r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

24
FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 111 ALTERNATIF PENYELESAIAN TANAH PENGUASAAN PEMERINTAH KOTA YANG DIPAKAI PIHAK KETIGA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI 1 R. Moeljono, Sutoyo, dan Imam Koeswahyono ______________________________________________________ Keduanya adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Brawijaya Malang ________________________________________________________ Abstract This article was written based on legal research concerning state owned land in East Java municipality. There are still a lot of lands which are held by government agencies that have not attached any rights, so it does not have the certainty of rights and the rule of law to do any legal act of a right transfer. Viewed from the scope of the administrative law authorized the local government to lease "land tenure" them to third parties. Based on property terminology in this context, is not owned by a legal term defined as a body of land law or rights which contains the authority, obligations, prohibitions and restrictions on subjects and it’s object. Dispute "land tenure" the local government that became the case in the Court on the basis of the claim, that such land is land directly controlled by the state, so the city government is not entitled to lease land because of conflict with the provisions of Article 44 of the Basic Agrarian Law (BAL). In this context, the term of property is a legal term thus the state isn’t owned the land 1 Makalah disajikan pada Seminar Regional Hukum Pertanahan Dalam Rangka Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang ke 53, tanggal 26 Juli 2010 di Lantai 6 Gedung Baru, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Transcript of r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

Page 1: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 111

ALTERNATIF PENYELESAIAN TANAH PENGUASAAN

PEMERINTAH KOTA YANG DIPAKAI PIHAK KETIGA

DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI1

R. Moeljono, Sutoyo, dan Imam Koeswahyono

______________________________________________________

Keduanya adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Merdeka

Malang dan Universitas Brawijaya Malang

________________________________________________________

Abstract

This article was written based on legal research concerning

state owned land in East Java municipality. There are still a lot of

lands which are held by government agencies that have not

attached any rights, so it does not have the certainty of rights and

the rule of law to do any legal act of a right transfer. Viewed from

the scope of the administrative law authorized the local

government to lease "land tenure" them to third parties. Based on

property terminology in this context, is not owned by a legal term

defined as a body of land law or rights which contains the

authority, obligations, prohibitions and restrictions on subjects and

it’s object. Dispute "land tenure" the local government that became

the case in the Court on the basis of the claim, that such land is

land directly controlled by the state, so the city government is not

entitled to lease land because of conflict with the provisions of

Article 44 of the Basic Agrarian Law (BAL). In this context, the

term of property is a legal term thus the state isn’t owned the land

1 Makalah disajikan pada Seminar Regional Hukum Pertanahan Dalam

Rangka Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang ke 53,

tanggal 26 Juli 2010 di Lantai 6 Gedung Baru, Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya.

Page 2: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 112

however is defined as a body of land rights which contains the

authority, obligations, prohibitions and restrictions on the subject

and it’s objects.

Claiming & blaming "land tenure" in the town that became

the case in the Court on the basis of the claim, that such land is

land directly controlled by the state, so the local government is not

entitled to lease land because of conflict with the provisions of

Article 44 BAL The Land Court is likely to be implemented, given

the very limited land availability (supply) while the needs of the

land will increase (demand) in line with the rate of population

increase and improvement of development activities. Refers to the

legislation in the field of land resources and look at the situation

and condition of each type of dispute, seems to settle land disputes

the mastery of the local government controlled by third parties can

be resolved through negotiation or mediation.

Keywords: solution, alternative, land control, constitution

A. PENDAHULUAN

Masalah pertanahan tampaknya tidak pernah surut bahkan

cenderung terus meningkat, seiring semakin sulitnya akses untuk

memiliki tanah, baik untuk kepentingan pemerintah, swasta dan

masyarakat. Masalah pertanahan lazim timbul di daerah perkotaan.

Hal ini dapat dimaklumi karena antara jumlah tanah yang tersedia

dengan jumlah penduduk kota yang semakin meningkat baik secara

alami maupun karena urbanisasi.

Dewasa ini pandangan masyarakat terhadap arti dan fungsi

tanah tidak lagi hanya merupakan benda yang bersifat turun-

temurun atau aset yang dapat berpengaruh terhadap status sosial

bagi pemiliknya, tetapi faktanya fungsi tanah telah bergeser

Page 3: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 113

menjadi komoditi ekonomi. Konsep tanah tidak boleh menjadi

komoditi yang diperjual belikan untuk mencari keuntungan

finansial semata. Hal tersebut untuk menghindari terkonsentrasinya

penguasaan tanah pada sekelompok masyarakat yang kuat yang

akhirnya akan terjadi penindasan terhadap kelompok masyarakat

yang lemah atau kurang diuntungkan2.

