Ruang Lingkup Ilmu Hukum Pajak - pustaka.ut.ac.id filememiliki daya paksa yang kuat ini tetap...

46
Modul 1 Ruang Lingkup Ilmu Hukum Pajak Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H.,M.B.A.,M.M., FC.B.Arb. alaupun pajak mempunyai peranan penting untuk membiayai belanja negara, tetapi pajak bukan merupakan tujuan semata, hanya sebagai alat/sarana/instrumen untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia1945: ............ untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ............. Untuk itulah pungutan pajak diberi kewenangan yang berkekuatan memaksa guna mencapai tujuan negara tersebut, di mana legitimasinya dinyatakan dalam konstitusi dasar UUD 1945 sebagai sumber peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Dalam perkembangannya, dasar pengaturan pajak telah terjadi perubahan mendasar. Semula dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, kemudian setelah amandemen ke-III UUD 1945 dinyatakan dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa Pajak dan pungutan bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang- undang.Perubahan paradigma pungutan pajak tersebut ingin menunjukkan bahwa pajak yang mempunyai daya paksa tersebut implementasinya tidak dilakukan dengan semena-mena, tetapi harus melalui undang-undang yang mekanismenya tentu melalui persetujuan dari wakil rakyat di parlemen. Seandainya dalam pelaksanaannya harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Hingga diharapkan pelaksanaan pungutan pajak yang memiliki daya paksa yang kuat ini tetap dilakukan sesuai dengan rasa keadilan. W PENDAHULUAN

Transcript of Ruang Lingkup Ilmu Hukum Pajak - pustaka.ut.ac.id filememiliki daya paksa yang kuat ini tetap...

Modul 1

Ruang Lingkup Ilmu Hukum Pajak

Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H.,M.B.A.,M.M., FC.B.Arb.

alaupun pajak mempunyai peranan penting untuk membiayai belanja

negara, tetapi pajak bukan merupakan tujuan semata, hanya sebagai

alat/sarana/instrumen untuk mencapai tujuan negara Indonesia sebagaimana

dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Republik

Indonesia1945:

............ untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial .............

Untuk itulah pungutan pajak diberi kewenangan yang berkekuatan

memaksa guna mencapai tujuan negara tersebut, di mana legitimasinya

dinyatakan dalam konstitusi dasar UUD 1945 sebagai sumber peraturan

perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Dalam perkembangannya, dasar

pengaturan pajak telah terjadi perubahan mendasar. Semula dinyatakan dalam

Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, kemudian setelah amandemen ke-III UUD 1945

dinyatakan dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Pajak dan

pungutan bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan undang-

undang.”

Perubahan paradigma pungutan pajak tersebut ingin menunjukkan bahwa

pajak yang mempunyai daya paksa tersebut implementasinya tidak dilakukan

dengan semena-mena, tetapi harus melalui undang-undang yang

mekanismenya tentu melalui persetujuan dari wakil rakyat di parlemen.

Seandainya dalam pelaksanaannya harus dilakukan melalui peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi tetap tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang. Hingga diharapkan pelaksanaan pungutan pajak yang

memiliki daya paksa yang kuat ini tetap dilakukan sesuai dengan rasa keadilan.

W

PENDAHULUAN

1.2 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Dalam modul ini dibagi dalam tiga kegiatan belajar, masing-masing

menguraikan mengenai ruang lingkup dan perkembangan hukum pajak,

pengertian pajak, dan fungsi pemungutan pajak.

Selamat mengikuti kegiatan belajar.

HKUM4407/MODUL 1 1.3

Kegiatan Belajar 1

Ruang Lingkup dan Perkembangan Hukum Pajak

egara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum, hal ini

tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 di mana ditegaskan bahwa

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) tidak

berdasarkan kekuasaan (mahcts staat). Sebagai negara yang berlandaskan

hukum, negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Artinya, segala

tindakan dan kebijakan alat-alat perlengkapan negara harus berdasarkan

hukum. Hukum menjadi landasan pokok untuk mencapai cita-cita masyarakat

yang adil dan makmur secara merata.

Keadilan adalah syarat tercapainya kebahagiaan hidup. Keadilan

merupakan cerminan dari cita-cita rakyat yang tertuang dalam konstitusi

negara. Ukuran keadilan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan dari

negara hukum. Untuk mencapai negara hukum yang berkeadilan diperlukan

biaya yang salah satunya diperoleh dari pungutan pajak, yang aturan dasarnya

dicantumkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.

Pungutan pajak merupakan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.

Setiap kebijakan publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan

berlaku mengikat kehidupan bersama maka pada saat itu pula kebijakan publik

menjadi hukum. Dengan demikian, hukum merupakan salah satu bentuk atau

wujud dari kebijakan publik atau dengan istilah lain, hukum merupakan bagian

dari kebijakan publik. Namun demikian, tidak selamanya bahwa kebijakan

publik merupakan hukum publik, apabila tidak didokumenkan secara formal.

Hukum pajak yang disebut juga hukum fiskal merupakan kebijakan publik

yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal, yaitu dalam konstitusi UUD

negara Republik Indonesia 1945 dan di dalam konstitusi tersebut

mengamanatkan bahwa regulasi pungutan pajak harus ditetapkan dalam

bentuk undang-undang. Oleh karena itu, kebijakan pungutan pajak masuk

bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dan orang-

orang atau badan (hukum) yang mempunyai kewajiban membayar pajak

(selanjutnya disebut wajib pajak). Dengan demikian, kedudukan hukum pajak

ditinjau dari substansinya termasuk dalam kategori hukum publik (hukum

negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan

N

1.4 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

perseorangan (warga negara), bukan hukum privat (hukum sipil), yaitu hukum

yang mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan

menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Penggolongan hukum pajak sebagai hukum publik, sebagian besar pakar

berpendapat bahwa pajak adalah merupakan bagian dari hukum administrasi

negara karena permasalahan yang diatur dalam hukum pajak berkaitan dengan

administrasi negara. Sementara itu, penulis berpendapat walaupun hukum

pajak adalah sebagai disiplin ilmu tersendiri yang terlepas dari hukum

administrasi negara, namun tetap kelompok dari hukum publik. Akan tetapi,

merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri dengan alasan sebagai berikut:

1. jangkauan pengaturan hukum pajak sangat luas, meliputi pemerintah

daerah kabupaten/kota (pajak daerah kabupaten/kota), pemerintah daerah

provinsi (pajak daerah provinsi), pemerintah pusat (pajak pusat), pajak

bilateral (tax treaty), dan pajak regional dan pajak internasional;

2. bahkan pengertian pajak dalam postur APBN adalah penerimaan

perpajakan yang meliputi penerimaan pajak pusat, penerimaan bea dan

cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

3. hukum pajak secara langsung dapat digunakan sebagai instrumen politik

perekonomian suatu negara;

4. hukum pajak tidak saja bersifat administrasi, tetapi juga bersifat

pengaturan (regulasi) dan hitung-hitungan (akuntansi);

5. hukum pajak memiliki aturan dan istilah yang khusus;

6. hukum pajak mengatur sanksi lebih luas baik dalam jenis maupun

objeknya.

A. JANGKAUAN PENGATURAN HUKUM PAJAK

Hukum pajak memiliki lingkup jangkauan pengaturan dan kewenangan

yang berbeda, yang meliputi pajak daerah, pajak pusat, pajak bilateral, dan

pajak internasional.

1. Pajak daerah adalah pajak yang pungutannya ditetapkan berdasarkan

Peraturan daerah (Perda), namun jenis, subjek, objek, dan tarifnya tidak

boleh bertentangan dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Pajak

daerah dibedakan pajak daerah provinsi, di mana wilayah berlakunya

hanya dalam provinsi yang bersangkutan dan pajak daerah kabupaten/kota

yang wilayah berlakunya hanya sebatas kabupaten/kota yang

HKUM4407/MODUL 1 1.5

bersangkutan saja. Terhadap penerimaan pajak provinsi akan dibagi

hasilkan kepada daerah kabupaten/kota di mana pajak tersebut dipungut.

2. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat guna

membiayai kelangsungan pemerintahan negara Republik Indonesia,

melalui APBN. Berkenaan dengan perubahan sistem tata kelola

pemerintahan di Indonesia menjadi otonomi daerah sejak ditetapkannya

UU Nomor 22 Tahun 1999 maka penerimaan pajak pusat dari Penghasilan

Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25 dan Pasal 29) dan Pajak

Penghasilan Karyawan (PPh Pasal 21) dibagihasilkan kepada daerah.

3. Pajak bilateral adalah dalam pemberlakuan hukum pajak atas dasar

kesepakatan antar dua negara berdasarkan perjanjian bilateral yang

dikenal dengan tax treaty di mana diperjanjikan di antara dua negara

mengenai subjek, objek, tarif pajak maupun hal-hal lain yang disepakati

mengenai pengenaan pajak antarnegara.

4. Pajak regional adalah kesepakatan dasar dan lingkup pengenaan pajak di

antara negara-negara dalam masing-masing regional, misalnya negara-

negara ASEAN, Schengen, dan lain-lain.

5. Pajak internasional adalah kesepakatan dasar dan lingkup pengenaan

pajak atas dasar keputusan internasional.

B. PENGERTIAN PAJAK DALAM POSTUR APBN

Pengertian pajak dalam APBN adalah perpajakan yang mempunyai

makna lebih luas. Secara garis besar dalam postur APBN dibagi dalam tiga

kelompok, yaitu pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan.

Pendapatan negara, meliputi pendapatan perpajakan, Pendapatan Negara

Bukan Pajak (PNBP), dan pendapatan hibah. Pendapatan perpajakan, meliputi

penerimaan pajak pusat, penerimaan bea dan cukai. Dengan demikian, dalam

lingkup APBN perpajakan, meliputi segala pungutan negara (pemerintah

pusat) selain Penerimaan Negara Bukan Pajak.

