ROSASEA.docx

17
ROSASEA Tri Hasnita, S.Ked Pembimbing Prof. Dr. dr. H. M. Athuf Thaha, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Dr. Nopriyati, SpKK Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNSRI / RSUPMH Palembang 2015 PENDAHULUAN Rosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Klinis terdapat eritema, papul, pustul, telangiektasis dan hipertrofi kelenjar sebasea yang persisten selama berbulan-bulan atau lebih. Rosasea cenderung tidak mengenai kulit periokular dan tidak berpotensi serius kecuali bila melibatkan okular. 1,2,4 Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi pada populasi Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS) diperkirakan terjadi pada 14 juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Terapi rosasea dikatakan berhasil jika tanda dan gejala klinis berkurang serta angka kejadian kekambuhan menurun. Diagnosis awal serta kombinasi terapi tabir surya dan topikal yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser dan sinar. 1,2 1

Transcript of ROSASEA.docx

ROSASEATri Hasnita, S.KedPembimbing Prof. Dr. dr. H. M. Athuf Thaha, SpKK(K), FINSDV, FAADV dan Dr. Nopriyati, SpKKBagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFK UNSRI / RSUPMH Palembang2015

PENDAHULUANRosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Klinis terdapat eritema, papul, pustul, telangiektasis dan hipertrofi kelenjar sebasea yang persisten selama berbulan-bulan atau lebih. Rosasea cenderung tidak mengenai kulit periokular dan tidak berpotensi serius kecuali bila melibatkan okular.1,2,4Rosasea lebih sering terjadi pada populasi kulit putih, namun dapat terjadi pada populasi Afrika dan Asia. Berdasarkan National Rosacea Society (NRS) diperkirakan terjadi pada 14 juta orang Amerika. Rosasea dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki, dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Rosasea sering terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Terapi rosasea dikatakan berhasil jika tanda dan gejala klinis berkurang serta angka kejadian kekambuhan menurun. Diagnosis awal serta kombinasi terapi tabir surya dan topikal yang cepat dan tepat dapat mengurangi risiko terapi oral dan biaya untuk terapi laser dan sinar.1,2Referat ini membahas mengenai rosasea meliputi epidemiologi, etiopatogenesis, klasifikasi, gambaran histopatologis, diagnosis banding, diagnosis dan penatalaksanaan sehingga diharapkan mendapat pemahaman tentang rosasea secara menyeluruh.EPIDEMIOLOGIRosasea lebih sering terjadi pada ras kulit putih. Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan ras Afrika dan ras Asia juga dapat menderita rosasea. Insiden terjadinya pada usia 30-50 tahun, dengan insiden puncak antara 40-50 tahun. Namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda.1,2,4Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki dimana perempuan berisiko dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat bervariasi, tetapi dapat disimpulkan bahwa insiden dan mungkin deteksi rosasea tertinggi pada individu dengan tipe kulit Fitzpatrick I dan II, diikuti ras Asia dan insiden terendah pada populasi berkulit hitam.2,3,4,5

ETIOPATOGENESISEtiologi rosasea masih belum dapat diketahui secara pasti. Etiopatogenesis diduga bervariasi di antara berbagai pasien, karena terdapat varian klinis yang menonjol pada subtipe rosasea. Rosasea berkaitan dengan predisposisi familial. Variasi etiopatogenesis rosasea meliputi reaktivasi pembuluh darah wajah, struktur atau komposisi jaringan ikat dermal, komposisi matriks, struktur pilosebaseous, kolonisasi mikroba, atau kombinasinya. Hal inilah yang menyebabkan perubahan respon kulit terhadap faktor pencetus rosasea.1,8Ada beberapa faktor yang memperberat rosasea, meliputi paparan sinar matahari, stres, cuaca dingin, minuman panas, konsumsi alkohol, dan makanan tertentu. Rosasea diinduksi oleh paparan kronik faktor pencetus tersebut. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa rosasea didahului oleh perubahan degeneratif perivaskular dan mungkin vaskular, kolagen dan jaringan elastis pada individu yang rentan terkena faktor iklim. Perubahan dermal berupa dilatasi pembuluh kecil mengakibatkan kulit wajah kemerahan, telangiektasis dan eritema. Akhirnya, terjadi vasodilatasi dan ekstravasasi zat yang berpotensi menimbulkan inflamasi ke perivaskular.4Vasodilatasi dapat meningkatkan kejadian rosasea diduga karena saat vasodilatasi terjadi ekstravasasi sebagian plasma ke jaringan interstisial yang menginduksi respon inflamasi, selanjutnya meningkatkan episode vasodilatasi berulang. Vasodilatasi kronik, edema, dan gangguan aliran limfatik menyebabkan telangiektasis dan fibrosis. Abnormalitas unit pilosebaseus bukan merupakan patogenesis rosasea, namun beberapa pasien mengalaminya, khususnya pasien tipe glandular. Rosasea umumnya terjadi pada wajah karena wajah memiliki pembuluh darah lebih superfisial, jumlahnya banyak, dan besar, serta aliran darahnya lebih banyak dibanding permukaan tubuh yang lain.Mediator seperti neurotransmitter peptida P, histamin, serotonin, dan prostaglandin, diyakini terlibat dalam respon eritema, namun masih belum diketahui secara jelas bagaimana peran mediator tersebut. Adanya mikroorganisme juga telah diperiksa dan dianggap sebagai faktor kontribusi potensial untuk rosasea, namun hasilnya masih belum meyakinkan. Parasit Demodex folliculorum merupakan organisme komensal pada folikel rambut dan kelenjar sebasea dan dapat mencetuskan papul inflamasi folikulosentrik pada rosasea. Selain itu, beberapa laporan menunjukkan bahwa rosasea memiliki hubungan dengan peningkatan infeksi Helicobacter pylori, meskipun laporan lain gagal untuk mengkonfirmasi hubungan ini.

