RINGKASAN DISERTASI ASALLE

16
1 AKUNTABILITAS KEUANGAN (STUDI PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA) Agustinus Salle Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih M.S. Idrus Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Ubud Salim Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Djumahir Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Abstract This research revealed the phenomena and problems of financial accountability of the local government in the context of the Special Autonomy (Otsus) for Papua Province. Three dimensions were applied to explain these phenomena: the dimensions from the local government, the views from the public (society), and the views from the Supreme Audit Agency (BPK). By applying qualitative research design, this study collected the data through an in-depth interview with key informants and analyses of the governmental document, news, and the BPK audit reports. The main result of this research was that many problems of the special autonomy funds still existed. Even though the Papua Provincial Government always stated that they always followed the regulations in managing Otsus funds; this research found that, in reality, a lot of practices still did not comply with the rules and laws. The report of BPK audit on the Otsus funds in 2009 indicates a number of violations to the regulations in the Otsus funds management. The Papuans, that had demanded for transparent and accountable financial management, had not yet succeeded pushing the Government in all levels for improving the Otsus’ funds management. This research also formulated some prepositions for further studies. Clean and consistent implementation of Special Autonomy in Papua was found to be the only way to solve conflicts In Papua. Keywords: financial accountability, special autonomy funds, local government financial management, public monitoring, external audit. Abstrak Studi ini mengungkapkan fenomena dan masalah akuntabilitas keuangan pemerintah lokal (daerah) dalam konteks Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tiga sisi pandang (dimensi) yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu dari sisi pemerintah lokal, dari sisi publik (masyarakat), dan dari sisi Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan

description

RINGKASAN DISERTASI A. SALLE

Transcript of RINGKASAN DISERTASI ASALLE

Page 1: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

1

AKUNTABILITAS KEUANGAN (STUDI PENGELOLAAN DANA OTONOMI

KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001

TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA)

Agustinus Salle

Fakultas Ekonomi Universitas Cenderawasih

M.S. Idrus

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Ubud Salim

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Djumahir

Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Abstract

This research revealed the phenomena and problems of financial accountability of the

local government in the context of the Special Autonomy (Otsus) for Papua Province.

Three dimensions were applied to explain these phenomena: the dimensions from the

local government, the views from the public (society), and the views from the Supreme

Audit Agency (BPK). By applying qualitative research design, this study collected the

data through an in-depth interview with key informants and analyses of the

governmental document, news, and the BPK audit reports. The main result of this

research was that many problems of the special autonomy funds still existed. Even

though the Papua Provincial Government always stated that they always followed the

regulations in managing Otsus funds; this research found that, in reality, a lot of practices

still did not comply with the rules and laws. The report of BPK audit on the Otsus funds

in 2009 indicates a number of violations to the regulations in the Otsus funds

management. The Papuans, that had demanded for transparent and accountable financial

management, had not yet succeeded pushing the Government in all levels for improving

the Otsus’ funds management. This research also formulated some prepositions for

further studies. Clean and consistent implementation of Special Autonomy in Papua was

found to be the only way to solve conflicts In Papua.

Keywords: financial accountability, special autonomy funds, local government financial

management, public monitoring, external audit.

Abstrak

Studi ini mengungkapkan fenomena dan masalah akuntabilitas keuangan pemerintah

lokal (daerah) dalam konteks Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tiga sisi pandang

(dimensi) yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu dari sisi pemerintah

lokal, dari sisi publik (masyarakat), dan dari sisi Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan

Page 2: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

2

menggunakan disain penelitian kualitatif, studi ini mengumpulkan data melalui

wawacara mendalam dengan informan, menganalisis dokumen resmi pemerintah, teks

media dan hasil pemeriksaan eksternal BPK. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa

masih banyak masalah dalam pengelolaan keuangan dana Otonomi Khusus Papua.

Walaupun Pemerintah Provinsi Papua seringkali menyatakan bahwa mereka

mempedomani perundangan keuangan negara/daerah dalam pengelolaan dana Otsus,

studi ini menemukan banyak masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan. Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memeriksa dana Otsus tahun 2009 menemukan

sejumlah pelanggaran terhadap peraturan. Publik Papua yang terus menuntut agar

pengelolaan keuangan transparan dan akuntabel belum berhasil mendesak pemerintah

untuk memperbaiki akuntabilitas dana Otsus. Studi ini merumuskan beberapa proposisi

yang dapat digunakan oleh peneliti lebih lanjut. Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua

secara murni dan konsekwen merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan berbagai

konflik Papua.

Kata Kunci: akuntabilitas keuangan, dana Otonomi Khusus, pengelolaan

keuangan daerah, pengawasan masyarakat, pemeriksaan ekternal.

1. Latar Belakang

Sejak berlakunya Undang-Undang

21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua (UU21/2001),

Pemerintah Daerah Provinsi Papua

(Pemda Provinsi) telah menerima aliran

dana dalam jumlah yang sangat besar.

Terhitung mulai dari tahun 2002 – 2010,

dana Otsus yang dikucurkan telah

mencapai lebih dari Rp. 21,4 trilyun.

Dana ini setiap tahun diterima Pemda

Papua.

Dana Otsus sejatinya dana itu

digunakan untuk mengejar berbagai

ketertinggalan yang masih sangat

dirasakan masyarakat, terutama

pelayanan dalam pendidikan dan

kesehatan serta gizi. Selain itu, dana

otsus juga harus dialokasikan untuk

memperbaiki kondisi ekonomi

penduduk asli Papua, dan peningkatan

prasarana dasar seperti perumahan, air

minum, dan listrik pedesaan.

Namun searah dengan perjalanan

Otsus, yang sudah mencapai usia 9

tahun, sorotan publik terus mengalir

dan meminta perhatian Pemerintah.

Sorotan antara lain menyebut bahwa:

dana Otsus belum dirasakan warga

kampung, dana Otsus hanya janji

kosong, dana Otsus salah sasaran, dana

yang salah sasaran menimbulkan

penolakan Otsus, dana otsus tidak

disertai sistem dan persiapan yang baik.

Sorotan di atas ingin menjelaskan

bahwa ada sesuatu yang salah dengan

pemberian dana Otsus ke Provinsi

Papua. Dana yang dahulunya banyak

diharap untuk meningkatkan

kesejahteraan penduduk Papua,

sekarang justru sebaliknya, membawa

masalah dan konflik baru. Artikel ini

ingin menjelaskan beberapa masalah

dan fenomena akuntabilitas dana Otsus

yang ditransfer ke Papua. Untuk itu,

tulisan ini melihat fenomena dalam tiga

sudut pandang (tiga dimensi), yaitu dari

sudut pandang Pemda Provinsi, BPK,

dan publik Papua. Untuk sudut

pandang Pemda Papua ingin dilihat

bagaimana Pemda mengelola dana

Otsus, dari sudut pandang BPK ingin

dijelaskan temuan hasil pemeriksaan

Page 3: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

3

dana Otsus, dan sisi pandang publik

akan mengungkapkan berbagai isu,

masalah dan harapan terhadap

pengelolaan dana yang banyak menjadi

perhatian masyarakat.