Pada jaman penjajahan Belanda beberapa daerah di

Indonesia terdapat pemerintah kota (Stadgemeente), yang

memiliki/menguasai “Vrijlandsdomein”, sebagian dari tanah

tersebut diusahakan sebagai perusahaan tanah (grondbedrijf) dan

disewakan kepada penduduk kota yang membutuhkannya. Tidak

setiap daerah di Indonesia terdapat pemerintahan kota yang

mengusahakan grondbedrijf, maka jika di daerah kota tersebut

terdapat “Vrijlands-domein”, maka tanah-tanah tersebut dimiliki

dan dikuasai oleh Departemen (Kementerian) yang membiayai

menurut anggaran belanja dari Departemen (Kementerian) yang

bersangkutan.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia dikeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, tanah-tanah itu

3. Boedi Harsono, 1993, Aspek Yuridis Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Perkotaan, Makalah Seminar Nasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah

Mada, hlm. 2, menjelaskan; “Maka biarpun dalam hukum tanah kita, tanah

merupakan benda ekonomi yang mempunyai nilai dan tanah yang dihaki

dimungkinkan untuk dijual, tetapi dalam konsepsi tersebut, tanah bukan

komoditi perdagangan. Tanah juga tidak dibenarkan untuk dijadikan obyek

investasi semata-mata, dengan tujuan untuk memanfaatkan dan mengamankan

modal.

Page 4: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 114

dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai penuh oleh negara.

Berdasarkan Peraturan tersebut Menteri Dalam Negeri berwenang

menyerahkan kepada Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra,

yang sekarang menjadi “tanah penguasaan” pemerintah kota.

Ada pihak beranggapan bahwa “tanah penguasaan”

Pemerintah Kota tersebut adalah tanah yang dikuasai lansung oleh

negara, maka mereka merasa berhak mengajukan permohonan hak

langsung kepada instansi yang berwenang.

Banyak hubungan hukum sewa-menyewa, memperoleh Surat

Ijin Penggunaan Tempat-tempat Tertentu dari Pemerintah Kota,

kemudian pemerintah daerah memutuskan hubungan hukum,

karena tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Bahkan di Kota

Surabaya bekas “tanah penguasaan” Pemerintah Kota yang telah

diterbitkan Hak Pengelolaan digugat oleh pihak ketiga yang

memanfaatkan tanah, berdasarkan hubungan sewa-menyewa.

Gugatan terjadi di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya antara

warga Kelurahan Baratajaya Sebagai Penggugat Melawan Walikota

Surabaya.

B. PERMASALAHAN

Memperhatikan problematika sebagaimana dipaparkan di

muka, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1)

Bagaimana kedudukan hukum “tanah penguasaan” Pemerintah

Kota menurut konstitusi dan peraturan perudang-undangan yang

berlaku? 2) Apakah Pemerintah Kota berwenang menyewakan

Page 5: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 115

“tanah penguasaan dan/atau memberikan ijin penggunaan tempat-

tempat tertentu kepada pihak ketiga ? 3) Bagaimana upaya

penyelesaian sengketa “tanah penguasaan” Pemerintah Kota yang

dimanfaatkan pihak ketiga dan adakah alternatif penyelesaian

sengketa ?

C. PEMBAHASAN

1. Periode Penjajahan Belanda

Hukum agraria yang diterapkan di Indonesia pada masa

penjajahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet, yaitu suatu

undang-undang yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870

No.118. Tujuan Agrarische Wet adalah untuk memberikan

kemungkinan dan jaminan kepada pemilik modal besar asing, agar

dapat berkembang di Indonesia. Peraturan pelaksanaan dari

Agrarische Wet tersebut diatur dalam berbagai keputusan salah

satu diantaranya adalah Agrarische Besluit; Pasal 1 Agrarische

Besluit tersebut terkenal dengan nama Domein Verklaring yang

menyatakan: Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan di

dalam ayat 2 dan 3 Agrarische Wet maka dipertahankanlah azas

bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan,

bahwa tanah itu adalah hak eigendom-nya adalah domein negara

(tanah milik Negara).3

4. Boedi Harsono, Sejarah Penysusunan, Isi dan Pelakasanaannya

Hukum Agraria Indonesia, Cetakan Ketiga, (Djambatan, Jakarta, 1970), hlm :

38-39.