KLASIFIKASINational Rosacea Expert (NRS) Commitee, pada tahun 2002 menetapkan klasifikasi rosasea ke dalam 4 tipe, yaitu eritematotelangiektasis, papulopustular, phymatous dan okular.1,4,61. Tipe eritematotelangiektasis (ETR)Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR) ditandai oleh rasa perih pada bagian sentral wajah dan sering disertai dengan rasa panas dan terbakar. Kulit kemerahan biasanya terdapat di sekitar mata. Pasien dengan rosasea tipe ini memiliki kulit bertekstur baik dengan penurunan kualitas kelenjar sebasea. Area eritem pada wajah terlihat kasar dan berbatas yang merupakan suatu proses yang kronik, seperti dermatitis ringan. Faktor pencetus yang paling sering menyebabkan rasa panas atau terbakar ini termasuk stres emosional, minuman panas, alkohol, makanan berbumbu pedas, cuaca dingin atau panas.

Gambar 1. Rosasea tipe eritematotelangiektasis (ETR) 8

2. Tipe papulopustular (PPR)Rosasea tipe papulopustular (PPR) merupakan bentuk klasik rosasea. Kebanyakan pasien adalah wanita berusia pertengahan dengan keluhan papul dan pustul pada bagian sentral wajah (central portion). Telangiektasis yang terjadi agak sulit dibedakan dengan eritema.

Gambar 2. Rosasea tipe papulopustular (PPR)2

3. Rosasea phymatous Rosasea tipe phymatous merupakan rosasea dengan penebalan pada kulit dan permukaan terdapat nodul iregular di daerah hidung, dagu, dahi, satu atau kedua telinga, dan kelopak mata. Terdapat empat pembagian tipe rinofima (suatu perubahan pada hidung) secara histologis yaitu tipe glandula (akibat hiperplasia kelenjar sebasea) dan merupakan tipe yang lebih dominan, tipe fibrosa (akibat hiperplasia jaringan konektif), tipe fibroangiomatosis (hiperplasia jaringan ikat dan pelebaran pembuluh darah), dan tipe aktinik (akibat massa nodular jaringan elastis).

Gambar 3. Rosasea tipe phymatous84. Rosasea okular Manifestasi okular meliputi blefaritis, konjungtivitis, peradangan pada kelopak mata dan kelenjar Meibom, hiperemis konjungtiva interpalpebra dan telangiektasis konjungtiva. Pasien mungkin mengeluh mata terasa perih atau terbakar, kering, dan seperti ada sensasi benda asing atau sensasi cahaya. Rosasea okular hampir mirip dengan rosasea phymatous, tetapi memiliki manajemen terapi yang berbeda. Oleh karena itu, harus ditanyakan pada pasien tentang keluhan dan gejala okular dan dilakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan tipe rosasea.

Gambar 4. Rosasea tipe okular1

Plewig dan Kligman mengklasifikasikan rosasea berdasarkan stadium sebagai berikut :1,21. Stadium I : eritema persisten dengan telangiektasis2. Stadium II : eritema persisten, telangiektasis, papul, pustul kecil3. Stadium III : eritema persisten yang dalam, telangiektasis yang tebal, papul, pustul, nodul, jarang ada edema padat/keras pada bagian sentral wajah.