2. Tinjauan Pustaka

Messner (2009) menjelaskan bahwa

konsep akuntabilitas pertama diperke-

nalkan oleh disiplin akuntansi.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh

Bovens (2007) bahwa ‚Historically and

simantically, it is closely related to

accounting, in its literal sense of

bookkeeping‛. Literatur lain oleh Schiavo-

Campo (2007) menjelaskan akuntabilitas

sebagai salah satu dari empat pilar good

governance, yaitu ‚accountability,

transparency, predictability, and

participation‛. Akuntabilitas dalam

konteks ini diartikan sebagai ‚capacity to

call public officials to ask for their actions‛,

yang dioperasionalkan dengan

‚accountability of whom, for what and for

whom‛.

Bovens (2007) mengklasifikasikan

akuntabilitas dalam empat tipologi,

yaitu siapa forum (prinsipal), siapa

aktor (agen), aspek yang

dipertanggungjawabkan, dan sifat

pertanggungjawaban. Dalam konteks

pemerintah daerah, keempat tipologi ini

eksplisit ditetapkan melalui peraturan.

Sebagai misal, dalam Peraturan

pemerintah Nomor 58 taun 2005 tentang

Keuangan Daerah dijelaskan Gubernur

atau Bupati ditetapkan sebagai

‚pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan daerah‛ (Pasal 5). Sebagai

‚penguasa‛, kepala daerah bertindak

sebagai agen yang harus mempertang-

gungjawabkan keuangan daerah kepada

legislatif (sebagai prinsipal) melalui

Laporan Keterangan Pertanggung-

jawaban (LKPJ) pada akhir tahun

anggaran. Selain pertanggungjawaban

kepada legilatif, perundangan juga

menyebut bahwa masyarakat merupa-

kan prinsipal yang harus menerima

pertanggungjawaban dari pemerintah

daerah. Mengenai apa yang harus

dipertanggungjawabkan, literatur akun-

tabilitas menyebut, antara lain,

pemerintah harus akuntabel untuk

keuangan (baca: APBD) dan kinerja

(baca: program dan kegiatan).

Akuntabilitas keuangan publik

berkembang dalam enam tahapan

(Premchand, 1999). Tahap pertama,

akuntabilitas keuangan menekankan

pada aspek perbendaharaan. Ini diawali

pada dua milenium tahun lalu, melalui

karya Kautilya. Dalam masa itu semua

penerimaan dan pengeluaran pemerin-

tah dan kerajaan harus dicatat dengan

format yang telah ditetapkan. Pegawai

yang mengelola keuangan harus siap

diperiksa sesuai jadwal yang sudah

ditetapkan. Dalam waktu yang sama

juga dilaporkan praktek untuk

mengamankan harta milik pemerintah

di dalam pemerintahan di Cina dan

Yunani. Perkembangan ini terus

membawa perubahan sampai lahirnya

the principles of accounting yang

digunakan oleh Kerajaan Inggris, yang

kemudian disusul dengan pembukuan

kameral di Eropa.

Tahap kedua, akuntabilitas

keuangan berkembang karena tuntutan

parlemen terhadap pemerintah. Parle-

men mendesak pemerintah untuk

mempertanggungjawabkan keuangan

yang dikelolahnya. Perkembangan

dimulai di Inggris, di abad ketujuhbelas,

dimana parlemen dan komisinya

menghendaki riviu terhadap ‚wisdom,

faithfullness, and economy‛ yang diper-

cayakan parlemen kepada pemerinta-

han. Tahapan ini menandai peranan dan

hak parlemen untuk mengawasi

Page 4: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

4

keuangan publik, termasuk menuntut

pelaksanaan akuntabilitas keuangan

pemerintahan.

Tahap ketiga, sebagai keberlanjutan

dari tahap kedua ialah ditetapkannya

legislative committees oleh parlemen

dengan tugas untuk meriviu kepatuhan

dan dampak belanja pemerintah.

Laporan tahunan pemerintah diperika

oleh komisi ini, dan mereka juga

mengesahkan transaksi yang ada dalam

laporan. Komisi ini disebut sebagai

institusi awal lahirnya pemeriksa

eksternal yang diparktekkan sekarang

ini.

Tahap keempat, terjadi sekitar abad

keduapuluh, secara khusus setelah

perang dunia kedua usai, dimana

muncul kesadaran tentang pentingnya

kesejahteraan bangsa-bangsa (welfare

states) yang dikaitkan dengan pengelua-

ran pemerintah, partisipasi publik yang

lebih luas, dan pengawasan masyarakat.

Lahirnya welfare states ini, merupakan

tahap awal pemikiran performance

budgeting yang mengutamakan keluaran

sebagai indikator kinerja program/

kegiatan pemerintah.

Tahap kelima, akuntabilitas

keuangan ditekankan pada macro

economic management. Pada tahap ini

pemerintah lebih dituntut untuk

bijaksana dalam mengelola anggaran.

Pemerintah diharuskan untuk memper-

hatikan dampak dan hubungan

anggaran dengan pertumbuhan

ekonomi. Sampai pada tahap ini,

pemerintah sudah mulai disadarkan

tentang pentingnya perhatian pada tiga

dimensi akunbilitas keuangan yaitu,

‚... (i) expenditure choices (to

ascertain the degree of prudence); (ii)

program management (propriety,

economic management, adequate

delivery systems); and (iii) regular

dissemination of information

(showing material matching, i.e., a

process by which outputs and income

are related in a time frame to cost of

services)‛ (Premchand, 1999,

p151).

Tahap keenam, merupakan tahap

perkembangan terkini dari akuntabilitas

keuangan publik. Di tahap ini,

akuntabilitas keuangan pemerintah

lebih dituntut maju dan berkembang.

Pemerintah diminta lebih maju dengan

membuktikan bahwa kebijakan dan

program yang dikerjakan berada dalam

ruang lingkup tugas dan fungsi

pemerintah; dan bukan mengambil

tugas yang seharusnya dikerjakan

institusi non pemerintah. Perkem-

bangan akuntabilitas keuangan mem-

bawa perubahan dalam tugas dan

fungsi yang seharusnya dikerjakan

pemerintah.

Untuk mengenali akuntabilitas

keuangan publik, Brinkerhoff (2001)

menyebut tiga instrumen yaitu,

penganggaran, akuntansi dan pemerik-

saan. Melalui instrumen penganggaran,

pemerintah mengalokasikan dana untuk

bentuk program dan kegiatan guna

merealisir visi dan misi, serta melayani

rakyat.

Dalam beberapa tahun terakhir,

penganggaran di lingkungan Pemerin-

tah Daerah telah mengalami reformasi.

