rohingya
-
Upload
dhia-raihana-mirtafani -
Category
Documents
-
view
20 -
download
8
description
Transcript of rohingya
Makalah
PENOLAKAN PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA DALAM KACAMATA HAM DAN PANCASILA SILA
KEDUA
Oleh:Mutia Kusumawardhani I4A011049
Shinta Putri Fidayanti I4A011078
Muhammad Rizal Nurhadi I1A011090
Pembimbing:
dr. H. Iwan Aflanie, M.Kes, Sp.F., SH.
BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Desember, 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................1
DAFTAR ISI ...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................6
1.3 Tujuan................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7
BAB III KERANGKA KONSEP .........................................................................20
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
2
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) ditegaskan oleh Daniel Lev dalam Mangku
secara sama melekat pada semua manusia, karena umat manusia memiliki spesies
biologis yang satu : kesatuan paling dasar, sehingga berdasarkan kesamaan ini
perbedaan-perbedaan yang ada akan tak berati. Maka, konsep HAM bersifat
universal dan tidak mengakui makna atau penafsiran yang hanya bercirikan
kekhususan lokal. Banyak pemerintah tidak menyukai ini, sebab konsep yang
bersifat universal akan membatasi semuanya yang dilakukan pemerintah dan
sebaliknya justru melindungi warga negara terhadap kekuasaan negara (1).
HAM dalam pandangan Yozo Yokota berarti bahwa hak-hak ini memang
diperuntukkan bagi setiap manusia, terlepas dari ras, kebangsaan, agama atau
kebudayaan. (1).
Myanmar memiliki catatan buruk tentang HAM. Selama ini ASEAN
selalu kokoh pada implementasi prinsip non-intervensi-nya, namun dalam KTT
ASEAN ke-11 di Kuala Lumpur, Desember 2005 para pemimpin ASEAN mulai
berani menyuarakan kritik secara langsung terhadap Myanmar bahwa “its right
recorded an embarrassment and demanded the release of opposition leader, Aung
San Suu Kyi, and of other political prisoners.”. (1)
Myanmar masih menyisakan permasalahan yang sangat penting dan
mendasar yang kembali membawa Myanmar ke“jurang” yang sama tentang
permasalahan HAM yaitu terdapat indikasi pemerintah Myanmar (masih)
3
melakukan pelanggaran HAM pada etnis Rohingya. Sejarah masih mencatat pada
saat bebasnya penerima nobel perdamaian Aung San Suu Kyi dan masuknya Suu
Kyi dalam parlemen Myanmar membangkitkan harapan bagi warga minoritas
Rohingya yang terus tertindas. Mereka berharap Suu Kyi akan lantang berbicara
terhadap hak-hak kaum Rohingya, sebuah kaum yang disebut PBB sebagai kaum
minoritas paling teraniaya di dunia. Namun apa yang terjadi, Suu Kyi masih
menghindari isu tersebut. Seperti yang terjadi kala Suu Kyi berbicara di Jenewa,
Suu Kyi terlihat seperti tidak ada suatu permasalahan yang besar dengan tidak
ingin menyinggung rezim Myanmar (1).
Isu pembantaian terhadap etnis Rohingya di Provinsi Arakan, Myanmar,
kembali mengemuka bersamaan dengan datangnya bulan suci Ramadan. Dalam
catatan A. Safril Mubah (Jawa Pos, 24/7/2013), dalam sebulan terakhir, tercatat
650 orang etnis Rohingya tewas, 1.200 warga hilang, dan sekitar 80 ribu lainnya
kehilangan tempat tinggal. Selama bertahun-tahun pemerintah junta militer
Myanmar tidak hanya melakukan pengingkaran terhadap demokrasi, tapi juga
melanggar hak asasi manusia (HAM) kaum minoritas (1).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara Barat, tampaknya,
tidak risi sama sekali dengan berita pembantaian etnis muslim Rohingya tersebut.