C. SEBAGAI INSTRUMEN POLITIK PEREKONOMIAN SUATU

NEGARA

Pajak merupakan instrumen politik perekonomian suatu negara karena

penerimaan pajak sangat dominan sebagai penerimaan negara guna membiayai

roda pemerintahan negara Indonesia. Karena itu, hukum pajak mempunyai

1.6 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

daya paksa yang kuat, ketetapannya langsung dapat dilaksanakan walaupun

pembayar pajak sedang mengajukan upaya hukum (ketetapan pajak bersifat

executorial beslag yang mempunyai kekuatan hukum tetap). Dalam rangka

meningkatkan penerimaan dalam pemerintahan, Bapak Presiden Joko Widodo

melakukan pengawasan yang ketat terhadap kewajiban perpajakan sebagai

instrumen politik perekonomian nasional guna mewujudkan cita-cita

kemakmuran rakyat. Dengan demikian, pajak dapat dijadikan sebagai

instrumen politik perekonomian suatu negara, namun pelaksanaannya harus

berpijak pada undang-undang sebagaimana tercantum konstitusi dasar NKRI

1945 Pasal 23A.

D. TIDAK HANYA BERSIFAT ADMINISTRASI

Keputusan atau ketetapan tentang pajak (dalam Hukum Tata Usaha

Negara lazim disebut dengan beschikking) tidak saja hanya berkaitan dengan

administrasi, tetapi juga meliputi regulasi dan akuntansi (hitung-hitungan).

Bersifat administrasi karena penetapan dan ketetapan pajak sangat berkaitan

dengan kompetensi yang menetapkan berdasarkan jabatan dan wilayah

administrasi. Selain itu, penetapan dan ketetapan pajak ditetapkan harus diatur

dengan undang-undang. Konsekuensinya bahwa untuk regulasi yang mengikat

publik tidak boleh diatur selain dengan peraturan perundang-undangan. Selain

itu, pajak meliputi hitung-hitungan yang bersifat akuntansi, walaupun dalam

hal-hal khusus ketentuan akuntansi tidak dapat sepenuhnya diberlakukan

dalam pengenaan pajak.

E. MEMILIKI ATURAN DAN ISTILAH KHUSUS

Pajak memiliki aturan dan istilah khusus yang tidak lazim digunakan

dalam ketentuan lain. Misalnya, pajak dikenakan terhadap penghasilan tanpa

membedakan dari sebab yang dibenarkan maupun bertentangan dengan

undang-undang (dari sebab yang halal maupun yang haram), hal tersebut tentu

saja bertentangan dengan segala ketentuan perundang-undangan dari berbagai

lembaga.

HKUM4407/MODUL 1 1.7

F. SANKSINYA LUAS

Sanksi pajak selain dikenakan terhadap pembayar pajak (wajib pajak) juga

dikenakan kepada aparatur pajak dan pihak ketiga berkaitan dengan kewajiban

dalam bidang perpajakan. Khusus terhadap wajib pajak, terdapat sanksi

administrasi berupa denda, bunga, dan kenaikan serta sanksi pidana. Sanksi

pidana walaupun dinyatakan dengan tegas dalam perundang-undangan, namun

penerapannya merupakan upaya akhir (mutatis mutandis) manakala sanksi

administrasi kurang dapat menimbulkan efek jera.

Undang-Undang Dasar 1945 mensyaratkan bahwa pajak harus diatur

dengan undang-undang. Oleh karena itu, pajak termasuk sebagai hukum

tertulis (statute law = writen law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak mungkin

pajak dikenakan karena adat kebiasaan dari hukum tidak tertulis (unstatute law

= unwriten law), kalau terjadi namanya bukan pajak, tetapi upeti.

Rochmat Soemitro, salah seorang pakar hukum pajak di Indonesia,

menggambarkan kedudukan dan hubungan hukum pajak dengan hukum-

hukum lainnya sebagai berikut:

Gambar 1.1

Kedudukan dan Hubungan Hukum Pajak

dengan Hukum-hukum Lainnya

1.8 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Di Indonesia, pajak merupakan sumber penerimaan utama negara,

penerimaan pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

dari tahun ke tahun menunjukkan peranan yang terus meningkat terhadap

seluruh pendapatan negara. Salah satu ciri dari pajak adalah pungutannya

dilakukan negara bersifat memaksa. Agar pungutan pajak tidak mencederai

rasa keadilan masyarakat maka upaya pemaksaan tersebut bersifat legal.

Legalitas dimaksud adalah dengan menyandarkan pungutan pajak melalui

undang-undang. Tanpa undang-undang, pemungutan pajak tidak mengikat

masyarakat dan menjadi tidak sah. Oleh karena itu, walaupun pemungutan

pajak itu digunakan untuk keperluan rakyat, namun pemungutan pajak harus

terlebih dahulu disetujui oleh rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23

UUD 1945 yang mengatur dasar pemungutan pajak di Indonesia. Ketentuan

tersebut merupakan manifestasi dari negara Republik Indonesia sebagai negara

hukum yang berfalsafah Pancasila serta menjunjung tinggi hak dan kewajiban

warga negara.

Seiring dengan perkembangan politik ketatanegaraan dan perekonomian

Indonesia, dasar pungutan pajak dalam UUD telah berubah di mana semula

tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi “Segala pajak untuk

keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Setelah amandemen ketiga

UUD NKRI 1945 tanggal 9 November 2001 dinyatakan di dalam Pasal 23A

yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk

keperluan negara diatur dengan undang-undang.”

Terdapat perbedaan prinsip perubahan pengaturan pajak dalam UUD

NKRI 1945, yaitu semula “berdasarkan undang-undang” setelah amandemen

ketiga berubah menjadi “diatur dengan undang-undang”. Para pakar hukum

yang menganut aliran hukum positif, secara ekstrim menyatakan bahwa

dengan berubahnya aturan dasar pungutan pajak menjadi “diatur dengan

undang-undang”, sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945

sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia maka segala

pengaturan pajak yang mengikat publik tidak boleh diatur selain dengan

undang-undang.

Penulis berpendapat bahwa “diatur dengan undang-undang” harus

dimaknai sebagai diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian

perundang-undangan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1)

UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur mengenai jenis dan hierarki perundang-

undangan, yaitu terdiri atas:

HKUM4407/MODUL 1 1.9

1. Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 (UUD 1945);

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR);

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPPU);

4. Peraturan Pemerintah (PP);

5. Peraturan Presiden (Perpres);

6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi;

7. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.

Dengan demikian, konsekuensi dari perubahan aturan dasar pungutan

pajak dalam UUD 1945 tersebut, berakibat bahwa pengaturan pajak yang

mengikat publik tidak dibolehkan diatur selain dengan peraturan perundang-

undangan. Bahkan dengan ditetapkannya hierarki peraturan perundang-

undangan tersebut maka peraturan pelaksanaan dari undang-undang tidak

boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Sementara itu, pemahaman sesuai bunyi gramatika pasal 23A UUD 1945,

pajak harus diatur dengan undang-undang, apabila dilaksanakan akan

berakibat pengaturan pajak akan out of date ketinggalan dengan perkembangan

dunia usaha yang berkembang begitu cepat dan dinamis. Hal tersebut

disebabkan karena untuk melahirkan sebuah undang-undang akan melalui

proses yang lama, baik dari tata cara mengajukan Rancangan Undang-Undang

(RUU) yang melalui proses tata urutan prioritas Prolegnas (Program Legislasi

Nasional), serta pembahasannya RUU di DPR sebagai badan legislatif.

Lingkup pembahasan pajak dalam kajian ini juga memperhatikan

kewenangan pemerintah daerah dalam memungut pajak karena berkaitan

dengan tata kelola pemerintahan Indonesia yang telah berubah menjadi

desentralistik (otonomi daerah). Satu dan lain hal disebabkan karena pajak baik

bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, memiliki peranan yang

dominan terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional

(APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Pentingnya pajak bagi negara (pemerintah pusat maupun daerah) sangat

disadari karena peranan pajak dalam menunjang APBN sebagai penerimaan

negara maupun APBD sebagai penerimaan daerah sangat dominan.

Penerimaan tersebut semata dalam rangka untuk kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat sebagaimana tertuang dalam Mukadimah UUD 1945

alinea keempat, yaitu:

1.10 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

“……untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat………dst”

Begitu besarnya peranan dan kewajiban pajak untuk penerimaan negara

hingga ketetapan pajak mempunyai sifat daya paksa setara dengan putusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Atas dasar alasan tersebut maka pemerintah mengatur pungutan pajak di dalam

Undang-Undang Dasar yang implementasinya harus tertib dan disahkan wakil

rakyat di DPR sebagai undang-undang.

Menurut Teresa Ter-Minassian dalam buku “Fiscal Federalism in Theory

and Practise” menyatakan bahwa untuk menjaga ketertiban dalam

pemungutan pajak, perlu dipenuhi persyaratan administratif sebagai berikut:

1. Jumlah pajak yang dipungut dari masing-masing wajib pajak harus jelas

dan pasti.

2. Wajib pajak harus dimungkinkan untuk menghitung sendiri jumlah pajak

terutang, kapan serta di mana harus membayar, dan melaporkannya

kepada institusi yang berwenang.

3. Pemerintah harus memberikan fasilitas yang sebaik-baiknya supaya wajib

pajak dapat dengan mudah, tanpa tambahan pengorbanan untuk

memenuhi kewajiban perpajakan kepada negara.

4. Biaya administrasi pajak harus diusahakan seminimal mungkin karena

yang diharapkan sebagai dana untuk membiayai pengeluaran negara

adalah dari hasil bersih.

5. Pemerintah harus diberi kekuasaan untuk memungut tunggakan pajak

dengan paksa, apabila diperlukan.

6. Demikian pula wajib pajak harus dijamin haknya untuk mengajukan

upaya hukum apabila dirasakan tidak adil terhadap beban pajak yang

dipikul.

Rochmat Sumitro dalam buku “Asas dan Dasar Perpajakan I” mengutip

pendapat Adam Smith dalam bukunya “Wealth of Nations” yang terkenal di

seluruh dunia yang memberikan pedoman bahwa supaya peraturan pajak itu

adil harus memenuhi empat syarat. Keempat syarat tersebut disebut dengan

“The Four Canons of Adam Smith” sering juga disebut dengan “The Four

Maxims”, yaitu:

HKUM4407/MODUL 1 1.11

1. Equalty and equity

Orang berada dalam keadaan sama harus dikenakan pajak yang sama.

2. Certainty

Dalam membuat undang-undang perpajakan, peraturannya harus jelas,

tegas dan tidak mengandung arti ganda yang memberikan peluang

penafsiran,

3. Convenience of payment

Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu saat wajib pajak

mempunyai uang.

4. Economics of collection

Harus dipertimbangkan bahwa biaya pemungutan pajak harus lebih kecil

dari uang pajak yang masuk.

