Risk Assessment Tanker LNG dalam Studi Kasus … tersebut akan didapatkan besarnya risiko yang...

13
1 Risk Assessment Tanker LNG dalam Studi Kasus Suplai LNG dari Ladang Tangguh ke Teluk Benoa Bali Raditya Hendra Pratama 1) , Ketut Buda Artana 2 ) , Lahar Baliwangi 2 ) 1) Mahasiswa Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK – ITS 2 ) Dosen Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK – ITS Abstrak Bali merupakan sebuah pulau dengan suplai energi yang masih mengandalkan sumber energi dari pembangkit yang ada di dalam pulau dan juga dari pembangkit di Pulau Jawa karena sumber energi dari dalam pulau Bali saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di seluruh pulau tersebut. Dengan adanya pengapalan LNG dari Ladang Tangguh ke Teluk Benoa Bali diharapkan dapat membantu Bali untuk memenuhi kebutuhan energi listriknya secara mandiri dengan memanfaatkan PLTG Pesanggaran. Namun penyuplaian LNG ke Teluk Benoa Bali dapat menimbulkan risiko. Proses unloading kapal LNG dapat menimbulkan risiko kebakaran dan ledakan pada kapal dan terminal penerima LNG. Pada skripsi ini dilakukan risk assessment terhadap kapal dan terminal LNG di Teluk Benoa Bali yang selanjutnya dilakukan evaluasi apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak. Risk Assessment adalah proses penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya atau risiko yang mungkin terjadi pada suatu objek. Dua parameter utama dalam risk assessment adalah frekuensi dan konsekuensi. Frekuensi didapat dengan melakukan perhitungan dengan fault tree analysis dan dengan bantuan software FaultTree+. Konsekuensi didapat dengan bantuan software Shell FRED 4.0 dengan didasarkan pada data yang ada. Dari kedua parameter tersebut akan didapatkan besarnya risiko yang kemudian dituangkan di dalam risk matrix yang mengacu pada standard, yaitu NFPA 59A. Setelah mengetahui tingkat risiko yang ada maka dilakukan evaluasi terhadap risiko tersebut. Risiko yang tidak bisa diterima harus diberikan proses mitigasi untuk mengurangi nilai konsekuensi. Mitigasi dapat dilakukan dengan metode layer of protection analysis (LOPA). Dari risk assessment yang telah dilakukan diketahui bahwa kejadian yang masuk dalam daerah ALARP adalah gas jet flame pada unloading arm. Kemudian kejadian yang tidak dapat diterima adalah BLEVE pada cargo tank kapal tanker LNG dan BLEVE pada terminal penerima LNG. Kata kunci : kapal LNG, terminal LNG, risk assessment, fault tree analysis, NFPA 59A, layer of protection analysis (LOPA). I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bali merupakan sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa yang terkenal sebagai daerah wisata dan memiliki adat budaya yang kental serta nuansa religi yang kuat sehingga sangat menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Namun dalam tinjauan sumber daya energi. suplai energi di Bali masih mengandalkan sumber energi dari pembangkit yang ada di dalam pulau dan juga dari pembangkit di Pulau Jawa karena sumber energi dari dalam pulau Bali saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di seluruh pulau. Dalam manajemen sumber daya energi hal tersebut sangat dihindari karena losses yang terjadi akibat transmisi yang cukup jauh dari pembangkit di Jawa akan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Selain itu, kerusakan-kerusakan yang terjadi selama masa pemakaian dapat menimbulkan suatu kekacauan distribusi energi, misalnya yang biasa terjadi adalah pemadaman listrik sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat harus terhenti dan akan menimbulkan kerugian akibat terhentinya produksi. Hal-hal tersebut menimbulkan ide untuk menyuplai kebutuhan energi dari dalam pulau Bali secara mandiri. Dengan demikian, Bali membutuhkan kapal LNG yang menyuplai bahan bakar gas dari Ladang Tangguh ke Bali. Kemudian, dibutuhkan pula terminal penerima LNG untuk membongkar muatan LNG dari kapal LNG yang kemudian mengalirkan LNG tersebut ke PLTG. Dalam pemilihan letak terminal penerima LNG,diasumsikan bahwa letak terminal penerima LNG yang paling optimal adalah pada Teluk Benoa dengan alasan bahwa lokasi tersebut sangat dekat dengan PLTG Pesanggaran sehingga transportasi LNG dari terminal ke PLTG dapat dilakukan dengan memakai pipeline yang dalam pertimbangan ekonomis akan jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan transportasi lain seperti kendaraan-kendaraan pengangkut LNG. Selain itu, kapal yang akan digunakan

Transcript of Risk Assessment Tanker LNG dalam Studi Kasus … tersebut akan didapatkan besarnya risiko yang...

1

Risk Assessment Tanker LNG dalam Studi Kasus Suplai LNG dari Ladang Tangguh ke Teluk Benoa Bali

Raditya Hendra Pratama1), Ketut Buda Artana2 ), Lahar Baliwangi2 )

1) Mahasiswa Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK – ITS

2 ) Dosen Jurusan Teknik Sistem Perkapalan FTK – ITS

Abstrak Bali merupakan sebuah pulau dengan suplai energi yang masih mengandalkan sumber energi dari pembangkit yang ada di dalam pulau dan juga dari pembangkit di Pulau Jawa karena sumber energi dari dalam pulau Bali saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di seluruh pulau tersebut. Dengan adanya pengapalan LNG dari Ladang Tangguh ke Teluk Benoa Bali diharapkan dapat membantu Bali untuk memenuhi kebutuhan energi listriknya secara mandiri dengan memanfaatkan PLTG Pesanggaran. Namun penyuplaian LNG ke Teluk Benoa Bali dapat menimbulkan risiko. Proses unloading kapal LNG dapat menimbulkan risiko kebakaran dan ledakan pada kapal dan terminal penerima LNG. Pada skripsi ini dilakukan risk assessment terhadap kapal dan terminal LNG di Teluk Benoa Bali yang selanjutnya dilakukan evaluasi apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak. Risk Assessment adalah proses penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi bahaya atau risiko yang mungkin terjadi pada suatu objek. Dua parameter utama dalam risk assessment adalah frekuensi dan konsekuensi. Frekuensi didapat dengan melakukan perhitungan dengan fault tree analysis dan dengan bantuan software FaultTree+. Konsekuensi didapat dengan bantuan software Shell FRED 4.0 dengan didasarkan pada data yang ada. Dari kedua parameter tersebut akan didapatkan besarnya risiko yang kemudian dituangkan di dalam risk matrix yang mengacu pada standard, yaitu NFPA 59A. Setelah mengetahui tingkat risiko yang ada maka dilakukan evaluasi terhadap risiko tersebut. Risiko yang tidak bisa diterima harus diberikan proses mitigasi untuk mengurangi nilai konsekuensi. Mitigasi dapat dilakukan dengan metode layer of protection analysis (LOPA). Dari risk assessment yang telah dilakukan diketahui bahwa kejadian yang masuk dalam daerah ALARP adalah gas jet flame pada unloading arm. Kemudian kejadian yang tidak dapat diterima adalah BLEVE pada cargo tank kapal tanker LNG dan BLEVE pada terminal penerima LNG. Kata kunci : kapal LNG, terminal LNG, risk assessment, fault tree analysis, NFPA 59A, layer of