Reformasi antara lain mengharuskan

peningkatan peran serta masyarakat

melalui Musrenbang, penyusunan

anggaran berbasis kinerja (performance

budgeting), dan tuntutan untuk menso-

sialisasikan anggaran kepada publik

(Permendagri 13/2006)

Untuk instrumen akuntansi Chan

(2003) menjelaskan bahwa di era

reformasi, tuntutan tata pemerintahan

yang baik mengharuskan akuntansi

Page 5: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

5

pemerintahan memenuhi tiga kegunaan

yaitu – to safeguard the public treasury by

preventing and detecting corruption and

graft, intermediate purpose – to facilate

financial management, dan advanced

purpose – to help government discharge its

public accountability. Mardiasmo (2002,

p.68) menegaskan bahwa akuntansi

pemerintahan berfungsi untuk

mengelaborasi good governance ke

tataran yang lebih nyata. Wujud

elaborasi ini dilakukan melalui

akuntansi manajemen, akuntansi

keuangan dan pemeriksaan. Di

Indonesia, akuntansi pemerintahan

telah mengalami kemajuan dengan

ditetapkannya Standar Akuntansi

Pemerintahan – SAP (PP 24/2004).

Implementasi SAP dan akuntansi

pemerintahan di lingkungan pemerin-

tah daerah dinilai telah mengalami

beberapa kemajuan. Kemajuan terutama

dialami oleh pemerintah daerah yang

memiliki kualitas SDM yang memadai,

dan didukung oleh perguruan tinggi

yang memperhatikan isu dan masalah

akuntansi dan pengelolaan keuangan.

Namun, keadaan sebaliknya terjadi di

banyak pemerintah daerah dengan

kualitas SDM yang sangat minim. Di

daerah seperti ini, pemerintah daerah

akan mendapat banyak hambatan

untuk menerapkan akuntansi keuangan

berbasis akrual penuh (PP71 tahun 2010

tentang Standar Akuntansi Pemerinta-

han yang menggantikan PP24 tahun

2005). Di daerah-daerah seperti ini,

berlaku pernyataan McLeod & Harun

(2009, h.6) bahwa,

‚Mewajibkan seluruh lembaga

pemerintahan secara mendadak

untuk mulai membuat laporan

keuangan berdasarkan pada

akuntansi akrual penuh ibaratnya

mengharapkan seorang bayi

tampil layaknya seorang penari

balet, padahal berjalan pun belum

bisa.‛

Dari sisi akuntabilitas publik,

kemajuan yang dicapai akuntansi

pemerintah Indonesia digambarkan

McLeod & Harun (2009) melalui

pernyataan bahwa :

‚Sangat sedikit warga akan

membaca laporan keuangan

pemerintah mereka. Sebagian

besar masyarakat tidak memiliki

kemampuan untuk memehami

laporan-laporan semacam itu ...

Sebagian besar warga negara

justru akan menilai kinerja

pemerintahnya berdasarkan kua-

litas pelayanan yang diberikan ...

Jika mereka peduli dengan

korupsi, mereka cenderung

mengandalkan media massa

seperti surat kabar, TV dan radio.

... Sistem akuntansi terkini pada

sektor publik ... (bernilai) sebagai

salah satu alat pendorong dalam

upaya pemberantasan korupsi.‛

(h.3)

Hasil survai Association of

Government Accountants (AGA, 2008) di

Amerika juga menemukan hal yang

sama bahwa publik tidak menggunakan

laporan keuangan dan laporan

pemeriksaan karena informasi yang

diekspektasikan publik berbeda dari

yang diterima. Dijelaskan bahwa

‚Governments are failing to meet the

expectations of its citizens, resulting in an

‘expectations gap’ between the kind of

government financial reporting that citizens

expect and what they get.‛ (p.1)

3. Metode Penelitian

Page 6: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

6

Studi ini menggunakan disain studi

kasus. Literatur menjelaskan ada dua

bentuk kasus yaitu, kasus tunggal dan

kasus jamak (Eisenhardt, 1989). Studi ini

menggunakan kasus jamak (tiga kasus)

akuntabilitas keuangan Otsus, yaitu

kasus akuntabilitas dana Otsus yang

dikelola Provinsi Papua, kasus

akuntabilitas dana yang dikelola

kabupaten dan kota, dan kasus

akuntabilitas dana Otsus yang

dialokasikan untuk pemberdayaan

masyarakat dalam bentuk Program

Rencana Stratejik Pembangunan

Kampung (RESPEK).

Studi ini mengumpulkan data

melalui wawancara mendalam (indepth

interview), observasi, studi dokumen

dan peraturan, serta web searching.

Wawancara mendalam deilakukan dari

sejumlah 24 informan yang terdiri dari

pejabat Pemerintah Provinsi Papua,

Kabupaten dan Kota, anggota DPRP,

anggota MRP, pengamat (pakar) Otsus

Papua. Selain itu dari Pemerintah

Provinsi Papua diperoleh data lain

dalam bentuk peraturan, dalam bentuk

Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur,

serta peraturan lainnya. Peraturan lain

yang sifantnya nasional dihimpun dari

alamat resmi web milik Pemerintah. Dari

BPK didapatkan data dalam bentuk

Laporan Hasil Pemeriksaan Dana Otsus

2007 dan 2008, dan laporan lain yang

memuat hasil tindak lanjut

pemeriksaan. Sumber data penting

lainnya adalah halaman web media cetak

lokal Papua dan media nasional, alamat

web pemerintah, dan beberapa alamat

web milik LSM dan perguruan tinggi.

Prosedur pengumpulan data

dilakukan sesuai sifat dari sumber data.

Data peraturan dan perundangan

dikumpulkan dengan tahapan: (1)

pemilihan regulasi yang rilevan, (2)

mengundu regulasi dari halaman resmi,

dan (3) melakukan qualitative content

analysis. Untuk peraturan tingkat lokal

(Pemda Provinsi) masih harus

dikumpulkan langsung dari staf atau

pejabat daerah. Data pendapat publik

dikumpulkan dari media web, dengan

tahapan: (1) pemilihan search engines

(mesin pencari) yang akan digunakan,

(2) menyeleksi halaman yang dapat

dipercaya, dan (3) menyeleksi artikel

yang dapat dipercaya dan rilevan

dengan studi. Data indepth interview

dihimpun melalui wawancara dengan

menggunakan panduan wawancara

yang bersifat terbuka. Data pengamatan

dihimpun dari beberapa kesempatan

khusus, seperti pelaksanaan Musren-

bang Provinsi Papua dan pelaksanaan

sidang oleh legislatif.

Analisis kasus dalam studi ini

mengikuti saran Eisenhardt (1989) yang

mengenalkan dua tahap analisis, yaitu

analisis kasus terpisah (within-case

analysis) dan analisis antar kasus (cross-

case analysis). Analisis kasus ini

menghasilkan sejumlah fenomena yang

dituangkan dalam bentuk tabel matriks

untuk menghasilkan kategori (konsep)

yang kemudian dirangkai sehingga

membentuk concept mapping masing-

masing kasus.