Dalam meneliti lebih dalam mengenai hukum pajak, terdapat hal penting

yang menjadi pokok bahasan, yaitu bahwa pungutan pajak harus memenuhi

rasa keadilan baik bagi pemerintah sebagai pemungut pajak, maupun

pembayar pajak (wajib pajak). Keadilan berkenaan dengan pajak (tax justice),

mengandung pemahaman yang luas dan pelik. John Rawls mengemukakan

terdapat dua prinsip keadilan, pertama, yaitu hak perlakuan yang sama yang

dimiliki setiap orang tanpa membedakan status dan jabatan. Kemudian yang

kedua adalah bagaimana mengatur ketimpangan sosial dan ekonomi sehingga

dapat memberikan harapan dan keuntungan bagi semua orang.

Keadilan adalah kebajikan utama dalam pemerintahan dan institusi sosial,

apalagi pungutan pajak yang mempunyai daya paksa, walaupun

penerimaannya akan digunakan untuk pembangunan negara, akan tetapi harus

dirasakan adil bagi masyarakat yang dipungut sebagai pembayar pajak. Untuk

itulah, UUD 1945 sebagai konstitusi dasar negara Republik Indonesia

mewajibkan bahwa segala pungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-

undang. Undang-undang merupakan manifestasi keadilan karena mekanisme

pembuatan undang-undang adalah melalui proses yang harus diwakili

perwakilan rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan

Perwakilan Rakyat.

Berkaitan dengan kebijakan fiskal dalam jangka menengah Pemerintah

Republik Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2004-2010 diarahkan untuk menjaga

ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) melalui optimalisasi

sumber-sumber pendapatan negara, peningkatan efisensi dan efektifitas

1.12 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

belanja negara, serta pengelolaan pembiayaan secara berhati-hati. Dengan

kebijakan tersebut, defisit anggaran dapat terjaga dan terkelola sehingga rasio

utang pemerintah terhadap PDB terus menurun. Di tahun 2014, kebijakan

fiskal diarahkan untuk (1) menyediakan stimulasi fiskal secara terukur dengan

tetap menjaga kesinambungan fiskal; (2) memperkuat kapasitas fiskal (fiscal

capasity); (3) memperlebar ruang fiskal (fiscal space); (4) meningkatkan

kualitas belanja (quality spending); (5) memperkuat pengelolaan keuangan

daerah dalam kerangka desentralisasi fiskal; dan (6) memantapkan

pengelolaan pembiayaan anggaran.

Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara, utamanya dalam

mendukung penerimaan perpajakan, sepanjang tahun 2004-2013, pemerintah

telah melakukan berbagai kebijakan di bidang perpajakan. Secara garis besar

dapat digolongkan menjadi: (1) kebijakan yang bersifat umum; (2) kebijakan

di bidang PPh; dan (3) kebijakan di bidang PPN.

Kebijakan umum perpajakan yang dilakukan, meliputi (1) perluasan basis

pengenaan pajak (tax base); (2) optimalisasi teknologi informasi dalam rangka

penggalian potensi dan pengawasan Wajib Pajak (WP) melalui pemanfaatan

aplikasi profil berbasis web (Approweb) dan aplikasi dashboard penerimaan

pajak; (3) Sensus Pajak Nasional (SPN); dan (4) penguatan infrastruktur

penerimaan pajak dengan memanfaatkan sinkronisasi Sistem Kliring Nasional

(SKN) antara Bank Indonesia dan Modul Penerimaan Negara (MPN).

Sementara itu, kebijakan di bidang PPh yang telah dilakukan antara lain: (1)

pembenahan kebijakan pengenaan PPh final; dan (2) kebijakan penyesuaian

batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk memberikan stimulus

fiskal bagi perekonomian. Untuk bidang PPN, kebijakan difokuskan pada

pembenahan administrasi dalam sistem PPN untuk mengurangi

penyalahgunaan faktur pajak bermasalah melalui: (1) penyederhanaan

pengenaan PPN melalui mekanisme Ideemed Tax; (2) pemberlakuan sistem E-

invoice; dan (3) pemberlakuan sistem barcode sebagai identitas transaksi

Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Dari sisi belanja, dalam upaya meningkatkan kualitas belanja negara,

kebijakan lebih ditekankan pada pentingnya langkah efisiensi dan efektivitas

dalam mendorong produktivitas pada setiap jenis belanja untuk menciptakan

efisiensi ekonomi dan peningkatan daya saing perekonomian domestik.

Dari sisi pembiayaan, untuk dapat mengimbangi perkiraan defisit besar,

pemerintah berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut dengan

menerapkan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan berbagai faktor, di

HKUM4407/MODUL 1 1.13

antaranya biaya dan risiko utang, perkembangan kondisi pasar keuangan,

kapasitas daya serap pasar Surat Berharga Negara (SBN), country ceilling/

single county limit masing-masing lender, dan kebutuhan kas negara.

Pembiayaan defisit anggaran diprioritaskan melalui optimalisasi sumber-

sumber pembayaran utang dari dalam negeri yang dilaksanakan bersamaan

dengan upaya untuk mengoptimalkan peran serta dari masyarakat (financial

inclusion), mengembangkan pasar keuangan domestik (financial deepening),

dan meningkatkan pengaruh pengganda (multipier effect) perekonomian

nasional. Sementara itu, pembiayaan yang bersumber dari luar negeri selalu

diupayakan dengan menjaga negatif net flow untuk mengurangi

ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri.

Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa pungutan pajak harus ada

ketentuan undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu, seperti halnya

jenis-jenis pajak pusat diatur dengan undang-undang. Namun, untuk pajak

daerah seiring dengan otonomi daerah yang memberikan kewenangan

pungutan pajak dan retribusi kepada daerah, sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah melimpahkan kewenangannya

pengaturan pemungutannya kepada daerah dengan Peraturan daerah (Perda),

tetapi tetap harus berpedoman dan tidak boleh menyimpang atau bertentangan

dengan UU (UU Nomor 28 Tahun 2009). Karena, berdasarkan hierarki

peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 dari UU Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan daerah

adalah kedudukannya di bawah undang-undang. Sesuai asas dan teori hukum

murni yang juga dianut dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa “Peraturan

perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan di atasnya.” Tegasnya, peraturan daerah tentang pajak daerah tidak

boleh bertentangan dengan undang-undang.

Sementara itu, untuk Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

kewenangan pemungutannya dibedakan antara PDRD provinsi dan PDRD

kabupaten/kota di mana jenis dan peruntukannya berbeda yang akan dibahas

kemudian.

1.14 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

1) Mengapa pajak termasuk dalam hukum publik?

2) Mengapa pajak termasuk dalam disiplin ilmu hukum tersendiri?

3) Jelaskan kedudukan hukum pajak dengan hukum lainnya!

4) Jelaskan penerimaan negara berdasarkan postur APBN!

5) Mengapa pengaturan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang?

6) Bagaimana perkembangan pengaturan dasar tentang pajak dalam UUD

1945?

7) Apakah makna pajak diatur dengan undang-undang?

8) Bagaimana pungutan pajak agar dirasakan adil bagi pembayar pajak?

9) Jelaskan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia!

10) Apa yang Saudara ketahui tentang Teori “The Four Maxims“!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Pajak termasuk lingkup hukum publik karena mengatur hubungan antara

negara dan orang-orang atau badan (hukum) yang mempunyai kewajiban

membayar pajak.

2) Pajak termasuk disiplin ilmu tersendiri karena selain berkaitan dengan tata

kelola negara, administrasi juga mengatur secara khusus tentang tindak

pidana bagi yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan.

3) Kedudukan hukum pajak dengan hukum lainnya bahwa hukum pajak

merupakan lex specialis di bidang pungutan pajak terhadap undang-

undang lainnya.

4) Penerimaan negara di dalam postur APBN terdiri dari penerimaan

perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah.

5) Pengaturan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang, hal tersebut

disebabkan bahwa walaupun pajak mempunyai kekuatan bersifat

memaksa untuk kepentingan negara, tetapi pajak bukan merupakan tujuan

dari negara namun keberadaannya adalah sebagai sarana atau instrumen

guna mencapai tujuan negara.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

HKUM4407/MODUL 1 1.15

6) Pengaturan perkembangan dasar tentang pajak dalam UUD 1945 telah

berubah, semula dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 kemudian

setelah amandemen ke-III UUD 1945 diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.

7) Makna pajak diatur dengan undang-undang sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 23A UUD 1945 adalah bahwa “Pajak tidak boleh diatur selain

dengan peraturan perundang-undangan.”

8) Pungutan pajak agar dirasakan adil bagi pembayar pajak maka ketentuan

pajak harus diatur dengan undang-undang.

9) Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dalam Pasal

7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yaitu:

a) UUD 1945;

b) Ketetapan MPR;

c) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU);

d) Peraturan Pemerintah (PP);

e) Peraturan Presiden;

f) Peraturan Daerah Provinsi;

g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

10) Teori “The Four Maxims” dari Adam Smith menegaskan terdapat 4

(empat) syarat dalam melaksanakan pungutan pajak, yaitu:

a) equalty dan equity;

b) certainty;

c) convenience of payment;

d) economics of collection.

Pajak merupakan penerimaan negara yang dominan untuk

melaksanakan pembangunan di negeri ini, baik dilihat dari peranannya

terhadap APBN maupun besarannya yang dari tahun ke tahun

menunjukkan kenaikan. Seiring dengan otonomi daerah yang merupakan

tata kelola pemerintahan yang dimulai sejak awal tahun 1984, yaitu sejak

ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, peranan pajak diharapkan menjadi tulang

punggung bagi penerimaan APBN dan APBD.

RANGKUMAN

1.16 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Begitu strategisnya penerimaan pajak hingga Undang-Undang Dasar

1945 sebagai konstitusi negara RI menempatkan pungutan pajak dalam

Pasal 23A amandemen ketiga UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan

pungutan yang bersifat memaksa untuk kepentingan negara diatur dengan

undang-undang.”

Pengertian diatur dengan undang-undang dimaknai sebagai peraturan

perundang-undangan, di mana jenis dan hierarkinya dinyatakan dalam

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu: “Pungutan pajak

merupakan kebijakan pemerintah atau kebijakan publik.” Setiap kebijakan

publik yang ditetapkan sebagai sebuah dokumen formal dan berlaku

mengikat kehidupan bersama maka kebijakan publik tersebut adalah

menjadi hukum. Karena hukum pajak di Indonesia didokumenkan dalam

konstitusi dasar UUD negara Republik Indonesia 1945 maka hukum pajak

adalah dikategorikan sebagai hukum publik yang mengatur mengenai

hubungan hak dan kewajiban individu (orang maupun badan) kepada

negara.