protection analysis (LOPA). I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Bali merupakan sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa yang terkenal sebagai daerah wisata dan memiliki adat budaya yang kental serta nuansa religi yang kuat sehingga sangat menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan. Namun dalam tinjauan sumber daya energi. suplai energi di Bali masih mengandalkan sumber energi dari pembangkit yang ada di dalam pulau dan juga dari pembangkit di Pulau Jawa karena sumber energi dari dalam pulau Bali saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di seluruh pulau. Dalam manajemen sumber daya energi hal tersebut sangat dihindari karena losses yang terjadi akibat transmisi yang cukup jauh dari pembangkit di Jawa akan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Selain itu, kerusakan-kerusakan yang terjadi selama masa pemakaian dapat menimbulkan suatu kekacauan distribusi energi, misalnya yang biasa terjadi adalah pemadaman listrik sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat harus terhenti dan akan

menimbulkan kerugian akibat terhentinya produksi. Hal-hal tersebut menimbulkan ide untuk menyuplai kebutuhan energi dari dalam pulau Bali secara mandiri. Dengan demikian, Bali membutuhkan kapal LNG yang menyuplai bahan bakar gas dari Ladang Tangguh ke Bali. Kemudian, dibutuhkan pula terminal penerima LNG untuk membongkar muatan LNG dari kapal LNG yang kemudian mengalirkan LNG tersebut ke PLTG. Dalam pemilihan letak terminal penerima LNG,diasumsikan bahwa letak terminal penerima LNG yang paling optimal adalah pada Teluk Benoa dengan alasan bahwa lokasi tersebut sangat dekat dengan PLTG Pesanggaran sehingga transportasi LNG dari terminal ke PLTG dapat dilakukan dengan memakai pipeline yang dalam pertimbangan ekonomis akan jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan transportasi lain seperti kendaraan-kendaraan pengangkut LNG. Selain itu, kapal yang akan digunakan

2

untuk mengangkut LNG dari Ladang Tangguh ke Teluk Benoa adalah kapal LNG kecil dengan kapasitas tangki 2500 m3 sekelas kapal LNG Carrier Shinju Maru No.1. Pemilihan kapal ini terkait dengan pertimbangan kebutuhan LNG yang harus disuplai dari Ladang Tangguh ke Bali, kemudian juga terkait dengan ukuran kapal yang dapat memasuki perairan di sebelah timur Bali tersebut. Unloading kapal LNG di Teluk Benoa bukan berarti tanpa risiko. Kapal LNG merupakan suatu kapal yang sangat kritis yang juga rentan akan risiko ledakan dan kebakaran, sehingga perlakuan khusus pada kapal LNG harus dilakukan. Hal tersebut mengundang beberapa pertanyaan terkait risiko-risiko apa saja yang bisa terjadi pada kapal LNG selama unloading di Pelabuhan Teluk Benoa, kemudian juga penyebab-penyebab apa saja yang mungkin dapat menimbulkan risiko-risiko tersebut. Setelah mengetahui penyebab-penyebab dan risiko-risiko apa saja yang mungkin terjadi, perlu diketahui juga seberapa besar kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat terjadi dan juga seberapa besar bahaya yang dapat ditimbulkan akibat terjadinya kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada kapal dan terminal LNG tersebut. Dalam penelitian atau skripsi ini, penulis menggunakan Risk Assessment untuk menjawab semua pertanyaan yang terjadi terkait dengan risiko yang dapat ditimbulkan oleh kapal dan terminal LNG tersebut. Risk assessment tersebut selanjutnya dapat dijadikan suatu dasar rekomendasi terhadap perbaikan desain yang akan dibuat untuk kapal LNG tersebut. Oleh karena itu desain dengan didasari oleh pengetahuan risiko yang terjadi (Risk Based Design) dapat digunakan untuk melengkapi risk assessment tersebut.

I.2 Perumusan masalah Permasalahan pokok pada paper ini antara lain : 1. Bagaimana mengaplikasikan risk assessment

pada kapal dan terminal LNG saat kapal LNG sedang bersandar dan unloading di pelabuhan Teluk Benoa, Bali.

2. Hal-hal apa saja yang dapat menimbulkan risiko pada kapal dan terminal LNG saat kapal LNG sedang bersandar dan unloading di pelabuhan Teluk Benoa, Bali.

3. Risiko apa saja yang akan terjadi akibat dari kapal LNG yang sedang bersandar dan unloading di pelabuhan Teluk Benoa, Bali.

4. Apakah kapal dan terminal LNG aman jika kapal LNG bersandar dan unloading di pelabuhan Teluk Benoa, Bali.

5. Apa saja rekomendasi yang akan diberikan kepada kapal dan terminal LNG dari hasil risk

assessment terhadap kapal dan terminal LNG tersebut terkait dengan risiko yang terjadi dan juga perbaikan desain yang akan dilakukan.

I.3 Batasan Masalah Untuk menegaskan dan lebih memfokuskan permasalahan yang akan dianalisa dalam penelitiaan Skripsi ini, maka akan dibatasi permasalahan-permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Risiko-risiko yang akan diukur adalah risiko

tentang ledakan dan kebakaran pada kapal dan terminal LNG saat kapal LNG sedang bersandar dan unloading di jetty.

2. Dalam risk assessment ini kapal yang ditinjau adalah kapal tanker kecil dengan kapasitas 2500m3 sekelas kapal Shinju Maru No.1.

I.4 Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dari skripsi ini antara lain : 1. Mengetahui Mendapatkan informasi tentang

hal-hal yang dapat menimbulkan risiko pada kapal dan terminal LNG saat kapal LNG sedang bersandar dan unloading di pelabuhan Teluk Benoa, Bali.

2. Mendapatkan informasi tentang risiko yang akan terjadi pada kapal dan terminal LNG akibat dari bersandarnya kapal LNG di perairan Teluk Benoa, Bali.

3. Mendapatkan informasi perihal keamanan kapal dan terminal LNG saat kapal LNG sedang bersandar dan unloading di pelabuhan Teluk Benoa, Bali.

4. Mendapatkan rekomendasi yang akan diberikan kepada kapal dan terminal LNG dari hasil risk assessment terhadap kapal dan terminal LNG tersebut terkait dengan risiko yang terjadi dan juga perbaikan desain yang akan dilakukan.

I.5 Manfaat

Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan. Adapun manfaat yang dapat diperoleh antara lain : 1. Mengetahui hal-hal apa saja yang dapat

membahayakan kapal dan terminal LNG dan risiko-risiko apa saja yang dapat terjadi pada kapal dan terminal LNG tersebut.

2. Mengetahui seberapa besar bahaya yang dapat ditimbulkan akibat bersandarnya kapal LNG di daerah perairan Teluk Benoa, Bali, sehingga dapat dijadikan dasar kewaspadaan saat kapal LNG tersebut sedang bersandar di pelabuhan.

3

3. Mendapatkan rekomendasi untuk perbaikan desain kapal dan terminal LNG yang aman saat kapal LNG sedang bersandar di pelabuhan di perairan Teluk Benoa, Bali.