4. Hasil dan Pembahasan

Sejak tahun 2002, Pemerintah telah

menyalurkan dana Otsus Papua lebih

dari Rp.21 trilyun rupiah. Dana yang

diterima Pemerintah Provinsi Papua ini

dialokasikan (dibagikan) untuk Provinsi

Page 7: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

7

Papua, kabupaten dan kota serta

pemberdayaan masyarakat (RESPEK).

Perkembangan Penerimaan dan

Pembagian Dana Otsus Papua

Periode 2002 – 2010 (dalam rupiah)

Dana Otsus telah membiayai

banyak program dan kegiatan di

Provinsi Papua. Dalam bidang

pendidikan program bantuan

pendidikan bagi penduduk asli Papua

dianggarkan untuk program bebas

pendidikan sekolah dasar, pemberian

beasiswa bagi siswa dan mahasiswa asli

Papua. Pemda Papua membiayai

pendidikan 1.000 doktor. Mahasiswa

asli Papua banyak yang dikirim

mengikuti pendidikan di dalam dan

luar negeri dengan sumber pembiayaan

Otsus. Banyak asrama dibangun Pemda

di Kota Jayapura, Kota Manokawari,

dan sejumlah kota di luar Papua. Semua

itu untuk penduduk asli Papua. Guru

honor dikontrak untuk membiayai

kekurangan guru di banyak sekolah.

Dalam bidang kesehatan,

Pemerintah Daerah menyediakan

menata dan memperbaiki Rumah Sakit

Umum Daerah (RSUD), dan Puskesmas

serta Pustu. Pemerintah Provinsi Papua

telah mengambil kebijakan untuk

membebaskan penduduk asli Papua

dari semua biaya di RSUD, yaitu biaya

inap, dokter, dan obat. Bantuan obat

terus disalurkan pemerintah ke

puskesmas di seluruh Papua. Pemerin-

tah mendukung biaya operasional dan

beasiswa bagi penyelenggaraan

pendidikan dokter dan tenaga

kesehatan, seperti perawat dan bidan.

Untuk perekonomian rakyat,

pemerintah terus mengembangkan

pertanian rakyat, perkebunan, perika-

nan, dan peternakan. Banyak bibit dan

fasilitas pertanian diberikan kepada

penduduk asli Papua. Kerajinan rumah

tangga dan industri rakyat yang

dikelola penduduk asli Papua dibina

dan dibantu permodalannya. Pasar

rakyat yang ada di distrik-distrik

dibangun pemerintah berdasarkan

usulan dari kampung dan distrik.

Banyak pemerintah daerah (kabupaten

dan kota) menyediakan dana untuk

kredit murah bagi usaha kecil dan

koperasi milik penduduk asli Papua.

Infrastruktur jalan, jembatan,

pelabuhan, dermaga, dan lapangan

terbang sebagian besar dibiayai dari

dana infrastruktur Otsus. Sejumlah ruas

jalan yang menghubungkan kabupaten

dibangun dengan menggunakan Dana

Otsus. Pemerintah daerah memberi

bantuan truk, bus, dan kapal

penyeberangan bagi masyarakat.

Beberapa kapal perintis dibeli

Pemerintah Provinsi untuk menghu-

bungkan daerah pesisir pantai di

sekeliling Papua. Semua hal tersebut

merupakan fakta yang menjelaskan

bahwa Pemerintah Provinsi Papua dan

Pemerintah Daerah/Kota telah bekerja

keras untuk membangun dan melayani

rakyat Papua, khususnya penduduk asli

Papua.

Namun, selain kinerja dan hasil

yang telah dicapai di atas, akuntabilitas

dana Otsus telah menjadi masalah

karena diabaikan dan kurang mendapat

perhatian pemerintah daerah. Studi ini

menemukan masalah akuntabilitas

Tahun Dana Otsus Per

Tahun Anggaran Kabupaten/Kota Provinsi Papua

Pemberdayaan -

RESPEK Lainnya

2002 1.382.300.000.000 200.000.000.000 1.179.206.166.000 - 3.093.834.000

2003 1.539.560.000.000 280.000.000.000 1.259.560.000.000 - -

2004 1.642.617.943.000 985.200.000.000 657.417.943.000 - -

2005 1.775.312.000.000 885.000.000.000 890.312.000.000 - -

2006 2.913.218.000.000 1.648.930.800.000 1.264.287.200.000 - -

2007 3.295.748.000.000 1.730.608.800.000 1.153.739.200.000 411.400.000.000 -

2008 3.590.100.000.000 1.899.000.000.000 1.266.000.000.000 425.100.000.000 -

2009 2.609.796.098.000 1.265.877.659.000 843.918.439.000 320.000.000.000 180.000.000.000

2010 2.694.864.788.000 1.316.918.872.800 877.945.915.200 320.000.000.000 180.000.000.000

Dana Otsus sd 2010 21.443.516.829.000 10.211.536.131.800 9.392.386.863.200 1.476.500.000.000 363.093.834.000

Sumber : Keputusan Gubernur tentang pembagian dana Otsus - ditetapkan setiap tahun anggaran

Catatan : Dana Pemberdayaan diluar yang dialokasikan Kabupaten dan Kota sekitar Rp.50 sd Rp 300 juta per kampung

Dana lain-lain tahun 2009 dan 2010 diperuntukkan untuk pembebasan biaya pendidikan SD sembilan tahun dan

pembebasan biaya kesehatan bagi orang asli Papua di semua RSUD di Papua

Page 8: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

8

keuangan Otsus yang ditandai dengan

beberapa fenomena utama: (a)

fenomena regulasi-regulasi yang

seharusnya ada belum ditetapkan,

regulasi tidak diterapkan, (b) fenomena

partisipasi - partisipasi publik relatif

belum tersentuh, (c) fenomena

transparansi - anggaran (APBD) belum

menjadi dokumen publik, peruntukan

dan alokasi Dana Otsus tidak diketahui

dewan, tidak ada sosialisasi RAPBD

kepada publik (d) fenomena sangsi–

sangsi yang tidak efektif, (e) fenomena

pengawasan– pengawasan atasan

langsung masih lemah dan tidak

berjalan, pengawasan legislatif minim,

pengawasan pemerintah tidak dapat

dibaca (diketahui) masyarakat sehingga

dinilai sebagai pembiaran.

Temuan studi ini juga melihat ada

fenomena politik dan keamanan yang

turut menambah kompleksitas

permasalahan akuntabilitas keuangan

Otsus. Dana Otsus antara lain telah

dimaknai sebagai ‘gula-gula politik’,

‘uang darah’, dan ‘uang tutup mulut’.

Ada yang menilai dana digunakan

untuk separatis OPM. Uang Otsus

memperluas area konflik politik

antardaerah, antarsuku, dan antar- elit

Papua.

Dalam kasus akuntabilitas Dana

Otsus Provinsi, studi ini menemukan

beberapa fenomena akuntabilitas yang

banyak bermasalah.