Terdapat berbagai pendapat mengenai kedudukan pajak, apakah

termasuk dalam hukum administrasi negara atau hukum tersendiri?

1) Alasan hukum pajak merupakan hukum publik adalah ....

A. karena pajak penting buat pembangunan negara

B. karena pajak merupakan kebijakan publik yang ditetapkan dalam

dokumen formal

C. karena pajak bersifat memaksa

D. karena diatur dalam undang-undang

2) Perbedaan pajak dan perpajakan adalah ....

A. keduanya sama saja

B. perpajakan lebih luas, yaitu merupakan pungutan negara yang

meliputi pajak pusat, pajak daerah, serta bea dan cukai

C. perpajakan meliputi pajak pusat dan pajak daerah

D. perpajakan meliputi penerimaan perpajakan, penerimaan negara

bukan pajak dan penerimaan hibah

TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

HKUM4407/MODUL 1 1.17

3) Sanksi perpajakan, meliputi ....

A. sanksi bunga, kenaikan, dan denda

B. sanksi administrasi dan sandera

C. sanksi administrasi dan pidana

D. sanksi denda dan pidana

4) Peraturan yang menyatakan bahwa pajak seharusnya diatur dengan

undang-undang terdapat dalam ....

A. Ketetapan MPR

B. Pasal 23A UUD 1945

C. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

D. kebiasaan hukum tidak tertulis

5) Alasan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) diatur dengan

peraturan daerah adalah ....

A. karena otonomi daerah

B. karena merupakan tanggung jawab daerah

C. karena diberikan kewenangan oleh undang-undang

D. karena pajak sangat penting bagi daerah

6) Tujuan dari pajak adalah ....

A. untuk kesejahteraan rakyat

B. untuk pembangunan

C. bentuk kepatuhan masyarakat kepada negara

D. semuanya benar

7) Apakah mungkin pajak dipungut berdasarkan perintah presiden?

A. mungkin dalam keadaan emergency

B. sangat mungkin karena presiden adalah kepala pemerintahan

C. mungkin karena presiden dipilih langsung oleh rakyat

D. tidak mungkin karena bertentangan dengan konstitusi dasar UUD

1945

8) Filosofi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah ....

A. peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya

B. agar peraturan perundang-undangan tidak tumpang tindih satu dengan

yang lain

C. membatasi kebijakan agar selalu dengan peraturan perundang-

undangan

D. semuanya benar

1.18 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

9) Pungutan pajak agar dirasakan adil bagi masyarakat pembayar pajak

harus ....

A. digunakan untuk kesejahteraan masyarakat

B. ditetapkan dengan undang-undang

C. memenuhi rasa keadilan

D. semuanya benar

10) Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, hierarki

peraturan perundang-undangan, sebagai berikut ....

A. Tap MPR, UUD 1945, Undang-undang/Perppu, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda

Kabupaten/Kota

B. UUD 1945, Undang-undang/Perppu, Peraturan Pemerintah,

Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota

C. UUD 1945, Tap MPR, Undang-undang/Perppu, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi dan Perda

Kabupaten/Kota

D. UUD 1945, Tap MPR, UU/Perppu, PP, Perpres, Peraturan Menteri,

Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang

terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,

gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap

materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat

meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,

Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang

belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

HKUM4407/MODUL 1 1.19

Kegiatan Belajar 2

Pengertian Pajak

otivasi utama pemajakan di negara berkembang adalah pengumpulan

dana pembiayaan pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik.

Motivasi lainnya adalah redistribusi penghasilan dan penyesuaian

kekurangsempurnaan mekanisme pasar. Walaupun suatu tingkat pemajakan

diperlukan untuk mencapai motivasi tersebut, pemajakan selalu mempunyai

pengorbanan, baik karena beban langsung berupa biaya administrasi, maupun

beban tidak langsung dalam upaya memperoleh penerimaan pajak.

Pola pemajakan di berbagai negara berbeda-beda seiring dengan keadaan

ekonomi, budaya dan sejarah. Rasio penerimaan pajak di negara berkembang

sekitar 10-15-20% dari Pendapatan Domestik Bruto (GDP), sedangkan di

negara maju lebih dari 30%. Berbeda dengan negara maju, negara berkembang

mengandalkan penerimaan pajaknya pada pajak tidak langsung (barang dan

jasa), sedangkan negara berkembang dari pajak penghasilan. Pajak

Penghasilan Orang Pribadi umumnya sulit dipungut dalam masyarakat yang

didominasi oleh ekonomi pedesaan yang merupakan masyarakat tunai (cash

society) dengan sebagian terbesar kegiatan ekonominya merupakan sektor

informal (underground economy).

Sementara itu, peranan penerimaan pajak di Indonesia guna membiayai

pembangunan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2012

sejumlah Rp1.016,237 triliun, sedangkan pada tahun 2013 sejumlah

Rp1.192,994 triliun, meningkat sejumlah Rp176,757 triliun.

Begitu pentingnya pajak untuk membiayai pembangunan dan pelayanan

pemerintahan di suatu negara, Gunadi menafsir pajak sebagai penerimaan bagi

negara berarti juga merupakan pengeluaran dari sisi masyarakat, artinya

penerimaan negara itu adalah beban bagi seluruh masyarakat. Beban dimaksud

ditanggung masyarakat dengan mengalihkan sebagian dari penghasilan yang

diperolehnya, kemudian membayarkannya kepada negara untuk sesuatu yang

mereka dapatkan. Agar tercipta keadilan maka kewajiban masyarakat untuk

membayar pajak dituangkan dalam undang-undang yang mengikat semua

warga negara. Karena dalam bentuk undang-undang itu pulalah masyarakat

seharusnya mengerti, memahami, dan sadar akan kewajiban perpajakannya

dan dapat melaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Apabila kewajiban-

kewajiban perpajakan tersebut tidak dijalankan dengan benar sebagaimana

M

1.20 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

mestinya maka sanksi pidana yang diatur dalam undang-undang layak untuk

ditetapkan.

Begitu besarnya peranan penerimaan pajak untuk membiayai roda peme-

rintahan suatu negara, karena itu kita sangatlah penting kita mengetahui

pengertian pajak. Para ilmuwan dan pakar perpajakan mengemukakan

pengertian tentang pajak adalah sebagai berikut.

1. Prof. Edwin R. A. Seligman

Dalam bukunya “Essays In Taxation” (New York, 1925) memberi definisi

yang berbunyi: “Tax is a compulsery contribution from the person, to the

government to defray the expenses incurred in the common interest of all,

without reference to special benefit conferred.” Banyak terdengar keberatan

atas kalimat without reference karena bagaimanapun juga uang-uang pajak

tersebut digunakan untuk produksi barang dan jasa. Jadi, benefit diberikan

kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkannya, apalagi secara

perseorangan.

2. Philip E. Taylor

Dalam bukunya “The Economist of Public Finance” (1948) mengganti

without reference menjadi with little reference.

3. Mr.Dr.N.J. Feldmann

Dalam bukunya “De Overheidsmiddelen van Indonesia (Leyden, 1949)

menyatakan bahwa “Belastingen zijn aan de Overheid (volgens algemene,

door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestaties,

waargeen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van

publieke uitgaven.” Artinya, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak

oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang

ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata

digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum. Feldmann (seperti

juga halnya Seligman) berpendapat bahwa “Terhadap pembayaran pajak, tidak

ada kontraprestasi dari negara.” Dalam mengemukakan kritik-kritiknya

terhadap definisi dari sarjana-sarjana lain ternyata bahwa Feldmann tidak

berhasil pula mendefinisikan untuk memberikan gambaran tentang pengertian

pajak.

HKUM4407/MODUL 1 1.21

4. Prof. Dr. M. J. H. Smeets

Dalam bukunya “De Ecnomische betekenis der Belastingen” (1951)

menyatakan bahwa “Belastingen zijn aan de overheid (volgens normen)

verschuldigde, afdwingbare prestaties, zonder dat hiertegenover, in het

individuele geval, aanwijsbare tegen-prestaties staan; zij strekken tot dekking

van publieke uitgaven.” Artinya, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang

terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa

adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;

maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam bukunya

ini, Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter

saja; baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.

5. Dr. Soeparman Soemohamidjojo

Dalam disertasinya yang berjudul “Pajak berdasarkan Asas Gotong

Royong” (Universitas Padjajaran Bandung, 1964) mendefinisikan pajak

sebagai iuran wajib, berupa uang dan barang, yang dipungut oleh penguasa

berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-

barang dan jasa-jasa secara kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya

ciri bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan wajib

pajak sehingga perlu pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Lebih-lebih

(demikian pula menurut sarjana lainnya) bilamana suatu kewajiban harus

dilaksanakan berdasarkan undang-undang, dalam hal kewajiban tersebut tidak

dilaksanakan maka undang-undang menunjukkan cara pelaksanaan yang lain,

hal ini tidak mengenai pajak (saja dan cara ini biasanya adalah untuk

memaksa). Selanjutnya, (menurut pendapatnya) berkelebihanlah kiranya,

kalau khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya paksaan itu, seakan-akan

tidak ada kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya. Ia sudah

menganggapnya cukup dengan menyatakan bahwa pajak adalah “iuran wajib”

(tidak usah diberi tambahan “yang dapat dipaksakan”). Adapun mengenai

kontraprestasi, Dr. Soeparman berpendirian bahwa justru untuk

menyelenggarakan kotraprestasi itulah perlu dipungut pajak.

6. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.

Dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944”,

Rochmat Soemitro mendefinisikan pajak sebagai suatu iuran rakyat kepada kas

negara (pengalihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah)

1.22 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa

timbal balik (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan

untuk membiayai keperluan umum (publike uitgiven).

7. Prof. S. I. Djojoniningrat

Pajak menurut S.I. Djojoniningrat adalah sebagai suatu kewajiban

menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan suatu

keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi

bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan

pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara

secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum.

8. P. J. A. Adriani

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang ada

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung

dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”

9. Dr. Tjip Ismail, S.H., M.B.A., M.M.

“Pajak adalah hak dan kewajiban kepada negara yang dapat dilaksanakan,

diatur dengan undang-undang, digunakan untuk keperluan negara dengan

memperoleh kontraprestasi pada sektor pajak yang bersangkutan.”