Page 6: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 116

Dengan berlakunya Agrarische Besluit tersebut, semua tanah

yang bebas sama sekali dari pada hak-hak seseorang (baik yang

berdasar atas hukum Adat asli Indonesia, maupun yang berdasar

atas hukum Barat) dianggap menjadi “Vrijlandsdomein“ yaitu

tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh Negara. Dalam

perundang-undangan lama tidak ada aturan pokok yang khusus

mengatur soal penguasaan tanah negara. S. 1911 No.110 jo. S

1940 No.430 memuat ketentuan-ketentuan umum tentang

penguasaan terhadap “milik negara yang berupa benda-benda yang

tidak bergerak “ dalam mana dicantumkan pokok pendirian, bahwa

benda-benda yang tidak bergerak termasuk tanah milik negara, ada

dalam penguasaan Departemen yang membeayai pemeliharaannya

menurut anggaran belanja. Jika dicermati lebih mendalam,

hakekatnya ketentuan itu adalah amat sempit, karena denngan

demikian masih belum jelas, bagaimanakah halnya dengan

penguasaan tanah-tanah negara, yang tidak nyata-nyata dikuasai

oleh suatu Departemen.

Dalam pada itu tentang penguasaan tanah-tanah

“Vrijlandsdomein“ itu ternyata, bahwa pemerintah Belanda dahulu

berpegang pada pendirian bahwa: a) tanah-tanah yang menjadi

“Vrijlandsdomein“ karena dibebaskan dari hak-hak milik Indonesia

oleh suatu Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan

Departemen itu; b) tanah-tanah “Vrijlandsdomein“ yang

Page 7: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 117

penguasaannya tidak nyata-nyata diserahkan kepada suatu

Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan Departemen.4

Untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai berbagai

penguasaan tanah negara tersebut, maka agar pemanfaatan tanah itu

berfaedah bagi negara dan masyarakat, pemerintah memandang

perlu menetapkan mengenai pengawasan atas tanah-tanah negara

itu disatu tangan sehingga tanah-tanah negara yang tidak jelas

penguasaannya mudah mengaturnya.

Di dalam praktik ternyata berbeda penerapannya, oleh karena

perhatian pemerintah penjajahan pada waktu itu hanya

mementingkan bagi golongan orang-orang yang tunduk pada

hukum barat atau mereka yang menundukkan diri pada hukum

barat. Sebagai contoh bahwa hukum agraria yang diperlakukan

bagi bangsa Eropa atau mereka yang dipersamakan dengan itu

lebih mendapatkan perhatian, seperti diselenggarakannya Rechts

Kadaster / atau Kadaster Hak, yaitu adanya pendaftaran atau

pembukuan bidang-bidang tanah yang terletak di suatu daerah

kekuasaan pemerintah Belanda di dalam suatu daftar, pengukuran

dan pemetaan hak, demi memberikan jaminan kepastian hak dan

kepastian hukumnya.

5. R. Roestandi Ardiwilaga., Hukum Agraria Dalam Teori dan Praktik,

(Alumni, Bandung, 1982), hlm. 281.

Page 8: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 118

Sedangkan bagi orang-orang Indonesia asli dibiarkan

menurut hukum adat, sehingga pada waktu itu terjadilah dualisme

hukum agraria, di samping berlakunya hukum agraria Barat,

berlaku pula hukum agraria Adat bagi pribumi.

2. Periode Penjajahan Jepang

Setelah Belanda kalah perang melawan Jepang, maka

Indonesia dijajah oleh pemerintah Jepang; pada masa penjajahan

Jepang hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam mengatur

soal agraria; jika terdapat aturan-aturan soal agraria hanyalah

mengenai istilah-istilah menurut bahasa Jepang. Sebagai contoh

seperti peraturan yang dikeluarkan pada waktu itu yaitu Peraturan

pangkal bagi larangan pemindahan atas benda-benda tetap (Osamu

Seirei No. 2 Tahun 1942).

Pemerintah pendudukan Jepang hanya ditujukan untuk

kemenangan bangsa Asia Timur Raya. Masa pendudukan Jepang,

keadaan dan suasana telah berubah sama sekali, maka untuk

melancarkan usaha-usaha peperangan berbagai Jawatan dari

Pemerintah pendudukan Jepang diberi keleluasaan penuh untuk

mengatur kepentingannya. Akibatnya bahwa dalam urusan tanah

jawatan-jawatan itu berbuat sekehendak sendiri dengan

mengabaikan peraturan-perundang-undangan.

Akhirnya banyak tanah negara yang dengan begitu saja

dipergunakan untuk keperluan yang menyimpang dari pada tujuan

yang telah ditentukan semula, atau yang dipindah dari tangan

Page 9: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 119

Jawatan satu ketangan Jawatan lain, dengan tidak melalui acara

penyerahan dan penerimaan yang resmi melalui Berita acara.

Banyak pula tanah negara yang dibiarkan terlantar oleh Jawatan

yang tidak membutuhkannya lagi, selain itu sering juga pembelian

tanah penduduk yang tidak dilakukan menurut peraturan yang ada,

kemudian tidak diketahui pula Jawatan mana yang menguasainya.