II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Umum

Kapasitas energi listrik di Bali kini sebesar 562 MW di mana 200 MW di antaranya disokong jaringan interkoneksi Jawa-Bali. Konsumen listrik di Bali tercatat 740.000 pelanggan dengan pemakaian beban puncak cenderung meningkat, karena pada bulan Januari 2009 lalu pemakaian tertinggi hanya 432 MW, namun kini beban puncak 493 MW. Selama ini PLN menerapkan sejumlah terobosan untuk menyiasati kekurangan pasokan listrik di Bali akibat PLTG Gilimanuk dalam pemeliharaan. Salah satu alternatif mengatasi hal tersebut dengan melakukan penyalaan listrik secara bergilir. Total kebutuhan energi listrik di Provinsi Bali sampai tahun 2010 mencapai 880,95 MW dan beban puncaknya mencapai 677,66 MW. [1]

Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Pulau ini beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Teluk Benoa merupakan salah satu teluk yang berada di bagian selatan pulau Bali. Teluk ini memiliki pelabuhan kapal yang padat disinggahi kapal-kapal domestik dan mancanegara sehingga teluk ini sangat ramai lalu lintas kapal.[2]

Gambar 1. Pelabuhan Benoa

Kapal LNG merupakan kapal tanker pembawa gas alam cair yang memindahkan gas alam dari ladangnya menuju daerah penerima untuk digunakan sebagai sumber energi. Selanjutnya kapal kapal LNG harus dipilih sesuai dengan kebutuhan karena pada dasarnya pengapalan LNG telah diatur sedemikian rupa pada kontrak eksploitasi. Pada studi kasus yang dilakukan pada skripsi ini dipilih kapal yang mengangkut LNG dengan kapasitas volume 2500

m3, yaitu kapal Shinju Maru No.1. dengan spesifikasi utama sebagai berikut : [3]

• Length (o.a.): 86.29m • Length (b.p.): 80.30m • Breadth, mld.: 15.10m • Depth, mld.: 7.00m • Draught, mld.: 4.171m • DWT: 1,781t • Cargo capacity: 2,513m 3 • MCR: 1,912kW x 270rpm • Speed, service: Approx. 12.7kt • Complement: 13 • Classification: NK

Gambar 2. Kapal LNG : Shinju Maru No.1

LNG akan mudah terbakar jika menguap dan memiliki kandungan 5%-15% gas di udara. LNG lebih tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar yang lainnya seperti propana dan bensin. Metana adalah komponen utama dari LNG yang tidak berwarna, berasa dan berbau. LNG menguap dengan cepat pada saat berada di lingkungan yang menghasilkan panas seperti air, menghasilkan 620 sampai 630 standard cubic feet dari natural gas untuk tiap cubic foot dari cairan. Pada saat LNG tumpah ke air, maka akan menghasilkan awan uap air dingin yang lebih tebal dari udara dan akan mendekati permukaan air atau tanah. [6]

Bahaya yang disebabkan oleh LNG antara lain jet fire, BLEVE, dan dispersion. - Jet Fire

Jika gas yang dimampatkan atau dicairkan keluar dari tangki penyimpanan atau saluran pipa, material-material yang terkandung akan keluar dari lubang yang akan membentuk semburan gas atau cairan dan bercampur dengan udara. Dalam bentuk gas, jika gas yang mudah terbakar bertemu dengan sumber letupan yang kemudian menjadikan berada pada konsentrasi yang mudah terbakar maka akan terbentuk jet fire atau semburan api.. Jet fire dapat terjadi selama proses bongkar muat atau proses pemindahan dimana tekanan naik karena dipompa.

4

Gambar 3. Jet Fire

- BLEVE BLEVE adalah akronim dari Boiling

Liquid Expanding Vapor Explosion. Ini adalah jenis ledakan yang dapat terjadi ketika sebuah kapal berisi cairan bertekanan pecah atau bocor. BLEVE bisa menjadi sebuah hasil dari sebuah kapal berisi cairan yang pecah dan keluar menuju atmosfer secara substansial di atas titik didih. Jika kapal pecah misalnya karena korosi atau kegagalan di bawah tekanan - bagian uap dapat cepat bocor, menurunkan tekanan di dalam tangki. Penurunan tekanan secara tiba-tiba di dalam wadah menyebabkan cairan mendidih dengan cepat yang juga dengan cepat membebaskan uap dalam jumlah besar. Tekanan uap ini dapat sangat tinggi menyebabkan gelombang signifikan overpressure (ledakan) yang dapat sepenuhnya menghancurkan kapal dan proyek penyimpanan fragmen-fragmen di atas wilayah dan sekitarnya.

Gambar 4. BLEVE

- Gas dispersion Gas dispersion merupakan

penyebaran gas yang mungkin terjadi pada LNG karena kebocoran pada tangki LNG dapat menyebabkan kontaminasi gas di udara dan menyebar dimana penyebarannya bergantung pada kondisi udara yang pada tempat terjadinya kebocoran. Gas dispersion akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya jika kontaminasi dari gas telah melampaui batas yang dapat mengganggu pernapasan manusia. Jika hal tersebut terjadi maka akan mengakibatkan kematian pada manusia yang menghisap gas tersebut dalam waktu

beberapa lama. Hal tersebut dikarenakan kurangnya oksigen yang bisa dihirup manusia dan juga kandungan berbahaya pada gas yang dapat membuat manusia menjadi lemas

II.2 Risk Assessment Risk assessment dilakukan terhadap suatu

objek dengan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi dan memberikan sebuah nilai bahaya dalam skala tertentu. Kemudian dilakukan juga identifikasi terhadap faktor penyebab dari setiap kejadian, dimana terdapat beberapa macam faktor yang mungkin terjadi. Setelah mengidentifikasi kejadian yang mungkin terjadi maka dilakukan perhitungan frekuensi yang mungkin terjadi pada setiap kejadian. Dari identifikasi konsekuensi dan perhitungan frekuensi maka dapat dibuar risk matrix yang menunjukkan posisi dari risiko yang mungkin terjadi pada objek, apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak.

Upaya pengurangan dari risiko harus diimbangi dengan analisa biayanya. Apabila perkiraan risiko masih tidak dapat diterima, maka usaha untuk mengurangi risiko dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu diantaranya:

1. Mengurangi frekuensi 2. Mengurangi konsekuensi, atau 3. Sebuah kombinasi dari keduanya.

Risiko harus diusahakan agar sekecil mungkin (berada pada zona hijau), artinya setelah pengurangan risiko dilakukan, perlu juga dipertimbangkan dari segi biayanya. Diusahakan risiko tetap dapat diterima lalu diikuti dengan biaya yang serendah-rendahnya. Perhitungan pengurangan frekuensi harus diprioritaskan sebelum perhitungan pengurangan konsekuensi.