Dari definisi tersebut di atas, baik pengertian secara ekonomis (pajak

sebagai perpindahan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau

secara yuridis (pajak sebagai iuran wajib) dapat diambil suatu kesimpulan

tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak sebagai berikut:

a. pajak dipungut oleh negara baik oleh Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah didasarkan undang-undang serta aturan

pelaksanaannya;

b. pemungutan pajak menghendaki adanya alih dana (sumber) dari sektor

swasta (wajib pajak pembayar pajak) ke sektor negara (pemungut pajak,

administrator pajak);

c. terdapat perkembangan bahwa pajak seyogianya ada kontraprestasi atau

imbalan yang diberikan oleh negara (Pemerintah Pusat/Pemerintah

Daerah) kepada sektor pajak yang bersangkutan, bukan kepada pembayar

pajak. Karena apabila tidak demikian, penerimaan pajak akan

HKUM4407/MODUL 1 1.23

diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh

alinea keempat pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan dari negara

Indonesia;

d. pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum

pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahannya, baik rutin

maupun pembangunan.

e. pemungutan pajak dihubungkan dengan adanya suatu keadaan, kejadian,

dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang,

misalnya keadaan kekayaan seseorang, terjadinya perolehan pendapatan

dan perbuatan pemindahan barang.

Dasar pemungutan pajak adalah undang-undang pajak (untuk setiap jenis

pajak) yang bersumber kepada konstitusi atau Undang-Undang Dasar.

Sehubungan dengan kegiatan bisnis yang berkembang pesat, di mana tidak

mungkin hanya diatur dengan undang-undang, dalam memudahkan

pelaksanaan pemungutan pajak, kewenangan tersebut dapat dilimpahkan

kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sepanjang tidak

bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal tersebut sesuai dengan teori

stufenbouw theory mengenai hukum murni dari Hans Kelsen. Oleh karena itu,

pemungutan pajak melalui Peraturan daerah (Perda) dapat dibenarkan karena

Perda merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Sebagaimana

telah diuraikan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal

7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terdahulu.

Dengan demikian, sebagaimana disertasi penulis pada tahun 2005 yang

memperoleh apresiasi tertinggi dari Universitas Indonesia mengenai pajak

seharusnya terdapat kontraprestasi atau imbalan kepada sektor pajak,

kemudian telah diakomodir khususnya oleh undang-undang pajak daerah yang

baru (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Selama ini paradigma pajak

selalu diidentikkan dengan pungutan memaksa berdasarkan undang-undang

dengan tanpa imbalan atau kontraprestasi adalah tidak sejalan dengan tujuan

negara Indonesia dan makna otonomi daerah, yaitu untuk lebih mendekatkan

pelayanan kepada masyarakat lokal melalui Pemerintah Daerah.

Apabila pembayaran pajak harus tanpa imbalan dari pemerintah (dalam

hal ini juga Pemerintah Daerah) maka hal tersebut menjadi kontraproduktif.

Semestinya pajak harus jelas peruntukannya yang dalam hukum fiskal lazim

disebut dengan earmarking tax. Karena itu, pembayaran pajak daerah harus

terdapat imbalan atau kontraprestasi bagi sektor pajak yang bersangkutan.

1.24 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Berbeda dengan retribusi imbalan atau kontraprestasinya hanya untuk

pembayar retribusi saja.

Contohnya, apabila kita membayar pajak daerah, pajak kendaraan

bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor diharapkan pemerintah

daerah akan memberikan pelayanan terhadap kenyamanan berkaitan dengan

pembayaran pajak tersebut bagi pengendara bermotor, misalnya jalanan mulus,

rambu-rambu jalan, dan lampu stopan lalu lintas berfungsi dengan baik, dst.

Berdasarkan penelitian penulis, sebagian besar Pemerintah Daerah sudah

melaksanakan peruntukan prioritas penggunaan penerimaan pajak daerah yang

dituangkan dalam peraturan daerahnya. Misalnya, Provinsi Sumatera Utara

telah mencantumkan dalam peraturan daerah tentang bagi hasil penerimaan

pajak kendaraan bermotor kepada daerah kabupaten/kota agar diprioritaskan

untuk perbaikan jalan dan rambu-rambu lalu lintas. Di kabupaten/kota di Bali,

dalam menunjang pariwisata penerimaan dari Pajak Penerangan Jalan (PPJ)

digunakan untuk pembiayaan penerangan jalan. Diharapkan juga penerimaan

jenis pajak daerah kabupaten/kota, yaitu pajak mineral bukan logam dan

batuan (pajak hasil tambang golongan c), diprioritaskan untuk reklamasi,

perbaikan ekosistem dan kerusakan alam akibat kegiatan penambangan

tersebut.

Demikian pula untuk pajak-pajak pusat kontraprestasinya dilakukan

pemerintah dalam bentuk meningkatkan pelayanan informasi. Selain itu,

dalam UU ditetapkan penerimaan perpajakan pusat, yaitu penerimaan PPh

Perseorangan (PPh Pasal 25 dan 29), PPh Karyawan (PPh Pasal 21) dan

penerimaan cukai dibagihasilkan kepada pemerintah daerah. Alasan bagi hasil

tersebut adalah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, di mana pungutan

pajak perseorangan, pajak karyawan maupun cukai obyeknya berada di daerah.

Berkaitan dengan penerapan pungutan Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, Ronald John Hy dan William L Waugh, JR menyatakan bahwa “Untuk

meningkatkan pendapatan daerah adalah lebih rational bila dilakukan melalui

pungutan retribusi dari pada mengenakan pajak.” Artinya bahwa dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah lebih baik kualitasnya,

apabila penerimaan retribusinya lebih tinggi dari pada pajak daerah.

“State are always looking for ways to acquire additional revenues without

raising taxes. Fees and user charges are commonly used. Closing tax

loopholes for sales and income taxes also is frequently employed. Whatever

the form of revenue enchancement, it seems obvious that for now broad-based

tax increases are not on the horizon.”

HKUM4407/MODUL 1 1.25

Demikian juga Mikesell menyatakan bahwa retribusi dirasakan lebih adil

dan efisien diterapkan dari pada pajak di suatu state/negara bagian/pemerintah

daerah.

Berkenaan dengan persyaratan bahwa penerimaan pajak untuk digunakan

dalam pembiayaan umum dimaksudkan agar pembiayaan umum pemerintah

harus terukur dan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam undang-undang

bagi APBN, dan untuk pengeluaran APBD harus terlebih dahulu ditetapkan

melalui peraturan daerah. Mekanisme tersebut diatur dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Oleh karena itu, administrasi pajak mempunyai peranan yang sangat

penting dalam menentukan efektivitas suatu sistem pajak. Menurut Richard M

Bird, di negara-negara berkembang para analis kebijakan pajak meyakini

bahwa perubahan kebijakan tanpa diikuti oleh perubahan administrasi tidak

akan menghasilkan apa-apa. Dengan demikian, sangatlah penting untuk

memastikan agar setiap perubahan kebijakan pajak harus sesuai dengan

kapasitas administrasi. Besarnya penerimaan bukanlah indikator mutlak

berhasilnya suatu sistem administrasi pajak. Pemerintah juga wajib

mempertimbangkan bagaimana penerimaan tersebut didapat bagaimana

dampak pengenaan pajak terhadap keadilan, politik pemerintahan, dan tingkat

kesejahteraan sosial.

Selain pajak, pungutan lain untuk Pemerintah Pusat diperoleh dari bea dan

cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan pungutan

untuk pemerintah daerah selain dari pajak daerah adalah retribusi daerah.

Namun demikian, potensi dalam menunjang perolehan APBN maupun APBD

tetap saja didominasi dari penerimaan pajak.

Begitu besarnya peranan penerimaan pajak bagi Pemerintah Pusat

maupun daerah, hingga di lapangan sering terjadi tumpang tindih dalam

pengenaan terhadap suatu obyek pajak. Oleh karena itu, undang-undang pajak

daerah yang baru (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009) menetapkan

bahwa jenis pajak daerah adalah limitatif. Daerah tidak boleh lagi menambah

jenis pajak daerah selain yang ditetapkan oleh undang-undang (closed list).

1) Mengapa perlu dilakukan perubahan definisi pajak?

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

1.26 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

2) Bagaimana pendapat Saudara mengenai pendapat yang menyatakan

bahwa dalam rangka otonomi daerah seharusnya penerimaan retribusi

daerah lebih besar daripada pajak daerah?

3) Sebutkan ciri-ciri pungutan pajak menurut Saudara!

4) Jelaskan pajak merupakan earmark system!

5) Apa yang dimaksud dengan closed list dalam jenis pajak daerah?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Perlunya dilakukan perubahan definisi pajak agar sesuai dengan

perubahan paradigma pungutan pajak sebagaimana telah terjadi

perubahan dasar pungutan pajak menurut UUD 1945.

2) Dalam tata kelola otonomi daerah memang seharusnya penerimaan

retribusi daerah lebih besar dari pajak daerah dimaksudkan bahwa tujuan

otonomi daerah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat lokal

melalui pemerintah daerah dapat terealisasi.

3) Ciri pungutan pajak adalah bersifat memaksa dan dilakukan atas dasar

undang-undang.

4) Pajak merupakan earmark system artinya bahwa penerimaan pajak itu

utamanya diperuntukkan untuk pelayanan di sektor pajak yang

bersangkutan.

5) Jenis pajak daerah bersifat closed list artinya bahwa daerah tidak boleh

menambah jenis pajak selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang

(plus).

Pajak sangat diperlukan bagi APBN maupun APBD di mana dari

tahun ke tahun baik besaran jumlahnya maupun peranannya menunjukkan

kenaikan. Definisi pajak selama ini tidak memberikan peluang

kontraprestasi atau imbalan. Hal ini menjadi kontraproduktif karena tidak

sejalan dengan tujuan negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam

alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang seharusnya pajak

diperuntukkan untuk semata kesejahteraan rakyat. Di lain hal, berkaitan

dengan otonomi daerah di mana makna otonomi daerah adalah guna

mendekatkan pelayanan Pemerintah Daerah kepada masyarakat lokal

tidak mungkin tercapai apabila tidak ditekankan bahwa penerimaan pajak

RANGKUMAN

HKUM4407/MODUL 1 1.27

seharusnya ada kontraprestasi atau imbalan kepada sektor yang

bersangkutan. Oleh karena itu, definisi pajak yang selama ini ada harus

diubah dengan mencantumkan adanya kontraprestasi.

Secara tidak langsung earmarking system bagi pajak telah

dilaksanakan baik untuk pajak pusat maupun pajak daerah.

