Rinitis Alergi Ref

23
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi berasal dari bahasa Yunani. Yaitu Allon dan Argon, yang berarti reaksi yang berubah. Jenis penyakit ini mulanya diperkenalkan oleh dokter berkebangsaan Australia, bernama Clemens Von Pirquet pada tahun 1906. ia menyatakan bahwa alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi pada seseorang. Bersifat khas dan timbul bila ada kontak yang biasanya tidak menimbulkan reaksi pada orang normal. Hingga kini angka penderita penyakit alergi terus mengalami peningkatan. Bahkan di negara-negara maju, hal ini terus menjadi perhatian. Mengingat pencapaian pertumbuhan penyakit alergi hingga 40 persen pertahunnya. Di Indonesia sendiri ternyata prevalensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah. Malah cenderung menunjukan peningkatan. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa gejala alergi seperti asma di Jawa dan Bali meningkat hingga 7,5 persen pertahunnya. Sedangkan alergi lantaran Dermatitis atopik juga meningkat hingga empat persen. Sedangkan prevalensi penyakit alergi lantaran gejala rinitis, menunjukan peningkatan paling besar, yaitu dapat mencapai angka 22 persen pertahunnya. 1

description

ghjg

Transcript of Rinitis Alergi Ref

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Penyakit alergi berasal dari bahasa Yunani. Yaitu Allon dan Argon, yang berarti reaksi yang berubah. Jenis penyakit ini mulanya diperkenalkan oleh dokter berkebangsaan Australia, bernama Clemens Von Pirquet pada tahun 1906. ia menyatakan bahwa alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi pada seseorang. Bersifat khas dan timbul bila ada kontak yang biasanya tidak menimbulkan reaksi pada orang normal.

Hingga kini angka penderita penyakit alergi terus mengalami peningkatan. Bahkan di negara-negara maju, hal ini terus menjadi perhatian. Mengingat pencapaian pertumbuhan penyakit alergi hingga 40 persen pertahunnya. Di Indonesia sendiri ternyata prevalensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah. Malah cenderung menunjukan peningkatan. Hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa gejala alergi seperti asma di Jawa dan Bali meningkat hingga 7,5 persen pertahunnya. Sedangkan alergi lantaran Dermatitis atopik juga meningkat hingga empat persen. Sedangkan prevalensi penyakit alergi lantaran gejala rinitis, menunjukan peningkatan paling besar, yaitu dapat mencapai angka 22 persen pertahunnya.

Rintis Alergika adalah gejala alergi yang terjadi pada hidung. Rinitis alergi lebih banyak menyerang usia anak. Di negara 4 musim, penyakit ini muncul pada musim tertentu (seasonal) yaitu saat musim bunga. Di Indonesia, rinitis alergika ditemukan sepanjang tahun (persisten). Sekitar 87% penderita rinitis alergika mempunyai riwayat alergi di keluarganya. Rinitis alergika pada anak biasanya menetap sampai dewasa dan berkurang saat usia lanjut. Sekitar 15 25% penderita akan sembuh spontan setelah 5 7 tahun.1.2 Tujuan

Tujuan penulisan adalah untuk mengingatkan dan menambah pengetahuan bagi penulis dan pembacanya. Tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan nilai pada stase THT ini.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan terdiri dari definisi, anatomi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gejala klinik, dan lain sebagainya.

1.4 Sumber

Sumber yang digunakan adalah buku-buku ajar THT, internet, dan lain-lain.

Bab IIPembahasan Teori2.1 Definisi

Definisi yang dituliskan oleh Von Pirquet, 1986, rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

Sedangkan definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinintis and Impact on Asthma) tahun 2001 adalah selainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang terperantarai oleh Ig E.

2.2Anatomi Hidung

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung.

HIDUNG LUARHidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:1. Pangkal hidung (bridge)

2. Dorsum nasi3. Puncak hidung4. Ala nasi5. Kolumela6. Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila, prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor, 3) beberapa pasang kartilago alar minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.

CAVUM NASI

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.

