RINGKASAN DISERTASI ASALLE
-
Upload
robertmarbun -
Category
Documents
-
view
47 -
download
5
description
Transcript of RINGKASAN DISERTASI ASALLE
1
AKUNTABILITAS KEUANGAN (STUDI PENGELOLAAN DANA OTONOMI
KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA)
Agustinus Salle
Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih
M.S. Idrus
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Ubud Salim
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Djumahir
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
Abstract
This research revealed the phenomena and problems of financial accountability of the
local government in the context of the Special Autonomy (Otsus) for Papua Province.
Three dimensions were applied to explain these phenomena: the dimensions from the
local government, the views from the public (society), and the views from the Supreme
Audit Agency (BPK). By applying qualitative research design, this study collected the
data through an in-depth interview with key informants and analyses of the
governmental document, news, and the BPK audit reports. The main result of this
research was that many problems of the special autonomy funds still existed. Even
though the Papua Provincial Government always stated that they always followed the
regulations in managing Otsus funds; this research found that, in reality, a lot of practices
still did not comply with the rules and laws. The report of BPK audit on the Otsus funds
in 2009 indicates a number of violations to the regulations in the Otsus funds
management. The Papuans, that had demanded for transparent and accountable financial
management, had not yet succeeded pushing the Government in all levels for improving
the Otsus’ funds management. This research also formulated some prepositions for
further studies. Clean and consistent implementation of Special Autonomy in Papua was
found to be the only way to solve conflicts In Papua.
Keywords: financial accountability, special autonomy funds, local government financial
management, public monitoring, external audit.
Abstrak
Studi ini mengungkapkan fenomena dan masalah akuntabilitas keuangan pemerintah
lokal (daerah) dalam konteks Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tiga sisi pandang
(dimensi) yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu dari sisi pemerintah
lokal, dari sisi publik (masyarakat), dan dari sisi Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan
2
menggunakan disain penelitian kualitatif, studi ini mengumpulkan data melalui
wawacara mendalam dengan informan, menganalisis dokumen resmi pemerintah, teks
media dan hasil pemeriksaan eksternal BPK. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa
masih banyak masalah dalam pengelolaan keuangan dana Otonomi Khusus Papua.
Walaupun Pemerintah Provinsi Papua seringkali menyatakan bahwa mereka
mempedomani perundangan keuangan negara/daerah dalam pengelolaan dana Otsus,
studi ini menemukan banyak masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa dana Otsus tahun 2009 menemukan
sejumlah pelanggaran terhadap peraturan. Publik Papua yang terus menuntut agar
pengelolaan keuangan transparan dan akuntabel belum berhasil mendesak pemerintah
untuk memperbaiki akuntabilitas dana Otsus. Studi ini merumuskan beberapa proposisi
yang dapat digunakan oleh peneliti lebih lanjut. Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua
secara murni dan konsekwen merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan berbagai
konflik Papua.
Kata Kunci: akuntabilitas keuangan, dana Otonomi Khusus, pengelolaan
keuangan daerah, pengawasan masyarakat, pemeriksaan ekternal.
1. Latar Belakang
Sejak berlakunya Undang-Undang
21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua (UU21/2001),
Pemerintah Daerah Provinsi Papua
(Pemda Provinsi) telah menerima aliran
dana dalam jumlah yang sangat besar.
Terhitung mulai dari tahun 2002 – 2010,
dana Otsus yang dikucurkan telah
mencapai lebih dari Rp. 21,4 trilyun.
Dana ini setiap tahun diterima Pemda
Papua.
Dana Otsus sejatinya dana itu
digunakan untuk mengejar berbagai
ketertinggalan yang masih sangat
dirasakan masyarakat, terutama
pelayanan dalam pendidikan dan
kesehatan serta gizi. Selain itu, dana
otsus juga harus dialokasikan untuk
memperbaiki kondisi ekonomi
penduduk asli Papua, dan peningkatan
prasarana dasar seperti perumahan, air
minum, dan listrik pedesaan.
Namun searah dengan perjalanan
Otsus, yang sudah mencapai usia 9
tahun, sorotan publik terus mengalir
dan meminta perhatian Pemerintah.
Sorotan antara lain menyebut bahwa:
dana Otsus belum dirasakan warga
kampung, dana Otsus hanya janji
kosong, dana Otsus salah sasaran, dana
yang salah sasaran menimbulkan
penolakan Otsus, dana otsus tidak
disertai sistem dan persiapan yang baik.
Sorotan di atas ingin menjelaskan
bahwa ada sesuatu yang salah dengan
pemberian dana Otsus ke Provinsi
Papua. Dana yang dahulunya banyak
diharap untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk Papua,
sekarang justru sebaliknya, membawa
masalah dan konflik baru. Artikel ini
ingin menjelaskan beberapa masalah
dan fenomena akuntabilitas dana Otsus
yang ditransfer ke Papua. Untuk itu,
tulisan ini melihat fenomena dalam tiga
sudut pandang (tiga dimensi), yaitu dari
sudut pandang Pemda Provinsi, BPK,
dan publik Papua. Untuk sudut
pandang Pemda Papua ingin dilihat
bagaimana Pemda mengelola dana
Otsus, dari sudut pandang BPK ingin
dijelaskan temuan hasil pemeriksaan
3
dana Otsus, dan sisi pandang publik
akan mengungkapkan berbagai isu,
masalah dan harapan terhadap
pengelolaan dana yang banyak menjadi
perhatian masyarakat.
2. Tinjauan Pustaka
Messner (2009) menjelaskan bahwa
konsep akuntabilitas pertama diperke-
nalkan oleh disiplin akuntansi.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh
Bovens (2007) bahwa ‚Historically and
simantically, it is closely related to
accounting, in its literal sense of
bookkeeping‛. Literatur lain oleh Schiavo-
Campo (2007) menjelaskan akuntabilitas
sebagai salah satu dari empat pilar good
governance, yaitu ‚accountability,
transparency, predictability, and
participation‛. Akuntabilitas dalam
konteks ini diartikan sebagai ‚capacity to
call public officials to ask for their actions‛,
yang dioperasionalkan dengan
‚accountability of whom, for what and for
whom‛.
Bovens (2007) mengklasifikasikan
akuntabilitas dalam empat tipologi,
yaitu siapa forum (prinsipal), siapa
aktor (agen), aspek yang
dipertanggungjawabkan, dan sifat
pertanggungjawaban. Dalam konteks
pemerintah daerah, keempat tipologi ini
eksplisit ditetapkan melalui peraturan.
