rinitis atrofi 1

35
1 BAB I PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan di negara-negara berkembang dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan lingkungan yang buruk. 1 Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. 2 Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena. 3 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka

Transcript of rinitis atrofi 1

Page 1: rinitis atrofi 1

1

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya

atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut

juga rhinitis chronica atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican

non foetida. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan

cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.

Penyakit ini lebih sering mengenai wanita terutama pada usia pubertas.

Sering ditemukan di negara-negara berkembang dengan tingkat sosial ekonomi

yang rendah dan lingkungan yang buruk.1

Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.

Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia

pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah

dan di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang.2

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di

Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa

Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan

tajam dalam insidens ozaena.3

Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum

dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka

Page 2: rinitis atrofi 1

2

pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan

faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara

konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi. Menurut pengalaman, untuk

kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu

ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan

prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge

berbau, bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang

sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri

menderita anosmia).1,2

Pengobatan rinitis atrofi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan

gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dan pembedahan.3

Page 3: rinitis atrofi 1

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung

1. Hidung Luar

Bentuk hidung luar seperti piramid. Bagian puncak hidung disebut apeks.

Agak ke atas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang

berlanjut sampai ke belakang ke pangkal hidung dan menyatu ke dahi.

Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian

tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik

pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini

bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas ke

bawah, disebut filtrum. Sebelah kanan dan kiri kolumela adalah nares anterior

atau nostril kanan dan kiri, sebelah laterosuperior dibatasi oleh ala nasi dan

di sebelah inferior oleh dasar hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka

tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa

otot kecil yang berfungsi untu melebarkan atau menyempitkan lubang

hidung.5, 6

Page 4: rinitis atrofi 1

4

Gambar 1 : anatomi hidung luar

Kerangka tulang terdiri dari :

1. Sepasang os nasalis

2. Prosesus frontalis os maksila

3. Prosesus nasalis os frontal

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari :

1. Sepasang kartilago nasalis lateral superior

2. Sepasang kartilago nasalis lateral inferior

3. Beberapa pasang kartilago ala minor

4. Kartilago septum

Page 5: rinitis atrofi 1

5

Gambar 2 : kerangka tulang dan kartilago hidung. A) tampak lateral, B)

tampak basal

Kerangka tulang dan kartilago dari hidung ditutupi oleh otot-otot yang

dapat menggerakkan ala nasi, otot-otot tersebut antara lain:

1. M. proserus

2. M. dilator nares

3. M. levator labii superior

4. M. nasalis

5. M. depresor septi

Page 6: rinitis atrofi 1

6

2. Hidung dalam

Hidung dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi.

Setiap kavum nasi tersebut dihubungkan dengan dunia luar melalui nares

anterior dan dihubungkan dengan nasofaring melalui nares posterior (koana).

Hidung bagian dalam terdiri dari : 6, 7

a. Vestibulum

Terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut

vibrissae.

b. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yang membagi kavum

nasi menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Bagian tulang terdiri dari:

- Lamina perpendikularis os etmoid

- Os vomer

- Krista nasalis os. Maksila

- Krista nasalis os. Palatine

Bagian tulang rawan terdiri dari:

- Kartilago septum (lamina kuadraangularis)

- Kolumela

Page 7: rinitis atrofi 1

7

Gambar 3: Anatomi Septum Nasi

c. Kavum Nasi

1) Dasar hidung

Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os. Maksila dan prosesus

horizontal os. Palatum

2) Atap hidung

Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal

prosesus nasalis os. Maksila, korpus os. Etmoid dan korpus os. Sphenoid.

Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang

didahului oleh filament-filamen n. olfaktorius yang berasal dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas

septum nasi dan permukaan cranial konka superior.

Page 8: rinitis atrofi 1

8

3) Dinding lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os.

Maksila, os. Lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,

lamina perpendikularis ,os.Palatum dan lamina pterigodeus medial.

4) Konka

Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Dari bawah ke atas

yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema.

Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan

tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila dan labirin etmoid,

sedangkan konka media dan superior merupakan bagian dari labirin

etmoid

5) Meatus nasi

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung, dimana pada

meatus ini terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media

terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung, di

meatus ini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid

anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka

superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

sinus sphenoid.

