Rinitis Kronis
description
Transcript of Rinitis Kronis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang1
Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek “rhin/rhino” (hidung) dan “itis”
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir
(membran mukosa) hidung.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi
virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder
akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis sim-
pleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan ja-
mur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada
rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.
~ 1 ~
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung2
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk
piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
Gambar 2.1. Anatomi Hidung bagian Luar3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke be-
lakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior, tepat di-
belakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise. Sedangkan nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum
nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan supe-
rior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tu-
lang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3)
krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan adalah
1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.
~ 2 ~
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (hip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung ( nares ante-
rior )
Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah konka
inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi konka superior
dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya rudimenter.
Gambar 2.2. Anatomi Hidung bagian Dalam4
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang jumlahnya
tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung yang
bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada mea-
tus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terda-
pat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
Gambar 2.3. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)4
~ 3 ~
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-
lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.
Perdarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri maksi-
laris interna, diantaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.splenopalatina yang
keluar dari foramen splenopalatina bersama n.splenopalatina. Hidung bagian depan
mendapat perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis
cabang a.splenopalatina, a.etmoidalis anterior, a.palatina mayor, dan a.labialis supe-
rior yang membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga
sering menjadi sumber epistaksis anterior.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya.
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.et-
moidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari n.oph-
talmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari
n.maksilaris melalui ganglion spenopalatina.
Ganglion spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga mem-
berikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. pet-
rosus superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. N.olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bul-
~ 4 ~
bus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di sepertiga atas hidung.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktori).
Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang mempun-
yai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung
tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental, dan obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior, dan seper-
tiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak
bersilia. Epitelnya dibentuk tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal, dan sel re-
septor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
2.2. Fisiologi Hidung2
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah :
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal,
b. Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara un-
tuk menampung stimulus penghidu,
c. Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
d. Fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma, dan pelindung panas,
e. Refleks nasal
~ 5 ~
Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang berbau (odorant)
masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika odorant sampai di atas
membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan dengan olfaktoorius reseptor protein
pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius reseptor protein berikatan dengan odorant,
olfaktori reseptor sel berpasangan dengan protein G dan mengaktifkan enzim adenilat
siklase dan dihasilkan cAMP yang merangsang pembukaan kanal Na+ dan K+
sehingga terjadi perpindahan ion-ion yang menimbulkan depolarisasi dan
terbentuknya potensial aksi. Kemudian potensial aksi disalurkan sepanjang reseptor
olfaktorius, dari reseptor olfaktorius dihantarkan ke nervus olfaktorius, bulbus
olfaktorius, dan berjalan sepanjang traktus olfaktorius sampai ke daerah-daerah di
sistim limbik, khususnya di sisi medial bawah lobus temporalis (yang dianggap
senagai korteks olfaktorius primer).5
2.3. Rinitis Kronik
Rinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
Rinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rinitis
kronik yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada Rinitis hipertrofi,
Rinitis sika (sicca), dan Rinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur).
Rinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat dijumpai pada Rinitis
alergi, Rinitis vasomotor, dan Rinitis medikamentosa.
2.3.1.Rhinitis Hipertrofi2,5
a. Etiologi
Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa hidung pada
konka inferior yang mengalami hipertrofi. Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat
infeksi berulang dalam hidung dan sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi
dan vasomotor.
b. Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen
dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya
berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.
~ 6 ~
Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi terutama konka inferior. Per-
mukaannya juga berbenjol-benjol karena mukosa juga hipertrofi. Sekret mukopu-
rulen dapat ditemukan diantara konka inferior dan septum dan juga dasar rongga
hidung.
c. Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis
hipertrofi. Terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung dapat di-
lakukan kaustik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat)
atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan konkotomi.
2.3.2.Rhinitis Sika6
a. Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,
peminum alkohol, dan gizi buruk.
b.Manifestasi Klinis
Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.
Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang diser-
tai epitaksis.
c. Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.
2.3.3.Rinitis Spesifik7
Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:
2.3.3.1. Rhinitis Difteri2
a. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi
primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok. Dugaan rinitis difteri harus
dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
b. Manifestasi klinis
~ 7 ~
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, dan
mungkin paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur
darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta
coklat di nares anterior dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis difteri kronik ge-
jalanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan
kronik masih dapat menular. Diagnosa ditegakkan dengan pemeriksaan ku-
man dari sekret hidung.
c. Terapi
Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal,
dan intramuskular. Pasien harus diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman
negatif.
2.3.3.2. Rhinitis Atrofi2,7
a. Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi
kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan
hormonal, dan penyakit kolagen.
b. Manifestasi Klinis
Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang
hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, se-
hingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau,
ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit
kepala, dan hidung tersumbat.
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka in-
ferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta
yang berwarna hijau.
Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari
biopsi konka media, pemeriksaan mikrobiologi, dan uji resistensi kuman dan
CT scan sinus paranasal.
c. Terapi
~ 8 ~
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibi-
otika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika
tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk
mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali.