Bahkan, pemimpin negara yang memiliki penduduk Islam terbanyak di dunia,
Indonesia, juga tutup mata. Kementerian Luar Negeri menganggap persoalan
tersebut sebagai masalah internal Myanmar. Kasus Rohingya memang bukan soal
agama. Mereka dibantai bukan karena beragama Islam. Tapi, dilatarbelakangi
tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Bagi
4
pemerintah Myanmar, etnis Rohingya dianggap sebagai warga tanpa
kewarganegaraan (stateless people). Atas dasar itulah tentara Myanmar
melakukan berbagai pelanggaran HAM (1).
Sebagian warga etnis Rohingya kemudian mengungsi ke berbagai negara,
negara tujuan mereka adalah Malaysia, di mana sekitar 31.000 warga Rohingya
telah hidup di sana. Malaysia dan Indonesia belum mengumumkan kebijakan
resmi terkait pencegahan kedatangan manusia perahu ke wilayah kedaulatan
kedua negara. Tapi kapal angkatan laut kedua negara dilaporkan telah menyeret
sejumlah perahu pengungsi yang mendekati kawasan pantainya kembali ke laut
lepas. Para pengungsi mendapat bantuan makanan, air bersih, pengobatan, serta
bahan bakar, tapi dilarang mendarat (2).
Permasalahan pengungsi Rohingya yang semakin rumit membuat
pemerintah Thailand yang juga kedatangan para pengungsi Rohingya pada
Oktober 2014 memberlakukan kebijakan rahasia, yakni pendeportasian para
pengungsi kembali ke Myanmar. Kebijakan ini akhirnya berujung pada penjualan
para pengungsi Rohingya kepada jaringan pedagang manusia (2).
Apa pun alasannya, pem-pimpongan pengungsi Rohingya itu harusnya
dapat dicegah. Ketiga negara seharusnya dapat bekerjasama untuk menyelamatkan
mereka yang terkatung-katung diatas kapal. Terutama indonesia yang memiliki
pilar kedua Pancasila yang berbunyi “ Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”.
Terlepas dari negara tujuan mereka adalah Malaysia. Tidak sepantas rasanya
Indonesia yang mengetahui keadaan pem-pimpongan pengungsi Rohingya ikut
menolak pendaratan pengungsi Rohingya diwilayah Indonesia dan
5
mengembalikan mereka ke laut lepas. Dalam penulisan makalah ini akan dibahas
tentang kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya dan
hubungan pilar kedua Pancasila terhadap penolakan pengungsi Rohingya di
Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan HAM terhadap tindakan penolakan pengungsi
Rohingya di Indonesia?
2. Bagaimana pandangan Pancasila sila kedua terhadap tindakan penolakan
pengungsi Rohingya di Indonesia?
3. Apa faktor-faktor yang menyebabkan penolakan pengungsi Rohingya di
Indonesia?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pandangan HAM terhadap tindakan penolakan pengungsi
Rohingya di Indonesia?
2. Mengetahui pandangan Pancasila sila kedua terhadap tindakan penolakan
pengungsi Rohingya di Indonesia?
3. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan penolakan pengungsi
Rohingya di Indonesia?
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Rohingya
Etnis Rohingya adalah penduduk asli negara bagian Arakan. Arakan
sendiri merupakan sebuah negara bagian seluas 14.200 ml persegi yang terletak di
barat Myanmar, merupakan daerah pesisir timur teluk Bengali yang bergunung-
gunung, berbatasan langsung dengan India di utara, negara bagian China di Timur
laut, distrik Magwe dan Pegu di timur, distrik Irrawady di selatan dan Bangladesh
di barat laut, saat ini dihuni oleh sekitar 5 juta penduduk yang terdiri dari dua etnis
utama, Rohingya yang muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Budha (3).
Kata Rohingya berasal dari kata Rohang, yang merupakan nama lain dari
negara bagian Arakan. Etnis Rohingya yang sudah tinggal di Arakan sejak abad
ke 7 masehi, hal ini merupakan bantahan bagi junta militer yang menyatakan
bahwa etnis Rohingya merupakan pendatang yang ditempatkan oleh penjajah
Inggris di Bangladesh, memang secara fisik etnis Rohingya memiliki kesamaan
fisik dengan orang Bangladesh, merupakan keturunan dari campuran orang
Bangali, Persia, Mongol, Turki, Melayu dan Arab, yang menyebabkan
kebudayaan Rohingya sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar, termasuk
dari segi bahasa yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi, Urdu dan
Bengali (3).