Sebagai misal, dalam Peraturan
pemerintah Nomor 58 taun 2005 tentang
Keuangan Daerah dijelaskan Gubernur
atau Bupati ditetapkan sebagai
‚pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah‛ (Pasal 5). Sebagai
‚penguasa‛, kepala daerah bertindak
sebagai agen yang harus mempertang-
gungjawabkan keuangan daerah kepada
legislatif (sebagai prinsipal) melalui
Laporan Keterangan Pertanggung-
jawaban (LKPJ) pada akhir tahun
anggaran. Selain pertanggungjawaban
kepada legilatif, perundangan juga
menyebut bahwa masyarakat merupa-
kan prinsipal yang harus menerima
pertanggungjawaban dari pemerintah
daerah. Mengenai apa yang harus
dipertanggungjawabkan, literatur akun-
tabilitas menyebut, antara lain,
pemerintah harus akuntabel untuk
keuangan (baca: APBD) dan kinerja
(baca: program dan kegiatan).
Akuntabilitas keuangan publik
berkembang dalam enam tahapan
(Premchand, 1999). Tahap pertama,
akuntabilitas keuangan menekankan
pada aspek perbendaharaan. Ini diawali
pada dua milenium tahun lalu, melalui
karya Kautilya. Dalam masa itu semua
penerimaan dan pengeluaran pemerin-
tah dan kerajaan harus dicatat dengan
format yang telah ditetapkan. Pegawai
yang mengelola keuangan harus siap
diperiksa sesuai jadwal yang sudah
ditetapkan. Dalam waktu yang sama
juga dilaporkan praktek untuk
mengamankan harta milik pemerintah
di dalam pemerintahan di Cina dan
Yunani. Perkembangan ini terus
membawa perubahan sampai lahirnya
the principles of accounting yang
digunakan oleh Kerajaan Inggris, yang
kemudian disusul dengan pembukuan
kameral di Eropa.
Tahap kedua, akuntabilitas
keuangan berkembang karena tuntutan
parlemen terhadap pemerintah. Parle-
men mendesak pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan keuangan
yang dikelolahnya. Perkembangan
dimulai di Inggris, di abad ketujuhbelas,
dimana parlemen dan komisinya
menghendaki riviu terhadap ‚wisdom,
faithfullness, and economy‛ yang diper-
cayakan parlemen kepada pemerinta-
han. Tahapan ini menandai peranan dan
hak parlemen untuk mengawasi
4
keuangan publik, termasuk menuntut
pelaksanaan akuntabilitas keuangan
pemerintahan.
Tahap ketiga, sebagai keberlanjutan
dari tahap kedua ialah ditetapkannya
legislative committees oleh parlemen
dengan tugas untuk meriviu kepatuhan
dan dampak belanja pemerintah.
Laporan tahunan pemerintah diperika
oleh komisi ini, dan mereka juga
mengesahkan transaksi yang ada dalam
laporan. Komisi ini disebut sebagai
institusi awal lahirnya pemeriksa
eksternal yang diparktekkan sekarang
ini.
Tahap keempat, terjadi sekitar abad
keduapuluh, secara khusus setelah
perang dunia kedua usai, dimana
muncul kesadaran tentang pentingnya
kesejahteraan bangsa-bangsa (welfare
states) yang dikaitkan dengan pengelua-
ran pemerintah, partisipasi publik yang
lebih luas, dan pengawasan masyarakat.
Lahirnya welfare states ini, merupakan
tahap awal pemikiran performance
budgeting yang mengutamakan keluaran
sebagai indikator kinerja program/
kegiatan pemerintah.
Tahap kelima, akuntabilitas
keuangan ditekankan pada macro
economic management. Pada tahap ini
pemerintah lebih dituntut untuk
bijaksana dalam mengelola anggaran.
Pemerintah diharuskan untuk memper-
hatikan dampak dan hubungan
anggaran dengan pertumbuhan
ekonomi. Sampai pada tahap ini,
pemerintah sudah mulai disadarkan
tentang pentingnya perhatian pada tiga
dimensi akunbilitas keuangan yaitu,
‚... (i) expenditure choices (to
ascertain the degree of prudence); (ii)
program management (propriety,
economic management, adequate
delivery systems); and (iii) regular
dissemination of information
(showing material matching, i.e., a
process by which outputs and income
are related in a time frame to cost of
services)‛ (Premchand, 1999,
p151).
Tahap keenam, merupakan tahap
perkembangan terkini dari akuntabilitas
keuangan publik. Di tahap ini,
akuntabilitas keuangan pemerintah
lebih dituntut maju dan berkembang.
Pemerintah diminta lebih maju dengan
membuktikan bahwa kebijakan dan
program yang dikerjakan berada dalam
ruang lingkup tugas dan fungsi
pemerintah; dan bukan mengambil
tugas yang seharusnya dikerjakan
institusi non pemerintah. Perkem-
bangan akuntabilitas keuangan mem-
bawa perubahan dalam tugas dan
fungsi yang seharusnya dikerjakan
pemerintah.
Untuk mengenali akuntabilitas
keuangan publik, Brinkerhoff (2001)
menyebut tiga instrumen yaitu,
penganggaran, akuntansi dan pemerik-
saan. Melalui instrumen penganggaran,
pemerintah mengalokasikan dana untuk
bentuk program dan kegiatan guna
merealisir visi dan misi, serta melayani
rakyat.
Dalam beberapa tahun terakhir,
penganggaran di lingkungan Pemerin-
tah Daerah telah mengalami reformasi.
Reformasi antara lain mengharuskan
peningkatan peran serta masyarakat
melalui Musrenbang, penyusunan
anggaran berbasis kinerja (performance
budgeting), dan tuntutan untuk menso-
sialisasikan anggaran kepada publik
(Permendagri 13/2006)
Untuk instrumen akuntansi Chan
(2003) menjelaskan bahwa di era
reformasi, tuntutan tata pemerintahan
yang baik mengharuskan akuntansi
5
pemerintahan memenuhi tiga kegunaan
yaitu – to safeguard the public treasury by
preventing and detecting corruption and
graft, intermediate purpose – to facilate
financial management, dan advanced
purpose – to help government discharge its
public accountability. Mardiasmo (2002,
p.68) menegaskan bahwa akuntansi
pemerintahan berfungsi untuk
mengelaborasi good governance ke
tataran yang lebih nyata. Wujud
elaborasi ini dilakukan melalui
akuntansi manajemen, akuntansi
keuangan dan pemeriksaan. Di
Indonesia, akuntansi pemerintahan
telah mengalami kemajuan dengan
ditetapkannya Standar Akuntansi
Pemerintahan – SAP (PP 24/2004).
Implementasi SAP dan akuntansi
pemerintahan di lingkungan pemerin-
tah daerah dinilai telah mengalami
beberapa kemajuan. Kemajuan terutama
dialami oleh pemerintah daerah yang
memiliki kualitas SDM yang memadai,
dan didukung oleh perguruan tinggi
yang memperhatikan isu dan masalah
akuntansi dan pengelolaan keuangan.