2.3.3.3. Rhinitis Sifilis2,7
a. Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
b. Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut
lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan
pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama men-
genai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.
Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan
krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis dite-
gakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi.
c. Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus
dibersihkan secara rutin.
2.3.3.4. Rhinitis Tuberkulosa2,7
a. Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
b. Manifestasi Klinis
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai
tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan
klinis, terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada
sekret hidung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datia langhans
dan limfositosis.
~ 9 ~
c. Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
2.3.3.5. Rhinitis Lepra7
a. Etiologi
Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
b. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan
produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya
destruksi tulang dan kartilago hidung.
c. Terapi
Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.
2.3.3.6. Rhinitis Jamur7
a. Etiologi
Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida
yang menyebabkan kandidiasis.
b. Manifestasi Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau
kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri
kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan
sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.
c. Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci
hidung.
2.3.4.Rinitis Alergi8,9
a. Definisi
~ 10 ~
Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap paparan alergen.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, ri-
nore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung yang terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
b. Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Disebutkan bahwa di Indonesia
pravalensi rhinitis alergi pada anak berkisar antar 9%-27% dan dewasa 22%.
c. Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 ± 30% semua populasi dan pada 10 ± 15%
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50%.
Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu alergen. Berdasarkan
cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya tungau
debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing dan kucing), re-
rumputan (bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, misalnya bahan perhiasan dan kosmetik.
d. Klasifikasi 2,8,9
Rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001) rhinitis alergi menurut
guideline ARIA (2001). Berdasarkan lamanya terjadi gejala:
1. Intermiten : gejala < 4 hari per minggu atau < 4 minggu.
2. Persisten : gejala > 4 hari per minggu dan > 4 minggu.
~ 11 ~
Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup:
1. Ringan : tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja , dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang sampai berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas
e. Gejala Klinis
Produksi mukus berlebihan, kongesti, Rhinorrhea (hidung meler), hidung
tersumbat, mata berair, gatal serta bersin, bersifat reversibel secara spontan atau
sebagai akibat pengobatan. Rhinitis mempunyai jenis yang bervariasi, hampir se-
mua jenis rhinitis yang non infeksi disebut “alergi”.
f. Patofisiologi
Secara klasik, rhinitis alergi dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi
dengan perantaraan IgE. Pada sensitisasi awal, alergen spesifik IgE terikat pada
reseptor sel mast dan basofil diikuti oleh respon inflamasi dan alergi pada alergen
yang terpapar. Pada mukosa nasal proses ini menyebabkan cross-linking pada
IgE di permukaan mukosa sel, sel mast, dan basofil, diikuti dengan granulasi dari
sel-sel inflamasi menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin lima
menit, setelah terpapar alergen (respon fase awal). Respon yang berikutnya bi-
asanya 15 menit. Sintetis dari mediator (misal leukotrin, prostaglandin, aktivasi
faktor platelet), dan beberapa sitokin) menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
sekresi glandula, dan stimulasi nervus sensoris menyebabkan symptom immedi-
ate berupa bersin, rhinorrhea, gatal, dan kongesti nasal. Respons fase lambat ter-
jadi setelah 4 sampai 24 jam setelah terpapar alergen dicirikan recruitment sel in-
flamasi dari darah misal basofil, monosit, limfosit, dan monosit, melepaskan me-
diator inflamasi tambahan dan kerusakan jaringan. Mengakibatkan peningkatan
simptom berupa nasal kongesti.
g. Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi didasarkan pada anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pe-
meriksaan penunjang.
~ 12 ~
Anamnesa. menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Perlu ditanya
gejala spesifik; pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahan-
nya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya
serangan bersin berulang (Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari
lima kali setiap serangan). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Pemeriksaan Fisik. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat disertai adanya sekret encer yang banyak. Gejala spesifik lain
pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (allergic shiner). Selain dari
itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan
punggung tangan (allergic salute). Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah
(allergic crease).
Pemeriksaan Penunjang. Berupa pemeriksaan sitologi hidung, IgE total, tes
kulit, tes provokasi, immunoassay.
h. Diagnosa Banding
1. Rhinitis non-alergi
Infeksi dan rhinitis diinduksi obat
Rhinitis hormonal
Rhinitis dari penyebab lainnya
Gastro-oesophageal reflux
Rinitis vasomotor dan idiopatik
2. Polyposis
3. Ciliary defects
4. Cerebrospinal rhinorrhea
5. Tumor benigna/maligna
6. Deviasi septum
~ 13 ~
7. Foreign bodies
8. Blocked nostril (choanal atresia)
9. Penyakit granulomatous
i. Penatalaksanaan
1. Non Farmakoterapi
Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali perlu di-
lakukan. Menghindari alergen kausal merupakan dasar pendekatan untuk
mencegah munculnya gejala alergi.
2. Farmakoterapi
Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari tipe
antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor H1
menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan perme-
abilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan produksi
mukus dan mencegah pruritus. Antihistamin generasi pertama yang banyak
bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi, misalnya difenhidramin, klor-
feniramin, prometasin. Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan
mengikat reseptor H1 sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak
berefek antikolinergik. contohnya loratadin dan levosetirisin.