Arakan dulunya merupakan sebuah negara independen yang pernah
dikuasai secara bergantian oleh orang Hindu, Budha dan Muslim. Pada 1230 M,
7
Bengali menjadi sebuah negara Islam, dan sejak saat itu pula pengaruh islam
mulai masuk wilayah Arakan, hingga pada akhirnya pada 1430 M Arakan menjadi
sebuah negara Islam (3).
Pada 1824-1826 perang Anglo-Burma pertama pecah. Ketika perang ini
berakhir pada 24 februari 1426 yang ditandai dengan diratifikasinya perjanjian
Yandabo menyebabkan Burma, Arakan dan Tenasserim dimasukkan ke wilayah
British India. Tahun 1935 diputuskan bahwa Bura terpisah dari British-India
tepatnya mulai tanggal 1 April 1937, melalui keputusan ini pula digabungkanlah
Arakan menjadi bagian British-Burma, bertentangan dengan keinginan mayoritas
penduduknya yang beragama Islam dan ingin bergabung dengan India. Hingga
pada akhirnya Arakan menjadi bagian Burma yang merdeka pada tahun 1948 (3).
Penduduk muslim Rohingya merupakan mayoritas penduduk di Arakan,
dengan jumlah kurang lebih 90 persen, namun selama 49 tahun kemerdekaan
Burma (Myanmar) jumlah itu terus berusaha dikurangi, mulai dari pengusiran
hingga pembunuhan, hingga saat ini hanya tersisa sedikit Umat Islam Rohingya di
selatan Arakan sedangkan di bagian utara Rohingya masih menjadi mayoritas (3).
Berbeda dengan etnis yang lain yang berhak mendirikan negara bagian
sendiri, etnis Rohingya kehilangan haknya bahkan wilayahnya (Arakan)
diserahkan kepada etnis Rakhine yang beragama Budha, walaupun populasinya
kurang dari 10 persen penduduk Arakan, sejak saat itulah hak-hak etnis Rohingya
berusaha dihilangkan oleh para politisi Budha Burma. Bahkan semenjak junta
militer menguasai Burma keadaan semakin memburuk, bukan saja hak-hak politis
yang dikekang, tetapi juga dalam bidang sosial budaya, hal ini ditandai dengan
8
ditutupnya tempat-tempat belajar bahasa Rohingya pada tahun 1965 oleh Junta
(3).
2.2 Hakikat HAM
Hak-hak asasi manusia adalah mengenai hubungan antara warga negara
dan negaranya menyangkut kewajiban negara untuk mempromosikan dan
mengamankan hak-hak dasar khusus dari warga negara sebagaimana ditentukan
dalam instrumen-instrumen itu. Banyak dari hak dasar ini diakui oleh konstitusi
negara-negara, demikianlah seperti hak hidup, hak berkumpul dalam perserikatan
yang tujuannya tidak merugikan orang lain, hak mengungkapkan gagasan yang
tidak memfitnah orang lain, hak memeluk kepercayaan agama, hak atas milik
pribadi, hak menuntut keadilan secara hukum, hak atas proses pengadilan yang
benar, antara lain. Maka pelanggaran hak-hak asasi manusia terjadi, bila negara
atau pejabatnya atau perangkatnya melanggar hak-hak warga negara. yang terlibat
dalam pelanggaran ini biasanya adalah militer dan kepolisian dalam tugas mereka
menegakkan keamanan, perdamaian dan ketertiban (1).
Ada masa pada Perang Dunia II dan era pasca perang menginginkan
semakin dikuranginya yurisdiksi eksklusif negara atas warganya di satu pihak,
dan internasionalisasi lembaga perlidungan bagi individu menghadapi negara
dimana ia menjadi warganya di lain pihak. Lembaga perlidungan ini telah dikenal
sebagai hak-hak asasi manusia (1).
9
2.3 Pelanggaran HAM Pada Kasus Pembantaian Etnis
Rohingya
a) Pembantaian etnis sebagai kejahatan genosida berdasarkan konvensi
tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida
Dalam dunia Internasional, masalah genosida sudah ada aturan bakunya
dimana pada tanggal 9 Desember 1948, sidang umum PBB secara mutlak
menerima Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan Genosida
sebagai instrumen International hak asasi manusia yang pertama (4).
