RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG...

36
RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN JENIS RAPAT : PANJA IV TANGGAL: 26 MEI 2011 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA BELUM DIKOREKSI

Transcript of RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG...

Page 1: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

RISALAH RAPAT

PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

JENIS RAPAT : PANJA IV TANGGAL: 26 MEI 2011

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BELUM DIKOREKSI

Page 2: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

RISALAH RAPAT PANITIA KERJA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Masa Persidangan Tahun Sidang Sifat Jenis Rapat Hari / Tanggal Waktu Tempat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Hadir

: : : : : : : : : :

IV 2010-2011 Terbuka Panja dengan Dirjen Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI Kamis, 26 Mei 2011 Pukul 20.00 WIB s.d. 23.10 WIB Hotel Aryaduta Lippo Karawaci, Tanggerang DR. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H. ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si. Membahas Materi Panja A. Pimpinan Panja RUU tentang Pembentukan Peraturan

PerUndang-Undangan : 1. SUTJIPTO, S.H., M.Kn. 2. Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H. 3. H. RAHADI ZAKARIA, S.Ip., M.H. 4. H. T.B. SOENMANDJAJA SD.

B. Anggota Panja RUU tentang PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Fraksi Partai Demokrat: 5. IGNATIUS MULYONO 6. H. HARRY WITJAKSONO 7. GEDE PASEK SUARDIKA, S.H. 8. Dr. (HC), Drs. H. TAUFIQ EFFENDI, M.B.A. Fraksi Partai Golongan Karya: 9. NURUL ARIFIN, S.IP., M.Si. 10. Drs. TAUFIQ HIDAYAT, M.Si. 11. H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn. Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia: 12. ARIF WIBOWO 13. ACHMAD BASARAH Fraksi Partai Keadilan Sejahtera: 14. BUKHORI YUSUF. Lc., M.A.

Fraksi Partai Amanat Nasional:

1

Page 3: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

15. Drs. RUSLI RIDWAN, M.Si.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan: 16. H. MUHAMMAD ARWANI THOMAFI

Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa : 17. Dra. Hj. IDA FAUZIYAH

Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya: 18. RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.

Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat: -

C. Undangan

- Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI beserta jajaran

JALANNYA RAPAT: KETUA RAPAT (Dr. H. DEDING ISHAK, S.H., M.H./F-PG) : Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Selamat malam, Salam sejahtera bagi kita semua, Yang terhormat Saudara Pimpinan dan anggota Panja, Yang terhormat Saudara Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Hadirin yang berbahagia, Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan karunia kepada kita semua sehingga kita bisa menghadiri pertemuan rapat Panja, mudah-mudahan semuanya sehat walafiat dan bisa menyelesaikan tugas-tugas konstitusional yang dibebankan, diamanahkan kepada kita sekalian. Sesuai dengan laporan Sekretariat Pansus rapat hari ini telah dihadiri oleh 10 orang dari 19 anggota Panja, jadi sudah memenuhi kourum, Pak. Dan Insya Allah apalagi dihadiri oleh Pak Ketua Pansus dan Ketua Baleg ini, jadi lengkap, Pak Dirjen, jadi kalau ada hal-hal yang perlu penjelasan tentu kita akan me-refer kepada Pak Jenderal ini. Oleh karena perkenankanlah kami membuka rapat Panja ini dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum.

(RAPAT DIBUKA PADA PUKUL 20.00 WIB) Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Saudara Direktur Jenderal peraturan Perundang-undangan beserta jajaran dari Kementerian Hukum dan HAM yang telah memenuhi undangan Panja untuk mengikuti rapat konsinyering. Untuk itu sebelum kami melanjutkan rapat perkenankanlah kami menawarkan acara rapat pada hari ini sebagai berikut, pertama pengantar Ketua Rapat, sudah saya sampaikan, kemudian kita akan melanjutkan pembahasan materi yang diamanahkan Pansus untuk dibahas dalam Panja, kemudian penutup. Kepada Bapak dan Ibu serta Saudara sekalian, kalau disetujui rapat Panja ini sampai pukul berapa, Pak, ya? Pukul 22.00 WIB? Pukul 23.00? Cukup sampai Pukul 23.00 WIB ya? Pukul 23.00 WIB, Insya Allah, nanti mudah-mudahan bisa sebelum itu. Apakah susunan acara bisa disetujui?

(RAPAT : SETUJU)

2

Page 4: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

Bapak dan Ibu, serta Saudara sekalian yang saya hormati,

Rapat Panja kemarin pada tanggal 25 Mei 2011 yang lalu kita telah menyelesaikan tiga DIM, yaitu DIM No. 17, 59 dan 65, karena dari DIM No. 17 ini sebagaimana usul juga Pak Ustad Bukhori terkait dengan DIM-DIM yang lain, alhamdulillah sudah diselesaikan DIM No. 17, 59 dan 65. Pada DIM No. 65 kita telah menyepakati Pasal 7 ayat (1) beserta penjelasannya. Selanjutnya karena Pasal 7A itu ada beberapa ayat maka kita membahas DIM No. 64, 66 sampai 69 yaitu Pasal 7 ayat (2) sampai dengan ayat (5). Untuk itu kami persilakan kepada pemerintah untuk memberikan penjelasan DIM No. 66 Pasal 7 ayat (2) dan usulan untuk menghapus ayat (3) sampai dengan ayat (5) DIM No. 67 dikaitkan dengan DIM No. 64, 68 dan 69.

Kami persilakan Pak Dirjen. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Selamat malam, Salam sejahtera untuk kita semua, Yang terhormat Bapak Pimpinan, para anggota Panja yang kami hormati, Tentu kita bersyukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas perkenan ridho sehingga kita hadir dalam keadaan sehat walafiat dan tanpa kita menunda sudah cukup kourum, sehingga mudah-mudahan hasil yang kita capai juga lebih baik. Dan yang kedua kami seperti biasa juga dengan jajaran dan juga disamping kiri saya Pak Dirjen, Pak Abdul Wahid, saya sekedar pengganti, kemudian senior kami, senior kita, Bu Sri Hariningsih yang juga sangat akrab dengan tugas-tugas legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian juga dari jajaran lain Bank Indonesia, dari tim yang ada di dalam Panja Pemerintah. Baik, kami sampaikan bahwa di DIM No. 66, Pak, ya, itu dalam usulan perubahan dan tanggapan Pemerintah itu kita mengusulkan tambahan frasa ”diberi kewenangan atau” begitu ya. Jadi kalau kemarin kita sudah merumuskan Pasal 7A ayat (1) dan kemudian ada penjelasannya terkait dengan peraturan menteri, nah kemudian di ayat (2) kita mengusulkan perubahan sehingga rumusan ituberbunyi, jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diberi kewenangan atau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kemudian dilanjutkan dengan DIM No. 67, Pak, ya, karena di DIM No. 64 itu sudah ada ayat (3) dari jenis hirarki peraturan perundangan di Pasal 7 sehingga Pemerintah mengusulkan dihapus karena itu sudah tertampung di DIM No. 64. Kemudian secara sekaligus juga ini dalam satu pasal DIM No. 68 itu kita mengusulkan untuk dihapus karena ketentuan mengenai pengujian undang-undang cukup telah diatur dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi dan juga di Pasal 24C Undang-Undang Dasar kita juga sudah tertampung, demikian juga di DIM No. 69 di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24A dan juga di Undang-undang Mahkamah Agung ketentuan ini sudah ada. Demikian, Bapak Pimpinan dan anggota yang kami hormati. KETUA RAPAT : Baik, usulan perubahan ini kan dari Pemerintah sudah disampaikan oleh Pak Dirjen, jadi tentu merespon RUU DPR ini dari Baleg dan dari DPR. Itu DIM No. 66, Pemerintah mengusulkan perubahan dengan menambah beberapa kalimat begitu. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Kata “selain” sudah dihapus dulu ya.

3

Page 5: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Jadi RUU yang DPR ini saya bacakan, jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Nah, sementara Pemerintah mengajukan, mengusulkan penyempurnaan substansi dengan menambah frasa “diberi kewenangan”. Oleh karenanya saya berikan untuk putaran pertama ini dan mudah-mudahan satu putaran ini kita bisa memutuskan. Silakan. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Mohon ralat sedikit, Pak. Tadi mungkin sambil ini kata “selain” memang sudah kami hapus, jadi jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jadi karena sudah ada Pasal 7A ini di-refer ke ayat (1) 7A itu, jadi tidak ada kata ”selain” lagi. KETUA RAPAT : Sudah, Pak Dirjen. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Ya. KETUA RAPAT : Baik, silakan Pak Gede. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Baik, terima kasih, Pimpinan. Jadi yang pertama sudah langsung dikoreksi soal kata “selain”, yang kedua mungkin bisa dijelaskan pemahaman diberi kewenangan ini apakah dia memang melekat ataukah sistem diskresi juga ada di dalamnya di sini, jadi biar kita lebih jelas dulu, jangan sampai nanti ada pemahaman yang rancu. Dan penambahan dari Pemerintah kata “diberi kewenangan” itu kira-kira skupnya sampai dimana, karena kan dalam beberapa kebijakan misalnya di daerah ketika dia ada kekosongan dia kan punya kewajiban juga untuk melakukan inovasi dan sebagainya, sementara secara tersurat itu tidak ada, itu misalnya. Terima kasih. KETUA RAPAT : Sebelum Pak Dirjen ada yang menambahkan. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Menambahkan dari apa yang disampaikan oleh rekan kami, memang nampaknya ini sederhana ya, tetapi sebetulnya dengan kata-kata “diberikan” diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat itu mempunyai implikasi yang luas sekali, maka kami sangat mengharapkan dijelaskan bukan saja kewenangannya saja tetapi sekaligus kami minta diberikan suatu gambaran yang dimaksud sebagai hukum yang mengikat itu sampai sejauh mana, apakah perlakuan terhadap hukum-hukum yang termuat di dalam kayak seperti hukum KUHP dan sebagainya, dan sebagainya, yang itu mempunyai implikasi yang luas sekali. Ini mohon barangkali bisa diberikan penjelasan yang lebih luas lagi. Terima kasih.

4

Page 6: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Yang lainnya? Jadi ini kan ada RUU DPR, kemudian Pemerintah mengusulkan penambahan, atau katakanlah semacam penyempurnaan dari Pemerintah menambah frasa “diberi kewenangan”. Silakan. Sebelum yang lain, masih Pak Ketua. KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD) : Saya menambahkan apa yang disampaikan Pak Gede sama Pak Mul, jadi kita kan bahas sekaligus kan ini, tidak satu persatu kan? Di dalam DIM No. 68 dan 69, Pak, jadi sebenarnya kita ingin mem-breakdown lagi apalagi dalam Raker kemarin sudah ada kesepakatan bahwa supaya Mahkamah Agung itu tidak mereduksi ketentuan konstitusi. Di dalam uji materil undang-undang itu tidak dibatasi kapan undang-undang itu dikeluarkan. Oleh karena itu, demikian juga untuk semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itu juga tidak boleh dibatasi, kita ingin memasukan di sini, itu kawan dari PKS waktu itu yang kita sepakati bahwa jangan dibatasi karena banyak sekali ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebenarnya bertentangan dengan undang-undang tidak bisa diuji karena ada SEMA Mahkamah Agung itu hanya 6 bulan, itu sangat merugikan masyarakat atau terkait juga masalah, apa kemarin ya, masalah PP No. 110 yang itu loh yang banyak menjerat, ya itu kan banyak menjerat anggota DPRD kan, jadi salah satu karena ada SEMA Mahkamah Agung, oleh karena itu, kita akan tegaskan di sini cuman memang kita beberap kali tertunda konsultasi dengan Mahkamah Agung. Jadi maksudnya agar tidak terlampau membebani Mahkamah Agung sehingga kalau Perda Kabupaten/Kota itu uji materilnya itu ke pengadilan tinggi, kita ingin konfirmasi Mahkamah Agung, sedangkan untuk Perda Provinsi uji materilnya kepada Mahkamah Agung. Secara informal saya sudah bicara dengan Pak Rotulung, pada waktu itu saya masih Komisi III saya bicara langsung dan mengakui bahwa SEMA itu salah, itu bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, kita ingin tegaskan di sini jangan sampai SEMA itu mereduksi ketentuan di konstitusi. Jadi oleh karena itu, ini sebagai penegasan, oleh karena itu DIM No. 68, 69 sudah dicabut, bahkan kita ingin di-breakdown mengenai ketentuan uji materilnya ke Mahkamah Agung, terutama. Terima kasih. KETUA RAPAT : Itu di dalam penjelasan? KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD) : Ada breakdown-nya di sini, tetapi nanti karena norma kan ujinya itu, jadi tentu masuk pasal, bahwa kalau yang Perda Kabupaten/Kota itu uji materilnya ke Pengadilan Tinggi, tetapi kalau Perda Provinsi uji materilnya ke Mahkamah Agung. Tetapi kita ingin konfirmasi ke Mahkamah Agung, jadi kita tetap kalau bisa dilakukan konsultasi meskipun kita sudah masuk Panja karena tertunda pada waktu Raker itu. Demikian, Pimpinan. KETUA RAPAT : Iya, Ibu Nurul. F-PG (NURUL ARIFIN, S.Ip., M.Si) : Terima kasih, Pimpinan. Ini pertanyaan yang di-bold, Pak, yang diberi kewenangan atau ini, pertanyaannya apakah kata ini juga bisa bermakna lebih luas, apakah diskresi juga termasuk dalam kategori yang diberi kewenangan tersebut, Pak. Dan apakah yang tidak tersurat dalam undang-undang ini juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Itu, Pak, pertanyannya. Terima kasih. Mohon penjelasan.

5

Page 7: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Terima kasih. Silakan masih ada dari anggota? Baik, Pak. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Terima kasih, Pimpinan. Pertanyaan sederhana ya mungkin apakah sebenarnya di luar sesuatu yang terkait dengan substansi ini tetapi sebagai akibat dari kalimat jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), artinya beberapa peraturan-peraturan itu ya, mulai dari MPR sampai DPRD itu, Pak, ya, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan untuk mengikat sepanjang diberi kewenangan atau diperintahkan, artinya memang terbuka ya, terbuka kemungkinan peraturan-peraturan yang diputuskan atau dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang dimaksud dalam ayat (1) itu ada yang tidak diberi kewenangan di luar kewenangannya atau tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan itu. Terima kasih. KETUA RAPAT : Sudah? Ada, Pak? Langsung Pemerintah, baik Pak Dirjen, termasuk juga merespon apa yang disampaikan oleh Pak Ketua ya. Silakan, Pak. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, terima kasih. Nanti juga izinkan kalau kami meminta tambahan dari Pak Abdul Wahid atau Ibu Sri Hariningsih, Pak. Pertama, yang kami usulkan memang frasa “diberi kewenangan atau”, kalau yang diperintahkan memang dulu di dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 itu sudah ada, ini dimaksudkan bahwa diberi kewenangan artinya di dalam peraturan perundang-undangan yang di Pasal 7 ayat (1) itu terhadap pejabat tertentu secara yuridis formal diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yang kita sebutkan di Pasal 7A ayat (1) itu untuk menetapkan suatu peraturan, misalnya di dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2008 dimana menteri disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) menteri menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya. Itu berarti diberikan kewenangan dia untuk mengatur. Nah, kemudian yang diperintahkan ini delegasian, kayaknya misalnya disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang di Pasal 7A ayat (1) itu ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan perundang-undangan, ini artinya diperintahkan. Nah, di dalam dasar mengingat juga kalau kita lihat di depan itu berisi peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan atau yang memerintahkan pembuatan perundang-undangan sehingga itu menjadikan dasar mengingat sebuah peraturan perundang-undangan, kalau memang ada kewenangan di dalam membuatnya, dan yang kedua atau yang memerintahkan untuk dibuat peraturan perundang-undangan. Nah, kemudian yang terkait dalam DIM No. 68 dan 69 memang di pasal khususnya di dalam 69 Pasal 24A Undang-Undang Dasar memang secara eksplisit menentukan bahwa peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ini termasuk peraturan daerah tadi disinggung oleh yang terhormat Pak Sutjipto yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung. Jadi ya sampai sekarang itu memang yang berlaku itu, Pak, ya, tidak dilakukan pengadilan tinggi, pengadilan tinggi mungkin ini kalau tidak salah memang baru usul, Pak, ya, apakah nanti di undang-undang perubahan MA ini kita belum melihat bagaimana konsep perubahan yang diajukan yang sekarang Program Legislasi Nasional 2011 akan dibahas. Tadi disampaikan bahwa nanti untuk Perda kabupaten/kota itu diujinya di pengadilan tinggi, sedangkan yang untuk Perda provinsi diujinya di Mahkamah Agung, begitu, Pak, ya? Nah, mungkin perkenankan Ibu Sri Hariningsih untuk menambahkan. Silakan, Bu.

