RISA.LAH RAPAT I,

32
RISA.LAH RAPAT P 1\.f·:Til,IA l(I-IUSUS UNDANG-UNDANG 'TEN'TANG :111 1! I I' i I 1 11 · I 1 I ! : I I ;.1 I ' I! l.1.' 1 : ,., ' 'Ii ,. '1'' I 1 1 i: ! :: t I'; !i I, I ! I ! rrINDAI( J>IDANA l(ORUPSI . I JENIS RAPAT RAPAT KE HA RI/TAN GG /\ L : R/lP/lT DENG/lR PEND/lP/lT UMUM DG. W/lKJlPOLRI : 4 : R/lBU, 21 /lPRIL 1999 SEKRETARIAT PANITIA KHUSUS SEKRETAIUAT .JENDERAL DPR-RI .JAKARTA 1999 i !i '.

Transcript of RISA.LAH RAPAT I,

Page 1: RISA.LAH RAPAT I,

RISA.LAH RAPAT P 1\.f·:Til,IA l(I-IUSUS

l{ANCANG-l~N UNDANG-UNDANG

'TEN'TANG

:111

1!

I I'

i I 111

· I 1 I ! : I I

;.1 I ' I!

l.1.'

1

: ,., ' 'Ii ,. '1'' I 1 1 •

i: !

:: t

I';

!i I,

I ! I

!

I>EMBEl{AN'fASP~"N rrINDAI( J>IDANA l(ORUPSI . I

JENIS RAPAT

RAPAT KE

HA RI/TAN GG /\ L

: R/lP/lT DENG/lR PEND/lP/lT UMUM DG. W/lKJlPOLRI

: 4

: R/lBU, 21 /lPRIL 1999

SEKRETARIAT PANITIA KHUSUS SEKRETAIUAT .JENDERAL DPR-RI

.JAKARTA 1999

i !i '.

Page 2: RISA.LAH RAPAT I,

RISALAH RAPAT PANSUS RUU TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Jenis Rapat Sifat Rapat Hari, tanggal Pukul Tempat Ketua Rapat ,Sekretaris Rapat

·'Hadir Anggota Pansus Pemerintah

FRAKSI ABRI 1. SOENARTO,S.H 2. SUTRISNO SUWARI 3. SRIDONO

1998/1999 III 4

Rapat Dengar Pendapat Umum Terbuka Rabu, 21 April 1999 13.00 WIB Ruang Rapat Komisi III (KK-IV) SOENARTO,S.H. Subijanto Sudardjo, S.H. 39 dari 50 Anggota Pansus Wakapolri beserta staf

4. DALAM SINURAYA, S.Sos. 5. DRS.F.ISNAWAN, M.PHIL 6. DRS. TAUFIQ RUKI,S.H 7. DRS.RUDY SUPRIYATNA,MM 8. BENYAMIN BALUKH

FRAKSI KARYA PEMBANGUNAN 1. H. AGUS MUHYIDIN, S.IP. 2. RIDWAN SAN!, S.H. 3. IR.SURATMAN, M.B.A. 4. DRS. MOHAMMAD ALI TALHA 5. PROF. DR. H. BAMBANG RAHINO, S. KOESOEMO 6. DRA. SILVIA RATNAWATI, M.Sc. 7. DRS. R. DYATMIKO SOEMODIHARDJO, S.H. 8. Dr. H. BEMPA MAPPANGARA 9. SUHARTO, BCTT, S.IP 10. IR. AZHAR ROMLY 11. DRS. AGUN GUNADJAR SUDARSA 12. DRS. ABU HANIFAH

Page 3: RISA.LAH RAPAT I,

- 2 -

13. Drg. SOEHARTO, SKM. 14. OMAN RAFLIES,SE 15. H.ALIEF MELIANA,SE 16. MEDITERANSYAH,S.H 17. JACOBUS PERVIDDYA SALOSSA 18. DRS.BERNY TAMARA 19. ACHMAD HOESA PAKAYA, SE.MBA 20. H.R. ALI MURSALAM 21. DRS.H.LALU HARTAWA

FRAKSI PERSATUAN PEMBANGUNAN 1. DR. H. MUCHSIN, S.H. 2. DRS. QOMARI ANWAR, M.A. 3. DRS. H. MUZANNI NOOR 4. DRS. ZAINUT TAUHID SA'ADI 5. DRS. H. MUSLICH, S.F. 6. H. ZAIN BADJEBER, S.H. 7. H. LUKMAN HAKIEM 8. KH.ZAINAL MASDUKI

FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA 1. Y.B. WIYANJONO, S.H. 2. SAJID SOETJORO, B.Sc.

KETUA RAPAT ( SOENARTO, S.H.): Assalamu'alaikum Wr. Wb, dan Salam sejahtera bagi kita semua, Selamat siang, Bapak Waka Polri beserta staf, terlebih dahulu saya atas

nama Panitia Khusus Rancangan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengucapkan terima kasih atas kehadiran bapak beserta staf pada siang hari ini yang telah memenuhi undangan dari Panitia Khusus dalam rangka menyampaikan masukan­masukan pada Pansus ini untuk menyempurnakan Rancangan Undang­undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sekarang sudah berada di DPR.

Bapak Waka Polri beserta staf, dan Saudara-saudara sekalian; Pada siang hari ini dari Panitia Khusus yang semestinya

berjumlah 50 orang, namun mengingat banyaknya Panitia Khusus yang berjalan pada saat yang bersamaan, jadi tidak seluruhnya tidak bisa hadir, namun dari keempat unsur Fraksi semua sudah berada di sini, oleh karena itu sesuai dengan Tata Tertib ijinkanlah saya dahulu mengucapkan bissmillahirohmanirrohim membuka Rapat Dengar Pendapat dengan Waka Polri.

(KETOK 1 KALI)

Page 4: RISA.LAH RAPAT I,

- 3 -

Bapak Waka Polri beserta staf; Sebelum kita memasuki acara ini, terlebih dahulu ij in kan

saya memperkenalkan pak, kebetulan Ketua Pansus sendiri berada di sini yaitu Bapak Agus Muhidin. Kemudian disamping saya ad~lah

Bapak Muchsin, dan rekan-rekan dari FABRI, FPP, dan FKP, saya kira tidak perlu saya perkenalkan satu persatu.

Panitia Khusus ini dibentuk setelah melewati tahap kedua, Pembicaraan Tingkat ke-II yaitu setelah mendapatkan jawaban dari pemerintah baru dibentuk Panitia Khusus yang mempunyai tugas untuk bersama-sama dengan pemerintah membahas Rancangan Undang­undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Panitia Khusus ini diberikan tugas untuk membicarakan bersama-sama dengan pemerintah pada Pembicaraan Tingkat I I I, direncanakan setelah masa reses yang ke tiga ini yang akan berakhir pada tanggal 14 Juni setelah Pemilu, kemudian dilanjutkan untuk masih Pembicaraan Tingkat III pada tanggal 14 kita masuk kembali, kemudian tanggal 16, kita masih tahap tiga.

Dalam rangka penyempurnaan ini kami sangat mengharapkan, atas nama Panitia Khusus masukan-masukan dari Mabes Polri dalam rangka menyempurnakan Rancangan Undang-undang. Oleh karena itu pada acara ini akan kita bagi dalam berbagai kegiatan, pertama adalah pemaparan dari bapak, dari Mabes Polri, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab, dan akhir penutup. Untuk acara ini apakah kita setujui?

(RAPAT SETUJU)

Baik. Kemudian mengenai waktu, sesuai dengan Tata Tertib DPR

memang waktu sampai pukul 16.00 untuk siang hari, namun demikian kita melihat pada perkembangannya bisa lebih maju atau nanti tepat pada pukul 16. 00, namun kita harapkan selambat-lambatnya pada pukul 16. 00 sudah selesai. Sekarang pukul 01.16, mungkin dari bapak pemaparan 1 jam barangkali, kalau kurang dari satu jam juga tidak apa-apa, kalau misalkan satu jam kami persilakan. Kemudian sisanya kita manfaatkan untuk tanya jawab.

Demikian acara kita pada siang hari ini, untuk menghemat waktu saya persilakan Bapak Waka Polri menyampaikan paparan atau tanggapannya.

WAKAPOLRI: Yang kami hormati Ketua Pansus beserta Anggota Dewan yang terhormat, Hadirin dan sidang yang kami muliakan;

Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera dan selamat siang untuk kita sekalian.

Page 5: RISA.LAH RAPAT I,

- 4 -

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT, karena atas rahmat dan ridhonya hari ini suatu kehormatan untuk kami dari Porli ini bisa bertemu dengan Anggota Dewan yang terhormat dalam rangka dengar pendapat tentang rencana Undang­undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjutnya dalam kesempatan ini juga kami menyampaikan permohonan maaf dari Kaporli yang sedianya beliau sendiri seharusnya yang hadir dengan Anggota Dewan yang terhormat ini, namun karena masih berada di Timor Timur beserta Panglima TN! jadi kami ditugasi untuk itu, bahwa tadi sebelumnya kami klarifikasi terus terang saja dengan DPR 1n1, jangan sampai seperti dulu katanya waktu Kapolri kok di wakili, nanti terjadi pelecehan, ternyata sudah mendapat lampu hijau kami pun dengan memberanikan diri lab, karena baru pertama kali saya masuk sini pak, masuk dalam arti seperti ini lah, kalau masuk jaga demonstrans sudah sering juga.

Masuknya tadi sudah disampaikan, dan sekali lagi mudah­mudahan dari forum ini bisa memberikan tanggapan, pendapat, atau saran, dalam rangka kontribusi Polri untuk penyempurnaan RUU yang akan dibahas bersama ini. Sebelumnya perkenankan saya perkenalkan staf yang menyertai saya, karena saya bawa balat nanti saya bilang saya hanya cerita aja kalian yang jawab gitu. Sebelah kiri saya Dankoserse Polri Mayjen Dahi Bahtiar, selanjutnya Kepala Dinas Hukum Porli Brigjen Sitompul, dan Waasbimas Brigjen Supriadi, dan sebelah kanan kami Asisten Operasi Kapolri Mayjen Bimantoro, Dir !PP Subono Kunardi, selanjutnya Staf Ahli Kapolri Bidang Hukum Brigjen Agus Salam, dan Penasehat Kapolri Bidang Hukum Brigjen Masjik, ini yang menyertai kami, mudah-mudahan nanti bisa menambah dan melengkapi apa yang kami sampaikan dan apa yang Dewan kehendaki.

Selanjutnya akan kami coba memberikan pendapat dan tanggapan terhadap RUU yang sekilas sudah kami amati, kalau dilihat dari mulai Pasal 1 ini suatu kemajuan dari KUHP yang kita miliki ini, dimana · dalam Undang-undang ini telah dirumuskan tentang korporasi, dalam KUHP sebenarnya belum ada. Pasal 1 yang menentukan pengertian Korporasi merupakan kemajuan dibidang hukum pidana, bila dibandingkan dengan KUHP dimana tindak pidana korporasi tidak ada dalam KUHP.

Selanjutnya Pasal 2, jadi ini kami sampaikan secara kuantitatif mungkin relatif kecil atau sedikit yang bisa kami sampaikan namun dalam pengembangan diskusi nanti diharapkan akan bisa mengembang lebih banyak. Pasal 2 disitu dicantumkan, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan selantnya", di Pasal 2 itu. Pendapat dari kami, yang pertama dalam Pasal 2 RUU ada sanksi pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Apabila hal ini dikaitkan dengan Pasal 21 ,

Page 6: RISA.LAH RAPAT I,

- 5 -

ayat (4) KUHAP tentang Penahanan, maka tersangka tindak pidana korupsi menurut RUU belum tentu bisa ditahan, ini manakala dilihat daripada hukuman minimalnya, karena ancaman hukuman yang boleh ditahan itu 5 tahun keatas. Jadi ini suatu hal yang untuk penyidik mungkin meragukan, tapi sebenarnya tidak usah ragu kan ancaman maksimalnya sudah ada. Sedangkan dalam Pasal 2 RUU dinyatakan "paling singkat 4 tahun" dan hal ini berarti tersangka tidak dapat ditahan, meskipun penahanannya bukan wajib sifatnya, boleh menahan, cuman kadang-kadang kalau sudah lari ya susah juga begitu, suatu kendala.