Page 9: rinitis atrofi 1

9

6) Dinding medial

Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Gambar 4 : Struktur dinding lateral hidung

3. Vaskularisasi hidung1,2

1. Sistem karotis interna

a. Arteri etmoidalis anterior

b. Arteri etmoidalis posterior

Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika

2. Sistem karotis eksterna

a. Arteri spenopalatina (cabang arteri maksilaris).

b. Arteri palatina mayor cabang septum (cabang dari arteri maksilaris).

c. Arteri labialis superior cabang septum (cabang dari arteri fasialis).

Page 10: rinitis atrofi 1

10

Dinding Lateral

1. Sistem karotis interna

a. Arteri etmoidalis anterior

b. Arteri etmoidalis posterior

Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika

2. Sistem karotis eksterna

a. Arteri spenopalatina

b. Arteri palatina mayor dari arteri maksilaris

c. Arteri maksilaris cabang infraorbital

d. Cabang arteri fasialis

Gambar 5 : Perdarahan Septum Nasi

Page 11: rinitis atrofi 1

11

Gambar 6: Perdarahan Dinding Lateral Hidung

Pada bagian bawah depan dari septum terdapat anastomosis dari

empat jenis arteri yaitu arteri etmoidalis anterior, arteri laibialis superior,

arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, yang membentuk plexus

Kiesselbach (Little’s Area). Area ini mudah berdarah oleh trauma dan

merupakan lokasi biasa terjadinya epistaksis pada anak-anak dan dewasa

muda.1, 2

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke vena ophtalmika superior yang berhubungan dengan sinus

kavernosus.1, 2

Page 12: rinitis atrofi 1

12

4. Persarafan hidung1,2

1. Saraf motorik

Untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar mendapat

persarafan dari cabang nervus fasialis.

2. Saraf sensoris

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

nervus etmoidalis anterior, merupakan cabang dari nervus

nasosiliaris, yang berasal dari nervus ophtalmika (N. V-I). rongga

hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus

maksila melalui ganglion sfenopalatina.

3. Saraf otonom

Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga

memberikan persarafan vasomotor atau otonom mukosa hidung.

Ganglion ini menerima serabut parasimpatis dari nervus petrosus

profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit

di atas ujung posterior konka media.

4. Nervus olfaktorius (penciuman)

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribriformis dari permukaan

bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor

penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Page 13: rinitis atrofi 1

13

Gambar 7: Pensarafan Hidung

B. Histologi Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologis dan fungsional

dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu

(mukosa olfaktorius).

Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan

permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudostratified columnar

epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Dalam

keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi

oleh palut lendir pada permukaannya.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang

penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan

didorong kearah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk

membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang

masuk kedalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan

Page 14: rinitis atrofi 1

14

banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.

Dibawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung

pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

C. Fisiologi Hidung.

Fungsi hidung ialah :5, 8

1. Sebagai jalan nafas, untuk mengatur keluar masuknya udara.

2. Pengatur kondisi udara (Air Conditioning), perlu untuk mempersiapkan

udara yang akan masuk kedalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan

cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

3. Sebagai penyaring dan pelindung, ini berguna untuk membersihkan

udara yang masuk dari debu dan bakteri.

4. Indera pencium dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga

hidung, konka superior dan sepertiga atas septum.

5. Resonansi suara, penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi.

6. Proses bicara, hidung membantu proses pembentukan kata-kata.

7. Reflek nasal, mukosa hidung merupakan reseptor reflek yang

berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler, pernafasan.(1)

Page 15: rinitis atrofi 1

15

D. Definisi Rinitis Atropi

Rhinitis atrofi adalah suatu penyakit infeksi hidung dengan tanda adanya

atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Secara klinis mukosa hidung

menghasilkan secret kental dan cepat mongering sehingga terbentuk krusta berbau

busuk, sering mengenai tingkat social ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk.7

Lebih sering mengenai wanita pada usia antara 1-35 tahun, terbanyak pada

usia pubertas. Secara histopatologik tampak mukosa hidung menjadi tipis, silia

menghilang. Metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng

berlapis, kelenjar-kelenjar bergenerasi dan atrofi serta jumlahnya berkurang dan

berbentuk menjadi kecil.9

E. Epidemiologi

Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai

wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5

pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4

penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita

: laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil

yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk berkisar

13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit ini sering

ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan

lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik

Page 16: rinitis atrofi 1

16

dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4

wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2

Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di

Amerika Serikat. Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa

Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersaman dengan suatu

penurunan tajam dalam insidens ozaena.