6

Page 8: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (SRI HARININGSIH) : Terima kasih. Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Sesuai dengan penugasan dari Pak Dirjen saya diminta untuk menambahkan apa yang sudah dijelaskan. Memang di dalam DIM No. 66 di sini seperti halnya tadi juga disampaikan di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang berdasarkan hukum adalah yang sifatnya memberikan kewenangan dan juga yang memerintahkan, berarti di sini ada dua pembedaan, kalau diberi kewenangan yang misalnya selama ini kita kenal dengan atribusi, jadi diberikan satu kewenangan, sebelumnya tidak ada kewenangan baru diberikan, itu yang atribusi. Sedangkan yang diperintahkan adalah yang delegasi dimana di dalam peraturan perundang-undangan itu selalu kita kenal dengan …(tidak jelas)… misalnya ketentuan lebih lanjut mengenai bla-bla-bla diatur dengan misalnya instrumen hukum tertentu, apakah dengan peraturan presiden ataukah dengan peraturan pemerintah, itu yang diperintahkan. Kemudian yang ingin saya tambahkan adalah keinginan untuk melakukan pembedaan antara pengujian peraturan-peraturan perundang-undangan tadi ada yang tidak semuanya di Mahkamah Agung, saya kira ini kalau toh akan diadakan perubahan terhadap Undang-undang Mahkamah Agung tidak tepat karena di dalam Undang-Undang Dasarnya secara eksplisit di sini peraturan di bawah undang-undang, berarti di sini termasuk peraturan daerah juga, itu yang menguji adalah Mahkamah Agung, jadi tidak tepat kalau ada perubahan Undang-undang Mahkamah Agung saya kira juga tidak mungkin selama Undang-Undang Dasarnya sendiri Pasal 24A ayat (1)-nya tidak diubah. Jadi memang semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang Mahkamah Agunglah yang diberikan kewenangan oleh konstitusi ini. Saya kira itu yang bisa kami tambahkan. Terima kasih. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (ABDUL WAHID) : Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Diberi kewenangan itu kewenangan asli, original power, kalau yang perintahkan itu yang original itu memberikan delegasi kepada …(tidak dilanjutkan)… makanya ada kata-kata yang diperintahkan oleh peraturan, itu original power dengan …(tidak jelas). Kemudian deskresi, kita sudah memberi definisi mengenai peraturan perundang-undangan, di ilmu perundang-undangan itu ada yang disebut dengan lebih tajam sekarang itu ada yang dinamakan peraturan kebijakan atau beleid regel, tetapi di tempat lain ada yang policy rule, dia tidak punya kewenangan, tetapi karena ada kebutuhan selalu bisa, tetapi bukan perundang-undang, tetapi kebijakan, cuma wadah seperti …(tidak jelas)… dan cara mengujinya pun berbeda, kalau yang deskresi itu lebih pada prinsip-prinsip kelayakan dalam menjalankan pemerintahan, kalau ini mengujinya kan legalitas, dia bertentangan atau tidak dengan yang di atas. Terus yang mengikat hukum saya kira sepanjang mengenai substansinya, Pak, jadi hirarki itu salah satu diantaranya adalah untuk membedakan bahwa jenis peraturan tertentu dia punya muatan tertentu dan di situ pula kekuatan mengikatnya. Saya kira itu saja yang bisa ditambahkan. Oh, mengenai terakhir ini, saya kira selain Undang-Undang Dasar kita tidak memungkinkan untuk menguji diberikan itu kepada pengadilan tinggi selain Mahkamah Agung, tentunya ada jalan pikirannya karena Mahkamah Agung itu kan …(tidak jelas)… penjatuhan hukum, kalau yang ini kan fakta ini. Jadi ya saya kira agak sulit kalau membedakan tingkat peraturan daerah diuji oleh selain daripada Mahkamah Agung. Kami di Tim, Pak, kami bukan Dirjen, Pak, jadi Tim …(tidak jelas). Terima kasih. Jalan pikiran dari pemerintah mengapa, sudah dicukupkan lah di Undang-undang Mahkamah Agung, di Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian, karena ini pembentukan kan, jadi rezimnya itu lain, kalau pengujian itu kan mengotak-ngatik pembentukan undang-undang untuk diuji apakah benar atau tidak produk yang kita buat. Jadi ada kandangnya sendiri. Di Mahkamah Konstitusi yang sekarang saya dengar tidak selesai dan Mahkamah Agung itu sudah tiga kali direvisi, saya tidak tahu

7

Page 9: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

apa yang terakhir, masih saya, tetapi saya juga lupa, tetapi seingat saya mengenai yudisial review di Mahkamah Agung juga diatur. Terima kasih. KETUA RAPAT : Meskipun tadi pembicaraan kita terkait dengan beberapa DIM begitu, tetapi baiknya pada putaran kedua ini setelah penjelasan Pak Dirjen dan penerus Pak Dirjen, begitu, kita fokus pada DIM No. 66 ya, jadi ada dua rumusan, rumusan DPR ini sudah sangat jelas. Ini sebetulnya Pasal 7 ayat (2) nanti akan disinkronkan itu berkaitan dengan Pasal 7 ayat (1) bicara tentang hirarki, Pak, selain jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7A diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diberi kewenangan atau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi ini sebetulnya sudah sangat masuk, sudah sangat ini kata-katanya sudah sangat dari aspek hukum ini sudah sangat disamping lazim begitu. Nah, sudah jelas karena undang-undang yang nanti, bahasanya sudah bahasa hukum, bahasa undang-undang ini. Saya agak terganggu tetapi tadi ada penjelasan dari Pak Dirjen menyangkut kewenangan, pertanyaannya kan kewenangan ini yang diberikan kewenangan oleh siapa, oleh apa. Silakan Pak Rahadi, jadi kita fokus pada itu. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Terima kasih. Yang kami hormati Pimpinan Panja, Bapak Dirjen beserta jajaran, Para anggota Panja dan para Tenaga Ahli, Jadi, Pak, saya ingin mendapatkan semacam satu reasoning atau alasan, ketika delegasi itu digeser ke atribusi, terus kemudian contoh konkritnya misalnya kalau kita melihat bahwa ada undang-undang, kemudian kalau di daerah ada undang-undang, ada PP, kemudian baru Perda, jadi Perda tidak jadi bikin sepanjang tidak ada peraturan pemerintahnya, ini supaya jelas ini runtutannya. Itu perintah, Pak, itu sudah pendelegasian. Sekarang kita digeser diberi wewenang itu kira-kira apa reasoning-nya, kemudian operasionalisasinya di daerah itu selama ini menyangktu nanti persoalan-persoalan yang berkembang di daerah, ini yang paling rawan, Pak. Bentuknya apa kira-kira kewenangan itu, apakah seorang gubernur atau bupati misalnya, ini sebagai contoh konkritnya nanti, gubernur, bupati, itu bisa membuat—memang ada peraturan yang lebih tinggi-bisa membuat peraturan yang punya kewenangan cantolnya tidak secara hirarkis atau ada semacam satu link komando misalnya, contoh yang saya contohkan tadi kan jelas kalau misalnya ada orang membuat Perda di daerah atau membuat semacam aturan-aturan itu mesti merujuknya ke atas dulu, Pak, dari bawah terus ke atas, sudah ada PP-nya belum, oh belum ada PP-nya, tidak berani di daerah membuat Perda, kalau toh berani yang mirip-mirip dengan PP yang akan keluar, terus kadang-kadang ini memang sangat menyulitkan ketika daerah perlu Perda belum ada PP, Perda juga misalnya seperti contoh kemarin ketika undang-undang sudah ada, PP-nya belum ada untuk membentuk fraksi-fraksi dan komisi-komisi juga mengalami kesulitan. Nah, apakah ini dalam rangka memecah kebekuan seperti itu, perdaerah mempunyai suatu kewenangan tanpa ada contolan PP, tetapi ada undang-undang yang lebih atas mereka bisa punya kewenangan itu membuat peraturan daerah, membentuk misalnya lembaga-lembaga yang ada di daerah, apakah itu kira-kira maksudnya. Saya ingin mendapatkan suatu reasoning itu petanya adalah seperti itu. Terima kasih. KETUA RAPAT : Mungkin ini penting juga ya yang disampaikan oleh Pak Rahadi sebuah penegasan sebelum teman-teman anggota Panja merespon kembali penjelasan atau uraian dari Pak Dirjen. Silakan Pak Dirjen.

8

Page 10: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, terima kasih atas tanggapan dari Pak Rahadi Zakaria. Tadi kita sudah sampaikan juga memang ada hal yang menjadi banyak pembahasan selama ini terkait dengan bagaimana kewenangan peraturan daerah dan bagaimana yang diperintahkan yang mana atribusi dan legasi. Memang lalu setelah amadenen Undang-undang Dasar 1945 atau perubahan Undang-undang Dasar 1945 itu frasa nomenklatur peraturan daerah itu masuk dalam konstitusi kita, sebelum itu belum pernah ada kata-kata peraturan daerah dalam Undang-undang Dasar kita. Nah, di dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar 1945 hasil perubahan di sana sebetulnya itu kewenangan pemerintahan daerah untuk membentuk peraturan daerah. Di sana disebutkan pemerintahan daerah, ini artinya DPRD dan gubernur atau bupati/walikota berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Nah, kata berhak ini, ini merupakan suatu atribusi kewenangan, nah ini yang sebetulnya Bapak-bapak kita atau teman-teman kita di daerah dengan dasar ini sebetulnya tanpa diperintahkan PP, peraturan presiden dia sudah berhak, memang ada batasannya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan yang itu lalu dijabarkan oleh PP No. 38 Tahun 2007 tentang mana kewenangan pusat, kewenangan provinsi, kewenangan kabupaten/kota, Pak. Nah, ini saya kira. Memang masih ada yang ragu-ragu begitu lalu mencari kalau belum ada PP-nya rasanya belum ada perintah, padahal sudah ada kewenangan. Nah, dengan kewenangan itu sebetulnya ya mereka sudah bisa menetapkan peraturan daerah. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Jadi sudah penjelasannya semakin jelas ya. Tidak, ini penegasan saja. Silakan. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) :

Hampir sama pandangannya, kami khawatir ini mungkin kalau di tingkat pusat agak bisa pas ya, kami khawatirkan nanti akan banyak sengketa dengan semangat otonomi daerah produk undang-undang atau produk yang dilahirkan oleh mereka yang punya kewenangan di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten, untuk hal yang sama itu berbeda, contohnya saja saat ini, saya ambil contoh di Dapil kami soal RTRW kan itu dibuat oleh provinsi, dibuat juga oleh kabupaten, kemudian lanjutannya dia membuat peraturan gubernur dan juga peraturan bupati, nah, di sini jelas-jelas ketika di provinsi daerah itu diperuntukan untuk A, oleh bupati demi kepentingan pembangunannya dan hak otonomi daerah digunakan untuk B, dan ini akhirnya menjadi ramai, sengketa, dan sampai sekarang menjadi polemik. Yang kami khawatirkan proses penyelesaiannya nanti secara yuridis seperti apa dia pengujiannya karena masing-masing merasa punya kewenangan, akhirnya. Ini saya kira perlu diperjelas sehingga jangan sampai di daerah asal diberi kewenangan kan bicara kewenangan, kalau ketika ada masalah kan larinya ke pusat dia, tetapi ketika pusat mau masuk interfensi, karena ini kewenangan saya, kan seringkali terjadi hal seperti itu yang kita rasakan.

Saya kira ini mungkin perlu diantisipasi saja. Prinsipnya kita sepakat tinggal ini kita antisipasi sehingga kata bahasanya menjadi lebih kuat, Pak. KETUA RAPAT : Jadi Pak Gede bisa memahami atau bisa menerima dengan sebuah pembatasan atau kejelasan begitu? F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Memahami, belum menerima karena potensi polemik itu, potensi polemiknya ada ini. KETUA RAPAT : Jadi sebelum teman-teman barangkali juga saya agak sependapat dengan Pak Gede ini. Sebentar. Jadi kalau penjelasan Pak Dirjen tadi bahwa umpamanya soal hak ya yang diberikan kepada daerah untuk membentuk atau membuat Perda begitu. Nah, sebetulnya dinyatakan secara eksplisit ataupun tidak

9

Page 11: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

sebetulnya sudah bisa berjalan, begitu. Nah, berbahaya kalau memang ini diberikan penjelasan atau diberikan semacam frase “diberi kewenangan” itu akan menimbulkan problem, jadi seolah-olah ini merupakan kekuatan begitu bagi mereka, dan ini juga tentu harus diantisipasi, dipikirkan begitu, sehingga RUU dari DPR ini lebih soft begitu, tetapi sebetulnya dari sisi ini sudah cukup begitu. Kalau memang itu dianggap cukup, Pak Dirjen, saya rasa tidak perlu kita berikan. Silakan Pak Rahadi. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Jadi saya tentunya memahami tentang usulan dari pemerintah dalam rangka memecah kebekuan supaya tidak menimbulkan stag di lingkungan pemerintah daerah di sana. Tetapi satu pihak saya ada kekhawatiran, Pak, baru diberikan suatu pendelegasian belum diberikan suatu kewenangan itu cukup banyak Perda yang bermasalah. Ini persoalan juga, Pak, ribuan Perda bermasalah yang menumpuk di Kementerian Dalam Negeri sekarang ini sedang dalam suatu evaluasi dan sebagainya. Ini baru dari sisi pemerintahan daerah, belum dari sisi lain. Nah, tentunya kita apakah tidak perlu mencari format atau reasoning atau alasan sehingga ini jadi ada keterikatan tiap daerah misalnya, karena kasusnya kasus daerah, tidak semena-mena dengan kewenangannya itu. Memang ada kunci, ada klausul kunci, tidak bertentangangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Nah, dikunci dengan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tetapi kan link komandonya ke mana-mana ini, Pak Wahid, jadi ketika si daerah ini membuat suatu peraturan daerah mesti tidak ada PP-nya itu bisa menyantol ke berbagai undang-undang yang bisa dimasuki. Nah, ini kita perlu mendapatkan suatu reasoning yang pas agar ini tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari, saya kira itu. Ini karena saya ini praktek di daerah, Pak, saya pernah menjadi anggota DPRD, ini paham benar, Pak. Ini mengujinya dimana supaya ini tidak ke mana-mana, begitu loh, Pak. Misalnya ada pajak pemetik daun teh, pajak untuk memetik daun teh, itu tidak ada cantolannya, Pak. Dibikin cantolannya baru diperintahkan, itu Pak Deding yang bikin. Pak Deding kalau tidak salah. Iya, Pak, ya? Akhirnya diabortus, Pak, mohon maaf, digugurkan. Nah, ini kita perlu mendapat suatu reasoning yang pas karena saya waktu itu juga menjadi panitia legislasi, Pak, juga agak sedikit kewalahan juga berhadapan dengan pusat, pusat hanya memerintahkan kita tidak bisa apa-apa. Kita bikin dengan menggunakan kewenangan-kewenangan itu kita dikepung habis menyalahi aturan. Ini baru kasus di pemerintahan daerah, belum kasus di kementerian-kementerian yang lain. Jadi perlu mencari suatu alasan ataupun reasoning pas, kata-kata yang pas buat ini supaya ini tidak multitafsir, ini bagian ini, ini menjadi sedenotatif mungkin. Terima kasih, Pak. Ini bukan saya tidak setuju, Pak, tetapi hanya perlu mendapatkan suatu reasoning-reasoning yang pas, kalau tidak ada reasoning yang pas ya saya akhirnya ya berpikir ulang jadinya. Belum pas itu, Pak. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Pak Rindoko, belum bicara dari tadi ini. F-P. GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.) : Terima kasih Pimpinan. Yang saya hormati Pimpinan dan anggota Panja, dan Pak Dirjen yang kami hormati, Mencermati DIM No. 66 ini, kami bisa memahami keinginan dari Pemerintah untuk memberikan penguatan terhadap jenis-jenis peraturan perundangan sebagaimana dimaksud dengan ayat (1). Permasalahannya adalah memperkuat legitimasi kewenangan dan diperintah, kami membaca sebenarnya dari permasalahan yang disampaikan oleh Pak Rahadi, permasalahan-permasalahan yang berkembang dimana banyak Perda-perda yang dibuat asal saja karena berbagai macam kepentingan yang ada di daerah, khususnya bisa jadi kepentingan kelompok, kepentingan partai, kepentingan dan seterusnya. Kalau melihat bahwa memang harus diberikan batasan limitatif pemahaman tentang kewenangan dan diperintah. Kami melihat ada permasalahan di sini justru pada kata “sepanjang”, kami mungkin nanti dari