(1) Fenomena anggaran: kurang

partisipatif, tidak transparan, dupli-

kasi anggaran, pemahalan harga,

kegiatan tidak efektif, tidak patuh

aturan, salah peruntukan, kurang

pengawasan (dewan)

(2) Fenomena pelaksanaan: penerimaan

Dana Otsus terlambat, belanja

diluar ketentuan, tidak sesuai

kontrak.

(3) Fenomena akuntansi: bukti transak-

si tidak sah, bukti tidak lengkap,

pertanggungjawaban terlambat,

kurang pengawasan dan kurang

pembinaan atasan, kapasitas SDM

yang terbatas, opini BPK lebih baik

(disclaimer menjadi WDP).

(4) Fenomena akuntabilitas publik: hak

publik memperoleh informasi

anggaran diabaikan.

(5) Fenomena pengawasan: kurangnya

kompetensi SDM inspektorat,

bantuan tenaga eksternal (BPKP),

pengawasan atasan langsung

kurang efektif, pengawasan

legislatif kurang efektif,

pengawasan pemerintah kurang

efektif, dan pengawasan masyarakat

tidak efektif (diabaikan).

Untuk kasus akuntabilitas Dana

Otsus kabupaten dan kota, studi ini

berhasil merumuskan sejumlah

fenomena akuntabilitas.

(1) Fenomena Regulasi: pembagian

dana belum ditandatangani,

penetapan alokasi ke daerah

terlambat, plafon terealisasi penuh,

rencana penggunaaan dana yang

disepakati Provinsi dan

Kabupaten/Kota yang dinyatakan

Rencana Definitif sering diabaikan

kabupaten dan kota, urusan

prioritas Otsus belum diperhatikan

beberapa daerah, pelaporan

terlambat.

(2) Fenomena sangsi: sangsi sudah

diatur dalam peraturan namun

tidak diimplementasikan.

(3) Fenomena rasa keadilan: Provinsi

Papua tidak perlu mengelola Dana

Otsus yang besar, persentase

pembagian provinsi-kabupaten/kota

tidak adil, kurang perhatian untuk

daerah terpencil dan pegunungan.

(4) Fenomena pemaknaan: negatif–

gula2 politik, uang darah, hanya

Page 9: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

9

dinikmati elite, rakyat tidak

merasakan, dikorupsi, disalahguna-

kan, urusan prioritas tidak

diperhatikan, regulasi tidak ada,

pembiaran pemerintah pusat,

penegakan hukum tidak berjalan.

Dalam kasus akuntabilitas Dana

Otsus yang dikucurkan untuk

pemberdayaan masyarakat (dana

RESPEK), ditemukan fenomena

akuntabilitas keuangan.

(1) Fenomena regulasi: regulasi sudah

ditetapkan, regulasi sudah disosiali-

sasikan (melalui media, pertemuan

formal dari provinsi sampai

kampung-kampung).

(2) Fenomena pemaknaan: pemaknaan

negatif-program Bas Suebu,

program Provinsi, kabupaten punya

program yang sama dan lebih dulu

diterapkan (Kabupaten Jayapura),

program politik Suebu, provinsi

tidak seharusnya mengatur sampai

kampung, korupsi dipindahkan ke

kampung.

(3) Kampung Penerima: tidak semua

kampung yang secara fisik ada,

mendapat alokasi dana RESPEK.

Hanya kampung yang terdaftar

dalam keputusan Gubernur yang

berhak mendapat dana.

(4) Fenomena pelaksanaan: institusi

belum dibentuk di tingkat distrik,

institusi tidak berfungsi, keterba-

tasan pelayanan bank, uang tunai

beresiko hilang dalam perjalanan ke

distrik dan kampung, aparat dan

atau warga menghalangi proses.

(5) Fenomena pelaporan: kapasitas

SDM, dan laporan terlambat,

(6) Fenomena koordinasi RESPEK:

pemaknaan berbeda antaraparat

birokrasi pemda dan elite Papua;

koordinasi provinsi–kabupaten/kota

masih sebatas wacana.

Hasil analisis tiga kasus di atas

menunjukkan beberapa kesamaan

fenomena akuntabilitas berikut.

(1) ‚Asismetri informasi‛ teridentifi-

kasi dalam tiga kasus penelitian.

Dalam Kasus Pertama, masalah ini

terjadi di Provinsi Papua dalam

bentuk penguasaan informasi

pengalokasian dan peruntukan

Dana Otsus yang menurut anggota

DPRP tidak dapat diakses. Kasus

Kedua, masalah asimetri informasi

terjadi antara Pemda Papua dengan

Kabupaten dan Kota. Pemda

Kabupaten dan Kota tidak

mengetahui indikator, bobot

indikator, dan data yang

digunakan dalam pembagian Dana

Otsus Papua. Data ini hanya

diketahui secara terbatas oleh

beberapa pejabat, khususnya di

unit kerja BPKAD Provinsi Papua.

(2) ‚Kepatuhan‛ regulasi sebagai

norma yang digunakan untuk

menilai sesuatu yang dilakukan

atau tidak dilakukan oleh aktor

(agen), menjadi masalah di Provinsi

Papua, karena keharusan menyu-

sun Perdasus untuk pembagian

Dana Otsus, tidak dikerjakan

(Kasus Pertama). Dalam Kasus

Kedua, beberapa Pemerin-tah

Kabupaten dinilai belum patuh,

khususnya terhadap Rencana

Definitif (RD) yang mengatur

alokasi Dana Otsus untuk urusan

prioritas, seperti pendidikan 30%

dan kesehatan 15%. Kasus Ketiga

juga memperlihatkan masalah

kepatuhan terhadap Petunjuk

Teknis Operasional (PTO) RESPEK,

seperti membelanjakan dana tanpa

musyawarah kampung.

(3) ‚Pengungkapan‛ mengharuskan

agen (aktor) untuk mengungkap-

kan informasi yang dibutuhkan

Page 10: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

10

prinsipal (forum). Kasus Pertama

mengindikasikan bahwa perminta-

an dewan untuk menyediakan

informasi alokasi Dana Otsus

dalam APBD tidak pernah

dipenuhi oleh eksekutif. Fenomena

ini merupakan bukti bahwa pihak

legislatif, paling kurang dalam

pandangan eksekutif, bukanlah

forum yang sebenarnya. Kasus

Kedua juga mengindikasikan hal

yang sama, tidak ada

pengungkapan sumber dana dalam

APBD.

(4) ‚Prioritas Otsus‛ yaitu pendidikan

dan kesehatan, belum mendapat

alokasi dana sebesar yang

ditetapkan peraturan yaitu, pendi-

dikan 30 persen dan kesehatan 15

persen. Fenomena ini ditemukan

dalam Kasus Pertama dan Kasus

Kedua. Dalam Kasus Ketiga,

peningkatan ekonomi rakyat selalu

mendapat sorotan. RESPEK dinilai

belum memperbaiki kondisi

perekonomian sebagian besar

penduduk asli di kampung-

kampung.

(5) ‚Pelaporan‛ sebagai bentuk formal

pertanggungjawaban diharuskan

dalam ketiga kasus penelitian.