Genosida tergolong sebagai kejahatan International seperti halnya
kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan. Merupakan kewajiban seluruh
masyarakat untuk mengadili atau menghukum pelakunya. Tujuan konvensi
genosida dirumuskan dengan kehendak untuk melawan dan mencegah
terulangnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada perang
dunia II (4).
Dalam pasal 6 konvensi genosida menyebutkan bahwa orang yang
melakukan genosida atau tindakan lain akan diadili oleh pengadilan yang
berkompeten oleh negara dimana pengadilan pidana internasional yang
berwenang dan yuridiksinya diterima oleh negara pihak. Dalam pasal 2 konvensi
genosida menyatakan genosida berarti setiap dari perbuatan-perbuatan berikut
yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun
sebagian suatu kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama seperti: (4)
a. Membunuh para anggota kelompok
b. Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok
10
c. Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang
menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian.
d. Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah didalam
kelompok itu.
e. Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok
lain.
Dalam konvensi genosida menegaskan siapa-siapa saja yang dapat
dikatakan melakukan tindakan genosida sebagaimana diatur pasal 4 konvensi
yang menyatakan orang-orang yang melakukan genosida atau setiap perbuatan
lain yang disebut dalam pasal 3 harus dihukum, apakah mereka para penguasa
yang bertanggung jawab secara konstitusional, para pejabat negara, atau individu-
individu biasa (4).
Maka sudah saatnya dunia internasional terlibat aktif dalam menangani
pembersihan etnis yang mengarah kepada kejahatan genosida di Myanmar yang
semakin lama semakin meluas. Apabila dunia internasional tidak menyikapi
kedudukan etnis Rohingya ini secara serius, bahkan suatu waktu etnis Rohingya
tidak akan dijumpai lagi dalam peta dunia karena mereka stateless (tidak diakui
kewarganegaraannya) dan dilupakan (4).
b) Pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap Etnis Rohingya oleh Junta
Militer Myanmar dikaitkan dengan International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik
11
Miriam Budiarjo menegaskan bahwa hak asasi manusia bersifat universal
artinya dimiliki semua manusia tanpa pembedaan berdasarkan bangsa, ras, agama,
atau gender. Kasus pembantaian etnis Rohingya merupakan pelanggaran HAM
berat dimana terjadi berbagai macam kekerasan, pembantaian dan diskriminasi
yang dialami etnis Rohingya yang notabene beragama islam (4).
Pelanggaran yang dilakukan oleh junta militer Myanmar terhadap etnis
Rohingya merupakan pelanggaran HAM berat karena telah melanggar HAM yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, seperti hal imi dapat terlihat dalam
hal: (4)
- Pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis muslim
Rohingya yang terjadi di arakan telah melanggar Pasal 6 ayat (1) ICCPR
yang berbunyi “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat
pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun
dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”.
- Terdapat etnis Rohingya yang disiksa, yang mana melanggar pasal 7
ICCPR yang berbunyi “tidak seorangpun yang dapat dikenakan
penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kkeji, tidak manusiawi
atau merendahkan marabat. Pada khususnya tidak seorangpun dapat
dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang
diberikan secara bebas”.
- Terdapat muslim Rohingya yang dipaksa menjadi buruh pagi siang dan
malam yang mana melanggar pasal 8 ayat (3)a ICCPR yang berbunyi
12
“tidak seorangpun dapat diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau
kerja wajib”.
- Terdapat etnis Rohingya yang ditahan secara sewenang wenang yang
mana melanggar Pasal 9 ayat (1) ICCPR yang berbunyi “setiap orang
berjak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat
ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang”
2.4 Konflik Rohingya
Puncak penindasan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya
terjadi pada tahun 2012 dimana konflik Rohingya bermulai dari sebuah
pembunuhan pada 28 Mei 2012 terhadap seorang gadis Budha bernama Ma Thida
Htwe yang berumur 27 tahun. Setelah kasus ini dibawa kepihak kepolisian
setempat dan setelah penyelidikan ditetapkan beberapa tersangka, mereka adalah
Rawshi, Rawphi, dan Kochi. Ketiganya adalah pemuda Bengali Muslim etnis
Rohingya di Myanmar (5).