10

Page 12: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

Tim Tenaga Ahli bisa merumuskan apakah kata “sepanjang” ini bisa diganti kata lain yang memberikan kepastian pada kewenangan dan perintah. Kalau “sepanjang” ini bisa jadi atau diperbolehkan atau diakui dan seterusnya, mungkin nanti ini urusan pakar bahasa Indonesia. Kami melihat kalau dibuat pandangan dengan deskresi justru kami tidak sependapat, karena apa? Deskresi ini memberikan ruang untuk abuse of power. Deskresi-deskresi yang sekarang ini ada itu justru dipakai untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan. Contoh saja yang sederhana deskresi misalnya polisi lalu lintas ini bisa berubah macam-macam pada jam tertentu pada keinginannya dan seterusnya. Ini yang paling sederhana. Sebab nanti kalau ini ada pada tataran peraturan perundangan seperti yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal 7 ini, kami melihat justru akan membuka ruang kesempatan kepada pemerintah daerah khususnya apakah itu provinsi atau gubernur, walikota, bupati untuk seluas-luasnya dia sudah punya legitimasi untuk menjalankan apa yang dimaksud dengan kewenangan atau diperintahkan. Tadi disampaikan juga oleh Pak Zak, kan kita bisa saja dia memakai berbagai macam ada mungkin ratusan dalam satu tahun perundangan mulai dari undang-undang sampai peraturan presiden dan seterusnya bisa dipakai untuk melegitimasi peraturan daerah yang mau dibuat sesuai dengan keinginan dari pemerintah daerah masing-masing. Tetapi sekali kami memahami keinginan-keinginan, hanya supaya bisa diberikan batasan limitatif yang pasti terhadap apa itu kewenangan dan apa itu diperintahkan supaya tidak dengan mudah diselewengkan. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Pak, Rindhoko, masih memerlukan penjelasan? Pak Mul, barangkali ada solusi langsung, silakan. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Terima kasih. Barangakali saya hanya mengajak kita melihat antara manfaat dan mudharat saja. Manfaatnya dipasang dan dimudharatnya dipasang, kira-kira lebih banyak mudharatnya atau tidak. Jadi kalau itu iya barangkali perlu dipertimbangkan apakah usulan ini diterima atau tidak. Karena kalau tadi seperti yang disampaikan rekan-rekan kan nampak ada hal-hal yang secara tidak langsung sebetulnya dikhawatirkan kalau penggunaannya ini nanti tidak sesuai seperti apa yang dikonsepkan di sini, maka kalau Mas Rindhoko memberikan limitatif tadi sebetulnya antara lain seperti itu, meskipun kita memahami di luar dari yang diperintahkan itu mungkin masih butuh ada sesuatu yang diberikan dalam bentuk kewenangan, tetapi ini ternyata kalau ini diberikan dalam jenis kewenangan itu dampaknya kayak apa, ini yang dipermasalahkan kan di situ. Maka setelah kita mendengarkan banyak pihak tadi rasa-rasanya kok lebih diamankan cukup dengan diperintahkan saja. Terima kasih. KETUA RAPAT : Pak Rindhoko, masih memerlukan penjelasan soal limitatif itu? Atau sebetulnya kita sudah bisa menyimpulkan. Pemerintah kira-kira bisa menerima dengan rumusan yang asli yang diajukan oleh DPR ini, dengan pemahaman sebetulnya soal kewenangan dan sebagainya inklusif sudah di sana begitu. Saya rasa bisa, Pak, ya? Oh, masih. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Mohon, Pak, penjelasan tambahan. Ya, memang tadi kewenangan itu bersifat atributif dan delegasian itu ya sebagai perintah, memang rumusan kewenangan ini tidak sama. Jadi misalnya ketika kita menyebut kewenangan DPR membentuk undang-undang itu disebut Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan, itu bagian yang diberi wewenang. Kemudian ketika Perppu itu disebutkan dalam hal keadaan yang memaksa presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Nah, itu akan kita jadikan dasar dalam membentuk peraturan perundang-undangan tersebut. Nah, ketika Perda tadi disebutkan juga memang bahwa pemerintahan daerah berhak, ini kata-kata berhak, berwenang

11

Page 13: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

memegang kekuasaan, nah itu adalah sebagai kewenangan. Nah, lalu kalau delegasian ya memang dia diperintahkan. Nah, jadi kalau dapat tadi karena banyak disinggung tentang Perda itu memang baru sangat kita introdusir teman-teman kita di daerah bahwa dasar kewenangan mereka membentuk Perda itu adalah Pasal 18 ayat (6) ini, selama ini dipahami bahwa dasar mereka membuat Perda itu selalu mengatakan di Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, padahal sebetulnya dasar konstitusional Pasal 18 ayat (6) itu, itu mereka berwenang untuk menetapkan peraturan daerah. Alhamdulillah kelihatannya berkat sosialisasi itu sudah banyak dipahami.

Nah, yang sekarang menjadi masalah yang disebut bermasalah tadi itu terkait dengan materi muatan rumusan penjelasan yang tidak jelas atau lain sebagainya, meskipun sudah ada PP No. 38 Tahun 2007 tentang mana kewenangan pemerintahan pusat, mana provinsi, kabupaten/kota, tetapi masih saja ada, sehingga disebut bermasalah. Dan umumnya yang bermasalah itu Perda-perda yang sebelum Undang-undang No. 32 yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 memang di undang-undang itu tidak ada pembatalan Perda, dan setelah Undang-undang No. 32 itu tidak terlalu banyak, memang ada, tadi disebutkan memang ada yang lucu-lucu, ada pajak retribusi pemetik teh di daerahnya Pak Deding ini, Pak. Bahkan, Pak, ada 17 Perda yang dibatalkan itu adalah Perda tentang retribusi administrasi kartu ternak, jadi setiap ternak itu ada kartunya, ayamnya 13, bebeknya 15 ada kartunya. Itu yang terjadi. Dan setiap kartu itu ada retribusinya. Nah, itu yang ada harganya. Memang waktu ketika mau dibatalkan, Pak, ini apa-apaan begitu kok soal ternak saja kok diatur, lalu kami katakan sebetulnya tidak ada masalah ternak-ternak itu diatur, karena di Belanda pun itu ada poheswat(?) Undang-undang tentang Burung. Burung beneran, Pak. Ada Poheswat di Belanda itu, tetapi memang maksudnya untuk mengatur kebijakan, perlindungan, kesehatan, sama seperti di DKI kan untuk memelihara burung itu harus ada punya sertifikat. Nah, hal-hal seperti itu terakhir nampaknya sudah mulai berkurang. Tetapi tadi bahwa memang pemerintahan daerah itu berhak dan memang kata-kata untuk atribusi ini ada kata berhak, memegang kekuasaan dan lain sebagainya. Nah, ini penting sehingga tidak ragu bagi pejabat tertentu bahwa dia itu sebetulnya berwenang atau berhak.

Nah, selama ini yang tadi disampaikan oleh Pak Zak Rahadi yaitu menunggu begitu ada undang-undang belum ada PP, belum ada peraturan presiden mungkin lalu tidak berani untuk membuat peraturan pelaksananya di daerah, menunggu. Nah, ini sekedar untuk pengalaman kami dalam bersama-sama instansi membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan perlunya kami mencantumkan yang diberi kewenangan dan yang diperintahkan.

Sekedar tambahan mungkin, Pak.

KETUA RAPAT : Baik. Atau barangkali juga kenapa ada keperluan untuk mencantumkan diberi kewenangan ini untuk ...(tidak dilanjutkan)... ya jangan sampai justru ada lembaga yang tidak berwenang melakukan, begitu. Ada pemikiran begitu. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Pimpinan. KETUA RAPAT : Ya, silakan. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Ya ini sekedar penajaman saja sehingga kita yakini apapun nanti diputuskan itu yang terbaik dengan uji pemikiran bersama. Begini, pasal ini kan lahir untuk mencakup peraturan yang di luar yang sudah disepakati di Pasal 7 sebelumnya, hirarki itu kan? Kemudian ada lagi kita berikan ruang untuk kemungkinan masuknya ketentuan-ketentuan yang sekiranya di luar itu, sehingga dia tetap punya legalitas. Kan begitu logikanya. Tetapi di sisi yang lain juga kita juga jangan sampai menciptakan sebuah kondisi dimana ruang itu dibuka justru yang dilahirkan nanti adalah konflik-konflik akibat kata kewenangan ini begitu loh. Karena bagaimana pun juga praktek yang sudah ada sekarang yang sudah kita lihat yang tidak tegas saja disebut seperti ini,

12

Page 14: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

itu sudah memperlihatkan konflik yuridis yang cukup banyak di daerah, di daerah terutama yang kami sampaikan. Dan saya kira kalau dikembalikan kepada yang awal ini kan hal yang sangat khusus, memang khusus di luar yang sudah disepakati sebelumnya hirarki itu. Karena itu memang hanya yang diperintahkan saja. Jadi yang diperintahkan saja, jangan dibuka lagi, kalau sudah ngomong kewenangan, ini kewenangan saya, sudah kewenangan saya susah itu. Bahkan beda pemerintahan saja berganti kepala daerah itu dia bisa bikin peraturan gubernur atau peraturan yang lain yang belakang itu dicabut yang sudah berjalan itu menjadi bermasalah, kasus tower misalnya di Bali, saya ambil contoh kasus-kasus hukum yang ada di Bali, itu sesuatu yang sebelumnya sudah dibolehkan, keluar Bupati yang baru dikeluarkan aturan berikutnya, ini dicabut, akhirnya jadi sengketa. Nah, saya kira aspek kewenangan ini tidak usah saja, karena di sini kita batasi karena dia sifatnya khusus, jadi yang hanya diperintahkan saja dalam peraturan yang di atasnya, itu saja yang boleh dijalankan, di luar itu ya jangan, nanti kan khawatir kita abuse of power juga. Saya kira mungkin itu pemikirannya, ya ini kita tajamkan saja. KETUA RAPAT : Yang lainnya? Saya rasa sudah hampir sama ya untuk memang kita sangat memahami penjelasan dari Pemerintah, tetapi tentu juga kami berpikir dan melihat bahwa rumusan yang di DPR juga sebetulnya sudah mencakup ya apa yang selama ini terjadi begitu dengan beberapa kewenangan yang memang bisa dilakukan untuk melahirkan sebuah produk hukum begitu, tanpa harus secara eksplisit dicantumkan begitu, kira-kira seperti itu, sehingga dua kebutuhan substansialnya sebetulnya sudah dianggap terwadahi dengan rumusan yang diajukan oleh DPR ini begitu. Itu yang pertama. Yang kedua, ya berkembang tentang ini, Pak Ketua Badan legislasi ini menyampaikan ada manfaat dan mudharatnya, nampaknya ini kita masih ini sehingga kalau teman-teman bisa sepakat dan untuk Pak Dirjen mewakili Pemerintah juga bisa setuju jadi kita bisa putuskan untuk ini.

Iya, Pak? Masih ada? Atau barangkali ada escape, jadi kalau kelihatannya teman-teman fraksi ini sudah bisa memahami lah, tetapi tentu kita juga punya reasoning yang mungkin pihak Pemerintah juga bisa memahami soal ini.

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, Pak Pimpinan dan anggota yang saya hormati, Memang kami juga sangat memahami, apalagi tadi kata bijak dari Pak Mul untuk dilihat mudharat dan manfaatnya, tadi dikhawatirkan dengan ada kata kewenangan itu menjadi lebih luas sehingga bisa mencapai mudharat yang lebih luas, tetapi juga kita melihat kalau tidak ada kata ini, ini juga dapat terjadi kesempitan. Kesempitannya adalah kesempitan itu bisa juga menjadi mudharat yakni bahwa kalau menunggu perintah saja ini bisa terjadi stagnan, dia menunggu. Tadi seperti digambarkan ya belum ada PP, belum ada perintah peraturan yang lebih tinggi, lalu menunggu sehingga stagnan. Tetapi kalau dia disebut diberi kewenangan dan kewenangan itu tadi memang ada ya mudah-mudahan ya tidak terjadi kemudharatan dan tidak terjadi kesempitan. Nah, ini agak sedikit luas, nanti rambu-rambunya tentu ada di materi muatannya, rambu-rambunya lagi di kewenangan ya materi muatannya apa dan khusus mengenai peraturan daerah itu sebetulnya sangat jelas bahwa mana kewenangan pusat, mana kewenangan provinsi, kabupaten/kota. Nah, ini agar hal itu yang bisa kita raih, Pak. Jadi ada khawatir timbul kemandegan dan justru ini menjadi sempit, dan sempit itu menjadi mudharat begitu ya. Itu sekedar tambahan. Mungkin Pak Dirjen mungkin ingin menambahkan. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (ABDUL WAHID) : Terima kasih Pak Dirjen. Sebetulnya yang kita bahas ini kan ayat (2) dari 7A, jadi tidak ada persoalan lagi dengan Perda, Perda sudah selesai. Mengatur(?) rapat saja Perda itu boleh, sepanjang mengenai substansi yang dia punya kewenangan seperti itu Undang-Undang Dasar, menjalankan. Itu pilihan-pilihan ya. Kita kan sekarang otonomi luas, biarkan mereka punya kekuasaan yang seluas-luasnya untuk mensejahterakan masyarakat, sepanjang itu, nah itu lagi, sesuai dengan aturan yang lebih tinggi dan sebagainya, ada kontrol begitu. Tetapi kewenangan itu sudah diberikan oleh Undang-Undang Dasar, itu pilihan kita itu, seluas-luasnya. Dan dia dikontrol nanti kewenangannya itu menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya.