Dalam ketiga kasus ditemukan

masalah laporan yang terlambat

disampaikan kepada forum. Kasus

Pertama dan Kedua menjelaskan,

Pemerintah Provinsi terlambat

menyampaikan laporan ke

Pemerintah, dan beberapa

Pemerintah Daerah terlambat

menyampaikan laporan ke Provinsi

Papua. Untuk Kasus Ketiga, Tim

Pelaksana Kegiatan Kampung

(TPKK) juga terlambat

menyampaikan laporan kepada

Tim Tiga Tungku (T3T) yang terdiri

dari unsur pemerintahan kampung

yang ditunjuk, tokoh adat, dan

tokoh agama. T3T inilah yang

berfungsi sebagai forum di tingkat

kampung.

(6) ‚Tertib administrasi keuangan‛

merupakan masalah krusial yang

teridentifikasi dalam ketiga kasus

penelitian. Masalah tertib adminis-

trasi ini terjadi terutama karena

rendahnya kapasitas sumber daya

manusia (SDM) yang menatausa-

hakan dana dan lemahnya unsur

pengawasan langsung. Untuk

Kasus Pertama dan Kedua,

Laporan Hasil Pemeriksaan BPK

menjelaskan, masalah SDM dan

pengawasan langsung telah menye-

babkan banyak kerugian keuangan

daerah. Tertib administrasi dalam

Kasus Ketiga lebih disebabkan

rendahnya pendidikan pelaku

RESPEK di tingkat kampung dan

distrik, serta kurangnya tenaga

pendamping distrik.

(7) ‚Partisipasi‛ warga merupakan

fenomena yang ditampilkan semua

kasus. Kasus Pertama menjelaskan

masalah partisipasi stakeholders

dalam perencanaan daerah, yaitu

saat pelaksanaan Musrenbang. Hal

yang sama dipermasalahkan dalam

Kasus Kedua. Kabupaten dan Kota

dinilai kurang memperhatikan

masukan warga dalam pengang-

garan. Banyak kegiatan yang

diusulkan warga tidak dianggar-

kan. Kalau dalam Kasus Pertama

dan Kedua ketentuan partisipasi

warga belum mendapat perhatian

yang memadai, maka dalam Kasus

Ketiga justru partisipasi warga

sangat dituntut. Program dan

kegiatan harus dirumuskan melalui

Perencanaan Bersama Masyarakat

(PBM) di kampung. PBM dilakukan

dalam delapan tapahan: (1)

Page 11: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

11

Penyempur-naan Data Awal, (2)

Penyempur-naan Peta Sosial

Kampung, (3) Penggalian Gagasan,

(4) Penulisan Usulan, (5) Verifikasi

Usulan, (6) Kompetisi Usulan

(Perangkingan Usulan), (7)

Pembuatan Desain dan RAB, dan

(8) Muskam Penetapan Usulan

(8) ‚Pengawasan internal‛ merupakan

pengawasan langsung pengelolaan

Dana Otsus oleh manajemen

(pemerintah daerah). Dalam Kasus

Pertama dan Kedua, pengawasan

internal ini dilakukan oleh lembaga

Inspektorat dan kepala satuan kerja

(unit kerja). Rendahnya kapasitas

SDM Inspektorat merupakan

kendala utama pelaksanaan fungsi

dan tugas lembaga ini; sedangkan

pada tingkat satuan kerja, masalah

pengawasan internal, lebih

dikarenakan motivasi dan

kepentingan pribadi pengguna dan

pelaksana anggaran. Pengawasan

internal untuk dana RESPEK

(Kasus Ketiga) dilakukan Tim

Koordinasi PNPM Mandiri

RESPEK Provinsi, melalui Sekreta-

riat PNPM Mandiri RESPEK, dan

tenaga profesional yang berhimpun

dalam Koordinator Manajemen

Provinsi (KM-Provinsi).

(9) ‚Pengawasan legislatif‛

merupakan salah satu unsur

pengawasan anggaran yang

dilaksanakan dalam rangka fungsi

pengawasan dewan. Pengawasan

legislatif dilakukan untuk menilai

program dan kegiatan yang

dibelanjai APBD. Pengawasan ini

dilakukan secara spesifik terhadap

Dana Otsus oleh DPRP (Kasus

Pertama), sedangkan dalam Kasus

Kedua pengawasan dilakukan

secara umum terhadap semua

sumber pendapatan (tidak spesifik

terhadap Dana Otsus). DPRD

menilai bahwa pengawasan Dana

Otsus tidak mereka lakukan karena

tidak memperoleh Dana Otsus

untuk kegiatan pengawasan

mereka. Pengawasan DPRP

terhadap dana RESPEK dilakukan

sebatas pada laporan

(10) ‚Pengawasan masyarakat‛ dalam

Kasus Pertama dilakukan dengan

menyampaikan masalah penyalah-

gunaan dana secara terbuka di

media. Masyarakat sudah

berulangkali mengajukan masalah

penyalahgunaan dana untuk

ditindaklanjuti penegak hukum.

Tidak jarang, kelompok masyara-

kat seperti Papua Corruption Watch

(PCW) dan LSM melaporkan

kerugian daerah akibat perilaku

korupsi pejabat daerah kepada

Polda Papua, Kejaksaan, dan KPK.

Pengawasan yang sama dilakukan

masyarakat untuk dana APBD di

kabupaten dan kota (Kasus Kedua).

Pengawasan masyarakat untuk

Kasus Ketiga umumnya dilakukan

warga kampung. Warga kampung

secara aktif mengawasi dana

RESPEK untuk kampung masing-

masing, termasuk memberi sangsi

kepada siapapun yang

menyalahgunakan dana mereka.

(11) ‚Pemeriksaan eksternal‛ dilakukan

oleh BPK terhadap Dana Otsus

Provinsi (Kasus Pertama) dan Dana

Otsus Kabupaten dan Kota (Kasus

Kedua). BPK telah melaksanakan

pemeriksaan untuk tujuan tertentu

(PDTT) untuk Dana Otsus Provinsi

dan Kabupaten pada tahun 2009

dan 2010, dengan beberapa temuan

yang telah dibahas dalam studi ini.

Pemeriksaan BPK terhadap dana

RESPEK dilakukan sebagai bagian

pemeriksaan Dana Otsus Provinsi.

Page 12: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

12

(12) ‚Efektifitas‛ program dan kegiatan

merupakan indikator penting lain

untuk menilai manfaat keluaran

terhadap pencapaian tujuan Otsus.

Efektifitas dalam semua kasus sulit

dinilai karena dua sebab. Pertama,

Dana Otsus dikelola bersama

sumber pendanaan lain, sehingga

kinerja program dan kegiatan yang

dibiayai Otsus tidak dapat terlihat.

Kedua, Papua belum memiliki

grand design Otsus; demikian juga

dengan ukuran keberhasilan yang

akan dicapai. Semua kasus

penelitian bermasalah dengan

efektifitas program.