Warga Myanmar yang mayoritas beragama Budha sangat mengecam
kejadian pembunuhan wanita beragama Budha Ma Thida Htwe tersebut, apalagi
media Myanmar setempat memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah
membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine (5)..
Kemudian pada 4 Juni 2012 terjadilah pembunuhan terhadap muslim
eetnis Rohingya di dalam bus tujuan Yangoon dimana 10 orang muslim Rohingya
ditemukan tewas. Sejak insiden itu, terjadilah kerusuhan di Rakhinepada Juni
2012 yang berakhir pembakaran rumah, pemukulan, pemerkosaan dan
pembantaian terhadap etnis Rohingya secara terus menerus di Arakan, Myanmar,
13
dimana muslim Rohingya menjadi sasaran. Selain itu etnis Rohingya tidak
mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Hal ini dilatarbelakangi oleh
dihapuskannya etnis ini dari undang-undang kewarganegaraan Myanmar pada
tahun 1982. Undang-undang kewarganegaraan ini mencatat 135 etnis yang diakui
secara otomatis menjadi warga negara Myanmar dan etnis Rohingya tidak
termasuk kedalam 135 etnis tersebut. Akibat dari penghapusan ini etnis Rohingya
tidak mendapat hak-hak sebagai warga negara Myanmar (5)..
Dengan diundangkannya UU Kewarganegaraan tahun 1982 etnis
Rohingya disebut sebagai warga non kebangsaan atau warga asing. Muslim
Rohingya pun resmi di deklarasikan sebagai warga yang pantas untuk
dimusnahkan. Rezim junta militer mempraktekkan dua kebijakan de-Islamisasi di
Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis muslim
Rohingya di arakan, serta asimilasi budaya bagi umat Islam yang tinggak dibagian
Myanmar. Menurut pemerintah Myanmar etnis Rohingya adalah “pendatang
haram” dari Bangladesh, oleh karena itu terjadi banyak sekali penindasan,
diskriminasi dan pembantaian terhadap muslim etnis Rohingya (5)..
Untuk saat ini orang-orang Rohingya yang berasal dari wilayah Myanmar
bisa dikatakan sebagai “stateless citizen”maksudnya adalah pendudukyang
kehilangan status kewarganegaraan karena alasan-alasan politik. Yang lebih
menyedihkan adalah perlakuan diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah tetapi juga oleh warga negara Myanmar yang pro pemerintah yang
mempunnyai keyakinan bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar.
Oleh karena itu, secara terus menerus terjadi perlakuan diskriminatif yang
14
diterima oleh etnis Rohingya dari pemerintah Myanmar. Perlakuan ini dinilai
sangat mengganggu kehidupan masyarakat Rohingya sebagai warga dunia (5)..
Akhirnya para etnis Rohingya mengarungi lautan demi kebebasan. Mereka
terpaksa mengungsi dan menjadi “manusia perahu” mencari negeri aman yang
mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun diseluruh dunia.
Mereka terusir dari negara Myanmar dan terpaksa mengungsi ke negara-negara
sekitar Myanmar seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan juga Indonesia (5).
2.5 Manusia Perahu (Pengungsi Rohingya)
Sebagian warga etnis Rohingya mengungsi ke berbagai negara, negara
tujuan mereka adalah Malaysia, di mana sekitar 31.000 warga Rohingya telah
hidup di sana. (2).
Berita terbaru mengatakan pada tanggal 10 Mei 2015 mengabarkan bahwa
ratusan etnis Rohingya ditemukan nelayan Aceh terombang ambing dilautan
dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Saat ditemukan nelayan di lautan
Aceh mereka dalam keadaan sangat lemah, banyak yang mengalami dehidrasi,
kelaparan, dan terjangkit berbagai macam penyakit. Maka tidak mengherankan
faktor-faktor tersebut menjadi pendorong orang-orang Rohingya untuk mengungsi
dan mencari perlindungan ke negara-negara tetangga seperti Indonesia dan
Thailand dengan harapan mereka mendapatkan perlindungan kemanusiaan dari
negara-negara yang mereka singgahi. Namun pada kenyataannya harapan mereka
untuk mendapatkan perlindungan tidak selalu mendapatkan respon yang positif.