Selanjutnya Pasal 3, "Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dan selanjutnya". Pendapat dari kita ketentuan pidana pada Pasal 3 RUU menentukan alternatif sanksi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, kembali apabila dihubungkan dengan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP terhadap si tersangka tidak dapat ditahan tersebut membuat rancu bagi para penyidik di lapangan. Mungkin rancu kalau tidak mengerti saya kira, kalau mengerti juga tidak akan rancu ini.

Menginjak pada beberapa pasal, mulai Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 18, 19, 21 RUU. Yang pertama, RUU tentang Tindak Pidana Korupsi semuanya mempunyai alternatif sanksi pidana yang apabila dihubungkan Pasal 21 seperti yang di atas tadi, para tersangka tidak dapat ditahan, karena ini ancaman pidana penjara tidak 5 tahun atau lebih, hal itu akan membuat penyidik menjadi repot karena tersangkanya bisa saj a melarikan diri, tadi sudah kami singgung. Yang b ada 19 pasal dalam KUHP menjadi tindak pidana korupsi, dengan demikian ada pengembangan hukum pidana dengan adanya perbedaan ancaman hukum pidana yang besar, antara yang tertera di KUHP atau ancaman pidana dalam RUU ini, hal itu akan membuka peluang untuk - -yang mungkin cerita ekses 1n1- -terjadi tawar menawar pilihan tindak pidana yang akan diterapkan. Karena saya lihat 19 pasal di KUHP ini tidak serta merta menjadi lex specialy didalam RUU ini, sehingga sekarang ada juga yang berpendapat kok dualisme, sebenarnya saya kira bukan dualisme, tapi hal ini bisa menimbulkan ekses tadi, tapi kalau bicara ekses memang tidak akan ada habis-habisnya saya kira, itu hanya kemungkinan saj a tawar menawar ten tang penerapan pasal didalam hukum yang akan diterapkan. Ini harus diwaspadai, pasal tersebut di atas disarankan ditambahkan dalam penjelasan pasal bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP.

Selanjutnya Pasal 25, ini kalau boleh kami menyampaikan

Page 7: RISA.LAH RAPAT I,

- 6 -

pendapat, bunyinya: "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berda­sarkan hukum acara pidana yang berlaku" --kalau boleh maunya kita titik di situ bukan koma-- sedangkan bunyinya "kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini". Jadi kalau boleh, tapi berpulang kepada Dewan, ya ini kalau boleh, sekali lagi "Penyidikan, penun­tutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku", titik ini. Disarankan isi Pasal 25 kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang 1n1 dihapuskan kata-katanya sebagai berikut, seperti tadi, jadi cukup titik yang berlaku saja, karena konsekwensinya memang beberapa pasal bisa gugur ini, kalau itu titik sampai sana saja, dalam arti dalam KUHAP ditentukan bahwa penyidik seluruh tindak pidana ini ya Polri, didalam Undang­undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian juga demikian.

Selanjutnya Pasal 26 ayat (1), "Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi dilaksanakan oleh penyidik pejabat Palisi Negara Republik Indonesia atau jaksa". Ayat (2) -nya, "Dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik pejabat Palisi Negara Repub­lik Indonesia maka dalam jangka waktu paling lama 6 kali 24 jam wajib memberitahukan kepada jaksa penuntut umum". Selanjutnya ayat (4), "Dalam hal penyidik pejabat Palisi Negara Republik Indonesia menemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktian­nya maka dapat dibentuk tim gabungan dibawah koardinasi Jaksa Agung". Pendapat atau tanggapan kita, dalam pasal ini dikatakan kalau penyidik Palri mengalami kesulitan pembuktian dalam menan­gani tindak pidana korupsi maka dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung. Pasal 26 ayat (4) ini tidak cacak dengan isi PQ.sal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa "Penyidik peg­awai Jegeri sipil dalam melaksanakan tugasnya dibawah kaardinasi dan pengawasan penyidik Polri" . Yang dimaksud dengan pegawai negeri sipil termasuk juga penyidik jaksa yang berada harusnya dibawah penyidik Palri. Pasal 107 ayat (4) KUHAP juga mengatur tentang penyidik Polri memberi bantuan penyidikan kepada penyidik pegawa1 negeri sipil yang mengalami kesulitan, dalam hal 1n1 penyidik pegawai negeri sipil dapat juga termasuk PPNS Kejaksaan. Kedua pasal KUHAP di atas, Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 ayat (1) tidak sinkran dengan Rancangan Undang-undang Pasa1 26 ayat (4) dibawah koordinasi Jaksa Agung, disarankan di bawah koordina­si Kapolri.

Pasal 26 ayat (2) Rancangan Undang-undang dapat diartikan bahwa Polri dalam koordinasi Jaksa untuk penyidik tindak pidana korupsi karena penyidik Polri waj ib memberi tahu kepada Jaksa Penuntut Umum paling lama 6 kali 24 jam, sedangkan Jaksa tidak wajib memberi tahu penyidik Polri kalau dia melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam RUU ini disarankan jangan dihidupkan

Page 8: RISA.LAH RAPAT I,

- 7 -

kembali nuansa Polri sebagai pembantu Jaksa. Disarankan Pasal 26 ayat (3)-nya dihilangkan. Ini juga terkait dengan masalah penga­wasan, kalau seandainya penyidikan korupsi oleh penyidik Polri saja, itu ada filternya, karena dikenal misalnya Polri mengadakan penyidikan naik ke Jaksa itu P19, nanti turun, harus disempurna­kan, ini kurang ini, kurang ini, dikembalikan lagi ke Polri, naik lagi setelah disempurnakan ini P20, turunlagi kalau kurang, dan nanti kalau sudah lengkap P21 diserahkan berkas sama barang bukti dan tersangka. Sedangkan kalau langsung karena dia tidak waj ib lapor kepada Polri terjadilah --mohon maaf-- contoh dia penyidik, dia penuntut, terj adilah Nurdin Hal id, dia disidik oleh Jaksa, dituntut oleh Jaksa kok dibebaskan. Kedua juga ini, satu lagi yang belakang, ha itu juga, dituntut dan dibebaskan. Nah seandai­nya kita penyelidiknya dinaikkan kurang lengkap kembali kepada Polri. Ini hanya kaitannya dengan masalah kontrol. Ini. saran kita atau pendapat.

Selanjutnya Pasal 39, "Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tuntuk pada peradilan umum dan peradilan militer". Pendapat dari kita dalam Pasal 39 ini diatur tentang Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Pasal 39 Rancangan Undang-undang ini Jaksa Agung lebih maju dan lebih mempunyai wewenang besar bila dibandingkan dengan

i; Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Jaksa Agung hanya mengkoordinir tugas kepolisian refresip saja, sedangkan pada Pasal 39 RUU Jaksa Agung mengkoordinir dan mengendalikan tugas penyelidikan. Dengan demikian pada RUU ini wewenang Jaksa Agung lebih besar bila dibandingkan dengan Undang­undang Nomor 3 Tahun 1971. Disarankan yang pertama wewenang Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan tidak perlu sampai ke penyelidikan, maksudnya dicantumkan penyelidikan, ini cukup sampai ke penyelidikan saja. Karena sebenarnya penyidikan ini terdiri dari penyelidikan dan penindakan.

Yang Kedua, agar ada dengar pendapat, ini kami menyarankan dengan Babinkum ABRI dalam rangka menyongsong Polri mandiri, karena nanti menurut syaibul ikhayat setelah mandiri kan Polri ini bukan ABRI lagi. Sekarang kita masih tunduk kepada hukum militer kita, mungkin disarankan dengar pendapat dengan Babinkum ABRI tentang apa, menjelang kemandirian Polri, itu mengenai Pasal 39.

Kami kira ini setitik kecil untuk penyempurnaan RUU yang akan disahkan nanti. Kami kembalikan kepada Ketua. Terima kasih.

Page 9: RISA.LAH RAPAT I,

- 8 -

KETUA RAPAT: Terima kasih Bapak Waka Polri. Demikian beberapa masukan dari Mabes Polri sedikit tapi

"mentes" ya isinya substansial sekali. Baiklah untuk lebih memperkaya pengetahuan kita mengenai masalah apa yang disampaikan oleh Waka Polri tadi, saya persilakan kepada rekan-rekan yang ingin mengajukan tanggapan, saran, atau pertanyaan.

Saya persilakan yang pertama dari FKP Bapak Ridwan Sani.

FKP (RIDWAN SANI, S.H.): Assalamu'alaikum Wr. Wb. Atas ijin dari pimpinan kami akan mengajukan beberapa perta­

nyaan kepada Waka Polri bersama staf dan jajarannya dan juga kami ucapkan terima kasih atas kehadiran dari Bapak-bapak dari Jajaran Polri karena dengan demikian nanti kita akan dapat memberikan sesuatu masukan-masukan bagi kami dari FKP.

Kami langsung saj a yang pertama yang ingin kami tanyakan adalah mengenai Pasal 41 saja, kami balik dulu dari belakang pak. Yaitu mengenai peranserta masyarakat terhadap, kalau saya baca Pasal 41 ayat (1), "Anggota masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi". Ayat (2), "Anggota masyarakat wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila mengetahui adanya tindak pidana korupsi". Nah 1n1 didalam Pasal 41 1n1 memang kita melihat adalah sesuatu yang selama ini itu memang benar ada, baik dalam ilmu hukum maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana umum. Seseorang yang mengetahui adanya suatu kej aha tan maka adalah kewaj iban daripada dia untuk melaporkan, j ika dia tidak melaporkan maka dia dapat dituduh apakah melindungi atau membantu, atau turut serta dan sebagainya, ini barangkali keter­kaitan dengan yang di sana. Nah khusus mengenai RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini sejauhmana tanggapan dari pihak Polri terhadap_peranserta dari masyarakat ini, apakah kita tetap beracu kepada ketentuan-ketentuan tindak pidana umum yang mengatakan waj ib itu adalah di sana kita mengambilkan sanksinya j ika dia nanti tidak memberikan laporan ataukah ada pandangan lain dari pihak Polri mengenai hal-hal ini, karena tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang didalam menimbang dan didalam penjelasan dari penjelasan umumnya mengatakan adalah satu perkara tindak pidana yang penyelesaiannya harus mendapatkan prioritas. Nah di sini kami ingin mendapatkan suatu masukan dari pihak Polri, apa pandangan dari pihak Polri kalau kita bertahan kepada tindak pidana umum yang itu tentu akan ada beberapa yang kelema­hannya, tapi bagaimana pihak Polri apakah itu sudah cukup dan ada hal-hal yang positif di sana, dan itu tidak perlu diatur lagi

Page 10: RISA.LAH RAPAT I,

- 9 -

dalam Bab IV dalam RUU ini atau katakanlah tidak perlu lagi diatur didalam RUU Tindak Pidana Korupsi ini.