F. Etiologi

Teori mengenai etiologi dan patogenesis rhinitis atrofi sampai sekarang belum

dapat diterangkan dengan memuaskan, ada beberapa hal yang dianggap sebagai

penyebabnya, antara lain :

1. Infeksi kuman spesifik, yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiela,

terutama klebsiela ozaena. Kuman lainnya antara lain staphylokokus,

streptokokus dan pseudomonas aeruginosa.

2. Beberapa factor yang mungkin menimbulkan penyakit ini adalah sinusitis

kronis, trauma yang luas pada mukosa, sifilis.

3. Oleh karena penyakit ini mulai timbul pada usia remaja (pubertas) dan lebih

banyak ditemukan pada wanita, maka diduga ketidakseimbangan endokrin

juga berperan sebagai penyebab penyakit ini.

4. Gizi buruk, biasanya karena defisiensi vitamin A, vitamin C dan zat besi.

5. Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

Page 17: rinitis atrofi 1

17

6. Herediter.

7. Berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi. Trauma dapat terjadi karena

kecelakaan ataupun iatrogenik, yaitu efek lanjut pembedahan, sedangkan

terapi radiasi pada hidung segera merusak pembuluh darah dan kelenjar

penghasil mucus.

Rinitis Atrofi di klasifikasikan menjadi 2 tipe:8

1. Rinitiis Atrofi primer : penyebabnya belum diketahui dengan pasti, ada

beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebab rinitis atrofi primer :

a. Faktor herediter : penyakit ini diketahui berkaitan dengan

hubungan keluarga yang berdekatan. Penelitian oleh Amreliwala tahun

1993 ditemukan 27,4 % kasus bersifat diturunkan secara autosomal

dominan dan 67 % diturunkan secara resesif. Penelitian oleh Singh tahun

1992, 20 % kasus ditemukan adanya riwayat satu atau lebih anggota

keluarga yang mempunyai penyakit yang serupa.

b. Infeksi : beberapa organisme telah ditemukan pada hidung pasien

penderita rinitis atrofi, seperti Klebsiella ozaenae, Coccobacillus foetidus

ozaena (Coccobacillus of Perez), Coccobacillus of Loewenberg, Bacillus

mucosus (Abel’s bacillus), diphteroids, Bacillus pertusis, Haemophilus

influenza, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus species, tetapi semua

bakteri tersebut tidak dapat dibuktikan sebagai penyebab rinitis atrofi.

Page 18: rinitis atrofi 1

18

c. Defisiensi nutrisi : nutrisi yang buruk disebutkan sebagai faktor penting

pada perkembangan rinitis atrofi. Beberapa penulis menyebutkan pemyakit

ini berhubungan dengan defisiensi Fe. Defisiensi vitamin larut lemak

(terutama vitamin A) juga dipertimbangkan sebagai salah satu faktor

penyebab.

d. Teori developmental : pneumatisasi yang buruk dari sinus maksila,

memegang peranan penting terjadinya rinitis atrofi.

e. Defisiensi phospolipid : analisis biokimia dari aspirasi hidung pada kasus

rinitis atrofi ditemukan adanya penurunan phospolipid total yang signifikan

dibandingkan pada hidung normal.

f. Teori Ketidakseimbangan endokrin : beberapa penulis menyimpulkan

defisiensi oestrogen sebagai faktor penyebab rinitis atrofi. Insidensi

penyakit ini pada perempuan pubertas, gejala yang memberat pada saat

menstruasi dan kehamilan, dan berkurangnya gejala pada beberapa kasus

setelah pemberian estrogen, merupakan pendukung teori tersebut.

g. Autoimun : beberapa faktor seperti infeksi virus, malnutrisi,

penurunan daya tahan tubuh sebagai faktor pemicu destruksi proses

autoimun dengan melepaskan antigen mukosa hidung ke sirkulasi.

2. Rinitis Atrofi Sekunder : Pada keadaan ini umumnya rinitis atrofi disebabkan

oleh infeksi hidung kronik seperti sinusitis kronis, tuberkulosis, sifilis, dan

Page 19: rinitis atrofi 1

19

lepra. Penyebab lainnya yaitu kerusakan jaringan yang luas oleh karena operasi

hidung dan trauma serta efek samping dari radiasi.

G. Patologi

Perubahan histologis rinitis atrofi pada stadium awal berupa proses peradangan

kronis dan pada stadium lanjut berupa atrofi dan fibrosis mukosa hidung.

