia meminta dokter memberikan oksigen kepadanya. Namun Cigdem juga sadar, peluang selamat untuk Cetin sangat tipis karena tiga peluru telah menembus tubuhnya.

“Cetin, tolong katakan kata­kata terakhir untukku. Aku tahu kau akan meninggalkan kami,” katanya sambil berdoa kepada Allah agar suaminya bisa menjawabnya.

Kemudian, kata Cigdem, suaminya bergumam, “Aku ridha kepadamu, dan semoga Allah juga ridha kepadamu. Aku telah memaafkan semua kesalahan yang mungkin telah kau lakukan.”

Kata Cigdem, hal terakhir yang dia katakan ke Cetin adalah minta dititipkan salam kepada Nabi Muhammad . “Kemudian saya tutup matanya dan pergi,” tutur Cigdem.

peMiMpin relaWan pereMpuan

Secara terpisah, Santi Soekanto, wartawan senior asal Indonesia yang bergabung dalam misi Gaza freedom flotilla mengatakan, Cigdem adalah

koordinator para aktivis perempuan di kapal Mavi Marmara. Santi meng gam­bar kan Cigdem sebagai perempuan paruh baya dengan alis tebal yang men­jadi “induk” bagi semua perempuan di atas Mavi Marmara.

“di bawah kepemimpinannya, dek perempuan Mavi Marmara berubah menjadi ‘pesantren putri’ yang setiap santriwatinya mendapatkan tugas dan kewajiban masing­masing,” kata Santi yang juga aktif sebagai pengurus organisasi Sahabat Al Aqsha ini.

Kata Santi, selama menjadi koor­di na tor perempuan di kapal, Cigdem terlihat nyaris tak pernah istirahat. Saat kapal diserang, Cigdem sibuk mondar­mandir meneriaki semua anak buahnya untuk memakai pelampung dan segera berlindung ke dek perempuan.

Cigdem sendiri mengatakan, “Saat se ra ngan itu saya menutup pintu besi dek perempuan dan melarang mereka ke luar dari dek tersebut.” Karena Cigdem mendapati Santi di luar dek pe rem puan, Santi pun kena labrak. Tetapi akhir nya Cigdem bisa memahami kerja jur na listik Santi bersama dzikrullah, suaminya.

Santi menceritakan, saat kapal sepenuhnya dikuasai serdadu bajak laut Zionis, dia melihat Cigdem bersimpuh di dekat jenazah suaminya yang sudah dirapikan dan diselimuti oleh para relawan lainnya. “dia membelai wajah dan rambut sang suami dan menyeka airmatanya sendiri,” cerita Santi.

Kata Santi, beberapa aktivis putri menceritakan kepadanya, Cigdem tidak mau berlama­lama menerima ucapan belasungkawa. “Saya menyaksikan sendiri betapa justru kemudian dia sibuk merawat puluhan relawan lainnya yang luka­luka,” aku Santi.

Saat dipenjara, Santi menambahkan, bersama ratusan aktivis lainnya di Bersheva, Cigdem diinterogasi dan diintimidasi. Cigdem juga sempat mogok makan dan menolak dideportasi oleh Zionis ke Turki untuk menuntut pengembalian jenazah suaminya. Pada akhirnya Zionis memenuhi tuntutan Cigdem.

ditanya soal kompensasi, Cigdem

foTo

: IS

TIM

EWA

menjawab tidak akan mau menerima uang kompensasi dari Israel atas pembunuhan suaminya itu. dia juga bilang, kalau Israel lebih dulu memberi kompensasi atas seluruh orang Palestina yang mereka bunuh sejak proklamasi Israel tahun 1948, baru dia berpikir untuk menerimanya.

juara TaekWondo

Cigdem dilahirkan tahun 1965 di Provinsi Adana, kota terbesar keempat di selatan Turki. dia juara taekwondo tingkat nasional tahun 2011, juara dunia pada tahun 2008, juga pernah menjadi juara Eropa dua kali. dia juga aktif sebagai pelatih taekwondo di universtas Cukurova, di Adana.

dia bergabung dengan misi Gaza freedom flotilla bersama suaminya, Cetin Topcuoglu, kelahiran 1956, yang juga atlet sekaligus pelatih tim nasional taekwondo Turki. Cigdem dan Cetin dikaruniai seorang putra bernama Aytek Topcuoglu, kelahiran 1984, yang juga juara ketiga nasional olah raga Kick Boxing.

“Saat ini Aytek menjadi tenaga keamanan khusus untuk Presiden IHH, Bulent yildirim,” kata Cigdem.

IHH adalah singkatan dari Insani Hak ve Huriyetlere Insani yardim Vakfi , lembaga kemanusiaan terbesar di Turki yang mengorganisir misi Gaza freedom flotilla.