Yang berikutnya, yang ingin kami sampaikan adalah mengenai masalah Pasal 32. Pasal 32 dalam ayat (1), "Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan saksi dan orang lain yang ber­sangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor". Ayat (2), "Sebelum pemer­iksaan dilakukan larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1)

diberi tahukan kepada saksi dan orang lain tersebut" . Ini kami ingin memfokuskannya kepada ayat (2). Ayat (2) ini kalau kita baca secara pelan-pelan, "Sebelum pemeriksaan dilakukan koma larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut". Seandainya sesudah diberitahukan kepada saksi, saksi mempunyai sesuatu kekhawatiran bahwa perlin­dungan atas dirinya tidak akan bisa terjamin, apa langkah daripa­da Polri atau apa pandangan Polri mengenai ayat (2) ini. Karena walaupun bagaimana seingat saya atau seingat kami di negara kita ini belum ada hukum positif yang mengatur mengenai perlindungan seorang saksi, dan 1n1 kita dapat seperti misalnya dinegara seberang yaitu katakanlah di Amerika Serikat itu memang sudah ada perlindungan terhadap para saksi, kan dia mendapat jaminan bukan saja perlindungan bahkan jaminan itu sampai kepada kehidupannya pada saat dia dikarantina lah dia sebagai saksi, ini bagaimana pandangan dari pihak Polri mengenai masalah-masalah yang ini, karena kalau kita lihat masa yang akan datang kami mengantisipa­sinya hal ini akan banyak terjadi, karena jika seseorang sudah mengetahui apa yang terjadi kepada dirinya dia menolak bisa saja karena itu ada hak dia dan apalagi kita melihat pada saat seka­rang juga masuk RUU mengenai Hak Asasi Manusia yaitu HAM yang sedang dibicarakan di Dewan ini. Itu yang kedua.

Dan yang ketiga ingin kami sampaikan adalah mengenai Pasal 39 yang disinggung oleh Bapak Wakapolri tadi mengenai Jaksa Agung mengkoordinasikan, mengendalikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer, disini selama ini memang dikenal didalam hukum positif kita ada yang kita katakan peradilan koneksitas, tetapi itu hanya ada pada kasus­kasus mengenai penyeludupan dan juga belakangan ini ada juga meningkat terhadap kasus-kasus pembunuhan juga kita pernah mengadakan gelar pengadilan itu keadilan koneksitas, dapat kita lihat nanti happy nya dimana, apakah lebih banyak happy pada hukum militer atau happy nya lebih banyak pada hukum juga. Disini kami ingin menyampaikan kepada pihak kepolisian kalau misalnya Pasal 39 ini kita mulai dengan penyelidikan, itu apakah pihak polri tidak mengalami kesulitan, kalau ini disahkan tidak menga-

Page 11: RISA.LAH RAPAT I,

- 10 -

lami kendala-kendala karena didalam penyelidikan ini sendiri kami mengerti bahwa pihak polri itu didalam penyidikan ada dua kate­gori yaitu satu penindakan, kemudian masuk ke penyidikan dan sebaliknya juga dalam polri ada hal-hal yang dikatakan mungkin penyidikan masih bersifat tertutup belum terbuka, apa yang dika­takan masih bersifat masih mengumpulkan data, kalau ini sudah ada gambaran, sudah ada koneksitasnya langkah-langkah 1n1 apakah tidak oleh pihak polri sesuatu hal yang mundur, apakah tidak perlu hanya pada saat peradilannya saja yang koneksitas, tapi pada itu tidak perlu adanya koneksitas, 1n1 kami ingin menga­barkan tanggapan dari pihak polri mengenai hal yang demikian.

Yang terakhir dari kami adalah mengenai Pasal 26 ayat (2) ini kita melihat dalam hal penyidik dilakukan oleh penyidik oleh pejabat polri negara Republik Indonesia, maka jangka waktu paling lama 6 x 24 jam wajib memberitahukan kepada jaksa penuntut umum. Disini kalau kita baca kalimatnya memang sifatnya perintah ini ayat. Timbul pertanyaan kepada kita sejauh mana pihak polri melakukan pengawasan terhadap jajarannya, karena polri di Indone­sia ini bukan hanya di Jakarta, tapi polri di Indonesia ini adalah di seluruh Indonesia, jika misalnya ada suatu unit melaku­kan penyelidikan dan penyidikan, sedangkan dia sudah melangkah jauh atau melampaui waktu dari 6 x 24 jam ini apa tindakan­tindakan atau mungkin tindakan-tindakan tanda kutip, tegoran­tegoran yang diberikan pimpinan polri. Jika ada tegoran itu apakah mekanismenya sudah tersedia, kalau inikan kita lihat bahwa ini dilaporkan kepada pihak kejaksaan juga akan kami tanyakan kepada pihak kej aksaan kalau misalnya pihak polri tidak mela­porkan kepada pihak kejaksaan apa sanksinya. Sekarang kalau kita sanksinya kedalam dulu, kalau kedalam kita bagaimana, jadi disini kami menginginkan adanya satu penjelasan dari pihak polri sejauh mana pengawasan yang dilakukan oleh pihak polri pada jajarannya khusus mengenai Pasal 26 ini didalam penerapannya. saya rasa demikian Saudara pimpinan yang dapat kami sampaikan dan kami mengharapkan beberapa penj elasan-penj elasan dari j aj aran polri. Sekian dan terima kasih. Assalam'mualaikum Wr. Wb.

KETUA RAPAT (SOENARTO, SH) : Saya persilahkan selanjutnya dari FPDI.

FPDI (SAJID SOETJORO, B.Sc): Assalam'mualaikum Wr. Wb. Terima kasih kepada yang terhormat bapak pimpinan. Sekaligus

selamat datang dan terima kasih Wakapolri beserta stafnya khu­susnya Jenderal Bimantoro yang selama ini berada di Jerman terus.

Dari FPDI saya kira polri belum lupa Fraksi yang terkecil tapi terindah pak, akan menyampaikan beberapa harapan sedikit

Page 12: RISA.LAH RAPAT I,

- 11 -

pertanyaan yang paling ngetrend dari tadi memang Pasal 26 saya pak dikaitkan dengan Pasal 39. Oleh Wakapolri telah disinggung Pasal 39 yang menyebutkan bahwa porsi kejaksaan agung di dalam RUU ini kelihatan makin maju dibandingkan dengan UU No. 3 Tahun 1971 itu berarti mengandung pengertian usul FPDI tahun 1981 makin jauh pak, seperti tadi saya singgung waktu dengar pendapat dengan kej aksaan agung. Sej ak pembahasan RUU tentang KUHAP Tahun 1981 sebenarnya FPDI telah mengusulkan agar penyidik tunggal yaitu dari polri tahun 1999 lahir kejaksaan agung yang diberi porsi lebih banyak Pasal 39 tadi, tapi FPDI tidak sakit hati dari dulu usul FPDI mesti makin jauh pak walaupun yang akhirnya itu yang terjadi untuk itu kami mohon tanggapan dari Wakapolri bagaimana caranya rencana pembahasan RUU ini yang akan kita f inalkan dida­lam UU nanti bersama-sama dengan Fraksi-fraksi yang lain, kalau dari Fraksi yang sebelah sana saya kira tidak ada masalah Bapak taufik dan sebagainya yang mesti akan membantu kami, mudah-muda­han semuanya juga akan begitu. Jadi bagaimana tanggapan polri seandainya usulan dari FPDI tahun 1981 waktu membahas RUU tentang KUHAP itu yaitu adanya penyidik tunggal saja yaitu daripada polri, kalau waktu itu kami dikalahkan a tau belum dimenangkan atau karena tertunda mudah-mudahan dengan bantuan atau dengan tanggapan atau masukan dari pihak polri kami akan mengulang kembali agar penyidik tunggal itu bisa dimanifeskan didalam RUU tentang pemberantasan tindak pidana korupsi 1n1. Seperti tadi juga kami singgung waktu RDP dengan Kejaksaan Agung jangan ada kesan seakan-akan kalau hal-hal yang kecil itu penyidik~ya dari polri kemudian yan~ besar-besar penyidiknya dari kejaksaan agung, walaupun ini tidak· berarti kita mengkomparatifkan sesuatu yang negatif dan positif pak, untuk itu sekali lagi dari FPDI berkeinginan akan memeperjuangkan kembali terwujudnya undang­undang ini dalam artian kemungkinan terjadinya penyidik tunggal yaitu dari pihak polri. Hanya itu Wakapolri dengan ucapan terima kasih atas bantuanya.

KETUA RAPAT : Terima kasih. Saya harapkan dari Fraksi ABRI.

FABRI (DALAM SINURAYA, S.Sos): Tarima kasih Saudara Pimpinan. Assalam'muaalaikum Wr. Wb. Yang kami hormati Bapak Wakapolri beserta jajaranya, Bapak

dan Ibu Anggota Pansus, kami berterima kasih kepada Bapak Waka­polri yang telah memberikan banyak masukan tadi pak, namun kami masih perlu ada pendalaman sedikit, yang pertama tadi bapak Wakapolri menyampaikan disini ada sanksi yang mengatakan tadi

Page 13: RISA.LAH RAPAT I,

- 12 -

serendah-rendahnya 4 tahun dan ada yang satu tahun, menyulitkan bagi jajaran polri untuk menahan, yang menjadi pertanyaan kami pak karena tadi bapak mengatakan kadang-kadang ada yang karena tidak bisa ditahan lari, apakah dengan demikian dapat kami terje­mahkan bapak mengusulkan kiranya serendah-rendahnya harus 5

tahun, supaya ini bisa ditahan, ini yang pertama pak. Kemudian yang kedua pak, kami masih berkaitan dengan apa

yang saya sampaikan oleh pak Sani tadi, peran serta masyarakat ini tadi pak, kami sangat menyambut baik dimasukanya peran serta masyarakat ini, pada Pasal 41 disana ada tercantum, anggota masyarakat wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang apabila mengetahui adanya tindak pidana korupsi, menurut pendapat bapak, kami mengatakan waj ib apakah diperlukan didalam RUU ini adanya sanksi bagi masyarakat yang tidak melaporkan, ini pak yang kedua.

Kemudian yang ketiga pak, berkaitan juga dengan yang disam­paikan Pak Sani tadi, kalau Pak Sani tadi mengatakan sanksi, kalau kami perpendapat pak mungkin belum saksi lalu pelapor, sebagai masyarakat kami perpendapat masyarakat ini perlu perlin­dungan kalau dia melaporkan adanya tindak pidana korupsi, kita mengetahui keamanan pelapor ini perlu mendapat perlindungan, karena kami sebagai masyarakat merasa, kalau saya melaporkan adanya suatu tindak pidana korupsi walaupun masih tingkat penye­lidikan barangkali keamanan masyarakat ini perlu di lindungi bahkan sampai kepada tingkat pengadilan walaupun dalam Pasal 31 yang mengatakan tadi saksi merahasiakan nama, kita mengetahui rahasia-rahasia seperti ini sering juga cukup ketat kita rahasia­kan, tetapi juga muncul ke masyarakat bahakan ada Pasap disini mengat.kan yang melaporkan itu mendapat penghargaan kalau dia mendapatkan penghargaan tambah mungkin tidak bisa dirahasiakan nama yang melapor itu, apalagi diberikan penghargaan. Berkaitan dengan itu apakah Bapak sependapat kalau perlu juga perlindungan hukum kepada pelapor sampai kepada saksi kalau namanya sampai diketahui oleh yang melaksanakan tindak pidana korupsi, jadi perlu adanya perlindungan dari negara, mohon tanggapan dari Bapak Wakapolri. Demikian pak terima kasih. Assalam'muallaikum Wr.Wb.

KETUA RAPAT : Terima kasih dari FPP barangkali.Tidak ada, kalau tidak ada

dari pimpinan Bapak Muchsin.