13

Page 15: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

Perbantuan, kalau namanya perbantuan mesti dari atas. Terus menjalankan kekuasaan dari yang lebih tinggi pasti menunggu itu, tetapi kalau untuk mensejahterakan masyarakatnya sesuai dengan kewenangannya dia boleh saja sepanjang mengenai itu, dengan mengingati aturan yang lebih tinggi. Bahwa masih terjadi begitu, artinya itu perlu diuji, ada yang mengontrol baik oleh Pemerintah maupun oleh lembaga itu tadi. Jadi sebetulnya yang ayat (2) itu sebetulnya dari Pasal 7A yang diusulkan oleh Pemerintah yang anda setuju itu dari ayat (1), begitu, Pak. Jadi mencakup peraturan MPR, DPR, itu yang dijelaskan diberi kewenangan. Kalau itu dibuang, misalnya Mahkamah Agung, Mahkamah Agung itu diberi kewenangan oleh Undang-undang Mahkamah Agung untuk membuat aturan yang tidak jelas mengenai hukum acara, boleh itu, kalau di Jepang di konstitusi malah. Misalnya di MPR, MPR ada mengenai MD3 itu kewenangan untuk mengatur. Jadi sebetulnya ayat (2) ini menjelaskan yang 7A ayat (1), jadi kata-kata ini tidak berlebihan, kalau nanti dihilangkan bagaimana kewenangan MK misalnya yang harus mengatur mengenai peraturan hukum acara atau yang kurang tersebut. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Ini membantu sebetulnya, penjelasan ini membantu tadi mungkin ada semacam untuk error juga sedikit. Ini sebetulnya bermula dari pasal tentang hirarki kan? Tentang hirarki kita sudah jelas, peraturan menteri ini tidak masuk dalam hirarki, kemudian masuk dalam Pasal 7A kan begitu, termasuk di dalamnya dengan menyisipkan setelah Bank Indonesia. Jadi yang sekarang sedang kita bahas itu me-refer pada Pasal 7A yang dimaksud tadi, begitu, Pak. Yang Pasal 7A kalau saya bacakan sekali lagi, jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), yang hirarki itu, yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Peraturan Menteri, sampai akhir. Ya, itu sudah jelas ya. Nah, kemudian baru ini ayat berikutnya. Jadi memang kewenangan yang dimaksud di sini ini, ya? Jadi sebetulnya secara ini tidak ada masalah, tetapi kalau memang membutuhkan penjelasan soal tadi itu ada kekhawatiran dan sebagainya saya pikir ini penting sebagaimana yang disampaikan teman-teman tadi, ini bisa masuk di penjelasan, begitu. Nah, itu nanti kita rumusannya dibuat begitu. Saya rasa Pak Bukhori bagaimana, jadi kita mau ketok ini? F-PKS (BUKHORI YUSUF, Lc., M.A.) : Terima kasih Pimpinan. Yang saya hormati Pimpinan Panja dan Pak Dirjen beserta seluruh jajaran, Saya mohon di-review, mungkin ingatan saya salah atau ingatan saya adalah kurang tepat, seingat saya kesepakatan terakhir kemarin pada hari terakhir kita Rapat Panja, Rabu, itu adalah Pasal 7A yang baru saja Pak Ketua bacakan tadi itu nanti pada gilirannya akan menjadi ayat (2) dari Pasal 7 ya, lalu kemudian Pasal 2 ini, Pasal 2 yang sedang kita perbincangkan panjang ini dengan berbagai macam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh Kementerian mengacu kepada Undang-undang Kementerian Negara akan dimasukkan di dalam penjelasan. Mohon sekali lagi di-review risalah rapatnya, apakah ingatan saya salah atau betul. Sebab kalau memang itu betul apa yang kita bicarakan dari awal tadi tidak relevan begitu. Saya dari tadi belum tune in, begitu loh, karena seingatan saya begitu. Tetapi ketika setelah saya mendengarkan Pak Wahid terakhir ini jadi saya memberanikan untuk menanyakan ini.

Terima kasih.

KETUA RAPAT : Sebagian besar itu tepat, Pak. Sebagian besar artinya memang kemarin kita sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan Permen itu dari hirarki begitu ya, kemudian menempatkannya pada Pasal 7A ya ayat (1), nanti runutnya nanti akan diperbaiki dengan memasukan peraturan menteri di dalamnya. Nah, kemudian juga disepakati untuk peraturan menteri memang kita waktu itu berdebat perlu penjelasan,

14

Page 16: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

begitu. Sepakat juga, meskipun ada yang keberatan kok hanya peraturan menteri yang dijelaskan begitu. Nah, itu nanti dalam penjelasan. Nah, kemudian yang sekarang kita bahas itu DIM-nya, Pak, DIM No. 66 karena terkait dengan ini yaitu menyangkut 7A ayat (1) itu. F-PKS (BUKHORI YUSUF, Lc., M.A.) : Saya mohon dicocokkan kepada yang menulis, apakah betul atau tidak. TENAGA AHLI DPR (SENSI) : …(tidak menggunakan microphone)… F-PKS (BUKHORI YUSUF, Lc. M.A.) : Pertanyaan saya apakah klausul itu memang masih tetap di dalam batang tubuh ataukah waktu itu sudah kita sepakati masuk ke dalam penjelasan. KETUA RAPAT : Ini batang tubuh kalau ini. Ada dua rumusan, Pak. F-PKS (BUKHORI YUSUF, Lc., M.A.) : Karena memang masih masuk batang tubuh, saya ingin memberikan satu komentar sedikit. Itu tadi yang dijelaskan Pak Wahid tadi sangat membantu apa dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan oleh ayat (2) Pasal 7A. Yang pertama saya ingin mengomentari tentang kalimat jenis, kalau tadi dimaksudkan bahwa yang dimaksudkan itu adalah pendelegasian dan kewenangan yang diperintahkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7A ayat (1) berarti ayat (2) ini kan sebenarnya adalah suatu aturan-aturan peraturan perundang-undangan yang diberi kewenangan atau yang diperintahkan oleh Pasal 7A ayat (1) kan? Betul, Pak? Bukan undang-undang yang lain? Dan juga undang-undang yang lain kan? Maka sebenarnya pengunaan kata jenis ini menjadi menjadi kurang relevan. Mengapa? Mohon maaf ini, kata jenis itu, Pak, bahasa Indonesia yang mengutip dari bahasa aslinya dari bahasa Arab dia, Pak. Iya betul ini. Kalimatnya jim, nun, syin, jenis, bahasanya jenis, begitu. Nah, kalau kemudian jenis itu maksudnya adalah rumpun, Pak, dalam bahasa arab itu, makanya manusia itu jenis, jenisnya bukan jin. Jin banyak ada jin bagus, jin jelek dan lain sebagainya. Manusia, ada manusia bagus, ada manusia jelek dan seterusnya. Nah, kalau itu peraturan perundang-undangan yang merupakan delegasi atau diberi kewenangan oleh undang-undang lain dia sudah bukan rumpun lagi, turunan daripada rumpun. Nah oleh karena itu, penggunaan kata jenis di dalam ayat (2) ini menjadi tidak relevan karena itu adalah rumpun, membentuk rumpun. Kapan kemudian jabaran rumpun? Sehingga kalimat jenis ini sebaiknya di-delete saja, jadi peraturan perundang-undangan. Ini yang pertama, komentara saya yang pertama, Pak. Yang kedua adalah terkait dengan kalimat kewenangan, tadi kan memang kita mengkhawatirkan terhadap implementasi. Saya contohkan di Sumatera Selatan, Pak Dirjen orang Sumatera Selatan. Di daerah Oku Timur ini, Pak, ada kurang lebih sekitar 63.000 ini adalah semuanya adalah berkaitan dengan masalah surat-surat kewenangan-kewenangan yang menurut Bupati itu adalah kewenangan dia atas dasar perintah otonomi daerah sehingga menimbulkan ada sekitar 3.000 hektar dan 3.000 sertifikat dan 3.000 konflik, itu sekarang, ini ditanpa dengan diperintahkan kewenangan, tanpa diberi kewenangan. Nah, ini kekhawatiran itu juga sebenarnya perlu diyakinkan bahwa itu tidak akan terjadi. Makanya tadi saya bisik-bisik dengan kawan kami, apakah tidak semakin delodro, bahasanya orang Jawa Timur, apa tidak semakin menjadi-jadi? Tetapi di sisi lain kami juga memahami bahwa ranah terhadap otonomi daerah itu jangan sampai juga mengekang, kalau kalimat perintah dengan sendirinya saja itu memang semangatnya adalah sentralistis itu adalah zaman lalu lah, masa lalu, yang kita perlu membuka keran, tetapi jangan sampai keran yang kita berikan ini menurut istilahnya Pak Mul tadi mudharatnya lebih besar. Ini memang dengan demikian menurut saya memasukan kewenangan di dalam batang tubuh di sini di dalam klausul ini memang ada manfaatnya, cuma khawatirnya menimbulkan mudharat yang lebih besar. Saya dalam

15

Page 17: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

pertimbangan hukum itu yang saya pelajari jika mudharat yang sudah nyata dibanding dengan adanya kemaslahatan yang masih mungkin diduga maka mudharat yang nyata itu mesti dipertimbangkan lebih awal atas kemaslahatan yang akan kita peroleh. Jika demikian maka berarti mendelegasikan atau menghilangkan kalimat kewenangan ini untuk dimasukan kepada penjelasan misalnya itu lebih relevan. Itu komentar saya yang kedua. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Terima kasih, Pak Bukhori. Jadi sebetulnya sudah lengkap. Kemudian terima kasih juga kepada prinsipnya, mungkin usulnya. Memang jenis akan mengganggu, kemudian kata selain ini. Jadi baik usulan DPR maupun usulan perubahan dari Pemerintah, kalau memang sepakat kita hilangkan jenis dan selainnya, begitu ya? Jenis-jenis ini kan menunjuk ya, nanti tolong diusul. Kalau selain sudah sepakat ya dicoret, Pak, ya? Selain ya. Nah, untuk jenis ini tadi ada pemahaman dari Pak Bukhori itu tetapi maksudnya jenis ini yang dikelompokkan sampai ke peraturan desa itu, kepala desa itu kira-kira, ya jenis itu. Makanya itu masuk di situ, Pak. Jadi itu sebetulnya tidak perlu dicoret, ini kan arahnya ke sana, jenis peraturan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 kan, yang kemarin masuk jadi materi di batang tubuh kan, Pak, ya? Itu maksudnya di situ, Pak, ya. Itu kan jenis itu sampai ke tingkat desa, Pak. Nah, itu. Itu keberadaannya mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diberi kewenangan atau diperintahkan, nah DPR tanpa diberi kewenangan atau langsung diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Usul dari Pak Bukhori tadi itu soal kewenangan ini di penjelasan. Atau justru kalau kita mau mencantumkan kewenangan kita memerlukan penjelasan untuk membatasi kewenangan seperti apa? limitatif tadi, sebaliknya kalau menurut saya. Jadi sekarang hanya ada dua opsi begitu, semula tanpa diberi kewenangan atau/atau sebagaimana usulan Pemerintah diberi kewenangan atau, tetapi dengan penjelasan yang, ya terus terang, harus jelas begitu tentang kewenangan itu. Nah, itu saja, kami persilakan ini, ini yang terakhir, putaran terakhir, jadi kita akan mengambil keputusan. Ya, silakan dari Fraksi Partai Golkar. F-PG (NURUL ARIFIN, S.Ip., M.Si) : Terima kasih, Pimpinan. Kalau menurut saya sebetulnya apa sih, tidak diberi kewenangan juga hak, sebenarnya itu atau yang membuat kebijakan itu kan ada pada pejabat yang bersangkutan, Pak, jadi kenapa lagi? Ini kan dia bisa membikin kebijakan-kebijakan itu. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Tambahan sedikit lagi. Saya kira apa yang dikhawatirkan tadi misalnya kayak Bank Indonesia dan lain sebagainya itu diundang-undang sendiri sudah mengatur soal PBI itu memang sudah ada. Di KPU pun untuk soal-soal ini diatur melalui Peraturan KPU, sudah ada di dalam undang-undangnya. Jadi saya kira itu sudah ada. Yang kita khawatirkan sebenarnya bukan di lembaga yang sudah itu, yang kita khawatirkan itu di tingkat gubernur, bupati, walikota sampai kepala desa ini, apalagi ini ada kadang-kadang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini akan bisa menjadi kita memberikan sebuah kekuasaan yang cukup besar untuk penafsiran kekuasaan secara politik di daerah, Pak. Karena kami orang politis saya merasakan guru saja, kebetulan kami sebelumnya Komisi X, melihat ketika itu diserahkan kepada daerah pengaturan guru itu sudah bupati bebas dia membuat peraturan, Perda macam-macam sekehendak dia tanpa ada standarisasi yang sudah distandarkan Undang-undang Sisdiknas itu, Ketua. Kenyataannya seperti itu. Apalagi diberikan begini lagi, tambah lagi. Jadi ini kita ngomong dampak daripada undang-undang itu tadi setelah dipraktekan. Mungkin kami memahami, kami pun setuju pemahaman itu, tetapi ketika implementasi itu di lapangan yang kami temui yang belum ada begitu saja kenyataannya begitu. Undang-undang Sisdiknas sudah jelas syaratnya ini-ini, tetapi kemudian mereka membuat ketentuan di bawah memungkinkan semua itu dioper ke sana ke mari, itu misalnya. Saya kira itu mungkin penguatan. Jadi pemahanannya kita sama tinggal kekhawatiran itu saja. Ke mana saja, sehingga amanlah kita semua.

16

Page 18: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Pak Rahadi. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Jadi seperti dari awal ini supaya tidak menimbulkan kontradiksi-kontradiksi, saya kira antara delegasi dan atribusi memang ini memang harus dilihat secara jernih, itu, Pak, ya. Tadi saya baru mengambil contoh soal Perda yang tentunya tidak diberi kewenangan baru diperintahkan pun jadi persoalan yang sampai sekarang tidak selesai, misalnya di lingkungan BI misalnya, kan cukup banyak bank-bank pembangunan daerah di daerah yang tadinya dibentuk oleh Perda soal apa dan lain sebagainya, akhirnya dari BI juga membuat suatu kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan Perda. Ini kalau ini muncul nanti BI bisa membuat peraturan-peraturan sesuai kewenangannya yang menggerus kepentingan-kepentingan di daerah, karena link jalur komandonya itu tidak lagi di peraturan daerah bank-bank daerah itu, karena itu juga bank jalurnya adalah ke Undang-undang Perbankan. Kalau itu nanti misalnya itu terjadi itu biasanya kan lebih kencang, Pak, di bawah, Pak. Sebagai contoh kasus misalnya, mohon maaf, di tempat Pak Rindhoko ini seperti …(tidak jelas)… Bapak dan Ibu sekalian, ini bukan porno ini. Ini, Pak Rindhoko, ini. Pak Rindhoko, saya mau ceritakan ini ada suatu kewenangan yang melekat di pemerintahan daerah yang kebablasan, mohon maaf, ini mohon maaf sekali ini, ini contoh kasus di Batu misalnya, jadi mohon maaf ini, mau ngomong tidak tega kan, tetapi ini harus dijelaskan ini contoh konkrit. …(tidak jelas)… ngomong belum diberi kewenangan dengan peraturan-peraturan yang ada dari dinas sosial soal, mohon maaf …(tidak jelas)… itu sampai-sampai, mohon maaf, Pak, mohon maaf sekali lagi, itu sampai-sampai kutangnya dikunci, Pak. Perda itu, Pak. Di kebon itu, Pak. Ada BH yang dalam posisi terkunci kan tidak …(tidak jelas)… persoalan seperti itu kan keblabalasan kewenangan tadi, Pak, belum ada kewenangan apalagi sudah ada kewenangan mungkin yang dikunci yang lain lagi, Pak. Ini mohon maaf, Pak, ini kita memberi contoh-contoh yang ekstrim dari mulai contoh yang sangat elegan, dari mulai daun teh tadi, Perda-perda, kemudian APBD, kemudian kewenangan seperti itu. Ini supaya, mohon maaf, saya terpaksa sampaikan itu, mohon maaf, ini sangat tidak manusiawi sekali sebetulnya, itu terjadi di Batu Malang itu.