Mula-mula sel epitel toraks dan silianya akan hilang. Epitel dapat mengalami

stratifikasi awal dan bermetaplasia menjadi epitel gepeng. Pada stadium

lanjut, sebagian besar epitel telah menjadi gepeng. Dibawah epitel, terdapat

jaringan fibrosis yang padat.8

Akibat dari kehilangan epitel yang bersilia, menyebabkan penumpukan sekresi

kental dari hidung dan menyebabkan infeksi sekunder dan pembentukan krusta. Bau

dan kehilangan sensasi dari mukosa menarik lalat untuk bertelur dimana telur

tersebut dapat menetas menjadi larva dan pupa yang disebut magot.4,8

Secara patologi rinitis atrofi dapat dibagi dua yaitu:

1. Rinitis atrofi tipe I

Merupakan tipe paling sering (50-80%) dari semua kasus.

Dikarakteristikkan dengan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriol

terminal akibat infeksi kronis dan membaik dengan efek vasodilator dari terapi

estrogen.2,6,7

2. Rinitis atrofi tipe II

Page 20: rinitis atrofi 1

20

Tipe ini terdapat pada 20-50% kasus dimana terdapat vasodilatasi dari kapiler.

Sel endotel dari kapiler yang berdilatasi mempunyai sitoplasma yang lebih

dari normal dimana menunjukkan reaksi alkalin fosfatase yang positif pada

proses resorbsi tulang. Pada tipe ini tidak dapat diterapi dengan estrogen.2,6,7

Gambar 8 : Mukosa Hidung Normal

Gambar 9 : Mukosa Hidung pada penderita rinitis atrofi

Page 21: rinitis atrofi 1

21

H. GEJALA KLINIS

Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih

besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara berlahan

memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.

Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang sementara fibrosis jaringan subepitel

berlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa juga ikut terlibat termasuk

kartilago, otot dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan

krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring dan laring.

Keadaan ini dapat mempengaruhi potensi tuba eustachius, berakibat efusi telinga

kronik, dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apparatus

lakrimalis, termasuk keratitis sikka.2

Pada perubahan lanjut rhinitis atrofi, dikenal sebagai ozaena atau krusta yang

banyak dapat disertai bau busuk mamualkan. Sementara orang disekeliling penderita

tidak tahan terhadap bau busuk tersebut, pasien sendiri tidak merasakannya karena

anosmia. Ia mengeluh kehilangan indera pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak

ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan menjadi semakin lebar, pasien

merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernafas lewat hidung, terutama

karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung, dan menghantarkan

impuls sensoris dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak

semakin jauh. Keluhan yang lain pada rhinitis atrofi adalah nyeri kepala dan

epistaksis.1,4,8

Page 22: rinitis atrofi 1

22

Secara klinis, Sutomo dan Samsudin membagi rinitis atrofi dalam tiga tingkatan

yaitu: 4,8

A. Tingkat I: atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,

krusta sedikit.

B. Tingkat II: atrofi mukosa hidung semakin jelas, mukosa makin kering, warna

makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.

C. Tingkat III: atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai

garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di

nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (Ozaena) dapat kita temukan:1,2

Rongga hidung.

Rongga hidung sangat lapang.

Konka hidung.

Konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi.

Sekret.

Sekret purulen dan berwarna hijau.

Krusta. Berwarna hijau.

Page 23: rinitis atrofi 1

23

I. DIAGNOSIS

Diagnosis rinitis atrofi dapat ditegakkan berdasarkan:1,2,3

1. Anamnesis

Pada anamnesis pasien mengeluhkan hidung tersumbat, hidung

berdarah, sakit kepala atau nyeri pada wajah, pasien tidak mencium bau

busuk tetapi orang lain dapat merasakannya dan adanya sekret hijau kental

serta keropeng berwarna hijau.

2. Pemeriksaan klinis

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapati krusta berwarna kuning

kehijau- hijauan atau kadang-kadang krusta dapat berwarna hitam terutama

pada dinding lateral kavum nasi yang berbau busuk. Setelah krusta

diangkat, biasanya akan terjadi perdarahan. Tampak rongga hidung yang

sangat lapang dan konka yang atrofi, mukosa hidung yang tipis dan

kering. Bisa juga ditemui ulat/larva (karenabau busuk yang timbul).

Nasofaring bagian belakang dan bagian atas palatum molle jelas

terlihat tanpa hambatan.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah rutin dan Fe serum, kultur dan uji sensitifitas sekret

hidung, uji serologis (VDRL) untuk menyingkirkan sifilis, uji mantoux

dan foto toraks PA apabila rinitis atrofi diduga berhubungan dengan

Page 24: rinitis atrofi 1

24

tuberkulosis, foto rontgen dan CT scan sinus paranasal dan pemeriksaan

biopsi hidung. (4,7,8)

Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan rongga

hidung yang lapang.