FPP (DR. H. MUCHSIN, SH) : Assalam'muallaikum Wr.Wb. Terima kasih kepada tamu kita yang menyediakan

walaupun undangannya saya kira sangat mendadak dan Bapak menyiapkan secara tertulis dan kalau diizinkan .kami nanti

waktu sudah mo hon

Page 14: RISA.LAH RAPAT I,

- 13 -

apa yang sudah tertulis itu bisa kami terima untuk bahan Pansus itu. Baiklah izinkan kami menanyakan beberapa hal sebagai berikut UU No. 3 Tahun 1971 sudah kurang lebih 28 tahun kiita pakai. Selama ini secara tehnis operasional baik kejaksaan maupun kepolisian melaksanakan atau menginplementasikan UU No. 3 tahun 1971 ini, beberapa hal yang ingin saya tanyakan adalah kekurangan apa yang ada pada UU No. 3 Tahun 1971 ini bagi polri didalam operasional­nya ikut melakukan pemberantasan korupsi, karena korupsi konon menurut para pakar adalah data-data stelah keluarnya UU ini itu tidak semmakin menyurut tapi jumlahnya kebocoran katanya sudah sampai 30 posen dan lain sebagainya. Kesulitan apa yang dihadapi polri didalam melakukan operasional kegiatan pemberantasan korup­si ini. Satu apakah dari peraturan perundang-undangannya, apakah dari sumber daya manusianya karena canggihnya tehnologi perkorup­sian sehingga tidak terkejar oleh aparat atau SDM kita. Yang ketiga apakah biaya operasional taktis yang dianggarkan untuk po1ri ini sedikit, kita ingin kejelasan ini jadi kami menandai bahwa korupsi itu kenyataannya begini kita akan rubah, tetapi apakah perubahan ini hanya satu-satunya itu atau ada yang lain dan kekurangannya apa, UU No. 3 Tahun 1971 itu dan kalau ada kekurangannya apakah sudah bisa ter cover dengan konsep RUU ini dan kalau belum ter cover kekurangannya dimana sehingga kita nanti dalam membuat RUU ini menjadi UU kita bisa menutup lobang­lobang sehingga para koruptor itu bisa lari, terkait dengan ini saya tertarik dan megikuti dengan sungguh-sungguh yang sebelumnya saya ada di Komisi APBN (Komisi VIII) waktu itu beberapa Direktur Bank Bank Indonesia telah diperiksa oleh Polri, sekaligus nanti kami ingin tahu kesulitan-kesulitan apa karena rakyat itu nunggu­nunggu benar bahwa ini yang menggucurkan duit begini kemudian, kemudiAN Palisi meriksa seneng sekali masyarakat itu, tapi kita kurang tahu persis perkembagannya, apakah kerana Undang-un­dangnnya kurang lengkap ataukah karena masalah lain, ini kita ingin seKaligus Klarif ikasi agar kita untuk yang akan datang itu jelas kalau memang Polri itu Angkatan, kami kikuh wiwoyo ini kami memeriksa enak-enak lalu ada intervensi apakah begitu ataukah ada faktor lain. Kemudian kaitannya ini dengan Penyidik walaupun Bapak menyampaikan secara ringkas itu nuasa, itu rupanya dari waktu-kewaktu menjadi perdwebatan yang cukup inten sebenarnya Penyidik di negara Republik Indonesia itu mau menjadi wewenang satu Intansi ataukah banyak Intansi. Saya melihat misalnya di KUHP itu demikian, lalu di Undang-undang tentang Kepolisian demikian, lalu konsep RUU tentang tindak pidana korupsi demikian. Kemudian UU tentang pasar modal yang kelihatannya dengan BAPEPAM ada begini penyidik khusus pembantuan atau apa, jadi disini dari Polri ini bagaimana konsep yang paling ideal menurut Bapak tetapi

Page 15: RISA.LAH RAPAT I,

- 14 -

ini juga mengandung konsekwensi-konsekwensi kaitannya dengan tanggung jawab tadi, kita belum sanpai kepada masalah kesimpulan, tapi barangkali kita pada era Reformasi saya tranparan saja, Bapak di lapangan kendalanya apa (kesulitannya) karena memang Korupsi yang demikian cangginya itu aparat-aparat SDM Polri masing-masing daerah kemungkinan juga perlu ada penyesuai­penyesuaian dalam rangka keahlian dan sebagainya, ini yang ingin saya tanyakan kemudian menanggapi 4 tahun dan seumur hidup irtu kalau tidak salah bisa di tahan acamannya 5 tahun, tapi kalu seumur hidup di atas 5 tahun, 4 tahun itu kira-kira kalau boleh meraba mudah-mudahan betul, itu hanya memberikan suatu gerak supaya hakim itu memilih antara 4 sampai dengan 20 tahun walaupun itu dalam diskusi ada masalah juga kalu seseorang yang korupsinya sengaja menerima Haherping piktif 25 ribu menjadi suatu tim apa karena tidak kerja tidur dirumah teken 25 ribu itu dimasukan korupsi apakah iya adil 4 tahun, tadi sudah sampai kesana, saya ingin melihat atau mempertajam masalah ini pertanya kepada Polri, 4 tahun 20 tahun seingat saya yang diancam dengan 5 tahun, tapi kerena antara 4 sampai 20 tahun, apakah ini cukup mengganggu kata 4 tahun ini, atau ini harus dihapus ada kaitannya 4 tahun dihi­langkan bahkan ada salah satu fraksi menyata~an ini mau dibikin hukuman mati, ini rupa-rupanya cuma hukuman mati bagaimana komen­tar Bapak, karena mungkin ada korupsi sejumlah tertentu harus diancam hukuman mati, misalnya satu trilyun keatas itu diancam dengan hukuman mati.

WAKAPOLRI Soalnya dalam Pasal 25 itu, terima kasih atas simpatik dari

FPDI ini, dimana bunyi Pasal 25 ini adalah penyidikan, penuntu­tan, dan pemeriksaan di Sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku. Dan itu kalau boleh tadi begitu rumusannya, tapi berpulang kepada basil Dewan. Selanjutnya Pasal 26 ayat (2) ini sebenarnya sudah berlaku CJS ini suatu kriminologi sistem yang dengan koordinasi yang baik sebenarnya antara penyidik, penuntut dan kehakiman ini atau peradilan sebenarnya tidak ada masalah, cuma karena ada penuntut merangkap penyidik apa benarnya, disebutkan kata UU nya disini rujuknya begitu. Jadi sistem itu masalah pengawasan fung­sional dan pengawasan melekat itu juga tidak mengkhawatirkan dan 6 x 24 jam harus sudah melaporkan dan lain sebagainya. Tadi dari FPDI sudah sekaligus memang sangat simpatik sekali usulan FPDI itu.

Selanjutnya dari FABRI mengenai serendah-rendahnya 5 tahun itu hukuman minimal, sebenarnya tidak begitu juga tanggapan kita, cuma jangan sampai artinya salah begitu minimal 1 tahun kalau begitu tidak bisa dihukum berpulang kepada sumber daya manusia

Page 16: RISA.LAH RAPAT I,

- 15 -

penyidik ini jangan mengartikan seperti itu apakah mungkin perlu ditegaskan didalam penjelasan pasal bahwa hukuman minimal 1n1 tidak terkait dengan kewenangan masalah penahanan boleh atau tidaknya. Selanjutnya perlindungan kepada saksi, saya sangat setuju bahwa minimal kalau bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah untuk perlindungan pelapor atau saksi. Selanjutnya dari pimpinan tadi mengenai Undang-undang No. 371 apa kendalanya akan dilengka­pi oleh youser atau pelaku, pelaksana daripada Undang-undang itu menge\iai penyidikan terhadap korupsi ini. Cuma yang perlu kami gambarkan bahwa kita ketahui bersama bahwa tindak pidana korupsi inikan merupakan white colour crime begitu tidak sama, kalau pencuri ayam gampang sekali asal jelas ada pembuktiannya dan lebih mudah. Yang kedua juga ini harus sudah di dalam pengungka­pannya ini. Selama ini kita ketahui terjadi di Departemen, atau pegawai-pegawai pemerintah yang selama 1n1 dikenal, meskipun dengan undang-undang ini lebih luas. Juga kenyataannya ini bukti­bukti formal umumnya secara pertanggungjawabnya sah begitu, mungkin matriilnya bisa kita buktikan, tapi kalau sudah mengin­j ak bukti formal biasanya lengkap-lengkap saja, sepertinya benar­benar saja itu, ini salah satu kendala, tapi sekali lagi sekali­gus nanti dengan kasus-kasus bank yang ditangani oleh Mabes Polri dalam hal ini, mungkin dari Danreserse akan memberikan tambahan penj elasan. Tadi khususnya mengenai ideal, idealnya satu kata saja pakai KUHAP itu ideal menurut kita, menurut Polri, karena ini sudah jelas dan tegas mengenai apa yang sudah diatur KUHAP termasuk apa kewenangan penyidikan ini, meskipun di dalam KUHAP ini Polri adalah penyidik utama, bukan penyidik tunggal. Penyidik utama dalam arti memang diatur tentang penyidik Pegawai Negeri Sipil lain, jadi Mabes Polri sebagai koordinatornya. Sealanjutnya mengenai Pasal-Pasal KUHP sepertinya ada yang diadopsi dalam RUU ini ada 19 pasal, dimana selama ini juga Polri sudah menangani manakala ada pasal-pasal dari 19 pasal itu yang dilanggar, cuma sekarang mungkin exes berjual beli pasal mana, ini sebenarnya tergantu~g dari pada materi secara kuwantitatif, misalnya kalau yang dikorupsinya hanya seratus rupiah, ya korupsi juga, apakah itu mau dikenakan juga pasal yang ancaman hukumannya antara 4

samapi 20 tahun? itu masalah kepatutan dan rasa keadilan yang bisa kita pedomani. Jadi bukan masalah kira-kira enaknya mau pasal sana atau pasal sini, mau masuk atau bayar itu zaman dulu pak, itu saya kira yang masalah pasal ini. Kami persilahkan dari rekan-rekan lain mungkin dari pak Da'i Bachtiar silahkan.

STAF WAKAPOLRI : Terima kasih, atas izin Bapak Waka Polri untuk menambahkan

apa yang telah disampaikan beliau. Atas pertanyaan Bapak Ridwan khususnya pada masalah peran serta masyarakat memang justru kita

Page 17: RISA.LAH RAPAT I,

- 16 -

ingin mendapat masukan pak, jadi ini memang kasus-kasus korupsi kalau tidak dapat informasi dari luar memang kita sulit, karena kita lebih banyak di dalam. Saya setuju saya kira ini masalah sanksi ini pak. Sebetulnya akan lebih efektif peran serta masyar­akat itu atau diberi sanksi, Tapi kalau diberi sanksi apa tidak timbul masalah, orang akan makin menjauh pak, karena ada sanksi itukan, karena kita sulit membuktikan atau apa tidakkan sulit membuktikan di dalam praktek itu. Kemudian maslalah perlindungan terhadap saksi pak, memang kita sebenarnya berharap ada undang­undang itu pak, walaupun resiko bagi pembiayaan cukup besar pak, karena sudah pernah saya pelajari undang-undang perlindungan saksi yang di Amirika itu luar biasa pak. Sampai terhadap kehidu­pannyapun harus dij amin oleh negara. Sampai bisa pindah j adi kewarganegaraan lain, pidah alamat dan sebagainya dan kehidupan sepanjang hidup dia harus dijamin pak, dan itu saya kira kedepan pasti akan sampai pak, utamanya menghadapi kejahatan-kejahatan sindikat. Dan sebetulnya kita sudah sampai, karena masalah­masalah narkotika sudah masuk kewilayah kita yang tidak saja daerah kita sebagai transit, tapi sebetulnya sudahj daerah pasar­an. Nah ini kita semua perlu memikirkan, oleh karena itu tawaran Bapak Waka Polri tadi setidak-tidaknya ada cantolan di pasal ini bisa dijabarkan melalui PP. Memang mengandung resiko, yaitu resiko mampu nggak negara ini membiayai. Dan kitapun dari Polri akan lebih mudah, karena ada jaminannya, Jaminannya tentu ada anggaran. yang keluar untuk bisa melindungi mereka. Sementara inikan Polri kalau diminta harus melindungi. Katakanlah kalau pasal ini berlaku, waj ib pak Polri mel indungi, tapi seberapa mampu ki ta memberikan perlindungan terhadap mereka ini, kalau misalnmya polisi harus seharian menunggu seorang terus dibawa kemana, dari mana biayanya Polri harus melakukan itu. Dan ini pasti akan kita lakukan nantinya, karena sudah ada pasalnya, cuma tidak ada yang mengatur bagaimana resiko-resiko yang timbul terhadap ini. Ini saya sangat setuju pak, perlu ada pengaturan lebih lapjut. Kemudian terhadap Pasal 39 sebenarnya kita sependa­pat pada yang lama, bahwa koneksitas itu adanya di Peradilan, artinya kalau terjadi koneksitas di dalam KUHAP menentukan Jaksa Agung dan Menteri itu akan menentukan peradilan mana, apakah peradilan militer atau peradilan umum gitu pak. Tidak pada ting­kat awal, ini lebih jauh lagi, mulai dari penyelidikan, penyidi­kan, penuntutan sudah ditentukan pak, jadi lebih maju. Kita bisa memahami itu bahkan kita Bapak Waka Polri menyarankan penyidikan saja, represif saja, jangan ke penyelidikan, sebab kalau penyeli­dikan ini belum apa-apa, baru ada katakanlah ada orang sentimen barangkali dilaporkan, ini sudah mulai kan repot pak, wewenangnya luar bisa besarnya ini pak. Jadi kalayu memang kita kembali kepada hukum positif yang ada yang masih berlaku adalah pada