Namun, keadaan sebaliknya terjadi di
banyak pemerintah daerah dengan
kualitas SDM yang sangat minim. Di
daerah seperti ini, pemerintah daerah
akan mendapat banyak hambatan
untuk menerapkan akuntansi keuangan
berbasis akrual penuh (PP71 tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerinta-
han yang menggantikan PP24 tahun
2005). Di daerah-daerah seperti ini,
berlaku pernyataan McLeod & Harun
(2009, h.6) bahwa,
‚Mewajibkan seluruh lembaga
pemerintahan secara mendadak
untuk mulai membuat laporan
keuangan berdasarkan pada
akuntansi akrual penuh ibaratnya
mengharapkan seorang bayi
tampil layaknya seorang penari
balet, padahal berjalan pun belum
bisa.‛
Dari sisi akuntabilitas publik,
kemajuan yang dicapai akuntansi
pemerintah Indonesia digambarkan
McLeod & Harun (2009) melalui
pernyataan bahwa :
‚Sangat sedikit warga akan
membaca laporan keuangan
pemerintah mereka. Sebagian
besar masyarakat tidak memiliki
kemampuan untuk memehami
laporan-laporan semacam itu ...
Sebagian besar warga negara
justru akan menilai kinerja
pemerintahnya berdasarkan kua-
litas pelayanan yang diberikan ...
Jika mereka peduli dengan
korupsi, mereka cenderung
mengandalkan media massa
seperti surat kabar, TV dan radio.
... Sistem akuntansi terkini pada
sektor publik ... (bernilai) sebagai
salah satu alat pendorong dalam
upaya pemberantasan korupsi.‛
(h.3)
Hasil survai Association of
Government Accountants (AGA, 2008) di
Amerika juga menemukan hal yang
sama bahwa publik tidak menggunakan
laporan keuangan dan laporan
pemeriksaan karena informasi yang
diekspektasikan publik berbeda dari
yang diterima. Dijelaskan bahwa
‚Governments are failing to meet the
expectations of its citizens, resulting in an
‘expectations gap’ between the kind of
government financial reporting that citizens
expect and what they get.‛ (p.1)
3. Metode Penelitian
6
Studi ini menggunakan disain studi
kasus. Literatur menjelaskan ada dua
bentuk kasus yaitu, kasus tunggal dan
kasus jamak (Eisenhardt, 1989). Studi ini
menggunakan kasus jamak (tiga kasus)
akuntabilitas keuangan Otsus, yaitu
kasus akuntabilitas dana Otsus yang
dikelola Provinsi Papua, kasus
akuntabilitas dana yang dikelola
kabupaten dan kota, dan kasus
akuntabilitas dana Otsus yang
dialokasikan untuk pemberdayaan
masyarakat dalam bentuk Program
Rencana Stratejik Pembangunan
Kampung (RESPEK).
Studi ini mengumpulkan data
melalui wawancara mendalam (indepth
interview), observasi, studi dokumen
dan peraturan, serta web searching.
Wawancara mendalam deilakukan dari
sejumlah 24 informan yang terdiri dari
pejabat Pemerintah Provinsi Papua,
Kabupaten dan Kota, anggota DPRP,
anggota MRP, pengamat (pakar) Otsus
Papua. Selain itu dari Pemerintah
Provinsi Papua diperoleh data lain
dalam bentuk peraturan, dalam bentuk
Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur,
serta peraturan lainnya. Peraturan lain
yang sifantnya nasional dihimpun dari
alamat resmi web milik Pemerintah. Dari
BPK didapatkan data dalam bentuk
Laporan Hasil Pemeriksaan Dana Otsus
2007 dan 2008, dan laporan lain yang
memuat hasil tindak lanjut
pemeriksaan. Sumber data penting
lainnya adalah halaman web media cetak
lokal Papua dan media nasional, alamat
web pemerintah, dan beberapa alamat
web milik LSM dan perguruan tinggi.
Prosedur pengumpulan data
dilakukan sesuai sifat dari sumber data.
Data peraturan dan perundangan
dikumpulkan dengan tahapan: (1)
pemilihan regulasi yang rilevan, (2)
mengundu regulasi dari halaman resmi,
dan (3) melakukan qualitative content
analysis. Untuk peraturan tingkat lokal
(Pemda Provinsi) masih harus
dikumpulkan langsung dari staf atau
pejabat daerah. Data pendapat publik
dikumpulkan dari media web, dengan
tahapan: (1) pemilihan search engines
(mesin pencari) yang akan digunakan,
(2) menyeleksi halaman yang dapat
dipercaya, dan (3) menyeleksi artikel
yang dapat dipercaya dan rilevan
dengan studi. Data indepth interview
dihimpun melalui wawancara dengan
menggunakan panduan wawancara
yang bersifat terbuka. Data pengamatan
dihimpun dari beberapa kesempatan
khusus, seperti pelaksanaan Musren-
bang Provinsi Papua dan pelaksanaan
sidang oleh legislatif.
Analisis kasus dalam studi ini
mengikuti saran Eisenhardt (1989) yang
mengenalkan dua tahap analisis, yaitu
analisis kasus terpisah (within-case
analysis) dan analisis antar kasus (cross-
case analysis). Analisis kasus ini
menghasilkan sejumlah fenomena yang
dituangkan dalam bentuk tabel matriks
untuk menghasilkan kategori (konsep)
yang kemudian dirangkai sehingga
membentuk concept mapping masing-
masing kasus.
4. Hasil dan Pembahasan
Sejak tahun 2002, Pemerintah telah
menyalurkan dana Otsus Papua lebih
dari Rp.21 trilyun rupiah. Dana yang
diterima Pemerintah Provinsi Papua ini
dialokasikan (dibagikan) untuk Provinsi
7
Papua, kabupaten dan kota serta
pemberdayaan masyarakat (RESPEK).
Perkembangan Penerimaan dan
Pembagian Dana Otsus Papua
Periode 2002 – 2010 (dalam rupiah)
Dana Otsus telah membiayai
banyak program dan kegiatan di
Provinsi Papua. Dalam bidang
pendidikan program bantuan
pendidikan bagi penduduk asli Papua
dianggarkan untuk program bebas
pendidikan sekolah dasar, pemberian
beasiswa bagi siswa dan mahasiswa asli
Papua. Pemda Papua membiayai
pendidikan 1.000 doktor. Mahasiswa
asli Papua banyak yang dikirim
mengikuti pendidikan di dalam dan
luar negeri dengan sumber pembiayaan
Otsus. Banyak asrama dibangun Pemda
di Kota Jayapura, Kota Manokawari,
dan sejumlah kota di luar Papua. Semua
itu untuk penduduk asli Papua. Guru
honor dikontrak untuk membiayai
kekurangan guru di banyak sekolah.