Sebagai contoh saat mereka berada di Thailand orang-orang Rohingya sempat
mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Saat ditangkap otoritas keamanan
15
Thailand dan kemudian dibawa ketengah laut, disatukan dengan warga Myanmar
lainnya yang sudah lebih dahulu ditangkap. Ditengah laut mereka disiksa selama
tiga bulan, mereka dipukuli oleh pasukan keamanan yang datang silih berganti,
diberi minum hanya seteguk air putih dalam sehari,diberi makan beras yang tidak
dimasak, dan dilepaskan ketengah samudra hanya menggunakan perahu reyot
bermesin tanpa bekal makanan yang cukup. Dilautan mereka mendaptkan banyak
kendala, mulai dari kehabisan bahan makanan dan minuman, penyitaan mesin
perahu dan bahan bakarnya (5).
Di Indonesia sendiri perlakuannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan
di negara Thailand. Meskipun sedikit menuai pro dan kontra. Bagi masyarakat
yang pro mereka sepantasnya mendapat kepedulian dari masyarakat internasional
karena menyangkut perlindungan HAM. Sedangkan bagi masyarakat yang kontra
mereka dianggap hanya sebagai pengungsi yang sejauh ini diketahui motif mereka
hanya mencari kehidupan yang lebih baik atau bisa digolongkan sebagai migran
bermotif ekonomi. Oleh karena itu Indonesia tidak membuka diri bagi migran
bermotif ekonomi, mereka harus dipulangkan ke negara asal. Diluar pro dan
kontra tentang pengungsi Rohingya, atas dasar asas kemanusiaan pemerintah
Indonesia saat ini membuat kebijakan untuk menampung etnis Rohingya selama
setahun dengan bekerjasama dengan lembaga pengungsi dari PBB, yaitu UNHCR
(United National High Commisioner for Refugees) (5).
16
2.6 Pemahaman Pancasila Sila Kedua Terhadap Manusia Perahu(Pengungsi
Rohingya)
Salah satu kebijakan yang merupakan bentuk implementasi nyata dari
Pancasila adalah kebijakan dalam urusan Hak Asasi Manusia Internasional. Hak
Asasi Manusia atau HAM sebagai salah satu nilai universal yang sejalan dengan
semangat Pancasila telah diakomodasi baik dalam Konstitusi maupun Undang-
Undang. Indonesia secara serius juga membentuk Komisi Nasional HAM dan
Pengadilan HAM sebagai the guardians of the human rights. Secara
konstitusional, legal maupun institusi, negara nampak serius dalam menjamin
HAM khususnya pasca-reformasi (6)
Hal utama yang harus kita tanamkan di hati kita sebagai seorang warga
Negara Indonesia yang mengerti dan memahami tentang arti penting dan
berharganya suatu kehidupan yang dilandasi dengan adab dan keadilan. Maka
pemahaman nilai sila ke-2 harus kita tekankan nilai dan artinya di jiwa, hati dan
raga kita. Tanpa adanya pelanggaran-pelanggaran hak asasi (7).
Sila ke-2 pancasila yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab
memiliki nilai penting, bahwa manusia, memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan
cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati kedudukan dan
martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan dan
tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak
subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang (7).
Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab
mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang
17
selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan /
moral. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian adanya
kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi
nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan
umumnya. Potensi kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia, tanpa
memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal (7).
Pengertian ini bertolak belakang dengan sikap Indonesia terhadap
pengungsi Rohingya yang berlabuh di Indonesia. Keputusan dan tindakan yang
dilandasi oleh nilai-nilai budaya yang didasari oleh potensi budi nurani manusia
dengan norma-norma yang objektif tanpa memandang ras, keturunan dan warna
kulit tidak tercermin dalam sikap pemerintah Indonesia yang mengembalikan
pengungsi Rohingya ke laut lepas dengan alasan negara tujuan mereka bukanlah
Indonesia, padahal Indonesia mengetahui bahwa pengungsi Rohingya di tolak
oleh kedua negara tetangga dan negaranya sendiri.