Pada CT scan sinus paranasal terdapat gambaran penebalan dari mukosa

sinus paranasal, hilangnya kompleks osteo meatal akibat destruksi bulla

etmoid dan prosesus unsinatus, hipoplasia dari sinus maksilaris, pembesaran

dari rongga hidung dengan destruksi dari dinding lateral hidung dan

destruksi tulang konkainferior dan konka media.

Gambar 10 : Gambaran CT Scan Hidung dan Sinus Paranasal PotonganKoronal Pada Penderita Rinitis Atrofi

Page 25: rinitis atrofi 1

25

J. DIAGNOSIS BANDING 1, 2

a. Rinitis tuberkulosis

Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama

mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.

Pada pemeriksaanklinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta sehingga

menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan

ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung.

b. Rinitis sifilis

Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis

sifilis yang primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada

mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang

terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi

septum. Pada pemeriksaan klinis didapati sekret mukopurulen yang

berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan

mikrobiologik dan biopsi.

c. Rinitis lepra

Penyebab rinitis lepra adalah Mikobakterium leprae. Lesi pada hidung

sering terlihat pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat

oleh karena pembentukan krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung

terlihat pucat. Apabila infeksi berlanjut dapat menyebabkan perforasi septum.

Page 26: rinitis atrofi 1

26

d. Rinitis sika

Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian

depan septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau

tidak ada. Pasien biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering yang kadang-

kadang disertai dengan epistaksis. Penyakit ini biasa ditemukan pada orang tua

dan pada orang yang bekerja di lingkungan yang berdebu, panas dan kering.

K. KOMPLIKASI

1. Perforasi septum dan hidung pelana.

Pada kasus yang parah dan tidak diterapi, dapat menyebabkan komplikasi

berupa destruksi dari tulang dan tulang rawan hidung yang mengakibatkan

perforasi septum dan hidung pelana.2

2. Faringitis atrofi.

Hal ini biasanya terjadi bersamaan dengan rinitis atrofi dimana terdapat

mukosa faring yang kering. Krusta yang lepas dapat menyebabkan episoda

batuk seperti tercekik.2

3. Miasis nasi.

Merupakan komplikasi yang jarang ditemui, terutama pada pasien dengan

sosio ekonomi yang rendah dimana bau busuk tersebut menarik lalat dari genus

Chrysomia (C. Bezianna vilteneauve). Lalat ini meletakkan telurnya

yang kemudian menetas menjadi magot. Puluhan sampai ratusan magot

Page 27: rinitis atrofi 1

27

dapat memenuhi rongga hidung dimana mereka makan dari mukosa sampai

tulang hidung. Mereka membuat terowongan di jaringan lunak hidung, sinus

paranasal, nasofaring, dinding faring jaringan orbita, lakrimal, sampai dasar

tengkorak yang dapat menyebabkan meningitis dan kematian.2

L. PENATALAKSANAAN

Hingga kini pengobatan medis terbaik rhinitis atrofi hanya bersifat paliatif.

Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik

dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan

jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama

adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan

dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan

adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan gejala.

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan

operasi.7

1. Konservatif

Pengobatan utama rinitis adalah konservatif yang dapat diberikan secara

lokal ataupun sistemik.1,2,7

Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung,

dan simptomatik

1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat

sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang

Page 28: rinitis atrofi 1

28

baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12

minggu.

2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan

menghilangkan bau. Antara lain :

a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau

b. Campuran :

NaCl, NH4,Cl, NaHCO 3 aaa 9

Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur

d. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat

Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan

menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui

mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi

(Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25%

dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak

Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g +

NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.

Page 29: rinitis atrofi 1

29

4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.

5) Preparat Fe.

6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski

melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80%

perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal

memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu

regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya

memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium

bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan

urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di

klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan

kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.

2. Pembedahan

Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan

rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan

mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik

bedah dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu Implan dengan pendekatan intra

atau ekstra nasal dan Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang

hidung ke arah dalam.2

Beberapa teknik operasi yang dilakukan: 7

Page 30: rinitis atrofi 1

30

1) Young’s operation.

Prosedur ini adalah penutupan total salah satu rongga hidung dengan flap.