Untuk pajak pusat undang-undang telah menetapkan bagi hasil

kepada daerah di samping meningkatkan pelayanan kepada seluruh

pembayar pajak. Sedangkan untuk pajak daerah dalam undang-undang

pajak daerah telah menetapkan persentase tertentu untuk keperluan sektor

pajak yang bersangkutan dan hal tersebut harus ditetapkan dalam

peraturan daerah.

1) Menurut Saudara, apakah pajak diperlukan adanya kontraprestasi?

A. tidak perlu

B. perlu bahwa kontraprestasi diberikan kepada pembayar pajak

C. perlu bahwa kontraprestasi diberikan kepada sektor pajak yang

bersangkutan

D. ketiganya salah

2) Menurut Saudara, apakah alasan bahwa retribusi daerah seyogianya lebih

besar dari pajak daerah?

A. sejalan dengan makna otonomi daerah yang tidak ingin

membebankan masyarakat dengan membayar pajak

B. sesuai dengan UUD 1945

C. guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

D. ketiganya benar

3) Mengapa pajak harus diatur dengan undang-undang?

A. sesuai dengan amanat konstitusi dasar UUD 1945

B. sesuai dengan makna otonomi daerah

C. agar ada kepastian hukum

D. agar tercapai rasa keadilan

4) Di manakah penerimaan pajak dialokasikan?

A. di Kementerian Keuangan

B. di Bank Indonesia

TES FORMATIF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1.28 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

C. dalam APBN/APBD

D. ketiganya benar

5) Mengapa pajak pusat dibagihasilkan kepada daerah?

A. dalam rangka otonomi daerah

B. dalam rangka pemerataan pembangunan

C. dalam rangka menjaga keutuhan NKRI

D. ketiganya benar

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang

terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,

gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap

materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat

meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%,

Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang

belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

HKUM4407/MODUL 1 1.29

Kegiatan Belajar 3

Fungsi dan Syarat Pemungutan Pajak

etelah memahami pengertian tentang ruang lingkup pajak dan definisi

tentang pajak, selanjutnya kita akan membahas fungsi pajak dan syarat

pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat.

A. FUNGSI PAJAK

Fungsi pajak menurut pendapat modern dari Richard A Musgrave sebagai

berikut.

1. Fungsi Budgetair

Fungsi ini merupakan fungsi utama pajak atau fungsi fiskal, yaitu fungsi

pajak semata sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke kas

negara berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku.

Sebagai konsekuensinya pengenaan pajak tidak membedakan dari sebab

yang dilarang atau tidak dilarang dalam undang-undang.

Contoh:

Besarnya tarif PPh dari penghasilan judi dan koruptor adalah sama besarnya

dengan penghasilan yang diperoleh dari gaji guru atau ustadz.

Fungsi budgetair dari pajak berarti bahwa pungutan pajak oleh negara

dilakukan untuk menutup pembiayaan atau belanja penyelenggaraan

pemerintahan, meliputi: (1) belanja barang, (2) belanja modal, (3) pembayaran

bunga utang, (4) subsidi, (5) belanja hibah, (6) bantuan sosial, serta (7) belanja

lain-lain dari kementerian dan lembaga. Besarnya budgetair tersebut

ditetapkan dengan undang-undang setiap tahun yang diusulkan oleh

pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dari tabel di bawah ini, tampak penerimaan perpajakan menunjukkan

kenaikan dari tahun ke tahun daripada penerimaan negara bukan pajak dan

hibah sebagai berikut:

S

1.30 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Dalam Negeri 2008 – 2013

(Triliun Rupiah)

Uraian 2011 2012 2013 2014 2015

I. Penerimaan Perpajakan 873,9 980,5 1.148,3 1.146,9 1.240,4

a. Pajak Dalam Negeri 819,8 930,8 1.099,9 1.103,2 1.205,5

i. Pajak Penghasilan 43 1,1 465,0 538,7 546,2 602,3

1) Migas 73,1 76,6 83,5 87,4 49,7

2) Non migas 358,0 422,4 455,2 458,7 552,6

ii. Pajak Pertambahan Nilai 277,8 337,5 423,7 409,2 423,7

iii. Pajak Bumi dan Bangunan 29,9 28,9 27,3 23,5 29,3

iv. BPHTB 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

v. Cukai 77,0 95,0 104,7 118,1 144,6

vi. Pajak lainnya 3,9 4,2 5,4 6,3 5,6

b. Pajak Perdagangan Internasional

54,1 49,6, 48,4 43,6 34,9

i. Bea Masuk 25,3 28,4 30,8 32,3 31,2

ii. Pajak Ekspor 28,9 21,2 17,6 11,3 3,7

II. Penerimaan Negara Bukan Pajak

331,5 351,8 349,2 398,7 253,7

a. Penerimaan SDA 2 13,8 225,8 203,7 242,9 102,3

i. Migas 193,5 201,6 18 3,3 216,9 78,4

ii. Non Migas 20,3 24,2 20,4 26,0 24,0

b. Bagian Laba BUMN 28,2 30,8 36,5 40,3 37,6

c. PNBP lainnya 69,4 73,5 85,4 85,8 78,5

d. Pendapatan Badan Layanan Umum

20,1 21,7 23,5 29,6 35,2

III. Penerimaan Hibah 5,3 5,8 4,5 5,1 10,4

TOTAL 1.210,6 1.338,1 1.502,0 1.550,6 1.504,5 Sumber: Kemenkeu

2. Fungsi Regulerend

Fungsi ini merupakan fungsi tambahan karena hasil penerimaan dari pajak

harus digunakan untuk mengatur pemerintahan secara adil. Pajak yang

memiliki pengaruh dalam politik anggaran dan keuangan tentunya dapat

berperan sebagai instrumen untuk ikut serta mengatur agar pungutan pajak

dapat dipatuhi karena dirasakan adil bagi masyarakat. Fungsi mengatur dari

pajak dimaksudkan bahwa pajak itu dapat dipergunakan sebagai alat untuk

mengatur pelaksanaan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.

Fungsi tersebut dapat diwujudkan dalam suatu bentuk paket kebijakan

perpajakan (fiscal policy) secara khusus misalnya insentif pajak terhadap para

HKUM4407/MODUL 1 1.31

investor, tidak mengenakan suatu pajak tertentu di daerah kawasan berikat,

mengenakan tarif pajak yang tinggi terhadap penjualan minuman beralkohol,

dll.

3. Fungsi Distribution of Income

Pajak yang dipungut pemerintah didistribusikan kembali kepada

masyarakat sehingga pendapatan nasional melalui pajak dapat dikontribusikan

merata di seluruh lapisan masyarakat. Dalam teori hukum pajak lazim disebut

dengan earmarking tax, yaitu bahwa penerimaan pajak harus diperuntukkan

kembali kepada masyarakat. Dengan adanya fungsi ini memberikan stimulus

agar masyarakat patuh membayar pajak, ikut juga mengawasi penggunaan dari

penerimaan pajak.

4. Fungsi Harmonization of Political Wants and Economy

Kepentingan pemerintah dalam memungut pajak harus jelas sesuai dengan

peraturan perpajakan, namun tetap memperhatikan keserasian keadaan politik

dan ekonomi negara. Misalnya, pungutan pajak harus menghormati dan

memberlakukan perjanjian pajak yang dilakukan secara bilateral antarnegara

(tax treaty), dan pajak internasional berikut ini.

a. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B / Tax Treaty) adalah

perjanjian antar dua negara berisikan kesepakatan perlakuan perpajakan

terhadap subjek, objek, tarif pajak dan hal-hal lain dalam rangka

penghindaran pajak berganda dari dua negara.

b. Regulasi pajak secara internasional, hendaknya dijadikan rujukan dalam

rangka menghormati dan memperhatikan keserasian politik antarnegara.

5. Fungsi Stabilization of Economy

Pajak merupakan alat untuk menstabilkan perekonomian karena dengan

pajak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada

lapangan kerja, stabilitas harga, inflasi neraca perdagangan, dst. Oleh karena

itu, regulasi pajak kebijakan pajak diupayakan agar:

a. jangan sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan;

b. tidak menghalangi usaha rakyat untuk mencapai kemakmuran;

c. tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

d. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan rakyat;

e. memperhitungkan potensi penerimaan;

f. tidak merugikan kepentingan umum.

1.32 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Misalnya, penerimaan pajak menjadi tulang punggung pendapatan negara

dalam APBN, karena kisaran 80% pendapatan negara diperoleh dari

penerimaan perpajakan yang setiap tahun APBN tersebut dibahas bersama

pemerintah dengan DPR dan ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam

menetapkan UU tersebut, tentunya di dalamnya telah mempertimbangkan

politik anggaran dan perekonomian yang meliputi stabilitas harga, neraca

perdagangan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dll.

Untuk mendukung tercapainya sasaran fungsi penerimaan pajak,

ditempuh berbagai kebijakan yang meliputi upaya:

a. intensifikasi pemungutan pajak;

b. ekstensifikasi subjek atau objek pajak;

c. kerja sama dengan instansi pemerintah dalam rangka pengumpulan data;

d. mengoptimalkan bank data secara elektronik;

e. peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.

Kebijakan tersebut diaplikasikan terhadap wajib pajak dan jenis pajak

terkait, tentunya melalui pemeriksaan dan selanjutnya apabila wajib pajak

kurang atau tidak melaporkannya kegiatan usahanya dengan benar dalam Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT) maka akan diterbitkan ketetapan pajak, baik

berupa Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

(SKPKB) maupun SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan).

Selain fungsi tersebut, pajak berfungsi sebagai sarana partisipasi

masyarakat terhadap pembangunan negara karena pajak tidak sekedar

kewajiban, tetapi lebih dari itu adalah merupakan hak warga negara untuk ikut

berpartisipasi dalam membangun negara. Oleh karena itu, adalah tepat slogan

pajak saat sekarang ini, yaitu ”lunasi pajaknya dan awasi penggunaannya.”

Berkaitan dengan fungsi partisipasi tersebut maka seyogianya institusi

pajak harus terbuka khususnya kepada wajib pajak mengenai kewajiban dan

haknya. Kewajiban adalah keharusan membayar pajak sesuai dengan

ketentuan perpajakan yang berlaku, sedangkan hak wajib pajak adalah hak

untuk memperoleh pelayanan informasi berkaitan dengan kewajiban

membayar pajak. Selain itu, wajib pajak mempunyai hak untuk memperoleh

pengembalian kelebihan bayar yang telah dituangkan dalam SPT apabila

setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan yang dituntut adalah benar.