Ya yang semula saja, jadi daripada ini kewenangan kebablasan dan sebagainya saya sepakat kembali ke semua, memang maksudnya betul, Pak, untuk memecahkan kebekuan ketika belum ada PP Perda dibuat, belum ada PP peraturan dibuat supaya ini bisa berjalan, tetapi kita belum menemukan suatu reasoning yang kuat. Jadi, mohon maaf, saya tahu maksudnya tahu, Pak. Sangat paham, tetapi di Indonesia apakah ini sudah bisa dioperasionalkan. Terima kasih. KETUA RAPAT : Masih ada tambahan terakhir? Ya, manga. F-PG (H. ANDI RIO IDRIS PADJALANGI, S.H., M.Kn.) : Terima kasih Pimpinan. Saya ingin melihat yang muncul dalam perubahan itu kan kata selain-nya kok mau dihapus, Ketua? Selain itu memang dihapus? Jadi kalau dihapus ini pertanyaan, kan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud mempunyai kekuatan hukum mengikat diberi kewenangan, berarti kalau kata selainnya dihapus saya berpikiran berarti ada undang-undang di atas ini, begitu. Berarti undang-undang di atas itu berarti undang-undang ya Pasal 7A di atasnya begitu. Terima kasih. KETUA RAPAT : Jadi, penjelasannya kemarin kita sudah putus. Baik, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, Saya kira Pak Dirjen juga, rekan-rekan yang lain tadi sudah bisa memahami, bisa menerima, Pak, ya? Jadi untuk kembali kepada rumusan yang lama begitu, dengan pemahaman seperti tadi karena prakteknya ini sebetulnya berjalan tanpa harus secara eksplisit dicantumkan di sini. Bahkan kalau saya ektrimnya ini diberi kewenangan dalam arti atributif dan diperintahkan delegatif itu agak mengganggu sebetulnya kan

17

Page 19: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

kita berbicara apakah selain katakan lah begitu selain dalam hirarki ini ada peraturan perundang-undangan itu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Di situ titik sebetulnya. Delegasi harus diperintah itu kan itu sebetulnya teori hukum saja, ada dua atas perintah undang-undang delegatif atau atributif, begitu kan. Jadi sebetulnya dengan mengikat saja sudah cukup, jadi kita ini bicara dalam konteks selain peraturan perundang-undangan yang dalam hirarki ini ada peraturan lain, apakah itu mempunyai kekuatan hukum atau tidak, nah di situ sudah dijelaskan. Tetapi kalau harus diberikan penegasan secara eksplisit soal kewenangan seperti tadi digambarkan oleh teman-teman, ini akan menimbulkan problem baru terutama di daerah begitu lah, yang nyatanya seperti itu padahal fungsi hukum ini untuk mengantisipasi, mengatasi problem seperti itu, sambil barangkali ini bisa diatasi oleh pembinaan dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, jadi tidak harus secara eksplisit dicantumkan di sini. Pak Dirjen, ya? Ya usul, tetapi arahnya ke situ, Pak, ya. Jadi mohon maaf ya. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI:

Jadi bukan memaksa, meminta, Pak, ya. Jadi saya kira tadi sudah kita dalami, sebetulnya memang tidak ketentuan ini yang memberikan kewenangan, ini hanya mengatakan kalau peraturan selain peraturan yang disebutkan tadi itu dia dapat mempunyai kekuatan hukum mengikat jika memang dia berwenang membuatnya, jadi bukan dia diberikan kewenangan, jika berwenang membuatnya dan yang kedua atau diperintahkan peraturan perundang-undangan, karena biasanya itu kita menilai sebuah peraturan perundang-undangan itu didasar hukum mengingat itu kalau dia memang berwenang atau dia diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.

Kalau memang ini tetap apakah tadi kekhawatiran dan implikasi mudharatnya itu kita cantumkan di penjelasan yang diberikan kewenangan dengan kewenangan yang tidak melampaui batas-batas ketentuan seperti itu. F-PKS (BUKHORI YUSUF) : Boleh saya bertanya, Bapak? DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Iya. F-PKS (BUKHORI YUSUF) : Saya bertanya ke Pak Dirjen, yang dimaksud Bapak tadi ayat (2) ini adalah sekedar memberikan penjelasan terhadap ayat (1) Pasal 7A ataukah melalui ayat (2) ini diinginkan adanya peraturan perundang-undangan lain yang bukan masuk di dalam Pasal 7A ayat (1). Kalau jawabannya adalah hanya sekedar memberi penjelasan sebagaimana tadi Pak Wahid sampaikan, hanya sekedar memberi penjelasan yang kesimpulannya adalah yang dimaksud peraturan perundang-undangan yang diberi kewenangan yang diperintahkan ya sebagaimana runut di sini mulai MPR dan seterusnya sampai desa tadi itu, saya kira tidak ada masalah apa-apa itu. Iya toh? Tetapi kalau yang dimaksud adalah ayat (2) ini bisa berimplikasi menimbulkan peraturan lain bukan yang ada di dalam Pasal 7A ayat (1) itu yang kita perdebatkan. Itu, Pak, tolong dijawab, mana yang dimaksudkan. Terima kasih. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Kan yang itu, tadi karena kata selain itu sudah dihapuskan, jadi yang kita maksudkan itu yang di ayat (1) itu. KETUA RAPAT : Silakan Pak Mul.

18

Page 20: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Ya, tawaran perubahan ini justru saya menjadikan apa, karena kalau ada tawaran penggantian dari kata-kata diberi kewenangan diubah menjadi berwenang ya belum juga yang bersangkutan berwenang bisa terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan itu ya sebetulnya tidak sudah dijelaskan pun pasti hanya pihak yang mempunyai kewenangan membikin itulah yang bisa, sebenarnya tidak usah ditulis itu pun sudah termasuk bahwa hanya mereka yang mempunyai kewenangan itulah yang bisa menghadirkan suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan di sini, tidak mungkinlah kalau orang tidak berwenang bisa mengeluarkan produk. Jadi menurut saya itu tidak usah ditampilkan, nanti malah membingungkan itu nanti, karena itu sesuatu yang melekat, sudah pasti ya kalau peraturan DPR ya pasti, dari Paripurna DPR akhirnya diputuskan dan sebagainya itu sudah melekat, itu berwenang di situ, dan tidak usah ditulis bahwa ada kata yang berwenang yang membuat undang-undang begitu. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Jadi sudah jelas ya baik dari Pak Ustad, jadi kembali ke asal ya? Baik, ya sepakat ya? DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Masih ada kata kewenangan ini, Pak. KETUA RAPAT : Tidak ada, Pak, jadi kembali ke semula, jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7A diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Baik, setuju? KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (ABDUL WAHID) : Belum, Pak. Ada persoalan, Pak, Mahkamah Agung itu sudah diberi kewenangan dalam undang-undangnya, MK juga diberi kewenangan, dan bupati tidak ada yang memberikan, paling nanti yang berlakunya atau yang diperintahkan. Kan ada dua itu, diberi kewenangan atau yang diperintahkan. Bupati yang kita khawatirkan itu tidak mungkin tidak ada itu, tidak pernah ada yang diperintahkan itu, semuanya punya kewenangan, tidak ada. Diperintahkan pendelegasian dari peraturan daerah atau perbantuan dari daerah. Maa, Pak, ya, diberi kewenangan atau diperintahkan. Bupati, gubernur itu tidak ada kewenangannya di perundang-undangan, yang ada kan Perda, saya di sini kan cuma gubernur, bupati, walikota, yang punya kewenangan mandiri, kewenangan atributif itu Perda, Pemerintahan Daerah, DPRD, dan bupati, walikota semuanya itu menjalankan Perda, diperintahkan. Jadi kalau ini dihilangkan resikonya pada …(tidak dilanjutkan)… BI itu punya kewenangan mandiri, DPR itu punya kewenangan mandiri untuk membuat peraturan di dalam. Jadi itu saya tambahkan, Pak, saya mengganggu, tetapi seluruhnya, Pak, kami dibelakang Pemerintah, Pak. Mohon kalau belum selesai digantikan saja sebab bisa resikonya …(terpotong interupsi). KETUA RAPAT : Maaf, sebelum Pak Wahid ya, jadi ini nampaknya juga Pemerintah masih terus berargumen begitu, jadi memang mungkin apakah ini sebuah kebutuhan yang sangat rigid bagi Pemerintah sehingga saya menawarkan bagaimana sebaiknya kita pending, begitu, untuk dilakukan semacam …(tidak dilanjutkan), diendapkan dulu soal ini, pasal ini, ya? F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Saya usul dulu, Pak.

19

Page 21: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Sebelum diendapkan, silakan. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Terima kasih. Saya hanya mencoba untuk mengajak kita, saat ini kita membahas bagaimana mendesain peraturan perundang-undangan ya, jadi penyusunan peraturan perundang-undangan yang sebetulnya makna kewenangan-kewenangan tadi dibicarakan itu sudah masuk di dalam undang-undang yang berkait dan institusi itu. Ini kan contohnya kita menyebut ada Mahkamah Agung dan lain sebagainya sampai ke bawah lah sampai desa tadi. Di dalam Undang-undang Mahkamah Agung sampai Undang-undang tentang Desa di situ terletak ada kewenangan-kewenangan dimuat, ada semua. Jadi tidak perlu ada kata-kata di sini itu sudah termuat di sana, kalau ini masukan lagi, ini apakah ada yang menyalahkan berlebihan atau tidak, tetapi itu menambah sesuatu ruangan yang membahayakan terhadap mereka yang mengambil penyimpulan-penyimpulan yang keliru. Ini membahayakan. Makanya sebetulnya kalau dalam rangka proses kita menjalankan bagimana suatu proses perundang-undangan tersusun ini segala sesuatu aturannya adalah ya tentunya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang di atasnya, diperintahkan dari situ. Jadi kami kira kita bicara kewenangan itu tidak ada di sini, tidak pada proses kita PPP ini tidak mengandung kewenangan-kewenangan itu. Kewenangan-kewenangan itu sudah termuat di dalam undang-undang yang terkait yang bersangkutan. DPR punya kewenangan apa ya termuat di Undang-undang DPR. MPR punya kewenangan apa ya punya di situ. Kami kira tidak anu, justru sebetulnya ini tadi sejak tadi saya mau ngomong ke situ tetapi biarlah ini berjalan dulu, cuma ya itu, jadi rasanya kalau masih akan ke sana kurang pas itunya. Tadi saya coba saya singgung ya dipertimbangkanlah dengan manfaat dan bahayanya dan sebagainya. Itu sebetulnya itu untuk membawa itu semua. Ini saja yang saya sampaikan. Terima kasih. KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Ketua Baleg. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Tambah lagi sedikit saja, Pimpinan, biar nyambung. KETUA RAPAT: Iya. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Jadi kalau memang tadi dibagi soal masalah kewenangan dengan diperintahkan itu sebagai dua hal yang sepertinya susah sekali kalau itu terpisah seperi suami-isteri diganti saja sudah sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, begitu saja. Otomatis kalau kewenangan yang ada di lembaga/badan sampai kepala desa itu juga kan memang dari peraturan yang lebih tinggi juga yang memberikan, tidak ada, jadi cukup dibuat sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kalau memang di situ memang sudah ada ya memang dia punya kewenangan, tetapi kalau di situ tidak ada ya jangan membuat kewenangan itu sendiri, kan begitu. Mungkin di situ saja kalau memang dikotomikan kata diperintahkan itu dengan kewenangan. Terima kasih. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Ya terima kasih, Pak. Sekali lagi saya memahami apa yang dimaksudkan Pemerintah, tetapi juga harus dipahami implikasi-implikasi kalau itu muncul nanti kewenangan itu ada di tangan lembaga atau siapapun juga yang

20

Page 22: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

berwenang ini malah bisa menimbulkan implikasi kurang baik. Sebagai contoh misalnya, Pak, misalnya bahwa ada suatu deskresi di pemerintahan daerah, misalnya, ya Pemerintah itu hanya bisa misalnya melepaskan sendok, garpu, bantal, guling yang milik pemerintah daerah, tetapi di atas itu misalnya mobil, rumah dan lain sebagainya itu tentunya kan ini harus ada aturan-aturan yang mengaturnya. Nah, kenapa ini ada perintah oleh undang-undang? Karena memang pemerintah daerah itu harus menjalankan perintah, tidak harus mendapatkan suatu kewenangan yang tentunya akan menimbulkan persoalan. Ya suka tidak suka, Pak, pemerintah daerah misalnya itu adalah di bawah rentang kendali Kementerian Dalam Negeri, termasuk DPRD-nya. Nah, karena ini perintah delegasi yaitu harus dipatuhi. Nah, kalau diberikan kewenangan, ini, Pak, yang saya khawatirkan, justru ini akan menimbulkan persoalan di tingkat bawah, nanti DPRD ada kewenangannya membuat peraturan sendiri, misalnya dia mohon maaf, uang pesangon bikin sendiri, akhirnya terkena lagi, yang ada aturannya saja sudah pada kebablasan, nah ini maksudnya ini memang harus berhati-hati. Nah, tadi Pak Wahid tadi mengatakan bahwa MK punya kewenangan, MA punya kewenangan, BI punya kewenangan, ini berbeda dengan lingkup yang distrata di lingkungan di luar itu pemerintahan itu di bawah rentang kendali dalam negeri, suka atau tidak suka ini aturannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 mengatakan seperti itu. Nah, karena di bawah rentang kendali Departemen Dalam Negeri, ini kita bicara soal contoh kasus untuk pemerintahan daerah, ya mau tidak mau harus tunduk dengan Kementerian Dalam Negeri dia harus menjalankan perintah, harus mendapatkan perintah, pendelegasian perintah, bukan kewenangan dia membuat sesuatu yang tentunya ini, yang ada perintah saja sudah terjadi berbagai bentuk pelanggaran, apalagi diberi kewenangan. Ini saya membayangkan implikasinya, Pak. Terima kasih, Pak. KETUA RAPAT : Baik, terima kasih Pak Rahadi. Jadi ini sebelum, Pemerintah masih tetap pada pendirian atau bisa menerima, Pak, dengan tadi penjelasan? Kalau menerima Alhamdulillah kita jalan, tetapi kalau tidak kita pending dulu ya? Sebelum Bapak, ada dari Pimpinan, silakan, Pak, tetapi mohon singkat, Kang, ya? WAKIL KETUA PANSUS (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS) : Terima kasih, Ketua. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pemerintah dan anggota Panja yang terhormat, Saudara-saudara sekalian, Memang kalau apa yang disampaikan oleh Pemerintah tadi kita juga bisa pahami, Pak, tetapi juga kami mengajak kita melihat ke Undang-Undang Dasar Negara kita khususnya Pasal 18 ayat (6) di sana dikatakan bahwa pemerintahan itu berhak, ya kalau memang sudah amanah di situ saya kira sudah cukup tidak mengalir tentunya, Pak, kecuali kalau ada pemahaman lain. Nah, pemahaman lain ini sebelum nanti diskors saya menyarankan tolong disiapkan saja argumentasinya, Pak, kajian-kajian ilmiahnya sekejap lah sehingga kita bisa mem-breakdown pasal tersebut ke dalam rancangan undang-undang ini. Begitu, Pak Ketua, terima kasih. KETUA RAPAT : Satu pemahaman yang sangat jelas lah mengantarkan kita untuk sampai pada titik temu sesungguhnya ya? Meskipun juga kita akan nanti pada akhirnya setelah pending ini sebaiknya tadi Pemerintah juga menyiapkan lah argument-argumen yang bisa kita pahami bersama, kemudian juga teman-teman mudah-mudahan ada solusi lah ya. Jadi kita sepakat untuk, Pemerintah, pending ya? Baik.

(RAPAT : SETUJU)

21

Page 23: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

Kita lanjut ke DIM No. 67 ya dan 68, dan 69. Ini kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), ini maksudnya pasal ya. Itu usul Pemerintah. Pemerintah mengusulkan dihapus karena tulisan ini sudah ditampung dalam DIM No. 64 ya. Silakan penjelasan Pemerintah. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Ya jadi DIM No. 67 kami melihat di DIM No. 64 itu sudah tertampung dengan rumusan, kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ketika menyebutkan bahwa hirarki-hirarki, ini belum kita ini kan lagi waktu itu, kan belum kita bahas 62, kemarin kita bahas 65 itu karena terkait dengan DIM No. 17, sehingga DIM No. 67 ayat (3) ini sudah ada di dalam DIM No. 64 ayat (3). WAKIL KETUA PANSUS (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS) : Oh, mungkin begini, Ketua.