Page 18: RISA.LAH RAPAT I,

- 17 -

peradilan kami sebetulnya sependapat pada tingkat peradilan saja. Karena toh biar masing-masing bisa melakukan, karena teknis di lapangan memang agak sulit pak, kalau terjadi misalnya disa.tu Polres yang jauh terpencil, menyangkut dua atau lebih dari dua orang yang peradilan yang berbeda militer sama umum. Ini kan harus sudah dikoordirtasikan, ini menjadi repot di dalam pelaksa­naannya. Jadi biar saja diselidiki oleh masing-masing katakanlah Porn menyelidiki, Polri menyelidiki, Jaksa menyelidiki, nantinya kalau sudah pada sidang peradilan baru ditetapkan. Ini lebih mudah prakteknya dari pada sejak awal sudah melakukan ini pak, ditentukan pada pasal 39. Kemudian msalah Pasal 26 ayat (2), ini sebetulnya tanpa disebut 6X24 jam, KUHAP kita sudah mengatur, begitu kita sudah melakukan penyidikan sudah ada yang namanya SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), sudahj akses ini antara Penyidik Polri dengan Jaksa Penuntut Umum, dan kita harapkan sebenarnya begitu SPDP diterima oleh kejaksaan kejaksaan sudah mulai menunjuk Jaksa Penuntut Umum, sehingga kita berkon­sul tasi. Beberapa daerah sudah dan ini di dalam Maketjapol yang terakhir sudah dilaksanakan pak. Dan kita pun diberi waktu hanya dua hari, dalam Maketjapol yang terakhir, jadi begitu kita sudah melakukan, mengeluarkan surat perintah, bahwa ini sudah dimulai penyidikan, dua hari sudah harus sampai ke Jaksa Penuntut Umum. Jadi kalau kita endapkan enam hari, jadi mundur lagi, kalau yang umum sudah dua hari. Tetapi kenapa ini ditegaskan, saya bisa mengerti, karena yang kemarin itu Maketjapol, Maketjapol itukan tidak explisit di dalam satu peraturan, inikan suatu penetapan yang explisit. Bagi kita tidak ada masalah ini, karena KUHAP sendiri sudah mengatur demikian. Hanya memang kalau pertanyaan Pak Ridwan sekarang apa sanksinya, saya kira memang sanksi organi­sasi cukup banyak pak, sudah banyak tindakan termaksud memutasi­kan kalau di daerah, ini sudah bisa dilakukan. Kemudian dari FPDI memang tadi sudah dijawab oleh Bapak Waka Polri termasuk pasal 39 tadi KUHAP, tetapi kondisi obyektif Polri, saya kira j uga pak Waka Polri sudah menyampaikan, keadaannya memang seperti 1n1, tetapi kalau kita bicara ideal sebenarnya kesana pak begitu, tapi kalau terus ditutut apakah sekarang POLRI mampu seluruhnya. Kita bilang belum tapi apa terus dibiarkan begini POLRI seharusnya harus dimampukan diberikan tugas tersebut. Sekarang mari kita bicara komisi obyektif atau bicara ideal begitu. Kalau berbicara ideal mari kita tata yang lain-lainnya, tapi bukan saja Undang­undangnya yang dibuat ideal, tetapi juga yang lain-lainnya begi­tu. Oleh karena itu POLRI bisa mengerti tentang adanya konsep­konsep seperti ini begitu. Kemudian dari FABRI memang betul, 5 tahun ini memang ki ta waspadai, karena bisa saj a orang menaf -sirkan itu tergantung kepentingannya, kalau tidak terumuskan didalam setidak-tidaknya dalam penjelasan, bisa orang menafsirkan

Page 19: RISA.LAH RAPAT I,

- 18 -

lain terutama yang berkepentingan. Inikan minimal sama saja, kalau ketentuannya KUHAP Pasal 21, minimal 5 tahun ancamannya, disinikan 4 tahun bisa dibawah 5 tahun itu tergantung penafsiran kita. Oleh karena itu memang harus explisit itu dijelaskan, setidak-tidaknya saran dari kita tanpa mengurangi ketentuan yang ada pada Pasal 21 KUHAP didalam penjelasannya itu.

Saya kira sanksi tadi sama, kemudian masalah didalam korupsi itu kami sudah melakukan penyidikan terhadap korupsi itu memang sejak UU Korupsi juga kita sudah melakukan, kalau pak Soenarto mengatakan juga bahwa Pasal 397 KUHAP lebih gencar dan kekua­tannya lebih karena memang di organisasi kita membentuk yang namanya Direktorat Tindak Pidana Korupsi terkredibitor sampai ketingkat POLDA itu ada yang menangani khusus masalah korupsi, data-datanya dapat kita saj ikan dalam tahun 1998. Sebanyak 46 kasus yang kita tangani dan sudah 10 kasus yang sudah diterima oleh kejaksaan dan berlanjut. Jadi artinya proses yang dilakukan oleh POLRI diterima oleh Jaksa penuntut umum itu sampai bersi­dang. Kemudian kendalanya memang white colour crime, jadi kejaha­tan-kejahatan korupsi barangkali dilakukan oleh orang-orang yang ahli, orang yang pintar yang berdasi begitu, sehingga kadang­kadang kalau kita melakukan pembuktian formal tidak ada penyim­pangan. Dan dokumen-dokumennya cukup mendukung, tapi orang bisa melihat nyatanya seperti itu. Ini memang diperlukan oleh ahli, jadi penyidik selalu menggunakan ahli, artinya orang yang mengua­sai bidangnya kita jadikan saksi ahli dalam penyelidikan. !tu didalam penyelidikan. Sedangkan yang dilakukan oleh dua instansi dari POLRI maupun Kejaksaan , sebab mereka dalam kondisi sekarang bagi kita memang anggap saja sebagai suatu jaring yang rapat. Artinya kita semua bergerak mencari lebih banyak lebih baik walaupun ada prinsip terlalu banyak pintu belum tentu arahnya kemana begitu, tetapi sementara kita anggap saj a lewat polisi masih ada jaksa harapan kita begitu supaya benar-benar masalah korupsi ini tertangani daripada tidak ada yang menangani. Tapi walaupun prinsip satu pintu jadi katakanlah seperti contoh seba­gaimana ·yang dikemukakan Waka POLRI bisa ·saja, karena harapan kita terus terang saja kalau kita sudah mulai menyelidik itu kita sudah diawasi. Begitu kita mengirim SPDP jaksa penuntut umum sudah mengawasi kita begitu, apa yang kita lakukan kita sudah ada progresnya, ada model laporan, bahkan kalau kita ingin memperpan­jang tahananpun kita harus mengirimkan laporan kemajuan terhadap Jaksa Penuntut Umum, tidak hanya minta saja pak, kalau minta surat bahwa kita sudah habis waktunya diperpanjang kejaksaan tidak mungkin mengasi, kita harus menjelaskan pak, mengirimkan dalarn laporan kemajuan. Sedangkan rnsalah-rnasalah yang di dalarn rurnusannya pak, RUU sekarang justru lebih banyak , lebih lengkap, lebih konkrit termasuk contoh-contohnya pasal-pasal yang ada

Page 20: RISA.LAH RAPAT I,

- 19 -

dalam KUHP ini masuk di dalam RUU ini dalam pasal sendiri­sendiri, misalnya Pasal 209 masuk dalam Pasal 15, 16, terus begitu pasal tersendiri, ini lebih maju pak, dari pada Undang­undang Korupsi, Undang-undang Korupsi Pasal 209 sampai sekian itu udah dalam satu pasal saja, jadi tidak terinci, kalau ini lebih terinci, lebih maju gitu pak. Persoalannya sekarang apakah nanti ada tawar-tawaran apakah kami pasang pasal korupsi atau pasal KUHPnya, karena memang secara explisit tidak mengatakan bahwa Pasal 208 dan lain sebagainya di KUHP tidak berlaku lagi. Tapi kalau kita lihat tarikkan lainnya tentunya disini berkaitan dengan keuangan negara, hal-hal yang tidak masuk dalam KUHP biasa, jadi nanti tergantung dari pada kasus demi kasusnya pak. Jadi kalau dalam pembuktiannya memang terkait pada masalah­masalah korupsi katakan keuangan negara, kerugian perekonomian dan sebagainya saya rasa sudah dirumuskan gitu pak. Itu barang kali kita pakai pasal ini, tapi kalau tidak berkait pakai pasal KUHP, jadi tergantung dari kasusnya pak. Sebab kalau dihapuskan khawatir nanti ada kasus, yang itu nanti malah hilang gitu pak. Jadi dua-dua ini berlaku sekalipun tawar menawar pak, saya kira pada prinsipnya ancaman hukumannya cukup berat. Jadi tergantung dari pada nanti keputusan pengadilan. Kemudian berkait dengan contoh kasus bank yang ditangani. Kami jelaskan memang masih dalam proses, artinya tidak dihentikan. Sebagai informasi pada kasus ini memang ada kendala teknis, katakanlah para saksinya bank-bank terkait itu likwidasi pak, jadi kalau kita mencari saksi sudah pada bubar semua pegawainya, itu agak lambat, bisa kita lakukan. Kemudian dokumen-dokumen juga bapak tau tertunda, waktu itu gedung Bank Indonesia terbakar, itu memang dokumen­dokumen itu ada disana, jadi tertunda. Kemudian yang berikut ada juga saksi yang meninggal, yang jatuh dari hotel, kemudian memang ada lagi sekarang ini yang memang sedang di dalami ini adalah whait color crame. Jadi para direktur yang tiga ini pak, sedang didalami apakh unsur melwan hukumnya ada apa tidak, karena dalam korupsi ~ni harus ada unsur melawan hukum. Nah katakanlah mereka ini bermain di dalam di dalam aturan-aturan. Saya berikan contoh begini, bahwa ada aturan yang keluar dari Bank Indonesia itu mengatakan bahwa bank-bank tertentu diberikan diskonto satu, diskonto dua, diskonto khusus, tapi tidak menyebutkan bank mana yang diberikan, gitu pak, tidak tegas disebut. Nah kalau dija­barkan bahwa bank si A semua diberikan ada kekuatannya dia, nah kalau dia begitu berarti dia unsur melawan hukumnya tidak bisa karena dia tidak keluar dari aturan itu, karena memang ada kebi­jakkan Pemerintah yang menyatakan bank-bank dalam menghadapi perekonomian sekarang dapat diberikan diskonto satu, diskonto dua, dan diskonto khusus, nah kalau itu diberikan semua paka, padahal tidak dimaksud bank yang mana, sebetulnya mungkin bank

Page 21: RISA.LAH RAPAT I,

- 20 -

itu tidak perlu diberikan, tapi karena tidak disebutkan banknya pak, limitatif tidak ada, bisa memberikan kepada bank yang lain, nah 1n1 yang sedang kita pelajari pak, karena ini dilakukan orang-orang tadi, orang pandai, jadi pasal-pasal sudah dipelajari tentunya pak ini. Kitapun tidak kalah, kita mencoba terus menge­jar, nanti kita kejar pada tingkatan bagaimana aturan ini keluar begitu pak, itu terhadap tiga direktur Bank Indonesia. Kemudian terhadap ancaman minimal tadi saya kira sudah terjawab. Kemudian dari pak Narto juga saya kira sudah terjawab pak, soal pilihan itu, tergantung nanti kasusnya pak, jadi kalau kita hapuskan memang nanti kalau muncul kasus yang tidak kena disini kan kena disini gitu pak, sementara itu pak yang kami dapat tambahkan, terima kasih.

