Rinitis Kronis

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis” (radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran mukosa) hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari- hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif. Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh ~ 1 ~

description

THT

Transcript of Rinitis Kronis

Page 1: Rinitis Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang1

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”

(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir

(membran mukosa) hidung.

Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.

Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi

virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder

akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis sim-

pleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian

rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis

kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,

rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan ja-

mur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada

rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.

~ 1 ~

Page 2: Rinitis Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung2

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung

dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk

piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

Gambar 2.1. Anatomi Hidung bagian Luar3

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke be-

lakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan

dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, tepat di-

belakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai

banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise. Sedangkan nares

posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum

nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan supe-

rior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tu-

lang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3)

krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah

1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.

~ 2 ~

a. Pangkal hidung (bridge)

b. Batang hidung (dorsum nasi)

c. Puncak hidung (hip)

d. Ala nasi

e. Kolumela

f. Lubang hidung ( nares ante-

rior )

Page 3: Rinitis Kronis

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka

inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior

dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.

Gambar 2.2. Anatomi Hidung bagian Dalam4

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang jumlahnya

tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior. Meatus inferior

terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga

hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus

medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung yang

bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada mea-

tus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terda-

pat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

Gambar 2.3. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)4

~ 3 ~

Page 4: Rinitis Kronis

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh

lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina

kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-

lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di

bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.

Perdarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.

Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksi-

laris interna, diantaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.splenopalatina yang

keluar dari foramen splenopalatina bersama n.splenopalatina. Hidung bagian depan

mendapat perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis

cabang a.splenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.palatina mayor, dan a.labialis supe-

rior yang membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga

sering menjadi sumber epistaksis anterior.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan

dengan arterinya.

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.et-

moidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oph-

talmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari

n.maksilaris melalui ganglion spenopalatina.

Ganglion spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga mem-

berikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini

menerima serabut sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. pet-

rosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.

Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior

konka media. N.olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bul-

~ 4 ~

Page 5: Rinitis Kronis

bus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

olfaktorius di sepertiga atas hidung.

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi atas

mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktori).

Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang mempun-

yai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah

merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi

silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung

tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang

berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan seper-

tiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak

bersilia. Epitelnya dibentuk tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel re-

septor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

2.2. Fisiologi Hidung2

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

hidung dan sinus paranasal adalah :

a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring

udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme

imunologik lokal,

b. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara un-

tuk menampung stimulus penghidu,

c. Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan

mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,

d. Fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap

trauma, dan pelindung panas,

e. Refleks nasal

~ 5 ~

Page 6: Rinitis Kronis

Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang berbau (odorant)

masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika odorant sampai di atas

membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan dengan olfaktoorius reseptor protein

pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius reseptor protein berikatan dengan odorant,

olfaktori reseptor sel berpasangan dengan protein G dan mengaktifkan enzim adenilat

siklase dan dihasilkan cAMP yang merangsang pembukaan kanal Na+ dan K+

sehingga terjadi perpindahan ion-ion yang menimbulkan depolarisasi dan

terbentuknya potensial aksi. Kemudian potensial aksi disalurkan sepanjang reseptor

olfaktorius, dari reseptor olfaktorius dihantarkan ke nervus olfaktorius, bulbus

olfaktorius, dan berjalan sepanjang traktus olfaktorius sampai ke daerah-daerah di

sistim limbik, khususnya di sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap

senagai korteks olfaktorius primer).5

2.3. Rinitis Kronik

Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian

Rinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rinitis

kronik yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada Rinitis hipertrofi,

Rinitis sika (sicca), dan Rinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur).

Rinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat dijumpai pada Rinitis

alergi, Rinitis vasomotor, dan Rinitis medikamentosa.

2.3.1.Rhinitis Hipertrofi2,5

a. Etiologi

Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa hidung pada

konka inferior yang mengalami hipertrofi. Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat

infeksi berulang dalam hidung dan sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi

dan vasomotor.

b. Manifestasi Klinis

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen

dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya

berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.