Mungkin begini maksud Pemerintah saya kira usulnya kan memindahkan pasal kan, Pak, bukan men-drop ya? Saya kira objektif, cuma begitu mesti disebutkan DIM ini dipindahkan ke mana begitu, kan jadi tidak ada masalah sebetulnya. Jadi ada pembedaan saja, Pak. Memang kalau diatur lagi dia bertentangan dengan hasil Pansus, Pak.

Terima kasih.

KETUA RAPAT : …(tidak menggunakan microphone)… tinggal menyesuaikan ini ya? Tinggal menyesuaikan saja ini, Pak, ya?

(RAPAT : SETUJU) Kemudian DIM No. 68 …(tidak menggunakan microphone)…

(RAPAT : SETUJU) Kemudian DIM No. 69 … (tidak menggunakan microphone)… saya rasa bisa disetujui, Pak, ya?

Ada tambahan dari Pak Ketua.

KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD) : Ya, saya kira maksud daripada DPR bahwa ini dicantumkan disamping penegasan kan karena kita bicara hirarki sehingga tentu nyambung, begitu, jadi jangan terputus bahwa kita bicara hirarki, tentu ada pengujiannya ke mana.

Cuma tadi saya ingin tanyakan tadi kan sudah ada penjelasan Pemerintah bahwa sesuai konstitusi bahwa untuk peraturan yang di bawah undang-undang kan kepada Mahkamah Agung, saya tanyakan, kan sekarang ini memang kenyataannya Mahkamah Agung itu kan ada masalah klasik perkara yang menumpuk, oleh karena itu Mahkamah Agung meredusir konstitusi bahwa ada SEMA yang mengatur bahwa peraturan perundang-undangan yang bisa diuji itu kalau dikeluarkan enam bulan sebelumnya, ini kan betul-betul bertentangan dengan konstitusi, kan begitu? Dan dalam Raker dulu disetujui bahwa harusnya semua peraturan perundang-undangan yang diuji Mahkamah Agung itu juga semua peraturan tidak dibatasi masa berlakunya, jadi kapanpun dikeluarkan itu masiih bisa, karena itu mengganggu dan …(tidak jelas)… konstitusi. Oleh karena itu, saya tanyakan kalau memang secara konstitusionil bahwa kewenangan Mahkamah Agung itu tidak bisa, di dalam undang-undang ini tidak bisa langung bahwa undang-undang tidak bisa memberikan langsung kewenangan itu kepada pengadilan tinggi, saya ingin menanyakan kepada Pemerintah, boleh tidak kalau kewenangan Mahkamah Agung itu tidak atur dalam undang-undang bisa didelegasikan atau diserahkan kepada pengadilan tinggi untuk peraturan dari badan itu bisa, artinya Mahkamah Agung bisa mendelegasikan, iya, karena itu Mahkamah Agung yang punya

22

Page 24: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

kewenangan. Itu yang saya tanyakan kepada Pemerintah. Sehingga memang pada waktu saya bicara dengan Mahkamah Agung pun dan pakar-pakar juga ada masukan sebaiknya jangan semuanya kepada Mahkamah Agung, tetapi dengan aturan bahwa Mahkamah Agunglah yang bisa mendelagasikan, tetapi bukan langsung undang-undang ini. Itu mungkin yang saya tanyakan kepada Pemerintah.

Terima kasih. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Mungkin tambahan, Pimpinan. Jadi saya kira kalau kita ambil studi kasusnya itu pernah terjadi dalam penanganan sengketa Pilkada, di undang-undang yang dulu pernah itu kewenangan itu ada di Mahkamah Agung, kemudian diatur untuk sengketa di kabupaten/kota diselesaikan di pengadilan tinggi, tetapi memang Mahkamah Agung yang mendelegasikan kewenangan itu ke pengadilan tinggi gitu. Saya kira mungkin logika itu dipakai, tetapi kalau memang seandainya itu tidak ada dan sementara Mahkamah Agung sudah memberikan batas waktu enam bulan, saya kira tidak fair juga kalau untuk pengujian Perda ya, dan saya kira di sini memungkinkan tidak kita diskusikan di sini saja diatur batas waktu untuk pengujian ketentuan itu khususnya yang Perda, karena kalau memang itu misalnya dijadikan masalah itu, itu apakah memungkinkan atau tidak. Ini kan kita tinggal cari celah hukumnya, mungkin Pak Muchtar bisa membantunya ini soal masalah rentang waktu daluarsanya. KETUA RAPAT : Dua poin tentang delegasi Mahkamah Agung kepada pengadilan tinggi dalam pengujian Perda kabupaten/kota, yang kedua soal batas waktu, mohon respon dari Pemerintah. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, terima kasih. Pertama dalam DIM Pemerintah ini karena lingkup yang kita atur ini adalah tentang pembentukan peraturan perundang-undangannya, sehingga kami memberikan tanggapan bahwa ketentuan ini karena telah diatur di undang-undangnya, tidak perlu di sini tempatnya. Itu yang pertama patokan kami di dalam DIM No. 68 dan 69, jadi istilahnya maqomnya tidak di sini begitu ya. Hal yang disampaikan saya kira oleh Pak Sutjipto tadi tadi, itu pertama memang di Undang-Undang Dasar itu disebutkan oleh undang-undang kita bahwa pengujian di bawah undang-undang itu oleh Mahkamah Agung, kalaupun mungkin akan dibicarakan itu kami berpendapat tidak di dalam undang-undang ini, mungkin tidak substansinya. KETUA RAPAT : Termasuk substansi yang disampaikan Pak Ketua, Pak Tjipto dan Pak Gede tadi? DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Ya, jadi tidak di sini. KETUA RAPAT : Jadi maqomnya bukan di sini, tetapi di Undang-undang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ya, tetapi soal penegasan Mahkamah Konstitusi dan ini kan sebetulnya tidak ada yang salah, tidak ada masalah sebetulnya, ini kan penegasan saja, tidak mengatur di sini ya, Pak, ya. DIM No. 68 kita bisa sepakati ya? Ya, jadi pada semula ya? Baik.

(RAPAT : SETUJU) DIM No. 69 juga sama.

23

Page 25: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

(RAPAT : SETUJU) Baik. Dan menjelaskan bahwa itu bisa diatur dalam Undang-undang Mahkamah Agung tetapi ini sebagai amanat yang berkembang, ini penting, nah mungkin itu bisa dimana itu, Pak? KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD) : Ya, makanya yang sebagaimana ditanyakan oleh Pak Gede tadi, dan karena banyak persoalan-persoalan yang sekarang sudah timbul. Saya belum lihat apakah Undang-undang Mahkamah Agung, rasanya tidak mengatur, karena Mahkamah Agung keluarkan SEMA sendiri, yang SEMA itulah yang bertentangan dengan konstitusi dan juga beda banget dengan Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji seluruh undang-undang yang dikeluarkan tanpa batas waktu. Lah kita ini jangan sampai Mahkamah Agung itu meredusir konstitusi maupun undang-undang. Oleh karena itu di dalam Raker yang dulu itu ada dari PKS, Pak Muzammil ya kalau tidak salah, dan itu disetujui dalam Raker bahwa semua peraturan yang dikeluarkan itu tidak dibatasi waktunya, oleh karena itu kita jangan bahwa Mahkamah Agung meredusir, karena Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA, Pak, jadi tidak diatur di dalam Undang-undang Mahkamah Agung itu mengenai batas waktu itu. Ini kan berbahaya sekali, karena sudah banyak kasus yang terjadi, jadi banyak masyarakat yang dirugikan oleh Perda-perda khususnya yang karena sudah lewat enam bulan tidak bisa diuji, itu kan berbahaya sekali kan? Jadi masyarakat apalagi tahunya Perda keluar tetapi dia tidak tahu sudah lewat enam bulan, itu kan berbahaya sekali. Oleh karena itu, supaya itu bisa mengatasi masalah-masalah termasuk yang contoh Perda No. 110 itu yang korbannya sudah banyak. Oh, PP, sorry ya, PP No. 110 itu korbannya sudah sangat banyak meskipun belakangan sudah ada yurisprudensi ya, tetapi kan masih dipakai juga itu kadang-kadang. Ya, sudah dicabut dipakai lagi. Ya, betul, oleh karena itu supaya ya kita mengatasi persoalan, jadi kalau tadi penegasan tetapi bahwa substansi itu apakah bisa kita masukan di sini begitu bahwa yang diuji itu adalah penegasan adalah semua peraturan yang tidak dibatasi masa berlakunya, kapan keluarnya, kan begitu. Terima kasih. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Mungkin tambahan. KETUA RAPAT : Iya. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Saya kira yang perlu dipikirkan apakah memungkinkan, ini kan pemikiran, soal daluarsa daripada ketentuan peraturan perundang-undangan, kalau kita lihat dari asas hukumnya kalau setara isinya sama maka yang terakhir yang akan dipakai, kan begitu, kalau yang lebih tinggi itu yang lebih dipakai. Nah, ini kalau misalnya itu masih berlaku belum digantikan yang baru tetapi hak masyarakat ingin itu segera diganti karena memang tidak sesuai dengan hak-hak masyarakat, ini ruangnya dimana, kan begitu. Karena ada SEMA, saya juga tidak tahu, ada SEMA yang membatasi enam bulan, saya kira itu adalah SEMA itu dikeluarkan kan karena problem teknis di Mahkamah Agung akibat kasus yang menumpuk, perkara yang menumpuk, tetapi mengabaikan hak atau …(tidak jelas)… yang strategis seperti hak masyarakat sehingga hak-hak dia merasa terlanggar, ini dimana kira-kira kita bisa masukan. Karena toh juga Mahkamah Agung kan tunduk pada undang-undang, soalnya undang-undang itu kan dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan ini begitu loh, apakah tidak mungkin di peraturan perundang-undangan ini juga sekalian kita atur soal masalah batasan daluarsa hukumnya itu untuk diuji dan sebagainya. Kalau MK saya kira tidak ada batasan waktunya ya, yang hak angket yang lama saja masih bisa diuji. KETUA RAPAT : Terima kasih, Pak Gede.

Pak Mul.

24

Page 26: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Ini bukan perbedaan di dalam fraksi, bukan, saya memberikan anu sajalah ilustrasi saja, karena ini kita kan di dalam susunan di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, jadi kita jangan masuk kepada ranah yang nanti akan dimuat sebetulnya di Undang-undang Mahkamah Agung, kalau memang begitu nanti di Undang-undang Mahkamah Agung yang akan kita cermati jangan sampai keinginan-keinginan tadi bisa kita masukan, tidak perlu di sini, kalau menurut saya begitu. Di sini diberi amanat saja bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Begitu saja seperti yang sekarang ini. Jadi, kalau ini nanti dan kebetulan itu juga sedang ditangani oleh Baleg, Pak, jadi ini kita sama-sama jagalah, di situ ada beliau-beliau ini, apalagi ada Pak Ustad, itu penjaga gawang yang luar biasa. Jadi, maksud saya itu di situlah. Terima kasih. KETUA RAPAT : Pak Mul, jadi saya pikir semangatnya sama tidak ada problem, dan problemnya harus diantisipasi teratasi oleh undang-undang yang dibuat tetapi ada rezimnya begitu ya, rezim pembuatan perundang-undangan di sini, kemudian rezim tentang undang-undang organik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, saya rasa itu. Pak Ketua, make sense, Pak, ya? Ya, jadi amanat, tetapi ini catatan ya. Tolong Tenaga Ahli ini bikin catatan penting sebagai amanah Pansus RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya kita menginjak kepada DIM No. 70 ya. DIM No. 69 kan sudah, tetap kan. DIM No. 68 sudah kita ketok. DIM No. 69 juga sudah diketok. Sekarang Pasal 8 menyangkut materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi, semula, bisa dilihat. Pemerintah DIM No. 70 ya tetap ya. DIM No. 71, Pemerintah mengusulkan rumusan sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan menambah frasa yang “meliputi” setelah frasa “tahun 1945”. Kemudian lebih lanjut silakan. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, terima kasih, Pak Pimpinan. Jadi dalam draft DPR memang cukup di DIM No. 71 ini pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah menambahkan ada meliputi lalu meliputi itu diuraikan dan ini mengembalikan apa yang ada di dalam Pasal 8 huruf a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, jadi karena mengusulkan yang meliputi lalu yang lingkup ini meliputinya hak azasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, hingga pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, keuangan negara. Jadi mengusulkan agar yang sudah dimuat di Pasal 8 huruf a Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 itu dimuat kembali, kalau yang dulu berisi hal-hal, kemudian pengaturannya yang meliputi, jadi persis seperti Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 yang sekarang. KETUA RAPAT : Pak Rindoko. F-P. GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.) : Terima kasih, Pimpinan yang terhormat. Mencermati DIM No. 71 berkaitan dengan tanggapan Pemerintah mengusulkan untuk menambahkan yang meliputi, itu juga DIM No. 73 tertentu, kami …(tidak jelas)…sebenarnya ini masalah-masalah bersifat redaksionil yang secara substansi mungkin tidak terlalu penting untuk dibicarakan di dalam rapat Panja. Kami mengusulkan untuk hal-hal yang bersifat redaksionil ini kita setujui saja sepanjang tidak mengubah substansi yang ada di dalam pasal-pasal yang bersangkutan. Demikian, Pimpinan. Terima kasih.

25

Page 27: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Jadi bisa menerima ya usulan Pemerintah kembali. Terus ini Pak Soenman ini ada penjelasan dari Baleg ini. WAKIL KETUA PANSUS (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS) : Bukan penjelasan, hanya pandangan saja, Pak. Pandangan apa adanya. Terima kasih, Ketua. Panja sekalian, Jadi sesungguhnya usul yang disampaikan oleh Pemerintah tidak salah sehingga pandangan Pak Rindoko tadi itu juga bisa memberikan penguatan, hanya saja begini, apabila kita merinci detail seperti itu saya tidak mendapatkan satu jaminan yang memastikan bahwa Undang-Undang Dasar itu liputannya sudah tercantum ke situ semua. Jadi kalau kita tidak mengurai seperti itu, itu justru akan mengamanahkan keseluruhan Undang-Undang Dasar. Demikian. Jadi saya khawatir ada yang terlewat, lebih baik kita serahkan apa adanya saja, sehingga tidak lagi memerlukan adanya penguraiang yang meliputi, tidak perlu perincian lagi, jadi tidak usah mufassal, Pak, dia mujmal saja. Jadi kalau kami cenderung, Pak Pemerintah, sebagaimana rumusan yang ada.

Begitu, Ketua. Terima kasih.

KETUA RAPAT : Dan kalau tidak salah kita sudah mengundang para pakar ya, pandangan para pakar juga sudah nampaknya berpendapat bahwa ini sebenarnya sudah cukup begitu ya, sehingga lebih mencakup ketimbang dirinci. Tetapi silakan barangkali yang lainnya. Pak, ini jadi kembali semula? Pak ini, bisa? Sama tidak ada yang substansial. Pemerintah, setuju kan masih tetap usulan DPR, Pak, ya? Setuju.

(RAPAT : SETUJU) Terima kasih, Pak. Kemudian DIM No. 72 sudah setuju tetap.

(RAPAT : SETUJU) DIM No. 73, nah ini pengesahan perjanjian internasional. Pemerintah mohon penjelasan, apakah berlaku untuk semua perjanjian internasional dikaitkan dengan Undang-undang No. 24, kemudian usulan perubahan huruf c pengesahan perjanjian internasional tertentu. Penjelasan yang dimaksud dengan tertentu adalah yang berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan, b. perubahan wilayah atau penetapan batasan wilayah Negara Republik Indonesia, c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara, d. Hak Azasi Manusia dan lingkungan hidup, e. pembentukan kaedah hukum baru, f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Sebelum teman-teman kami persilakan Pemerintah.