Cigdem mengatakan kehidupannya saat ini membaik. “Kami baik­baik saja,” kata Cigdem. Hanya saja, aktivitasnya melatih taekwondo di universitas Cuku­rova dihentikan tanpa alasan yang jelas.

Saat ini, Cigdem mengurus yayasan bantuan sosial dan mengelola klub olah raga sekaligus melatih taekwondo di klub itu.

dia juga pemegang danlima Taekwondo, dansatu Kick Boxing, dansatu Whusu, serta dansatu Th ai Boxing.

Sekelumit pengalamannya saat ditangkap Israel ia bertutur, “Saya dipukuli,” katanya sambil tersenyum. Surya Fachrizal/Suara Hidayatullah Cigdem bersama anak dan suaminya (alm)

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com78 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com78 SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com78

Diasuh oleh : ustaDz hamim thohari

konsultasi keluarga

SUARA HIDAYATULLAH | www.hidayatullah.com78

WaliyullahAssalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Sebulan yang lalu tetangga saya meningggal dunia. Sepanjang pengamatan saya, almarhum bia­sa­biasa saja. Ibadahnya juga tidak terlalu istimewa. Sesekali saya melihatnya ke masjid, tapi masih ba­nyak jamaah lain yang lebih rajin dibanding de­ngannya. Justru yang mengherankan saya, banyak orang yang menganggapnya sebagai waliyullah. Di tempat saya tinggal almarhum dikenal memiliki ba­nyak kelebihan, semacam karamah. Bagaimana me­nu rut Ustadz?DH Di Makasar

Jawab

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh. Al­Qur’an telah menjelaskan bahwa waliyullah

adalah setiap Muslim yang beriman, bertakwa, se­nantiasa merasa bahwa setiap gerak geriknya di­awa si oleh Allah , serta menjalankan perintah dan menjauhi larangannya. Semua orang Muslim yang telah memenuhi kriteria tersebut di atas, me­nu rut petunjuk ini disebut waliyullah.

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman, dan senantiasa ber tak wa. Bagi mereka berita gembira dalam ke-hi dupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada pe-ru bahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (Yunus [10]: 62–64)

Sebutan wali atau jama’nya auliya, yang dikenal oleh masyarakat kita biasanya selalu dikaitkan de­ngan kesaktian atau biasa disebut karamah. Mereka yang bisa mengobati orang yang sakit dengan jampi­jampi, meramal masa depan, mengetahui pikiran orang lain, atau bisa berjalan di atas air sering di se­but sebagai wali. Padahal semua perbuatan itu bisa di lakukan oleh dukun, bahkan tukang sihir.

Jadi, sebutan wali itu harus dikembalikan pada

ketentuan Allah . Jangan membuat ketentuan sendiri. Apa yang ditetapkan Allah itulah yang paling benar.

Terhadap ilmu ghaib kita tidak boleh mengira­ngira sendiri, kecuali atas petunjuk­Nya yang pasti. Akhir hayat seseorang, apakah beriman atau kafir, apakah termasuk khusnul khatimah atau su’ul khatimah, apakah masuk surga atau ne raka adalah rahasia Allah. Kita hanya bisa me­nge tahui tanda­tanda yang telah dijelaskan Allah dan Rasul­Nya.

Berikut sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Ada seorang wanita ber na­ma Ummul ‘Ala, ia termasuk wanita yang per­nah berbaiat kepada Rasulullah SAW. Ia ber­kisah, “Saat dibagikan undian untuk melayani kaum Muhajirin, saya mendapatkan Usman bin Mazhun. Lalu saya tempatkan di rumah saya. Sa­yang nya, ia menderita sakit yang me nye bab kan ke ma tiannya. Di hari wafatnya, setelah di man ­dikan lalu dikafani, Rasulullah masuk, saya pun mengatakan, ‘Rahmat Allah atas diri mu wahai Abu Saib (Usman bin Mazhun). Per sak si kan terhadap dirimu bahwa Allah telah me mu lia kanmu.’ Terhadap peristiwa itu serta merta Rasulullah

bersabda, ‘Dari mana ka mu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?’ Saya mengatakan, ‘Ayah saya sebagai taruhan atas kebenaran ucapan saya, ya Rasulullah , lalu siapa yang Allah muliakan?’ Rasulullah menjawab, ‘Adapun dia, maka telah datang ke ma tian nya. Demi Allah, aku benar­benar ber ha rap untuknya kebaikan. Aku sendiri tidak tahu, padahal aku ini utusan Allah. (Aku juga ti dak tahu) apa yang nantinya akan diperlakukan ter ha dap diriku.’ Ummu ‘Ala mengatakan, ‘Demi Allah, saya tidak lagi memberikan takziyah (per­sak sian baik) setelah itu selama­lamanya.’

Semoga jawaban ini dapat mencerahkan Anda dan orang­orang di sekitar Anda. Wallahu a’lam bish-shawab.