~ 6 ~

Page 7: Rinitis Kronis

Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi terutama konka inferior. Per-

mukaannya juga berbenjol-benjol karena mukosa juga hipertrofi. Sekret mukopu-

rulen dapat ditemukan diantara konka inferior dan septum dan juga dasar rongga

hidung.

c. Terapi

Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis

hipertrofi. Terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung dapat di-

lakukan kaustik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat)

atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan konkotomi.

2.3.2.Rhinitis Sika6

a. Etiologi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di

lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,

peminum alkohol, dan gizi buruk.

b.Manifestasi Klinis

Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.

Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang diser-

tai epitaksis.

c. Terapi

Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.

2.3.3.Rinitis Spesifik7

Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:

2.3.3.1. Rhinitis Difteri2

a. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi

primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Dugaan rinitis difteri harus

dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.

b. Manifestasi klinis

~ 7 ~

Page 8: Rinitis Kronis

Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, dan

mungkin paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur

darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta

coklat di nares anterior dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis difteri kronik ge-

jalanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan

kronik masih dapat menular. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan ku-

man dari sekret hidung.

c. Terapi

Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal,

dan intramuskular. Pasien harus diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman

negatif.

2.3.3.2. Rhinitis Atrofi2,7

a. Etiologi

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi

kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan

hormonal, dan penyakit kolagen.

b. Manifestasi Klinis

Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang

hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, se-

hingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau,

ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit

kepala, dan hidung tersumbat.

Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka in-

ferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta

yang berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari

biopsi konka media, pemeriksaan mikrobiologi, dan uji resistensi kuman dan

CT scan sinus paranasal.

c. Terapi

~ 8 ~

Page 9: Rinitis Kronis

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibi-

otika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika

tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk

mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali.

2.3.3.3. Rhinitis Sifilis2,7

a. Etiologi

Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.

b. Manifestasi Klinis

Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut

lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan

pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama men-

genai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.

Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan

krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis dite-

gakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi.

c. Terapi

Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus

dibersihkan secara rutin.

2.3.3.4. Rhinitis Tuberkulosa2,7

a. Etiologi

Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.

b. Manifestasi Klinis

Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai

tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan

klinis, terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang

mukopurulen dan krusta.

Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada

sekret hidung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia langhans

dan limfositosis.

~ 9 ~

Page 10: Rinitis Kronis

c. Terapi

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

2.3.3.5. Rhinitis Lepra7

a. Etiologi

Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.

b. Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan

produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya

destruksi tulang dan kartilago hidung.

c. Terapi

Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan

clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.

2.3.3.6. Rhinitis Jamur7

a. Etiologi

Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan

aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida

yang menyebabkan kandidiasis.

b. Manifestasi Klinis

Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau

kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri

kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan

sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.

c. Terapi

Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci

hidung. 

2.3.4.Rinitis Alergi8,9

a. Definisi

~ 10 ~

Page 11: Rinitis Kronis

Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang

disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap paparan alergen.

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001 rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, ri-

nore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung yang terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE.

b. Epidemiologi

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit

atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Disebutkan bahwa di Indonesia

pravalensi rhinitis alergi pada anak berkisar antar 9%-27% dan dewasa 22%.

c. Etiologi

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien

yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara

jelas memiliki peran penting. Pada 20 ± 30% semua populasi dan pada 10 ± 15%

anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4

kali lebih besar atau mencapai 50%.

Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu alergen. Berdasarkan

cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya tungau

debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing dan kucing), re-

rumputan (bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, misalnya bahan perhiasan dan kosmetik.

d. Klasifikasi 2,8,9

Rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001) rhinitis alergi menurut

guideline ARIA (2001). Berdasarkan lamanya terjadi gejala:

1. Intermiten : gejala < 4 hari per minggu atau < 4 minggu.

2. Persisten : gejala > 4 hari per minggu dan > 4 minggu.

~ 11 ~

Page 12: Rinitis Kronis

Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup:

1. Ringan : tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja , dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang sampai berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut

diatas

e. Gejala Klinis

Produksi mukus berlebihan, kongesti, Rhinorrhea (hidung meler), hidung

tersumbat, mata berair, gatal serta bersin, bersifat reversibel secara spontan atau

sebagai akibat pengobatan. Rhinitis mempunyai jenis yang bervariasi, hampir se-

mua jenis rhinitis yang non infeksi disebut “alergi”.

f. Patofisiologi

Secara klasik, rhinitis alergi dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi

dengan perantaraan IgE. Pada sensitisasi awal, alergen spesifik IgE terikat pada

reseptor sel mast dan basofil diikuti oleh respon inflamasi dan alergi pada alergen

yang  terpapar. Pada mukosa nasal proses ini menyebabkan cross-linking pada

IgE di permukaan mukosa sel, sel mast, dan basofil, diikuti dengan granulasi dari

sel-sel inflamasi menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin lima

menit, setelah terpapar alergen (respon fase awal). Respon yang berikutnya bi-

asanya 15 menit. Sintetis dari mediator (misal leukotrin, prostaglandin, aktivasi

faktor platelet), dan beberapa sitokin) menyebabkan vasodilatasi, peningkatan

sekresi glandula, dan stimulasi nervus sensoris menyebabkan symptom immedi-

ate berupa bersin, rhinorrhea, gatal, dan kongesti nasal. Respons fase lambat ter-

jadi setelah 4 sampai 24 jam setelah terpapar alergen dicirikan recruitment sel in-

flamasi dari darah misal basofil, monosit, limfosit, dan monosit, melepaskan me-

diator inflamasi tambahan  dan kerusakan jaringan. Mengakibatkan peningkatan

simptom berupa nasal kongesti.

g. Diagnosis

Diagnosis rhinitis alergi didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pe-

meriksaan penunjang.

~ 12 ~

Page 13: Rinitis Kronis

Anamnesa. menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Perlu ditanya

gejala spesifik; pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahan-

nya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi

lingkungan dan pekerjaan. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya

serangan bersin berulang (Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari

lima kali setiap serangan). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai

dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Pemeriksaan Fisik. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,

berwarna pucat disertai adanya sekret encer yang banyak. Gejala spesifik lain

pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi

karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner). Selain dari

itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan

punggung tangan (allergic salute). Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah

(allergic crease).

Pemeriksaan Penunjang. Berupa pemeriksaan sitologi hidung, IgE total, tes

kulit, tes provokasi, immunoassay.

h. Diagnosa Banding

1. Rhinitis non-alergi

Infeksi dan rhinitis diinduksi obat

Rhinitis hormonal

Rhinitis dari penyebab lainnya

Gastro-oesophageal reflux

Rinitis vasomotor dan idiopatik

2. Polyposis

3. Ciliary defects

4. Cerebrospinal rhinorrhea

5. Tumor benigna/maligna

6. Deviasi septum

~ 13 ~

Page 14: Rinitis Kronis

7. Foreign bodies

8. Blocked nostril (choanal atresia)

9. Penyakit granulomatous

i. Penatalaksanaan

1. Non  Farmakoterapi

Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali perlu di-

lakukan. Menghindari alergen kausal merupakan dasar pendekatan untuk

mencegah munculnya gejala alergi.

2. Farmakoterapi

Antihistamin

Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe

antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1

menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan perme-

abilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan produksi

mukus dan mencegah pruritus. Antihistamin generasi pertama yang banyak

bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi, misalnya difenhidramin, klor-

feniramin, prometasin. Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan

mengikat reseptor H1 sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak

berefek antikolinergik. contohnya loratadin dan levosetirisin.

Kortikosteroid Intranasal

Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap

tingkat gejala rhinitis alergi. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga

mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi.

Dekongestan

Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan efek

vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi

Antikolinergik intranasal

Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lain-

nya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan

~ 14 ~

Page 15: Rinitis Kronis

obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepan-

jang tahun (perennial).