Dalam bidang kesehatan,
Pemerintah Daerah menyediakan
menata dan memperbaiki Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD), dan Puskesmas
serta Pustu. Pemerintah Provinsi Papua
telah mengambil kebijakan untuk
membebaskan penduduk asli Papua
dari semua biaya di RSUD, yaitu biaya
inap, dokter, dan obat. Bantuan obat
terus disalurkan pemerintah ke
puskesmas di seluruh Papua. Pemerin-
tah mendukung biaya operasional dan
beasiswa bagi penyelenggaraan
pendidikan dokter dan tenaga
kesehatan, seperti perawat dan bidan.
Untuk perekonomian rakyat,
pemerintah terus mengembangkan
pertanian rakyat, perkebunan, perika-
nan, dan peternakan. Banyak bibit dan
fasilitas pertanian diberikan kepada
penduduk asli Papua. Kerajinan rumah
tangga dan industri rakyat yang
dikelola penduduk asli Papua dibina
dan dibantu permodalannya. Pasar
rakyat yang ada di distrik-distrik
dibangun pemerintah berdasarkan
usulan dari kampung dan distrik.
Banyak pemerintah daerah (kabupaten
dan kota) menyediakan dana untuk
kredit murah bagi usaha kecil dan
koperasi milik penduduk asli Papua.
Infrastruktur jalan, jembatan,
pelabuhan, dermaga, dan lapangan
terbang sebagian besar dibiayai dari
dana infrastruktur Otsus. Sejumlah ruas
jalan yang menghubungkan kabupaten
dibangun dengan menggunakan Dana
Otsus. Pemerintah daerah memberi
bantuan truk, bus, dan kapal
penyeberangan bagi masyarakat.
Beberapa kapal perintis dibeli
Pemerintah Provinsi untuk menghu-
bungkan daerah pesisir pantai di
sekeliling Papua. Semua hal tersebut
merupakan fakta yang menjelaskan
bahwa Pemerintah Provinsi Papua dan
Pemerintah Daerah/Kota telah bekerja
keras untuk membangun dan melayani
rakyat Papua, khususnya penduduk asli
Papua.
Namun, selain kinerja dan hasil
yang telah dicapai di atas, akuntabilitas
dana Otsus telah menjadi masalah
karena diabaikan dan kurang mendapat
perhatian pemerintah daerah. Studi ini
menemukan masalah akuntabilitas
Tahun Dana Otsus Per
Tahun Anggaran Kabupaten/Kota Provinsi Papua
Pemberdayaan -
RESPEK Lainnya
2002 1.382.300.000.000 200.000.000.000 1.179.206.166.000 - 3.093.834.000
2003 1.539.560.000.000 280.000.000.000 1.259.560.000.000 - -
2004 1.642.617.943.000 985.200.000.000 657.417.943.000 - -
2005 1.775.312.000.000 885.000.000.000 890.312.000.000 - -
2006 2.913.218.000.000 1.648.930.800.000 1.264.287.200.000 - -
2007 3.295.748.000.000 1.730.608.800.000 1.153.739.200.000 411.400.000.000 -
2008 3.590.100.000.000 1.899.000.000.000 1.266.000.000.000 425.100.000.000 -
2009 2.609.796.098.000 1.265.877.659.000 843.918.439.000 320.000.000.000 180.000.000.000
2010 2.694.864.788.000 1.316.918.872.800 877.945.915.200 320.000.000.000 180.000.000.000
Dana Otsus sd 2010 21.443.516.829.000 10.211.536.131.800 9.392.386.863.200 1.476.500.000.000 363.093.834.000
Sumber : Keputusan Gubernur tentang pembagian dana Otsus - ditetapkan setiap tahun anggaran
Catatan : Dana Pemberdayaan diluar yang dialokasikan Kabupaten dan Kota sekitar Rp.50 sd Rp 300 juta per kampung
Dana lain-lain tahun 2009 dan 2010 diperuntukkan untuk pembebasan biaya pendidikan SD sembilan tahun dan
pembebasan biaya kesehatan bagi orang asli Papua di semua RSUD di Papua
8
keuangan Otsus yang ditandai dengan
beberapa fenomena utama: (a)
fenomena regulasi-regulasi yang
seharusnya ada belum ditetapkan,
regulasi tidak diterapkan, (b) fenomena
partisipasi - partisipasi publik relatif
belum tersentuh, (c) fenomena
transparansi - anggaran (APBD) belum
menjadi dokumen publik, peruntukan
dan alokasi Dana Otsus tidak diketahui
dewan, tidak ada sosialisasi RAPBD
kepada publik (d) fenomena sangsi–
sangsi yang tidak efektif, (e) fenomena
pengawasan– pengawasan atasan
langsung masih lemah dan tidak
berjalan, pengawasan legislatif minim,
pengawasan pemerintah tidak dapat
dibaca (diketahui) masyarakat sehingga
dinilai sebagai pembiaran.
Temuan studi ini juga melihat ada
fenomena politik dan keamanan yang
turut menambah kompleksitas
permasalahan akuntabilitas keuangan
Otsus. Dana Otsus antara lain telah
dimaknai sebagai ‘gula-gula politik’,
‘uang darah’, dan ‘uang tutup mulut’.
Ada yang menilai dana digunakan
untuk separatis OPM. Uang Otsus
memperluas area konflik politik
antardaerah, antarsuku, dan antar- elit
Papua.
Dalam kasus akuntabilitas Dana
Otsus Provinsi, studi ini menemukan
beberapa fenomena akuntabilitas yang
banyak bermasalah.
(1) Fenomena anggaran: kurang
partisipatif, tidak transparan, dupli-
kasi anggaran, pemahalan harga,
kegiatan tidak efektif, tidak patuh
aturan, salah peruntukan, kurang
pengawasan (dewan)
(2) Fenomena pelaksanaan: penerimaan
Dana Otsus terlambat, belanja
diluar ketentuan, tidak sesuai
kontrak.
(3) Fenomena akuntansi: bukti transak-
si tidak sah, bukti tidak lengkap,
pertanggungjawaban terlambat,
kurang pengawasan dan kurang
pembinaan atasan, kapasitas SDM
yang terbatas, opini BPK lebih baik
(disclaimer menjadi WDP).
(4) Fenomena akuntabilitas publik: hak
publik memperoleh informasi
anggaran diabaikan.