Gambar 5. Kriteria Penerimaan Risiko

Proses dari analisa risiko ini terdiri dari empat langkah dasar antara lain: 1. Identifikasi Bahaya (Hazard) 2. Perkiraan Frekuensi 3. Perkiraan Konsekuensi 4. Evaluasi Risiko

Risk can not be justified save in extraordinary circumstances

Intolerable region

The ALARP or tolerable region (risk is undertaken for benefit received)

Acceptable region-no need detail working to justify ALARP

Tolerable if only risk reduction is impracticable or its cost is grossly disproportionate to the improvement gain

Tolerable if cost of reduction would exceed the improvement gain

Necessary to maintain assurance that risk remains at this level

5

II.2.1 Identifikasi Hazard Hazard adalah suatu keadaan yang bersifat

kualitatif yang mempunyai pengaruh terhadap frekuensi kemungkinan terjadinya kerugian ataupun besarnya jumlah dari kerugian yang mungkin terjadi. Sedangkan identifikasi hazard adalah proses dalam mengenali bahaya yang mungkin terjadi dengan tanpa melihat hal yang diterima atau tidak diterima yang terjadi. Biasanya kegiatan ini dilakukan oleh orang yang sudah ahli atau sangat berpengalaman dan juga didasarkan pada data literatur yang ada sebelumnya. [9]

II.2.2 Perkiraan Frekuensi

Perkiraan frekuensi dimulai dengan melakukan studi literatur pada riset-riset yang telah dilakukan sebelumnya dan pada data-data yang telah ada. Dari studi literatur tersebut akan dianalisa berapa banyak frekuensi akan terjadi pada setiap kejadian. Selanjutnya frekuensi didapatkan dengan melakukan perhitungan berdasarkan skenario yang ada. Skenario dibuat berdasarkan asumsi logis sehingga kemungkinan terjadinya suatu kejadian risiko bisa diterima dan nilai frekuensi yang didapat juga dapat digunakan untuk melakukan pengambilan keputusan pada hasil akhir. Sebagai tambahan, terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk menghitung frekuensi, salah satunya adalah dengan menggunakan fault tree analysis.

Tabel 1. Data Historis Kecelakaan Kapal Berdasarkan Kategori Kecelakaan dan Periode

Waktu (Tahun)

Periode waktu 64 - 75

76 – 85

86 – 95

96 – 05

64 - 05

Tubrukan 1 10 4 4 19 Kandas 1 6 - 1 8 Contact - 4 - 4 8 Kebakaran dan ledakan 2 5 - 3 10

Kegagalan permesinan dan peralatan

- 39 7 9 55

Cuaca buruk - 6 3 - 9 Kecelakaan saat bongkar muat 4 13 3 2 22

Kegagalan pada sistem cargo 7 15 5 - 27

Total 15 98 22 23 158

Berdasarkan kajian tentang analisa risiko yang telah dilakukan pada data di atas, maka didapatkan skenario kecelakaan kapal LNG yang mewakili keseluruhan risiko yang mungkin terjadi, antara lain : • Tubrukan • Kandas

• Contact • Kebakaran dan ledakan

II. 3 NFPA 59A

Dengan mengacu pada standard NFPA 59A tentang Standard for the Production, Storage, and Handling of Liquefied Natural Gas (LNG), kategori frekuensi dan konsekuensi serta risk matrix yang menjadi standard dalam penentuan apaakah risiko dapat diterima atau tidak, dapat dijelaskan pada tabel-tabel di bawah. [10]

II.3.1 Rangking Frekuensi Sesuai dengan NFPA 59A, tabel di bawah ini

dapat dijadikan tolok ukur dalam merangking frekuensi.

Tabel 2. Kategori Frekuensi NFPA 59A Probability class Occurance frequency per year

1 >10-1 2 10-1 - 10-2 3 10-2 - 10-3 4 10-3 - 10-4 5 10-4 - 10-5 6 10-5 - 10-6 7 <10-6

II.3.2 Rangking Konsekuensi

Sesuai dengan NFPA 59A, tabel di bawah ini dapat dijadikan tolok ukur dalam merangking konsekuensi.

Tabel 3 Kategori Konsekuensi NFPA 59A Consequence

Category 1 2 3 4 5

Number of injuries >100 10-100 1-10 0.1-1 <0.1

II.3.3 Risk Matrix

Sesuai dengan NFPA 59A, tabel di bawah ini dapat dijadikan tolok ukur dalam menentukan risiko dalam risk matrix. Risk matrix ini yang akan menentukan posisi suatu risiko, apakah risiko tersebut dapat diterima atau tidak. Tabel di bawah ini adalah risk matrix sesuai dengan NFPA 59A.

Tabel 4 Risk Matrix NFPA 59A Anual cumulative

frequency Consequence category

Class Range 5 4 3 2 1 1 >10-1 AR NA NA NA NA 2 10-1 - 10-2 AR AR NA NA NA 3 10-2 - 10-3 A AR AR NA NA 4 10-3 - 10-4 A A AR AR NA 5 10-4 - 10-5 A A A AR AR 6 10-5 - 10-6 A A A A AR 7 <10-6 A A A A A

Catatan : A = Acceptable ; AR = ALARP ; NA = Not Acceptable

6

II.4. SHELL FRED 4.0 Shell Fred merupakan software yang

membantu pemakainya untuk melakukan pemodelan beberapa kejadian yang diakibatkan oleh kegagalan operasional minyak dan gas. Pemodelan dilakukan dengan beberapa skenario yang masing-masing harus diinput pada beberapa parameter. Kemudian dari hasil pemodelan di masing-masing skenario tersebut akan menghasilkan mapping dari flux panas ataupun penyebaran minyak dan gas, serta konsekuensi yang terjadi pada manusia. Pemodelan ini sangat membantu para pemakainya untuk melakukan quantitative risk assessment karena menghasilkan beberapa nilai yang dapat digunakan sebagai perhitungan selanjutnya.

II.5. Fault Tree Analysis (FTA)

Fault Tree Analysis (FTA) adalah salah satu teknik yang banyak dipakai untuk studi yang berkaitan dengan risiko dan keandalan dari suatu sistem. Sebuah fault tree mengilustrasikan keadaan dari komponen-komponen sistem dan hubungan antara basic event dan top event. Simbol grafis yang dipakai untuk menyatakan hubungan disebut gerbang logika (logic gate). Output dari sebuah gerbang logika ditentukan oleh kejadian yang masuk ke gerbang tersebut. Sebuah FTA secara umum dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu : 1. Mendefinisikan problem dan boundary

condition dari sistem 2. Pembuatan fault tree 3. Analisa kuantitatif fault tree

II.6. LOPA (Layer Of Protection Analysis)

Layer Of Protection Analysis (LOPA) adalah metodologi untuk mengevaluasi bahaya dan penilaian risiko (risk assessment). Pada skala yang mengutamakan keunggulan dan kepresisian, LOPA terletak pada skala kualitatif (dengan metode seperti Hazard and Operability [HAZOP] dan what-if) dan pada skala kuantitatif (dengan fault trees dan event trees). LOPA membantu analis dalam pembuatan keputusan yang konsisten berdasarkan nilai kecukupan yang ada atau yang diusulkan pada lapisan perlindungan terhadap skenario kecelakaan. Proses pengambilan keputusan ini dilakukan secara ideal dan match untuk digabungkan dengan kriteria risiko suatu perusahaan, seperti yang ditampilkan dalam risk matriks. LOPA adalah teknik yang diakui untuk memilih keputusan sesuai dengan safety integrity level (SIL) dari safety instrumented system (SIS) dengan persyaratan standar seperti ANSI/ISA-84.00.01. edisi NFPA kode 59A. Secara

sederhana, LOPA digunakan sebagai langkah mitigasi dari setiap hasil risk assessment yang tidak memenuhi syarat keamanan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena LOPA akan menjadi alat terakhir dalam proses mitigasi risk assessment. [11]

Gambar 6. Model dari Layer Of Protection

Analysis (LOPA) III. METODOLOGI

Metodologi penulisan pada paper ini mencakup semua kegiatan yang dilaksanakan untuk memecahkan masalah atau melakukan proses analisa terhadap permasalahan paper.