(13) ‚Efisiensi‛ anggaran merupakan

prinsip yang diharuskan dalam

pengelolaan dana (semua kasus).

Walaupun prinsip efisiensi ini

secara tegas diatur dalam

peraturan yang menggunakan dana

publik, prinsip ini sering dilupakan

saat penyusunan dan pelaksanaan

anggaran (Kasus Pertama dan

Kasus Kedua). Temuan BPK

tentang pemahalan harga saat

penganggaran, dan pengeluaran

yang melebihi anggaran telah

menyebabkan pemborosan angga-

ran daerah. Dalam Kasus Ketiga,

transparansi keuangan memung-

kinkan pengawasan terhadap

setiap mata anggaran dan

pengeluaran diawasi banyak warga

kampung. Dengan demikian,

efisiensi penggunaan dana dinilai

lebih baik.

(14) ‚Sangsi‛ terhadap individu dan

kelompok yang dinilai bersalah

diatur dalam setiap regulasi

pengelolaan keuangan daerah.

Demikian juga dalam pengelolaan

Dana Otsus. Sangsi dapat

ditemukan sebagai bagian dalam

Laporan Hasil Pemeriksaan BPK

untuk Dana Otsus Provinsi (Kasus

Pertama) dan untuk Dana Otsus

Kabupaten dan Kota (Kasus

Kedua). Dalam pemeriksaan Dana

Otsus Provinsi, LHP BPK 2009

merumuskan sangsi untuk masalah

dana RESPEK yang tidak

dimanfaatkan (belum disalurkan ke

kampung) (Kasus Ketiga).

(15) ‚Keberlanjutan program RESPEK‛

merupakan salah satu isu sentral

memberdayakan penduduk asli

Papua. Program ini telah diterima

secara baik oleh masyarakat

kampung, namun terancam akan

dihentikan, bila Barnabas Suebu

tidak lagi memimpin Papua.

Semangat keberpihakan kepada

penduduk asli Papua perlu

dilanjutkan. Dalam Kasus Pertama,

keberlanjutan RESPEK ini lebih

dilihat dari sisi regulasi. Sejumlah

pengamat menilai, perlu ada

Perdasus untuk mengatur program

pemberdayaan masyarakat di

kampung, agar Dana Otsus dapat

disalurkan kepada warga

kampung. Dalam Kasus Kedua,

keberlanjutan program pemberda-

yaan kampung itu dinilai sebagai

kewenangan kabupaten dan kota,

bukan kewenangan provinsi.

Untuk itu, sejumlah usulan muncul

untuk mengalihkan kewenangan

program pemberdayaan itu ke

kabupaten dan kota. Dalam Kasus

Ketiga, keberlanjutan program

pemberdayaan kampung sudah

lama dinantikan. Yang dibutuhkan

sekarang adalah perbaikan

mekanisme agar tujuan pemberda-

yaan lebih terarah, terukur, dapat

dicapai, dan dapat dilaksanakan

masyarakat kampung.

Berbagai masalah dalam pelaksanaan

akuntabilitas Dana Otsus Papua

Page 13: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

13

seharusnya mendapat perhatian

Pemerintah, baik Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah Provinsi Papua,

maupun Pemerintah Kabupaten dan

Kota. Kata kunci untuk perbaikan itu

ialah ‚akuntabilitas keuangan yang

terukur, partisipatif dan transparan‛.

Akuntabilitas keuangan perlu

diperbaiki dengan bimbingan dan

pembinaan dari perguruan tinggi dan

BPKP, dengan pengutamaan pada

beberapa isu pokok seperti:

(1) penyusunan Grand Design Otsus

Papua harus disusun untuk

memberi arah yang lebih jelas dan

terukur tentang ‚Apa yang akan

dicapai dengan Otonomi Khusus

Papua?‛ Grand design ini dapat

dipertimbangkan sebagai dokumen

perencanaan terpisah atau bagian

dari RPJMD yang drafnya sedang

disusun Bappeda untuk periode

2011-2016. Design ini harus

merumuskan indikator-indikator

kunci untuk menilai kinerja Otsus

untuk bidang prioritas yaitu

pendidikan, kesehatan, perekono-

mian rakyat, dan infrastruktur;

(2) evaluasi untuk menilai kinerja harus

diperbaiki dengan mengutamakan

penilaian publik; sedang evaluasi

dari sisi pandang pemerintah

daerah harus dijadikan suplemen

atau pembanding. Hasil evaluasi

harus dapat dipublikasi,

diperdebatkan, dan dijadikan bahan

untuk perbaikan dalam penyusunan

program tahunan lebih lanjut;

(3) partisipasi publik dalam tahap

perencanaan harus mendapat

perhatian dan lebih diperbaiki.

Pemda Provinsi perlu menetapkan

mekanisme yang lebih efektif untuk

melibatkan masyarakat dalam tahap

perencanaan. Perlu diupayakan

agar proses Musrenbang menjadi

attractive dan diminati publik.

Pemda juga perlu menyusun sistem

dan alat untuk menilai keberhasilan

Musrenbang;

(4) transparansi anggaran harus

dimulai dari Pemda Provinsi Papua.

Ketentuan Permendagri 13/2006

yang mengatur sosialisasi RAPBD

sebelum diserahkan dan dibahas

DPRP harus dipatuhi dan

dilaksanakan eksekutif. Dalam

sosialisasi ini beberapa penjelasan

perlu diberikan, seperti: (a) alokasi

penggunaan Dana Otsus untuk

urusan prioritas, (b) program dan

kegiatan yang menggunakan Dana

Otsus untuk batas 500 juta rupiah ke

atas, termasuk dampak yang

diharapkan, (c) sebaran lokasi

program dan kegiatan kabupaten/

kota. Masukan masyarakat dari

sosialisasi ini hendaknya menjadi

pertimbangan DPRP dalam

memberi persetujuan APBD, dan

ditembuskan ke Kementerian

Dalam Negeri untuk digunakan

dalam mengevaluasi penggunaan

Dana Otsus Papua. Sosialisasi ini

dapat dimulai di kampus

Universitas Cenderawasih dengan

mengundang perwakilan Pemda,

dewan, tokoh masyarakat, pemuda

dan perempuan;

(5) tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK

dalam bentuk temuan dan

rekomendasi harus ditindaklanjuti

oleh Pemda dan penegak hukum.

Sangsi harus tegas diberikan kepada

mereka yang bersalah. Ini

merupakan tuntutan luas penduduk

asli Papua. Mereka menyebut

‚Papua menipu Papua‛. Kredibilitas

Pemerintah Indonesia di depan

mata publik Papua dan mata

internasional akan terganggu kalau

tetap membiarkan korupsi

Page 14: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

14

menggeroti Dana Otsus Papua.