(5) Fenomena pengawasan: kurangnya
kompetensi SDM inspektorat,
bantuan tenaga eksternal (BPKP),
pengawasan atasan langsung
kurang efektif, pengawasan
legislatif kurang efektif,
pengawasan pemerintah kurang
efektif, dan pengawasan masyarakat
tidak efektif (diabaikan).
Untuk kasus akuntabilitas Dana
Otsus kabupaten dan kota, studi ini
berhasil merumuskan sejumlah
fenomena akuntabilitas.
(1) Fenomena Regulasi: pembagian
dana belum ditandatangani,
penetapan alokasi ke daerah
terlambat, plafon terealisasi penuh,
rencana penggunaaan dana yang
disepakati Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang dinyatakan
Rencana Definitif sering diabaikan
kabupaten dan kota, urusan
prioritas Otsus belum diperhatikan
beberapa daerah, pelaporan
terlambat.
(2) Fenomena sangsi: sangsi sudah
diatur dalam peraturan namun
tidak diimplementasikan.
(3) Fenomena rasa keadilan: Provinsi
Papua tidak perlu mengelola Dana
Otsus yang besar, persentase
pembagian provinsi-kabupaten/kota
tidak adil, kurang perhatian untuk
daerah terpencil dan pegunungan.
(4) Fenomena pemaknaan: negatif–
gula2 politik, uang darah, hanya
9
dinikmati elite, rakyat tidak
merasakan, dikorupsi, disalahguna-
kan, urusan prioritas tidak
diperhatikan, regulasi tidak ada,
pembiaran pemerintah pusat,
penegakan hukum tidak berjalan.
Dalam kasus akuntabilitas Dana
Otsus yang dikucurkan untuk
pemberdayaan masyarakat (dana
RESPEK), ditemukan fenomena
akuntabilitas keuangan.
(1) Fenomena regulasi: regulasi sudah
ditetapkan, regulasi sudah disosiali-
sasikan (melalui media, pertemuan
formal dari provinsi sampai
kampung-kampung).
(2) Fenomena pemaknaan: pemaknaan
negatif-program Bas Suebu,
program Provinsi, kabupaten punya
program yang sama dan lebih dulu
diterapkan (Kabupaten Jayapura),
program politik Suebu, provinsi
tidak seharusnya mengatur sampai
kampung, korupsi dipindahkan ke
kampung.
(3) Kampung Penerima: tidak semua
kampung yang secara fisik ada,
mendapat alokasi dana RESPEK.
Hanya kampung yang terdaftar
dalam keputusan Gubernur yang
berhak mendapat dana.
(4) Fenomena pelaksanaan: institusi
belum dibentuk di tingkat distrik,
institusi tidak berfungsi, keterba-
tasan pelayanan bank, uang tunai
beresiko hilang dalam perjalanan ke
distrik dan kampung, aparat dan
atau warga menghalangi proses.
(5) Fenomena pelaporan: kapasitas
SDM, dan laporan terlambat,
(6) Fenomena koordinasi RESPEK:
pemaknaan berbeda antaraparat
birokrasi pemda dan elite Papua;
koordinasi provinsi–kabupaten/kota
masih sebatas wacana.
Hasil analisis tiga kasus di atas
menunjukkan beberapa kesamaan
fenomena akuntabilitas berikut.
(1) ‚Asismetri informasi‛ teridentifi-
kasi dalam tiga kasus penelitian.
Dalam Kasus Pertama, masalah ini
terjadi di Provinsi Papua dalam
bentuk penguasaan informasi
pengalokasian dan peruntukan
Dana Otsus yang menurut anggota
DPRP tidak dapat diakses. Kasus
Kedua, masalah asimetri informasi
terjadi antara Pemda Papua dengan
Kabupaten dan Kota. Pemda
Kabupaten dan Kota tidak
mengetahui indikator, bobot
indikator, dan data yang
digunakan dalam pembagian Dana
Otsus Papua. Data ini hanya
diketahui secara terbatas oleh
beberapa pejabat, khususnya di
unit kerja BPKAD Provinsi Papua.
(2) ‚Kepatuhan‛ regulasi sebagai
norma yang digunakan untuk
menilai sesuatu yang dilakukan
atau tidak dilakukan oleh aktor
(agen), menjadi masalah di Provinsi
Papua, karena keharusan menyu-
sun Perdasus untuk pembagian
Dana Otsus, tidak dikerjakan
(Kasus Pertama). Dalam Kasus
Kedua, beberapa Pemerin-tah
Kabupaten dinilai belum patuh,
khususnya terhadap Rencana
Definitif (RD) yang mengatur
alokasi Dana Otsus untuk urusan
prioritas, seperti pendidikan 30%
dan kesehatan 15%. Kasus Ketiga
juga memperlihatkan masalah
kepatuhan terhadap Petunjuk
Teknis Operasional (PTO) RESPEK,
seperti membelanjakan dana tanpa
musyawarah kampung.
(3) ‚Pengungkapan‛ mengharuskan
agen (aktor) untuk mengungkap-
kan informasi yang dibutuhkan
10
prinsipal (forum). Kasus Pertama
mengindikasikan bahwa perminta-
an dewan untuk menyediakan
informasi alokasi Dana Otsus
dalam APBD tidak pernah
dipenuhi oleh eksekutif. Fenomena
ini merupakan bukti bahwa pihak
legislatif, paling kurang dalam
pandangan eksekutif, bukanlah
forum yang sebenarnya. Kasus
Kedua juga mengindikasikan hal
yang sama, tidak ada
pengungkapan sumber dana dalam
APBD.
(4) ‚Prioritas Otsus‛ yaitu pendidikan
dan kesehatan, belum mendapat
alokasi dana sebesar yang
ditetapkan peraturan yaitu, pendi-
dikan 30 persen dan kesehatan 15
persen. Fenomena ini ditemukan
dalam Kasus Pertama dan Kasus
Kedua. Dalam Kasus Ketiga,
peningkatan ekonomi rakyat selalu
mendapat sorotan. RESPEK dinilai
belum memperbaiki kondisi
perekonomian sebagian besar
penduduk asli di kampung-
kampung.
(5) ‚Pelaporan‛ sebagai bentuk formal
pertanggungjawaban diharuskan
dalam ketiga kasus penelitian.
Dalam ketiga kasus ditemukan
masalah laporan yang terlambat
disampaikan kepada forum. Kasus
Pertama dan Kedua menjelaskan,
Pemerintah Provinsi terlambat
menyampaikan laporan ke
Pemerintah, dan beberapa
Pemerintah Daerah terlambat
menyampaikan laporan ke Provinsi
Papua. Untuk Kasus Ketiga, Tim
Pelaksana Kegiatan Kampung
(TPKK) juga terlambat
menyampaikan laporan kepada
Tim Tiga Tungku (T3T) yang terdiri
dari unsur pemerintahan kampung
yang ditunjuk, tokoh adat, dan
tokoh agama. T3T inilah yang
berfungsi sebagai forum di tingkat
kampung.