Pada klasifikasi ini, stadium I analog dengan tipe eritematotelangiektasis, stadium II dengan tipe papulopustular, dan stadium III analog dengan tipe phymatous. Progresi dari satu stadium ke stadium lain tidak selalu terjadi. Rosasea dapat dimulai dengan stadium II atau III dan stadium-stadium itu dapat terjadi bersamaan.

DIAGNOSIS BANDINGDiagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik rosasea yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.1,2,4,51. Papul atau pustul pada wajaha. Akne vulgarisAkne vulgaris dapat terjadi pada remaja dengan kulit seborhoe, klinis komedo, papul, pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu, dada, dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis. Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada 2/3 wajah.

Gambar 5. Akne vulgaris2

b. Dermatitis perioralDermatitis perioral terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan dagu, lesi polimorfik tanpa telangiektasis dan keluhan gatal. Berbeda dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis dan flushing. Dermatitis perioral biasanya disebabkan oleh penggunaan steroid topikal.

Gambar 6. Dermatitis perioral22. Flushing atau eritema pada wajaha. Dermatitis SeboroikDermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea, tetapi yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat skuama berminyak dan agak gatal. Tempat predileksi di area seboroik yaitu : retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis.

Gambar 7. Dermatitis seboroik2

b. Acute Cutaneous Lupus Eritematous (ACLE)Meskipun ACLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun klinis terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas tegas dan berbentuk kupu-kupu. Lesi pada ACLE tidak mengenai sulkus nasolabialis, biasanya lebih fotosensitif.

Gambar 8. Lupus eritematosus sistemik2c. DermatomiositisDermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai oleh adanya edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah, leher, dan bagian atas tubuh.

Gambar 9. Dermatomiositis2

HISTOPATOLOGIPerubahan histopatologi tergantung stadium dari proses yang terjadi. Biasanya terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas, ditandai dengan adanya edema dan kerusakan serabut otot. Fase inflamasi ditandai adanya sel limfosit, histiosit, polimorfonuklear, sel plasma, dan giant cell. Demodex folliculorum seringkali ditemukan pada folikel rambut di daerah yang mengalami gangguan.1,4,7Gambaran histopatologis yang paling sering ditemukan pada rosasea adalah infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam jumlah besar yang letaknya agak berjauhan satu dengan yang lain di sekitar pembuluh darah kulit, telangiektasis, edema, elastosis, dan terdapat gangguan struktur kulit bagian atas.7

Gambar 10. Gambaran histopatologi dari rosasea3DIAGNOSISTidak ada uji diagnostik yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis rosesa. Penegakan diagnosis dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder dari rosasea. Biopsi kulit dapat dilakukan hanya untuk menyingkirkan diagnosis banding.1a. Gambaran primerDiagnosis rosasea ditegakkan bila pada wajah bagian sentral ditemui satu atau lebih tanda-tanda di bawah ini: Kemerahan kulit (eritema transien) Eritema nontransien Papul dan pustul. Papul merah berbentuk kubah dengan atau tanpa disertai pustul, dapat pula disertai dengan nodul. Telangiektasis.1b. Gambaran sekunderTanda dan gejala di bawah sering muncul dengan satu atau lebih gambaran primer, tapi beberapa pasien dapat mengalaminya secara terpisah. Rasa terbakar dan pedih Plak Kulit kering. Edema. Manifestasi okular. Lokasi perifer. Perubahan fimatous.1

PENATALAKSANAANPenatalaksanaan rosasea meliputi tatalaksana umum, obat topikal, obat sistemik dan tambahan. Tatalaksana umum dapat berupa menyarankan kepada pasien untuk menghindari faktor pencetus dan iritan, seperti sabun yang kuat dan pembersih kosmetik berbasis alkohol, menggunakan tabir surya sebagai pelindung terhadap sinar ultraviolet A dan ultraviolet B. Bila pasien mengalami intoleransi/sensitif terhadap bahan-bahan kosmetik dapat digunakan light liquid foundation. Selain itu, penggunaan green tinted make up pada lesi sebelum aplikasi alas bedak dapat dilakukan untuk memudarkan area merah. Pada pasien yang sensitive digunakan pembersih wajah bebas sabun dan mengandung sodium sulfacetamide atau sulfur untuk mengurangi rasa terbakar dan perih akibat penggunaan obat topikal (azelaic acid) serta pelembab wajah yang lembut satu sampai dua kali sehari sebelum penggunaan produk kosmetik lain.1,4,8