Gambar 7. Flow Chart Metodologi Skripsi

IV. ANALISA DATA IV.1 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Tahapan pertama yang dilakukan pada analisa data adalah melakukan identifikasi dan merumuskan masalah yang diangkat. Pada desain

STARTPerumusan Masalah

Studi Literatur

- Paper - Tugas Akhir - Science Website - Class Standard - Report

Pengumpulan Data : - Data kapal LNG Shinju Maru No,1 - Data meteorologi dan lingkungan Pelabuhan Teluk Benoa - Data terminal LNG pembanding beserta layout dan PFD terminal - Data sifat dan properti LNG - Data-data keandalan komponen-komponen pada sistem terminal LNG- Data-data class standard

1. Identifikasi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi 2. Analisa faktor risiko 3. Pemodelan sistem

Proses perhitungan kemungkinan kejadian menggunakan FaultTree+ dan penentuan konsekuensi yang mungkin terjadi menggunakan Shell FRED 4.0

Frekuensi kejadian Konsekuensi setiap kejadian

Risk Matrix

Risiko Dapat diterima

Risk Mitigation dengan menggunakan LOPA

Tidak

Ya Kapal LNG dapat bersandar dan unloading di

terminal penerima dengan risiko yang ada

Kesimpulan dan Saran

SELESAI

7

terminal penerima yang diletakkan Teluk Benoa tersebut memunculkan beberapa risiko yang memungkinkan terjadinya kebakaran dan ledakan, yaitu berupa jet flame, BLEVE, dan juga dispersion dimana kejadian-kejadian tersebut memiliki risiko yang sangat besar terhadap individu yang berada di terminal penerima tersebut dan juga di daerah sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan sebuah risk assessment untuk mengetahui seberapa besar risiko yang ada pada kegiatan pengapalan LNG carrier tersebut. Jika dari hasil risk assessment tersebut diketahui bahwa risiko yang mungkin terjadi akan sangat membahayakan atau tidak dapat diterima, maka diperlukan sebuah langkah mitigasi untuk menurunkan nilai risiko yang ada hingga kondisinya mencapai posisi bisa diterima atau minimal adalah pada posisi ALARP.

IV.2 Deskripsi Sistem

Tahapan yang kedua adalah mendeskripsikan sistem yang akan dibahas agar lebih fokus dan tidak melebar, yaitu hanya di sepanjang jalur masuk kapal LNG carrier di perairan Teluk Benoa hingga terminal penerima yang ada di Pulau Serangan, dimana terminal penerima merupakan desain sederhana terminal yang belum direalisasikan. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah gambar peta daerah perairan Teluk Benoa beserta terminal penerima LNG yang diasumsikan berada pada terminal penerima solar milik Pertamina

Gambar 8. Peta Asumsi Terminal Penerima LNG

di Pelabuhan Benoa

IV.3. Pengolahan Data IV.3.1. Data Kondisi Proses • Suhu : sesuai dengan suhu kerja masing-

masing peralatan • Tekanan : sesuai dengan tekanan kerja

masing-masing peralatan • Tekanan downstream release : 1.013 bara

(tekanan atmosfer standar)

IV.3.2. Data Geometri Lubang dan Keluaran • Diameter lubang = 0.25”, 0.5”, 1”

• Koefisien discharge = 0.8 • Tinggi keluaran = bervariasi • Sudut keluaran dari arah vertical = 900 • Sudut keluaran, searah jarum jam dari utara =

bervariasi IV.3.3. Data Cuaca • Suhu = 30 °C • Kelembaban relatif = 60 % • Kecepatan angin = bervariasi berdasarkan

rentang bulan • Arah angin = bervariasi berdasarkan rentang

bulan (diukur dari utara searah jarum jam) IV.4. Pemodelan Sistem Untuk melakukan simulasi pada software Shell Fred 4.0, maka dilakukan pemodelan terhadap sistem unloading tanker LNG di jetty menuju terminal LNG di pelabuhan. Kemudian memasukkan data input pada parameter data yang diminta oleh software tersebut setelah melakukan pemodelan dimana input data disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya atau dengan memakai asumsi logis pada input data tersebut. Sistem pada terminal LNG yang dipakai menggunakan desain sistem terminal Pyeongtaek. Sedangkan layout desain terminal LNG di pelabuhan Benoa Bali menggunakan referensi layout terminal LNG Kitakyushu.Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah PFD serta pemodelan skenario kejadian pada sistem :

Gambar 9. PFD Terminal LNG

Gambar 10. Pemodelan Skenario Kejadian pada

Shell Fred

8

Tabel 5. Nama dan lokasi kejadian pada skenario Nama Kejadian Lokasi Kejadian BLEVE 1 Cargo Tank of LNG Carrier BLEVE 2 LNG Tank in LNG Terminal Dense Gas Dispersion 1

Arround Cargo Tank of LNG Carrier

Dense Gas Dispersion 2

Arround LNG Tank in LNG Terminal

Gas Jet Flame 1 Pressure Reduction 1 Gas Jet Flame 2 Submerged Vaporizer Gas Jet Flame 3 Metering Station Gas Jet Flame 4 Open Rack Vaporizer Gas Jet Flame 5 Pressure Reduction 2 Gas Jet Flame 6 BOG Compressor Gas Jet Flame 7 Unloading Arms IV.4.1. Kondisi Lingkungan dan Meteorologi Tabel 6. Arah dan kecepatan angin di Teluk Benoa

Rentang Bulan

Arah Angin (ditinjau dari arah utara) [o]

Kecepatan Angin

Desember - Maret Barat 6 knots = 3.09

m/s

April - Juli Timur 10 knots = 5.14 m/s

Agustus - November Tenggara 6 knots = 3.09

m/s IV.5 Analisa Risiko

Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa risiko dengan mengolah data yang telah didapatkan. Data-data yang telah didapatkan tersebut dianalisa untuk mendapatkan nilai frekuensi dan konsekuensi. Pada pengolahan data ini, dilakukan beberapa skenario yang mungkin terjadi pada kapal LNG yang sedang bersandar. Kemudian dari skenario dan data-data yang ada dilakukan modelling dan simulasi pada software Shell FRED sehingga nantinya bisa didapatkan hasil konsekuensi yang mungkin terjadi. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan receiver-receiver yang akan mengalami luka akibat dari skenario kejadian yang telah disimulasikan dengan software Shell Fred 4.0 berdasarkan rentang bulan yang telah dilakukan sebelumnya:

Tabel 7. Receiver yang mengalami luka pada masing-masing rentang bulan

Rentang bulan Receiver yang mengalami luka Desember – Maret

Receiver 8, Receiver 13, Receiver 9, Receiver 7, Receiver 29, Receiver 18, Receiver 14, Receiver 11, Receiver 27, Receiver 26, Receiver 25, Receiver 31, Receiver 22, Receiver 4, Receiver 1

April – Juli Receiver 8, Receiver 13, Receiver 9, Receiver 29, Receiver 18,

Receiver 14, Receiver 27, Receiver 26, Receiver 25, Receiver 31, Receiver 24, Receiver 16, Receiver 17, Receiver 7

Agustus - November

Receiver 8, Receiver 13, Receiver 9, Receiver 7, Receiver 29, Receiver 18, Receiver 14, Receiver 27, Receiver 26, Receiver 25, Receiver 31, Receiver 21

IV.5 .2. Perhitungan Konsekuensi

Setelah melakukan simulasi pada software Shell Fred 4.0 maka akan didapatkan hasil dari masing-masing skenario. Hasil-hasil tersebut selanjutnya akan diolah untuk mengetahui konsekuensi yang mungkin terjadi pada operator-operator yang sedang bekerja di dalam terminal. Konsekuensi yang diukur adalah berapa banyak orang yang akan menerima dampak dari ledakan dan kebakaran yang terjadi di masing-masing komponen pada terminal LNG. Berikut ini adalah tabel perhitungan konsekuensi pada rentang bulan Desember – Maret. Analogi yang sama dilakukan untuk rentang bulan April – Juli dan Agustus – November.

Tabel 8. Tabel perhitungan konsekuensi pada masing-masing receiver pada rentang bulan

Desember – Maret Rentang Bulan Desember - Maret Receiver Jumlah

proses unloading per tahun

Asumsi jumlah orang

Jumlah orang yang terluka [per tahun]

Receiver 8 6 1 6 Receiver 13 6 1 6 Receiver 9 6 1 6 Receiver 7 6 1 6 Receiver 29 6 1 6 Receiver 18 6 1 6 Receiver 14 6 1 6 Receiver 11 6 1 6 Receiver 27 6 1 6 Receiver 26 6 1 6 Receiver 25 6 1 6 Receiver 31 6 3 18 Receiver 22 6 1 6 Receiver 4 6 1 6 Receiver 1 6 1 6

IV.5.3. Perhitungan Frekuensi Dengan menggunakan software FaultTree+, seluruh frekuensi pada top event fault tree dapat diketahui dengan menggunakan analysis tool yang terdapat pada software tersebut. Algoritma perhitungan yang digunakan untuk menghitung frekuensi tersebut sama dengan

9

perhitungan yang dilakukan secara manual dengan menggunakan aljabar bolean. Dengan membuat fault tree pada masing-masing top event dan memasukkan data pada masing-masing basic event-nya, maka perhitungan frekuensi dapat diselesaikan.

Gambar 9. Fault tree pada salah satu kejadian

beserta perhitungan dengan software FaultTree+

Dari analisa fault tree analysis yang telah dilakukan, maka dapat diketahui frekuensi pada masing-masing event. Berikut ini adalah tabel hasil dari frekuensi pada masing-masing event :

Tabel 10. Frekuensi Setiap Event Terjadi dan Melukai Pekerja atau Operator pada masing-

masing Komponen

Event Persentase

Kerja Operator

Frekuensi Akhir [per

year] Dense gas dispersion pada cargo tank (tanker). 100% 4.309 x 10-4

Dense gas dispersion pada cargo tank (terminal). 30% 1.183 x 10-4

BLEVE pada cargo tank (tanker). 100% 4.309 x 10-4 BLEVE pada cargo tank (terminal). 30% 1.183 x 10-4

Gas jet flame pada unloading arms 100% 5.87 x 10-4

Gas jet flame pada pressure reduction station 15% 1.12 x 10-5

Gas jet flame pada submerged vaporizer 20% 1.211 x 10-5

Gas jet flame pada open rack vaporizer 30% 1.166 x 10-5

Gas jet flame pada metering station 100% 2.667 x 10-5

Gas jet flame pada BOG compressor 30% 2.079 x 10-5

IV.5.4. Risk Matrix Setelah melakukan analisa konsekueni

dan frekuensi maka dilakukan penentuan risiko selanjutnya dengan risk matrix. Risk matrix dilakukan dengan berdasar pada hasil analisa frekuensi dan konsekuensi yang sudah didapatkan yang kemudian frekusensi dan konsekuensi pada masing-masing event diplot pada risk matrix dengan mengacu pada standard NFPA 59A. Risiko tersebut akan ditentukan dalam risk matriks apakah dapat diterima atau tidak. Jika ternyata risiko berada pada zona yang tidak dapat diterima (merah), maka harus dilakukan analisa risiko dan mitigasi hingga risiko yang dihasilkan dapat diterima (dalam risk matriks memasuki daerah hijau atau setidaknya di zona ALARP).

Tabel 11. Pengkodean berdasarkan event dan receiver

Event Receiver Code

Dense gas dispersion pada cargo tank (tanker)

Receiver 1 1.1 Receiver 4 1.4 Receiver 7 1.7

Dense gas dispersion pada cargo tank (terminal)

Receiver 16 2.16 Receiver 17 2.17 Receiver 21 2.21 Receiver 22 2.22 Receiver 24 2.24

BLEVE pada cargo tank (tanker)

All Receiver 3.0

BLEVE pada cargo tank (terminal)

All Receiver 4.0

Gas jet flame pada unloading arms Receiver 31 5.31

Gas jet flame pada pressure reduction station

Receiver 7 6.7 Receiver 8 6.8 Receiver 9 6.9

Receiver 25 6.25 Receiver 26 6.26 Receiver 27 6.27

Gas jet flame pada submerged vaporizer Receiver 11 7.11

Receiver 13 7.13 Gas jet flame pada open rack vaporizer Receiver 18 8.18

Gas jet flame pada metering station Receiver 14 9.14

Gas jet flame pada BOG compressor Receiver 29 10.29

Risk matrix merepresentasikan risiko yang akan diterima oleh crew pada kapal tanker maupun pada operator-operator di terminal penerima LNG terhadap kebakaran dan ledakan sehingga risiko yang dimaksud dalam risk assessment ini adalah risiko yang mengakibatkan luka bakar ataupun sesak nafas akibat dispersi LNG. Berikut ini adalah risk matrix ledakan dan

10

kebakaran LNG pada masing-masing rentang bulan:

Tabel 12. Risk matrix pada rentang bulan Desember – Maret

Tabel 13. Risk matrix pada rentang bulan April - Juli

Tabel 14. Risk matrix pada rentang bulan Agustus - November

IV.6. Mitigasi Dalam risk assessment dibutuhkan suatu

proses mitigasi pada risiko yang tidak dapat diterima. Proses mitigasi itu sendiri adalah proses untuk mengurangi risiko dari daerah risk matrix yang tidak dapat diterima menjadi masuk ke dalam daerah risk matrix yang bisa diterima atau setidaknya daerah ALARP. Risk mitigation dilakukan dengan berbagai cara yang hasilnya adalah mengurangi frekuensi atau konsekuensi dari kejadian yang menimbulkan risiko yang tinggi. Risk mitigation dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya adalah menggunakan Layer Of Protection Analysis (LOPA). Analisa tersebut dilakukan dengan menambah perlindungan pada setiap sistem secara berlapis sehingga sistem tersebut menjadi lebih aman bagi lingkungan yang ada di sekitarnya

sehingga frekuensi dan konsekuensi yang terjadi akan berkurang.