(6) ‚Tertib administrasi keuangan‛
merupakan masalah krusial yang
teridentifikasi dalam ketiga kasus
penelitian. Masalah tertib adminis-
trasi ini terjadi terutama karena
rendahnya kapasitas sumber daya
manusia (SDM) yang menatausa-
hakan dana dan lemahnya unsur
pengawasan langsung. Untuk
Kasus Pertama dan Kedua,
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK
menjelaskan, masalah SDM dan
pengawasan langsung telah menye-
babkan banyak kerugian keuangan
daerah. Tertib administrasi dalam
Kasus Ketiga lebih disebabkan
rendahnya pendidikan pelaku
RESPEK di tingkat kampung dan
distrik, serta kurangnya tenaga
pendamping distrik.
(7) ‚Partisipasi‛ warga merupakan
fenomena yang ditampilkan semua
kasus. Kasus Pertama menjelaskan
masalah partisipasi stakeholders
dalam perencanaan daerah, yaitu
saat pelaksanaan Musrenbang. Hal
yang sama dipermasalahkan dalam
Kasus Kedua. Kabupaten dan Kota
dinilai kurang memperhatikan
masukan warga dalam pengang-
garan. Banyak kegiatan yang
diusulkan warga tidak dianggar-
kan. Kalau dalam Kasus Pertama
dan Kedua ketentuan partisipasi
warga belum mendapat perhatian
yang memadai, maka dalam Kasus
Ketiga justru partisipasi warga
sangat dituntut. Program dan
kegiatan harus dirumuskan melalui
Perencanaan Bersama Masyarakat
(PBM) di kampung. PBM dilakukan
dalam delapan tapahan: (1)
11
Penyempur-naan Data Awal, (2)
Penyempur-naan Peta Sosial
Kampung, (3) Penggalian Gagasan,
(4) Penulisan Usulan, (5) Verifikasi
Usulan, (6) Kompetisi Usulan
(Perangkingan Usulan), (7)
Pembuatan Desain dan RAB, dan
(8) Muskam Penetapan Usulan
(8) ‚Pengawasan internal‛ merupakan
pengawasan langsung pengelolaan
Dana Otsus oleh manajemen
(pemerintah daerah). Dalam Kasus
Pertama dan Kedua, pengawasan
internal ini dilakukan oleh lembaga
Inspektorat dan kepala satuan kerja
(unit kerja). Rendahnya kapasitas
SDM Inspektorat merupakan
kendala utama pelaksanaan fungsi
dan tugas lembaga ini; sedangkan
pada tingkat satuan kerja, masalah
pengawasan internal, lebih
dikarenakan motivasi dan
kepentingan pribadi pengguna dan
pelaksana anggaran. Pengawasan
internal untuk dana RESPEK
(Kasus Ketiga) dilakukan Tim
Koordinasi PNPM Mandiri
RESPEK Provinsi, melalui Sekreta-
riat PNPM Mandiri RESPEK, dan
tenaga profesional yang berhimpun
dalam Koordinator Manajemen
Provinsi (KM-Provinsi).
(9) ‚Pengawasan legislatif‛
merupakan salah satu unsur
pengawasan anggaran yang
dilaksanakan dalam rangka fungsi
pengawasan dewan. Pengawasan
legislatif dilakukan untuk menilai
program dan kegiatan yang
dibelanjai APBD. Pengawasan ini
dilakukan secara spesifik terhadap
Dana Otsus oleh DPRP (Kasus
Pertama), sedangkan dalam Kasus
Kedua pengawasan dilakukan
secara umum terhadap semua
sumber pendapatan (tidak spesifik
terhadap Dana Otsus). DPRD
menilai bahwa pengawasan Dana
Otsus tidak mereka lakukan karena
tidak memperoleh Dana Otsus
untuk kegiatan pengawasan
mereka. Pengawasan DPRP
terhadap dana RESPEK dilakukan
sebatas pada laporan
(10) ‚Pengawasan masyarakat‛ dalam
Kasus Pertama dilakukan dengan
menyampaikan masalah penyalah-
gunaan dana secara terbuka di
media. Masyarakat sudah
berulangkali mengajukan masalah
penyalahgunaan dana untuk
ditindaklanjuti penegak hukum.
Tidak jarang, kelompok masyara-
kat seperti Papua Corruption Watch
(PCW) dan LSM melaporkan
kerugian daerah akibat perilaku
korupsi pejabat daerah kepada
Polda Papua, Kejaksaan, dan KPK.
Pengawasan yang sama dilakukan
masyarakat untuk dana APBD di
kabupaten dan kota (Kasus Kedua).
Pengawasan masyarakat untuk
Kasus Ketiga umumnya dilakukan
warga kampung. Warga kampung
secara aktif mengawasi dana
RESPEK untuk kampung masing-
masing, termasuk memberi sangsi
kepada siapapun yang
menyalahgunakan dana mereka.
(11) ‚Pemeriksaan eksternal‛ dilakukan
oleh BPK terhadap Dana Otsus
Provinsi (Kasus Pertama) dan Dana
Otsus Kabupaten dan Kota (Kasus
Kedua). BPK telah melaksanakan
pemeriksaan untuk tujuan tertentu
(PDTT) untuk Dana Otsus Provinsi
dan Kabupaten pada tahun 2009
dan 2010, dengan beberapa temuan
yang telah dibahas dalam studi ini.
Pemeriksaan BPK terhadap dana
RESPEK dilakukan sebagai bagian
pemeriksaan Dana Otsus Provinsi.
12
(12) ‚Efektifitas‛ program dan kegiatan
merupakan indikator penting lain
untuk menilai manfaat keluaran
terhadap pencapaian tujuan Otsus.
Efektifitas dalam semua kasus sulit
dinilai karena dua sebab. Pertama,
Dana Otsus dikelola bersama
sumber pendanaan lain, sehingga
kinerja program dan kegiatan yang
dibiayai Otsus tidak dapat terlihat.
Kedua, Papua belum memiliki
grand design Otsus; demikian juga
dengan ukuran keberhasilan yang
akan dicapai. Semua kasus
penelitian bermasalah dengan
efektifitas program.
(13) ‚Efisiensi‛ anggaran merupakan
prinsip yang diharuskan dalam
pengelolaan dana (semua kasus).