Tujuan operasi ini adalah mencegah efek kekeringan, mengurangi krusta dan

membuat mukosa dibawahnya tumbuh kembali. Tekanan negatif yang timbul pada

lubang hidung yang tertutup menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah

sekitarnya. Teknik originalnya dilakukan dengan menaikkan flap intranasal 1 cm

dari cephalic ke lingkaran ala nasi. Flap ini akan menutup lubang hidung tepat

ditengahnya. Kekurangan teknik ini adalah sulitnya membuat flap oleh karena

flap mudah robek atau timbulnya parut yang dapat menyebabkan stenosis

vestibulum.

2) Modified Young’s operation

Modifikasi tehnik ini dilakukan oleh El Kholy. Prinsipnya yaitu penutupan

lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

3) Launtenschlager operation

Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,

kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

Page 31: rinitis atrofi 1

31

Gambar 11 : Teknik operasi Lautenschlager

Pada operasi ini, antrum maksila dibuka dengan operasi Caldwell- Luc. Dinding

medial antrum dimobilisasi kearah medial dengan membuat potongan berbentuk U

dengan menggunakan bor, apabila mungkin, mukosa kavum nasi yang tipis

karena penyakit ini jangan sampai rusak. Tulang antrum medial dengan konka

inferior diluksasi kearah medial dengan bertumpu pada area etmoid.

4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis

seperti Teflon, campuran triosite, plastipore dan fibrin glue.

Page 32: rinitis atrofi 1

32

Tahap I Tahap II

Tahap III Tahap IV

Gambar 12 : Implantasi submukosa

Page 33: rinitis atrofi 1

33

L. PROGNOSIS

Penyakit ini dapat menetap bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk

sembuh spontan pada usia pertengahan.4

Page 34: rinitis atrofi 1

34

BAB III

KESIMPULAN

Rhinitis atrofi termasuk penyakit hidung kronik yang etiologi pastinya belum

jelas. Penyebab terseringnya adalah infeksi Klebsiella Ozaena, penjalaran dari infeksi

lokal setempat, efek lanjut dari tindakan intervensi bedah, efek radiasi, trauma,

defisiensi vitamin A, defisiensi Fe, dan bahkan ada yang mengatakan karena

pengaruh genetik. Penyakit ini juga lebih sering terjadi pada wanita usia pubertas

dibanding pada pria.

Patofisiologi rhinitis atrofi bermula dari adanya etiologi yang telah disebutkan di

atas. Jika hal-hal tersebut terjadi lama (tidak kunjung sembuh) maka akan

menimbulkan peradangan kronis yang membuat perubahan pada struktur anatomi dan

fungsi dari hidung. Di antaranya epitel menjadi menipis dan kehilangan silianya,

kelenjar mukosa mengalami atrofi.

Gejala klinik yang membuat pasien datang ke dokter adalah karena adanya

foetor ex nasi (bau busuk dari dalam hidung) yang hanya dirasakan oleh orang sekitar

penderita, tetapi penderita sendiri tidak merasakannya. Selain itu juga didapatkan

gejala hidung tersumbat, gangguan penghidu, epistaksis, dan cefalgia,

Untuk menegakkan diagnosis rhinitis atrofi, pemeriksaan yang paling pertama

kita lakukan adalah pemeriksaan anamnesis. Setelah pemeriksaan anamnesis, kita

Page 35: rinitis atrofi 1

35

masuk ke pemeriksaan fisik, dimana pada pemeriksaan hidung ditemukan adanya

rongga hidung yang sangat lapang, banyak krusta, dan jika krusta tersebut diangkat

maka akan ada perdarahan (epistaksis), konkha media dan inferior mengalami atrofi,

dan terdapat gangguan penghidu. Selain pemeriksaan fisik, terdapat juga pemeriksaan

penunjang lain seperti CT-Scan.

Diagnosis banding dari rhinitis atrofi ini adalah rhinitis kronik tuberkulosa dan

rhinitis kronik sifilis. Dimana diagnosisnya harus dapat dibedakan dari rhinitis atrofi.

Komplikasi yang timbul dapat berupa Perforasi Septum, Faringitis, Sinusitis, Hidung

Pelana dan Miasis Hidung.

Pengobatannya terdiri dari menghilangkan krusta, membilas hidung secara

teratur dengan larutan garam fisiologis dan bila perlu memberikan antibiotika agak

lama dengan dosis yang adekuat. Bila dengan cara ini tidak menolong secara tuntas,

barulah diperlukan tindakan bedah untuk menyempitkan rongga hidung. Dan untuk

prognosisnya tergantung pada penatalaksanaan yang tepat terhadap pasien dapat

diberikan secara konservatif dan pembedahan.