Tindakan ini berlansung terus sampai sesudah berakhirnya

pendudukan Jepang, sehingga menimbulkan simpang siur dalam

urusan penguasaan tanah negara umumnya, yang tidak dapat diatasi

dengan berpedoman pada peraturan dalam Staatsblad 1911 No.110

saja.

3. Periode Kemerdekaan RI.

Secara teoritikal suatu negara yang baru merdeka, sudah

barang tentu belum dapat menyusun peraturan perundang-

undangan yang lengkap untuk mengatur berbagai urusan termasuk

urusan agraria; namun dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD-1945

dinyatakan: Semua badan-badan dan peraturan-peraturan yang ada

sebelum diadakan yang baru tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan UUD ini. Pasal 33 (3) UUD-1945

menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besar kemakmuran rakyat.

Silang pandangan para pakar mengenai hak menguasai

negara (HMN) apa yang dinyatakan oleh Marjanne Termorshuizen

Page 10: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 120

masih merupakan kelanjutan dari “Doktrin Domein yang pada

akhir abad ke-19 menjadi perdebatan sengit antara mazhab Leiden

dan Utrecht seperti ditulis oleh Peter Burns (2004) menimbulkan

kebingungan karena multi tafsir, mengesankan maksud

tersembunyi, tidak rasional5. Lebih tidak masuk akal jika

pemerintah daerah dengan dalih memiliki hak menguasai, belum

pernah mendaftarkan hak pengelolaannya ke kantor pertanahan

namun telah melakukan perjanjian dengan pihak ketiga untuk

memanfaatkan tanah yang diklaim dalam penguasaannya.

Walaupun kemudian upaya untuk mengatur lebih lanjut mengenai

urusan tanah yang simpang siur itu pemerintah mengeluarkan

peraturan terutama tanah-tanah bekas hak barat yang dinyatakan

sebagai tanah negara yaitu dengan Peraturan Pemerintah No. 8

Tahun 1953 Tentang Tanah Negara.

Sehubungan dengan tidak adanya kejelasan mengenai benda

tetap termasuk tanah yang dikuasai oleh suatu Kementerian,

Jawatan dan Daerah Swatantra pada waktu itu, maka dikeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Tanah Negara.

Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan tanah Negara

ialah tanah yang dikuasai penuh oleh negara. Penjelasan PP. No. 8

5 Marjanne Termorshuizen-Arts, Rakyat Indonesia dan Tanahnya:

Perkembangan Doktrin Domein Di Masa Kolonial dan Pengaruhnya Dalam

Hukum Agraria Indonesia dalam Myrna A Safitri dan Tristam Moeliono

(Penyunting), Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Cetakan Pertama,

(Hu-Ma, Van Vollenhoven Institute, KITLV-Jakarta, 2010), hlm. 68 – 74.

Bandingkan dengan Achmad Sodiki Achmad Sodiki dan Yanis Maladi, Politik

Hukum Agraria, Cetakan Pertama, (Mahkota Kata, Yogyakarta, 2009), hlm. 4.

Page 11: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 121

Tahun 1953 dinyatakan sebagai berikut: Menurut

“domeinverklaring” antara lain dinyatakan dalam Pasal

1;“Agrarische Besluit”, semua tanah yang bebas sama sekali

daripada hak-hak seseorang (baik yang berdasar atas hukum Adat

asli Indonesia, maupun yang berdasar atas hukum barat) dianggap

sebagai “Vrij landsdomein” yaitu tanah-tanah yang dimiliki dan

dikuasai penuh oleh negara. Tanah-tanah demikian itulah yang di

dalam Peraturan Pemerintah ini disebut “ tanah negara”.

Pasal 3 PP. No. 8 Tahun 1953 menjelaskan bahwa; Menteri

Dalam Negeri berhak: a) menyerahkan penguasaan itu kepada

suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk

keperluan-keperluan bagi melaksanakan kepentingannya sebagai

dimaksud dalam pasal 4; b) mengawasi agar tanah negara tersebut

dalam sub a dipergunakan sesuai dengan peruntukannya dan

bertindak menurut ketentuan dimaksud dalam pasal 8; yang

menyatakan bahwa penguasaan tanah negara itu dapat dicabut

apabila: 1) penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak

tepat lagi; 2) luas tanah yang diserahkan ternyata sangat melebihi

keperluannya; 3) tanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan

sebagai mana mestinya.

Berbasis pada rumusan pasal yang tertuang dalam peraturan

di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tanah negara

adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara atau Menteri Dalam

Negeri untuk diserahkan kepada Kementerian, Jawatan dan Daerah

Swatantra.