Walaupun prinsip efisiensi ini
secara tegas diatur dalam
peraturan yang menggunakan dana
publik, prinsip ini sering dilupakan
saat penyusunan dan pelaksanaan
anggaran (Kasus Pertama dan
Kasus Kedua). Temuan BPK
tentang pemahalan harga saat
penganggaran, dan pengeluaran
yang melebihi anggaran telah
menyebabkan pemborosan angga-
ran daerah. Dalam Kasus Ketiga,
transparansi keuangan memung-
kinkan pengawasan terhadap
setiap mata anggaran dan
pengeluaran diawasi banyak warga
kampung. Dengan demikian,
efisiensi penggunaan dana dinilai
lebih baik.
(14) ‚Sangsi‛ terhadap individu dan
kelompok yang dinilai bersalah
diatur dalam setiap regulasi
pengelolaan keuangan daerah.
Demikian juga dalam pengelolaan
Dana Otsus. Sangsi dapat
ditemukan sebagai bagian dalam
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK
untuk Dana Otsus Provinsi (Kasus
Pertama) dan untuk Dana Otsus
Kabupaten dan Kota (Kasus
Kedua). Dalam pemeriksaan Dana
Otsus Provinsi, LHP BPK 2009
merumuskan sangsi untuk masalah
dana RESPEK yang tidak
dimanfaatkan (belum disalurkan ke
kampung) (Kasus Ketiga).
(15) ‚Keberlanjutan program RESPEK‛
merupakan salah satu isu sentral
memberdayakan penduduk asli
Papua. Program ini telah diterima
secara baik oleh masyarakat
kampung, namun terancam akan
dihentikan, bila Barnabas Suebu
tidak lagi memimpin Papua.
Semangat keberpihakan kepada
penduduk asli Papua perlu
dilanjutkan. Dalam Kasus Pertama,
keberlanjutan RESPEK ini lebih
dilihat dari sisi regulasi. Sejumlah
pengamat menilai, perlu ada
Perdasus untuk mengatur program
pemberdayaan masyarakat di
kampung, agar Dana Otsus dapat
disalurkan kepada warga
kampung. Dalam Kasus Kedua,
keberlanjutan program pemberda-
yaan kampung itu dinilai sebagai
kewenangan kabupaten dan kota,
bukan kewenangan provinsi.
Untuk itu, sejumlah usulan muncul
untuk mengalihkan kewenangan
program pemberdayaan itu ke
kabupaten dan kota. Dalam Kasus
Ketiga, keberlanjutan program
pemberdayaan kampung sudah
lama dinantikan. Yang dibutuhkan
sekarang adalah perbaikan
mekanisme agar tujuan pemberda-
yaan lebih terarah, terukur, dapat
dicapai, dan dapat dilaksanakan
masyarakat kampung.
Berbagai masalah dalam pelaksanaan
akuntabilitas Dana Otsus Papua
13
seharusnya mendapat perhatian
Pemerintah, baik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Provinsi Papua,
maupun Pemerintah Kabupaten dan
Kota. Kata kunci untuk perbaikan itu
ialah ‚akuntabilitas keuangan yang
terukur, partisipatif dan transparan‛.
Akuntabilitas keuangan perlu
diperbaiki dengan bimbingan dan
pembinaan dari perguruan tinggi dan
BPKP, dengan pengutamaan pada
beberapa isu pokok seperti:
(1) penyusunan Grand Design Otsus
Papua harus disusun untuk
memberi arah yang lebih jelas dan
terukur tentang ‚Apa yang akan
dicapai dengan Otonomi Khusus
Papua?‛ Grand design ini dapat
dipertimbangkan sebagai dokumen
perencanaan terpisah atau bagian
dari RPJMD yang drafnya sedang
disusun Bappeda untuk periode
2011-2016. Design ini harus
merumuskan indikator-indikator
kunci untuk menilai kinerja Otsus
untuk bidang prioritas yaitu
pendidikan, kesehatan, perekono-
mian rakyat, dan infrastruktur;
(2) evaluasi untuk menilai kinerja harus
diperbaiki dengan mengutamakan
penilaian publik; sedang evaluasi
dari sisi pandang pemerintah
daerah harus dijadikan suplemen
atau pembanding. Hasil evaluasi
harus dapat dipublikasi,
diperdebatkan, dan dijadikan bahan
untuk perbaikan dalam penyusunan
program tahunan lebih lanjut;
(3) partisipasi publik dalam tahap
perencanaan harus mendapat
perhatian dan lebih diperbaiki.
Pemda Provinsi perlu menetapkan
mekanisme yang lebih efektif untuk
melibatkan masyarakat dalam tahap
perencanaan. Perlu diupayakan
agar proses Musrenbang menjadi
attractive dan diminati publik.
Pemda juga perlu menyusun sistem
dan alat untuk menilai keberhasilan
Musrenbang;
(4) transparansi anggaran harus
dimulai dari Pemda Provinsi Papua.
Ketentuan Permendagri 13/2006
yang mengatur sosialisasi RAPBD
sebelum diserahkan dan dibahas
DPRP harus dipatuhi dan
dilaksanakan eksekutif. Dalam
sosialisasi ini beberapa penjelasan
perlu diberikan, seperti: (a) alokasi
penggunaan Dana Otsus untuk
urusan prioritas, (b) program dan
kegiatan yang menggunakan Dana
Otsus untuk batas 500 juta rupiah ke
atas, termasuk dampak yang
diharapkan, (c) sebaran lokasi
program dan kegiatan kabupaten/
kota. Masukan masyarakat dari
sosialisasi ini hendaknya menjadi
pertimbangan DPRP dalam
memberi persetujuan APBD, dan
ditembuskan ke Kementerian
Dalam Negeri untuk digunakan
dalam mengevaluasi penggunaan
Dana Otsus Papua. Sosialisasi ini
dapat dimulai di kampus
Universitas Cenderawasih dengan
mengundang perwakilan Pemda,
dewan, tokoh masyarakat, pemuda
dan perempuan;
(5) tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK
dalam bentuk temuan dan
rekomendasi harus ditindaklanjuti
oleh Pemda dan penegak hukum.
Sangsi harus tegas diberikan kepada
mereka yang bersalah. Ini
merupakan tuntutan luas penduduk
asli Papua. Mereka menyebut
‚Papua menipu Papua‛. Kredibilitas
Pemerintah Indonesia di depan
mata publik Papua dan mata
internasional akan terganggu kalau
tetap membiarkan korupsi
14
menggeroti Dana Otsus Papua.
Hasil tindak lanjut harus dapat
diakses publik melalui halaman web
BPK;
(6) alokasi dan penggunaan Dana
Otsus harus berpihak pada
penduduk asli Papua yang sangat
lemah. Program pemberdayaan
seperti RESPEK harus dapat
dilanjutkan, dan mekanisme
pelaksanaan serta evaluasinya harus
terus diperbaiki. Banyak penduduk
asli Papua yang sangat jauh dari
jangkauan pelayanan dasar, dan
kelompok ini hanya dapat ditolong
melalui kebijakan yang memihak
pada mereka. Kelompok ini tidak
berdaya, apalagi mau bersaing
dengan kelompok masyarakat lain
di perkotaan.