HKUM4407/MODUL 1 1.33

B. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK

Pajak haruslah dipungut berdasarkan suatu keadilan. Keadilan tersebut

harus dituangkan baik dalam undang-undang yang rancangannya diajukan oleh

pemerintah untuk memperoleh persetujuan dari DPR sebagai lembaga

perwakilan rakyat. Pemungutan pajak dapat disebut adil apabila dipungut

secara umum dan merata kepada seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, jelasnya pajak harus

mengabdi kepada keadilan, dan keadilan inilah yang merupakan asas

pemungutan pajak menurut falsafah hukum.

Keadilan dalam perpajakan meliputi dua sisi, yaitu:

1. keadilan sejajar atau horizontal, dan

2. keadilan tegak lurus atau vertikal.

Keadilan sejajar (horizontal equity) maksudnya adalah kesamaan dalam

besaran kewajiban membayar pajak terhadap orang yang mempunyai

kemampuan ekonomis yang sama. Misalnya, Tuan A dan Tuan B yang

masing-masing mempunyai penghasilan yang sama Rp10.000.000,00 harus

membayar jumlah pajak yang besarnya sama.

Keadilan tegak lurus (vertical equity) maksudnya ialah ketidaksamaan

dalam membayar pajak walaupun mempunyai kemampuan ekonomis sama,

tetapi kondisinya berbeda. Misalnya, Tuan A berpenghasilan lebih besar dari

Tuan B maka Tuan A harus membayar pajak yang lebih besar dari Tuan B,

atau walaupun Tuan A dan Tuan B berpenghasilan sama sebesar

Rp10.000.000,00, tetapi Tuan A statusnya bujangan, sedangkan Tuan B sudah

beristri dan memiliki 3 maka perbedaan keadaan pribadi tersebut

menyebabkan jumlah pajak yang dibayar menjadi berbeda

R. Santosa Brotodihardjo, SH dalam bukunya ”Pengantar Ilmu Hukum

Pajak” menguraikan beberapa teori untuk memberikan dasar menyatakan

keadilan tersebut, sebagai berikut:

1. Teori Asuransi

Menurut Teori Asuransi dinyatakan bahwa “Pembayaran pajak yang

dilakukan oleh warga negara (masyarakat) dipersamakan dengan pembayaran

premi asuransi kepada negara karena negara dalam tugasnya telah melindungi

orang dan segala kepentingannya, (dianggap seolah-olah sebagai asuransi).”

1.34 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Namun pokok pikiran tersebut secara luas kurang dapat diterima dengan

alasan:

a. negara tidak dapat dipersamakan dengan perusahaan asuransi karena apa

bila terjadi kerugian yang diderita masyarakat, negara tidak mengganti;

b. tidak adanya hubungan langsung yang dapat ditunjuk antara jasa-jasa yang

diterima dengan jumlah pembayar pajak.

2. Teori Kepentingan

Menurut Teori Kepentingan, “Pembayaran pajak yang dilakukan oleh

masyarakat kepada negara merupakan perwujudan dari peran serta masyarakat

terhadap biaya kenegaraan dalam rangka menjaga dan melindungi kepentingan

masyarakat. Kepentingan tersebut termasuk perlindungan atas jiwa dan harta

bendanya.” Sesuai dengan prinsip teori tersebut, seharusnya semakin banyak

kepentingan seseorang harus semakin banyak pula membayar pajak. Namun,

dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sulit terlaksana karena misalnya,

orang yang miskin tentunya punya kepentingan yang banyak (antara lain

perlindungan jaminan sosial dan sebagainya), tetapi mereka justru tidak

membayar pajak. Karena tidak adanya hubungan langsung antara jumlah pajak

yang dibayarkan dengan kepentingan seseorang terhadap jasa pemerintah

maka teori ini pun kurang dapat diterima.

3. Teori Gaya Pikul

Menurut Teori Gaya Pikul, “Pembayaran pajak oleh masyarakat kepada

negara agar memenuhi rasa keadilan, haruslah disesuaikan dengan gaya pikul

masing-masing orang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan. Semakin

besar gaya pikul seseorang berarti semakin besar pula jumlah beban pajak yang

akan dipikulkan kepadanya dan sebaliknya.” Gaya pikul seseorang dapat

diukur misalnya dengan indikator penghasilan, kekayaan, pengeluaran

(belanja) atau tanggungan keluarga dan sebagainya.

4. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti

Menurut Teori Kewajiban, “Pajak mutlak atau teori bakti, pembayaran

pajak oleh masyarakat kepada negara dipandang sebagai suatu bentuk

pembuktian rasa baktinya kepada negara. Kebaktian tersebut dilakukan

sehubungan dengan terlaksananya penyelenggaraan kepentingan umum.”

Dalam teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat

HKUM4407/MODUL 1 1.35

dengan negara karena hakikat negara itulah maka timbul hak negara untuk

memungut pajak.

5. Teori Asas Daya Beli

Menurut teori asas daya beli, “Pembayaran pajak oleh masyarakat

merupakan transfer daya beli dari sektor swasta ke sektor pemerintah, dan

ditransfer kembali ke masyarakat dengan maksud untuk memelihara

kehidupan masyarakat dan membawanya ke arah tertentu. Dasar keadilan dari

pemungutan pajak terletak pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat,

bukannya kepentingan individu dan negara.”

Dalam pemungutan pajak syarat keadilan (asas falsafah hukum) harus

diwujudkan baik dalam prinsip perundang-undangan maupun dalam

pelaksanaan sehari-hari.

Keadilan tersebut umumnya dituangkan dalam hak dan kewajiban wajib

pajak secara tegas sehingga betul-betul memberikan jaminan dan kepastian

hukum.

Menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam pembuatan undang-

undang pajak di samping harus memenuhi asas keadilan juga harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut.

a. Syarat Yuridis

Syarat yuridis menghendaki agar hukum pajak harus dapat memberikan

jaminan dan kepastian hukum yang perlu untuk menyatakan keadilan yang

tegas baik bagi negara (pemungut pajak) maupun untuk masyarakat (pembayar

pajak, wajib pajak). Di Indonesia sebagai negara hukum, dasar pemungutan

pajak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ketiga

Pasal 23A yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut maka dengan per-

setujuan Dewan Perwakilan Rakyat disusunlah undang-undang pajak, untuk

setiap jenis pajak yang dipungut. Dalam menyusun undang-undang pajak

tersebut, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1) hak-hak pemungut pajak yang telah diamanatkan oleh undang-undang

harus dijamin dapat dilaksanakan dengan baik;

2) para wajib pajak harus mendapat jaminan kepastian hukum, agar tidak

diperlakukan kurang adil oleh pemungut pajak;

3) adanya jaminan tentang kerahasiaan data wajib pajak.

1.36 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

b. Syarat Ekonomis

Syarat ekonomis menghendaki agar pemungutan pajak tidak menghalangi

atau menghambat atau bukan menjadi kendala terhadap keseimbangan dalam

kehidupan perekonomian, bahkan sebaliknya justru pajak harus menjadi

pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, hal tersebut sesuai dengan fungsi

mengatur yang melekat pada pajak. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan

perpajakan harus diusahakan agar pemungutan pajak tidak menghambat

lancarnya produksi dan perdagangan serta merugikan kepentingan umum atau

menghalangi usaha masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Syarat

ekonomis ini dapat dipakai untuk mendorong atau menunjang kebijaksanaan

ekonomi pemerintah, misalnya untuk mendorong pemerataan penghasilan

diberlakukan tarif progresif untuk pajak penghasilan dan sebagainya.

c. Syarat Finansial

Syarat finansial menghendaki agar jumlah penerimaan pajak sedapat

mungkin cukup untuk menutup belanja pemerintah (fungsi budgetair).

Di samping itu, biaya pemungutan pajak hendaknya tidak terlalu besar, dan

tetap memperhatikan unsur efisiensi.

1) Jelaskan mengenai fungsi pajak!

2) Mengapa fungsi budgetair lebih diutamakan daripada fungsi pajak

lainnya?

3) Tindakan apa yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan

penerimaan pajak?

4) Apa yang Saudara ketahui mengenai fungsi mengatur dari pajak?

5) Mengapa pungutan pajak harus diatur dengan undang-undang?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Fungsi pajak bersifat budgetair, regulerend, distribution of income,

harmonization of political wants and economy dan stabilization of

economy.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,

kerjakanlah latihan berikut!

HKUM4407/MODUL 1 1.37

2) Fungsi budgetair lebih diutamakan karena utamanya fungsi pajak adalah

untuk kepentingan penerimaan negara.

3) Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak dilakukan melalui:

a. intensifikasi pemungutan pajak;

b. ekstensifikasi subjek atau objek pajak;

c. kerja sama dengan instansi pemerintah dalam rangka pengumpulan

data;

d. mengoptimalkan bank data secara elektronik;

e. peningkatan pelayanan kepada wajib pajak.

4) Fungsi mengatur pajak adalah bersifat untuk kepastian bagi pemerintah

sebagai pemungut pajak maupun wajib pajak.

5) Pungutan pajak harus diatur dengan undang-undang agar terdapat rasa adil

dalam pungutan pajak.

Terdapat tiga fungsi pajak dalam membiayai tata kelola

pemerintahan, yaitu fungsi budgetair, regulerend, dan partisipatif. Akan

tetapi, fungsi budgedtair lebih menonjol daripada fungsi lainnya

dikarenakan peranan pajak sangat dominan dan diperlukan dalam

membiayai roda pemerintahan.

Untuk mendukung tercapainya sasaran penerimaan pajak, utamanya

dilakukan dalam bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi

adalah optimalisasi di dalam pemungutan pajak terhadap subjek pajak,

objek pajak, dan tarif pajak. Sedangkan, ekstensifikasi adalah upaya untuk

memperbesar jumlah subjek pajak. Kegiatan tersebut tentunya harus

didukung dengan data dan informasi yang dimiliki oleh pemerintah (c.q).

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ada peningkatan pelayanan

kepada wajib pajak agar wajib pajak dapat mengisi laporannya (SPT)

dengan benar. Apabila tidak, akan dikenakan surat ketetapan pajak.

1) Apakah fungsi pajak menurut Saudara?

A. budgetair, regulerend, dan partisipatif

B. untuk membiayai APBN

RANGKUMAN

TES FORMATIF 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1.38 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

C. untuk membiayai otonomi daerah

D. untuk pemerataan dan rasa keadilan

2) Apakah yang dimaksud dengan fungsi regulerend?

A. suatu keadaan yang luar biasa

B. pajak berfungsi mengatur

C. fungsi pajak untuk membiayai keperluan negara

D. semuanya benar

3) Jenis penerimaan negara bukan pajak terdiri atas apa saja?