WAKAPOLRI Terima kasih Danreserse, mungkin dari staf yang lain silah­

kan, Kadiskum, nggak usah mengulang yang sudah disampaikan.

STAF WAKAPOLRI/KADISKUM : Terima kasih atas kesempatan yang diberikan, atas izin Bapak

Waka Polri kamai akan menyampaiakan beberapa hal. Untuk Pak Ridwan Sani Pasal 41 ayat ( 2) memang pasal ini ada kai tannya dengan Pasal 108 KUHP ayat {l) dan ayat {2) . Di dalam Pasal 41 RUU dihubungkan dengan Pasal 108 KUHAP memang dikatakan bahwa ssetiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak, dari situ diangkat. Kemudian dikaitkan dengan Pasal 108 ayat {2)nya memang ada hubungannya dengan Pasal 41 ayat (2} RUU. Jadi setiap orang yang mengetahui perbuatan jahat diharapkan mempunyai hak untuk waj ib seketika melaporkan kepada penyidik. Jadi sebenarnya RUU ini adalah mengulangi boleh dikatakan dari Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2}, boleh· dikatakan demikian, kemudian tentang kendala seperti yang t:elah ditanyakan tadi oleh Bapak Pimpinan rapat faktorl u:r1dang-undangnya misalnya kendala-kendala kesulitan yang dihadapi Polri melakukan kegiatan operasional memberantas korupsi misalnya f aktor undang-undang ada yang belum sinkron antara Hukum Acara dan Undang-undang nomor 3 TRahun 1971 tentang Wewenang Penyidikan, faktor kendalanya misalnya. Kemudian kesulitan lagi adalah faktor penegak hukumnya, ada fungsi penyidikan dan fungsi penuntutan atau proses penyidikan atau proses penuntutan berada dalam satu tangan instansi misalnya. Itu faktor kesulitan penegak hukumnya. Kemudian faktor masyarakatnya, kesulitan bagi faktor masyarakat adalah dalam menanggulangi kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi ada kecendrungan bahwa korupsi dianggap hal yang biasa oleh sebagian dari masyarakat. Kemudian faktor sarana misalnya kesulitan dalam menanggulangi tinJak pidan korupsi

Page 22: RISA.LAH RAPAT I,

- 21 -

sarananya adalah biaya pendidikan minimal, untuk memproses itu tentunya tidak bisa dengan biaya-biaya yang sudah ada kecendrung­an dengan biaya-biaya yang sudah ditetapkan dalam anggaran. Jadi kesimpulannya kesulitannya ada dari faktor undang-undangnya, ada kesulitan dari faktor penegak hukumnya, ada kesulitan dari faktor masyarakatnya kita dalam budaya hukumnya, dan ada kesulitan dari faktor sarana dan prasarana, terima kasih.

WAKAPOLRI : Terima kasih Kadiskum, masih ada dari staf yang lain ? ya

silahkan, kalau tidak ada jangan dipaksakan

STAF WAKAPOLRI : Terima kasih pak, kami hanya untuk memberikan jawaban yang

masih belum terjawab pak, yang tadi sudah terjawab semua. Yaitu yang menanyakan mengenai kekurangan apa yang ada dalam operasio­nalnya mengenai pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Sebetulnya pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 itu sudah terpadu pak pelaksanaannya, menurut pengalaman kami karena disitu dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang pengalaman kami di praktek polisi itu diangkat sebagai penyidik kasatkas A, terus kalau Kej aksaan diangkat sebagai Kasatkas B

yaitu penuntut, sedangkan Pemerintah diangkat sebagai Kasatkas C yaitu untuk memberikan informasi-informasi tentang terjadinya tidak pidana korupsi. Sejak berlakunya, jadi itu tidak ada kesu­litan bahkan sudah banyak kausu-kasus yang ditangani pada waktu itu, waktu itu telah terlaksana adanya operasi optipus yang dibawah oleh Komkamtib bersaman dengan itu pelaksanaannya. Selan­jutnya dengan adanya KUHP sebetulnya sistem peradilan itu harus sudah ada dalam ketentuan KUHP bahwa penyidiknya adalah POLRI, Jakasa sebagai penuntut dan hakim sebagai peradilan, sehingga itu merupakan pembagian tugas secara jelas, tapi dengan adanya INPRES No. 15 dan KEPRES mulai darisitu kabur, kewenangan penyidikan daripada tindak pidana korupsi itu sudah langsung dipegang oleh kejaksaa~, serhingga disini banyak terjadi kasus-kasus yang kami alami yaitu sudah tidak mengikuti KUHP lagi, kalau seumpamanya kejaksaan yang melakukan penyidikan dia tidak mempunyai kewena­ngan atau kewajiban untuk memberitahukan kepada polisi atau juga berkoordinasi seperti pada waktu berlakunya UU No. 3 Tahun 1971. Jadi sudah sendiri dia. Sehingga dengan adanya demikian, kalau polisi yang melimpahkan berkas kalau itu tindak pidana korupsi langsung dia tidak memberitahukan melalui prosedur KUHP lagi bahwa itu tindak pidana korupsi langsung pelimpahan tanpa melalui bolak balik perkara itu melalui Pasal 109 KUHP tidak melakukan itu.

Selanjutnya hal ini ada dua kasus yang sangat menarik yang

Page 23: RISA.LAH RAPAT I,

- 22 -

muncul kepermukaan yaitu yurisprodensi Mahkamah Agung No. 100. 73 dan juga nomor 1273 disana penyidiknya adalah dari Jaksa Agung mengenai tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri yaitu dia itu di vonis memang bahwa melakukan tindak pidana korupsi, tapi terdakwa mengajukan banding lagi ternyata pengadilan tinggi juga memperkuat terus mengajukan kasasi dalam kasasi inilah bahwa tindak pidana yang terjadi itu bukan tindak pidana korupsi, tapi adalah tindak pidana umum, sehingga terdakwa bebas, karena bukan kewenangan dari kej aksaan. terus yang yurisprudensi yang kedua juga demikian penyidiknya POLRI yaitu tindak pidana penggelapan, tindak pidanma umum dilimpahkan kepada kejaksaan berubah menjadi tindak pidana korupsi diajukan dengan dakwaan satu pasal hanya tindak pidana korupsi, sehingga sampai ke pengadilan di vonis bebas akhirnya penuntut umum mengajukan kasasi ternyata hakim kasasi juga memvonis bebas juga karena itu adalah tindak pidana umum. Oleh karena itu adanya kursus tindak pidana itulah akhirnya tidak bisa menuntut, mendakwakan dengan mobile aktif atau alter­natif di kejaksaan. Dengan demikian maka yang tepat yang kami sarankan tadi oleh Wakapolri, seyogianya kita kembali kepada KUHP, sehingga kita dapat menjaring semua pelaku-pelaku kejahatan itu secara terlatih, disini kami hanya memperkuat ini saran-saran yang kami untuk melenggapi daripada pendapat dari Bapak Wakapol­ri. Sekian dan terima kasih.

WAKAPOLRI Baik terima kasih dari staf sudah melengkapi kami kembalikan

kepada pimpinan mungkin masih ada yang perlu yang kami jawab atau kami tanggapi. Terima kasih.

KETUA RAPAT (SOENARTO, SH): Terima kasih Bapak Wakapolri beserta sta yang telah memberi­

kan jawaban secara gablang dan jelas, namun demikian barangkali ada rekan-rekan dari Fraksi-fraksi mumpung kita masih mempunyai waktu ada hal-hal yang ingin diperdalam. Kami persilahkan kepada bapak Taufiq.

FABRI (DRS. TAUFIQ RUKI, SH): Terima kasih pimpinan. Bapak Wakapolri dan staf yang saya hormati. Oulu Undang­

Undang No. 24 PRP Tahun 1960 jelas disebutkan bahwa rumusannya tindakannya dengan sengaja atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran dan seterusnya membela diri sendiri ternyata dengan rumusan ini banyak lolos karena mereka merugikan keuangan negara tidak dengan melakukan kejahatan atau pelanggaran. Kemu­dian UU No. 3 Tahun 1971 dirubah dengan debukan melakukan pelang­garan tapi dengan melakukan perbuatan melawan hukum, tapi tadi

Page 24: RISA.LAH RAPAT I,

- 23 -

digambarkan lagi oleh Bapak Da'i Bachtiar bahwa membuktikan melawan hukum inipun sulit seperti yang kasusnya disidik sekar­ang. Padahal didalam RUU yang sekarang ini rumusan perbuatan melawan hukum itu masih dipakai, kira-kira bagaimana tanggapan dari pihak penyidik polri yang akan menjadi penyidik dalam Un­dang-undang ini terhadap rumusan-rumusan perbuatan melawan hukum itu sebaiknya bagaimana supaya tidak terbentur kedalam kesuli­tan. Kemudian yang kedua mengenai penahanan Pasal 21 KUHP UU No. 8 itu memang menetapkan bahwa pelanggaran yang dapat ditahan apabila diancam hukuman sekurang-kurangnya 5 tahun, tetapi dalam KUHP UU No. 1 Tahun 1946 itu juga menyatakan bahwa perbuatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal tertentu walaupun hukumannya kurang dari Stahun dapat ditahan.

Oleh karena tadi dikhawatirkan adanya penaf siran yang berbe­da-beda berdasarkan kepentingan tadi misalnya karena ada ancaman hukuman minimal 1 tahun dan sebagainya bagaimana pendapat Bapak Wakapolri atau para tamu kita ini apabila didalam salah satu pasal dari Undang-undang ini dinyatakan bahwa pelanggaran terha­dap Undang-undang ini dapat ditahan, jadi jelas tidak menimbulkan perdebatan lagi. Kemudian yang ketiga mengenai merugikan keuangan negara sebagai salah satu merugikan perekonomian negara terutama bukan bukan perekonomian negara sebagai salah satu unsur delik nampaknya sulit pembuktian merugikan perekonomian negara 1n1 bagaimana pandangan penyidik apabila rumusan tentang perekonomian negara ini kita drop dari atau apakah dia menjadi satu Undang­undang karet, satu pasal karet begitu atau mungkin dengan mema­sukkannya malah menjadi karet sehingga orang-orang bisa terjaring begitu saja tanpa sedikitlah, aspek-aspek keadilan menjadi ter­bengkalai, barangkali bisa diberikan tanggapan terhadap tiga hal yang bersifat tehnis ini. Terima kasih pimpinan.

KETUA RAPAT : Terima kasih Pak Tauf iq

Muhyidin~ silahkan pak Agus.