Hasil tindak lanjut harus dapat

diakses publik melalui halaman web

BPK;

(6) alokasi dan penggunaan Dana

Otsus harus berpihak pada

penduduk asli Papua yang sangat

lemah. Program pemberdayaan

seperti RESPEK harus dapat

dilanjutkan, dan mekanisme

pelaksanaan serta evaluasinya harus

terus diperbaiki. Banyak penduduk

asli Papua yang sangat jauh dari

jangkauan pelayanan dasar, dan

kelompok ini hanya dapat ditolong

melalui kebijakan yang memihak

pada mereka. Kelompok ini tidak

berdaya, apalagi mau bersaing

dengan kelompok masyarakat lain

di perkotaan.

5. Kesimpulan dan Saran

Tiga kesimpulan utama studi ini.

Pertama, dana Otsus merupakan

‚berkat‛ bagi Pemerintah Daerah dan

masyarakat di Provinsi Papua. Selain

menjadi ‚berkat‛ dan memberi manfaat

nyata bagi publik, terdapat sejumlah

masalah akuntabilitas keuangan yang

lalai dikerjakan Pemerintah Provinsi

Papua, seperti: asimetri informasi,

regulasi, partisipasi, transparansi

pengelolaan dana Otsus relatif

terbaikan. Kedua, kehadiran BPK

melaksanakan fungsi dan tugasnya

sebagai pemeriksa eksternal banyak

membantu perbaikan akuntabilitas

keuangan daerah di Provinsi Papua.

Strategi BPK untuk memotivasi setiap

daerah memperbaiki ‚opini‛ telah

mendapat perhatian dari sejumlah

daerah. Temuan hasil pemeriksaan BPK

untuk dana Otsus mengindikasikan

masih ada banyak masalah akuntabilitas

keuangan Otsus. Terdapat indikasi yang

kuat bahwa tindak lanjut hasil

pemeriksaan BPK masih sangat lemah.

Selain itu ditemukan fakta bahwa

lembaga BPK belum optimal

mengemban amanat undang-undang

untuk pemeriksaan keuangan publik.

Ketiga, sebagian besar penduduk

Papua, khususnya penduduk asli

Papua, sangat peka (sensitif) dengan

pengelolaan dana Otsus. Fenomena ini

juga ingin menjelaskan betapa tingginya

harapan penduduk asli terhadap

keberhasilan Otsus. Sebagian besar

masyarakat di Papua menghendaki agar

Pemerintah aktif mengambil peran

dalam meluruskan pengelolaan dana

Otonomi Khusus Papua.

Studi ini menyarankan kepada

Pemerintah Republik Indonesia agar

‚tak perlu enggan‛ untuk campur

tangan menata akuntabilitas keuangan

Otsus Papua, kepada BPK untuk

melakukan audit kinerja dan audit

anggaran dana Otsus, dan kepada

publik Papua untuk terus mengawal

dan mendesak penuntasan regulasi dan

penegakan transparansi, partisipasi dan

sangsi bagi penyalahgunaan dana

Otsus.

Studi ini juga merumuskan tiga

proposisi utama, yang bila diuji secara

empiris dapat membuktikan hubungan

akuntabilitas yang terdapat di

pemerintahan lokal (daerah), hubungan

pengawasan dan sanksi, dan peran

desakan publik dalam peningkatan

akuntabilitas keuangan pemerintah

lokal.

Daftar Pustaka

AGA (Association of Government

Accountants). 2008. Public Attitudes

Toward Government Accountability and

Page 15: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

15

Transparency. A Survey. February

2008

Bovens, M. 2007. Analysing and

Assessing Public Accountability. A

Conceptual Framework. European

Law Journal, Vol. 13, No. 4, July 2007,

pp. 447–468.

BPK. 2009. Laporan Hasil Pemeriksaan

terhadap Dana Otonomi Khusus Papua.

Badan Pemeriksa Keuangan.

Perwakilan Papua.

Brinkerhoff, D.W. 2001. Taking Account

of Accountability: A Conceptual

Overview and Strategic Options. U.S.

Agency for International

Development Center for Democracy

and Governance Implementing

Policy Change Project, Phase 2.

Washington, DC. March 2001.

Eisenhardt, K. 1989. Agency theory: An

assessment and review, Academy of

Management Review, 14 (1): 57-74.

Chan, J.L., 2003. Government

Accounting: An Assessment of

Theory, Purposes and Standards.

Public Money & Management.

January. pp.13-21

Departemen Dalam Negeri Republik

Indonesia. 2006. Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah.

Departemen Dalam Negeri Republik

Indonesia. 2007. Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007

tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun

2006 Tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah.

Halim, A. dan Abdullah, S. 2006.

Hubungan dan Masalah Keagenan di

Pemerinta-han Daerah: Sebuah

Peluang Penelitian Anggaran dan

Akuntansi. Jurnal Akuntansi

Pemerintah.

<http://www.bppk.depkeu.go.id>

Unduh 3 April 2009.

Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah

Sebagai Upaya Memperkokoh Basis

Perekonomian Daerah, Ekonomi

Rakyat, Nomor 4. http://www.

ekonomirakyat. org. 2 Agustus 2010.

Mardiasmo. 2006. Pewujudan

Transparansi dan Akuntabilitas

Publik Melalui Akuntansi Sektor

Publik: Suatu Sarana Good

Governance. Jurnal Akuntansi

Pemerintah. Vol. 2, No. 1, Mei. hal 1 –

17.

McLeod, R.H. dan Harun. 2009.

Memperbaiki Tata Kelola

Pemerintahan Kabupaten dan Kota

di Indonesia: Peran Reformasi

Akuntansi Sektor Publik. Policy Brief

3. Australia Indonesia Governance

Research Partnership, The Australian

National University

<http://www.aigrp.anu.edu.au/>

unduh 28 Agustus 2010.

Messner, M. 2009. The Limits of

Accountability. Accounting,

Organizations and Society (34), pp.918–

938.

Pemerintah Republik Indonesia,

Undang-Undang 21 tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Pemerintah Republik Indonesia. 2004.

Peraturan Pemerintah Nomor 24

tahun 2004 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan.

Pemerintah Republik Indonesia. 2004.

Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004

tentang Pengelolaan Dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2005.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun

2005 tentang Keuangan Daerah

Pemerintah Republik Indonesia. 2010.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun

2010 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan.

Page 16: RINGKASAN DISERTASI ASALLE

16

Pemerintah Provinsi Papua. 2009.

Evaluasi Pelaksanaan Lima Tahun

Otonomi Khusus Papua. Salle, Giay

dan Fatem (editor). Manuskrip.

Premchand, A. 1999. Public Financial

Accountability. Governance,

Corrupption and Public Financial

Management. Salvatore Schiavo-

Campo (eds.). Manila, Philippines :

Asian Development Bank. pp. 145-

192.

Premchand, A. 1999. Fiscal Transparency

and Accountability: Idea and Reality.

Paper prepared for the workshop on

Financial Management and

Accountability, Rome, Nov 28-30,

2001.

Schiavo-Campo, S., 2007. The Budget

and Its Coverage. Budgeting and

Budgetary Institutions - Public Sector

Governance And Accountability Series.

Anwar Shah (ed.). The World Bank.

pp.53-87.