Obat topikalAntibiotik topikal efektif pada pasien dengan rosasea. Tetrasiklin, eritromisin dan klindamisin dengan konsentrasi 0,5-2% sering diberikan. Metronidazol adalah derivate synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari peneitian klinis, metronidazol 0,75% gel topikal atau krim 1% dapat menyembuhkan lesi hingga 68%91%. Bentuk gel adalah sediaan yang paling efektif untuk papul dan pustul rosasea.4,8Imidazol topikal juga dapat digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya adalah sebagai anti inflamasi, imunosupresan dan bactericidal. Efek toksin imidazol sangat rendah dan dapat digunakan pada kulit pasien yang sensitif. Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid reseptor agonis dan anti inflamasi. Adapalen terbukti aman sebagai penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalen gel 0,1% berefek kuat pada papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem dan telangiektasis. Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal kortikosteroid bisa digunakan kecuali untuk rosasea fulminant.

Obat sistemikRosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromisin oral biasanya efektif namun tetrasiklin yang paling efektif. Tetrasiklin-HCL, oksitetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari rosasea dan mengurangi eritem. Antibiotik tersebut dapat dimulai dengan dosis 11,5 g tetracyclin-HCL dan oksitetrasiklin per hari, serta 50 g minosiklin dan doksisiklin diberikan dua kali sehari. Tetrasiklin oral efektif pada rosasea okular. Isotretinoin juga efektif meskipun mempunyai efek samping yang lebih banyak. Obat ini digunakan pada rosasea yang resisten dan tidak berespon terhadap antibiotik seperti rosasea lupoid, rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea konglobat, rosasea fulminan. Dosis isotretinoin 0,51 mg/kg/hari. Efek samping obat pada mata paling sering terjadi. Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan hanya pada rosasea fulminan berupa prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.4

Terapi TambahanTerapi secara topikal dan oral terkadang tidak berhasil mengurangi eritema pada rosasea tipe tertentu. Perawatan dengan intense-pulsed ligth dan long-pulsed dye lasers memberikan hasil efektif dalam mengurangi eritema dan telangiektasis pada rosasea. Namun, terapi tersebut mahal dan tidak dapat menghilangkan eritema atau telangiektasis secara permanen.1,8KESIMPULANRosasea adalah suatu penyakit peradangan kronik pada kulit yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Klinis terdapat eritema, papul, pustul, telangiektasis dan hipertrofi kelenjar sebasea dan atau manifestasi okular yang persisten selama berbulan-bulan atau lebih. Perbandingan antara wanita dan laki-laki 3:1, sering terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun, namun dapat pula terjadi pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Rosasea terdiri atas subtipe eritematotelangiektasis, papulpustul, phymatous, dan okular. Diagnosis pada rosasea dilakukan dengan melihat gejala primer dan sekunder dari rosasea itu sendiri. Pengobatan dengan menghindari faktor pencetus rosasea, pemberian obat topikal, obat sistemik, dan terapi tambahan lain berupa terapi dengan menggunakan laser pada kondisi tertentu.

DAFTAR PUSTAKA1. Pelle MT. Rosacea. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. P 918-925.1. Wolf K, Johnson RA. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2009. P 8-10.1. Jones JB. Rosacea, Perioral Dermatitis, and Similar Dermatoses, Flushing and Flushing Syndrome. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffths C, editors. Rooks Text Book of Dermatology. 7th ed. Blackwell Publishing Company; 2004. P 2199-2217.1. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea, Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. P 260-262.1. James MD, Berger TG, Gilston DM, editors. Connective Tissue Disease. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Philadelphia: Saunders Company; 2011. P 241-244.1. Wilkin J, Chair, Dahl M, Detmar M, Drake L, Liang MH, et al. Standard grading system for rosacea: Report of the National Rosacea Society Expert Committee on the Classification and Staging of Rosacea. J Am Acad Dermatol. 2004;50:907.1. Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP. Rosacea. Acne and Acneiform Dermatoses. In: Callen JP, Horn TD, Mancini AJ, Salasche SJ, Schaffer JV, Schwarz T, et al., editors. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company; 1985. P 561-569.1. Crawford GH, Pelle MT, James WD. Rosacea: I. Etiology, pathogenesis, and subtype classification. J Am Acad Dermatol. 2004;51:327-41.1. Q James, Rosso D, et al. Comprehensive Medical Management of Rosacea. An Interim Study Report and Literature Review. J Clin Aesthetic Derm. 2008;1(1):20-25.1