Meskipun pada akhirnya Indonesia bersedia menerima pengungsi
Rohingya atas bantuan dari PBB, namun hal itu hanya selama satu tahun. Setelah
satu tahun berlalu para pengungsi Rohingya akan kembali ke Negara asal.
18
BAB III
KERANGKA KONSEP
Gambar 2. Kerangka Konsep Penolakan Pengungsi Rohingya di Indonesia dalam Kacamata HAM dan Pancasila Pilar Kedua
19
Genosida
Pelanggaran HAM
Pengungsian etnis Rohingya
Bangladesh Malaysia Indonesia Thailand
Pro Kontra
HAM
Pancasila pilar kedua
Pelanggaran Butir-Butir HAM danPilar Kedua Pancasila
BAB IV
KESIMPULAN
Di Indonesia perlakuan terhadap pengungsi Rohingya sedikit lebih baik
dibandingkan dengan di negara Thailand. Meskipun sedikit menuai pro dan
kontra. Bagi masyarakat yang pro mereka sepantasnya mendapat kepedulian dari
masyarakat internasional karena menyangkut perlindungan HAM. Sedangkan bagi
masyarakat yang kontra mereka dianggap hanya sebagai pengungsi yang
bertujuan ke Negara malaysia yang sejauh ini diketahui motif mereka hanya
mencari kehidupan yang lebih baik atau bisa digolongkan sebagai migran
bermotif ekonomi. Oleh karena itu Indonesia tidak membuka diri bagi migran
bermotif ekonomi, mereka harus dipulangkan ke negara asal. Diluar pro dan
kontra tentang pengungsi Rohingya, atas dasar asas kemanusiaan pemerintah
Indonesia saat ini membuat kebijakan untuk menampung etnis Rohingya selama
setahun dengan bekerjasama dengan lembaga pengungsi dari PBB, yaitu UNHCR
(United National High Commisioner for Refugees) (5).
Keputusan dan tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya yang
didasari oleh potensi budi nurani manusia dengan norma-norma yang objektif
tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit yang merupakan penjabaran dari
pilar kedua Pancasila tidak tercermin dalam sikap pemerintah Indonesia yang
mengembalikan pengungsi Rohingya ke laut lepas dengan alasan negara tujuan
mereka bukanlah Indonesia dan bermotif ekonomi, padahal Indonesia mengetahui
20
bahwa pengungsi Rohingya di tolak oleh kedua negara tetangga dan negaranya
sendiri.
Meskipun pada akhirnya Indonesia bersedia menerima pengungsi
Rohingya atas bantuan dari PBB, namun hal itu hanya selama satu tahun. Setelah
satu tahun berlalu para pengungsi Rohingya akan kembali ke Negara asal.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangku D.G. Kasus Pelanggaran HAM Etnis Rohingya: Dalam Perspektif ASEAN. Media Komunikasi FIS. 2013: 12(2); 60-69.
2. Anonim. AKTUAL: Mem-pimpong Nasib Pengungsi Rohingya. Edisi 36. Periode 1-15 Juni 2015. Jakarta. Caprof Media Negeri. 2015.
3. Haque, mahbubul. Undocumented rohingya refugees in bsngladesh: goverment justification of the policies on their basic right mu.org
4. Lewa, chris, 2010. Unregisted rohingya refuges in bangladesh: carckdown, forced displacement and hunger. Bangkok:the arakan project
5. Hartono sunarti, 2000. Mencari mkakna nilai-nilai falsafah didalam pancasila sebagai weltanshauungbangsa dan republik indonesia.
6. Susanti D. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kegiatan PKK di Desa Kunir Kecamatan Dempet Kabupaten Demak. Skripsi, Politik dan Kewarganegaraan. Makalag Ilmiah. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 2013
7. Saputra S.A. Aplikasi Nilai Pancasila Sila kedua dan Kelima dalam Memerangi Perdagangan Manusia di Indonesia. Makalah Ilmiah. Yogyakarta: Stimik AMIKOM. 2011.
22