3. Imunoterapi

Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) se-

belum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Indikasi

imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi far-

makologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta

sensitifitas signifikan terhadap alergen

j. Komplikasi6,7

Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung.

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

2.3.5.Rinitis Vasomotor10,11

a. Definisi

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa

adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),

dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpro-

mazin dan obat topikal hidung dekongestan).

b. Etiologi

Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti,

diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini

dipengaruhi berbagai hal, antara lain:

1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal er-

gotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.

2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang

tinggi, dan bau yang merangsang.

3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.

~ 15 ~

Page 16: Rinitis Kronis

4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.

c. Manifestasi Klinis

Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Ter-

dapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin

dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun

tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok

dan sebagainya.

d. Patogenesis

Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan

terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.

Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa

berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya pen-

ingkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi kli-

nis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga

meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.

Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang menye-

babkan kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada

sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya ri-

norea.

Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara

langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus ter-

aktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan

reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasim-

patis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis

berupa rhinitis vasomotor.

Reaksi vasomotor ini akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang

menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai edema

dan peningkatan sekresi kelenjar. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat dis-

~ 16 ~

Page 17: Rinitis Kronis

fungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis

(penurunan kerja simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi ar-

teriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transu-

dasi cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan

hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis

meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung

yang menyebabkan gejala rinorea.

e. Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan

adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anam-

nesa dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Pada pemeriksaan fisik

pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah

gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan per-

mukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung

terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret

yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium

dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil

di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit bi-

asanya negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen,

penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk di-

agnosis. Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.

f. Penatalaksanaan

1. Non Farmakologik

Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah den-

gan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa

nasal secara periodik mungkin bisa membantu (semprotan larutan saline atau

alat irigator seperti Grossan irigator).

2. Farmakologik

Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien den-

gan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga

~ 17 ~

Page 18: Rinitis Kronis

efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Steroid topikal membantu

pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea dan bersin. Obat ini

menekan respon inflamasi lokal. Dekongestan atau simpatomimetik agen di-

gunakan pada gejala utama hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel,

penggunan dekongestan yang diformulasikan dengan antihistamin dapat digu-

nakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan

Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung).

3. Bedah

Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur pembe-

dahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang

berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Kauterisasi dengan AgNO3 atau

elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa.

g. Komplikasi

Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip

hidung dan terjadinya sinusitis.

2.3.6.Rinitis Medikamentosa12,13

a. Etiologi

Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon

normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu

lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menye-

babkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian di-

hentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan

menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah vasokon-

triksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka akan ter-

jadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan rangsan-

gan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebi-

han.

~ 18 ~

Page 19: Rinitis Kronis

                Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema

mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,

fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kek-

eringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat

katekolamin.

b. Gambaran Klinis

Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus

menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung

berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.

c. Terapi

Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat

tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi

sumbatan berulang, dekongestan oral.

~ 19 ~

Page 20: Rinitis Kronis

BAB III

RANGKUMAN

Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di

hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian

rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis

kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,

rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur).

Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis

alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.

~ 20 ~

Page 21: Rinitis Kronis

DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,

Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508

2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2012. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 7. Jakarta, Hal: 117-119

3. Aang Suherman. Tentang Hidung dan Infeksi (Edisi II Sedikit Tau Tentang Kese-

hatan), http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/11/28/tentang-hidung-dan-

infeksi-edisi-ii-sedikit-tau-tentang-kesehatan-614677.html, diakses pada tanggal

16 September 2014 pukul 18.00

4. Langgeng Perdana. Anatomi Fisiologi Hidung/Nasus, http://medicina-islamica-

lg.blogspot.com/2013/08/anatomi-fisiologi-hidung-nasus.html, diakses pada tang-

gal 16 September 2014 pukul 18.15

5. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221

6. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,

Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508

7. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134

9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217

~ 21 ~

Page 22: Rinitis Kronis

10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136

11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218

12. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138

13. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-222

~ 22 ~