Page 12: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 122

a. Kedudukan Hukum Tanah Penguasaan Pemerintah Kota

Sebelum berlakunya UUPA

Bahwa kedudukan “tanah penguasan” pemerintah kota yang

semula berasal dari penyerahan Menteri Dalam Negeri kepada

Daerah Swatantra berdasarkan Pasal 3 PP. No. 8 Tahun 1953

adalah sah menurut hukum. Bahkan di dalam Pasal 9 PP. No. 8

Tahun 1953 menyebutkan: 1) Kementerian, Jawatan dan Daerah

Swatantra, sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang

penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut peruntukannya,

dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah-tanah

itu dalam waktu yang pendek; 2) Perizinan untuk memakai tanah

tersebut dalam ayat 1 dari pasal ini bersifat sementara dan setiap

waktu harus dapat dicabut kembali; 3) Tentang perizinan tersebut

dalam ayat 2 di muka Menteri Dalam Negeri perlu diberitahu.

Pasal 12 PP. No. 8 Tahun 1953, menyatakan bahwa; Kepala

Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara,

dengan tujuan untuk diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu

hak menurut ketentuan-ketentuan Menteri Dalam Negeri.

b. Kedudukan Hukum Tanah Penguasaan Pemerintah Kota

Setelah berlakunya UUPA.

Setelah terbentuknya Kementerian Agraria maka terjadi

peralihan kewenangan pengurusan semula ada pada Menteri Dalam

Negeri, kemudian beralih pada Kementerian Agraria. Selanjutnya

Menteri Agraria mengeluarkan beberapa peraturan sebagai berikut :

Page 13: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 123

1. Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/1961

Intinya adalah berwenang untuk memberikan Keputusan

tentang permintaan Hak Penguasaan (Beheer) tanah yang

dikuasai oleh Kementerian, Jawatan dan Daerah Swatantra.

Peraturan tersebut tidak berlaku efektif, karena tidak ada

Kementerian, Jawatan dan Daerah Swatantra yang mengajukan

permohonan untuk memperoleh Hak Penguasaan (Beheer)

dimaksud.

2 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965

Peraturan tersebut intinya akan mengkonversi tanah Hak

Penguasaan (Beheer) yang dikuasai oleh Kementerian, Jawatan

dan Daerah Swatantra menjadi: a) Hak Pakai jika tanah tersebut

dipergunakan langsung untuk menunjang pelaksanaan tugasnya,

atau; b) Hak Pengelolaan jika bagian-bagian tanah tersebut akan

diberikan kepada pihak ketiga. Ketentuan pelaksanaan konversi

sebagi dimaksud menurut peraturan tersebut tidak mungkin

dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam angka 1 tersebut di

muka.

3. Permendagri No. 5 Tahun 1973 jo Permendagri No. 6 Tahun

1972

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut di atas, untuk

memperoleh Hak Pakai dan/atau Hak Pengelolaan bukan

dilakukan melalui cara konversi tetapi melalui permohonan hak

atas tanah.

4. Hak Tanah dan Penggunaan Tanah

Page 14: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 124

Tanah dalam arti tempat mempunyai dua segi yaitu: a)

Segi hak (hukum); b) Segi penggunaan (fisik). Untuk bisa

menggunakan tanah, seseorang harus mempunyai hak atas tanah

tersebut. Apapun jenis hak yang dia miliki. Menurut peraturan

perundang-undangan barang siapa yang sudah mempunyai hak

atas sebidang tanah, dia harus menggunakannya.6

2. Wewenang Pemerintah Kota Menyewakan Tanah

Penguasaan dan/atau Memberikan Ijin Penggunaan

Tempat Tertentu7

Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara pemerintah

berwenang untuk menyewakan “tanah penguasaan” tersebut kepada

pihak ketiga dengan pertimbangan sebagai berikut :

a. Undang–Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara

Pasal 1 angka 1 menjelaskan; Perbendaharaan Negara

adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara,

termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang

ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pasal 1 Angka 11

menjelaskan: Barang Milik Daerah adalah semua barang yang

dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari

perolehan lainnya yang sah.

6 Direktoran Jenderal Agraria-Depdagri, (Jakarta, 1983), Penerapan

Pasal 14-15 UUPA, hlm: 10, “kebijakan di bidang pertanahan sebenarnya

adalah kebijakan yang menyangkut segi hak, dan segi penggunaan tanah”.

7 Surya; Kamis, 3 Maret 2011, Pelepasan Aset Dikaji Ulang: Aset DPRD

Kota Malang akan mengkaji ulang pelepasan 4.230 bidang tanah aset Pem Kot

Malang yang luasnya di bawah 200 M2.