Kejadian yang tidak dapat diterima dalam risk assessment yang telah dilakukan adalah BLEVE pada cargo tank (tanker) dan BLEVE pada cargo tank (terminal). Kemudian kejadian yang masuk dalam daerah ALARP dan sangat dekat dengan daerah yang tidak dapat diterima adalah jet fire pada unloading arms. Ketiga kejadian tersebut membutuhkan proses mitigasi untuk mendapatkan risiko yang dapat diterima. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, mitigasi akan dilakukan dengan menggunakan metode Layer Of Protection Analysis (LOPA).

Proses mitigasi dimulai dengan mengidentifikasi bahaya-bahaya yang dapat memulai terjadinya ledakan, kebakaran, atau dispersi gas. Proses ini biasanya disebut sebagai Hazard Identification (HAZID). HAZID dilakukan dengan mendaftar semua basic/initiating event yang mungkin terjadi dan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar yang nantinya akan menjadi top event dalam analisa risiko kejadian. Setelah melakukan risk assessment maka dapat diketahui bahaya-bahaya yang mungkin terjadi beserta dengan basic/initiating event-nya. Basic/initiating event bisa didapatkan pada fault tree analysis yang telah dilakukan dalam risk assessment. Setelah mengidentifikasi bahaya dan basic/initiating event, selanjutanya adalah menganalisa apakah risiko tinggi pada kejadian tersebut disebabkan oleh tingginya frekuensi ataukah oleh tingginya konsekuensi. Hal tersebut dapat dengan mudah diketahui dengan melihat pada risk matrix yang telah dihasilkan dari proses risk assessment. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan basic/initiating event pada ketiga kejadian yang perlu mendapatkan proses mitigasi:

Tabel 15. Basic/initiating event pada masing-masing kejadian yang perlu mendapatkan proses

mitigasi Top Event Basic/Initiating Event

BLEVE pada cargo

tank (tanker)

Korosi pada konstruksi Cacat konstruksi yang tidak terdeteksi Kesalahan navigasi Cuaca Buruk Bencana alam Kesalahan pada pengaturan unloading Kerusakan pada unloading valve Tekanan tinggi di dalam tangki Control valve gagal membuka Vent valve dalam tangki rusak Control valve gagal membuka

BLEVE pada cargo

Korosi pada konstruksi Cacat konstruksi yang tidak terdeteksi

11

tank (terminal)

Bencana alam Kesalahan pada pengaturan pengisian Kerusakan pada filling valve Tekanan tinggi di dalam tangki Control valve gagal membuka Vent valve dalam tangki rusak Control valve gagal membuka

Gas jet flame pada unloading

arm

Kompressor gagal dimatikan Unloading arm patah karena badai Butterfly valve rusak Relief valve mengeluarkan gas ke udara Sambungan pipa bocor Kegagalan mendeteksi kebocoran pada unloading arm Butterfly valve gagal menutup Kegagalan emergency disconnect pada unloading arm

Dengan memperhatikan frekuensi yang menyebabkan terjadinya kebakaran dan ledakan, maka ada basic/initiating event yang perlu mendapatkan proses mitigasi dan yang tidak perlu mendapatkan proses mitigasi. Berikut ini adalah basic/initiating event beserta frekuensi pada masing-masing kejadian yang perlu mendapatkan proses mitigasi.

Tabel 16. Basic/initiating event beserta frekuensi pada masing-masing kejadian yang harus

mendapatkan proses mitigasi. No. Basic/Initiating Event Frequency 1 Korosi pada konstruksi 2.94 x 10-5 2 Kesalahan navigasi kapal lain 3 x 10-5 3 Kesalahan pada pengaturan

unloading 5 x 10-5

4 Kerusakan pada unloading valve 2.36 x 10-5 5 Tekanan tinggi di dalam tangki 3.45 x 10-5 6 Control valve gagal membuka 1.07 x 10-4 7 Vent valve dalam tangki rusak 3.45 x 10-5 8 Kesalahan pada pengaturan

pengisian 5 x 10-5

9 Kerusakan pada filling valve 2.36 x 10-5 10 Kompressor gagal dimatikan 2.4 x 10-4 11 Butterfly valve rusak 7.14 x 10-5 12 Kegagalan mendeteksi kebocoran

pada unloading arm 2.36 x 10-5

13 Butterfly valve gagal menutup 1.45 x 10-5 14 Kegagalan emergency disconnect

pada unloading arm 2.3 x 10-4

Setelah mengetahui beberapa hal penting dalam LOPA, maka dilakukan beberapa usaha dan analisa yang bertujuan untuk mengurangi nilai risiko pada kejadian-kejadian yang perlu mendapatkan proses mitigasi. Berikut ini adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi risiko pada

masing-masing kejadian dengan menggunakan Layer Of Protection Analysis (LOPA) :

Tabel 17. Layer Of Protection Analysis (LOPA)

Initiating Event Frequency

Independent Protection Layer Additional Mitigation

Mitigated Frequency Process

Design Alarms,

Procedures

Safety Instrumented

System

Kerusakan pada unloading valve

2.36 x 10-

5 -

Pemeriksaan intensif pada fungsi kerja dari unloading valve 1 x 10-1

Memberikan overpressure sensor pada unloading valve yang dapat mengaktifkan emergency shutdown (ESD) sehingga proses unloading dapat dihentikan dengan cepat 1 x 10-1

Memberikan training pada seluruh operator tentang proses emergency shut down (ESD) 1x10-1

Kerusakan pada unloading valve

Kegagalan emergency disconnect pada unloading arm

2.3 x 10-

4 -

Menyalakan alarm saat terjadi masalah pada emergency disconnect unloading arm agar semua operator bisa segera melakukan tindakan sesuai dengan prosedur serta rules and regulation 1 x 10-1

-

Memberikan training pada seluruh operator tentang proses emergency disconnect pada unloading arm 1x10-1

2.3 x 10-

6

Kesalahan pada pengaturan unloading

5 x 10-5 - -

Memberikan computerized warning system pada prosedur-prosedur unloading yang tidak sesuai secara teknis dan tidak sesuai berdasarkan rules and regulation 1 x 10-2

Memberikan training pada seluruh operator yang bertugas pada proses unloading 1x10-1 5 x 10-8