5. Kesimpulan dan Saran
Tiga kesimpulan utama studi ini.
Pertama, dana Otsus merupakan
‚berkat‛ bagi Pemerintah Daerah dan
masyarakat di Provinsi Papua. Selain
menjadi ‚berkat‛ dan memberi manfaat
nyata bagi publik, terdapat sejumlah
masalah akuntabilitas keuangan yang
lalai dikerjakan Pemerintah Provinsi
Papua, seperti: asimetri informasi,
regulasi, partisipasi, transparansi
pengelolaan dana Otsus relatif
terbaikan. Kedua, kehadiran BPK
melaksanakan fungsi dan tugasnya
sebagai pemeriksa eksternal banyak
membantu perbaikan akuntabilitas
keuangan daerah di Provinsi Papua.
Strategi BPK untuk memotivasi setiap
daerah memperbaiki ‚opini‛ telah
mendapat perhatian dari sejumlah
daerah. Temuan hasil pemeriksaan BPK
untuk dana Otsus mengindikasikan
masih ada banyak masalah akuntabilitas
keuangan Otsus. Terdapat indikasi yang
kuat bahwa tindak lanjut hasil
pemeriksaan BPK masih sangat lemah.
Selain itu ditemukan fakta bahwa
lembaga BPK belum optimal
mengemban amanat undang-undang
untuk pemeriksaan keuangan publik.
Ketiga, sebagian besar penduduk
Papua, khususnya penduduk asli
Papua, sangat peka (sensitif) dengan
pengelolaan dana Otsus. Fenomena ini
juga ingin menjelaskan betapa tingginya
harapan penduduk asli terhadap
keberhasilan Otsus. Sebagian besar
masyarakat di Papua menghendaki agar
Pemerintah aktif mengambil peran
dalam meluruskan pengelolaan dana
Otonomi Khusus Papua.
Studi ini menyarankan kepada
Pemerintah Republik Indonesia agar
‚tak perlu enggan‛ untuk campur
tangan menata akuntabilitas keuangan
Otsus Papua, kepada BPK untuk
melakukan audit kinerja dan audit
anggaran dana Otsus, dan kepada
publik Papua untuk terus mengawal
dan mendesak penuntasan regulasi dan
penegakan transparansi, partisipasi dan
sangsi bagi penyalahgunaan dana
Otsus.
Studi ini juga merumuskan tiga
proposisi utama, yang bila diuji secara
empiris dapat membuktikan hubungan
akuntabilitas yang terdapat di
pemerintahan lokal (daerah), hubungan
pengawasan dan sanksi, dan peran
desakan publik dalam peningkatan
akuntabilitas keuangan pemerintah
lokal.
Daftar Pustaka
AGA (Association of Government
Accountants). 2008. Public Attitudes
Toward Government Accountability and
15
Transparency. A Survey. February
2008
Bovens, M. 2007. Analysing and
Assessing Public Accountability. A
Conceptual Framework. European
Law Journal, Vol. 13, No. 4, July 2007,
pp. 447–468.
BPK. 2009. Laporan Hasil Pemeriksaan
terhadap Dana Otonomi Khusus Papua.
Badan Pemeriksa Keuangan.
Perwakilan Papua.
Brinkerhoff, D.W. 2001. Taking Account
of Accountability: A Conceptual
Overview and Strategic Options. U.S.
Agency for International
Development Center for Democracy
and Governance Implementing
Policy Change Project, Phase 2.
Washington, DC. March 2001.
Eisenhardt, K. 1989. Agency theory: An
assessment and review, Academy of
Management Review, 14 (1): 57-74.
Chan, J.L., 2003. Government
Accounting: An Assessment of
Theory, Purposes and Standards.
Public Money & Management.
January. pp.13-21
Departemen Dalam Negeri Republik
Indonesia. 2006. Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Departemen Dalam Negeri Republik
Indonesia. 2007. Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Halim, A. dan Abdullah, S. 2006.
Hubungan dan Masalah Keagenan di
Pemerinta-han Daerah: Sebuah
Peluang Penelitian Anggaran dan
Akuntansi. Jurnal Akuntansi
Pemerintah.
<http://www.bppk.depkeu.go.id>
Unduh 3 April 2009.
Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah
Sebagai Upaya Memperkokoh Basis
Perekonomian Daerah, Ekonomi
Rakyat, Nomor 4. http://www.
ekonomirakyat. org. 2 Agustus 2010.
Mardiasmo. 2006. Pewujudan
Transparansi dan Akuntabilitas
Publik Melalui Akuntansi Sektor
Publik: Suatu Sarana Good
Governance. Jurnal Akuntansi
Pemerintah. Vol. 2, No. 1, Mei. hal 1 –
17.
McLeod, R.H. dan Harun. 2009.
Memperbaiki Tata Kelola
Pemerintahan Kabupaten dan Kota
di Indonesia: Peran Reformasi
Akuntansi Sektor Publik. Policy Brief
3. Australia Indonesia Governance
Research Partnership, The Australian
National University
<http://www.aigrp.anu.edu.au/>
unduh 28 Agustus 2010.
Messner, M. 2009. The Limits of
Accountability. Accounting,
Organizations and Society (34), pp.918–
938.
Pemerintah Republik Indonesia,
Undang-Undang 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Pemerintah Republik Indonesia. 2004.
Peraturan Pemerintah Nomor 24
tahun 2004 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan.
Pemerintah Republik Indonesia. 2004.
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004
tentang Pengelolaan Dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 2005.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun
2005 tentang Keuangan Daerah
Pemerintah Republik Indonesia. 2010.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun
2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
16
Pemerintah Provinsi Papua. 2009.
Evaluasi Pelaksanaan Lima Tahun
Otonomi Khusus Papua. Salle, Giay
dan Fatem (editor). Manuskrip.
Premchand, A. 1999. Public Financial
Accountability. Governance,
Corrupption and Public Financial
Management. Salvatore Schiavo-
Campo (eds.). Manila, Philippines :
Asian Development Bank. pp. 145-
192.
Premchand, A. 1999. Fiscal Transparency
and Accountability: Idea and Reality.
Paper prepared for the workshop on
Financial Management and
Accountability, Rome, Nov 28-30,
2001.
Schiavo-Campo, S., 2007. The Budget
and Its Coverage. Budgeting and
Budgetary Institutions - Public Sector
Governance And Accountability Series.
Anwar Shah (ed.). The World Bank.
pp.53-87.