Page 15: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 125

Pasal 45 menjelaskan bahwa; (1) Barang milik

negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas

pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan; (2)

Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan

dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan

sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan

DPR/DPRD.

b. PP. No. 6 Tahun 2006 jo PP. No. 38 Tahun 2008 Tentang

Pengelolaan Barang Negara/Daerah

Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa; Barang Milik

Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas

beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Kemudian Pasal 2 menyatakan ;

(1) Barang milik negara/daerah meliputi: a) barang yang dibeli

atau diperoleh atas beban APBN/D; atau b) barang yang

berasal dari perolehan lainnya yang sah.

(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

meliputi: a) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan

atau yang sejenis; b) barang yang diperoleh sebagai

pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; c) barang yang

diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; atau d) barang yang diperoleh berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Page 16: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 126

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007 Tentang

Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah

Substansi dari ketentuan peraturan tersebut intinya sama

dengan ketentuan yang mengatur pengelolaan barang

negara/daerah sebagaimana yang diatur dalam PP. No. 6 Tahun

2006 jo. PP. No. 38 Tahun 2008.antara lain:

Pasal 1 ketentuan Umum angka:

7. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna

barang dalam mengelola dan menatausahakan barang milik

negara/daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi

instansi yang bersangkutan.

8. Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik

negara/daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas

pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan kerja

perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai,

kerjasama pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun

gunaserah dengan tidak mengubah status kepemilikan.

9. Sewa adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah oleh

pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima

imbalan uang tunai.

Memperhatikan dan mencermati rumusan pasal-pasal tersebut

di atas dapat dipahami bahwa perolehan tanah/bangunan yang

menjadi barang milik Daerah atau “tanah penguasan” Pemerintah

Kota adalah diperoleh dengan itikat baik, kecuali jika dapat

dibuktikan sebaliknya. Sesuatu yang perlu diperhatikan berkaitan

Page 17: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 127

terminologi barang milik pada masalah ini, bukan diartikan dimiliki

menurut istilah hukum tanah sebagai lembaga hukum atau hak

yang di dalamnya berisi wewenang, kewajiban, larangan dan

pembatasan subyek dan obyeknya.8.

Beranjak dari rumusan tersebut di atas dapat dipahami bahwa

“tanah penguasaan” Pemerintah Kota adalah tanah yang dapat

digunakan, dimanfaatkan dan dapat dipindahtangankan. Namun

demikian, terminologi seperti dijual, disewakan, dihibahkan, hal

tersebut sering mempunyai perbedaan dengan terminologi yang ada

di dalam hukum tanah. Sering pula dalam sengketa “tanah

penguasaan” Pemerintah Kota yang menjadi perkara di Pengadilan

dengan dasar gugatannya, bahwa tanah tersebut adalah tanah yang

dikuasai langsung oleh negara, demikian pula Pemerintah Kota

tidak berhak menyewakan tanah tersebut karena bertentangan

dengan ketentuan pasal 44 UUPA.

3. Upaya Penyelesaian Konflik “Tanah Penguasaan”

Pemerintah Kota oleh Pihak Ketiga

Upaya penyelesaian sengketa “tanah penguasaan” selama ini

yang sering terjadi adalah melalui jalur peradilan atau melalui

8 Locke John, dalam CB Mac Pherson, Pemikiran Dasar Tentang Hak

Milik, Alih Bahasa C. Woekirsari dan Haryono,(Yayasan Lembaga Bantuan

Hukum Indonesia, Jakarta, 1989), hlm.: 22, bandingkan dengan Teori Kerja dari

John Locke yang menyatakan; Meskipun bumi dan semua makhluk yang lebih

rendah dipunyai bersama oleh menusia, namun setiap manusia mempunyai suatu

milik pribadinya senndiri atas milik itu tak seorangpun mempunyai hak kecuali

dia sendiri; kerja dari badannya dan karya tangannya dapat dikatakan benar-

benar miliknya.

Page 18: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 128

proses litigasi. Chris Masengi mengatakan: Ternyata penanganan

sengketa tanah di pengadilan memerlukan jangka waktu relatif

lama, karena perkara di pengadilan yang ditangani cukup banyak

sehingga harus antri. Selain itu meskipun sengketa itu telah diputus

pada tingkat pertama, seringkali para pihak tidak begitu saja

menerima. Mereka mengajukan upaya hukum banding, kemudian

kasasi sampai peninjauan kembali, maka tidak heran jika ada kasus

sengketa tanah memakan waktu lama, biaya, tenaga serta pikiran

yang harus dicurahkan.9 Ditambah kekecewaan para yustisiabel

kerena gagal memperjuangkan yang diakibatkan penanganan

perkara oleh lembaga peradilan yang kurang memperhatikan nilai

keadilan masyarakat.