2.3 EtiologiEtiologi dibagi berdasarkan pembagian jenis Rinitis Alergi. Beberapa pasien sensitif terhadap multipel alergen dan bisa memiliki Rinitis alergi musiman dan sepanjang tahun secara bersamaan. Alergi makanan juga dapat menyebabkan Rinitis Alergi, terutama pada anak, tetapi hal tersebut jarang terjadi kecuali simtom pada gastrointestinal atau kulit.1. Rinitis Alergi Musiman, dapat disebabkan karena adanya serbuk sari dari pohon, rumput liar, dan tanaman (bunga, dll). Pohon contohnya pada pohon ek, maple, cedar, dan zaitun. Sedangkan pada tanaman biasanya disebabkan oleh Kentucky bluegrass, tanaman buah, redtop, timothy, vernal, meadow fescue, Bermuda, dan perennial rye.2. Alergi sepanjang tahun biasanya disebabkan karena adanya alergen di dalam rumah tetapi dapat juga diakibatkan alergen di luar rumah. Pada iklim yang lebih hangat, paparan terhadap serbuk sari dari tanaman liar dapat terjadi sepanjang tahun. Alergen lainnya adalah debu di dalam rumah, binatang peliharaan, kecoa, tikus.2.4 Patofisiologi

Rinitis merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktif) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/ APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig E). Ig E disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukosit D4 (LT D4). Leukotrien C4 (LT C4), bradikin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), dll, yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat.Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Gejala akan terus berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derivided Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Perixidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.2.5Pembagian Rinitis AlergiDahulu Rinitis Alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (parenial)Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.Saai ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu atau kurang dari 4 minggu2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolah raga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang atau berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.6Rinitis Alergi Musiman

Di Indonesia tidak dikenal Rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal, disertai lakrimasi).

Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan usia dan biasanya mulai timbul pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen diudara. Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.2.7Rinitis Alergi Sepanjang Tahun (Perenial)Etiologi

Penyebab tersering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alegen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomis tropicalis, kecoa dan bulu binatang peliharaan (kucing, anjing, burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.

Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtkaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibsndingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan

Gejala Klinik

Gejala khas ialah serangan bersin berulang, terutama pagi hari atau apabila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain ialah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).

Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung (karena gatal) dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.2.8Diagnosis Rinitis Alergi

Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Pemeriksaan Rinoskopi Anterior

Pada pemerksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livide disertai adanya sekret encer yang banyak.

Pemeriksaan Sitologi Hidung

Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan penunjang. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/ lap) mungkin di sebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

Hitung Leukosit Dalam Darah Tepi

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari satu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbet Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbet Assay Test).Uji Kulit

Dengan uji kulit, alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Kuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Provocative Food Test atau Intacutaneus Provocative Food Test (IPFT). Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain jenis alergen penyebab, juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan reaksi akibat alergen tersebut.2.9Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen pennyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

Simptomatis

a. Medikamentosa

Pemakaian antihistamin yaitu antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan Rinitis Alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi dengan dekongestan secara peroral.Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan histamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda b. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.Imunoterapi

Desensitasi dan hiposensitisasi, cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

Netralisasi

Cara netralisasi dilakukan untuk alergi makanan. Pada netralisasi, tubuh tidak membentuk blocking antibody seperti pada desensitisasi.

2.10Komplikasi

Komplikasi Rinitis Alergi yang sering ialah:

1. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media yang residif, terutama pada anak-anakFaktor Risiko Otitis Media

Faktor risiko terhadap tuan rumah (host) diantaranya usia, prematuritas, ras, alergi, abnormalitas craniofasial, refluks gastroesophageal, adanya adenoid, dan predisposisi genetik.

Faktor risiko karena lingkungan terdiri dari infeksi saluran napas atas, level sosial ekonomi, perawatan kesehatan harian, dan lain-lain.

Riwayat Infeksi Saluran Napas Atas. Insiden meningkat pada saat musim gugur dan musim dingin Riwayat keluarga adanya penyakit pada telinga tengah dapat meningkatkan insiden.

3. Sinusitis paranasal.

Faktor predisposisi Sinusitis Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis kronik serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus serta menghasikan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuh bakteri.

Lingkungan berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahn pada mukosa serta kerusakan silia.

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainaseDaftar Pustaka

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Alergi Hidung. Dalam: Soeparti EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 201416