Kortikosteroid Intranasal
Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi tiap
tingkat gejala rhinitis alergi. Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga
mencegah terjadinya peningkatan sel inflamasi.
Dekongestan
Dekongestan bekerja pada reseptor α-adrenergik di hidung, menimbulkan efek
vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi
Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala lain-
nya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan
~ 14 ~
obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepan-
jang tahun (perennial).
3. Imunoterapi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold) se-
belum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Indikasi
imunoterapi adalah penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi far-
makologi yang tidak adekuat dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta
sensitifitas signifikan terhadap alergen
j. Komplikasi6,7
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
2.3.5.Rinitis Vasomotor10,11
a. Definisi
Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpro-
mazin dan obat topikal hidung dekongestan).
b. Etiologi
Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti,
diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi berbagai hal, antara lain:
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal er-
gotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.
2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi, dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.
~ 15 ~
4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.
c. Manifestasi Klinis
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Ter-
dapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin
dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun
tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok
dan sebagainya.
d. Patogenesis
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang menyebabkan
terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.
Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa
berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya pen-
ingkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi kli-
nis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga
meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif.
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang menye-
babkan kongesti, hidung tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada
sistem saraf parasimpatis pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya ri-
norea.
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi secara
langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Jika bagian anterior hipotalamus ter-
aktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta emosi, maka akan menimbulkan
reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi dominasi fungsi syaraf parasim-
patis di perifer, termasuk di hidung yang dapat menimbulkan manifestasi klinis
berupa rhinitis vasomotor.
Reaksi vasomotor ini akibat stimulasi parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular disertai edema
dan peningkatan sekresi kelenjar. Pada reaksi vasomotor yang khas, terdapat dis-
~ 16 ~
fungsi sistem saraf autonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis
(penurunan kerja simpatis) yang akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi ar-
teriola dan kapiler disertai peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transu-
dasi cairan dan edema. Hal ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan
hidung serta gejala bersin dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis
meningkatkan aktivitas kelenjar dan menimbulkan peningkatan sekresi hidung
yang menyebabkan gejala rinorea.
e. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan
adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anam-
nesa dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Pada pemeriksaan fisik
pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka nasalis berwarna merah
gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema mukosa hidung dan per-
mukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung
terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret
yang ditemukan serosa yang banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menyingkirkan rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil
di dalam sekresi hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit bi-
asanya negative, kadar IgE spesifik tidak meningkat. Perubahan foto rontgen,
penebalan membrana mukosa sinus tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk di-
agnosis. Rhinitis vasomotor bisa terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.
f. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah den-
gan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan mukosa
nasal secara periodik mungkin bisa membantu (semprotan larutan saline atau
alat irigator seperti Grossan irigator).
2. Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien den-
gan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik juga
~ 17 ~
efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Steroid topikal membantu
pada pasien dengan gejala utama kongesti, rinorea dan bersin. Obat ini
menekan respon inflamasi lokal. Dekongestan atau simpatomimetik agen di-
gunakan pada gejala utama hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel,
penggunan dekongestan yang diformulasikan dengan antihistamin dapat digu-
nakan. Obat yang disarankan seperti Pseudoefedrin, Phenilprophanolamin dan
Phenilephrin serta Oxymetazoline (semprot hidung).
3. Bedah
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur pembe-
dahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo yang
berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Kauterisasi dengan AgNO3 atau
elektrik cauter dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa.
g. Komplikasi
Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah polip
hidung dan terjadinya sinusitis.
2.3.6.Rinitis Medikamentosa12,13
a. Etiologi
Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu
lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menye-
babkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian di-
hentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah vasokon-
triksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka akan ter-
jadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan rangsan-
gan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebi-
han.
~ 18 ~
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,
fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kek-
eringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat
katekolamin.
b. Gambaran Klinis
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus
menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung
berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
c. Terapi
Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat
tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi
sumbatan berulang, dekongestan oral.
~ 19 ~
BAB III
RANGKUMAN
Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di
hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur).
Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis
alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.
~ 20 ~
DAFTAR PUSTAKA
1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 7. Jakarta, Hal: 117-119
3. Aang Suherman. Tentang Hidung dan Infeksi (Edisi II Sedikit Tau Tentang Kese-
hatan), http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/11/28/tentang-hidung-dan-
infeksi-edisi-ii-sedikit-tau-tentang-kesehatan-614677.html, diakses pada tanggal
16 September 2014 pukul 18.00
4. Langgeng Perdana. Anatomi Fisiologi Hidung/Nasus, http://medicina-islamica-
lg.blogspot.com/2013/08/anatomi-fisiologi-hidung-nasus.html, diakses pada tang-
gal 16 September 2014 pukul 18.15
5. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 221
6. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
7. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.
8. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 128-134
9. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-217
~ 21 ~
10. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 135-136
11. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 218
12. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 137-138
13. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 219-222
~ 22 ~