4. Alternatif Penyelesaian Sengketa

a. Model Peradilan Khusus

Dewasa ini telah terbentuk semacam peradilan khusus seperti

Pengadilan Niaga, Pengadilan Tipikor berkaitan dengan tenaga

kerja ada P4P dan P4D serta Pengadilan Pajak. Sekarang ini

sengketa pertanahan telah berubah, banyak menyangkut perkara

perdata, perkara Tata Usaha Negara/Administrasi Negara, dan

perkara pidana. Edison Muchlis peneliti LIPI menyatakan:

Sebenarnya jika suatu perkara, termasuk perkara tanah dibawa ke

pengadilan, seseorang lebih banyak ruginya, karena lamanya waktu

9 Badan Pertanahan Nasional, Majalah Bhumi Bhakti No. 47

Tahun1996, hlm. 17.

Page 19: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 129

dan besarnya beaya yang ditanggung selama berperkara, Ia

menambahkan pengadilan sering lambat dalam menyelesaikan

sengketa tanah.10.

Dari beberapa pendapat tersebut, sesungguhnya

wacana untuk membentuk Pengadilan Pertanahan merupakan

kemungkinan untuk dilaksanakan.

b. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Non-

Litigasi

Merujuk pandangan Maria SW Sumardjono dkk mengenai

terbukanya ruang bagi penyelesaian konflik yang manifest dengan

obyek sumber daya tanah dalam lima tipologi kasus: a)

penggarapan rakyat atas tanah perkebunan, kehutanan,; b)

pelanggaran ketentuan landreform; c) ekses penyediaan tanah

untuk pembangunan bagi kepentingan umum; d) sengketa perdata

berkaitan dengan tanah serta.e.sengketa tanah Ulayat.11

Melalui model non-litigasi yang menurut pendapat Johny

Emirzon sudah merupakan kebiasaan di pelosok pedesaan

berdasarkan Hukum Adat yakni “musyawarah untuk mufakat”12

.

Cara demikian menurut pandangan penulis dengan didukung oleh

10

Ibid. 11

Maria SW.Sumardjono, Nurhasan Ismail, Isharyanto, Mediasi

Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di

Bidang Pertanahan,Cetakan Pertama, Buku Kompas, Jakarta, hlm. 2 Periksa

dan bandingkan dengan Sarjita., 2005, Teknik & Strategi Penyelesaian Sengketa

Pertanahan, Cetakan Kedua Edisi Revisi, (Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta,

2008), hlm 28.

12

Joni Emirzon., Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

(Negosiasi, Mediasi Konsiliasi & Arbitrase), (PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 2001), hlm. 14.

Page 20: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 130

pandangan beberapa pakar hukum pertanahan, nampaknya

merupakan alternatif pilihan yang rasional.13

Aletrnatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute

Resolution (ADR) menurut Altschul; “ a trial of a case before a

private tribunal agreed to by the parties so as to save legal costs,

avoid publicity and avoid lengthy trial delays.”14

Simpulan yang ditarik dari pengertian dua pakar di muka

adalah tujuan dari alternatif penyelesaian sengketa lebih bersifat

pragmatis-rasional, melibatkan secara aktif para pihak atau

melibatkan pihak ketiga serta memperkecil kemungkinan

timbulnya resiko dibandingkan dengan cara litigasi. Demikian pula

secara normatif lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah

memiliki landasan hukum yakni Undang-undang No. 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Untuk

Sengketa Keperdataan.

Beberapa alternatif penyelesaian sengketa meliputi: 1)

Negosiasi, 2) mediasi, 3) konsiliasi serta 4) arbitrase. Sudah barang

tentu sebelum dilakukan pilihan, maka para pihak untuk

mempertimbangkan secara seksama kesuaian pilihan dengan

13

Larry L Teply, Legal Negotiation in A Nutshell, (West Publishing St

Paul Minn, 1992), hlm. 69-76 dan hlm. 77–81, Teply membedakan antara; legal

aspects that should be considered prior to entering into negotiations dan legal

disputes that should not be negotiated.. 14

Ibid. hlm. 37–38, menurut Fillif D Bostwick bertujuan; to permit legal

dispute to be resolved outside the courts for the benefit of all disputant, to reduce

the cost of conventional litigation and the delay to which it is ordinarily subject

and to prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to courts.”

Page 21: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 131

substansi sengketa, akibat hukum dan akibat sosial lainnya dari

pilihan cara penyelesaian tersebut.