26

Page 28: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, saya kira sama sudah sepintas dibaca oleh Bapak Pimpinan tadi memang di Undang-undang No. 24 Tahun 2000 memang tentang perjanjian internasional bahwa perjanjian internasional itu pengesahannya itu dalam dua bentuk, pertama dalam bentuk undang-undang juga dengan peraturan presiden. Nah, oleh sebab itu, apa saja yang nanti muatannya perjanjian internasional itu, oleh sebab itu kami usulkan ditambah kata tertentu setelah kata internasional dan memberikan penjelasan tertentu itu, jadi pengesahan perjanjian internasional tertentu lalu di penjelasan yang dimaksud dengan tertentu berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak azasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaedah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Nah, ini yang selama ini di pengesahannya dalam bentuk undang-undang juga dengan peraturan

presiden, jadi kami sebetulnya minta penjelasan apakah semua perjanjian internasional, Pemerintah melihat bahwa perjanjian tertentu saja yang muatannya harus disebutkan di sini.

Terima kasih. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Ketua. KETUA RAPAT : Kebetulan Pak Mul ini Ketua Baleg, jadi sekalian ada penjelasan. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Iya, yang jelas itu masalah perjanjian internasional sudah masuk di Prolegnas. Saya cuma itu saja yang saya mulai di sini, bahwa nanti ada perubahan di Undang-undang tentang Perjanjian Internasional. Saya apa yang disampaikan Pemerintah ini benar, tetapi masalah yang dimaksud Pemerintah ini sebetulnya sudah termuat di dalam Undang-undang tentang Perjanjian Internasional sendiri mana-mana yang akan ditindaklanjuti dalam bentuk undang-undang dan mana-mana yang tidak perlu dibentuk dalam undang-undang, itu sudah, di Undang-undang tentang Perjanjian Internasional sudah ada. Lah kalau sekarang dikasih rumusan tertentu dan diberikan penjelasan begini, ini saya takut ini sebenarnya nanti kalau ada di aturan-aturan berikut di dalam perjanjian internasional itu nanti ada perkembangan-perkembangan di luar dari yang ini kan jadinya apa yang disampaikan di sini harus ada perubahan lagi dan sebagainya. Kalau menurut saya biarkan saja bahwa hanya apa yang sekarang yang diinginkan Pemerintah ini tidak boleh nanti waktu kita membahas ini kan juga tahun ini juga perjanjian internasional ini perubahannya, Prolegnas ya, prioritas. Jadi ini harus kita pegang betul bahwa nanti waktu kita membahas Undang-undang Perjanjian Internasional, ini harus diperhatikan secara seksama apa yang disampaikan Pemerintah ini, sehingga menurut saya tidak perlu ini dimasukan di sini, cukup dengan apa pengesahan perjanjian internasional itu nanti deskripsinya secara mendetail itu akan dimuat di Undang-undang Perjanjian Internasional sendiri. Perubahan itu nanti ini saya sangat menghargai apa yang diingatkan oleh Pemerintah ini, nanti jangan sampai hilang ini apa yang disampaikan Pemerintah ini. Ini kita bawa terus ini supaya kawan-kawan Baleg tolong itu nanti kita juga nanti Perjanjian Internasional yang membikin.

Terima kasih. KETUA RAPAT : Terima kasih, Pak Ketua. Sekaligus juga penjelasan dari apa yang dimohon oleh Pemerintah. Pak Arif, silakan, Pak Arif.

27

Page 29: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

F-PDIP (ARIF WIBOWO) : Jadi kami mendukung apa yang menjadi pendapat Pak Mul supaya tidak perlu diubah, begitu ya, DIM No. 73 huruf c ini, Pasal 8, tetap saja untuk memberi keleluasaan kepada kita semua baik Pemerintah maupun DPR mengingat seperti yang disampaikan tadi memang kita berencana melakukan perubahan terhadap Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Jadi kalau justru usulan Pemerintah membatasi dengan menambahkan frase kata “tertentu” ini, ini justru mengunci menjadi terbatasi, padahal kritik terhadap Undang-undang No. 24 Tahun 2000 itu adalah tidak saja menyangkut substansi materi tentang hal apa saja yang harus diatur dengan perjanjian internasional, tetapi juga terkait dengan satu kewenangan yang diberikan baik kepada presiden maupun kepada DPR di dalam konteks perjanjian internasional itu. Jadi karena itu, kita biarkan saja seperti yang sudah ada dan tidak perlu dilakukan perubahan. Saya kira itu. Terima kasih. KETUA RAPAT : Pak Rahadi silakan. Terima kasih, Pak Arif. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Terima kasih. Jadi untuk melengkapi Pak Arif, Pak Mul dan lain sebagainya tentunya saya ingin menginformasikan bahwa di dalam konteks global sekarang ini berbagai macam bentuk perjanjian internasional itu muncul misalnya dari tidak hanya G to G saja tetapi dari berbagai kegiatan usaha dan lain sebagainya, memungkinkan sangat muncul saya kira tentunya bahwa tadi Pak Mul sudah mengatakan bahwa kita akan segera membentuk Undang-undang Perjanjian Internasional perubahan atau penggantian, mungkin bisa penggantian juga. Karena begini, Bapak dan Ibu sekalian, bahwa kita paham bahwa berbagai bentuk perjanjian internasional yang bermacam-macam bentuknya itu manakala sudah diratifikasi itu menjadi undang-undang. Tetapi cukup banyak berbagai bentuk perjanjian internasional yang sekarang ini menurut data, Pak, itu sekitar 3.400 sekian lebih tidak jelas posisi kedudukannya dan kita juga banyak yang tidak tahu, Pak, perjanjian internasional yang mana saja karena antara pengusaha dengan pengusaha, antar negara, itu juga sebenarnya masuk dalam kriteria perjanjian internasional. Untuk itu saya kira bahwa perjanjian internasional sangat luas ragam bentuk, model dan jenisnya, saya kira tidak pelu diberikan suatu koridor atau pembatasan seperti ini, ini malah kita tidak tahu, Pak, nanti misalnya perjanjian internasional antara perusahaan otomotif di Indonesia dengan perusahaan otomotif di Jepang. Ini namanya masuk perjanjian internasional sudah karena lintas Negara.

Nah, ini persoalan-persoalan seperti ini saya kira sebenarnya menurut saya tidak perlu ditentukan jenisnya seperti ini, ini malah nanti akan kita kerepotan kalau ada bentuk-bentuk perjanjian internasional yang tentunya tidak hanya tertentu. Karena apapun juga sudah lintas negara ini perjanjian internasional harus menjadi pengawasan Negara, maka menurut Pak Mul dan Pak Arif tadi nanti ada Undang-undang Perjanjian Internasional yang mengatur seperti itu. Ini serius, Pak, karena di negara-negara maju dalam konteks global sekarang ini yang namanya perjanjian internasional mendapatkan perhatian yang sangat khusus, bahkan Belanda sudah mengantisipasi jauh dari awal namanya hirarki undang-undang, perjanjian internasional di Belanda itu ditempatkan nomor satu, Pak. Perjanjian internasional itu nomor satu. Ya di konstitusi di atas. Di Jerman. Kemarin Pak Arif dari Ceko ini, Pak, juga bicara soal perjanjian internasional di sana, Pak. Luar biasa, ini perlu mendapatkan suatu perhatian saya kira, jangan dalam posisi malah disempitkan tetapi justru dibuka lebar-lebar karena berbagai bentuk perjanjian internasional itu bentuknya bermacam-macam dan orang tahunya hanya perjanjian internasional. Nah, jenis perjanjian internasional yang bagaimana itulah nanti yang akan kita rinci lah ini.

Pak Dirjen, saya kira itu perlu dibahas serius nanti, Pak, perjanjian internasional ini. Saya kira juga ini jangan sampai di dalam suatu era konteks global ini kita kehilangan berbagai bentuk perjanjian internasional yang kita tidak mewaspadai, akhirnya Indonesia dirugikan. Sebagai contoh, Pak, itu ketika ada konflik antara pihak perusahaan pertambangan Amerika, saya lupa namanya, ini ada di Gunung Wayang di Jawa Barat, Garut, kita malah posisi dikalahkan untuk membayar ke perusahaan besar itu, ya karena lepasnya pengamatan negara ini dalam rangka tidak ikut campurnya dalam persoalan-persoalan

28

Page 30: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

perjanjian internasional. Ini saya kira yang menurut saya memang kita harus dilepas, lebih diberi ruang yang cukup luas tidak di dalam posisi di tentukan untuk perjanjian-perjanjian internasional tertentu.

Saya kira itu, Pak, usulan dari saya, saya kira tetap. Terima kasih.

KETUA RAPAT : Ya, baik, jadi ini sebetulnya kita bicara dalam konteks materi muatan yang harus diatur oleh undang-undang, dengan undang-undang. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Pak Deding, yang namanya perjanjian internasional kalau di negara-negara maju apapun bentuknya itu diatur oleh undang-undang, tidak dilepas begitu saja, karena kalau dilepas begitu saja itu negara yang dalam posisi lemah itu bisa dimakan perusahaan-perusahaan besar. Terima kasih. KETUA RAPAT : Betul itu, Pak. Terima kasih. Jadi pakar perjanjian internasional, Pak Rahadi, sudah menyampaikan, jadi itu akan diatur pada perubahan undang-undang, jadi maqomnya seperti itu ya. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Saya tambahkan sedikit. KETUA RAPAT : Ya silakan. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Yang dibicarakan Pak Rahadi tadi benar, hanya saja di dalam pelaksanaannya sebetulnya nanti diatur di perjanjian internasional memang ada perjanjian-perjanjian internasional itu yang tidak dituangkan dalam undang-undang, Pak. Yang kemarin kita 2010 kemarin ada dua perjanjian internasional yang tidak bisa diangkat menjadi undang-undang. Nah, itu jadi yang dimaksud Pemerintah itu di situ. Jadi tetapi itu tidak perlu dimuat di sini karena akan dimuat di Undang-undang Perjanjian Internasional. Kami kira apa yang disampaikan Pak Rahadi itu melengkapi segalanya untuk bisa kita anukan. WAKIL KETUA PANSUS (RAHADI ZAKARIA/F-PDIP) : Justru saya ini ingin menjelaskan seperti yang dikatakan Pak Mul tadi, saya katakan tadi bahwa tidak semua perjanjian internasional bisa dijadikan undang-undang, kecuali perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi bisa menjadi undang-undang. Tidak semuanya. Yang saya katakan tadi ada sekitar ya ribuan tadi 4.000 sekian yang perjanjian internasional tidak bisa dalam posisi undang-undang, akhirnya ketika ada sengketa dalam perjanjian internasional apa? Pengusaha kita dengan pengusaha luar ini yang selalu dikalahkan adalah kita, Pak. Justru itu saya kira tidak perlu diikat dengan seperti ini, tetapi diwadahi di Undang-undang Perjanjian Internasional. Kita sama Pak Mul hanya karena mungkin ada salah tangkap sedikit tadi. Terima kasih. KETUA RAPAT : Pak Soenman. Pak Rahadi, salah seorang Pimpinan barangkali bisa di sini, saya undang mendampingi saya. Silakan Pak Soenman.

29

Page 31: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

WAKIL KETUA PANSUS (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS) : Ya, terima kasih, Ketua. Jadi memang, Pemerintah yang terhormat, kalau kita melihat Undang-Undang Dasar ya khususnya pada Pasal 11 ya di sana kan saya kira sudah cukup limitasinya itu, cukup batasan-batasannya. Sehingga kalau nanti akan lebih diberikan satu kisi-kisi yang pasti, yang sangat terbatas itu di ayat (3)-nya ditentukan dengan undang-undang. Kan dikatakan di sini, diatur dengan undang-undang, bukan dalam undang-undang. Jadi nanti ada undang-undang khusus tentang masalah ini. Betul kata Pak Mulyono tadi. Saya kira, Pak, kata tertentu tadi mungkin perlu kita pertimbangkan untuk dicantumkan. Terima kasih. KETUA RAPAT : Sebelum ke yang lain, Pak Dirjen barangkali, penjelasan dari teman-teman anggota Panja yang juga berasal dari Baleg dan salah seorang Ketua Baleg sendiri sudah memberikan penjelasan. Silakan Pak Dirjen. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Baik, terima kasih. Jadi memang ini kita di Pasal 8 ini materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Di c ini perjanjian internasional, jadi tidak semua pengesahan perjanjian internasional yang akan menjadi muatan sebuah undang-undang. Oleh sebab itu, kita mengusulkan tertentu, nah lalu penjelasan dari tertentu ini sebetulnya kami mengambil dari Pasal 10 Undang-undang No. 24 Tahun 2000 ini ya meskipun tadi disebut oleh Pak Mul ya ini nanti akan diubah atau diganti, tetapi karena kita berpegang pada yang existing sekarang maka kami menyebut tertentu itu agar tidak semua pengesahan perjanjian internasional itu nanti dengan undang-undang, karena yang di luar ini, ini dengan peraturan presiden. Betul yang disampaikan oleh Pak Mul tadi bahwa pada periode yang lalu itu ratifikasi di bidang pertahanan yang bersifat teknis militer itu tidak dengan undang-undang tetapi cukup dengan peraturan presiden. Jadi ini kami menyampaikan “tertentu” ini agar ya tidak semua pengesahan perjanjian internasional itu dengan undang-undang. Itu intinya begitu, Pak. karena ini judulnya materi muatan undang-undang. KETUA RAPAT : Jadi ini sebetulnya untuk penjelasan. Silakan, Pak. WAKIL KETUA PANSUS (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS) : Terima kasih, Pak. Terima kasih, Pemerintah. Kalau memang itu yang dimaksud supaya dia menjadi norma, Pak, itu jangan di penjelasan itu, Pak, ya, jadi dimasukan di pasal, begitu kan, Pak, ya? Tetapi kalau kami, sekali lagi kita mendiskusikan, Pak Dirjen, mendiskusikan tentang rencana kita akan mengubah undang-undang yang ada itu. Oleh karena itu, saya kira materi-materi muatan yang dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar itu juga sudah relatif cukup memberikan kejelasan kepada kita sesungguhnya, sehingga sangat boleh jadi penafisiran kita terhadap pasal ini, Undang-Undang Dasar ini, itu belum tentu sebagaimana yang tercantum di dalam kajian-kajian pembentukan Pasal 11 ayat (2) ini khususnya. Nah, oleh karena itu, mungkin saran kami sangat baik kalau kita coba melihat, …(tidak jelas)… dalam kajian di MPR, Pak, di PAH I mengenai rumusan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) ini sebelum kita membatasi secara ekstrim begitu, Pak, secara limitatif. Terima kasih.