Dengan menggunakan cara yang sama seperti dua basic/initiating event di atas, maka LOPA juga diberikan pada masing-masing basic/initiating event yang lainnya. Setelah melakukan proses mitigasi dengan menggunakan LOPA terdapat perubahan nilai pada frekuensi kejadian di masing-masing basic/initiating event. Dengan menggunakan cara yang sama seperti perhitungan frekuensi sebelum dilakukan proses mitigasi, maka frekuensi kejadian kembali dihitung dengan menggunakan Fault Tree Analysis berdasarkan data yang didapatkan dari hasil LOPA. Jika terdapat kejadian yang masih berada pada daerah yang tidak dapat diterima maka perlu dilakukan proses mitigasi tambahan hingga risiko tersebut menjadi dapat diterima atau setidak-tidaknya memasuki daerah ALARP. Selanjutnya adalah memperhatikan perpindahan tingkat risiko antara sebelum dan sesudah mendapatkan proses mitigasi sehingga diketahui apakah terdapat perubahan yang berarti pada

12

risiko. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 18. Tingkat frekuensi, tingkat konsekuensi, dan status pada masing-masing kejadian sebelum

dan sesudah mendapat proses mitigasi

Kejadian Tingkat

Frekuensi Awal

Tingkat Konsekuensi

Awal

Status Risiko Awal

BLEVE pada cargo tank (tanker) 4 1

BLEVE pada cargo tank (terminal) 4 1

Gas jet flame pada unloading arm 4 2

----------------------Proses Mitigasi----------------------

Kejadian Tingkat

Frekuensi Akhir

Tingkat Konsekuensi

Akhir

Status Risiko Akhir

BLEVE pada cargo tank (tanker) 5 1

BLEVE pada cargo tank (terminal) 6 1

Gas jet flame pada unloading arm 6 2

V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan Berdasarkan risk assessment yang telah dilakukan pada tanker dan terminal penerima LNG di Teluk Benoa Bali, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Beberapa kejadian yang menjadi risiko utama

saat tanker LNG sedang bersandar dan unloading di terminal penerima LNG di Teluk Benoa Bali adalah ledakan, kebakaran, dan dispersi gas. Ledakan yang terjadi adalah berupa BLEVE (Boiling Liquid Expanding Vapour Explosion). Kebakaran yang terjadi adalah berupa gas jet flame. Kemudian dispersi gas yang terjadi adalah dense gas dispersion.

2. Akibat kondisi meteorologi dan lingkungan, risk assessment dilakukan dalam tiga rentang bulan dimana masing-masing rentang bulan memiliki kondisi arah dan kecepatan angin yang berbeda. Dari analisa yang telah dilakukan diketahui bahwa arah dan kecepatan angin sangat mempengaruhi konsekuensi dari kejadian kebakaran dan dispersi gas. Pengaruh yang terjadi pada kedua kejadian tersebut yaitu pada jet fire adalah panjang api yang terjadi kemudian pengaruh yang terjadi pada dispersi gas adalah panjang serta luasan daerah yang terkena dampak dari dispersi gas sehingga konsekuensi yang terjadi pada kedua

kejadian tersebut berbeda di masing-masing rentang bulannya.

3. Kejadian-kejadian yang memiliki risiko tinggi akan memasuki risk matrix dalam kategori tidak dapat diterima dan ALARP. Kejadian-kejadian tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 19. Kejadian-kejadian yang memiliki risiko tinggi beserta status risiko menurut risk

matrix yang berdasar pada NFPA 59A

Kejadian Status Risiko

BLEVE pada cargo tank (tanker)

BLEVE pada cargo tank (terminal)

Gas jet flame pada unloading arms

4. Mitigasi dilakukan dengan menggunakan

metode Layer Of Protection Analysis (LOPA) dimana dilakukan usaha-usaha untuk mengurangi risiko dengan memberikan lapisan pengaman tambahan pada process design, memberikan lapisan pengaman yang berupa alarm atau tambahan prosedur khusus dalam suatu proses, memberikan lapisan pengaman tambahan seperti safety instrumented system, dan mitigasi tambahan yang dianggap perlu. Hasil yang didapatkan dari mitigasi dengan menggunakan LOPA adalah berkurangnya nilai frekuensi dari suatu kejadian sehingga risiko setelah mendapat proses mitigasi juga akan menurun.

V.2. Saran Setelah melakukan riset dengan tema risk assessment yang dilakukan pada tanker dan terminal penerima LNG di Teluk Benoa Bali, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Dalam risk assessment yang telah dilakukan masih ada tinjauan yang tidak diikutsertakan dalam penelitian, seperti tinjauan downtime dan economic loss. Oleh karena itu, kedua tinjauan besar di atas sebaiknya dimasukkan dalam penelitian selanjutnya.

2. Penggunaan data yang tepat sebaiknya digunakan untuk menggantikan data yang masih menggunakan asumsi atau yang menggunakan data proyek lain sehingga hasil dari risk assessment ini akan lebih tepat dan akurat.

13

Daftar Pustaka [1] Bali Perlu Energi Alternatif,

(www.balipost.co.id dikutip pada 22 Oktober 2009 jam 19.01 WIB)

[2] Bali, (www.wikipedia.org dikutip pada 19 Mei 2009 jam 13.01 WIB)

[3] Sea Japan, (2003), “Kawasaki completes first pressure build-up type coastal LNG carrier Shinju Maru No.1”, No. 300 Aug. - Sept. 2003, Japan

[4] Wulandari, Septi, Risk Assessment LNG Loading Process, 2009

[5] Town Gas Company, “QUANTITATIVE RISK ASSESSMENT (QRA) Study”, (www.egas.com.eg dikutip pada 14 October 2009 jam 21.00 WIB)

[6] Bubicco, Roberto, Preliminary risk analysis for LNG tankers approaching a maritime terminal, Journal of Loss Prevention in the Process Industries xxx (2009) 1-5

[7] Vanem, Eric, Analysing the risk of LNG carrier operations, Reliability Engineering and System Safety 93 (2008) 1328–1344

[8] Artana, KB, “Risk Assessment Saluran Pipa Gas Eksport Amerada Hess (Indonesia – Pangkah) Limited pada Zone III Akibat Penurunan Jangkar Kapal”, (www.its.ac.id dikutip pada 24 November 2008 jam 07.14 WIB)

[9] Susono, Ebit, Risk Assessment Saluran Pipa Gas Ekspor Amerada Hess Limited (Indonesia-Pangkah) Pada Zona III Akibat Aktivitas Nelayan Pencari Kerang Dan Kepiting Dengan Menggunakan Garit (Trawl), 2009

[10] K.Raj, Pani, Risk analysis based LNG facility siting standard in NFPA 59A, Journal of Loss Prevention in the Process Industries xxx (2009) 1–10

[11] Layer of Protection Analysis (LOPA), (www.absconsulting.com dikutip pada 28 October 2009 jam 20.49 WIB)

[12] Al Aziez, Muchammad, Penilaian Resiko Sistem Pemuatan LNG Kapal LNG Surya Aki Dengan Metode FMECA, 2007

[13] Burn, (www.wikipedia.org dikutip pada 11 November 2009 jam 17.24 WIB)

[14] Fluid Mechanics, (www.engineeringtoolbox.com dikutip pada 12 November 2009 jam 21.17 WIB)

[15] American Petroleum Institute (API), Recommended Practice 581 Second Edition, Risk Based Inspection Technology, September 2008

[16] Sam Mannan,Frank P. Lees, Lee's loss prevention in the process industries, Hazard Identification, Assessment and Control, Third Edition, 2005