KETUA PANSUS:

dari pimpinan yaitu Bapak Aus

Baiklah Assalam'mualaikum W.b. Saya ingin menambahkan Bapak Wakapolri ada tiga hal, pertama

mengenai masalah subyek hukum ini pak, subyek hukum ini untuk secara perorangan atau individu jadi dirumuskan didalam RUU ini setiap orang pak, sedangkan didalam KUHP kalau tidak salah itu barang siapa dan didalam kemarin kami mencoba untuk menggunakan informasi ini. Itu baru ada didalam suatu UU, kalau tidak salah UU Psikotropika yang digunakan masalah sebutan untuk individu atau orang ini adalah setiap orang, ini merupakan suatu hal juga ungkapan yang baru didalam RUU ini. Yang kedua mungkin ada pemi-

Page 25: RISA.LAH RAPAT I,

- 24 -

kiran dari Polri tentang partisipasi masyarakat ini. Bagaimana umpamanya dengan UU ini didalamnya kita mulai menampung adanya suatu wadah dari masyarakat itu sendiri yang dikoni masyarakat, tapi cantelannya dengan UU ini memeng sudah ada 2 pasal itu nanti mungkin tinggal penambahannya apa memungkinkan 1n1, mungkin pengalaman ini dari Dan Reserce di Amerika Serikat itu kemungki­nan ada, apakah di kita ini sekarang atau akan datang mau tidak mau akan datang akan ada, apakah kita ambrionya kita tidak bisa angkat saja dalam UU ini itu yang kedua.

Kemudian tadi sudah disampaikan mengenai masalah yang ketiga 1n1 kendala-kendala didalarn pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1971 diantaranya baik dari pendekatan surnber daya manusianya pendeka­tan dari dana taktis dan dari materi perundang-undangan itu sendiri. Maksud karni disini karena ada satu pembuktian mungkin pengalaman di polri itu, pembuktian-pembuktian dalam penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi ini ada kesulitan­kesulitan, namun dengan sekarang dimasukkannya pembuktian terba­lik maupun ini masih terbatas mungkin dalam arti apakah si ter­sangka itu atau terdakwa itu mengaku dulu korupsi baru kita memeriksa terhadap semua barang bukti hasil korupsinya itu, ini mungkin bagaimana pendapat dari POLRI tentang pembuktian terbalik terbatas ini apakah ini akan atau rnakin mernperkuat atau nilai tambah apabila dibandingkan dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Saya kira hanya tiga rnasalah ini saja pak. Terima kasih. Assalam'rnualaikum W.b.

KETUA RAPAT : Masih ada dari rekan-rekan, baiklah saya persilahkan kepada

Bapak Wakapolri untuk memberikan tanggapan atau jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan pada session kedua ini. Saya persilahkan.

WAKAPOLRI : Terima kasih Bapak pimpinan.

Ini istilah melawan hukum itu sebetulnya bukan sulit cuma ada perbuatan itu terlindung dibalik kalimat ini, sehingga merusak pembuktiannya kadang-kadang sampai itu rnenyulitkan, tapi masalah hukum ini salah satu unsur objektif dalam pasal yang dituduhkan sebenarnya. Jadi kalau tidak melawan hukum kan tidak memenuhi unsur pasalnya begitu biasanya. Cuma itu suka berlindung apa sebenarnya yang memerlukan pembuktian yatitu menyulitkan tadi, dan memeang harus dibuktikan artinya. Yang kedua pelanggar bisa ditahan apakah dicantumkan saja melanggar pasal-pasal ini menjadi tahan, ada bagusnya juga tapi tanpa mengurangi pengertian itu asal dijelaskan didalarn penjelasan pasal tidak bertentangan atau tidak menghilangkan Pasal 21 ayat (1) KUHP itu karena sudah diatur apa yang boleh ditahan dan ada yang tidak ditahan termasuk

Page 26: RISA.LAH RAPAT I,

- 25 -

pengecualiannya. Itulah keuangan negara akan lebih tajam diban­dingkan dengan perekonomian negara, memang pengertian perekonomi­an negara ini lebih makro lebih luas begitu, pembuktiannya memer­lukan lagi pembuktian yang kadang-kadang menyulitkan juga untuk memenuhi istilah perekonomian negara ini atau kriterianya atau tolak ukurnya dikatakan urgen perekonomian negara ini seperti apa.

Kalau ini memang Dewan nanti akan merumuskan istilah keuan­gan riegara saja lebih bagus juga untuk kita pelaku penegak hukum dilapangan. Selanjutnya tanggapan dari pimpinan kami coba, barang siapa dan siapa saja atau setiap orang bukan siapa saja sokowai, memang sakawai ini barang siapa bahasa Indonesia yang baik dan benar itu mungkin ada konotasi yang lain, barang siapa memangnya barang lu, ini mungkin berubah menjadi ini bahasa Indonesia yang baik dan benar barangkali, sehingga istilahnya menjadi setiap orang, itu dimulai dari substansi itu yang sudah ada.

Selanjutnya saya kira dalam PP bisa mengenai perlindungan saksi itu untuk embrionya tidak lengkap seperti yang di Amerika Serikat itu karena memang resikonya diantaranya biaya yang seper­ti enak juga jadi saksi dalam embrio di hotel segala macam maunya begitu, sebab kalau saksi .masuk hotel kordeo mau juga.

Selanjutnya yang ketiga mengenai mengaku, pengakuan itukan tidak mutlak itu hanya salah satu, jadi kalau mengaku baru mem­buktikan terbalik yang umumnya untuk mengaku dan sebenarnya biarkanlah dia tidak mengaku begitu, itu juga salah satu tehnik cuma sistem pembuktian ini bukan masalah terbalik, terbatas ini apa yang disebut berimbang ini saya kira yang paling tepat untuk modelnya, sementara itu mungkin dari staf yang lain, silahkan. Baik, kami kembalikan kepada pimpinan. Terima kasih.

KETUA RAPAT : Terima kasih kepada Bapak Wakapolri beserta staf untuk saya

lanj utkan kepada session ke- 2 ini, saya kira sudah cukup kalau tadi dari, rupanya ada satu lagi silahkan, satu lagi tambahan.

FPDI (SAJID SOETJORO, B.Sc): Terima kasih Saudara pimpinan. Agak nekad sedikit mohon maaf Bapak-bapak dari Mabes Polri,

saya ingin tetap mengulangi Pasal 39 yang tadi nadanya lewat pak Da'i kok berkesan menerima begitu saja. Padahal kalau kita bicar­akan sebenar-benarnya menurut pengertian FPDI Pasal 39 ini nanti kalau sudah diterapkan didalam UU atau sudah diundangkan , 1n1 menurut pengertian kami dari FPDI hal yang tidak main-main pak, karena bagaimanapun juga kalau ini sudah diundangkan itu FPDI berkesan seakan-akan habislah sudah peran polri dalam bidang tindak pidana korupsi, disini ada pengertian mengkoordinasikan,

Page 27: RISA.LAH RAPAT I,

- 26 -

mengendalikan menurut pengertian kami itu hal-hal yang benar­benar memvonis dari keberaad polri didalam tindak pidana korupsi, 1n1 mudah-mudahan sependapat dengan kami. Untuk itulah saya berterima kasih kepada Wakapolri yang mengatakan cukup simpatik, tapi jangan hanya sampai simpatik saja, kalau FPO! dari dulu simpatik pak memang, makanya tolong dibantu menggolkan konsep ini pak, saya yakin ini masalah yang tidak main-main, nanti jangan­jangan DPR disalahkan, polri dikurangi padahal kita tidak bermak­sud mengkomparatifkan antara kejaksaan dengan polri , di LPU saya dengan Jenderal Guntur biasa begitu sering kompori, juga tidak pernah terbakar, jadi hanya mengingatkan saja, sekali lagi, terima kasih kepada saudara ketua. Dan terima kasih.

KETUA RAPAT : Terima kasih, jadi nanti mestinya yang memperjuangkan FPO!

aspiratif dari KAPOLRI, sedangkan nanti pada Dewan sependapat tolong diperjuangkan nanti. Saya silahkan kepada Bapak Badjeber.

FPP (H. ZAIN BADJEBER) Assalam'mualaikum Wr.Wb. Terima kasih, saya kira kita sama-sama mengetahui sejak

lama, sejak pembahasan RUU KUHAP pada waktu itu terjadi permasa­lahan antara kejaksaan dengan kepolisian, masalah penyidikan ini, karena mau meninggalkan HIR pada waktu itu dimana polisi sebagai pembantu jaksa didalam hal penyidikan. Tapi pada waktu itu DPR menghendaki hanya satu pintu apapun alasannya pada waktu itu dari kejaksaan mengenai criminal justice system bahwa kejaksaan itu harus ikut, tetapi DPR pada waktu itu melihat dengan adanya dua pintu banyak hal-halk yang negatif terjadi didalam praktek dila­pangan, sehingga harus ditutup satu pintu seluruh masalah krimin­al hanya melalui satu pin tu. Kemudian dengan adanya Pasal 284

didalam KUHAP ternyata ditafsirkan begitu rupa pintu dibuka untuk tindak pidana dengan acara khusus, yang kemudian berkembang dengan Undang-undang Kejaksaan membuka pintu kembali, UU kepoli­sian mencoba juga mengambil kembali apa yang dirasa hilang UU Bea Cukai dan sebagainya, sehingga pada waktu itu istilah dikalangan DPR yang melakukan pembahasan terasa ada semacam perebutan lahan.

Kemudian sekarang kita menghadapi dengan adanya pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kearah mana hendak kita bawa kalau RUU ini yang jelas membuka kembali dua pintu bahwa polisi dapat tapi dengan koordinasi melaporkan kepada jaksa, jadi semacam yang ada didalam KUHP sebenarnya antara polisi deng-an penyidik lainnya, sehingga didalam pemandangan umum kami dari FPP mengemukakan paling tidak kembali seolah-olah pada zaman helmat hestrat dimana apabila jaksa melakukan pemeriksaan tidak perlu memberitahukan kepada polisi walaupun didalam penjelasan pasal

Page 28: RISA.LAH RAPAT I,

- 27 -

hanya disebutkan sebaliknya tapi tidak dikatakan didalam batang tubuh. Didalam hal-hal perkara tertentu dilakukan koordinasi, ini yang ki ta hadapi didalam RUU yang ada sekarang. Kemudian ki ta pernah mengenal adanya BPK dari KEPRES 228 Tahun 1967 Tim Pember­antasan Korupsi yang merupakan satu kesatuan. Sekarang kearah mana hendak kita bawa penyidikan dibidang ini setelah juga kita mendengar tadi adanya yurisprudensi tentang konkursus adanya tindak pidana korupsi, kemudian ternyata tidak pidana umum, sehingga membebaskan seorang terdakwa. kami dari FPP didalam pemandangan umum sudah mengemukakan bahwa kami cenderung untuk adanya satu tangan didalam arti tidak kepolisian tidak kejaksaan, tetapi semacam yang sekarang akan disahkan komisi pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara didalam UU KKN, jadi ada satu badan komisi pemberantasan korupsi dimana didalamnya ada kejak­saan ada polisi yang setelah melalui satu serening karena didalam pendirian Fraksi kami untuk membersihkan tentunya perlu juga sapunya yang bersih, sehingga komisi ini benar-benar bisa dia­ndalkan baik dari segi penyidikan maupun dari segi penuntutan dari tingkat, jadi dalam satu tangan penyidikannya dan penuntu­tannya, apalagi nantinya khusus buat penyelenggara negara yang telah diperluas pengertiannya itu akan melakukan komisi pemeriksa di penyelenggara negara itu akan menyerahkan hasil penyilidi­kannya jadi komisi pemeriksa penyelenggara negara KKN itu akan berada pada salah satu pada subsistem penyidikan yaitu penyeli­dikan, sehingga apabila basil penyelidikannya ada petunjuk terja­dinya korupsi, maka itu akan dilanjutkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini tentunya UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tentunya yang baru yang akan kita bahas yang akan kita sesuaikan searah denmgan paling tidak UU KKN tersebut nantinya. Jadi kecenderungan untuk membuat satu tangan didalam arti tridak salah satu instansi yang ada tetapi nkedua instansi ini disatukan didalam satu badan dengan wewenang tertentu dan tentunya sekaligus diantisipasi agar se­seorang .tidak bebas akibat daripada adanya tidak pidana korupsi kemudian ternyata bukan tindak pidana korupsi melainkan tindak pidana umum, dalam hal inikan hanya permasalahan soal acaranya bukan masalah dakwaan yang sifatnya bersusun alternatif maupun komulatif tetapi dari sumber dimana dia disidik, kalau ini diata­si didalam undang-undang ini bahwa dia disidik oleh komisi ini ataupun dia disidik oleh komisi ini atau pun dia disidik oleh kepolisian karena tindak pidana umum sesuai dengan KUHP, maka tetap saja perkaranya dapat diteruskan didalam persidangan karena masalahnya berada pada masalah prosesnya, pada hukum acaranya pada waktu orang itu atau seseorang tersangka diperiksa, sehingga bukan materi perkaranya yang menjadi persoalan, tapi proses daripada perkara tersebut, kalau tadi kita dengar adanya yuris-