Menurut pandangan penulis merujuk pada peraturan

perundang-undangan dan melihat pada kondisi masing-masing

jenis sengketa, nampaknya untuk penyelesaian sengketa tanah

penguasaan pemerintah kota yang dikuasai oleh pihak ketiga dapat

diselesaikan melalui cara negosiasi atau mediasi.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan temuan penelitian penulis, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Masih banyak tanah-tanah yang dikuasai Instansi pemerintah

yang belum dilekati suatu hak, sehingga tidak mempunyai

kepastian hak dan kepastian hukum untuk dilakukan perbuatan

hukum peralihan hak.

2. Ditinjau dari sudut hukum administrasi negara pemerintah

berwenang untuk menyewakan “tanah penguasaan” tersebut

kepada pihak ketiga.Berkaitan terminologi barang milik menurut

telaah ini, bukan diartikan dimiliki menurut istilah hukum tanah

sebagai lembaga hukum atau hak yang didalamnya berisi

wewenang, kewajiban, larangan dan pembatasan terhadap

subyek dan obyeknya. sengketa “tanah penguasaan” Pemerintah

Kota yang menjadi perkara di pengadilan dengan dasar

gugatannya, bahwa tanah tersebut adalah tanah yang dikuasai

langsung oleh negara, demikian pula Pemerintah Kota tidak

Page 22: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 132

berhak menyewakan tanah tersebut karena bertentangan dengan

ketentuan Pasal 44 UUPA.

3. Upaya penyelesaian sengketa “tanah penguasaan” selama ini

yang sering terjadi adalah melalui jalur peradilan atau melalui

proses litigasi.

4. Pengadilan Pertanahan merupakan kemungkinan untuk

dilaksanakan, mengingat tersedianya tanah sangat terbatas

(supply) sedangkan kebutuhan orang akan tanah semakin

meningkat (demand) seiring dengan laju pertambahan penduduk

dan peningkatan kegiatan pembangunan. Merujuk pada

peraturan perundang-undangan di bidang sumber daya tanah dan

melihat pada situasi & kondisi masing-masing jenis sengketa,

nampaknya untuk penyelesaian sengketa tanah penguasaan

pemerintah kota yang dikuasai oleh pihak ketiga dapat

diselesaikan melalui cara negosiasi atau mediasi.

Page 23: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

FKKP-FH UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011 133

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sodiki dan Yanis Maladi., 2009, Politik Hukum Agraria,

Cetakan Pertama, Yogyakarta, Mahkota Kata.

Badan Pertanahan Nasional , Majalah Bhumi Bhakti, No. 47

Tahun1996.

Boedi Harsono, Makalah Seminar Nasional, 1993, Aspek Yuridis

Penguasaan dan Pemilikan Tanah Perkotaan, Fakultas

Hukum, Universitas Gajah Mada.

Harsono, Boedi,1970, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah

Penysusunan, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta, Penerbit

Djambatan.

CB Mac Pherson, 1989, Pemikiran Dasar Tentang Hak Milik, Alih

Bahasa C. Woekirsari dan Haryono, Jakarta, Yayasan

Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Emirzon, Joni, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase),

Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Larry L Teply, 1992, Legal Negotiation in A Nutshell, West

Publishing St Paul Minn.

Sumardjono, Maria SW.dkk, 2008, Mediasi Sengketa Tanah

Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)

di Bidang Pertanahan,Cetakan Pertama, Jakarta, Kompas.

A Safitri, Myrna dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010,

Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia, Cetakan

Pertama, KITLV-Jakarta, HuMa, Van Vollenhoven Institute.

Moeljono, dkk., “Penyelesaian Tanah Penguasaan Pemerintah

Kota Malang Yang Dikuasai Oleh Pihak Ketiga, makalah

Seminar Pertanahan, Tidak Dipublikasikan, Diselenggarakan

Dinas Perumahan Kota Malang, Hotel Grand Santika,

Malang, 13 Mei 2010.

R. Roestandi Ardiwilaga, 1982, Hukum Agraria Dalam Teori dan

Praktik, Bandung, Alumni.

Sarjita., 2005, Teknik & Strategi Penyelesaian Sengketa

Pertanahan, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Yogyakarta, Tugu

Jogja Pustaka.

Page 24: r.moeljono, Sutoyo Dan Imam Kuswahyono, s.

Filename: R. MOELYONO,DKK; ALTERNATIF PENYELESAIAN TANAH

PENGUASAAN PEM...

Directory:

Template:

C:\Users\user\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.dot

m

Title:

Subject:

Author: Imam K

Keywords:

Comments:

Creation Date: 11/07/2012 7:13:00

Change Number: 9

Last Saved On: 07/09/2012 5:41:00

Last Saved By: user

Total Editing Time: 14 Minutes

Last Printed On: 07/09/2012 5:51:00

As of Last Complete Printing

Number of Pages: 23

Number of Words: 4.225 (approx.)

Number of Characters: 24.088 (approx.)