A. semua pungutan selain pajak

B. hibah

C. pungutan yang tidak diatur dalam undang-undang

D. terdiri dari penerimaan sumber daya alam, bagian laba BUMN, PNBP

lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum

4) Apa yang dimaksud dengan intensifikasi pajak?

A. dikenakan pajak yang besar untuk membiayai negara

B. perluasan subjek pajak

C. mengoptimalkan pungutan pajak sesuai dengan undang-undang

D. semuanya benar

5) Apa yang dimaksud dengan ekstensifikasi pajak?

A. meningkatkan jumlah wajib pajak sesuai dengan undang-undang

B. memberikan insentif pajak kepada wajib pajak sesuai undang-undang

C. memberikan sanksi kepada wajib pajak yang tidak patuh atas

kewajiban perpajakannya

D. pengaturan pajak harus sesuai dengan undang-undang

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang

terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian,

gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap

materi Kegiatan Belajar 3.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar

100%Jumlah Soal

HKUM4407/MODUL 1 1.39

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat

meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,

Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang

belum dikuasai.

1.40 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1

1) B. Karena pajak merupakan kebijakan publik yang ditetapkan dalam

dokumen formal.

Sejalan dengan pengaturan pajak yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan tertinggi, yaitu konstitusi dasar 1945, Pasal

23A.

2) B. Perpajakan lebih luas, yaitu merupakan pungutan negara yang

meliputi pajak pusat, pajak daerah, serta bea dan cukai. Pengertian ini

dianut dalam undang-undang APBN.

3) C. Sanksi administrasi dan pidana.

Sesuai dengan undang-undang formal perpajakan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, sanksi perpajakan

meliputi sanksi administrasi, yaitu berupa bunga, kenaikan, dan

denda, serta sanksi pidana.

4) B. Pasal 23A UUD 1945

Pasal ini merupakan amandemen ke-III UUD 1945 yang sebelumnya

diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945.

5) C. Karena diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Pada dasarnya, pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan oleh

undang-undang, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah. Akan tetapi, UU tersebut memberikan

kewenangan kepada daerah untuk memberlakukan pajak daerah dan

retribusi daerah dengan peraturan daerah.

6) D. Semuanya benar.

Tujuan pajak adalah sesuai dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD

1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia,

berdasarkan….. dst. Pada hakikatnya adalah untuk kesejahteraan

rakyat, demi pembangunan, dan sebagai partisipasi kepatuhan

masyarakat kepada negara.

7) D. Tidak mungkin karena bertentangan dengan konstitusi dasar UUD

1945.

HKUM4407/MODUL 1 1.41

Pajak dipungut berdasarkan undang-undang, hal tersebut

sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dasar negara Republik

Indonesia UUD 1945 Pasal 23A.

8) A. Peraturan perundang-undangan yang berada di bawah tidak boleh

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Hal tersebut menegaskan bahwa hierarki perundangan tetap dijaga

agar sejalan dengan undang-undang yang merupakan produk

kebijakan pemerintah yang disetujui oleh wakil rakyat melalui Dewan

Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

9) D. Semuanya benar.

Bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang guna memenuhi rasa

keadilan untuk kesejahteraan masyarakat.

10) C. UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang/Perppu, Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, dan Perda

Kabupaten/Kota. Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut

sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tes Formatif 2

1) C. Perlu bahwa kontraprestasi diberikan kepada sektor pajak yang

bersangkutan.

Telah terjadi paradigma perubahan definisi pajak bahwa pajak harus

ada kontraprestasi atau imbalan yang diberikan bukan kepada

pembayar pajak, tetapi kepada sektor pajak yang bersangkutan.

2) A. Sejalan dengan makna otonomi daerah yang tidak ingin

membebankan masyarakat dengan membayar pajak retribusi daerah

adalah imbalan yang diberikan kepada pembayar retribusi karena

memperoleh jasa atau layanan dari Pemerintah Daerah. Berbeda

dengan pajak yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, lebih tepat

menurut para pakar sebagai pendapatan asli daerah, retribusi daerah

lebih besar dari pajak daerah.

3) A. Sesuai dengan amanat konstitusi dasar UUD 1945. Hal tersebut diatur

dengan tegas dalam amandemen ke-III UUD 1945 pada Pasal 23A.

4) C. Dalam APBN/APBD

Penerimaan pajak merupakan penerimaan negara/daerah yang

dialokasikan dalam APBN/APBD, demikian juga penggunaannya

sesuai dengan target yang ditetapkan dalam APBN/APBD.

1.42 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

5) D. Ketiganya benar.

Pajak pusat PPh Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25 dan Pasal

29), dan PPh Karyawan (PPh Pasal 21) dibagihasilkan kepada daerah

dalam rangka otonomi daerah, pemerataan pembangunan, dan

menjaga keutuhan NKRI karena objek PPh tersebut berada di daerah.

Tes Formatif 3

1) A. Budgedtair, regulerend, distribution of income, harmonization of

political wants, and economy, dan stabilization of economy.

Fungsi pajak utama adalah untuk penerimaan negara, namun selain

itu adalah bersifat mengatur, menyesuaikan dengan perkembangan

negara lain guna stabilisasi ekonomi dalam negeri.

2) B. Pajak berfungsi mengatur.

Fungsi regurelend adalah bersifat mengatur merupakan fungsi selain

fungsi pajak sebagai penerimaan negara.

3) D. Terdiri dari penerimaan sumber daya alam, bagian laba BUMN,

PNBP lainnya, dan Pendapatan Badan Layanan Umum.

Penerimaan negara bukan pajak dimaksud sebagaimana diatur dalam

UU APBN.

4) C. Mengoptimalkan pungutan pajak sesuai dengan undang-undang.

Intensifikasi pajak adalah upaya meningkatkan penerimaan pajak,

berdasarkan undang-undang karena pada dasarnya wajib pajak

diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, membayar, dan

melapor sendiri pajak terutang yang dikenal dengan sistem self

assesment.

5) A. Meningkatkan jumlah wajib pajak sesuai dengan undang-undang.

Dalam melaksanakan self assesment banyak terjadi bahwa orang atau

badan yang seharusnya melakukan kewajiban pajaknya sebagai wajib

pajak ternyata tidak mendaftar sebagai wajib pajak. Untuk itu,

pemerintah melaksanakan ekstensifikasi agar orang atau badan

menjadi wajib pajak.

HKUM4407/MODUL 1 1.43

Glosarium

Beschikking : keputusan atau ketetapan tata usaha negara yang

bersifat individual, final dan konkret.

Budgetair : fungsi utama dari pungutan pajak. Menurut

fungsi ini pungutan pajak dimaksudkan sebagai

alat untuk mengisi kas atau anggaran negara.

Closed list : daerah tidak boleh menambah jenis pajak

daerah selain yang ditetapkan oleh undang-

undang.

Earmarking tax : peruntukan pajak, yaitu pungutan pajak harus

dinyatakan peruntukannya, misalnya Pajak

Kendaraan Bermotor (PKB) dan bea balik nama

kendaraan bermotor, dalam peraturan daerahnya

harus menyatakan diprioritaskan untuk

kenyamanan orang berkendaraan bermotor.

Ekstensifikasi : upaya untuk memperbesar jumlah subjek pajak

orang atau badan.

Intensifikasi : optimalisasi di dalam pemungutan pajak

terhadap subjek pajak, objek pajak, dan tarif

pajak.

Inkracht van Gewijs : putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang pasti.

Limitatif : ketentuan jumlah jenis pajak yang boleh

dikenakan berdasarkan undang-undang.

Official Assessment : kewenangan pemerintah atau pejabat yang

dilakukan dalam menetapkan pajak.

Regulerend : fungsi pajak yang bersifat mengatur.

Self Assessment : kewenangan wajib pajak dalam menghitung,

membayar, dan melapor pajak terutang

berdasarkan kepercayaan penuh yang diberikan

oleh pemerintah.

Stufenbouw Theory : teori hukum murni dari Hans Kelsen yang

menyatakan bahwa peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah tidak boleh

1.44 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan di atasnya.

Tax base : dasar pengenaan pajak.

Tax treaty : diperjanjikan antara dua negara mengenai

subjek, objek, dan tarif pajak maupun hal-hal

lain yang disepakati mengenai pengenaan pajak

antar dua negara.

HKUM4407/MODUL 1 1.45

Daftar Pustaka

Brotodihardjo, Santoso. 1998. Ilmu Hukum Pajak. Bandung: Refika Aditama.

Charles O John. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Polic). Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Buku Panduan Hak & Kewajiban Wajib

Pajak. Jakarta.

Djafar, Saidi Muhammad. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam

Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ilyas, B Wirawan B. 2015. Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Ismail, Tjip. 2009. “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”. Buku Materi Pokok

Paja 3345/2sks/ Tjip Ismail – Cet.1; Ed.3. Jakarta: Universitas Terbuka.

_________. 2009. Hukum Pajak. Edisi Pertama, Cetakan ke-2. Jakarta: Citra

Kreasindo Mandiri.

Kusumaatmadja, Muchtar. 1976. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan

Hukum Nasional. Bandung: Bina Cipta.

Manan, Bagir. 2005. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi

Hukum (PSH). Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.

Nick Devas, dkk. 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Jakarta:

UI Press.

Richar M Bird & Francois Vaillancourt. 2000. Fiscal Decentralizaion in

Developing Countries (Desentralisasi Fiskal di Negara-negara

Berkembang). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sarundayang. 2011. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Kata

Hasta Pustaka.

1.46 Hukum Pajak dan Acara Perpajakan

Singh, Verinderjet. 2005. Tax Thoughts on today’s Taxing Times. Digibook

Sdn Bhd, www.dbook.com.my. Malaysia: Selangor.

Soriaatmadja, Arifin P. 1986. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan

Negara, Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Gramedia.

W. Riawan Tjandra. 2013. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Gramedia.

Zuraida, Ida. 2011. Penagihan Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Bogor: Ghalia

Indonesia.

Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.6

Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun

2009.

Undang-undang tentang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983 sebagaimana

telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008.

Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah No.8 Tahun 1983 sebagaimana telah

diubah terakhir dengan UU No. 42 Tahun 2009.

Undang-undang tentang Kepabeanan, UU No. 10 Tahun 1995 sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006.

Undang-undang tentang Cukai UU No. 11 Tahun 1995 sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 39 Tahun 2007.

Undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah No.28 Tahun

2009.

Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986, sebagaimana

telah diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009.