1

Page 29: RISA.LAH RAPAT I,

- 28 -

prudensi bahwa ternyata dia mestinya dia ditangani oleh instansi lain pada waktu penyidikan dia sebagai tindak pidana umum dan diajukan sebagai tindak pidana korupsi, masalahnya seolah-olah menjadi bebas. Bagaimana pendapat POLRI dengan usul Fraksi kami, bahwa sebaiknya penanganan masalah tindak pidana khusus ini juga dilakukan oleh lembaga yang bersif at khusus yang orang-orangnya dapat berasal dari POLRI maupun kejaksaan ataupun dari masyarakat yang independen yang dianggap wajar menduduki jabatan tersebut. Dan ini tentunya disesuaikan dengan jiwa daripada RUU KKN yang besok akan disahkan, dan sekaligus hambatan-hambatan tadi yang dikemukakan oleh Bapak-bapak tentang bagaimana apabila terjadi perkara tindak pidana korupsi, ternyata bukan tindak pidana korupsi. Didalam UU khusus inipun sudah ada ketentuan-ketentuan khusus yang memungkinkan tidak lolosnya dari tangan hakim, karena perbedaan prosedur tersebut. Kemudian masalah juga tadi disebut­sebut masalah melawan hak yang oleh pemerintah sudah dijelaskan bahwa melawanhak didalam salah satu unsur RUU tentang tindak pidana korupsi yang sekarang ini adalah melawan hak sebagaimana didalam hukum perdata. Didalam hukum perdata melawan hak ini sudah diperluas baik oleh karena penaf siran terhadap Pasal 1365 KUHP maupun yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa melawan hak tidak semata-mata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga dengan kepatutan. Jadi hukum yang tidak tertulis dimana hal-hal yang tidak patut dilakukan atau yang tercela menurut masyarakat. Jadi sebenarnya sudah perlu ada pengertian ini apabila diikuti pembahasan UU No. 3 Tahun 1971 itu juga sudah melawan hak, dan itu juga sudah dimaksudkan adalah melawan hak sampai kepada pengertian perdata tersebut. Mengapa UU No. 24 PRP 60 diubah dengan 371, karena pada waktu itu banyak perbuatan korupsi yang tidak terjaring dengan UU No. 24 PRP tersebut, tetapi sejarah lahirnya UU No. 3 Tahun 1971 ini mungkin banyak tidak terbaca, sehingga barangkali dalam RUU tentang Pemberanta­san Tindak Pidana Korupsi yang baru nanti perlu lebih dijelaskan, sehingga tidak perlu orang membaca sejarah lahirnya UU itu, tetapi dari penjelasan UU itu sendiri akan mengatakan melawan hukum dalam hal pengertian sebagaimana yang dimaksud oleh UU ini, sehingga tidak ada kesulitan didalam membuktikan apakah melawan hukumnya itu bertentangan dengan peraturan perundang­undangan atau bertentangan dengan rasa kepatutan masyarakat. Saya kira juga didalam keterangan pemerintah bahwa merugikan perekono­mian negara ataupun keuangan negara didalam delik yang sekarang ini dibuat sebagai delik formil. Jadi tidak lagi merupakan delik materiil, sehingga sebab akibatnya perlu dibuktikan, jadi tanpa membuktikan akibat negara dirugikan atau perekonomian negara dirugikan dengan delik formil ini terpenuhi unsur-unsur daripada perbuatan pidana dimaksud, barangkali juga untuk tidak menimbul-

Page 30: RISA.LAH RAPAT I,

- 29 -

kan salah tafsir dalam UU ini nanti benar-benar dijalankan agar pelaksana daripada UU ini tidak perlu repot-repot mempelajari sejarah terbentuknya UU ini dengan mempelajari risalah-risalah DPR didalam pembahasan Pansus dan sebagainya, tapi dari Undang­undang itu sendiri sudah akan menggunakan. Saya kira kami hanya ingin mengu]i pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh Fraksi kami dengan pendapat dari POLRI itu sendiri. Terima kasih. Asalam'mualaikum W.b.

KETUA RAPAT (SOENARTO, SH): Jadi demikian Bapak Wakapolri bahwa Bapak Zain Badjeber ini

dapat dikatakan lebih dekat pak mulai dari membahas KUHP juga beliau. Jadi penambahan terakhir dari Bapak Zain Badjeber tadi menyambung apa yang disampaikan oleh Bapak Wakapolri kalau kita ingat kasus korupsi yang melibatkan Walikota Jakarta Utara pak Winanto itu juga unsur melawan hukumnya itu diperluas menjadi secara formal tidak ada bertentangan dengan peraturan perundang­undangan yang berlaku, tapi dengan tetap melawan hukum karena bertentangan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, jadi mungkin lobang besar diberikan suntikan itu, tidak patut itu garis besarnya Bapak Wakapolri.

WAKAPOLRI Terima kasih Bapak pimpinan.

Kami mulai dari pihak yang paling akhir mengenai delik materiil itu pada dasarnya kami setuju asal dijelaskan didalam penjelasan Undang-undang itu sendiri itu yang pertama. Yang kedua mengenai rumusan melawan hukum kami juga setuju untuk dirumuskan lebih jelas menyangkut rasa keadilan, rasa kepatutan hanya secara formal memang itu tadi salah satu kesulitan ini untuk merumuskan atau membutuhkan tentang unsur melawan hukumnya itu. Selanjutnya ini sebenarnya menyangkut sistem hukum tadi dikaitkan dengan Pasal 284 KHUP saya lebih setuju sejak awal Pasal 25 RUU ini, titik itu bukan ada koma, kalau koma dengan PNS lainnya itu Pasal 25 sampai titik saja disitu, jadi kembali ke KUHP itu yang ideal saya kira. Mengenai Pasal 284 KUHP bahkan kalau saya lihat ada tenggang waktu 2 tahun sekarang sudah berapa tahun itu, Pasal 284 KUHP masih keenakan, dan berjalan juga tidak enak Pasal 284 KUHP itu tidak tahu juga saya, sudah berapa tahun sekarang. Padahal disitu kalau tidak salah tadi dua tahun itu tenggang waktunya, tapi itu berpulang kepada Warahmatullah ini, berpu­langnya kepada Pasal 14 RUU ini. Mungkin ada yang melengkapi dari Staf Polri bagian Reserse silahkan.

Page 31: RISA.LAH RAPAT I,

- 30 -

DA'I BACHTIAR (DANKOSERSE MABES POLRI): Terima kasih pak. Kami ingin meluruskan dulu pak dalam Pasal

39 memang nampaknya saya tidak menanggapi isi dalam Pasal 39 ia pak, karena saya kembali kepada Pasal 25 seperti yang dijelaskan oleh FPDI pak. Pasal 39 saya setuju dengan pemikiran tadi yang dikemukakan oleh Bapak Ridwan Sani, SH juga koneksitas itu adanya di peradilan bukan dimulai dari awal penyelidikan. Jadi kalau Pasal 39 itu saya kira substansinya bukan substansi sejak awal dari proses pidana, kemudian jaksa mengkoordinasikan tidak pak itu hanya dikoneksitas Pasal 39 itu pak. Tapi kalau Pasal 39 ini akan dihidupkan kami jelaskan akan kesulitan nanti dalam prak­teknya, katakanlah kalau di Kabupatennya yang jauh muncul dua saya katakan yang tunduk pada dua peradilan militer atau peradi­lan umum terus harus diperiksa oleh Jaksa Agung, dimana Jaksa Agung itu berada di Jakarta inikan prakteknya menyulitkan apalagi mulai dari penyelidikan pak. Jadi kalau misalnya ini, kita memang dipertanyakan kepada kita ada Pasal tapi sulit melaksanakan Pasal 39 itu, begitu pak, tidak seluruhnya bisa dilaksanakan di semua wilayah, juga tadi pengantar dari Bapak Ridwan Sani bahwa bukan hanya polisi yang melakukan penyidikan, Republik inikan luas sekal i, begi tu ini menj adi masalah pak Pasal ini. Jadi kalau ditanyakan bagaimana pelaksanaannya kita akan kesulitan pak itu Pasal 39 pak. Jadi bukan terus saya hanya meluruskan Pasal 39 pak dan itu merupakan koneksitas bukan pada umumnya kasus korupsi pak. Kemudian masalah barangkali ada yang mau disampaikan oleh Bapak Wakapolri sampaikan tadi yaitu masalah komisi. Memang ini kembali kepada masalahnya kepada sistem hukum saja pak, kalau mem·ang sistemnya kita akan menganut komisi yang entah mulainya dimana tadi saya dengar hanya di penyelidikan saja, sedangkan proses penyelidikannya itu masuk kepada tatanan KUHP, jadi karena ini masuk dalam konsep RUU disini kita melihatnya sejauh mana nanti didalam prakteknya itu. Kalau tidak pertahanan sistemnya sedang berlaku prinsipnya asal tidak bertentangan dengan sistem hukum yang ada. Terima kasih pak.

XETUA RAPAT : Tidak ada lagi, baik. Baiklah Bapak-bapak, Ibu-ibu sekalian

kalau tidak ada hal-hal yang perlu kita diskusikan mumpung kita masih punya waktu, namun waktu sekarang sudah berharga bagi Bapak-bapak POLRI karena masih banyak tugas yang harus diselesai­kan. Demikian Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, kami selaku pimpinan rapat pertama menanggapi usul dari Bapak Wakapolri tadi tentang perlunya dipertimbangkan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan KABAGPIN ABRI berkai tan dengan status POLRI sekarang. Kemudian yang kedua dari kami mohon apa yang t~lah Bapak sampai-

Page 32: RISA.LAH RAPAT I,

- 31 -

kan tadi kalau ada yang tertulis kami akan sangat bersemangat apabila menerima copy dari makalah yang disiapkan oleh WAKAPOLRI. Dan terakhir kami sekali lagi atas nama Panitia Khusus mengucap­kan terima kasih atas kesediaan bapak ditengah kesibukan yang semakin meningkat dengan Undangan yang super kilat Bapak sudah siap memberikan jawaban secara tertulis dan ·berkenan hadir pada siang hari ini. Kemudian yang kedua kami mohon maaf atas nama rekan-rekan Panitia Khusus apabila dalam penerimaan kami mungkin dalam cara penyampaian kami, menyampaikan tanggapan, usul dan sebagainya barangkali tidak berkenan dihati Bapak-bapak sekalian. Demikian kalau tidak ada masalah-masalah lain maka pertemuan kita akhiri sampai pukul 15.03 WIB dengan mengucapkan Sykur Alhamdul­lilah maka pertemuan ini saya nyatakan ditutup. Sekian dan terima kasih. Wassalam'mualaikum W.b.

(RAPAT DITUTUP PUKUL 15.00 WIB }

-

PAT PAT,

f>-

~-SUBIJANTO SUDARDJO. SH

NIP. 210000601