30

Page 32: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Ini DIM No. 73 huruf c itu kan pengesahan perjanjian internasional yang itu menjadi muatan materi undang-undang yang diatur dengan undang-undang, jadi persetujuan DPR begitu. Nah, kira-kira begitu. Karena perjanjian internasional yang juga produk peraturan presiden, kira-kira itu. Nah, di sini dirincikan tertentu itu maksudnya di situ yang perlu mendapat pengesahan dan persetujuan dari DPR, begitu, Pak. Jadi ini saya pikir ini belum kita putus karena usulan Pemerintah juga ada argumen yang kita bisa pahami tetapi sesungguhnya karena Undang-undang No. 24 Tahun 2000 ini juga akan direvisi apakah maqomnya ini tidak di sana begitu, kalau kita bicara maqom tentang pemerincian perjanjian internationality, itu apakah harus tetap di sini, begitu. Kalau di sini sebenarnya masih banyak hal-hal yang sesungguhnya ini menimbulkan problem sekarang ini umpamanya soal Migas lah, Newmont sekarang ini, jadi sumber daya alam harus masuk di sini. Ini penting di sini. Justru ini menjadi bahan pemikiran ketika kita merevisi undang-undang tadi, sehingga di sini cukup itu. KETUA RAPAT : Pak Rindoko. F-P. GERINDRA (RINDOKO DAHONO WINGIT, S.H., M.Hum.) : Terima kasih, Pimpinan. Untuk DIM No. 73 tentang pengesahan perjanjian internasional, kami sependapat dengan anggota Panja yang lain bahwa ini tetap saja. Karena apa? Justru pengecualian tertentu ini tidak dibatasi pada substansi masalah politik dan seterusnya, kami melihat pengecualiannya ini justru pada lebih pada kepentingan nasional kita belajar pada negara-negara yang memanfaatkan perjanjian internasional itu untuk kepentingan-kepentingan nasional, jadi seperti China misalnya tidak segera mengesahkan perjanjian tentang perdagangan, karena kepentingan-kepentingan belum siap. Kita juga harus mengacu ke sana, karena apa? Selama ini dalam era globalisasi sering perjanjian ini justru merugikan kita daripada menguntungkan, banyaknya perjanjian-perjanjian yang sebenarnya misalnya dengan IMF misalnya itu sebenarnya hanya kepentingan-kepentingan negara-negara maju saja untuk mendikte kepentingan-kepentingannya di negara kita. Kita harus punya satu peluang, satu celah dimana untuk pemberlakuan ini tergantung pada kepentingan situasi dan kondisi dan kepentingan nasional dimana sepanjang itu menguntungkan kita bisa sahkan atau paling tidak ada jangka waktu sebelum kita mengesahkan, jangka waktu persiapan kita, jangka waktu kita bisa tidak menerima dan seterusnya. Dan ini nanti saya kira yang lebih tahu Pemerintah tetapi tidak dibatasi dalam bentuk a, b, c, d sampai f, tetapi dibatasi dalam bentuk kesiapan untuk kepentingan nasional dan sebagainya. Saya kira itu, Pimpinan. Terima kasih. KETUA RAPAT : Jadi saya mau tanya juga sebelum yang lain yang masih mau bicara. Begitu dari Pak Dirjen, ini ya. Ini hanya di materi batang tubuh hanya menambah kata “tertentu”, Pak, ya. Kemudian di penjelasan yang rinciannya ini? Ini di penjelasan ya? Tidak di batang tubuh ini ya, di penjelasan? Begitu, Pak? DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Ya begitu. KETUA RAPAT : Diusulkan, jadi usul Pemerintah ini, pengesahan perjanjian internasional ditambah tertentu, kemudian ada usulan untuk penjelasan tertentu dalam penjelasan RUU ini. Begitu, Pak, ya? Baik. Supaya jelas. Yang lainnya ada? Ini Pak Taufik barangkali. Pak Mul? Pak Gede sudah cukup? Sudah jelas ya? Pak Ketua, silakan.

31

Page 33: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD) : Apa yang disampaikan Pak Mul tadi jelas, jadi kan kalau tadi kita kembali pada norma pada saat kita bicara mengenai kewenangan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, apakah ini maqomnya juga tidak di sana begitu, Pak. Iya kan? Karena kan di sana kan nanti yang mengatur perjanjian internasional itu kan diklasifikasikan, jadi mana termasuk mengenai ratifikasinya kan di sana begitu, Pak. Jadi kalau di sana sudah mengatur juga mengenai ratifikasi saya kira tentu dengan draft dari DPR ini saya kira kan sudah cukup itu, biar di sana lebih leluasa kita, karena di sana lebih lex specialist kan. Terima kasih. KETUA RAPAT : Baik, Pak. Silakan. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI (ABDUL WAHID) : Terima kasih Pak Dirjen. Kekhawatiran Pemerintah itu kalau dibiarkan seprti konsep itu seakan-akan semuanya harus dengan undang-undang, padahal kenyataannya pasti tidak, meskipun undang-undang itu diubah mesti ada ruang dimana perjanjian internasional itu tidak disahkan oleh undang-undang, mesti ada dengan Perpres. Jadi pada dasarnya cuma menambah “tertentu” saja. Bahwa kemudian penjelasannya diganti tidak apa-apa dibuang karena kemungkinan mau diubah kan, misalnya yang dimaksud dengan tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, misalnya begitu. Jadi tidak perlu ada rincian semacam itu, bisa juga, tertentu saja. Tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Kalau saya kalau memang ada kata-kata “tertentu” itu diterima itu memang dibutuhkan penjelasan, jadi jangan sampai kalau memang kita setuju memang ada kata-kata “tertentu” ini harus ada penjelasan, kalau memang. Oleh sebab itu, maka kita lebih sependapat tidak usah saja kata “tertentu” karena nanti kalau dituntut penjelasan itu menjadikan malah kita di dalam proses mau membahas perundang-undangan yang bersangkutan dengan itu akan terbatasi oleh penjelasan itu. Ini yang merugikan pada kita semua. Menurut saya lebih baik memang jangan pakai “tertentu”, biarkan saja, nanti di undang-undang juga akan dimuatkan bahwa untuk begini-begini tidak perlu dengan undang-undang, berarti itu pengecualian dari apa yang ada di sini. Jadi kalau menurut saya apa yang disampaikan ini oleh Pak Dirjen Senior tadi, tadi kan Dirjen Senior tadi kan menyampaikan bahwa ini untuk bahwa seakan-akan kalau dikasihkan redaksi ini semua perjanjian internasional itu harus pakai undang-undang, itu kalau di dalam Undang-undang tentang Perjanjian Internasional tidak dimuat hal-hal tertentu yang tidak perlu adanya undang-undang. Kalau di sana termuat, tidak perlu dimuat di sini, bahwa aturannya di Undang-undang Perjanjian Internasional itu begitu loh. Tetapi kalau ini ada kata-kata “tertentu” terus diuraikan begini, lah ini yang jadi masalah di dalam kita membahas di dalam rancangan undang-undang yang akan datang, jadi repot ini nanti. Kecuali, rancangan undang-undang yang sudah quick(?), betul, perjanjian internasional sudah diketok, sudah …(tidak jelas)… kita baru mengambil rumusan-rumusan itu kita masukan di sini barangkali bisa oke. Lah itu belum diadakan perubahan, jadi kalau sampai nanti perubahannya tidak sampai begini kan repot. Karena, Bapak/Ibu sekalian, di sini dikatakan contohnya masalah antara lain masalah kedaulatan atau hak berdaulat negara, umpamanya begitu, iya di sini dikatakan begini, mungkin pada redaksi yang nanti akan termuat di Undang-undang Perjanjian Internasional itu ini kan menjadi pembahasan yang intensif, jadi mungkin tidak ini yang dimaksudkan, mungkin ada tambahan kata-kata yang lebih tepat lagi. Lah kalau di sini sudah dibatasi begini kan jadi kacau nanti. Jadi ini saja, karena itu nanti muaranya semua kepada Pemerintah lagi, karena memang anunya di sana. Kita sebetulnya memberikan kelonggaran Pemerintah dalam nanti membahas soal Undang-undang tentang Perjanjian Internasional ini. Ini saja, Pak. Terima kasih.

32

Page 34: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

KETUA RAPAT : Baik, jadi penjelasannya mantap tadi. Jadi “tertentu” pasti perlu penjelasan, sementara Pemerintah tadi mendrop, ini usulnya. Jadi pertama opsinya hanya dua, Pak, kalau menurut saya, satu kembali seperti ini dengan pemahaman tadi. Sebetulnya keperluannya ini kan untuk membedakan bahwa perjanjian internasional itu ada yang produk yang persetujuan DPR dalam bentuk undang-undang, ada yang peraturan presiden. Sehingga itu saja barangkali kalau memang ada penjelasan tertentu tentang itu, Pak. Apakah seperti itu? Bisa tidak, Pak? Kalau memang keperluannya untuk soal menjelaskan tentang itu tentang jenis itu, pengesahan perjanjian internasional. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI: Ya kami jiwanya saya kira tertangkap tidak berbeda, Pak, jadi karena ini menyangkut materi sebuah undang-undang maka yang harus dimuat dalam undang-undang, kami menyampaikan ada kata-kata “tertentu”, dan untuk “tertentu” ini kalau penjelasannya yang kita usulkan disampaikan memang ini membatasi pada yang ada di Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, mengantisipasi tadi kemungkinan dan bahkan sudah dirancang untuk adanya perubahan, maka kata “tertentu” itu penjelasannya tidak seperti rinci begini tetapi misalnya penjelasan, yang dimaksud dengan tertentu adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jadi artinya ketika Undang-undang Perjanjian Internasional itu nanti diganti, diubah maka yang sesuai dengan itu karena di sana nanti yang dimaksud “tertentu” itu kan akan diuraikan di sana yang mana undang-undang, yang mana yang Perpres. Jadi ini memang untuk mengantisipasi tadi menghindarkan pemahaman bahwa semua perjanjian internasional itu harus dimuat dalam bentuk atau jenis atau hirarki perundang-undangan, undang-undang. KETUA RAPAT : Baik. Jadi justru apa tidak jadi overbody, jadi ini kan kelebihan, jadi sebetulnya justru mengganggu “tertentu” itu. Kalau menurut saya ini sudah cukup, Pak, pengesahan perjanjian internasional. Tinggal keperluan kita untuk membedakan bahwa perjanjian internasional itu adalah produk undang-undang yang persetujuan DPR, dengan Perpres, itu bisa di Penjelasan, begitu, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian internasional terdiri, misalkan, antara lain perjanjian DPR dan presiden juga ada perjanjian internasional yang dibuat oleh presiden begitu. Kan “tertentu” mengarah ke sana, Pak, “tertentu” itu. Dijabarkan ya, Pak Arif? Baik, silakan. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Pak, saya kira kalau ini memang dipertahankan ini tidak usah di sini kata “tertentu”, tinggal di penjelasan saja kita tambahkan pengesahan perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan DPR. Ini jelas bahwa yang harus dengan undang-undang itu yang memang memerlukan persetujuan DPR, kalau yang di luar itu ya sudah otomatis dalam Perpres. KETUA RAPAT : Setuju dengan rumusan dari Pak Gede, tolong dicatat? Oh, ya, ini ada usul di norma katanya. Silakan. WAKIL KETUA PANSUS (H. T.B. SOENMANDJAJA S./F-PKS) : Terima kasih, Pak. Saya sangat memahami usul dari Pak Mulyono, juga Pak Gede tadi, memang kalau Pemerintah memberikan keterangan atau penjelasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan ya saya kira sudah sangat dikenal lagi bahasa itu kan, Pak, justru semua ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan di situ, harus sesuai. Mungkin tadi itu, saya katakan tadi, Pak, kalau kita selalu limitatif membatasi norma ini kan, Pak, ya, padahal perintahnya bukan diatur di sinim kalau Undang-Undang Dasar Pasal 11 ayat (3) memerintahkan ada undang-undang khusus, mungkin usul yang disampaikan terakhir

33

Page 35: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

yang terhormat oleh Pak Gede tadi itu kalau diterima, kalau hemat kami itu tidak dalam penjelasan, jadi tegaskan saja di situ, perjanjian internasional yang mengharuskan, kalau undang-undangnya saya rasa mengharuskan itu. Di sini kan kalau kita baca Pasal 11 diantaranya, saya bacakan ya, ayat (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian. Saya kira rumusannya, Pak, perjanjian internasional yang mengharuskan begitu. F-PD (IGNATIUS MULYONO) : Ya, ini kami kira saya perlu mengasih informasi saja, kemarin ini kita membikin perjanjian berkait dengan masalah kaitan keamanan dengan Rusia dan sebagainya, itu ternyata tidak dirumuskan dalam bentuk undang-undang, itu diputuskan di Paripurna. Kemarin kan ada dua, makanya kami agak ribut waktu kemarin, loh kita kan kemarin ada keputusan, jangan jumlah undang-undang yang bisa lahir pada 2010 sebetulnya kan ada 17, tidak cuma 16, karena itu tidak jadi undang-undang begitu loh. Jadi berarti ada yang diputuskan di Paripurna perjanjian internasional yang tidak ditindaklanjuti dalam bentuk undang-undang. Nah, ini saya hanya belum saya cek yang pas yang manakah itu, tetapi itu terjadi kemarin. Jadi inipun juga perlu jadi pertimbangan kita, maka saya mengatakan itu memang maksud dari Pemerintah itu betul bahwa tidak semua perjanjian internasional itu pasti jadi undang-undang lah.

Kalau memang mau tetap kata-kata “tertentu” masuk, ini barangkali penjelasan “tertentu”-nya cukup ini penjelasan yang dimaksud dengan kata “tertentu” di sini bahwa semua perjanjian internasional tidak selalu diikuti dengan undang-undang, umpamanya begitu saja. Tidak semua perjanjian internasional itu diikuti dengan bentuk undang-undang. Kalau mau pakai “tertentu” di situ itu, begitu loh. Tetapi tidak mengganggu terhadap waktu kita akan mengubah aturan Undang-undang tentang Perjanjian Internasional itu sendiri. Hanya rumusannya begitu saja bahwa kata “tertentu” itu sebetulnya maksudnya Pemerintah pun juga bahwa tidak semua perjanjian internasional itu mesti dengan undang-undang, bukan, memang betul itu. Jadi inilah yang barangkali jalan keluarnya kalau memang itu perlu dimasukan begitu.

Terima kasih.

KETUA RAPAT : Sebelum kita lanjutkan saya mohon persetujuan ini sudah Pukul 23.00 WIB, jadi tambah 10 menit ya? 10 menit saja supaya selesai sampai ini ya? Baik, 10 menit ya.

(RAPAT : SETUJU) Ini maksudnya hanya dua opsi saya pikir, Pak, ya. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Pimpinan, ini dipercepat sedikit. KETUA RAPAT : Dipercepat langsung saja konkrit. F-PD (GEDE PASEK SUARDIKA, S.H.) : Jadi kita bacanya begini dari Pasal 8, materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi huruf c) pengesahan perjanjian internasional yang mengharuskan persetujuan dengan DPR. KETUA RAPAT : Satu itu opsinya. Yang kedua tertentu dengan penjelasan yang disampaikan oleh Pak Mulyono, itu saja hanya dua. Ya, Pak Mul? Silakan, Pak.

34

Page 36: RISALAH RAPAT PANITIA KERJA RANCANGAN UNDANG …berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200514-100424-7409.pdfpembentukan peraturan perundang-undangan: jenis rapat : panja iv

35

KETUA PANSUS (SUTJIPTO, S.H., M.Kn./F-PD) : Saya kira begini tadi dari awal kan Pak Mul kan menghendaki sebenarnya kembali ke rumusan semua, itu karena terkait dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2000, tetapi kan Pak Mul akhirnya kan tidak keberatan, Ketua Baleg kita ini bahwa oke “tertentu” tetapi perlu ada penjelasannya. Penjelasan itu intinya bahwa perjanjian internasional tidak semua harus ditindaklanjuti menjadi undang-undang atau harus mendapat persetujuan dari DPR, kan begitu kan, karena produk DPR kan undang-undang, bagaimana kalau kita itu kan, itu kan tinggal rumusan kalau memang prinsip itu disetujui kan perumusan, jadi itu diserahkan kepada Tim Perumus saja kata-katanya, tetapi prinsip itu yang kita sepakati, kan begitu. KETUA RAPAT : Ya, baik.

(RAPAT : SETUJU) Bapak/Ibu anggota Panja yang saya hormati, Terima kasih banyak. Kemudian juga Pak Dirjen beserta senior Dirjen dan jajarannya, Alhamdulillah kita sudah bisa menyetujui beberapa DIM dan ada satu DIM yang pending, mudah-mudahan besok ketemu di ruang ini bisa sudah ada rumusan, ada titik temu antara Panja dengan Pemerintah begitu, sehingga ada kemajuan dalam pembahasan di Panja ini. Bapak dan Ibu serta Pak Dirjen beserta jajaran dari Kementerian Hukum dan HAM, Rapat kami skors sampai besok tanggal 27 Mei 2011, Jumat besok itu ya, Pukul 08.30 WIB. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(RAPAT DITUTUP PADA PUKUL 23.10 WIB)

Jakarta, 26 Mei 2011 a.n. KETUA PANSUS RUU

TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEKRETARIS RAPAT,

ENDANG SURYASTUTI, S.H., M.Si. NIP. 19690801 199403 2 001